Anda di halaman 1dari 3

Improfisasi Wakaf Seorang Istri

Oleh: An-nisa Putri Errohman

Wakaf

Perkataan waqf, yang menjadi wakaf dalam Bahasa Indonesia, berasal dari kata kerja Bahasa
Arab waqafa yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau menahan sesuatu. Pengertian
menahan (sesuatu) dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud dengan wakaf dalam
uraian ini. Wakaf adalah menahan sesuatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam
juga merupakan sedekah jariyah, yakni menyedekahkan harta kita untuk ummat. Jumlahnya tidak boleh
berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan diwariskan.

Kendatipun tidak jelas dan tegas wakaf disebutkan dalam al-Qur`an, namun beberapa ayat yang
memerintahkan manusia berbuat baik untuk kebaikan masyarakat dipandang oleh para ahli sebagai
landasan perwakafan. Di dalam al-Qur`an surah Al-Hajj (22) ayat 77. Allah memerintahkan agar manusia
berbuat kebaikan supaya hidup manusia itu bahagia. Di surah lain Allah memerintahkan manusia untuk
membelanjakan (menyedekahkan) hartanya yang baik (2:267).

Dakwah

Dakwah adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Kewajiban ini telah diemban oleh generasi awal
Islam begitu perintah berdakwah tersebut turun. Para pengemban dakwah pada masa itu adalah orang-
orang pilihan yang gagah berani. Mereka juga adalah para suami yang memiliki keluarga dan istri di
sisinya. Keistimewaan ini bukan hanya dimiliki oleh mereka saja, namun juga istri mereka. Sebab berhasil
memberikan dukungan bagi keberhasilan dakwah suaminya.

Hal ini didukung oleh syari’at dan dengan fitrah perempuan. Karena perempuan tidak
dibebankan amal sebanyak amalan laki-laki seperti jihad, bakti kepada orangtua dan dakwah. Dalam
hadits dijelaskan bahwa wanita cukup melakukan empat hal saja untuk masuk surga dari pintu mana
saja. Padahal untuk hal itu sangat memerlukan kesungguhan yang tinggi. Rasulullah Saw bersabda, yang
artinya:

“Apabila seorang wanita [1] Mengerjakan shalat lima waktunya, [2] Mengerjakan puasa di bulan
Ramadhan, [3] Menjaga kemaluannya dan [4]Menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari
pintu mana saja yang ia inginkan.” (H. R. Ibnu Hibban).

Menaati suami dalam hadits salah satunya dapat berupa dukungan terhadap dakwah suami
dalam rangka mencari ridha suami, sehingga ia dapat masuk surga dari pintu mana pun. Bahkan begitu
harus taatnya (dalam kebaikan), Rasulullah Saw bersabda:
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan
memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” (H. R. At-Trimidzi, Hasan Shahih).

Beberapa bentuk dukungan seorang istri terhadap dakwah suaminya:

1. Berusaha tidak mengganggu suami yang sedang belajar di rumah dan menjaga anak-anak agar
tidak menyibukkan ayahnya.
2. Ridha, jika suami sering keluar (meninggalkannya) untuk keperluan ilmu dan dakwah.
3. Tidak terlalu sering protes jika suami sering meninggalkannya untuk hal-hal kebaikan. Karena
akan membuat suami tidak konsentrasi berdakwah di luar (memikirkan keinginan dan uneg-
uneg istrinya).
4. Membantu suami semaksimal mungkin, jika ia mendapatkan kendala kekurangan dana untuk
berdakwah.

Dalam hal seperti ini, keduanya memang tidak menyedekahkan sebagian harta bendanya untuk
wakaf. Namun jika hasil wakaf adalah amal jariyah serta maksud dan tujuan berwakaf adalah untuk
kepentingan umat, maka berdakwah, mendukung kegiatan berdakwah adalah hal baik lainnya yang bisa
dilakukan untuk menghasilkan amal jariyah, maksud yang tujuan yang sama seperti berwakaf.

Ibrah yang dapat diambil dari bentuk dukungan shahabiyah terhadap suaminya:

1. Meringankan beban suami


Menjadi kepala keluarga sekaligus pengemban dakwah adalah tugas suami yang tidak ringan.
Pada kondisi tertentu, suami akan dihadapkan pada ujian hidup yang tidak ringan. Alangkah
indahnya kehidupan rumah tangga yang dibangun oleh istri yang mendukung dakwah
suaminya yang sedang dalam masa sulit. Ia tidak akan membebani suaminya dengan hal-hal
yang memberatkan di luar kemampuannya, sehingga berpengaruh pada pelaksanaan
kewajiban dakwahnya.
2. Memperkuat pemahaman Islam
Demi kelancaran dakwah suami, tentu istri dituntut untuk memiliki pemahaman Islam atau
tsaqafah Islam yang cukup. Bekal inilah yang akan memudahkan suami membantu tugas
suami, terutama dalam mempersiapkan bahan-bahan materi dakwah. Karena disisi lain,
perbedaan pemahaman istri dan suami terkadang memicu konflik rumah tangga.
3. Sabar mengahadapi ujian dakwah
Ujian adalah tabi`at dakwah Islam. Ia bukan saja menjadi ujian bagi suami, namun juga bagi
istri. Oleh karenanya istri yang sabar menghadapi ujian dakwah sebenarnya memberikan
dukungan dakwah suaminya.
4. Ikhlas menerima kewajiban
Seorang istri tidak akan mampu memberikan dukungan dakwah suami jika ia tidak memiliki
pemahaman yang benar tentang dakwah. Inilah yang diyakini oleh Sayyidah Khadijah ra
tatkala suaminya Rasulullah Saw mendapat tugas mengembann Islam untuk pertama kalinya.
Beliau tampil mendampingi Rasulullah Saw dengan segenap kepasrahan kerena Allah Swt.
5. Rela berkorban
Berdakwah tentu saja membutuhkan pengorbanan. Apalah jadinya jika seorang istri tidak
siap berkorban dan tidak ridha terhadap pengorbanan suami, pastilah suami akan terkendala
dalam perjalanan dakwahnya.
Demikian pula yang dikorbankan istri Abu Bakr Ra, yaitu Ummu Ruman Ra krtika
ditinggalkan suaminya hijrah ke Madinah bersama Rasulullah Saw. Abu Bakr tidak
meninggalkan harta sedikit bagi keluarganya, karena hartanya telah habis disedekahkan
untuk berdakwah. Namun istrinya Ummu Ruman ridha dengan semua itu.

Jika seorang istri selalu mendukung suaminya untuk berdakwah, berbagi ilmu. Insya Allah sang
istri akan mendapatkan pahala yang sama seperti suaminya. Istri yang shalehah pun akan mendidik
anak-anaknya semaksimal mungkin supaya kelak menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah, selalu
mendo`akan kedua orangtuanya.

Anda mungkin juga menyukai