Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN MINI PROJECT

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi


Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi
di Puskesmas Baradatu

Disusun oleh:
dr. Bisart Benedicto Ginting
dr. M. Fajar Ash Siddiq
dr. Ria Arisandi
dr. Teguh Dwi Wicaksono
dr. Tito Tri Saputra

Pendamping:
dr. Eka Siswantini, M.Kes

PROGRAM INTERNSHIP PERIODE 2019-2020


PUSKESMAS BARADATU
KABUPATEN WAY KANAN
2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrobil’alamin, segala puji dan syukur atas segala nikmat,


karunia, dan rahmat yang diberikan Allah SWT dalam menempuh Internship di
Puskesmas Baradatu. Atas ridho-Nya pula, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
tugas penulisan Mini Project dengan judul “Hubungan Pemberian ASI Eksklusif
terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi di
Puskesmas Baradatu” untuk memenuhi salah satu syarat program Internship di
Puskesmas Baradatu, Kabupaten Way Kanan, Lampung.
Terima kasih kami ucapkan kepada :
1. dr. Indah Hartati selaku Kepala Puskesmas Baradatu.
2. dr. Eka Siswantini, M.Kes sebagai dokter pendamping Puskesmas
Baradatu.
3. Rekan-rekan paramedis yang telah membantu pengerjaan mini project.
4. Kedua orang tua dengan segala curahan kasih sayang, restu, dan dukungan
kepada penulis.
5. Rekan – rekan dokter Internship.
6. Para ibu yang mau menjadi responden mini project ini.
Demikian, agar Mini Project ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya.

Way Kanan, 24 Januari 2020

Penulis

2
ABSTRAK

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi di Puskesmas Baradatu

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan


yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari yang
menyerang saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah. Bayi sering mengalami
ISPA karena dipengaruhi oleh imunitas yang belum sempurna. Pemberian ASI
eksklusif berperan penting dalam menunjang sistem kekebalan bagi bayi sehingga
mampu memberikan pencegahan terhadap berbagai macam penyakit.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI


eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi. Penelitian ini bersifat analitik dengan
desiain cross sectional. Populasi penelitian adalah bayi yang dibawa ibunya
berkunjung ke Puskesmas Baradatu, Way Kanan. Sampel penelitian berjumlah 50
bayi yang diambil dengan cara consecutive sampling. Data tentang pemberian ASI
eksklusif dan kejadian ISPA diperoleh dengan wawancara. Data dioleh dengan uji
statistik Chi square.

Hasil penelitian menunjukkan 42% bayi diberikan ASI eksklusif dan 58% bayi
tidak diberikan ASI. Didapatkan kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Baradatu,
Way Kanan sebesar 90% (30% mengalami ISPA sebanyak 2 kali dalam setahun dan
60% mengalami ISPA ≥ 2 kali dalam setahun) sedangkan yang tidak mengalami
ISPA sebesar 10%. Berdasarkan analisis uji Chi square diapatkan nilai p=0,008 yang
menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian ISPA pada bayi.

Kata kunci: infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), ASI eksklusif, bayi.

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................1
KATA PENGANTAR........................................................................................................2
ABSTRAK..........................................................................................................................3
DAFTAR ISI.......................................................................................................................4

1. PENDAHULUAN........................................................................................................6
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................6
1.2.Pernyataan Masalah................................................................................................8
1.3.Tujuan.....................................................................................................................8
1.4.Manfaat...................................................................................................................8

2. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................9
A. ISPA.........................................................................................................................9
2.1.Definisi...................................................................................................................9
2.2.Epidemiologi...........................................................................................................9
2.3.Etiologi.................................................................................................................10
2.4.Klasifikasi.............................................................................................................10
2.5.Faktor Risiko........................................................................................................11
2.6.Manifestasi Klinis.................................................................................................14
2.7.Diagnosis..............................................................................................................15
2.8.Penatalaksanaan....................................................................................................15
2.9.Pencegahan...........................................................................................................17
B. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif..................................................................................17

3. METODE....................................................................................................................21
3.1. Desain Penelitian.................................................................................................21
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian...........................................................................21
3.3. Populasi dan sampel...........................................................................................21
3.4 Metode Pengumpulan Data.................................................................................21
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data..............................................................22

4
4. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................................23
4.1.Puskesmas.............................................................................................................23
4.2.Deskripsi Karakteristik Sampel............................................................................28
4.3.Pembahasan..........................................................................................................29

5. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................................31


5.1.Kesimpulan...........................................................................................................31
Saran.....................................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan


yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari. ISPA
merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan bagian atas dan
bagian bawah. ISPA dapat menimbulkan gejala ringan (batuk, pilek), gejala sedang
(sesak, mengi) bahkan sampai gejala berat (sianosis, pernapasan cuping hidung).1

Pada umumnya anak-anak lebih sering mengalami ISPA baik di negara


berkembang maupun di negara maju. Kejadian ISPA lebih sering terjadi di negara
yang sedang berkembang. Insidensi kejadian ISPA bila dikelompokkan menurut
kelompok umur balita diperkirakan sebesar 0,29 episode per anak/tahun di negara
berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode
(96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta),
China (21 juta), dan Pakistan (10 juta). Di Bangladesh, Indonesia dan Nigeria masing-
masing sekitar 6 juta episode.1, 2

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan


utama di Indonesia. Prevalensi ISPA di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 25,0%,
tidak jauh berbeda dengan prevalensi pada tahun 2007 sebesar 25,5%. Prevalensi
ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 25,8%, diikuti
kelompok umur kurang dari 1 tahun sebesar 22,0%. ISPA mengakibatkan sekitar 20-
30% kematian pada balita.1,3

Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif mempunyai peranan penting
untuk menunjang pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan pemenuhan nutrisi
pada bayi. ASI eksklusif diberikan kepada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan tanpa
diberikan makanan tambahan apapun. Setelah itu, baru kemudian bayi harus diberi
makanan pendamping yang bergizi dan tetap menyusu sampai bayi berusia dua tahun

6
atau lebih. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif, baik bagi ibu
maupun bayinya. Bagi ibu, memberikan ASI tidak hanya bermanfaat untuk menjalin
kasih sayang , tetapi juga dapat mengurangi perdarahan setelah melahirkan,
mempercepat pemuihan kesehatan ibu, menunda kehamilan, hingga mengurangi risiko
terkena kanker payudara. ASI sendiri mengandung banyak faktor kekebalan yang
bermanfaat terhadap pencegahan dari berbagai macam penyakit.4

Pemberian ASI eksklusif di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya.


Terdapat beberapa permasalahan seperti faktor sosia budaya, rendahnya kesadaran
akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum
sepenuhnya mendukung program Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI), gencarnya
promisi susu formula, dan ibu yang bekerja. Selain itu, rendahnya pengetahuan ibu
tentang manfaat pemberian ASI eksklusif juga menjadi salah satu faktor penyebab
permasalahan di atas. 5,6

Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ISPA
pada bayi. Bayi berusia 0-11 bulan yang tidak optimal memperoleh ASI eksklusif
mempunyai risiko 5 kali lebih besar meninggal karena ISPA dibandingkan dengan
bayi yang memperoleh ASI eksklusif.7 Di negara-negara berkembang, bayi yang
mendapat ASI eksklusif mempunyai angka kesakitan dan kematian yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang diberikan susu formula. 8 ASI juga terbukti memberikan
efek protektif 39,8% terhadap ISPA pada bayi berusia 0- bulan. 9 Risiko untuk terjadi
ISPA pada bayi yang diberikan ASI tidak eksklusif sebesar 4,59 kali lebih besar
daripada bayi yang diberikan ASI secara eksklusif.10

ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana


kesehatan. Sebanyak 40-60% kunjungan pasien untuk berobat ke Puskesmas dan 15-
30% kunjungan pasien berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit
karena menderita ISPA.11 Di Puskesmas Baradatu, Way Kanan, jumlah pasien anak
yang berobat karena ISPA pada tahun 2019 sebanyak 1217 orang. Hal ini
menempatkan ISPA sebagai urutan pertama dalam daftar 10 penyakit terbanyak yang
diobati di Puskesmas pada tahun 2019.12 Saat ini belum terdapat penelitian mengenai
faktor apa saja yang menyebabkan tingginya kasus ISPA di Puskesmas Baradatu, Way
Kanan

7
1.2 Pernyataan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, terdapat rumusan masalah


yaitu apakah terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif
terhadap kejadian ISPA pada bayi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Baradatu.
1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas


Baradatu tahun 2019.

b. Mengetahui distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif pada bayi di


Puskesmas Baradatu tahun 2019.

c. Menganalisis hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian


ISPA pada bayi di Puskesmas Baradatu tahun 2019.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Penulis
Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis lebih
mendalam tentang hubungan faktor risiko ISPA terhadap kejadian ISPA
khususnya pemberian ASI eksklusif.

1.4.2 Manfaat bagi Puskesmas


Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan bagi perumusan program baru di Puskesmas Baradatu yang bisa
meningkatkan angka frekuensi pemberian ASI eksklusif pada bayi, sehingga
dapat menurunkan angka kejadian ISPA.
1.4.2 Manfaat bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya bagi ibu-ibu
tentang ISPA dan manfaat pemberian ASI eksklusif pada bayi, dan menambah

8
pengetahuan masyarakat tentang hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian ISPA pada bayi.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


2.1. Definisi
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan suatu penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung sampai
alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura
yang berlangsung selama 14 hari.13 Menurut WHO, Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang
dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit mulai dari penyakit tanpa gejala atau
infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen
penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu. 14

2.2 Epidemiologi

ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia, baik di


negara maju maupun di negara berkembang. ISPA banyak terjadi di negara
berkembang dan sering menyerang anak-anak terutama bayi dan balita. 9 Di
Bangladesh, ISPA merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematina
sebesar dua per tiga dari total kematian anak berusia di bawah satu tahun. 15
Insidens kejadian ISPA menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode
per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara
maju. Di Indonesia, angka kejadian ISPA pada tahun 2013 sebesar 25,0%. Lima
provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur (41,7%),
Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%) dan Jawa Timur
(28,3%). ISPA paling banyak diderita oleh kelompok usia 1-4 tahun (25,8%).
Tidak ada perbedaan angka kejadian ISPA pada laki-laki maupun perempuan.
Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan ekonomi
menengah ke bawah.1

10
2.3 Etiologi
ISPA merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus.
Etiologi ISPA meliputi lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA terbanyak dari genus Streptococcus, Staphylococcus,
Pneumococcus, Haemophylus, Bordetella, dan Corinebacterium. Virus
penyebab ISPA antara lain dari golongan Myxovirus, Adenovirus, Coronavirus,
Picornavirus, dan lain-lain. Kebanyakan ISPA disebabkan oleh virus. 1,16

2.4. Klasifikasi
Berasarkan lokasi anatomi terkena infeksi, ISPA dibagi menjadi:

a. ISPA bagian atas

Yang termasuk ISPA bagian atas adalah nasofaringitis atau common


cold, faringitis akut, rhinitis akut, dan sinusitis akut.13

b. ISPA bagian bawah

Yang termasuk ISPA bagian bawah adalah bronkitis akut, bronkiolitis,


dan pneumonia.13

Menurut Kemenkes RI dalam Pedoman Pengendalian ISPA, ISPA


diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. ISPA Pneumonia, merupakan ISPA yang sampai mengenai jaringan


paru-paru (alveoli).11

b. ISPA bukan pneumonia, merupakan penyakit yang dikenal masyarakat


dengan istilah batuk dan pilek (common cold).11

Berdasarkan kelompok umur, ISPA diklasifikasikan lagi menjadi:

1. Kelompok umur 2 bulan – di bawah 5 tahun

11
- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertai adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (chest indrawing).

- Pneumonia, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar bernapas


disertasi napas cepat sesuai golongan umur, yaitu bila umur 2 bulan
hingga <1 tahun sebanyak 50 kali atau lebih/menit; dan bila umur 1
hingga <5 tahun 40 kali atau lebih/menit.

- Bukan pneumonia, apabila hanya terdapat gejala batuk dan/atau


sukar bernapas.

2. Kelompok umur kurang dari 2 bulan

- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar


bernapas disertai napas cepat >60 kali per menit, atau adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).

- Bukan pneumonia, apabila hanya teradpat gejala batuk dan/atau


sukar bernapas.

2.5. Faktor Risiko


1. Mikroorganisme penyebab
Penyebab tersering ISPA adalah virus, karena sifatnya yang mudah menular
sehingga angka kejadian ISPA di masyarakat menjadi tinggi. Tetapi, ISPA
yang disebabkan virus tidak memerlukan tatalaksana khusus karena bersifat
self-limiting.
2. Faktor host (pejamu)
a. Usia
ISPA lebih sering terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun. Anak berusia
kurang dari 2 tahun mempunyai risiko terkena ISPA lebih besra daripada
anak yang lebih tua karena pada usia kurang dari 2 tahun anak tersebut
belum memiliki imunitas yang sempurna dan lumen saluran napas yang
relatif sempit.17
b. Jenis kelamin

12
Suatu studi menyebutkan laki-laki lebih banyak mengalami ISPA daripada
perempuan.18 Tetapi dalam Riskesdas disebutkan tidak terdapat perbedaan
angka kejadian ISPA pada laki-laki maupun perempuan.1 Terdapat sedikit
perbedaan anatomi saluran napas antara anak laki-laki maupun perempuan,
namun hal ini tidak mempengaruhi kejadian ISPA.17
c. Berat lahir
ISPA cenderung terjadi pada balita dengan riwayat berat badan lahir rendah
(BBLR) dibandingkan dengan balita tanpa riwayat BBLR. 22 Bayi BBLR
memiliki sistem pertahanan tubuh yang belum sempurna yang
mengakibatkan bayi BBLR memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Selain
itu, bayi BBLR juga memiliki pusat pengaturan pernapasan yang belum
sempurna, surfaktan paru yang masih kurang jumlahnya, otot-otot
pernapasan dan tulang iga yang masih lemah. Bayi BBLR juga mudah
mengalami infeksi paru dan gagal napas.19
d. Status gizi
Status gizi menggambarkan baik atau buruknya konsumsi zat gizi
seseorang. Zat gizi diperlukan untuk pembentukan sistem kekebalan tubuh
seperti antibodi. Semakin baik status gizi seseorang, maka semakin baik
sistem kekebalan tubuhnya. Infeksi saluran pernapasan akut yang
disebabkan virus sangat dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh. Bila
sistem kekebalan tubuh baik, maka seseorang akan kebal terhadap serangan
virus. Selain itu, kesembuhan dari penyakit akibat serangan virus juga akan
lebih cepat. Anak dengan malnutrisi juga lebih sering mengalami ISPA
dibandingkan dengan anak dengan gizi yang baik.17
e. Status Imunisasi
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap cenderung lebih
sering mengalami ISPA. Kebanyakan kasus ISPA pada anak terjadi akibat
komplikasi dari campak yang merupakan faktor risiko yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Namun, kemampuan tubuh untuk menangkal suatu
penyit masih dipengaruhi oleh beberapa faktor yang lain seperti faktor
genetik dan kualitas vaksin.18
f. Pendidikan

13
Kurangnya pengetahuan di masyarakat akan gejala dan upaya
penanggulangan ISPA dan bagaimana pencegahan agar tidak mudah
terserang penyakit ISPA menyebabkan masih banyak kasus ISPA yang
dapat ke sarana pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat.20
g. Pemberian ASI eksklusif
Pemberian ASI secara eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan
merupakan langkah yang efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan
gizi dan memberikan perlindungan bagi bayi dari serangan infeksi
khususnya ISPA.21 ASI mengandung banyak faktor kekebalan dan
bermanfaat terhadap pencegahan ISPA terutama sejak pemberian ASI di
awal kehidupan bayi hingga bayi berusia 6 bulan, salah satunya adalah
imunoglobulin. Imunoglobulin yang banyak ditemukan pada saluran cerna
dan saluran napas adalah imunoglobulin A (IgA).21 Selama minggu pertama
kehidupan (4-6 hari) payudara ibu akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI
awal yang banyak mengandung zat-zat kekebalan tubuh (imunoglobulin,
komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat penting
untuk melindungi bayi dari serangan infeksi.21
Bayi yang diberi ASI eksklusif cenderung tidak pernah mengalami
ISPA sedangkan bayi yang mendapatkan ASI non-eksklusif cenderung
lebih sering mengalami ISPA.21 Risiko anak yang diberi ASI tidak secara
eksklusif lebih besar dibandingkan dengan anak yang diberi ASI secara
eksklusif.21 Kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2-6 kali lebih
banyak pada bayi yang diberi susu formula dibandingkan dengan bayi yang
mendapat ASI.21

3. Faktor lingkungan
Keadaan fisik sekita rmanusia berpengaruh terhadap kesehatan manusia, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Ada beberapa faktor dari lingkungan
yang berpengaruh terhadap kesehatan, meliputi udara, kelembapan, air, dan
pencemaran udara. ISPA termasuk air-borne disease yang merupakan
penyakit yang penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pernapasan.22 Karena itu, secara epidemiologi, udara

14
mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran
pernapasan. Selain itu, faktor dari lingkungan yang meningkatkan risiko
terjadinya kejadian ISPA adalah asap yang dihasilkan pabrik, asap kendaraan
bermotor, asap dari perokok, asap dari bahan bakar yang digunakan untuk
memasak, kurangnya ventilasi di rumah, suhu ruangan rumah di bawah 18°C
atau di atas 30°C, kepadatan hunian rumah, penggunaan antinyamuk, dan
partikel debu di sekitar tempat tinggal.22

2.6. Manifestasi Klinis


Gejala ISPA dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Gejala ISPA Ringan
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu
atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara seperti
pada waktu berbicara atau menangis
c. Pilek, yaiut mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d. Demam, dengan suhu badan lebih dari 37°C
2. Gejala ISPA Sedang
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika ditemukan gejala
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Pernapasan cepat sesuai umur yaitu pada kelompok umur <2 bulan dengan
frekuensi napas 60 kali per menit atau lebih, pada kelompok umur 2 - <12
bulan dengan frekuensi napas 50 kali per menit atau lebih, dan pada
kelompok umur 12 bulan - <5 tahun dengan frekuensi napas 40 kali per
menit atau lebih.
b. Suhu badan lebih dari 39°C
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Telinga sakit atau mengeluarkan cairan dari lubang telinga
e. Pernapasan berbunyi seperti mengorok / mendengkur
3. Gejala ISPA Berat
4. Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA berat jika ditemukan gejala

15
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Bibir atau kulit membiru
b. Kesadaran anak menurun
c. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d. Sela iga tertarik ke dalam saat bernapas
e. Nadi lebih cepat dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f. Pernapasan cuping hidung 22

2.7. Diagnosis
Diagnosis etiologi ISPA pada bayi/balita cukup sulit ditegkkan karena
pengambilan dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan imunologi pun belum
bisa memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan penyebab ISPA.
Pemeriksaan darah dan pembiakan spesimen fungsi atau aspirasi paru bisa
dilakukan untuk diagnosis penyebab ISPA. Cara ini cukup efektif untuk
menentukan etiologi ISPA. Namun cara ini dianggap prosedur yang berbahaya
dan bertentangan dengan etika. Dengan pertimbangan ini, diagnosis etiologi
penyebab ISPA di Indonesia didasarkan pada hasil penelitian asing (melalui
publikasi WHO) bahwa Streptococcus pneumoniae dan Haemophylus influenza
merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara
berkembang, sedangkan di negar amaju seringkali disebabkan oleh virus.
Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul pada bayi/balita
seperti yang telah dijelaskan pada uraian manifestasi klinis di atas.22

2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ISPA dikembangkan melalui suatu Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Melalui MTBS ini msemua penderita ISPA
langsung ditangani di unit yang menemukan. Namun, bila kondisi bayi/balita
sudah berada dalam pneumonia berat, sedangkan peralatan tidak mencukupi maka
penderita langsung dirujuk ke unit dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Pengobatan ISPA dilaksanakan berdasarkan klasifikasi ISPA sebagaimana
diuraikan secara ringkas pada bagan berikut.

16
Gambar 1. Tatalaksana ISPA pada bayi kurang dari 2 bulan

Gambar 2. Tatalaksana ISPA pada bayi/balita usia 2 bulan - <5 tahun

17
Antibiotika yang dapat digunakan adalah kotrimoksazol atau amoksisilin
selama 3 hari, dan dapat juga diberikan penurun panas seperti parasetamol.
Setelah mendapat antibiotika, penderita ditindaklanjuti pada kunjungan ulang
setiap dua hari di fasilitas pelayanan kesehatan. Bila pasien menderita pneumonia
berat, pasien harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.11

2.9. Pencegahan
1. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana melalui kegiatan ini
diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal
yang dapat meningkatkan faktor risiko ISPA. Penyuluhan dapat berupa
penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI eksklusif, penyuluhan imunisasi,
penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan
lingkungan rumah, atau penyuluhan bahaya rokok.
2. Imunisasi lengkap
3. Usaha di bidang gizi dengan tujuan mengurangi malnutrisi.
4. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi BBLR.
5. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah
polusi di dalam maupun di luar rumah.22

B. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif

ASI eksklusif merupakan pemberian ASI pada 6 bulan pertama


kelahiran tanpa disertai pemberian makanan atau minuman apapun.3 Setelah
bayi berusia 6 bulan, barulah bayi mulai diperkenalkan dengan makanan
pendamping atau makanan padat secara benar dan tepat, sedangkan ASI tetap
diberikan kepada bayi sampai berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun.
Bayi sehat umumnya tidak memerlukan makanan tambahan apapun
sampai berusia 6 bulan kecuali terdapat keadaan-keadaan khusus yang membuat
bayi perlu diberi makanan tambahan sebelum berusia 6 bulan. Misalnya terjadi
peningkatan berat badan bayi yang tidak sesuai standar atau terdapat tanda-tanda
lain yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berjalan dengan
baik. Namun, sebelum diberikan makanan tambahan, ibu sebaiknya

18
memperbaiki terlebih dahulu cara pemberian ASI kepada bayi. Apabila setelah
1-2 minggu usaha tersebut telah dilakukan tetapi belum terjadi peningkatan berat
badan, barulah ibu dapat memikirkan untuk memberikan makanan tambahan
bagi bayi berusia di atas 4 bulan namun belum mencapai 6 bulan.4
ASI merupakan suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan
garam-garam organik yang disekresikan oleh kelenjar mammae. 4 Berdasarkan
stadium laktasinya, komposisi ASI dapat dibagi sebagai berikut:

a. Kolostrum
Kolostrum merupakan cairan yang pertama kali disekresi oleh
kelenjar mammae, mengandung tissue debris dan residual material yang
terdapat dalam alveoli dan duktus dari kelenjar mammae. Kolostrum mulai
disekresikan dari hari ke-1 sampai hari ke-4 setelah melahirkan. Kolostrum
bersifat viscous dengan warna kekuning-kuningan, lebih kuning daripada ASI
matur. Kolostrum juga merupakan pencahar yang ideal untuk membersihkan
mekonium dari usus bayi yang baru lahir dan mempersiapkan saluran
pencernaan bayi terhadap makanan yang akan datang.4
Kolostrum mengandung lebih banyak protein serta antibodi (untuk
memberikan perlindungan pada bayi sampai umur 6 bulan) daripada ASI
matur, kadar karbohidrat dan lemak yang lebih rendah daripada ASI matur.
Mineral, terutama natrium, kalium dan klorida lebih tinggi daripada ASI
matur. Total energi yang lebih rendah daripada ASI matur, yaitu hanya 58
Kal / 100 mL. Vitamin yang larut dalam lemak lebih tinggi dan vitamin yang
larut dalam air lebih rendah daripada ASI matur. ASI yang mengandung
kolostrum akan menggumpal jika dipanaskan serta pH lebih alkalis daripada
ASI matur. Kolostrum mengandung tripsin inhibitor, sehingga hidrolisis
protein dalam usus bayi menjadi kurang sempurna agar kadar antibodi lebih
banyak pada bayi. Volumenya berkisar 150-300 mL / 24 jam.4
b. ASI masa peralihan
ASI ini merupakan peralihan dari kolostrum sampai menjadi ASI
matur yang disekresikan dari hari ke-4 sampai hari ke-10 pada masa laktasi.

19
Kadar protein makin rendah sedangkan kadar karbohidrat dan lemak makin
tinggi. Volume ASI pada masa peralihan semakin meningkat.4
c. ASI matur
ASI matur merupakan ASI yang disekresikan pada hari ke-10 dan
seterusnya. Komposisinya relatif konstan. Ibu yang sehat dengan produksi
ASI cukup dapat memberikan ASI sebagai satu-satunya makanan yang paling
baik dan cukup untuk bayi sampai usia 6 bulan. ASI matur berwarna putih
kekuning-kuningan karena mengandung garam Ca-caseinat, riboflavin, dan
karoten. ASI matur tidak menggumpal jika dipanaskan dan mengandung
antimikrobial lain, seperti:
- Antibodi terhadap bakteri dan virus

- Sel (fagosit, granulosit, makrofag, dan limfosit T)

- Enzim (lisozim, laktoperoksidase, lipase, katalase, fosfatase, amilase,


fosfodiesterase, alkalinfosfatase)

- Protein (laktoferin, B12 binding protein)

- Resistance factor terhadap stafilokokus

- Komplemen

- Interferron producing cell

- Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah dan adanya faktor
bifidus.4

d. Hormon-hormon
Laktoferin merupakan suatu iron binding protein yang bersifat
bakteriostatik kuat terhadap Escherichia coli serta Candida Albicans.
Lactobacillus bifidus merupakan koloni kuman yang memetabolisir laktosa
menjadi asam laktat yang menyebabkan rendahnya pH sehingga
pertumbuhan kuman patogen akan terhambat. Imunoglobulin memberikan
mekanisme pertahanan yang efektif terhadap bakteri dan virus (terutama
IgA) dan bila bergabung dengan komplemen dan lisozim merupakan suatu
antibakterial yang langsung terhadap Escherichia coli. Faktor lisozim dan

20
komplemen ini adalah suatu antibakterial nonspesifik yang mengatur
pertumbuhan flora di usus.4

ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan yang akan melindungi
bayi dari serangan virus, bakteri, parasit, dan jamur. Kolostrum mengandung zat
kekebalan 10-17 kali lebih banyak dari ASI matur. Zat kekebalan tersebut akan
melindungi bayi dari penyakit diare. ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi
terkena penyakit infeksi telinga, batuk, pilek, dan penyakit alergi. Bayi yang diberi
ASI secara eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan bayi yang tidak
mendapat ASI secara eksklusif.4

21
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik untuk mengetahui
hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi. Desain
penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional.

3.2. Tempat dan waktu penelitian


Tempat penelitian dilakukan di Puskesmas Baradatu. Waktu
penelitian adalah bulan Januari 2020.

3.3. Populasi dan sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi yang dibawa oleh
ibunya yang datang berobat ke Puskesmas Baradatu.
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode non-probability
sampling jenis consecutive sampling. Semua subjek yang datang secara
berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan sebagai sampel
penelitian sampai subjek yang diperlukan terpenuhi
Kriteria inklusi subjek penelitian adalah:
a. Bayi berusia 0-12 bulan datang ke Puskesmas Baradatu baik yang
didiagnosis ISPA maupun bukan ISPA.
b. Ibu yang membawa bayi tersebut bersedia menjadi responden.
Kriteria eksklusi subjek penelitian ini adalah:
a. Ibu tidak mengisi kuesioner secara lengkap.
b. Bayi yang bukan dibawa oleh ibunya.

3.4. Metode Pengumpulan Data


Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian dengan cara

22
wawancara. Instrumen yang digunakan untuk pengambilan data adalah
dengan pembagian kuesioner.

3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data


3.5.1. Pengolahan Data
Semua data dikumpulkan, dicatat, dan dikelompokkan lalu dimasukkan ke
komputer dan selanjutnya diolah dengan menggunakan program SPSS.
3.5.2. Analisis Data
a. Analisis Univariat
Data yang diperolah dari hasil pengumpulan data disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi, yaitu tabel distribusi frekuensi ISPA
dan tabel distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif.
b. Analisis Bivariat
Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel
dependen disajikan dalam bentuk tabel, lalu dianalisis dengan uji
statistik Chi-square. Pengambilan keputusan statistik dilakukan
dengan membandingkan nilai P value dengan nilai α 0,05. Bila nilai P
value < nilai α 0,05 maka terdapat hubungan bermakna (signifikan)
antara variabel independen dan dependen, sedangkan bila nilai P
value > nilai α 0,05 maka tidak terdapat hubungan bermakna
(signifikan) antara variabel independen dan variabel dependen.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)


4.1.1 Gambaran Umum Puskesmas
1. Keadaan Geogarafi

Puskesmas rawat inap Baradatu merupakan salah satu dari 19 Puskesmas di

Kabupaten Way Kanan, yang memiliki luas wilayah 16.152 km2 atau 4,12 persen dari

luas Kabupaten Way Kanan dan di batasi oleh:

1. Kecamatan Blambangan Umpu di sebelah Utara

2. Kecamatan Gunung Labuhan di sebelah Selatan

3. Kecamatan Negeri Agung di sebelah Timur

4. Kecamatan Banjit dan Kasui di sebelah Barat

Ibu Kota Kecamatan Baradatu adalah Kelurahan Tiuh Balak Pasar, secara geografis

Kecamatan Baradatu terletak pada posisi :

Timur - Barat berada antara: 103o30, -105o45. Bujur Timur, Utara - Selatan berada

antara : 6o45, - 3o45, Lintang Selatan. Secara Topografi Kecamatan Baradatu dapat

di bagi menjadi 2 (dua) unit topografis, yaitu : daerah topografis berbukit sampai

bergunung dan daerah River Basin.

a. Topografi Berbukit

Lereng –lereng yang curam atau yang terjal dengan ketinggian antara 450-1500 m
dari permukan laut. Daerah ini meliputi Kampung Banjar Agung, Banjar Masin,
Banjar Setia, Gedung Rejo, Gunung Katun, Banjar Sari dan Kampung Suko Sari.

b. Daerah River Basin

Di Kecamatan Baradatu terdapat River Basin sungai – sungai besar dan kecil, yang

bercurah deras di beberapa tempat di hulu sedangkan di hilir terdapat aliran irigasi

persawahan yang tersebar di beberapa kampung.

24
Secara administratif pada tahun 2018 UPT Puskesmas Baradatu memiliki wilayah

kerja yang terdiri dari 3 (tiga) kelurahan dan 19 (sembilan belas) kampung yaitu:

1) Kampung Banjar Agung dengan luas wilayah 450 Ha2 terdiri dari 9 RT/ 3 RW.

2) Kelurahan Banjar Masin dengan luas wilayah 345 Ha2 . terdiri dari 7 RT/ 3 RW.

3) Kampung Banjar Negara dengan luas wilayah 1.050 Ha2 terdiri dari 4 RT/ 4 RW.

4) Kampung Banjar Baru dengan luas wilayah 379 Ha2 terdiridari 6 RT/ 3 RW.

5) Kampung Banjar Mulia dengan luas wilayah 600 Ha2 terdiri dari 10 RT/ 5 RW.

6) Kampung Banjar Setia dengan luas wilayah 850 Ha2 terdiri dari 4 RT/ 3 RW.

7) Kampung Tiuh Balak dengan luas wilayah 1.134 Ha2 terdiri dari 10 RT/ 5 RW.

8) Kampung Mekar Asri dengan luas wilayah 406 Ha2 terdiri dari 8 RT/ 4 RW.

9) Kampung Bhakti Negara dengan luas wilayah 575 Ha2 terdiri dari 20 RT/ 4 RW.

10) Kampung Bumi Merapi dengan luas wilayah 249 Ha2 terdiri dari 10 RT/ 3 RW.

11) Kampung Bumi Rejo dengan luas wilayah 253 Ha2 terdiri dari 12 RT/ 4 RW.

12) Kampung Sukosari dengan luas wilayah 300 Ha2 terdiri dari 9 RT/ 4 RW.

13) Kampung Banjar Sari dengan luas wilayah 225 Ha2 terdiri dari 7 RT/ 3 RW.

14) Kampung Setia Negara dengan luas wilayah 825 Ha2 terdiri dari 24 RT/ 4 RW.

15) Kampung Tiuh Balak I dengan luas wilayah 200 Ha2 terdiri dari 5 RT/ 2 RW.

16) Kampung Gedong Pakuon dengan luas wilayah 121 Ha2 terdiri dari 11 RT/ 5 RW.

17) Kampung Cugah dengan luas wilayah 1.500 Ha2 terdiri dari 10 RT/ 5 RW.

18) Kampung Gunung Katun dengan luas wilayah 2.012 Ha2 terdiri dari 20 RT/ 10

RW.

19) Kampung Gedung Rejo dengan luas wilayah 800 Ha2 terdiri dari 7 RT/ 5 RW.

20) Kelurahan Campur Asri dengan luas wilayah 345 Ha2 terdiri dari 9 RT/ 4 RW.

21) Kelurahan Taman Asri dengan luas wilayah 25 Ha2 terdiri dari 12 RT/ 6 RW.

22) Kelurahan Tiuh Balak Pasar dengan luas wilayah 128 Ha2 terdiri dari 11 RT/ 3

RW.
25
2. Keadaan Penduduk
Penduduk Kecamatan Baradatu pada tahun 2018 berdasarkan data dari BPS Kabupaten

Way Kanan adalah sebanyak 39.663 jiwa. Berikut ini tabel Gambaran Kecamatan

Baradatu di perinci menurut jumlah dusun, jumlah KK, jumlah penduduk dan luas

kecamatan pada tahun 2018.

3. Keadaan Ekonomi

Perkembangan ekonomi Kecamatan Baradatu secara kuantitatif dapat dilihat dari

perkembangan produk domestik regional bruto yang merupakan keseluruhan dari nilai

tambah yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi suatu daerah yang

menggambarkan potensi sekaligus kemampuan suatu daerah untuk mengelola

sumberdaya alam yang dimiliki, dalam suatu proses produksi sehingga besarnya

produk domestik regional bruto yang dihasilkan suatu daerah sangat tergantung pada

potensi sumberdaya alam dan factor produksi yang tersedia. Anggaran kesehatan

adalah dana yang disediakan untuk penyelenggaraan upaya kesehatan yang

dialokasikan melalui APBD sebesar Rp. 42.600.000,-Bantuan Operasional Kesehatan

(BOK) sebesar Rp. 745.256.150,- dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar Rp

1.380.044.051,-.

26
7. Deskripsi Karakteristik Sampel

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)


Jenis Kelamin Bayi
Laki-laki 22 44%
Perempuan 28 56%
Usia (bulan)
0–6 29 58%
7 – 12 21 42%
Pemberian ASI Eksklusif
Ya 23 46%
Tidak 27 54%
Menderita ISPA
Ya 42 84%
Tidak 8 16%
Frekuensi ISPA
Tidak Pernah 6 10%
< 2 kali 12 20%
≥ 2 kali 32 70%
Total 50 100%

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah responden pada penelitian ini
sebanyak 50 orang. Kebanyakan responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 28
orang (56%), dan kebanyakan responden berusia 0-6 bulan. Sebagian besar responden
tidak diberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 27 orang (56%), sedangkan yang
diberikan ASI eksklusif berjumlah 23 orang (46%). Responden yang menderita ISPA
didapatkan sebanyak 42 orang (84%), dan kebanyakan menderita ISPA lebih dari 2
kali yaitu sebanyak 32 orang (70%) dari responden.

8. Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif


Pada penelitian ini dapat diketahui besar kejadian ISPA berdasarkan
pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

ASI Menderita ISPA Total


Eksklusif Ya Tidak
N % N % N %
Ya 11 40,7 16 59,3 23 100
Tidak 16 69,5 7 30,5 27 100
Tabel 2. Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif
27
Dari tabel tersebut didapatkan bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif
lebih banyak menderita ISPA dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif.

9. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA


Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara
pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi berusia 0-12 bulan. Data
hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Kejadian ISPA P
Ya Tidak
N % N %
ASI Ya 11 40,7 16 59,3 0,006
Eksklusif Tidak 16 69,5 7 30,5
Total 27 100 23 100
Tabel 3. Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan terdapat 27 orang
bayi yang menderita ISPA dan 23 orang bayi yang tidak menderita ISPA. Dari 32
bayi yang menderita ISPA, hanya 11 bayi yang dibekan ASI eksklusif, sedangkan 16
bayi sisanya tidak diberikan ASI eksklusif. Setelah dilakukan uji hipotesis dengan
metode Chi Square dengan derajat tingkat kemaknaan 0,05 (α=5%), diperoleh nilai p
sebesar 0,006 (p<0,05). Dengan demikian terdapat hubungan yang bermakna antara
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Baradatu,
Way Kanan.

4.4 Pembahasan

Jumlah responden pada penelitian ini ada 50 orang. Mayoritas responden tidak
diberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 27 bayi (54%), dan 69,5% (16 bayi) yang
tidak diberikan ASI eksklusif tersebut menderita ISPA. Hal yang sama terjadi pada
penelitian Noorhidayah pada tahun 2013 dengan responden berjumlah 188 bayi,
sebanyak 65,4% di antaranya tidak diberikan ASI eksklusif dan 64,4% dari bayi
tersebut pernah menderita ISPA.23 Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Okto pada tahun 2010 dengan responden 157 bayi, sebanyak 7,4% dari bayi tersebut
tidak diberikan ASI eksklusif dan 79,6% pernah menderita ISPA. 3 Dengan demikian,
pemberian ASI eksklusif pada bayi lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak

28
diberi ASI eksklusif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi alasan ibu tidak
memberikan ASI eksklusif (diberikan susu formula sebagai pengganti ASI), antara
lain sedikitnya produksi ASI atau ASI tidak ada keluar sama sekali dari payudara ibu,
ibu sibuk bekerja, ibu memiliki kegiatan sosial lain, kurangnya pengetahuan ibu,
faktor makanan, psikologis, dan perawatan payudara oleh ibu.6
Penelitian ini juga menunjukkan terdapat 70% bayi yang menderita ISPA
hingga lebih dari 2 kali dalam 1 tahun, dan hanya 10% bayi saja yang tidak pernah
mengalami ISPA. Dengan demikian angka kejadian ISPA pada bayi di wilayah
Puskesmas Baradatu cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Karolina dan kawan-kawan di Denpasar pada tahun 2011 yang mendapatkan
prevalensi ISPA pada bayi sebesar 54,7%.24 Penyebab tingginya kejadian ISPA
dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu pemberian ASI eksklusif, usia anak di bawah 5
tahun, tidak diberikannya imunisasi, berat badan lahir rendah, malnutrisi, kurangnya
pendidikan orangtua, rendahnya status sosioekonomi, dan lingkungan yang kurang
memadai.25
Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi diuji
dengan uji statistik Chi square didapatkan nilai p=0,006 yang berarti terdapat
hubungan yang bemakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada
bayi. Hasil ini didukung oleh penelitian lainnya, seperti penelitian pada bayi yang
dilakukan Okto pada tahun 2010 juga mendapati adanya hubungan pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA (p=0,011). Demikian pula penelitian pada bayi di RS
Sanglah, Denpasar (p=0,001).3
Telah diketahui sebelumnya bahwa ASI mengandung komponen-komponen
bioaktif yang dapat mencegah bayi mengalami ISPA. Beberapa komponen-komponen
tersebut adalah komponen-komponen imun sepert imunoglobulin A (IgA) dan
interferon yang mampu memberikan perlindungan kepada bayi dari serangan infeksi.8
IgA dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur alternatif dan bersama-sama
dengan makrofag memfagositosis berbagai kuman yang masuk. Selain itu Bronchus
Associated Lymphocyte Tissue (BALT) yang dikandung Asi merupakan antibodi
alami di saluran pernapasan.8
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. Penanganan penurunan
prevalensi ISPA tentu tidak hanya dengan upaya kuratif tetapi perlu ditingkatkan
upaya promotif dan preventif termasuk di dalamnya upaya peningkatan pemberian
ASI eksklusif kepada bayi sampai usia 6 bulan.

29
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat ditarik
beberapa simpulan sebagai berikut :

1. Ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada
bayi (p<0,05).
2. Pemberian ASI eksklusif pada bayi di Puskesmas Baradatu, Way Kanan
sebesar 46%, sedangkan yang tidak diberi ASI eksklusif sebesar 54%.
3. Kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Baradatu, Way Kanan sebesar 90%
(20% mengalami ISPA sebanyak 2 kali dalam setahun dan 70% mengalami
ISPA ≥ 2 kali dalam setahun) sedangkan yang tidak mengalami ISPA
sebesar 10%.

5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pembuatan leaflet mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif
dan hubungannya dengan ISPA pada bayi untuk menambah wawasan masyarakat
sekitar Puskesmas Baradatu, Way Kanan.
2. Perlu dilakukan pembinaan peran serta masyarakat dan kerja sama dengan kader-
kader PKK dan posyandu untuk lebih memotivasi ibu menyusui dalam
memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.
3. Perlu digalakkan lagi tentang perilaku hidup bersih sehat (PHBS) melalui
penyuluhan mengenai pencegahan ISPA dan faktor-faktor risiko kejadian ISPA.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset


Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2013.
2. World Health Organization (WHO). Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit
Kecil Negara Berkembang. Alih Bahasa: C. Anton Widjaja. Jakarta: Penerbit
Kedokteran EGC, 2003.
3. Harahap, Okto M F. Riwayat ASI Eksklusif pada Balita ISPA di Puskesmas Sering.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
4. Roesli, Utami. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Tubulus Agriwidya, 2001.
5. Fuadi, Mirzal. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan terhadap
Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
6. Kristiyansari, W. ASI, Menyusui, dan SADARI. Yogyakarta: Nuha Medika, 2009.
7. Elfia, Yunita. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan ASI Non Eksklusif dengan
Kejadian ISPA pada bayi Usia 0-6 Bulan di Puskesmas Ngesrep Semarang.
Undergradute Theses from JTPTUNIMUS. Diambil pada tanggal 10 Januari 2016
dari http://digilib.unimus.ac.id.
8. Ariefuddin, Y., Priyantini, S. dan Desanti, O.L. Hubungan Pemberian ASI
Eksklusif terhadap Kejadian INFeksi Saluran Pernapasan Akut pada Bayi 0-12
Bulan. Semarang: Universitas Islam Sultan Agung, 2010.
9. Widarini dan Sumasari. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
ISPA pada Bayi. Jurnal Ilmu Gizi (JIG), 1(1): 28-41, 2010.
10. Rustam, Musfardi. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA
pada Bayi usia 6-12 Bulan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jakarta: FKM
UI, 2010.
11. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Lingkungan. Pedoman
Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI, 2012.
12. Puskesmas Baradatu. Laporan Tahunan Puskesmas. 2019
13. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC, 2003.
14. Muttaqin. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: EGC, 2008.

31
15. Mirshahi, Seema et al. Prevalence of Exclusive Breastfeeding in Bangladesh and
Its Association with Diarrhoea and Acute Respiratory Infection. J Health Popul
Nutr, 25(2): 105-294, 2007.
16. Erlien. Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka, 2008.
17. Elyana, Mei dan Chandra, Ayu. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi
Balita. Journal of Nutrition and Health, 1(1), 2014.
18. Layuk, R., Noer, N., Wahiduddin. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Lembang Batu Sura’. 2013. Diambil pada tanggal 10 Januari
2016 dari http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4279.
19. Ibrahim, Hartati. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada
Anak Balita di Wilayah Puskesmas Botumoito Kabupaten Boalemo Tahun 2010.
Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2011.
20. Dharmage et al. Risk Factors of Acute Lower Respiratory Tract Infections in
Children Under Five Years of Age. Southeast Asian Journal of Trop Med Public
Health, 27(1): 107-110, 2009.
21. Gani, A. Strategi Penurunan Insiden Pneumonia pada anak Balita di Kecamatan
Banyuasin dan Betung Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Medan:
Universitas Sumatera Utara, 2004.
22. Gulo, R.R., Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten
Nias Tahun 2008. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
23. Noorhidayah, Widya S. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Socioscience, 6(1): 45-
50, 2014.
24. Tallo, Karolina T et al. The Effect of Exclusive Breastfeeding on Reducing Acute
Respiratory Infections in Low Birth Weight Infants. Paediatr Indones, 52(4): 229-
232, 2012.
25. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang DKI Jakarta. Bedah ASI. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2008.

32
LAMPIRAN

33
KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP KEJADIAN INFEKSI


SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BAYI
DI PUSKESMAS BARADATU

Nomor Responden :

Tanggal Pengambilan Data :

Petunjuk pengisian kuesioner.

1. Sebelum menjawab pertanyaan, bacalah terlebih dahulu pertanyaan yang diteliti.

2. Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memilih salah satu jawaban yang dianggap
benar dengan memberikan tanda (√).

3. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kuesioner mohon dilakukan dengan


memberikan jawaban yang sejujurnya.

4. Mohon diteliti ulang, agar tidak ada pernyataan yang terlewatkan untuk dijawab.

5. Mohon jawaban diisi sendiri sesuai dengan apa yang diketahui tanpa ada unsur paksaan
maupun rekayasa, demi tercapainya hasil yang diharapkan.

6. Data yang dikumpulkan semata-mata untuk keperluan ilmiah yang saya jamin
kerahasiaannya.

A. Data Ibu

Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Agama :
Pendidikan terakhir :
Alamat :

Nomor HP :
B. Data Bayi
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :

34
Alasan Dibawa ke Puskesmas:

C. Kuesioner penelitian
a. Pemberian ASI Eksklusif

Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak
1 Jika bayi berusia di atas 6 bulan :
a. Apakah ibu memberikan ASI pada bayi sampai berusia 6
bulan?
b. Selain ASI, apakah ibu memberikan makanan tambahan atau
susu formula sampai berusia 6 bulan?
2 Jika bayi berusia di bawah 6 bulan / berusia 6 bulan :
a. Apakah ibu memberikan ASI kepada bayi?
b. Selain ASI, apakah ibu memberikan makanan tambahan atau
susu formula?

Keterangan:
- Bayi diberikan ASI secara eksklusif, apabila pertanyaan nomor 1a atau 2a dijawab
Ya dan pertanyaan nomor 1b atau 2b dijawab Tidak.
- Bayi tidak diberikan ASI secara eksklusif, apabila pertanyaan nomor 1b atau 2b
dijawab Ya.

35
b. Kejadian ISPA

Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak
1 Apakah bayi ibu pernah sakit batuk dan atau pilek?
2 Apakah kejadian sakit batuk/pilek pada bayi ibu disertai
demam?
3 Apakah kejadian batuk/pilek tersebut berlangsung lebih dari 14
hari?
4 Apakah bayi ibu mengalami kejadian sakit batuk/pilek lebih dari
2x dalam kurun waktu satu tahun terakhir?

Keterangan:
Kejadian ISPA ditentukan oleh pertanyaan nomor 1 dan 3.
- Bayi menderita ISPA apabila pertanyaan nomr 1 dijawab Ya dan nomor 3 dijawab
Tidak.
- Bayi tidak menderita ISPA apabila pertanyaan nomor 1 dijawab Tidak.
LEMBAR PENJELASAN

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Kami, dokter internsip Puskesmas Baradatu yang sedang melakukan penelitian


berjudul Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi di Puskesmas Baradatu.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang sering
terjadi pada anak terutama bayi dan balita. Adapun gejala dari penyakit ini adalah seperti
batuk dan pilek (gejala ringan), sesak napas dan wheezing/bunyi napas tambahan (gejala
sedang), serta sianosis/kebiruan pada tubuh dan pernapasan cuping hidung (gejala berat).
ISPA yang ringan jika tidak segera ditangani akan menjadi berat dan bahkan sampai
menyebabkan kematian. Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya ISPA pada bayi,
salah satunya pemberian ASI eksklusif. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat
hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA. Adapun manfaat dari
penelitian ini adalah memberikan informasi tambahan di bidang kesehatan tentang
hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA, serta dapat memberikan data
untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.
Oleh karena itu saya meminta kesediaan Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian
ini dengan sukarela dan tanpa paksaan. Saya akan melakukan wawancara dengan
mengajukan beberapa pertanyaan seputar pemberian ASI eksklusi dan ISPA pada bayi
Ibu pada lembaran kuesioner untuk diisi. Saya mengharapkan Ibu menjawab semua
pertanyaan dengan kejadian sebenar-benarnya yang dialami. Identitas pribadi Ibu sebagai
partisipan akan dirahasiakan dan informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk
penelitian ini. Untuk penelitian ini, Ibu tidak akan dikenakan biaya apapun. Setelah
memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini diharapkan Ibu bersedia mengisi
lembar persetujuan yang telah saya siapkan. Bila terdapat hal yang kurang dimengerti, Ibu
dapat langsung menanyakan kepada Saya sebagai peneliti.
Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan dan kesedian Ibu menjadi
partisipan dalam penelitian ini, saya sampaikan terima kasih.

Way Kanan, Januari 2020

Peneliti

37
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Usia :

Alamat :

setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian tentang “Hubungan Pemberian ASI


Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi di
Puskesmas Baradatu”, dengan ini menyatakan BERSEDIA/TIDAK BERSEDIA* untuk
ikut serta berpartisipasi dengan menjadi objek penelitian.

*) coret yang tidak perlu

Way Kanan, Januari 2020

Peneliti, Yang Membuat Pernyataan,

..................................................

38

Anda mungkin juga menyukai