Anda di halaman 1dari 5

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIANGGAP TIDAK KONSISTEN MENGATUR

JENIS PEKERJAAN YANG BISA DIALIHDAYAKAN

Dunia usaha di sektor apapun tetap selalu memiliki peluang untuk menggunakan jasa
pekerja outsourcing. Sistem kerja outsourcing membuat kompetisi biaya operasi
lebih tinggi daripada memiliki banyak karyawan. Kalau pekerja outsourcing
professional menjalankan tugas, maka yang diuntungkan bukan hanya pekerja,
tetapi juga perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan pengguna pekerja
(user).
 
Multibenefit itulah yang dilihat Danang Girindrawardhana saat dimintai pandangan
tentang outsourcing berkeadilan. Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) itu mengatakan Pemerintah harusnya lebih melihat manfaat
sistem kerja outsourcing karena faktanya digunakan di sektor apapun. Bahkan
Pemerintah sendiri menggunakan tenaga outsource atau pekerja dengan sistem
kontrak. Karena itu, menurut Danang, Pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang
berkeadilan, bukan menghilangkan outsourcingnya. Toh, Pemerintah, khususnya
BUMN, juga diuntungkan sistem kerja dengan waktu tertentu ini. “Jadi, jangan
diutak-atik hanya swasta saja,” ujarnya kepada hukumonline.
 
Pernyataan Danang bukan tanpa dasar. Komisi IX DPR sudah mengeluarkan
rekomendasi yang harus dijalankan Pemerintah terkait praktek outsourcing di Badan
Usaha Milik Negara. Menteri BUMN Rini Sumarno dan Menteri Ketenagakerjaan M
Hanif Dhakiri pun sudah bertemu membahas langkah-langkah yang diambil.
Faktanya, hingga kini pekerja outsourcing di BUMN masih dijalankan. Artinya,
memang ada pekerjaan tertentu yang bisa diisi pekerja outsourcing.
 
Menggunakan pekerja outsourcing atau alih daya sebenarnya bukan sesuatu yang
haram. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 64-66,
membuka peluang penggunaan tenaga alih daya. Pasal 64 UU Ketenagakerjaan
menegaskan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Persyaratan dan jenis
pekerjaan yang bisa dialihdayakan ditentukan Pasal 65 dan Pasal 66. Berdasarkan
Pasal 65 ayat (2) ada empat syarat pekerjaan yang bisa dialihdayakan. Pertama,
pekerjaan itu dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama. Kedua, dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketiga,
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Keempat, tidak
menghambat proses produksi secara langsung.
 
Dalam prakteknya, tak semua pemangku kepentingan sepakat dengan aturan
outsourcing tersebut. Buktinya, sejauh ini sudah tiga kali permohonan pengujian UU
Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi yang pada prinsipnya berkaitan dengan
masalah outsourcing. Salah satu dari permohonan itu bahkan dikabulkan sebagian.
Lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. Putusan ini dianggap
sebagai tonggak penting upaya membangun sistem outsourcing yang berkeadilan.
Danang Girindrawardhana juga berharap putusan Mahkamah Konstitusi itu menjadi
momentum untuk menerbitkan regulasi outsourcing yang lebih baik. “Putusan MK
itu membuka peluang bagi Pemerintah untuk menerbitkan regulasi terkait
penyelenggaraan jasa outsourcing karena mereka memiliki peranan kuat untuk
menjembatani antara user dengan sumber daya manusia. Kita belum mempunyai
regulasi yang cukup baik,” ujarnya.
 
Pemerintah sebenarnya merespons putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud.
Setidaknya ada satu Surat Edaran dan satu Peraturan Menteri Tenaga Kerja yang
diterbitkan. Tetapi di mata Ike Farida, regulasi yang diterbitkan belum sepenuhnya
berkeadilan antara lain karena tak sejalan dengan prinsip UU Ketenagakerjaan.
Advokat yang menulis disertasi tentang outsourcing ini juga menganggap
outsourcing lebih layak diatur dalam peraturan setingkat Undang-Undang, bukan
Peraturan Menteri seperti saat ini.
 
(Baca juga: Raih gelar Doktor Hukum dengan Cumlaude, Advokat Ike Farida Gagas
Outsourcing yang Berkeadilan)
 
Menyerahkan pengaturan outsourcing lebih lanjut ke dalam Peraturan Menteri
justru tak membuat masalah dapat diselesaikan. Ike Farida malah menunjuk
inkonsistensi antara satu peraturan dengan peraturan lain. Hal yang paling
sederhana, misalnya, adalah jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan.
 
UU Ketenagakerjaan secara harfiah tak membatasi jenis pekerjaan yang bisa
dialihdayakan sepanjang memenuhi keempat syarat tadi. Artinya, outsourcing untuk
pekerjaan pendukung dapat dibenarkan. Yang dilarang adalah untuk pekerjaan inti.
Putusan MK juga punya prinsip yang senada. Pertanyaannya: apa saja jenis pekerjaan
pendukung dan apa pula pekerjaan inti? Di lapangan, masing-masing pihak membuat
tafsir sendiri sesuai dengan kondisi sektor tersebut.
 
Sebut saja Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No.
19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Sebagian
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Pasal 17 ayat (3) Permenakertrans ini
mengkategorisasi hanya lima pekerjaan yang bisa dialihdayakan (lihat tabel di
bawah).

Permenakertrans No. SE OJK No. Permen ESDM No. 27


19 Tahun 2012 11/SEOJK.03/2017 Tahun 2008

Pasal 17 ayat (3) a. Pemasaran melalui Pasal 5 ayat (3)


berbunyi: “Kegiatan telepon; berbunyi: “Bidang usaha
usaha penunjang b. Pemasaran langsung jasa non-konstruksi
sebagaimana dimaksud atau wakil pemasaran; Migas sebagaimana
pada ayat (2) meliputi: c. Penagihan kredit dimaskud pada ayat (1)
huruf b terdiri dari:
atau pembiayaan;
a. survei seismik;
d. Distribusi uang
b. survei non seismik;
tunai;
c. geologi dan geofisika;
e. Pemrosesan uang
d. pemboran;
a. Usaha pelayanan tunai;
e. operasi sumur
kebersihan (cleaning f. Penyimpanan uang
pemboran;
sevice); tunai;
f. pekerjaan bawah air;
b. Usaha penyediaan g. Pengisian ATM;
g. pengelolaan bahan
makanan bagi h. Kasir Payment Point;
peledak, radio aktif, dan
pekerja/buruh i. Kasir penerima
bahan berbahaya;
(catering); setoran kredit atau
h. pangkalan logistic;
c. Usaha tenaga pembiayaan dari
i. pengoperasian dan
pengaman debitur usaha mikro;
pemeliharaan;
(security/ satuan j. Resepsionis;
j. inspeksi teknis;
pengaman); k. Penginput data;
k. pengujian teknis;
d. Usaha jasa penunjang l. Pusat layanan
l. pekerjaan paska
di pertambangan dan telepon atau operator
operasi;
perminyakan; telepon;
m. penelitian dan
e. Usaha penyediaan m. Help desk;
pengembangan;
angkutan bagi n. Sekretaris
n. pendidikan dan
pekerja/buruh o. Jasa pengaman
pelatihan;
p. Kurir
o. pengelolaan limbah
q. Pengemudi
pemboran dan produksi;
r. Petugas kebersihan
dan/atau
s. Pramubakti
p. jasa lainnya.

 
Di sektor minyak dan gas, jenis pekerjaan yang bisa dioutsourcing lebih banyak lagi.
Ada 16 jenis pekerjaan yang disebut dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) No. 27 Tahun 2008 tentang Kegiatan Usaha Penunjang Minyak
dan Gas Bumi. Mulai dari  pekerjaan survei seismik hingga pengelolaan limbah
pemboran dan produksi. Permen ESDM menyebut istilah ‘kegiatan usaha penunjang’
yakni kegiatan usaha yang menunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga punya beleid yang isinya mengatur outsourcing,
yaitu Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE OJK) No. 11/SEOJK.03/2017 tentang
Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian
Pelaksaaan Pekerjaan kepada Pihak Lain. Dalam beleid ini ada 19 jenis pekerjaan
yang dapat dialihdaya-kan kepada perusahaan pengguna. Adapun 19 jenis pekerjaan
tersebut adalah pemasaran melalui telepon (telemarketing), pemasaran langsung
(direct sales) atau wakil pemasaran, penagihan kredit atau pembiayaan, distribusi
uang tunai, pemrosesan uang tunai, penyimpanan uang tunai, pengisian automated
teller machine (ATM), kasir payment point, kasir penerima setoran kredit atau
pembiayaan dari debitur usaha mikro, resepsionis, penginput data, pusat layanan
telepon atau operator telepon, help desk, sekretaris, jasa pengamanan
atau security, kurir, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti.
 
Ike Farida menyebut peraturan-perturan kementerian dan lembaga itu tak
berkesesuaian, dan berpotensi saling tumpang tindih. Pengaturan di level Menteri
membuat ketentuan itu mudah dikesampingkan oleh peraturan yang lebih tinggi.
Lagipula, jika ingin melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Ike,
seharusnya pada level Undang-Undang.
 
Kementerian Ketenagakerjaan tak terlalu menganggap perbedaan antar peraturan
itu sebagai bentuk inkonsistensi. Dalam penjelasannya kepada hukumonline tahun
2013 silam Direktur Persyaratan Kerja, Kesejahteraan dan Analisis Diskriminasi
Kemnakertrans, Sri Nurhaningsih, mengatakan banyak pihak yang terkecoh sehingga
mengartikan outsourcing hanya dapat dilakukan untuk lima jenis pekerjaan. Padahal,
mengacu Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, semua jenis pekerjaan yang masuk dalam
kategori kegiatan penunjang boleh di-outsourcing. Penyerahan sebagaian pekerjaan
kepada perusahaan lain atau dikenal dengan outsourcing itu menurut Nurhaningsih
dapat dilakukan lewat pemborongan pekerjaan.
 
Namun, merujuk Permenakertrans No.19 Tahun 2012, ada pembatasan di lima jenis
pekerjaan untuk outsourcing yang menggunakan mekanisme perusahaan penyedia
jasa pekerja (PPJP). Walau dibatasi, Nurhaningsih mengatakan untuk bidang
pertambangan dan perminyakan, jabatan yang dapat di-outsourcing lewat PPJP
tergolong lebih luas. Sedangkan jenis pekerjaan lain di luar kelima jenis yang dibatasi
dalam PPJP itu menurut Nurhaningsih dapat dioutsourcing dengan menggunakan
mekanisme pemborongan pekerjaan. Walau begitu, perusahaan pemberi pekerjaan
bisa melakukan outsourcing lima jenis pekerjaan yang dibatasi itu dapat dilakukan
lewat pemborongan pekerjaan. Misalnya, sebuah bank sebagai pemberi pekerjaan,
memborongkan pekerjaan kebersihan dan pengamanan kepada perusahaan lain
yang bergerak di bidang tersebut.
 
Kala itu, Nurhaningsih mengakui ada beberapa jenis pekerjaan yang berada di
wilayah abu-abu. Sehingga dinilai sulit menentukan apakah berada di jenis kegiatan
penunjang atau inti. Sekalipun dikategorikan penunjang, Nurhaningsih melihat tidak
jarang muncul kebingungan apakah dapat di-outsourcing dengan mekanisme PPJP
atau tidak. Misalnya, sekretaris dan kurir, menurut Nurhaningsih, kedua jenis
pekerjaan itu tidak dapat di-outsourcing menggunakan mekanisme PPJP, tapi bisa
dengan pemborongan pekerjaan.
 
Sementara untuk sektor pertambangan, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri
mengatakan berdasarkan temuan di lapangan masih banyak pekerja yang masuk
kategori inti bisnis, namun dalam ketentuan Permen ESDM No. 27 Tahun 2008 jenis
pekerjaan tersebut masuk kategori noninti. Pemerintah masih menemukan sejumlah
pelanggaran terkait penggunaan pekerja alih daya di sektor pertambangan lantaran
adanya kerancuan penetuan inti dan noninti bisnis sesuai dengan aturan yang
ditetapkan.
 
Danang Girindrawardhana mengajak para pemangku kepentingan untuk melihat
praktek baik outsourcing di luar negeri. Ike Farida juga menyebut Jerman dan Jepang
sebagai dua negara yang berhasil menangani dan menjalankan sistem outsourcing
dalam makna yang positif. Sistem kerja apapun yang dipakai, yang paling penting
adalah peningkatan kesejahteraan. “Kita harus membuka diri apakah yang
ditargetkan itu statusnya sebagai karyawan tetap atau persoalan kesejahteraan,”
kata Danang kepada hukumonline.

Anda mungkin juga menyukai