Anda di halaman 1dari 6

Di kalangan akademisi, Ike Farida telah mengangkat isu outsourcing menjadi isu

penting. Advokat cum akademisi ini mengangkat secara khusus masalah outsourcing


di Indonesia dan perbandingannya dengan sejumlah negara lewat sebuah disertasi
yang berhasil dipertahankan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Desember
lalu. Advokat kelahiran 1 Januari ini memperoleh cumlaude untuk
disertasinya, Membangun Sistem Outsourcing yang Berkeadilan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.
Outsourcing yang berkeadilan adalah kata kunci konsep outsourcing yang ingin
dikembangkan oleh Ike Farida. Pertanyaannya, apakah konsep dan regulasi mengenai
outsourcing saat ini tidak berkadilan? Seperti apa konsep outsourcing berkeadilan itu?
Mengapa buruh masih cenderung menolak outsourcing? Apakah pengusaha juga
sudah merasakan keadilan dengan konsep outsourcing pasca putusan Mahkamah
Konstitusi yang disebut Ike Farida? Ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk
lebih memahami persoalan outsourcing dalam ketenagakerjaan di Indonesia.
Melalui karya disertasi, Ike Farida telah mengungkapkan bagaimana sebenarnya
hukum Indonesia mengatur outsourcing dan langkah apa yang perlu ditempuh agar
para pihak mendapatkan keadilan. Di satu sisi, outsourcing sangat dibutuhkan dunia
kerja; dan di sisi lain ada problem keadilan dalam penerapannya.
Managing partner Farida Law Office itu menjawab sejumlah
pertanyaan hukumonline dalam kesempatan wawancara di kantornya. Dosen non-
residence pada Hitotsubashi University Jepang ini mengungkapkan persoalan regulasi
tentang outsourcing. Berikut petikannya:

Salah satu kesimpulan disertasi anda adalah pengaturan dan praktik outsourcing
di Indonesia belum memberikan rasa keadilan bagi para pelakunya. Regulasi apa
yang belum memberikan rasa keadilan itu?
Yang sekarang ada itu adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Outsourcing diatur hanya di tiga pasal yakni pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66. Di tiga
pasal itu kemudian dimajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji materiil,
dan kemudian hasilnya dikatakan bahwa outsourhing itu boleh dilaksanakan di
Indonesia, itu tidak melanggar HAM dan tidak melanggar UUD 1945. Namun (kalau
ada) outsourcing yang dilakukan secara Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
harus dilindungi, ada tambahan yang harus dilakukan oleh pengusaha.
Outsourcing itu menurut Pasal 64 ada dua macam, satu adalah pemborongan
pekerjaan dan satu adalah penyediaan jasa pekerja. Kemudian uraian dari pasal ini
diatur dalam pasal 65 dan 66. Kalau kita kembali melihat, hubungan kerja yang ada di
Indonesia adalah hubungan kerja secara permanen atau secara PKWT. PKWT itu
perjanjian kerja waktu tertentu, kontrak kalau orang Indonesia katakan.
Kontrak ini diatur dalam Pasal 59. Saya harus sampaikan ini karena ini dasarnya. Di
pasal 59 ini ada syarat kalau orang mau kerja atau mau direkrut sebagai pekerja
kontrak, beda dengan pekerja permanen. Yang permanen enak, dalam artian merasa
sudah dilindungi kalau suatu saat diputus hak-hak kerjanya, dia punya hak-hak diatur
di dalam pasal 156 ayat (2), (3), dan (4) UU Ketenagakerjaan. Pesangon, kalau dia
lebih dari tiga tahun, dapat peghargaan masa kerja, kalau dia diputus masa kerjanya
sepihak oleh perusahaan dia dapat pesangon dan seterusnya.
Kalau kontrak, tidak. Kontrak, ketika dia dikontrak itu wajibnya hanya dua tahun plus
setahun. Kalau sudah dua tahun kemudian perpanjangan lagi setahun itu tidak boleh
lagi dikontrak, harus dipermanenkan, itu yang umum. Tapi ada juga yang kontrak
maksimum lima tahun katanya, outsourcing masuk ke yang mana? Outsourcing
masuk ke dalam yang maksimal tiga tahun. Syarat-syaratnya juga ada, dia tidak boleh
melakukan pekerjaan yang utama. Pekerjaan yang utama itu contoh misalnya di
penerbangan maka seseorang tidak boleh direkrut secara outsourcing untuk pekerjaan
pilot. Pilot harus pekerja permanen atau kontrak. Kalau mereka
mau outsource katering itu boleh, Pasal 59 mengatur mengenai itu.
Dalam Pasal 65 dan 66 dikatakan bahwa kedua jenis outsourcing ini boleh dilakukan
secara PWKT asal memenuhi Pasal 59. Outsourcing ini kan sebenarnya bukan
hubungan kerja secara langsung. Misalnya di perusahaan A, bekerja sama dengan PT
ABC yakni perusahaan outsourcing, tapi kemudian pekerjanya dari PT ABC. Apa
yang harus dilakukan setelah putusan MK lahir? Yang PKWT tadi enggak boleh cuma
tiga tahun lho, tapi harus dilindungi oleh TUPE. TUPE itu (singkatan dari) transfer of
undertaking protection of employment, itu perlindungan pengalihan pekerja. Ketika
Perusahaan A bekerja sama dengan perusahaan outsourcing A dan ada si B di situ
kemudian hubungan kerja habis dengan PT A, kata putusan MK si B tadi tetap harus
kerja di PT A meskipun PT A ganti perusahaan outsourhing di PT B. Berapa tahun?
Ikuti Pasal 59 kata MK.
Kalau dulu PT A dengan outsourcing A kerjasama habis, ya sudah. Pekerjanya juga
sudah habis dengan perusahaan outsourcing B pekerja baru lagi. Kalau sekarang
itu enggak boleh, pekerja masih harus dipakai, tetap harus dipake pekerja di PT A. itu
kata MK kalau yang PKWT. Terus kemudian MK bilang yang PKWT itu namanya
TUPE, dilindungi hak-haknya.
Setelah lahirnya putusan MK No 27 tahun 2012, lahirlah Permenaker No. 19 Tahun
2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain. Di dalam Permenaker itu banyak hal yang janggal. Kalau saya bisa
sampaikan kejanggalannya apa, pertama  bunyinya kok beda dengan MK. MK bilang
perlindungan TUPE untuk PKWT yang pemborongan pekerjaan dan PPJP tapi
Permen bilang pemborongan pekerjaan enggak masuk, PPJP (Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja) saja. Nah ini keliru. Kedua, adalah tidak adil di situ dikatakan bahwa
ketika suatu saat PT A sudah tidak mau pakai outsourcing, pada saat itu si pekerja tadi
harus dinayar pesangonnya, haknya. Tapi di Permen tidak dtulis siapa yang wajib
bayar, apakah perusahan outsourcing, atau PT A.
Ada dua pendapat, pesangon itu perusahaan outsourcing yang bayar karena dia yang
merekrut. Tapi masalahnya, si pekerja kerja di perusahaan A sudah 3 tahun, ganti
perusahaan outsourcing 1 tahun, kemudian ganti lagi perusahaan outsourcing 3 tahun
sampai akhirnya si pekerja sudah kerja selama lima belas tahun di perusahaan A tapi
di perusahaan outsourcing ini baru satu tahun. Perusahaan outsourcing yang terakhir
tadi, keberatan. Terus kemudian kalau gitu ya PT A saja yang bayar. Di sini timbul
saling lempar tanggung jawab. Kalau perusahaan-perusahaan besar melakukan
dengan baik TUPE. Masalahnya adalah perusahan-perusahaan menengah dan kecil,
TUPE ini belum dapat diterapkan seluruhnya oleh perusahaan yang ada di Indonesia.

Anda juga menyebutkan bahwa regulasi yang ada lebih memberatkan pengusaha.
Regulasi yang mana yang Anda maksud?
Bagi perusahaan outsourcing, banyak ketidakadilan, salah satunya dalam UU No. 13
Tahun 2013 mengatakan apa saja jenis pekerjaan yang bisa di outsourcing. Kata
Undang-Undang apa saja selama pekerjaan itu adalah pekerjaan penumpang. MK
tidak bilang apa-apa mengenai itu. Tapi kemudian Permenaker No. 19 Tahun 2012
bilang hanya lima pekerjaan yaitu catering, sopir, kemudian sekuriti, seperti itu. Itu
permen yang bilang. Kemudian perbankan bilang oh kita beda ya, mereka keluarkan
Peraturan Bank Indonesia, dan diganti diganti dengan Peraturan OJK. Lebih dari lima
pekerjaan yang bisa di outsource, kalau tak salah ada 19. Kementerian ESDM juga
bukan lima, ada 15 kalau tidak salah. Nah masalahnya ketika ada permasalahan di
Kementerian ESDM Depnaker mau membantu menyelesaikan, Depnaker kan
bilangnya harusnya lima, bukan lima belas, itu menjadi tidak adil juga. Ini bukan saja
tidak adil tapi tidak ada kepastian hukum.
Saya menyarankan outsourcing ini diatur di kelas UU, bukan dikelas Permen. Karena
Permen itu tidak adil, terus tata cara pembuatannya keliru tidak sesuai dgn UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Segala sesuatu
yang telah dikeluarkan oleh MK Pemerintah harus mengubah Undang-Undang,
kelasnya Undang-undang, bukan Peraturan Menteri (Permen) karena Permen terlalu
di bawah, secara hierarki dia di bawah dan tidak kuat. Kalau Undang-undang
merupakan cantolan.
Sekarang ini masih dalam posisi keadaan yang  belum bisa dikatakan adil baik dari
sisi pengusaha maupun pekerja. Pekerja selesai ada keberlangsungan kerja, lalu
kemudian haknya siapa yang bayar TUPE masih saling lempar. Di lapangan TUPE
belum berjalan di semua perusahaan di sebagian kecil. Alasan dikeluarkan Permen
masih banyak keliru secara perundang-undangan. Tidak adil. Tadinya tidak ada
pembatasan mengenai pekerjaan yang outsourcing di Undang-Undang, kok  di
Permen dibatasi padahal MK tidak melarang. Tidak adil dan belum adil bagi semua.
Hak dan kewajiban belum seimbang antara pekerja, pengusaha dan perusahaan
outsourcing.

Apakah outsourcing di Indonesia masih lemah daya laku dan implementasinya?


Saya lihat setelah lahirnya putusan MK ada permasalahan yang terselesaikan buat
pekerja, kalau di outsource, pekerja kesannya sudah seperti hantu yang mereka tidak
mau temui, sudah ingin sesuatu yang dihindari. Karena outsourcing itu punya konsep
di masyarakat Indonesia untuk masyarakat kelas rendah, diskriminasi, upah rendah,
tidak ada jaminan kelangsungan kerja, tidak ada kesempatan karir. Saya maunya
kalau bisa permanen. Padahal di negara-negara maju yang saya teliti, Jerman, Jepang,
Amerika dan Inggris itu outsourcing menjadi pilihan. Mereka ingin outsourcing malah
karena upah tinggi, jaminan ada, kelangsungan kerja, karena upah tinggi bisa
memilih.

Dalam disertasi Anda menggagas sebuah sistem outsourcing yang berkeadilan bagi
para pemangku kepentingan. Seperti apa sistem outsourcing yang berkeadilan?
Kalau di Indonesia outsourcing kebanyakan untuk kerah biru, belum sampe ke kerah
putih. Oleh karenanya disertasi saya kemaren itu bagaimana caranya membangun
sistem outsourcing. Karena ini harus dibangun karena kalau tidak Indonesia
tertinggal. Jangankan dari dunia internasional, dari negara Asia kita tertinggal.
Filipina saja  mereka sudah punya sistem bahkan membatasi uang fee untuk
perusahan outsourcing dari perusahaan user minimum sekian persen. Nah adilnya
adalah buat pekerja sudah mendapatkan satu solusi bahwa dia bisa bekerja terus, tidak
adilnya buat pengusaha outsourcing kok tadi punya bidang usaha banyak jenis
pekerjaannya sekarang dibatasi cuma lima. Itu tidak adil buat perusahaan outsourcing.
Idealnya sistem outsourcing harus balance antara hak dan kewajiban para pihak.
Dalam hal ini pekerja harus diberikan kesempatan yang sama dengan pekerja yang
lain, upah yang sama, kesempatan karir yang sama. Seharusnya dia tidak boleh lebih
rendah. Rambu-rambu aturan hukum yang jelas dan pasti, aturan setingkat Undang-
Undang, dan pengawasan dari Kemenaker, harus ada sosialisasi yang cukup.
Selain itu di Indonesia ini harusnya ada aturan tentang paruh waktu atau part time.
Kalau di luar negeri ketika mendekati jam makan siang karyawan ditambah, dia tidak
bekerja satu hari delapan jam tapi sehari cuma tiga jam. Ini di Indonesia tidak ada. Di
Indonesia hanya ada pekerja bulanan dan harian sehingga pengusaha restoran
misalnya ketika dia mau meng-hire pekerja lebih banyak pada jam makan siang dan
makan malam dibenturkan dengan aturan pekerja bulanan. Padahal kalau di Indonesia
ada aturan tentang kerja paruh waktu makin banyak orang yang bisa kerja,
pengangguran ditekan. Berkeadilan. Adil untuk semua, menjamin hak pekerja dengan
yang lain, ketika permanen punya hak untuk karir bisa naik ke atas, pekerja
outsourcing juga punya karir karena juga punya kemampuan, kesempatan dan upah
tidak boleh terlalu jauh.
Tapi konsep saya kalau misalnya sampai pemerintah mengeluarkan aturan tentang
outsourcing, bagaimana tetap tunduk pada Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2013 yaitu si
pekerja outsourcing hanya tiga tahun saja, setelah tiga tahun dia harus
dipermanenkan. Tidak boleh di PKWT-kan, itu konsep saya. Namun, agar pekerja
juga tidak manja, ketika terjadi pengalihan jangan cuma hak yang dialihkan, misalnya
si A di perusahaan outsourcing mendapatkan SP2, ketika berpindah perusahaan
outsourcing maka SP2 juga dilanjutkan. Nah sekarang itu tidak ada aturan itu. Ini
salah satu konsep saya.
Lalu bagaimana dengan utang? Punya utang di perusahaan lama terus dialihkan
bagaimana? Apakah utang juga dialihkan atau harus dilunasi? Terus tentang
perjanjian kerja, kalau konsep saya perjanjian kerja yang sudah ditandatangani
dilanjutkan hingga habis masa waktu, kemudian baru perjanjian kerja dengan
perusahaan outsourcing yang baru dialihkan. Kalau misalnya ada penolakan dari
pekerja, maka tidak lagi dilindungi oleh TUPE dan sebaliknya. Jadi harus ada aturan
yang lengkap, sekarang itu tidak ada.

Anda begitu konsen dengan kelangsungan pekerja (TUPE). Apakah itu yang
menjadi problem utama dalam praktik outsourcing di Indonesia saat ini?
Sebenarnya kalau TUPE tidak lahir, masalah ini seperti telor dan ayam. Sekarang ini
pengawasan di Kemnaker ibarat satu banding tiga ratus petugas pengawasannya. Jadi
petugas pengawas sangat sedikit dan nampaknya minat untuk jadi petugas
pengawasan berkurang. Intinya kalau tidak ada TUPE asalkan pengawasan dan
kepatuhan tinggi itu tidak masalah namun yang ada adalah UU tidak dijalankan
karena sanksi lemah kemudian pengawasan lemah sampai lahirnya TUPE. TUPE
menyelesaikan masalah tentang kelangsungan kerja tetapi menimbulkan masalah lain
ketidakadilan siapa yang bertanggung jawab membayar TUPE.

Bagaimana dengan pengawasan DPR?


Kalau dilihat DPR sampai sekarang belum maksimal dari 2003 sampai sekarang. Saya
menaruh harapan besar kepada DPR karena sekarang Komisi IX juga cukup aktif,
mudah-mudahan UU tentang outsourcing ini masuk Prolegnas. Dan itu harus dari
inisiatif DPR mengingat DPR adalah wakil rakyat.

Anda mungkin juga menyukai