Anda di halaman 1dari 55

MODUL VI

GANGGUAN HIDUNG
Skenario 6:
Oh Hidungku.....
Ira, berusia 19 tahun datang ke Dokter spesialis THT mengeluhkan hidung tersumbat
sejak 7 hari yang lalu. Lama kelamaan semakin susah bernafas, Ira juga mengeluhkan tidak dapat
mencium bau, hidung meler dan sering tercium bau busuk dari hisung yang juga bisa tercium
oleh orang di sekitarnya. Dokter melakukan pemeriksaan dan di dapatkan atrofi pada mukosa
vestibulum nasi kanan dan kiri disertai dengan secret berwarna hijau dan kental.
Pasien berikutnya Ibu Una berusia 32 tahun dengan keluhan hidung berbau, penciuman
berkurang dan nyeri kepala terutama saat menunduk. Ibu tersebut juga mengeluh rasa kering di
tenggorokan disertai batuk-batuk. Dokter melakukan pemeriksaan rinoskopi anterior, dijumpai
cavum nasi hiperemis, sekret purulen di atas konka inferior sinistra dan dekstra. Tidak dijumpai
krusta maupun massa di cavum nasi. Pemeriksaan rinoskopi posterior dijumpai post nasal drips.
Pemeriksaan tenggorok dijumpai karies dentis pada molar 1 kanan atas dan premolar 2 kiri atas.
Dinding faring bergranul dan hiperemis. Pemeriksaan tonsil menunjukkan T1ǀT1, tidak dijumpai
debris maupun hiperemis.

Bagaimana Anda dapat menjelaskan tentang kasus di atas dan bagaimana tatalaksananya?

JUMP 1:TERMINOLOGI
Rinoskopi anterior adalah memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan. Dengan rinoskopi
anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronis seperti
edema konka, hiperemi, sekret mukopurulen (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau
polip.
JUMP 2&3:RUMUSAN MASALAH&HIPOTESA
1.Mengapa hidung Ira tersumbat sejak 7 hari yang lalu dan semakin susah bernafas?
-Karena terjadinya rhinitis atrofi yang disebabkan oleh beberapa hal,contohnya:klebsiella
Ozaena,trauma,infeksi local, dsb
-Susah nafas:karena terinfeksi Klebsiella Ozaena menyebabkan secret bau serta krusta yg dapat
menyebabkan aliran udara hidung menurun menyebabkan susah nafas
2.Mengapa hidungnya tidak dapat mencium bau,hidung meler dan sering mencium bau busuk?
-Tidak bisa mencium bau:karena mukosa hidung tertutup krusta menyebabkan partikel bisa
menyentuh saraf sehingga otak tidak bias menginterpretasi bau
-Hidung meler dan bau busuk:karena infeksi Klebsiella Ozaena menyebabkan sekret kental&bau

1
3.Bagaimana Hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus Ira?
-Insidensi wanita:pria 3:1
Paling sering menyerang wanita pada usia 10-35 tahun terutama pada usia pubertas dan hal ini
dihubungkan dengan status estrogen(factor hormonal)
4.Bagaimana Interpretasi pemeriksaan pada Ira?
-Atrofi mukosa nasi dex sin karena terjadi perubahan dimukosa hidung kemampuan
pembersihan hidung &pembersihan debris berkurangmukosa atrofi
-Sekret hijau kentalterjadi perubahan epitel mukosa hidungdapat menyebabkan fungsi
surfactant abnormalpenurunan resistensi hidung terhadap infeksimemberi efek kurang baik
ke hidungmenumpuk cairan di rongga hidungkrusta dan iriasi mukosa yang meluas
Dengan adanya aliran darah yang tidak adekuatterjadinya proses pembusukanmenghasilkan
pus hijau,berbau busuk
5.Apa saja pemeriksaan penunjang pada kasus Ira?
-Rontgen sinus paranasal,CT-scan sinus paranasal,pemeriksaan histopatologi,px serologi
6.Apa dx dan dd pada Ira?
-Dx:Rhinitis atrofi
-Dd:polip nasi,sinusitis,rhinitis kronik
7.Bagaimana Tatalaksana pada kasus Ira?
-Antibiotik spektrum luas sesuai dengan uji resistensi
-Obat cuci hidung untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret serta
menghilangkan bau(betadine solution dalam 100 mL air hangat atau larutan air garam/obat tetes
hidung)
-operatif:implant ekstrakranial,penyempitan rongga hidung
8.Kenapa terjadi keluhan berupa hidung berbau,penciuman berkurang dan nyeri kepala pada ibu
Una?
-Sinusitis inflamasi mukosa hidung mukosa menempel menyebabkan gangguan transport
mukosiliarretensi mucuspeningkatan pertumbuhan bakteri&virusterkena sinus
lainmuara tersumbatstruktur mucus berubah menjadi bau
-Retensi mukushidung tersumbatpenciuman berkurang
-Nyeri kepala:tekanan tinggi dan pembengkakan yang terjadi pada sinus yang terus menerus
dapat bergema di seluruh tengkorak sehingga dapat menyebabkan sakit kepala
9.Mengapa ibu Ina merasa kering di tenggorokan dan disertai batuk-batuk?

2
-Dikarenakan faringitis akibat sinusitis menyebabkan tenggorokan kering dan batuk
10.Bagaimana interpretasi pemeriksaan yang dijalani ibu Una?
-Px Rhinoskopi ant:Hiperemisproses peradangan cavum nsi akibat infeksi
Sekret purulentinflamasi kroniksinusitis sinus maxillaris
Tidak ada krusta/massatidak ada rhinitis/keganasan
-Px Rhinoskopi post:Post nasal dripskarakteristik sinusitis
-Px tenggorokan:Karies dentisakar ikut terinfeksipenyebaran kuman dari gigi ke sinus
maxillaris akibat batas dengan konka yang tipis
Faring bergranul/hiperemisPND akibat sinusitis menyebar ke
faringfaringitis
-Px Tonsil:Tonsil T1/T1normal (tidak ada pembengkakan)
Tonsil tidak debris/hiperemistidak tonsillitis
11.Apa saja Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada bu Una?
-Tes alergi,Nasal endoscopy,CT-scan,MRI,kultur hidung&sinus,tes darah
12.Apa dx&dd ibu Una?
-Dx:Sinusitis Maxillaris e.c faringitis
-Dd:Rhinitis alergi,tumor sinonasal,corpus alienum,migraine
13.Bagaimana Tatalaksana ibu Una?
-Terapi medikamentosa berupa antibiotic sampai semua gejala hilang
Ex:Amoxilin,ampisilin,eritromisin, dan klaritromisin telah terbukti secara klinis jika dalam 40-72
jam tidak ada perbaikan klinis,diganti dengan antibiotic untuk kuman yang menghasilkan B
lactamase
Ex:Amoxicilin&ampisilin dikombinasi denganasam klavulanat dan diberikan pula dekongestan
untuk memperlancar drainase sinus
14.Bagaimana prognosis dan komplikasi kedua pasien di scenario?
-Ira:Komplikasiperforasi septum,faringitis,sinusitis,hidung pelana
Prognosisjika pengobatan konservatif adekuat prognosis baik,biasanya dapat sembuh
spontan di usia pertengahan
-Bu Una:Komplikasiorbita:edema ringan,selulitis orbita,abses subperiosteal,abses
periorbital,trombosit sinus cavernosum
Intrakranial:Meningitis,abses epidural,abses subdural

3
Prognosis:40% sembuh spontan dan jika pengobatan tidak adekuat prognosis buruk

JUMP 4:SKEMA
GANGGUAN HIDUNG, SINUS
JGANGGUAN
PARANASAL HIDUNG
, TENGGOROKAN

INFEKSI NON INFEKSI

EPIDEMIOLOGI

ETIOLOGI

PATOFISIOLOGI

MANIFESTASI KLINIS

PX FISIK

PX PENUNJAMG

DX&DD

TATA LAKSANA

PROGNOSIS&KOMPLIKASI

4
JUMP 5:LEARNING OBJECTIVE
1.GANGGUAN HIDUNG
2.GANGGUAN TENGGOROKAN
3.GANGGUAN SINUS PARANASAL

1. GANGGUAN HIDUNG
A. INFEKSI
1. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersenditisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.
Karakteristik klinis rinitis alergika adalah bersin, hidung tersumbat, beringus, dan gatal di
hidung, setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantai oleh IG E.

a. Etiologi Rinitis Alergi


Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak - anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan.
Penyebab lain rinitis diantaranya adalah rinitis infeksius. Untuk rinitis infeksius biasanya
digunakan istilah rinosinusitis. Rinosinusitis merupakan suatu proses inflamasi yang
melibatkan mukosa hidung dan satu atau lebih dari mukosa sinus.
Rinitis terkait dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab dari rinitis. Hal ini dapat
terjadi dikarenakan adanya allergen melalui udara yang terdapat di lingkungan kerja dan
dapat pula disebabkan oleh reaksi allergi atau respon iritan. Hewan uji coba laboratorium
seperti tikus, babi dsb serta debu kayu, tepung dan beberapa zat kimia seperti asam anhidrat,
lem dan pelarut merupakan hal-hal yang mampu mengakibatkan rinitis. Rinitis karena
pekerjaan sering tidak terdiagnosis dikarenakan kelalaian dari dokter. Diagnosis dapat
ditegakkan jika gejala muncul terkait dengan pekerjaannya.
Obat juga dapat memicu terjadinnya rinitis, seperti aspirin dan OAINS lainnya dapat
memicu terjadinya rinitis dan asma. Penyakit yang disebabkan oleh aspirin kini disebut
sebagai AERD (Aspirin Exacerbated Respiratory Disease). Berdasarkan sampel acak,

5
hipersensitifitas terhadap aspirin lebih sering terjadi di kalangan sampel dengan rinitis allergi
dibandingkan dengan yang tidak menkonsumsi aspirin perbandingannya sebesar 2.6% vs
0.3%.
Rinitis hormonal dapat terjadi dikarenakan adanya perubahan pada hidung selama siklus
menstruasi, pubertas, kehamilan, dan pada gangguan endokrin yang spesifik seperti
hipotiroidisme dan akromegali. Ketidakseimbangan hormonal juga bertanggung jawab
terhadap perubahan nasal berupa atrofi pada wanita post menopause. Rinitis atau
rinosinusitis yang persisten dapat terjadi di trimester terakhir dari kehamilan pada wanita
yang sehat. Ini umumnya dikaitkan dengan level esterogen pada darah dan gejala akan
menghilang saat bayi sudah lahir.
Perokok juga dapat mengalami rinitis, pada seorang perokok iritasi mata dan persepsi
penciuman lebih umum dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Tembakau yang
terdapat pada rokok dapat mengubah pembersihan mukosilia dan dapat menyebabkan gejala
“seperti allergi” pada mukosa hidung.
Rinitis dapat pula terjadi dikarenakan allergi terhadap makanan, namun hal ini sangat
langka karena tergolong rinitis yang terisolasi. Di sisi lain , makanan, alcohol dapat
menginduksi gejala melalui mekanisme yang hingga saat ini belum diketahui.

b. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau, debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan,
udang kepiting
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan misalnya penisilin dan sengatan lebah
4. Allergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.

c. Klasifikasi Rinitis Alergi


Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasrkan sifat berlangsungnya yaitu:
1. Rinitis alergi musiman ( seasonal, hay fever, polinosis ). Di Indonesia tidak dikenal
rinitis alergi musiman, hanya di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebab nya

6
spesifik, yauitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Gejala klinik yang tampak ialah gejala
pada hidung dan mata ( mata merah, gatal disertai lakrimasi )
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ii timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun.

d. Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative


ARIA Allergic Rhinitis and its Impact on Astma ) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi :3

1. Intermitan ( kadang – kadang ) : apabila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukanngangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja
2. Sedang – berat bila terdapatsatu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

e. Patofisiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

7
Gambar 11. Patofisologi alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel
T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1
pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.

8
Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi
dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus,
juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Universitas Sumatera Utara Pada RAFC, sel
mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi
gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4,
IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Secara
mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet
dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel,
yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa
hidung menebal.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari:

1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

9
2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan
Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate
hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).

f. Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas
adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang
normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan,
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering
kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan pasien.
g. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain
pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering

10
juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic
crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

h. Pemeriksaan Penunjang

1.a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel
PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

1.b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji
kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan
dengan diet eliminasi dan provokasi (³Challenge Test´). Alergen ingestan secara tuntas lenyap
dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai

11
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
i. Pengobatan
1. Menghindari allergen penyebab. Dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dengan
allergen, menjauhkan allergen dari pasien.
2. Terapi simtomatik dengan obat – obatan. Antihistamin oral merupakan senyawa kimia
yang dapat melawan kerja histamine dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi
reseptor histamin. Antihistamin H1 yang sering digunakan adalah etanolamin, etilendiamin,
akilamin, fenotiazin, dan agen lain seperti siprohrptadin, hidroksizin dan piperazin. Diberikan
juga suatu dekongestan secara tunggal atau dengan antihistamin H1 lokal atau peroral pada
pengobatan rinitis alergika.
j. Prognosis

Pasien rinitis alergi yang tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki
prognosis baik.

1. Rinitis Atrofi

Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka. Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan
jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas.
Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria,
terutama pada umur sekitar pubertas.

a. Etiologi
Beberapa penulis menekankan faktor herediter.5,13 Namun ada beberapa keadaan yang
dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 13,14,15

 Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman
ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan
Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus,

12
Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus
foetidus ozaena.
 Defisiensi Fe dan vitamin A.
 Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
 Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
 Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
 Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh
darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
 Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
 Herediter.
 Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
 Golongan darah.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi primer
yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi
besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra,
midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera merusak
pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik.
Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah
diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan
juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi
rendah.6,14

k. Epidemiologi

Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita,
terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk
mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria.
Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi
umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara
26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun.
Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan
lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik dari Januari

13
1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur
berkisar dari 10-37 tahun.14,16

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke
II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.6

l. Patogenesis18

Adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik dan
fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan
ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara
patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua:

1) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik;
membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.

2) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan


menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di
submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel berreaksi positif dengan fosfatase alkali
yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar
seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan
saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie
mendeteksi adanya antibody yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi
surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi Fungsi
surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai
pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya
lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia.
Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.

Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :

14
- Mukosa hidung, berubah menjadi lebih tipis
- Silia hidung, silia akan menghilang
- Epitel hidung, terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak sial menjadi epitel kubik
- Kelenjar hidung mengalami degenerasi atrofi atau jumlah nya berkurang8.

m. Gejala klinis dan Pemeriksaan Fisik

Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan
penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit
kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada
pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita
sendiri tidak mencium namun orang disekitarnya merasa bau. Pasien mengeluh kehilangan indra
pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas
jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas
lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan
menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin
jauh dari gambaran.14,15,16,17

Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung
dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga
hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami
hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. 1,3 Bisa
juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi
ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 14

a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar,
krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga
hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang
jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan
yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung

15
tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah
kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan
dan pendarahan.6

Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun
terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke
segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang,
sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa
hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya
kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring,
hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi
telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus
lakrimalis termasuk keratitis sicca.6

n. Pemeriksaan penunjang

a. Transiluminasi.
b. Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
c. Pemeriksaan mikroorganisme.
d. Uji resistensi kuman.
e. Pemeriksaan darah tepi.
f. Pemeriksaan Fe serum.
g. Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung
menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya
mengecil.
h. Pemeriksaan serologi darah.

o. Diagnosis

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan darah
rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan
histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.14

16
p. Diagnosis banding

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :

1. Rinitis kronik TBC


2. rinitis kronik lepra
3. rinitis kronik sifilis
4. rinitis sika
q. Pengobatan

Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk
dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan
endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti
alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha
langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah
mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan operasi.

Konservatif

Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan
simptomatik.

1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-
tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan
Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau

b. Campuran :

 NaCl
 NH4Cl
 NaHCO3 aaa 9

17
 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan garam dapur

d. Campuran :

 Na bikarbonat 28,4 g
 Na diborat 28,4 g
 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan
kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali
sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan
pemberian preparat Fe.

3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin
untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti
ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing
tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.

5) Preparat Fe.

6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan
ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan
injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode
waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam
laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat,
cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali
untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci
hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6
dari 7 penderita.

Operasi

Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan

18
mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Teknik bedah dibedakan menjadi dua
kategori utama :

1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan


2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :

1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.

2) Modified Young's operation


Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan
ke lubang hidung.

4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon,
campuran Triosite dan Fibrin Glue.

5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana
menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,
pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan
mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun.
Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.

r. Prognosis

Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan penyakitnya.

s. Komplikasi

19
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :

1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana

2. Rinitis hipertofi

Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukan perubahan mukosa hidung pada konka
inferior ynag mengalami hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri primer atau sekunder. Konka inferior dapat juga mengalami hipertrofi tanpa terjadi
infeksi bakteril, misalnya sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.
Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung akibat hidung yang
tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan gangguan tidur. Secret biasanya banyak dan
mukopurulen.
Pada pemeriksaan ditemukan konka hipertrofi, terutama konka inferior. Permukaannya
berbenjol-benjol karena mukosa yang juga hipertrofi. Akibatnya pasase udara dalam rongga
hidung menjadi sempit. Secret mukopurulen dapat ditemukan di antara konka inferior dan sptum
dan juga di dasar rongga hidunh.
Tujuan terapi adlah mengatasi factor-faktor yang menyebabkan terjadinya rinitis
hipertrofi. Terapi simtomatis untuk mengurangi sumbatan hidung akibat hipertrofi konka dapat
dilakukan kausatik konka dengan zat kimia (nitras argenti atau trikloroasetat) atau dengan kauter
listrik (elektrokauterisasi). Bila tidak menolang, dapat dilakukan luksasi konka, frakturisasi
konka multiple, konkoplasti atau bila perlu dilakukan konkotomi parsial7.

3. Rinitis Vasomotor

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa


hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf simpatis. Gejalanya mirip dnegan rinitis
alergi, tetapi bukan suatu reaksi allergi atau inflamasi. Rinitis ini digolongkan menjadi no alergi

20
bila adanya alergi/allergen spesifik tidak dapat diindentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang
sesuai ( anamnesis, tes kulit, kadar antibody IgE spesifik serum).19

a. Etiologi
Belum diketahui, diduga akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan
vasomotor ini dipengaruhi berbagai hal;
1. Neurogenik (disfungsi system otonom). Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter
moradrenalin dan neropeptida Y yang menyebabkan vosokontriksi dan penurunan
sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan
adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam.
2. Neuropeptida, pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C dihidung. Adanya
rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan penimgkatan pelepasan
neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular dan sekresi kelenjar.
3. Oabat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamine, klorpormazine, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor local
4. Faktor fisik, iritasi asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang dingin, dan bau
yang merangsang
5. Factor endokrin, seperti kehamilan, pubertas, hipertiroidisme
6. Factor pisikis, seperti cemas, tegang.

b. Patofisiologi19
Rangasangan saraf simpatis akan menyebabkan terlepasnya asetilkolin, sehingga
terjadi dilatasi pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler
dan sekresi kelenjar, sedangkan rangsangan sraf simpatis mengakibatkan sebaliknya.

c. Mainifestasi klinis19
Hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan, tergantung posisi pasien, rinorea yang
mucus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin, dan tidak disertai gatal

21
dimata. Gejala memburuk pada pagi hari atau bangun tidur karena udara yang ektrim,
udara lembab, dan juga karena asep rokok dan sebgainya. Berdasarkan gejala yang
menonjol, dibedakan atas golongan obstruksi (tersumbat), rinore (runner) dan golongan
bersin(sneezers). Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukan gambaran klasik berupa
ademe mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau tua atau berwarna pucat,
permukaan berbenjol. Pada rongga hidung biasa nya mukoid, pada golongan rinore biasa
sekret yang ditemukan serosa dan dalam jumlah banyak.

d. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan periksaan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit
biasanya negative. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.
e. Penatalaksanaan
Di cari faktor yang mempengarhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Terapi bervariasi, tergantung factor penyebab dan gejala yang
menonjol secara umum terbagi atas:
- Menghindari penyebab
- Pengobatan simtomatis, dengan obat dekongestan oral, diatermi, kauterisasi konka yang
hipertrofi dengan nitras argenti 25% atau trikloroasetat pekat. Dapat juga diberikan
kortikosteroid topikal, misalnya budesonid, dengan dosis 2x100-200, dapat ditigkatkan
sampe 400 mikrogram, sehari.
- Operasi, dengan bedah beku, elekrokauter, atau konkatomi konka inferior.
- Neurotomi nervus vidianus sebagai saraf otonom mukosa hidung, jika cara-cara di atas
tidak berhasil. Operasinya tidak mudah dan komplikasinya cukup berat7 9.

f. Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat
membaik dengan tiba-tiba, tetapi bisa juga resistensi terhadap pengobatan yang diberikan.

4. Rinitis Medikamentosa
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon
normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakain vasokonstriktor topikal ( tetes

22
hidung atau semprot hidung ) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga
menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal
disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).

a. Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ sangat peka terhadap rangsangan atau iritan,
sehingga harus berhati-hati memakai topikal vasokontriksi. Obat topikal vasokontriktor
dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan
berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan.
Pemakaian topikal vasokontriktor yang berulang dan dalam waktu yang lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokontriksi,
sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih
sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut. Pada keadaan ini ditemukan kadar
agonis alfa adrenergic yang tinggi di mukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan
penurunan sensitivitas reseptor alfa-adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu
toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan vasikontriksi (dekongestan
mukosa hidung) menghilang. Akan tetapi terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa
hidung. Keadaan ini juga dsebut sebagai rebound congestion.
b. Gejala dan tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan
tampak edema / hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diberi
tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.
c. Penalaksanaan
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung
2. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat diberikan
kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara
bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari.
Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung
3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).
d. Prognosis

23
Pasien yang menghentikan pemakaian obat-obatan tetes hidung akan menunjukan
penyembuhan sempurna.

B. NON INFEKSI

1. EPISTAKSIS
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.Epistaksis
terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin
dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum
dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua
dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis. Tiga prinsip utama dalam
menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah
berulangnya epistaksis.
PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat
perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan
tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan
parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya
otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang
lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area
yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau
trauma. Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian
anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari
bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada
tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi
dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya
akan menimbulkan perdarahan.

2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada

24
pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.

ETIOLOGI
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin,
mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. Disamping itu juga
dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan.
Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus,
sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor
seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma. Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada
hidung sebagai penyebab epistaksis yang tidak biasa. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah
seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering
kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause,
kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid
dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan
epistaksis adalah Rendu-OslerWeber disease. Disamping itu epistaksis dapat terjadi pada
penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer.

DIAGNOSIS
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus
segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil
hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior
atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran
tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT,
dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu
CT-scan.

PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang datang dengan epistaksis
diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok. Sumber
perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian
diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau
pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan
dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5
menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior
atau posterior. Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah
dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat
dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan
defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan
masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai

25
dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan
pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.
A. Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan
tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin
1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini
dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan
efek anestesi lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan
menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%. Becker
(1994) menggunakan larutan asam triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan,
sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna
kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua
sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat
digunakan elektrokauter atau laser. Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90%
kasus epistaksis yang ditelitinya.

2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas
atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini dipertahankan selama
3 – 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005)
menggunakan swimmer’s nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.

B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit
dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi dengan
menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan embolisasi
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi
di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan
pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq,
dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet
kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan
dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan.
Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana
melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan
mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung,
maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang
keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang
hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di

26
rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui
mulut setelah 2 – 3 hari.

2. Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan
tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis
posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang
dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan.
Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no.
12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring.
Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah
anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada
palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon.
Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa
yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol
perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.

3. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera.
Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada
epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai
darah ke mukosa hidung.
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid
superior untuk melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis
eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal
sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.
sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m. sternokleidomastoideus di
retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis.
Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan.
Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila berasal
dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang
3/0 silk atau linen.
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan
pendekatan transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu
dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai
antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat
kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma
orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium
posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat
adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa
pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep
dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri

27
ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat
nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik selama 24 jam.
Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane of
buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan
identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi
tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan,
dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat
dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah
lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral
sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi utama pendekatan
ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung selama tiga bulan. Shah
(2005) menggunakan clip titanium pada arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis
posterior.
c. Ligasi Arteri Etmoidalis Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media
paling baik diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya.
Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan
posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-
kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada
hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan
sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada
lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga
hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu
untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis
posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari trauma.
d. Angiografi dan Embolisasi Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik
embolisasi perkutan pada a. maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin
sponge untuk epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan
kegunaan angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan
penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis
(primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan.
Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis tetapi tindakan ini
lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna oleh karena
terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial
dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material
telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang
paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa
embolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada
kontraindikasi untuk operasi.

2.POLIP NASI

28
Polip nasi merupakan masalah kesehatan global yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderita baik segi pekerjaan, pendidikan, dan kegiatan aktivitas sehari-hari. Polip hidung
terbagi 2 yaitu polip edematosa dan polip fibrosa. Prevalensi penderita polip hidung pada seluruh
populasi di dunia bervariasi mulai dari 1-4%. 1 Beberapa laporan dari hasil studi epidemiologi
bahwa prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia.
2 Prevalensi polip nasi di Amerika serikat diperkirakan antara 1-4%. Pada anak-anak sangat
jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%.3 Studi epidemiologi di Indonesia
menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2% - 4,3%
Polip hidung merupakan penyakit multifaktorial, mulai disebabkan dari infeksi, inflamasi non
infeksi, kelainan anatomis, abnormalitas genetik, serta beberapa teori yang mengarahkan polip
ini sebagai manifestasi dari inflamasi kronis. Oleh karena itu, tiap kondisi yang menyebabkan
adanya inflamasi kronis pada rongga hidung dapat menjadi faktor predisposisi polip, serta
kebanyakan polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral.
Gejala klinis dari penderita polip hidung adalah penurunan indra penciuman (hiposmia) atau
anosmia, hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, dan postnasal drip. Gejala lainnya seperti
demam yang persisten, bersin, dan terkadang sakit kepala. 8 Pasien yang mengalami polip
hidung memiliki tingkat stadium yang berbeda. Stadium 1 yaitu polip terbatas pada meatus
media, stadium 2 yaitu polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga
hidup, dan stadium 3 yaitu polip yang masif (memenuhi rongga hidung)
Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi atau kombinasi. Lini pertama
terapi polip hidung adalah kortikosteroid. Kortikosteroid intranasal diberikan pada polip derajat
1, sedangkan derajat 2 dan 3 dilakukan terapi kombinasi yaitu medikamentosa dan operasi
bedah. Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 dapat diterapi dengan medikamentosa
(polipektomi medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan
stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi. 10 Tingkat keberhasilan terapi polip hidung bervariasi.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah yaitu polipektomi. Namun, terapi bedah yang terbaik ialah
tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional). Bedah sinus endoskopi fungsional pada
umumnya memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. 9 Beberapa kejadian rekurensi masih sering
ditemukan pada pasien polip hidung. Angka rekurensi pada pasien dengan rinosinusitis kronis
sebesar 28,57%
3. DEVIASI SEPTUM NASI
Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung, tetapi pada orang dewasa biasanya
tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan
tetapi bila deviasi itu cukup berat akan menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan
demikian dapat terjadi gangguan fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.

Definisi dan Klasifikasi Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum menurut Mladina
dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu :
29
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum
menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga
yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

Etiologi

Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan biasanya


berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung, seperti fraktur os nasal. Pada
sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat trauma, sehingga Gray (1972) menerangkannya
dengan teori birth Moulding. Posisi intrauterin yang abnormal dapat menyebabkan tekanan
pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi pergeseran septum. Demikian pula
tekanan torsi pada hidung saat kelahiran (partus) dapat menambah trauma pada septum.1,2
Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko
terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak
menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.1,3
Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi
terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap, juga karena perbedaan
pertumbuhan antara septum dan palatum. Dengan demikian terjadilah deviasi septum.

deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut ini :
♣ Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
♣ Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
♣ Perdarahan hidung (epistaksis)
♣ Infeksi sinus (sinusitis)
♣ Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip.
♣ Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi dan anak.6,7
Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya
menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti common cold.
Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung
dan secara perlahan-lahan menyebabkan gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian
terjadilah sumbatan/obstruksi yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila
common cold telah sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi
septum nasi juga akan menghilang
Penatalaksanaan
♣ Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan
koreksi septum.
♣ Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
♣ Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
♣ Pembedahan :

30
o Septoplasty (Reposisi Septum)

Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii) dapat


dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi dislokasi pada
bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga dapat dikerjakan bersama
dengan reseksi septum bagian tengah atau posterior.
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah
komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti
terjadinya perforasi septum dan saddle nose. Operasi ini juga tidak berpengaruh
banyak terhadap pertumbuhan wajah pada anak-anak.

o SMR (Sub-Mucous Resection)

Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua sisi


dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang
rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiosteum sisi
kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya hidung
pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas
tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi ini sebaiknya
tidak dilakukan pada anak-anak karena dapat mempengaruhi pertumbuhan
wajah dan menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.

Komplikasi

Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor


predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung
sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi, diantaranya :
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau berasal
dari perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga menyebabkan
pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah pengumpulan darah. Hal ini umumnya
terjadi segera setelah operasi dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang menghubungkan
antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan perdarahan pada kedua sisi
membran di hidung selama operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari dalam
hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki deviasi
septum yang berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan.7,8
Prognosis

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi
dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Prognosis pada pasien deviasi septum
setelah menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam 10-20 hari dapat melakukan aktivitas

31
sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus memperhatikan perawatan setelah operasi
dilakukan. Termasuk juga pasien harus juga menghindari trauma pada daerah hidung.

32
2.GANGGUAN SINUS PARANASAL

A.INFEKSI

B.NON INFEKSI

Tumor Ganas Sinonasal


Tumor ganas atau kanker sinonasal menjadi penyebab kesakitan dan
kematian di bidang otorinolaringologi seluruh dunia.(Salim,2011) Kanker
sinonasal adalah penyakit kedua yang sering terjadi setelah kanker nasofaring.
(Munir, 2007) Tumor ganas tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%),
disusul oleh karsinoma tanpa differensiasi. Sinus maksila adalah yang paling
sering terkena (65%-80%). (Roezin, 2007)
Anatomi
Rongga hidung (kavum nasi) berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan
dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan pada bagian luar dilapisi oleh
mukosa hidung. Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum
(kuadrangularis) di sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etmoid di
sebelah atas, vomer dan rostrum sfenoid di posterior dan krista (maksila dan
palatina) di sebelah bawah. (Rangkuti, 2013)
Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan lubang hidung
bagian belakang disebut nares posterior (koana) yang berhubungan dengan
Nasofaring. Selanjutnya, pada dinding lateral rongga hidung terdapat konka
dengan rongga udara yang tidak teratur, yaitu meatus superior, media dan inferior.
Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus
semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontal, etmoid anterior
dan sinus maksila. Sinus etmoid posterior bermuara pada meatus superior,
sedangkan sinus sfenoid bermuara pada resesus sfenoetmoid. (Rangkuti, 2013)

33
Gambar 2.1. Gambaran rongga hidung dan sinus paranasal pada potongan sagital
(Rangkuti, 2013)
Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya yang berbeda-beda pada setiap individu. Ada
empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kiri dan kanan. Sinus pararanasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di
dalam tulang. (Soetjipto, 2007)

Gambar 2.2. Lokasi sinus paranasal pada rongga hidung (Muniandy, 2014)
Sinus maksila atau maksilaris adalah bagian dari sinus paranasal yang
terbesar, sinus maksila ini sudah ada sejak bayi, kemudian sinus berkembang
34
dengan cepat dan mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus
maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semiulnaris melalui infundibulum etmoid.
(Soetjipto, 2007)
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior. Sinus
frontal berdraenase melalui ostiumnya terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundubulum etmoid. (Soetjipto, 2007)
Diantara sinus paranasal, sinus etmoid adalah yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi
bagi sinus lainnya. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid,
yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita dan jumlah sel-
selnya bervariari. Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil
dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior
konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
posterior dari lamina basalis. (Soetjipto, 2007)
Sinus sfenoid, sinus ini terletak pada dalam os sfenoid di belakang sinus
etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi menjadi dua oleh sekat yang disebut
septum intersfenoid. Pada saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di

35
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. (Soetjipto, 2007)
Epidemiologi
Karsinoma rongga hidung dan sinus paranasal mencapai 0,2- 0,8% dari
semua neoplasma ganas dan 3% dari mereka yang terjadi di kepala dan leher.
Enam puluh persen dari tumor sinonasal berasal dari sinus maksila, 20-30% dalam
rongga hidung, 10-15% dalam sinus etmoid, dan 1% di sinus sfenoid dan frontal.
Ketika mempertimbangkan sinus paranasal saja, 77% dari tumor ganas muncul
dalam sinus maksila, 22% di sinus etmoid dan 1% di sinus sfenoid dan frontal.
Neoplasma ganas daerah ini dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan dan
cacat. Insiden kanker sinus sinonasal rendah di sebagian besar populasi (<1,5 /
100.000 pada pria dan <1,0 / 100.000 pada wanita). Tingkat yang lebih tinggi
dicatat di Jepang dan bagian- bagian tertentu dari China dan India. Karsinoma sel
skuamosa adalah yang paling umum. Tren waktu telah menunjukkan di sebagian
besar populasi kejadian yang stabil atau penurunan kecil dalam beberapa dekade
terakhir. (Barnes, 2005)
Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2
sampai 3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Di departemen THT FKUI RS Cipto
Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas
THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio banding wanita sebesar 2:1.
(Roezin, 2007)
Etiologi
Riwayat sinusitis kronis, polip hidung, penggunaan sediaan obat hidung,
merokok, riwayat pekerjaan kayu, kulit dan pemurnian nikel dilaporkan sebagai
faktor- faktor untuk perkembangan tumor tersebut. Sebuah hubungan yang kuat
antara kanker sinonasal dengan paparan debu kayu, debu kulit, dan senyawa nikel
telah ada hubungannya sejak lama dan baru-baru ini dikonfirmasi. Faktor
penyebab atau diduga yang lain juga baru dikonfirmasi termasuk hexavalent
chromium 2, asap las, arsenik, minyak mineral, pelarut organik, dan debu tekstil
oleh International Journal of Otalaryngology Compounds. (Mensi,2013) Efeknya
hadir setelah 40 tahun atau lebih sejak paparan pertama dan berlanjut setelah
penghentian dari paparan tersebut. (Barnes, 2005)

36
Karsinogenik lainnya yang diduga menjdi penyebab kanker sinonasal
adalah formaldehida, diisopropil sulfat dan sulfida dichloroethyl. Hubungan yang
relatif lemah (resiko relatif dalam kisaran 2-5), tetapi asosiasi konsisten telah
ditunjukkan antara merokok tembakau dan kanker sinonasal, pada karsinoma sel
skuamosa tertentu. Terpapar thorotrast, salah satu agen kontras radioaktif,
merupakan faktor risiko tambahan. (Barnes, 2005, Youlden, 2013)

Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya.
Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor
membesar, mendorong atau hingga menembus dinding tulang dan meluas ke
rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita.
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikatagorikan sebagai berikut.
1. Gejala Nasal, gejala nasal berupa obstuksi hidung unilateral dan rinorea.
Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang membesar
dapat mendorong tulang hidung hingga terjadi deformitas hidung. Pada tumor
ganas khas pada sekret yang berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala Orbital, meluasnya tumor ke arah orbita akan menimbulkan gejala
seperti; diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan
visus dan epifora.
3. Gejala Oral, perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan
atau ulkus di palatum atau prosessus alveolaris. Pasien sering datang ke dokter
gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah
dicabut.
4. Gejala Fasial, perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan
di pipi. Disertai nyeri, anastesia atau parestesia muka jika mengenai nervus
trigeminus.
5. Gejala Intrakranial, perluasan tumor ke intrakranial, akan menyebabkan
sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai dengan
likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan hingga ke
fossa kranii media maka saraf- saraf kranial lainnya juga terkena. Jika tumor
meluas ke belakang, akan terjadi trismus akibat terkenanya muskulus

37
pteroigoideus disertai anestesia dan parestesi daerah yang diper-syarafi nervus
maksilaris dan mandibularis.
Biasanya pasien akan datang dengan kondisi tumor sudah dalam fase
lanjut. Hal lain yang juga menyebabkan diagnosis terlambat adalah karena gejala
dininya mirip dengan rinitis atau sinusitis kronis sehingga sering diabaikan pasien
maupun dokter. (Roezin, 2007)
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Hal yang
perlu ditanyakan adalah hiperestesia atau anestesia di daerah pipi, adanya massa
atau radang di daerah muka, mati rasa (kebas) atau keluhan gigi goyang, adakah
gigi palsu yang tidak terfiksasi dengan baik lagi, penglihatan ganda, kesulitan
membuka mulut, keluhan hidung tersumbat, sekret atau mengeluarkan darah,
keluhan nyeri kepala, perubahan keperibadian, gangguan penciuman atau
keluarnya air mata terus menerus. (Muniandy, 2014)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan penekanan
pada regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, juga harus dilakukan
endoskopi nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa (kebas) atau
hypesthesia syaraf infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) secara kuat merupakan
sangkaan invasi keganasan. Temuan-temuan lain seperti proptosis, kemosis,
kelemahan otot ekstraokular, dan adanya massa di pipi, gingival atau sulkus
gingivobuccal juga sangkaan adanya tumor sinonasal. (Salim, 2011)
Pada waktu memeriksa, perhatikan wajah pasien apakah ada asimetri
atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata. Jika
mata terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus maksila dan jika ke bawah
dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid. Selanjutnya
periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan
posterior. Deskripsi massa sebaik mungkin, apakah permukaanya licin,
merupakan pertanda tumor jinak atau permukaan berbenjol, rapuh dan mudah
berdarah, merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi
terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Untuk memeriksa

38
rongga oral, disamping inspeksi lakukanlah palpasi dengan memakai sarung
tangan, palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan
atau gigi goyah. (Roezin, 2007)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi modern memainkan peranan penting dalam
evaluasi tumor sinonasal.
Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada foto
polos untuk menilai struktur tulang sinus paranasal. Pasien dengan riwayat
terpapar karsinogen, nyeri persisten berat, neuropati kranial, eksoftalmus,
kemosis, penyakit sinonasal dan dengan simtom persisten setelah pengobatan
medis yang adekuat seharusnya dilakukan dengan pemeriksaan CT-scan axial dan
coronal dengan kontras atau magnetic resonance imaging ( MRI ). CT-scan
merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktur sinonasal dan
dasar tulang tengkorak. Untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya
dengan arteri karotid maka penambahan kontras perlu dilakukan. (Salim, 2011)
MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan jaringan
lunak, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying
lesion, menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan gambaran
pada potongan sagital, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi.
Gambaran potongan coronal menggunakan MRI terdepan untuk mengevaluasi
foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan optic canal. Potongan sagital
berguna untuk menunjukan replacement signal berintensitas rendah yang normal
dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam pterygopalatine
fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak. (Salim, 2011)

Positron emission tomography (PET) sering dignakan untuk keganasan


kepala dan leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan
ditambah dengan anatomic detail membantu perencnaan pembedahan dengan cara
melihat luasnya tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai
keganasan kepala dan leher tetapi sangat sedikit kegunaannya untuk menilai
keganasan pada nasal dan sinus paranasal. (Salim, 2011)

39
Pemeriksaan Patologi
Diagnosis dari tumor ganas sinonasal ini dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga hidung atau rongga
mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus
maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi
Caldwell-Luc yang inisiasinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Jika dicurigai
tumor vaskuler, misalnya hemangioma atau angiofibroma, jangan lakukan biopsi
karena akan sangat sulit menghentikan pendarahan yang terjadi. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan angiografi. (Roezin, 2007)
Tumor Ganas Regio Sinus dan Nasal ( Sinonasal )
Tipe histologi utama yang sering ditemukan pada tumor ganas sinonasal
terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau karsinoma epidermoid, disusul oleh
karsinoma tanpa diferensiasi (undifferentiated carcinoma), limfoma maligna,
adenokarsinoma terutama berasal dari kelenjar salivari minor atau disebut juga
Schneiderian carcinoma dan melanoma maligna.(Roezin, 2007, Salim, 2011)
Karsinoma Sel Skuamosa
Sebuah neoplasma ganas yang berasal dari epitel epitel mukosa rongga
hidung atau sinus paranasal yang mencakup keratinisasi dan jenis non-
keratinisasi. Karsinoma sel skuamosa sinonasal jarang, terhitung <1% dari tumor
ganas dan hanya sekitar 3% dari keganasan kepala dan leher. Penyakit ini
tampaknya lebih umum terjadi di Jepang daripada di Barat hal ini sangat jarang
terjadi pada anak-anak, dan laki-laki lebih sering terkena (sekitar 1,5 kali)
dibandingkan wanita. (Barnes, 2005) Sinus maksila adalah yang paling sering
terkena (65%-80%), disusul sinus etmoid (15%-25%), nasal cavity / rongga
hidung (24%), sedangkan sinus sfenoid dan frontal jarang terkena. (Roezin, 2007)
Gejala termasuk seperti hidung terasa penuh, hidung tersumbat, atau obstruksi;
epistaksis; rinorea; rasa nyeri; parestesia; kepenuhan atau
pembengkakan pada hidung atau pipi atau tonjolan palatal; yang terus-menerus
atau non-penyembuhan hidung sakit atau ulkus; massa hidung; atau, pada kasus
lanjut, proptosis, diplopia, atau lakrimasi. Studi Radiologi seperti CT scan atau
MRI dapat menggambarkan luasnya lesi, kehadiran invasi tulang, dan ekstensi

40
untuk struktur tetangga seperti orbit, pterygopalatine atau ruang infratemporal.
(Barnes, 2005)
Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic,
fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau
indurated, demarcated atau infiltratif. (Salim, 2011)

Keratinizing Squamous Cell Carcinoma


Tumor ini secara histologis identik dengan karsinoma sel skuamosa dari
lokasi mukosa lainnya di kepala dan leher. Ada bukti histologis diferensiasi
skuamosa, dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma
merah muda, sel dyskeratotic) atau intercellular bridge. Sel tumor umumnya
berikatan satu sama lainnya dan membentuk seperti susunan ubin mozaik. Tumor
disusun dalam suatu sarang, massa, atau kelompok kecil dari sel-sel atau sel-sel
individual. Invasi terjadi sebagai proyeksi tumpul atau compang-camping, helai
teratur. Sering kali ada reaksi stromal demoplastik. Karsinoma ini dinilai berupa
differensiasi baik, sedang dan buruk. (Barnes, 2005)
Non- Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Tumor ini adalah tumor yang khas dari saluran sinonasal, ditandai
dengan plexiform atau ribbon-like pattern. Tumor ini menginvasi ke jaringan
bagian bawah secara halus dengan batas yang tegas. Tumor ini dinilai dengan
differensiasi sedang atau buruk. Differensiasi buruk sulit dikenali sebagai
skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau karsiomna
neuroendokrin.(Barnes, 2005)
2.8.2 Undifferentiated Carcinoma
Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang
ditemukan, perkembangannya sangat agresif di daerah lokal, regional, metastasis
jauh dan tingkat kelangsungan hidup yang buruk bagi penderita (Day, 2005).
Undifferentiated carcinoma berupa massa yang cepat memperbesar sering
melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan melampaui batas-batas
anatomi dari saluran sinonasal. (Salim , 2011) Pasien biasanya memiliki beberapa
gejala pada hidung/ sinus paranasal. Durasi yang relatif singkat, termasuk
sumbatan hidung, epitaksis, proptosis, pembengkakan periorbital, diplopia, nyeri
wajah, dan gejala pada saraf cranial. (Barnes, 2005)

41
Gambaran mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan pola
pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita,
lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk
bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti
menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis
meningkat dengan gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis.
Pemeriksaan tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologi
molekuler seringkali diperlukan dalam diagnosis undifferentiated carcinoma dan
dapat membedakan keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya. (Salim , 2011)
Limfoma Maligna

Limfoma maligna ini dikarakteristikkan dengan adanya infiltrat


limfomatosa difus yang meluas ke mukosa nasal dan sinus paranasal, dengan
pemisahan yang luas dan destruksi mukosa kelenjar sehingga memperlihatkan
adanya clear cell change. Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic bodies selalu
ditemukan. Dinding pembuluh darah angiosentrik, angiodestruksi dan deposit
fibrinoid. Ukuran sel-sel limfoma berbeda-beda mulai dari kecil, sedang hingga
berukuran besar. Sel-sel memiliki sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada
sitoplasmanya yang dapat dilihat dengan pewarnaan Giemsa Beberapa kasus
berhubungan dengan infiltrat inflamatori yang mengandung limfosit kecil,
histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil. Terkadang hiperplasia
pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat ditemukan, menyerupai
karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik (Barnes, 2005).
Adenokarsinoma

Sinonasal adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan


tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14%
dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan
neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40
hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus
aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid.
Simtom primer berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan
deformasi dan/atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya (Salim,

42
2011) Adenokarsinoma menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu sessile, papilari
dan alveolar mucoid. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak
jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis. Prognosis jelek
dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa
adanya metastasis. (Salim,2011)
Melanoma Maligna

Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang


signifikan antara pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin.
Secara makroskopik, massa polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-
biruan pada 45% kasus. Di dalam kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan
melanoma maligna ini adalah daerah posterior septum nasal diikuti dengan
turbinate medial dan inferior. Tumor menyebar melalui aliran darah atau limfatik.
Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal. (Myers,
1989).
Klasifikasi TNM dan Sistem Staging
Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas
yang digunakan di Indonesia, klasifikasi UICC (Union for International Cancer)
dan AJCC (American Joint Committee on Cancer) yang hanya berlaku untuk
karsinomadi sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk sinus
sfenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang
ditemukan.(Roezin, 2007)
Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru
adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu:

Tumor Primer (T)


Sinus maksilaris
TX Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi tulang

43
T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa
pterigoid
T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan
subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis
T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa
infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa kranial
medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus trigeminal V2,
nasofaring atau klivus (Salim, 2011).
Metastasis ke kelenjar limfa leher regional dikatagorikan dengan :
N0 Tidak ditemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional
N1 Metastasis ke kelenjar limfa leher dengan ukuran diameter terbesar kurang
atau sama dengan 3 sentimeter
N2 Diameter terbesar lebih dari 3 sentimeter dan kurang dari 6 sentimeter
N3 Diameter terbesar lebih dari 6 sentimeter
M0 Tidak ada metastasis
M1 Ada metastasis
Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini
(stadium I dan II), stadium lanjut (stadium III dan IV). Lebih dari 90% pasien
datang dalam keadaan stadium lanjut dan sulit untuk menentukan asal tumor
primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal sudah terkena tumor.
(Roezin, 2007)
Penatalaksanaan
Pembedahan
Drainage/Debriment
Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dibuka pada
pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi
sebagai pengobatan primer. (Salim, 2011)
2.10.1.2 Resection
Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif.
Palliative excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk

44
dekompresi cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi massif,
atau untuk membebaskan penderita dari rasa malu. Pembedahan merupakan
penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan angka
ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86%. (Salim, 2011)
Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,
intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan material
untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus
paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional
open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam
rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen
section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor. (Salim, 2011)

Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer,
memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah
kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi
pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap
seperti flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau
microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap. (Salim, 2011)

Terapi Radiasi
Respon dari tumor sinonasal tract terhadap terapi radiasi dapat berbeda-
beda tergantung dari jenis tumornya. Terapi radiasi bisa menjadi modalitas
tunggal, sebagai kombinasi dengan kemoterapi, membantu terapi setelah operasi
maupun dalam faliatif terapi (Day, 2013). Sel-sel tumor yang sedikit dapat
dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan
penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan. (Salim, 2011)
Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya
paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan
penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin
intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada
pasien dengan karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar
53%. Pasien yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang

45
menolak untuk dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi
dan kemoterapi. (Salim, 2011)

Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal, cara tepat dan akurat.
Faktor-faktor tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan
tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi ajuvan yang
diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian pengobatan yang
agresif secara multimodalitas akan memberikan hasi yang terbaik dalam mengontrol
tumor primer dan akan meingkatkanangka bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 75%
untuk seluruh stadium tumor. (Roezin, 2007).

3.GANGGUAN TENGGOROKAN

A.INFEKSI

1.FARINGITIS
PENGERTIAN FARINGITIS
Faringitis ( pharyngitis) adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang tenggorok atau
faring yang disebabkan oleh bakteri atau virus tertentu. Kadang juga disebut sebagai radang
tenggorok.

KLASIFIKASI

Secara umum faringitis dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Faringitis Akut

Faringitis virus atau bakterialis akut adalah penyakit yang sangat penting. Beberapa usaha
dilakukan pada klasifikasi peradangan akut yang mengenai dinding faring. Yang paling logis
untuk mengelompokkan sejumlah infeksi-infeksi ini dibawah judul yang relatif sederhana
“Faringitis Akut”. Disini termasuk faringitis akut yang terjadi pada pilek biasa sebagai akibat
penyakit infeksi akut seperti eksantema atau influenza dan dari berbagai penyebab yang tidak
biasa seperti manifestasi herpesdan sariawan.

46
2. Faringitis Kronis

a. Faringitis Kronis Hiperflasi

Pada faringitis kronis hiperflasi terjadi perubahan mukosa dinding posterior. Tampak mukosa
menebal serta hipertofi kelenjar limfe di bawahnya dan di belakang arkus faring posterior (lateral
band). Dengan demikian tampak mukosa dinding posterior tidak rata yang disebut granuler.

b. Faringitis Kronis Atrofi (Faringitis sika)

Faring kronis atrofi sering timbul bersama dengan rinitis atrofi.Pada rinitis atrofi udara
pernapasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta
infeksi faring.

c. Faringitis Spesifik

1) Faringitis Luetika

a) Stadium Primer

Kelainan pada stadium ini terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil, dan dinding faring
posterior.Kelainan ini berbentuk bercak keputihan di tempat tersebut.

b) Stadium Sekunder

Stadium ini jarang ditemukan.Pada stadium ini terdapat pada dinding faring yang menjalar ke
arah laring.

c) Stadium Tersier

Pada stadium ini terdapat guma.Tonsil dan pallatum merupakan tempat predileksi untuk
tumuhnya guma.Jarang ditemukan guma di dinding faring posterior.

2) Faringitis Tuberkulosa

Kuman tahan asam dapat menyerang mukosa palatum mole, tonsil, palatum durum, dasar lidah
dan epiglotis. Biasanya infeksi di daerah faring merupakan proses sekunder dari tuberkulosis
paru, kecuali bila terjadi infeksi kuman tahan asam jenis bovinum, dapat timbul tuberkulosis
faring primer.

47
ETIOLOGI
a.      Virus
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis. Beberapa jenis virus ini yaitu:
·         Rhinovirus
·         Coronavirus
·         Virus influenza
·         Virus parainfluenza
·         Adenovirus
·         Herpes Simplex Virus tipe 1 dan 2
·         Coxsackievirus A
·         Cytomegalovirus
·         Virus Epstein-Barr
·         HIV
 b.      Bakteri
Beberapa jenis bakteri penyebab faringitis yaitu:
·         Streptoccocus pyogenes, merupakan penyebab terbanyak pada faringitis akut
·         Streptokokus grup A, merupakan penyebab terbanyak pada anak usia 5 – 15 tahun,
·         Streptokokus grup C dan G
·         Neisseria gonorrheae
·         Corynebacterium diphtheriae
·         Corynebacterium ulcerans
·         Yersinia enterocolitica
·         Treponema pallidum

EPIDEMIOLOGI
Anak rata-rata terdapat 5 kali infeksi saluran pernafasan bagian atas dan pada orang dewasa
hampir separuhnya. Kasus Faringitis akut  di Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2010 sebesar 5.305
kasus. Di USA, faringitis terjadi lebih sering terjadi pada anak-anak daripada pada dewasa.
Sekitar 15 – 30 % faringitis terjadi pada anak usia sekolah, terutama usia 4 – 7 tahun, dan sekitar
10%nya diderita oleh dewasa. Faringitis ini jarang terjadi pada anak usia <3 tahun. Penyebab
tersering dari faringitis ini yaitu streptokokus grup A, karena itu sering disebut faringitis GAS
(Group AStreptococci). Bakteri penyebab tersering yaitu Streptococcus pyogenes. Sedangkan,

48
penyebab virus tersering yaitu rhinovirus dan adenovirus. Masa infeksi GAS paling sering yaitu
pada akhir musim gugur hingga awal musim semi.Faringitis kronis umumnya terjadi pada
individu dewasa yang bekerja di suasana berdebu, menggunakan suara berlebihan, batuk kronis,
pengguna alkohol dan tembakau, Inhalasi uap yang merangsang mukosa faring. Pasien yang
bernafas melalui mulut karna hidungnya tersumbat

PATOFISIOLOGI
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara langsung menginvasi
mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi,
kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal
dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan
hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna
kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel
limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi
meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal. Infeksi streptococcal
memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan extracellular toxins dan protease
yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Group A
streptococcus memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada myocard dan dihubungkan
dengan demam rheumatic dan kerusakan katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan akut
glomerulonefritis karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-
antibodi.

GEJALA
Baik pada infeksi virus maupun bakteri, gejalanya sama yaitu nyeri tenggorokan dan nyeri
menelan. Selaput lendir yang melapisi faring mengalami peradangan berat atau ringan dan
tertutup oleh selaput yang berwarna keputihan atau mengeluarkan nanah. Gejala lainnya adalah:

1. Demam

2. Pembesaran kelenjar getah bening di leher

49
3. Peningkatan jumlah sel darah putih.

Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus maupun bakteri, tetapi lebih merupakan
gejala khas untuk infeksi karena bakteri.

Kenali gejala umum radang tenggorokan akibat infeksi virus sebagai berikut:

1. Rasa pedih atau gatal dan kering.

2. Batuk dan bersin.

3. Sedikit demam atau tanpa demam.

4. Suara serak atau parau.

5. Hidung meler dan adanya cairan di belakang hidung.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

·         Kultur swab tenggorokan; merupakan tes gold standard. Jenis pemeriksaan ini sering
dilakukan. Namun, pemeriksaan ini tidak bisa membedakan fase infektif dan kolonisasi, dan
membutuhkan waktu selama 24 – 48 jam untuk mendapatkan hasilnya.

·  Tes infeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.

·  Tes Monospot, merupakan tes antibodi heterofil. Tes ini digunakan untuk mengetahui adanya
mononukleosis dan dapat mendeteksi penyakit dalam waktu 5 hari hingga 3 minggu setelah
infeks.

· Tes deteksi antigen cepat; tes ini memiliki spesifisitas yang tinggi namun sensitivitasnya
rendah.

·  Heterophile agglutination assay.

50
PENATALAKSANAAN
·         Penicillin benzathine; diberikan secara IM dalam dosis tunggal

·         Penicillin; diberikan secara oral

·         Eritromisin

·         Penicillin profilaksis, yaitu penicillin benzathine G; diindikasikan pada pasien dengan

risiko demam reumatik berulang

Sedangkan, pada penyebab virus, penatalaksanaan ditujukan untuk mengobati gejala,


kecuali pada penyebab virus influenza dan HSV. Beberapa obat yang dapat digunakan yaitu:
·         Amantadine

·         Rimantadine

·         Oseltamivir

·         Zanamivir; dapat digunakan untuk penyebab virus influenza A dan B

·         Asiklovir; digunakan untuk penyebab HSV

KOMPLIKASI

·Demam scarlet, yang ditandai dengan demam dan bintik kemerahan

·Demam reumatik, yang dapat menyebabkan inflamasi sendi atau kerusakan pada katup jantung.
Pada negar berkembang, sekitar 20 juta orang mengalami demam reumatik akut yang
mengakibatkan kematian.Demam reumatik merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dari
faringitis.

· Glomerulonefritis; Komplikasi berupa glomerulonefritis akut merupakan respon inflamasi


terhadap protein M spesifik. Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk berakumulasi pada
glomerulus ginjal yang akhirnya menyebabkan glomerulonefritis ini.

51
·         Abses peritonsilar biasanya disertai dengan nyeri faringeal, disfagia, demam, dan
dehidrasi.

·         Shok

PENCEGAHAN

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah faringitis yaitu:

· Hindari penggunaan alat makan bersama pasien yang terkena faringitis, memiliki demam,
flu, atau mononukleosis

·Mencuci tangan secara teratur

· Tidak merokok, atau mengurangi pajanan terhadap asap rokok

·Menggunakan pelembab ruangan jika ruangan kering

PROGNOSIS

Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik. Pasien dengan faringitis biasanya

sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

B.NON INFEKSI

1. Hipertrofi Adenoid

DEFINISI

Hipertrofi adenoid adalah suatu kondisi obstruktif yang berkaitan dengan pembesaran kelenjar
adenoid. Hipertrofi adenoid bersifat nonfisiologis dan merupakan kelainan yang sering
menyebabkan obstruksi saluran napas pada anak

EPIDEMIOLOGI

Indonesia

Hingga saat ini belum ada data yang dapat memaparkan angka kejadian hipertrofi adenoid secara
pasti di Indonesia. Penelitian yang dilakukan di RS Dr. Saiful Anwar Malang menunjukkan

52
kejadian hipertrofi adenoid pada anak paling banyak terjadi pada usia 5-10 tahun dan 70,8%
penderita berjenis kelamin laki-laki.

Penelitian serupa yang dilakukan di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung juga menunjukkan hasil
serupa. Sebanyak 63.6% penderita hipertrofi adenoid berjenis kelamin laki-laki. Pada kelompok
dewasa, predileksi penyakit lebih banyak dialami usia 20-29 tahun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa umumnya penderita hipertrofi adenoid dewasa juga memiliki faktor
predisposisi berupa rhinitis alergi dan refluks laringofaring
ETIOLOGI INFEKSI
Etiologi infeksi berkaitan dengan proses infeksi yang terjadi secara kronis dan berulang sehingga
menyebabkan aktivasi respon imun yang juga bersifat kronis. Infeksi bakteri yang berkaitan
dengan hipertrofi adenoid adalah Streptococcus sp, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis, dan Staphylococcus aureus. Selain bakteri, beberapa jenis virus, seperti Epstein-barr
virus, Human Bocovirus (HBoV), Human Papilomavirus jenis WUPyV dan KIPyV juga berperan
dalam menyebabkan hipertrofi adenoid. Pada usia dewasa, infeksi Human Immunodeficiency
virus  dapat menyebabkan hipertrofi reaktif pada adenoid

PATOFISIOLOGI HIPERTROFI ADENOID

Reaksi imun memegang peranan penting dalam patofisiologi hipertrofi adenoid. Proses penyakit
diawali dengan adanya stimulus berulang dan kronis yang dicetuskan oleh agen patogen.
Stimulus akan mengaktivasi sel monosit dan makrofag, serta meningkatkan produksi sitokin.
Peningkatan produksi sitokin menyebabkan stimulasi sistem imun dan proliferasi sel endotel dan
fibroblas. Akibatnya, terjadi hiperplasia pada parenkim dan degenerasi fibrinoid yang berujung
pada obstruksi kripta. Adenoid yang mengalami hipertrofi memiliki jaringan limfoid dan fibrotik
lebih banyak dibandingkan yang berukuran normal.

Secara histologi, jaringan adenoid yang mengalami hipertrofi memiliki jumlah limfosit, serta
ukuran dan jumlah pusat germinal yang lebih besar yang berimplikasi pada bertambahnya jumlah
sel limfosit.

DIAGNOSIS HIPERTROFI ADENOID

Anamnesis

53
Pada anamnesis, pasien dengan hipertrofi adenoid dapat mengeluhkan gejala obstruktif, seperti
hidung tersumbat, lebih sering menggunakan mulut dibandingkan hidung untuk bernapas, rasa
tidak nyaman di telinga terkait dengan disfungsi tuba Eustachius, dan mendengkur saat tidur.
Keluhan lain dapat berupa kesulitan makan, suara napas yang kencang, sering terbangun saat
tidur pada malam hari, hipersomnolens, night terror, serta perubahan perilaku dan gangguan
prestasi sekolah.

PENATALAKSANAAN HIPERTROFI ADENOID

Penatalaksanaan hipertrofi adenoid dapat terbagi menjadi dua, yaitu tata laksana farmakologi dan
tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami gangguan tidur akibat obstruksi jalan napas.

Farmakologi

Tata laksana farmakologi pada hipertrofi adenoid dapat menggunakan antibiotik, steroid, dan
antileukotrien.

PROGNOSIS HIPERTROFI ADENOID

Prognosis hipertrofi adenoid ditentukan oleh derajat, durasi penyakit, adanya komorbid, serta
kondisi sosial ekonomi.

Komplikasi
Kondisi hipertrofi adenoid yang berkepanjangan, melebihi 2 tahun, terbukti dapat menyebabkan
gangguan pada fungsi respirasi yang ditunjukkan dengan perburukan FEV dan FEV/FVC dalam
pemeriksaan spirometri.

54
55

Anda mungkin juga menyukai