Wakaf
Perkataan waqf, yang menjadi wakaf dalam Bahasa Indonesia, berasal dari kata kerja Bahasa
Arab waqafa yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau menahan sesuatu. Pengertian
menahan (sesuatu) dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud dengan wakaf dalam
uraian ini. Wakaf adalah menahan sesuatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam
juga merupakan sedekah jariyah, yakni menyedekahkan harta kita untuk ummat. Jumlahnya tidak boleh
berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan diwariskan.
Kendatipun tidak jelas dan tegas wakaf disebutkan dalam al-Qur`an, namun beberapa ayat yang
memerintahkan manusia berbuat baik untuk kebaikan masyarakat dipandang oleh para ahli sebagai
landasan perwakafan. Di dalam al-Qur`an surah Al-Hajj (22) ayat 77. Allah memerintahkan agar manusia
berbuat kebaikan supaya hidup manusia itu bahagia. Di surah lain Allah memerintahkan manusia untuk
membelanjakan (menyedekahkan) hartanya yang baik (2:267).
Dakwah
Dakwah adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Kewajiban ini telah diemban oleh generasi awal
Islam begitu perintah berdakwah tersebut turun. Para pengemban dakwah pada masa itu adalah orang-
orang pilihan yang gagah berani. Mereka juga adalah para suami yang memiliki keluarga dan istri di
sisinya. Keistimewaan ini bukan hanya dimiliki oleh mereka saja, namun juga istri mereka. Sebab berhasil
memberikan dukungan bagi keberhasilan dakwah suaminya.
Hal ini didukung oleh syari’at dan dengan fitrah perempuan. Karena perempuan tidak
dibebankan amal sebanyak amalan laki-laki seperti jihad, bakti kepada orangtua dan dakwah. Dalam
hadits dijelaskan bahwa wanita cukup melakukan empat hal saja untuk masuk surga dari pintu mana
saja. Padahal untuk hal itu sangat memerlukan kesungguhan yang tinggi. Rasulullah Saw bersabda, yang
artinya:
“Apabila seorang wanita [1] Mengerjakan shalat lima waktunya, [2] Mengerjakan puasa di bulan
Ramadhan, [3] Menjaga kemaluannya dan [4]Menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari
pintu mana saja yang ia inginkan.” (H. R. Ibnu Hibban).
Menaati suami dalam hadits salah satunya dapat berupa dukungan terhadap dakwah suami
dalam rangka mencari ridha suami, sehingga ia dapat masuk surga dari pintu mana pun. Bahkan begitu
harus taatnya (dalam kebaikan), Rasulullah Saw bersabda:
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan
memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” (H. R. At-Trimidzi, Hasan Shahih).
1. Berusaha tidak mengganggu suami yang sedang belajar di rumah dan menjaga anak-anak agar
tidak menyibukkan ayahnya.
2. Ridha, jika suami sering keluar (meninggalkannya) untuk keperluan ilmu dan dakwah.
3. Tidak terlalu sering protes jika suami sering meninggalkannya untuk hal-hal kebaikan. Karena
akan membuat suami tidak konsentrasi berdakwah di luar (memikirkan keinginan dan uneg-
uneg istrinya).
4. Membantu suami semaksimal mungkin, jika ia mendapatkan kendala kekurangan dana untuk
berdakwah.
Dalam hal seperti ini, keduanya memang tidak menyedekahkan sebagian harta bendanya untuk
wakaf. Namun jika hasil wakaf adalah amal jariyah serta maksud dan tujuan berwakaf adalah untuk
kepentingan umat, maka berdakwah, mendukung kegiatan berdakwah adalah hal baik lainnya yang bisa
dilakukan untuk menghasilkan amal jariyah, maksud yang tujuan yang sama seperti berwakaf.
Ibrah yang dapat diambil dari bentuk dukungan shahabiyah terhadap suaminya:
Jika seorang istri selalu mendukung suaminya untuk berdakwah, berbagi ilmu. Insya Allah sang
istri akan mendapatkan pahala yang sama seperti suaminya. Istri yang shalehah pun akan mendidik
anak-anaknya semaksimal mungkin supaya kelak menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah, selalu
mendo`akan kedua orangtuanya.