Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

IKLIM ETIKA DAN ORGANISASI BERINTEGRITAS

Dosen Pengampu :Citra Lutfia, SE., M.A.

PROGRAM AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2020
5.1 Pentingnya Membangun Iklim Etika dan Organisasi Berintegritas

Banyak pimpinan organisasi dan perusahaan yang beranggapan bahwa


permasalahan etika adalah permasalahan individual. Setiap individu
bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan tidak beretikayang mereka
lakukan, sementara itu organisasi tidak dapat berbuat apa-apa untuk
mempengaruhi etika seseorang karena sudah terbentuk melalui keluarga dan
pendidikan pada masa kecil mereka.
Memang Gayus Tambunan dari Direktorat Pajak dan Malinda Dee dari
Citibank memperoleh hukuman atas tindakan mereka melang8gar hukum.
Namun apa yang mereka perbuat berpengaruh terhadap organisasi dan
perusahaan tempat mereka bekerja. Kepercayaan pembayar pajak berkurang
ketika muncul kasus Gayus. Citibank harus membayar dana nasabah yang
digelapkan oleh Malinda Dee. Selain itu, tingkat kepercayaan nasabah
terhadap Citibank juga menurun dan Citibank mendapat hukuman dari Bank
Indonesia. Karena itu, organisasi dan perusahaan sangat berkepentingan
terhadap perilaku etika dari orang-orang yang bekerja pada organisasi dan
perusahaan tersebut.
Organisasi juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Sebagai contoh
adalah apa yang terjadi pada Sears, Roebuck & Company pada tahun 1992.
Pada saat itu perusahaan tersebut dibanjiri oleh complain atas bisnis layanan
otomotif. Pelanggan dan pengacara dari 40 negara bagian di Amerika Serikat
menuduhPerusahaan telah menyesatkan pelanggan dengan menjual suku
cadang yang belum perlu diganti. Hal ini terjadi bukan karena penurunan
moral pada pegawal perusahaan. Peristiwa ini juga terjadi bukan disengaja
oleh manajemen. Namun terdapat beberapa faktor di dalam organisasi yang
menciptakan situasi tersebut.
Dalam menghadapi penurunan pendapatan, pangsa pasar yang mengecil
dan persaingan yang semakin ketat, manajemen perusahaan berupaya untuk
meningkatkan kinerja dengan memperkenalkan program sasaran dan insentif
yang baru untuk pegawai. Perusahaan meningkatkan kuota minimum dan
memperkenalkaninsentit produtivitas bagi mekanik bengkel. Asisten
pelayanan (service asistants) diiberikan target penjualan untuk produk tertentu,
Seperti rem, shock absorber dan lain-lain per shit dan memperoleh komist dari
penjualan yang dilakukan. Jika mereka gagal mencapai target, mereka akan
dipindahkan atau dikurangi jam kerjanya. Mereka mendapat tekanan untuk
melakukan penjualan.
Dengan tekanan dan insentif yang baru, sementara mereka pada dasarnya
tidak memiliki peluang untuk meningkatkan penjualan, karena penjualan
sangat tergantung pada kerusakan mobil, maka mereka mengalami kesulitan
untuk melakukan pertimbangan secara jernih. Mereka menjadi sulit untuk
membedakan antara layanan yang tidak dibutuhkan dan perawatan yang
memang harus dilakukan Ditambah dengan ketidak-tahuan pelanggan, mereka
menetapkan sendiri tindakan dalam area abu-abu yang memiliki berbagai
interpretasi. Tanpa dukungan aktit dari manajemen untuk praktik beretika dan
ketiadaan mekanisme untuk mendeteksi dan memeriksa pejualan yang
meragukan dan hasil pekerjaan yang buruk, pegawai akan bertindak sesuai
dengan tekanan yang dihadapi. Karena hal itu yang menjadi prioritas mereka.
Setelah tuntutan terhadap Sears diketahui publik, CEO Edward Brennan
mengakui tanggung jawab manajemen yang telah menerapkan sistem
penetapan sasaran dan kompensasi yang menciptakan situasi penyebab
kesalahan. Walaupun perusahaan menyangkal adanya niat untuk
memanfaatkan pelanggan, eksekutif kenmudian menghapus komisi kepada
service assistant dan memberhentikan kuota penjualan untuk suku cadang
tertentu. Mereka juga mengumumkan menerapkan sistem blind audit dan
merencanakan untuk memperluas sistem pemantauan kualitas pelayanan.
Untuk menyelesaikan tuntutan hukum. Perusahaan menawarkan kupon untuk
pelanggan yang membeli suku cadang tertentu selama periode 1990-1992.
Total biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelesaikan tuntutan diperkirakan
sebesar $60 juta.
Iklim etika
Iklim etika merupakan bagian kecil dari etika itu sendiri. Etika memiliki
cangkupan yang luas dimana setiap orang, kelompok, maupun negara
memiliki etika yang berbeda. Iklim etika yang banyak digunakan dalam
peneliatian yaitu iklim etika yang dikembangkan oleh Victor dan Cullen.
Victor dan Cullen mengemukakan bahwa iklim etika terbagi menjadi dua
yaitu berkaitan dengan pengambian keputusan (ego, kebijakan, dan prinsip)
dan berkaitan lokus analisis (individual, lokal, dan kosmopolitan). Sesuai
dengan judul masalah yang ingin diteliti, sudah dapat dilihat bahwa penelitian
kali ini berkaitan dengan pengambilan keputusan dan lokus analisisnya sudah
jelas yaitu individu (akuntan).
Pengambilan keputusan seperti yang diketahui terbagi menjadi tiga yaitu
ego, kebijakan, dan prinsip. Ketiga kriteria ini diambil berdasarkan
pengamatan bahwa kebanyakan teori pengambilan keputusan yang etis
mengakui bahwa pilihan mungkin dibuat berdasarkan mementingkan diri
sendiri (Egoisme), mementingkan kepentingan bersama dalam hal ini untuk
kepentingan organisasi (kebajikan) atau sesuai dengan standar deontologis.
Iklim etika yang dikembangakan oleh Victor dan Cullen jika kita melihat
pada penelitian-penelitian terdahulu, teori ini banyak digunakan dalam
penelitian yang “berbau” konflik yang biasa terjadi di dalam prusahaan. Untuk
itu peneliti ingin agar para pembaca memperolah pemahaman yang lebih baik
dan lebih luas mengenai iklim etika ini, bukan hanya bisa dikaitkan dengan
konflik yang terjadi di perusahaan tetapi juga dapat dikaitkan dengan
professional judgment seorang akuntan. Berikut ini skema mengenai kerangka
teoritis dan hubungannya dari profesional judgment sampai ke tiga kriteria
pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Victor dan Cullen.

Pengaruh iklim etika


Untuk dapat memiliki judgment yang profesional seorang akuntan harus
memiliki pengetahuan, skill dan etika karena jika tidak memiliki ketiga hal
tersebut maka professional judgment yang diambil tidak tepat. Terkait tentang
pengetahuan dan skill seorang akuntan sudah tidak perlu dipertanyakan lagi
kapabilitasnya. Karena sudah pasti seseorang dapat bergelar sebagai akuntan
jika ia sudah menempuh jenjang pendidikan tertentu dan selama menempuh
jenjang pendidikan tersebut seorang calon akuntan sudah pasti akan
mendapatkan berbagai pelatihan-pelatihan agar skillnya bisa terasah.
Menyangkut soal etika, seorang akuntan masih perlu mendapatkan perhatian
khusus.
Hal ini disebabkan karena etika sendiri merupakan nilai-nilai dan
normanorma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya7 . Dan jika hal ini dikaji lebih dalam maka
setiap akuntan akan memiliki etika yang berbeda tergantung diri dan
lingkungan tempat ia bekerja. Kadangkala, apabila tidak terjadi keseimbangan
antara iklim etika dan profesional akuntan, maka yang akan timbul yaitu
terjadinya konflik. Konflik ini sangat berbahaya, karena bisa mempengaruhi
kualitas dari hasil kerja akuntan. Dalam konteks profesional akuntan, iklim
etika yang dirasakan dalam tempat kerja mereka mempunyai pengaruh besar
terhadap munculnya konflik organisasional profesional (KOP).
Semakin baik iklim etika yang dibangun dalam KAP tersebut, maka
konflik organisasional profesional akan semakin rendah yang berakibat pada
kinerja akuntan publik serta komitmen akuntan publik terhadap tempat
kerjanya tersebut semakin tinggi. Ini bisa diambil kesimpulan bahwa
komitmen organisasi dapat menentukan profesional atau tidaknya seorang
akuntan walaupun tidak secara langsung, karena tingkat profesional dan
tingkat komitmen seorang akuntan terhadap tempat kerjanya dipengaruhi oleh
baik tidaknya iklim etika ditempat tersebut. Iklim etika dapat mempengaruhi
perilaku anggota organisasi dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dapat
diperkuat dengan penjelasan dari Victor dan Cullen (1988) yang juga
mendefenisikan iklim etika sebagai suatu persepsi atau pendangan yang
berlaku dalam praktek dan prosedur organisasi yang memiliki konten etika.
Komitmen organisasi, profesional judgment, dan iklim etika adalah tiga
hal yang tidak bisa dipisahkan. Hubungan antara komitmen organisasi dan
professional judgment dapat berdampak pada hasil akhir dalam pengauditan
atau dalam pembuatan laporan keuangan. Apabila seorang karyawan tidak
merasa nyaman untuk bekerja disuatu perusahaan yang disebabkan karena
komitmen karyawan terhadap perusahaan rendah yang rendah dan nantinya
akan berdampak terhadap hasil akhir dari pekerjaannya, maka karyawan
tersebut sudah bisa dikatakan tidak professional.
Hubungan antara komitmen organisasi dan iklim etika dapat dilihat dari
segi internal akuntan atau auditor. Komitmen organisasi dan iklim etika
merupakan dua hal yang berkaitan dengan tempat seseorang bekerja atau
organisasi. Apabila iklim etika disuatu perusahaan berubah-ubah maka hal ini
menimbulkan konflik internal yang dirasakan oleh akuntan dan auditor.
Semakin baik iklim etika yang dibangun dalam KAP tersebut, maka
konflik organisasional profesional akan semakin rendah yang berakibat pada
kinerja akuntan publik serta komitmen akuntan publik terhadap tempat ia
bekerja tersebut semakin tinggi. Sedangkan antara iklim etika dan professional
judgment terdapat pula hubungan yang sangat erat. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa untuk dapat memiliki judgment yang
profesional maka seorang akuntan harus memiliki ilmu, sklill, dan etika. Etika
disini berkaitan dalam hal pengambilan keputusan yang dilakukan diakhir
pekerjaan seorang auditor. Apabila iklim etika yang terjadi dalam perusahaan
dapat mempengaruhi judgment yang diambil maka ia akan membuat
keputusan yang tidak profesional.

1. Pengaruh iklim etika terhadap profesional judgment. Iklim etika


merupakan persepsi-persepsi yang berlaku mengenai
praktekpraktek serta prosedur-prosedur organisasional yang
memiliki kandungan etik (Victor dan Cullen,1987)15. Artinya
iklim etika dalam suatu organisasi dapat menjadi sumber informasi
yang penting untuk anggota mengenai tindakan yang dilakukannya
apakah benar atau etis dalam konteks kerja. Hal ini memiliki
keterkaitan dengan profesional judgment, dimana judgment yang
dikeluarkan oleh akuntan biasanya merupakan hasil kesimpulan
dari berbagai investigasi yang dilakukannya, selama proses
tersebut sampai pada pemberian judgment seorang akuntan harus
berperilaku secara profesional dan independen, dimana ia tidak
dipengaruhi oleh berbagai pihak, atau kondisi apapun. Baik itu
pihak dalam diri sendiri, rekan kerja, atau kondisi tempat akuntan
bekerja. Iklim etika merupakan suatu teori dimana didalamnya itu
terdapat sifat-sifat dari seseorang dan hah-hal yang
mempengaruhinya dalam menetapkan sebuah keputusan.
2. Pengaruh komitmen organisasi terhadap proffessional judgement
Komitmen organisasi merupakan salah satu sikap yang
mencerminkan perasaan suka atau tidak suka seseorang karyawan
terhadap organisasi tempat ia bekerja16. Komitmen ini merupakan
hal yang penting dalam sebuah organisasi, karena apabila seorang
karyawan merasa tidak nyaman untuk bekerja bekerja di
perusahaan tersebut, maka ini akan berimbas pada kebetahan
karyawan itu untuk bekerja di organisasi tersebut atau akan
mengakibatkan kualitas dari pekerjaannya menurun. Hal ini juga
terjadi pada tempat kerja para akuntan, apabila seorang akuntan
merasa tidak nyaman bekerja di kantor tersebut maka
komitmennya yang telah lama dipegang oleh akuntan akan jatuh
dengan sendirinya dan hal ini akan berdampak pada tingkat
profesional akuntan dalam bekerja. Seorang akuntan yang sudah
berkurang rasa komitmennya terhadap tempat ia bekerja, maka ia
akan cenderung untuk tidak bekerja secara profesional.
3. Pengaruh variabel Iklim Etika dengan Komitmen Organisasi
Komitmen menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat
terhadap nilai dan sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi.
Sedangkan, Iklim etika adalah suatu persesi atau pendangan yang
berlaku umum dalam praktek dan prosedur organisasi yang
memiliki konten etika. Mempelajari iklim etika dalam sebuah
organisasi sangatlah penting karena hal ini sangat berguna dalam
mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan. Komitmen terhadap
organisasi membuktikan bahwa seorang individu loyal atau tidak
terhadap organisasinya. Iklim organisasi dapat mempengarusi
tingkat loyalitas dari karyawan terhadap tempat kerjanya. Apabila
iklim etika dari suatu tempat kerja dianggap tidak nyaman bagi
karyawan, maka ia lebih cenderung untuk untuk bersikap
semaunya dan tidak mau lagi diikat oleh komitmen dari organisasi
tersebut. Hal ini akan berdampak pada kinerja karyawan yang
menurun dan pendapatan perusahaan pun akan menurun.
4. Pengaruh iklim etika terhadap professional judgment melalui
komitmen organisasi sebagai variabel intervening Variabel
komitmen organisasi merupakan suatu variabel yang menjadi
penengah antara iklim etika dan profesional judgment. Seorang
akuntan dalam menetapkan suatu judgment pasti dipengaruhi oleh
iklim etika disekitarnya, komitmen organisasi hadir menjadi suatu
variabel yang dapat mengambil peran agar judgment yang
ditetapkan oleh seorang akuntan dapat secara professional. Karena
seseorang akan berbuat atau bertindak berdasarkan pada suasana
yang ada di sekitarnya. Apabila lingkungan disekitarnya memaksa
agar seorang akuntan berbuat sesuatu yang tidak profesional, dan
akuntan itu menyetujuinya, maka komitmen organisasi disini
berperan sebagai pencegah agar akuntan tidak melakukan sesuatu
yang tidak profesional karena komitmen terhadap organisasi dan
profesi yang mengikatnya. Akan tetapi, apabila bila akuntan
tersebut sudah tidak peduli dengan tempat ia bekerja dan
profesinya atau dengan kata lain komitmennya sudah mulai
terkikis, maka ia akan dengan senang hati melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan kode etik profesional akuntan yang
berlaku. Variabel komitmen organisasi juga di anggap sebagai
variabel penengah karena belum adanya penelitian yang
menghubungkan antara iklim etika dan professional judgment.

Hukum perusahaan merupakan kumpulan aturan-aturan tertulis maupun


tidak tertulis yang mengatur bentuk-bentuk organisasi bisnis yang mengatur
hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian dalam praktik bisnis.
Organisasi bisnis tersebut akan mengkodifikasi harapan dari etika dalam
melaksanakan kegiatan bisnis dan kewirausahaan. Meskipun disadari tidak
semua harapan etika tersebut dapat dipenuhi oleh hukum perusahaan. Norma
etika memang bersifat dinamis, tetapi begitu ia dituangkan dalam ketentuan
hukum perusahaan sifat dinamisnya menjadi berkurang/ bahkan mungkin
menjadi statis. Maka di sini hukum tentunya harus memperhatikan pula
apabila adanya perubahan-perubahan.
Disinilah pentingnya pemahaman etika bagi pelaku bisnis dalam membaca
setiap perkembangan organisasi bisnis itu. Etika kewirausahaan merupakan
kode etik yang diberlakukan untuk profesi kewirausahaan dalam suatu
organisasi bisnis dalam konteks menjalankan setiap aturan menurut hukum
perusahaan itu. Kode etik berlaku untuk suatu profesi kewirausahaan yang
bertindak secara profesional.
Karena itu pelaku bisnis mempunyai tanggung jawab khusus. Melalui
kode etik kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, etika
kewirausahaan merupakan dasar moral yaitu nilainilai tentang apa yang baik
dan apa yang buruk, dan berkaitan dengan hak dan kewajiban setiap pelaku
usaha. Dapat berfungsi sebagai pedoman perilaku, sikap atau tindakan yang
diterima dan diakui sehubungan dengan kegiatan manusia atau kelompok
bisnis.
Dengan ini etika kewirausahaan merupakan proses pembelajaran mengenai
benar dan salah dan kemudian melakukan hal yang benar dan ini merupakan
persoalan pendidikan, memberikan contoh yang benar dan pelayanan untuk
mempraktikkan perilaku moral dengan dialog yang jujur. Bahkan etika
kewirausahaan dipandang sebagai ilmu tentang berperilaku mencakup aturan
dasar yang dianut dalam hidup dan kehidupan supaya tindakan punya nilai
moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban. Nilai moral dari
tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu
melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu
sudah dinilai baik, sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban
adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap
hormat pada hukum perusahaan dan nilai moral secara universal.
Etika dipandang sebagai state of the art hukum yaitu dimana pedoman
perilaku yang ada saat ini ditafsirkan ke dalam hukum perusahaan dan
digunakan dan sejalan dengan etika kewirausahaan sebagai pedoman
selanjutnya untuk masa yang akan datang.
Pelaku kewirausahaan atau bisnis mempunyai peranan dalam
menumbuhkan bisnis yang berbudaya, bermoral dan taat/sadar hukum.
Kesadaran hukum harus dapat merata diantara pelaku bisnis, para eksekutif.
Para birokrat, yang didukung pula oleh faktor lingkungan yang sehat dalam
berbisnis, sehingga budaya bisnis yang baik, sehat tetap terjaga dan
terpelihara.
Budaya bisnis yang kuat akan melahirkan budaya perusahaan, budaya
perusahaan dalam perspektif manajemen hingga kini masih diyakini sebagai
pola sikap, keyakinan, asumsi, dan harapan yang dimiliki bersama, yang
mungkin tidak tertulis, namun membentuk cara bagaimana sumber daya
manusia di dalam suatu perusahaan bertindak dan berinteraksi
dukungmendukung demi menyukseskan tujuan perusahaan.
Pembangunan karakter ini mengarah kepada kesejahteraan hidup,
mengingat pola di dalam kehidupan industrial dewasa ini selalu mengarah
pada tuntutan kompetensi pelaku bisnis berdasarkan pendidikan formalnya.
Padahal, kewirausahaan mestinya tidak melihat kompetensi seseorang hanya
berdasarkan pendidikan formalnya semata-mata, tetapi juga melihat semangat
hidupnya, kemandiriannya, kepribadiannya, keluwesannya, dan kreativitasnya
dalam menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan dalam rangka
mengambil keputusan dalam rangka menangkap peluang bisnis.
Sejak munculnya istilah hukum perusahaan yang berusaha mengambil alih
peranan hukum dagang. Hukum perusahaan sudah dijadikan materi kuliah
wajib di beberapa perguruan tinggi yang terkesan berdiri sendiri
berdampingan dan menggantikan hukum dagang walaupun secara substansi
kedua istilah tersebut hampir tidak ada perbedaan, tetapi secara umum hukum
perusahaan lebih diminati dan mudah dipahami bila dibandingkan dengan
hukum dagang. Hukum dagang lebih banyak dipahami oleh
mahasiswamahasiswa fakultas hukum, sedangkan hukum perusahaan
(organisasi bisnis) merupakan materi kuliah yang selalu disajikan pada
fakultas ekonomi sehingga wajar bila hukum perusahaan lebih banyak dikenal
oleh mahasiswa-mahasiswa fakultas ekonomi.

Etika Kewirausahaan dan Efek bagi Perusahaan


Salah satu aspek yang sangat populer dan perlu mendapat perhatian dalam
dunia bisnis ini adalah norma dan etika bisnis. Etika bisnis selain dapat
mejamin kepercayaan dan loyalitas dari semua unsur yng berpengaruh pada
perusahaan juga sangat menentukan maju atau mundurnya suatu perusahaan.5
Sedangkan menurut Leonardus Saiman, etika bisnis adalah keseluruhan dari
aturan-aturan etika, baik yng tertulis yang mengatur hak-hak dan kewajiban
produsen dan konsumen serta etika yang harus dipraktikkan dalam bisnis.
Dalam pemahaman lain, etika kewirausahaan adalah suatu proses dan
upaya untuk mengetahui hal-hal yang benar dan yang salah yang selanjutnya
tentu melakukan hal yang benar berkenaan dengan produk, pelayanan
perusahaan dengan pihak yang berkepentingan dengan tuntutan perusahaan
guna mempelajari kualitas moral kebijaksanaan organisasi, konsep umum dan
standar untuk perilaku moral dalam bisnis, berperilaku penuh tanggung jawab
dan bermoral. Merupakan suatu kebiasaan atau budaya moral yang berkaitan
dengan kegiatan bisnis suatu perusahaan.
Etika untuk berbisnis secara baik dan fair dengan menegakkan hukum
perusahaan dan keadilan secara konsisten dan konsekuen setia pada prinsip-
prinsip kebenaran, keadaban dan bermartabat dengan mengedepankan peran
etika dalam berwirausaha untuk membangun kultur bisnis yang sehat, idealnya
dimulai dari perumusan etika yang akan digunakan sebagai norma perilaku
sebelum aturan (hukum) perilaku dibuat dan laksanakan, atau aturan (norma)
etika tersebut diwujudkan dalam bentuk aturan hukum perusahaan.
Sebagai kontrol terhadap individu, pelaku dalam bisnis yaitu melalui
penerapan kebiasaan atau budaya moral atas pemahaman dan penghayatan
nilai-nilai dalam prinsip moral sebagai inti kekuatan suatu perusahaan dengan
mengutamakan kejujuran, bertanggung jawab, disiplin, berperilaku tanpa
diskriminasi.
Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral, tidak
merupakan komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu kerangka
sosial, etika bisnis menjamin bergulirnya kegiatan bisnis dalam jangka
panjang, tidak terfokus pada keuntungan jangka pendek saja, etika bisnis akan
meningkatkan kepuasan pegawai yang merupakan stakeholders yang penting
untuk diperhatikan.
Pada saat ini setiap kegiatan berwirausaha perlu beretika, sebab
berwirausaha tidak hanya bertujuan untuk profit melainkan perlu
mempertimbangkan nilainilai manusiawi, apabila tidak akan mengorbankan
hidup banyak orang, sehingga masyarakat pun berkepentinan agar bisnis
dilaksanakan secara etis, selain itu bisnis saat ini dilakukan dalam persaingan
yang sangat ketat, maka dalam persaingan bisnis tersebut, orang yang bersaing
dengan tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim yang semakin
profesional justru akan menang. Keutamaan yang harus menandai pebisnis
perorangan bisa disebut kejujuran, fairness, kepercayaan dan keuletan.
Keempat keutamaan ini berkaitan erat satu sama lain dan kadangkadang malah
ada tumpang tindih di antaranya. Fairness, kesediaan untuk memberikan apa
yang wajar kepada semua orang dan dengan wajar dimaksudkan apa yang bisa
disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Keutamaan-
keutamaan yang dimilliki manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili
perusahaan, adalah keramahan, loyalitas, kehormatan dan rasa malu.
Keramahan merupakan inti kehidupan bisnis, keramahan itu hakiki untuk
setiap hubungan antar manusia, hubungan bisnis tidak terkecuali. Loyalitas
berarti bahwa karyawan tidak bekerja sematamata untuk mendapat gaji, tetapi
mempunyai juga komitmen yang tulus dengan perusahaan. Kehormatan adalah
keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka
serta sukses dan kegagalan perusahaan dan rasa malu membuat karyawan
solider dengan kesalahan perusahaan.

5.2 Keterbatasan Program Compliance

Risiko menghadapi kasus hukum akibat tindakan yang dilakukan oleh


pegawainya yang melanggar hukum tanpa terdeteksi berdampak pada
konsekuensi biaya yang signifñikan dan kehilangan nama baik dan
kepercayaan pelanggan. Risiko ini menyebabkan banyak organisasi
perusahaan yang menyadari pentingnya etika organisasi. Mereka
mengembangkan etika organisasi yang mampu mendeteksi dan
mencegahpelanggaran hukum. šementara ifu, Pemerintah Amerika juga
mendorong perusahaan untuk menerapkan program compliance, dengan
memberikan denda yang lebih rendah kepada perusahaan yang melanggar
hukum Jika mereka sudah menerapkan program legal comipltance.
Program compliance biasanya menekankan pada pencegahan tindakan
yang melawan hukum, melalui peningkatan pemantauan dan pengawasan serta
dengan memberikan hukuman bagi pelanggar. Manajer harus
mengembangkan standar dan prosedur, menugaskan pegawal-pegawal yang
memiliki jabatan yang tinggi untuk mengawasi kepatuhan terhadap standar
dan prosedur, menghindari pendelegasian wewenangkepada orang-orang yang
berpotensi untuk melakukan pelanggaran, mengkomunikasikan standar dan
prosedur melalui peatihan dan publikasi, melakukan audit kepatuhan, proses
pemantauan, system whistleblowing dimana pegawai dapat melaporkan
tindakan melawan hukum tanpa merasa takut dihukum, secara konsisten
menegakkan standar melalui tindakan-tindakan disiplin, secara cepat
melakukan tindakan jika terdeteksi pelanggaran, dan melakukan langkah-
langkah pencegahan agar pelang8garan sejenis tidak terulang di masa
mendatang.
Terdapat beberapa keterbatasan atas program compliance ini. Perusahaan
multinasional menghadapi perbedaan hukum dan aturan pada masing-masing
negara. Walaupun keterbatasan ini sebetulnya dapatdiatasi dengan
menetapkan standar yang tertinggi.
Keterbatasan lainnya adalah program compliance terlalu menekankan
kepada pemberian ancaman deteksi dan hukuman untuk mendorong perilaku
yang mentaati hukum. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa manusia bersifat
self interest yang lebih memperhatikan untung rugi pada suatu pilihan
daripada pertimbangan moral. Padahal tidak semua manusia bersifat
selfinterest. Sebagian merasa memiliki kewajiban untuk mentaati hukum.
Namun mereka diperlakukan sama dengan sebagian yang bersifat self interest.
Hal ini akan lebih bermasalah dalam pemberian hukuman. Tidak semua orang
perlu diancam untuk diberi sanksi. Malah pemberian hukuman justru
berdampak negatif. Mereka akan melawan program-program yang
menekankan pada hukuman terutama jika program dikembangkan tanpa
keterlibatan mereka atau jika standar dianggap terlalu tinggi dan sulit untuk
dicapai.
Keterbatasan utama dari program compliance adalah program ini
cenderung untuk tidak mendorong terciptanya imajinasi moral atau komitmen.
Hukum tidak dimaksudkan untuk menginspirasi manusia untuk melakukan
hal terbaik atau melakukan perbedaan. Program ini bukan pedoman untuk
perilaku keteladanan atau bahkan untuk praktik-praktik yang baik. Manajer
yang mendefinisikan etika sebagai kepatuhan hukum secara implisit
mendukung suatu tingkat moral yang rata-rata (mediocre).
Pengertian Integritas
Integritas adalah sesuatu yang terkait langsung dengan individu, bukan
dengan kelompok atau organisasi. Kepemilikan integritas hanya bisa
dikatakan kepada individu, bukan kepada keluarga, orangtua atau saudara.
Integritas seorang ayah tidak serta merta menjadi integritas anaknya. Dalam
cerita tersebut, kerapian kerja kelompok, berhasil membangun tembok yang
baik dan kuat, tidak serta merta menjamin bahwa individu-individu yang ada
di dalamnya juga otomatis memiliki ketahanan diri yang kuat. Penguatan
utama yang mesti dilakukan adalah penguatan diri individu, yang menguatkan
diri masing-masing aggota kelompok atau generasi berikutnya, untuk memiliki
integritas diri yang baik dan kuat.
Dari cerita, integritas diri dapat diartikan sebagai suatu ketahanan diri
untuk tidak tergoda berbagai desakan untuk memikirkan dan mengutamakan
kepentingan dan atau keuntungan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan
dan nasib orang banyak, dengan tanggung jawab hal itu sedang berada di
tangannya. Integritas diri berkaitan dengan sikap selalu mengedepankan
tanggung jawab, kepercayaan, dan kesetiaan terhadap janji. Integritas
berkaitan dengan kemampuan menahan dan mengendalikan diri dari berbagai
godaan yang akan menghancurkan harkat dan martabat mulia diri sendiri.
Orang yang memiliki integiritas adalah orang yang bisa diandalkan, dipercaya,
dan diteladani.
Kata integrity memiliki konotasi etis, dan menurut Minkes, et al. (1999),
perilaku etis berkaitan dengan “ought” atau “ought not”, bukan hanya “must”
dan “must not”. Oleh karena itu terdapat ukuran-ukuran lain yang terletak di
belakang apa yang dituntut hukum atau ukuran-ukuran lain yang lebih
mentitikberatkan pada pertimbangan keuntungan. Jadi masalah integritas tidak
bisa dibatasi hanya pada hal-hal yang kelihatan saja atau yang dapat diukur
dari sudut pandang butir-butir hukum. Perilaku yang dapat diamati dan
dianggap sesuai dengan aturan atau hukum, belum tentu juga etis.
Integritas adalah suatu konsep yang biasanya digunakan dalam diskusi
formal dan informal tentang leadership dan teori-teori organisasi, namun
demikian tidak begitu jelas dirumuskan dan dimengerti (Rieke & Guastello,
1995). Sebagai contohnya, dalam literatur yang ada, kata seperti integrity,
honesty, and conscientiousness sering tidak dibedakan, dan cenderung
digunakan sebagai istilah yang dapat dipertukarkan tanpa keterangan lebih
lanjut (Becker, 1998).
Penilaian terhadap integritas tidak bisa hanya didasarkan pada tolok ukur
yang digunakan oleh masing-masing individu atau kelompok atau budaya saja.
Ada bahaya ketika suatu perilaku individu yang sesungguhnya sangat dicela
oleh banyak orang, tetap ada saja orang atau kelompok atau budaya tertentu
yang menganggapnya sebagai hal yang terpuji. Relativisme moral seperti ini
tidak dapat dipertahankan. Sesuatu yang dianggap baik itu harus bisa dibuka
dan tahan uji atas penilaian masyarakat umum. Harus bisa ditemukan alasan
rasional dan masuk akal sehat atas suatu sikap atau perilaku yang dinilai
sebagai baik, yang mengatasi berbagai pandangan terbatas individu atau
budaya tertentu. Demikian juga sebaliknya, harus bisa diberikan alasan yang
masuk akal mengapa suatu perbuatan dianggap tidak baik dari sudut etis, dan
tidak boleh berhenti pada alasan karena kebiasaan semata. Perihal integritas
tidak hanya berdasarkan kebiasaan, melainkan lebih sebagai pilihan sadar dan
disengaja, dengan maksud dan tujuan tertentu. Ketika sesuatu hal sering
dilakukan memang akan berkembang menjadi kebiasaan. Namun berhubung
setiap situasi adalah unik, maka kebiasaan itu tidak diterapkan secara sama.
Selalu ada tanggung jawab pribadi untuk setiap situasi harus memilih untuk
bertindak apa berdasarkan prinsip-prinsip etis yang umum diterima.
Penilaian atas integritas tidak bisa hanya didasarkan pada sikap atau
perilaku yang kelihatan saja karena tidak selalu bahwa tindakan yang
diperlihatkan oleh seseorang merupakan penampakan atau wujud konkret atau
ekspresi dari sikap moral atau pilihan dasar moralnya. Walaupun perilaku
yang kelihtan di luar sering merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam
pikiran atau hati seseorang, selalu saja bisa ada gap (jurang) antara apa yang
ada di dalam (pilihan sikap moral) dengan tindakan yang diperlihatkan di luar.
Di sini peran niat atau motif dari dalam sangat menentukan. Integritas
terutama terkait dengan niat atau motif seseorang dalam melakukan sesuatu.
Niat atau motif yang tidak baik bisa saja dicapai atau diwujudkan dengan
pilihan tindakan yang secara umum dinilai atau kelihatan baik. Orang yang
kelihatan menolong orang lain, membagi-bagikan uangnya kepada orang yang
susah/menderita, dengan mudah akan dinilai sebagai orang baik. Padahal jika
ditelusuri lebih dalam, ternyata di balik tindakan-tindakannya itu dia memiliki
niat atau motif yang tidak baik, yakni ingin menguasai banyak orang, mau
berkuasa atas orang-orang lain.
Hal lain yang bisa terjadi bahwa orang dapat khilaf atau lalai, sehingga
melakukan tindakan yang tenyata tidak baik. Di sini perlu hati-hati untuk
menjatuhkan vonis dengan langsung menilai orang tersebut sebagai orang
tidak baik, yang tidak memiliki integritas diri. Di sini selalu perlu dilihat
apakah yang bersangkutan memang memiliki niat atau motif serta sengaja
melakukan tindakan tersebut atau tidak. Jika sungguh di luar niat dan
kesengajaan, apalagi segera disusul dengan penyesalan dan niat baik untuk
memperbaiki diri, kita tidak boleh langsung menyimpulkan bahwa orang
bersangkutan adalah orang tidak baik, yang tidak memiliki integritas diri.
Tentu kita tidak juga langsung mengklaim bahwa orangnya baik dan menutup
mata atas tindakan buruk yang telah dilakukannya. Seraya tidak memvonisnya
sebagai orang baik atau orang jahat, kita perlu melihat bagaimana orang
tersebut sesudahnya, apakah dia sanggup memperlihatkan bahwa dia adalah
orang baik atau tidak. Jadi peri hidupnya ke depan akan menjelaskan hal itu.

Integritas dalam Dunia Kerja


Dalam dunia kerja, kata integritas bukan hanya masalah kejujuran,
masalah etis dan moral, bahwa orang tidak berbohong atau tidak melakukan
hal-hal tidak bermoral. Integrity berkaitan juga dengan kinerja, suatu
pencapaian hasil baik yang dicapai dengan selalu menjunjung tinggi kejujuran
dan nilai-nilai moral lainnya. Kata integrity berasal dari akar kata “integrated”,
yang berarti berbagai bagian dari karakter dan keterampilan berperan aktif
dalam diri kita, yang tampak dari keputusankeputusan dan tindakan-tindakan
kita (Lee, 2006). Untuk dapat menghasilkan kinerja baik di tempat kerja,
seseorang harus memiliki dalam dirinya kemampuan-kemapuan seperti, jujur,
berani, berdaya juang, membangun hubungan baik, pandai mengorganisasikan
diri sendiri, teratur, dan terencana dengan baik. Integritas harus dapat
menyumbang pada perbaikan kehidupan, dan dalam konteks dunia kerja
berarti perbaikan kinerja. Itu berarti integritas tidak hanya bersifat negatif saja,
sekadar untuk tidak berbohong, tidak curang, atau tidak melakukan hal-hal
yang tidak bermoral. Integritas harus juga memiliki sifat positif, yakni berbuat
sesuatu untuk menghasilkan sesuatu, dengan suatu kualitas moral di dalamnya.
Integritas diri harus mendorong pencapaian hasil baik dari diri sendiri, entah
berupa kinerja baik atau pencapaian hal-hal baik dalam kehidupan. Jadi sifat
negatif dan positif itu harus berjalan bersama.
Seraya seseorang berusaha untuk tidak berbohong, tidak curang
(mengendalikan diri), dia juga harus berbuat sesuatu untuk memperlihatkan
hasil atau pencapaian yang baik. Hal yang pertama, yang sifatnya negatif itu,
suatu tindakan menaham dan mengendalikan diri itu, barulah tahap minimal
dari perwujudan integritas, tahap maksimalnya justu dicapai ketika sifat
positifnya itu muncul, berupa tindakan-tindakan baik yang menghasilkan
sesuatu dengan kualitas baik. Umumnya dianggap bahwa tahap minimal itu
berupa penghindaran (menahan dan mengendalikan diri) untuk berbuat yang
tidak baik merupakan hal utama dalam hal integritas dan sifatnya wajib,
sedangkan tahap maksimalnya, suatu tindakan menghasilan sesuatu yang
berkualitas, merupakan harapan atau himbauan. Tapi dalam kaitan dengan
dunia kerja, maka tahap maksimal itu bukan hanya himbauan atau harapan
saja, melainkan suatu tuntutan, keharusan.
Dengan demikian, ada berbagai sifat-sifat pribadi dan kemampuan tertentu
yang mesti digabungkan dengan kejujuran dan berbagai sikap positip lainnya
untuk bisa menghasilan apa yang disebut integrity. Semuanya itu akan
menghantar pada keberhasilan di tempat kerja. Jadi perihal kompetensi dalam
bidangnya merupakan juga bagian dari integrity. Tanpa adanya kompetensi
maka sulit untuk menunjukkan integritas itu sendiri, sementara kompetensi
sendiri akan sulit berwujud kinerja baik tanpa disertai bagian-bagian dari
karakter, yang mendorongnya untuk bisa mencapai hasil yang baik dan dengan
cara yang baik (bandingkan Simon, 2007; 2011).
Berbiacara mengenai integritas di tempat kerja tidak bisa dilepaskan dari
pembicaraan tentang kompetensi yang dimiliki oleh seseorang untuk bisa
menghasilkan kinerja baik di tempat kerja. Kedua hal itu saling mendukung.
Orang dikatakan makin memiliki integritas, dia makin memerhatikan
kompetensinya juga; dan sebaliknya, orang makin memiliki kompetensi yang
baik dia juga memerhatikan integritasnya. Orang yang memiliki kompetensi
yang baik namun tidak memiliki integritas, maka kemampuan (kompetensi)
yang baik itu bisa tidak menghasilkan kinerja atau hasil kerja yang baik.
Demikian juga sebaliknya, orang yang memiliki integritas yang baik, namun
tidak memiliki kompetensi yang baik, juga tidak bisa diharapkan
menghasilkan kinerja yang baik pula.
Sukses berkarier dan integritas berjalan bersamaan. Seseorang yang
memiliki integritas dapat menunjukkan bahwa mereka membuat pilihan-
pilihan etis dalam kehidupan kerja mereka tiap hari. Orang-orang ini sering
keluar sebagai pemenang dalam arti yang sesungguhnya dalam persaingan
karir. Mereka yang memiliki bawahan, perlu lebih aktif menginspirasi
bawahan mereka. Mereka aktif mempromosikan integritas melalui sikap dan
tindakan pribadi mereka, kepercayaan dan komitmen pada nilai inti organisasi
(Gauss, 2000). Secara lebih jelas hal ini dikemukakan oleh Simons (2002),
bahwa integrity merupakan sebuah pola yang kelihatan dimana adanya
kesamaan antara kata dan pebuatan. Atau dengan kata lain, suatu kenyataan
bahwa seorang pemimpin dapat dilihat dengan jelas ketika dia melakukan apa
yang dia katakan. Ketentuan penting dalam hal integritas adalah bahwa dalam
kenyataannya seorang pemimpin menepati janjinya, dan memperlihatkan
nilai-nilai yang selalu dijunjungnya.
5.3 Integritas sebagai Tata Kelola Etika

Pendekatan berbasis integritas ini diyakini akan membuat organisasi


memiliki standar yang lebih kuat. Jika program compliance berakar pada
upaya untuk menghindari pelanggaran hukum, maka organisasi yang
berintegritas berbasis konsep pengelolaan sendirn (se/-goverance) berdasarkan
sekumpulan prinsp. Dari perspektif integritas, tugas dari manajemen etika
adalah untuk mendefinisikan dan menghidupkan nilai-nilai organisasi, untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku yang beretika baik, dan
untuk menanamkan rasa akuntabilitas bersama di antara pegawai. Tuntutan
untuk mematuhi hukum akan dilihat sebagai aspek positif dari kehidupan
organisasi daripada sebagai kendala yang tidak diinginkan dan dipaksa oleh
pihak otoritas.
Pada pendekatan integritas, konsep etika yang disepakati oleh anggota
organisasi merupakan kekuatan utama dari organisasi. Nilai-nilai etika akan
mempertajam upaya pencarian kesempatan, perancangan sistem organisasi,
dan proses pengambilan keputusan yang digunakan oleh individu dan
kelompok. Nilai nilai etika akan memberikan kerangka acuan yang sama
dalam organisasi dan berfungsi sebagai kekuatan untuk mempersatukan
organisasi dari fungsi yang berbeda, bisnis yang berbeda dan kelompok
pegawai yang berbeda. Etika organisasi membantu mendefinisikan organisasi
dan apa yang diperjuangkan dari organisast tersebut untuk dicapai.
Bentuk dari program integritas menyerupai dengan program compliance,
seperti kode etik, pelatihan, mekanisme pelaporan, investigasi atas potensi
pelanggaran, dan audit dan pengawasan untuk menjamin standar dan aturan
perusahaan dijalankan dan dipatuhi. Sebagai tambahan, jika dirancang dengan
tepat, program berbasis integritas dapat menciptakan dasar untuk mencari
kemanfaatan dari kepatuhan terhadap hukum.
Pendekatan organisasi yang berintegritas lebih luas, lebih dalam dan lebih
sulit dari program compliance. Dikatakan lebih luas karena pendekatan ini
berupaya untuk memungkinkan terciptanya perilaku yang bertanggung jawab.
Lebih dalam karena mencakup ethos dan sistem operasi dari organisasi dan
anggota-anggotanya, nilai-nilai yang mereka pedomani, cara berpikir dan
berperilaku. Dan lebih sulit karena membutuhkan upaya secara aktif untuk
mendefinisikan tanggung jawab dan aspirasi yang menjadi bagian dari
pedoman etika organisasi. Di atas semuanya, etika organisasi merupakan kerja
dari manajemen. Pimpinan perusahaan mungkin memegang peran penting
pada saat perancangan dan implementasi program integritas, tapi seluruh
manajer dari seluruh lini dan seluruh fungsi terlibat dalam proses.
Terdapat beberapa pendekatan dalam pembentukan organisasi
berintegritas ini. Sebagian perusahaan focus dalam mendefinisikan nilai-nilai
inti integritas yang mencerminkan kewajiban-kewajiban dasar sosial, seperti
menghargai hak pihak lain, kejujuran, kesepakatan yang adil, dan kepatuhan
terhadap hukum. Sedangkan organisasi perusahaan lainnya menekankan pada
aspirasi, yaitu nilai-nilai yang diinginkan secara etika tapi bukan merupakan
kewajiban moral, seperti layanan yang baik kepada pelanggan, komitmen
terhadap keragaman, dan keterlibatan dalam komunitas.
Pada saat implementasi, sebagian organisasi memulai dengan perilaku.
Organisasi mengembangkan kode etik yang merinci perilaku yang pantas,
bersama dengan sistem insentif, audit dan pengawasan. Sedangkan organisasi
perusahaan lainnya fokus kepada tindakan-tindakan yang kurang terinci dan
lebih memperhatikan pengembangan sikap. proses pengambilan keputusan,
dan cara berpikir yang mencerminkan nilal-nilai organisasi. Asumsi yang
digunakan adalah komitmen pribadi dan proses pengambilan keputusan yang
pantas akan mengarah kepada tindakan yang tepat.

Perbedaan karakteristik dan implementasi antara program compliance dan


berintegritas dapat dilihat pada tabel 2.1 dan 2.2

Tabel 1
Perbedaan karakteristik pogram compliance dan integritas
Karakteristik Program compliance Program integritas
Etika Sesuai dan taat dengan Mengelola sendiri
standar yang diterapkan sesuai dengan
dari luar organisasi standar yang dipilih
Tujuan Mencegah terjadinya Mendorong
tindakan melawan tindakan-tindakan
hokum yang bertanggung
jawab
Kepemimpinan Dipimpin oleh hokum Dipimpin oleh
menejemen dengan
bantuan ahli hokum,
spesialis SDM dan
lain-lain
Metode Pendidikan, Pendidikan,
pengurangan kepemimpinan,
kewenangan, auditing akuntabilitas, system
dan pengawasan, organisasi dan proses
pemberian hukuman pengambilan
keputusan, auditing
dan pengawasan,
pemberian hokum
Asumsi pelaku Otonom/individualis Social, yang dipandu
yang didorong oleh oleh kepentingan
kepentingan diri sendiri sendiri yang bersifat
yang bersifat material material, nilai-nilai,
kesempurnaan dan
rekan sejawat

Tabel 2
Perbedaan implementasi program compliance dan integritas

Implementasi Program compliance Program integritas


Standar Hukum PIdana dan Nilai-nilai dan
UU terkait dengan aspirasi organsasi,
kegiatan perusahaan lewajban sosial,
termasuk kewajiban
taat hukum

Starting Ahli hukum Pimpinan dan


manajer
Kegiatan Mengembangkan Menjalankan
standar compliance organisasi
dan berdasarkan nilai-nilai
komunikasi, pelaporan dan standar pelatihan
pelanggaran dna komunikasi
investigasi, audit atas pengintegrasian nila-
ketaatan, penegakan nilai ke dalam sistem
standar organisasi
membenkan
bimbingan dan
pelatihan, menilai
kinerja berbasis nilai-
niai identifikasi dan
pemecahan masalah
mengawasi ketaatan
Pendidikan System dan standar Pengambilan
compliance keputusan dan nilai-
nilai organisasi
system dan standar
compliance

5.4 Program Integritas yang Efektif


Pada dasarnya tidak ada satu jenis program integritas yang baik. Banyak
faktor yang mempengaruhi program integritas pada satu organisasi
perusahaan, seperti pribadi pimpinan organisasi, sejarah organisasi, budaya
organisasi, liní bisnis, dan regulasi industri. Namun demikian, terdapat
beberapa karakteristik dari programintegritas yang efektit, yaitu:

1. Nilai dan komitmen yang masuk akal dan secara jelas dikomunikasikan.
Nilai dan komitmen ini mencerminkan kewajiban organisasi dan aspirasi
yang dimiliki secara luas yang menyentuh seluruh anggota organisasi.
Pegawai dari berbagai tingkatan menerima nilai dan komitmen tersebut
dengan sungguh-sungguh, merasa bebas untuk mendiskusikannya, dan
memahami pentingnya dalam praktik. Hal ini bukan berarti semuanya
sudah jelas sehingga tidak ada ambiguitas dan konflik. Namun selaluada
keinginan untuk mencari solusi yang sesuai dengan kerangka nilai
tersebut.
2. Pimpiman organisasi secara pribadi memiliki komitmen, dapat dipercaya,
dan bersedia untuk melakukan tindakan atas nilai-nilai yang mereka
pegang. Mereka tidak sekedar juru bicara. Mereka bersedia untuk
memeriksa keputusannya sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Konsistensi
merupakan bagian penting dari kepemimpinan. Ceramah berkepanjangan
dan tidak jelas tentang nilai-nilai perusahaan hanya memancingg ketidak-
percayaan pegawal dan penolakan terhadap program. Pada saat yang sama,
pimpinan harus mengambil tanggung jawab untuk membuat keputusan
yang sulit ketika terjadi konflikantara kewajiban etika.
3. Nilai-nilai yang digunakan terintegrasi dalanm proses pengambilan
keputusan manajemen dan tercerminalam kegiatan-kegatan pernting
orgarnisasi: penyusunan rencana, penetapan sasaran, pencarian
kesempatarn, alokasi sumber daya, pengumpulan dan komunikasi
informasi, pengukuran kiner)a, danpengembangan SDM.
4. Sistem dan struktur organisasi mendukung dan menguatkan nilai-nilai
organisasi. Sistem pelaporan dibuat untuk memungkinkan dilakukannya
check and balance untuk mendukung pertimbangan yangobjektif dalam
pengambilan keputusan. Penilaian kinerja memperhatikan cara kerja dan
hasil kerja.
5. Seluruh manajer memiki Ketrampilan pengumbilan keputiusant,
pengelahuan dan Kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat Keputusan
yang berbasis etika Setiap hariya. Berpikir dan memilki kesadaran etika
harus menjadi bagian dari perlengkapan mental seorang manajer.
Pendidikan etikabiasanya merupakan bagian dari proses.

Keberhasilan dalam menciptakan iklim untuk perilaku yang beretika dan


bertanggung jawab membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan investasi
yang cukup besar dalam waktu dan sumberdaya. Suatu buku kode etik yang
mewah, pejabat yang berpangkat tinggi di bidang etika, program pelatihan,
dan audit etika tahunan serta jebakan-jebakan program etika lainnya tidak
perlu ditambahkan dalam organisasi yang bertanggung jawab dan taat hukum
yang nilai-nilai dimiliki tercermin dalam tindakan yang dilakukan. Program
etika formal akan membantu sebagai katalis dan sistem pendukung. tapi
integritas organisasi tergantung kepadaintegrasi nilai-nilai organisasi ke dalam
sistem.

Iklim Organisasi
Steers (1985:120) menyatakan bahwa : “konsep iklim pada dasarnya
merupakan persepsi tentang sifat atau karakteristik yang ada pada organisasi
yang dihasilkan dari tindakan sadar atau tidak sadar oleh organisasi dan
mempengaruhi perilaku”. Definisi ini mengandung pengertian tentang
persepsi, dimana iklim suatu organisasi tertentu merupakan sesuatu yang
dipercaya ada oleh karyawannya dan akan menjadi faktor–faktor yang
menentukan perilaku karyawan. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh
Jones dan Ryan (1998) dalam VanSandt et al. (2006) bahwa iklim organisasi
berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi seseorang dan perilakunya.
5.5 Dampak Organisasi yang Berintegritas terhadap Akuntan Profesional

Konsep organisasi berintegritas dapat membantu akuntan profesional


dalam dua hal. Pertama, untuk akuntan protesional yang mengembangkan
kantor sendiri, maka pendekatan integritas akan membantu akuntan
protesional dalam menghidupkan dan menjaga etika akuntan protesional yang
akan memudahkan akuntan protesional dalam menjalankan profesinya. Selain
itu, akuntan protesional dapat melakukan penilaian terhadap integritas
organisasi dari kliennya dalam menilai risiko yang dihadapi.
Kedua, untuk akuntan profesional yang bekerja di dalam organisasi,
penilaian terhadap integritas organisasi merupakan langkah pertama dalam
pemilihan organisasi tempat bekerja. Akuntan profesional harus memilih
tempat beker)a yang mendorong terciptanya dan terjaganya etika akuntan
prolesional. Akuntan protesional harus menghindari tempat bekerja yang
berpotensi untuk menciptakan kontlik-konflik etikadan mendorong akuntan
untuk mengorbankan etika protesionalnya. Selain itu, akuntan protestonal juga
dapat membantu organisasi tempat bekerja untuk menjadi organisasi
berintegritas di mana nilai-nilai organisasi selaras dengan nilai-nilai etika
profesionalnya.
Pertimbangan atas situasi-situasi etikal dengan memperhatikan ruang
lingkup etika, biasanya memerlukan dua dimensi fokus pengamatan (Rachels,
1989, 1999; Solomon, 1992), yaitu:
1. Yang pertama menyangkut kriteria etika yang digunakan yang
menyangkut masalah hasilnya, prinsip-prinsip yang berkembang, atau
aturan lain untuk membuat keputusan.
2. Dimensi ke dua yang disebut sebagai locus of analysis menjelaskan
tentang siapa atau apa yang dipengaruhi oleh kejadian dengan cara
yang relevan secara etikal. Lingkupnya dapat bersifat individual (self),
organisasi, atau masyarakat.
Dalam konsep teoritikal yang dikembangkan kemudian oleh VanSandt (2006)
dinyatakan bahwa arti dari kedua dimensi tersebut disebut sebagai criteria dan
locus of analysis. Criteria yang dikembangkan melibatkan unsur perolehan
dan perlindungan diri, kriteria kebaikan, dan kriteria aturan untuk
pengambilan keputusan. Sedangkan dimensi kedua disebut sebagai locus of
analysis yang menjelaskan apa atau siapa yang dipengaruhi oleh kejadian
dengan cara yang etikal. Hal itu dapat terjadi pada tingkat individual,
kelompok ataupun masyarakat umum.

Tipe-Tipe Iklim Kerja Etikal (Ethical Work Climates Types)


Victor and Cullen (1987:56) dikutip oleh VanSandt et al.(2006)
mengkombinasikan dua dimensi dari moral reasoning (ethical criteria and
locus of analysis) ke dalam bentuk tipologi teoritik yang membentuk ethical
work climate, yang telah disajikan pada Tabel 1.

Ethical Criteria
Dalam banyak hal moral philosophy dapat dikategorikan dalam dua golongan
utama, yaitu teleological dan deontological. Teleological moral philosophies
merupakan filosofi yang menaruh perhatian utama pada dampak atau
konsekuensi dari sebuah situasi etika. Sementara itu deontological
philosophies tidak hanya semata-mata perhatian pada konsekuensi, namun
lebih pada prinsip-prinsip dan situasi yang lebih menekankan
kewajiban.Teleological moral philosophies terbagi dalam dua kelas yang
dinamakan sebagai “the moral agent primary consideration (egoistic) and
utilitarian or benevolent” (Rachels, 1989, 1999; Brandt, 1995, dalam
VanSandt et al. (2006).
Victor and Cullen (1987, 1988) dikutip oleh VanSandt et al.(2006)
mengunakan tiga klasifikasi moral philosophy untuk mendesain dimensi
criteria dari EWC. Deskripsi dari pelabelan criteria adalah :
1. Egoism – memaksimalkan kepentingan pribadi
2. Benevolence – memaksimalkan kepentingan bersama
3. Principle – ketaatan pada tugas, peraturan, hukum atau standar yang
berlaku

Locus of Analysis
Dimensi kedua adalah pertimbangan dari apa atau siapa yang dilibatkan dalam
analisis. Pada tingkatan pertimbangan dapat dijabarkan mulai dari yang paling
bawah, yaitu local individual, the local organization, serta cosmopolitan.
Menurut Merton (1957) dikutip oleh VanSandt et al.(2006) dinyatakan bahwa
peran kerja pada organisasi dan identifikasi perbedaan referensi kelompok
kerja berpengaruh pada perilaku seseorang dan sikap dalam organisasi.
Seseorang kemudian akan mengelola informasi untuk membedakan antara
peran local dan cosmopolitan. Pada peran lokal referensi kelompok
berpengaruh dalam organisasi, sementara itu peran kosmopolitan adalah
didefinisikan sebagai peran di luar organisasi.

A. Locus of analysis tingkatan individual


Self interest adalah salah satu tipe kriteria etika yang mementingkan
proteksi diri yang disebut sebagai kriteria etika egoism dalam bisnis.
Friendship adalah ranah atau lingkup kepentingan individual yang
menggunakan kriteria etika benevolence (kebajikan atau kebaikan) dalam
hal pengutamaan sikap persahabatan. Personal morality adalah moralitas
individual yang menunjukkan etika yang memegang teguh pada principle
(akidah) yang bersifat perorangan.
B. Locus of analysis tingkatan local
Pada kolom kedua disajikan tentang kaitan antara iklim etikal pada
lingkup organisasional yang dihubungkan dengan kriteria etika egoism,
benevolence (kebajikan) dan principle (prinsip). Dikaitkan dengan kriteria
etika egoism dalam lingkup intern organisasional ditunjukkan oleh
perilaku orang-orang dalam organisasi yang mengutamakan company
interest (kepentingan perusahaan). Sementara itu dikaitkan dengan kriteria
etika benevolence dalam lingkup intern organisasional ditunjukkan
perilaku team play (kerjasama orang-orang dalam organisasi dalam
bergaul dengan kelompok atau tim). Selanjutnya dikaitkan dengan kriteria
principle dalam lingkup intern organisasional ditunjukkan perilaku orang-
orang dalam organisasi yang patuh dan mengikuti aturan dan prosedur
yang akan menjadi pedoman bagi anggota organisasi (rules and
procedures).
C. Locus of analysis tingkatan kosmopolitan
Pada kolom ketiga pada Tabel 1. disajikan tentang kaitan antara ranah atau
lingkup cosmopolitan yang dihubungkan dengan kriteria etika egoism,
benevolence (kebajikan) dan principle. Cosmopolitan dikaitkan dengan
kriteria etika egoism, ditunjukkan perilaku orang-orang dalam organisasi
yang mengutamakan efficiency (etika menjalankan pekerjaan dengan
benar). Lingkup cosmopolitan dikaitkan dengan kriteria etika benevolence,
ditunjukkan perilaku orang-orang dalam organisasi yang mengutamakan
social responsibility (tanggung jawab sosial). Lingkup cosmopolitan
dikaitkan dengan kriteria etika principle, ditunjukkan perilaku orang-orang
dalam organisasi yang mematuhi the law or professional code (hukum atau
kode etik profesional yang umum berlaku).

Moral Awareness
Moral awareness didefinisikan sebagai derajat dimana seseorang
mengenali aspekaspek situasi yang dapat dikategorikan sebagai moral yang salah
dan merugikan bagi orang lain, sekelompok orang, atau masyarakat lebih luas
(VanSandt et al. 2006) . Moral awareness di sini didefinisikan dalam bentuk
derajat, bukan sebagai sesuatu yang ada atau tiada. Definisi tersebut merujuk pada
definisi dari Blum (1991) yang membahas moral sebagai suatu proses.

Hubungan Ethical Work Climate Dengan Moral Awareness


Wimbush and Shepard (1994) menyatakan bahwa studi yang dilakukan
menyediakan bukti-bukti substansial yang menunjukkan hubungan langsung
antara iklim organisasi dengan perilaku. Dengan demikian dinyatakannya bahwa
perilaku ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan hal lain yang menciptakan
suatu iklim tertentu. Sementara itu Blum (1991) dan Rest (1994) menyatakan
bahwa moral awareness sangat dibutuhkan dan merupakan bagian integral dari
moral behavior. Hasil penelitian Victor and Cullen (1987: 55) dikutip oleh
VanSandt et al. (2006) menghasilkan temuan: “The dominant type of ethical
climate in an organization may influence the types of ethical conflicts
considered, .......”. Disampaikan bahwa tipe yang dominan dari ethical climate
dalam organisasi bisa jadi mempengaruhi tipe konflik yang terjadi.

Lebih jauh Cullen, Victor, and Stephens (1989: 51) menyatakan, ethical climate
perusahaan membantu menentukan isu-isu yang penting dan muncul pada anggota
organisasi yang berhubungan dengan etika. Dalam iklim etikal tertentu, timbul
suatu interaksi antar manusia atau diantara anggotanya dengan cara tertentu pula.
Dengan cara itu akan terpelihara dan tumbuh kembang suatu kesadaran moral
akibat dari interaksi itu. Maka itu sangat dimungkinkan bahwa lingkungan etikal
dapat berpengaruh terhadap tingkat kesadaran moral (moral awareness) seseorang.

Modul Character Accountant “Etika Profesi dan Tata Kelola Corporat”,


2015 ,IAI
Becker, T (1998). Integrity in organization: beyond honesty and
conscienstiousness. Academic of Management Review, 23(1), 154–161.

Gauss, J. W. (2000, Aug). Integrity is integral to career success. Healthcare


Financial Management, 54(8), 89.

Bertens. K. 2002., etika, Cet.ketujuh; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Corolina, yuanita ayu. 2012. “Pengaruh Iklim Etika Terhadap Komitmen


Organisasi dan Turnover Intention (studi kasus: PT.TRAC CIKARANG)”.
Skripsi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Program Ekstensi Manajemen
Universitas Indonesia,

Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan. Adicita. Yogyakarta

Anwar HM, Muhammad. 2014. Pengantar Kewirausahaan, Teori dan Aplikasi.


Prenada Media. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai