Anda di halaman 1dari 4

Pak Guru oh Pak Guru

Di suatu kampung nelayan, sesosok Bapak Guru Muda yang baru saja hadir dari kota
begitu bersemangat membentuk murid-muridnya terpelajar dan memiliki disiplin yang
tinggi. Pada saat pertama kali bertatap muka, Sang Guru Muda mulai menyampaikan
sejumlah peraturan kedisiplinan siswa.

“Anak-anak bapak yang bagus, bapak sangat senang dapat membina kalian di sini.
Bapak harap, kita semuanya sama-sama mampu menjalankan aktifitas belajar dengan
baik ke depannya. Oleh sebab itu, mulai sekarang tidak boleh ada lagi yang terlambat.
Bapak pun tidak ingin mendapati kalian berangkat sekolah dengan penampilan kacau,
dan kalian mesti merapikan rambut serta kuku-kuku kalian. Jangan ada rambut yang
panjang terlebih lagi kuku. Besok pagi Bapak akan mengecek satu persatu”.

Dikeesokan harinya, Guru tersebut pun hadir pagi pagi sekali. Dia mau mengamati
kesungguhan siswanya tersebut mengikuti perintahnya. Anak-anak pun hadir satu per
satu dengan tepat waktu, perasaan pak Guru pun gembira, “Sungguh hebat murid
murid saya”, ucapnya di dalam hati.//

Setibanya ia memasuki ruangan kelas, mata Pak Guru Muda itu menatap rambut-
rambut siswa. Lagi-lagi ia senang, karena para murid mematuhi perintahnya. Ia
membayangkan betapa nikmatnya mengajari anak-anak yang mau mendengarkan
kata-katanya, “Anak-anak hebat” ujarnya.

Lalu pandangan pak Guru berganti ke arah kuku-kuku masing masing muridnya. Ia pun
terkejut sebab menemukan 75%  siswanya tidak memotong kuku. Mukanya menjadi
mengesut, terlihat tanda kekesalan yang keluar dari matanya.

“ Para Murid-muridku, kalian menyimak tidak apa yang bapak bilang kemarin kan?”
“Iya, Pak” jawab anak-anak secara bersamaan dan kompak.
“Bapak bilang apa?”
“Bapak bilang kami patut belajar disiplin, hadir dengan tepat waktu. Berpakaian sopan
dan rapi serta potong kuku dan rambut” Jawab para murid-murid.

“Bapak gembira kalian sudah memperhatikan bapak, kalian sudah rapi, hadir tepat
waktu, dan telah ada yang menggunting rambut. Namun mengapa tidak sekaligus kamu
semua memotong kuku? mengapa kalian menurutinya dengan setengah hati?.”

Diantara salah satu siswa yang berada di bangku paling depan mengacungkan jari
telunjuknya seraya bilang “Jika saya diperkenankan mewakili teman-teman, Pak Guru.
Kami semua bersedia dan mau untuk mematuhi Pak Guru, datang tepat waktu,
memotong kuku dan rambut.
Akan tetapi yang terakhir kami tidak dapat melakukannya Pak Guru. Kami semua
merupakan anak-anak nelayan, habis pulang sekolah, kami terbiasa menolong orang
tua kami untuk mengupas kulit kerang. Seandainya kami memotong kuku kami, maka
kami tidak dapat kembali menolong orang tua kami.” Guru Muda tersebut kaget,
Ucapan yang baru saja ia dengar menyadarkan dirinya mengenai hal baru.

Melakukan profesi sebagai guru tidaklah sesuatu yang ringan. Guru tidaklah termasuk
sosok pemahat patung yang dengan gampangnya memahat kayu jadi karya yang
indah. Guru pula bukanlah file komputer yang tetap secara berulang ulang meng-copy
paste semua memori buat  dipindahkan ke otak murid-murid.

Untuk melaksanakan profesinya, Guru tidak lagi berhadapan dengan barang kosong
yang mengisinya dengan sesuka hati. Namun yang dia hadapi merupakan anak
manusia yang memiliki perasaan, emosi, perasaan serta pengalaman dunia yang
beraneka macam.

Dengan demikian, disamping sungguh sungguh ahli dalam penguasaan pelajaran dan
cekatan berkomunikasi. Guru harus punya kepekaan sosial atas apa yang dialami
murid. Di lapangan, kadang kadang tidak cocok dengan teori yang dipelajari ketika
“belajar di kampus”. Pada keadaan tersebut, Guru mesti sanggup menanggalkan teori
yang biasa dan bertindak dengan metode yang baru.

Di sinilah perlu kebijakan sesosok guru, kesanggupan yang dapat menimbang antara
melaksanakan prinsip umum atau mengalah dengan mengamati keadaan yang
beragam dan tidak sesuai. Semestinya Seorang guru mengetahui, kalau di dunia ini
ada banyak jalan untuk meraih cita-cita.

Banyak pengertian yang berganti, pada tempat dan kondisi yang tidak sama.
menerapkan paksaan kepada para murid agar berfikir dengan satu pola yang hanya
akan mengurung kreativitas mereka untuk menerima ilmu pengetahuan. Hal yang
padahal berlawanan dengan prinsip pengetahuan. Diharapkan pendidikan Indonesia
waktu demi waktu menjadi bertambah dan semakin baik.
Penjahit Laki-laki pun Bisa Sukses!

          “Kerja keras dan ketekunan merupakan kunci kesukesan saya.” Itulah
yang dikatakan Pak Giman kepada karyawannya saat beliau ditanya mengenai
kesuksesan dirinya saat kini. Laki-laki berumur 40 tahun tersebut mengisahkan
di awal mula memulai usahanya tersebut.

“Sesudah lulus SMP, saya kemudian meneruskan ke SMK jurusan Tata


Busana.”

“Loh, Itu kan sekolah buat wanita pak?” Tanya Ratih, salah seorang
karyawanannya.

“Buat wanita sih tidak juga, namun memang mayoritas muridnya adalah
perempuan. Tetapi apa salahnya? Karena saya renungkan dengan keahilan
jenis itu saya dapat merintis usaha sendiri.” Kata Pak Giman.

Namun begitu, adap yang terjadi di lapangan tidak seindah yang dibayangkan
Pak Giman. Sesudah Pak Giman lulus, beliau tidak mempunyai modal buat
merintis usaha kios jahitnya sendiri. Maka, sesudah beliau lulus, Pak Giman
pergi merantau menuju Jakarta.

Tanpa kawan dan tanpa pengalaman, beliau hanya seorang diri melamar
pekerjaan kesana-kemari. Meskipun dua minggu Pak Giman tetap saja
menganggur sebab belum menemukan pekerjaan, namun ia pada akhirnya
mendapatkan lowongan pekerjaan di suatu perusahaan konveksi.

“Di perusahaan itu saya memperoleh banyak pengalaman bernilai. Pengalaman


yang lebih penting dan berguna dibandingkan di pelajaran sekolah.” Ujar Pak
Giman.

Kemudian, mengapa bapak mengundurkan diri dari perusahaan tersebut?”


Tanya Ratih.

Dari awal Pak Giman memang memiliki impian untuk merintis kios jahit sendiri,
dan keinginannya tersebut sudah benar benar tidak terbendung lagi di saaat
selama lima tahun beliau bekerja, gajinya tidak segera naik naik.

“Pada masa itu gaji saya perbulannya adalah seratus ribu, tentunya sih agak
cukup buat hidup di tahun 95-an. Namun, dengan jumlah segitu tentunya masih
minim buat bertahan hidup di Jakarta. Mulai situ saya kemudian berkeinginan
mau pulang kampong.”

Lewat jumlah modal yang cukup dari perolehan kerja di Jakarta, Pak Giman
kemudian merintis kios Jahitnya sendiri. Pada mulanya, bisnis Pak Giman tidak
berlangsung mulus. Minggu pertama, toko Pak Giman masih tidak ada pembeli.
Akan tetapi, karena kesabaran serta usaha kerasnya, para pembeli toko Pak
Giman pun mulai bertambah banyak.

Sebab itulah Pak Giman mulai menerima karyawan. Hingga saat sekarang, Pak
Giman telah memilih karyawan berjumlah sepuluh orang, termasuk Ratih. Ruang
di Rumahnya juga sudah tidak lagi memadai buat usahanya tersebut. Oleh
karena itu, Ia membeli tanah kosong di samping rumahnya agar dibangun tempat
lagi.

“Jadi, seluruh ini merupakan hasil dari usaha jahit bapak ya pak?”

“Benar! Semua ini karena hasil kerja keras saya membangun usaha jahit ini.”

“Terus, mengapa kios jahit ini dikasih nama ‘Pangestu Tailor’?”

“Pangestu Tailor itu artinya saya berharap usaha ini diridhoi oleh Allah dan
mendapatkan restu dari orang tua.”, Tutur Pak Giman mengakhiri ceritanya.

Anda mungkin juga menyukai