Anda di halaman 1dari 28

KEPADA YTH :

DIAJUKAN TANGGAL : 31 Oktober 2019

REFERAT
EMBOLISASI PSEUDOANEURISMA ARTERI UTERINA

Oleh:
dr. Elizabeth Angeline

Pembimbing:
dr. Alini Hafiz, Sp.OG

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................i


DAFTAR ISI...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................2
2.1. Anatomi Uterus .................................................................................................2
2.2. Anatomi Arteri Uterina .....................................................................................3
2.3. Pseudoaneurisma ..............................................................................................6
2.3.1 Gambaran klinis .............................................................................................7
2.3.2 Gambaran radiologi ........................................................................................7
2.3.2.1 Ultrasonografi ..............................................................................................7
2.3.2.2 CT Angiografi .............................................................................................9
2.3.2.3 Magnetic Resonance Angiography..............................................................11
2.3.2.4 Angiografi konvensional .............................................................................12
2.3.3 Terapi ..............................................................................................................14
2.3.3.1 Operasi.........................................................................................................15
2.3.3.2 US-guided Percutaneous Thrombin Injection .............................................16
2.3.3.3 Angiografi dan teknik embolisasi ................................................................18
BAB III KESIMPULAN.................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Postpartum hemorrhage (PPH) merupakan salah satu dari penyebab mayor morbiditas
dan mortalitas maternal. PPH sekunder merupakan perdarahan yang sangat banyak yang dapat
terjadi kapan saja dari 24 jam hingga 12 minggu postpartum dan paling sering terjadi di antara
8-14 hari postpartum. Seringkali penyebabnya adalah produk konsepsi yang bertahan,
subinvolusi placental bed, dan endometritis. Penyebab yang jarang terjadi adalah
pseudoaneurisma Arteri uterina (UAP), malformasi arteriovenous, dan choriocarcinoma. PPH
sekunder jarang terjadi. Hingga sekarang, PPH sekunder mendapat perhatian yang sedikit,
mungkin karena insidens yang rendah dan lebih menyebabkan morbiditas dibandingkan
mortalitas. Bagaimanapun, PPH sekunder yang berat terkadang dapat menjadi fatal. UAP
jarang terjadi dan berpotensi life-threatening1.

Pseudoaneurisma merupakan kumpulan darah ekstralumen dengan aliran turbulen yang


berhubungan dengan aliran darah arteri melalui defek di dinding arteri2. True aneurysm
memiliki 3 lapisan dinding arteri, dimana pseudoaneurisma tidak memiliki seluruh 3 lapisan
dinding arteri1. Defek tersebut biasanya merupakan akibat dari trauma lokal dengan kerusakan
vaskular2. UAP dapat terjadi setelah penggunaan alat intrauterin, persalinan traumatik,
terminasi kehamilan, caesarean section, manual plasenta, persalinan dengan forceps, ekstraksi
vakum, atau dilatation dan curettage (D&C)1. Partus presipitatus merupakan ekspulsi fetus
kurang dari 3 jam dan terjadi pada 2% dari seluruh kelahiran di Amerika Serikat tahun 2006.
Partus presipitatus dapat diikuti dengan komplikasi ibu yang serius. Kontraksi uterus yang kuat
diikuti dengan cervix yang panjang dan kuat/kaku, serta noncompliant birth canal dapat
menyebabkan ruptur dinding arteri uterina atau laserasi birth canal. Kerusakan dinding arteri
uterina dapat menyebabkan terbentuknya pseudoaneurisma2.

Diagnosis aneurisma A. uterina dapat dibuat dengan ultrasonografi, tetapi jika kecil dan
ketika sudah terjadi ruptur, gambarannya akan sulit terlihat, dan CT scan dapat berguna dalam
mengidentifikasi abnormalitas arteri yang mendasari dan seringkali paling baik digunakan
angiografi. Embolisasi arteri harus dipertimbangkan sebagai terapi pilihan untuk pasien stabil1.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Uterus


Uterus merupakan organ dinamik bentuk pear yang memiliki fungsi yang
bervariasi seperti gestasi (kehamilan), menstruasi, dan kelahiran. Pada anatomi normal,
uterus terletak di pelvis di bagian posterior vesika urinaria dan anterior rektum. Uterus
dibagi menjadi 3 segmen anatomi utama (dari superior ke inferior): fundus, corpus, dan
cervix (yang protrusi ke vagina)3.

Uterus disokong oleh beberapa ligamen yaitu ligamentum uteroovarian,


ligamentum teres uteri, ligamentum latum, ligamentum cardinal, dan ligamentum
uterosacral. Pada bagian inferior disokong oleh diafragma pelvis, diafragma urogenital,
dan corpus perineum. Uterus dapat di berbagai posisi seperti anteversi atau retroversi,
antefleksi atau retrofleksi, atau midline, atau dapat berotasi (terutama selama
kehamilan). Uterus seringkali antefleksi dan anteversi pada 50% wanita3.

Uterus terdiri dari 3 buah lapisan3:

• Endometrium: lapisan paling dalam dan terdiri dari endometrium fungsional


(superfisial) dan basal. Lapisan fungsional berespon terhadap hormon
reproduksi. Ketika lapisan ini meluruh, terjadilah menstruasi. Jika terjadi
kerusakan pada endometrium basal, dapat menyebabkan pembentukan
adhesi dan fibrosis (Asherman syndrome)
• Miometrium: lapisan otot dan terbentuk dari sel otot halus
• Serosa/perimetrium: lapisan luar tipis yang terbentuk dari sel epitel

2
Gambar 1. Anatomi uterus4

Gambar 2. Ligamen penyokong uterus4

2.2 Anatomi Arteri Uterina

Arteri uterina merupakan pembuluh darah utama yang mensuplai darah ke


uterus. Arteri uterina memberikan cabang yang mensuplai berbagai bagian uterus dan
memainkan bagian penting dalam menjaga suplai darah selama proses fisiologi seperti

3
perubahan endometrium selama siklus menstruasi dan pertumbuhan uterus selama
kehamilan. Dalam perjalanannya, A. Uterina melewati aspek anterior ureter bagian
distal; dalam hal ini disebut sebagai “water under the bridge”5,6.

Terdapat dua buah Arteri uterina (kanan dan kiri). A. uterina merupakan cabang
dari A. iliaca interna yang juga disebut A. hipogastrika. A. uterina kanan merupakan
cabang dari A. iliaca interna bagian anterior kanan. A. uterina berjalan dari arah lateral
ke medial melalui bagian bawah dari ligamentum latum uteri atau disebut sebagai
ligamentum cardinal. Pada setinggi isthmus uterus, A. Uterina dibagi menjadi cabang
ascenden dan descenden5,6.

Setelah bifurcatio, A. ascenden berjalan ke superior di sebelah uterus dan


berjalan tortuous dengan sisi lateral uterus. A. ascenden, pada wanita multipara,
menjadi lebih berbelit dan tortuous dalam ukuran dan bentuk. A. Uterina cabang
ascenden beranastomosis dengan A. ovarica. A. ovarica merupakan cabang langsung
dari aorta abdominalis. A. ovarica mensuplai darah yang teroksigenasi ke ovarium, tuba
falopii, dan uterus. Di miometrium, A. uterina bercabang menjadi A. arkuata, A.
radialis, A. spiralis, dan A. basalis5,6.

Cabang descenden memberikan suplai darah ke cervix uteri dan vagina. A.


arkuata di sekitar cervix disebut juga A. sirkularis cervix. A. uterina juga bersirkulasi
memberikan cabang ke tuba falopii dan ureter saat ia melewatinya. Cabang
cervicovaginal beranastomosis dengan A. vaginal untuk membentuk A. azygos
vagina5,6.

A. arkuata uterus memberikan suplai darah ke miometrium uterus. A. arkuata


penetrasi melalui sirkumferensia miometrium dan mensuplai darah ke dinding anterior
dan posterior uterus. A. arkuata berakhir pada A. spiralis, mensuplai endometrium,
desidua, dan plasenta selama kehamilan. Ritme kontraksi dan relaksasi pembuluh darah
ini membantu menjaga stabilitas endometrium dan mengontrol suplai darah. Pembuluh
darah ini biasanya terlihat pada fase luteal akhir. Sebelum dan selama menstruasi,
pembuluh darah ini tidak terlalu terlihat. Estrogen menyebabkan peningkatan ukuran
dan jumlah pembuluh darah, dan meningkatkan aliran darah. Estrogen bertanggung
jawab untuk proliferasi endometrium uterus selama fase proliferatif siklus
menstruasi5,6.

4
A. spiralis mensuplai darah ke endometrium uterus zona fungsional yang
meluruh saat menstruasi. Secara histologi, identifikasi A. spiralis membantu untuk
penegakan diagnosis fase luteal siklus menstruasi5,6.

A. basalis mensuplai darah ke endometrium uterus zona basalis. Zona basalis


memulai regenerasi endometrium setelah menstruasi. Regenerasi ini terjadi di bawah
pengaruh estrogen selama fase proliferatif siklus menstruasi. Perkembangan stroma di
bawah pengaruh progesteron5,6.

Gambar 3. A. uterina dan cabang-cabangnya, A. vaginal dan cabang-cabangnya, cabang ke fundus, cabang ke
tuba, A. cervix, A. hipogastrika5.

5
Gambar 4. Ilustrasi suplai darah arteri pada organ reproduksi wanita6

2.3 Pseudoaneurisma

Lesi vaskular uterina merupakan hal yang jarang terjadi tetapi berpotensi
membahayakan jiwa. Penyakit vaskular abnormal yang mengenai arteri adalah true
aneurysm, pseudoaneurisma, dan malformasi arteriovenous,. True aneurysm A. uterina
biasanya kongenital dan dapat dikategorikan fusiform atau sakular. Aneurisma fusiform
memiliki ciri khas dilatasi lokal lumen pembuluh darah yang rata-rata 2x ukuran bagian
proksimal dan distalnya. Aneurisma sakular merupakan ekstrusi lokal dari pembuluh
darah yang memiliki seluruh 3 lapisan dinding pembuluh darah.

Pseudoaneurisma dan malformasi arteriovenous biasanya didapat, yang dapat


merupakan akibat dari kuretase uterus atau trauma operasi. Pseudoaneurisma arteri
merupakan komplikasi kerusakan vaskular. Pseudoaneurisma terjadi dari laserasi atau
puncture dinding arteri yang menyebabkan darah masuk ke jaringan periarteri dan
membentuk sakus terperfusi yang berhubungan dengan lumen arteri donor. Perbedaan
utama dengan true aneurysm adalah keterlibatan lapisan pembuluh darah dimana pada
true aneurysm terjadi kelemahan 3 lapisan dinding pembuluh darah, sedangkan pada
pseudoaneurisma terjadi robekan pada minimal 1 lapisan dinding pembuluh darah.

6
Pada kasus obstetrik, trauma pada A. uterina dari caesarean section merupakan
penyebab paling umum terjadinya pseudoaneurisma. Hal ini dapat terjadi karena
ekstensi lateral dari insisi uterus segmen bawah dan kegagalan untuk melindungi apeks
insisi saat perbaikan, atau jika operasi dilakukan pada dilatasi lanjut1. Pseudoaneurisma
juga dapat terjadi setelah persalinan normal pervaginam tanpa prosedur traumatik,
namun hal ini sangat jarang terjadi1. Lokasi pseudoaneurisma setelah persalinan
pervaginam cenderung bervariasi dan dapat mengenai A. vagina atau A. obturator,
dimana pseudoaneurisma setelah persalinan caesarean biasanya mengenai A. uterina 7.

2.3.1 Gambaran klinis


Pseudoaneurisma dapat asimptomatik dan terdeteksi hanya insidental selama
pemeriksaan radiologi karena kondisi lain atau selama operasi. Pseudoaneurisma
simptomatik bermanifestasi dengan tanda dan gejala lokal atau sistemik. Efek lokal
pseudoaneurisma merupakan efek massa sekunder dari struktur di dekatnya yang
menyebabkan gangguan fungsi. Kondisi ini dapat bermanifestasi sebagai thrill yang
teraba, bruit yang terdengar, atau massa yang pulsatil. Iskemia di jaringan sekitarnya
oleh karena vaskular yang mulai terganggu dapat menyebabkan nekrosis dari kutis dan
jaringan subkutis di atasnya. Kompresi dari vena di dekatnya menyebabkan edema dan
deep venous thrombosis. Thromboembolisme juga merupakan komplikasi yang
potensial. Pseudoaneurisma dapat ruptur, menyebabkan perdarahan dengan potensi
sekuel klinis berupa syok yang membahayakan jiwa8

2.3.2 Gambaran radiologi

2.3.2.1 Ultrasonografi

Ultrasonografi gray-scale memperlihatkan struktur kistik hipoechoic di dekat


donor arteri. Ukuran sakus pseudoaneurisma, jumlah kompartemen (lobus) di sakus,
hubungan sakus ke arteri, dan panjang serta lebar leher pseudoaneurisma dapat dinilai
dengan ultrasound gray-scale (Gambar 5). Pseudoaneurisma dapat simple (1 lobus) atau
kompleks (2 atau lebih lobus yang dipisahkan oleh tract paten dengan diameter lebih
kecil daripada dimensi minimal lobus terkecil). Septa di dalam lobus atau di antara
lobus pseudoaneurisma dapat juga terlihat. Lapisan konsentrik hematoma terkadang

7
terlihat dalam pseudoaneurisma (Gambar 6). Akan tetapi, ultrasonografi gray-scale
tidak dapat mendiagnosis secara pasti karena temuan ini juga ditemukan pada berbagai
kondisi, yang paling sering adalah kista simple dan kompleks serta hematoma8.

Gambar 5. (a) Ultrasonografi duplex Doppler menggambarkan pseudoaneurisma (PsA) dengan aliran
bidirectional di dalam neck (N). Arteri donor yang mensuplai pseudoaneurisma juga dapat terlihat (A). (b)
Ultrasonografi color Doppler pseudoaneurisma menunjukkan pseudoaneurysmal neck (N) dan yinyang (merah-
biru) dari sakus pseudoaneurisma (PsA)8.

Gambar 6. (a) Ultrasonografi transvaginal gray-scale memperlihatkan pseudoaneurisma pada A. iliaca interna
kiri (kepala panah) dan lapisan konsentrik thrombosis mural (panah). (b) Ultrasonografi transvaginal color
Doppler pseudoaneurisma memperlihatkan aliran yinyang (merah-biru) di sakus (kepala panah). (c)
Ultrasonografi transvaginal color Doppler flow mennjukkan aliran to-and-fro (bidirectional)8.

Ultrasonografi Doppler membantu menegakkan diagnosis. Aliran darah di


antara struktur kistik yang memiliki ciri khas gerakan swirling yang disebut “yinyang
sign” (Gambar 5b, 6b). Bagaimanapun, pola aliran ini dapat ditemukan juga pada
aneurisma sakular, oleh karena itu, diagnosis yang ditegakkan berdasarkan temuan ini

8
saja dapat inakurat. Tanda diagnosis adalah adanya hubungan (leher) antara sakus
dengan feeding artery/arteri donor dengan gelombang “to-and-fro” pada ultrasonografi
duplex Doppler. Komponen “to” menunjukkan aliran darah masuk ke pseudoaneurisma
pada waktu sistol; komponen “fro”menunjukkan darah keluar dari pseudoaneurisma
selama diastol (Gambar 6c). Ultrasonografi merupakan alat diagnostik bernilai dalam
mendeteksi pseudoaneurisma. Modalitas ini dapat dibawa, tersedia, tidak mahal, dan
cepat, serta tidak ada radiasi ion atau materi kontras yang toksik untuk ginjal, dan
noninvasif. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 94% dan spesifisitas 97% dalam
mendeteksi pseudoaneurisma. Namun, kegunaan ultrasonografi dalam mengevaluasi
arteri yang visceral (dalam) terbatas, dengan sensitivitas rendah. Selain itu,
ultrasonografi merupakan operator dependent dan evaluasi pembuluh darah pada
pasien trauma dengan fraktur atau hematoma sulit dilakukan. Sebagai tambahan,
konteks klinis seperti riwayat penyebab pseudoaneurisma dapat membantu diagnosis
pseudoaneurisma versus true aneurysm sakular8.

Gambar 7. Gambar USG transvaginal pada pseudoaneurisma A. uterina kanan dengan thrombosis 9

2.3.2.2 Computed Tomography (CT) Angiografi

CT angiografi merupakan alat diagnostik yang bernilai. CT scan non kontras


dapat menunjukkan struktur bulat beratenuasi rendah yang berasal dari arteri donor.
Atenuasi intermediate atau tinggi (perdarahan) di dekat pseudoaneurisma
mengindikasikan ruptur pseudoaneurisma yang mana variasi atenuasinya tergantung

9
usia perdarahan yang akut atau kronik. Dinding dari pseudoaneurisma biasanya halus
dan berbatas tegas kecuali pada pseudoaneurisma mikotik, yang dindingnya tebal,
irregular, atau berbatas tidak tegas. CT scan dengan kontras menunjukkan sakus berisi
kontras. Bagaimanapun, seluruh pseudoaneurisma dapat tidak terisi dengan kontras;
area dengan atenuasi rendah dapat tetap di dalam pseudoaneurisma dan merupakan
temuan yang mengindikasikan thrombosis partial. Arteri donor dekat dengan
pseudoaneurisma dan biasanya dapat terlihat berhubungan8.

CT angiografi memiliki keuntungan dibandingkan modalitas imaging lain


seperti USG, Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan angiografi. Walaupun USG dan
MRI juga noninvasif, CT angiografi tidak operator dependent dan memiliki waktu
pengerjaan lebih singkat (≤ 1 menit). Pengolahan data untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi dapat memakan waktu; namun, informasi diagnostik cukup untuk perencanaan
operasi yang diambil dari gambaran aksial. CT scan juga dapat membantu mendeteksi
lesi yang berhubungan atau penyakit lain yang berhubungan yang tidak dapat dideteksi
dengan modalitas lain (contoh, angiografi, yang terbatas untuk evaluasi struktur
vaskular). CT angiografi 3D memberikan gambaran lesi dari seluruh sudut, yang tidak
dapat dilakukan dengan angiografi. Selain itu, CT memberikan gambaran yang
menyeluruh dari seluruh vaskular, termasuk vascular beds di dekatnya; angiografi
terbatas pada teritori vaskular yang dipilih, yang dapat menyebabkan synchronous
pseudoaneurysm atau penyakit vaskular lain menjadi terabaikan. CT angiografi
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi injuri arteri. Sebagai
contoh, studi yang dilakukan oleh Soto et al, CT angiografi memiliki sensitivitas 95.1%
dan spesifisitas 98.7% dalam mendeteksi pseudoaneurisma pada ekstremitas atas 8.

Kegunaan CT angiografi masih terbatas oleh gambaran artefak. Resolusi spasial


CT angiografi lebih inferior dibandingkan angiografi konvensional, menyebabkan
keterbatasan dalam mendeteksi abnormalitas yang samar. Secara umum, materi kontras
lebih banyak dibutuhkan pada CT angiografi dibandingkan angiografi. Terapi
endovaskular juga tidak dapat langsung dilakukan pada saat diagnosis 8.

CT endoskopi virtual merupakan fitur tambahan dari CT scan tetapi


membutuhkan workstation yang memiliki program untuk membuat gambaran dan
interpretasinya8.

10
Gambar 8. Gambaran CT scan (a) dan angiografi pelvis (b). a. CT scan memperlihatkan massa yang enhanced di
dalam uterus, sugestif pseudoaneurisma A. uterina (kepala panah hitam). B. Digital subtraction angiogram A.
iliaca interna kiri memperlihatkan pseudoaneurisma A. uterina (kepala panah putih) berasal dari A. uterina
kiri10.

2.3.2.3 Magnetic Resonance Angiography


Magnetic Resonance Angiography (MRA) 3D dengan kontras gadolinium
memperlihatkan lesi dalam berbagai proyeksi. MRA tidak memakai kontras iodin atau
radiasi ion, sehingga ini merupakan alat yang bernilai dalam menggambarkan
pseudoaneurisma pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan alergi terhadap
kontras CT. Axial spoiled gradient-echo atau spin-echo T1-weighted MRI
menggambarkan thrombus intralumen dan penilaian ukuran sakus pseudoaneurisma 8.

MRA lebih membutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan


USG atau CT. MRA juga tidak praktis dalam kondisi trauma karena (a) ketersediaannya
yang terbatas, (b) pengawasan pasien yang baik di dalam magnet sulit dilakukan, dan
(c) pasien seringkali terpasang alat-alat medis yang tidak kompatibel dengan MRI.
Kegunaan MRA juga terbatas karena (a) artefak karena gerakan pasien, (b) artefak
logam seperti surgical clip atau alat ortopedik, (c) turtuosity pembuluh darah, (d) aliran
turbulen, atau (e) pulsatilitas (denyut)8.

11
Gambar 9. (A) Ultrasonografi Color Doppler menunjukkan pola aliran darah swirling dengan materi echogenic
di cavum uteri (panah). Lesi ini berhubungan dengan A. uterina kiri oleh leher yang sempit (panah
melengkung). (B) MRI pelvis T2-wighted sagittal. Area signal void (panah) berasal dari aliran turbulen di dalam
pseudoaneurisma. (C) Arteriogram uterina kiri. Arteriogram memperlihatkan leher sempit pseudoaneurisma
(panah). (D) USG Color Doppler transvaginal uterus follow-up. Resolusi komplit dari pseudoaneurisma11.

2.3.2.4 Angiografi konvensional

Angiografi tetap menjadi standar untuk referensi diagnosis pseudoaneurisma


walaupun banyak temuan teknologi imaging baru seperti CT angiografi dan MRA.
Keuntungan signifikan dari angiografi adalah kapasitasnya dalam menilai
hemodinamik yang real-time untuk vascular bed tertentu, yang mana termasuk
identifikasi pembuluh darah kolateral untuk menilai arteri donor. Penilaian ini penting
untuk rencana terapi. Pseudoaneurisma lainnya yang tidak terlihat pada USG, CT, atau
MRI vascular bed dapat teridentifikasi pada angiografi. Arteri donor dapat secara akurat
teridentifikasi dan angiografi selektif dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik
dari pseudoaneurisma, termasuk ukuran leher. Lesi dapat memiliki gambaran yang
sama pada CT (contoh, pseudoaneurisma, arteriovenous fistula, malformasi vaskular)
yang lebih baik dibedakan dengan angiografi. Angiografi juga merupakan alat
diagnostik sekaligus terapi jika diindikasikan8.

12
Kerugian angiografi sebagai modalitas diagnostik adalah prosedur yang invasif
dan peningkatan risiko komplikasi oleh karena prosedur. Risiko terjadinya
pseudoaneurisma pada tempat puncture hanya 1% pada prosedur diagnostik. Akan
tetapi, risiko ini meningkat hingga 3.2 – 7.7% pada prosedur terapi. Prevalensi
keseluruhan komplikasi vaskular mayor karena angiografi adalah 0.02 – 9%.
Komplikasinya adalah perkembangan terjadinya pseudoaneurisma, hematoma,
arteriovenous fistula, embolisasi distal, spasme arteri, iskemia, diseksi intima, dan
thrombosis pembuluh darah. Selain itu, angiografi memakai radiasi ion dan kontras
iodin, yang memiliki masing-masing memiliki risiko dan komplikasi8.

Keterbatasan angiografi lainnya adalah tidak dapat secara akurat menilai


pseudoaneurisma yang memiliki thrombus di dalamnya (Gambar 10). Selain itu, lesi
vaskular, seperti pseudoaneurisma lainnya, dapat terabaikan jika vascular bed tertentu
tidak dievaluasi selama angiografi oleh kateter. Sebagai konsekuensinya, angiografi
harus digunakan sebagai modalitas diagnostik yang fokus untuk melengkapi dan
mengimbangi pitfall dari modalitas diagnostik lainnya seperti CT angiografi dan
sebagai pendahuluan terapi endoluminal dari pseudoaneurisma8.

Temuan ultrasonografi pseudoaneurisma A. uterina adalah lesi intrauterina


anechoic atau hipoechoic (gambar 10a), vaskularisasi pada ultrasonografi color
Doppler, dan aliran sistolik dan diastolik bidirectional turbulen dengan aliasing pada
spectral Doppler. CT scan dengan kontras sangat berguna untuk mengkonfirmasi
diagnosis pada keadaan emergensi. Pseudoaneurisma dapat terlihat sebagai flow void
pada T2-weighted MRI dengan enhancement intens post kontras (gambar 10b,c) dan
seringkali dikelilingi hematom hiperintens pada T1-weighted imaging. Bagaimanapun,
MRI merupakan modalitas yang tidak ideal pada kondisi emergensi. Angiografi dapat
dengan jelas memperlihatkan dan mengkonfirmasi adanya pseudoaneurisma dan
memfasilitasi embolisasi selanjutnya (gambar 10d)7.

13
Gambar 10. Wanita usia 44 tahun dengan perdarahan genital masif 2 bulan setelah persalinan caesarean karena
plasenta akreta. a Ultrasonografi grayscale menunjukkan massa echogenic (kepala panah) dengan komponen
anechoic (panah), terutama pada segmen bawah dinding posterior uterus, protrusi ke cavum endometrium.
Ultrasonografi Doppler menunjukkan aliran vaskular prominen dengan komponen anechoic massa; peak systolic
velocity >80 cm/s. b MRI menunjukkan large flow void (panah) di dalam massa pada T2-weighted imaging. c
Gd+ dynamic MRI pada fase arteri menunjukkan strong enhancement di dalam massa (panah). d Angiografi
menunjukkan sakus aneurisma (panah) yang sesuai dengan massa, dimana ekstravasasi (panah kecil)
terobservasi. UAE dan reseksi histeroskopik dilakukan, mengkonfirmasi diagnosis retained products of
conception. Diagnosis klinis adalah retained products of conception bersamaan dengan pseudoaneurisma
sekunder karena plasenta akreta dan persalinan caesarean 7.

2.3.3 Terapi
Pseudoaneurisma simptomatik (perdarahan intermittent atau kontinu) harus
diterapi. Bagaimanapun, keputusan untuk terapi pseudoaneurisma asimptomatik
kontroversial karena berbagai riwayat perjalanan panyakit yang tidak jelas, terutama
ketika mengenai faktor lokasi anatomi dari berbagai pseudoaneurisma dan keadaan
komorbid pasien8.

Pada pseudoaneurisma dapat terjadi thrombosis spontan. Kontroversi di


literatur terhadap thrombosis spontan pada pseudoaneurisma paling banyak mengenai
postkateterisasi pseudoaneurisma ekstremitas dan posttraumatik pseudoaneurisma
visceral (hepar dan lien). Terdapat rekomendasi untuk mengobservasi pseudoaneurisma
kecil dan asimptomatik dan memberikan terapi hanya jika membesar, tidak dapat

14
berubah, atau menjadi simptomatik. Bagaimanapun, risiko ruptur spontan dari
pseudoaneusima visceral ekstraorgan sangat tinggi tanpa memperhatikan ukurannya
dan mortalitas ruptur pada pasien post operasi mencapai 100%. Oleh karena itu,
pentingnya terapi definitif untuk kasus tersebut8.

Secara tradisional, pseudoaneurisma dapat diterapi dengan operasi; namun,


prosedur ini bersifat invasif dan seringkali berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi. Beberapa tahun belakangan ini, terapi radiologi invasif
minimal telah dikembangkan sebagai alternatif terhadap operasi, seperti US-guided
compression, direct percutaneous management (termasuk US-guided thrombin
injection), dan terapi endoluminal8.

Pilihan terapi (termasuk observasi) untuk pseudoaneurisma harus disesuaikan


dengan lokasi, risiko ruptur, dan clinical setting pseudoaneurisma, dan komorbid
pasien8.

2.3.3.1 Operasi
Secara umum, terapi operasi pseudoaneurisma sangat bervariasi dan termasuk
reseksi dengan prosedur bypass, ligasi arteri, dan partial atau complete organ removal.
Terapi yang terakhir seperti pada pseudoaneurisma ginjal (nefrektomi partial atau
komplit), pseudoaneurisma hepatik (segmentektomi), dan pseudoaneurisma lienalis
(splenektomi). Terapi operasi pseudoaneurisma yang mengenai arteri vital adalah
reseksi pseudoaneurisma dengan patch repair arteri donor vital dan ligasi arteri dengan
prosedur bypass. Terapi operasi pseudoaneurisma yang mengenai expendable artery
adalah ligasi arteri saja8.

Operasi merupakan terapi tradisional pilihan. Namun, operasi memiliki


komplikasi seperti risiko anestesi, perdarahan, infeksi luka, pembentukan lymphocele,
radikulopati, waktu penyembuhan yang panjang, infark miokard perioperasi, dan
kematian. Adanya perkembangan teknologi seperti US-guided dan terapi endoluminal
pseudoaneurisma, terdapat perubahan paradigma untuk terapi invasif minimal
pseudoaneurisma. Namun, operasi tetap memiliki peran utama untuk kondisi tertentu.
Operasi merupakan terapi pilihan untuk pseudoaneurisma ekstremitas superficial
hingga pada tahun 1991 ketika US-guided compression diperkenalkan. Teknik yang
digunakan untuk operasi tergantung ada tidaknya infeksi konkomitan. Pada
15
pseudoaneurisma yang non infeksi, terapi primer arteri dilakukan jika memungkinkan,
dengan bypass graft (autologous vein atau synthetic graft prostheses) untuk pembuluh
darah yang rusak. Jika terdapat infeksi, yang dilakukan adalah kontrol infeksi dengan
terapi antibiotik dan drainage abses atau debridement jaringan yang terinfeksi. Operasi
arteri kemudian dilakukan, diutamakan dengan vein bypass graft dibandingkan
synthetic graft dan dengan posisi graft pada lokasi ekstraanatomik jauh dari jaringan
yang terinfeksi. Meskipun imaging-guided compression dan terapi endoluminal dengan
kateter lebih diminati, terapi operasi masih memegang peranan penting pada (a)
pseudoaneurisma dengan komplikasi efek massa lokal seperti iskemia dan neuropati
(sebagai usaha untuk menurunkan efek massa dengan cepat), (b) pseudoaneurisma
terinfeksi, dan (c) kasus dimana terapi dengan teknik invasif minimal gagal8.

2.3.3.2 US-guided Percutaneous Thrombin Injection

Pada banyak institusi, US-guided Percutaneous Thrombin Injection telah


menggantikan US-guided compression sebagai metode terapi pilihan untuk
pseudoaneurisma postkateterisasi. Thrombin mengkonversi fibrinogen inaktif menjadi
fibrin, menyebabkan pembentukan thrombus8.

Persiapan thrombin adalah menambahkan cairan normal saline steril ke bubuk


thrombin steril. Konsentrasi yang digunakan adalah 1000 IU/mL. Akan tetapi ada yang
menggunakan konsentrasi rendah seperti 100 IU/mL 8.

Setelah evaluasi lengkap pseudoaneurisma dengan USG, thrombin diinjeksi ke


sakus di bawah arahan USG dengan teknik steril. Jarum diposisikan di tengah-tengah
sakus dan thrombin diinjeksi dengan laju konstan dengan aliran di dalam sakus
dimonitor dengan USG Doppler. Thrombin diinjeksi secara kontinu sampai aliran di
dalam sakus berhenti, biasanya dalam hitungan detik. Volume thrombin yang
diinjeksikan 0.5-1.0 mL8.

Kesuksesan teknik ini pada pasien dengan pseudoaneurisma postkateterisasi


lebih dari 90%, bahkan pada pasien yang mendapat terapi antikoagulan atau
antiplatelet, yang menjadikan metode ini lebih superior dibandingkan US-guided
compression. US-guided percutaneous thrombin injection tidak terbatas
penggunaannya pada arteri superficial; pseudoaneurisma pada deep visceral artery

16
dapat diterapi dengan metode ini, terutama ketika arteri donor tidak dapat diakses secara
endoluminal. Arteri di atas ligamen inguinal dapat juga diterapi dengan metode ini,
yang mana kontraindikasi pada US-guided compression karena berpotensi untuk risiko
ruptur8.

Kejadian komplikasi dilaporkan sebesar 4% yang berupa kejadian


thromboembolic karena thrombin yang lepas ke atas clot kemudian masuk ke dalam
sistem arteri. Untuk alasan ini, digunakan konsentrasi thrombin yang lebih rendah (100
IU/mL). Beberapa peneliti menyarankan penggunaan balloon occlusion untuk leher
pseudoaneurisma sebelum injeksi thrombin. Namun, oklusi tersebut membuat prosedur
lebih invasif, dan komplikasi lebih besar terjadi dibandingkan keuntungannya.
Pemantauan setelah prosedur dengan peripheral pulses dan ankle-brachial index
memperlihatkan deteksi awal dari thromboemboli perifer downstream dari tempat
injeksi. Pada kejadian downstream thrombosis, thrombolisis intraarteri harus dilakukan
dengan tepat. Komplikasi lainnya adalah thrombosis vena dan reaksi alergi seperti
urtikaria dan anafilaksis. Skin test sebelum terapi harus dilakukan untuk menghindari
reaksi fatal yang potensial8. Komplikasi ini dapat berhubungan dengan volume dan laju
pemberian thrombin, juga ukuran dari leher pseudoaneurisma12.

Kontraindikasi lainnya adalah infeksi lokal dan iskemia ekstremitas distal.


Walaupun thrombin merupakan agen yang lebih dipilih untuk embolisasi perkutan
untuk pseudoaneurisma, material lain seperti coil dapat dipakai, apakah digunakan
sendiri atau bersamaan dengan thrombin8.

17
Gambar 11. (a) Potongan longitudinal cervix diambil dengan USG transvaginal. Pseudoaneurisma teridentifikasi
sebagai massa anechoic dengan signal Doppler kuat dan yin-yang Doppler sign, menggambarkan aliran turbulen
di dalam pseudoaneurisma (panah putih). (b) Potongan longitudinal cervix diambil dengan USG transvaginal
dilakukan setelah terapi dengan thrombin, dimana yin-yang Doppler sign (pseudoaneurisma) tidak terlihat
(panah putih). (c) CT scan pelvis dengan kontras pada fase arteri. Tampak lesi hiperdens di uterus (panah putih)
yang isodens pada fase porta dan delayed (tidak diperlihatkan) sesuai dengan pseudoaneurisma uterina. (d) CT
scan pelvis dengan kontras pada fase arteri dilakukan setelah terapi dengan thrombin dimana pseudoaneurisma
tidak terlihat (panah putih), menunjukkan embolisasi yang benar12.

2.3.3.3 Angiografi dan teknik embolisasi

Vascular sheath ukuran 5-Fr atau 6-Fr dipuncture ke A. femoralis communis


kanan atau kiri menggunakan Seldinger technique dengan panduan palpasi/fluoroskopi
atau ultrasonografi13,14. Ultrasonografi sangat berguna pada wanita dengan diameter A.
femoralis yang kecil karena instabilitas hemodinamik14. Setelah puncture, kateter
angiografi cobra shaped atau reversed J-shaped ukuran 5-Fr dimasukkan di atas
guidewire ukuran 0.035-inch, dilakukan angiografi A. pelvis untuk mengidentifikasi A.
uterina dan vaginal yang merupakan cabang dari A. iliaca interna. Untuk mencapai A.
uterina, dibutuhkan mikrokateter. Lalu dilakukan angiografi. Terlihat adanya
enhancement dari A. uterina.

18
Pemilihan materi embolan tergantung dari angiografinya seperti ukuran
pembuluh darah dan preferensi dokter12. Contoh embolan yang dapat dipakai seperti
polyvinyl alcohol (PVA) ukuran 500-710 µm atau 710-1000 µm atau partikel gelatin
sponge (Gelfoam)13. Tidak seperti agen embolan sementara yang dapat diserap, materi
berbahan dasar cairan N-butyl cyanoacrylate (NBCA/glue) atau agen metalik Tornado
microcoil (Cook) juga dapat digunakan. Setelah menyelesaikan embolisasi A. uterina,
oleh karena dapat terjadi ruptur pseudoaneurisma setelah manipulasi mikrokateter dan
guidewire, maka dilakukan angiografi post-embolisasi untuk memastikan kembali
keadaan pembuluh darah dan blockage arteri. Kemudian kateter dikeluarkan dan tempat
puncture dikompres12.

Materi embolan yang digunakan saat prosedur dipilih berdasarkan preferensi


dokter. Secara umum, PVA digunakan untuk memblok pembuluh darah yang relatif
lebih halus, dan glue dan coil lebih cocok pada devaskularisasi definitif. Gelfoam
merupakan materi lain yang lebih efektif dan ekonomis, oleh karena itu digunakan lebih
umum. Embolisasi arteri merupakan terapi yang aman dan memiliki angka kesuksesan
yang tinggi serta komplikasi jarang terjadi12.

Coil dapat digunakan untuk (a) embolisasi sakus aneurisma saja, (b) oklusi
arteri donor dengan oklusi inflow/outflow pembuluh darah, atau (c) keduanya. Namun,
oleh karena tortuosity A. uterina, deployment coil pada bagian sangat distal tidak selalu
dapat dikerjakan dan partikel materi embolan harus dipilih terlebih dahulu15.

Materi Embolan

Materi Embolan tergantung dari temuan angiografi, posisi kateter yang dapat
dicapai, dan preferensi operator. Partikel gelatin sponge merupakan materi embolan
primer paling sering dipakai untuk embolisasi PPH primer. Partikel gelatin primer
digabung dengan medium kontras dilusi untuk membentuk materi yang halus seperti
cairan, yang kemudian diinjeksi ke arteri hingga terjadi oklusi atau stasis aliran darah
selama angiografi. Gelatin sponge dapat mengoklusi sementara selama 3-6 minggu dan
rekanalisasi arteri target yang merupakan keuntungan untuk fertilitas di masa depan.
Namun, transcatheter arterial embolization (TAE) dengan gelatin sponge sebagai satu-
satunya materi embolan pada pasien dengan koagulopati dilaporkan menghambat
efektivitas dalam mencapai hemostasis yang baik. Selain itu, pasien dengan perdarahan

19
aktif seperti pseudoaneurisma, penggunaan gelatin sponge dapat inadekuat untuk
mendapatkan terapi yang efektif. Penggunaan N-butyl cyanoacrylate (NBCA/glue)
harus dipertimbangkan pada pasien dengan 1) perdarahan aktif seperti ekstravasasi atau
pseudoaneurisma, 2) kondisi hemodinamik tidak stabil, atau 3) kegagalan embolisasi
dengan partikel gelatin sponge (biasanya pada embolisasi yang berulang). Mekanisme
embolisasi NBCA meliputi polimerisasi cepat dengan membuat kontak dengan darah
dan memblok komplit lesi arteri atau mengisi pseudoaneurisma, sehingga terjadi
embolisasi yang efektif, tanpa memperhatikan koagulopati. Oleh karena itu, TAE
emergensi menggunakan NBCA dapat sebagai terapi pilihan pertama untuk PPH
dengan disseminated intravascular coagulation (DIC), ekstravasasi, atau
pseudoaneurisma. Pada pasien dengan DIC, penggunaan NBCA di distal A. uterina,
tetapi tidak sejauh distal dari miometrium dapat menjadi pilihan yang lebih baik untuk
mengurangi kemungkinan perdarahan oleh karena pembukaan suplai kolateral yang
tidak umum ke uterus. Penggunaan partikel PVA tidak direkomendasikan karena dapat
menyebabkan nekrosis uterus. Coil metalik dapat digunakan untuk mengoklusi
pseudoaneurisma yang ruptur sebagai materi embolan tunggal atau tambahan 14.

Gambar 12. Seorang wanita 34 tahun dengan syok hemorrhagic setelah operasi pelvis untuk endometriosis. (A)
CT scan dengan kontras menunjukkan pseudoaneurisma dekat aspek kiri uterus (panah: pembesaran A. uterina
kiri; bintang: circular stapling dari reseksi sigmoid). (B) Digital subtraction angiografi dari A. iliaca interna kiri
(proyeksi anterior oblik kiri, late phase) mengkonfirmasi diagnosis pseudoaneurisma ekstrauterin yang disuplai
A. uterina kiri. (C) X-ray pelvis setelah arteriografi superselektif manual: intraperitoneal diffusion media kontras
tanpa adanya pseudoaneurisma. (D) Digital subtraction angiografi arteri postembolisasi menunjukkan oklusi
persisten pseudoaneurisma15

20
Gambar 13. CT scan dan digital subtraction angiogram pada pseudoaneurisma A. uterina kiri 12

Gambar 14. USG Color Doppler dan angiogram pada pseudoaneurisma A. uterina kanan 12

Evaluasi Pasien
Sebelum memulai prosedur radiologi intervensi, seorang radiolog intervensi
harus mengumpulkan informasi pasien seperti penyebab dan jumlah perdarahan, tanda

21
vital, terapi sebelumnya (seperti histerektomi, ligase, tamponade balon intrauterin), dan
transfusi darah sudah diberikan sebelumnya. Berdasarkan informasi ini, radiolog
intervensi dapat mengevaluasi tingkat urgensi dan menentukan ukuran sheath
introducer, apakah perlu pendekatan unilateral atau bilateral – atau oklusi balon
sementara, dimana harus kateterisasi, pilihan materi embolan, dan tingkat embolisasi16.

Keuntungan dan Kerugian

Radiologi intervensi dapat dilakukan di bawah anestesi lokal, dimana ini


merupakan keuntungan dibandingkan prosedur operasi. Manipulasi kateter dan deteksi
titik perdarahan tidak diganggu oleh organ sekitar, jaringan sekitar, adhesi, atau
perdarahan. Efek hemostatik baik jika kateterisasi dan embolisasi dilakukan dengan
tepat. Pengulangan merupakan keuntungan; pengulangan dipertimbangkan jika terjadi
rekurensi perdarahan setelah TAE. Selain itu, radiologi intervensi dapat dilakukan juga
setelah prosedur operasi (contoh: histerektomi, ligasi arteri), walaupun kesulitan teknik
dari prosedur meningkat jika perdarahan terus terjadi. Keuntungan terbesar radiologi
intervensi adalah kemungkinan dalam menjaga fertilitas. Tingkat kesuksesan radiologi
intervensi yang tinggi juga merupakan keuntungan16.

Satu kerugian radiologi intervensi adalah eksposur radiasi. Rata-rata dosis


radiasi sampai 58.6 cGy (20-73 cGy) untuk TAE ovarium. Namun, radiasi selama TAE
tergantung dari protokol prosedur. Untuk menurunkan dosis radiasi, digital subtraction
angiography berulang, lapang pandang, pulse rate frequency, waktu fluoroskopi, dan
jarak antara pasien dengan image intensifier harus diminimalisir. Arteriogram pelvis
tidak perlu dikerjakan ketika penyebab perdarahan sudah jelas, seperti atonia uteri, dan
dengan operator radiologi intervensi yang berpengalaman untuk PPH. Kerugian lainnya
adalah kemungkinan komplikasi yang berasal dari kateterisasi dan embolisasi,
kemungkinan terjadinya perdarahan berulang, dan kebutuhan operator yang sangat
handal untuk melakukan angiografi16.

22
Komplikasi

Walaupun Transartherial Embolization (TAE) memiliki banyak keuntungan,


beberapa komplikasi dapat terjadi, seperti sindrom postembolisasi, hematoma pada
daerah selangkangan atau pembentukan pseudoaneurisma kembali, perubahan jaringan
iskemia atau pembentukan abses, dan nefrotoksiksitas oleh karena kontras 13.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah nyeri pelvis dan demam12. Komplikasi
lainnya adalah neuropati nervus sciatic dan perineal, serta nyeri otot15. Regurgitasi coil
ke A. femoralis atau migrasi agen embolan jarang terjadi12.

23
BAB III

KESIMPULAN

Jika suatu PPH terjadi tanpa atonia uteri, laserasi, endometritis atau sisa plasenta, dan
jika perdarahan tidak responsif terhadap agen uterotonik, dan/atau ketika tiba-tiba terjadi
perdarahan masif, harus dipikirkan kemungkinan adanya ruptur pseudoaneurisma.

Pseudoaneurisma merupakan defek arteri partial yang menyebabkan kebocoran


vaskular yang dikelilingi soft tissue, sebuah hematoma, atau kapsul fibrosa tipis, membentuk
aliran darah turbulen paten di dalam suatu ruang di luar pembuluh darah. Hematoma terbentuk
di sekitar pembuluh darah yang rusak dimana proses lisis dapat terjadi, kemudian membentuk
ruangan dengan hubungan intravaskular-ekstravaskular, akhirnya membentuk sebuah
pseudoaneurisma. Penyebab pseudoaneurisma pada pasien obstetri dan ginekologi bervariasi,
tetapi terutama komplikasi prosedur obstetri dan ginekologi dan juga oleh karena kerusakan
vaskular selama caesarean section dan kuretase endometrium.

Pada kasus pseudoaneurisma, USG Color Doppler, CT scan, MR Angiografi, serta


angiografi konvensional dapat membantu diagnosis dan embolisasi arteri dapat
dipertimbangkan sebagai terapi primer.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Elnahas A, Tayfoor MK, Mohammed S, Eltayeb H. Diagnosis and Management of


Bilateral Uterine Arteries Aneurysm during Puerperium. Interv Gynecol Women’s
Healthc. 2018;2(2):133-137. doi:10.32474/IGWHC.2018.02.000131
2. Kim JW, Kim YH, Kim CH, et al. Uterine Artery Pseudoaneurysm Manifesting as
Delayed Postpartum Hemorrhage after Precipitous Delivery: Three Case Reports.
Gynecol Obstet Invest. 2014;78:136-140. doi:10.1159/000363742
3. Gossman W, Fagan SE, Sosa-Stanley JN, Peterson DC. Anatomy, Abdomen and
Pelvis, Uterus. StatPearls Publishing; 2019.
4. Kluener C, Hamm B. The Uterus and Vagina.; 2015.
5. Chaudhry R, Chaudhry K. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Uterine Arteries.; 2018.
6. Lee NK, Kim S, Lee JW, et al. Postpartum Hemorrhage : Clinical and Radiologic
Aspects. Eur J Radiol. 2010;74(1):50-59. doi:10.1016/j.ejrad.2009.04.062
7. Iraha Y, Okada M, Toguchi M, Azama K. Multimodality imaging in Secondary
Postpartum or Postabortion Hemorrhage : Retained Products of Conception and
Related Conditions. Jpn J Radiol. 2018;36(1):12-22. doi:10.1007/s11604-017-0687-y
8. Saad NEA, Saad WEA, Davies MG, Waldman DL, Fultz P, Rubens D.
Pseudoaneurysms and the Role of Minimally Invasive Techniques in Their
Management. Radiographics. 2005;25:173-190.
9. Ugwumadu L, Hayes K, Belli A, Heenan S, Loftus I. Uterine Artery Pseudoaneurysm
Requiring Embolization in Pregnancy: a Case Report and Review of the Literature.
CVIR Endovasc. 2018;1:2-5.
10. Baba Y, Takahashi H, Ohkuchi A, Suzuki H. Uterine Artery Pseudoaneurysm: Its
Occurrence after Non-traumatic Events, and Possibility of “without embolization”
Strategy. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2016;205:72-78.
doi:10.1016/j.ejogrb.2016.08.005
11. Asai S, Asada H, Furuya M, Ishimoto H, Tanaka M, Yoshimura Y. Pseudoaneurysm
of the Uterine Artery after Laparoscopic Myomectomy. Fertil Steril.
2009;91(3):929.e1-929.e3. doi:10.1016/j.fertnstert.2008.09.019
12. Kwon H-S, Kwon YK, Sohn I-S, et al. Rupture of a Pseudoaneurysm as a Rare Cause
of Severe Postpartum Hemorrhage : Analysis of 11 Cases and a Review of the
Literature. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2013;170(1):56-61.
doi:10.1016/j.ejogrb.2013.04.007
13. Kwon SH, Kim YJ, Yoon J, Oh JH, Song MG, Seo T. Effectiveness of Selective
Transcatheter Arterial Embolization in Delayed Postpartum Hemorrhage. Iran J
Radiol. 2019;16(2):1-9. doi:10.5812/iranjradiol.77175.Research
14. Chen C, Lee SM, Kim JW, Shin JH. Recent Update of Embolization of Postpartum
Hemorrhage. Korean J Radiol. 2018;19(4):585-596.
15. Boi L, Savastano S, Beghetto M, Acqua JD, Montenegro GM. Embolization of
Iatrogenic Uterine Pseudoaneurysm. Gynecol Minim Invasive Ther. 2017;6(2):85-88.

25
doi:10.1016/j.gmit.2017.02.004
16. Woodhams R. The Role of Interventional Radiology in Primary Postpartum
Hemorrhage. Hypertens Res Pregnancy. 2016;4:53-64. doi:10.14390/jsshp.HRP2015-
016

26

Anda mungkin juga menyukai