Anda di halaman 1dari 3

PAKAI KOMPUTER, SUDAH! BIAR TIDAK LAMA!

B Y   M A N S H U R Z I K R I     S E N T A N I 07/03/2014

Source : http://halamanpapua.org/lokasi/sentani/pakai-komputer-sudah-biar-tidak-lama/

Detik Finance (finance.detik.com/, Rubrik Ekonomi Bisnis, 7 Januari, 2014)


mengabarkan bahwa Pemerintah optimis, dalam waktu 3 tahun ke depan, seluruh masyarakat
akan mendapatkan manfaat dari Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan. Melalui pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
(Menkokesra), Agung Laksono, jajaran Pemerintah Daerah (Pemda) dihimbau untuk
melengkapi sekaligus meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah mereka masing-
masing. Salah satunya yang paling utama ialah fasilitas penghimpunan data atau
komputerisasi di setiap Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan klinik kesehatan
lainnya.

Dalam menyambut agenda besar ini, sejak tahun 2013, pemerintah telah
menganggarkan dana untuk memperbaiki fasilitas Puskesmas dan rumah sakit. Dalam pagu
APBN 2013 untuk persiapan BPJS I, telah dianggarkan sebesar Rp 3,71 triliun yang akan
ditingkatkan menjadi Rp 8,52 triliun di tahun 2014. Anggaran ini berlaku untuk perbaikan
sarana dan prasarana kesehatan di segala aspek, termasuk penambahan jumlah unit
Puskesmas dan rumah sakit, kelengkapan fasilitas di dalamnya, serta peningkatan jumlah dan
kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berperan sebagai tenaga medis. Khusus
untuk Puskesmas, dana yang dianggarkan adalah Rp 233,4 miliar di tahun 2013, ditingkatkan
menjadi Rp 1,1 triliun di tahun 2014 (Lihat Metrotvnews.com, Rubrik Humaniora, tanggal 9
April, 2013).

Kabar-kabar tersebut pastinya sangat menggembirakan. Terlepas dari pengetahuan


masyarakat tentang sistem alokasi dana berjumlah besar itu secara adil dan merata, harapan
akan berubahnya sistem pelayanan dan fasilitas kesehatan ke arah yang lebih baik menjadi
suatu keniscayaan. Keluhan masyarakat, harusnya, dapat dijawab dengan implementasi
kebijakan dan pelaksanaan pelayanan secara utuh dan sesuai standar sehingga kendala-
kendala yang sering terjadi di lapangan dapat teratasi dengan baik.

Sekarang, Bulan Maret, 2014. Kesuksesan dari program yang diagendakan oleh
Pemerintah memang belum terlihat, dan juga belum dirasakan secara konkret oleh
masyarakat. Sebut saja, “Masih dalam tahap proses,” kalau misalnya terkesan pesimis jika
mengatakannya “Masih dalam tahap penjajakan atau coba-coba.” Namun demikian,
kritisisme masyarakat harus terus digalakkan guna mengkontrol jalannya program tersebut
secara maksimal.

Pengalaman yang kami dapatkan ketika melakukan observasi di Puskesmas Sentani


selama lebih kurang satu minggu, menunjukkan bahwa masih terdapat persoalan-persoalan
teknis pelayanan kesehatan yang menjadi faktor penyebab hilangnya semangat masyarakat
untuk datang berobat ke Puskesmas.

“Puskesmas bagus,” kata salah seorang warga kepada saya. “Tapi, itu, antrinya lama!”

Ya, keluhan yang paling banyak saya temukan setelah bertanya kepada beberapa
orang warga, terkait dengan pelayanan di Puskesmas Sentani, ialah antrian yang begitu lama.

Puskesmas Sentani merupakan salah satu puskesmas favorit di Kabupaten Jayapura


karena letaknya yang sangat strategis, di dekat Bandar Udara Sentani, dan mudah diakses.
Bahkan, masyarakat yang berasal dari luar Sentani pun, memilih untuk datang ke puskesmas
tersebut untuk berobat. Masyarakat yang ingin berobat, jika mereka berasal dari luar Sentani,
umumnya datang pagi-pagi sekali, sebelum puskesmas buka. Setelah puskesmas dibuka,
mereka harus menunggu lagi dibukanya loket pendaftaran pada pukul delapan pagi—
beberapa kali, seperti yang saya amati, hingga pukul sembilan pagi. Biasanya tak lebih dari
sejam, sejak loket dibuka, masyarakat yang biasanya menunggu di pekarangan puskesmas
atau di warung-warung tenda, satu per satu masuk dan memenuhi loket pendaftaran. Bangku
antrian seketika penuh.

Sebenarnya, alur pendaftaran di Puskesmas Sentani itu sederhana. Sebagaimana yang


diutarakan oleh dr. Dian, Kepala Puskesmas Sentani, terdapat tiga poliklinik utama di
Sentani, yakni Polik Umum, Polik Gigi, dan Polik TB (dan HIV-Aids & Kusta). Dari loket,
pasien akan diarahkan ke Polik Umum, dan di Polik Umum tersebut akan diputuskan apakah
pasien bisa langsung mengambil obat ke apotek, atau harus dirujuk ke poliklinik lainnya (atau
bahkan mungkin harus dirujuk ke RSUD Yowari). Jika ada yang ingin memeriksakan
penyakit malaria, bisa merujuk ke laboratorium untuk cek darah. Biasanya, jika pasien
membludak, cek darah bisa dilakukan sebelum menuju loket dan Polik Umum.

Namun, mudahnya alur tersebut tidak serta merta memuaskan masyarakat yang
datang berobat. Mereka harus mengantri begitu lama. Salah seorang bapak yang saya temui
mengungkapkan rasa kesalnya kepada saya.

“Saya datang, petugas loketnya hanya satu orang,” begitulah kira-kira katanya.
“Antrian banyak. Datang pagi, seharusnya bisa pulang cepat, terpaksa harus pulang siang-
siang hari.”

Teman saya, Stefanus, pernah berkata bahwa biasanya, masyarakat itu mempunyai
kesibukan-kesibukan yang dirasa sangat berat hati jika ditinggalkan. Memang sudah begitu
pola pikir masyarakat di sini. Terutama yang berada di luar Sentani, yang tinggal di daerah
gunung, atau yang di daerah terpencil, kegiatan di kebun dianggap lebih penting. Kalau siang
hari sudah tak mendapat pelayanan yang memuaskan (cepat dan mudah), masyarakat bisa-
bisa pulang tanpa membawa hasil berobat. Kondisi yang seperti itu yang biasanya membuat
masyarakat marah dan jengah terhadap pelayanan puskesmas.
Mengapa antrian yang ada, khususnya untuk kasus di Puskesmas Sentani, bisa begitu
lama? Salah seorang suster—sungguh maaf saya lupa bertanya siapa namanya—berujar
bahwa proses yang begitu lama di loket pendaftaran disebabkan oleh pencarian data rekam
medis si pasien. Proses itu masih dikerjakan secara manual. Ada ribuan arsip rekam medis.
Proses ini bisa menjadi lebih cepat dengan bantuan kartu berobat si pasien karena di kartu itu
tertera nomor identitas pasien sehingga memudahkan pencarian.

Kepala Puskesmas Sentani dr. Dian menjelaskan bahwa rekam medis itu menjadi
penting untuk menghindari terjadinya mal praktek, selain juga membantu dokter memahami
riwayat penyakit si pasien agar diagnosa dan tindakan medis yang dilakukan tepat sasaran.
Kartu berobat berfungsi semacam katalog yang mengidentifikasi data rekam medis milik
pasien. Selain itu, sejak berlakunya kebijakan BPJS Kesehatan pada Januari 2014, terdapat
pula peraturan bahwa pasien yang membawa kartu berobat (khusus untuk kartu Jamkesmas
dan Askes) akan mendapatkan pelayanan gratis. Akan tetapi, bagi yang tak memliki kartu
Jamkesmas dan Askes, diwajibkan membuat kartu berobat biasa dan membayar uang sebesar
lima ribu rupiah untuk biaya pengobatan. Pada pengalaman saya ketika mencoba berobat ke
puskesmas tersebut, saya harus membayar sepuluh ribu. Lima ribu pertama untuk cetak kartu
berobat biasa, dan lima ribu kedua untuk biaya pengobatan.

Masalahnya, beberapa masyarakat yang datang ke Puskesmas Sentani untuk berobat,


terkadang lupa membawa kartu berobat yang dimaksud. Kelalaian-kelalaian kecil seperti ini
dapat mengganggu proses pendaftaran, bahkan berdampak ke pasien lainnya yang juga
menunggu antrian.

“Kalau ada yang tidak membawa kartu, terpaksa kita harus bongkar lagi,” kata si
suster yang sempat berbincang dengan Stefanus. “Kalau pake komputer, kan, tinggal pencet,
ketik nama, datanya langsung keluar. Itulah salah satu kekurangan manajemen kita di sini.”

Anda mungkin juga menyukai