Anda di halaman 1dari 16

Peranan Pemerintah, Keluarga, dan Masyarakat

Dalam Pendidikan

Disusun guna Memenuhi Tugas Pengantar Pendidikan

Dosen Pengampu : Rusiyah, S.Pd, M.Sc

Disusun oleh :

Moh. Fahry Djuraini


(451419002)
Astuti Kurune
(451419005)
Moh. Rafli Amruni
(451419020)

Program Studi Pendidikan Geografi


Jurusan Ilmu Dan Teknologi Kebumian
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Gorontalo
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT


berkat rahmat dan hidayahnya saya selaku penyusun dapat meyelesaikan makalah
ini. Shalawat serta salam kami curahkan kepada rasulullah SAW, keluarga, dan
sahabatnya.
Selanjutnya, saya selaku penyusun ingin meyampaikan rasa terimakasih
yang tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran pembuatan
makalah ini, baik berupa dorongan moril maupun materi. Terimakasih kepada Ibu
Rusiyah, S.Pd, M,Sc selaku dosen mata kuliah Pengantar Pendidikan yang telah
membimbing kami. Semoga makalah ini dapat berguna baik untuk diri kami,
teman-teman, maupun yang membaca makalah ini.
Saya selaku penyususn memohon maaf atas segala kekurangan yang
terdapat dalam makalah ini. Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat dan
dapat memenuhi tugas yang diberikan. Terima kasih.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah ..................................................................................................... 2

1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Peranan Dan Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Pendidikan ................................ 3

2.2 Peranan Dan Tanggung Jawab Keluarga Dalam Pendidikan ..................................... 5

2.3 Peranan Dan Tanggung Jawab Masyarakat Dalam Pendidikan ................................ 7

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 12

3.2 Saran ....................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia membutuhkan sinergi
antar komponen dan membutuhkan kesepahaman visi seluruh stake holder
yang terlibat. Komponen pendidikan yang meliputi raw material (input siswa) ,
tools (alat-alat dan sarana prasarana), serta process (metode pembelajaran)
adalah sebuah sistem yang akan menentukan kualitas out put (lulusan),
sedangkan stake holder yang terdiri atas siswa, guru, kepala sekolah, wali
murid, dinas terkait dan pemerintah daerah harus sevisi dan sinergi sehingga
memperlancar dan mempermudah pencapaian tujuan baik tujuan akademis
maupun pembentukan moral.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dinilai banyak pihak belum
berkualitas, sebagai indikatornya adalah kualitas Human Development Index
(Indeks Kualitas Manusia) berada di bawah negara-negara Asia Tenggara
lainnya seperti Singgapura, Thailand, bahkan Vietnam. Ada beberapa faktor
penyebab rendahnya kualitas pendidikan di tanah air antara lain: proses
pembelajaran belum memperoleh perhatian optimal, guru lebih banyak bekerja
sendirian, forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) belum berfungsi
optimal, sekolah belum menjadi pusat belajar bagi guru. Berdasarkan UU No
14 Tahun 2005 guru dituntut untuk profesional. Indikator keprofesionalan guru
mencakup empat hal yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional,
kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.Untuk mencapai keempat
kompetensi tersebut selama ini ditempuh secara konvensional yakni melalui
diklat dan penataran. Akan tetapi model konvensional tersebut belum
menunjukkan hasil yang optimal karena materi penataran akan dilupakan
begitu saja setelah sampai di sekolah.

1
1.2 Rumusan masalah
Bukan hal yang asing, bila kita seringkali mendengar semboyan ini:
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua, dan
masyarakat. Dalam hal ini kita akan membahas peran serta ketiganya, yaitu:
a) Peranan pemerintah dalam pendidikan.
b) Peranan keluarga dalam pendidikan.
c) Peranan masyarakat dalam pendidikan.

1.3 Tujuan
Tujuan makalah ini untuk mengetahui sejauh mana peran serta pemerintah,
keluarga, dan masyarakat dalam proses pendidikan di Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peranan Dan Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Pendidikan
Sistem pendidikan nasional Indonesia diatur dalam Undang-undang Dasar
45, TAP MPR, dan peraturan-peraturan lainnya yang dtetapkan oleh
pemerintah. Dalam penyelenggaraan pendidikan pemerintah melalui
kementriannya (KEMDIKBUD & KEMENAG) mengaawasi jalannya berbagai
proses dan fasilitas pendidikan.
Undang-undang BHP bisa menjadi landasan bagi pemerintah untuk
melepaskan diri dari tanggung jawabnya terhadap pembiayaan pendidikan.
Sebagaimana diatur dalam UU tersebut lembaga pendidikan yang berstatus
badan hukum pendidikan (BHP) harus menanggung seluruh biaya operasional
sendiri tanpa subsidi dari negara. UU BHP ini dibuat hanya untuk mengalihkan
tanggung jawab pemerintah dari besarnya biaya pendidikan. Ditambahkan,
dengan berlakunya UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, potensi
meningkatnya biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua dan peserta
didik cukup terbuka. Pasalnya, dalam pasal 41 ayat 7 disebutkan bahwa peserta
didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus
menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua
atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya. UU BHP juga mengatur
pembatasan kuota bagi pelajar berprestasi yang berhak memperoleh beasiswa
pendidikan, yakni sebesar 20% dari total jumlah peserta didik pada sebuah
lembaga pendidikan yang berstatus badan hukum. “Pemerintah memang tidak
melepas (tanggung jawabnya) langsung, namun bantuan yang diberikan hanya
untuk kuota 20%, diluar kuota itu pemerintah tidak bertanggung jawab atas
pendidikan rakyatnya,”
Pendidikan nasional yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa adalah
pendidikan yang bermakna proses pembudayaan. Pendidikan yang demikian
akan dapat memajukan kebudayaan nasional Indonesia . Dalam pembukaan
UUD 1945, jelas tertera bahwa tujuan pendirian negara adalah untuk
membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap

3
bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari kutipan tersebut, nampak
jelas bahwa pemerintah negara republik adalah pemerintah yang menurut
deklarasi kemerdekaan harus secara aktif melaksanakan misi tersebut. Di
antaranya, dengan memajukan kesejahateraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Lalu bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan
pendidikan di Indonesia? Sejak jaman Orde Baru, ketentuan pasal 31 UUD
1945 terutama ayat 2, mulai ditinggalkan. Mulai lahir doktrin baru bahwa
penyelenggaraan pendidikan dalam arti pembiayaan adalah tanggung jawab
bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Sejak saat itu masuk
SD pun dikenakan SPP atau membayar. Sedangkan sebelumnya masuk
Universitas Negeri pun hampir tak membayar. Pada periode Orde Lama --
walau keadaan ekonomi belum berkembang-- setiap universitas negeri malah
dilengkapi dengan perumahan dosen dan asrama mahasiswa. Pelajar dan
mahasiswa calon guru juga diberi ikatan dinas. Semuanya dilakukan karena
para pendiri republik masih memimpin. Pemerintah negara saat itu memahami
makna yang terkandung dalam pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945
terutama pasal 31. Atas kenyataan itu, MPR RI berupaya mempertegas makna
yang terkandung dalam pasal 31 UUD 1945 dengan mengamandemen menjadi
5 ayat. Salah satu isinya adalah setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Hal lainnya, pemerintah diminta mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional. Aspek lainnya, negara diminta
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 %.
Dengan adanya penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah, maka
pemerintah memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan tujuan pendidikan
diantaranya:
Membentuk manusia yang beradab dan warga Negara yang demokratis,
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air, serta

4
mencerdaskan kehidupan berbangsa dan mengembangkan rakyat Indonesia
seutuhnya.
Adapun secara yuridis landasan konstitusi Negara kita sudah mengatur
tentang hak dan kewajiban pemerintah dalam hal pendidikan, sebagimana yang
tertuang dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 10 tentang Sistem
pendidikan nasional.

2.2 Peranan Dan Tanggung Jawab Keluarga Dalam Pendidikan


Keluarga adalah lembaga sosial resmi yang terbentuk setelah adanya suatu
perkawinan. Pendidikan dalam keluarga di dasarkan atas prinsip cinta dan
kasih sayang. Karena dengan inilah yang akan menjadi kekuatan untuk
mendorong orang tuan agar tidak bosan membimbing dan memberikan
pertolongan yang di butuhkan anaknya. Oleh karenanya keluarga disebut
sebagai primary community yaitu sebagai lingkungan pendidikan yang
pertama dan utama. (Alisuf Sabri, 1999. 14-15).
Keluarga adalah institusi yang sangat berperan dalam rangka melakukan
sosialisasi, bahkan internalisasi, nilai-nilai pendidikan. Meskipun jumlah
institusi pendidikan formal dari tingkat dasar sampai ke jenjang yang paling
tinggi semakin hari semakin banyak, namun peran keluarga dalam transformasi
nilai edukatif ini tetap tidak tergantikan. keluarga merupakan tempat
pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari
anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam
pendidikan anak, yaitu tahun - tahun pertama dalam kehidupanya (usia
prasekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak
akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sudahnya.
Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat.
Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat
pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personil -
personilnya.
Karena itulah, peran keluarga dalam hal ini begitu berarti. Bahkan bisa
dikatakan bahwa tanpa keluarga, nilai-nilai pengetahuan yang didapatkan di

5
bangku meja formal tidak akan ada artinya sama sekali. Sekilas memang
tampak bahwa peran keluarga tidak begitu ada artinya, namun jika direnungkan
lebih dalam, siapa saja akan bisa merasakan betapa berat peran yang disandang
keluarga.
Problem yang dialami oleh ‘anak jalanan’ untuk memperoleh pendidikan
salah satunya adalah minimnya, bahkan tak adanya peran keluarga. Kalaupun
akhirnya mereka bersekolah, mereka hanya mendapatkan pengetahuan formal
saja. Sementara kasih sayang, sopan santun, moralitas, cinta dan berbagai nilai
afektif lainnya sulit mereka dapatkan. Mereka merasa tidak ada tempat yang
baik untuk berlindung dan mengungkapkan seluruh perasaan secara utuh dan
bebas. Umumnya mereka tidak memiliki keluarga yang mengemban peran
tersebut. Kalaupun mereka memiliki keluarga, tidak ada situasi yang kondusif
untuk saling berbagi perasaan antar anggota dalam sebuah keluarga. Ini
merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga swadaya
masyarakat yang mencoba memberdayakan ‘anak jalanan’. Mungkin persoalan
sulitnya bagaimana dia mendapatkan pendidikan secara formal, tidak sesulit
bagaimana dia memperoleh kasih sayang sejati.
Dari paparan itu kita bisa mengerti betapa peran penting keluarga dalam
rangka mengemban misi-misi pendidikan tidak bisa diabaikan. Di dalam
keluarga tercermin jalinan kasih dan cinta dalam ikatan emosional, darah dan
kekerabatan sangat mendominasi. Dengan demikian, keluarga merupakan cetak
biru (blue print) akan menjadi apa seorang anak kelak. Sebagian orang secara
tidak sadar mengatakan bahwa sebenarnya peran keluarga adalah sekunder,
alias hanya menjadi pelengkap saja. Sebab pengetahuan formal sudah mereka
dapatkan di bangku sekolahan. Logika ini tidak saja keliru secara etis, tapi juga
patut dipertanyakan pula pandangan moralnya terhadap keluarga. Yang logis,
keluarga justru merupakan institusi pendidikan pertama dan utama, kemudian
baru dilengkapi dengan nilai-nilai pengetahuan yang didapatkan dari bangku
sekolahan.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama, karena
dalam keluarga inilah anak memperoleh pendidikan dan bimbingan. Oleh

6
karena itu lingkungan keluarga bertanggung jawab terhadap pembentukan
waktu dan pertumbuhan jasmani anak. (A. R. Shaleh, 2005. 270).
Dalam lembaga keluarga peranan keluarga terdapat dalam undang-undang
Sisdiknas, adapun tugas dan tanggung jawab keluarga di Indonesia dalam
pendidikan dapat di rumuskan dengan (A. R. Shaleh, 2005. 17) menanamkan
jiwa agama atau nilai-nilai ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menananmkan nilai-nilai pancasila dan nilai budaya yang cocok untuk
pembangunan nasional.
Membiasakan dan menanamkan akhlak yang terpuji, menampilkan
keterampilan-keterapilan dalam hidup sehari-hari, mengembangkan
kepribadian yang teguh, memperhatikan dan mengembangkan bakat serta
memupuk minat dan bakat. Adapun hak dan kewajiban orang tua sudah diatur
dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003, pasal 7 ayat 1 dan 2.

2.3 Peranan Dan Tanggung Jawab Masyarakat Dalam Pendidikan


Masyarakat adalah sekumpulan orang atau sekelompok manusia yang
hidup bersama di suatu wilayah dengan cara berpikir dan bertindak yang relatif
sama sehingga membuat warga masyarakat itu menyadari diri mereka sebagai
suatu kelompok.
Peran masyarakat di era sekarang adalah menjadi fasilitator dalam
menunjang pelaksanaan pendidikan nasional, ikut serta dalam
menyelenggarakan pendidikan swasta, membantu pengadaan tenaga, saran dan
prasarana serta membantu mengembangkan profesi baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Meningkatkan Peran Serta Masyarakat (PSM) memang sangat erat berkait
dengan pengubahan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan. Ini tentu
saja bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Akan tetapi, bila tidak sekarang
dilakukan dan dimulai, kapan rasa memiliki, kepedulian, keterlibatan, dan
peran serta aktif masyarakat dengan tingkatan maksimal dapat diperoleh dunia
pendidikan.

7
Ada 7 tingkatan peran serta masyarakat (dirinci dari tingkat partisipasi terendah
ke tinggi), yaitu:
1. Peran serta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Jenis PSM
ini adalah jenis yang paling umum (ironisnya dunia pendidikan kita!).
Pada tingkatan ini masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah untuk
mendidik anak-anak mereka.
2. Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Pada
PSM jenis ini masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan
pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang, atau
tenaga.
3. Peran serta secara pasif. Masyarakat dalam tingkatan ini menyetujui dan
menerima apa yang diputuskan pihak sekolah (komite sekolah), misalnya
komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya
yang bersekolah dan orang tua menerima keputusan itu dengan
mematuhinya.
4. Peran serta melalui adanya konsultasi. Pada tingkatan ini, orang tua datang
ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang
dialami anaknya.
5. Peran serta dalam pelayanan. Orang tua/masyakarat terlibat dalam
kegiatan sekolah, misalnya orang tua ikut membantu sekolah ketika ada
studi tur, pramuka, kegiatan keagamaan, dsb.
6. Peran serta sebagai pelaksana kegiatan. Misalnya sekolah meminta orang
tua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan pentingnya pendidikan,
masalah jender, gizi, dsb. Dapat pula misalnya, berpartisipasi dalam
mencatat anak usia sekolah di lingkungannya agar sekolah dapat
menampungnya, menjadi nara sumber, guru bantu, dsb.
7. Peran serta dalam pengambilan keputusan. Orang tua/masyarakat terlibat
dalam pembahasan masalah pendidikan baik akademis maupun non
akademis, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam Rencana
Pengembangan Sekolah (RPS).

8
Pada saat di mana suatu program pembangunan didominasi oleh peran
pemerintah dan peran masyarakat lemah, maka masyarakat lalu hanya
ditempatkan sebagai saluran mempercepat program-program pembangunan itu.
Sebaliknya, apabila kemudian peran masyarakat kuat dan ditempatkan sebagai
subjek, maka akan bermakna sebagai upaya pemberdayaan atau penguatan
masyarakat, baik secara institusional maupun perseorangan anggota
masyarakat (Karsidi, 2002).
Penguatan masyarakat secara institusional bisa diartikan sebagai
pengelompokan anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat
dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai
segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
Termasuk di dalamnya adalah jejaring, pengelompokan sosial yang mencakup
mulai dari rumah tangga (household), organisasi - organisasi sukarela
(termasuk partai politik), sampai organisasi - organisasi yang mungkin pada
awalnya dibentuk oleh negara, tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu
sebagai perantara dari negara di satu pihak dengan individu dan masyarakat di
pihak lain (Hikam, 1993).
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan
dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka
masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri.
Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda
pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta
masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban.
Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda
pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat
untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan untuk dirinya
atau kelompoknya. Oleh karena itu, tidak akan dapat diterima jika satu
golongan mendiktekan keinginan dan kepentingannya dalam isi dan prioritas
agenda pengambilan keputusan pembangunan, apakah itu golongan di dalam
negeri seperti pejabat pemerintah atau usahawan, dan eksternal seperti
kekuatan besar misalnya lembaga (keuangan) internasional (Karsidi, 2002).

9
Dalam hal apa saja seharusnya mereka berpartisipasi? Sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya bahwa tanggung jawab pengembangan pendidikan
sebagai proses sosialisasi adalah berada pada orang tua dan kelompok-
kelompok masyarakat yang berkepentingan. Tanggung jawab tersebut tidak
pernah lepas tetapi pernah mengendor, sejalan dengan dominannya paradigma
pembangunan sentralistik. Oleh karena paradigma tersebut telah bergeser
menuju kepada peluang yang lebar bagi teraktualisasikannya kembali
partisipasi masyarakat, maka perlu segera dilakukan upaya pemulihan dan
pengembalian tanggung jawab masyarakat terhadap pengembangan pendidikan
baik dalam skala mikro maupun skala makro. Inilah yang saya sebut sebagai
reaktualisasi partisipasi masyarakat, karena sebenarnya yang bertanggung
jawab dalam hal ini adalah justru masyarakat itu sendiri. Mengacu pada
lingkup partisipasi masyarakat, maka dalam pengembangan pendidikan,
masyarakat harus dilibatkan sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan hasil dan evaluasinya.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan
pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan
kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar,
tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak
yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya
nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab
pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri,
lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi
cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat
masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut
kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk
mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan
partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua
dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa

10
memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan
pendidikan.
Sebagai contoh adalah tanggung jawab untuk menghasilkan output yang
baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok
kelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara demikian,
maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di
masyarakat tersebut.
Bagaimana dengan tanggung jawab negara terhadap pengembangan
pendidikan? Uraian di atas bukan bermaksud untuk mengurangi tanggung
jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam bidang pendidikan.
Sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisdiknas, 2003 bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan, serta berkewajiban memberikan
layanan dan kemudahan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah juga wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap
warga negara dari usia tujuh sampai usia lima belas tahun. Lebih dari itu,
sebenarnya peluang bagi orang tua/warga dan kelompok masyarakat masih
sangatlah luas.
Untuk itu, maka dalam kondisi kualitas layanan dan output pendidikan
sedang banyak dipertanyakan mutu dan relevansinya, maka pemerintah
seharusnya memberikan peluang yang luas bagi partisipasi masyarakat. Lebih
dari itu, pemerintah perlu menyusun mekanisme sehingga orang tua dan
kelompok-kelompok masyarakat dapat berpartisipasi secara optimal dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia.
Secara konseptual tanggung jawab masyarakat, antara lain: mengawasi
jalannya nilai sosio budaya, menyalurkan aspirasi masyarakat, membina dan
meningkatkan kualitas keluarga. (A. R. Shaleh, 2005. 347). Hak dan kewajiban
masyarakat juga sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003,
pasal 8 dan 9 tentang system pendidikan Nasional.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adanya opini masyarakat bahwa tanggung jawab utama pembangunan
(dalam bidang pendidikan) hanya terletak di tangan pemerintah, menyebabkan
masyarakat merasa hanya ditempatkan sebagai “bukan pemain utama” dan
berakibat melemahkan kemauan berpartisipasi warga dan kelompok -
kelompok masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Kondisi ini telah
merugikan pengembangan pendidikan itu sendiri dan semakin memberatkan
pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Perkembangan teknologi (terutama di bidang teknologi informasi)
menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan mulai bergeser. Di
kemudian hari sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat
pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan
waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena
banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi
seseorang untuk belajar. Peranan orang tua dan kelompok-kelompok
masyarakat menjadi sangat penting untuk mengisi kekosongan peran yang
tidak lagi mampu diambil oleh sekolah/lembaga pendidikan.
Media dan forum yang dapat dimanfaatkan untuk penyaluran partisipasi
masyarakat dalam pengembangan pendidikan antara lain adalah media
musyawarah dan pembentukan institusi masyarakat yang mampu menampung
aspirasi masyarakat, terutama di wilayah atau komunitas tempat
sekolah/lembaga pendidikan berada.

3.2 Saran
Diperlukan adanya peraturan perundangan yang mengatur mekanisme
partisipasi masyarakat terhadap pengembangan pendidikan baik dalam skala
nasional, daerah, maupun tingkat penyelenggara pendidikan. Sehingga mutu
pendidikan menjadi lebih baik dikarenakan aktifnya masyarakat dan orang tua
dalam menunjang dunia kependidikan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Saleh.2005. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak


Bangsa. Jakarta: Grafindo Persada

Alisuf Sabri.1999. Ilmu Pendidikan. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya.

Khaerudin dan Mahfud Junaedi. 2007. KTSP untuk Madrasah, Yogyakarta:


Pilar Media.

Paulinna, P. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Jakarta: UT.

Suwarsih Madya.1994. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: IKIP


Yogyakarta.

Undang-undang RI No. 20 tentang Sisdiknas.

Anda mungkin juga menyukai