Refarat Rheumatoid Arthritis
Refarat Rheumatoid Arthritis
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU REFARAT
RHEUMATOID ARTHRITIS
Disusun Oleh:
Dwi Pasca Cahyawati
(N 111 18 089)
Pembimbing :
dr. Arfan Sanusi.,Sp.PD
Pembimbing Klinik
TINJAUAN PUSTAKA
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi.
Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang
sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi. Engram (1998) mengatakan bahwa, rheumatoid arthritis
adalah penyakit jaringan penyambung sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh
inflamasi dari membran sinovial dari sendi diartroidial.(4)
2.2 EPIDEMIOLOGI
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 3 bulan.(4)
2.4 FAKTOR RESIKO
Faktor resiko Rheumatoid Arthritis :
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya AR, faktor usia adalah yang
terkuat. Prevalensi dan beratnya AR semakin meningkat dengan
bertambahnya umur. AR hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada
umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.
2. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena AR lutut dan sendi, dan lelaki lebih sering
terkena AR paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan di
bawah 45 tahun frekuensi AR kurang lebih sama pada laki dan wanita
tetapi diatas 50 tahun frekuensi AR lebih banyak pada wanita dari pada
pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis AR.
3. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya AR. Sebagai contoh, pada
ibu dari seorang wanita dengan AR pada sendi-sendi inter falang distal
terdapat dua kali lebih sering AR pada sendi-sendi tersebut, dan anak-
anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada
ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa AR.
4. Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada AR nampaknya terdapat
perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya AR paha lebih
jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia. AR
lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika asli dari pada orang
kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup
maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
5. Obesitas (Kegemukan)
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko
untuk timbulnya AR baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan
ternyata tak hanya berkaitan dengan AR pada sendi yang menanggung
beban, tapi juga dengan AR sendi lain (tangan atau sternoklavikula).
7. Lingkungan
Mereka yang terdiagnosis atritis reumatoid sangatlah diperlukan adanya
perhatian lebih mengenai keadaan lingkungan yang sangat mendukung.
Ketika lingkungan sekitarnya yang tidak mendukung, maka kemungkinan
besar klien akan merasakan gejala penyakit ini. Banyak diantaranya ketika
keadaan suhu lingkungan sekitar penderita yang cukup dingin, maka
penderita akan merasa ngilu, kekakuan sendi pada area-area yang biasa
terpapar, sulit untuk mobilisasi, dan bahkan kelumpuhan.(6)
2.4 ETIOLOGI
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun
faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor
metabolik, dan infeksi virus(4)
2.5 PATOFISIOLOGI
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim
dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus
akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya
adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot
akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif
dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot. Lamanya
rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa
serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari
serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil
individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus
menerus dan terjadi vaskulitis yang difus.(4)
Adanya beberapa manifestasi klinis yang lazim ditemukan pada penderita Artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan karena penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala - gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun
dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat,mati rasa, dan
kesemutan.
2. Poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan
tulang sekitarnya. Kerusakan ini terutama pada sendi perifer, termasuk sendi -
sendi di tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris,namun biasanya tidak
melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat
terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata
tetapi terutama menyerang sendi - sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan
sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit
dan selalu berulang dari satu jam.
5. Deformitas
Kerusakan dari struktur - struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.
Dapat terjadi pergeseran urnal atau deviasi jari, subluksasi sendi meta karpo
falangenal, deformitas boutonniere, dan leher angsa merupakan beberapa
deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi
matatersal. Sendi - sendi yang sangat besar juga dapat terserang dan akan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan
gerakan ekstensi.
6. Nodul - nodul reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa penderita Artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering
dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau disepanjang
permukaan ekstensor dari lengan, walaupun demikian nodul - nodul ini dapat juga
timbul pada tempat - tempat lainnya. Adanya nodul - nodul ini biasanya
merupakan suatu petunjuk penyakit yang aktif dan lebih barat.
7. Manifestasi ekstraartikuler, artritis reumatoid juga dapat menyerang juga dapat
menyerang organ - organ lain di luar sendi seperti :
Kulit
Nodul reumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah
kulit terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan seperti
olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon Achilles. Vaskulitis
seringkali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis pada kulir dan
nekrosis kuku. Jika vaskulitis menyebabkan iskemia pada daerah yang
cukup luas, kelainan ini dapat menyebabkan terbentuknya gangren atau
ulkus terutama pada ekstremitas bawah.
Mata
Kelainan yang sering dijumpai adalah kerato-konjungtivitis sicca yang
merupakan manifestasi sindrom Sjogren. Pada AR umumnya dapat
dijumpai beberapa episkleritis yang umumnya sangat ringan dan akan
sembuh secara spontan. Walaupun demikian, pada AR dapat pula dijumpai
gejala skleritis yang secara histopatologis menyerupai nodul reumatoid
dan dapat menyebabkan terjadinya erosi sklera sampai pada lapisan koroid
serta menimbulkan gejala skleromalasia perforaans yang dapat
menyebabkan kebutaan.
Sistem Respiratorik
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada AR.
Gejalanya berupa nyeri pada tenggorokan, nyeri menelan atau disfonia
yang umumnya semakin berat pada pagi hari. Paru merupakan organ yang
sering terlibat AR, umumnya hanya ringan dan dapat diketahui dari hasil
autospi berupa pneumonitis interstisial. Akan tetapi jika terus berlanjut
maka dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang luas.
Sistem Kardiovaskular
Pada beberapa pasien dapat dijumpai gejala perikarditis konstriktif yang
berat. Lesi inflamatif yang menyerupai nodul reumatoid dpaat dijumpai
pada miokardium dan katup jantung. Lesi ini dapat menyebabkan
disfungsi katup, fenomen ombolisasi, gangguan konduksi, aortitis, dan
kardiomiopati.
Sistem Gastrointestinal
Seringkali dijumpai komplikasi berupa gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan NSAID atau DMARD yang
merupakan faktor penyebab mordibitas dan mortalitas utama pada AR.
Ginjal
Pada AR jarang sekali ditemukan kelainan glomerular. Jika pada pasien
AR dijumpai proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering karena efek
samping pengobatan saperti garam emas dan d-penisilamin atau terjadi
sekunder akibat amikoidosis. Walaupun kelainan ginjal interstisial dapat
dijumpai pada sindrom Sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih banyak
berhubungan dengan penggunaan NSAID. Sementara penggunaan NSAID
yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan nekrosis papilar ginjal.1
Sistem Saraf
Patogenesis komplikasi neurologis pada AR umumnya berhubungan
dengan miopati akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau
neuropati iskemik akibat vaskulitis.
Sistem hematologis
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit
normositiknormokromik (atau hipokromik ringan) yang disertai dengan
kadar besi serum yang rendah serta kapasitas pengikatan besi yang normal
atau rendah merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada AR.
Anemia akibat penyakit kronik ini harus dapat dibedakan dari anemia
defisiensi besi yang juga dapat dijumpai pada AR akibat penggunaan
NSAID yang menyebabkan erosi mukosa lambung. Pada pasien AR yang
berat dengan HLA-DR4 positif sering dijumpai sindrom Felty yang
merupakan gabungan dari gejala AR, splenomegali, leukopenia dan ulkus
pada tungkai. Sindrom felty pada umumnya juga sering disertai dengan
limfadenopati dan trombositopenia. Selain sindrom felty, trombositopenia
juga dapat timbul sebagai komplikasi akibat penekanan sumsum tulang
pada penggunaan obat imunosupresif atau berhubungan dengan proses
autoimun pada penggunaan garam emas, dpenisilamin atau sulfasalazin.(6)
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai antiinflamasi dan imunosupresi. Golongan ini bekerja
dengan antigen limfosit sel T, menghambat prostaglandin dan sintesa leukotrien.
Golongan kortikosteroid seperti prednison dan metil prednisolon dapat
mengurangi peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan sendi. Dalam jangka
pendek kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun bila di
konsumsi dalam jangka panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan efek
samping yang serius. Oleh karena itu, kortikosteroid hanya dipakai untuk
pengobatan RA dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa karena obat ini
mempunyai efek samping yang sangat berat.
Obat ini bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum
DMARD bekerja, kemudian dihentikan secara bertahap terutama pada pasien
dengan simptom berat. Penggunaan kortikosteroid ini dapat diberikan secara
suntikan intraartikular dengan infeksi disingkarkan terlebih dahulu.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan
lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan
intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu
kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis
penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis
tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat
diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek
samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia
sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan secara oral dalam
dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, namun efektivitas kurang dan
pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
Arthritis Gout
Gout yang juga disebut pirai ini merupakan kelainan metabolisme purin
bawaan yang ditandai dengan peningkatan kadar asam urat serum dengan
akibat penimbunan kristal asam urat di sendi yang menimbulkan artritis
urika akut. Berbeda dengan RA, penyakit ini lebih sering ditemukan pada
pria dengan ratio 20:1. Biasanya menunjukkan gejala pada usia dewasa
muda dengan puncaknya setelah berusia 40 tahun. Penyakit ini sering
menyerang sendi perifer kaki dan tangan, dan tersering mengenai
persendian meta tarso falangeal ibu jari kaki. Pada anamnesis, biasanya
ditemukan keluhan sendi kemerahan disertai nyeri akut seringkali pada ibu
jari kaki. Rasa sakit pada sendi dengan permulaan eksplosif dan khas
menyerang sendi-sendi kecil terutama jari-jari kaki. Rasa sakit biasanya
selalu berulangulang dengan sendi yang terkena bengkak, panas,
kemerahan dan sakit, sering dijumpai thopi. Pada penderita seringkali
terdapat batu ginjal. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan kadar
asam urat meningkat, ditemukannya Kristal-kristal asam urat dalam cairan
synovial sendi yang terserang.
Stadium awal berupa serangan monoartikuler yang ditandai dengan nyeri
sendi hebat karena artritis akut. Biasanya terdapat kemerahan,
pembengkakan, nyeri tekan lokal dan sendi tidak dapat digerakkan.
Artritis akut ini disertai demam dan leukositosis serta gambaran gejala
selulitis dan artritis septik akut. Umumnya serangan berakhir dalam
beberapa hari, akan tetapi serangan yang berat dapat menetap untuk
beberapa minggu. Setelah beberapa tahun, 50% akan berkembang menjadi
pirai bertophus. Tophus adalah nodul kecil yang terdiri dari kristal asam
urat. Artritis pirai kronik, ditandai dengan adanya pembengkakan dan
kekakuan sendi. Pada stadium lanjut yang kronik ini serangan akut dapat
terjadi. Pada foto rontgen, timbunan kristal asam urat murni memberi
gambaran radiolusen sedangkan timbunan kalsium tampak radioopak.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan hiperurisemia dan pada 50%
penderita ditemukan kristal urat pada cairan sinovial atau tophus. Pada
penderita penyakit ini, dapat dipakai obat urikosurik yaitu probenesid dan
sulfinpirazon yang bekerja menghambat reabsorpsi asam urat di tubuli
ginjal. Kadar asam urat dalam duktus kolektivus meninggi sehingga
kemungkinan timbul batu ginjal menjadi lebih tinggi. Hal ini dapat diatasi
dengan minum banyak. Kemudian bisa diberikan allupurinol yang
menghambat enzim xantin oksidase sehingga mengurangi pembentukan
asam urat. Kadar asam urat ini perlu diturunkan sampai di bawah 7 mg%.
Dengan menurunnya kadar urat, maka tophi lambat laut akan menghilang.
Arthritis Infeksius
Arthritis infeksius adalah nyeri sendi, kekakuan dan pembengkakan yang
disebabkan oleh infeksi oleh bakteri, virus atau jamur. Infeksi ini dapat
memasukkan berbagai cara bersama:
setelah menyebar melalui aliran darah dari bagian lain dari tubuh, seperti
paruparu selama pneumonia, melalui luka di dekatnya, atau setelah
operasi, suntikan atau trauma, seperti gigitan serangga. Artritis ini
umumnya sebagai akibat penyebaran kuman secara hematogen dari infeksi
primer di tempat lain. Sumber infeksi kadang mudah diketahui seperti
endokarditis bakterialis, gonore; atau tidak jelas asalnya. Organisme yang
paling sering sebagai penyebabnya adalah gonokokus, stafilokokus,
streptokokus, pneumokokus, dan batang gram negatif. Artritis gonokokal
mungkin paling sering ditemukan pada dewasa muda yang secara seksual
aktif. Secara umum, paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Tanda khas pada kelainan ini adalah mengenai satu sendi (monoartikular)
yang biasanya mengenai persendian yang besar seperti sendi lutut,
panggul, pergelangan kaki, siku, pergelangan tangan, atau bahu. Membran
sinovial menjadi edematus dan kongestif, dan rongga sendi terisi bahan
purulen. Pada kasus berat, sinovitis dapat mengalami ulserasi dan meluas
sampai ke tulang rawan menimbulkan kerusakan pada permukaan sendi
dengan pembentukan jaringan parut dan kadang disertai perkapuran.
Gejala klinis sesuai dengan infeksi akut yaitu kemerahan pembengkakan,
perlunakan dan nyeri, sering disertai gejala konstitusional. Artritis
tuberkulosis paling sering timbul pada tulang belakang dan memberikan
gambaran osteomielitis tuberkulosis (penyakit Pott), dengan penyebaran
ke dalam diskus intervertebralis. Seperti osteomielitis tuberkulosis, artritis
tuberkulosis juga bersifat destruktif, yang berjalan lambat dan
menyebabkan pengikisan pada permukaan sendi serta merusak tulang.
Diagnosis dini sangat penting untuk mencegah kerusakan yang permanen.
Sistemik Lupus Erimatosus (SLE)
Sama seperti RA, SLE adalah gangguan autoimun sistemik. Penyakit ini
ditandai oleh adanya antibodi antinuklear. Manifestasinya bisa ditemukan
pada berbagai organ sehingga gejala dan tandanya sangat banyak.
Presentasi kliniknya termasuk ruam malar, atralgia, alopesia, perikarditis,
gagal ginjal, defisit neurologis, atau bahkan gangguan psikiatrik, serta
fotosensitif lupus eritematosus sistemik (SLE) ruam biasanya terjadi pada
wajah atau ekstremitas, yang daerah terkena sinar matahari. Pada SLE,
terdapat gejala non spesifik termasuk nyeri sendi, penurunan berat badan
dan limfadenopati. Meskipun penyebab spesifik dari SLE tidak diketahui,
beberapa faktor yang berhubungan dengan perkembangan penyakit,
termasuk, ras, hormonal, dan lingkungan faktor genetik. gangguan
kekebalan tubuh, baik bawaan dan diperoleh, terjadi pada SLE.
SLE biasanya dapat dibedakan jika ada lesi kulit terpajan pada area terang,
rambut rontok, lesi mukosa hidung dan mulut, adanya erosi sendi pada
arthritis jangka panjang, cairan sendi yang seringkali sampai < 2000
leukosit / μL terutama mononuklear sel, antibodi terhadap DNA double-
stranded, penyakit ginjal, dan serum komplemen yang rendah. Berbeda
dengan RA, deformitas dalam SLE biasanya direduksi karena kurangnya
erosi dan kerusakan pada tulang atau tulang rawan. Pada penderita SLE,
pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat ada tidaknya: ruam malar
yang ditandai oleh ruam erimatosa dan jembatan hidung (disebut ruam
kupu-kupu), demam, anemia, limfadenopati, ulkus mulut, bengkak sendi
(efusi dan nyeri tekan), takipnea (pertimbangan adanya hipertensi
pulmonal, emboli paru, gagal ginjal disertai kelebihan cairan, efusi pleura,
dan fibrosis paru), TD:periksa adanya hipertensi, gesekan perikard/pleural,
edema pergelangan kaki, neuropati. Selain itu ditemukan pula defisit
neurologis, termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif; gangguan
psikiatrik, khususnya psikosis dan urin: proteinuria dipstik, hematuria, dan
silinder.(6)
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn.AS
Umur : 41 tahun
Alamat : Jalan Maleo
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : buruh bangunan
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 31/ 03/ 3019
Ruangan : Seroja
1.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Bengkak dan nyeri pada kedua kaki dan tangan
2. Kesadaran : Komposmentis
3. Tanda-Tanda Vital
TD :100/70 mmHg
S : 36,6 0 C
R : 24 x/menit
N : 83 x/menit
4. Kepala
Wajah : Simetris
Deformitas : Tidak Ada
Bentuk : Normocephal
5. Mata
konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : isokor
Mulut : Sianosis (-)
6. Leher
Kelenjar GB : Hipertrofi (-)
Tiroid : Hipertrofi (-)
JVP : Tidak ada
Massa Lain : Tidak ada
7. Paru-paru
Inspeksi : Simetris Bilateral
Palpasi : Vokal fremitus Ka=Ki
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
8. Jantung
Inspeksi : Tidak Tampak IC
Palpasi : Tidak Teraba IC
Perkusi :
Batas Atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : SIC VI Linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I/II, Regular, Mur-mur (-)
9. Abdomen
Inspeksi : Kesan Datar, tampak ruam merah
diseluruh kulit
Auskultasi : Peristaltik Normal
Perkusi : Tympani
Palpasi : Nyeri tekan (+) Epigastrium
10. Ekstremitas
Atas : Edema kedua tangan dan terdapat ruam
merah di seluruh kulit
Bawah : Edema kedua kaki dan terdapat ruam
merah di seluruh kulit
1.5 RESUME
Laki-laki umur 41 tahun dengan keluhan nyeri dan bengkak pada kedua sendi
tangan dan kaki yang di alami sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengalami
ruam merah diseluruh kulit, pasien juga mengeluhkan lemas seluruh badan (+),
susah berjalan (+), penurunan nafsu makan dan berat badan (+) Nyeri ulu hati (+)
BAB (+) dan BAK (+) lancar.
1.6 DIAGNOSIS
- Rheumatoid Artritis
- CKD stage IV
1.8 PENATALAKSANAAN
a. Non Medikamentosa
- Tirah baring
- Pengaturan pola diet
b. Medikamentosa
INFD Na Cl 0,9% : 20 tpm
Ranitidin injeksi : 1 amp/ 12 jam
Allupurinol : 300 mg 0-1-0
Recofor : 0,5 mg 3x1
Metilprednisolon injeksi : 1 amp/ 12 jam
1.9 PROGNOSIS
Dubia ad Bonam jika penanganan dan terapi dilakukan dengan baik
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini mengeluhkan nyeri sendi lutut kanan dan kiri hingga tidak bisa
berjalan. Pasien juga mengeluhkan kaku dan nyeri sendi di jari-jari tangan serta
pergelangan tangan kanan dan kiri. Nyeri dirasakan sejak 2 bulan SMRS dan
semakin lama semakin memburuk. Pasien juga mengeluhkan badan yang lemas
sejak 1 hari SMRS. Demam, sesak, Nyeri ulu hati penurunan nafsu makan dan
berat badan disangkal pasien.
Pemeriksaan penunjang pada pasien RA ditemukan adanya Rheumatoid
Factor (RF) positif namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Dari hasil
pemeriksaan radiologis berupa USG abdomen dapat terlihat adanya subchronic
renal disease bilateral dan hydronefrosis sinistra grade I.
Hasil laboratorium pasien ini pada saat masuk RS (31/03/2019)
menunjukkan WBC 8,2 x 103/mm3, RBC 4,63 x 106/mm3 , HGB 12,2 g/dl
(menurun), HCT 36,5 % (menurun), PLT 148 x 10 3/mm3 , creatinin 2,58 mg/dl
(meningkat), urea 109,2 mg/dl (meningkat), Rheumatoid Factor : Psitif, Asam urat
9,0 mg/dL (meningkat) Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria ARA tahun
1987 pada pasien ini terpenuhi karena trdapat minimal 4 kriteria dari 7 kriteria.
Penanganan pada penderita RA meliputi mencakup terapi farmakologi,
rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan
keluarga. Terapi farmakologi awal dapat diberikan NSAID untuk mengurangi
nyeri dan inflamasinya. Selain itu juga diberikan DMARDs segera setelah
diagnosis RA ditegakkan untuk mengurangi atau mencegah kerusakan sendi,
mempertahankan integritas dan fungsi sendi. Dapat pula diberikan kortikosteroid
dosis rendah sambil menunggu efek DMARDs setelah 4-16 minggu.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. E Mudjaddid. Hubungan Derajat Aktivitas Penyakit dengan Depresi pada
Pasien Artritis Reumatoid. Vol 4 No 4. From
(http://www.jurnalilmupenyaitdalam.ac.id) 2017
2. Nurul Ayu. Faktor resiko Rheumatoid Arthritis. Vol 1 No 1. From
(http://www.jurnalkedokteranunand.ac.id) 2016
3. Suryanda, Asmawi. Pengetahuan dan sikap keluarga dalam pencegahan
kekambuhan Rematik. Vol. 5 No 1. From (http://www.urnalpoltekes.ac.id)
2019
4. Karinina putro. Rheumatoid Arthritis. Vol 1, No 2 From
(http://www.jurnalusurepository.pdf) 2019
5. Setiati siti. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid I. Interna Publishing
6. Cheryl Suseno. Rheumatoid Arthritis. Vol 1 No 1. From
(http://www.jurnalkesehatan.ac.id) 2016
7. Cici Chynthia. Hubungan nyeri rheumatoid arthritis dengan aktivitas sehari-
hari. Vol 1 No 1. From (http://www.urnalkesehatan.ac.id) 2017
8. Rizasyah Daud. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis. Vol 3
No 1. From (http://www.CDKkalbe.pdf) 2018