Anda di halaman 1dari 19

RESUME SEMINAR AKUNTANSI

GOOD CORPORATE GOVERNANCE


Dosen Pengampu: Dr. Rudi Zulfikar, SE, Ak, M.Si, CA

Disusun oleh :
Kelompok 5
1. Miftahul Jannah (5552170014)
2. Della Nur Pratiwi (5552170021)
3. Mochamad Gilang F (5552170074)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2020
A.    LATAR BELAKANG MUNCULNYA GOOD CORPORATE
GOVERNANCE (GCG)

Mulai populernya istilah “tata kelola perusahaan yang baik” atau yang lebih
dikenal dengan istilah asing good corporate governance (GCG) tidak dapat
dilepaskan dari maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan
besar, baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di Amerika Serikat.
Runtuhnya sistem ekonomi komunis menjelang akhir abad ke-20, menjadikan
system ekonomi kapitalis sebagai satu-satunya system ekonomi yang paling dominan
di seluruh dunia. System ekonomi kapitalis makin kuat mengakar berkat arus
globalisasi dan perdagangan bebas yang mampu dipaksakan oleh Negara-negara maju
penganut system ekonomi kapitalis. Ciri utama system ekonomi kapitalis adalah
kegiatan bisnis dan kepemilikan perusahaan dikuasai oleh individu-individu/ sector
swasta. Dalam perjalanannya, beberapa perusahaan akan muncul sebagai perusahaan-
perusahaan swasta raksasa yang bahkan aktivitas dan kekuasaannya telah melibihi
batas-batas suatu Negara. Para pemilik dan pengelola kelompok perusahaan-
perusahaan raksasa ini bahkan mampu mempengaruhi dan mengarahkan berbagai
kebijakan yang diambil oleh para pemimpin politik suatu Negara untuk kepentingan
kelompok perusahaan mereka dengan kekuatan uangnya.
Sebagimana dikatakan oleh Joel bajan (2002), perusahaan (korporasi) saat ini
telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi ekonomi
dunia yang amat dominan. Kekuatan dan pengaruh perusahaan ini sedemikian
besarnya sehingga telah menjelma menjadi “monster raksasa” yang mendikte hampir
seluruh hidup kita, mulai dari apa yang kia pakai, apa yang kita hasilkan dan apa yang
kita kerjakan. Itulah sebabnya, sering kali terjadi pemerintah suatu Negara yang
seharusnya menjadi kekeuatan terakhir sebagai pengawas, penegak hukum, dan
pengendali perusahaan-perusahaan tidak berdaya menghadapi penyimpangan perilaku
yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh tersebut.
Sistem perbankan di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan krisis
ekonomi, politik, dan sosial yang sangat kompleks. Beberapa perusahaan besar di
Indonesia ada yang bermasalah dan bahkan tidak mampu lagi meneruskan kegiatan
usahanya akibat menjalankan praktik tata kelola kerja yang buruk (bad corporate
governance). Contohnya antara lain: bank-bank pemerintah yang telah
dilikuidasi/demerger (Bank Pembangunan Indonesia-Bapindo, Bank Dagang Negara-
BDN, Bank Bumi Daya- BBD, Bank Export Import- Bank Exim); PT Indorayon
(Sebuah pabrik kertas di Sumatra Utara); PT Dirgantara Indonesia (Sebuah pabrik
pesawat terbang yang berkantor pusat di Bandung); dan PT Lapindo Brantas (Sebuah
pabrik eksplorasi minyak dan gas di Sidoarjo,Jawa Timur). Kejatuhan bank
pemerintah pada awal abad ke-21 ini lebih disebabkan oleh kebijakan ekspansi kredit
direksi bank tersebut yang tidak bijaksana (imprudential credit policy). Kredit
diberikan dalam jumlah besar kepada beberapa kelompok usaha besar tanpa melalui
suatu kajian yang cermat dan objektif atas studi kelayakan mereka. Akibatnya,bank-
bank pemerintah tersebut mengalami kesulitan keuangan karena kelompok usaha
besar ini tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.
Kebangkrutan PT Indorayon, sebuah perusahaan pabrik kertas yang tergolong
besar, lebih disebabkan oleh tata kelola yang buruk oleh perusahaan tersebut dalam
mengelolah hutan pinus di sekitar danau Toba yang menjadi sumber utama bahan
baku kertas perusahaan ini. Akibat pengelolahan hutan pinus yang buruk itu telah
menimbulkan kerusakan lingkungan hutan dan mengganggu system tata air disekitar
danau Toba. Permukaan air danau Toba sempat mengalami penurunan tajam sehingga
memengaruhi penghasilan masyarakat ternak ikan di sekitar danau Toba. Masyarakat
sekitar danau Toba menjadi marah dan mereka menghentikan secara paksa aktivitas
perusahaan di sekitar danau Toba tersebut. Akibatnya, PT Indorayon tidak dapat
beroperasi karena hubungan yang tidak baik dengan masyarakat di sekitar lokasi
pasokan bahan baku.
Hal yang sama terjadi pada kasus PT Lapindo Brantas. Kecerobohan PT
Lapindo Brantas dalam melakukan eksplorasi minyak dan gas di Sidoarjo bukan saja
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup pada area yang sangat
luas,tetapi juga mematikan sumber pencarian sebagaian besar masyarakat di daerah
yang tercemar tersebut. Hal ini dapat saja menimbulkan potensi tuntutan hukum dari
masyarakat,yang pada gilirannya dapat mengancam keberadaan perusahaan.
Pada intinya,timbulnya krisis ekonomi di Indonesia ini disebabkan oleh tata
kelola perusahaan yang buruk (bad corporate governance) dan tata kelola
pemerintahan yang buruk pula (bad government governance) sehingga memberi
peluang besar timbulnya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal
ini dapat ditunjukan pada beberapa fakta berikut :
a.       Mudahnya para spekulan mata uang untuk mempermainkan pasar valuta asing
karena tidak adanya alat kendali yang efektif.Sifat para spekulan ini selalu
mementing diri sendiri tanpa peduli kepentingan masyarakat ataupun Negara.
b.      Mudahnya para konglomerat memperoleh dana pinjaman dari perbankan.Hal ini
dimungkinkan karena para konglomerat itu sekaligus juga menjadi pemilik bank-bank
swasta ternama.Melalui rekayasa studi kelayakan dan laporan keuangan, para
konglomerat ini menarik pinjaman dari bank miliknya untuk membiayai proyek-
proyek usaha yang masih berada dalam kelompok usahanya. Para direksi bank ini
tidak dapat bersikap independen karena ditempatkan di bank tersebut oleh para
konglomerat tersebut. Para konglomerat ini banyak yang sekaligus merangkap fungsi
sebagai pemegang saham,komisaris,dan direksi di kelompok usaha merek.
c. Banyak direksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk di bank-bank
pemerintah juga tidak independen. Dalam mengambil berbagai kebijakan selalu ada
campur tangan dari oknum pejabat pemerintahan,Hal ini tidak mengherankan karena
para direksi ini sering kali merupakan kepanjang tangan kepentingan kelompok
oknum pejabat tertentu.Kalaupun mereka bersifat professional,mereka sering
mendapat tekanan oknum pejabat.
d.      Para komisaris di BUMN sering kali bukan orang yang professional, melainkan
oknum-oknum birokrasi yang telah memasuki usia pension. Mereka ditempatkan
bukan karena kemampuan dan pengalaman mereka dalam mengelola
perusahaan,tetapi lebih karena sekedar balas jasa setelah memasuki usia pension.
e.       Banyaknya profesi yang terkait dengan kegiatan bisnis ini- seperti: akuntan
publik,perusahaan penilai,konsultan keuangan,dan sebagainya- yang mudah diajak
bekerja sama untuk merekayasa laporan audit,laporan keuangan,dan laporan penilaian
harta (asset) perusahaan untuk berbagai keperluan- seperti: tender,aplikasi kredit
bank,penerbitan saham di bursa,dan sebagainya.
f.       Pada saat timbul krisis moneter,Bank Indonesia mengucurkan dana berupa bantuan
likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai triliunan rupiah kepada sector
perbankan nasional dalam upaya membantu perbankan agar tidak ambruk akibat
penarikan dana nasabah secara besar-besaran. Namun itikad baik BI ini banyak
disalahgunakan oleh pemilik bank dengan memindahkan dana ini ke rekening
pribadinya dan membiarkan bank mereka sendiri tetap ambruk. Kalaupun para
pemilik bank ini mempunyai itikad baik,merka tidak mampu lagi untuk
mengembalikan dana BLBI tersebut.Sampai saat ini belum ada penyelesaian tuntas
tentang kasus BLBI ini.

B. DEFINISI GCG
Istilah “corporate governance” pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury
Committee,Inggris di tahun 1922 yang menggunakan istilah tersebut dalam
laporannya yang kemudian dikenal sebagai Cadbury Report (dalam Sukrisno
Agoes,2006). Istilah ini sekarang menjadi sangat popular dan diberi banyak definisi
oleh berbagai pihak. Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai suatu proses
dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (pemegang saham/pemilik
modal, komisaris/dewan pengawas dan direksi) untuk meningkatkan keberhasilan
usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam
jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainny,
berlandaskan perauran perundang-undangan dan nilai-nilai etika.
Cadbury mengatakan bahwa Good Corporate Governance adalah mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar keseimbangan anara kekuatan dan kewenangan
perusahan.
Noensi, seorang pakar GCG dari Indo Consult, mendefinisikan GCG adalah menjalankan
dan mengembangkan perusahaan dengan bersih, patuh pada hukum yang berlaku dan
peduli terhadap lingkungan yang dilandasi nilai-nilai sosial budaya yang tinggi.
Sukrisno Agoes (2006) mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu
sistem yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang
saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga
disebut sebagai suatu proses transparan atas penentuan tujuan
perusahaan,pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.
Organization for Economic Coorperation and Development – OECD (dalam tjager
dkk.,2004) – mendefinsikan Good Corporate Government sebagai Suatu struktur
yang terdiri atas para pemegang saham,direktur,manajer,seperangkat tujuan yang
ingin dicapai perusahaan,dan alat-alat yang digunakan dalam mencapai tujuan dan
memantau kinerja.
Wahyudi Prakasa (dalam Sukrino Agoes,2006) mendefinsikan GCG sebagai : “…..
mekanisme administrative yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen
perusahaan,komisaris,direksi,pemegang saham,dan kelompok-kelompok kepentingan
(stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk
berbagai aturan permainan dan sistem insentif sebagai kerangka kerja (framework)
yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan dan cara-cara pencapaian
tujuan-tujuan serta pemantauan kinerja yang dihasilkan.”
Jadi Good governance dapat diartikan sebagai kepemerintahan yang baik atau
penyelenggaraan pemerintahaan yang bersih dan efektif, sesuai dengan peraturan dan
ketentuan yang berlaku. Pemerintahan mencakup ruang lingkup yang luas, termasuk
bidang politik, ekonomi dan sosial mulai dari proses perumusan kebijakan dan
pengmbilan keputusan hingga pelaksanaan dan pengawasan. Political governance
mengacu pada proses pembuat kebijakan. Economic governance mengacu pada
proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan,
pemerataan, penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup. Administrative
governance berarti, bahwa penyelenggara setiap bidang dan tahapan pemerintahan
harus dilakukan dengan bersih, efisien, dan efektif.
Dalam bahasa sederhana, governance berarti proses pengambilan keputusan
dan proses pelaksanaan atau implementasinya. Secara umum dapat dikatakan, bahwa
good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip :
partisipasi maksimal dari semua pemangku kepentingan (stackholder), hukum da
aturan (rule of law), transparansi, responsivitas, orientasi consensus, keadilan dan
kewajaran, efisiensi dan efektivitas, akuntabilitas dan visi strategis.

D. PEMBAHASAN
1. Manfaat Good Corporate Governance
Menurut Amin Widjaja Tunggal (2013: 39), manfaat Good Corporate Governance di
antaranya adalah sebagai berikut :

1. Meminimalkan Agency Cost

Selama ini, pemegang saham harus menanggung biaya yang timbul akibat dari
pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya ini dapat berupa kerugian
karena manajemen memakai sumber daya perusahaan untuk kepentingan pribadi atau
berupa biaya pengawasan yang harus dikeluarkan perusahaan untuk mencegah hal
tersebut terjadi.

2. Meminimalkan Cost of Capital

Sebuah perusahaan yang sehat dan baik akan selalu menciptakan referensi positif bagi
kreditur. Kondisi ini memiliki peran dalam meminimalkan biaya modal yang harus di
tanggung apabila perusahaan akan mengajukan pinjaman dan juga dapat memperkuat
kinerja keuangan yang akan membuat produk perusahaan akan menjadi lebih
kompetitif.

3. Meningkatkan nilai saham perusahaan

Bila perusahaan dikelola dengan baik agar selalu sehat maka dapat menarik minat
investor untuk menanamkan modalnya.

4. Meningkatkan nilai perusahaan

Salah satu faktor penting yang berhubungan dengan kinerja dan keberadaan
perusahaan di mata masyarakat dan investor adalah citra perusahaan. Membangun
citra perusahaan terkadang membutuhkan biaya yang besar di bandingkan dengan
perusahaan itu sendiri. Selain memiliki manfaat untuk meningkatkan citra
perusahaan, Good Corporate Governance juga memiliki manfaat sebagai nilai
tambah perusahaan dalam meningkatkan kinerja perusahaan dalam menghadapi
persaingan usaha yang kompetitif.

2. Tujuan Good Corporate Governance


GCG bukanlah seata-mata persoalan membentuk organ-organ perusahaan seperti
komisaris independen dan komite audit, tapt GCG adalah sebagaimana
menciptakan pengelolaan perusahaan yang professional melalui penerapan system
akunting dan keuangan yang memenuhi standar serta bagaimana manajemen
dilengkapi dengan system teknologi informasi yang mendukung operasional
perusahaan.
Good corporate governance mempunyai 5 tujuan utama yaitu :
a)      Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham;
b)      Melindungi hak dan kepentingan stakeholders lainnya;
c)      Meningkatkan nilai saham dan perusahaan;
d)     Meningkatkan kinerja Dewan Komisaris dan Manajemen;
e)      Meningkatkan mutu hubungan Dewan Komisaris dan Manajemen.

Menurut Amin Widjaya Tunggal (2013: 34), tujuan Good Corporate Governance
adalah sebagai berikut :

 Tercapainya sasaran yang telah ditetapkan.


 Aktiva perusahaan tetap terjaga dengan baik
 Perusahaan dapat menjalankan bisnis dengan praktek yang sehat
 Kegiatan perusahaan dapat dijalankan dengan transparan

Sedangkan tujuan Good Corporate Governance pada BUMN menurut keputusan


Menteri BUMN no. 117/M-MBU/2002 pasal 4, di antaranya :

 Memaksimalkan BUMN dengancara meningkatkan prinsip GCG.


 Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, terbuka dan efisien.
 Mendorong agar organ perusahaan dalam membuat keputusan sesuai dengan
aturan yang berlaku
 Meningkatkan kontribusi BUMN di dalam perekonomian nasional
 Meningkatkan iklim investasi nasional
 Menyuksesan program privatisasi BUMN.

Berdasarkan dari beberapa tujuan Good Corporate Governance maka penerapan dari
GCG adalah meningkatkan kinerja perusahaan dan memberi nilai tambah bagi semua
pihak yang terkait dengan perusahaan.
Selain itu tujuan Good Corporate Governance adalah meningkatkan nilai tambah
bagi stakeholders dalam jangka panjang serta melindungi pemegang saham dan
pengelola perusahaan atau manajemen perusahaan.

3. Prinsip Good Corporate Governance


Sejak diperkenalkan oleh OECD, prinsip-prinsip corporate governance berikut ini
telah dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Prinsip-prinsip
tersebut disusun seuniversal mungkin sehingga dapat berlaku bagi semua negara atau
perusahaan dan diselaraskan dengan sistem hukum, aturan atau tata nilai yang berlaku
di negara masing-masing. Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik ini antara
lain :

1) Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh
dewan komisaris dan direksi beserta kewajiban-kewajibannya kepada
pemegang saham dan stakeholders lainnya. Dewan direksi bertanggung jawab
atas keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas
keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada direksi atas
pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang
saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka
pengelolaan perusahaan.

2) Pertanggungjawaban ( responsibility)
Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer
perusahaan melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab. Sebagai
pengelola perusahaan hendaknya dihindari segala biaya transaksi yang
berpotensi merugikan pihak ketiga maupun pihak lain di luar ketentuan yang
telah disepakati, seperti tersirat pada undang-undang, regulasi, kontrak
maupun pedoman operasional bisnis perusahaan.
3) Keterbukaan (transparancy)
Dalam prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara tepat waktu
dan akurat. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan,
kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang
dilakukan atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan
agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan
sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.
4) Kewajaran (fairness)
Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk
mendapatkan perlakuan yang adil dari perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini
di perusahaan akan melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh
orang dalam yang merugikan pihak lain. Setiap anggota direksi harus
melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi yang
mengandung benturan kepentingan.

5) Kemandirian (independency)
Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar dapat bertindak
secara mandiri sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan-
tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan sistem operasional
perusahaan yang berlaku. Tersirat dengan prinsip ini bahwa pengelola
perusahaan harus tetap memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholders
yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan perusahaan.
4. Tahap-Tahap Penerapan Good Corporate Governance
Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan
GCG menggunakan pentahapan berikut (Chinn, 2000)
1) Tahap persiapan
 Awareness building; membangun kesadaran akan pentingnya GCG dan
membangun komitmen bersama dalam penerapannya. Upaya ini dapat
dilakukan dengan memakai tenaga ahli independen dari luar melalui
seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok.
 GCG Assessment; mengukur/memetakan kesiapan perusahaan saat ini
dalam penerapan GCG.Langkah ini penting untuk menentukan
infrastuktur dan struktur perusahaan/organisasi yang dibutuhkan untuk
keseuksesan penerapan GCG.
 GCG manual building; Penyusunan manual dapat dibantu oleh tenaga ahli
independen dari luar perusahaan/organisasi. Manual dapat dibedakan
menjadi manual untuk organ-organ perusahaan dan manual untuk
keseluruhan anggota perusahaan/organisasi. Secara umum harus
mencakup : Kebijakan GCG perusahaan/organisasi, Pedoman GCG bagi
organ-organ perusahaan/organisasi, Pedoman perilaku, Audit commitee
charter, Kebijakan disclosure dan transparansi, Kebijakan dan kerangka
manajemen risiko, Roadmap implementasi.
2) Tahap implementasi
Setelah perusahaan memiliki GCG manual langkah selanjutnya adalah memulai
implementasi di perusahaan. Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama yakni:
 Sosialisasi, diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh perusahaan
berbagai aspek yang terkait dengan implementasi GCG khususnya
mengenai pedoman penerapan GCG. Upaya sosialisasi perlu dilakukan
dengan suatu tim khusus yang dibentuk untuk itu, langsung berada di
bawah pengawasan direktur utama atau salah satu direktur yang ditunjuk
sebagai GCG champion di perusahaan.
 Implementasi, yaitu kegiatan yang dilakukan sejalan dengan pedoman
GCG yang ada, berdasar roadmap yang telah disusun. Implementasi harus
bersifat top down approach yang melibatkan dewan komisaris dan direksi
perusahaan. Implementasi hendaknya mencakup pula upaya manajemen
perubahan (change management) guna mengawal proses perubahan yang
ditimbulkan oleh implementasi GCG.Internalisasi, yaitu tahap jangka
panjang dalam implementasi.
 Internalisasi mencakup upayaupaya untuk memperkenalkan GCG di
dalam seluruh proses bisnis perusahaan kerja, dan berbagai peraturan
perusahaan. Dengan upaya ini dapat dipastikan bahwa penerapan GCG
bukan sekedar dipermukaan atau sekedar suatu kepatuhan yang bersifat
superficial, tetapi benarbenar tercermin dalam seluruh aktivitas
perusahaan.
3) Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi adalah tahap yang dilakukan secara teratur dari waktu ke waktu
untuk mengukur sejauh mana efektifitas GCG yang telah dilakukan. Tahap ini
bisa dibantu oleh pihak independen untuk melakukan audit implementasi dan
scoring atas praktik GCG yang telah dilaksanakan. Banyak perusahaan konsultan
yang dapat memberikan jasa audit dan scoring tersebut. Evaluasi dalam bentuk
assessment, audit atau scoring juga dapat dilakukan secara mandatory seperti
yang diterapkan dalam lingkungan BUMN. Evaluasi ini membantu
perusahaan/organisasi dalam memetakan kembali kondisi, situasi, dan
pencapaian perusahaan/organisasi dalam implementasi GCG dalam rangka upaya
perbaikan di masa depan, termasuk upaya-upaya perbaikan berdasarkan
rekomendasi dari tim penilai/scoring pelaksanaan GCG seperti point diatas.
5. Penerapan Good Corporate Governance di Indonesia
Good Corporate Governance di Indonesia mulai ramai dikenal pada tahun 1997,
saat krisis ekonomi menerpa Indonesia. Terdapat banyak akibat buruk dari krisis
tersebut, salah satunya ialah banyaknya perusahaan yang berjatuhan karena tidak
mampu bertahan, Corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu
sebab terjadinya krisis ekonomi politik Indonesia yang dimulai tahun 1997 yang
efeknya masih terasa hingga saat ini.. Menyadari situasi dan kondisi demikian,
pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN mulai memperkenalkan konsep
Good Corporate Governance ini di lingkungan BUMN, Melalui Surat Keputusan
Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang
Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara,
menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan Good Corporate Governance
secara konsisten dan atau menjadikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance
sebagai landasan operasionalnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders
lainnya, dan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.
Pemerintah memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap implementasi GCG
di Indonesia. Bukti dari kepedulian pemerintah dapat dilihat dari dibuatnya berbagai
regulasi yang mengatur tentang GCG. Berawal dari Dibentuknya Komite Nasional
tentang Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) melalui Keputusan Menko
Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG .
Menerbitkan Pedoman GCG Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai pengganti KNKCG
melalui Surat Keputusan Menko Bidang Perekonomian Nomor:
KEP/49/M.EKON/11/2004. Terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub-Komite
Korporasi. Kemudian juga dikeluarkan SE Ketua Bapepam Nomor Se-03/PM/2000
tentang Komite Audit yang berisi himbauan perlunya Komite Audit dimiliki oleh
setiap Emiten, dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/4/PBI/2006 tentang GCG
yang dirubah dengan PBI No. 8/14/GCG/2006.

Implementasi GCG di BUMN dapat dilihat dengan adanya peraturan-peraturan yang


mendukungnya seperti :
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor Kep-133/M-
PBUMN/1999 tentang Pembentukan Komite Audit bagi BUMN.
Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 Tentang Pedoman
umum pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.
Keputusan Menteri BUMN No. 09A/MBU/2005 Tentang Proses Penilaian
Fit & Proper Test Calon Anggota Direksi BUMN
SE Menteri BUMN No. 106 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri BUMN
No. 23 Tahun 2000 – mengatur dan merumuskan pengembangan praktik good
corporate governance dalam perusahaan perseroan.
Disempurnakan dengan KEP-117/M-MBU/2002 tentang Keputusan Menteri
BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good
Corporate Governance Pada BUMN.

6. Contoh Kasus Good Corporate Governance di Indonesia


Bank Indonesia (BI) memberikan sanksi kepada empat bank. Keempat bank
tersebut adalah PT Bank Mega Tbk, PT Bank Panin Tbk, PT Bank Jabar Banten Tbk
dan PT Bank Mestika Dharma. Menurut Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah,
sanksi berupa pembatasan diberikan lantaran keempat bank tersebut tak menerapkan
Good Corporate Governance (GCG).
“Kita lebih melihat permasalahan ini pelemahan dalam konteks produk GCG-
nya, Good Corporate Governance-nya,” tutur Halim seusai rapat dengan Komisi XI
DPR, Senin (24/6). Pemberian sanksi berupa pembatasan tersebut diterapkan berbeda
antara satu bank dengan bank lainnya. Bahkan, lanjut Halim, dari keempat bank
tersebut terdapat bank yang masih dilarang melakukan ekspansi perbankan oleh BI.
“Ada yang seperti itu (sanksinya tahunan, red), ada yang sampai sekarang kita masih
belum membolehkan dia untuk ekspansi, saya tidak bisa
menyampaikan bank perbank,” ujarnya.
Menurut Halim, semua permasalahan yang terjadi di empat bank tersebut sudah
disampaikan BI kepada Komisi XI. Meski terjadi persoalan, kondisi keempat bank
tersebut masih relatif stabil.
“Beberapa masalah yang dilaporkan ke Komisi XI itu relatif sudah ditangani dan
sampai saat ini
tentu saja sudah tidak ada hal-hal yang mengganggu dari bank tersebut, jadi bank
tersebut tetap baik,” katanya.
Menurutnya, permasalahan yang terjadi di empat bank tersebut masuk kategori
sebagai risiko operasional. Menurut Halim, selaku regulator, BI berkepentingan untuk
menindaklanjuti walaupun harus melakukan fit and proper (menguji) pejabat bank
mengenai kasus yang terjadi. Bukan hanya itu, BI juga bisa membatasi ekspansi bank
serta melakukan pergantian pengurus hingga memperbaikia Standar Operasional
Prosedur (SOP) di bank tersebut. Meski terdapat persoalan, lanjut Halim, kinerja
keempat bank tersebut masih tergolong bagus. Hal ini pula yang disampaikan BI
kepada Komisi XI di dalam rapat yang digelar tertutup. “Tidak ada masalah
likuiditas, tidak ada masalah dengan NPL-nya, tidak ada masalah dengan permodalan
dan dengan stabilitas bank itu sendiri,” tambahnya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis berharap, fungsi mediasi dan
pengawasan BI dapat terus dilakukan terkait dengan persoalan yang terjadi di empat
bank tersebut. Menurutnya, dari laporan BI tak satu pun bank yang masuk ke dalah
tahap pengawasan intensif oleh bank sentral itu.
“Kita minta BI melakukan mediasi lebih intensif, proaktif dan tegakkan
governancy. kasus
-kasus ini belum selesai. Tapi poinnya tidak ada bank dalam pengawasan intensif,”
ujar politisi Partai Golkar ini.
Dari laporan BI, lanjut Harry, persoalan di Bank Mega terkait dengan hilangnya
sejumlah deposito milik Elnusa dan Pemerintah Kabupaten Batubara. Total dana yang
hilang Rp191 miliar, dengan rincian dana Elnusa Rp111 miliar dan Pemkab Batubara
Rp80 miliar. Untuk persoalan yang dialami Elnusa sudah bergulir ke ranah hukum,
dan kini dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung. Untuk persoalan di BJB terdapat
tiga kasus. Pertama mengenai dana Koperasi Bina Usaha sebesar Rp38 miliar yang
dinilai BI terjadi lantaran tak diterapkannya GCG. Persoalan ini sudah ditangani oleh
Kejaksaan Agung. Kasus kedua terkait dengan pembangunan Tower BJB di wilayah
Jakarta sebesar Rp540 miliar. Untuk kasus ini diklaim sudah ditangani oleh KPK.
Sedangkan kasus ketiga terkait dengan kredit di Surabaya. Kasus ini sudah ditangani
oleh Kejaksaan Agung. Terkait Bank Panisi, lanjut Harry, terdapat dua kasus.
Pertama mengenai take over ANZ yang sudah berjanji menjadi pemegang saham
pengendali tapi sampai sekarang belum ada hasilnya. Hingga kini ANZ memiliki
saham sudah lebih dari 25 persen, tapi ANZ berubah pikiran akan
mendivestasikannya. Kasus kedua, mengenai pegawai Bank Panin yang terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Terkait hal ini, BI telah meminta Bank Panin
untuk menyelesaikan secara internal. Sedangkan kasus yang terjadi di Bank Mestika
Dharma mengenai agunan seorang nasabah yang bernama Krisyanto sebesar Rp1,2
miliar. Hingga kini, kasus tersebut masih diawasi BI. Di luar empat bank, BI juga
menuturkan sejumlah kasus-kasus lain yang terjadi di beberapa bank. Menurut Harry,
terdapat dua bank yang dilaporkan BI kepada Komisi XI. Pertama, Bank Danamon
cabang Depok bahwa terdapat nasabah yang awalnya memiliki uang Rp43 miliar, tapi
belakangan diketahui dananya tinggal Rp6000. Nasabah tersebut merasa dirugikan
lantaran tak pernah mengambil uang, tapi kenyataannya tabungannya telah berkurang.
Sedangkan kasus lainnya terjadi di Bank Permata. Di bank ini terdapat pegawai yang
diturunkan jabatannya lantaran produktifitas kinerjanya menurun karena menjadi
calon legislatif.
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Syakhroza, 2003, Best Practices Corporate Governance Dalam Konteks


Kondisi Lokal Perbankan Indonesia, Majalah Manajemen Usahawan
Indonesia,
No. 06/th. XXXII Juni.
Hetifah Sj. Sumarto, 2004, Inovasi,Partisipasi dan Good Governance. Edisi
kedua,Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai