Anda di halaman 1dari 142

i

KORELASI BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DENGAN PERSEPSI


PELAPORAN KESALAHAN MEDIS OLEH TENAGA KESEHATAN
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN
KERJA DI RUMAH SAKIT X DAN RUMAH SAKIT Y TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh :

LANY APRILI SULISTIANI


NIM : 1111101000098

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M/1436 H

i
ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S-1) Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 5 Juni 2015

Lany Aprili Sulistiani


iii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Skripsi, Juni 2015

Lany Aprili Sulistiani, NIM. 1111101000098


Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan
Medis oleh Tenaga Kesehatan sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Di Rumah Sakit X Dan Rumah Sakit Y Tahun 2015
(xvi + 112 halaman, 7 tabel, 4 bagan, 7 lampiran)
ABSTRAK

Latar Belakang. Tingkat pelaporan kesalahan medis di Indonesia masih rendah.


Pelaporan yang rendah disebabkan oleh ketidaktepatan persepsi tenaga kesehatan
terhadap pelaporan kesalahan medis. Masalah ini dapat diatasi dengan penerapan
budaya keselamatan pasien yang adekuat.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan
kuantitatif dan desain studi cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan
alat bantu berupa kuesioner HSOPSC dari AHRQ versi Bahasa Indonesia dan
kuesioner persepsi dari Beginta (2012). Besar sampel dalam penelitian ini
berjumlah 106 responden di masing-masing rumah sakit yakni Rumah Sakit X
dan Rumah Sakit Y. Analisis data univariat dilakukan dengan menggunakan
Hospital Survey Excel Tool 1.6 milik AHRQ sedangkan analisis bivariat
dilakukan dengan uji korelasional.
Hasil. Dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif terendah di
Rumah Sakit X adalah dimensi penyusunan staf dan kerjasama antar unit
sedangkan di Rumah Sakit Y adalah penyusunan staf. Persepsi pelaporan
kesalahan medis di Rumah Sakit X sebesar 49,95% sedangkan di Rumah Sakit Y
sebesar 46%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada 6 dimensi (tindakan
promotif keselamatan oleh manajer, organizational learning, kerjasama dalam
unit, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan respon yang tidak menyalahkan)
yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X
sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 4 dimensi (tindakan promotif keselamatan
oleh manajer, keterbukaan komunikasi, umpan balik dan respon yang tidak
menyalahkan) yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis.
Saran. Sosialisasi atau pelatihan terkait pelaporan kesalahan medis serta program
peningkatan budaya keselamatan diperlukan untuk meningkatkan persepsi positif
terhadap pelaporan kesalahan medis di kedua rumah sakit.

Kata Kunci : budaya keselamatan pasien, pelaporan kesalahan medis, K3RS


Daftar Bacaan : 81 (1993-2014)
iv

STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
STUDY PROGRAM PUBLIC HEALTH
DEPARTMENT OF OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH

Undergraduate Thesis, June 2015

Lany Aprili Sulistiani, NIM 1111101000098


Correlation Of Patient Safety Culture And Perception Of Medical Error
Reporting as An Increasing Effort for Occupational Safety and Health at X
Hospital and Y Hospital in 2015
(xvi + 112 pages, 7 tables, 4 graphics, 7 attachments)
ABSTRACT

Introduction. Medical error reporting rate in Indonesian is still low. Low


reporting rate is caused by health workers‘ inexactitude perception about medical
error reporting. This problem can be overcome by the implementation of adequate
patient safety culture
Method. This research is an analytical research with quantitative approach and
cross sectional study design. The data collected by using questionnaire include
HSOPSC questionnaire by AHRQ in Bahasa Indonesia and perception
questionnaire by Beginta. Sample size of this research is 106 respondent in both
of the hospitals, they are X Hospital and Y Hospital. Univariate analysis is
conducted by using AHRQ‘s Hospital Survey Excel Tool 1.6 while bivariate
analysis is conducted by using correlational statistical test.
Results. Patient safety culture dimension with the lowest positive response in X
Hospital is dimension staffing and teamwork across units while in Y Hospital is
also staffing. Perception of medical error reporting in X Hospital is 49,95% while
in Y Hospital is 46%. Statistic test showed that perception of medical error
reporting is correlated with 6 dimensions (manager expectations & actions
promoting patient safety, organizational learning, teamwork within unit, feedback
and nonpunitive response) in X Hospital which is correlated with while in Y
Hospital medical error reporting is correlated with 4 dimension (manager
expectations & actions promoting patient safety, feedback and nonpunitive
response).
Saran. Socialization or training about medical error reporting and patient safety
culture increasing programs is needed to improve positive perception about
medical error reporting.

Keywords : patient safety culture, medical error reporting, K3RS


References : 81 (1993-2014)
v

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul

Korelasi Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan


Medis oleh Tenaga Kesehatan sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015

Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi


Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Juli 2015

Disusun Oleh :

Lany Aprili Sulistiani


NIM : 1111101000098

Mengetahui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Fase Badriah, M.Kes, Ph.D Riastuti Kusumawardani, MKM


NIP. 197106052006042012 NIP.198005162009012005
vi

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, Juli 2015

Penguji I

Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D


NIP. 197503162007102001

Penguji II

Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D


NIP. 197612092006042003

Penguji III

Susanti Tungka, MARS


vii

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Lany Aprili Sulistiani


Nama Panggilan : Lany / April
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 28 April 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Raya Bekasi Km.23 Komplek TNI AD/51 RT 03 RW
006 Cakung Barat, Cakung, Jakarta Timur
No. Telpon/HP : 089601297604 / 082298506835
Email : bukankazu@gmail.com
lany.sulistiani11@mhs.uinjkt.ac.id
LinkedIn : Lany Aprili Sulistiani
Kata Mutiara : Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain,dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
berharap (QS. 94:7-8)

Riwayat Pendidikan Formal


1. 1998-1999 : TK Dharma Wanita Tunas Harapan Bekasi
2. 1999-2005 : SDN Cakung Barat 10 Petang
3. 2005-2008 : SMPN 168 Jakarta Timur
4. 2008-2011 : SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya Jakarta
5. 2011-2015 : S1 Peminatan K3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta

Riwayat Pendidikan Non Formal


1. Latihan Dasar Penelitian Tingkat Wilayah Tahun 2008 dan 2009
2. Latihan Dasar Penelitian Tingkat Provinsi Tahun 2010
viii

3. Peserta Sertifikasi Kejuruan Bidang Studi Keahlian Kesehatan Kompetensi


Keahlian Keperawatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun
2011
4. Pendidikan Dasar Relawan Bencana Rumah Zakat Nasional Tahun 2013
5. Leadership and Character Building Course Kementerian Pemuda dan
Olahraga Tahun 2014
6. Pelatihan Basic Fire Fighting oleh Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta tahun 2013
7. Workshop Investigasi dan Pencegahan Kecelakaan Kerja tahun 2014
8. Workshop Ergonomi di Tempat Kerja tahun 2014
9. Workshop Risk Assessment in the Work Place tahun 2014
10. Workshop Management of Fire Safety tahun 2014
11. Course of Training SMK3 Based on OHSAS 18001 & PP No. 50 Tahun 2012

Riwayat Organisasi
1. Koordinator Bidang IPS Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Pusat Tahun 2009
2. Wakil Ketua Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Pusat Tahun 2010
3. School Representatives Kegiatan Ekstrakurikuler Sekolah Menengah Atas
dan Kejuruan Tingkat Provinsi Tahun 2009
4. Sekretaris OSIS SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya Tahun 2010
5. Penasihat Kelompok Ilmiah Remaja SMK Perawat Kesehatan Kesdam Jaya,
Jakarta Pusat Tahun 2012
6. Relawan Rumah Zakat Cabang Jakarta Barat Tahun 2012-2014
7. Ketua Preventor Keluarga Kadarzitensi ICD Binaan Rumah Zakat Cabang
Jakarta Barat Tahun 2013
8. Staff Human Resources Department Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013-2014
9. General Manager Forum Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (FSK3)
UIN Jakarta Tahun 2014-2015
10. Ketua Divisi Penelitian Panitia Seminar Pengembangan Profesi K3 UIN
Jakarta Tahun 2014
ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan Inayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul ―Korelasi
Budaya Keselamatan Pasien dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh
Tenaga Kesehatan Di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Tahun 2015‖ ini dapat
diselesaikan tepat waktu.
Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir mahasiswa semester 8 Prodi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Kedua orangtua penulis, La Hadimu dan Mulyani atas limpahan ilmu,
perhatian, cinta dan kasih sayang yang tidak akan pernah terbalas. I love you
mom, dad!
2. Dr. H. Arif Sumantri SKM., M.Kes. selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fase Badriah dan Ibu Riastuti Kusumawardani selaku dosen pembimbing
atas ilmu dan pencerahannya setiap saat kepada penulis.
4. Ibu Catur Rosidati selaku dosen penasihat akademik atas perhatian dan
nasihatnya sejak penulis masuk di keluarga besar Kesmas UIN Jakarta.
5. Ibu Iting Shofwati, seluruh dosen peminatan K3 dan tak lupa seluruh dosen
Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih
banyak atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan.
6. Ms. Jenni Scolese selaku AHRQ Surveys on Patient Safety Culture Technical
Assistance, Ms. Limaya Atembina dan Ms. Randie Siegel selaku Patient
Safety Culture Surveys Support Group di Westat on behalf of AHRQ yang
telah memberikan arahan dalam menggunakan instrumen HSOPSC serta
memberikan instrumen analisis data oleh AHRQ.
7. Ibu Yuri selaku pembimbing lapangan di Rumah Sakit Y. Staf komite mutu
serta Bapak Budi, Mas Panji, Ka Dede, Ka Wiyar serta Bu Neti yang telah
membantu penulis selama penelitian di RS Y.
x

8. dr. Fitri, dr. Resnita, Ibu Nurhayana, Ibu Nina, Ka Shylvy dan Pak Timo di
Rumah Sakit X dan juga seluruh staf Rumah Sakit X yang telah membantu.
9. My beloved siblings both Syarfan Maulana Rahman and my youngest brother
Nasron Zubaidih. Terimakasih semangatnya dear. My big family especially
for Kakung, Nenek, Tete, om Mustar, om Nyong, om Mat, Papa-tua, mama-
tua, dan juga seluruh sepupu penulis (Ka Dian, Ka Wawan, Ka Sam, Ka
Akmal, Ka Ani, Ka Edi, Adi, Hafidz, Febri).
10. Temanku yang terkasih Annisa Septiani, Sri Wahyu Fitria, Yourike Alia
Stevani, Salsabila Triana Dwiputri, Betti Ronayan Adiwijayanti, Asril Yusuf
Putra Fau, Teman-teman Raklac UIN Jakarta 2011, K3 2011, Kesmas UIN
Jakarta 2011, FSK3 UIN Jakarta dan tak lupa IKAHIMA K3 Indonesia. Big
thanks for all of you!
11. Adik-adikku angkatan 30 SMK Kesdam Jaya Maya Febrihapsari, Dyah Ayu
Hapsari dan Fauziah Putridhini. Seacom my dearest Fitka Prili Miki, Rezky
Kira, Fransisca Christina, Dwi Nuraini dan Gita Mayang Asri. Anita Nuryani,
Isma Novianti dan staf SHE PT Krama Yudha Ratu Motor atas semangatnya
yang tidak putus. Dicky Saputra, Ittha ‗Jun‘, Dina ‗Min‘ serta teman-teman
dari seluruh forum dan institusi yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas
do‘a, motivasi dan semangatnya. Terutama untuk pertanyaan ‗kapan lulus?‘
atau ‗kapan sidang?‘ yang amat sangat memicu semangat penulis.
Harapan penulis agar tulisan yang penulis buat ini dapat memenuhi
tujuannya dan semoga tulisan ini dapat dicatat sebagai salah satu amal oleh Allah
SWT yang bermanfaat baik bagi Penulis maupun bagi pembaca. Tulisan ini
adalah karya manusia. Apa yang hari ini Penulis yakini benar dapat berubah suatu
saat nanti. Sesungguhnya kesempurnaan adalah milik Allah SWT sedangkan
kekurangan yang ada adalah bagian dari diri Penulis.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, Juli 2015

Penulis
xi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i


ABSTRAK ............................................................................................................. iii
ABSTRACT ........................................................................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
C. Pertanyaan Penelitian..................................................................................... 5
D. Tujuan ............................................................................................................ 5
E. Manfaat .......................................................................................................... 6
F. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 9
A. Pelaporan Kesalahan Medis........................................................................... 9
1. Definisi Kesalahan Medis ......................................................................... 9
2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ........ 10
B. Konsep Pembentukan Persepsi .................................................................... 11
C. Konsep Keselamatan di Rumah Sakit.......................................................... 12
1. Definisi Keselamatan Pasien................................................................... 13
2. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia ......................... 14
3. Tujuan Keselamatan Pasien .................................................................... 17
4. Insiden Keselamatan Pasien .................................................................... 17
D. Budaya Keselamatan Pasien ........................................................................ 19
1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien ............................................... 20
2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ ................... 24
E. Rumah Sakit................................................................................................. 33
1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum ............................................................. 33
xii

2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus ............................................................ 34


F. Analisis Kesesuaian Uji Hipotesis ............................................................... 35
G. Kerangka Teori ............................................................................................ 35
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL & HIPOTESIS . 37
A. Kerangka Konsep......................................................................................... 37
B. Definisi Operasional .................................................................................... 40
C. Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 43
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 45
A. Desain Penelitian ......................................................................................... 45
B. Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................... 45
C. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................... 45
D. Alat dan Cara Pengumpulan Data................................................................ 47
E. Pengolahan Data, Uji Validitas dan Realibilitas.......................................... 49
F. Metode Analisis Data .................................................................................. 50
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 53
A. Gambaran Umum Rumah Sakit X ............................................................... 54
B. Analisis Univariat ........................................................................................ 55
1. Karakteristik Responden Penelitian ........................................................ 55
2. Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan ............... 56
3. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien.................................................. 56
C. Analisis Bivariat .......................................................................................... 58
BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN ............................................................ 68
A. Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 68
B. Gambaran Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ......................................... 68
C. Gambaran Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Korelasinya dengan
Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis ................................................................ 72
1. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer ........................................ 73
2. Organizational learning – perbaikan berkelanjutan ............................... 77
3. Kerjasama dalam unit rumah sakit .......................................................... 81
4. Keterbukaan komunikasi ........................................................................ 84
5. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi ..... 87
6. Respon yang tidak menyalahkan ............................................................ 90
7. Penyusunan staf ...................................................................................... 93
8. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien ................... 95
9. Kerjasama antar unit di rumah sakit ....................................................... 97
10. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain ............................ 98
xiii

BAB VII PENUTUP ........................................................................................... 101


A. Kesimpulan ................................................................................................ 101
B. Saran .......................................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 106
LAMPIRAN
xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2. 1 Outcome Asuhan Medis ..................................................................... 18


Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien ..................................... 25
Bagan 2. 3 Kerangka Teori Penelitian .................................................................. 36
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep .................................................................................37
xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Matriks Alat Ukur Budaya Keselamatan Pasien .................................. 22


Tabel 4. 1 Deskripsi Kuesioner Bagian Budaya Keselamatan .............................. 48
Tabel 4. 2 Kriteria Penilaian Berdasarkan Presentase .......................................... 51
Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian .................................... 55
Tabel 5. 2 Gambaran Persepsi Positif Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga
Kesehatan 2015 ..................................................................................................... 56
Tabel 5.3 Gambaran Respon Positif 10 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien pada
Tenaga Kesehatan Tahun 2015 ............................................................................. 57
Tabel 5. 4 Analisis korelasi dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan
AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan tahun
2015 ....................................................................................................................... 58
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Kuesioner

Lampiran 2. Alat Analisis Budaya Keselamatan Pasien

Lampiran 3. Output Analisis Data


xvii

DAFTAR SINGKATAN

AHRQ : Agency for Healthcare Research and Quality

CIHI : Canadian Institute for Health Information

CSS : Culture of Safety Survey

HSOPSC : Hospital Survey of Patient Safety Culture

IHI : The Institute of Healthcare Improvement

IOM : Institute of Medicine

JCAHO : Joint Commision on Accreditation of Health Organizations

KKP-RS : Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit

OSHA : Occupational Safety and Health Administration

PSCHO : Patient Safety Cultures in Healthcare Organizations

SLOAPS : Strategies for Leadership - An Organizational Approach to

Patient Safety

VHA-PSCQ : Veterans Administration Patient Safety Culture Questionnaire

WHO : World Health Organization

KTD : Kejadian Tidak Diharapkan

KNC : Kejadian Nyaris Cedera

KTC : Kejadian Tidak Cedera

KPC : Kondisi Potensial Cedera


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah keadaan sempurna baik secara fisik, mental, spritual

maupun sosial yang nantinya akan berpengaruh terhadap kinerja dan produktivitas

(Republik Indonesia, 2009a; Nurcahyo, 2008). Organisasi kesehatan berupa

rumah sakit diperlukan sebagai upaya perbaikan status kesehatan.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 menyatakan

bahwa setiap tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan dengan selalu

mengutamakan keselamatan pasien. Namun faktor keberagaman dan kerutinan

pelayanan kesehatan yang diberikan serta lingkungan rumah sakit yang kompleks

dengan berbagai macam profesi, peralatan, prosedur, infrastruktur dan kebijakan

dapat berpotensi menimbulkan kesalahan medis yang berujung pada insiden

keselamatan pasien (Kalra dkk., 2013; Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2006; Occupational Safey and Health Administration, 2014).

Perhatian dunia terhadap keselamatan pasien dimulai dari laporan Institute

of Medicine pada tahun 1999 terkait kesalahan medis dan jumlah kasus kejadian

tidak diharapkan (Classen dkk., 2011; Hercules, 2010). Occupational Safey and

Health Administration (2014) menyatakan bahwa sejak dirintis laporan

tersebutlah aspek keselamatan pasien mulai dipandang dengan pola pendekatan

sistem seperti aspek keselamatan pada bidang industri lainnya seperti manufaktur

1
2

ataupun penerbangan. Karena pada dasarnya isu keselamatan pasien berhubungan

erat dengan isu keselamatan tenaga kesehatan itu sendiri.

Meginniss dkk. (2012) menyatakan bahwa lebih dari 40.000 insiden

keselamatan pasien terjadi di Inggris setiap hari. Selanjutnya World Health

Organization (2014) mengungkapkan fakta mengejutkan yang menyatakan bahwa

1 dari 10 pasien di negara berkembang termasuk Indonesia mengalami cedera

pada saat menjalani pengobatan di rumah sakit.

Pada hakikatnya seluruh kesalahan medis yang terlaporkan masih

merupakan sebagian kecil dari jumlah sebenarnya (Suharjo dan Cahyono, 2008).

Hingga saat ini, tingkat pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan masih

sangat rendah (Youngson, 2014). Di Indonesia, Komite Keselamatan Pasien

Rumah Sakit (2011) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2010 telah didapatkan

103 laporan insiden keselamatan pasien dari rumah sakit di seluruh Indonesia.

Sementara itu Kementerian Kesehatan dalam Bambang (2011) juga menyatakan

bahwa pada tahun 2010 terdapat 1523 rumah sakit di Indonesia dengan 653

diantaranya sudah terakreditasi. Jumlah laporan yang sangat kecil bila

dibandingkan dengan jumlah rumah sakit yang telah terakreditasi pada saat itu

mengindikasikan tingkat pelaporan yang rendah di Indonesia.

Padahal pelaporan kesalahan medis merupakan upaya fundamental sebagai

pencegahan terjadinya kesalahan medis (Kachalia dan Bates, 2014), karena

pelaporan kesalahan medis dibutuhkan sebagai salah satu upaya dalam proses

pembelajaran dan evaluasi berkelanjutan (Lamo, 2011). Reason dalam Wolf dan

Hughes pada tahun 2005 menyatakan bahwa terjadinya kesalahan medis maupun

2
3

insiden keselamatan pasien di suatu rumah sakit menunjukkan adanya masalah

dalam jumlah besar pada sistem keselamatan di rumah sakit tersebut. Namun

Calado Monteiro dan Santos Natário (2014) mengungkapkan bahwa masalah-

masalah yang terjadi dalam sistem keselamatan dapat diatasi dengan penerapan

budaya keselamatan pasien. Hal ini dapat terjadi karena budaya keselamatan

pasien dapat mendukung pembangunan sistem yang kondusif bagi kegiatan

perawatan pasien yang aman serta bebas dari kesalahan medis.

Budaya keselamatan pasien didefiniskan sebagai lingkungan yang

mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan

kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem (AORN Journal, 2006).

Dengan adanya budaya keselamatan pasien akan tercipta sistem keselamatan yang

efektif baik untuk melindungi pasien maupun seluruh tenaga kesehatan yang

berada dalam ruang lingkup rumah sakit. Terutama untuk melindungi tenaga

kesehatan dari tuntutan pasien ketika terjadi kesalahan medis (Lamo, 2011).

Pembentukan persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis pada

tenaga kesehatan membutuhkan budaya keselamatan pasien yang nantinya akan

membentuk lingkungan yang bebas dari perilaku saling menyalahkan atas

kesalahan medis yang terjadi (El-Jardali dkk., 2011). Hal sama juga diungkapkan

Beginta (2012) bahwa persepsi pelaporan kesalahan medis dipengaruhi oleh gaya

kepemimpinan, kerja tim dan budaya keselamatan.

Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y adalah rumah sakit dengan perbedaan

kelas serta karakteristik pelayanan, dimana Rumah Sakit X merupakan rumah

sakit umum kelas B dan Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit khusus kelas A.
4

Budaya dan lingkungan yang berbeda sebagai stimulus akan memunculkan

persepsi yang berbeda pada tenaga kesehatan. Pada penelitian ini akan dilihat

korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di

masing-masing rumah sakit.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang didapatkan melalui in-depth

interview dengan informan pada 2 rumah sakit kelas A, 3 rumah sakit kelas B dan

2 rumah sakit kelas C di Jakarta didapatkan informasi bahwa tingkat kemauan

tenaga kesehatan yang bekerja 7 rumah sakit tersebut dalam melaporkan

kesalahan medis yang terjadi masih rendah. Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y

memberikan ijin untuk melakukan penelitian lebih lanjut sedangkan 5 rumah sakit

lainnya menolak untuk memberikan ijin penelitian.

Selain hal tersebut, penelitian terkait pelaporan kesalahan medis di

Indonesia juga masih sedikit. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian terkait korelasi budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan

kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit Y Jakarta

dan Rumah Sakit X.

B. Rumusan Masalah

Setiap rumah sakit memiliki sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang

berbeda sesuai dengan potensi bahaya dan karakteristik pelayanan di dalam rumah

sakit tersebut. Dengan berlakunya sistem keselamatan pasien yang berbeda maka

akan terbentuk budaya berbeda yang dibentuk oleh setiap orang yang berada

didalam rumah sakit tersebut. Budaya keselamatan pasien sendiri merupakan

bagian dari budaya rumah sakit yang berperan penting untuk meningkatkan
5

persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis. Karena masalah pelaporan

kesalahan medis yang rendah di rumah sakit dipengaruhi oleh persepsi tenaga

kesehatan yang tidak tepat terhadap pelaporan kesalahan medis. Berdasarkan hal

tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai ―Korelasi Budaya

Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga

Kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015‖.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah gambaran budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit X

dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015?

2. Bagaimanakah gambaran persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga

kesehatan Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015?

3. Apakah terdapat korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan

persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y

Jakarta tahun 2015?

D. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi budaya

keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh

tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun

2015.

2. Tujuan Khusus

Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


6

a. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien dimasing-masing

Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015.

b. Mengetahui gambaran persepsi positif pelaporan kesalahan medis pada

tenaga kesehatan di masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit

Y Jakarta pada tahun 2015.

c. Menggambarkan korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan

persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing Rumah Sakit X

dan Rumah Sakit Y Jakarta pada tahun 2015.

E. Manfaat

1. Bagi Peneliti

a. Dapat menjadi proses pembelajaran serta implementasi seluruh ilmu

yang didapatkan selama pendidikan.

b. Dapat menjadi media untuk mengembangkan ilmu serta praktiknya.

2. Bagi Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui informasi

terkait korelasi budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan

kesalahan medis di masing-masing rumah sakit.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam evaluasi dan

pembuatan kebijakan program peningkatan keselamatan dan kesehatan

kerja serta perlindungan tenaga kerja dari kesalahan medis di masing-

masing rumah sakit.


7

3. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta

a. Penelitian ini menjadi salah satu upaya untuk mengimplementasikan

Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran,

penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi mahasiswa

mengenai budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan

kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berjudul korelasi budaya keselamatan pasien dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y tahun 2015.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara budaya keselamatan

pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah

Sakit Y Jakarta. Penelitian ini akan dilakukan oleh mahasiswi Peminatan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dengan objek penelitian adalah perawat, dokter dan

tenaga kesehatan lain di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y.

Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta

pada bulan Desember 2014-Juni 2015. Penelitian ini merupakan penelitian

kuantitatif dengan desain studi cross-sectional dengan pengumpulan data berupa

pengisian kuesioner. Kuesioner dimensi budaya keselamatan yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Hospital Survey on Patient

Safety Culture sedangkan kuesioner persepsi pelaporan kesalahan medis yang

digunakan adalah kuesioner yang dikembangkan oleh Romi Beginta pada tahun
8

2012. Analisis data yang akan digunakan hanya berupa analisis univariat dan

bivariat dengan uji korelasi. Uji korelasi merupakan uji hipotesis untuk variabel

independen dan dependen yang bersifat numerik dilakukan pada tiap dimensi

yang ada dalam budaya keselamatan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelaporan Kesalahan Medis

Laporan adalah suatu pernyataan baik secara lisan atau tulisan yang

menjelaskan tentang suatu kejadian atau tindakan yang telah (Siswandi, 2011).

Pelaporan kesalahan medis digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi

dalam memperbaiki sistem pelayanan dan pelaporan sebagai hal yang sangat

penting dalam upaya membangun budaya keselamatan pasien terutama dalam

mencegah pengulangan kesalahan yang sama (Wolf dan Hughes, 2005; Gulley,

2007). Espin dkk. (2007) juga menyatakan bahwa pembangunan mekanisme

pelaporan kesalahan medis adalah strategi yang pertama ditekankan oleh IOM.

Penerapan strategi tersbeut di Indonesia diimplementasikan melalui tujuh standar

keselamatan pasien yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia.

1. Definisi Kesalahan Medis

Kesalahan medis diartikan oleh AHRQ sebagai kesalahan yang terjadi

pada proses perawatan dan berpotensi menciderai pasien. Kesalahan medis

diantaranya adalah kegagalan melakukan tindakan yang telah direncanakan

atau penggunaan rencana yang tidak tepat untuk mencapai tujuan tertentu.

Kesalahan medis dapat berupa output dari tindakan yang dilakukan atau

tindakan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan (Agency for Healthcare

Research and Quality, 2003).

9
10

Kesalahan medis adalah kegagalan dalam proses tetapi tidak dilakukan

secara sengaja untuk menciderai pasien. Kesalahan medis yang tidak

menimbulkan bahaya disebut hampir celaka atau near-miss (White dan

Gallagher, 2013). Kesalahan medis juga dapat didefinisikan sebagai kegagalan

proses yang tidak secara esensial membahayakan pasien namun kesalahan

medis dapat berujung pada timbulnya kejadian tidak diharapkan atau jenis

insiden keselamatan lainnya (Ghazal dkk., 2014).

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan

medis adalah kegagalan tenaga kesehatan dalam suatu proses yang berpotensi

menimbulkan insiden keselamatan pasien.

2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis

Pelaporan kesalahan medis memerlukan pengungkapan kesalahan yang

tepat (Wolf dan Hughes, 2005). Dan untuk mencapai pelaksanaan pelaporan

kesalahan medis yang optimal diperlukan faktor pendukung. Faktor

pendukung persepsi pelaporan kesalahan medis adalah :

a. Kesempatan untuk belajar langsung dari kesalahan medis yang terjadi

(learning opportunity) (Waters dkk., 2012).

b. Sikap proaktif terhadap keselamatan pasien (Waters dkk., 2012).

c. Kewajiban profesi (Waters dkk., 2012).

d. Budaya keselamatan pasien (Sorra dan Nieva, 2004)


11

Selain faktor pendukung, terdapat juga beberapa penghambat dari

pelaporan kesalahan medis diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Standar operasional prosedur pelaporan kesalahan medis yang

menyulitkan (Wolf dan Hughes, 2005).

b. Kurangnya feedback dan dukungan organisasi terhadap pelaporan

insiden (Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; White dan

Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013).

c. Budaya yang menyalahkan apabila kesalahan medis tersebut terungkap

(Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Waters dkk., 2012;

Espin dkk., 2007).

d. Waktu yang dibutuhkan untuk melapor (Winsvold Prang dan Jelsness-

Jørgensen, 2014; White dan Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013;

Sinicki dkk., 2012).

e. Derajat keparahan cidera akibat kesalahan medis yang terjadi

(Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Williams dkk., 2013;

White dan Gallagher, 2013; Wolf dan Hughes, 2005).

B. Konsep Pembentukan Persepsi

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan

(penerimaan) atas sesuatu (Setiawan, 2014). Persepsi didefinisikan lebih aplikatif

lagi sebagai kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan,

memfokuskan dan selanjutnya diinterpretasikan (Sarwono, 2010).

Persepsi berlangsung saat tenaga kesehatan menerima stimulus dari dunia

luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam
12

otak. Didalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam

sebuah pemahaman. Pemahaman inilah yang disebut sebagai persepsi. (Sarwono,

2010)

Sebelum terjadi persepsi pada tenaga kesehatan, diperlukan stimuli yang

merangsang individu dan stimuli tersebut haruslah ditangkap melalui organ-organ

tubuh individu yang diantaranya adalah panca indra. Selanjutnya sensasi dari

stimulan dibawa ke dalam sistem syaraf dan dilakukan penambahan informasi

kepada stimulus yang diterima yang didapat sebagai interpretasi hingga kemudian

menjadi persepsi. Organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa prinsip

diantaranya wujud dan latar (figure and ground atau emergence), pola

pengelompokan serta ketetapan (Sarwono, 2010).

C. Konsep Keselamatan di Rumah Sakit

Konsep keselamatan yang berlaku pada rumah sakit tidak berbeda dengan

yang berlaku pada dunia industri lainnya dimana keselamatan dipandang dengan

pola pendekatan sistem dan bukan individu. Karena pada dasarnya keselamatan

tenaga kerja berhubungan erat dengan keselamatan pasien (Occupational Safey

and Health Administration, 2014).

Lingkungan yang aman bagi pasien juga akan menjadi lingkungan yang lebih

aman bagi pekerja dan sebaliknya karena keduanya terikat dalam banyak aspek

kebudayaan yang sama serta isu sistemik yang terjadi didalam lingkungan rumah

sakit. Salah satu contohnya adalah bahaya yang ada dalam ruang lingkup rumah

sakit yang disebabkan oleh lemahnya sistem pengendalian infeksi, kelelahan

ataupun kesalahan teknis dapat menimbulkan cidera atau penyakit bukan hanya
13

berbahaya terhadap pasien tetapi juga kepada pekerja di rumah sakit tersebut.

Tenaga kesehatan yang harus senantiasa berhadapan dengan lingkungan yang

tidak menempatkan keselamatan dan kesehatan mereka sebagai prioritas utama

tidak akan bisa memberikan pelayanan kesehatan yang benar-benar bebas dari

kesalahan (Occupational Safey and Health Administration, 2014).

1. Definisi Keselamatan Pasien

Keselamatan merupakan isu global termasuk juga untuk rumah sakit

World Health Organization (2014). Ada lima isu penting keselamatan di

rumah sakit dan salah satunya adalah keselamatan pasien (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Canadian Council on Health Services Accreditation (2003) memberikan

definisi keselamatan pasien yakni pencegahan dan mitigasi dalam lingkup

pelayanan kesehatan. Konsep mengenai keselamatan pasien berikutnya lebih

menggambarkan outcome dari keselamatan pasien dimana keselamatan pasien

diartikan sebagai reduksi dan mitigasi perilaku tidak aman didalam ruang

lingkup sistem pelayanan kesehatan, melalui pelaksanaan pelayanan terbaik

yang terbukti menghasilkan outcome pasien yang optimal (Davies dkk., 2003).

Keselamatan pasien rumah sakit sendiri adalah suatu sistem dimana

rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi

kegiatan penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan

dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari

insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan

timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya


14

cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan

atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Berdasarkan definisi yang disebutkan diatas maka dapat dirumuskan

bahwa keselamatan pasien merupakan usaha-usaha yang dilaksanakan dalam

melakukan pencegahan kesalahan yang ditimbulkan dari perilaku tidak aman

serta mitigasi untuk meringankan outcome yang tidak diharapkan seperti

insiden keselamatan pasien dalam rangka pelaksanaan upaya kesehatan yang

optimal.

Strategi untuk memperbaiki keselamatan pasien meliputi pembuatan

budaya yang mendukung identifikasi dan pelaporan perilaku tidak aman,

pengukuran yang efektif terhadap cidera yang dialami pasien dan indikator

outcome relevan lainnya serta alat untuk membangun atau menyesuaikan

struktur dan proses untuk mereduksi kepercayaan terhadap kewaspadaan yang

dimiliki tiap individu (Canadian Council on Health Services Accreditation,

2003).

2. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia

Standar keselamatan pasien di Indonesia dibuat dengan mengacu kepada

Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh Joint Commision on

Accreditation of Health Organizations (JCAHO) pada tahun 2002 yang

disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Standar

keselamatan pasien di Indonesia disusun dalam Panduan Nasional

Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang kemudian diterbitkan oleh Departemen


15

Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006. Standar keselamatan tersebut

diantaranya adalah :

a. Hak pasien

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan

informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk

kemungkinan terjadinya kejadian tidak diharapkan.

b. Mendidik pasien dan keluarga

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang

kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.

c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin

koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.

d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk

melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien

Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki

proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui

pengumpulan data, menganalisis secara intensif kejadian tidak

diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan

kinerja serta keselamatan pasien.

e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

1) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program

keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi


16

melalui penerapan ―Tujuh Langkah Menuju Keselamatan

Pasien Rumah Sakit ‖.

2) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif

untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program

menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan.

3) Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan

koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan

pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.

4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk

mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit

serta meningkatkan keselamatan pasien.

5) Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya

dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan

pasien.

f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

1) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan

orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan

dengan keselamatan pasien secara jelas

2) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan

yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara

kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin

dalam pelayanan pasien.


17

g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai

keselamatan pasien

1) Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses

manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi

kebutuhan informasi internal dan eksternal.

2) Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

3. Tujuan Keselamatan Pasien

Berdasarkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006) maka tujuan dari

keselamatan pasien adalah sebagai berikut :

a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.

b. Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan

masyarakat.

c. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.

d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi

pengulangan kejadian tidak diharapkan.

4. Insiden Keselamatan Pasien

Kegiatan perawatan medis tidak selalu dapat menghasilkan outcome

positif yang diharapkan namun dapat menghasilkan beberapa kemungkinan

outcome termasuk insiden keselamatan pasien. Kemungkinan outcome

tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini (Suharjo dan Cahyono, 2008).
18

Bagan 2. 1 Outcome Asuhan Medis

Sumber : Suharjo dan Cahyono (2008)

Berdasarkan bagan 2.1. dapat kita ketahui bahwa terdapat dua jenis

outcome dari asuhan medis yang diberikan yakni hasil positif dan hasil

negatif. Hasil positif berarti pasien mengalami kesembuhan atau perbaikan

dari kondisi sebelumnya sedangkan hasil negatif berarti pasien tidak sembuh

atau bahkan mengalami masalah kesehatan yang baru (Suharjo dan Cahyono,

2008). Hasil negatif yang diakibatkan kesalahan medis berupa cidera atau

kejadian tidak diharapkan.

Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1691 terdapat 3 jenis insiden keselamatan pasien diantaranya adalah :

a. Kejadian tidak diharapkan (KTD) atau adverse events adalah insiden

yang mengakibatkan cedera pada pasien (Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia, 2011). Kejadian tidak diharapkan juga diartikan

sebagai cidera yang tidak dikehendaki atau komplikasi yang

menghasilkan kecacatan, kematian atau periode perawatan yang

diperlama. (Canadian Institute for Health Information, 2003).


19

Selanjutnya kejadian tidak diharapkan didefinisikan secara lebih

spesifik sebagai sebuah outcome merugikan bagi pasien, termasuk

cedera atau komplikasi dimana outcome tersebut berasal dari

manajemen medis yang diterima pasien dan bukan dari penyakit dasar

yang diderita oleh pasien (Wang dkk., 2014).

b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) atau near miss adalah terjadinya

insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.

c. Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke

pasien, tetapi tidak timbul cedera.

d. Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat

berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.

e. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian

atau cedera yang serius

D. Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan merupakan salah satu bagian penting dari keseluruhan

budaya yang dianut dalam organisasi. Budaya keselamatan adalah produk dari

nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang

menentukan komitmen untuk, dan gaya serta kecakapan dari manajemen

keselamatan dan kesehatan organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan

positif ditandai dengan komunikadi yang dibangun atas kepercayaan mutual,

dengan persepsi bersama terhadap pentingnya keselamatan dan dengan efikasi

dari pengukuran preventif (Advisory Committee on the Safety of Nuclear

Installations, 1993).
20

Budaya keselamatan juga didefiniskan sebagai lingkungan yang mendukung

dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan

tingkat atas dan berfokus pada sistem (AORN Journal, 2006). Konsep budaya

keselamatan pasien dikembangkan dari konteks budaya keselamatan di dunia

industri dimana budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai keyakinan, nilai,

perilaku, yang dihubungkan dengan keselamatan pasien dan dianut bersama oleh

tenaga kesehatan yang berada didalam ruang lingkup rumah sakit (Beginta, 2012).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka budaya keselamatan pasien

dapat diartikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku yang mendukung keselamatan

pasien dan dianut oleh seluruh anggota organisasi kesehatan yang membentuk

lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan,

melibatkan kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem. Budaya dalam

organisasi kesehatan merupakan hal yang penting dan menentukan proses

kemampuan pendeteksian serta penanganan kesalahan yang telah terjadi (Kohn

dan Corrigan, 1999).

1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien

Pengukuran budaya keselamatan pada umumnya dilakukan pada tiap

individu kemudian dijadikan agregat pada tingkat yang lebih tinggi. Derajat

kesamaan persepsi pekerja terhadap budaya keselamatan itulah yang menjadi

kelebihan yang patut dipertimbangkan dari pengukuran budaya keselamatan

(Flin dkk., 2006).

Terdapat berbagai alat ukur untuk mengukur budaya keselamatan dengan

karakteristik organisasi dan dimensi budaya yang berbeda. Budaya


21

keselamatan pada dunia industri lain memiliki dimensi esensial berupa

komitmen manajemen terhadap keselamatan. Sedangkan dimensi yang

umumnya diukur pada tiap alat pengukuran budaya keselamatan di industri

adalah manajemen, sistem keselamatan, risiko, pressure pekerjaan,

kompetensi dan prosedur. Organisasi kesehatan sendiri mengembangkan

definisi dan/atau alat pengukuran budaya keselamatan pasien berdasarkan

literatur budaya keselamatan di industri (Flin dkk., 2006).

C Burns dan S Yulle dalam Flin dkk. (2006) menjabarkan dimensi

budaya keselamatan pasien yang paling umum diukur di rumah sakit adalah

manajemen, sistem keselamatan, persepsi risiko, tuntutan pekerjaan, pelaporan

atau pengungkapan, sikap atau perilaku keselamatan, komunikasi atau

feedback, kerjasama, sumber daya individu dan faktor organisasional. Berikut

ini adalah karakteristik dari tiap-tiap alat ukur yang dapat digunakan untuk

mengukur budaya keselamatan pasien pada seluruh unit secara umum dan

tidak terfokus pada salah satu profesi tenaga kesehatan (Robb dan Seddon,

2010; Colla dkk., 2005).


22

Tabel 2. 1 Matriks Alat Ukur Budaya Keselamatan PasienMatriks Alat


Ukur Budaya Keselamatan Pasien
Karakteristik Nama Alat ukur
SLOAPS PSCHO VHA PSCQ HSOPS CSS
Pengembang IHI Singer, dkk Burr, dkk. AHRQ Weingart, dkk
Karakteristik umum alat ukur
Untuk diisi secara Tidak Ya Ya Ya Ya
individual
Jumlah pertanyaan 58 45 112 44 34
Dimensi Yang Tercakup
Manajemen Ya Ya Ya Ya Ya
Kebijakan dan Ya Sebagian Ya Sebagian Tidak
prosedur
Penyusunan staf Ya Sebagian Ya Ya Sebagian
Komunikasi Ya Ya Ya Ya Ya
Pelaporan Ya Ya Ya Ya Ya
Cronbach’s Alpha - - 0.45-0.90 0.63-0.83 "Buruk"
Penggunaannya pada studi yang telah dilakukan sebelumnya
Perbandingan Tidak Ya Tidak Ya Ya
dengan institusi lain
Korelasi dengan Tidak Tidak Tidak Ya Ya
pelaporan
Sumber : Robb dan Seddon (2010); J.B. Colla (2005)

Dari matriks diatas dapat kita lihat masing-masing kelebihan dan kekurangan

dari seluruh alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan

pasien di rumah sakit secara umum. Instrumen pertama adalah SLOAPS yang

merupakan akronim dari Strategies for Leadership: An Organizational Approach

to Patient Safety dan merupakan alat ukur yang dikembangkan oleh The Institute

of Healthcare Improvement (Inoue dkk.) yang dpat digunakan untuk mengukur

budaya keselamatan pasien pada tiap bagian di rumah sakit namun kelemahan dari

alat ukur ini adalah alat ukur ini tidak dapat mengukur budaya keselamatan secara

individual pada tiap tenaga kesehatan melainkan harus diisi oleh manajer tenaga

kesehatan yang telah senior (World Health Organization, 2009). Selain itu nilai
23

Cronbach’s Alpha instrumen ini tidak diketahui sehingga tidak dapat

dibandingkan nilai realibilitas dan validitasnya.

PSCHO atau Patient Safety Cultures in Healthcare Organizations

merupakan instrumen yang dikembangkan oleh Singer dkk. pada tahun 2003.

Secara umum matriks ini dapat mengukur seluruh dimensi yang umum terdapat

pada budaya keselamatan namun tidak didapatkan penelitian yang melakukan

pengukuran budaya keselamatan untuk dikaitkan dengan pelaporan karena

instrumen ini memang tidak memiliki outcome spesifik sehingga hanya dapat

menggambarkan budaya keselamatan secara umum. Selain itu nilai Cronbach’s

Alpha dari instrumen juga tidak diketahui secara spesifik.

VHA-PSCQ atau Veterans Administration Patient Safety Culture

Questionnaire adalah instrumen yang dikembangkan oleh Burr dkk. pada tahun

2000 yang menjadi cikal bakal dari HSOPS. Jumlah pertanyaan instrumen ini

cenderung terlalu banyak bila dibandingkan dengan instrumen lainnya dengan

Cronbach’s Alpha yang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan HSOPS.

HSOPS atau Hospital Survey on Patient Safety merupakan pengembangan

dari VHA-PSCQ dan mencakup seluruh dimensi yang akan diukur dalam

penelitian ini. Nilai Cronbach’s Alpha dalam instrumen ini juga tergolong lebih

tinggi. HSOPS juga memiliki dimensi outcome berupa pelaporan dan didukung

oleh database AHRQ yang dapat diakses. Alat analisa data HSOPS juga mudah

didapatkan yakni berupa aplikasi Hospital Survey on Patient Safety Culture Data

Entry and Analysis Tools (Agency for Healthcare Research and Quality, 2014).

HSOPS juga memiliki kriteria psikometrik spesifik yang lebih baik dibandingkan
24

instrumen lain karena telah dilakukan pengujian yang lebih sistematik pada

struktur internalnya (Flin dkk., 2006).

CSS atau Culture of Safety Survey adalah instrumen yang dikembangkan

oleh Weingart dkk. pada tahun 2004 untuk mengukur budaya keselamatan.

Instrumen ini cocok untuk digunakan di tiap unit di rumah sakit dan memiliki

jumlah item yang relatif lebih sedikit dibanding instrumen lain namun tidak

mencakup seluruh dimensi yang diinginkan dalam penelitian ini. Selain itu nilai

Cronbach’s Alpha dari instrumen ini tidak diketahui dan hanya diberikan

statement bahwa nilai Cronbach’s Alpha CSS berada pada kategori ‗buruk‘.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa HSOPS lebih adekuat untuk

digunakan mengukur budaya keselamatan pasien dalam penelitian ini.

2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ

Terdapat 3 aspek dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ

(Stone dkk., 2006; Sorra dan Nieva, 2004) yakni dimensi budaya keselamatan

pasien pada tingkat unit, tingkat rumah sakit dan dimensi outcome keselamatan

yang dapat digambarkan dalam bagan berikut.


25

Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien

Tingkat Unit
• Tindakan promotif keselamatan
oleh manajer/supervisor
• Perbaikan berkelanjutan
• Kerjasama dalam rumah sakit
• Keterbukaan komunikasi Outcome Keselamatan
• Umpan balik dan komunikasi • Persepsi keselamatan
terkait kesalahan yang terjadi secara keseluruhan
• Respon yang tidak menyalahkan • Frekuensi kejadian yang
• Penyusunan staf dilaporkan
• Tingkat Keselamatan
pasien pada unit
Tingkat Rumah Sakit • Jumlah kejadian yang
• Dukungan manajemen rumah sakit dilaporkan
terhadap budaya keselamatan
pasien
• Kerjasama antar unit di rumah
sakit
• Serah terima dan transisi pasien
dari unit ke unit lain

Sumber : AHRQ dalam Sorra dan Nieva (2004)

Pada tingkat unit terdapat 7 aspek budaya keselamatan pasien yang dapat

diukur diantaranya adalah :

a. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer (kepemimpinan)

Kepemimpinan memegang peran penting dalam pelaksanaan

manajemen keselamatan yang efektif, mulai dari pemimpin tim hingga

middle-manager (seperti contohnya kepala unit rumah sakit) pada tingkat

taktis pelaksana maupun top-level manager (seperti contohnya manajer

senior rumah sakit) pada tingkat perencanaan strategis. Perhatian

terhadap kepemimpinan dan outcome keselamatan ditunjukkan dengan

banyaknya penelitian yang meneliti kepemimpinan baik pada sikap,

perilaku maupun gaya kepemimpinan (World Health Organization,


26

2009). Katz-Navon (2005) dalam WHO (2009) menyatakan bahwa ketika

keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi

penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit

tersebut.

Senior manager perlu menunjukkan komitmen mereka terhadap

keselamatan dengan mengunjungi bangsal perawatan dan hal ini terbukti

berpengaruh terhadap budaya keselamatan pada tenaga perawat (Thomas

dkk., dalam WHO, 2009). Pendekatan lainnya adalah dengan

memberikan feedback terhadap komitmen tenaga kesehatan pada

keselamatan pasien. Sedangkan middle-manager harus terlibat langsung

dalam inisiatif keselamatan di unit terkait serta terus menekankan kepada

tenaga kesehatan bahwa keselamatan lebih penting daripada

produktivitas (World Health Organization, 2009).

b. Organizational learning-perbaikan berkelanjutan

Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat

menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi

kesehatan (Kreitner dan Kinicki, 2007). Rumah sakit haruslah menjadi

organisasi pembelajar agar dapat melakukan perbaikan berkelanjutan

pada sistem keselamatan dan kesehatan.

Konsep learning organization merupakan konsep yang penting

dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program

keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Dengan adanya aspek

organizational learning yang baik maka diharapkan akan terjadi


27

perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya keselamatan

pasien yang baik.

c. Kerjasama dalam rumah sakit

Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yg dilakukan oleh beberapa

orang baik dalam berupa lembaga, pemerintah atau organisasi untuk

mencapai tujuan bersama (Setiawan, 2014) Kerjasama dalam rumah sakit

merupakan aspek penting dalam tiap organisasi karena banyak pekerjaan

yang melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga

berlaku di rumah sakit dimana hampir semua pelayanan kesehatan yang

diberikan melibatkan tenaga kesehatan dalam kelompok interdisiplin

(WHO, 2009).

Kerjasama tim dalam rumah sakit merupakan aspek krusial yang

harus dikembangkan untuk memastikan keselamatan pasien. Schaefer

dkk. dalam WHO (2009) menyatakan bahwa 70-80% kesalahan medis

yang terjadi merupakan akibat buruknya komunikasi dan pengertian

dalam tim.

d. Keterbukaan komunikasi

Keterbukaan komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi

efektif yang menyeluruh mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait

keselamatan pasien pada saat serah terima maupun pada saat briefing.

Keterbukaan komunikasi akan lebih baik jika terdapat pendekatan

standarisasi komunikasi mengenai hal-hal apa yang wajib

dikomunikasikan kepada rekan sejawatnya. Karena komunikasi yang


28

buruk saat serah terima akan menyebabkan kurang atau hilangnya

informasi pasien yang penting pada rekan sejawatnya yang berikutnya

akan menangani pasien tersebut.

Prinsip komunikasi terbuka tenaga kesehatan juga dengan pasien dan

keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien

berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan

medis. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh

komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya

keselamatan, dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah

pencegahan (The comission of patient safety and quality assurance of

Irlandia, 2008).

e. Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi

Menurut The Joint Commission dalam White (2013) kegagalan

komunikasi adalah faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan

medis di rumah sakit karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi

kesalahan medis atau kondisi potensial kesalahan medis di rumah sakit

yang sebelumnya dihadapi oleh rekan sejawat dalam timnya. Kegagalan

komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan

kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan

kerja di rumah sakit.

Ketiadaan atau minimnya umpan balik terkait kesalahan medis yang

terjadi juga merupakan salah satu kegagalan komunikasi. Lederman

(2013) menyatakan bahwa perawat dan dokter seringkali tidak


29

melaporkan kesalahan medis yang terjadi akibat ketiadaan umpan balik

yang mereka dapatkan dari kegiatan pelaporan yang telah mereka

lakukan. Ketika tenaga kesehatan telah meluangkan waktunya untuk

melakukan pelaporan disaat mereka seharusnya bisa melakukan kegiatan

lain, tenaga kesehatan menginginkan adanya outcome positif.

f. Respon yang tidak menyalahkan

Respon yang tidak menyalahkan baik dari manajemen maupun rekan

sejawat atas pelaporan kesalahan medis yang terjadi dibutuhkan untuk

dapat mendukung adanya budaya pelaporan kesalahan medis yang

efektif. Karena hingga saaat ini ketakutan akan adanya penyalahan

individu yang melakukan pelaporan masihlah menjadi faktor penghambat

pelaporan kesalahan medis di rumah sakit.

Lingkungan yang tidak menyalahkan diperlukan untuk menghindari

adanya under-reporting dalam pelaporan kesalahan medis. Lingkungan

dengan respon yang tidak menyalahkan tersebut dapat dibangun dengan

melakukan pendekatan sistem dimana tenaga medis melaporkan

kesalahan medis dengan berfokus pada outcome yang dihasilkan pada

kesalahan medis tersebut dan tidak berfokus pada siapa yang

melakukannya (Kachalia dan Bates, 2014).

g. Penyusunan staf

Doughlas dalam Beginta (2012) menjelaskan bahwa staffing atau

penyusunan staf adalah proses menegaskan pekerja yang ahli untuk

mengisi struktur organisasi melalui seleksi dan pengembangan personel.


30

Selain itu penyusunan staf juga didefinisikan sebagai proses menetapkan

orang-orang yang akan menduduki posisi tertentu didalam organisasi

atau dengan kata lain pemilihan penempatan tenaga kerja sesuai dengan

keterampilannya (Siswandi, 2011). Dengan adanya penyusunan staf

maka diharapkan jumlah dan keterampilan yang dimiliki setiap perawat

sesuaai dengan kebutuhan dan beban kerja di tiap unit rumah sakit.

Kesesuaian jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja atau

kebutuhan di tiap unit akan berpengaruh terhadap kinerja tenaga

kesehatan dalam meningkatkan keselamatan pasien. Aiken dkk. dalam

Beginta (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan langsung antara

penyusunan staf pada perawat dan keselamatan pasien.

Pada tingkat rumah sakit terdapat 3 aspek budaya keselamatan pasien yang

dapat dinilai, diantaranya adalah :

a. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien

Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan dapat dilihat

dengan ada atau tidaknya sistem keselamatan pasien di dalam rumah

sakit tersebut. Sistem keselamatan pasien sendiri dapat mendukung

terciptanya iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien di rumah

sakit. Dukungan manajemen juga dapat dilihat dari kebijakan manajemen

rumah sakit yang menunjukkan bahwa keselamatan pasien dijadikan

prioritas di rumah sakit tersebut (Rosyada, 2014).


31

b. Kerjasama antar unit di rumah sakit

Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan rangkaian kegiatan

dari berbagai unit yang ada dalam lingkup rumah sakit tersebut.

Kerjasama antar unit menunjukkan sejauh mana kekompakkan dan

kerjasama tim lintas unit atau bagian dalam melayani pasien (Rosyada,

2014). Kerjasama antar unit yang positif dapat dilihat ketika suatu unit

membutuhkan bantuan maka unit lainnya dalam rumah sakit tersebut

akan memberikan bantuan kepada unit tersebut.

c. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain.

Transisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah peralihan

dari keadaan (tempat, tindakan dan sebagainya) kepada keadaan yang

lain. Dalam ruang lingkup keselamatan pasien rumah sakit, transisi dapat

diartikan sebagai peralihan dari satu unit ke unit lainnya.

Kegiatan serah terima dan transisi pasien merupakan dua jenis

kegiatan yang sangat rawan menghasilkan kesalahan medis karena

adanya informasi yang terlewat dan tidak tersampaikan pada rekan

sejawat yang bertugas selanjutnya. Selain informasi yang tidak

tersampaikan, pada kegiatan ini juga rentan terjadi kesalahan medis

seperti terjatuhnya pasien saat pemindahan pasien.


32

Sedangkan keluaran atau outcome dari budaya keselamatan pasien

berdasarkan AHRQ terdiri dari 4 aspek yang dapat dinilai diantaranya adalah :

a. Persepsi keselamatan secara keseluruhan

Persepsi keselamatan secara keseluruhan merupakan dimensi yang

merangkum persepsi keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan secara

keseluruhan di rumah sakit tersebut. Dimensi ini mencakup keselamatan

pasien di seluruh unit tanpa kecuali.

b. Frekuensi pelaporan kejadian

Frekuensi pelaporan kejadian adalah persepsi tenaga kesehatan

tentang seberapa sering ia dan rekan sejawatnya membuat laporan

berupa kesalahan medis baik yang sudah terjadi ataupun tidak terjadi

serta baik mencelakai ataupun tidak mencelakai pasien.

c. Tingkat keselamatan pasien

Tingkat keselamatan pasien adalah persepsi tenaga kesehatan

terhadap tingkat keselamatan pasien di rumah sakit tersebut dari rentang

sangat baik hingga sangat buruk.

d. Jumlah kejadian yang dilaporkan

Jumlah kejadian yang dilaporkan merupakan dimensi yang

menjelaskan jumlah laporan yang dibuat oleh tenaga kesehatan dalam 12

bulan terakhir.
33

E. Rumah Sakit

Republik Indonesia (2009b) menyatakan bahwa rumah Sakit adalah institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat

darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Republik Indonesia (2009b) juga mengelompokkan rumah sakit berdasarkan

jenis pelayanan yang diberikan menjadi Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit

Khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang

dan jenis penyakit dan rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada

satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan

umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Dalam rangka

penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan,

rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas

dan kemampuan pelayanan rumah sakit.

1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum

a. Rumah sakit umum kelas A

Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4

spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 spesialis lain dan 13 (tiga

belas) subspesialis.
34

b. Rumah sakit umum kelas B

Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4

spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik, 8 spesialis lain dan 2

subspesialis dasar.

c. Rumah sakit umum kelas C

Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4

spesialis dasar dan 4 spesialis penunjang medik

d. Rumah sakit umum kelas D

Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2

spesialis dasar.

2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus

a. Rumah sakit khusus kelas A

Rumah sakit khusus kelas A adalah rumah sakit khusus yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit

pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai

kekhususan yang lengkap.

b. Rumah sakit khusus kelas B

Rumah sakit khusus kelas B adalah rumah sakit khusus yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit


35

pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai

kekhususan yang terbatas.

c. Rumah sakit khusus kelas C

Rumah sakit khusus kelas C adalah rumah sakit khusus yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit

pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai

kekhususan yang minimal.

F. Analisis Kesesuaian Uji Hipotesis

Uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi. Uji

hipotesis jenis ini merupakan jenis uji hipotesis yang diperuntukkan untuk data

variabel dependen dan independen yang berjenis numerik. Seluruh data yang akan

dihasilkan dari penelitian ini bersifat numerik dan oleh karena itu peneliti

menggunakan uji korelasi untuk melihat ada atau tidaknya korelasi dan keeratan

korelasi diantara kedua variabel tersebut.

G. Kerangka Teori

Berdasarkan seluruh teori yang dipaparkan maka dapat disusun skema

kerangka teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaporan

kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.


36

Bagan 2. 3 Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Waters (2012); AHRQ (2004); Wolf dan Hughes (2005);Winsvold

Prang dan Jelsness-Jørgensen (2014); White dan Gallagher (2013); Lederman

dkk. (2013); 7Waters dkk. (2012); Sinicki dkk. (2013); Williams dkk. (2013); El-

Jardali dkk. (2011)


BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori yang dijelaskan pada bab sebelumnya maka

kerangka konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

Bagan 3. 1 Kerangka Konsep

Budaya Keselamatan Pasien


 Tindakan promotif keselamatan oleh
manajer/supervisor
 Perbaikan berkelanjutan
 Kerjasama dalam rumah sakit
 Keterbukaan komunikasi Persepsi
 Umpan balik dan komunikasi terkait
Pelaporan
kesalahan yang terjadi
 Respon yang tidak menyalahkan Kesalahan
 Penyusunan staf Medis Oleh
 Dukungan manajemen rumah sakit Tenaga
terhadap budaya keselamatan pasien Kesehatan
 Kerjasama antar unit di rumah sakit
 Serah terima dan transisi pasien dari
unit ke unit lain

Pada kerangka konsep ini seluruh dimensi budaya keselamatan yang

terdiri dari 10 dimensi diteliti. Dimensi budaya keselamatan pasien

berdasarkan AHRQ terdiri dari tindakan promotif keselamatan oleh

manajer/supervisor, perbaikan berkelanjutan, kerjasama dalam rumah sakit,

keterbukaan komunikasi, umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang

terjadi, respon yang tidak menyalahkan, penyusunan staf, dukungan

37
38

manajemen terhadap upaya keselamatan pasien, kerjasama antar unit di rumah

sakit serta serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain.

Variabel kesempatan belajar (learning opportunity) tidak diteliti karena

dapat diteliti melalui salah satu dimensi dalam variabel budaya keselamatan

pasien yakni dimensi perbaikan berkelanjutan. Keduanya sama-sama

menjelaskan bagaimana adanya pelaporan kesalahan medis dipandang sebagai

upaya pembelajaran baik bagi tenaga kesehatan maupun bagi pihak

manajemen.

Variabel sikap proaktif keselamatan pasien tidak diteliti karena upaya

dan sikap proaktif keselamatan pasien sudah dapat diteliti melalui salah satu

dimensi budaya keselamatan pasien yakni tindakan promotif keselamatan oleh

manajer. Keduanya sama-sama menjelaskan sikap proaktif individu terhadap

keselamatan pasien hanya saja pada dimensi tindakan promotif keselamatan

oleh manajer juga menjelaskan tentang respon manajer atau supervisor

terhadap sikap proaktif keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan.

Variabel adanya kewajiban profesi tidak diteliti karena populasi

penelitian ini adalah pada dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain yang

memungkinkan adanya data homogen. Dokter, perawat dan tenaga kesehatan

lain merupakan tenaga kesehatan yang secara etik memang memiliki

kewajiban untuk melakukan pelaporan apabila terjadi kesalahan medis kepada

pihak berwenang di rumah sakit (Ghazal dkk., 2014).

Standar operasional prosedur yang berlaku di masing-masing rumah sakit

tidak diteliti karena keduanya bersifat homogen di masing-masing rumah


39

sakit. Standar operasional prosedur berlaku secara keseluruhan di tiap unit

pada masing-masing rumah sakit.

Variabel kurangnya feedback dan dukungan manajemen tidak diteliti

karena sudah dapat diteliti melalui salah satu dimensi dalam variabel budaya

keselamatan pasien yakni dimensi umpan balik dan komunikasi terkait

kesalahan yang terjadi serta dimensi dukungan manajemen terhadap upaya

keselamatan pasien.

Variabel budaya yang menyalahkan tidak diteliti karena sudah dapat

diteliti melalui salah satu dimensi budaya keselamatan pasien yakni dimensi

respon yang tidak menyalahkan. Keduanya menjelaskan tentang ada atau

tidaknya respon yang menyalahkan terkait pelaporan yang mereka lakukan.

Variabel waktu yang dibutuhkan untuk melapor tidak diteliti karena

keduanya bersifat homogen di masing-masing rumah sakit. Hal ini berkaitan

dengan penerapan standar operasional prosedur yang sama di seluruh unit

pada masing-masing rumah sakit.

Derajat keparahan cidera tidak diteliti dalam penelitian ini karena dapat

digambarkan melalui variabel persepsi pelaporan kesalahan medis yang juga

menggambarkan kemauan melapor pada saat terjadi kesalahan baik yang

menghasilkan cidera atau yang tidak menghasilkan cidera.


B. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur

Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis


1 Persepsi pelaporan kesalahan Persepsi tenaga kesehatan terhadap pelaporan Responden Univariat : Kuesioner Ordinal
medis kesalahan medis di rumah sakit masing-masing. diminta • Rendah apabila untuk
mengisi persentase 14%- univariat
kuesioner 42,7% dan Rasio
• Sedang apabila untuk
persentase Bivariat
42,8%- 71,4%
• Tinggi, apabila
persentase
71,5%- 100%
Bivariat : Total
skor
Budaya Keselamatan Pasien
2 Dimensi 1. Tindakan Persepsi tenaga kesehatan tentang respon positif Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
promotif keselamatan oleh yang diberikan atasan terhadap tindakan yang diminta positif untuk
manajer dilakukan tenaga kesehatan yang mendukung mengisi univariat dan total
keselamatan pasien di unit kerja masing-masing. kuesioner skor untuk bivariat
3 Dimensi 2. Organizational Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya budaya Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
learning – perbaikan pembelajaran dalam organisasi dimana kesalahan diminta positif untuk

40
41

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur

berkelanjutan dijadikan bahan evaluasi dan pembelajaran dalam mengisi univariat dan total
rangka perbaikan berkelanjutan di unit dalam kuesioner skor untuk bivariat
rumah sakit masing-masing.
4 Dimensi 3. Kerjasama dalam Persepsi tenaga kesehatan tentang sikap dan Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
unit rumah sakit kerjasama antar individu di unit dalam rumah sakit diminta positif untuk
masing-masing. mengisi univariat dan total
kuesioner skor untuk bivariat
5 Dimensi 4. Keterbukaan Persepsi tenaga kesehatan tentang kebebasan Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
komunikasi menyampaikan pendapat terkait keselamatan diminta positif untuk
pasien di dalam unit pada rumah sakit masing- mengisi univariat dan total
masing. kuesioner skor untuk bivariat
6 Dimensi 5. Umpan balik dan Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
komunikasi tentang pemberian informasi tentang kesalahan medis yang diminta positif untuk
kesalahan medis yang terjadi terjadi, pemberian umpan balik perubahan yang mengisi univariat dan total
dilakukan dan adanya diskusi pencegahan kuesioner skor untuk bivariat
kesalahan medis di dalam unit pada rumah sakit
masing-masing.
7 Dimensi 6. respon yang Persepsi tenaga kesehatan bahwa kesalahan medis Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
tidak menyalahkan yang mereka lakukan dan atau laporan yang diminta positif untuk
mereka berikan tidak dijadikan bahan untuk mengisi univariat dan total
menyalahkan diri mereka dalam unit pada rumah kuesioner skor untuk bivariat
sakit masing-masing.
42

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur

8 Dimensi 7. Penyusunan staf Persepsi tenaga kesehatan tentang kesesuaian Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja yang diminta positif untuk
ada dan kesesuaian jam kerja yang ditentukan mengisi univariat dan total
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang kuesioner skor untuk bivariat
optimal untuk pasien di dalam unit pada rumah
sakit masing-masing.
9 Dimensi 8. Dukungan Persepsi tenaga kesehatan tentang dukungan yang Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
manajemen terhadap upaya diberikan oleh manajemen rumah sakit masing- diminta positif untuk
keselamatan pasien. masing kepada mereka dalam meningkatkan mengisi univariat dan total
keselamatan pasien. kuesioner skor untuk bivariat
10 Dimensi 9. Kerjasama antar Persepsi tenaga kesehatan tentang adanya Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
unit di rumah sakit kerjasama dan kordinasi yang baik antar unit diminta positif untuk
rumah sakit dalam memberikan pelayanan mengisi univariat dan total
kesehatan yang adekuat di rumah sakit masing- kuesioner skor untuk bivariat
masing.
11 Dimensi 10. Serah terima Persepsi tenaga kesehatan tentang alur informasi Responden Persentase respon Kuesioner Rasio
dan transisi pasien dari unit pasien yang penting pada saat kegiatan serah diminta positif untuk
ke unit lain terima dan trnasfer pasien di rumah sakit masing- mengisi univariat dan total
masing. kuesioner skor untuk bivariat
C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional diatas maka

hipotesis penelitian ini adalah : ―Terdapat korelasi antara budaya keselamatan

pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di

masing-masing Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta tahun 2015‖.

Sedangkan sub-hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Ada korelasi antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh

manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga

kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

b. Ada korelasi antara dimensi organizational learning – perbaikan

berkelanjutan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga

kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

c. Ada korelasi antara dimensi kerjasama dalam unit rumah sakit dengan

persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah

Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

d. Ada korelasi antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X

dan Y Jakarta Tahun 2015.

e. Ada korelasi antara dimensi umpan balik dan komunikasi terkait

kesalahan yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis

oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

43
44

f. Ada korelasi antara dimensi respon yang tidak menyalahkan atas

kesalahan yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis

oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

g. Ada korelasi antara dimensi manajemen sumber daya manusidengan

persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah

Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

h. Ada korelasi antara dimensi dukungan manajemen terhadap upaya

keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh

tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

i. Ada korelasi antara dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit

dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di

Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.

j. Ada korelasi antara dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit

ke unit lain dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga

kesehatan di Rumah Sakit X dan Y Jakarta Tahun 2015.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan desain

studi cross sectional yaitu pengumpulan data dan informasi serta pengukuran

antara variabel independen dan dependen dilakukan satu persatu dalam satu

waktu.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember 2014 hingga Juni

2015. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan studi literatur dan

pengambilan data di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y Jakarta.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan di Rumah Sakit X

dan Rumah Sakit Y. Tenaga kesehatan sendiri adalah setiap orang yang

mengabdikan diri di bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau

keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu

memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pendidikan

minimal tenaga kesehatan adalah diploma tiga (Republik Indonesia, 2014).

Tenaga kesehatan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi perawat,

dokter dan tenaga kesehatan lainnya Tenaga kesehatan lain disini adalah

perawat, ahli farmasi terapis, analis laboratorium, radiografer, safety officer,

sanitarian, ahli gizi dan bidan. Berdasarkan data sumber daya manusia di

45
46

Rumah Sakit X diketahui bahwa terdapat 81 dokter, 308 perawat dan 153

tenaga kesehatan lainnya. Sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 107 dokter,

473 perawat dan 217 tenaga kesehatan lainnya.

Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah systematic random sampling dan besar sampel dalam penelitian ini

ditentukan dengan rumus besar sampel uji korelasi. Rumus besar sampel

untuk uji hipotesis korelasi adalah sebagai berikut (Ariawan, 1998).

( )
( )

Diperkirakan korelasi antara budaya keselamatan pasien dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis berderajat sedang dengan koefisien korelasi (r)

sebesar 0,5. Nilai Z =1,96 ( = 0,05); nilai Z = 1,289. Berikut adalah besar

sampel untuk uji hipotesis pada masing-masing rumah sakit yang akan diteliti

dalam penelitian ini:

( ) ( )

Jadi besar sampel yang dibutuhkan untuk uji korelasi di masing-masing

rumah sakit adalah sebesar 53 orang. AHRQ menegaskan setiap peneliti untuk

melipatgandakan jumlah besar sampel untuk mencapai jumlah respon yang

diinginkan (Sorra dan Nieva, 2004). maka dari itu untuk mencapai jumlah

respon sebanyak 53 maka besar sampel yang dibutuhkan adalah 53x2=106

orang di masing-masing rumah sakit dengan total keseluruhan sampel yang

dibutuhkan adalah 212 orang.


47

Berdasarkan pembagian besar sampel proporsional berdasarkan jumlah

perawat dan dokter di masing-masing rumah sakit maka pada Rumah Sakit X

akan diambil sampel 15 dokter, 61 perawat dan 30 tenaga kesehatan lain.

Selanjutnya pada Rumah Sakit Y akan diambil sampel 16 dokter, 59 perawat

dan 32 tenaga kesehatan lainnya

Selanjutnya dari kerangka sampel masing-masing kelompok akan

ditentukan sampel terpilih melalui interval sistematis dengan besar interval

ditentukan dengan membagi total populasi (N) dengan besar sampel (n) atau

i=N/n (Budiarto, 2003). Besar interval di Rumah Sakit X adalah 5 sedangkan

interval di Rumah Sakit Y adalah 7.

D. Alat dan Cara Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa

kuesioner untuk mengukur variabel budaya keselamatan pasien dan persepsi

pelaporan kesalahan medis. Kuesioner dibagikan kepada seluruh responden

dan 2 hari kemudian peneliti mengambil kembali kuesioner yang telah diisi

oleh responden penelitian.

Bagian pertama kuesioner adalah identitas responden yang terdiri dari

usia, jenis tenaga kesehatan, unit kerja serta nama rumah sakit. Bagian kedua

kuesioner adalah budaya keselamatan pasien yang merupakan versi bahasa

indonesia dari Hospital Survey on Patient Safety Culture dari AHRQ.

Kuesioner ini sudah diterjemahkan oleh peneliti sebelumnya dan diuji

validitas dan realibilitasmya (Pratiwi, 2014). Berikutnya kuesioner ini

dikembalikan konteksnya sesuai dengan panduan penerjemahan yang


48

diterbitkan oleh AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality, 2009).

Agency for Healthcare Research and Quality (2014) menyatakan bahwa hal

ini bertujuan agar data yang didapatkan dapat diolah dengan menggunakan

aplikasi pengolah data univariat yang dikembangkan oleh AHRQ. Kuesioner

ini terdiri dari 42 item pertanyaan dengan 12 dimensi atau aspek yang diukur.

Berikut adalah daftar dimensi yang diukur dalam penelitian ini, poin

pertanyaan yang merefleksikannya serta nilai Cronbach’s Alpha per dimensi

(Sorra dan Nieva, 2004).

Tabel 4. 1 Deskripsi Kuesioner Bagian Budaya Keselamatan


Cronbach’s
No Nama Dimensi Nomor Soal
Alpha
1 Dimensi 1. Tindakan promotif keselamatan B1, B2, B3, 0,75
oleh manajer B4
2 Dimensi 2. Organizational learning – A6, A9, A13 0,76
perbaikan berkelanjutan
3 Dimensi 3. Kerjasama dalam unit rumah sakit A1, A3, A4, 0,83
A11
4 Dimensi 4. Keterbukaan komunikasi C2, C4, C6 0,72
5 Dimensi 5. Umpan balik dan komunikasi C1, C3, C5 0,78
terkait kesalahan yang terjadi
6 Dimensi 6. Respon yang tidak menyalahkan A8, A12,A16 0,79
7 Dimensi 7. Penyusunan staf A2, A5, A7, 0,63
A14
8 Dimensi 8. Dukungan manajemen rumah sakit F1, F8, F9 0,83
terhadap budaya keselamatan
9 Dimensi 9. Kerjasama antar unit di rumah sakitF2, F4, F6, 0,80
F10
10 Dimensi 10. Serah terima dan transisi pasien F3, F5, F7, 0,80
dari unit ke unit lain F11
Sumber : AHRQ, 2003

Kuesioner HSOPSC ini juga telah dilakukan uji realibilitas dan uji

validitas ulang dengan 30 sampel tenaga kesehatan. Hal ini dilakukan karena
49

diasumsikan terdapat perbedaan karakteristik tenaga kesehatan di Indonesia

dan Amerika Serikat.

Variabel berikutnya yang diukur adalah persepsi pelaporan kesalahan

medis yang diukur lewat kuesioner yang dikembangkan dari kuesioner

persepsi pelaporan kesalahan pelayanan oleh perawat (Beginta, 2012).

Kuesioner ini memiliki rentang skala likert 1-7 dan terdiri dari 10 pertanyaan.

E. Pengolahan Data, Uji Validitas dan Realibilitas.

1. Pengolahan data

Pengolahan data yang terkumpul pada penelitian ini akan dilakukan

dengan tahapan-tahapan berikut :

a. Penyuntingan data individu

Penyuntingan data individu dilakukan dengan menyeleksi

kuesioner yang telah diisi untuk melihat kelengkapan jawaban

kuesioner. Apabila tidak lengkap maka kuesioner akan disisihkan dan

tidak digunakan dalam penelitian ini.

b. Pemberian skor dan kode jawaban

Pemberian kode terhadap jawaban yang diberikan sesuai klasifikasi

pada tiap bagian pertanyaan untuk selanjutnya diberikan kode berupa

angka untuk memudahkan proses memasukkan data hingga analisis.

c. Proses memasukkan dan membersihkan data

Entry data dilakukan kedalam komputer untuk berikutnya

dibersihkan untuk memastikan kebenaran dari setiap jawaban yang

telah dimasukkan ke komputer sebelum diolah dan dianalisis.


50

2. Uji validitas dan uji realibilitas

Uji validitas kuesioner untuk melihat ketepatan alat ukur untuk

mengukur variabel yang diukur akan dilakukan dengan menggunakan uji

Pearson Product Moment. Sebelum melakukan uji validitas terlebih

dahulu akan dilakukan pencarian nilai korelasi antara bagian-bagian dari

alat ukur dengan cara mengkorelasikan setiap butir alat ukur dengan

jumlah skor total yang merupakan jumlah total skor butir. sedangkan uji

realibilitas untuk melihat tingkat keajegan instrumen yang digunakan

dilakukan dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha.

F. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan berupa analisis univariat dan

bivariat. Analisis univariat ini bertujuan untuk mengetahui gambaran budaya

keselamatan pasien dan persepsi pelaporan kesalahan medis di masing-masing

rumah sakit. Penggambaran kondisi keseluruhan dimensi yang diteliti dan

disajikan dalam bentuk tabel.

Analisis univariat budaya keselamatan pasien akan dilakukan dengan

menggunakan Hospital Survey Excel Tool 1.6 milik AHRQ yang dikirimkan

oleh pada Januari 2015 kepada penulis. Melalui aplikasi ini, jawaban

kuesioner dibagi menjadi 2 jenis yakni jawaban dengan respon positif dan

negatif. Jawaban dengan respon positif apabila bernilai 4 dan 5 (setuju dan

sangat setuju) pada pertanyaan yang bersifat positif atau bernilai 1 dan 2

(sangat tidak setuju dan tidak setuju) pada pertanyaan yang bersifat negatif.

Jawaban dengan respon negatif apabila bernilai 1 dan 2 (sangat tidak setuju
51

dan tidak setuju) pada pertanyaan yang bersifat positif atau bernilai 4 dan 5

(setuju dan sangat setuju) pada pertanyaan yang bersifat negatif.

Setelah diketahui sifat jawaban setiap item pertanyaan maka aplikasi

tersebut akan menghitung nilai komposit dimensi masing-masing. Nilai

komposit per dimensi didapatkan dengan merata-ratakan persentase respon

positif masing-masing pertanyaan sesuai dengan dimensinya masing-masing.

Nilai komposit per dimensi ini yang menjadi hasil analisis univariat budaya

keselamatan pasien.

Sedangkan analisis univariat untuk variabel persepsi dilakukan dengan

menggunakan analisis total skor. Skor tiap pertanyaan dengan skala likert 1-7

dijumlahkan keseluruhannya lalu dibuat persentasenya. Selanjutnya kriteria

penilaian kuat atau lemahnya variabel persepsi pelaporan kesalahan medis

dilihat dari persentase (Beginta, 2012).

Tabel 4. 2 Kriteria Penilaian Berdasarkan Presentase


No. Persentase (%) Kriteria
1. 14 - 42,7 Rendah
2. 42,8 - 71,4 Sedang
3. 71,5 – 100 Tinggi
Sumber : Beginta (2012)

Sedangkan analisis bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis

dalam penelitian ini. Analisis data yang digunakan adalah uji korelasi karena

baik variabel independen maupun dependen dalam penelitian ini bersifat

numerik. Apabila data terdistribusi normal maka digunakan uji korelasi

pearson product moment sedangkan apabila data tidak terdistribusi normal


52

digunakan uji korelasi Spearman. Rumus koefisien korelasi pearson product

moment adalah sebagai berikut :

(∑ ) (∑ ∑ )
√[ ∑ (∑ ) ][ ∑ (∑ ) ]

*Keterangan : r = koefisien korelasi pearson product moment


n = jumlah sampel penelitian

Sedangkan rumus koefisien korelasi Spearman adalah sebagai berikut :


( )

*Keterangan : rs = koefisien korelasi Spearman


∑ = total kuadrat selisih antar rangking
n = jumlah sampel penelitian

Menurut Colton Hastono dan Sabri (2011), kekuatan korelasi antara 2

variabel secara kualitatif dapat dibagi kedalam empat area sebagai berikut :

1. r = 0,00-0,25, berarti tidak ada korelasi atau ada korelasi dengan kekuatan

lemah

2. r = 0,26-0,50, berarti ada korelasi dengan kekuatan sedang

3. r = 0,51-0,75, berarti ada korelasi dengan kekuatan kuat

4. r = 0,76-1,00, berarti ada korelasi yang sangat kuat atau sempurna

Setelah didapatkan koefisien korelasi tersebut, maka dilakukan

perbandingan r hitung dengan r tabel untuk menentukan apakah kedua

variabel benar-benar berkorelasi secara signifikan.


53

BAB V

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini dibagi menjadi 5 bagian. Bagian-bagian tersebut terdiri

dari gambaran umum Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y, gambaran budaya

keselamatan pasien masing-masing rumah sakit, gambaran persepsi pelaporan

kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit dan korelasi

budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan tenaga kesehatan oleh

tenaga kesehatan.

Gambaran budaya keselamatan pasien di masing-masing rumah sakit

mencakup 10 dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ. Dimensi

tersebut diantaranya adalah dimensi tindakan promotif keselamatan oleh

manajer/supervisor, dimensi perbaikan berkelanjutan, dimensi kerjasama dalam

rumah sakit, dimensi keterbukaan komunikasi, dimensi umpan balik dan

komunikasi terkait kesalahan yang terjadi, dimensi respon yang tidak

menyalahkan, dimensi penyusunan staf, dimensi dukungan manajemen terhadap

upaya keselamatan pasien, dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit serta

dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain. Kesepuluh dimensi

budaya keselamatan pasien pada masing-masing rumah sakit disajikan dalam

bentuk tabel berupa persentase respon positif dari masing-masing dimensi.

Gambaran persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

disajikan dalam bentuk persentase persepsi positif. Dalam penelitian ini variabel

persepsi pelaporan kesalahan medis dikategorikan menjadi 3 jenis yakni persepsi


54

lemah, sedang dan kuat berdasarkan pengkategorian yang dilakukan oleh Beginta

(2012). Persepsi pelaporan kesalahan medis dikatakan lemah apabila persepsi total

antara 14-42,7%; dikatakan sedang apabila persepsi total antara 42,8-71,4%; dan

dikatakan kuat apabila persepsi total lebih dari 71,5%.

Korelasi antara budaya keselamatan pasien dan persepsi pelaporan

kesalahan medis digambarkan melalui uji korelasi dengan melihat nilai r hitung

dibandingkan dengan nilai r tabel serta dengan melihat nilai koefisien korelasi

yang didapatkan dari hasil uji hipotesis yang dilakukan.

A. Gambaran Umum Rumah Sakit X dan Y

Rumah Sakit X adalah rumah sakit umum kelas B sedangkan

sedangkan Rumah Sakit Y adalah rumah sakit khusus kelas A. Kedua rumah

sakit berlokasi di Jakarta.

Keselamatan pasien dan K3RS di Rumah Sakit X diupayakan melalui

program yang dilaksanakan oleh bagian Manajemen Risiko. Terdapat 3 seksi

utama yakni Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS),

Pencegahan Infeksi Rumah Sakit (PIRS) dan Keselamatan Pasien Rumah

Sakit (KPRS). Sedangkan Keselamatan pasien dan K3 di Rumah Sakit Y

diupayakan melalui program-program terpadu yang dilaksanakan oleh Bagian

K3 dan Kesling bekerja sama dengan Komite Mutu serta tim keselamatan

pasien yang merupakan kelompok kerja terpadu dan dibentuk khusus untuk

melaksanakan survey budaya keselamatan pasien.


55

Kedua rumah sakit telah terakreditasi. Secara khusus, Rumah Sakit Y

sendiri telah memiliki sertifikasi sistem manajemen keselamatan dan

kesehatan yakni OHSAS 18001.

B. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran masing-

masing variabel yang diteliti. Response rate yang diperoleh di Rumah Sakit Y

adalah sebesar 86% dengan jumlah kuesioner yang diisi lengkap dan dapat

digunakan sebanyak 91 kuesioner. Sedangkan response rate yang diperoleh

di Rumah Sakit X adalah sebesar 95,38% dengan total kuesioner yang terisi

lengkap dan dapat digunakan sebanyak 101 kuesioner. Hasil analisis univariat

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Karakteristik Responden Penelitian

Hasil analisis univariat karakteristik responden di kedua rumah

sakit adalah sebagai berikut :

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Penelitian


No. Jenis Tenaga Rumah Sakit
Kesehatan Rumah Sakit X Rumah Sakit Y
n % n %
1. Dokter 9 8,91% 8 8,79%
2. Perawat 56 55,44% 45 49,45%
3. Lainnya 34 30,69% 38 41,75%
Bidan 4 3,96% 1 1,09%
Radiografer 3 2,97% 9 9,89%
Farmasi 13 10,89% 5 5,50%
Terapis 2 1,98% 3 3,29%
Gizi 3 2,97% 4 4,39%
Sanitarian 2 1,98% 2 2,19%
Analis lab 4 3,96% 11 12,10%
Safety officer 2 1,98% 2 2,19%
4. Tidak diketahui 5 4,95% - -
Total 101 100% 91 100%
56

Berdasarkan tabel 5.1. diatas karakteristik responden dengan

anggota kelompok terbanyak berasal dari kelompok perawat baik di

Rumah Sakit X maupun di Rumah Sakit Y.

2. Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan

Hasil analisis univariat persepsi pelaporan kesalahan medis oleh

tenaga kesehatan di Rumah Sakit X didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 5. 2 Gambaran Persepsi Positif Pelaporan Kesalahan Medis


oleh Tenaga Kesehatan 2015
Rumah Sakit
Variabel Rumah Sakit X Rumah Sakit Y
( n = 101 ) ( n = 91)
Persepsi positif
pelaporan kesalahan 49,95% 46%
Medis

Berdasarkan tabel 5.2. diatas secara umum persepsi positif

pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan

Rumah Sakit Y hampir sama. Meskipun persepsi positif di Rumah Sakit X

lebih tinggi 3,95% dari Rumah Sakit Y.

3. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien

Gambaran budaya keselamatan pasien berdasarkan dimensi AHRQ

pada tenaga kesehatan tahun 2015 didapatkan hasil sebagai berikut ini.
57

Tabel 5.3 Gambaran Respon Positif 10 Dimensi Budaya Keselamatan


Pasien pada Tenaga Kesehatan Tahun 2015
Rumah Sakit
No Dimensi Budaya Keselamatan Pasien RS X RS Y
(n=101) (n=91)
1 Tindakan promotif keselamatan oleh 76% 65%
manajer
2 Organizational learning – perbaikan 67% 89%
berkelanjutan
3 Kerjasama dalam unit rumah sakit 71% 82%
4 Keterbukaan komunikasi 68% 82%
5 Umpan balik dan komunikasi tentang 65% 91%
kesalahan medis yang terjadi
6 Respon yang tidak menyalahkan 67% 52%
7 Penyusunan staf 61% 52%
8 Dukungan manajemen terhadap upaya 71% 83%
keselamatan pasien
9 Kerjasama antar unit di rumah sakit 61% 76%
10 Serah terima dan transisi pasien dari 62% 68%
unit ke unit lain
Berdasarkan tabel 5.3. diatas dimensi budaya keselamatan pasien

dengan respon positif tertinggi di Rumah Sakit X terdapat pada tindakan

promotif keselamatan oleh manajer sebesar 76%. Sedangkan respon positif

terendah didapatkan pada dimensi penyusunan staf dan kerjasama antar

unut rumah sakit staf yakni sebesar 61%.

Sedangkan dimensi budaya keselamatan di Rumah Sakit Y yang

memiliki respon positif tertinggi adalah dimensi organizational learning –

perbaikan berkelanjutan sebesar 91%. Sedangkan respon positif terendah

didapatkan pada dimensi penyusunan staf yakni sebesar 52%.


58

C. Analisis Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui korelasi dimensi budaya

keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga

kesehatan tahun 2015 dilakukan dengan uji korelasi Spearman karena data

tidak terdistribusi normal. Tingkat kepercayaan yang ditetapkan adalah 95%.

Secara umum korelasi seluruh dimensi budaya keselamatan pasien

berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis diringkas

dalam tabel berikut.

Tabel 5. 4 Analisis korelasi dimensi budaya keselamatan pasien


berdasarkan AHRQ dengan persepsi pelaporan kesalahan medis
oleh tenaga kesehatan tahun 2015
No Variabel RS X RS Y
(N = 101) (N = 91)
r p value r p value
1 Tindakan Promotif
0,388 0,000* 0,217 0,039*
Keselamatan Oleh Manajer
2 Organizational learning-
0,496 0,000* 0,073 0,493
Perbaikan Berkelanjutan
3 Kerjasama dalam unit 0,327 0,001* 0,184 0,081
4 Keterbukaan komunikasi 0,582 0,000* 0,264 0,012*
5 Umpan balik dan komunikasi
tentang kesalahan medis 0,197 0,048* 0,286 0,006*
yang terjadi
6 Respon yang tidak
0,419 0,000* 0,217 0,039*
menyalahkan
7 Penyusunan staf 0,039 0,701 -0,165 0,118
8 Dukungan manajemen
terhadap upaya keselamatan 0,112 0,266 0,157 0,137
pasien
9 Kerjasama antar unit 0,176 0,078 0,203 0,054
10 Serah terima dan transisi
0,016 0,870 0,098 0,357
pasien
*terbukti berkorelasi secara signifikan melalui uji statistik

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa terdapat 6 dimensi budaya

keselamatan pasien yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan


59

medis di Rumah Sakit X dan terdapat 4 dimensi budaya keselamatan pasien

yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. Adapun hasil

analisis korelasi tiap variabel yang lebih spesifik adalah sebagai berikut.

1. Korelasi antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer

dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik

menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel di Rumah Sakit X

adalah sebesar 0,388 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan

sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat

kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai

korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik yang dilakukan di Rumah Sakit Y

menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar

0,217 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p

value yang didapatkan adalah sebesar 0,039 pada tingkat kemaknaan 95%

sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang

bermakna di Rumah Sakit Y.

Variabel dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer dan

variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-sama berkorelasi di

kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel

berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua

variabel lebih tinggi di Rumah Sakit X.


60

2. Korelasi antara dimensi organizational learning – perbaikan

berkelanjutan dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh

tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada

tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.6. diatas diketahui hasil uji

statistik menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel di Rumah

Sakit X adalah sebesar 0,496 yang berarti ada korelasi dengan tingkat

kekuatan sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada

tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan

sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan diketahui hasil uji statistik di Rumah Sakit Y

menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar

0,073 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan nyaris

tidak ada korelasi. Sedangkan nilai p value yang didapatkan adalah

sebesar 0,493 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua

variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.

Variabel dimensi organizational learning dan variabel persepsi

pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah

Sakit X namun tidak memiliki korelasi bermakna di Rumah Sakit Y.


61

3. Korelasi antara dimensi kerjasama dalam unit rumah sakit dengan

persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada

tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4., diketahui hasil uji statistik

di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel

adalah sebesar 0,327 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan

sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,001 pada tingkat

kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai

korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan

bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,184 yang berarti

ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang

didapatkan adalah sebesar 0,081 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga

korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di

Rumah Sakit Y.

Variabel dimensi kerjasama dalam unit dan variabel persepsi

pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di Rumah

Sakit X namun tidak memiliki korelasi yang bermakna di Rumah Sakit Y.

4. Korelasi antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada


62

tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.sebelumnya, diketahui hasil uji

statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua

variabel adalah sebesar 0,582 yang berarti ada korelasi dengan tingkat

kekuatan kuat. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada

tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan

sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan

bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,264 yang berarti

ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang

didapatkan adalah sebesar 0,012 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga

korelasi kedua variabel juga dikatakan sebagai korelasi yang bermakna

dan signifikan di Rumah Sakit Y.

Variabel dimensi keterbukaan komunikasi dan variabel persepsi

pelaporan kesalahan medis sama-sama memiliki korelasi yang bermakna

di kedua rumah sakit. Namun tingkat kekuatan korelasi kedua variabel

berbeda di kedua rumah sakit dimana tingkat kekuatan korelasi kedua

variabel lebih tinggi di Rumah Sakit X.

5. Korelasi antara dimensi umpan balik dan komunikasi tentang

kesalahan medis yang terjadi dengan persepsi pelaporan kesalahan

medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada

tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4. diatas, diketahui hasil uji
63

statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua

variabel adalah sebesar 0,197 yang berarti ada korelasi dengan tingkat

kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,048 pada

tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan

sebagai korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan

bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,286 yang berarti

ada korelasi dengan tingkat kekuatan sedang. Nilai p value yang

didapatkan adalah sebesar 0,006 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga

korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang bermakna dan

signifikan.

Variabel dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan

medis yang terjadi dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-

sama memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit. Namun

tingkat kekuatan korelasi kedua variabel berbeda di kedua rumah sakit

dimana tingkat kekuatan korelasi kedua variabel lebih tinggi di Rumah

Sakit Y.

6. Korelasi antara dimensi respon yang tidak menyalahkan dengan

persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada

tabel 5.4. sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di

Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel


64

adalah sebesar 0,419 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan

sedang. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,000 pada tingkat

kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai

korelasi yang bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan

bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,201 yang berarti

ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang

didapatkan adalah sebesar 0,057 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga

korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.

Variabel dimensi respon yang tidak meyalahkan dan variabel

persepsi pelaporan kesalahan medis memiliki korelasi yang bermakna di

Rumah Sakit X namun tidak memiliki korelasi yang bermakna di Rumah

Sakit Y.

7. Korelasi antara dimensi penyusunan staf dengan persepsi pelaporan

kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada

tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4 diatas, diketahui hasil uji

statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua

variabel adalah sebesar 0,039 yang berarti ada korelasi dengan tingkat

kekuatan lemah dan hampir tidak ada. Nilai p value yang didapatkan

adalah sebesar 0,701 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi


65

kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah

Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan

bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar -0,165 yang berarti

ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang

didapatkan adalah sebesar 0,118 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga

korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna.

Dimensi penyusunan staf dengan persepsi pelaporan kesalahan

medis oleh tenaga kesehatan sama-sama tidak memiliki korelasi yang

bermakna di kedua rumah sakit.

8. Korelasi antara dimensi dukungan manajemen terhadap upaya

keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh

tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada

tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4 diatas, diketahui hasil uji

statistik di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua

variabel adalah sebesar 0,112 yang berarti ada korelasi dengan tingkat

kekuatan lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,266 pada

tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan

sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan

bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,157 yang berarti
66

ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang

didapatkan adalah sebesar 0,137 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga

korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di

Rumah Sakit Y.

Variabel dimensi dukungan manajemen terhadap upaya

keselamatan pasien dan variabel persepsi pelaporan kesalahan medis sama-

sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit.

9. Korelasi antara dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit dengan

persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada

tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di

Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel

adalah sebesar 1,176 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan

lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,078 pada tingkat

kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai

korelasi yang tidak bermakna.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan

bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,203 yang berarti

ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah. Nilai p value yang

didapatkan adalah sebesar 0,054 pada tingkat kemaknaan 95% sehingga

korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak bermakna di

Rumah Sakit Y.
67

Variabel dimensi kerjasama antar unit dan variabel persepsi

pelaporan kesalahan medis sama-sama tidak memiliki korelasi yang

bermakna di kedua rumah sakit.

10. Korelasi antara dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke

unit lain dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga

kesehatan

Hasil analisis korelasi antara kedua variabel dilakukan dengan uji

korelasi Spearman. Adapun hasil analisis tersebut telah dijelaskan pada

tabel 5.4 sebelumnya. Berdasarkan tabel 5.4, diketahui hasil uji statistik di

Rumah Sakit X menunjukkan bahwa koefisien korelasi kedua variabel

adalah sebesar 0,016 yang berarti ada korelasi dengan tingkat kekuatan

yang sangat lemah. Nilai p value yang didapatkan adalah sebesar 0,870

pada tingkat kemaknaan 95% sehingga korelasi kedua variabel dikatakan

sebagai korelasi yang tidak bermakna di Rumah Sakit X.

Sedangkan hasil uji statistik di Rumah Sakit Y menunjukkan

bahwa koefisien korelasi kedua variabel adalah sebesar 0,098 yang berarti

ada korelasi dengan tingkat kekuatan lemah dan nyaris tidak ada. Nilai p

value yang didapatkan adalah sebesar 0,357 pada tingkat kemaknaan 95%

sehingga korelasi kedua variabel dikatakan sebagai korelasi yang tidak

bermakna di Rumah Sakit Y.

Variabel serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain sama-

sama tidak memiliki korelasi yang bermakna di kedua rumah sakit.


68

BAB VI

PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini terdapat keterbatasan penelitian

dimana penelitian ini hanya menilai persepsi pelaporan kesalahan medis

sehingga belum bisa digunakan untuk menilai perilaku sebenarnya seluruh

tenaga kesehatan secara nyata terutama perilaku tenaga kesehatan dalam

melaporkan kesalahan medis yang terjadi.

Selain itu penelitian ini juga tidak membandingkan dua rumah sakit

yang sama klasifikasinya dimana Rumah Sakit X merupakan rumah sakit

umum kelas B sedangkan Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit khusus

kelas A. Sehingga ada kemungkinan kondisi yang berbeda di kedua rumah

sakit.

B. Gambaran Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis oleh Tenaga Kesehatan

Pelaporan digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi dalam

memperbaiki sistem pelayanan terutama dalam mencegah pengulangan

kesalahan medis yang sama (Wolf dan Hughes, 2005; Gulley, 2007).

Meskipun kesalahan medis tidak secara esensial membahayakan pasien

namun kesalahan medis dengan tingkat risiko yang tinggi dapat berujung

pada timbulnya kejadian tidak diharapkan atau jenis insiden keselamatan

lainnya (Ghazal dkk., 2014). Ada atau tidaknya efek negatif dari kesalahan

medis yang terjadi tidak mengalihkan fokus utama bahwa hal tersebut adalah
69

kesalahan medis. Karena pada dasarnya setiap pelaporan yang dibuat baik itu

menimbulkan bahaya atau baru berupa near miss menjadi upaya fundamental

untuk memperbaiki keselamatan di industri manapun (Wolf dan Hughes,

2005).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persepsi pelaporan

kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di Rumah Sakit X ataupun

Rumah Sakit Y berada pada kategori sedang (Beginta, 2012). Pelaporan dan

pengungkapan kesalahan medis sendiri masih tergolong baru di dalam dunia

kesehatan. Sebelumnya praktik pelayanan kesehatan oleh profesional tenaga

kesehatan akan menuntut tenaga kesehatan untuk diam atau membatasi

diskusi saat terjadi kesalahan medis. Tenaga kesehatan terutama dokter akan

dituntut untuk membicarakan masalah tersebut hanya pada pihak manajemen

rumah sakit atau pengacara mereka (Eaves-Leanos dan Dunn, 2012). Namun

kini pelaporan dan pengungkapan kesalahan medis dipandang sebagai upaya

fundamental dalam perbaikan sistem pemberian pelayanan kesehatan di

rumah sakit (Waters dkk., 2012). Lebih jauh lagi, apabila sistem pelaporan

dapat menerangkan tentang faktor manusia yang terlibat dalam proses

terjadinya kesalahan medis maka dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan re-

desain atau penyusunan ulang sistem dan proses keselamatan dan kesehatan

yang ada serta meningkatkan aspek keselamatan di rumah sakit tersebut

(Carayon dkk., 2014).

Berdasarkan observasi dan peninjauan dokumen di kedua rumah sakit,

sistem pelaporan di kedua rumah sakit sudah berjalan namun belum optimal
70

karena masih banyak kesalahan medis yang tidak terlaporkan. Hal ini terjadi

karena persepsi yang umumnya masih dianut oleh tenaga kesehatan bahwa

adanya laporan kesalahan medis akan membawa citra buruk kepada pelaku,

kolega dan juga unit tempatnya bekerja. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian kualitatif yang dilakukan Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen

(2014) yang dilakukan pada perawat di 3 kota di Norwegia. Ketika

melakukan pelaporan, hal yang ditakutkan perawat adalah adanya tekanan

dari teman sejawat. Mereka mengaku kesulitan untuk melaporkan kesalahan

medis yang terjadi baik yang ia lakukan maupun yang dilakukan teman

sejawatnya. Uribe dalam Espin dkk. (2007) juga menyatakan bahwa

ketakutan terhadap outcome negatif yang muncul menjadi salah satu

penghalang perawat dan dokter untuk melaporkan kesalahan medis yang

terjadi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Waters dkk. (2012) di salah satu

provinsi di Inggris mengemukakan bahwa perawat dan bidan selalu

menghubungkan antara pelaporan dengan risiko tuduhan malpraktik dan

proses pengadilan sehingga baik perawat maupun bidan memilih untuk tidak

melapor apabila terjadi kesalahan medis.

Tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y juga jarang

melaporkan kesalahan medis apabila kesalahan medis tidak sampai

menciderai pasien. Hal ini selaras dengan hasil penelitian kualitatif yang

dilakukan Espin dkk. (2010) pada perawat ICU dari 3 rumah sakit di Kanada

yang menyatakan bahwa perawat cenderung tidak melaporkan kesalahan

medis yang terjadi apabila pasien tidak mengalami cidera.


71

Terdapat banyak barrier pelaporan kesalahan medis oleh tenaga

kesehatan yang mengurangi persepsi positif tenaga kesehatan terhadap

pelaporan kesalahan medis. Espin dkk. (2007) menyatakan bahwa umumnya

barrier tersebut mencakup adanya penyalahan diri, kurangnya kerahasiaan,

kurangnya waktu untuk melakukan pelaporan serta feedback yang minim.

Sebelumnya Espin dkk. (2006) juga menyatakan bahwa tenaga kesehatan

juga masih jarang yang melaporkan kesalahan medis apabila itu bukan

merupakan daerah kewenangannya meskipun ia melihat sendiri kesalahan

medis yang terjadi. Dan pada kenyataannya berdasarkan wawancara yang

dilakukan dengan beberapa tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit,

barrier tersebut masih sangat banyak ditemukan dalam praktik sehari-hari di

kedua rumah sakit.

IOM dalam Wolf dan Hughes (2005) sendiri membedakan antara

pelaporan sukarela dan wajib pada praktik pelayanan kesehatan di rumah

sakit. Pelaporan kesalahan medis yang bersifat sukarela berlaku saat tenaga

kesehatan mengetahui bahwa telah terjadi kesalahan medis yang belum atau

tidak menimbulkan efek negatif. Sedangkan pelaporan yang bersifat wajib

berlaku ketika terjadi kejadian serius seperti kejadian sentinel atau kejadian

tidak diharapkan yang sampai mengakibatkan kematian atau cidera berat pada

pasien. Penerapan pelaporan sukarela yang diterapkan di rumah sakit

nantinya akan memberikan persepsi positif terhadap pelaporan dan

membiasakan seluruh tenaga kesehatan untuk sadar lapor saat terjadi kejadian

tidak diharapkan.
72

C. Gambaran Dimensi Budaya Keselamatan Pasien dan Korelasinya dengan

Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis

Budaya keselamatan merupakan salah satu bagian penting dari

keseluruhan budaya yang dianut dalam organisasi. Budaya keselamatan

adalah produk dari nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi

dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk, dan gaya serta

kecakapan dari manajemen keselamatan dan kesehatan organisasi (Advisory

Committee on the Safety of Nuclear Installations, 1993). Heni (2011)

menyatakan bahwa masih banyak industri yang memandang sebelah mata

aspek keselamatan di dalam ruang lingkupnya hanya demi kepentingan

efisiensi. Begitu pula yang terjadi di rumah sakit, untuk menyadarkan

manajemen akan pentingnya keselamatan kadang diperlukan satu kejadian

atau kesalahan medis yang menimbulkan outcome negatif terlebih dahulu.

Heni (2011) juga menyatakan bahwa untuk mencapai praktik

pelayanan kesehatan yang selamat baik bagi pekerja maupun pasien,

diperlukan budaya keselamatan yang kuat. Mengingat budaya keselamatan

erat kaitannya dengan sifat, sikap dan perilaku individu serta organisasi

terhadap pentingnya keselamatan maka upaya peningkatan budaya

keselamatan berarti juga upaya perbaikan sikap dan perilaku selamat. AHRQ

dalam Sorra dan Nieva (2004) sendiri mendefinisikan budaya keselamatan

pasien menjadi 10 dimensi berbeda pada tingkat unit dan rumah sakit untuk

nantinya dapat menjadi dimensi yang dapat diintervensi dalam rangka

perbaikan budaya keselamatan.


73

1. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer

Dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer adalah salah

satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang

menunjukkan bahwa manajer mempertimbangkan saran dari stafnya yang

bertujuan untuk perbaikan keselamatan pasien, menghargai stafnya ketika

mereka mengikuti prosedur keselamatan pasien dan tidak mengabaikan

masalah keselamatan pasien (Robb dan Seddon, 2010). Dalam dimensi ini

yang dimaksud sebagai manajer adalah atasan langsung dari tenaga kesehatan

baik secara fungsional maupun struktural di unit tempatnya bertugas.

Berdasarkan hasil penelitian, respon positif dari dimensi tindakan

promotif keselamatan oleh manajer di Rumah Sakit X adalah sebesar 76%

sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 65%. Dimensi ini terdiri dari 4

pertanyaan yang diwakili pada item B1, B2, B3 dan B4 dalam kuesioner

penelitian ini. Respon positif dimensi ini di Rumah Sakit X cenderung lebih

tinggi daripada di Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya sistem

yang lebih komprehensif yang berlaku di Rumah Sakit X.

Sistem komprehensif di Rumah Sakit X yang dimaksudkan disini

adalah karena memiliki safety officer pada tiap unit yang merupakan

representatif dari unit masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya proses

integrasi yang baik antara unit yang menangani keselamatan rumah sakit

dengan seluruh unit di rumah sakit. Sedangkan di Rumah Sakit Y, unit yang

bertanggungjawab terhadap masalah keselamatan pasien dipisahkan dengan

K3 rumah sakit. Sehingga koordinasi terkait keselamatan pasien dan


74

komitmen yang tercipta pada manajer di Rumah Sakit Y tidak sebaik di

Rumah Sakit X Jakarta Timur.

Keselamatan dan kepemimpinan sendiri berkorelasi sangat erat.

Seperti yang dinyatakan oleh Katz-Navon (2005) dalam WHO (2009) bahwa

ketika keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi

penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit tersebut.

Sherriff dan Rose (2011) lebih lanjut manyatakan bahwa apa yang dilakukan

oleh setiap organisasi bergantung pada kepemimpinan di organisasi tersebut.

Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi

tindakan promotif keselamatan oleh manajer berkorelasi dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Temuan

ini selaras dengan hasil penelitian pada tenaga kesehatan yang dilakukan oleh

Erler dkk. (2013) di Midwestern Amerika Serikat dan El-Jardali dkk. (2011)

di Libanon yang menyatakan bahwa ada korelasi signifikan antara dimensi

tindakan promotif keselamatan oleh manajer dengan persepsi pelaporan

kesalahan medis.

Hal tersebut juga selaras dengan hasil penelitian Winsvold Prang dan

Jelsness-Jørgensen (2014) yang dilakukan dengan responden perawat di 3

kota berbeda di negara bagian Østfold, Norwegia. Mereka menemukan bahwa

penyebab perawat cenderung tidak melaporkan kesalahan medis adalah

karena atasan yang tidak suportif terhadap keselamatan pasien. Atasan yang

tidak suportif terhadap keselamatan cenderung menyuruh informan untuk

berhati-hati dan selektif dalam melaporkan tiap kesalahan medis yang terjadi.
75

McFadden dkk. (2009) juga menyatakan bahwa ada korelasi antara

kepemimpinan dan budaya keselamatan dengan keselamatan pasien pada 371

rumah sakit di Amerika Serikat. Ballangrud dkk. (2012) juga menemukan

korelasi signifikan antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh

manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada perawat unit ICU

pada studi cross sectional yang dilakukan di 10 ICU dalam 6 rumah sakit di

Norwegia. Pelaporan kesalahan medis

Umumnya ahli Keselamatan Kerja di seluruh dunia menyatakan

bahwa pengembangan budaya keselamatan dimulai dari manajemen puncak

dan tim manajemen dalam organisasi. Dengan demikian safety leadership

sangat berperan sebagai kunci keberhasilan dalam membangun budaya

keselamatan yang kuat pada industry beresiko tinggi (Astuti, 2010). Heni

(2011) menyatakan bahwa komitmen manajer terhadap keselamatan

menentukan pembangunan budaya keselamatan bagi tiap bawahannya. Dan

komitmen pemimpin harus ditunjukkan dalam perkataan dan tindakan.

Pemimpin memiliki pengaruh dalam mengubah mindset tenaga kesehatan

baik cara pikir, sikap dan perilaku mereka dalam membangun budaya

keselamatan baik demi petugas ataupun pasien. Faktor keteladanan dalam

safety leadership sangat diutamakan dalam membangun budaya keselamatan

suatu organisasi. Manajer atau pemimpin dalam organisasi dapat memberi

contoh nilai-nilai keselamatan yang ditunjukkan dalam perilaku dan tindakan

serta etika kerja untuk meningkatkan keselamatan.


76

Astuti (2010) menegaskan kembali hal tersebut dengan menyatakan

bahwa tim manajemen dalam organisasi mempunyai kepemimpinan

keselamatan yang efektif dan mendemonstrasikan karakter khusus,

berkorelasi dengan perilaku yang spesifik, dan cenderung menciptakan

budaya organisasi yang tepat. Jika atasan melihat suatu pekerjaan dilakukan

tidak benar, maka manajemen harus segera turun mengoreksi kondisi tersebut

untuk melihatkan komitmen yang tinggi dan meyakinkan pada pekerja bahwa

tidak ada toleransi untuk suatu penyimpangan prosedur. Keselamatan harus

dipenuhi sepenuhnya dan tidak boleh kurang agar suatu kecelakaan bisa

dihindari.

Kita sering melihat kebijakan atau ucapan pimpinan bahwa

keselamatan adalah prioritas utama, kenyataan di lapangan kebijakan dan

ucapan pimpinan ini belum dilaksanakan. Pimpinan atau manajer perlu

mewujudkan prioritas pertama dalam keselamatan dengan cara:

a. Para manajer perlu memeriksa potensi permasalahan aspek

keselamatan, dengan menggunakan matrik resiko.

b. Menjadikan aspek keselamatan dibahas pertama dalam agenda

pertemuan dan jadikan keselamatan menjadi bagian dari bisnis.

c. Bila aspek keselamatan tidak dimasukkan dalam budget, maka

penyebabnya harus disampaikan secara terus terang

d. Bila ada konflik prioritas produktivitas dengan keselamatan maka

dulukanlah aspek keselamatan, pujilah pekerja yang telah

melaksanakan aspek keselamatan dengan baik di depan koleganya.


77

Manajer sering mendelegasikan tanggungjawab ke bawahannya.

sering menyalahkan korban dan bukan mengidentifikasi kegagalan sistem dan

akar permasalahan, tidak menanyakan isu-isu keselamatan, dan tidak senang

mendengarkan informasi buruk tentang penerapan keselamatan dan

menyalahkan si pembawa berita. Beberapa hal yang bisa ditingkatkan oleh

manajer untuk meningkatkan motivasinya adalah :

a. Kunjungi lapangan secara perorangan dan minta pekerja membantu

menunjukkan kondisi dan perilaku tidak aman.

b. Sampaikan apa yg dilakukan sebagai manajer untuk aspek keselamatan

dan mengapa hal ini dilakukan.

Pada akhirnya kemajuan dan penerapan safety leadership di setiap

rumah sakit sangat tergantung dari komitmen pihak top management dalam

menumbuhkembangkan budaya keselamatan di organisasinya masing-

masing.

2. Organizational learning – perbaikan berkelanjutan

Dimensi organizational learning – perbaikan berkelanjutan adalah

salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang

menunjukkan bahwa terdapat budaya 'belajar‘ dimana kesalahan medis yang

terjadi dapat memberikan perubahan positif bagi peningkatan keselamatan

pasien. Dimensi ini juga menunjukkan bahwa setiap perubahan yang

dilakukan akan evaluasi efektifitasnya (Robb dan Seddon, 2010).

Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi

organizational learning – perbaikan berkelanjutan di Rumah Sakit X adalah


78

sebesar 67% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 89%. Dimensi ini

terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item A6, A9 dan A13 dalam

kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah

Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan

karena petugas kesehatan di Rumah Sakit Y telah lebih akrab dengan

pelaporan kesalahan medis dan budaya keselamatan pasien. Rumah Sakit Y

juga telah rutin melakukan pengukuran budaya keselamatan pasien selama 6

tahun terakhir sehingga setiap tahun tiap dimensi budaya keselamatan pasien

dapat terkontrol perkembangannya. Dan berdasarkan wawancara dengan

beberapa informan di Rumah Sakit Y didapatkan bahwa meskipun tenaga

kesehatan masih merasa adanya penyalahan individu, tetapi mereka sadar

bahwa itulah kesempatan mereka untuk mengetahui apa yang salah sehingga

menyebabkan kesalahan medis agar kesalahan tersebut dapat ditanggulangi

dan tidak terjadi lagi.

Hasil observasi di kedua rumah sakit selama pengumpulan data juga

menunjukkan bahwa kedua rumah sakit merupakan organisasi pembelajar

yang cukup baik. Tenaga kesehatan sudah mulai terbiasa untuk melakukan

diskusi untuk meningkatkan keselamatan baik dengan personil di unitnya

ataupun dengan personil lintas unit seperti unit K3 ataupun Komite Mutu di

Rumah Sakit Y ataupun Manrisk di Rumah Sakit X.

Saat terjadi kesalahan, tenaga medis juga secara aktif menjadikannya

sebagai bahan diskusi untuk evaluasi kinerja keselamatan guna menemukan

pemecahan masalahnya. Oleh karena itulah pengetahuan tenaga kesehatan


79

selalu berkembang seiring dengan banyaknya pengalaman yang didapatkan

selama bertugas di kedua rumah sakit.

Berdasarkan uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi

organizational learning-perbaikan berkelanjutan di Rumah Sakit X memiliki

korelasi yang bermakna dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada

tenaga kesehatan. Hali ini selaras dengan hasil penelitian Waters dkk. (2012)

yang dilakukan pada perawat dan bidan di 3 unit persalinan di provinsi

British Columbia. Pelaporan kesalahan medis merupakan kesempatan untuk

belajar bagi perawat yang terlibat atau anggota staf lainnya. Adanya

kesempatan untuk belajar memberikan motivasi bagi perawat dan bidan untuk

melaporkan kesalahan yang terjadi. Insiden keselamatan pasien yang

disebabkan oleh kesalahan medis memberikan kesempatan bagi perawat dan

bidan untuk mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi hingga terjadi

kesalahan medis. El-Jardali dkk. (2011) juga menyatakan bahwa dimensi

organizational learning-perbaikan berkelajutan berkorelasi dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis.

Pelaporan kesalahan pada level sistem dan bersifat wajib akan

menciptakan kesempatan untuk belajar yang lebih baik dibandingkan

pelaporan yang bersifat sukarela (Espin dkk., 2007). Organizational learning

sendiri merupakan kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta

mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi kesehatan (Kreitner dan

Kinicki, 2007). Adanya proses organizational learning berfungsi untuk

menambah, mengubah atau mengurangi pengetahuan organisasi (Schulz,


80

2001). Menurut Cyet dan March dalam Schulz (2001) organisasi akan belajar

saat terjadi ‗masalah‘. Pada saat mengalami masalah, organisasi akan mencari

penyelesaian masalah, mengadopsi solusi yang baik dan mempertahankan

solusi terbaik untuk nantinya digunakan di masa yang akan datang.

Schulz (2001) merangkum sumber pembelajaran organisasi dapat

berasal dari berbagai sumber termasuk diantaranya adalah pengalaman masa

lalu, pengalaman organisasi lain, proses berpikir, rekombinasi pengetahuan,

proses kehilangan, dan eksperimen. Sebagian besar dari sumber tersebut

mempunyai 2 peran yakni sebagai pencetus proses belajar (misal pencarian

solusi masalah yang terjadi) atau memberikan input pembelajaran (misal

pengalaman atau ide) bagi rumah sakit.

Heni (2011) menyatakan bahwa pengetahuan atau pengalaman tentang

keselamatan dapat berupa explicit knowledge ataupun tacit knowledge.

Explicit knowledge merupakan pengetahuan yang didapatkan petugas

kesehatan melalui lembaga pendidikan formal atau non formal seperti

pelatihan atau kursus. Sedangkan tacit knowledge adalah pengetahuan yang

didapatkan melalui pengalaman yang diresapi sendiri.

Pengetahuan petugas kesehatan di rumah sakit terkait keselamatan

yang didapatkan dari tiap pelatihan yang dihadiri haruslah terlebih dahulu

dipahami, dimengerti dan dilakukan agar dapat menjadi modal awal

pembelajaran mandiri dan aktif dari petugas yang bertugas di unit terkait. Dan

dalam rangka meningkatkan pengetahuan tersebut maka pengetahuan yang

patut diketahui petugas kesehatan bukan hanya terkait hal-hal di bidang


81

keselamatan tetapi juga perlu mengetahui aspek perilaku manusia, safety

leadership serta materi lainnya.

Berdasarkan Tecdoc IAEA No. 1329 yang dikutip oleh Barenzani

(2009) diketahui juga bahwa learning organization sendiri merupakan salah

satu ciri pengembangan budaya keselamatan tingkat akhir. Pada tahap ini

organisasi yang menerapkan sudah menerapkan gagasan terus menerus untuk

meningkatkan performa keselamatan. Manajemen organisasi yang sudah pada

tahap ini tercermin dengan adanya penekanan kuat pada komunikasi,

pelatihan, gaya kepemimpinan, dan meningkatkan efisiensi & efektifitas

sumber daya dalam organisasi.

3. Kerjasama dalam unit rumah sakit

Dimensi kerjasama dalam unit adalah salah satu dimensi budaya

keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya dukungan

yang diberikan staf satu sama lain. Dimensi ini juga menunjukkan adanya

sikap saling menghargai antar staf dan staf yang dapat saling bekerjasama

sebagai sebuah tim (Robb dan Seddon, 2010).

Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi kerjasama

dalam unit di Rumah Sakit X adalah sebesar 71% sedangkan di Rumah Sakit

Y adalah sebesar 81%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili

pada item A1, A3, A4 dan A11 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif

dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y cenderung

tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh karena setiap petugas di dalam unit

tersebut saling mendukung satu sama lain, bekerja sebagai tim apabila banyak
82

hal yang harus diselesaikan dan menghargai satu sama lain. Selain itu atasan

mereka juga menciptakan suasana yang baik dan memotivasi tenaga

kesehatan untuk membicarakan masalah yang terjadi dalam unit mereka.

Hasil uji statistik yang dilakukan juga menunjukkan bahwa ada

korelasi signifikan antara kerjasama dalam unit rumah sakit dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X. Hal ini selaras dengan

penelitian Erler dkk. (2013) yang menemukan bahwa kerjasama dalam tim

memiliki korelasi yang bermakna dengan persepsi pelaporan kesalahan

medis. Hal yang sama juga ditemukan oleh El-Jardali dkk. (2011) pada

penelitiannya di Libanon.

Namun hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan antara

kerjasama dalam unit dengan persepsi pelaporan kesalahan medis di Rumah

Sakit Y. Kerjasama yang ada di dalam unit tidak dapat dijadikan faktor

pendukung terciptanya persepsi positif tenaga kesehatan terhadap pelaporan

kesalahan medis yang ada. Kondisi ini dapat disebabkan perbedaan persepsi

tenaga kesehatan tentang kerjasama dalam unit di Rumah Sakit X dan Rumah

Sakit Y. Tenaga kesehatan di masing-masing unit Rumah Sakit Y cenderung

lebih beragam daripada di Rumah Sakit X. Keberagaman yang dimaksud

disini contohnya adalah pada tiap-tiap unit perawatan selalu ada petugas

farmasi yang bertugas untuk menyediakan kebutuhan obat-obatan pasien

sehingga dalam satu unit perawatan tidak hanya terdapat perawat dan petugas

administrasi saja. Hal ini berbeda dengan penerapan pembagian tugas di

Rumah Sakit X dimana pemberian obat di unit perawatan Rumah Sakit X


83

dilakukan oleh perawat dan tidak ada petugas farmasi yang ditugaskan di unit

perawatan.

Schaefer dkk. dalam WHO (2009) yang menyatakan bahwa 70-80%

kesalahan medis yang terjadi merupakan akibat buruknya komunikasi dan

pengertian dalam tim. Dalam penelitian kualitatif yang dilakukan Chakravarty

(2013) juga menyatakan bahwa mayoritas dokter dan perawat setuju bahwa

kerjasama yang baik dalam tim akan memberikan pengaruh yang baik

terhadap kinerja keselamatan unit kerjanya.

Kerjasama dalam unit menunjukkan sejauh mana anggota unit tersebut

dapat bekerjasama dalam tim. Kerjasama merupakan aspek penting dalam

tiap rumah sakit karena banyak pekerjaan yang melibatkan banyak orang

dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga berlaku di rumah sakit dimana

hampir semua pelayanan kesehatan yang diberikan melibatkan tenaga

kesehatan dalam kelompok interdisiplin (World Health Organization, 2009).

Perbedaan disiplin ilmu dari setiap anggota tim dapat berpengaruh terhadap

persepsi kerjasama yang berlaku di dalam tim tersebut (Erler dkk., 2013).

Kerjasama tim dalam rumah sakit merupakan aspek krusial yang harus

dikembangkan untuk memastikan keselamatan pasien.

Anggota tim yang bekerja dalam tiap fungsi di rumah sakit mungkin

merupakan ahli yang sangat berpengalaman di bidangnya namun mereka

tidak terlatih secara khusus untuk bekerja dalam sebuah tim (Beuzekom dkk.,

2010). Maka dari itu diperlukan satu sesi khusus bagi tiap rumah sakit untuk

mengembangkan kinerja tim di masing-masing rumah sakit untuk


84

mempertahankan dan memperbaiki kinerja tim. DiTullio (2010) menyatakan

bahwa ketika ada rasa tidak dihargai dalam suatu tim maka mereka memiliki

hak untuk bertindak sesuai yang diperlukan. Tidak ada tim yang sempurna

namun ketika ada hal yang tidak berjalan sesuai keinginan maka anggota tim

harus dapat menggunakan kemampuan komunikasi yang dimilikinya untuk

memecahkan situasi tersebut.

4. Keterbukaan komunikasi

Dimensi keterbukaan komunikasi adalah salah satu dimensi budaya

keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya kebebasan

staf untuk berbicara tentang hal yang berpotensial menciderai pasien dan

bebas untuk mempertanyakan hal-hal tersebut kepada atasan mereka (Robb

dan Seddon, 2010).

Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi

keterbukaan komunikasi di Rumah Sakit X adalah sebesar 62% sedangkan di

Rumah Sakit Y adalah sebesar 82%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan

yang diwakili pada item C2, C4 dan C6 dalam kuesioner penelitian ini.

Respon positif dimensi ini cenderung cukup tinggi. Selama observasi di

kedua rumah sakit peneliti menemukan bahwa komunikasi antar tenaga

kesehatan sudah cukup baik dan tiap tenaga kesehatan dapat menyuarakan

pendapatnya secara bebas ketika melihat sesuatu yang menyimpang dari

standar, mempertanyakan keputusan yang diambil oleh atasan. Tenaga

kesehatan juga tidak merasa takut untuk bertanya jika ada suatu hal yang
85

tidak benar sedang terjadi dan hal tersebut berkaitan dengan keselamatan

pasien.

Namun respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X

cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Keterbukaan komunikasi di RS

Y yang cenderung lebih tinggi daripada di Rumah Sakit X dapat disebabkan

oleh karena mulainya pemberlakukan budaya keselamatan dimana seluruh

staf Rumah Sakit Y diwajibkan untuk mulai berkomunikasi dengan santun

kepada semua pihak dan berkomukasi dengan terbuka. Komitmen manajemen

untuk membentuk budaya tersebut serta seluruh program yang dibentuk guna

mewujudkannya menjadi faktor pendukung terciptanya lingkungan dengan

komunikasi terbuka demi mendukung perbaikan keselamatan di Rumah Sakit

Y.

Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi

keterbukaan komunikasi memiliki korelasi yang bermakna dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan

Rumah Sakit Y. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Erler dkk.

(2013) pada 76 personil critical care transport program di Midwestern,

Amerika Serikat dimana mereka menyatakan bahwa ada korelasi yang

signifikan antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi pelaporan

kesalahan medis. El-Jardali dkk. (2011) juga menyatakan hal yang sama

dalam penelitiannya pada 68 rumah sakit di Libanon.

Dalam rangka meningkatkan budaya keselamatan pasien yang lebih

positif, maka komunikasi antar tenaga kesehatan haruslah lebih suportif dan
86

terbuka serta bebas dari penyalahan individu (Ross, 2011). Keterbukaan

komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi efektif yang menyeluruh

mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait keselamatan pasien pada saat serah

terima maupun pada saat briefing (Hamdani, 2007). Menurut The Joint

Commission dalam White dan Gallagher (2013) kegagalan komunikasi adalah

faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan medis di rumah sakit

karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi kesalahan medis atau kondisi

potensial kesalahan medis di rumah sakit yang sebelumnya dihadapi oleh

rekan sejawat dalam timnya.

Komunikasi antar petugas akan lebih baik dan terbuka jika terdapat

standarisasi komunikasi mengenai hal-hal apa yang wajib dikomunikasikan

kepada rekan sejawatnya. Dengan begitu maka tenaga kesehatan akan

terbiasa menyampaikan apa yang harus disampaikan dan tidak ada informasi

yang terlewat. Beberapa penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa

kurangnya komunikasi menyebabkan timbulnya kesalahan medis yang

berujung pada kejadian tidak diharapkan (Chakravarty, 2013; Erler dkk.,

2013; Waters dkk., 2012). White (2013) juga menyatakan bahwa kegagalan

komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan

kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan kerja di

rumah sakit.

Sebagian besar tenaga kesehatan mengakui bahwa komunikasi adalah

faktor terpenting yang paling diperlukan untuk mencapai peningkatan

keselamatan dan efisiensi (Chakravarty, 2013; Bognár dkk., 2008). Oleh


87

karena itu prinsip komunikasi terbuka harus diterapkan pada setiap

komunikasi yang dilakukan termasuk komunikasi dengan pasien dan

keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien

berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan medis.

Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh

komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya keselamatan,

dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan (The

Comission of Patient Safety and Quality Assurance of Irlandia, 2008).

Pendidikan terkait keterbukaan komunikasi dan kemampuan

komunikasi interpersonal bagi tenaga kesehatan sejak mereka masih berada

dibangku pendidikan sangat dibutuhkan dalam membangun dimensi ini.

Karena kemampuan komunikasi didapatkan dengan proses yang cukup lama

dan tidak instan. The Accreditation Council for Graduate Medical Education

sendiri sebagai institusi akreditasi pendidikan kedokteran mewajibkan para

calon dokter untuk membangun dan mengembangkan kemampuan

komunikasi dan interpersonal. Hal ini dilakukan karena tidak semua resident

memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan topik sensitif seperti

terjadinya kesalahan medis terkadang menjadi stressor yang sangat

memberikan efek psikologis bagi para dokter (Raper dkk., 2014).

5. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi

Dimensi umpan balik dan komunikasi tenatang kesalahan medis yang

terjadi adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan

AHRQ yang menunjukkan bahwa staf diinformasikan setiap kesalahan yang


88

terjadi dalam rumah sakit, diberikan umpan balik terkait perubahan yang

dilakukan untuk mencegah terulangnya kesalahan tersebut dan bagaimana

mereka mendiskusikan kesalahan medis yang terjadi serta cara untuk

mencegahnya (Robb dan Seddon, 2010).

Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi umpan

balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi di Rumah Sakit X

adalah sebesar 65% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 91%.

Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item C1, C3 dan C5

dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di

Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Hal ini bisa

disebabkan oleh adanya kemudahan komunikasi dan kordinasi secara ‗trickle

down‘ di Rumah Sakit Y karena semua hal yang berkaitan dengan

keselamatan pasien ditangani langsung oleh Komite Mutu yang secara

struktural maupun fungsional lebih tinggi dari unit lain sehingga komunikasi

‗trickle down‘ akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Selain itu Unit

Komite Mutu di RS Y lebih dapat mengkoordinasikan unit lain karena

terdapat petugas-petugas yang paling senior dan seluruh petugas yang bekerja

di Rumah Sakit Y mengetahui bahwa unit inilah yang bertugas dalam proses

akreditasi maupun optimalisasi pelayanan di Rumah Sakit Y.

Berdasarkan uji statistik yang dilakukan juga diketahui bahwa dimensi

umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi memiliki

korelasi yang bermakna baik di Rumah Sakit X maupun di Rumah Sakit Y.

Hal ini selaras dengan temuan El-Jardali dkk. (2011) bahwa dimensi umpan
89

balik dan komunikasi tentang kesalahan yang terjadi berkorelasi signifikan

dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada tenaga kesehatan di

Libanon. Selain itu hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Winsvold Prang

dan Jelsness-Jørgensen (2014) di Norwegia juga menyatakan bahwa ada

korelasi antara umpan balik dengan pelaporan kesalahan medis. Dalam

penelitian mereka, perawat merasa enggan melaporkan karena mereka pikir

hal itu sama sekali tidak ada gunanya ketika tidak ada umpan balik apapun

dan hal itu tidak didiskusikan lebih lanjut. Sulit untuk menentukan apakah

ada peningkatan keselamatan saat tidak ada umpan balik yang adekuat bagi

perawat.

Hal yang sama juga diutarakan Lederman dkk. (2013) dalam

penelitiannya di 2 rumah sakit di Australia. Mereka menemukan bahwa

perawat dan dokter seringkali tidak melaporkan kesalahan medis yang terjadi

akibat ketiadaan umpan balik yang mereka dapatkan dari kegiatan pelaporan

yang telah mereka lakukan. Ketika tenaga kesehatan telah meluangkan

waktunya untuk melakukan pelaporan disaat mereka seharusnya bisa

melakukan kegiatan lain, tenaga kesehatan menginginkan adanya outcome

positif.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tenaga kesehatan di kedua

rumah sakit juga diketahui bahwa mereka lebih merasa termotivasi untuk

melakukan pelaporan ketika ada feedback yang cukup dan dikhususkan pada

mereka selaku pelapor. Tenaga kesehatan di kedua rumah sakit

mengungkapkan bahwa rumah sakit telah memberikan feedback yang baik


90

terkait semua laporan yang mereka lakukan, hanya saja mereka menyatakan

bahwa akan lebih baik jika feedback yang sebelumnya hanya bersifat general

kepada setiap unit baik yang melapor atau tidak maka ditambah. Unit mereka

selaku unit yang melapor sebaiknya diberikan feedback yang lebih

dibandingkan unit lain yang tidak melapor sebagai wujud apresiasi

manajemen terhadap pelaporan yang telah diberikan.

Ketiadaan atau minimnya umpan balik terkait kesalahan medis yang

terjadi juga merupakan salah satu kegagalan komunikasi. Ginen menyatakan

bahwa umpan balik merupakan aspek terpenting dan kritis dalam komunikasi

baik ketika menerima ataupun memberikan umpan balik. Umpan balik yang

efektif memberikan outcome positif bagi pemberi, penerima dan juga

organisasinya. Ketika individu berbicara maka dia perlu mendapatkan 2 hal

dasar dalam komunikasi tersebut yakni mereka perlu paham bahwa mereka

dimengerti dan apa yang mereka katakan adalah sesuatu yang bernilai.

Umpan balik yang positif juga merupakan kesempatan untuk memberikan

penghargaan dan motivasi bagi orang tersebut. Umpan balik juga merupakan

kesempatan untuk belajar dari hal sebelumnya yang dikomunikasikan (Ginen,

2014).

6. Respon yang tidak menyalahkan

Dimensi respon yang tidak menyalahkan adalah salah satu dimensi

budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya

persepsi bahwa kesalahan medis yang terjadi tidak digunakan untuk


91

menyalahkan mereka dan kesalahan tersebut juga tidak dijadikan catatan

khusus tentang pribadi mereka (Robb dan Seddon, 2010).

Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi respon

yang tidak menyalahkan di Rumah Sakit X adalah sebesar 67% sedangkan di

Rumah Sakit Y adalah sebesar 52%. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan

yang diwakili pada item A8, A12 dan A16 dalam kuesioner penelitian ini.

Respon positif yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih tinggi dari

Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan oleh berlakunya budaya yang tidak

menyalahkan karena terdapat nilai-nilai keislaman yang bebas dari

penyalahan diri tenaga medis di Rumah Sakit X. Dalam nilai keislaman yang

dianut oleh seluruh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X, setiap orang yang

melapor tidak dapat disalahkan karena laporan yang mereka lakukan karena

laporan itu dibuat sesuai denga kondisi yang berlaku. Mereka dapat dengan

lebih baik berbicara mengenai kesalahan yang terjadi. Aspek kejujuran dan

keterbukaan komunikasi disini memegang peran penting bagi tingginya

respon positif di Rumah Sakit X.

Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi respon

yang tidak menyalahkan berkorelasi signifikan pada kedua rumah sakit baik

Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y. Hal ini selaras dengan hasil

penelitian El-Jardali dkk. (2011) di 68 rumah sakit Libanon dan Beginta

(2012) pada perawat ruang inap RSUD Bekasi. Respon yang tidak

menyalahkan baik dari manajemen maupun rekan sejawat atas pelaporan

kesalahan medis yang terjadi dibutuhkan untuk dapat mendukung adanya


92

budaya pelaporan kesalahan medis yang efektif. Karena hingga saaat ini

ketakutan akan adanya penyalahan individu yang melakukan pelaporan

masihlah menjadi faktor penghambat pelaporan kesalahan medis di rumah

sakit.

Setiap orang membuat kesalahan dan apa yang dilakukan terhadap

kesalahan adalah hal yang paling penting. Pada saat terjadi kesalahan

dibutuhkan atasan yang suportif. Atasan yang suportif terhadap keselamatan

akan melihat kesalahan medis yang terjadi sebagai kesempatan untuk

memperbaiki keselamatan. Dan untuk melakukan hal ini diperlukan

kepercayaan yang baik antara tenaga kesehatan dan tiap tenaga kesehatan

sebelumnya harus tahu bahwa atasan mereka akan mendukung mereka

(DiTullio, 2010). Dengan demikian lingkungan yang tidak menyalahkan juga

sangat diperlukan untuk mendukung pelaporan kesalahan medis.

Pembentukan persepsi positif terhadap pelaporan kesalahan medis

memerlukan komunikasi yang baik dan lingkungan yang tidak menyalahkan

(Ross, 2011). Karena lingkungan yang menyalahkan dapat berpotensi

menimbulkan under-reporting dalam pelaporan kesalahan medis (Kachalia

dan Bates, 2014).

Lingkungan dengan respon yang tidak menyalahkan tersebut dapat

dibangun dengan melakukan pendekatan sistem dimana tenaga medis

melaporkan kesalahan medis dengan berfokus pada outcome yang dihasilkan

pada kesalahan medis tersebut dan tidak berfokus pada siapa yang

melakukannya (Kachalia dan Bates, 2014). Lingkungan yang tidak


93

menyalahkan juga diperlukan untuk memberikan pembelajaran bagi perawat

dan tenaga kesehatan lainnya dari kesalahan medis yang terjadi (Ross, 2011).

7. Penyusunan staf

Dimensi penyusunan staf adalah salah satu dimensi budaya

keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya persepsi

staf bahwa tenaga kerja di rumah sakit cukup untuk menangani semua beban

kerja yang ada dan jam kerja yang ditentukan manajemen sudah cukup untuk

memberikan pelayanan terbaik bagi pasien (Robb dan Seddon, 2010).

Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi penyusunan

staf di Rumah Sakit X adalah sebesar 61% sedangkan di Rumah Sakit Y

adalah sebesar 52%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili pada

item A2, A5, A7 dan A14 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif

dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari

Rumah Sakit Y.

Respon positif yang lebih rendah di Rumah Sakit Y bisa disebabkan

oleh adanya kompleksitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi dan beragam

dengan jumlah pasien yang lebih banyak di Rumah Sakit Y mengingat

Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit rujukan tertinggi sekaligus pusat

kanker nasional. Hal-hal tersebut dapat menjadikan respon negatif dimensi ini

meningkat yang otomatis mengurangi respon positif dimensi ini.

Penyusunan staf yang adekuat merupakan aspek fundamental dalam

proses pemberian pelayanan kesehatan pada tiap organisasi kesehatan.

Petugas kesehatan seringkali hanya berfungsi sebagai lapisan pertahanan


94

terakhir untuk mencegah kesalahan medis tidak terjadi. Kelebihan beban

kerja akibat kurangnya petugas serta kemampuan yang tidak cukup

merupakan ancaman besar bagi keselamatan baik petugas maupun pasien di

rumah sakit (Beuzekom dkk., 2010). Hal ini ditegaskan oleh Aiken dkk.

dalam Beginta (2012) yang menyatakan bahwa kesesuaian jumlah tenaga

kesehatan dengan beban kerja atau kebutuhan di tiap unit akan berpengaruh

terhadap kinerja tenaga kesehatan dalam meningkatkan keselamatan pasien.

Berdasarkan hasil uji statistik yang juga dilakukan diketahui bahwa

terdapat dimensi penyusunan staf tidak berkorelasi signifikan dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan

Rumah Sakit Y. Hal ini tidak selaras dengan penelitian-penelitian terdahulu

yang menyatakan bahwa dimensi penyusunan staf berkorelasi dengan

persepsi pelaporan kesalahan medis (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk.,

2013).

Hal ini bisa disebabkan oleh karena adanya variabel lain yang

mempengaruhi korelasi antara penyusunan staf dengan persepsi pelaporan

kesalahan medis pada tenaga kesehatan. Ketika tenaga kesehatan mengalami

beban kerja yang tinggi maka masih dapat tercipta persepsi positif terhadap

pelaporan karena banyaknya adanya hal lain yang mempengaruhi seperti

kepemimpinan keselamatan dalam unit rumah sakit.

Kepemimpinan manajer tiap unit di masing-masing rumah sakit

sebetulnya memegang peran penting bagi pembentukan persepsi positif

tenaga kesehatan terhadap pelaporan kesalahan medis. Kepemimpinan


95

keselamatan yang adekuat di rumah sakit berfungsi sebagai rolemodel yang

efektif dalam menciptakan persepsi tenaga kesehatan yang berada dalam

tanggung jawabnya. Manajer dapat memotivasi tenaga kesehatan untuk

melapor dan meyakinkan tenaga kesehatan bahwa hal itu sangat bermanfaat

bagi rumah sakit dan tidak akan merugikan dirinya sendiri selaku pelapor.

8. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien

Dimensi dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien

adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ

yang menunjukkan adanya suasana kerja yang dibentuk oleh manajemen

untuk mendukung keselamatan pasien di rumah sakit tersebut. Dimensi ini

juga menunjukkan persepsi tenaga kesehatan bahwa keselamatan merupakan

prioritas tertinggi di rumah sakit (Robb dan Seddon, 2010).

Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi dukungan

manajemen terhadap upaya keselamatan di Rumah Sakit X adalah sebesar

71% sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 83%. Dimensi ini terdiri

dari 3 pertanyaan yang diwakili pada item F1, F8 dan F9 dalam kuesioner

penelitian ini. Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X

cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y.

Tingginya respon positif yang didapatkan di Rumah Sakit Y dapat

terjadi karena manajemen sudah mengawasi budaya keselamatan pasien pada

seluruh staf berkat pelaksanaan survey budaya keselamatan pasien yang

dilaksanakan setiap tahun sekali. Sejak tahun 2007 Rumah Sakit Y telah

melakukan survey rutin budaya keselamatan pasien setiap bulan September.


96

Manajemen Rumah Sakit Y telah menyadari pentingnya budaya keselamatan

dan melakukan pengukuran tiap tahunnya untuk mengetahui perkembangan

budaya keselamatan di dalam rumah sakit. Hal ini menunjukkan adanya

perhatian khusus manajemen terhadap budaya keselamatan pasien di dalam

rumah sakit. Tim khusus budaya keselamatan pasien juga dibentuk untuk

mendukung kinerja Komite Mutu dalam mengawasi dan meningkatkan

budaya keselamatan pasien yang berlaku di dalam ruang lingkup Rumah

Sakit Y termasuk seluruh pekerja baik pekerja tetap, pekerja tidak tetap

maupun pekerja outsourcing.

Berdasarkan hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa dimensi

penyusunan staf tidak berkorelasi signifikan dengan persepsi pelaporan

kesalahan medis. Hal ini tidak selaras dengan hasil penelitian-penelitian

terdahulu (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk., 2013). Hal ini dapat terjadi

karena masih terdapat variabel lain yang berkorelasi dengan persepsi

pelaporan kesalahan medis oeh tenaga kesehatan.

Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan dapat dilihat

dengan ada atau tidaknya sistem keselamatan pasien di dalam rumah sakit

tersebut. Sistem keselamatan pasien sendiri dapat mendukung terciptanya

iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien di rumah sakit. Dukungan

manajemen juga dapat dilihat dari kebijakan manajemen rumah sakit yang

menunjukkan bahwa keselamatan pasien dijadikan prioritas di rumah sakit

tersebut (Rosyada, 2014).


97

9. Kerjasama antar unit di rumah sakit

Dimensi kerjasama antar unit di rumah sakit adalah salah satu dimensi

budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya

kordinasi yang baik antar unit-unit di dalam rumah sakit dalam memberikan

pelayanan kesehatan kepada pasien (Robb dan Seddon, 2010).

Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi kerjasama

antar unit di Rumah Sakit X adalah sebesar 61% sedangkan di Rumah Sakit

Y adalah sebesar 76%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili

pada item F2, F4, F6 dan F10 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif

dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari

Rumah Sakit Y.

Respon positif yang tinggi di Rumah Sakit Y dapat disebabkan karena

Rumah Sakit Y telah memiliki sistem budaya keselamatan pasien yang telah

terorganisir sejak lama dan membuat tenaga kesehatan di Rumah Sakit Y

lebih sadar terhadap pentingnya budaya keselamatan dalam pemberian

pelayanan kesehatan kepada pasien. Team building dan capacity building

yang dilakukan juga amat membantu dalam membentuk hubungan kerjasama

maupun komunikasi yang baik pada tenaga kesehatan yang bekerja pada unit

berlainan. Selain itu koordinasi setiap unit dalam memberikan pelayanan

kesehatan juga lebih mudah

Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi

signifikan antara dimensi kerjasama antar unit dengan persepsi pelaporan

kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di Rumah Sakit X maupun


98

Rumah Sakit Y. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian terdahulu yang telah

dilakukan sebelumnya (El-Jardali dkk., 2011; Agnew dkk., 2013). Hal ini

dapat disebabkan karena kerjasama antar unit tidak terlalu berkorelasi dengan

persepsi pelaporan kesalahan medis pada kedua rumah sakit. Perlu dilakukan

observasi mendalam lebih lanjut agar diketahui variabel lain yang

berpengaruh terhadap persepsi pelaporan kesalahan medis di kedua rumah

sakit baik di Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y.

10. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain

Dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain adalah

salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang

menunjukkan bahwa informasi penting terkait pasien dapat ditransfer antar

unit dan antar shift (Robb dan Seddon, 2010).

Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi

keterbukaan komunikasi di Rumah Sakit X adalah sebesar 62% sedangkan di

Rumah Sakit Y adalah sebesar 68%. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan

yang diwakili pada item F3, F5, F7 dan F11 dalam kuesioner penelitian ini.

Respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih

rendah dari Rumah Sakit Y. Hal ini dapat terjadi karena respon positif yang

didapatkan baik pada dimensi kerjasama dalam unit ataupun antar unit pada

Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari respon positif yang didapatkan di

Rumah Sakit Y.

Transisi sendiri diartikan sebagai peralihan dari keadaan (tempat,

tindakan dan sebagainya) kepada keadaan yang lain (Setiawan, 2014). Respon
99

positif yang tidak terlalu tinggi di kedua rumah sakit menunjukkan adanya

proses serah terima maupun transisi pasien yang kurang optimal. Dalam

ruang lingkup keselamatan pasien rumah sakit, transisi dapat diartikan

sebagai peralihan pemberian pelayanana kesehatan oleh satu unit menjadi

oleh unit lainnya. Kegiatan serah terima dan transisi pasien merupakan dua

jenis kegiatan yang sangat rawan menghasilkan kesalahan medis karena

adanya informasi yang terlewat dan tidak tersampaikan pada rekan sejawat

yang bertugas selanjutnya. Selain informasi yang tidak tersampaikan, pada

kegiatan ini juga rentan terjadi kesalahan medis seperti terjatuhnya pasien

saat pemindahan pasien.

Dalam rangka mengurangi proses komunikasi yang tidak adekuat

untuk meneruskan informasi lintas unit dan lintas shift terutama informasi

yang terkait keselamatan maka diperlukan satu media atau kegiatan khusus.

Pada bidang industri lainnya, terdapat satu sesi khusus di awal kerja yang

disebut safety briefing dimana manajer akan membicarakan mengenai isu

keselamatan yang terjadi hari itu dan menanyakan kembali kepada pekerja

untuk mengetahui respon mereka terhadap isu tersebut. Dalam diskusi

tersebut, seluruh informasi terkait keselamatan akan tergali sehingga tidak

akan ada informasi yang terlewat atau tidak tersampaikan. Hal ini juga dapat

dilakukan di rumah sakit guna mengoptimalkan komunikasi terkait

keselamatan dalam rumah sakit baik yang terjadi dalam unit mereka ataupun

yang terjadi di unit lain.


100

Berdasarkan hasil uji statistik yang juga dilaksanakan diketahui bahwa

dimensi serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain tidak berkorelasi

dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan baik di

Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y. Hal ini bertentangan dengan dengan

penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya (El-Jardali dkk., 2011;

Agnew dkk., 2013). Hal ini menun\jukkan bahwa terdapat kemungkinan

adanya variabel lain yang mempengaruhi korelasi keduanya dan erlu

dilakukan observasi mendalam lebih lanjut agar diketahui variabel lain yang

berpengaruh terhadap persepsi pelaporan kesalahan medis di kedua rumah

sakit baik di Rumah Sakit X maupun Rumah Sakit Y.

Kebutuhan pelayanan kesehatan dalam 24 jam tanpa henti menjadikan

tenaga kesehatan bekerja dalam pengelompokkan jam kerja yang di rumah

sakit. Pengelompokkan jam kerja ini membuat perlunya ada kegiatan transisi

dan serah terima pemberian pelayanan kesehatan pasien individual kepada

tim berikutnya. Transisi dan serah terima yang dialami pasien bergantung

pada kebutuhan pasien. Transisi dan serah terima membutuhkan komunikasi

yang adekuat dan efektif. Kewenangan, kewajiban, dan informasi ditransfer

melalui proses co-construction dimana pihak yang memberi dan menerima

berpartisipasi secara aktif (Behara dkk., 2005).


101

BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas sebelumnya maka

kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

1. Dimensi budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit X bervariasi dengan

budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit Y. Dimensi budaya

keselamatan pasien dengan respon positif terendah adalah dimensi

penyusunan staf dan kerjasama antar unit di Rumah Sakit X dan dimensi

respon yang tidak menyalahkan dan penyusunan staf di Rumah Sakit Y.

Dimensi budaya keselamatan pasien dengan respon positif tertinggi

adalah tindakan promotif keselamatan oleh manajer di Rumah Sakit X

dan umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi di

Rumah Sakit Y.

2. Persepsi positif pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan masih

rendah di kedua rumah sakit yakni kurang dari 50%.

3. Terdapat 6 dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang

berkorelasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis oleh tenaga

kesehatan di Rumah Sakit X yakni dimensi tindakan promotif

keselamatan oleh manajer, dimensi organizational learning-perbaikan

berkelanjutan, dimensi kerjasama dalam unit, dimensi keterbukaan

komunikasi, dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan


102

medis yang terjadi serta dimensi respon yang tidak menyalahkan.

Sedangkan di Rumah Sakit Y terdapat 4 dimensi budaya keselamatan

pasien berdasarkan AHRQ yang berkorelasi dengan persepsi pelaporan

kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit Y yakni dimensi

tindakan promotif keselamatan oleh manajer, dimensi keterbukaan

komunikasi, dimensi umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan

medis yang terjadi serta dimensi respon yang tidak menyalahkan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan maka peneliti mengajukan

saran sebagai berikut :

1. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit X

a. Memberikan sosialisasi secara berkala yang bersifat mandatory

tentang pelaporan kesalahan medis dan keuntungan serta kerugian

adanya pelaporan di Rumah Sakit X kepada tenaga kesehatan.

b. Memberikan pelatihan kepada safety officer dan kepala unit di

masing-masing unit kerja Rumah Sakit X tentang safety leadership.

c. Melakukan program khusus seperti pemberian reward pada kegiatan

wajib lapor isu keselamatan. Reward dapat berupa materil ataupun

poin tambahan pada penilaian kinerja yang dilakukan di rumah sakit.

Hal ini dapat meningkatkan ketertarikan, kesadaran dan kepedulian

tenaga kesehatan terhadap terjadinya kesalahan medis di sekitarnya.

Kegiatan ini sering dilakukan di industri lain kerap dimana terdapat

program wajib lapor kondisi dan perilaku tidak aman pada pekerja
103

dengan adanya umpan balik berupa hadiah tertentu. Pekerja dengan

laporan terbanyak berhak mendapatkan hadiah tertentu dari

manajemen. Dan setiap laporan yang masuk akan diberikan umpan

baliknya kembali berupa tinjauan ulang dari manajemen dan

disampaikan kepada pekerja.

d. Pelaksanaan safety briefing oleh manajer guna memberikan

komitmen terhadap keselamatan pasien dan pekerja di tiap unit.

Safety briefing berisi isu keselamatan yang terjadi, tindak lanjut

manajemen terhadap isu tersebut dan sarana untuk mengingatkan

kembali pekerja agar tetap bekerja dengan selamat.

e. Melaksanakan pengawasan dan kontrol terhadap budaya

keselamatan pasien melalui survey rutin budaya keselamatan pasien

di Rumah Sakit X.

f. Menyesuaikan beban kerja dengan jumlah tenaga kesehatan yang

ada di Rumah Sakit X.

g. Meningkatkan proses pertukaran informasi pada kegiatan serah

terima guna mencegah hilangnya informasi terutama informasi yang

terkait keselamatan.

h. Bekerjasama dengan bagian rohani untuk ikut mensosialisasikan dan

mulai membudayakan respon yang tidak menyalahkan atas

kesalahan medis yang terjadi.


104

2. Bagi pihak manajemen Rumah Sakit Y

a. Memberikan sosialisasi secara berkala yang bersifat mandatory

tentang pelaporan kesalahan medis dan keuntungan serta kerugian

adanya pelaporan di Rumah Sakit X kepada tenaga kesehatan.

b. Melakukan program khusus seperti pemberian reward pada kegiatan

wajib lapor isu keselamatan. Reward dapat berupa materil ataupun

poin tambahan pada penilaian kinerja yang dilakukan di rumah sakit.

Hal ini dapat meningkatkan ketertarikan, kesadaran dan kepedulian

tenaga kesehatan terhadap terjadinya kesalahan medis di sekitarnya.

Kegiatan ini sering dilakukan di industri lain kerap dimana terdapat

program wajib lapor kondisi dan perilaku tidak aman pada pekerja

dengan adanya umpan balik berupa hadiah tertentu. Pekerja dengan

laporan terbanyak berhak mendapatkan hadiah tertentu dari

manajemen. Dan setiap laporan yang masuk akan diberikan umpan

baliknya kembali berupa tinjauan ulang dari manajemen dan

disampaikan kepada pekerja.

c. Menggabungkan wewenang dan tanggung jawab unit yang

menangani masalah keselamatan pasien dan keselamatan kerja serta

program yang dilaksanakan oleh keduanya karena keduanya

merupakan aspek yang berkorelasi erat. Selain itu dengan

menggabungkan koordinasi kedua unit dalam melaksanakan

program dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi program di

Rumah Sakit Y.
105

d. Mengembangkan instrumen pengukuran budaya keselamatan pasien

yang ada agar hasil pengukuran lebih dapat dipercaya.

e. Melakukan evaluasi efektifitas setiap program keselamatan yang ada

kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran budaya

keselamatan pasien yang dilakukan setiap tahun.

f. Pelaksanaan safety briefing oleh manajer guna memberikan

komitmen terhadap keselamatan pasien dan pekerja di tiap unit.

Safety briefing berisi isu keselamatan yang terjadi, tindak lanjut

manajemen terhadap isu tersebut dan sarana untuk mengingatkan

kembali pekerja agar tetap bekerja dengan selamat.

g. Bekerjasama dengan bagian K3 dan manajer tiap unit dalam

menciptakan lingkungan yang bebas dari penyalahan individu atas

kesalahan medis yang terjadi.

h. Menyesuaikan beban kerja dengan kapasitas tenaga kesehatan yang

ada di Rumah Sakit Y.

3. Bagi peneliti selanjutnya

a. Melakukan penelitian kualitatif untuk menggali informasi yang lebih

mendalam terkait variabel-variabel lain yang mempengaruhi persepsi

pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.

b. Melakukan penelitian dengan menyamakan klasifikasi rumah sakit

yang diteliti.
106

DAFTAR PUSTAKA

Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations. 1993. Human Factors


Study Group Third Report: Organising for Safety, London, HMSO.
Agency for Healthcare Research and Quality. 2003. Ahrq's Patient Safety
Initiative : Building Foundations, Reducing Risk. [Online]. Rockville,
MD. Dapat diakses dari: http://www.ahrq.gov/research/findings/final-
reports/pscongrpt/psiniapp1.html [Pada 12 Desember 2014.
Agency for Healthcare Research and Quality 2009. Background and Information
for Translators.
Agency for Healthcare Research and Quality. 22 Desember 2014 2014. RE: Re:
Request for the Tool of Hospital Survey :*Ref#24-38192. Type to
SULISTIANI, L. A.
Agnew, Cakil, Rhona Flin, dkk. 2013. Patient Safety Climate and Worker Safety
Behaviours in Acute Hospitals in Scotland. Journal of Safety Research,
45, 95-101.
Aorn Journal. 2006. Aorn Guidance Statement: Creating a Patient Safety Culture.
AORN Journal, 83, 936-942.
Ariawan, Iwan. 1998. Besar Dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan,
Depok, Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Astuti, Yusri Heni Nurwidi 2010. Peran ―Safety Leadership‖ Dalam Membangun
Budaya Keselamatan Yang Kuat. SEMINAR NASIONAL VI SDM
TEKNOLOGI NUKLIR. Yogyakarta: STTN BATAN & Fakultas Saintek
UIN SUKA.
Ballangrud, Randi, Birgitta Hedelin, dkk. 2012. Nurses‘ Perceptions of Patient
Safety Climate in Intensive Care Units: A Cross-Sectional Study. Intensive
and Critical Care Nursing, 28, 344-354.
Bambang. 2011. 870 Rumah Sakit Belum Terakreditasi. Antara, kamis, 28 April
2015.
Barenzani, Nadia. 2009. Kajian Penerapan Budaya Keselamatan Di Iebe. Hasil-
hasil Penelitian di IEBE.
Beginta, Romi. 2012. Pengaruh Budaya Keselamatan Pasien, Gaya
Kepemimpinan, Tim Kerja, Terhadap Persepsi Pelaporan Kesalahan
Pelayanan Oleh Perawat Di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umumdaerah
Kabupaten Bekasi Tahun 2011. Magister Tesis, Universitas Indonesia.
107

Behara, Ravi, Robert L. Wears, dkk. 2005. A Conceptual Framework for Studying
the Safety of Transitions in Emergency Care. Advances in Patient Safety,
2.
Beuzekom, M. Van, F. Boer, dkk. 2010. Patient Safety : Latent Risk Factors.
British Journal of Anaesthesia, 105.
Bognár, Agnes, Paul Barach, dkk. 2008. Errors and the Burden of Errors:
Attitudes, Perceptions, and the Culture of Safety in Pediatric Cardiac
Surgical Teams. The Annals of Thoracic Surgery, 85.
Budiarto, Eko. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran : Sebuah Pengantar,
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Calado Monteiro, J. A. dan M. M. Santos Natário. 2014. Safety Culture in the
Surgical Services: Case Study. Tékhne.
Canadian Council on Health Services Accreditation 2003. Cchsa and Patient
Safety 2003.
Canadian Institute for Health Information. 2003. Frequently Asked Questions —
Adverse Events Project. Dapat diakses dari:
http://secure.cihi.ca/cihiweb/dispPage.jsp?cw_page=adevents_faq_e#adve
rse [Pada 12 Desember 2014].
Carayon, Pascale, Tosha B. Wetterneck, dkk. 2014. Human Factors Systems
Approach to Healthcare Quality and Patient Safety. Applied Ergonomics,
45.
Chakravarty, Abhijit. 2013. A Survey of Attitude of Frontline Clinicians and
Nurses Towards Adverse Events. Medical Journal Armed Forces India,
69, 335-340.
Classen, Dc, R Resar, dkk. 2011. ‗Global Trigger Tool‘ Shows That Adverse
Events in Hospitals May Be Ten Times Greater Than Previously
Measured. Health Aff (Millwood), 30.
Colla, J B, A C Bracken, dkk. 2005. Measuring Patient Safety Climate: A Review
of Surveys. Qual Saf Health Care, 14, 364-366.
Davies, Jan M., Philip Hébert, dkk. 2003. The Canadian Patient Safety Dictionary.
Canada: The Royal College of Physicians and Surgeons of Canada.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), Jakarta.
Ditullio, Barbara. 2010. On Building Teams That Support a Patient Safety
Culture. AORN Journal, 92, S107-S108.
108

Eaves-Leanos, Aaliyah dan Edward J. Dunn. 2012. Open Disclosure of Adverse


Events: Transparency and Safety in Health Care. Surgical Clinics of North
America, 92, 163-177.
El-Jardali, Fadi, Hani Dimassi, dkk. 2011. Predictors and Outcomes of Patient
Safety Culture in Hospital. BMC Health Services Research, 11.
Erler, Cheryl, Nancy E. Edwards, dkk. 2013. Perceived Patient Safety Culture in a
Critical Care Transport Program. Air Medical Journal, 32, 208-215.
Espin, Sherry, Wendy Levinson, dkk. 2006. Error or ―Act of God‖? A Study of
Patients' and Operating Room Team Members' Perceptions of Error
Definition, Reporting, and Disclosure. Surgery, 139, 6-14.
Espin, Sherry, Glenn Regehr, dkk. 2007. Factors Influencing Perioperative
Nurses' Error Reporting Preferences. AORN Journal, 85, 527-543.
Espin, Sherry, Abigail Wickson-Griffiths, dkk. 2010. To Report or Not to Report:
A Descriptive Study Exploring Icu Nurses‘ Perceptions of Error and Error
Reporting. Intensive and Critical Care Nursing, 26, 1-9.
Flin, R, C Burns, dkk. 2006. Measuring Safety Climate in Health Care. Qual Saf
Health Care, 15, 109-115.
Ghazal, Lubna, Zulekha Saleem, dkk. 2014. A Medical Error: To Disclose or Not
to Disclose. J Clin Res Bioeth, 5.
Ginen, Bob. 2014. Business Communication Feedback. Five reasons why
feedback may be the most important skill [Online]. Dapat diakses dari:
http://www.cambridge.org/elt/blog/2014/03/five-reasons-feedback-may-
important-skill/ [Pada 12 Juli 2015].
Gulley, Tamala Lavelle. 2007. Investigation into Workplace Culture for
Medication Error Reporting in Pharmacy, Ann Arbor, MI, Proquest.
Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. 2011. Statistik Kesehatan, Jakarta,
Rajawali Pers.
Heni, Yusri. 2011. Improving Our Safety Culture : Cara Cerdas Membangun
Budaya Keselamatan Yang Kokoh, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Hercules, Patricia Ann. 2010. Instrument Readiness: A Patient Safety Issue.
Perioperative Nursing Clinics, 5, 15-25.
Inoue, Akiomi, Norito Kawakami, dkk. 2010. Organizational Justice,
Psychological Distress, and Work Engagement in Japanese Workers. Int
Arch Occup Environ Health, 83, 29-38.
Kachalia, Allen dan David W. Bates. 2014. Disclosing Medical Errors: The View
from the USA. The Surgeon, 12, 64-67.
109

Kalra, Jawahar, Natasha Kalra, dkk. 2013. Medical Error, Disclosure and Patient
Safety: A Global View of Quality Care. Clinical Biochemistry, 46, 1161-
1169.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2011. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/Viii/2011 Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. In: MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA (ed.) Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor. Jakarta.
Kohn, Linda T. dan Janet M. Corrigan 1999. To Err Is Human. In:
DONALDSON, M. S. (ed.) Building a Safer Health System. Washington
D.C.: National Academy Press.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit 2011. Laporan Insiden Keselamatan
Pasien Periode Januari-April 2011. http://www.inapatsafety-
persi.or.id/data/triwulan12011/laporan_ikp12011.pdf: PERSI.
Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki. 2007. Organizational Behavior, New York,
McGraw-Hill Int.
Lamo, Nancy. 2011. Disclosure of Medical Errors : The Right Thing to Do, but
What Is the Cost?, Kansas City, Lockton Companies LLC.
Lederman, Reeva, Suelette Dreyfus, dkk. 2013. Electronic Error-Reporting
Systems: A Case Study into the Impact on Nurse Reporting of Medical
Errors. Nursing Outlook, 61, 417-426.e5.
Mcfadden, Kathleen L., Stephanie C. Henagan, dkk. 2009. The Patient Safety
Chain: Transformational Leadership's Effect on Patient Safety Culture,
Initiatives, and Outcomes. Journal of Operations Management, 27, 390-
404.
Meginniss, Anne, Frances Damian, dkk. 2012. Time out for Patient Safety.
Journal of Emergency Nursing, 38, 51-53.
Nurcahyo, Heru. 2008. Ilmu Kesehatan Jilid 1 Dan 2 Untuk Smk, Jakarta,
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen
Pendidikan Nasional.
Occupational Safey and Health Administration. 2014. Organizational Safety
Culture - Linking Patient and Worker Safety [Online]. Dapat diakses dari:
https://www.osha.gov/SLTC/healthcarefacilities/safetyculture_full.html
[Pada 12 Januari 2014].
Pratiwi, Nurandini. 2014. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Di Rsud
Lasinrang Pinrang Tahun 2014. S1 Undergraduate Thesis, Universitas
Hasanuddin.
110

Raper, Steven E., Andrew S. Resnick, dkk. 2014. Simulated Disclosure of a


Medical Error by Residents: Development of a Course in Specific
Communication Skills. Journal of Surgical Education, 71, e116-e126.
Republik Indonesia 2009a. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Republik Indonesia 2009b. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 153. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Republik Indonesia 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2014. Lembaran Negara Republik Indonesia No. 298 Tahun 2014. Jakarta:
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Robb, Gillian dan Mary Seddon. 2010. Measuring the Safety Culture in a Hospital
Setting : A Concept Whose Time Has Come? The New Zealand Medical
Journal, 123.
Ross, Jacqueline. 2011. Understanding Patient Safety Culture: Part I. Journal of
PeriAnesthesia Nursing, 26, 170-172.
Rosyada, Sabila Diena. 2014. Gambaran Budaya Keselamatan Pasien Pada
Perawat Unit Rawat Inap Kelas Iii Rumah Sakit Umum Daerah Pasar
Rebo Bulan Juni Tahun 2014. Sarjana Kesehatan Masyarakat Skripsi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sarwono, Sarlito W. 2010. Pengantar Psikologi Umum, Jakarta, Rajawali Pers.
Schulz, Martin 2001. Organizational Learning. In: BAUM, J. A. C. (ed.)
Companion to Organizations. University of Washington: Blackwell
Publishers.
Setiawan, Ebta. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online [Online].
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. [Pada 19 Desember 2014].
Sherriff, Barry dan Norton Rose 2011. Promoting Effective Health and Safety
Leadership Using Platform in the Model Work Health and Safety Act.
Canberra: Safe Work Australia.
Sinicki, J., G. Bednarz, dkk. 2012. Your Safety, Our Commitment: A
Standardized Error Reporting Enabling a Culture of Patient Safety.
International Journal of Radiation Oncology*Biology*Physics, 84, S663-
S664.
Siswandi. 2011. Aplikasi Manajemen Perusahaan: Analisis Kasus Dan
Pemecahannya, Jakarta, Penerbit Mitra Wacana Media.
111

Sorra, Joann S. dan Veronica F. Nieva 2004. Hospital Survey on Patient Safety
Culture. In: WESTAT (ed.) AHRQ Publication No. 04-0041 ed.
Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality.
Stone, Patricia W., Michael I. Harrison, dkk. 2006. Organizational Climate of
Staff Working Condition an Safety - an Integrative Model Advances in
Patient Safety, 2, 467-468.
Suharjo, J. B. dan B. Cahyono. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien
Dalam Praktik Kedokteran, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Wang, Xue, Ke Liu, dkk. 2014. The Relationship between Patient Safety Culture
and Adverse Events: A Questionnaire Survey. International Journal of
Nursing Studies, 51, 1114-1122.
Waters, Norna F., Wendy A. Hall, dkk. 2012. Perceptions of Canadian Labour
and Delivery Nurses About Incident Reporting: A Qualitative Descriptive
Focus Group Study. International Journal of Nursing Studies, 49, 811-
821.
White, Andrew A. dan Thomas H. Gallagher. 2013. Chapter 8 - Medical Error and
Disclosure. In: JAMES, L. B. dan H. R. BERESFORD (eds.) Handbook of
Clinical Neurology. Elsevier.
Who 2009. Better Knowledge for Safer Care : Human Factors in Patient Safety,
Review of Topics and Tools.
Williams, Steven D., Denham L. Phipps, dkk. 2013. Understanding the Attitudes
of Hospital Pharmacists to Reporting Medication Incidents: A Qualitative
Study. Research in Social and Administrative Pharmacy, 9, 80-89.
Winsvold Prang, Ida dan Lars-Petter Jelsness-Jørgensen. 2014. Should I Report?
A Qualitative Study of Barriers to Incident Reporting among Nurses
Working in Nursing Homes. Geriatric Nursing, 35, 441-447.
Wolf, Zane Robinson dan Ronda G. Hughes. 2005. Chapter 35. Error Reporting
and Disclosure. In: HUGHES, R. G. (ed.) Patient Safety and Quality: An
Evidence-Based Handbook for Nurses. Rockville, MD: Agency for
Healthcare Research and Quality.
World Health Organization 2009. Better Knowledge for Safer Care : Human
Factors in Patient Safety, Review of Topics and Tools.
World Health Organization. 2014. 10 Facts of Patient Safety. Dapat diakses dari:
http://www.who.int/features/factfiles/patient_safety/patient_safety_facts/e
n/ [Pada 28 November 2014].
Youngson, George G. 2014. Medical Error and Disclosure – a View from the
U.K. The Surgeon, 12, 68-72.
LAMPIRAN

112
113

KUESIONER PENELITIAN

Kepada Yth.
Bapak/Ibu/Saudara/i Dokter dan Perawat
di Rumah Sakit X dan Y Jakarta

Assalamualaikum wr.wb.
Salam Hormat.
Saya, Lany Aprili Sulistiani mahasiswi program studi Kesehatan Masyarakat peminatan
keselamatan dan kesehatan kerja akan mengadakan penelitian yang berjudul ―Korelasi
Budaya Keselamatan Pasien Dengan Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis Oleh Tenaga
Kesehatan Sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Rumah Sakit X
Dan Rumah Sakit Y Jakarta Tahun 2015‖. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran hubungan budaya keselamatan pasien dengan persepsi pelaporan kesalahan medis
oleh tenaga kesehatan di masing-masing rumah sakit.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan hal merugikan bagi bapak/ibu/saudara/i sebagai
responden. Informasi yang didapatkan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya akan
digunakan dalam kepentingan penelitian ini. Oleh karena itu saya mohon agar
bapak/ibu/saudara/i untuk menjawab pertanyaan ini dengan objektif dan sejujur-jujurnya
sesuai dengan kondisi bapak/ibu/saudara/i.
Pernyataan dalam kuesioner ini merupakan pernyataan-pernyataan yang menggambarkan
kondisi umum pekerjaan bapak/ibu/saudara/i selama bekerja di rumah sakit sekarang ini. Atas
kesediaan bapak/ibu/saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan lengkap dan jujur saya
mengucapkan banyak terimakasih.

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN


Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk menjadi responden
penelitian ini dan saya memahami dan menyadari bahwa penelitian ini bersifat rahasia dan
tidak akan mempengaruhi atau mengakibatkan hal yang merugikan saya. Oleh karena itu
saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Jakarta/ April 2015
Responden
114

C. Identitas Responden

1. Usia : ……. tahun


2. Jenis Tenaga Medis :
Dokter Perawat Tenaga kesehatan lain, (sebutkan)...............
3. Unit Kerja : …………………………………...
4. Rumah Sakit :
RS X Rumah Sakit Y
D. Petunjuk Pengisian
1. Kuesioner ini bertujuan untuk meminta pendapat anda tentang isu keselamatan pasien,
kesalahan medis dan pelaporan kesalahan medis di unit kerja dan rumah sakit tempat anda
bekerja. Untuk menyelesaikan seluruh pertanyaan dalam survei ini akan dibutuhkan kira-
kira 10-15 menit.
2. Kuesioner ini bukanlah tes dengan jawaban benar atau salah, yang terpenting anda
menjawab dengan jujur sesuai pendapat dan kondisi anda
3. Kami menjamin kerahasiaan jawaban bapak/ibu/saudara/i karena kuesioner ini semata-
mata bertujuan untuk penelitian dan bukan untuk mengevaluasi kinerja anda.
4. Kuesioner ini dapat digunakan optimal apabila semua pertanyaan terjawab. Oleh karena itu
mohon diteliti, apakah semua pertanyaan telah terjawab sebelum dikembalikan ke peneliti.

DEFINISI ISTILAH

Keselamatan pasien adalah suatu hal yang berbentuk pencegahan terhadap tindakan yang
dapat menciderai pasien selama proses perawatan.

Kesalahan adalah ketidaksesuaian pekerjaan yang dilakukan dengan standar operasional


prosedur yang berlaku dan berpotensi menimbulkan insiden keselamatan pasien baik secara
langsung maupun tidak langsung.

E. Pertanyaan
Bagian 1 : Budaya Keselamatan Pasien
Kuesioner bagian ini bertujuan untuk mengetahui budaya keselamatan pasien yang ada dan
berlaku di rumah sakit tempat anda bekerja.

Sangat
Tidak Sangat
NO. Pernyataan Tidak Setuju
Setuju Setuju
Setuju
Setiap petugas di unit saya saling mendukung satu
A1
sama lain dalam bekerja
Saya merasa unit ini memiliki cukup petugas untuk
A2
mengerjakan semua tugas yang ada di unit ini
Ketika banyak pekerjaan yang harus diselesaikan
A3 dengan cepat, kami bekerjasama sebagai sebuah tim
untuk mengerjakannya
115

Sangat
Tidak Sangat
NO. Pernyataan Tidak Setuju
Setuju Setuju
Setuju
Di unit saya, setiap petugas memperlakukan rekan
A4
kerja yang lain dengan baik
Setiap petugas di unit saya bekerja lebih lama dari
A5 waktu yang seharusnya (lebih dari 8 jam sehari; atau
lebih dari 40 jam seminggu) demi keselamatan pasien
Kami secara aktif melakukan kegiatan – kegiatan yang
A6
dapat meningkatkan kualitas keselamatan pasien
Saya merasa unit ini lebih banyak menggunakan
A7
tenaga honorer untuk kegiatan pelayanan disini
Saya merasa kesalahan yang kami lakukan di unit ini
A8
digunakan untuk menyalahkan kami
Di unit saya, kesalahan – kesalahan yang dilaporkan
A9 berperan penting untuk membawa perubahan yang
positif
Jarang sekali tidak ada kesalahan yang serius terjadi
A10
disini
Ketika salah satu petugas di unit saya sibuk dengan
A11
pekerjaannya, petugas yang lain akan membantu
Ketika kesalahan yang berdampak negatif pada pasien
A12 dilaporkan, saya merasa pelakunya yang utama
dibicarakan bukan masalahnya
Kami mengevaluasi efektivitas setiap program
A13
peningkatan keselamatan pasien yang telah dijalankan
Kami bekerja dalam ―mode krisis‖, yaitu berusaha
A14 melakukan pekerjaan yang begitu kompleks dalam
waktu yang sangat singkat
Keselamatan pasien tidak pernah dikorbankan hanya
A15
agar lebih banyak pekerjaan yang diselesaikan
Saya khawatir kesalahan yang saya perbuat akan
A16
dicatat dalam penilaian kinerja saya
Saya merasa ada masalah keselamatan pasien di unit
A17
ini
Prosedur dan sistem di unit ini sudah baik dalam
A18
mencegah kesalahan terjadi
Atasan saya akan memberikan pujian ketika pekerjaan
B1 yang saya lakukan sesuai dengan prosedur
keselamatan pasien
Atasan saya selalu mempertimbangkan saran dari
B2
stafnya untuk meningkatkan keselamatan pasien
Ketika banyak tuntutan pekerjaan yang harus
B3 diselesaikan, atasan saya menginginkan kami bekerja
lebih cepat, meskipun kami harus mengambil jalan
116

Sangat
Tidak Sangat
NO. Pernyataan Tidak Setuju
Setuju Setuju
Setuju
pintas untuk menyelesaikannya
Atasan saya mengabaikan masalah keselamatan pasien
B4
yang terus terjadi secara berulang
Kami selalu diberi umpan balik tentang perubahan
C1
yang dilakukan setelah terjadi suatu insiden
Saya bebas untuk berpendapat jika melihat sesuatu
C2 yang dapat memberikan dampak negatif terhadap
keselamatan pasien
Kami selalu diberitahu mengenai setiap kesalahan –
C3
kesalahan apapun yang terjadi di unit kami
Saya memiliki kewenangan yang bebas untuk
C4 mempertanyakan keputusan atau tindakan yang
diambil oleh atasan saya
Pada unit kami, kami selalu mendiskusikan langkah-
C5 langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu
kesalahan terjadi lagi di unit kami
Petugas takut untuk bertanya jika terdapat suatu hal
C6 yang tidak benar sedang terjadi berkaitan dengan
kselamatan pasien
Pihak manajemen rumah sakit selalu menciptakan
F1 suasana kerja yang berorientasi pada keselamatan
pasien
Unit – unit di rumah sakit kurang berkoordinasi
F2
dengan baik antara satu dengan yang lain
Kesalahan yang terjadi di unit ini, seringkali menjadi
F3 penyebab terjadinya kesalahan di unit lain yang
berdampak negatif pada keselamatan pasien
Ada kerjasama yang baik antar unit di rumah sakit
F4 dalam menyelesaikan pekerjaan yang harus dilakukan
secara bersama-sama
Informasi penting yang berkaitan dengan keselamatan
F5 pasien seringkali tidak tersampaikan kepada petugas
berikutnya saat pergantian shift kerja
Saya merasa kurang nyaman bekerjasama dengan
F6
petugas dari unit lain di rumah sakit ini
Kadang muncul masalah saat melakukan pertukaran
F7
informasi antar unit di rumah sakit
Tindakan – tindakan yang dilakukan pihak manajemen
F8 di rumah sakit menunjukkan bahwa keselamatan
pasien merupakan prioritas yang diutamakan
F9 Manajemen rumah sakit memperhatikan keselamatan
117

Sangat
Tidak Sangat
NO. Pernyataan Tidak Setuju
Setuju Setuju
Setuju
pasien hanya saat terjadi kejadian tidak diharapkan
yang menciderai pasien
Unit – unit dalam rumah sakit bekerjasama dengan
F10 baik dalam memberikan pelayanan yang bereorientasi
pada keselamatan pasien
Pergantian shift menimbulkan masalah bagi pasien di
F11
rumah sakit ini

Bagian 2 : Persepsi Pelaporan Kesalahan Medis


Kuesioner bagian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana persepsi anda terhadap
pelaporan kesalahan medis yang ada di rumah sakit terutama di unit tempat anda bekerja.
Petunjuk Pengisian : Silahkan baca terlebih dahulu pernyataan di tiap-tiap poin dan berikan
tanda centang di pilihan jawaban anda.
Rentang jawaban di bawah ini menunjukkan jawaban saudara. Angka 1 menunjukkan bahwa
pernyataan tersebut tidak sesuai dengan kondisi anda dan tidak pernah anda lakukan,
sedangkan angka 7 menunjukkan bahwa pernyataan tersebut sangat sesuai dengan kondisi anda
dan selalu anda lakukan.

1 2 3 4 5 6 7
(Tidak Pernah) (Selalu)

NO. Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
1 Saya memberikan laporan ketika menemukan kesalahan,
walaupun kesalahan tersebut tidak akan membahayakan
atau mencelakakan pasien
2 Saya memberikan laporan ketika menemukan kesalahan
yang dapat mencelakakan pasien walaupun tidak sampai
terjadi, karena sempat diketahui dan diperbaiki terlebih
dahulu
3 Saya memberikan laporan ketika menemukan kesalahan
yang dapat mencelakakan pasien walaupun tidak berakibat
buruk atau fatal
4 Saya memberikan laporan tentang kondisi kerja yang
berpotensi menyebabkan kesalahan (misalnya pencatatan
tidak teratur, lantai licin dll)
5 Saya memberikan laporan tentang kebiasaan kerja yang
saya tahu merupakan suatu yang salah
6 Saya memberikan laporan tentang penyimpangan prosedur
yang dilakukan untuk kebaikan (misal menunda
memberikan konseling/pemberian obat/visit karena pasien
sedang tidur)
118

NO. Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
7 Saya memberikan laporan tentang penyimpangan prosedur
yang dilakukan untuk efisiensi kerja (misalnya menunda
memberikan konseling/obat/visit agar dapat dilakukan
bersama pasien lain)
8 Saya memberikan laporan kesalahan yang
disebabkan/terjadi pada rekan kerja saya
9 Saya memberikan laporan kesalahan yang
disebabkan/terjadi pada atasan saya
10 Saya memberikan laporan kesalahan pencatatan yang
terjadi

Terimakasih atas kesediaan bapak/ibu/saudara/i karena telah menjawab


pertanyaan survei ini dengan lengkap 
Mohon diperiksa kembali jawaban anda dan pastikan sudah terisi semua
Alat Analisis Penelitian

Hospital Survey On Patient Safety Culture Data Entry and Analysis Tools

119
120

OUTPUT PERHITUNGAN

Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit X

Budaya Keselamatan Pasien di RS Y


121

Korelasi dimensi 1 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations

tot_persepsi d1_supervisor
**
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .388
Sig. (2-tailed) . .000
N 101 101
**
d1_supervisor Correlation Coefficient .388 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 2 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations

tot_persepsi D2_orglearn
**
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .496
Sig. (2-tailed) . .000
N 101 101
**
D2_orglearn Correlation Coefficient .496 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 3 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations

d3_TW_in_unit tot_persepsi
**
Spearman's rho d3_TW_in_unit Correlation Coefficient 1.000 .327
Sig. (2-tailed) . .001
N 101 101
**
tot_persepsi Correlation Coefficient .327 1.000
Sig. (2-tailed) .001 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 4 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations
d4_comm_open
tot_persepsi nes
**
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .582
Sig. (2-tailed) . .000
N 101 101
**
d4_comm_opennes Correlation Coefficient .582 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
122

Korelasi dimensi 5 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations

tot_persepsi d5_feedback
*
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .197
Sig. (2-tailed) . .048
N 101 101
*
d5_feedback Correlation Coefficient .197 1.000
Sig. (2-tailed) .048 .
N 101 101
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 6 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations

tot_persepsi d6_nonpun_resp
**
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .419
Sig. (2-tailed) . .000
N 101 101
**
d6_nonpun_resp Correlation Coefficient .419 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 7 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations

tot_persepsi d7_staffing
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .039
Sig. (2-tailed) . .701
N 101 101
d7_staffing Correlation Coefficient .039 1.000
Sig. (2-tailed) .701 .
N 101 101

Korelasi dimensi 8 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations

tot_persepsi d8_mana_supp
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .112
Sig. (2-tailed) . .266
N 101 101
d8_mana_supp Correlation Coefficient .112 1.000
Sig. (2-tailed) .266 .
N 101 101
123

Korelasi dimensi 9 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations

tot_persepsi d9_team_across
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .176
Sig. (2-tailed) . .078
N 101 101
d9_team_across Correlation Coefficient .176 1.000
Sig. (2-tailed) .078 .
N 101 101

Korelasi dimensi 10 dengan persepsi di Rumah Sakit X


Correlations

tot_persepsi d10_handsoff
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .016
Sig. (2-tailed) . .870
N 101 101
d10_handsoff Correlation Coefficient .016 1.000
Sig. (2-tailed) .870 .
N 101 101

Korelasi dimensi 1 dengan persepsi di Rumah Sakit Y


Correlations

tot_persepsi d1_supervisor
*
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .217
Sig. (2-tailed) . .039
N 91 91
*
d1_supervisor Correlation Coefficient .217 1.000
Sig. (2-tailed) .039 .
N 91 91
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 2 dengan persepsi di Rumah Sakit Y


Correlations

tot_persepsi d2_orglearn
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .073
Sig. (2-tailed) . .493
N 91 91
d2_orglearn Correlation Coefficient .073 1.000
Sig. (2-tailed) .493 .
N 91 91
124

Korelasi dimensi 3 dengan persepsi di Rumah Sakit Y


Correlations

tot_persepsi d3_TW_in_unit
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .184
Sig. (2-tailed) . .081
N 91 91
d3_TW_in_unit Correlation Coefficient .184 1.000
Sig. (2-tailed) .081 .
N 91 91

Korelasi dimensi 4 dengan persepsi di Rumah Sakit Y


Correlations

tot_persepsi d4_comm_open
*
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .264
Sig. (2-tailed) . .012
N 91 91
*
d4_comm_open Correlation Coefficient .264 1.000
Sig. (2-tailed) .012 .
N 91 91
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 5 dengan persepsi di Rumah Sakit Y


Correlations

tot_persepsi d5_feedback
**
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .286
Sig. (2-tailed) . .006
N 91 91
**
d5_feedback Correlation Coefficient .286 1.000
Sig. (2-tailed) .006 .
N 91 91
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Korelasi dimensi 6 dengan persepsi di Rumah Sakit Y


Correlations
d6_non_punitive
tot_persepsi _respond
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .201
Sig. (2-tailed) . .057
N 91 91
d6_non_punitive_respond Correlation Coefficient .201 1.000
Sig. (2-tailed) .057 .
N 91 91
125

Korelasi dimensi 7 dengan persepsi di Rumah Sakit Y


Correlations

tot_persepsi d7_staffing
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 -.165
Sig. (2-tailed) . .118
N 91 91
d7_staffing Correlation Coefficient -.165 1.000
Sig. (2-tailed) .118 .
N 91 91

Korelasi dimensi 8 dengan persepsi di Rumah Sakit Y

Correlations
d8_management
tot_persepsi _support
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .157
Sig. (2-tailed) . .137
N 91 91
d8_management_support Correlation Coefficient .157 1.000
Sig. (2-tailed) .137 .
N 91 91

Korelasi dimensi 9 dengan persepsi di Rumah Sakit Y


Correlations

tot_persepsi d9_TW_ac_unit
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .203
Sig. (2-tailed) . .054
N 91 91
d9_TW_ac_unit Correlation Coefficient .203 1.000
Sig. (2-tailed) .054 .
N 91 91

Korelasi dimensi 10 dengan persepsi di Rumah Sakit Y


Correlations
d10_handsoff_tr
tot_persepsi ansition
Spearman's rho tot_persepsi Correlation Coefficient 1.000 .098
Sig. (2-tailed) . .357
N 91 91
d10_handsoff_transition Correlation Coefficient .098 1.000
Sig. (2-tailed) .357 .
N 91 91

Anda mungkin juga menyukai