Anda di halaman 1dari 36

IMPLEMENTASI BODY MAPPING PADA PELATIHAN POLA ASUH

ANAK PADA MASYARAKAT

MAKALAH
Diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Pengembangan dan Pengorganisasian
Masyarakat Kelas D

Disusun oleh Kelompok 4 :


1. Rizana Bilqis Amalia 142110101088
2. Dewi Anggraeni 152110101036
3. Dinda Masitha Aulia 142110101117
4. Andita Rizky Riswanda 142110101175
5. Lutfiya Tyas Pratiwi 142110101101
6. Jannis Sherly Shauma R 152110101216
7. M. Fakhry Asa Fazary 142110101146
8. Aulia Syamsita Ariuswati 152110101119
9. Zilfani Fuadiyah Haq 142110101196
10. Rizky Titah Alfiana 142110101135
11. Galih Kusuma Wardhana 142110101056
12. Rias Ekasari 142110101065
13. Rosyid Wahyu Wijamarso 142110101012

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS JEMBER

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Implementasi Body
Mapping Pada Pelatihan Pola Asuh Anak Pada Masyarakat sebagai tugas mata kuliah
Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang
yang tegak di atas agama-Nya hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada :

1. Mury Ririanty, S.KM, M.Kes., Iken Nafikadini, S.KM., M.Kes., Dr. Elfian
Zulkarnain, S.KM., M.Kes., selaku dosen pembimbing mata kuliah
Pengembangan & Pengorganisasian Masyarakat kelas D yang selama ini
telah tulus dan ikhlas membimbing kami.
2. Orang tua kami, atas segala restu dan dukungannya;

3. Teman-teman, atas segala bentuk bantuannya.


Makalah ini telah kami susun dengan optimal, namun tidak menutup
kemungkinan adanya kekurangan, oleh karena itu kami dengan tangan terbuka
menerima masukan yang membangun. Semoga tulisan ini berguna bagi semua pihak
yang memanfaatkannya.

Jember, 24 Mei 2017

Penulis

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i

Daftar Isi……………………………………………………………………………...ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………...1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………..…….……..2

1.3 Tujuan…………………………………………………………………………2

1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………………….2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………4

2.1 Pola Asuh…………………………………………………………………….4


2.1.1 Definisi Pola Asuh…………………………………………………………….4
2.1.2 Dimensi Pola Asuh……………………………………………………………4
2.1.3 Jenis-Jenis Pola Asuh…………………………………………………………6
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh……………………………….8
2.1.5 Hak-Hak Anak Menurut KHA……………………………………………….10
2.1.6 Dampak Pola Asuh yang Salah………………………………………………19
2.2 Keluarga……………………...………………………………………………23
2.2.1 Definisi Keluarga…………………………………………………………….23
2.2.2 Fungsi Keluarga……………………………………………………………24
BAB III PEMBAHASAN.........................................................................................26
3.1 Implementasi Body Mamping sebagai Curah Pendapat……………………26
3.1.1 Sasaran Kegiatan…………………………………………………………….26
3.1.2 Tujuan Kegiatan……………………………………………………………26
3.1.3 Pelaksanaan…………………………………………………………………..28

ii
3.1.4 Manfaat Kegiatan…………………………………………………………….28
3.2 Implementasi Body Maping sebagai Tools………………………………….29
3.2.1 Sasaran Kegiatan…………………………………………………………….29
3.2.2 Tujuan Kegiatan….…………………………………………………………..29
3.2.3 Tahap Pelaksanaan…………………………………………………………...29
3.2.4 Manfaat Kegiatan…………………………………………………………….30
BAB IV PENUTUP……………………………………………………………….31

4.1 Kesimpulan……………………………………………………………..……31

4.2 Saran………………………………………………………………………....31

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................iii

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini banyak bermunculan kasus-kasus kekerasan terhadap anak baik
yang ditayangkan lewat media televisi maupun media cetak. Jenis kekerasan yang
menonjol ada dua yaitu kekerasan fisik dan ekonomi. Namun pada dasarnya kedua
jenis ini saling berkaitan satu sama lain, disamping juga bisa menjadi menjadi
hubungan sebab-akibat. Kekerasan fisik yang banyak dijumpai seperti pemukulan
terhadap anak, penyiksaan lain dengan membakar anak dan sebagainya. Hal ini tentu
mengundang keprihatinan yang mendalam. Penyebabnya terkadang sepele, ketika
orang tua jengkel karena si anak terus saja merengek meminta uang jajan, maka dari
situlah si orang tua kemudian naik pitam yang berujung pada penyiksaan fisik pada
anak. Apabila dirunut lebih jauh, krisis ekonomi yang berkepanjangan turut
menyebabkan kondisi ini terjadi. Belum lagi ditambah dengan kebijakan mengenai
kenaikan BBM yang dalam satu tahun telah terdapat 2 (dua) kali kenaikan. Implikasi
lebih jauh, rakyat semakin menjerit terutama dari kalangan menengah ke bawah.
Terlebih lagi bagi masyarakat yang hidupnya hanya mengandalkan pada penghasilan
seadanya seperti dari hasil si anak bekerja seperti dengan mengamen, menyemir
sepatu. Bahkan saat ini banyak anak kecil yang masih sangat dini usianya sudah
berkeliaran di perempatan jalan tepatnya di dekat traffic light, mereka
menengadahkan tangan menunggu beberapa rupiah dari para pengguna jalan.
Sementara si orang tua terkadang berada di pinggir trotoar jalan menunggu sampai si
anak mendapatkan uang yang diinginkannya.
Si anak hanya tahu bahwa ia harus selalu menuruti apa yang diperintahkan
oleh orang tuanya. Tanpa keluhan si anak terus saja mengemis tanpa tahu bahwa ia
sebenarnya mempunyai hak untuk menikmati masa kecilnya. Masa kanak-kanaknya
terampas oleh kejamnya perjuangan menghadapi hidup di bawah bayang-bayang
orang tua. Dunia anak yang semestinya diisi dengan bermain, justru diganti dengan
berpanas-panas di tengah jalan raya. Setiap hari pemandangan anak yang mengamen
silih berganti dengan para orang tua dan dewasa.

1
Dalam mengembangkan anak untuk menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas diperlukan persiapan dan perlakuan terhadap anak secara tepat sesuai
dengan kondisi anak. Sebagai manusia, setiap anak mempunyai ciri individual yang
berbeda satu dengan yang lain. Di samping itu setiap anak yang lahir di dunia ini
berhak hidup dan berkembang semaksimal mungkin sesuai dengan kondisi yang
dimilikinya. Untuk dapat memberi kesempatan berkembang bagi setiap anak
diperlukan pola asuh yang tepat dari orang tuanya, hal ini mengingat anak adalah
menjadi tanggung jawab orang tuanya baik secara fisik, psikis maupun sosial.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimana proses penerapan body mapping dalam pelatihan pola asuh anak pada
masyarakat?

1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui proses body mapping dalam pelatihan pola asuh anak pada
masyarakat.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui proses body mapping sebagai curah pendapat.
2. Mengetahui proses body mapping sebagai tool.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi Penulis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan informasi penulis mengenai pola asuh harapan.
1.4.2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi masyarakat
terutama orang tua mengenai pola asuh anak yang sesuai.

2
1.4.3. Bagi FKM
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi
literatur di dunia akademik terutama untuk Fakultas Kesehatan
Masyarakat UNEJ dalam menganalisis pola asuh anak yang tepat.

3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Asuh


2.1.1. Definisi Pola Asuh
14. Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua
meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum  dan lain-
lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang,
perlindungan, dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku
dimasyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya.
Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan
anak dalam pendidikan karakter anak (Latifah, 2008).   
15. Pola asuh menurut Handayani (2008) adalah konsep dasar
tentang cara memperlakukan anak. Perbedaan dalam konsep ini adalah
ketika anak dilihat sebagai sosok yang sedang  berkembang, maka konsep
pengasuhan yang diberikan adalah konsep psikologi perkembangan.
Ketika konsep pengasuhan mempertahankan cara-cara yang tertanam di
dalam masyarakat maka konsep yang digunakan adalah tradisional.
 
2.1.2 Dimensi Pola Asuh
16. Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola
asuh terbentuk dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu:
a. Acceptance/Responsiveness
17. Menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada
anaknya berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua yang
mengacu pada beberapa aspek, yaitu:
1. Sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan
anaknya
2. Sensitif terhadap emosi anak
3. Memperhatikan kesejahteraan anak

4
4. Bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama
5. Bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak
mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka.

Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh kasih


sayang dan sering tersenyum, memberi pujian, dan mendorong anak-anak
mereka. Mereka juga membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka
nakal atau berbuat salah. Orang tua kurang menerima dan responsif sering
kali cepat mengkritik, merendahkan, menghukum, atau mengabaikan
anak-anak mereka dan jarang mengkomunikasikan kepada anak-anak
bahwa mereka dicintai dan dihargai.

a. Demandingness/Control
18. Menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh
orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua.
Mengacu pada beberapa aspek yaitu:
1. Pembatasan
19. Orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha
orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan
memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak.
2. Tuntutan
20. Agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku,dan tanggung
jawab sosial sesuai dengan standar yang berlaku sesuai keinginan
orang tua.
3. Sikap ketat
21. Berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas dalam
menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang
tua tidak menghendaki anak membantah atau mengajukan
keberatan terhadap peraturan yang telah ditentukan
4. Campur tangan

5
22. Tidak adanya kebebasan bertingkah laku yang diberikan orang
tua kepada anaknnya. Orang tua selalu turut campur dalam
keputusan, rencana dan relasi anak, orang tua tidak melibatkan
anak dalam membuat keputusan tersebut, orang tua beranggapan
apa yang mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan
benar untuk anak.
5. Kekuasaan sewenang-wenang
23. Menggambarkan bahwa orang tua menerapkan kendali yang
ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang tua.

Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan orang tua,


mengharapkan anak-anak mereka untuk mengikuti mereka, dan
memantau anak-anak mereka dengan ketat untuk memastikan bahwa
aturan-aturan dipatuhi. Orang tua yang kurang dalam pengendalikan atau
menuntut (sering disebut orang tua permisif) membuat tuntutan yang
lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka memiliki banyak
kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan pendapat
mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan mereka
sendiri.

2.1.3 Jenis-jenis Pola Asuh


24. Jenis-jenis pola asuh menurut Baumrind (1991) (dalam Parke
& Locke, 1999) terdiri dari tiga tipe yaitu:
a. Pola Asuh Otoriter
25. Menurut Baumrind (dalam Parke & Locke) pola asuh otoriter
adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orangtua
atau kontrol yang ditujukan kepada anak untuk mendapatkan ketaatan
dan kepatuhan. Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku,
diktator, dan memaksa anak untuk selalu mengikuti orangtua tanpa
banyak alasan. Perilaku orangtua dalam berinteraksi dengan anak
bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap

6
aturan-aturan yang diberikan oleh orangtua tanpa merasa perlu
menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut,
serta cenderung mengekang keinginan anaknya. Pola asuh otoriter
dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia,
ketakutan, kurang inisiatif, selalu tegang, cenderung ragu, tidak
mampu menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk,
serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orang
tua.
b. Pola Asuh Demokratis
26. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya
hak dan kewajiban orang tua dan anak adalah sama dalam arti saling
melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan
perilakunya sendiri agar dapat berdiplin. Menurut Shochib (dalam
yuniati, 2003) orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis
banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk berbuat keputusan
secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak
untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit
menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Pola
asuh demokratis dihubungkan dengan tingkah laku anak-anak yang
memperlihatkan emosional positif, sosial, dan pengembangan kognitif.
c. Pola Asuh Permisif
27. Pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak
secara bebas, anak diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan
apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat
lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi
anaknya. Semua apa yang telah dilakukan oleh anak adalah benar dan
tidak perlu mendapatkan teguran, arahan atau bimbingan. (Hourlock
dalam Chabib Thoha. 1996 : 111-112). Dari sisi negatif lain, anak
kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak
mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab,

7
maka anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif dan
mampu mewujudkan aktualisasinya (Agus Dariyo. 2004: 97).

Tipe orang tua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung


selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama
sekali. Anak sedikit sekali dituntut untuk suatu tangung jawab, tetapi
mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan
untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur
anaknya. Ciri pola asuh ini adalah semua keputusan lebih banyak dibuat
oleh anak daripada orang tuanya. Sutari Imam Banadib (1986) (dalam St.
Aisyah. 2010:7) menyatakan bahwa orang tua yang permisif, kurang
tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada, dan anak
diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi
keinginannya.

2.1.4 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh


28. Darling (1999) mengatakan ada tiga faktor yang
mempengaruhi pola asuh, yaitu:
1. Jenis kelamin anak
29. Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua
mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya. Umumnya
orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak perempuan dan memberi
kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang
besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
2. Kebudayaan
30. Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola
asuh anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan
pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan.
3. Kelas sosial ekonomi

8
31. Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas
cenderung lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas
sosial ekonomi bawah yang cemderung autoritarian.

Sedangkan Santrock (1995: 240) menyebutkan ada beberapa faktor


yang mempengaruhi dalam pola pengasuhan antara lain :
1. Penurunan metode pola asuh yang didapat sebelumnya.
32. Orang tua menerapkan pola pengasuhan kepada anak
berdasarkan pola pengasuhan yang pernah didapat sebelumnya.
2. Perubahan budaya, yaitu dalam hal nilai, norma serta adat istiadat
antara dulu dan sekarang.

Pendapat di atas juga didukung Mindel (dalam Walker, 1992:3)


yang menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terbentuknya pola asuh orang tua dalam keluarga, diantaranya:
a. Budaya setempat
33. Dalam hal ini mencakup segala aturan, norma, adat dan budaya
yang berkembang di dalamnya.
b. Ideologi yang berkembang dalam diri orangtua
34. Orangtua yang mempunyai keyakinan dan ideologi tertentu
cenderung untuk menurunkan kepada anak-anaknya dengan harapan
bahwa nantinya nilai dan ideologi tersebut dapat tertanam dan
dikembangkan oleh anak dikemudian hari.
c. Letak geografis dan norma etis
35. Penduduk pada dataran tinggi tentu memiliki perbedaan
karakteristik dengan penduduk dataran rendah sesuai tuntutan dan
tradisi yang dikembangkan pada tiap-tiap daerah.
d. Orientasi religius

9
36. Orangtua yang menganut agama dan keyakinan religius
tertentu senantiasa berusaha agar anak pada akhirnya nanti juga dapat
mengikutinya.
e. Status ekonomi
37. Dengan perekonomian yang cukup, kesempatan dan fasilitas
yang diberikan serta lingkungan material yang mendukung cenderung
mengarahkan pola asuh orangtua menuju perlakuan tertentu yang
dianggap orangtua sesuai.
f. Bakat dan kemampuan orangtua
38. Orangtua yang memiliki kemampuan komunikasi dan
berhubungan dengan cara yang tepat dengan anaknya cenderung akan
mengembangkan pola asuh yang sesuai dengan diri anak.
g. Gaya hidup
39. Gaya hidup masyarakat di desa dan di kota besar cenderung
memiliki ragam dan cara yang berbeda dalam mengatur interaksi
orangtua dan anak.

2.1.5 Hak-hak Anak Menurut KHA


40. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23
Tahun 2002 menguraikan hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia
yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara. Wingjosoebroto menyatakan bahwa
hak asasi manusia adalah hak yang seharusnya diakui sebagai hak yang
melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat manusia, yang tiadanya
hak ini serta merta akan menyebabkan manusia tidak mungkin dapat
hidup harkat dan martabatnya sebagai manusia.2 Hak-hak anak
merupakan bagian integral dari HAM, berkaitan dengan peranan negara,
maka tiap negara mengembankan kewajiban yaitu melindungi (to
protect), memenuhi (to fulfill), dan menghormati (to respect) hak-hak
anak.

10
41. Di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 26 tentang
Kewajiban dan Tanggung Jawab keluarga dan Orang Tua dijelaskan
bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara,
mel\ndidik dan melindungi anaknya. Sedangkan di dalam pasal 31 ayat 2
Bab VI tentang Kuasa Asuh dijelaskan bahwa apabila salah satu orang
tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga tidak dapat
melaksanakan fungsinya maka kuasa asuh dapat dialaihkan kepada
lembaga yang berwenang. Pengasuhan oleh Lembaga dapat dilakukan di
dalam atau di luar Panti Sosial.
42. Hak-hak Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002Landasan hukum yang digunakan dalam melaksanakan
pemenuhanhak-hak anak bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara
republik IndonesiaTahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak
Anak yang disahkan tahun1990 kemudian diserap ke dalam Undang-
Undang no 23 tahun 2002. Berdasarkansesuatu yang melekat pada diri
anak tersebut yaitu hak yang harus dilindungi dandijaga agar berkembang
secara wajar. Terdapat empat prinsip utama yang terkandung di dalam
Konvensi Hak Anak, prinsip-prinsip ini adalah yang kemudian diserap ke
dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang disebutkan secara
ringkas pada pasal 2.
Secara lebih rinci Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip non diskriminasi.
43. Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam
Konvensi HakAnak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa
pembedaan apapun.Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak
Anak, yakni : Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin
hak-hak yangditerapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang
berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk
apapun, tanpamemandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pandanganpolitik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul

11
kebangsaan, etnikatau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak,
kelahiran atau statuslainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang
tua atau walinya yang sah”. (Ayat 1). “Negara-negara peserta akan
mengambil semua langkahyang perlu untuk menjamin agar anak
dilindungi dari semua bentukdiskriminasi atau hukuman yang
didasarkan pada status, kegiatan,pendapat yang dikemukakan atau
keyakinan dari orang tua anak,walinya yang sah atau anggota
keluarga”. (Ayat 2).
2. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child).
44. Yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak
yangdilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah
ataubadan legislatif. Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak
harusmenjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1).
3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to
life, survival and development).Yakni bahwa negara-negara peserta
mengakui bahwa setiap anakmemiliki hak yang melekat atas
kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwa negara-negara
peserta akan menjamin sampai batas maksimalkelangsungan hidup dan
perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2).
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of
the child). Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika
menyangkut hal-hal yangmempengaruhi kehidupannya, perlu
diperhatikan dalam setiappengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang
dalam Pasal 12 ayat 1Konvensi Hak Anak, yaitu: Negara-negara
peserta akan menjamin agaranak-anak yang mempunyai pandangan
sendiri akan memperoleh hakuntuk menyatakan pandangan-
pandangannya secara bebas dalam semuahal yang mempengaruhi
anak, dan pandangan tersebut akan dihargaisesuai dengan tingkat usia
dan kematangan anak.

12
Penegasan hak anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 ini
merupakanlegalisasi hak-hak anak yang diserap dari KHA dan norma
hukum nasional.Dengan demikian, Pasal 4 s/d 19 UU No. 23 tahun 2002
menciptakan normahukum (legal norm) tentang apa yang menjadi hak-
hak anak. Hak anak atashidup, tumbuh kembang, perlindungan dan
partisipasi secara wajar.

Pada pasal 4 disebutkan bahwa “Setiap anak berhak untuk dapat


hidup,tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat danmartabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dandiskriminasi”. Dapat dikatakan, Pasal 4 ini merupakan
primary laws (normahukum utama), yang menjadi inspirasi bagi norma
hukum dalam pasal lainnya, yang secara teoritis dapat disebut sebagai
secondary laws. Karenanya, Hak hidup sebagai hak yang tidak dapat
diabaikan dalam keadaan apapun, termasuk situasidarurat (emergency).

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 diatur mengenai hak dan


kewajibananak yang tercantum dalam Pasal 4 s/d pasal 19. Secara lebih
perinci hak-hakanak dalam UU Nomor 23 tahun 2002 adalah sebagai
berikut:

1. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara


wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapatperlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).
Sejalan denganKHA, hak hidup bagi anak ini, dalam wacana
instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal,
dan dikenali sebagaihak yang utama (supreme right). Sedangkan hak
atas tumbuh kembangditurunkan ke dalam hak atas kesehatan,
pendidikan, dan hak untukberekspresi, dan memperoleh informasi.
Dalam UU No. 23/2002, turunan hak atas tumbuh kembang ini

13
diwujudkan dalam penyelenggaraanperlindungan dalam bidang
pendidikan, kesehatan, dan sosial, termasukagama.
2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan(Pasal 5).
3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuaidengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang
tua (Pasal 6). Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir
danberekspresi merupakan wujud dari jaminan dan penghormatan
Negara terhadap hak anak untuk berkembang, yang mengacu kepada
Pasal 14KHA.
4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri (Pasal 7). Dalam pasal ini dijelaskan bahwa jika
orangtuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak maka anak
tersebutberhak untuk diasuh oleh orang lain sebagai anak asuh atau
anak angkatsesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 7
ayat 2 dan 3).
5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengankebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8). Hak
memperolehpelayanan kesehatan ini merupakan hak terpenting dalam
kelompok hakatas tumbuh kembang anak. Setidaknya, hak atas
pelayanan kesehatan bagi anak dirujuk ke dalam Pasal 24 dan 25
KHA. Mengenai bagaimanapelaksanaan hak-hak kesehatan ini,
selanjutnya dirumuskan dalamketentuan tentang penyelenggaraan hak
anak dalam bidang kesehatan yang diatur dalam Pasal 44 s/d Pasal 47
UU No.23/2002. Pemerintahwajib menyediakan fasilitas dan
menyelenggarakan upaya kesehatan yangkomprehensif bagi anak, agar
setiap anak memperoleh derajat kesehatanyang optimal sejak dalam
kandungan (pasal 44).
6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembanganpribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan

14
minat dan bakatnya (pasal 9). Hak anak atas pendidikan meliputi hak
untuk memperolehpendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan diri anak sesuaidengan bakat, minat, dan
kecerdasannya. Hak ini merupakan turunan danpelaksanaaan dari Pasal
31 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:“Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan”. Bahkan, Pasal 31ayat 4 UUD 1945
secara eksplisit memprioritaskan pendidikan dengan alokasi anggaran
dalam APBN serta dari APBD sebesar minimal 20persen.
7. Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperolehpendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulanjuga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 ayat
2).
8. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).
9. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari,
danmemberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan dankepatutan (Pasal 10).
10.Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan
diri (Pasal11).
11. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan yang menyimpang (Pasal 13), perlakuan
perlakuan yang menyimpang itu adalah:
a. Diskriminasi.
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
c. Penelantaran.
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.

15
e. Ketidakadilan.
f. Perlakuan salah lainnya.
12.Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir (Pasal 14). Pada prinsipnya, negara melakukan
upaya agar anak berada dalam pengasuhan orangtuanya sendiri, dan
tidak dipisahkan dariorangtua secara bertentangan dengan keinginan
anak. Pada pasal ini ditegaskan bahwa anak berhak untuk tidak
dipisahkan dari orangtuanya secara bertentangan dengan kehendak
anak, kecuali apabila pemisahan dimaksud mempunyai alasan hukum
yang sah, dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak.
13.Hak untuk memperoleh perlindungan dari pelibatan dalam situasi
darurat atau kerusuhan (pasal 15),hal itu adalah :
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata.
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial.
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
e. Pelibatan dalam peperangan.
14.Hak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak
untukmemperoleh kebebasan sesuai dengan hukum dan perlindungan
dari penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16).
15.Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektifdalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

16
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anakyang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum(Pasal 17 ayat 1).
16.Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau
yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat 2).
17.Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

Dengan adanya berbagai peristiwa pada belakangan ini maka


pemerintah melakukan beberapa perubahan pada undang-undang nomor
23 tahun 2002 dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 35 tahun
2014 yang merubah dan menambahi beberapa poin di dalam pasal-pasal
undangundang nomor 23 tahun 2002, perubahan-perubahan yang
berkaitan denganhak dan kewajiban anak tersebut adalah:

1. Pada pasal 6 dirubah sehingga berbunyi “Setiap Anak berhak untuk


beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan Orang Tua atau
Wali”.
2. Pada pasal 9 ayat 1 ditambah dengan ayat 1 (a) yang berbunyi “Setiap
Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari
kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.
3. Pada pasal 9 ayat 2 dan pasal 12 terdapat perubahan kalimat “anak
yang menyandang cacat” diganti dengan “anak peyandang disabilitas”.
4. Pada pasal 14 ditambah dengan ayat 2 yang berbunyi
45. Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Anak tetap berhak:
a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetapdengan
kedua Orang Tuanya

17
b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan
danperlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua
OrangTuanya sesuai dengan kemampuan,bakat, dan minatnya;
c. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan
d. Memperoleh Hak Anak lainnya.
5. Pada pasal 15 terkait dengan hak anak mendapat perlindungan
ditambah dengan poin f yaitu “kejahatan seksual”.

Setiap hak yang didapatkan berimbang dengan kewajiban yang


harus dijalankan, selain memiliki beberapa hak, seorang anak juga
memiliki beberapakewajiban yang harus dilaksanakan dalam
kehidupannya. Dalam pasal 19 UUNO. 23 Tahun 2002 diuraikan bahwa
setiap anak memiliki kewajiaban untuk:

1. Menghormati orang tua, wali, dan guru.


2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
3. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Secara garis besar hak-hak anak yang dapat dikategorikan


menjadiempat kategori yaitu sebagai berikut:

1. Hak kelangsungan hidup yang mencakup hak dan memperoleh


pelayanankesehatan yang memadai (survival rights).
2. Hak tumbuh kembang anak yang mencakup semua jenis
pendidikanformal maupun formal dan hak menikmati standart
kehidupan yang layakbagi tumbuh kembang fisik, mental, spritual,
moral non moral dan social (development rights)
3. Hak perlindungan yang mencakup perlindungan
diskriminasi,penyalahgunaan dan pelalalaian, perlindungan anak-anak

18
tanpa keluargadan perlindungan bagi anak anak pengungsi (protection
rights).
4. Hak partisipasi yang meliputi hak-hak anak untuk menyampaikan
pendapat/pandangannya dalam semua hal yang menyangkut nasib
anakitu (participation rights).

2.1.6 Dampak Pola Asuh Yang Salah


46. Setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anak-
anaknya, termasukdalam pemilihan pola asuh untuk anaknya. Namun,
terkadang orang tua tidakmenyadari bahwa pola asuh yang diterapkanya
bersifat kaku yang dirasa kurangideal bagi sang anak sehingga memiliki
berbagai dampak bagi perkembangananak tersebut.
47. Menurut Braumrind (dalam Desmita, 2010: 144)
mengemukakan dampakdari pola asuh, yaitu:
1. Pola Asuh Otoritatif. Pola asuh ini akan menjadikan anak memiliki
percaya diri yang baik, mandiri,dan dapat beranggung jawab terhadap
dirinya sendiri.
2. Pola asuh otoritarianPola asuh tipe ini akan menyebabkan anak merasa
curiga terhadap orang lain,canggung berhubungan dengan teman
sebayanya dan merasa tidak bahagia.
3. Pola asuh permisifPola asuh tipe ini akan menyebabkan anak memiliki
pengendalian diri yangburuk.
Menurut Thridhonanto (2014: 12-17) dampak pola asuh pada anak
dapat dikarateristikan sebagai berikut:
1. Pola Asuh Otoriter akan memberikan dampak kepada anak yaitu anak
akanmemiliki sifat mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak
merasa bahagia,mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai
arah masa depan yangjelas dan tidak bersahabat.
2. Pola asuh permisif akan memberikan dampak kepada anak yaitu anak
akan bersifat implusif, agresif, suka memberontak, kurang percaya diri,

19
tidak bias mengendalikan diri, suka mendominasi, tidak jelas arah
hidupnya, danprestasinya rendah.
3. Pola asuh demokratis akan memberikan dampak kepada anak yaitu
anak akan memiliki rasa percaya diri, bersikap bersahabat, mampu
mengendalikan diri,bersikap sopan, mau bekerjasama, memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi,memiliki arah tujuan hidup yang jelas,
berorientasi kepada prestasi.

Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa


setiap polaasuh orang tua memiliki dampak yang berbeda- beda bagi anak
yang didikmenggunakan pola asuh tersebut. Dengan adanya perbedaan
dampak pola asuhtersebut, peneliti ingin melihat sejauh mana pola asuh
orang tua dapatmempengaruh agresivitas anak.

Penjelasan mengenai dampak pola asuh orang tua tersebut memiliki


kaitan yang erat mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti.
Sebab, denganmengetahui dampak dari pemilihan pola asuh tersebut
diharapkan agar orang tuadapat memilih pola asuh dengan lebih cermat
kembali sehingga ideal untukdigunakan.

Kesalahan dalam mengasuh anak

Orang tua sering kali tidak menyadari bahwa mereka telah


melakukankesalahan dalam mengasuh anak mereka. Terkadang orang tua
hanya terfokuskepada keinginan orang tua untuk menjadikan anaknya
seperti apa yang merekainginkan tanpa orang tua memahami keinginan
atau perasaan dari anak tersebut.Jika anak tidak mampu untuk
melaksankan atau memenuhi keinginan orang tuamaka anak akan terlihat
buruk dihadapan orang tua. Namun, sebenarnya jika anaktidak mampu
untuk memenuhi keingin orang tua tidak serta merta anak yangsalah,
mungkin saja hal tersebut terlalu dipaksanakan oleh orang tua itu

20
sendiri.Menurut Steede (2010) Terdapat 10 kesalahan orang tua dalam
mendidikanak. Kesalahan- kesalahan tersebut yaitu:

1. Menanam Ranjau Mental


48. Ranjau mental atau perangkap ini merupakan suatu keyakinan
yangdiberikan kepada anak, sehingga anak terjebak pada kondisi yang
kurang positifyang memiliki efek besar di kehidupanya dimasa depan
(Steede, 2008: 1).
2. Menunggu anak berperilaku buruk
49. Orang cenderung terperangkap pda kesibukan kerja, sehingga
orang tua lupauntuk memperhartikan anak. Seringkali anak melakukan
kesalahan agar iamendapatkan sebuat perharian dari orang tuanya dan
orang tua yang sibuk bekerjacenderung menunggu anaknya melakukan
sebuah kesalahan terlebih dahulu unukkemudian diberi sebuah
perhartian (Steede, 2008: 23).
3. Tidak konsisten
50. Tidak konsisten adalah perangkap umum dalam masalah
pengasuhan anak. orang tua selalu memiliki seribu alasan untuk
membenarkan perihal ketidak konsistenya pada anak. Orang tua yang
tidak konsisten akan cenderungmenganggap bahwa dirinya benar dan
anak akan menjadi salah (Steede, 2008:35).
4. Menutup pintu komunikasi terbuka
51. Komunikasi yang efektif merupakan komunikasi yang
memiliki responyang baik dan terjadi secara dua arah. Dalam hal ini
diartikan apabila anak tidakingin berkomunikasi dengan orang tua
mengenai permasalahan atau kehidupanyaberarti komunikasi tersebut
bukan komunikasi yang efektif dengan orang tua. tersebut dapat terjadi
karena orang tua yang menerapkan komunikasi tertutup,dimana orang
tua selalu menyalahkan atau memarahi anak ketika anak

21
berceritamengenai suatu hal, sehingga membuat anak enggan untuk
bercerita lagi ( Steede,2008: 7).
5. Memainkan peran, membereskan masalah
52. Secara alamiah, orang tua ingin melindungi anak dari
perbuatan yangkurang terpuji serta pilihan yang mungkin terkesan
kurang baik bagianak. Hasrat untuk menuntut atau melindungi anak
cenderung membuat orang tuaterjebak ke dalam perangkap. Karena,
sebenarnya terlalu dini membereskanmasalah yang menimpa anak
akan membuat anak tidak memiliki kesempatanuntuk belajar dari
konsekuensi tindakan yang dilakukanya. Hal tersebut seringkali
mendorong anak menjadi serba tergantung kepada orang lain daripada
belajarsendiri (Steede, 2008: 9).
6. Orang tua vs anak
53. Kekuasaan di dalam sebuah keluarga tentunya melekat pada
orang tua. Ketidak seimbangan kekuasaan ini cenderung
menguntungkan bagi orang tua yang mengadopsi gaya otoriter. Situsi
semacam ini, akan membuat anak menjadi marah, frustasi, dan benci.
Tidak jarang ketika emosi muncul anak akan menjadi pemberontak
atau adu kekuatan yang berkepanjangan (Steede, 2008: 79).
7. Menggunakan „Destructive Discipline’
54. Orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi baik dan dapat
bersikapdisiplin. Sikap disiplin ini pastinya diciptakan oleh orang
tuanya. Namun, ketikaorang tua tidak memiliki perencanaan yang tepat
akan terjebak atau melakukankesalahan. Kesalahan semacam ini
menyebabkan upaya penegakan disiplin menjadi kurang efektif dan
bisa saja merrusak harga diri anak (Steede, 2008: 89).
8. Lakukan seperti yang saya katakan, bukan yang saya lakukan
Ketika orang tua memberikan nasihat kepada anak untuk melakukan
sesuatu hal yang baik, namun orang tuanya sendiri tidak melakukan
hal tersebut dan tidakmemberikan contoh yang baik. Hal ini akan

22
membuat anak meniru perilaku orangtuanya, dan tidak mendengar
nasihat orang tuanya. Sebab anak akan cenderungmeniru perilaku
orang tua (Steede, 2008: 99).

9. Mengabaikan kebutuhan khusus


55. Orang tua seringkali tidak memperhartikan kebutuhan, bakat
dan minatanaknya secara lebih mendalam. Sehingga orang tua
seringkali salah dalammengembangkan atau mengarahkan potensi atau
kebutuhan yang diperlukan anak(Steede, 2008: 109).
10.Lupa untuk bersenang- senang
56. Orang dewasa banyak menghabiskan waktu mereka untuk
bekerja.Akibatnya mereka lupa untuk mengajak anak mereka
bersenang- sennag dan lupajuga untuk memberikan pelajaran berharga
untuk anak. padahal jika orang tualebih sensitif kepada anak, maka
anak dapat menunjukan hal- hal yangmenakjubkan dan mengagumkan
(Steede, 2008: 127).

Berdasarkan pendapat diatas dapat dilihat bahwa terdapat beberapa


kesalahan dalam mengasuh anak, dan jika kesalahan tersebut tidak
disadari olehorang tua maka hal ini akan berdampak pada sikap anak,
dimana anak akanberperilaku agresi.

Kesalahan dalam mengasuh anak memiliki kontribusi yang besar


dalamperkembangan pribadi anak. Dengan adanya kesalahan dalam
mendidikanak akanmemberikan dampak yang kurang baik bagi anak.
Setelah mengetahui kesalahandalam mengasuh anak diharapkan agar
kesalahan tersebut dapat dihilangkansehingga dapat membentuk pribadi
anak lebih baik lagi dan agresivitas pada anakdapat dihilangkan.

2.2 Keluarga

23
2.2.1. Definisi Keluarga
57. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas
kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Dalam
keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya
dalam satu rumah tangga,mberinteraksi satu sama lain dan di dalam
perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu
kebudayaan.
58. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar
pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi
dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan
dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
59.
2.2.2. Fungsi Keluarga
60.Fungsi yang dijalankan keluarga adalah:
1. Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan
menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa
depan anak.
2. Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga
mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3. Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi
anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4. Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif
merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam
berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga.
Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan
keharmonisan dalam keluarga.
5. Fungsi Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan
mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga

24
menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan
kehidupan lain setelah dunia.
6. Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari
penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat
memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7. Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang
menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama,
bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.

25
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Implementasi Body Mapping Sebagai Curah Pendapat


3.1.1. Sasaran Kegiatan
a. Sasaran Primer
61. Yaitu sasaran yang mempunyai masalah dan diharapkan mau
berperilaku seperti yang diharapkan serta memperoleh manfaat paling
besar dari perubahan tersebut. Dalam kegatan pelatihan pola asuh anak
dalam keluarga sasaran primernya adalah ibu-ibu.
b. Sasaran Sekunder
62. Yaitu individu atau kelompok yang memperngaruhi sasaran
primer. Sasaran sekunder diharapkan mampu mendukung pesan –
pesan yang disampaikan pada sasaran. Dalam kegiatan pelatihan pola
asuh anak dalam keluarga sasaran sekundernya adalah Kepala
Keluarga, ibu – ibu PKK, tokoh agama, petugas kesehatan.
c. Sasaran Tersier
63. Yaitu para pengambil keputusan / kebijakan. Dalam kegiatan
pelatihan pola asuh anak dalam keluarga, sasaran tersiernya adalah
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPP-PA), Lembaga Pemerhati Anak.

3.1.2. Tujuan Kegiatan

Salah satu tujuan daari adanya body mapping menurut solomon (dalam
Gestaldo, tanpa tahun) menyebutkan body mapping bertujuan sebagai alat terapetik
dimana digunakan untuk mengembangkan wawasan baru, dalam hal ini kegiatan

26
pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan bagi para orang tua mengenai
pola asuh secara umum serta dilengkapi dengan penekanan pada beberapa bidang
seperti pada pendidikan, kesehatan, pergaulan dan ibadah. Selain itu juga diupayakan
untuk memberikan pengetahuan pada orang tua mengenai hak-hak anak sesuai
dengan KHA (Konvensi Hak Anak).

3.1.3. Pelaksanaan

1. Fasilitator membagi peserta menjadi beberapa kelompok


dengan anggota masing-masing 7 orang.
2. Masing-masing kelompok diberi nama buah-buahan.
3. Masing-masing kelompok diminta mengerjakan instruksi dari
fasilitator.
4. Salah satu anggota dari masing-masing kelompok diminta
tidur terlentang, kemudian anggota lainnya menggambar
tubuh anggota kelompok tersebut.
5. Setelah gambar utuh tubuh selesai, maka tiap kelompok
diminta menuliskan perbuatan jelek yang pernah dilakukan
orang tua pada anak pada gambar
6. Setelah selesai, masing-masing kelompok diminta
perwakilannya untuk maju ke depan mempresentasikan hasil
diskusi kelompok sambil menempelkan gambar dan tulisan
yang telah dibuat ke dinding.

27
3.1.4. Manfaat Kegiatan

manfaat dari kegiatan body mapping sebagai curah pendapat


yaitu : sebagai evaluasi tahap awal atau biasa disebut
preevaluation  tentang kemampuan atau pengetahuan tentang pola
asuh anak yang dimiliki, membantu orang tua menyadari posisi
anak dalam keluarga yang senantiasa membutuhkan bimbingan,
menumbuhkan rasa percaya diri untuk ikut terlibat menyampaikan
pendapatnya

28
3.2 Implementasi Body Mapping Sebagai Tools
3.2.1. Sasaran Kegiatan
a. Sasaran Primer
64. Yaitu sasaran yang mempunyai masalah dan diharapkan mau
berperilaku seperti yang diharapkan serta memperoleh manfaat paling
besar dari perubahan tersebut. Dalam hal ini sasaran primernya adalah
anak-anak yang suka bermain game terlalu lama dan sering.
b. Sasaran Sekunder
65. Yaitu individu atau kelompok yang memperngaruhi sasaran
primer. Sasaran sekunder diharapkan mampu mendukung pesan –
pesan yang disampaikan pada sasaran. Dalam hal ini sasaran
sekundernya adalah anggota keluarga dari anak.
c. SasaranTersier
66. Yaitu para pengambil keputusan/kebijakan. Sasaran tersiernya
adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (KPP-PA), Lembaga Pemerhati Anak.

3.2.2 Tujuan Kegiatan


67. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi pada para
orang tua dan anak mengenai dampak atau akibat yang dialami tubuh
seorang anak apabila suka bermain game terlalu lama dan sering.
Kegiatan ini bisa membantu orangtua dan anak untuk sadar akan efek
samping dari terlalu lama dan sering bermain game.

3.2.3 Tahap Pelaksanaan


1. Fasilitator menyediakan media yaitu berupa poster berisi bentuk tubuh
yang berisikan informasi tentang akibat dari tubuh seorang anak yang
suka bermain game terlalu lama dan sering.

29
2. Media di tempatkan pada tempat dimana para peseta dapat melihatnya
dengan jelas, bisa di tempelkan di dinding, di papa, di tampilkan pada
proyektor, dll.
3. Faslitator menyampaikan informasi mengenai akibat dari seorang anak
yang terlalu lama dan sering bermain game.
4. Pada akhir sesi kegiatan peserta di berikan waktu untuk bertanya
mengenai materi yang telah disajikan dan berdiskusi bagaimana solusi
agar hal-hal yang telah dijelaskan tersebut tidak terjadi kepada
anaknya.

3.2.4. Manfaat Kegiatan


68. Body mapping sebagai alat (tools) sendiri digunakan sebagai
alat untuk menyampaikan informasi kepada sasaran permasalahan dari
ujung kaki sampai ujung kepala untuk melaksanakan pemberdayaan
kepada sasaran. Dalam hal ini media yang disajikan adalah informasi
mengenai akibat dari seorang anak yang terlalu lama dan sering bermain
game. Penyampaian materi dengan metode ini dapat memudahkan peserta
untuk memahami materi yang diberikan. Dalam hal ini peserta dapat
memudahkan untuk memahami akibat dari tubuh seorang anak yang suka
bermain game terlalu lama dan sering.

30
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Implementasi Body Mapping Sebagai Curah Pendapat bertujuan untuk sebagai


alat terapetik dimana digunakan untuk mengembangkan wawasan baru, dalam hal ini
kegiatan pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan bagi para orang tua
mengenai pola asuh secara umum serta dilengkapi dengan penekanan pada beberapa
bidang seperti pada pendidikan, kesehatan, pergaulan dan ibadah. Selain itu juga
diupayakan untuk memberikan pengetahuan pada orang tua mengenai hak-hak anak
sesuai dengan KHA (Konvensi Hak Anak).
Implementasi Body Mapping Sebagai Tools bertujuan untuk memberikan
informasi pada para orang tua dan anak mengenai dampak atau akibat yang dialami
tubuh seorang anak apabila suka bermain game terlalu lama dan sering. Kegiatan ini
bisa membantu orangtua dan anak untuk sadar akan efek samping dari terlalu lama
dan sering bermain game.

4.2 Saran

Dengan adanya body mapping tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran


dan pengetahuan orangtua terhadap cara pola asuh anak yang tepat dan benar.

31
DAFTAR PUSTAKA

Parke, R. D., & Gauvain, M. (2009). Child psychology a contemporary viewpoint.


7th. New York : McGraw-Hill 

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/33631/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=66FB903B65237A7521C8F04628039FCB?sequence=3
Abdullah, A. (2013). [online] Tersedia
http://digilib.uinsby.ac.id/10882/5/Bab2.pdf (diakses 24 Mei 2017 Pukul
20.52)

Jurnal online. http://repository.upi.edu/12418/5/S_PEA_1005816_Chapter2.pdf


(Diakses pada 24 mei 2017)
Wening.2016.”Pengaruh Pola Asuh Orang Tua TerhadapAgresivitas Pada
Persepsi Siswa Kelas Ix DiSmp Kesatrian 2 Semarang 2015/2016”.
Skripsi.Fakultas Ilmu Pendidikan,Universitas Negeri Semarang. Serial Online
( diakses pada 24 Mei 2017)

Digilib.uinsby.ac.id.Bab 2 hak-hak anak dalam hukum di Indonesia


Cornwall, A. (1992). Body mapping in health RRA/PRA. RRA Notes, 69-76.

Gastaldo, d. Body Map Storytelling As Research (Methodelogical Considerration


For Telling The Stories of Undocumented Worker Through Body Mapping).
Creative Common.

32

Anda mungkin juga menyukai