Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT : FAKTOR RISIKO RELAPS PADA PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun Oleh:
Nurul Asmi Mansyur
C014182269

RESIDEN PEMBIMBING
dr. Fritz Edward Gonzalves

SUPERVISOR PEMBIMBING
dr. Rinvil Renaldi, M.Kes, Sp.KJ(K), A&R

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurul Asmi Mansyur


Stambuk : C014182269
Judul Referat : Faktor Resiko Relaps Pada Pasien Skizofrenia
Judul Laporan Kasus : Gangguan Afektif Bipolar dengan Gejala Psikotik

Telah menyelesaikan tugas referat dan laporan kasus pada Oktober 2019 dan telah
mendapatkan perbaikan.Tugas ini dalam rangka kepaniteraan klinik pada
departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 10 Oktober 2019

Co-Assistant

(Nurul Asmi Mansyur)

Supervisor Pembimbing

(dr. Rinvil Renaldi, M.Kes, Sp.KJ(K), A&R) (dr. Fritz Edward Gonzalves)

2
DAFTAR ISI
REFERAT
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………...…..………………………..…....4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia................……………………………………………...……....5
2.2 Skizofrenia relaps………………………………………………………....9
2.3 Faktor resiko relaps pada skizofrenia...…………………...………….......10
2.4 Faktor protektif dari relaps ……………...........………….…………........13
2.5 Hubungan relaps dengan prognosis .............................………...…..........17
2.6 Program Pencegahan Relaps (PRP) Pada Pasien Skizofrenia....................17

BAB III
KESIMPULAN……………………..……………..…………………………......20

DAFTAR PUSTAKA…….………...………………………………………........21

3
BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang


signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat
sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor
biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah
kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban
negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang.1
Skizofrenia merupakan salah satu dari gangguan psikiatri yang paling
sering terjadi, hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup
mereka dan dapat mengenai orang dari semua kelas sosial. Prevalensi skizofrenia
antara laki-laki dan wanita sama, akan tetapi berbeda dalam onset dan perjalanan
penyakit, laki-laki mempunyai onset lebih awal daripada wanita. Usia puncak
onset untuk laki-laki adalah awal dan pertengahan 20-an, sedangkan untuk wanita
usia puncak adalah akhir usia 20-an.8,15
Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya
timbul pada usia sekitar 18-45 tahun.4 Diperkirakan sekitar 2 juta jiwa penduduk
Indonesia menderita skizofrenia, dimana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di
Indonesia adalah penderita skizofrenia.1

Relaps didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana apabila seorang pasien


yang sudah pulih atau mengalami perbaikan kembali menunjukkan gejala
sebelumnya. Setiap relaps yang terjadi berpotensi membahayakan bagi pasien dan
keluarganya. Dalam keadaan seperti ini pasien mungkin akan dirawat inap
kembali dan membutuhkan biaya yang tinggi.1

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SKIZOFRENIA

2.1.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau
pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada skizofrenia, terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Skizofrenia adalah suatu
deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan
perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta
sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan
sosial budaya.1
Bleuler mencetuskan istilah skizofrenia, yang menggantikan demensia
prekoks. Istilah tersebut dipilih untuk menunjukkan bahwa adanya skisme antara
pikiran, perasaan dan tingkah laku pada seseorang dengan gangguan ini. Bleuler
mengidentifikasi gejala primer pada skizofrenia yang mampu menggambarkan
adanya perpecahan mental internal. Gejala tersebut ialah gangguan asosiasi,
dimana terdapat kelonggaran; gangguan afektif, gangguan autism, dan
ambivalensi.1

2.1.2 Epidemiologi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang umum terjadi dengan
karakteristik adanya kerusakan dan keanehan pada pikiran, persepsi, emosi,
pergerakan dan perilaku. WHO (2012) menyatakan bahwa 24 miliar penduduk di
dunia menderita skizofrenia pada usia antara 15 sampai dengan 35 tahun. Laki-
laki memiliki tingkat kejadian tinggi dibandingkan wanita dengan perbandingan
1,4 banding 1.1
Di Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen,
artinya 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama masa hidupnya.
Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan daari skizofrenia berkisar antara 0,5
sampai 5,0 per 10.000 penduduk dengan beberapa variasi geografik. Skizofrenia

5
dapat ditemukan pada semua golongan masyarakat dan area georafik yang angka
insidensi serta prevalensinya secara kasar merata diseluruh dunia.1

2.1.3 Etiologi Skizofrenia


a. Keterlibatan faktor keturunan
Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan
pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan
tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur
mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama
menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua
telur.2
b. Faktor lingkungan
Penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi, hubungan
perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi
diantara anggota keluarga dapat menimbulkan skizofrenia. Skizofrenia tidak
diduga sebagai suatu penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan
ciri-ciri klinik umum. Banyak teori penting telah diajukan mengenai etiologi dan
ekspresi gangguan ini.2
c. Teori biologik dan genetik
Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi) sangat
mendukung teori bahwa faktor genetik sangat penting dalam transmisi
mendukung skizofrenia atau paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan juga
dapat menjadi penyebab peningkatan insiden dari sindrom, yang mirip dengan
skizofrenia (gangguan kepribadian skizoafektif, skizotipik dan lainnya) yang
terjadi dalam keluarga.2
d. Hipotesis neurotransmitter
Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor
dopaminergik dalam Susunan Syaraf Pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada
hakekatnya neuroleptik diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor
dopaminergik. Penelitian mengenai skizofrenik yang tidak di obati juga
mengungkapkan suatu kelebihan dari reseptor dopaminergik yang secara langsung
berlawanan dengan teori bahwa temuan ini berhubungan dengan pemberian
neuroleptik.2

6
e. Pencetus psikososial
Stressor sosio-lingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal
dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan
protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam
pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan di lingkungan rumah seperti
komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti
menyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia. Etiologi atau
penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock sebagai
berikut:
1. Model diatesis-stress
Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan
lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang
mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh
suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan
perkembangan gejala skizofrenia.2
2. Faktor biologis
Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk
daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia
basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah
satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya
sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien
skizofrenik.2

2.1.4 Kriteria Diagnostik Skizofrenia


Adapun kriteria diagnostik skizofrenia meliputi:
a. Gangguan pada isi pikiran
Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan
pikiran yang paling umum dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup
delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau
doss dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional
mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan,
dimasuki yang lain atau hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang
lain atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan

7
aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa
otaknya sudah dimakan rayap.4,5
b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi
Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi
dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan logika, cara
mereka mengekspresikan dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat
dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan
penderita, gangguan pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren,
kehilangan asosiasi, neologisms, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah.4,5
c. Gangguan persepsi halusinasi
Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan
kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita walaupun
halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu
nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam kontrol individu,
tetapi tejadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya. 4,5
d. Gangguan afeksi (perasaan)
Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara abnormal
dibandingkan dengan orang lain. secara umum, perasaan itu konsisten dengan
emosi tetapi reaksi ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya. 4,5
e. Gangguan psikomotor
Pasien skizofrenia kadang akan terlihat aneh dan cara yang berantakan,
memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia
akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana pasien
tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada
orang di sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau
tidak mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang suatu
gerakan tubuh) menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan
kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial. Menurut Eugen Bleuler dalam
Kaplan & Sadock, (2010) membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok:
gejala positif dan negatif. Gejala positif antara lain thougt echo, delusi, halusinasi.
Gejala negatifnya seperti: sikap apatis, bicara jarang, efek tumpul, menarik diri.

8
Gejala lain dapat bersifat non-skizofrenia meliputi kecemasan, depresi dan
psikosomatik. 4,5
Menurut PPDGJ III sendiri terdapat beberapa kriteria untuk mendiagnosis
suatu skizofrenia, diantaranya : 4
1. Harus adanya sedikit satu gejala berikut:
a. “thought echo”/ “thought insertion” / “thought broadcasting”
b. “delusion of control” / “delusion of influence” / “delusion of passivity”
/ “delusion perception” /
c. halusinasi auditorik
d. waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.
2. Atau paling sedikit dua gejala berikut:
a. Halusinasi yang menetap dari pancaindera apa saja, disertai baik oleh
waham yang mengambang, maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas.
b. Arus pikiran yang terputus yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan.
c. Perilaku katatonik
d. Gejala-gejala negatif
3. Gejala-gejala khas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau
lebih.
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dan penarikan diri secara sosial.

2.2 SKIZOFRENIA RELAPS

Skizofrenia merupakan gangguan psikiatri yang menimbulkan disabilitas


cukup luas, serta dicirikan oleh suatu siklus relaps dan remisi.4 Relaps dalam
arti sempit dapat didefinisikan sebagai keadaan re-emergensi dari gejala
psikotik yang berkaitan dengan gangguan dalam kehidupan dan fungsi sosial.
Relaps juga dikategorikan menjadi dua tipe, yakni tipe I adalah muncul
kembali setelah gejala skizofrenia pada pasien yang sebelumnya sudah bebas

9
dari gejala tersebut, dan tipe II adalah eksaserbasi dari gejala positif yang
persisten. Tipe-tipe tersebut tidak selalu mudah untuk dibedakan.2

Menurut campbell dalam Psychiatric Dictionary, Relaps didefinisikan


sebagai suatu keadaan dimana apabila seorang pasien yang sudah pulih atau
mengalami perbaikan, kembali menunjukkan gejala sebelumnya.18 Secara
umum, istilah relaps ditunjukan untuk gejala perburukan atau rekurensi gejala
positif daripada gejala negatif. Meskipun demikian, batasan istilah
schizophrenic relapse belum begitu jelas. Pada kenyataannya relaps merupakan
suatu istilah relatif dan harus meliputi beberapa faktor berikut19 :

 Kondisi pasien sebelum onset penyakit terakhir (sebelumnya)


 Tingkat keberfungsian sebelum episode terbaru
 Keparahan dan relaps dalam terminologi keparahan simptom, durasi
dan pengaruhnya terhadap fungsi personal.
 Gambaran bentuk simptom atau perilaku yang baru.

Insiden relaps pada pasien skizofrenia tergolong tinggi, yaitu berkisar 60-
75% setelah suatu episode psikotik jika tidak diterapi, dari 74% pasien yang
relaps, 71% diantaranya memerlukan rehospitalisasi. Penelitian lain
mendapatkan hasil bahwa prevalensi relaps pada pasien skizofrenia adalah
43,4%, dan studi di Afrika Selatan mendapatkan hasil 61,8%. 17

Tidak ada kriteria umum yang dapat dianggap sebagai kriteria relaps.
Relaps diartikan sebagai suatu keadaan dimana apabila seorang pasien
skizofrenia yang telah menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa dan
diperbolehkan pulang kemudian kembali menunjukkan gejala-gejala sebelum
dirawat inap. Setiap relaps yang terjadi berpotensi membahayakan bagi pasien
dan keluarganya. Apabila relaps terjadi maka pasien harus kembali melakukan
perawatan inap di rumah sakit jiwa (rehospitalisation).1

2.3 FAKTOR RESIKO RELAPS

1. Faktor-Faktor Sehubungan dengan Pasien

10
Beberapa karakteristik demografi telah dihubungkan dengan kejadian
relaps padapasien skizofrenia. Penelitian Dewi dkk mendapatkan hasil bahwase
bagian besar pasien skizofrenia yang mengalami relaps adalah laki-laki
(55,3%), berpendidikan menengah (53,2%), tidak bekerja (53,2%) dan belum
menikah (70,2%).4 Hal ini sejalan dengan penelitian Weret dkk yang
mendapatkan hasil bahwa sebagian besar pasien relaps adalah laki-laki (65%),
tidak pernah menikah (64,5%), dan tidak bekerja (75%).17

Penelitian lain mengatakan bahwa faktor ketidak patuhan minum obat


merupakan faktor yang paling berpengaruh atau berhubungan dengan
terjadinya relaps pada pasien skizofrenia. Risiko terjadinya relaps pada pasien
yang tidak patuh minum obat sekitar 2,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien yang patuh minum obat. Penelitian lain menyebutkan bahwa 40%
kejadian relaps pada pasien skizofrenia diakibatkan karena ketidakpatuhan
minum obat.12

Beberapa alasan pasien menjadi tidak patuh dalam berobat antara lain
adalah:

a. Merasa sudah sembuh

Keadaan penyakit pasien sendiri juga mempunyai pengaruh yang kuat


dalam penerimaan terhadap pengobatan. Alasan lain yang juga diungkapkan
pasien tidak teratur minum obat adalah pasien sudah merasa sembuh. Hal ini
didukung dengan fakta bahwa mereka sudah tidak mengalami gejala seperti
sebelumnya, sehingga tidak meminum obat lagi.13

b. Kurangnya pengawasan dan sikap terhadap pengobatan

Beberapa pasien juga mengungkapkan bahwa kurangnya pengawasan


yang mengingatkan mereka untuk meminum obat menjadi salah satu alasan
ketidak patuhan minum obat. Sangatlah penting untuk mengamati,
berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien
terhadap pengobatan. Pada pasien dengan skizofrenia sikap pasien terhadap
pengobatan dengan antipsikotik bervariasi, dari yang sangat negatif sampai

11
sangat positif. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan
simptom positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa
semakin lama pasien akan berubah sikapnya terhadap penobatan.13

c. Biaya

Beberapa pasien juga megeluhkan masalah biaya yang menjadi salah


satu alasan ketidakpatuhan minum obat. Pasien mengatakan tidak mampu
membeli obat, dan kadang jarak tempuh dan transportasi juga menjadi
masalah.13

2. Faktor-Faktor Sehubungan dengan Pengobatan


Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan
kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. Emsley dkk melaporkan bahwa
individu yang menghentikan pengobatan setelah episode pertama, meningkatkan
risiko terjadinya relaps hingga 5 kali lipat, sehingga beberapa guidelines
menyarankan pemberian antipsikotik jangka panjang secara kontinyu pada pasien
skizofrenia. Namun penelitian lain mengatakan bahwa penghentian pengobatan
antipsikotik direkomendasikan setelah episode pertama skizofrenia setelah 1-2
tahun, dan ada beberapa yang tidak merekomendasikan penghentian pengobatan.6

3. Faktor Lingkungan
Dukungan dan bantuan dari keluarga maupun lingkungan sekitar
merupakan variabel penting dalam kepatuhan terhadap pengobatan.Pasien yang
tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan yang rendah dan
memiliki kesulitan dalam mengakses pusat layanan kesehatan dibandingkan
mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Sebagai kemungkinan
lain, sikap negatif dalam lingkungan sosial pasien terhadap pengobatan psikiatri
atau terhadap pasien sendiri dapat mempengaruhi kepatuhan. Interaksi sosial yang
penuh dengan stres dapat mengurangi kepatuhan yang biasanya terjadi bila pasien
tinggal dengan orang lain. Sebagai contohnya adalah situasi emosional yang
tinggi dan keluarga atau pihak lain yang tidak mau memperhatikan sikap positif
pasien terhadap pengobatan.12,13

12
Berbagai macam stresor lingkungan juga berhubungan dengan relapsnya
skizofrenia. Perhatian utama ditujukan bagi emosi yang diekspresikan (expressed
emotion) dan risiko terjadinya relaps pada skizofrenia. Sebagai salah satu faktor,
apa yang dimaksud dengan expressed emotion dalam hal ini, berupa kebiasaan
mempertontonkan kritikan atau emosi yang berlebihan oleh keluarga atau orang
yang mengawasi pasien. Pasien-pasien skizofrenia yang tinggal dalam lingkungan
keluarga dengan expressed emotion yang kuat (highly expressed emotion) atau
gaya afektif negatif secara signifikan lebih sering mengalami relaps dibandingkan
dengan yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan expressed emotion yang
rendah (low expressed emotion), atau gaya afektif yang normal. Studi-studi
keluarga (family studies) menunjukkan bahwa pasien skizofrenia yang kembali ke
lingkungan rumah dimana sering terjadi keadaan kritis, kekerasan atau emosi yang
diekspresikan cenderung akanmeningkatkan relaps.12

4. Faktor-Faktor Sehubungan Dengan Dokter


Banyak faktor yang diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya relaps
pada pasien skizofrenia. Salah satu faktor terbanyak adalah penghentian
pengobatan oleh klinisi.6

Alasan beberapa klinisi mempertimbangkan untuk melakukan penghentian


pengobatan, berdasarkan 3 pertimbangan utama, yakni:

a. Adanya anggapan bahwase bagian besar pasien (10-20%) tidak pernah


mengalami kekambuhan setelah episode psikotik pertama dan karenanya tidak
membutuhkan terapi pemeliharaan.6
b. Terdapat efek samping dari obat anti psikotik yang cukup mengganggu pasien.
Sebelum tersedianya antipsikotik generasi kedua, para klinisi prihatin pada
risiko gangguan motorik (tardive dyskinesia). Akan tetapi setelah adanya
antipsikotik generasi kedua yang memiliki efek gangguan motorik rendah, obat
ini memiliki efek peningkatan berat badan, gangguan metabolik dan juga
masih memiliki risiko peningkatan tekanan darah.6
c. Klinisi mungkin memiliki kesulitan dalam meyakinkan pasien bahwa
pengobatan terbatas diindikasikan setelah episode psikosis pertama, terutama
mereka yang telah merespon baik terhadap terapi.6 Kejadian relaps sekitar 80%

13
pada 12 bulan setelah penghentian obat, namun beberapa penelitian lain
melaporkan bahwa sekitar 95% terjadinya relaps pada 24 bulan setelah
penghentian pengobatan.6

2.4 FAKTOR PROTEKTIF DARI RELAPS

a) Dukungan Keluarga dan Teman

Keluarga merupakan faktor penting yang mempengaruhi kesehatan jiwa


pasien. Jenis dukungan yang berikan kepada pasien adalah mengenai
pengambilan obat-obatan, pengawasan, memantau asupan obat dan menemani
pasien untuk pergi ke pelayanan kesehatan jiwa secara teratur, serta
kebutuhan dasar kehidupan lainnya seperti pendidikan, pekerjaan, dan
kesehatan secara umum.Membantu keluarga untuk mempertahankan dan
meningkatkan mendukung jaringan sosial merupakan hal yang berguna untuk
mengurangi beban keluarga skizofrenia.Dukungan anggota keluarga
merupakan elemen utama yang penting berkaitan dengan kesembuhan pasien.
Dukungan keluarga cenderung mengurangi beban yang mengasuh pasien
dalam merawat pasien dengan skizofrenia.13

b) Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan obat antipsikotik menjadi pelindung yang kuat dari


kekambuhan. Ditemukan bahwa risiko kambuh secara substansial lebih
rendah ketika pasien sedang mengikuti dengan terapi anti psikotik yang
benar. Perbaikan gejala yang diakui oleh sebagian besar pasien sizofrenia
telah menyebabkan peningkatan dalam sikap mereka terhadap obat-obatan.
Selain itu, sikap subjektif pasien terhadap obat dikaitkan dengan kepatuhan
pengobatan yang dipengaruhi oleh pemilihan jenis obat anti psikotik.
Beberapa pasien melaporkan efek samping obatantipsikotik yang lebih sedikit
efek dari yang lain, seperti obat anti psikotik yang atipikal lebih membuat
pasien banyak yang patuh serta melanjutkan pengobatannya dibandingkan
pemberian anti psikotik tipikal yang banyak memiliki efek samping yang
menganggu aktivitas pasien.13

14
c) Agama

Agama menciptakan rasa memiliki dan memungkinkan pasien untuk


menghadapi situasi sulit dan memberi mereka kekuatan untuk melanjutkan
kehidupan dengan baik meskipun kondisi ada masalah pada kondisi kejiwaan
mereka. Ada beberapa literatur menunjukkan bahwa agama dan spiritualitas
dapat memberikan efek positif pasien dengan skizofrenia. Agama mendorong
perbaikan bahkan bila gejala terus berlangsung, pasien dengan gangguan jiwa
ini dapat dibantu untuk mencapai memuaskan, bermakna dan kehidupan
tujuan. Dampak positif dari spiritualitas terhadap tingkat kepatuhan
pengobatan dijelaskan oleh peningkatan kualitas hidup, dukungan sosial yang
lebih baik, dan representasi yang lebih positif mengenai penyakitnya. Agama
mempengaruhi diri dan dapat meningkatkan pemulihan dengan menanamkan
harapan, tujuan, dan hal yang berarti dalam hidup yang dapat mempengaruhi
kepatuhan terhadap pengobatan.13

d) Pekerjaan

Pada beberapa penelitian menemukan bahwa ketika pasien memiliki


pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan, mereka menjadi mandiri. Hal ini
akan meningkatkan harga diri dan membantu mereka merasa bahwa mereka
dapat berkontribusi untuk keluarga atau masyarakat. Pentingnya memiliki
pekerjaan telah dicerminkan dalam kebutuhan pasien untuk mencapai tujuan
pribadi, harapan, dan aspirasi, dan sebagai komponen penting dari
kesejahteraan.Hal ini diyakini dapat meningkatkan harga diri dan manajemen
yang lebih baik serta pengurangan gejala termasuk gejala negatif, positif, dan
depresi.13

Selain itu, memiliki pekerjaan cenderung untuk membuat pasien sibuk,


sehingga pasien cenderung tidak memikirkan penyakit jiwa mereka.
Pekerjaan telah berulang kali terbukti memiliki peran penting dalam
pemulihan pasien dari penyakit mental yang berat, khususnya skizofrenia.
Pekerjaan tidak hanya menyediakan pendapatan, tetapi juga meningkatkan
kegiatan dan interaksi sosial bagi penderita skizofrenia. Hal ini akan membuat

15
keuntungan secara finansial, memberikan strategi mengatasi untuk gejala
kejiwaan, dan akhirnya memfasilitasi proses pemulihan dari penyakit jiwa.13

e) Layanan Kesehatan Jiwa

Sebagian besar pasien dan keluarga banyak mengatakan bahawa pelayanan


kesehatan jiwa telah banyak membantu, baik dari edukasi mengenai
kesehatan jiwa dan pemberian obat-obatan. Mereka mengakui bahwa, jika
layanan tersebut tidak tersedia kondisi pasien tidak akan mengalami
perbaikan.13

6. Hubungan Terapeutik Antara Pasien dan Care Provider

Hubungan terapeutik yang dimaksud adalah bagaimana pasien bereaksi


terhadap intervensi yang ditawarkan oleh psikater atau perawat.Hubungan ini
mengacu pada kedekatan emosional antara dua individu dalam terapi.
Hubungan telah terbukti memainkan penting peran dalam pengembangan
kepercayaan. Ketika pasien menerima pelayanan yang baik, maka akan
tumbuh rasa kepercayaan, rasa memiliki dan hubungan yang baik yang
menjadi motivasi positif untuk pengobatan terutama dalam hal kepatuhan
minum obat. Individu dengan penyakit jiwa sering mengalami periode
keputusasaan yang berkaitan dengan gejala kejiwaan atau psikososial.
Kehadiran seseorang care provider yang dapat memberikan harapan dan
empati sehingga dapat membantu melalui masa-masa sulit. Beberapa
penelitian menyarankan bahwa psikiater atau perawat kesehatan jiwa harus
mendedikasikan waktu mereka untuk mendengarkan masalah mereka
sehingga dapat meningkatkan kondisi pasien. 13

7. Home Visit Community

Kunjungan rutin ke masyarakat dilakukan untuk memberikan psikoedukasi


untuk manajemen pasien, kepatuhan dan efek samping obat. Program
psikoedukasi dilakukan untuk mendidik keluarga mengenai penyakit keluarga
mereka dan kebutuhan untuk perawatan medis berkelanjutan. Kunjungan ke
masyarakat telah terbukti membantu pasien mengatasi gejala dengan

16
relaksasi, membantu pasien minum obat teratur, meningkatkan kemampuan
perawatan diri pasien dan meningkatkan interaksi antara pasien dan keluarga.
Psikoedukasi adalah edukasi yang dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan pasien dan pemahaman mengenai penyakit dan pengobatan
mereka. Peningkatan pengetahuan ini memungkinkan pasien dengan
skizofrenia dapat lebih efektif untuk mengatasi penyakit mereka. Pasien yang
memahami penyakit mereka, obat-obatan, dan harapan pengobatan secara
konsisten menunjukkan kepatuhan yang lebih baik. Selain itu pentingnya
edukasi kepada keluaga dengan individu yang memiliki gangguan jiwa
mengenai pada faktor-faktor risiko penyakit jiwa sehingga dapat melindungi
mereka yang belum menimbulkan gejala. Program psikoedukasi bagi pasien
dan keluarga yang bertujuan mengatasi skizofrenia ini telah terbukti
meningkatkan kepatuhan, mengurangi kejadian pelecehan, mengurangi
kekambuhan, dan memperpendek perawatan di rumah sakit.13

2.5 HUBUNGAN RELAPS DENGAN PROGNOSIS SKIZOFRENIA

Bukti penelitian mengatakan bahwa durasi psikosis yang tidak diterapi dalam
jangka waktu yang lama berhubungan dengan keluaran jangka panjang yang
buruk.6 Literatur mengungkapkan beberapa hal, yakni:

a) Respon pengobatan lebih baik pada episode awal skizofrenia dibandingkan


episode kronik skizofrenia yang berulang.
b) Sekitar 80% pasien skizofrenia mengalami perburukan dari waktu ke waktu
dan derajat perburukan ini berhubungan secara signifikan dengan jumlah
relaps yang dialami pasien. Pasien-pasien yang akan mengalami relaps, saat
menghentikan pengobatan antipsikotik secara perlahan akan kembali ke
kondisi sebelumnya, dan belum begitu jelas apakah semua pasien akan
mengalami hal yang sama, pada kenyataannya, akan kembali ke fungsi
sebelum mereka menghentikan obat. Hal ini didukung dengan adanya
hipotesis dopamin dan glutamat yang mendasari neurobiologi relaps pada
pasien skizofrenia. Relaps berhubungan dengan hiperfungsi dari dopamin,
ditandai dengan peningkatan sintesis dopamine presinaps, sehingga ketika

17
pengobatan dihentikan, akan muncul kembali keadaan hiper-dopaminergik
dan secara cepat akan muncul kembali gejala seperti sebelumnya.6

2.6 PROGRAM PENCEGAHAN RELAPS (PRP) PADA PASIEN


SKIZOFRENIA

Terdapat tujuh strategi yang harus dilakukan dalam melakukan pencegahan


relaps pada pasien skizofrenia. Antaranya adalah:

a) Strategi 1 : Menjadi flexible dan selalu siap sedia


Ketersediaan dan fleksibilitas dalam mendapatkan informasi dan
pengobatan merupakan landasan penting dalam pencegahan relaps. Pasien dan
orang-orang yang mendukung pengobatan dalam program PRP harus
mempunyai akses yang mudah untuk menghubungi dokter atau tenaga
kesehatan yang terlibat dalam program PRP jika ditemukan tanda-tanda relaps.
b) Strategi 2 : Mengetahui tanda gejala prodromal
Tenaga kesehatan haruslah memberikan pengetahuan kepada pasien dan
orang yang mendukung pengobatan dalam hal ini anggota keluarga tentang
gejala prodromal skizofrenia dan proses terjadinya relaps. Selain itu, kita juga
bisa melakukan deteksi dini dengan menggunakan Early Signs Questionnaire
(ESQ).
c) Strategi 3 : Intervensi dini
Intervensi dini dapat dilaksanakan dengan cara melakukan kunjungan ke
rumah pasien selain dapat membantu mengatasi masalah yang mendasari dan
mampu untuk mengatur dosis pengobatan pasien.
d) Strategi 4 : Bekerjasama dengan keluarga dan orang-orang yang
mendukung pasien skizofrenia
Untuk strategi yang ke empat ini, caranya adalah dengan melakukan
psikoedukasi kepada keluarga pasien, di mana kita memberikan pemahaman
bahwa tidak salah sekiranya keluarga terlibat dalam proses pengobatan di
samping kita memberikan pendidikan tentang skizofrenia. Selain itu juga,
perlatihan dalam proses komunikasi antara pasien dan keluarganya hendaklah
dilaksanakan dengan benar.

18
e) Strategi 5 : Gunakan tindakan tegas jika diperlukan
Hal ini demikian karena terdapat beberap pasien jika mengalami tanda
relaps akan menarik diri dari kegiatan pengobatan rutin. Maka, tindakan tegas
dapat dilakukan oleh keluarga pasien dengan cara menghubungi melalui surat,
telepon pihak bersangkutan maupun kunjungan ke rumah pasien oleh tenaga
kesehatan. Selain itu, dapat juga melakukan Assertive Community Treatment
(ACT) oleh tenaga medis dalam hal ini perawat dan dokter maupun dari non
tenaga medis seperti pekerja sosial.
f) Strategi 6 : Mengatasi ketidak patuhan pengobatan
Terdapat beberapa langkah untuk mengurangi ketidak patuhan minum obat
antaranya adalah dengarkan, yaitu dengarkan dengan seksama pengalaman dan
kekhawatiran pasien dengan pengobatannya. Selanjutnya adalah empati, yaitu
kita mengakui perspektif pasien; edukasi pula adalah dengan memberikan
alasan yang rasional tentang rekomendasi pengobatan. Selain itu adalah
berikan pilihan kepada pasien dengan cara memberikan kesempatan kepada
pasien untuk memilih pengobatan. Dan yang terakhir adalah meminimalilisir
perilaku yang terlalu mengontrol pasien sehingga pasien merasakan kurang
nyaman.
g) Strategi 7 : Farmakoterapi yang optimal
Hal ini dapat dioptimalkan dengan cara menyederhanakan regimen obat,
mempertimbangkan penggunaan antipsikotik atipikal dan antipsikotik decanoat
serta mempertimbangkan efek samping obat yang minimal. Hal ini secara tidak
langsung dapat memastikan tingkat kepatuhan minum obat adalah lebih baik.

BAB III

19
KESIMPULAN

Skizofrenia merupakan gangguan psikiatri yang menimbulkan disabilitas


cukup luas, serta dicirikan oleh suatu siklus relaps dan remisi.4 Relaps dalam arti
sempit dapat didefinisikan sebagai keadaan re-emergensi dari gejala psikotik yang
berkaitan dengan gangguan dalam kehidupan dan fungsi sosial.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan relaps pada pasien


skizofrenia, diantaranya adalah faktor sehubungan dengan pasien, faktor
sehubungan dengan obat, faktor sehubungan dengan lingkungan, dan faktor
sehubungan dengan dokter. Oleh karena itu, semua pihak hendaklah membantu
pasien dalam proses pemyembuhan berdasarkan peran masing-masing supaya
prognosis yang bakal diterima oleh pasien adalah yang terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

20
1. Kaplan, Sadock. Skizofrenia. Sinopsis Psikiatri Jilid 1: edisi 7; Penerbit Bina
Rupa Aksara, Jakarta; 1997: 685-729.
2. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Schizophrenia and Other Psychotic Disorders.
Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 8th ed ; 2005.
3. American Psychiatric Association. Depressive Disorders. DSM V, 5th ed.
Washington DC; 2013;12-17.
4. Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III.
5. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6. Emsley, Robin. Chiliza, Boginkosi. Asmal, Laila. Harvey, Brian H. The Nature
of Relaps in Schizophrenia.BMC Psychiatry. 2013;13(50):1-8.
7. Erlina S, Pramono D, editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada
pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera barat.
Berita Ked Masy. 2010; 26(2):71-80.
8. Frankenburg, Frances R. Dunayevich, Eduardo. Dkk. Schizophrenia.Emedicine
Medscape. 2014.
9. Jarut Y M, Fatimawali, Weny I. 2013. Tinjauan penggunaan antipsikotik pada
pengobatan skizofrenia di rumah sakit Prof. Dr. V.L Ratumbulysang Manado
Periode Januari 2013 – Maret. 2013. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi-Unsrat.
2(3);2302-2493.
10. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Dalam Erlina S, Pramono D,
editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat jalan di
rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera barat. Berita Ked Masy.
2010; 26(2):71-80.
11. Marvin I, 2000. Article of A Program for Relapse Prevention in Skizophrenia.
American Medical Association.
12. Rao, Sutajha. Management of Relapse in Schizophrenia. SFP
2013;39(1):2225.
13. Sariah, Adellah E. Outwater, Anne H. Malima, Khadija IY. Risk and
protective factors for relapse among Individuals with Schizophrenia: A
Qualitative Study in Dar es Salaam, Tanzania. BMC Pshychiatry.
2014;14(240):1-12.

21
14. Sadock, Benjamin J. Sadock, Virginia A. Kaplan &Sadock Buku Ajar
Psikiatri Klinis Edisi 2. 2010. Jakarta:EGC. P.147-168.
15. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock's synopsis of psychiatry:
behavioral sciences/clinical psychiatry. Edisi 10.Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010.
16. Suara Merdeka. Ramadhan dan gangguan jiwa. Dalam Erlina S, Pramono D,
editor. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat jalan di
rumah sakit jiwa prof. hb saanin padang sumatera barat. Berita Ked Masy.
2010; 26(2):71-80.
17. Weret, Zewdu S. Mukherjee, Roan. Prevalence of Relapse and Associated
Factors in Patient with Schizophrenia at Amanuel Mental Specialized
Hospital, Addis Ababa, Ethiopia: Institution Based Cross Sectional Study.
IJIMS. 2014;2(1):184-192.
18. Campbell RJ. Psychiatric Dictionary 5th ed. New York : Oxford University
Press, 1981, p544
19. Ayuso-Guiterrez JL, Rio Vega JM. Factor Influencing Relapse in The Long-
Term Course of Schizophrenia. Eur Arch Psychiatri Clin Neurosci 2006; 256.
P.37-43

22

Anda mungkin juga menyukai