Anda di halaman 1dari 103

BUKU PENDIDIKAN

PANCASILA

Buku ini dibuat guna memenuhi tugas akhir dari mata kuliah Pendidikan Pancasila. Segala informasi yang
tercantum di dalam buku ini merupakan hasil kerja dari seluruh anggota Kelas A Pendidikan Geografi
Angkatan 2019.Universitas Negeri Gorontalo
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah Rabbil Aalamiin, buku Pancasila ini dapat diselesaikan walaupun


melihat kondisi kita saat ini yang berada di tengah-tengah lingkaran Covid-19. Semoga
buku ini bermanfaat bagi bangsa, khususnya bagi para pembaca dan akademisi yang
berkecimpung dalam bidang Pancasila dan Hukum.
Motivasi penyusunan buku ini berawal dari kebutuhan kami terhadap referensi
pembelajaran Pancasila sebagai mahasiswa kelas A Semester 2 angkatan 2019 Prodi
Pendidikan Geografi Jurusan Ilmu dan Teknologi Kebumian Universitas Negeri
Gorontalo dan juga sebagai nilai Ujian Akhir Semester mata kuliah Pancasila.
Mahasiswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran secara tatap muka karena
adanya pandemic wabah virus Covid-19 dan saat ini kita hanya mengandalkan jaringan
saat melakukan perkuliahan. Jadi, kami membuat buku ini yang di dalamnya terdapat 8
(delapan) materi yang telah diberikan oleh dosen pengampu kami. Materi-materi yang
ada dalam buku ini sebelumnya telah kami presentasikan melalui sistem kuliah daring
menggunakan aplikasi WhatsApp.
Substansi buku ini membahas hal terkait kajian Pancasila yang dituangkan ke
dalam 8 (delapan) bab. Secara rinci bab-bab dalam buku ini adalah sebagai berikut. Bab
I: Landasan Pendidikan Pancasila, Bab II: Proses Perumusan dan Pengesahan Pancasila
Sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bab III: Pancasila Sebagai
Sistem Filsafat, Bab IV: Pancasila Sebagai Pandangan Hidup dan Ideologi, Bab V:
Pancasila Sebagai Etika Politik, Bab VI: Pancasila Sebagai Ideologi Nasional, Bab VII:
Pancasila Dalam Konteks Ketatanegaraan Republik Indonesia, dan Bab VIII: Pancasila
Sebagai Paradigma Dalam Masyarakat Berbangsa dan Bernegara.
Kami sebagai penulis dan penyusun makalah ini mengucapkan terima kasih secara
mendalam kepada semua pihak dan semua anggota kelompok yang telah membantu
dalam penulisan buku ini. Secara khusus, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Pancasila Ibu Nopiana Mozin, S.H., M.H.
Redaksional penulisan buku ini disajikan secara ringkas dengan menggunakan tata
bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami dengan harapan agar mahasiswa dan
pembaca lainnya mudah memahami esensi serta substansi bahasanya. Kami penulis

i
menyadari dalam penyelesaian buku ini masih ada beberapa hal yang memerlukan
penyempurnaan agar dapat menghasilkan karya tulis yang mendekati sempurna. Akhir
kata, mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi semua orang yang bergelut di bidang
Pancasila dan Hukum.

Gorontalo, 1 Mei 2020

Kelas A Pendidikan Geografi Angkatan 2019

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii

BAB I LANDASAN PENDIDIKAN PANCASILA


1.1 Landasan Pendidikan Pancasila ......................................................................... 1
1.2 Tujuan Pendidikan Pancasila ........................................................................... 11

BAB II PROSES PERUMUSAN DAN PENGESAHAN PANCASILA


2.1 Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia ....................................................... 13
2.2 Kronologi Perumusan dan Pengesahan Pembukaan UUD 1945 (Pancasila) dan
UUD 1945 ................................................................................................................... 16
2.3 Pengesahan Pembukaan UUD 1945/Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia ..................................................................................................................... 21

BAB III PEMBAHASAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT


3.1 Pancasila Sebagai Sistem Filsafat ......................................................................... 23

BAB IV PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP DAN IDEOLOGI


4.1 Pancasila Sebagai Ideologi Nasional .................................................................... 34
4.2 Alasan Pancasila sebagai Ideologi Nasional Bangsa dan Negara Indonesia ........ 36
4.3 Makna Pancasila sebagai Ideologi Nasional Bangsa dan Negara Indonesia ...... 38
4.4 Implementasi Pancasila sebagai Ideologi Nasional Negara Indonesia ............... 39
4.5. Penerapan Ideologi .............................................................................................. 39

BAB V PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK


5.1. Konsep-Konsep Dasar Pancasila ......................................................................... 46
5.2 Etika Politik ......................................................................................................... 50
5.3. Legitimasi Sosiologis .......................................................................................... 52
5.4 Pancasila Sebagi Sumber Etika ............................................................................. 53
5.5 Etika Kehidupan Berbangsa (Tap MPR No 01/MPR/2001) ................................ 57
5.6 Pemberdayaan Etika Pancasila dalam Konteks Kehidupan Akademik ............... 58

BAB VI PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL


6.1 Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia ................................... 60
6.2 Fungsi Pancasila sebagai ideologi negara ............................................................. 64

iii
6.3 Tantangan terhadap Pancasila sebagai ldeologi Negara ....................................... 67
6.4 Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara .......................................................... 68

BAB VII PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK


INDONESIA
7.1 Arti Pancasila Dalam Konteks Ketatanegaraan RI ............................................... 69
7.2 Kedudukan Pancasila Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia ...................... 70
7.3 Dinamika Pelaksanaan Pancasila Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia .... 71
7.4 Perundang-Undangan Dalam Bidang Politik ........................................................ 74

BAB VIII PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM


MASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA
8.1 Pengertian Pancasila Sebagai Paradigma......................................................... 77
8.2 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan ................................................... 77
8.3 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi .......................................................... 81
8.5 Tridharma Perguruan Tinggi ........................................................................... 90
8.6 Budaya Akademik............................................................................................ 92
8.7 Kampus sebagai Moral Force ............................................................................... 93
GLOSARIUM
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
LANDASAN PENDIDIKAN PANCASILA

1.1 Landasan Pendidikan Pancasila


Dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dapat menelusuri
sejarah kita di masa lalu dan coba untuk melihat tugas-tugas yang kita emban ke
masa depan, yang keduanya menyadarkan kita akan perlunya menghayati dan
mengamalkan Pancasila. Sejarah di belakang telah dilalui dengan berbagai cobaan
terhadap Pancasila, namun sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa Pancasila
yang berakar dia bumi Indonesia senantiasa mampu mengatasi percobaan nasional
di masa lampau. Dari sejarah itu, kita mendapat pelajaran sangat berharga bahwa
selama ini Pancasila belum kita hayati dan juga belum kita amalkan secara
semestinya.
Kenyataan hidup berbangsa dan bernegara bagi kita bangsa Indonesia tidak
dapat dilepaspisahkan dari sejarah masa lampau.Demikianlah halnya dengan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk di dalamnya
Pancasila sebagai dasar negaranya.Sejarah masa lalu dengan masa kini dan masa
mendatang merupakan suatu rangkaian waktu yang berlanjut dan
berkesinambungan.Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pnacasila sebagai Dasar
Filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan
manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya
kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi negara Pancasila. Bahkan
pernah diperdebatkan kembali kebenaran dan ketepatannya sebagai Dasar dan
Filsafat Negara Republik Indonesia.Bagi bangsa Indonesia tidak ada keraguan
sedikitpun mengenai kebenaran dan ketepatan Pancasila sebagai pandangan hidup
dan dasar Negara.
Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945
dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia, khususnya sejarah kehidupan
politik dan ketatanegaraan Indonesia, telah mengalami persepsi dan interpretasi
sesuai dengan kehendak dan kepentingan yang berkuasa selama masa
kekuasaannya berlangsung.Bahkan pernah diperdebatkan kembali kebenaran dan
ketepatannya sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia sehingga

1
bangsa Indonesia nyaris berada di tepi jurang perpecahan kendati sebelumnya
pernah disepakati bersama dalam konsensus nasional tanggal 22 Juni 1945 dan
tanggal 18 Agustus 1945. Adapula masa dimana usaha-usaha untuk mengubah
Pancasila itu dengan pemberontakan-pemberontakan senjata, yang
penyelesaiannya memakan waktu bertahun-tahun dan meminta banyak
pengorbanan rakyat. Di samping berbagai faktor lain, pemberontakan yang
berlarut-larut itu jelas menghilangkan kesempatan bangsa Indonesia untuk
membangun, menuju terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan.
Jalan lurus pelaksanaan pancasila, juga mendapat rintangan-rintangan dengan
adanya pemutarbalikan Pancasila dijadikannya Pancasila sebagai tameng untuk
menyusupkan faham dan ideologi lain yang justru bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila. Masa ini ditandai antara lain dengan memberi arti kepada Pancasila
sebagai“nasakom”, ditampilkannya pengertian “Sosialisme Indonesia” sebagai
Marxisme yang diterapkan di Indonesia dan banyak penyimpangan-penyimpangan
lainnya lagi yang bersifat mendasar. Masa pemutarbalikan Pancasila ini bertambah
kesimpangsiurannya karena masing-masing kekuatan politik, golongan atau
kelompok di dalam masyarakat pada waktu itu memberi arti sempit kepada
Pancasila untuk keuntungan dan kepentingannya sendiri.
Menurut Wikipedia Pancasila merupakan ideologi dasar bagi negara Indonesia.
Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca yang artinya lima dan śīla
berarti prinsip atau asas. Pancasila yakni rumusan dan pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima lambang pokok penyusun Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4
Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945 negara.
a. Landasan Historis
Perumusan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tidak terlepas dari
sejarah perjuangan para pahlawan bangsa Indonesia untuk merenggut
kemerdekaan.Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, berawal bangsa Indonesia
menyambut baik kedatangan Jepang.Rupanya kedatangan Jepang tidak mengubah

2
nasib bangsa ke arah yang lebih baik, bahkan sebaliknya, ternyata lebih tragis dari
pada pemerintah Hindia Belanda. Maka di daerah-daerah muncul perlawanan
terhadap Jepang Pada tahun 1943 posisi Jepang semakin genting karena
menghadapi gempuran tentara Sekutu.
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang
sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, sampai datangnya bangsa lain
yang mejajah serta menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun bangsa
Indonesia dalam perjalanan hidupnya berjuang untuk menemukan jati dirinya
sebagai suatu bangsa yang merdeka, mandiri serta memiliki suatu prinsip yang
tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup bangsa. Setelah melalui suatu
proses yang cukup panjang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menemukan
jati dirinya, yang didalamnya tersimpul ciri khas, sifat, dan karakter bangsa yang
berbeda dengan bangsa lain, yang oleh para pendiri negara kita dirumuskan dalam
suatu rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi lima prinsip (lima
sila) yang kemudian diberi nama Pancasila.
Bangsa Indonesia terbentuk dalam suatu proses sejarah yang cukup panjang
sejak Zaman kutai. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia berjuang menemukan jati
dirinya sebagai suatu bangsa yang merdeka , mandiri serta filsafat hidup bangsa.
Setelah melalui suatu proses yang panjang dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia menemukan jati dirinya , yang di dalamnya tersimpul ciri khas , sifat, dan
karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Dalam hidup berbangsa dan
bernegara dewasa ini terutama dalam masa reformasi, bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang harus memiliki visi harus serta pandangan hidup yang kuat agar tidak
terombang-ambing ditengah-tengah masyrakat Internasional. Jadi, secara historis
bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila, sebelum dirumuskan
dan disahkan menjadi dasar Negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki
oleh bangsa Indonesia sendiri sehingga asal nilai-nilai pancasila tersebut tidak lain
adalah dari bangsa Indonesia sendir, atau dengan kata lain bangsa Indonesia sebagai
kuasa materialis pancasila.
Dalam hidup berbangsa bernegara dewasa ini terutama dalam masa reformasi,
bangsa Indonesia sebagai bangsa harus memiliki visi serta pandangan hidup yang
kuat agar tidak terombang-ambing di tengah-tengah masyarakat internasional.

3
Dengan kata lain bangsa Indonesia harus memiliki nasionalisme serta rasa
kebangsaan yang kuat. Hal ini dapat terlaksana bukan melalui suatu kekuasaan atau
hegemoni ideologi melainkan suatu kesadaran berbangasa dan bernegara yang
berkar pada sejarah bangsa.
Jadi secara historis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila
sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar Negara Indonesia secara objektif
historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal niali-nilai
Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau dengan kata
lain bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena itu
baerdasarkan fakta objektif secara hidtoris kehidupan bangsa Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan nilai-nilai Pancasila. Atas dasar pengertian dan alasan historis
inilah maka sangat penting bagi generasi penerus bangsa terutama kalangan
intelektual kampus untuk mengkaji, memahami, dan mengembangkan berdasarkan
pendekatan ilmiah, yang pada gilirannya akan memiliki suatu kesadaran serta
wawasan kebangsaan yang kuat berdasarkan nilai-nilai yang dimilikinya sendiri.
Materi inilah yang dalam kurikulum internasional disebut civic education, yaitu
mata kuliah yang membahas tentang national philosophy bangsa Indonesia. Hal ini
harus dipahami oleh seluruh generasi penerus bangsa, karena bangsa Indonesia
secara historis memiliki nilai-nilai kebudayaan, adat-istiadat serta nilai-nilai
keagamaan yang secara historis melekat pada bangsa.
b. Landasan Kultural
Bangsa Indonesia mendasarkan paradigma hidupnya dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara pada sebuah asas kultural yang dimiliki dan akrab pada
bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang tercantum
dalam sila-sila Pancasila bukanlah merupakan hasil konseptual seseorang saja
melainkan ialah sebuah hasil karya bangsa Indonesia sendiri yang diangkat dari
nilai-nilai kultural yang dimiliki dari proses refleksi filosofis para pendiri negara.
Oleh karena itu generasi penerus terutama kalangan intelektual kampus sudah
seharusnya untuk mendalami serta meneliti karya besar tersebut dalam usaha untuk
mengabdikan secara pantas dalam arti memajukan sesuai dengan tuntutan jaman.
Setiap bangsa di dunia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
senantiasa memiliki suatu pandangan hidup. Filsafat hidup serta pegangan hidup

4
agar tidak terombang-ambing dalam pergaulan masyarakat internasional. Setiap
bangsa memiliki ciri khas serta pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa lain.
Negara komunisme dan liberalisme meletakan dasar filsafat negaranya pada suatu
konsep ideologi tertentu. Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia
mendasarkan pandangan hidupnya dalam masyarrakat, berbangsa dan bernegara
pada suatu asas cultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Satu-
satunya karya besar bangsa Indonesia yang sejajar dengan karya besar bangsa lain
di dunia ini adalah hasil pemikiran tentang bangsa dan Negara yang mendasarkan
pandangan hidup suatu prinsip nilai yang terutang dalam sila-sila pancasila.
Setiap bangsa memiliki ciri khas serta pandangan hidup yang berbeda dengan
bangsa lain. Negara komunisme dan liberalisme meletakkan dasar filsafat
negaranya pada suatu konsep ideologi tertentu, misalnya komunisme mendasarkan
ideologinya pada suatu konsep pemikiran Karl Marx. Berbeda dengan bangsa-
bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki dan
melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila bukanlah hanya merupakan suatu hasil
konseptual seseorang saja melainkan merupakan suatu hasil karya besar bangsa
Indonesia sendiri, yang diangkat dari nila-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara seperti
Soekarno, M. Yamin, M. Hatta, Soepomo serta para tokoh pendiri negara lainnya.
Satu-satunya karya besar bangsa Indonesia yang sejajar dengan karya besar
bangsa lain di dunia ini adalah hasil pemikiran tentang bangsa dan negara yang
mendasarkan pandangan hidup suatu prinsip nilai yang tertuang dalam sila-sila
Pancasila. Oleh karena itu para generasi penerus bangsa terutama kalangan
intelektual kampus sudah seharusnya untuk mendalami secara dinamis dalam arti
mengembangkannya sesuai dengan tuntunan zaman.
c. Landasan Yuridis
Landasan Pendidikan Pancasila khususnya perkuliahan Pendidikan Pancasila di
Perguruan Tinggi secara yuridis diatur dalam UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 39 menyatakan : Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan
jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama,

5
Pendidikan Kewarganegaraan.Demikian juga berdasarkan SK Mendiknas RI,
No.232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan
Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, pasal 10 ayat 1 dijelaskan bahwa kelompok
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, wajib diberikan dalam kurikulum
setiap program studi, yang terdiri atas Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama,
dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Sebagai pelaksanaan dari SK tersebut, Dirjen Pendidikan Tinggi mengeluarkan
Surat Keputusan No.38/DIKTI/Kep/2002, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa
kompetensi kelompok mata kuliah MPK bertujuan menguasai kemampuan berfikir,
bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas sebagai manusia
intelektual.Adapun rambu-rambu mata kuliah MPK Pancasila adalah terdiri atas
segi historis, filosofis, ketatanegaraan, kehidupan berbangsa dan bernegara serta
etika politik.Pengembangan tersebut dengan harapan agar mahasiswa mampu
mengambil sikap sesuai dengan hati nuraninya, mengenali masalah hidup terutama
kehidupan rakyat, mengenali perubahan serta mampu memaknai peristiwa sejarah,
nilai-nilai budaya demi persatuan bangsa.
Landasan Yuridis perkuliahan pendidikan pancasila di pendidikan Tinggi
tertuang dalam undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional. Pasal 29 telah menetapkan bahwa ia isi kurikulum setiap jenis, jalur dan
jenjang pendidikan, wajib memuat pendidikan pancasila, pendidikan agama dan
pendidikan kewarganegaraan konseptual tersebut kemudian dikokohkan kembali
oleh kehadiran dan undang-undang Nomor tahun 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan Nasional sebagai pengganti undang-undang No. 2 tahun 1989.
Undang-Undang PT No. 12 Tahun 2012 Pasal 35 ayat (3) secara eksplisit
dicantumkan bahwa kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat Mata Kuliah
Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan serta
Bahasa Indonesia. Dengan demikian perkuliahan Pancasila memiliki landasan
yuridis, sebagaimana termuat dalam Udang-Undang No. 12 Tahun 2012.
Landasan yuridis pancasila terdapat dalam alineaIV Pembukaan UUD”45, antara
lain di dalamnya terdapat rumusan sila-sila Pancasila sebagai dasar negara yang sah
sebagai berikut :

6
1) Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia pasal 1, 32, 36.
4) Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Batang tubuh UUD 1945 pun merupakan landasan yuridis konstitusional karena
dasar negara yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut
dan rinci dalam pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat di dalam Batang Tubuh
UUD 1945 tersebut. Adapun penjabaran yang terdapat pada batang tubuh UUD
1945 sebagai berikut :
1. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.Ayat
(2) UUD 1945: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
2. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala Warganegara bersamaan kedudukannya di
dalam Hukum danPemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.
3. Ayat (2) UUD 1945: Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
4. Pasal 30 ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pembelaan Negara.
5. Pasal 22E: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
6. Pasal 33 ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan. Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai hajat hudup orang banyak
dikuasai oleh Negara.
7. Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalammya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu mata kuliah pancasila adalah mata kuliah yang mendidik warga negara
untuk mengetahui, memahami dan merealisasikan nila-nilai Pancasila baik sebagai

7
dasar filsafat negara maupun sebagai ideologi bangsa dan negara.Oleh karena itu
perkuliahan Pancasila dilakukan untuk membentuk karakter bangsa dengan
menanamkan nila-nilai kebangsaan, serta kecintaan terhadap tanah air yang dalam
kurikulum internasional disebut sebagai civic education, citizenship education.
Dalam SK Dirjen Dikti No. 43/DIKTI/KEP/2006, dijelaskan bahwa Misi
Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk memantapkan kepribadian mahasiswa
agar secara konsisten mampu mewujudkan nila-nilai dasar Pancasila, rasa
kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Jadi sesuai dengan SK Dirjen Dikti No.
43/DIKTI/KEP/2006, tersebut maka Pendidikan Kewarganegaraan adalah berbasis
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia. Berdasarkan ketentuan
tersebut maka secara material melalui Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan
Pancasila bahkan Filsafat Pancasila adalah wajib diberikan di pendidikan tinggi,
dan secara eksplisit terdapat dalam rambu-rambu pendidikan kepribadian.
d. Landasan Filosofis
Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan pandangan filosofis bangsa
Indonesia, oleh karena itu sudah merupakan suatu keharusan moral untuk secara
konsisten merealisasikan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Secara filosofis bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara ialah sebagai
bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan, hal ini berdasarkan kenyataan
obyektif bahwa manusia yakni makhluk Tuhan Yang Maha Esa.Setiap aspek
penyelenggaraan negara harus bersumber pada nilai-nilai Pancasila termasuk sistem
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu dalam realisasi
kenegaraan termasuk dalam proses reformasi dewasa ini merupakan suatu
keharusan bahwa Pancasila merupakan sumber nilai dalam pelaksanaan
kenegaraan, baik dalam pembangunan nasional, ekonomi, politik, hukum, sosial
budaya, maupun pertahanan keamanan.
Pancasila adalah sebagai dasar filsafat Negara dan pandangan Filosofis bangsa
Indonesia.Oleh karena itu, sudah merupakan suatu keharusan moral untuk secara
konsisten merealisasikannya dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hal ini berdasarkan pada kenyataan secara filosofis dan

8
objektif bahwa bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara
mendasarkan pada nilai-nilai yang tertuang dalam sila-sila pancasila yang secara
filosofis merupakan filosofis bangsa Indonesia sebelum mendirikan Negara.
Secara filosofis, bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara adalah sebagai
bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan, hal ini berdasarkan kenyataan
objektif bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Syarat mutlak
suatu negara adalah adanya persatuan yang terwujudkan sebagai rakyat (merupakan
unsur poko negara), sehingga secara filosofis negara berpersatuan dan
berkerakyatan.Konsekuensinya rakyat adalah merupakan dasar ontologis
demokrasi, karena rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara dan sekaligus
sebagai unsur pokok negara.
Atas dasar pengertian filosofis tersebut maka dalam hidup bernegara nilai-nilai
Pancasila merupakan dasar filsafat Negara.Konsekuensinya dalam setiap aspek
penyelenggaraan negara harus bersumber pada nila-nilai Pancasila termasuk sistem
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu dalam realisasi
kenegaraan termasuk dalam proses reformasi dewasa ini merupakan suatu
keharusan bahwa Pancaslia merupakan sumber nila dalam pelaksanaan kenegaraan,
baik dalam pembangunan nasional, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya,
maupun pertahanan dan keamanan.
Penyataan hidup berbangsa dan bernegara bagi kita bangsa Indonesia tidak dapat
dilepas pisahkan dari sejarah masa lampau.Demikianlah halnya dengan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk di dalamnya
Pancasila sebagai dasar negaranya.Sejarah masa lalu dengan masa kini dan masa
mendatang merupakan suatu rangkaian waktu yang berlanjut dan
berkesinambungan.Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai Dasar
Filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan
manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya
kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi negara Pancasila. Bahkan
pernah diperdebatkan kembali kebenaran dan ketepatannya sebagai Dasar dan
Filsafat Negara Republik Indonesia. Bagi bangsa Indonesia tidak ada keraguan
sedikitpun mengenai kebenaran dan ketepatan Pancasila sebagai pandangan hidup
dan dasar negara.Dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dapat

9
menelusuri sejarah kita di masa laludan coba untuk melihat tugas-tugas yang kita
emban ke masa depan, yang keduanya menyadarkan kita akan perlunya menghayati
dan mengamalkan Pancasila. Sejarah di belakang telah dilalui dengan berbagai
cobaan terhadap Pancasila, namun sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa
Pancasila yang berakar dia bumi Indonesia senantiasa mampu mengatasi percobaan
nasional dimasa lampau. Dari sejarah itu, kita mendapat pelajaran sangat berharga
bahwa selama ini Pancasila belum kita hayati dan juga belum kita amalkan secara
semestinya.Penghayatan adalah suatu proses batin yang sebelum dihayati
memerlukan pengenalan dan pengertian tentang apa yang akan dihayati itu.
Selanjutnya setelah meresap di dalam hati, maka pengamalannya akna terasa
sebagai sesuatu yang keluar dari esadaran sendiri, akan terasa sebagai sesuatu yang
menjadi bagian dan sekaligus tujuan hidup. Sementara itu, Pengamatan terhadap
tugas-tugas sejarah yang kita emban ke masa depan yang penuh dengan segala
kemungkinan itu, juga menyadarkan kita akan perlunya penghayatan dan
pengamalan Pancasila.
Dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dapat menelusuri
sejarah kita di masa lalu dan coba untuk melihat tugas-tugas yang kita emban ke
masa depan, yang keduanya menyadarkan kita akan perlunya menghayati dan
mengamalkan Pancasila. Sejarah di belakang telah dilalui dengan berbagai cobaan
terhadap Pancasila, namun sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa Pancasila
yang berakar dia bumi Indonesia senantiasa mampu mengatasi percobaan nasional
di masa lampau. Dari sejarah itu, kita mendapat pelajaran sangat berharga bahwa
selama ini Pancasila belum kita hayati dan juga belum kita amalkan secara
semestinya.
e. Pancasila dari Terminologis
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah mengeluarkan
negara Republik Indonesia.Untuk melengkapi instrumen-instrumen perlengkapan
negara sebagaimana mestinya negara-negara yang merdeka, maka Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera melangsungkan sidang.Dalam sidangnya
tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik
Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua
bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37

10
pasal, 1 Aturan-Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan
terdiri atas 2 ayat.

1.2 Tujuan Pendidikan Pancasila


Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dan juga
termuat dalam SK Dirjen Dikti No. 43/DIKTI/KEP/2006, dijelaskan bahwa tujuan
materi Pancasila dalam rambu-rambu Pendidikan Kepribadian mengarahkan pada
moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang
memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat
yang terdiri atas berbagai golongan agama, kebudayaan dan beraneka ragam
kepentingan, memantapkan kepribadian mahasiswa agar secara konsisten mampu
mewujudkan nila-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam
menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
dengan penuh rasa tanggung jawab dan bermoral.
Tujuan pendidikan diartikan sebagai seperangkat tindakan intelektual yang penuh
tanggung jawab yang berorientasi pada kompetensi mahasiswa pada bidang profesi
masing-masing. Sedangkan kompotensi lulusan pendidikan pancasila ditujukan
untuk memahami seperangkat tindakan intelektual, yang penuh tanggung jawab
sebagai seorang warga Negara dalam memecahkan berbagai masalah dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menerapkan pemikiran yang
berlandaskan nilai-nilai pancasila.
a. memahami arti pancasila dan UUD 45 dalam kehidupan sehari hari dan mampu
melaksanakan sebagai warga negara Indonesia.
b. mengetahui dan memahami tentang beranekaragamnya dasar kehidupan masyarakat
indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
c. Memiliki keimanan serta ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
d. Memiliki sikap kemanusiaan yang adil juga beradab kepada orang lain dengan
selalu memiliki sikap tenggang rasa di tengah kemajemukan bangsa
e. Menciptakan persatuan bangsa dengan tidak bertindak anarkis yang dapat menjadi
penyebab lunturnya Bhinneka Tunggal Ika ditengah masyarakat yang memiliki
keberagaman kebudayaan.

11
f. Menciptakan sikap kerakyatan yang mendahulukan kepentingan umum dan
mengutamakan musyawarah untuk mencapai keadaan yang mufakat.
g. Memberikan dukungan sebagai cara menciptakan keadaan yang berkeadilan sosial
dalam masyarakat.
h. mempunyai sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai nilai dan norma-norma
pancasila
i. membantu mahasiswa dalam proses belajar memecahkan masalah terhadap nilai-
nilai pancasila.

12
BAB II
PROSES PERUMUSAN DAN PENGESAHAN PANCASILA

2.1 Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia


Dari sudut sejarah, pancasila sebagai dasar negara pertama-tama diusulkan oleh Ir.
Soekarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia [BPUPKI] pada tanggal 1 Juni1945, yaitu pada waktu BPUPKI dalam
rapatnya mencari philosofiche gronslag untuk Indonesia yang merdeka, maka
diputuskanlah Pancasila sebagai dasar negara. Sejak saat itu pula Pancasila digunakan
sebagai nama dari dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia,
meskipun untuk itu terdapat beberapa tata urut dan rumusan yang berbeda. Sejarah
rumusan Pancasila itu tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia, dan tidak dapat pula dipisahkan dari sejarah perumusan UUD 1945.
Pancasila sebagai dasar negara, hal ini berarti bahwa setiap tindakan rakyat dan
negara Indonesia harus sesuai dengan Pancasila yang sudah ditetepkan sebagai dasar
negara tersebut.Hal ini mengingat bahwa Pancasila digali dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, sehingga Pancasila mempunyai fungsi dan peranan yang sangat luas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila dipandang sebagai dasar negara Indonesia karena didalamnya mengandung
beberapa azas yang dapat dilihat sebagai berikut :

1. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa


Di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV disebutkan, “… maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Indonesia yang
berkedaulatan rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Realisasi dari asas Ketuhanan Yang Maha Esa tercermin dalam tiga bidang
ketatanegaraan republik Indonesia antara lain :
(1) Dalam bidang eksekutif, dengan adanya Departeman segala soal yang
menyangakut agama di Indonesia;
(2) Dalam bidang legisilatif tecermin pelaksanaannya dalam UU No. Tahun
1974 tentang Undang-Undang Perkawinan;
(3) Dalam bidang Yudikatif, tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1970 yang telah
diubah melalui UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada

13
Pasal 4 ayat (1) disebutkan, bahwa peradilan dilakukan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan ini tercermin dalam setiap
keputusan peradilan umum di Indonesia. Begitu pula dengan adakalanya
peradilan agama yang khususnya diadakan bagi yang beragama Islam, adalah
realisasi dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Asas Perikemanusiaan
Asas perikemanusiaan adalah asas yang mengakui dan memperlakukan manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan, juga mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi manusia tanpa
membedabedakan suku, keturunan, agama, ras, warna kulit, kedudukan social dan
lainnya. (Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, 2007;53)
Di dalam pembukaan UUD 1945 dan juga Pasal 34 adalah merupakan
perwujudan dari asas perikemanusiaan dalam hukum positif Imdonesia dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat pada lembaga-lembaga yang didirikan untuk
menampung segala yang tidak seimbang dalam kehidupan social.Contohnya, Panti
Asuhan untuk anak-anak yatim piatu, anak cacat dan manula/lansia.
Dari segi legislatif dapat dilihat dari lahirnya Undang-Undang Perburuhan yang
menghilangkan prinsip penghisapan manusia oleh manusia.Dalam bidang ekskutif
terbentuknya Departemen Sosial yang menanggulangi masalah-masalah
kemanusiaan. Contohnya, Direktorat Bencana Alam yang memberikan bantuan bagi
masyarakat yang tertimpa musibah bencana alam dan sebagainya.

3. Asas Kebangsaan
Dalam asas kebangsaan setiap warga negara mempunyai kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama. Asas ini menunjukan bahwa Bangsa Indonesia bebas untuk
menentukan nasibnya sendiri, dan berdaulat yang berarti pula bahwa Bangsa
Indonesia tidak membolehkan adanya campur tangan (intervensi) dari bangsa lain
dalam hal mengenai urusan dalam negeri.
Asas kebangsaan tertuang pula dalam simbol atau Lambang Negara Republik
Indonesia, yaitu Garuda Pancasila (Pasal 36A), Bendera Kebangsaan, yaitu Sang
Saka Merah Putih (Pasal 35), Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia (Pasal 36), Lagu

14
Kebangsaan Indonesia Raya (Pasal 36B), dan Lambang Persatuan dan Kesatuan
Bhineka Tunggal Ika (Pasal 36A).
Di samping itu asas kebangsaan termuat dalam Pembukaan alenia Pertama dan
pasal-pasal UUD 1945. Sebagai contoh dalam mewujudkan Pasal 33 UUD 1945,
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Hal ini sama juga dalam rangka
perlindungan bangsa terhadap kemungkinan pengaruh buruk dari luar negeri dan
juga perlindungan terhadap orang asing yang ada di Indonesia demi kepentingan
bangsa.
Di bidang legislatif asas ini terlihat dengan lahirnya UndangUndang
Kewarganegaraan [UU No. 12 Tahun 2006] dan UndangUndang Agraria [UU No. 5
Tahun 1960] yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat.
Aplikasi Asas Kebangsaan dalam pengadilan berupa keputusan, apabila terjadi
perselisihan antar warga negara Indonesia dan warga negara asing, di Indonesia di
mana yang berlaku adalah UndangUndang Indonesia.

4. Asas Kedaulatan Rakyat


Asas Kedaulatan Rakyat dalam bidang legislatif merupakan perwujudan dari
kedaulatan rakyat dan wewenang yang dimiliki DPR.Sedangkan dalam yudikatif
terlihat bahwa hakim-hakim baru dapat diangkat setelah ada pengusulan dari Komisi
Yudisial kepada anggota DPR untuk mendapat penetapan yang selanjutnya diangkat
oleh Presiden.
Dalam pembukaan UUD 1945 asas ini tertuang dalam alenia IV yang
menyatakan, “Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan Rakyat …”.
Asas Kedaulatan Rakyat menghendaki agar setiap tindakandari pemerintah harus
berdasarkan kemauan rakyat, yang pada akhirnya semua tindakan pemerintah harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya.Hal ini dapat
dilihat dari pelaksanaan Pemilu oleh Presiden pada Pemilu 1971, yang merupakan
kehendak rakyat yang dituangkan dalam UU No. 15 Tahun 1969 dan
pelaksanaannya dari ketetepan MPRS No.XIII/MPRS/1968, serta adanya UUD
1945, yang kemudian pada ketetapan MPR No.VI/MPR/1973.

15
Penjelmaan dari ketetapan ini dapat dilihat pada persetujuan dari rakyat atas
tindakan pemerintah, itu dapat ditunjukan bahwa presiden tidak dapat menetapkan
suatu peraturan pemerintah, tetapi terlebih dahulu adanya Undang-Undang artinya
tanpa persetujuan rakyat presiden tidak dapat menetapkan suatu peraturan
pemerintah. Dan akhirnya presiden harus memberikan pertanggungjawabannya
kepada MPR yang merupakan penjelmaan dari rakyat Indonesia yang memegang
kedaulatan rakyat.
Asas Kedaulatan Rakyat ini semakin memperoleh ruhny, dalam era reformasi
dengan dilaksanakannya Pemilu secara langsung sebagaimana disebutkan dlam
Pasal 22E UUD 1945 pasca amandemen yang juga dituangkan dalam UU No. 12
Tahun 2004 tentang Pemilu Anggota DPR dan DPRD dan UU No. 24 Thun 2004
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

5. Asas Keadilan Sosial


Dalam bidang legislatif, asas keadilan social pelaksanaannya tertuang dalam
rangka mewujudkan Undang-Undang tentang jaminan sosial. Misalnya adanya
pusat-pusat industri yang memungkinkan timbulnya perselisihan atau sengketa
antara pihak pemimpin dan pihak kaum buruhnya, yang perlu adanya suatu badan
yang akan menyelesaikan sengketa itu tidak secara sepihak dan sewenangwenang,
melainkan dengan berpedoman kepada keadilan sosial yang selalu
memperhitungkan nasib kaum buruh tersebut.
Dalam bidang yudikatif terlihat bahwa setiap keputusan senantiasa berpedoman
kepada keadilan sosial.Sedangkan dalam bentuk lembaga terlihat adanya lembaga
negara yang bergerak di bidang sosial yang menyelenggarakan masalah-masalah
sosial dalam negara.(Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan,
2007;5155)

2.2 Kronologi Perumusan dan Pengesahan Pembukaan UUD 1945 (Pancasila) dan
UUD 1945
Proses perumusan dan pengesahan Pancasila Dasar Negara tidak dapat dipisahkan
dengan proses perumusan dan pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
sebab disamping diciptakan untuk menyongsong lahirnya Negara Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Pembukaan Undang-Undang Dasar

16
1945 dan Pancasila merupakan satu kesatuan yang fundamental. Oleh karena itu kedua-
duanya mempunyai hubungan asasi.
Untuk studi yang lebih terinci, di bawah ini akan dibahas terlebih dahulu proses
perumusan dan pengesahan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila Dasar Negara.
Sejarah perumusan dan pengesahan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila Dasar Negara
secara kronologis sebagai berikut :

1. Tanggal 7 September 1944


Proses perumusan Pembukaan UUD 1945 dimulai sejak Jepang masih
menguasai tanah air Indonesia, yaitu didalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang selanjutnya disebut Badan
Penyelidik. Pembentukan Badan ini dilatar belakangi oleh :
a. Menjelang akhir tahun 1944 bala tentara Jepang menderita kekalahan dan
mendapatkan tekanan terus mernerus dari serangan-serangan pihak sekutu.
Keadaan ini sangatlah menggembirakan para pemimpin bangsa Indonesia yang
telah bertahun-tahun memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena
itu, agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka pemerintahan jepang
bersikap bermurah hati terhadap bangsa Indonesia, yaitu menjajikan Indonesia
merdeka dikemudian hari dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur
Raya, apabila perang dunia II berakhir dan kemenangan dipihak Jepang. Janji
tersebut diucapkan oleh Perdana Menteri jepang Jendral Kaiso pada 7
September 1944 di depan sidang Istimewa Dewan perwakilan Rakyat Jepang
(Toikuhu Gikai). (Paradigma Baru Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa,
2013; 32)
b. Adanya tuntutan dan desakan dari para pemimpin bangsa Indonesia kepada
Pemerintah bala tentara Jepang agar segera memperdekakan Indonesia atau
setidak-tidaknya diambil tindakan, langkah dan usaha-usaha yang nyata untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Pemerintah bala tentara Jepang
menyadari bahwa kedudukannya semakin terdesak, tidak dapat menghindarkan
diri dari tuntutan dan desakan tersebut. Walaupun Jepang tetap mengusahakan
agar supaya Indonesia yang merdeka itu tetep di lingkungan Asia Timur Raya
yang dipimpin oleh pemerintah pusat Jepang.

17
Karena peristiwa-peristwa itu dan untuk menarik simpati dari bangsa
Indonesia, pada tanggal 7 September 1944 Pemerintah balatentara Jepang
mengeluarkan janji “Kemerdekaan Indonesia di kemudian hari” yang menurut
rencananya akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945.
2. Tanggal 29 April 1945
Sebagai realisasi janji politik, pada tanggal 29 April 1945 oleh Geuseikan
(Kepala Pemerintah Balatentara Jepang di Jawa) dibentuk suatu badan yang
diberimana Dokuritsu Zyunbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUK). Badan ini bertugas untuk menyelidiki segala
sesuatu mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia dan beranggotakan pemuka-
pemuka bangsa Indonesia yang berjumlah 60 orang.

3. Tanggal 28 Mei 1945


BPUPK dilantik oleh Genseikan dengan susunan sebagai berikut :
Ketua : Dr. Radjiman Widjjodiningrat
Ketua Muda : Raden Panji Soeroso
Ketua Muda : Ichibangase (anggota luar biasa orang Jepang)
Anggota : 60 orang, tidak termasuk Ketua dan Ketua Muda

4. Tanggal 29 Mei s.d 1 juni 1945


BPUPK mengadakan dua masa sidang, yaitu :
a. Masa sidang I : Tanggal 29 Mei s.d 1 Juni 1945
b. Masa sidang II : Tanggal10 s.d 16 Juli 1945
Dalam sidang I BPUK membicarakan atau mempersiapkan “Rancangan Dasar
Negara Indonesia Merdeka”. Pada kesempatan ini telah tampil/berpidato tokoh-
tokoh bangsa Indonesia untuk mengajukan konsep dasar Negara seperti :
a. Tanggal 29 Mei 1945
Prof. Mr. Moh. Yamin mengajukan prasaran/usul yang disiapkan secara tertulis,
berjudul “Asas Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”. Lima asas dan
dasar itu sebagai berikut :
- Peri Kebangsaan
- Peri kemanusian
- Peri Ketuhanan

18
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
b. Tanggal 31 Mei 1945
1. Prof. Dr. Mr. R. Soepomo di gedung Chuoo In berpidato dan
menggguraikan teori negara secara yuridis, berdirinya negara, berbentuk
negara dan pemerintahan serta hubungan antara negara dengan agama.
2. Prof. Mr. Moh. Yamin berpidato dan menguraikan tentang daerah Negara
Kebangsaan Indonesia, ditinjau dari segi yuridis, historis, politis,sosiologis
dan geografis serta secara konstitusional meliputi seluruh Nusantara Raya.
3. Pada kesempatan ini, berpidato juga P. F. Dahlan yang menguraikan
masalah golongan bangsa Indonesia peranakan Tionghoa, India, Arab dan
Eropa yang telah turun-temurun tinggal di Indonesia.
4. Di samping itu, Drs. Moh. Hatta menguraikan masalah bentuk negara
persekutuan, bentuk negara serikat dan bentuk negara persatuan. Pada
kesempatan yang sama diuraikan juga masalah hubungan antara negara
dengan agama serta Negara Republik atau Monarchi.

6. Tanggal 22 Juni 1945


Pada tanggal 22 Juni 1945 bertempat di gedung kantor Besar Jawa Hookoo Kai
(Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa). Jam 10.00 diadakan rapat gabungan antara :
a. Panitia Delapan
b. Sejumlah anggota Tyuuoo Sangi In (Badan Penasehat Pemerintah Pusat
Balatentara Jepang), yang juga merangkap sebagai anggota BPUPK dan
c. Sejumlah anggota BPUPK yang tinggal di Jakarta dan tidak menjadi anggota
Tyuoo Sangi In.
Pada waktu itu juga diadakan pertemuan Panitia Sembilan di Pegangsaan Timur
56 Jakarta, tepatnya jam 10.00. Di dalam pertemuan itu disetujui agar para anggota
segera menyusun suatu Konsep Rancangan Mukadimah Hukum Dasar yang akan
diajukan ke sidang BPUPK yang kedua. Konsep Rancangan Preambule Hukum
Dasar inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta, suatu nama
yang diusulkan oleh Prof. Mr. Moh. Yamin.

19
7. Tanggal 10 s.d 16 Juli 1945
Pada tanggal 10 s.d 16 Juli 1945 diadakan sidang BPUPK yang kedua dengan
acara untuk “Mempersiapkan Rancangan Hukum Dasar”, di Jl. Pejambon Jakarta.
Adapun jalannya persidangan adalah sebagai berikut :
a. Pada tanggal 10 Juli 1945 sidang BPUPK II dibuka oleh ketua dam dilanjutkan
dengan pengumuman mengenai penambahan anggota baru Badan Penyelidik
sebanyak 6 orang yaitu :
a) Abdul Fatah Hasan o Asikin Natanegara o P. soerjo Hamidjojo o
Mohammad Noor
b) Besar
c) Abdul Kafar
Kemudian Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Kecil (Panitia Delapan) yang
dibentuk pada masa sidang pertama melaporkan hasil pekerjaannya.

8. Tanggal 9 Agustus 1945


Setelah PPKI dibentuk pada tanggal 9 Agustus 1945, maka dalam tempo yang
sangat cepat Jepang telah menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945.
PPKI merupakan Badan Bentukan Pemerintah Balatentara Jepang tetapi bukan alat
Pemerintah Jepang, sebab :
a. PPKI bekerja sesudah Jepang tidak berkuasa lagi
b. PPKI bekerja atas dasar keyakinan, pemikiran dan caranya sendiri
untuk mencapai Indonesia Merdeka
c. PPKI merupakan suatu badan perwujudan/perwakilan rakyat
Indonesia

9. Tanggal 17 Agustus 1945


Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

10. Tanggal 18 Agustus 1945


Pada jam 10.30, sidang pleno PPKI dimulai dengan acara pokok untuk
membahas naskah Rancangan Hukum Dasar atas Kemerdekaan yang diucapkan
dalam proklamasi sehari sebelumya. (Pendidikan Pancasila, 2016:63)

20
2.3 Pengesahan Pembukaan UUD 1945/Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia
Tanggal 18 Agustus ini merupakan perjalanan sejarah paling menentukan bagi
rumusan Pancasila. Hari itu akan disahkan UndangUndang Dasar untuk Negara
Indonesia Merdeka. Sementara rumusan Pancasila menjadi bagian dari Pembukaan
Undang-Undang Dasar negara tersebut. Namun demikian sehari sebelum tanggal ini ada
peristiwa penting.
Peristiwa penting yang dimaksud adalah seperti ini. Sore hari setelah
kemerdekaan Negara Indonesia diproklamirkan, Moh. Hatta menerima Nisyijima
(pembantu Laksamana Mayda/Angkatan Laut Jepang) yang memberitahukan bahwa ada
pesan berkaitan dengan Indonesia Merdeka.
Pesan tersebut bersebut berasal dari wakil-wakil Indonesia bagian timur di bawah
penguasaan Angkatan Laut Jepang. Isi pesannya menyatakan bahwa wakil-wakil
Protestan dan Katolik dari daerahdaerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang keberatan
dengan rumusan sila pertama (Piagam Jakarta) : “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Bagaimana dengan sikap Moh. Hatta saat itu? Ketika itu Hatta menyadari bahwa
penolakan terhadap pesan tersebut akan mengakibatkan pecahnya negara Indonesia
Merdeka yang baru saja dicapai. Jika hal itu terjadi, tidak menutup kemungkinan daerah
(Indonesia) luar Jawa akan kembali dikuasai oleh Kaum Kolonial Belanda. Oleh karena
itu, Hatta mengatakan kepada opsir pembawa pesan tersebut, bahwa pesan itu akan
disamaikan dalam sidang PPKI esok hari (tanggal 18 Agustus 1945).
Keesokan harinya, sebelum sidang BPUPK dimulai, Hatta mengajak Ki Bagus
Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo dan Teuku Hasan untuk rapat
pendahuluan. Mereka membicarakan pesan penting tentang keberatan terhadap rumusan
Pancasila Piagam Jakarta. Hasilnya, mereka sepakat agar Indonesia tidak pecah, maka
sila pertama (dalam rumusan Piagam Jakarta) diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. (Pendidikan Pancasila Hakikat, Penghayatan, dan Nilai-nilai dalam
Pancasila,2015:63)
Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945. Jelaslah bahwa ada
hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid
dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan prima

21
causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab
Tuhan terusmenerus mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran tauhid
Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian
bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatanNya. Ajaran ini juga diterima
oleh agama-agama lain di Indonesia. Prinsip ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat
dari -atau sekurangkurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari para pemimpin Islam
yang berbicara mendahului Ir. Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan
dengan keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang terkenal ini
menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik itu Ir. Soekarno merupakan pembicara
terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiranpikiran para
anggota yang berbicara sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya itu, dan
dengan sendirinya perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting. Komentar Roem,
“Pidato penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan
sebelumnya”.
“Bangsa kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa yang menjunjung
tinggi, menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Karena itu,
setiap umat beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan
nilai-nilai ajaran agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita akan
menempatkan falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan dengan
sedalam-dalamnya bahwa lima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan ajaran
agama-agama yang hidup dan berkembang di tanah air. Dengan demikian, kita dapat
menghindari adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-
ajaran agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai falsafah negara. (Nopirin.
1980) .

22
BAB III
PEMBAHASAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

3.1 Pancasila Sebagai Sistem Filsafat


A. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani “philein” yang berarti cinta dan “Sophia”
yang berarti kebijaksanaan. Jadi, filsafat menurut asal katanya berarti cinta akan
kebijaksanaan, atau mencintai kebenaran atau pengatahuan. Cinta dalam hal ini
mempunyai arti yang seluas-luasnya, yang dapat dikemukakan sebagai keinginan
yang menggebu dan juga bersungguh-sungguh terhadap sesuatu, sedangkan
kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kebenaran yang sejati. Dengan demikian,
filsafat secara sederhana dapat diartikan sebagai keinginan yang sungguhsungguh
untuk mencari kebenaran yang sejati.
Dalam pengertian lain, bahwa Philos dapat diartikan "teman" atau “sahabat",
sedang sophos berarti "kebijakan/kearifan”. Sementara itu, philein adalah
"mencintai" dan Sophia adalah "kebijaksanaan" . Jadi, berfilsafat dapat di artikan
”mencintai kebijaksanaan” atau ”bersahabat dengan kearifan (Antoni, 2012).
Filsafat dapat dilihat dalam dua aspek, sebagai metode dan pandangan
(Poespowardojo, 1994). Sebagai metode, filsafat menunjukkan cara berpikir dan
analisis untuk menjabarkan ideologi Pancasila. Sebagai pandangan, filsafat
menunjukkan nilai dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi ideologi
Pancasila. Filsafat mampu membuka pemikiran yang lebih luas dan rasional
sehingga cara pandang terhadap ideologi menjadi lebih terbuka dan fleksibel (tidak
kaku atau beku). Manusia diberi peluang mengembangkan persepsi, wawasan dan
sikapnya secara dinamis agar menemukan kebenaran, arti dan makna hidup. Oleh
karena itu filsafat dapat dilaksanakan dengan membahas perihal kehidupan,
misalnya pembangunan, modernisasi, kemiskinan, keadilan dan lain-lain.
Dengan demikian, filsafat secara sederhana dapat diartikan sebagai keinginan
yang sungguhsungguh untuk mencari kebenaran yang sejati. Filsafat merupakan
induk dari ilmu pengetahuan menurut Gredt dalam bukunya “elementa
philosophiae”, filsafat sebagai “ilmu pengetahuan yang timbul dari prinsip-prinsip
mencari sebab musababnya yang terdalam”.

23
B. Filsafat Pancasila
Menurut Poespowardojo (1994), filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai
refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan
budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya
secara mendasar dan menyeluruh. Filsafat mampu membuka pemikiran yang lebih
luas dan rasional sehingga cara pandang terhadap ideologi menjadi lebih terbuka
dan fleksibel (tidak kaku atau beku). Manusia diberi peluang mengembangkan
persepsi, wawasan dan sikapnya secara dinamis agar menemukan kebenaran, arti
dan makna hidup. Oleh karena itu filsafat dapat dilaksanakan dengan membahas
perihal kehidupan, misalnya pembangunan, modernisasi, kemiskinan, keadilan dan
lain-lain.
Pada hakekatnya pancasila juga meruapakan suatu sistem pengetahuan,
pedoman, dasar hidup bangsa yang mengandung realitas alam semesta, manusia,
masyarakat, bangsa dan Negara serta dijadikan sebagai dasar dari penyelesaian
masalah bagi manusia. Sebagaimana yang disampaikan Abdulghani pancasila
sebagai sistem filsafat kemudian menjelma sebagai suatu ideologi bangsa yang
dijadikan pedoman hidup bagi manusia untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dikatakan sebagai filsafat, karena pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh the founding father bangsa Indonesia, kemudian
dituangkan dalam suatu “system” yang tepat. Adapun menurut Notonagoro, filsafat
pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah, yaitu tentang hakikat
pancasila.
Pancasila sebagai dasar filsafat Negara, Philosofische Gronslag dari Negara
mengandung konsekuensi bahwa dalam segala hal bentuk penyelenggaraan Negara
hendaknya harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang
menyangkut hal ini seperti penetapan peraturan undang-undang Negara, kekuasaan
Negara, pemerintahan, yang menyangkut rakyat, wawasan nusantara dan aspek
lainnya. Prof. Notonagoro menyatakan bahwa sila-sila Pancasila merupakan
kesatuan yang bersifat organis, yaitu terdiri atas bagian-bagian yang tidak
terpisahkan. Di dalam kesatuan ini, tiap-tiap bagian menempati kedudukan sendiri
dan berfungsi sendiri. Meskipuntiap-tiap silaitu berbeda-beda namun tidak saling

24
bertentangan malahan saling melengkapi. Konsekuensi dari konsepsi ini adalah
bahwa tidak·dapat salah satu silaitu dihilangkan.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa
Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis.
Fundamental, dan menyeluruh. Untuk itu, sila-sila Pancasila merupakan suatu nilai-
nilai yang bersifat bulat dan utuh, hierarkis, dan sistematis. Pancasila sebagai
filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap
aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan harus berdasarkan
pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, . kerakyatan, dan keadilan.
Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah
merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, yang
merupakan masyarakat hukum (legal society).

C. Karakteristik Sistem Filsafat Pancasila


Sebagai filsafat, pancasila memiliki karasteristik system filsafat tersendiri yang
berbeda dengan filsafat lainnya, di antaranya:
1. sila-sila pancasila merupakan satu kesatuan sistim yang bulat dan utuh
(sebagai suatu totalitas). Dengan pengertian lain, apabila tidak bulat dan utuh
atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan pancasila.
2. susunan pancasila dengan suatu sistim yang bulat dan utuh itu dapat
digambarkan sebagai berikut:
a) Sila 1, meliputi, mendasari, dan menjiwa: sila 2, 3, 4, dan 5.
b) Sila 2, diliputi, didasari, dan dijiwai sila 1, serta mendasari dan mcnjiwai
sila 3,4, dan 5.
c) Sila 3, diliputi, didasari, dan dijiwai sila 1, 2, serta mendasari dan
menjiwa; sila 4 dan 5.
d) Sila 4, diliputi, didasari, dan dijiwai sila 1, 2, dan 3, serta mendasari dan
menjiwai sila 5.
e) Sila 5, diliputi, didasari, dan dijiwai sila 1, 2, 3, dan 4.
f) Pancasila sebagai suatu substansi, artinya unsur asli/permanen/primer
g) Pancasila sebagai suatu yang ada mandiri, yang unsur-unsurnya berasal
dari dirinya sendiri.

25
h) Pancasila sebagai suatu realitas, artinya ada dalam diri manusia Indonesia
dan masyarakatnya, sebagai suatu kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh,
hidup, dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari.

D. Prinsip-Prinsip Filsafat Pancasila


Pancasila ditinjau dari Kausalitas Aristoteles dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kausa Materialis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan materi/bahan,
dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam
bangsa Indonesia sendiri;
2. Kausa Formalis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan bentuknya,
Pancasila yang ada dalam pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat formal
(kebenaran formal);
3. Kausa Efisiensi, maksudnya kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun
dan merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka; serta
4. Kausa Finalis. maksudnya berhubungan dengan tujuannya, yaitu tujuan
diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi:
a. Tuhan, yaitu sebagai kausa prima;
b. Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial;
c. Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri;
d. Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan bergotong
royong; serta
e. Adil, yaitu memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang
menjadi haknya.

E. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat Bangsa Indonesia


Setiap aliran filsafat memiliki pandangan yang berbeda dalam memberikan
penafsiran terhadap kenyataan yang melingkupinya. Perbedaan penafsiranterhadap
realitas ini disebabkan karena perbedaan sudut pandang atau objek formal atau
perbedaan dalam penekanan pada objek material. Dalam uraian terdahulu dikatakan
bahwa sistem kefilsafatan adalah kumpulan dari ajaran-ajaran tentang kenyataan,
yang saling berhubungan sehingga merupakan kesatuan, komprehensif yang

26
semuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dimensi subjektif
dibentuknya sistem filsafat adalah kesadaran dari pelaku atau pembentuk sistem
tersebut untuk menerapkan sistem itu bagi tujuan tertentu atau ideal
yangdiharapkan.
Pancasila terdiri dari lima sila, yang masing-masing sila merupakan ajaran yaitu:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemausiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratanl Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Setiap sila dari Pancasila tidak dapat dipisahkan dari kesatuan keseluruhannya.
Adapun inti isi masing-masing sila Pancasila adalah penjelmaan atau realisasi yang
sesuai dengan unsur-unsur hakikat manusia sehingga setiap sila harus menempati
kedudukan dan menjalankan fungsinya secara mutlak dalam susunan kesatuan
Pancasila.
Pancasila sebagai sesuatu yang ada, maka dapat dikaji secara filsafat (ingat
objek material filsafat adalah segala yang ada), dan untuk mengetahui bahwa
Pancasila sebagai system filsafat, maka perlu dijabarkan tentang syarat-syarat
filsafat terhadap Pancasila tersebut, jika syarat-syarat system filsafat cocok pada
Pancasila, maka Pancasila merupakan system filsafat, tetapi jika tidak maka bukan
system filsafat. Sebaimana suatu logam dikatakan emas bila syarat-syarat emas
terdapat pada logam tersebut.
Penjabaran filsafat terhadap Pamcasila :
1. Objek filsafat : yang pertama objek material adalah segala yang ada dan
mungkin ada. Objek yang demikian ini dapat digolongkan ke dalam tiga hal,
yaitu ada Tuhan, ada manusia, dan ada alam semesta. Pancasila adalah suatu
yang ada, sebagai dasar negara rumusannya jelas yaitu :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari rumusan ini maka objek yang didapat adalah: Tuhan, manusia, satu, rakyat,
dan adil. Dan dari kelima objek itu dapat dipersempit lagi ke dalam tiga saja, yaitu

27
Tuhan, manusia dan alam semesta untuk mewakili objek satu, rakyat, dan adil,
sebab hal-hal yang bersatu, rakyat dan keadilan itu berada pada alam semesta itu
sendiri. Dengan demikian dari segi objek material Pancasila dapt diterima.
Kedua, objek formal filsafat adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada itu
sendiri. Dilihat dari kelima objek kelima sila Pancasila tersebut, semuanya tersusun
atas kata dasar dengan tambahan awalan ke/per dan akhiran an. Menurut ilmu
bahasa, jika suatu kata dasar diberi awalan ke atau per dan akhiran an, maka akan
menjadi abstrak (bersifat abstrak) benda kata dasar tersebut, lebih dari itu
menunjukkan sifat hakikat dari bendanya. Misalnya kemanusiaan, maknanya adalah
hakikat abstrak dari manusia itu sendiri, yang mutlak, tetap dan tidak berubah.
Demikian juga dalam sila-sila Pancasila yang lainnya, yaitu KeTuhanan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Khusus untuk persatuan, awalan per menunjukkan suatu
proses menuju ke awalan ke yang nantinya diharapkan menjadi kesatuan juga.
Dengan analisis penjabaran ini, maka Pancasila memenuhi syarat juga dalam hal
objek formalnya.
2. Metode filsafat : Metode filsafat adalah kontemplasi atau perenungan atau
berfikir untuk menemukan hakikat. Secara umum terdapat tiga metode, yaitu
metode analisa, metode sintesa serta metode analisa dan sintesa
(analiticosyntetik).
3. Sistem filsafat : Setiap ilmu maupun filsafat dalam dirinya merupakan suatu
system, artinya merupakan suatu kebulatan dan keutuhan tersendiri, terpisah
dengan system lainnya. Dalam hal ini, Pancasila sebagai suatu Dasar Negara
adalah merupakan suatu kebulatan. Setiap sila mengandung, dibatasi dan
disifati oleh keempat sila lainnya. Sila-sila yang di depan mendasari dan
menjiwai sila-sila yang berikutnya, dan sila-sila merupakan tersebut
merupakan bentuk realisasi dari sila-sila sebelumnya.
4. Sifat universal filsafat : Berlaku umum adalah sifat dari pengetahuan ilmiah,
dan universal adalah sifat dari kajian filsafat. Pengertian umum itu
bertingkat, dari umum penjumlah yang kecil (kolektif) dari sekumpulan
jumlah tertentu sampai jumlah yang lebih besar dan luas lagi hingga kepada
umum seumum-umumnya (universal). Jika hal tersebut dkaitkan dengan
pancasila, dapat dicontohkan misalnya kajian tentang hakikat manusia,

28
sebagaimana terdapat dalam sila ke dua Pancasila. Hakikat manusia adalah
unsur-unsur dasar yang mutlak pada manusia adalah sama bagi seluruh jenis
makhluk yang namanya manusia, yang berada di manapun dan waktu
kapanpun, jadi pengertian ini (universal) tidak terbatas pada ruang dan
waktu, di mana dan kapanpun manusia itu berada. Sila keadilan juga
demikian, bahwa yang namanya “adil” itu sama hakikatnya maknanya di
manapun dan kapanpun, demikian juga berlaku pada sila-sila yang lainnya.
A. Kajian Ontologis
Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya
untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Menurut Notonagoro
hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia, karena manusia merupakan
subjek hukum pokok dari sila-sila Pancasila. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian yang adil dan beradab,
berkesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia pada hakikatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Dengan demikian. secara ontologis hakikat dasar keberadaan dari sila-sila
Pancasila adalah manusia. Untuk hal ini. Notonagoro lebih lanjut
mcngemukakan bahwa manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila
secara ontologis memiliki halhal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat,
raga dan jiwa, serta jasmani dan rohani. Selain itu, sebagai makhluk individu dan
sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, secara hierarkis sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila
(Kaelan, 2005).
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan
lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan, serta mempunyai sifat
dasar kesatuan yang mutlak, yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai
makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk social dan seluruh nilai-nilai
Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini
berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan
bersumberkan pada nilai-nilai Pancasila. seperti bentuk negara, sifat negara,

29
tujuan negara, tugas/kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum negara,
moral negara, serta segala aspek penyelenggaraan negara lainnya.
B. Kajian Epistemologi
Secara epistemologis bangsa Indonesia punya keyakinan bahwa nilai dan
moral yang terpancar dari asas Pancasila ini sebagai suatu hasil sublimasi, serta
kristalisasi dari sistem nilai budaya bangsa dan agama yang seluruhnya bergerak
vertikal, juga horizontal serta dinamis dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, untuk menyinkronkan dasar filosofis-ideologis menjadi wujud jati
diri bangsa yang nyata dan konsekuen secara aksiologis, bangsa dan negara
Indonesia ^berkehendak untuk mengerti, menghayati, membudayakan, dan
melaksanakan Pancasila. Upaya ini dikembangkan melalui jalur keluarga,
masyarakat, dan sekolah.
Refleksi filsafat yang dikembangkan oleh Notonagoro untuk menggali nilai-
nilai abstrak. hakikat nilai-nilai Pancasila, ternyata kemudian dijadikan pangkal
tolak pelaksanaannya yang berwujud konsep pengamalan yang bersifat subjektif
dan objektif. Pengamalan secara cbjektif adalah pengamalan di bidang
kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan, yang penjelasannya berupa suatu
perangkat ketentuan hukum yang secara hierarkis berupa pasal-pasal UUD,
Ketetapan MPR, Undang-undang Organik, dan peraturan-peraturan pelaksanaan
lainnya. Pengamalan secara subjektif adalah pengamalan yang dilakukan oleh
manusia individual, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat
ataupun sebagai pemegang kekuasaan, yang penjelmaannya berupa tingkah laku
dan sikap dalam hidup seharihari.
Nilai-nilai yang bersumber dari hakikat Tuhan, manusia, satu rakyat, dan adil
dijabarkan menjadi konsep Etika Pancasila, bahwa hakikat manusia Indonesia
adalah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha
Esa, berperi Kemanusiaan, berperi Kebangsaan, berperi Kerakyatan, dan berperi
Keadilan Sosial. Konsep Filsafat Pancasila dijabarkan menjadi sistem Etika
Pancasila yang bercorak normatif.
Kajian epistemologi filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk
mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini
dimungkinkan karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas

30
hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila
tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu, dasar
epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang
hakikat manusia.
Selanjutnya, susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka
Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan
sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila ifu. Susunan
kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal,
yaitu:
a. Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya;
b. Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga,
keempat. dan kelima;
c. Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari
dan menjiwai sila keempat dan kelima;
d. Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga, serta
mendasari dan menjiwai sila kelima; serta
e. Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat
Demikianlah. susunan Pancasila memiliki sistem logis, baik yang
menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila
juga menyangkut kualitas ataupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional
logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia
yang bersumber pada intuisi. Kedudukan dan kodrat manusia pada hakikatnya
adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, sesuai dengan sila
pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kcbenaran wahyu
yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebcnaran yang tertinggi.
Selanjutnya, kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu sintesis yang
harmonis di antara potensi-potensi kejiwaan manusia, yaitu akal, rasa, dan
kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi.
Selain itu, dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, epistemologi pancasila
mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat
kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.Sebagai suatu

31
paham epistemologi, pancasila memandang bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas
kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu
tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara
epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun
perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
C. Kajian Aksiologis
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai
praksis atau manfaat suatu pengeiahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis,
maka nilai-nilai yang terkandung dalamnya pada hakikatnya juga merupakan
suatu kesatuan. Selanjutnya, aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita
membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat
dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan sebagai
"keberhargaan" (worth) atau "kebaikan" (goodnes), dan kata kerja yang artinya
sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.
Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat bergantung
pada titik tolak dan sudut pandang setiap teori dalam menentukan pengertian
nilai. Kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah
nilai material, sedangkan kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang
tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun, dari berbagai macam pandangan
tentang nilai dapat dikelompokkan pada dua macam sudut pandang, yaitu bahwa
sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan sabjek pemberi nilai, yaitu manusia.
Hal ini bersifat subjektit. tetapi juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya
nilai sesuatu itu melekat pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan pandangan dari
paham objektivisme.
Notonagoro memerinci tentang nilai, ada yang bersifat material dan
nonmaterial. Dalam hubungan ini, manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda
bergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada yang
mendasarkan pada orientasi nilai material, tetapi ada pula yang sebaliknya, yaitu
berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Nilai material relatif lebih mudah
diukur menggunakan pancaindra ataupun alat pengukur. Akan tetapi, nilai yang

32
bersifat rohaniah sulit diukur, tetapi dapat juga dilakukan dengan hati nurani
manusia sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, serta karsa dan
keyakinan manusia (Kaelan, 2005).
Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian,
tetapi nilainilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan
demikian, nilainilai Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga
mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, seperti nilai material,
nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai
moral, ataupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistemik-
hierarkis. Sehubungan dengan ini, sila pertama, yaitu ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi basis dari semua sila-sila Pancasila (Darmodihardjo: 1978). Secara
aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila
(subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang
berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan
sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai,
mengakui, serta menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai.
Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang
bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan
bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu telah
menggejala dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa
Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya
dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia.

33
BAB IV
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP DAN IDEOLOGI

4.1 Pancasila Sebagai Ideologi Nasional


Ideologi adalah istilah yang sejak lama telah dipakai dan menunjukkan
beberapa arti. Menurut Destutt de Tracy pada tahun 1796, semua arti itu memakai
istilah ideologi dengan pengertian science of ideas, yaitu suatu program yang
diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Prancis.
Namun, Napoleon mencemooh sebagai khayalan belaka yang tidak punya arti
praktis, ideologi semacam itu adalah impian semata yang tidak punya arti praktis.
Ideologi semacam itu adalah impian semata yang tidak punya arti praktis. Namun
demikian, ideologi punya arti orientasi yang menempatkan seseorang dalam
lingkungan ilmiah dan sosial. Dalam orientasi ini ideologi mempunyai pandangan
tentang alam, masyarakat, manusia, dan segala realitas yang dijumpai serta dialami
semasa hidupnya.
Terdapat empat tipe ideologi (BP-7 Pusat, 1991-384), yaitu sebagai berikut :
1. Ideologi konservatif, yaitu ideologi yang memlihara keadaan yang ada
(Statusquo), setidak-tidaknya secara umum, walaupun membuka kemungkinan
perbaikan dalam hal-hal teknis.
2. Kontra ideologi, yaitu melegatimasikan penyimpangan yang ada dalam
masyarakat sebagai yang sesuai dan malah dianggap baik.
3. Ideologi reformis, yaitu berkehendak untuk mengubah keadaan.
4. Ideologi revolusioner, yaitu ideologi yang bertujuan mengubah seluruh sistem
nilai masyarakat itu.
Suatu ideologi yang sama, dalam perjalanan hidup yang cukup panjang,
biasa berubah tipe. Ideologi komunis yang pernah bersifat revolusioner sebelum
berkuasa, menjadi sangat konservatif setelah para pendukungnya berkuasa. Dalam
perjalanan sejarah, Pancasila merupakan ideologi yang mengandung sifat reformis
dan revolusioner.
Kita mengenal berbagai istilah ideologi, seperti ideologi negara, ideologi
bangsa, dan ideologi nasional. Ideologi Negara khusus dikaitkan dengan pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Sedangkan ideologi nasional mencakup
ideologi Negara dan idelogi yag berhubungan pandangan hidup bangsa. Bagi

34
bangsa Indonesia, ideologi nasionalnya tercermin dan terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945.
Ideologi Nasional bangsa Indonesia tercermin dan terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah ideologi perjuangan, yaitu yang sangat sarat dengan
jiwa dan semangat perjuangan bangsa untuk mewujudkan Negara merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur (Bahan Penataran, BP-7 Pusat, 1993).
Pancasila sebagai ideologi nasional, dapat diartikan sebagai suatu pemikiran
yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia, masyarakat,
hukum, dan Negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia, yaitu cara berpikir dan cara kerja perjuangan. Pancasila perlu dipahami
dengan latar belakang sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai dasar Negara,
Pancasila perlu dipahami dengan latar belakang konstitusi proklamasi aau hukum
dasar kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, yaitu Pembukaan,
Batang Tubuh, serta Penjelasan UUD 1945.
Pancasila bersifat integralistik yaitu paham tentang hakikat Negara yang
dilandasi dengan konsep kehidupan bernegara. Pancasila yang melandasi kehidupan
bernegara menurut Supomo adalah dalam kerangka Negara Integralistik, untuk
membedakan paham-paham yang digunakan oleh pimikir kenegaraan lain. Untuk
memahami konsep Pancasila bersifat intergralistik, maka terlebih dahulu kita harus
melihat beberapa teori (paham) mengenai dasar Negara, yaitu sebagai berikut :
a) Teori perseorangan (Individualistik)
Sarjana-sarjana yang membahas teori individualistik adalah Hebert
Spencer (1820-1903) dan Horald J. Laski (1893-1950). Pada intinya, menurut
teori ini Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disususn atas
kontrak antara seluruh orang dalam masyarakat itu. (social contract). Hal ini
mempunyai pengertian, bahwa Negara dipandang sebagai organisasi kesatuan
pergaulan hidup manusia yang tertinggi.
b) Teori Golongan (Class Theory)
Teori ini diajarkan, antara lain oleh Karl Marx (1818-1883). Menurut
Karl Marx, Negar merupakan penjelmaan dari pertentangan-pertentangan
kekuatan ekonomi. Negara dipergunakan sebagai alat oleh mereka yang kuat

35
untuk menindas golongan ekonomi yang lemah. Yang dimaksud dengan
golongan ekonomi yang kuat adalah merek yang memiliki alat-alat produksi.
c) Teori Kebersamaan (Integralistik)
Teori intergralistik semula diajarkan oleh Spinoza, Adam Muhler, dan
lain-lain yang mengemukakan bahwa Negara adalah suatu susunan masyarakat
yang integral diantara semua golongan dan semua bagian dari seluruh anggota
msyarakat.
Negara dalam cara pandang integralistik Indonesia, tidak akan memiliki
kepentigan sendiri (kepentingan pemerintah) terlepas atau bahkan bertenangan
dengan kepentingan orang-orang (rakyat), di dalam Negara semua pihak
mempunyai fngsi masing-masing dalam kesatuan yang utuh yang oleh Prof.
Supomo disebutkan sebagai suatu totalitas. Kesatuan dan integritas yang dicita-
citakan dalam UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam ketetapan MPR tentang
GBHN.

4.2 Alasan Pancasila sebagai Ideologi Nasional Bangsa dan Negara Indonesia
Sebagai suatu ideologi, Pancasila tidak lahir hanya dari pemikiran satu atau
sekelompok orang saja. Melainkan isi dari setiap butir Pancasila itu diambil dari
tradisi, adat-istiadat, nilai moral, kebudayaan bangsa Indonesia. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa, Pancasila unsurnya berasal dari kepribadian bangsa. Sehingga
Bangsa Idonesia menjadi kausa material dari lahirnya pancasila.
Dari unsur-unsur bangsa di atas, dirumuskan oleh para pendiri negara.
Sehingga pancasila berkedudukan sebagai dasar Negara Indonesia.ini artinya
Pancasila murni sebagai hasil darikepribadian bangsa dan tidak berasal dari pribadi
bangsa lain.Selain itu, pancasila bukan hanya sebagai hasil perenungan
seseorang/sekelompok orangyang mementingkan kepentingan pribadi
saja.melainkan Pancasila berasal dari nilai bangsa. Dan pada hakekatnya Pancasila
dapat meresap ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Menurut KBBI, ideology adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan
asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan
hidup. Atau cara berfikir seseorang atau suatu gagasan.

36
Secara umum ideology iadalah seperangkat gagasan/pemikiran yang
berorientasi pada tindakan yang diorganisirmen jadi satu system yang teratur.
Dalam ideology terkandung 3 unsur, yaitu :(1) adanya suatu penafsiran
/pemahaman terhadap kenyataan. (2) memuat seperangkat nilai-nilai/preskripsi
moral, dan (3) memuat suatu orientasi suatu tindakan, ideology merupakan suatu
pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya.
1) PendekatanPancasila
a.Historical approach (pendekatan berdasarkan sejarah).
Sebelum Pancasila dipatenkan sebagai dasar Negara Indonesia, nilainya
terlebih dahulu sudah terkandung dalam pribadi masyarakat Indonesia.
b.Sociological approach (pendekatan secara sosiologis)
Dengan sociological aproach, ternyata bahwa Pancasila hidup dalam
Masyarakat Indonesia.
c.Psychological approach (pendekatan secara psychis)
Jadi, secara psycis, pancasila itu ada dalam jiwa manusia dan merupakan
tuntutan atau pengejewantahan dari hati nurani manusia.
d. Religious approach (pendekatan secara agama)
Agama memberikan tuntnan dalam kehidupan manusia. Dan Pancasila juga
sejalan dengan tuntutan agama.
e.Legal and constitutional approach (pendekatan secara konstitusi dan
hukum).Dengan dijadikannya Pancasila sebagai sumber hum dan dasar dari
konstitusi, maka Pancasila adalah hukum yang harus ditaati oleh
masyarakat.
f. Ethical approach (pendekatan secara aethis)
Manusia mempunyai etika pancasila tidak akan ada yang mau menunjukan
suratnya di muka umum dan dijadikan bahan tontonan., atau merealisasi
bentuk –bentuk maksiat yang menjadi kesenian dan kegemaran manusia-
manusia.
g. Philosophical approach
Tujuan terakhir daripada pancasila adalah kebahagian hidup lahiriyah dan
batinniyah. Kebahagiaan lahir merasakan cukup dan terpenuhinya

37
kebutuhankebutuhan material dan kebutuhan batin dirasakan cukup dan
terpenuhinya kebutuhan spiritual.
4.3 Makna Pancasila sebagai Ideologi Nasional Bangsa dan Negara Indonesia
Ideologi sangatlah penting bagi sebuah bangsa dan negara khususnya negara
yang pernah dijajah, karna ideologi mempunyai pandangan, cita-cita, nilai, dan
keyakinan yang ingin diwujudkan.
Ideologi sangat diperlukan karna dianggap mampu membangkitkan
semangat akan kemerdekaan,memberi motivasi dalam perjuangan melawan
penjajahan. Pentingnya ideologi dapat kita lihat dari fungsi ideologi itu sendiri.
Berikut beberapa fungsi ideologi bagi bangsa dan negara:
a. Negara mampu membangkitkan kesadaran akan kemerdekaan, memberikan
orientasi mengenai dunia beserta isinya, serta memberikan mutivasi perjuangan
untuk mencapai apa yang di cita-citakan
b. Dengan ideologi, nasionalnya suatu bangsa dan nengara dapat berdiri kokoh dan
tidak terombang- ambing oleh ideologi lain serta mampu menghadapi persoalan-
persoalan yang ada.
c. Ideologi memberikan arah dan tujuan yang jelas menuju kehidupan yang di cita-
citakan, ideologi yang dipahami, dihayati dan diamalkan oleh seluruh rakyat,
dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan demi kelangsungan hidupnya
d. Ideologi dapat mempersatukan orang dari berbagai golongan,suku, ras, bahkan
dari berbagai ideologi
e. Ideologi dapat mempersatukan orang dari berbagaimacam agama
f. Ideologi mampu mengatasi konflik atau ketegangan sosial
Makna Pancasila sebagai ideologi Negara adalah Pancasila mampu
memberika arah, wawasan, asas, dan pedoman dalam seluruh bidang kehidupan
Negara. Setidaknya ada 4 fungsi Pancasila sebagai ideologi, yaitu :
a. Mempersatukan bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan kesatuan.
b. Membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuan
c. Memberikan tekad dalam memelihara dan mengembangkan identitas bangsa.
d. Menyoroti kenyataan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita-cita
yang terkandung dalam Pancasila.

38
Dengan kata lain, sebagai ideologi Negara, Pancasila berfungsi sebagai
pedoman kehidupan bangsa Indonesia dalam menjaga keutuhan Negara dan
memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia.

4.4 Implementasi Pancasila sebagai Ideologi Nasional Bangsa dan Negara


Indonesia
Penerapan Pancasila sebagai ideologi nasional bangsa dan Negara Indonesia
dalam lingkup ketatanegaraan dapat dilihat bagaimana Pancasila diterapkan sebagai
ideologi terbuka. Dalam perannya, pancasila sebagai ideologi terbuka bersifat
aktual, dinamis, dan mampu menyelesaikan setiap masalah sesuai dengan
perkembangan zaman. Keterbukaan Pancasila ini bukan berarti mangubah bentuk
dari setiap sila Pancasila. Melainkan Pancasila dapat menyesuaikan disetiap
perkembangan zaman.
Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Indonesia dapat dilihat dari kehidupan
masyarakat sebagai bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila diterapkan
oleh masyarakat sebai norma yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Pancasila
sebagai pembimbiming tingkah laku dalam bermasyarakat agar tercipta rasa
persatuan dan kesatuan sebagai bangsa dan negara.

4.5. Penerapan Ideologi


Penerapan Ideologi dalam kehidupan kenegaraan disebut “Politik” . karena
itu sering terjadi bahwa ideologi dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, misalnya :
merbut kekuasaan Ideologi dalam kehidupan kenegaraan dapat diartikalan sebagai
suatu kosensus mayoritas warga negara tentang nilai-nilai dasar yang ingin
diwujudkan dengan mendirikan negara. Dalam hal ini sering juga disebut
Philosofiche Gronslag atau Weltanschauung yang merupakan fikiran-fikiran
terdalam, hasrat terdalam warga negaranya, untuk di atasnya didirikan suatu
negara.
Terdapat empat tipe ideologi (BP-7 Pusat, 1991-384), yaitu sebagai berikut :
1. Ideologi konservatif, yaitu ideologi yang memlihara keadaan yang ada
(Statusquo), setidak-tidaknya secara umum, walaupun membuka kemungkinan
perbaikan dalam hal-hal teknis.

39
2. Kontra ideologi, yaitu melegatimasikan penyimpangan yang ada dalam
masyarakat sebagai yang sesuai dan malah dianggap baik.
3. Ideologi reformis, yaitu berkehendak untuk mengubah keadaan.
4. Ideologi revolusioner, yaitu ideologi yang bertujuan mengubah seluruh sistem
nilai masyarakat itu.
Suatu ideologi yang sama, dalam perjalanan hidup yang cukup panjang,
biasa berubah tipe. Ideologi komunis yang pernah bersifat revolusioner sebelum
berkuasa, menjadi sangat konservatif setelah para pendukungnya berkuasa. Dalam
perjalanan sejarah, Pancasila merupakan ideologi yang mengandung sifat reformis
dan revolusioner. Kita mengenal berbagai istilah ideologi, seperti ideologi negara,
ideologi bangsa, dan ideologi nasional. Ideologi Negara khusus dikaitkan dengan
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan Negara. Sedangkan ideologi nasional
mencakup ideologi Negara dan idelogi yag berhubungan pandangan hidup bangsa.
Bagi bangsa Indonesia, ideologi nasionalnya tercermin dan terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945.
Ideologi Nasional bangsa Indonesia tercermin dan terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah ideologi perjuangan, yaitu yang sangat sarat dengan
jiwa dan semangat perjuangan bangsa untuk mewujudkan Negara merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur (Bahan Penataran, BP-7 Pusat, 1993).
Pancasila sebagai ideologi nasional, dapat diartikan sebagai suatu pemikiran
yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia, masyarakat,
hukum, dan Negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia, yaitu cara berpikir dan cara kerja perjuangan. Pancasila perlu dipahami
dengan latar belakang sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai dasar Negara,
Pancasila perlu dipahami dengan latar belakang konstitusi proklamasi aau hukum
dasar kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, yaitu Pembukaan,
Batang Tubuh, serta Penjelasan UUD 1945. Pancasila bersifat integralistik yaitu
paham tentang hakikat Negara yang dilandasi dengan konsep kehidupan bernegara.
Pancasila yang melandasi kehidupan bernegara menurut Supomo adalah dalam
kerangka Negara Integralistik, untuk membedakan paham-paham yang digunakan
oleh pimikir kenegaraan lain.

40
Untuk memahami konsep Pancasila bersifat intergralistik, maka terlebih
dahulu kita harus melihat beberapa teori (paham) mengenai dasar Negara, yaitu
sebagai berikut :
1) Teori perseorangan (Individualistik)
Sarjana-sarjana yang membahas teori individualistik adalah Hebert
Spencer (1820-1903) dan Horald J. Laski (1893-1950). Pada intinya, menurut
teori ini Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disususn atas
kontrak antara seluruh orang dalam masyarakat itu. (social contract). Hal ini
mempunyai pengertian, bahwa Negara dipandang sebagai organisasi kesatuan
pergaulan hidup manusia yang tertinggi.
2) Teori Golongan (Class Theory)
Teori ini diajarkan, antara lain oleh Karl Marx (1818-1883). Menurut Karl
Marx, Negar merupakan penjelmaan dari pertentangan-pertentangan kekuatan
ekonomi. Negara dipergunakan sebagai alat oleh mereka yang kuat untuk
menindas golongan ekonomi yang lemah. Yang dimaksud dengan golongan
ekonomi yang kuat adalah merek yang memiliki alat-alat produksi.
3) Teori Kebersamaan (Integralistik)
Teori intergralistik semula diajarkan oleh Spinoza, Adam Muhler, dan
lain-lain yang mengemukakan bahwa Negara adalah suatu susunan masyarakat
yang integral diantara semua golongan dan semua bagian dari seluruh anggota
msyarakat.
Negara dalam cara pandang integralistik Indonesia, tidak akan memiliki
kepentigan sendiri (kepentingan pemerintah) terlepas atau bahkan bertenangan
dengan kepentingan orang-orang (rakyat), di dalam Negara semua pihak
mempunyai fngsi masing-masing dalam kesatuan yang utuh yang oleh Prof.
Supomo disebutkan sebagai suatu totalitas. Kesatuan dan integritas yang dicita-
citakan dalam UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam ketetapan MPR tentang
GBHN.
Pancasila bersifat intergralistik karena :
1) Mengandung semangat kekeluargaan dalam kebersamaan,
2) Adanya semangat kerja sama (gotong royong),
3) Memeihara persatuan dan kesatuan, dan

41
4) Mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Ciri khas ideologi terbuka adalah nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan
dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral, dan budaya
masyarakat sendiri. Dasarnya dari konsensus masyarakat, tidak diciptakan oleh negara.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan
zaman dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu,
sebenarnya terdapat dalam penjelasan umum UUD 1945, yang menyatakan ”terutama
bagi negara baru dan negara muda, lrbih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya
memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan
pokok itu diserahkan kepada UU yang lebih mudah cara membuatnya, mengubahnya,
dan mencabutnya”. Selanjutnya dinyatakan “yang sangat penting dalam pemerintahan
dan dalam hidupnya bernegara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara,
semangat para pemimpin pemerintahan”
A. Faktor pendorong keterbukaan ideologi pancasila
1) Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang
berkembang secara cepat.
2) Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku,
cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
3) Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
4) Tekad untuk memperkokoh akan nilai-nilai dasar pancasila yang bersifat abadi
dan harap mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai
tujuan nasional.
B. Sifat-sifat Ideologi Terbuka
1) Dimensi realita
Menurut pandangan Alfian(BP-7 Pusat,1992;192), pancasila
mengandung dimensi realita ini dalam dirinya. Nilai-nilai yang terkanding dalam
dirinya, bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakat, terutama
pada waktu ideologi itu lahir, sehingga mereka betul-betul merasakan dan
mengahayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah dimiliki bersama dengan begitu
nilai-nilai ideologi itu tertanam dan berakar dalam masyarakat.
2) Dimensi Idialisme

42
Mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Cita-cita tersebut berisi
harapan yang masuk akal, bukanlah lambungan angan-angan yang sama sekali
tidak mungkin direalisasikan. Oleh karena itu dalam suatu ideologi yang
tangguh biasanya terjalinberkaitan yang saling mengisi dan saling memperkuat
antara dimensi realita dan dimensi idealism yang terkandung didalamnya.
Logikanya pancasila bukan saja memenuhi sifat keterkaitan yang saling mengisi
dan saling memperkuat antara dimensi pertama(dimensi realita) dan dimensi
kedua (dimensi idealisme).
3) Dimensi Fleksibilitas
Melalui pemikiran baru dalam dirinya, ideologi itu memelihara dan
memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu kiar disimpulakn bahwa suatu
ideologi terbuka, karena itu memiliki apa yang mungkin dapat kita sebut yang
dinamakan dinamika mengandung dan merangsang mereka yang meyakinkan
untuk pemikiran-pemikiran baru tentang dirinya tanpa khawatir atau curiga akan
kehilangan hakikat dirinya. Melalui hal itu kita yakin bahwa relevansi ideologi
kita akan makin kuat, jati dirinya akan mantap dan berkembang sejalan dengan
itu, kita yakini bahwa pancasila memiliki dimensi 3.
Batas-batas Keterbukaan Ideologi Pancasila :
1. Stabilitas nasional yang dinamis.
2. Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme, dan komunisme.
3. Mencegah berkembangnya paham liberal.
4. Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan
masyarakat.
5. Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus.
C. Mekanisme Pengembangan Ideologi Pancasila
Pengembangan atas nilai-nilai dasar Pancasila menjadi nilai-nilai instrument
atau operasional dalam Garis-aris Besar Haluan Negara bukan sesuatu yang baru.
Formalnya dapat dikatakan sejak bangsa Indonesia berhasil mencanangkan
pembangunan nasional di segala bidang meliputi bidang-bidang Ideologi,politik,
Ekonomi,Sosial, Budaya dan Pertahanan Kemanan Nasional ( IPOLEKSOSBUD-
HANKAMNAS) sebgaimana tertuang dalam Ketetapan-ketetapan Majlis

43
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) dianggap sebagai salah satu
wujud pengembangan daripada nilai-nilai dasar Pancasila.
Pembangunan yang merupakan implementasi ideologi Pancasila sebagai
ideologi terbuka,dalam pemikiran kenegaraan dapat diawali pada 3 (tiga) sumber
materi penyusunan pembangunan, yaitu :
1. Dilingkungan praktisi, terutama pada instansi lingkungan penyelenggara negara.
2. Dilingkungan ilmuwan dan pengamat.
3. Dilingkungan organisasi kemasyarakata.
Sehubungan dengan pentingnya aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai
ideology terbuka. Moerdiono memaparkan perbedaan ketiga macam nilai diatsa
sebagai berikut :
1) Nilai Dasar
Ialah nilai yang bersifat abstrak, umum, tidak terikat dengan waktu dan
tempat, dengan kandungan kebenarannya bagaikan satu aksiom.Dari segi
kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang
mncakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya.
Nilai dasar ditetapkan oleh para pendiri negara, dan pada dasarnya nilai ini
tidak akan berubah sepanjang zaman. Hal itu bias tercapai justru oleh karena
sifatnya yang amat abstrak, yangterlepas dari pengaruh perubahan waktu atau
tempat.
Pada dasarnya nilai dasar yang dianut bangs Idonesia adalah :
Kebersamaan, persatuan dan kesatuan, baik dalam bidang IPOLSEK-SOS maupun
HANKAM. Yang disebut dengan istilah lebih halus sebagai kekeluargaan, yang
menolak faham individualism dan egoisme, baik egoisme perorangan maupun
egoisme kelompok. Dari nilai dasar ii pulalah bersumbernya wawasan nasional
kita tentang kerakyatan, keadilan sosial, bahkan wawasan nusantara.
2) Nilai Instumental
Ialah penjabaran dari nlai dasar, yang merupakan arahan kinerjanya untuk
waktu dan kondisi tertentu. Sifat ini sudah lebih kontekstual, dapat dan bahkan
harus disuakan dengan tuntunan zaman. Dari segi nilai kandungan nilainya, maka
nilai instrumental merupakan kebijakan, strategi, organisasi, sistem,rencana,
program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar.

44
Nila instrumental terpengaruh oleh perubahan waktu, keadaan , atau
tempat, sehingga secara berkala memerlukan penyesuaian. Nilai Instrumental
merupakan kontekstual dar nilai dasar yang menjamin agar nilai dasar tersebut
tetap relevan dengan masalah-masalah utama yang dihadapi masyarakat dalam
zaman tersebut. Nilai ini dikembangkan oleh lembaga-lembaga penyelenggara
negara yang dibentuk kemudian.
Nilai instrumental tercantum dalam selurh dokumen kenegaraan yang
menindaklanjuti UUD dan belum termasuk kepada nilai praktis, seperti GBHN,
UU dan peraturan pelaksanaannya. Jika ditinjau dari segi lembaga yang
berwenang menyusun nilai instrumental ini ada 3 (tiga) lembaga yang
bertanggung jawab utuk itu, yakni MPR, Presiden dan DPR. Ke dalam nilai
instrumental juga dapat dimasukkan hukum dasar tidak tertulis, yang tumbuh
dalam praktik penyelenggaraan negara.
3) Nilai Praksis
Ialah interaksi antara nilai instrumental dengan situasi konkrit pada tempat
tertentu dan situasi tertentu. Sifat dari pada nilai ini amat dinamis, karena yang
diinginkan adalah tegaknya nilai instrumental itu dalam kenyataan. Dari segi
kandungan nilanya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara
idealisme dan realitas.
Nilai praksis terdapat banyak wujud penerapan nilai-nilai pancasila baik
secara tertulis maupun secara tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, cabang
legislatif, cabang yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial-politik, oleh organisasi
kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi oleh pemimpin kemasyarakatan,
maupun oleh warga negara secara perseorangan. Nilai praksis terkandung dalam
kenyataan sehari-hari yaitu dalam cara bagaimana kita melaksanakan nilai-nilai
Pancasiala. Kritik yang sering terjadi tidak diarahkan pada nilai dasar maupun
nilai instrumentalnya, melainkan kepada nilai praksisnya, terutama jika dalam
keadaan normal terjadi pelanggaran nilai-nilai yang justru seharusnya ditegakkan.
Misalnya korupsi,kolusi, penyikasaan terhadap tahanan, perselingkuhan guru
dengan murid, perjudian yang justru dilindungi, dan sebagainya.

45
BAB V
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

5.1. Konsep-Konsep Dasar Pancasila


1. Etika
Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang
berarti watak, adat ataupun kesusilaan. Jadi etika pada dasarnya dapat diartikan
sebagai suatu kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa patuh kepada
seperangkat aturan-aturan kesusilaan (Syafiie, 1993). Dalam konteks filsafat,
etika membahas tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan
buruk. Etika lebih banyak bersangkut dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran
dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986).
Selanjutnya etika dapat dibagi atas etika umum dan etika khusus. Etika
umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia. Sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam
hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus terbagi
menjadi etika individual, yaitu membahas kewajiban manusia terhadap diri
sendiri dan etika sosial membahas kewaiban manusia terhadap manusia lain
dalam hidup bermasyarakat (Suseno, 1987). Pada dasarnya etika membicarakan
hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai seperti nilai baik dan buruk, nilai susila
atau tidak susila, nilai kesopanan, kerendahan hati dan sebagainya.
1.1. Sumber kebaikan dan keburukan
Sumber kebaikan dan keburukan → kemauan bebas untuk memilih
Teori kemauan bebas, yaitu: determinisme dan indeterminisme
- Determinisme: “Manusia sejak semula sudah ditetapkan/direncanakan”
• Determinisme materialistis :
“Manusia serba materi → Hukum alam”
- Darwinisme → Manusia hasil perkembangan alamiah.
“Strunggle for life, survival of the fittest” = perjuangan hidup, siapa yang
kuat dialah yang hidup terus menerus
- La Mettic (Mesin), fourbach (atheisme)
• Determinisme – Religius
“Kekuasaan Tuhan menjadi prinsip penetapan tingkah laku manusia”

46
- Indeterminisme
Manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat dan memilih tanpa
kemauan bebas manusia tidak mungkin mengetahui moral yang baik
1.2. Kriteria tentang baik dan buruk
- Hedonisme → kenikmatan
- Utilisme → kemanfaatan
- Vitalisme → kekuatan hidup/kekuasan. Persaingan adalah dinamika
hidup
- Sosialisme → pandangan masyarakat
- Religiusme → sesuai dengan kehendak Tuhan
- Homarisme → kodrat manusia (human-nature)
- Religiusme → Islam memiliki 5 kategori
Baik : Baik sekali = wajib; Baik = sunnat, Netral = mubah; buruk =
makruh, buruk sekali = haram
- Humanisme → tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan
derajat manusia, tidak mengurangi/menentang kemanusiaan
- Kebaikan berdasarkan kodratnya → kebaikan kodrati
- Kebaikan yang mengatasi kodrat → kebaikan adi kodrati/kebaikan wahyu
Tuhan
- Akal budi → penerang baik buruknya tindakan
- Hati nurani → indeks (petunjuk), indeks (hakim, index (penghukum)
1.3. Pendekatan Etika
Normatif Etik → melalui penelaahan dan penyaringan ukuran-ukuran
normatif seseorang berperilaku sesuai dengan norma yang telah disepakati
baik lisan maupun tulisan
Deskriptif Etik → sadar akan kebaikan etika tapi tidak merasa perlu
mentaatinya secara keseluruhan
Practical Etik → sadar memperlakukan etika sesuai status dan
kemampuannya.

47
1.4. Norma Dasar Etika (metaethics)
- Norma ke-Tuhanan (Hablum Minallah)
“Manusia berperilaku etika → melaksanakan perintah/menjauhi larangan
Tuhan”
- Norma kemanusiaan (Hablum Minannas)
“Perilaku Etika → berakibat baik pada kehidupan bersama”
1.5. Prinsip-Prinsip Etika
The Great Ideas : A syntopicon of Great Books of western World
• 120 macam “ide agung” → enam landasan prinsipil etika :
- Prinsip keindahan (beauty)
- Prinsip persamaan (Equality)
- Prinsip Kebaikan (Good)
- Prinsip Keadilan (justice)
- Prinsip Kebebasan (library)
- Prinsip kebenaran (truth)
PRINSIP KEINDAHAN
 Hidup ini indah/ bahagia
 Penampilan yang serasi dan indah, penataan ruangan kantor
PRINSIP PERSAMAAN
 Hakekat kemanusiaan → persamaan / kesederajatan
Menghilangkan perilaku diskriminatif Perlakuan pemerintah terhadap
daerah/ warga negara harus sama → tinggi rendahnya urgensi/prioritas

PRINSIP KEBAIKAN

 Kebaikan: sifat/karakterisasi dari sesuatu yang menimbulkan


pujian Good (baik)
 Good → persetujuan, pujian, keunggulan atau ketepatan
 Kebaikan ilmu pengetahuan → objektivitas. Kemanfaatan dan
rasionalitas.
 Kebaikan tatanan sosial → sadar hukum, saling hormat

48
PRINSIP KEADILAN
Romawi Kuno (justice) → “Justice est contants et perpetua voluntas jus
suum curque tribuendi”
Keadilan → kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada
setiap orang apa yang semestinya

PRINSIP KEBEBASAN
Kebebasan → keleluasaan untuk bertindak /tidak bertindak berdasarkan
pilihan yang tersedia
 Kebebasan :
- Kemampuan menentukan diri sendiri
- Kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan
- Syarat-syarat yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan
pilihanpilihannya beserta konsekuensinya
- Kebebasan tidak ada tanpa tanggung jawab. Tak ada tanggung jawab
tanpa kebebasan
PRINSIP KEBENARAN
- Teori-teori kebenaran
- Kebenaran dalam pemikiran (truth in the mid)
- Kebenaran dalam kenyataan (truth in the reality)
2. Moral
Moral merupakan patokan-patokan, kumpulan peraturan lisan maupun
tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi
manusia yang lebih baik. Moral dengan etika hubungannya sangat erat, sebab
etika suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan
moral dan etika merupakan ilmu pengetahuan yang membahas prinsip-prinsip
moralitas (Devos, 1987). Etika merupakan tingkah laku yang bersifat umum
universal berwujud teori dan bermuara kemoral, sedangkan moral bersifat
tindakan lokal, berwujud praktek dan berupa hasil buah dari etika. Dalam etika
seseorang dapat memahami dan mengerti bahwa mengapa dan atas dasar apa
manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu, inilah kelebihan etika
dibandingkan dengan moral. Kekurangan etika adalah tidak berwenang

49
menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang, sebab
wewenang ini ada pada ajaran moral.
3. Norma
Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat warga
masyarakat atau kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, padanan dan
pengendali sikap dan tingkah laku manusia. Agar manusia mempunyai harga,
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Sedangkan derajat
kepribadian sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya, maka makna
moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang tercermin dari sikap dan
tingkah lakunya. Oleh karena itu, norma sebagai penuntun, panduan atau
pengendali sikap dan tingkah laku manusia.
4. Nilai
Nilai pada hakikatnya suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu
objek, namun bukan objek itu sendiri. Nilai merupakan kualitas dari sesuatu
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, yang kemudian nilai dijadikan
landasan, alasan dan motivasi dalam bersikap dan berperilaku baik disadari
maupuin tidak disadari. Nilai merupakan harga untuk manusia sebagai pribadi
yang utuh, misalnya kejujuran, kemanusiaan (Kamus Bahasa Indonesia, 2000).
Nilai akan lebih bermanfaat dalam menuntun sikap dan tingkah laku
manusia, maka harus lebih dikongkritkan lagi secara objektif, sehingga
memudahkannya dalam menjabarkannya dalam tingkah laku, misalnya
kepatuhan dalam norma hukum, norma agama, norma adat istiadat dll.

5.2 Etika Politik


Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan
manusia. Karena itu, etika politik mempertanyakannya tanggungjawab dan
kewajiban manusia sebagai manusia dan sebagai warga negara terhadap negara,
hukum dan sebagainya (lihat suseno, 1986). Selanjutnya dijelaskan bahwa
“Dimensi Politis Manusia” adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi
yang menjadi ciri khas suatu pendekatan yang disebut “Politis” adalah pendekatan
itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat secara
keseluruhan.

50
Dimensi politis itu sendiri memiliki dua segi fundamental yang saling
melengkapi, sesuai kemampuan fundamental manusia yaitu pengertian dan
kehendak untuk bertindak. Struktur ganda ini, “tahu” dan “mau” dapat diamati
dalam semua bidang kehidupan manusia.

Sesuai kemampuan ganda manusia, maka ada dua cara menata masyarakat
yaitu penataan masyarakat yang normatif dan efektif (Suseno, 1986). Lembaga
penataan normatif masyarakat adalah hukum. Hukumlah yang memberitahukan
kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum
terdiri dari norma-norma bagi perilaku yang benar dan salah dalam masyarakat.
Tetapi hukum hanya bersifat normatif dan tidak efektif. Artinya, hukum sendiri
tidak bisa menjamin agar anggota masyarakat patuh kepada norma-normanya.
Sedangkan penataan yang efektif dalam menentukan perilaku masyarakat hanyalah
lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya. Lembaga
itu adalah negara. Karena itu hukum dan kekuasaan negara menjadi bahasan utama
etika politik. Tetapi perlu dipahami bahwa baik “hukum” maupun “Negara”
memerlukan legitimasi.
Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam
lingkungan filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia
adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Ada
bebagai bidang etika khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga,
etika profesi, dan etika pendidikan.dalam hal ini termasuk setika politik yang
berkenaan dengan dimensi politis kehidupan manusia. Etika berkaitan dengan
norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia
sebagai manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab
dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga negara
terhadap negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat
teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara
bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori,
melainkan secara rasional objektif dan argumentatif. Etika politik tidak langsung
mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan

51
masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara obyektif. Hukum dan
kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai
lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga
penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia
(makhluk individu dan sosial). Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan.
Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu
Negara adalah adanya cita-cita The Rule Of Law, partisipasi demokratis
masyarakat, jaminan ham menurut kekhasan paham kemanusiaan dan sturktur
kebudayaan masyarakat masing-masing dan keadaan sosial.

5.3. Legitimasi Sosiologis


Paham sosiologis tentang legitimasi mempertanyakan motivasi-motivasi
apakah yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima kekuasaan atau
wewenag seseorang, sekelompok orang atau penguasa. Magnis-Suseno
menyebutkan motivasi penerimaan kekuasaan sebagaimana dirumuskan oleh
Weber yaitu: (1) “Legitimasi Tradisional” yakni keyakinan dalam suatu
masyarakat tradisonal, bahwa pihak yang menurut tradisi lama memegang
pemerintahan memang berhak untuk memerintah, misalnya golongan bangsawan
atau keluarga raja dan memang patut untuk ditaati. (2) “Legitimasi Kharismatik”
Berdasarkan perasaan kagum, hormat, dan cinta masyarakat terhadap seseorang
pribadi yang sangat mengesankan sehingga masyarakat bersedia taat kepadanya.
(3) “Legitimasi rasional-Legal” Berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum
rasional yang melandasi kedudukan seseorang atau penguasa.
1. Legalitas
Adalah legal apabila dilakukan sesuai dengan hukum atau peraturan yang
berlaku. Jadi legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku.
Legalitas menuntut agar kekuasaan ataupun wewenang dilaksanakan sesuai
hukum yang berlaku. Jadi suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah
apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena itu legalitas
merupakan salah satu kriteria keabsahan suatu kekuasaan atau wewenang.
2. Legitimasi Etis
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang ataupun
kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam

52
konteks bahwa setiap tindakan pemerintah apakah legislatif, eksekutif maupun
yudikatif dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Pertanyaan yang timbul
merupakan unsur penting untuk mengarahkan “kekuasaan” dalam
menggunakan kebijakan-kebijakan yang semakin sesuai tuntutan kemanusian
yang adil dan beradab.
3. Legitimasi Kekuasaan
Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan.
Sehingga penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk
menuntut pertanggungjawaban. Kewibawaan penguasa yang paling
meyakinkan adalah keselarasan sosial, yakni tidak terjadi keresahan dalam
masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidakpuasan, tantangan, perlawanan, dan
kekacauan menandakan bahwa masyarakat resah. Sebaliknya, keselarasan
akan tampak apabila masyarakat merasa tenang, tentram dan sejahtera. Jadi
secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya adalah keluhuran
budinya.
4. Legitimasi Moral dalam Kekuasaan
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi
norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap
tindakan Negara baik legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi
norma-norma moral. Tujuannya adalah agar kekuasaan itu mengarahkan
kekuasaan kepemakaian kebijakan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan
tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. Moralitas kekuasaan
lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah masyarakat yang religius, maka
ukuran apakah penguasa itu memiliki etika politik atau tidak tidak lepas dari
moral agama yang dianut oleh masyarakatnya.

5.4 Pancasila Sebagi Sumber Etika


Tataran nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan sistem nilai
dalam kehidupan manusia. Secara teoritis nilai-nilai pancasila dapat dirinci menurut
jenjang dan jenisnya.
1. Menurut jenjangnya
Nilai Religius ;

53
Nilai ini menempati nilai yang tertinggi dan melekat / dimiliki Tuhan
Yang Maha Esa yaitu nilai yang Maha Agung, Maha Suci, Absolud yang
tercermin pada Sila pertama pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Nilai Spiritual ;
Nilai ini melekat pada manusia, yaitu budi pekerti, perangai,
kemanusiaan dan kerohanian yang tercermin pada sila kedua pancasila yaitu
”Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Nilai Vitalitas;
Nilai ini melekat pada semua makhluk hidup, yaitu mengenai daya
hidup, kekuatan hidup dan pertahanan hidup semua makhluk. Nilai ini tercermin
pada sila ketiga dan keempat dalam pancasila yaitu “Persatuan Indonesia” dan
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
/ perwakilan”. Nilai ini melekat pada prilaku hidup semua manusia, seperti
asusila, perangai, akhlak, budi pekerti, tata adab, sopan santun, yang tercermin
pada sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan Beradab”.
Nilai Materil
Nilai ini melekat pada semua benda-benda dunia. Yang wujudnya yaitu
jasmani, badani, lahiriah, dan kongkrit. Yang tercermin dalam sila kelima
pancasila yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
2. Menurut jenisnya sebagai berikut:
 Nilai Ilahiah ialah nilai yang dimiliki Tuhan Yang Maha Esa, yang
melekat pada manusia yaitu berwujud harapan, janji, keyakinan, kepercayaan,
persaudaraan, persahabatan.
 Nilai Etis ialah nilai yang dimiliki dan melekat pada manusia, yaitu
berwujud keberanian, kesabaran, rendah hati, murah hati, suka menolong,
kesopanan, keramahan.
 Nilai Estetis melekat pada semua makhluk duniawi, yaitu berupa
keindahan, seni, kesahduan, keelokan, keharmonisan.
 Nilai Intelek yaitu melekat pada makhluk manusia, berwujud ilmiah,
rasional, logis, analisis, akaliah. Selanjutnya secara konsepsional nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila terdiri dari nilai dasar, nilai instrumental, nilai
praksis.

54
Nilai dasar;
Merupakan prinsip yang bersifat sangat abstrak, umum-universal dan
tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dengan kandungan kebenaran bagaikan
aksioma, berkenaan dengan eksistensi, sesuai cita-cita, tujuan, tatanan dasar
dan ciri khasnya yang pada dasarnya tidak berubah sepanjang zaman. Nilai
dasar Pancasila bersifat abadi, kekal, yang tidak dapat berubah, wujudnya ialah
sila-sila pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Juga dapat ditemukan dalam 4 alinea pembukaan
UUD 1945 dan pokok-pokok pikiran yaitu;
Dalam pembukaan UUD 1945 :
- Alinia 1= mencerminkan keyakinan kemerdekaan ialah hak segala bangsa,
perikemanusian dan perikeadilan. Konsekuensi logisnya adalah penghapusan
penjajahan diatas muka bumi.
Nilai Instrumental :
Berupa penjabaran nilai dasar, yaitu arahan kinerja untuk kurun waktu
tertentu dan kondisi tertentu. Sifat kontektual, harus disesuaikan dengan
tuntutan jaman. Nilai instrumental berupa kebijakan, strategi, sistem, rencana,
program dan proyek. Pelaksanaan umum dari nilai dasar, biasanya dari wujud
norma sosial ataupun norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam
lembaga-lembaga yang bersifat dinamik. Menjabarkan nilai dasar yang umum
kedalam wujud kongkrit, sehingga dapat sesuai dengan perkembangan zaman,
merupakan semacam tafsir politik terhadap nilai dasar umum tersebut. Nilai
instrumental terpengaruh oleh waktu, keadaan, dan tempat, sehingga sifat
dinamis, berubah, berkembang, dan inovatif. Kontektualisasi nilai dasar harus
dijabarkan secara kreatif dan dinamik kedalam nilai instrumental penjabaran
nilai dasar terwujud ke dalam: TAP MPR, PROPENAS UNDANG-UNDANG,
DAN PERATURAN PELAKSANAAN.
Nilai Praksis
Nilai yang dilaksanakan dalam kenyataan hidup sehari-hari, istilah
“PRAKSIS” tidak seluruhnya sama maknanya dengan istilah “PRAKTEK”.

55
Praksis harus selalu Pased on Values, sedangkan Praktek bisa bersifat Value
Free, maka secara hierarkhis praksisi berada dibawah nilai instrumental dan
menjabarkan nilai instrumental tersebut secara taat asas (konsisten).
Merupakan interaksi antara nilai instrumental dengan situasi kongkrit pada
tempat dan waktu tertentu juga merupakan gelanggang pertarungan antara
idealisme dengan realitas, yang tidak dapat sepenuhnya kita kuasai, ada
kalanya justru kondisi objektif itu yang jauh lebih kuat dari nilai praksis
berupa nilai yang sebenarnya kita laksanakan dalam kehidupan kenyataan
sehari-hari, contohnya memelihara persahabatan. Berbagai wujud penerapan
Pancasila dalam kenyataan sehari-hari, baik oleh para penyelenggara negara
maupun oleh masyarakat Indonesia sendiri, misalnya dalam kerukunan hidup
beragama, praksisnya: silahturahmi antar umat beragama, melakukan dialog
antar umat beragama, toleransi dan saling menghormati antar umat beragama.
Aktualisasi Pancasila sebagai dasar etika tercermin dalam sila-silanya, yaitu:
Sila pertama: menghormati setiap orang atau warga negara atas berbagai
kebebasannya dalam menganut agama dan kepercayaannya masing-masing,
serta menjadikan ajaran-ajaran sebagai anutan untuk menuntun ataupun
mengarahkan jalan hidupnya.
Sila kedua: menghormati setiap orang dan warga negara sebagai pribadi
(personal) “utuh sebagai manusia”, manusia sebagai subjek pendukung,
penyangga, pengemban, serta pengelola hak-hak dasar kodrati yang
merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat.
Sila ketiga: bersikap dan bertindak adil dalam mengatasi segmentasi-
segmentasi atau primordialisme sempit dengan jiwa dan semangat “Bhinneka
Tunggal Ika”- “bersatu dalam perbedaan” dan “berbeda dalam persatuan”.
Sila keempat: kebebasan, kemerdekaan, dan kebersamaan dimiliki dan
dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan secara
jujur dan terbuka dalam menata berbagai aspek kehidupan.
Sila kelima: membina dan mengembangkan masyarakat yang berkeadilan
sosial yang mencakup kesamaan derajat (equality) dan pemerataan (equity)
bagi setiap orang atau setiap warga negara. Sila-sila dalam pancasila
merupakan satu kesatuan integral dan integratif menjadikan dirinya sebagai

56
sebagai referensi kritik sosial kritis, komprehensif, serta sekaligus evaluatif
bagi etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa ataupun bernegara.
Konsekuensi dan implikasinya ialah bahwa norma etis yang mencerminkan
satu sila akan mendasari dan mengarahkan sila-sila lain.

5.5 Etika Kehidupan Berbangsa (Tap MPR No 01/MPR/2001)


1. Tanda-tanda mundurnya pelaksanaan etika berbangsa
- Konflik sosial berkepanjangan
- Berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam kehidupan sosial
- Melemahnya kejujuran dan sikap amanah
- Pengabaian ketentuan hukum dan peraturan
2. Faktor-faktor penyebab mundurnya pelaksanaan etika
Faktor internal :
 Lemahnya penghayatan dan pengamalan agama
 Sentralisasi di masa lalu
 Tidak berkembangnya pemahaman/penghargaan kebinekaan
 Ketidakadilan ekonomi
 Keteladanan tokoh/pemimpin yang kurang
 Penegakan hukum yang tidak optimal
 Keterbatasan budaya lokal merespon pengaruh dari luar
 Meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian dan narkoba
Faktor Eksternal :
 Pengaruh globalisasi
 Intervensi kekuatan global dalam panutan kebijakan nasional
3. Pokok-Pokok Etika Berbangsa
- Etika sosial budaya
- Etika politik pemerintahan
- Etika ekonomi dan bisnis
- Etika penegakan hukum
- Etika keilmuan
- Etika lingkungan
4. Good Governance Sebagai Etika Pemerintahan

57
- Partisipasi
- Aturan Hukum (rule of law)
- Transparansi
- Daya tanggap (responsiveness)
- Berorientasi konsensus (Consensus Orientation)
- Berkeadilan (Equity) - Akuntabilitas (Accountability)
- Bervisi strategis (Strategic vision)
- Efektifitas dan efisiensi
- Saling keterkaitan (interrelated)
5. Strategi/pendekatan peningkatan etika
- Pendekatan larangan (Don’t Approach)
- Pendekatan Untung-rugi (Cost – Benefit Approach)
- Pendekatan sistem (System Approach)
- Pendekatan kerjakan (Do Approach)

5.6 Pemberdayaan Etika Pancasila dalam Konteks Kehidupan Akademik


Pancasila sebagai dasar etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara diberdayakan melalui kebebasan akademik untuk mendasari suatu
sikap mental atau attitude. Kebebasan akademik adalah hak dan tanggung jawab
seseorang akademisi. Hak dan tanggung jawab itu terkait pada susila akademik,
yaitu;
1. Curiosity, dalam arti terus menerus mempunyai keinginan untuk mengetahui
hal-hal baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tidak mengenal titik henti,
yang berpengaruhi dengan sendirinya terhadap perkembangan etika;
2. Wawasan, luas dan mendalam, dalam arti bahwa nilai-nilai etika sebagai norma
dasar bagi kehidupan suatu bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
tidak terlepas dari unsur-unsur budaya yang hidup dan berkembang dengan ciri-
ciri khas yang membedakan bangsa itu dari bangsa lain;
3. Terbuka, dalam arti luas bahwa kebenaran ilmiah adalah sesuatu yang tentatif,
bahwa kebenaran ilmiah bukanlah sesuatu yang hanya sekali ditentukan dan bukan
sesuatu yang hanya sekali ditentukan dan bukan sesuatu yang tidak dapat
diganggu gugat, yang implikasinya ialah bahwa pemahaman suatu norma etika

58
bukan hanya tekstual, melainkan juga kontekstual untuk diberi makna baru sesuai
dengan kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat;
4. Open mindedness, dalam arti rela dan rendah hati (modest) bersedia menerima
kritik dari pihak lain terhadap pendirian atau sikap intelektualnya;
5. Jujur, dalam arti menyebutkan setiap sumber atau informasi yang diperoleh
dari pihak lain dalam mendukung sikap atau pendapatnya; serta
6. Independen, dalam arti beranggungjawab atas sikap dan pendapatnya, bebas
dari tekanan atau “kehendak yang dipesankan” oleh siapa pun dan dari mana pun.
Pancasila sebagai core philosophy bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, juga meliputi etika yang sarat dengan nilai-nilai filsafati; jika
memahami Pancasila tidak dilandasi dengan pemahaman segi-segi filsafatnya,
maka yang ditangkap hanyalah segi-segi filsafatnya, maka yang ditangkap
hanyalah segi-segi fenomenalnya saja, tanpa menyentuh inti hakikinya.

59
BAB VI
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL

6.1 Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia


Istilah ideologi berasal dari kata idea, yang artinya gagasan, konsep, pengertian
dasar, cita-cita; dan logos yang berarti ilmu. Ideologi secara etimologis, artinya ilmu
tentang ide-ide (the science of ideas), atau ajaran tentang pengertian dasar (Kaelan,
2013 : 60-61).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi didefinisikan sebagai kumpulan
konsep bersistem yang dijadikan atas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk
kelangsungan hidup. Ideologi juga diartikan sebagai cara berpikir seseorang atau suatu
golongan. Ideologi dapat diartikan paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu
program sosial politik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008 : 517).Dalam pengertian
tersebut, kita menangkap beberapa komponen penting dalam sebuah ideologi, yaitu
sistem, arah, tujuan, cara berpikir, program, sosial dan politik.
Sejarah konsep ideologi dapat ditelurusi jauh sebelum istilah tersebut digunakan
Destutt de Tracy pada penghujung abad kedelapan belas. Tracy menyebut ideologi
sebagai srience of ideas, yaitu suatu program yang diharapkan dapat membawa
perubahan institusional bagi masyarakat Perancis. Namun, Napoleon mengecam istilah
ideologi yang dianggapnya suatu khayalan belaka, yang tidak mempunyai arti praktek.
Hal semacam itu hanya impian belaka yang tidak akan ditemukan dalam kenyataan
(Kaelan, 2003 : 113).
Pancasila merupakan Dasar Falsafah Negara atau Ideologi Negara, karena
memuat norma-norma yang paling mendasar untuk mengukur dan menentukan
keabsahan bentuk-bentuk penyelenggaraan negara serta kebijaksanaankebijaksanaan
penting yang diambil dalam proses pemerintahan (Soerjanto Poespowardojo, 1991:44).
Pancasila sebagai ideologi negara berarti Pancasila merupakan ajaran, doktrin, teori
dan/atau ilmu tentang cita-cita (ide) bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya,
disusun secara sistematis serta diberi petunjuk dengan pelaksanaan yang jelas.
Namun dengan kenyataan saat ini dalam pengimplementasian pancasila saat ini
sudah banyak terjadi permasalahannya karena ulah manusia yang tidak sesuai
melaksanakan makna dan tujuan dari pancasila tersebut sehingga banyak
penyelewengan yang terjadi di negara kita ini dan dalam kasusnya tentang hal dalm

60
menghargai satu sama lain masih juga banyak permasalahan yang terjadi dan banyak hal
lainnya yaitu seperti dalam budaya juga dalam negara ini masih banyak permasalahan
yang terjadi maka dari itu diperlukan kesadaran bangsa Indonesia dalam
pengimplementasian nilai – nilai pancasila dalam kehidupan sehari – harinya.
Susunan hierarkhis dan berbentuk piramidal, intinya bahwa urut-urutan lima sila
menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi-sifatnya, merupakan
pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Dalam susunan hierarkhis dan berbentuk
piramidal, maka Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan
Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan yang Maha Esa adalah
Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan
persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial, demikian selanjutnya,
sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila yang lain. Kemudian susunan
Pancasila dalam hierarkhis pyramidal dapat dirumuskan dalam hubungannya saling
mengisi dan saling mengkualifikasi. Tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya,
dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Rumusannya sebagai berikut:
a) Sila Pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan/perwakilan, yang berkeadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
b) Sila kedua
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang berketuhanan Yang
Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia.
c) Sila ketiga
Persatuan Indonesia adalah persatuan yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia.
d) Sila keempat

61
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah kerakyatan berketuhanan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia yang
berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
e) Sila kelima
Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang berketuhanan Yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Secara bertepatan, pendiri bangsa, dengan keragaman garis ideologisnya, memiliki
pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan. Dengan demikian, semangat
gotong royong merupakan cetakan dasar (archetype) dan karakter ideal keindonesiaan.
Ia bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang
menuntun ke arah mana bangsa ini harus berjalan, karena pada dasarnya pancasila
digunakan sebagai ideologi bangsa indonesia yang memiliki nilai – nilai terpenting bagi
negara Indonesia.
Dalam istilah Soekarno, kekeluargaan adalah "meja statis" dan "leitstar dinamis"
yang mempersatukan dan memandukan. Karena kekeluargaan merupakan jantung
keindonesiaan, kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan
kebangsaan Indonesia merupakan kehilangan segala-galanya. Filsafat Pancasila
merupakan renungan jiwa yang dalam, berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang luas yang harmonis sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Landasan Etimologis Secara etimologis Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta
yang ditulis dalam huruf Dewa Nagari . Makna dari Pancasila ada 2(dua). Pertama
panca artinya lima dan Syila (huruf I pendek) artinya baru sendi, Jadi Pancasyila berarti
berbatu sendi yang bersendi lima. Kedua Panca artinya lima Syiila (huruf I panjang)
artinya perbuatan yang senonoh/ normatif Pancasyiila berarti lima perbuatan yang
senonoh/normatif, perilaku yang sesuai dengan norma kesusilaan. (Saidus Syahar 1975).
Landasan historis Secara historis Pancasila dikenal secara tertulis oleh bangsa
Indonesia sejak abad ke XIV pada zaman Majapahit yang tertulis pada 2 (dua) buku
yaitu Sutasoma dan Nagara Kertagama. Buku Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular
tercantum dalam Panca Syiila Krama yang merupakan 5 (lima) pedoman yaitu :

62
(1) Tidak boleh melakukan kekerasan;
(2) Tidak boleh mencuri;
(3) Tidak boleh dengki;
(4) Tidak boleh berbohong; dan
(5) Tidak boleh mabuk. Perubahan pemerintahan maupun bentuk Negara. Sifat
Konsistensi mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara. Sifat kesadaran dari
bangsa Indonesia akan pentingya Pancasila sebagai norma dasar/fundamental
norm/grund norma bagi kokohnya NKRI.
Landasan Yuridis Secara yudridis butir-butir Pancasila tercantum pada
pembukaan UUD’45 alinea ke IV, yang diejawantahkan dalam pasal-pasal UUD’45.
Dalam TAP MPR RI No. XVIII/MPR/’98 dikukuhkan Pancasila sebagai dasar Negara
harus konsisten dalam kehidupan bernegara. Dalam TAP MPR RI No. IV/MPR/’99
diamanatkan agar visi bangsa Indonesia tetap berlandaskan pada Pancasila.
Landasan Kultural Pancasila yang bersumber dari nilai agama dan nilai budaya
bangsa Indonesia tercermin dari keyakinan akan Kemahakuasaan Tuhan YME dan
kehidupan budaya berbagai suku bangsa Indonesia yang saat kini masih terpelihara,
seperti : Tiap upacara selalu memohon perlindungan Tuhan YME, gotong royong, asas
Musyawarah mufakat. Pada masyarakat Padang dalam perilaku kehidupan
bermasyarakat erat terkait dengan nilai agama yang tercermin pada konsep: “Adat
basandi syara dan syara basandi kitabbullah.” Yang berarti hukum adat bersendikan
syara dan syara bersendikan Al-Quran.
Kekeluargaan adalah "meja statis" dan "leitstar dinamis" yang mempersatukan
dan memandukan. Karena kekeluargaan merupakan jantung keindonesiaan, kehilangan
semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia
merupakan kehilangan segala-galanya. Kehilangan yang membuat biduk kebangsaan
limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah tujuan. Jika
demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tak lain karena perkembangan
demokrasi itu cenderung tercerabut dari jiwa kekeluargaan. Peraturan daerah berbasis
eksklusivisme keagamaan bersitumbuh menikam jiwa ketuhanan yang berkebudayaan.
Lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan
mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan
beradab. Tribalisme, nepotisme, dan pemujaan putra daerah yang menguat dalam

63
pemilu kepala daerah melemahkan persatuan kebangsaan. Anggota parlemen bergotong
royong menjarah keuangan rakyat, memperjuangkan "dana aspirasi" seraya
mengabaikan aspirasi rakyat, melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah
kebijaksanaan. Ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial, dan tindak korupsi
melebar, menjegal keadilan sosial.
Pancasila dirumuskan oleh pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntutan bernegara
dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan,
kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang
keberlangsungan dan kejayaan bangsa. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar
ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini disebabkan ketidakmampuan kita
merawat warisan terbaik dari masa lalu. ota parlemen bergotong royong menjarah
keuangan rakyat, memperjuangkan "dana aspirasi" seraya mengabaikan aspirasi rakyat,
melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah kebijaksanaan. Ekspansi
neoliberalisme, kesenjangan sosial, dan tindak korupsi melebar, menjegal keadilan
sosial.

6.2 Fungsi Pancasila sebagai ideologi negara


Pancasila merupakam ideologi negara Indonesia, karena Pancasila yang
disepakati sebagai ideologi nasional adalah Pancasila sebagaimana dirumuskan secaraa
definitive dalam pembentukaan UUD 1945.

Pancasila sebagai ideologi negara memiliki berbagai fungsi turunan yang


membuat dirinya semakin berharga di mata bangsa Indonesia. Kita saalah jika kita
memandang Pancasila hanya sebagai lima kalimat saja. Selanjutnya, Pancasila
merupakan suatu pedomanbagi kita dalam melaksanakan tata perilaku yang sesuai
dengannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Berikutnya ini
merupakan penjelasan dari funsi Pancasila sebagai ideologi negara :

1. Pancasila sebagai ideologi Pancasila negara : Permasatu Bangsa


Pancasila bukan hanya sekedar lima kalimat yang tersusun Bersatu
dengan lambing garuda di atas kalimat tersebut. Lebih dari itu, Pancasila
merupakan sebuah filosofi mulai tentang bagaimana negara ini akan dijalankan
dan akan mengarah kemana. Fungsi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia

64
yang pertama ialah ia merupakan pemersatu bangsa. Sebagai pemersatu bangsa,
sebuah tugas berat bagi Pancasila.
2. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia : Pembimbing Bangsa
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pancasilasebagi sevuah
ideologi yang memiliki oleh negara ini semejak ia merdeka. Keberadaan
Pancasila sebagai ideologi negara dapat mempersatukan bangsa ini yang pada
masa lalu telah diceraiberaikan oleh penjajahan. Paancasila juga dirumuskan
oleh para pendiri bangsa sehingga sejarah Pancasila seharusnya membuat kita
semakin bersemangat dalam mengamalkannya.
Berdasarkan penjelaskan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa
sejatinya Pancasila merrupakan pembimbing bangsa ini. Hendak seperti apa
bangsa ini mengelola dan mengisi kemerdekaannya agarcita-cita negara seperti
tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat tercapai?
Jawaban dari pernyataan tersebut dapat kita rtemui di dalam Pancasila. Setiap
kebijakan public yang hendak dikeluarkaoleh pemerintah harus senantiasa
berpedoman pada Pancasila. Setiap kebijakan public yang hendak dikeluarkan
oleh pemerintah harus senantiasa perpedoman pada Pancasila karena ia
merupakan pembimbing bangsa Indonesia ini.
3. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia : pemberi tekad
Ketika suatu bangsa telah menentukan ideologinya, maka ideologi tersebut
haruslah nn dapat menjadi pemberi takad atau semangat bagi bagsa untuk
bergerak kea ra yang lebih baik soerjanto P. menyatakan bahwa salah satu
fundgsi dari sebuah semangat serta dorongan skepada seseorang (dalam hal ini
negara) untuk dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan.
4. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia : control sosial
Dalam menyelanggarakan kedudukan rakyat, tentu pemerintah tidak dapat
berbuat sewenang-wenang dan harus memperhatikan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Setiap bangsa di dunia ini tentunya pernah merasakan
kepahitan dari pemerintah yang otoriter, sehingga pemerintah yang berbuat
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Maka dari itu dibutuhkan sebuah instrument yang dapat mengawasi
jalannya pemerintah agar senantiasa dengan jati diri bangsa. Fungsi Pancasila

65
sebagai ideologi negara Indonesia yang selanjutnya ialah Pancasila berperan
dalam menyoroti kenyataan pelaksaan Pancasila yang terjadi di masyarakat
(termasuk pemerintahan), sekaligus mengkritisi setiap uapaya perwujudan cita-
citanyang terdapat di dalam Pancasila.
Pancasila sebagai control sosial juga dapat menjadi ukuran untuk
menyampaikan kritik mengenai bangsa dan negara ini. Apabila terdapat upaya-
upaya yang bertentangan dengan Pancasila, maka setiap upaya tersebut harus
dikembalikan agar sesuai dengan nilai-nilai terdapat dalam Pancasila. Di sis
lain, apabila segala hal tersebut tidak dapat dikembalikan kepada Pancasila,
makai a akan d musnahkanagar tidak membayakan pelaksaan fungsi Pancasila
sebagai ideologi negara ini.
5. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia: dasar pengetahuan
Didunia ini terdapat banyak sekali pengetahuan yang berseliwetan dan
dapat membantu kita agar dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik. Di sisi
lain, terdapat pula banyak pengetahuan yang dapat berakibat buruk jiika
diketahui oleh khlayak ramai, atau dapat kita katakan pengetahuan tersebut
sebaiknya tidak diketahui. Maka dari itu, sebagai manusia kita membutuhkan
suatu dasar pengetahuan.
Dasar pengetahui ini bermanfaat agar kita dapat membedakan yang mana
pengetahuan yang baik bagi kita dan yang mana pengetahuan yang buruk bagi
kita. Fungsi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia yang selanjutnya ia
sebagai dasar pengetahuan bagi segenap rakyat Indonesia. Hal ini mencangkup
salah satu fungsi ideologi menurut Soerjanto P, yaitu suatu ideologi merupakan
seluruh pengetahuan yang menjadi dasar untuk dapat memahami setiap kejadian
atau pun kondisi yang ada disekitar kita.
Dengan adanya dasar pengetahuan ini, setiap kali rakyat Indonesia
bersikap, maka ia akan memperhatikan apakah sikapnya telah bersesuaian
dengan pengetahuan yang terdapat di dalam Pancasila. Apabila ternyata kurang
sesuai, maka orang lain dapat mengingatkannya agar senantiasa bersikap seperti
seharusnya.
6. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia; pengarah bangsa

66
Fungsi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia yang terakhir kita
bahas dalam kesempatan ini ialah Pancasila sebagai pengarah bangsa. Maksud
dari hal ini ialah Pancasila dapat memberikan gambaran mengenai cita-cita yang
dimiliki bangsa Indonesia sekaligus dapat menggerakan setiap komponen bangsa
untuk dapat melakukan pembangunan nasional sebagai bentuk dari pengamalan
Pancasila.
Pengalaman Pancasila sendiri harus diuraikan dengan jelas agar setiap
rakyat Indonesia dapat memahami dengan baik dan dapat melaksakannya
dengan baik dan benar. Tanpa adanya suatu pengarah, maka suatu bangsa akan
linglung dalam menentukan tujuannya, tentang akan seperti apa roda kehidupan
dari bangsa tersebut dijalankan, dan bahkan bangsa tersebut dapat kehilangan
identitasnya hingga dapat tergilas oleh roda globalisasi.
Maka dari itu, pentingnya bagi setiap orang untuk dapat memahami
Pancasila dan meyakini bahwa Pancasila merupakan satu-satunya pengarah
bangsa yang tepat. Untuk mewujudkan hal ini, maka setiap kebijakan public
yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah memperhatikan Pancasila. Ini
merupakan suatu bukti bahwa perjalanan bangsa telah diarahkan oleh Pancasila.

6.3 Tantangan terhadap Pancasila sebagai ldeologi Negara


Unsur-unsur yang memengaruhi tantangan terhadap Pancasila sebagai ideologi
negara meliputi faktor eksternal dan internal. Adapun faktor eksternal meliputi hal-hal
berikut:
1) Pertarungan ideologi antara negara-negara super power antara Amerika Serikat
dan Uni Soviet antara 1945 sampai 1990 yang berakhir dengan bubarnya negara
Soviet sehingga Amerika menjadi satu-satunya negara super power.
2) Menguatnya isu kebudayaan global yang ditandai dengan masuknya berbagai
ideologi asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena keterbukaan
informasi.
3) Meningkatnya kebutuhan dunia sebagai akibat pertambahan penduduk dan
kemajuan ideologi sehingga terjadi eksploitasi terhadap sumber daya alam
secara matif. Dampak konkritnya adalah kerusakan lingkungan, seperti banjir,
kebakaran hutan. Adapun faktor internal meliputi hal-hal sebagai berikut :

67
a. Pergantian rezim yang berkuasa melahirkan kebijakan politik yang
berorientasi pada kepentingan kelompok atau partai sehingga ideologi
Pancasila sering terabaikan.
b. Penyalahgunaan kekuasaan (korupsi) mengakibatkan rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap rezim yang berkuasa sehingga
kepercyaan terhadap ideologi menurut drastis.

6.4 Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara


Peran ideologi negara itu bukan hanya terletak pada aspek legal formal,
melainkan juga harus hadir dalam kehidupan konkret masyarakat itu sendiri. Beberapa
peran konkret Pancasila sebagai ideologi meliputi hal-hal sebagai berikut :

 Ideologi negara sebagai penuntun warga negara, artinya setiap perilaku warga
negara harus didasarkan pada preskripsi moral.
Contohnya, kasus narkoba yang merebak dikalangan generasi muda
menunjukkan bahwa preskripsi moral ideologi belum disadari kehadirannya.
Oleh karena itu, diperlukan norma-norma penuntut yang lebih jelas, baik dalam
bentuk persuasif, imbauan maupun penjabaran nilainilai Pancasila ke dalam
produk hukum yang memberikan rambu yang jelas dan hukuman yang setimpal
bagi pelanggarnya.
 Ideologi negara sebagai penolakan terhadap nilai-nilai yang tidak sesuai dengan
sila-sila pancasila.
Contohnya, kasus terorisme yang terjadi dalam bentuk pemaksaan
kehendak melalui kekerasan. Hal ini bertentangan nilai toleransi berkeyakinan,
hak-hak asasi manusia, dan semangat persatuan.

Pancasila berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah bangsa, sehinggam
memenuhi prasyarat sebagai suatu ideologi terbuka. Sekalipun suatu ideologi itu
bersifat terbuka, tidak berarti bahwa keterbukaannya adalah sebegitu rupa sehingga
dapat memusnahkan atau meniadakan ideologi itu sendiri, yang merupakan suatu yang
tidak logis. Suatu ideologi sebagai suatu rangkuman gagasan-gagasan dasar yang
terpadu dan bulat tanpa kontradiksi atau saling bertentangan dalam aspek-aspeknya.
Pada hakikatnya berupa suatu tata nilai, dimana nilai dapat kita rumuskan sebagai hal
ikhwal buruk baiknya sesuatu.

68
BAB VII
PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA

7.1 Arti Pancasila Dalam Konteks Ketatanegaraan RI


Setiap Negara didirikan atas dasar falsafah tertentu dan falsafah tersebut merupakan
perwujudan dari keinginan rakyatnya. Karena falsafah merupakan sesuatu yang identic
dengan keinginan dan watak rakyatnya dan falsafah tersebut tidak mungkin mengambil
dari Negara lain, karena falsafah itu merupakan suatu perwujudan dari watak dan
keinginan suatu bangsa.
Pancasila merupakan sumber hukum materiil. Oleh karena itu, setiap isi peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya. Dan apabila itu bertentangan
maka akan dicabut.Pokok pikiran yang terkandung dalam pancasila merupakan cita-cita
hukum bangsa Indonesia yang mendasari hukum dasar negara yang terkandung dalam
pembukaan UUD 1945. Pokok pikiran tersebut adalah :
Pokok pikiran pertama “Negara” yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia . Negara mengatasi segala paham
golongan dan paham perseorangan. Dengan pengertian yang lazim, Negara,
penyelenggaraan Negara, dan setiapwarga Negara wajib mengutamakan kepentingan
Negara.
Pokok pikiran kedua “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat”. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa manusia Indonesia mempunyai hak dan
kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pokok pikiran ketiga “negara berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan”. Oleh karena itu, sistem Negara yang terbentuk harus
berdasar atas kedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan.
Pokok pikiran keempat “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esamenurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu mengadung isi bahwa
pemerintah dan penyelenggara Negara memelihara budi pekerti yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.Keempat pokok pikiran tersebut jelas
merupakan pancaran dari pandangan hidup dan dasar falsafah Negara pancasila. Dan
pembukaan UUD 1945 mengandung pandangan hidup bangsa Indonesia pancasila.

69
7.2 Kedudukan Pancasila Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara mengandung arti bahwa Pancasila
dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintah negara atau sebagai dasar
untuk mengatur penyelengaraan negara. Dengan demikian Pancasila merupakan
kaidah negara yang fundamental, yang berarti hukum dasar baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis dan semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam negara Republik Indonesia harus bersumber dari pancasila.
Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV dengan jelas dinyatakan bahwa
Pancasila adalah dasar negara. Dengan demikian Pancasila merupakan nilai dasar
yang normatif terhadap seluruh penyelenggaraan Negara Republik Indonesia.
Dengan kata lain pancasila merupakan dasar falsafah negara atau ideologi negara,
karena memuat norma-norma yang paling mendasar untuk mengukur dan
menentukan dasar bentuk-bentuk penyelenggaraan negara serta kebijaksanaan-
kebijaksanaan penting yang diambil dalam proses pemerintahan negara Indonesia.

2. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia


Ideologi merupakan kumpulan gagasan, ide, keyakinan, atau bersifat yang
menyeluruh dan teratur secara sistematis. Hal-hal yang dapat termuat dalam
ideologi adalah politik, sosial, kebudayaan, dan keagamaan. Dalam kaitan ini,
Pancasila tergolong sebagai ideologi. Pancasila memiliki tersendiri, panc[i]asila
sebagai ideologi bukan hanya merupakan hasil pemikiran seseorang seperti
ideologi yang dimiliki bangsa-bangsa lain. Ideologi pancasila diangkat dari nilai-
nilai adat istiadat, budaya, serta agama masyarakat Indonesia sejak zaaman
sebelum terbentuknya negara Indonesia. Nilai-nilai itu digali dan dirumuskan oleh
para pendiri negara kemudian dijadikan sebagai dasar dan ideologi negara.
Sebagai ideologi, Pancasila tidak bersifat kaku dan tertutup, tetapi bersifat
dinamis dan terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia dapat
memperlakukan Pancasila secara luwes dan kreatif. Artinya sebagai ideologi,
Pancasila bisa digunakan untuk menghadapi dan menjalani zaman yang terus-
menurus berkembang sesuai kedaan dengan tanpa mengubah nilai-nilai dasarnya.

70
3. Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia
Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia, berarti Pancasila adalah
sikap mental dan tingkah laku bangsa Indonesia yang mempunyai ciri khas, dan
yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Fungsi Pancasila
sebagai kepribadian bangsa Indonesia memiliki arti bahwa Pancasila adalah
gambaran tertulis dan pola perilaku atau gambaran tentang amal perbuatan bangsa
Indonesia yang khas yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. Pancasila
sebagai kepribadian bangsa, yaitu Pancasila memberi ciri khas kepribadian yang
tercermin dalam sila-sila Pancasila, yaitu bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berjiwa persatuan dan kesatuan bangsa, berjiwa musyawarah mufakat untuk
mencapal hikmat kebijaksanaan, bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.[5]

7.3 Dinamika Pelaksanaan Pancasila Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia


Pancasila merupakan dasar dan ideologi negara Indonesia yang butir-butirnya
telah diajarkan ke warga negara Indonesia sejak kecil, mulai dari kewajiban para siswa-
siswi sekolah dasar untuk menghafal setiap butirnya hingga pemahaman lebih lanjut
mengenai sejarah dan nilai-nilai Pancasila di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sistem pendidikan yang seperti ini seakan-akan merupakan upaya untuk menciptakan
pandangan bahwa Pancasila merupakan ideologi dalam kehidupan bermasyarakat yang
tidak mungkin salah.
Penetapan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang kaku dan mutlak
pemaknaannya merupakan sebuah penyimpangan interpretasi dari apa yang diharapkan
oleh founding fathers Indonesia. Menurut Soemantri (2007:22), apa yang diharapkan
oleh founding fathers adalah Pancasila mampu mengatasi permasalahan mengenai
keanekaragaman bangsa Indonesia, bukan justru untuk mengeliminasi perbedaan yang
ada. Pendapat Seomantri juga didukung oleh Sjafruddin Prawiranegara (1984:78),
bahwa setiap individu atau kelompok masyarakat memiliki kewajiban untuk hidup dan
bekerja di Indonesia secara damai dan berdampingan tanpa memandang latar belakang
agama, kepercayaan dan ideologinya. Namun selama era Orde Baru, apa yang terjadi
justru berkebalikan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan dasar bahwa setiap
organisasi harus berlandaskan Pancasila, organisasi-organisasi keagamaan seperti

71
Himpunan Mahasiswa Islam dipaksa untuk mengganti basis ideologi Islamnya dengan
ideologi Pancasila, justru merupakan bukti bahwa terdapat kesalahan interpretasi dari
pemerintahan Soeharto (Prawiranegara, 1984:79-80).
Secara garis besar gambaran tentang sistem pemerintahan negara yang dianut oleh
UUD 1945 yang telah diamandemen adalah sebagai berikut : Kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (pasal 1 ayat 2). Dalam UUD 1945
yang telah diamandemen , MPR tidak mempunyai kewenangan untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden, tetapi hanya sebatas melantik (pasal 3 ayat 3 dan pasal 8 ayat 3).
Dengan demikian hanya dengan GBHN, UUD 1945 tidak lagi mengenal istilah GBHN
sebagai produk MPR. Kewenangan terbesar MPR adalah menetapkan dan mengubah
UUD (pasal 3 ayat 1) selain mengenai Pembukaan UUD dan bentuk Kesatuan Negara
Republik Indonesia (pasal 37 ayat 5).
Sebagai ideologi Pancasila menjadi pedoman dan acuan bangsa Indonesia dalam
menjalankan aktivitas di segala bidang sehingga sifatnya harus terbuka, luwes dan
fleksibel tidak tertutup dan kaku melainkan harus mampu mengikuti perkembangan
jaman tanpa harus mengubah nilai-nilai dasarnya. Pancasila memberikan orientasi ke
depan dan selalu menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi
Usaha untuk memecahkan persatuan pernah terjadi memberontakan Madiun 1948
maupun pengkhianatan G 30 S/PKI tahun 1965. Namun semuanya itu dapat digagalkan
berkat kesepakatan segenap golongan bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan landasan dasar dan ideologi
Pancasila. Pancasila lahir sebagai dasar negara Indonesia.
1. Masa Orde Lama
Masa pencarian bentuk penerapan Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan 3
Periode berbeda, penerapan Pancasila :

a. Periode 1945-1950 periode dimana Pancasila menghadapi berbagai masalah


periode ini ditandai dengan terjadinya upaya-upaya untuk mengganti Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara : Pemberontakan Partai Komunis Indonesia
(PKI) di Madiun 18-9-1948 dipimpin oleh Muso, tujuan utama : mendirikan
Negara Soviet Indonesia yang berideologi komunis (paham komunis)
Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia 17-8--1949 ditangkap 4-6-

72
1962 dipimpin oleh Kartosuwiryo tujuan utama : mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII) dengan syaria’t islam sebagai pengganti Pancasila

b. Periode 1950-1959 periode ketika penerapan Pancasila lebih diarahkan pada


ideologi liberalisme (kebebasan tanpa batasan),yang tidak menjamin stabilitas
pemerintahan. periode ini ditandani dengan penerapan Pancasila sila keempat yg
tidak lagi berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting)
Munculnya pemberontakan :
1) Republik Maluku Selatan (RMS)
2) Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) ingin melepaskan
diri dari Indonesia
3) Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA) NKRI

c. Periode 1959-1966 Periode yang dikenal dengan periode demokrasi terpimpin


(demokrasi yang berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno)
1) Terjadi penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi
2) Pres.Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup
menggabungkan Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM) dan tidak
cocok bagi NKRI ,terjadi kemerosotan moral di sebagian masyarakat
,Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 30-9-1965 dipimpin oleh
D.N. Aidit, tujuan utama : mendirikan Negara Soviet Indonesia yang
berideologi komunis sebagai pengganti pancasila.

2. Masa Orde Baru


Transisi singkat 1966-1968 dimana demokasi Pancasila diwarnai dengan ke
diktatoran
a. Pelengseran Ir.Soekarno dengan dipilihnya Jenderal Soeharto sebagai
Presiden
b. konsep Demokrasi Pancasila
c. Visi utama dari pemerintahan orde baru : melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat Indonesia
d. Terciptanya stabilitas keamanan negara dalam waktu singkat pasca
pemberontakan PKI II

73
e. Tidak adanya perubahan ke arah lebih baik di bidang politik,
KEPRESIDENAN (pengontrol utama) Lembaga Suprastruktur Lembaga
Infrastruktur(DPR,MPR,DPA,BPK,MA) (LSM,ParPol,dll.)

3. Masa Reformasi
Dimana Pancasila sebagai Dasar Negara dan Ideologi Negara terus menghadapi
berbagai tantangan, yang dihadapkan pada :
1. kondisi kehidupan masyarakat yang diwarnai kehidupan serba bebas.
(kebebasan bicara, beroganisasi, berekspesi dll.) dampak negative dari kehupan
yang bersifat bebas tanpa batas :
a. Munculnya pergaulan bebas
b. Pola komunikasi yang tidak beretika, yang dapat memicu terjadinya
perpecahan - Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan sesama warga
bangsa ( adanya konflik di beberapa daerah, tawuran antar pelajar,
tindakan kekerasan untuk mencapai solusi dari permasalahan, dll)
c. Saling berpacunya pembangunan bangsa-bangsa yang memudahkan
masuknya ideologi baru.

7.4 Perundang-Undangan Dalam Bidang Politik


Politik adalah sebuah perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk
mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam tatanan Negara agar dapat merealisasikan cita-
cita Negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk Negara
sesuai garis keinginan agar kebahagian bersama didalam masyarakat sebuah Negara
tersebut lebih mudah tercapai.
Pengertian politik perundang-undangan ialah seperti yang tertera dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia ialah politik diartikan sebagai kebijakan. Dengan demikian,
politik perundang-undangan adalah kebijakan dalam bidang perundang-undangan.
Politik Perundang-undangan adalah merupakan arah kebijakan pemerintah atau
negara mengenai arah pengaturan (subtansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Makna dan isi politik perundang-undangan yang akan ditempuh yaitu terciptanya
suatu sistem perundang-undangan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang

74
mencerminkan secara keseluruhan isi dan tujuan politik hukum nasional yaitu
kebijaksanaan pembangunan hukum nasional untuk mewujudkan suatu kesatuan sistem
hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yakni suatu sistem yang berisi perangkat
hukum, kaidah dan asas hukum, aparat, sarana dan prasarana hukum yang mampu
memberiakn perlindungan, mendorong dan menjamin terwujudnya kesejahteraan umum
dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang demokratis dan mandiri, serta
terlaksananya negara berdasarkan asas hukum dan berkonstitusi.
Pembangunan hukum nasional meliputi juga pembangunan aparatur hukum,
sarana dan prasarana hukum. Sedangkan pembangunan asas dan kaidah hukum disebut
pembangunan materi hukum, meliputi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Peraturan Perundang-undangan termasuk hukum tertulis. Sejalan dengan tujuan
pembangunan sistem hukum nasional, maka setidaknya terdapat tiga segi pokok sebagai
arahan politik perundang-undangan adalah:
1. Hukum perundang-undangan harus berisi dan sekaligus sebagai instumen untuk
mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia .
2. Hukum perundang-undangan harus berisi dan sekaligus sebagai Instrumen
mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri.
3. Hukum perundang-undangan harus berisi dan sekaligus sebagai instrumen
penyelengaraan negara berdasarkan atas hukum dan konstitusi, yang bukan saja
mengandung berbagai bentuk pembatasan kekuasaan, tetapi juga mencerminkan
kepastian hukum, keadilan dan kebenaran.
Politik perundang-undangan yang memiliki arti kebijakan dalam bidang
perundang-undangan adalah berkenaan dengan substansi dan bentuk hukum. Bentuk
hukum dan tat urutan peraturan perundang-undangan sebagai pengganti Undang-
Undang No. 10 Tahun 2004 tentang hal yang sama. Menurut Undang-Undang No.12
Tahun 2011 ini, bentuk-bentuk dan tata urutan peraturan perundang-undangan adalah
sebagai berikut:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d) Peraturan Pemerintah

75
e) Peraturan Presiden
f) Peraturan Daerah Provinsi
g) Peraturan Daerah Kota/Kabupaten
Seperti yang telah terjadi, pada tahun 1999 Pemerintah telah mengundangkan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 dan Undang-Undang No. 12 Tahun
2008. Undang-Undang tersebut telah memberikan hak otonomi kepada Daerah, dalam
hal ini Kabupaten dan Kota, sedangkan Provinsi diberi hak otonomi terbatas. Akan
tetapi, dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi
Provinsi Papua. Dalam Bab IV Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 diatur tentang
kewenangan daerah. Hal itu diatur lebih lanjut dalam pasal 4 yang terdiri dari 9 9 ayat,
kami menemukan 5 ayat yang dikemukakan di dalamnya, sebagai berikut:

1. Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang


pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, moneter dan fisikal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu
di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam rangka
pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus
berdasarkan Undang-Undang ini.
3. Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2, diatur lebih
lanjut dengan perdasus (Peraturan Daerah Khusus) dan perdasi (Peraturan
Daerah Provinsi).
4. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup kewenangan
sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
5. Selain kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 4, Daerah Kabupaten
dan Kota memiliki kewenangan berdasarkan Undang-Undang ini yang diatur
lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi.

76
BAB VIII
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN
DALAM MASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA

8.1 Pengertian Pancasila Sebagai Paradigma


Paradigma Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam filsafat
ilmu pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah
tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya
yang berjudul “The Structure Of Scientific Revolution”, paradigma adalah suatu
asumsi-asumsi dasar dan teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai)
sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu
pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Dalam ilmu-ilmu sosial manakala suatu teori yang didasarkan pada suatu
hasil penelitian ilmiah yang mendasarkan pada metode kuantitatif yang
mengkaji manusia dan masyarakat berdasarkan pada sifat-sifat yang parsial,
terukur, korelatif dan positivistik, maka hasil dari ilmu pengetahuan tersebut
secara epistemologis hanya mengkaji satu aspek saja dari obyek ilmu
pengetahuan yaitu manusia.
Dalam masalah yang populer istilah paradigma berkembang menjadi
terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir,
orientasi dasar, sumber asas serta tujuan dari suatu perkembangan, perubahan
serta proses dari suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan,
reformasi maupun dalam pendidikan.

8.2 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan


Tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
sebagai berikut “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia” hal ini merupakan tujuan negara hukum formal, adapun rumusan
“Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” hal ini
merupakan tujuan negara hukum material, yang secara keseluruhan sebagai
tujuan khusus atau nasional. Adapun tujuan umum atau internasional adalah

77
“ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala
aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai
Pancasila. Karena nilai-nilai Pancasila mendasarkan diri pada dasar ontologis
manusia sebagai subyek pendukung Pancasila sekaligus sebagai subyek
pendukung negara. Unsur-unsur hakikat manusia “monopluralis” meliputi
susunan kodrat manusia, terdiri rokhani (jiwa) dan jasmani (raga), sifat kodrat
manusia terdiri makhluk individu dan makhluk sosial serta kedudukan kodrat
manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan YME.
1. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK
Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu
hasil kreativitas rohani manusia. Unsur rohani (jiwa) manusia meliputi aspek akal,
rasa, dan kehendak. Akal merupakan potensi rohaniah manusia dalam hubungannya
dengan intelektualitas, rasa dalam bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moral
(etika).
Tujuan yang esensial dari Iptek adalah demi kesejahteraan umat manusia,
sehingga Iptek pada hakekatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai.
Pengembangan Iptek sebagai hasil budaya manusia harus didasarkan pada moral
Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkomplementasikan ilmu pengetahuan,
mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional, antara akal, rasa dan
kehendak. Berdasarkan sila ini Iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan,
dibuktikan dan diciptakan tetapi juga dipertimbangkan maksud dan akibatnya
apakah merugikan manusia dengan sekitarnya.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar moralitas
bahwa manusia dalam mengembangkan Iptek harus bersifat beradab. Iptek adalah
sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan bermoral.
Sila Persatuan Indonesia, mengkomplementasikan universalia dan
internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila yang lain. Pengembangan Iptek

78
hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa serta
keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat manusia di dunia.
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan mendasari pengembangan Iptek secara demokratis.
Artinya setiap ilmuwan harus memiliki kebebasan untuk mengembangkan Iptek
juga harus menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan harus memiliki
sikap yang terbuka untuk dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan dengan
penemuan ilmuwan lainnya.
Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengkomplementasikan
pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan
kemanusiaan yaitu keseimbangan keadilan dalam hubungannya dengan dirinya
sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, manusia
dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam lingkungannya.
2. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUDHANKAM
Hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pengembangan
POLEKSOSBUDHANKAM. Pembangunan hakikatnya membangun manusia
secara lengkap, secara utuh meliputi seluruh unsur hakikat manusia monopluralis,
atau dengan kata lain membangun martabat manusia.
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Bidang Politik
Pengembangan dan pembangunan bidang politik harus mendasarkan pada
tuntutan hak dasar kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan
disebut hak asasi manusia.
Dalam sistem politik negara harus mendasarkan pada kekuasaan yang bersumber
pada penjelmaan hakikat manusia sebagai individu – mahluk sosial yang terjelma
sebagai rakyat. Selain sistem politik negara Pancasila memberikan dasar-dasar
moralitas politik negara. Drs. Moh. Hatta, menyatakan bahwa “negara berdasarkan
atas Ketuhanan yang Maha Esa, atas dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Hal ini menurutnya agar memberikan dasar-dasar moral supaya negara tidak
berdasarkan kekuasaan.
Dalam sila-sila Pancasila tersusun atas urut-urutan sistematis, bahwa dalam
politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (sila IV), adapun pengembangan
dan aktualisasi politik negara berdasarkan pada moralitas berturut-turut moral

79
ketuhanan, moral kemanusiaan (sila II) dan moral persatuan, yaitu ikatan moralitas
sebagai suatu bangsa (sila III). Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara
demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (sila V).
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
Mubyarto mengembangkan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi humanistik
yang mendasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas. Maka sistem
ekonomi Indonesia mendasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa.
Tujuan ekonomi itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar
manusia menjadi lebih sejahtera. Ekonomi harus mendasarkan pada kemanusiaan
yaitu demi kesejahteraan manusia, sehingga harus menghindarkan diri dari
pengembangan ekonomi yang hanya mendasarkan persaingan bebas, monopoli dan
lainnya yang menimbulkan penderitaan pada manusia, penindasan atas manusia satu
dengan lainnya.
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Budaya
Dalam pengembangan sosial budaya pada masa reformasi dewasa ini kita harus
mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar nilai yaitu
nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Prinsip etika Pancasila pada hakikatnya bersifat
humanistik, artinya nilai-nilai Pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber
pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya.
Dalam rangka pengembangan sosial budaya, Pancasila sebagai kerangka
kesadaran yang dapat mendorong untuk universalisasi, yaitu melepaskan simbol-
simbol dari keterikatan struktur, dan transendentalisasi. yaitu meningkatkan derajat
kemerdekaan manusia, kebebasan spiritual.
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hankam
Pertahanan dan Keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi
tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.
Pertahanan dan Keamanan negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi
kepentingan rakyat sebagai warga negara.
Pertahanan dan keamanan harus menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat
serta kebebasan kemanusiaan dan Hankam diperuntukkan demi terwujudnya
keadilan dalam masyarakat agar negara benar-benar meletakkan pada fungsi yang

80
sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara yang
berdasarkan kekuasaan.
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama
Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi bangsa
Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama di negara
Indonesia. Dalam pengertian ini maka negara menegaskan dalam pokok pikiran ke
IV bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa “, ini berarti bahwa
kehidupan dalam negara mendasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan.

8.3 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi


Negara Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali
kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang
sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak
asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral religius serta masyarakat
yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
Pada hakikatnya reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan kearah
sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang
selama ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa orde
lama maupun orde baru. Proses reformasi walaupun dalam lingkup pengertian
reformasi total harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas dan merupakan
arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan
bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma
reformasi total tersebut.
1. Gerakan Reformasi
Pelaksanaan GBHN 1998 pada Pembangunan Jangka Panjang II Pelita
ke tujuh bangsa Indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis
ekonomi Asia terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik
menjadi goyah.
Sistem politik dikembangkan kearah sistem “Birokratik Otoritarian” dan
suatu sistem “Korporatik”. Sistem ini ditandai dengan konsentrasi kekuasaan
dan partisipasi didalam pembuatan keputusan-keputusan nasional yang berada
hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok militer, kelompok

81
cerdik cendikiawan dan kelompok pengusaha oligopolistik dan bekerjasama
dengan mayarakat bisnis internasional.
Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut ditandai dengan
mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian
disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan
kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan
transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi
secara menyeluruh, terutama perubahan paket UU politik tahun 1985, kemudian
diikuti dengan reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum. Yang
lebih mendasar reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi
negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus
dilakukan melalui Pemilu secepatnya.
a. Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila
Arti Reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation dengan
akar kata reform yang artinya “make or become better by removing or putting
right what is bad or wrong”. Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu
gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal
yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai
dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Oleh karena itu suatu gerakan
reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu
penyimpanganpenyimpangan. Misalnya pada masa orde baru, asas kekeluargaan
menjadi nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan
semangat UUD 1945.
2. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas
(landasan ideologis) tertentu. Dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan negara Indonesia.
3. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka
struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi.

82
4. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang lebih
baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
serta kehidupan keagamaan.
5. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang
berketuhanan yang maha esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
b. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
Menurut Hamengkubuwono X, gerakan reformasi harus tetap diletakkan
dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideologi
sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas maka suatu reformasi akan
mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme,brutalisme pada akhirnya menuju
pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Maka reformasi dalam perspektif
Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang reformatif artinya
memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan
dinamika aspirasi rakyat. Dalam mengantisipasi perkembangan jaman yaitu
dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai
dengan aspirasi rakyat.

2. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum


Setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan orde baru, salah
satu subsistem yang mengalami kerusakan parah adalah bidang hukum. Produk
hukum baik materi maupun penegaknya dirasakan semakin menjauh dari nilai-
nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan.
Kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam
berbagai bidang misalnya, politik, ekonomi dan bidang lainnya maka bangsa
Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang
mengalami kerusakan tersebut. Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan
Hukum

83
Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang
merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut
staatsfundamental, di Indonesia tidak lain adalah Pancasila.
Hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, maka
hukum harus selalu diperbarui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta
kebutuhan masyarakat yang dilayani dan dalam pembaruan hukum yang terus-
menerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber
norma, dan sumber nilai. Sebagai cita-cita hukum, Pancasila dapat memenuhi
fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif.
Dengan fungsi regulatif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum
yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang
diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan maknanya
sebagai hukum itu sendiri.
Fungsi regulatif Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif
sebagai produk yang adil ataukah tidak adil. Sebagai staatfundamentalnorm,
Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib
hukum di Indonesia termasuk UUD 1945.
Dalam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai
sumber dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber hukum
meliputi dua macam pengertian, sumber hukum formal yaitu sumber hukum
ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap
komunitasnya, misalnya UU, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah.
Sumber hukum material yaitu suatu sumber hukum yang menentukan
materi atau isi suatu norma hukum. Jika terjadi ketidakserasian atau
pertentangan satu norma hukum dengan norma hukum lainnya yang secara
hierarkis lebih tinggi apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya, berarti terjadi
inkonstitusionalitas (unconstitutionality) dan ketidak legalan (illegality) dan
karenanya norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum. Dengan
demikian maka upaya untuk reformasi hukum akan benar-benar mampu
mengantarkan manusia ketingkat harkat dan martabat yang lebih tinggi sebagai
makhluk yang berbudaya dan beradab.
Dasar Yuridis Reformasi Hukum

84
Reformasi total sering disalah artikan sebagai dapat melakukan
perubahan dalam bidang apapun dengan jalan apapun. Jika demikian maka kita
akan menjadi bangsa yang tidak beradab, tidak berbudaya, masyarakat tanpa
hukum, yang menurut Hobbes disebut keadaan “homo homini lupus”, manusia
akan menjadi serigala manusia lainnya dan hukum yang berlaku adalah hukum
rimba. UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktek penyelenggaraan negara
bersifat multi interpretable (penafsiran ganda), dan memberikan porsi kekuasaan
yang sangat besar kepada presiden (executive heavy). Akibatnya memberikan
kontribusi atas terjadinya krisis politik serta mandulnya fungsi hukum dalam
negara RI.
Berdasarkan isi yang terkandung dalam Penjelasan UUD 1945,
Pembukaan UUD 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran yang dijabarkan
dalam pasal-pasal UUD 1945 secara normatif. Pokok-pokok pikiran tersebut
merupakan suasana kebatinan dari UUD dan merupakan cita-cita hukum yang
menguasai baik hukum dasar tertulis (UUD 1945) maupun hukum dasar tidak
tertulis (Convensi). Selain itu dasar yuridis Pancasila sebagai paradigma
reformasi hukum adalah Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 yang menyatakan
bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yang
berarti sebagai sumber produk serta proses penegakan hukum yang harus
senantiasa bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan secara eksplisit dirinci tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bersumber pada nilai-
nilai Pancasila.
Berbagai macam produk peraturan perundang-undangan yang telah
dihasilkan dalam reformasi hukum antara lain :
1) UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
2) UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu
3) UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD
4) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
5) UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
kan Daerah
6) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari KKN. Pada tingkatan Ketetapan MPR telah dilakukan reformasi hukum

85
melalui Sidang Istimewa MPR pada bulan Nopember 1998 yang menghasilkan
ketetapan-ketetapan:
7) Tap No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Referendum - Tap No.
IX/MPR/1998 tentang GBHN
8) Tap No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
9) Tap No. XI/MPR/1998 tentang Negara bebas KKN
10) Tap No. XII/MPR/1998 tentang Masa jabatan Presiden - Tap No.
XIV/MPR/1998 tentang Pemilu 1999
11) Tap No. XV/MPR/1998 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah
12) Tap No. XVI/MPR/1998 tentang Demokrasi Ekonomi
13) Tap No. XVII/MPR.1998 tentang Hak asasi Manusia
14) Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan P4.
Pancasila sebagai Paradigma Reformasi
Pelaksanaan Hukum Dalam era reformasi pelaksanaan hukum harus
didasarkan pada suatu nilai sebagai landasan operasionalnya. Reformasi pada
dasarnya untuk mengembalikan hakikat dan fungsi negara pada tujuan semula
yaitu melindungi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Negara pada hakikatnya secara formal harus melindungi hak-hak
warganya terutama hak kodrat sebagai suatu hak asasi yang merupakan karunia
Tuhan YME. Oleh karena itu pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah
sebagai pengingkaran terhadap dasar filosofis negara misalnya pembungkaman
demokrasi, penculikan, pembatasan berpendapat berserikat, berunjuk rasa dan
lain sebagainya. Pelaksanaan hukum pada masa reformasi harus benar-benar
dapat mewujudkan negara demokrasi dengan suatu supremasi hukum. Artinya
pelaksanaan hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas terwujudnya
keadilan (sila V) dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan
kewajiban bagi setiap warga negara tidak memandang pangkat, jabatan,
golongan, etnisitas maupun agama. Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di muka hukum dan pemerintah (pasal 27 UUD 1945). Jaminan
atas terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara dalam hidup bersama dalam
suatu negara yang meliputi seluruh unsur keadilan baik keadilan distributif,

86
keadilan komulatif, serta keadilan legal. Konsekuensinya dalam pelaksanaan
hukum aparat penegak hukum terutama pihak kejaksaan adalah sebagai ujung
tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari praktek KKN.
3. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik
Landasan aksiologis (sumber nilai) sistem politik Indonesia adalah dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi “……maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Jika dikaitkan dengan makna alinea II tentang cita-cita negara dan
kemerdekaan yaitu demokrasi (bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur).
Dasar politik ini menunjukkan kepada kita bahwa bentuk dan bangunan
kehidupan masyarakat yang bersatu (sila III), demokrasi (sila IV), berkeadilan
dan berkemakmuran (sila V) serta negara yang memiliki dasar-dasar moral
ketuhanan dan kemanusiaan.
Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila
sebagai fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita
dalam kenyataannya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana kerokhanian
berdasarkan nilai-nilai tersebut. Berdasarkan semangat dari UUD 1945 esensi
demokrasi adalah :
1. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara.
2. Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
3. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan karenanya harus tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR.
4. Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri
maupun bersama-sama lembaga lain kekuatannya berada di bawah.
Majelis Permusyawatan Rakyat atau produk-produknya

87
Prinsip-prinsip demokrasi tersebut bilamana kita kembalikan pada nilai
esensial yang terkandung dalam Pancasila maka kedaulatan tertinggi negara
adalah di tangan rakyat. Rakyat adalah asal mula kekuasaan negara, oleh karena
itu paradigma ini harus merupakan dasar pijakan dalam reformasi.
Reformasi kehidupan politik juga dilakukan dengan meletakkan cita-cita
kehidupan kenegaraan dan kebangsaan dalam suatu kesatuan waktu yaitu nilai
masa lalu, masa kini dan kehidupan masa yang akan datang. Atas dasar inilah
maka pertimbangan realistik sebagai unsur yang sangat penting yaitu dinamika
kehidupan masyarakat, aspirasi serta tuntutan masyarakat yang senantiasa
berkembang untuk menjamin tumbuh berkembangnya demokrasi di negara
Indonesia. karena faktor penting demokrasi dalam suatu negara adalah
partisipasi dari seluruh warganya. Dengan sendirinya kesemuanya ini harus
diletakkan dalam kerangka nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri
sebagai filsafat hidupnya yaitu nilai-nilai Pancasila.
4. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Kebijaksanaan yang selama ini diterapkan hanya mendasarkan pada
pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan bersama seluruh
bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil
orang bahkan penguasa. Pada era ekonomi global dewasa ini dalam
kenyataannya tidak mampu bertahan. Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan
melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk, sehingga
kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh rakyat.
Dalam kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu bertahan pada
masa krisis dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang berbasis
pada usaha rakyat. Oleh karena itu subsidi yang luar biasa banyaknya pada
kebijaksanaan masa orde baru hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang yaitu
sekelompok konglomerat, sedangkan bilamana mengalami kebangkrutan seperti
saat ini rakyatlah yang banyak dirugikan. Oleh karena itu rekapitalisasi
pengusaha pada masa krisis dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak
membantu pengusaha yang sedang terpuruk.

88
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang
berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang
mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut :
a) Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan
program “social safety net” yang popular dengan program Jaring Pengaman
Sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah, maka pemerintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta
mengadili bagi oknum pemerintah masa orde baru yang melakukan
pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan dan kepastian usaha.
b) Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan
menciptakan kondisi kepastian usaha, yaitu dengan diwujudkan perlindungan
hukum serta undang-undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan
penyehatan dalam sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan
merupakan jantung perekonomian.
c) Transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu
diciptakan sistem untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural
transformation). Transformasi struktural ini meliputi proses perubahan dari
ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang
tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada
kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi ekspor.
Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan yang ikut dalam
proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus segera
diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya
terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan
akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi
kesenjangan ekonomi.
8.4 Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi
obyektif dan subyektif. Aktualisasi Pancasila obyektif yaitu aktualisasi Pancasila
dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan
negara antara lain legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

89
Selain itu juga meliputi bidang-bidang aktualisasi lainnya seperti politik,
ekonomi, hukum terutama dalam penjabaran ke dalam undang-undang, GBHN,
pertahanan keamanan, pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya. Adapun
aktualisasi Pancasila subyektif adalah aktualisasi Pancasila pada setiap individu
terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup negara dan
masyarakat. Aktualisasi yang subyektif tersebut tidak terkecuali baik warga
negara biasa, aparat penyelenggara negara, penguasa negara, terutama kalangan
elit politik dalam kegiatan politik perlu mawas diri agar memiliki moral
Ketuhanan dan Kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

8.5 Tridharma Perguruan Tinggi


Pendidikan Tinggi sebagai institusi dalam masyarakat bukanlah
merupakan menara gading yang jauh dari kepentingan masyarakat melainkan
senantiasa mengemban dan mengabdi kepada masyarakat.
Menurut PP No. 60 Th. 1999, perguruan tinggi memiliki tiga tugas
pokok yang disebut Tridharma Perguruan Tinggi, yang meliputi :
1. Pendidikan Tinggi Lembaga
pendidikan tinggi memiliki tugas melaksanakan pendidikan untuk menyiapkan,
membentuk dan menghasilkan sumber daya yang berkualitas. Tugas pendidikan
tinggi adalah :
a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi
dan kesenian.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi
dan kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Pengembangan
ilmu di perguruan tinggi bukanlah value free (bebas nilai), melainkan senantiasa
terikat nilai yaitu nilai ketuhahan dan kemanusiaan. Oleh karena itu pendidikan
tinggi haruslah menghasilkan ilmuwan, intelektual serta pakar yang bermoral
ketuhanan yang mengabdi pada kemanusiaan.
2. Penelitian

90
Penelitian adalah suatu kegiatan telaah yang taat kaidah, bersifat obyektif
dalam upaya untuk menemukan kebenaran dan menyelesaikan masalah dalam
ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Dalam suatu kegiatan penelitian
seluruh unsur dalam penelitian senantiasa mendasarkan pada suatu paradigma
tertentu, baik permasalahan, hipotesis, landasan teori maupun metode yang
dikembangkannya.
Dalam khasanah ilmu pengetahuan terdapat berbagai macam bidang ilmu
pengetahuan yang masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri, karena
paradigma yang berbeda. Bahkan dalam suatu bidang ilmu terutama ilmu sosial,
antropologi dan politik terdapat beberapa pendekatan dengan paradigma yang
berbeda, misalnya pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif.
Dasar-dasar nilai dalam Pancasila menjiwai moral peneliti sehingga
suatu penelitian harus bersifat obyektif dan ilmiah. Seorang peneliti harus
berpegangan pada moral kejujuran yang bersumber pada ketuhanan dan
kemanusiaan. Suatu hasil penelitian tidak boleh karena motivasi uang,
kekuasaan, ambisi atau bahkan kepentingan primordial tertentu. Selain itu asas
manfaat penelitian harus demi kesejahteraan umat manusia, sehingga dengan
demikian suatu kegiatan penelitian senantiasa harus diperhitungkan manfaatnya
bagi masyarakat luas serta peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan.
3. Pengabdian kepada Masyarakat
Pengabdian kepada masyarakat adalah suatu kegiatan yang memanfaatkan
ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan
masyarakat. Realisasi pengabdian kepada masyarakat dengan sendirinya
disesuaikan dengan ciri khas, sifat serta karakteristik bidang ilmu yang
dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Aktualisasi pengabdian
kepada masyarakat ini pada hakikatnya merupakan suatu aktualisasi
pengembangan ilmu pengetahuan demi kesejahteraan umat manusia. Kegiatan
pengabdian kepada masyarakat sebenarnya merupakan suatu aktualisasi kegiatan
masyarakat ilmiah perguruan tinggi yang dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan dan
kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

91
8.6 Budaya Akademik
Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang memiliki
wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus
senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari
aktivitas perguruan tinggi. Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah sebagai budaya
akademik sebagai berikut :
a. Kritis, senantiasa mengembangkan sikap ingin tahu segala sesuatu untuk
selanjutnya diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan
ilmiah penelitian.
b. Kreatif, senantiasa mengembangkan sikap inovatif, berupaya untuk menemukan
sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi masyarakat.
c. Obyektif, kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar berdasarkan pada
suatu kebenaran ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang atau ambisi pribadi.
d. Analitis, suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode ilmiah yang
merupakan suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran ilmiah.
e. Konstruktif, harus benar-benar mampu mewujudkan suatu karya baru yang
memberikan asas kemanfaatan bagi masyarakat.
f. Dinamis, ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan
terusmenerus.
g. Dialogis, dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat
akademik harus memberikan ruang pada peserta didik untuk mengembangkan
diri, melakukan kritik serta mendiskusikannya.
h. Menerima kritik, sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu setiap insan
akademik senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik.
i. Menghargai prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual akademik harus
menghargai prestasi akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan ilmiah.
j. Bebas dari prasangka, budaya akademik harus mengembangkan moralitas ilmiah
yaitu harus mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah.
k. Menghargai waktu, senantiasa memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien
mungkin, terutama demi kegiatan ilmiah dan prestasi.
l. Memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, memiliki karakter ilmiah sebagai
inti pokok budaya akademik

92
m. Berorientasi ke masa depan, mampu mengantisipasi suatu kegiatan ilmiah ke
masa depan dengan suatu perhitungan yang cermat, realistis dan rasional.
n. Kesejawatan/kemitraan, memiliki rasa persaudaraan yang kuat untuk
mewujudkan suatu kerja sama yang baik. Oleh karena itu budaya akademik
senantiasa memegang dan menghargai tradisi almamater sebagai suatu tanggung
jawab moral masyarakat intelektual akademik.

8.7 Kampus sebagai Moral Force


Pengembangan Hukum dan HAM Masyarakat kampus wajib senantiasa
bertanggung jawab secara moral atas kebenaran obyektif, tanggung jawab terhadap
masyarakat bangsa dan negara, serta mengabdi kepada kesejahteraan kemanusiaan.
Oleh karena itu sikap masyarakat kampus tidak boleh tercemar oleh kepentingan politik
penguasa sehingga benar-benar luhur dan mulia. Oleh karena itu dasar pijak kebenaran
masyarakat kampus adalah kebenaran yang bersumber pada ketuhanan dan
kemanusiaan. Indonesia dalam melaksanakan reformasi dewasa ini, agenda yang
mendesak untuk diwujudkan adalah reformasi dalam bidang hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, oleh karena itu
dalam rangka melakukan penataan negara untuk mewujudkan masyarakat yang
demokratis maka harus menegakkan supremasi hukum. Agenda reformasi yang pokok
segera direalisasikan adalah untuk melakukan reformasi dalam bidang hukum.
Konsekuensinya dalam mewujudkan suatu tatanan hukum yang demokratis, maka harus
dilakukan pengembangan hukum positif.
Dalam reformasi bidang hukum, bangsa Indonesia telah mewujudkan Undang-
undang Hak Asasi Manusia yaitu UU No. 39 Th.1999. Sebagaimana terkandung dalam
konsideran bahwa yang dimaksud Hak asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Disamping hak asasi manusia, undang-undang ini juga menentukan Kewajiban
Dasar Manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Dalam penegakan hak asasi

93
manusia tersebut mahasiswa sebagai kekuatan moral harus bersifat obyektif dan benar-
benar berdasarkan kebenaran moral demi harkat dan martabat manusia, bukan karena
kepentingan politik terutama kepentingan kekuatan politik dan konspirasi kekuatan
internasional yang ingin menghancurkan negara Indonesia. Perlu disadari bahwa dalam
menegakkan hak asasi manusia pelanggaran terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan
oleh seseorang, kelompok orang termasuk aparat negara, penguasa negara baik
disengaja maupun tidak disengaja.

94
GLOSARIUM

Abolasi : Hak kepala negara untuk menghapuskan hak tuntutan pidana dan
menghentikan jika telah dijalankan.

Absolut : Mutlak, tak terbatas.

Absolutisme : bentuk pemerintahan tanpa undang-undang dasar atau bentuk


pemerintahan.

Adat istiadat : Tata kelakuan yang kekal dan warisan turun temurun .

Ad hoc : Untuk sesuatu maksud tertentu; komisi Ad hoc diartikan sebagai komisi
yang dibentuk untuk maksud yang telah ditentukan. Ad hoc juga berarti
bersifat sementara.

Advokat : Ahli hokum yang berwenang sebagai penasihat atau pembela

BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah


sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang.

Falsafah : adalah anggapan, pandangan hidup , gagasan, dan sikap batin yang paling
dasar yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat.

Filsafat : Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala
yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.

Filosofis : Berdasarkan filsafat.

Fundamental : adalah sesuatu yang mendasar, asasi, sangat penting, atau merupakan
suatu prinsip, dan hal pokok yang dijadikan pedoman atau dasar di dalam hal-
hal tertentu.

Geuseikan : adalah Kepala Pemerintah Balantentara Jepang di Jawa.

Histori : Berkenaan dengan sejarah; bertalian atau ada hubungannya dengan masa
lampau; bersejarah.

95
Humanistik : Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an
sebagai reaksi terhadap aliran yang telah ada sebelumnya yaitu behaviorisme
dan psikoanalisis.

Ideologi : Sistem kepercayaan yang menerangkan dan membenarkan suatu tataan


politik yang ada atau yang dicita-citakan dan memberikan strategi berupa
prosedur, rancangan, instruksi, serta program untuk mencapainya.

Komunisme : Paham atau ideologi (dalam bidang politik) yang menganut ajaran Karl
Marx dan Fredrich Engels, yang hendak menghapuskan hak milik
perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol
oleh negara.

Liberalisme : Aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi dan


kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut
campur).

Marxisme : Sebuah paham yang berdasar pada pandangan-pandangan Karl Marx.

Nasakom : Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (disingkat: Nasakom) adalah


konsep politik yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno di Indonesia, serta
merupakan ciri khas dari Demokrasi Terpimpin.

Nisyijima : pembantu Laksamana Madya atau Angkatan Laut Jepang

Paradigme : Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai-nilai, dan
praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas
yang sama, khususnya, disiplin intelektual.

PPKI : adalah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bertugas untuk


mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Prima Causa : adalah sebuah kalimat bahasa Latin yang berarti penyebab atau faktor
utama tanpa diawali oleh faktor lain

96
Peformasi : Reformasi dapat juga diartikan sebagai proses pembentukan atau
perubahan sistem yang sudah ada pada suatu masa kemudian diganti dengan
yang baru.

Staat fundamental : Secara definisi staat fundamental norm adalah pokok kaidah
negara yang fundamental.

Terminologis : Peristilahan (tentang kata-kata); ilmu mengenai batasan atau definisi


istilah.

Transendentalisasi : yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan manusia dan kebebasan


spiritual (koentowijoyo,1986) Dengan demikian proses humanisasi universal
akan dehumanisasi serta aktualisasi nilai hanya demi kepentingan kelompok
sosial.

Yudikatif : adalah lembaga yang memiliki tugas untuk mengawal serta memantau
jalannya perundang-udangan atau penegakan hukum di Indonesia, seperti
Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

97
DAFTAR PUSTAKA

Adler , Mortimer,. Hutchins, Robert,.1990. A Syntopicon: An Index to The Great Ideas.


Encyclopædia Britannica’s collection Great Books of the Western World.

Al-Marsudi, Subandi. 2003. Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi.
Jakarta: PT Raja Garindo Persada

Alwi, Hasan. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Antoni, Condra. 2012. Filsafat Pancasila Sebagai Basis Pergerakan Mahasiswa,


Kehidupan Sosial, Dan Spirit Kewirausahaan, Politeknik Negeri Batam.

Darmadi, Hamid. 2013. Urgensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di


peruguruan Tinggi. Bandung: Alfabeta

Kattsoff, Louis O. 1986. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kaelan. 2005. Filsafat Pancasila sebagai Filasfat Bangsa Negara Indonesia. Makalah

pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan: Jakarta.

Nopirin. 1980. “Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila”. Cet. 9. Jakarta:


Pancoran Tujuh.

Pidarta, Made. 2007. Landasan Pendidikan. Stimulas Pendidikan Bercorak


Indonesia.Jakarta. Rineka.

Poespowardojo, S. 1994. Filsafat Pancasila. Sebuah Pendekatan Sosio Budaya.


Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.
Kanisius:Yogyakarta
Syafiie, Inu Kencana. 2005. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Refika Aditama:
Bandung.
Trianto, Triwulan T. Titik. 2007. “Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan”.
Jakarta: Prestasi Pustaka

Wahyu Widodo, Budi Anwari. 2015. “Pendidikan Pancasila Hakikat, Penghayatan, dan
Nilai-nilai dalam Pancasila”. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET.

Anda mungkin juga menyukai