TOPIK 2 - TENTIR Gerontik PDF
TOPIK 2 - TENTIR Gerontik PDF
2016
“TOPIK 2”
Perubahan Fisiologis
pada Lansia
Keperawatan Gerontik
SISTEM INTEGUMEN PADA LANSIA
Penatalaksanaan: pembedahan, kemoterapi dengan obat-obatan Dermatitis yang umum terjadi pada lansia yaitu dermatitis kontak,
sitostatika (obat membunuh sel kanker), dan radioterapi. seboroik, dan dermatitis stasis.
Tanda : erythema dan kerak pada kulit kepala, wajah dan dada anterior
C. ULKUS DEKUBITUS
(karena pori pori dada besar); lesi dan plak kuning.
Luka tekan (decubitus) merupakan luka yang berkembang dilapisan
Penyebab : Belum diketahui (Para ahli menduga ragi Malassezia).
terluar kulit karena tekanan eksternal yang teralu lama kemudian
Penatalaksanaan: Pemberian topical steroids, antidandruff shampoo membesar baik radial (meluas) maupun ke lapisan jaringan yang lebih
(kandungan: ketoconazole, ciclopirox, selenium sulfide, salicylic acid, dalam.
coaltar, atau zinc); pada wajah topical calcineurin inhibitors,
Kelompok rentan : lansia > 70 tahun, lansia multimorbid dengan
tacrolimus ointment, atau pimecrolimus cream (Arenson, et al., 2009).
sindrom immobilitas (ex: lumpuh), lansia diabetes, penurunan aktivitas
Dermatitis stasis (diderita lebih dari 20juta lansia) fisik, lansia dengan gangguan reposisi, defisit nutrisi, inkontine nsi,
penurunan kesadaran, dan lansia masuk fasilitas kesehatan (Tabloski,
Derajat 1
2014). Daerah yang umum dekubitus: sakrum, tumit, dan trochanter.
• Terbentuk abrasi mengenai epidermis, luka tampak merah, hangat
Bagian lain: telinga, siku, koksigis, dan iskium. dan mengeras
Peran perawat: Identifikasi faktor risiko, kondisi kulit, reposisi lansia, Derajat 2
penggunaan bantal pada daerah tonjolan tulang, mengkaji status nutrisi • Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke
jaringan adiposa, terlihat eritema dan indurasi
lansia dan diet, hindari penggunaan air panas dan menggosok kulit
• Ciri luka: superficial, abrasi, melepuh atau membentuk lubang
berlebihan, penggunaan lotion. Jika sudah terkena dekubitus: yang dangkal
membersihkan luka, membalut luka dengan balutan basah, manajemen • Sembuh dalam 10-15 hari
kerusakan jaringan terlibat, kedalaman, eksudat, lokasi, kondisi luka, tepi Derajat 4
luka, dan tipe jaringan. Eksudat yang berlebihan mengindikasikan infeksi • Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fisia, otot, tulang serta
sendi
pada luka sedangkan kemerahan, rasa hangat, maserasi, atau edema • Ciri luka: hilang lapisan kulit secara lengkap, kerusakan otot ,
menandakan luka semakin parah (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013). tulang serta tendon sehingga membentuk area luka yang dalam
• Sembuh dalam 6 bulan
Skor total mengindikasikan kemunduran derajat dekubitus atau
penyembuhan pada derajat tersebut.
Klasifikasi dekubitus
Sistem Respirasi
1
pernapasan yang mengakibatkan terjadinya perubahan fisiologis pada sistem
respirasi.
3
1. Hidung
(Miller, 2012)
2. Kelenjar submukosa
4. Reseptor batuk
Arteri paru melebar dengan diameter lebih
Terdapat di trakea dan laring, mengalami penurunan sensitivitas tebal.
sehingga lansia berisiko tinggi tersedak dan juga muntah pada saat
makan (Wallace, 2008). Jumlah kapiler berkurang sehingga volume darah dikapiler juga
berkurang.
5. Dinding dada dan struktur musculoskeletal (tulang dada dan Kondisi struktur paru seperti ini tentu saja memengaruhi fungsi
paru.
tulang rusuk)
Berperan dalam ekspansi paru, akan terganggu karena terjadi Pada saat ekspirasi, paru mengalami kesulitan untuk kembali dalam bentuk dan posisi
semula atau hilangnya kemampuan elastic recoil.
osteoporosis yang dipengaruhi oleh jaringan muskuloskeletal dan
juga otot pernapasan mulai melemah. Terganggunya proses
ekspansi paru tersebut juga akan memengaruhi proses inspirasi.
Hal ini akan mengakibatkan saluran udara akan menutup sebelum berakhirnya ekspirasi
Inspirasi menjadi kurang optimal sehingga otot diafragma dan otot sehingga CO2 yang dikeluarkan tidak optimal dan menetap di dalam paru, memenuhi ruang
paru. Pada kondisi ini, lansia akan mengalami hiperkapnia atau kelebihan CO2 dan hipoksia
lainnya lebih membutuhkan banyak energi untuk melakukannya FAKTOR-FAKTOR
atau kekurangan O2 (Miller, YANG
2012). MEMPENGARUHI SISTEM
6. Struktur dan fungsi respirasi pada lansia yang terdiri dari faktor intrinsik dan faktor
alveolar, alveoli, dan kapiler. Pada usia 20-30 tahun, alveoli yang
Faktor Intrinsik
menjadi tempat pertukaran gas semakin membesar dan dinding
semakin menipis atau biasa disebut dengan proses ductectasia. Jenis
Usia Genetik
Kelamin
1. Usia pada laki-laki dibandingkan pada wanita (Niagara, Utomo, dan
Bertambahnya usia seiring terjadinya proses penuaan Hasanah, 2013).
melibatkan terjadinya beberapa perubahan struktur dan fungsi pada
organ-organ di sistem respirasi yang nantinya dapat membatasi 3. Genetik
pernapasan. Menurut Bernabei, et.al. (2010) dan Tabloski (2014), Kelainan genetik dapat menjadi faktor risiko penyakit pada
beberapa perubahan yang terjadi antara lain: sistem respirasi, contohnya PPOK. Patogenesis PPOK ini erat
kaitannya dengan defisiensi alfa-1 antitripsin (AAT) (Yunus,
2008). Pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun,
1 2 3 4 kemungkinan besar ia memiliki gangguan genetik berupa
• Pengerasan
diafragma defisiensi antitripsin (Ikawati, 2011).
• Pengerasan elastin • Bentuk alveolar • Peningkatan (Bernabei, et.al.,
dan jaringan ikat yang berubah kekakuan dinding 2010; Tabloski,
kolagen yang menghasilkan dada 2014).
mendukung paru- peningkatan • Penuaan juga
paru yang dapat diameter dapat Faktor Ekstrinsik
menyebabkan alveolar; mempengaruhi
ukuran jalan nafas berkurangnya pertahanan
menjadi lebih permukaan mekanik paru-paru
sempit. Hal ini alveolar yang dan fungsi saraf
menyebabkan tersedia untuk Penggunaan rokok
lansia, seperti Pengaruh Gangguan
terjadinya air pertukaran gas dan paparan asap kesehatan
kemampuan lingkungan
trapping atau rokok
menelan, sedasi lainnya
udara yang medikasi, dan
terperangkap menurunkan
dalam jalan nafas refleks batuk
yang sempit dan 1. Penggunaan rokok dan paparan asap rokok
(Arenson, et.al.,
kolaps saat akhir
ekspirasi
2009). Penggunaan rokok dan paparan asap rokok, baik pada perokok aktif
maupun pasif, pada lansia dapat berefek pada sistem respirasi akibat
adanya reaksi panas dan substansi kimiawi.
2. Jenis kelamin Rokok yang dibakar melepaskan gas beracun seperti karbon
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor resiko yang monoksida, hidrogen sianida, dan nitrogen dioksida.
jelas yang menyebabkan terjadinya gangguan pada sistem respirasi, Selain itu, membakar rokok melepaskan tar tembakau, yang
khususnya penyakit PPOK. Jenis kelamin pada PPOK ini dikaitkan mengandung nikotin dan banyak lainnya. Kandungan racun yang
dengan konsumsi rokok, dimana lebih banyak ditemukan perokok terdapat dalam rokok dapat menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, penutupan jalan nafas lebih cepat, inflamasi susah untuk dikeluarkan (Berman & Snyder, 2016;
mukosa melalui saluran respirasi, dan menghambat kerja silia paru Miller, 2012).
sehingga meningkatkan mekanisme batuk dan sekresi mukosa.
Efek kumulatif dari rokok menambah risiko gangguan kesehatan bagi 3. Gangguan kesehatan lainnya
lansia sekitar dua sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan bukan
perokok.
Pada lansia yang sudah memiliki pneumonia dan infeksi
Gangguan kesehatan yang dapat terjadi adalah Chronic Obstructive saluran pernapasan bawah lainnya, penurunan imunitas dapat
Pulmonary Disease (COPD) bahkan hingga mengidap kanker meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas
Perkusi
• Perkusi bagian dada untuk menangkap getaran dibagian dinding dada,
apabila ada massa atau cairan suaranya akan terasa redup atau dullness.
Auskultasi
• Auskultasi untuk mendengarkan suara nafas klien.
• Anjurkan lansia untuk batuk terlebih dahulu (Miller, 2012 ).
• Anjurkan klien untuk menarik nafas sedalam mungkin dengan mulut terbuka
untuk memudahkan auskultasi bunyi nafas dan bandingkan suara tersebut di
setiap sisi dada.
• Suara normal menunjukan suara vesicular dan apabila adanya gangguan
akan menimbulkan suara crackles, gurgles, wheezing atau friction rub.
• Pada lansia: biasanya akan terdengar suara wheezing. Hal ini disebabkan
karena adanya mucus di jalan nafas yang tidak bisa dikeluarkan akibat
penurunan efektifitas silia.
Ketika perawat mendapat kesempatan untuk mengobservasi respirasi mempertahankan homeostasis (Carlson & Pfadt, 2009). Kesulitan lansia
kalangan lansia yang sedang tertidur, mereka akan melihat periode apnea dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuhnya diakibatkan
yang sering tapi singkat. Fenomena tersebut adalah hal yang biasa pada oleh penipisan dinding alveolus yang berdampak pada proses pertukaran gas
orang lanjut usia dan sangat diasosiasikan dengan gangguan tidur. oksigen dan karbon dioksida.
Reduksi pada volume dan kapasitas paru juga terjadi dikarenakan
2. Spirometri
lanjut usia menggunakan energi lebih untuk bernafas, penurunan silia dan
Spirometri merupakan pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk
batuk menghasilkan pengurangan mukusll dan bersihan jalan nafas
menghitung dan menentukan kualitas pernapasan lansia, serta fungsi dari
menyebabkan mereka rentan terkena infeksi, penurunan ventilasi dan
paru-parunya. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta lansia untuk
perkusi dan berkurangnya kemampuan untuk merespon hipoksia dan
bernapas di dalam tabung yang bersambung dengan alat pengukur khusus
hiperkapnia karena dispnea di atas pengerahan kerja minimal dan aktivitas
(Lee, 2009). Penggunaan spirometri didasarkan pada parameter untuk
intoleran (Carlson & Pfadt, 2009).
menentukan fungsi paru, yaitu volume ekspirasi paksa satu detik pertama
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK (Forced expiratory volume in 1 second/FEV1), kapasitas vital paksa (Forced
1. Gas Darah Arteri Vital Capacity/FVC) dan rasio FEV1/FVC. Berdasarkan Carlson & Pfadt
Analisis pada gas darah arteri adalah pemberian determinasi objektif (2009), tiga hasil pemeriksaan fungsi paru yang sering muncul pada lansia,
tentang oksigenasi darah arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan yaitu penurunan kapasitas vital, peningkatan volume residu, dan penurunan
asam basa. Dalam pemeriksaan ini, memerlukan sampel darah arteri yang maximum expiratory flow rates.
diambil dari arteri femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan 3. Chest x-ray
spuit yang telah diberi heparin. Sebelum melakukan analisis ini, sebelumnya Chest x-ray (CXR) adalah suatu
dilakukan tes Allen, yaitu pengkajian cepat sirkulasi kolateral pada tangan. proyeksi atau pemeriksaan radiografi dari
Berdasarkan Carlson & Pfadt (2009), tiga hasil pemeriksaan AGD thorax untuk mendiagnosis kondisi-kondisi
yang sering muncul, yaitu penurunan kadar 𝑃𝑂2 (normalnya, 80-100 yang mempengaruhi thorax, isi, dan
struktur-struktur di dekatnya. Foto thorax
mmHg), peningkatan kadar 𝑃𝐶𝑂2 (normalnya, 35-45 mmHg), dan
menggunakan radiasi terionisasi dalam bentuk x-ray.
penurunan kadar Sa𝑂2 (normalnya, ≥ 92 %). Sedikit perubahan gas darah
Perubahan posisi (positioning) pada lansia membutuhkan waktu yang
pada lansia dapat mengurangi kemampuan tubuh lansia untuk
lebih banyak dan seringkali pasien membutuhkan bantuan. Selain itu, lansia
juga mengalami perubahan pada sistem pernapasan yang dapat suara dengan frekuensi yang lebih tinggi dari kemampuan pendengaran
mempengaruhi hasil pemeriksaan yaitu pelebaran rongga udara bagian distal manusia. Teknik ini digunakan untuk mencitrakan organ internal dan otot,
(dinding alveolus) yang disebabkan oleh berkurangnya jaringan pendukung. ukuran, serta strukturnya. Secara umum, kegunaan USG adalah untuk
Adapun, kondisi ini menyebabkan peningkatan udara residu paru yang membantu menegakkan diagnosis dalam berbagai kelainan organ tubuh
umumnya nampak pada pasien ateletaksis (Grossners & Nau, 2013). Hal ini secara akurat. Pada konteks ini, tes USG membantu dalam menentukan
menyebabkan adanya kesulitan dalam menentukan apakah perubahan kelainan pada dada.
tersebut akibat kejadian patologis atau akibat perubahan fisiologis tubuh
6. Pemeriksaan Bronkoskopi
lansia secara normal. Dengan demikian, pemeriksaan ini pada lansia
Bronkoskopi merupakan
seringkali perlu dua kali pengambilan atau ditambahkan dengan pemeriksaan
prosedur untuk melihat secara
radiologi lainnya untuk mendapatkan diagnosis yang tepat.
langsung jalan napas pada paru-
4. Thoracic computed tomography (CT)
paru dengan menggunakan
CT scan akan menyediakan pandangan penampang dada dengan
suatu tabung tipis dan terang
melewati sinar x-ray dari scanner secara komputerisasi melalui tubuh pada
yang disebut sebagai
sudut yang berbeda. CT scan memberikan gambar berupa gambar tiga
bronkoskop. Alat tersebut
dimensi dari paru-paru, yang memungkinkan dokter untuk menilai terjadinya
dimasukkan lewat hidung atau
kelainan pada konfigurasi trakea ataupun bronkus utama, dan juga dapat
mulut yang dapat berpindah masuk lebih dalam ke trakea dan saluran napas
mengevaluasi massa atau lesi di dalamnya, seperti tumor dan abses, serta
lainnya. Bronkoskopi digunakan untuk melakukan diagnosa atau merawat
bayangan paru yang abnormal. Gambaran yang kontras kadang-kadang
permasalahan paru-paru seperti tumor atau kanker bronkus, obstruksi jalan
digunakan untuk menyoroti pembuluh darah dan memungkinkan
napas, penyempitan jalan napas, inflamasi, penyebab batuk persisten,
diskriminasi visual yang lebih besar. CT scan juga lebih sensitif
penyebab batuk berdarah, mengecek bintik dari hasil rontgen dada, dan
dibandingkan x-ray dalam mendeteksi cedera dada, memar paru,
kelumpuhan pita suara (Johns & Hopkins Medicine, n.d.). Tindakan ini
hemothorax, dan pneumotoraks.
memerlukan anastesi general yang diberikan secara intravena dan obat
5. Thoracic USG anastesi yang membuat mati rasa juga akan diberikan secara disemprotkan
USG atau ultrasonografi adalah suatu teknik pemeriksaan diagnostik dari hidung/mulut/tenggorokan serta suatu jelly anastesi pun juga dioleskan
dengan sistem pencitraan yang menggunakan ultrasonik, yaitu gelombang sekitar alat bronkoskopi tersebut. Prosedur ini memakan waktu hampir 4-6
jam tergantung dari setiap keadaan klien. Setelah prosedur ini, klien Tanda dan Gejala PPOK
umumnya membutuhkan waktu pemulihan dari anastesi sekitar 1-3 jam Tanda gejala pada penderita PPOK ditandai dengan batuk
(National Jewish Health, 2019). Seorang lansia tentu memiliki waktu produktif selama 3 bulan terakhir, terdengar suara wheezing, barrel
pemulihan yang dapat lebih dari 1-3 jam oleh karena kurangnya kemampuan chest¸ peningkatan produksi mucus serta terjadinnya dyspnea, namun
tubuh beradaptasi terhadap pengaruh anastesi tersebut. Oleh karena itu, klien gejala tersebut akan muncul tergantung dari tipe PPOK yang
lansia setelah pemeriksaan ini dapat merasa sangat tertidur sehingga perlu dialaminya (Touhy & Jett, 2014; Miller, 2012; Arenson et al, 2009;
ada pendampingnya yang dapat mengantarkan ke rumah sampai lansia Akgun et.al., 2012).
kembali pulih.
Derajat Keparahan PPOK
GANGGUAN PATOLOGIS RESPIRASI PADA LANSIA
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Hipersekresi
Aliran respirasi- adekuat dan membuang karbondioksida serta tingkat di mana ginjal
Respon inflamasi
ekspirasi mampu untuk menyerap kembali atau mengekskresikan ion-ion
mukus
terganggu bikarbonat untuk mempertahankan pH darah yang normal.
Pembersihan
Iritasi bronkiolus
jalan napas
3. Oksimetri nadi
dan proliferasi
menjadi
terganggu
kelenjar mukus Oksimetri nadi adalah metode pemantauan non-invasif secara
continue terhadap saturasi oksigen hemoglobin (SaO2).
- Emfisema 4. Pemeriksaan rontgen dada
Rontgen dada terdiri atas dua bidang yakni projeksi
Gangguan pada Hipoksemia dan
Iritan
posteroanterior dan projeksi lateral. Rontgen dada biasanya diambil
pertukaran gas hiperkapnia
setelah inspirasi penuh (napas dalam karena paru-paru akan
Respon inflamasi
Kehilangan tervisualisasi dengan baik saat keduanya terisi penuh oleh udara)
elastisitas alveoli oleh udara.
Infeksi influenza menjadi faktor risiko pneumonia bakteri. Cara Pemeriksaan Diagnostik
terbaik untuk menangani pneumonia pada lansia ialah vaksinasi yang X-Ray Oksimetri nadi
Analisis kimia
darah
dilakukan sekali setiap tahun setelah usia diatas 65 tahun agar dapat
mencegah influenza berkomplikasi menjadi pneumonia (Mauk, •Dilakukan pada • Kemungkinan • Menunjukkan
minggu ke enam hasil yang kenaikan leukosit
2014; Visuvanathan, et. al., 2015). setelah resolusi ditunjukkan ialah karena invasi
pneumonia di hipoksemia. patogen.
dalam tubuh. • Adanya hambatan
•Ditandai dengan pada jalan napas
adanya infiltrat menyebabkan
pada salah satu lebih sedikit
lobus (lobar okesigen yang
pneumonia) atau masuk.
seluruh lobus
paru (multifocal
pneumonia).
3. Kanker Paru
Kanker paru merupakan penyakit respirasi akibat adanya
tumor malignant (karsinoma) di organ paru yang memang awalnya
terjadi di paru atau bisa sebagai hasil metastasis dari tumor di organ 7) Suara serak akibat tumor menyebar ke organ dekat kelenjar
lain. getah bening dan mengenai saraf laring
Sebagian besar pasien lansia dengan usia lebih dari 65 tahun 8) Disfagia
ditemukan memiliki penyakit kanker paru stadium III atau IV dan 9) Efusi pleura akibat obstruksi vena oleh tumor, sehingga cairan
kelangsungan hidup rata-rata sekitar 9-10 bulan (Arenson & Reichel, pindah ke ruang pleura (kondisi komplikasi)
2009). Lebih dari 80% kanker paru-paru yang terdiagnosis adalah 10) Kelelahan
jenis non-small cell lung cancer (NSCLC), dengan median usia 11) Anoreksia dan kehilangan berat badan.
diagnosis adalah 68 tahun.
Klasifikasi
Etiologi kanker paru dapat berasal dari faktor lingkungan,
Berdasarkan klasifikasinya, kanker paru dibedakan ke dalam dua
pekerjaan (terpapar zat radioaktif dan bahan kimia), perokok aktif,
kategori utama, yaitu (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010):
perokok pasif, dan riwayat keluarga (Doenges, Moorhouse & Murr,
2010). Dari etiologi tersebut, penyebab kanker paru yang paling Small cell lung cancer (SCLC) yang memiliki angka kejadian
Tanda dan Gejala o Tumbuh dengan cepat dan bermetastasis bahkan sebelum
diagnosis diketahui.
Dikutip dari Tabloski (2014), Carlson & Pfadt (2009),
Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever (2010), dan Williams & Hopper o Pasien memiliki prognosis yang buruk dan biasanya mereka
memiliki waktu untuk hidup rata-rata kurang dari 1 tahun.
(2011), tanda dan gejala pasien kanker paru yaitu:
Non-small cell lung cancer (NSCLC) yang memiliki angka
1) Batuk kronik, berupa batuk persisten yang kering tanpa sputum
kejadian sekitar 80%.
2) Hemoptisis atau batuk berdarah
o Memiliki beberapa jenis sel, yaitu karsinoma sel skuamosa,
3) Nyeri dada akibat massa tumor di dinding dada atau pleura
karsinoma sel besar, dan adenokarsinoma.
4) Dyspnea karena oklusi jalan napas akibat massa atau akibat
o Karsinoma sel skuamosa sering terjadi dan biasanya berasal
efusi pleura, pneumonia, dan komplikasi pengobatan
dari lapisan bronkus. Metastasis terjadi pada akhir penyakit
5) Wheezing
dan prognosis kanker jenis ini lebih baik dari jenis lainnya.
6) Demam yang merupakan gejala awal sebagai respon terhadap
infeksi pada area tumor
o Karsinoma sel besar merupakan jenis NSCLC yang tumbuh dan lokasi tumor. Scan otak dan tulang juga dapat melihat adanya
dengan cepat di bagian manapun dari paru-paru. Metastasis metastasis ke organ tersebut.
terjadi di awal penyakit dan pasien memiliki prognosis yang Selanjutnya, biopsi, seperti bronkoskopi, biopsi perkutan, atau
buruk. mediastinoskopi juga bisa digunakan dengan cara mengambil spesimen
o Adenokarsinoma biasanya terjadi pada bidang paru perifer biopsi dari lesi tumor. Biopsi perkutan dilakukan menggunakan jarum
dan biasanya bukan akibat merokok. Pertumbuhan jenis yang ditusukkan pada kulit dengan bantuan radiografi. Lalu,
kanker ini cenderung lambat, sehingga seringkali tidak mediastinoskopi dilakukan dengan meletakkan endoskop pada
terdiagnosis sampai metastasis terjadi. mediastinum untuk melihat adanya perubahan pada nodus limfa
Patofisiologi mediastinal (Williams & Hopper, 2011).
Selain pemeriksaan radio-diagnostik, pemeriksaan laboratorium
Zat karsinogen
juga dibutuhkan, seperti pemeriksaan sputum yang dapat menganalisa sel
masuk ke
saluran abnormal tersebut (Williams & Hopper, 2011).
pernapasan
Sel menjadi abnormal,
Rusaknya DNA 4. Tuberkulosis
menjadi ganas yang
disebut juga Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi TB menurut umur tertinggi
karsinoma
Transformasi sel epitel terjadi pada usia 65 – 74 tahun dilanjutkan dengan usia lebih dari 75 tahun
DNA sel tersebut
tunggal di saluran (Infodatin, 2016). Usia sangat berkaitan dengan menyusutnya imunitas
akan bermutasi
trakebronkial seluler, kondisi komorbiditas, obat immunosupressant, dan gizi buruk
Pemeriksaan Diagnostik karena adanya reaktivasi TB laten pada lansia (Arenson & Reichel, 2009).
Reaktivasi TB pada lansia dapat terjadi karena beberapa faktor risiko,
Pemeriksaan radio-diagnostik harus dilakukan untuk menentukan
seperti hidup di sebuah institusi atau tunawisma, penyalahgunaan obat IV,
letak, ukuran, dan penyebaran massa tumor. Pemeriksaan radiografi
infeksi HIV, diabetes mellitus, serta agal ginjal (Reuben et al., 2011 dalam
seperti chest x-ray dapat mengidentifikasi massa tumor. Akan tetapi, tidak
Tabloski, 2014).
semua tumor dapat dilihat melalui radiografi. CT scan, PET scan, atau
Selain itu, kegagalan pemberian isoniazid pada individu yang lebih tua
MRI dapat menunjukkan penampakan yang lebih spesifik terkait ukuran
dengan tes kulit tuberkulin positif akibat ketakutan akan hepatotoksisitas,
dapat meningkatkan risiko reaktivasi TB di masa mendatang.
Carlson, D. S., & Pfadt, E. (2009). Clinical coach for
Pemeriksaan Tuberkulin effective nursing care fore elderly. Philadelphia: F.A.
Pemeriksaan tuberkulin atau skin-test yang dilakukan dapat berupa Davis Company.
PPD test, yaitu purified protein derivataive. Tindakan yang
Johns & Hopkins Medicine. (n.d.). Bronchoscopy. Retrieved
dilakukan dalam PPD test yaitu, injeksi 5 TU (bioekuivalen) per
from
dosis (0,1 mL) secara intradermal pada lengan bagian bawah.
https://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_pr
Setelah 72 jam, hasil yang terlihat ialah apakah terdapat indurasi
ocedures/pulmonary/bronchoscopy_92,P07743 On
atau tidak. Hal yang perlu dilakukan saat melakukan PPD test pada
March 2019
lansia ialah pendekatan dua langkah akan direkomendasikan. Jika
pemerikaan pertama PPD hasilnya negatif, maka pemeriksaan perlu Mauk, K. L. (2006). Gerontological nursing : Competencies for
dilakukan kembali setelah sekitar 1-2 minggu berlalu. PPD test care.
kedua dapat memberikan hasil yang lebih akurat karena sistem Sudbury: Jones and Bartlett Publishers, Inc.
kekebalan tubuh dari lansia yang lamban menyebabkan tidak cukup Miller, C. A. (2012). Nursing For Wellness in Older Adults
bereaksi pada paparan pertama. (Sixth). China: Wolters Kluwer Health | Lippincott
Akgun, K.M., Crothers, K., & Pisani, M. (2012). Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A. & Hall, A. M. (2013).
Epidemiology and Management of Comon Pulmonary Fundamentals of nursing. St. Louis: Elsevier Mosby
Disease in Older Person. Journal of Gerontology: Biological Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheeve, K. H.
Sciences, 67A (3), 276 – 291. (2010). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-
Arenson, C., & Reichel, W. (2009). Reichel's care of the Surgical Nursing (12th ed). Philadelphia: Lippincott
elderly (6th ed). Cambridge: Cambride University Williams & Wilkins
Press.
Tabloski, P. A. (2014). Gerontological nursing. USA: Pearson.
Berman, A., & Synder, S. J. (2012). Kozier & Erb's
Fundamentals of Nursing: Concepts, Practice, and
Pertama, pada lansia terdapat penurunan jumlah albumin dalam tubuh akibat
penurunan massa tubuh dan jaringan otot. Sehingga diperlukan peningkatan jumlah
protein untuk dikonsumsi sekitar 1-1,2 g/kg protein untuk mengoptimalkan otot dan
kesehatan tulang (Gaffney, Insogna, Rodriguez, & Kerstetter, 2009 dalam Miller,
2012). Sumber protein yang dapat dikonsumsi adalah protein nabati seperti
kacangkacangan, tahu, dan tempe. Kedua, pada umumnya lansia mengalami
penurunan aktivitas yang menyebabkan penurunan massa otot. Hal tersebut
menyebabkan tingkat metabolisme lansia menurun dan terjadi penurunan kebutuhan
kalori. Menurut Tabolski (2014), jumlah kalori yang sesuai untuk lansia adalah
sekitar 1600 cal. Sumber kalori seperti nasi dan roti. Ketiga, lansia dianjurkan untuk
mengonsumsi serat dengan jumlah 10-15 gram, sedangkan untuk orang dewasa
sekitar 25-38 g/hari. Selain itu, lansia juga dianjurkan untuk mengonsumsi 5 sampai
9 jenis buah dan sayur dengan jumlah minimal 55% dari total konsumsi kalori. Diet
serat ini berfungsi untuk pencegahan dan treatment lansia dengan obesitas, diabetes,
cardiovascular disease, dan kanker kolorektal (Miller, 2012). Keempat, menurut
Gangguan Patologis yang sering terjadi pada Sistem Pencernaan Lansia perubahan kerja hormon Cholecystokinin yang meningkat seiring
bertambah umur (Grosman, 2016). Chapman (2011) menyebutkan
1. Konstipasi bahwa perubahan fisiologis ini dengan istilah anorexia of aging →
Konstipasi adalah penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai mengakibatkan penurunan nafsu makan pada lansia sehingga lansia
kesulitan atau pengeluaran feses tidak tuntas dan/atau yang keras, mengkonsumsi kurang dari kebutuhannya.
b. Perubahan sensori
kering, dan banyak (Nanda International, 2018).
Penurunan sensori penglihatan mengakibatkan kesulitan lansia dalam
Konstipasi dapat terjadi karena usus besar mengalami perubahan
membeli dan menyiapkan kebutuhan makan sehari-hari. Perubahan
fisiologis berkurangnya sekresi lendir, penurunan elastisitas dinding indra olfaktori dan perasa juga turut mengganggu lansia dalam
rektum, dan berkurangnya distensi dinding rektum. menikmati makanan (Ahmed & Haboubi, 2010). Sebagian lansia
Faktor risiko yang menyebabkan konstipasi diantaranya kurang diet, juga mengalami dysgeusia yaitu perubahan persepsi rasa seperti rasa
rendahnya aktivitas fisik, kurangnya cairan, penyakit Parkinson, besi, hambar, rasa kapur (Tabloski, 2014). Penurunan sensori
konsumsi obat-obatan (Woodward, 2012 dalam Mauk, 2012). tersebut menjadikan kegiatan makan menjadi hal yang tidak
Pada lansia, faktor berkurangnya aktivitas lansia dapat mempengaruhi menyenangkan bagi lansia sehingga banyak lansia yang malas untuk
motilitas usus sehingga menjadi lebih lambat dan menyebabkan feses makan.
lebih lama berada dalam usus besar; faktor berkurangnya asupan buah c. Sosial ekonomi
dan sayur yang mengandung serat juga menyebabkan defekasi tidak Lansia mengalami perubahan peran dan status seperti kehilangan
lancar; lansia juga terkadang memiliki penyakit-penyakit yang pekerjaan dapat mempengaruhi asupan nutrisi yang berhubungan
dengan faktor ekonomi. Kesulitan memperoleh sumber makanan
membutuhkan medikasi dan efek samping penggunaan medikasi
mengakibatkan kurangnya intake nutrisi pada lansia (Tabloski,
tersebut dapat memperlambat proses defekasi; terakhir, faktor asupan
2014).
cairan yang kurang juga mempengaruhi kondisi konstipasi pada lansia
Seiring bertambahnya usia, email gigi mengeras dan lebih rapuh, dentin
(Miller, 2012).
lebih berserat, dan ruang saraf memendek dan menyempit → akibatnya
2. Malnutrisi
gigi menjadi kurang sensitif dan rentan patah.
Malnutrisi merupakan kondisi kekurangan, kelebihan, atau
Berkurangnya kekuatan otot dan penurunan tekanan pada lidah di
ketidakseimbangan energi, protein, atau nutrisi lain yang menyebabkan
neuromuskuler memengaruhi proses mengunyah dan menelan (Miller,
dampak buruk pada tubuh dan fungsinya (Touhy & Jett, 2013).
2012).
Pada lansia, etiologi dari malnutrisi secara fisik yaitu, (1) berkurangnya
Mukosa mulut kehilangan elastisitas, atrofi sel epitel, dan berkurangnya
kepekaan sensori terhadap rasa dan bau, (2) menurunnya kemampuan
pasokan darah ke jaringan ikat → menyebabkan lansia merasa nyeri
untuk mengunyah dan menelan, (3) dehidrasi, (4) efek samping obat-
jika menguyah → akibatnya konsumsi makanan seperti daging dan
obatan; secara sosial dapat disebabkan oleh lingkungan yang tidak
buah menurun yang membuat asupan protein, vitamin, dan mineral
kondusif sehingga nafsu makannya menurun; dan secara psikis dapat
menurun.
disebabkan oleh depresi (Tabloski, 2014).
Tanda utama yang dapat dikenali dari malnutrisi yang terjadi pada
Faktor yang memicu terjadinya malnutrisi pada lansia (Tabloski, 2014)
lansia yaitu sarcopenia dan cachexia (Mauk, 2012).
antara lain:
Sarcopenia → hilangnya massa dan kekuatan otot rangka yang dapat
a. Perubahan regulasi lapar menyebabkan cacat fisik, menurunnya kualitas hidup bahkan kematian
Sensasi kenyang pada lansia terjadi sangat cepat karena dipengaruhi (Loreck, Chimakurthi, & Steinle, 2012 dalam Mauk, 2012).
Cachexia → hilangnya masa otot tanpa/dengan hilangnya masa lemak kerjanya insulin sampai dengan kondisi resistensi insulin dan
karena hasil metabolisme yang kompleks dari sebuah penyakit (contoh: hiperinsulinemia (Fanelli et al., 1993; Toth and Tchernof, 2000 dalam
kanker dan gagal ginjal) (Omas, 2007 dalam Mauk, 2012). Suastika et al., 2012).
Salah satu kondisi malnutrisi yang umum pada lansia ialah malnutrisi 4. Gastroesophangeal Reflux Disease (GERD)
energi protein yang ditandai dengan mengecilnya otot dan rendahnya GERD merupakan kondisi kembalinya isi perut ke esofagus akibat
nilai BMI (Tohy & Jett, 2013) → diatasi dengan melakukan modifikasi tekanan intraabdomen yang tinggi atau kelainan fisiologis dari spincter
lingkungan makan dengan menambah pencahayaan, membangun esofagus bagian bawah (Carlson & Pdaft, 2009) → menyebabkan
suasana makan yang menyenangkan, menyetel musik dari jaman ia aspirasi, rasa pahit pada mulut, disfagia dan nyeri pada esofagus
muda, dan minimalisasi distraksi; tingkatkan persepsi rasa dengan (Carlson & Pdaft, 2009).
hindari merokok, berikan aroma yang menggugah selera dan ubah Etiologi → perubahan fisiologi lansia dimana ada perlambatan
tekstur makanan agar lebih menarik (Tabloski, 2014). peristaltik di esofagus sehingga spingter menjadi lebih sering dilatasi
Pemberian nutrisi yang adekuat juga diperlukan dengan memerhatikan dan menyebabkan trauma (Touhy & Jett, 2014).
kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan cairan Trauma atau stres pada spincter menyebabkan fungsinya tidak efektif
lansia. sehingga apabila lansia makan dengan porsi berlebih membuat tekanan
3. Diabetes Mellitus tipe 2 intraabdomennya meningkat → spincter tersebut tidak mampu menahan
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, dan menyebabkan refluks.
protein dan lemak (Mauk, 2012). Jika lansia mengalami kondisi tersebut, maka hal yang perlu
DM yang sering terjadi pada lansia adalah DM tipe 2 → disebabkan diperhatikan ialah menghindari makan sebelum tidur, makan dalam
oleh perubahan sistem endokrin yang menurunkan sensitivitas dan posisi tegak, makan dengan porsi sedikit namun sering, dan hindari
perubahan insulin atau tidak cukupnya kompensasi fungsional sel beta makanan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan di perut seperti
dalam menghadapi peningkatan resistensi insulin (Chang dan Halter, makanan pedas, bersoda, atau beralkohol (Carlson & Pdaft, 2009).
2003 dalam Suastika, Dwipayana, Siswadi, & Tuty, 2012). Penurunan
kerja sel beta akan membuat mitokondria mengalami apoptosis
(kematian sel) yang karena kerusakan mtDNA mitokondria tersebut.
Apoptosis ini akan meningkatkan produksi TNF-α yang menyebabkan
penurunan sensitivitas insulin pada lansia (Kirwan et al., 2001 dalam
Suastika et al., 2012).
Setelah usia 20 tahun, LDL akan meningkat secara signifikan pada
wanita dan pria dan akan berhenti pada usia wanita 60-70 tahun dan
pria 50-60 tahun (Gobal and Mehta, 2010 dalam Suastika et al., 2012).
Kondisi peningkatan juga terjadi pada trigliserida (TG) sedangkan
kadar HDL akan menurun seiring bertambahnya usia. Komposisi TG
dalam otot dan hati lebih tinggi pada lansia (Cree et al., 2004 dalam
Suastika et al., 2012) → menyebabkan respon lipolysis oksidasi lemak
menurun sehingga konsentrasi asam lemak dalam darah meningkat dan
membuat produksi gula dalam darah meningkat yang menghambat
Pengkajian Sistem Pencernaan pada Lansia merepresentasikan intake makanan selama 1 hari serta data akan
menjadi tidak valid jika pasien memiliki gangguan kognitif (Ahmed &
Perawat mengkaji pencernaan dan nutrisi lansia untuk mengidentifikasi: Haboubi, 2010). Oleh karena itu, selain menggunakan 24 hour recall
(1) efek perubahan pencernaan, nutrisi, dan pola makan berkaitan dengan dapat juga menggunakan metode food record untuk mengetahui pola
usia; makan dan asupan nutrisi lansia.
(2) faktor risiko yang mengganggu nutrisi normal;
(3) faktor budaya yang mempengaruhi pola makan; II. Pemeriksaan Fisik
(4) status gizi dan pola makan yang biasa; dan Pengkajian selanjutnya ialah perawat melakukan pemeriksaan fisik yang
(5) konsekuensi fungsional yang negatif dari perubahan sistem pencernaan terdiri dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
atau nutrisi yang tidak adekuat (Miller, 2012). Inspeksi → dimulai dengan melihat kondisi lansia keseluruhan secara
umum, lalu mengamati gigi dan mulut, dan mengamati simetris atau
I. Anamnesa tidaknya bentuk abdomen serta ada lesi atau tidak (Miller, 2012).
Anamnesa sistem pencernaan dilakukan dengan mengajukan Fokusnya di bagian oral dan abdomen.
pertanyaan kepada lansia mengenai kondisinya yang mencakup pola Oral
makan dan asupan nutrisi harian, perilaku yang berhubungan dengan → Bibir tampak pink, lembab, dan simetris; gigi utuh, tanpa lubang atau
kesehatan, perubahan yang memengaruhi proses pencernaan, serta karang gigi; gusi terlihat pink dan tidak berdarah; membran mukosa
tanda dan gejala yang mengindikasikan adanya masalah pada sistem dan lidah terlihat merah muda, lembab serta terdapat variscoities pada
pencernaan. permukaan bawah (Miller, 2012). Cek kondisi kebersihan mulut klien
Pengkajian fungsional pada tubuh lansia dengan anamnesa dilakukan dan apakah terdapat perdarahan.
perawat dengan mengkaji head to toe dan pengkajian menggunakan Abdomen & Rektum
skala pengukuran yang meliputi enam aktivitas pada kehidupan sehari → Abdomen terlihat simetris, tidak ada lesi dan bergerak mengikuti
atau Activities of Daily Living (ADLs) yang meliputi kebutuhan respirasi. Kondisi kekakuan pada abdomen dapat menunjukan adanya
eliminasi, makan dan minum, berpakaian, kebersihan, mandi, serta obstruksi pada usus (Anderson, 2007).
ambulasi (Miller, 2015). → Pada rektum lihat kulit di sekitarnya halus, tidak ada wasir, inflamasi,
Hal pertama yang perlu diketahui adalah terkait kebutuhan nutrisinya atau prolaps serta konsistensi feses lunak, dan berwarna coklat.
dan apa saja makanan yang dikonsumsi dalam satu waktu (Tabloski, Palpasi
2014). Selain itu, perawat perlu bertanya mengenai riwayat penyakit Palpasi daerah abdomen dilakukan untuk melihat apakah ada nyeri
yang memerlukan modifikasi makanan, seperti diabetes, penyakit abdomen, massa, atau perbesaran organ. Nyeri kuadran kanan
jantung, atau lainnya, apakah memiliki alergi makanan, dan obat- bawah dapat mengindikasikan apendisitis dan nyeri kuadran kiri
obatan apa saja yang dikonsumsi (Miller, 2012). bawah dapat mengindikasikan divertikulitis (Anderson, 2007).
Metode 24 hour recall dapat digunakan untuk mendapatkan informasi Perkusi
terkait makanan apa saja yang dikonsumsi lansia selama 24 jam Saat melakukan perkusi abdomen terdengar timpani pada sebagian besar
terakhir. Namun, metode ini memiliki kekurangan yaitu hanya abdomen dan sonor pada kandung kemih.
Auskultasi pengkajian kepatenan pada saluran cerna lansia yang mengalami
Auskultasi dilakukan di empat kuadran sampai terdengar bising usus (jika penurunan untuk mencegah komplikasi yang muncul.
tidak ada tunggu selama 5 menit). Bising usus berkurang pada lansia
karena penurunan motilitas lambung akibat proses penuaan 2. X-Ray menjadi prosedur diagnostik yang menggunakan sinar X untuk
(Anderson, 2007). mendapatkan gambaran kondisi organ abdomen sehingga
memudahkan dalam mengidentifikasi tumor, obstruksi, iskemi usus,
III. Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium kalsifikasi pankreas, penumpukan gas abnormal, dan penyempitan.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan lainnya yaitu tes laboratorium, Persiapan sebelum pemeriksaan → puasa atau dianjurkan makan-makanan
studi radiologi, dan pemeriksaan lain seperti endoskopi. Pemeriksaan tertentu yang disesuaikan dengan kondisi tubuh atau penyakit yang
diagnostik dilakukan untuk melengkapi keakuratan data serta untuk diderita, melepaskan perhiasan, menggunakan gaun polos yang
mendapatkan gambaran yang lebih jelas terkait kondisi tubuh lansia. disediakan untuk pemeriksaan. Setelah pemeriksaan komplikasi yang
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan meliputi (Black & Hawks, muncul biasanya berhubungan dengan reaksi alergi tehadap iodine
2009; Smeltzer, Hinkle, Bare, & Cheever, 2010): sebagai zat kontras yang digunakan sehingga menimbukan kemerahan,
1. Endoskopi untuk melihat visual secara langsung pada sistem gatal, mual.
gastrointestinal dengan menggunanakan sebuah selang yang fleksibel
dengan kamera kecil. 3. MRI/CT-Scan dilakukan untuk mendapatkan gambaran tubuh dan
Persiapan Khusus (Priyanto & Lestari, 2009): organnya secara horizontal, seperti mengkaji divertikulitis akut,
- Endoskopi saluran cerna atas atau esofagogastroduodenoskopi pembentukan abses, diagnosa Ca kolorektal, dan stadium tumor
(EGD) rektal. Persiapan yang dilakukan hampir sama dengan X-ray dengan
Sebelum pemeriksaan dianjurkan puasa makan dan minum mengkonsumsi zat kontras dan pencahar sesuai anjuran dokter, serta
selama 6 jam berpuasa.
Selama pemeriksaan gigi palsu dan kacamata dilepas
Sebelum tindakan, orofaring diberikan xylocain spray 10% Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi (Black & Hawks,
secukupnya 2009):
Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan mulut 1. Urinalisis untuk mendeteksi dan mengukur berbagai macam zat yang
- Endoskopi saluran cerna bawah atau kolonoskopi keluar melalui urin yang dilakukan pada sampel urin denga tujuan
Dianjurkan diet rendah serat selama 2 hari sebelum pemeriksaan mengetahui infeksi saluran kemih, gagal ginjal, memantau perkembangan
penyakit terhadap diabetes mellitus dan hipertensi, serta skrining status
Menggunakan obat pencahar seperti Fleet untuk 12 jam sebelum
kesehatan umum.
pemeriksaan dan Niflec untuk 8 jam sebelum pemeriksaan
2. Hitung Darah Lengkap untuk mengetahui kondisi kesehatan dengan
Potensial efek samping dari pemeriksaan meliputi perforasi
melihat hasil pemeriksaan terhadap penurunan atau peningkatan jumlah
esophagus, disfagia, nyeri, hematemesis, distress pernapasan, dan
sel darah sehingga dapat memberi petunjuk adanya gangguan kesehatan
krepitus subkutan. Oleh karena itu, perawat dapat melakukan
yang membutuhkan penanganan lanjut.
3. Perhitungan IMT dan berat badan ideal
Pemeriksaan dapat dilakukan melalui mini nutrisional assessment berbagai pertanyaan, perawat dapat menggabungkan hasil penilaian
untuk mengetahui status nutrisi pada lansia. dari fase skrining dan fase pertanyaan untuk menemukan hasil
Intervensi nutrisi dapat berperan dalam pencegahan kondisi mengenai status gizi lansia apakah sudah baik, masih kurang baik, atau
degeneratif lansia dan peningkatan kualitas hidup lansia sangat tidak baik (Miller, 2012).
(Agarwalla, Saikia, & Baruah, 2015). Penilaian status nutrisi yang
dapat dilakukan pada lansia yaitu Mini Nutritional Assessment
(MNA) dan Body Mass Index (BMI).
Carlson, D. S., & Pfadt, E. (2009). Clinical coach for effective nursing care Touhy, T. A., & Jett, K. F. (2014). Ebersole and Hess’ gerontological
for older adults. Philadelphia: Davis Company. nursing and healthy aging (4th ed.). Missouri: Elsevier Inc.
Chapman, I. M. (2011). Weight loss in older persons. Medical Clinics of
North America, 95, 579–593.
berbeda yang terletak di bagian dasar otak (Biran, Tahor, Wircer, & menurun dan produksi panas tubuh juga menurun (Shibasaki et al.,
Levkowitz, 2015). Hipotalamus berfungsi untuk mengatur beberapa 2013). Selain itu, asupan energi yang kurang dari kebutuhan juga
proses vital di dalam tubuh, seperti pengaturan suhu tubuh, pengaturan menyebabkan penurunan BB dan massa otot tubuh atau sarkopenia
keseimbangan nutrisi dan energi, pengaturan siklus tidur-bangun, (Shibasaki et al., 2013). Sarkopenia dapat menurunkan kemampuan otot
kemampuan seksual dan reproduksi, dan sebagainya (Biran et al., 2015). untuk melakukan respon menggigil. Respon menggigil merupakan salah
Pada lansia, sel-sel hipotalamus mengalami atrofi dan mengalami satu respon tubuh terhadap suhu lingkungan yang rendah (Shibasaki et
penurunan jumlah neuron, hal ini menyebabkan hipotalamus pada lansia al., 2013).
mengalami penurunan sensitivitas dan ketidakseimbangan homeostatis e. Penurunan kemampuan menyesuaikan diri dan merespon panas
(Loskutova, Honea, Brooks, & Burns, 2010). Saat berada di lingkungan yang panas atau saat produksi panas
b. Perubahan kulit dan jaringan lemak subkutan metabolik tubuh meningkat, tubuh melakukan kompensasi untuk
Kulit lansia akan menipis dan kehilangan elastisitasnya karena menghilangkan panas dengan cara berkeringat dan pelebaran pembuluh
berkurangnya jumlah jaringan lemak subkutan. Lemak subkutan darah perifer untuk menghilangkan panas secara radiasi (Miller, 2012).
berfungsi melindungi tubuh dari trauma serta berperan membatasi Akan tetapi, lansia mengalami penurunan kemampuan untuk
kehilangan panas tubuh secara konduktif sehingga lansia mengalami menyesuaikan diri dan merespons panas lingkungan. Hal ini disebabkan
peningkatan risiko hipotermia (Dorward, Endowed, Helen, Hill, & oleh perubahan pada sistem kardiovaskular. Sistem kardiovaskular harus
Reichel, 2009). dapat mencukupi curah jantung untuk melakukan vasodilatasi pembuluh
perifer saat akan menghilangkan panas tubuh (Miller, 2012).
c. Pola tidur
Lansia yang umumnya mengalami perubahan irama bangun-tidur
serta terganggunya kualitas dan kuantitas tidur. Perubahan ini dapat
mempengaruhi pengaturan irama sirkadian tubuh lansia, sehingga suhu
f. Penurunan vasokontriksi kutaneous Pasien dengan gagal ginjal kronis, reabsorpsi air dan sodiumnya
Refleks vasokonstriksi pada pembuluh darah kutaneous merupakan terganggu sehingga menyebabkan dehidrasi, produksi keringat menurun,
respon tubuh terhadap penurunan suhu tubuh secara efektif dan dan perfusi perifer menurun yang memicu terjadinya gangguan
meminimalkan kehilangan panas tubuh (konveksi) secara berlebihan termoregulasi (Lorenzo & Lia, 2017).
(Holowatz, Thompson-Torgerson, & Kenney, 2010). Penurunan refleks Dehidrasi dapat memicu terjadinya hipotermi karena pada saat dehidrasi
vasokonstriksi kutaneous pada lansia menyebabkkan lansia mudah volume plasma berkurang akibat berkeringat sehingga curah jantung
kehilangan panas tubuh dan meningkatkan risiko hipotermia (Holowatz et menurun dan terjadi vasodilatasi pembuluh darah kulit berlebih
al., 2010). mengakibatkan peningkatan kehilangan panas pada tubuh.
Pada diabetes gangguan termoregulasi sering disebabkan karena adanya
neoropati otonom menyebabkan disfungsi saraf otonom yang berakibat
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN SISTEM
TERMOREGULASI LANSIA pada gangguan kontrol neurogenik vaskular sehingga aliran darah di kulit
dan jaringan mengalami perubahan.
a) Kondisi Patologis
b) Obat-obatan
Beberapa kondisi patologis yang dapat mempengaruhi sistem
Sistem termoregulasi dikendalikan oleh respon saraf otonom karena
termoregulasi :
stimulasi temperature-sensitive neuron yang menghubungkan daerah perifer
Ketika terjadi hipermetabolisme yang disebabkan oleh gangguan dan hipotalamus, respon somatik, dan respon perilaku sehingga tidak hanya
endokrin (hipertiroid) produksi panas tubuh akan meningkat. mekanisme termoregulasi yang ada di level ini akan tetapi mekanisme
Pada trauma dan infeksi demam terjadi sebagai respon terhadap pengaturan lain yang dilakukan oleh berbagai neurotransmiter juga ada di level
pelepasan sitokin dan prostaglandin yang menyebabkan nilai ini (Kuzuya, 2013). Oleh karena itu, obat yang bekerja pada salah satu level ini
patokan suhu hipotalamus meningkat sebagai upaya untuk berpotensi mempengaruhi termoregulasi. Beberapa obat yang dapat
membunuh virus dan bakteri (Benqualid, Talari, Rubin, Albaeni, & berpengaruh pada sistem termoregulasi seperti anticholinergic yang
Berger, 2015). menyebabkan penurunan produksi keringat, diuretik yang dapat memicu
Penyakit jantung menyebabkan cardiac output menurun sehingga dehidrasi, dan beta blocker yang dapat menyebabkan penurunan cardiac output
aliran darah perifer menurun mengakibatkan mekanisme (Lorenzo & Lia, 2017).
kehilangan panas tubuh menurun (Lorenzo & Lia, 2017). c) Alkohol
Proses metabolisme menghasilkan panas, ketika alkohol meningkat. Semakin tinggi aktivitas maka produksi panas tubuh meningkat
dimetabolisme di hati maka akan tubuh terasa hangat karena hati (Sherwood, 2013). Pada lansia karena berkurangnya aktivitas menyebabkan
memproduksi banyak panas. Namun, bagian tubuh yang lain menjadi lebih produksi panas tubuh juga menurun.
dingin, hal ini karena alkohol dapat menyebabkan pembuluh darah mengalami f) Perilaku yang Dipengaruhi oleh Kurangnya Pengetahuan
vasodilatasi dan pengeluaran keringat yang banyak sehingga tubuh Pengetahuan yang kurang mengenai kerentanan lansia terhadap
melepaskan banyak panas (American Addiction Centers Resouce, 2018). Jadi, gangguan termoregulasi dapat menciptakan risiko sekunder karena tindakan
sementara hati memproduksi banyak panas namun suhu inti tubuh dapat
perlindungan tidak memadai (Miller, 2012). Sebagai contoh untuk menghemat
mengalami penurunan. Karena efek hangat yang ditimbulkan oleh alkohol
biaya yang dikeluarkan maka penggunaan pendingin ruangan maupun pemanas
sehingga banyak orang yang tidak menyadari bahwa suhu inti tubuh mereka
ruangan dibatasi sehingga hanya digunakan pada kondisi cuaca yang sangat
mengalami penurunan.
ekstreme. Ketika orang yang tinggal bersama mengetahui kerentanan yang
d) Pengaruh Kondisi Lingkungan
dimiliki lansia , maka mereka akan menyediakan perlindungan pada lansia
Penurunan kemampuan vasokontriksi dan vasodilatasi vaskuler
dengan tetap menjalankan prinsip untuk menghemat biaya misalnya melalui
menjadi salah satu penyebab lansia rentan terhadap cuaca ekstrem. Pada
tindakan menambahkan pakaian ketika cuaca dingin atau melepas pakaian
kondisi tubuh normal respon otonom terhadap kondisi dingin adalah
ketika cuaca panas.
dengan vasokontriksi untuk mempertahankan panas tubuh serta dengan
peningkatan metabolisme dan menggigil, sedangkan respon otonom
GANGGUAN PATOLOGIS PADA THERMOREGULASI LANSIA
terhadap panas adalah dengan vasodilatasi serta dengan kehilangan
panas melalui radiasi, evaporasi dengan cara berkeringat, dan konveksi A. Hipotermia: keadaan darurat medis yang membutuhkan penilaian
(Jr, 2016). Selain itu, karakteristik sosial ekonomi pada lansia juga komprehensif aktivitas neurologis, oksigenasi, fungsi ginjal, dan keseimbangan
mempengaruhi kerentanan mereka terhadap perubahan kondisi cairan dan elektrolit (suhu inti <35 C).
lingkungan dan kapasitas mereka dalam beradaptasi terhadap Faktor risiko:
perubahan kondisi lingkungan (Miller, 2012). Temperature lingkungan yang rendah
e) Inaktivitas dan Imobilitas kondisi-kondisi yang menurunkan produksi panas (ketidakaktifan lansia,
Salah satu sumber panas tubuh adalah melalui metabolisme. malnutrisi, gangguan endokrin, dan kondisi neuro muskular),
Semakin tinggi tingkat aktivitas maka energi yang dibutuhkan semakin kondisi-kondisi yang meningkatkan kehilangan panas (luka bakar dan
tinggi sehingga proses metabolisme yang menghasilkan energi vasodilatasi),
kondisi patologis dari sistem tubuh lain (gangguan sistem saraf B. Hipertermia: kondisi peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan
pusat, gagal jantung, dan infark miokardium, pneumonia). ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas atau mengurangi produksi
panas (suhu di atas 36,1oC-37,2oC).
Pada tahap awal Tidak adanya Hipertermia yang sering terjadi:
Penyakit ginjal
hipotermia, tindakan
pada lansia dapat Sinkop panas
lansia mungkin perlindungan,
memperburuk (pusing mendadak
tidak akan hipotermia akan
hipotermia yang Kelelahan panas setelah paparan Kram panas
menggigil atau meningkat dan
berujung pada panas yang
mengeluh memperburuk
kematian berkepanjangan)
kedinginan fungsi mental.
Beberapa cara yang dapat diaplikasikan untuk menangani hipotermia: Kelelahan Stroke panas
Suhu tubuh akan berkurang pada saat tidur dan akan meningkat saat tubuh
mengalami demam atau mengalami suatu penyakit
Lansia cenderung memiliki suhu tubuh lebih rendah dan respon demam
terhadap infeksi mungkin akan berkurang.
Perawat dapat meminta lansia atau orang yang dekat dengan lansia
tersebut untuk memeriksa suhu tubuh secara berkala pada saat kondisi
normal untuk mengetahui berapa besaran suhu tubuhnya
E. Pengkajian Respon Rebril terhadap Penyakit Polamakan yang sedikit tapi sering lebih baik dari padamakan berat.
Respon lansia dapat tertunda atau tidak terlihat, maka perawat dapat mengkaji Menghindari minuman berkafein dan alcohol
perubahan suhu tubuh lansia dan tanda tambahan penyakit. Perawat juga Latihan fisik juga disarankan karena dapat membantu meningkatkan sirkulasi dan
harus mengkaji tentang asumsi regulasi lansia yang mungkin tidak sama produksi panas.
dengan dewasa (Miller, 2012).
Jr, W. P. C. (2016). Autonomic Neuroscience : Basic and Clinical Thermoregulatory
DAFTAR PUSTAKA disorders and illness related to heat and cold stress. Autonomic Neuroscience:
Basic and Clinical, 196, 91–104. https://doi.org/10.1016/j.autneu.2016.01.001
American Addiction Centers Resouce(A. A. C. R.) (2018). Feeling Warm &
Kuzuya, M. (2013). Heatstroke in Older Adults, 56(2), 193–198. Retrieved from
Flushed Skin from Drinking Alcohol. Retrieved
https://www.med.or.jp/english/journal/pdf/2013_03/193_198.pdf
fromhttps://www.alcohol.org/effects/warm-flushed-skin/
Lu, S.-H., & Dai, Y.-T. (2009). Normal body temperature and the effects of age, sex,
Benqualid, V., Talari, G., Rubin, D., Albaeni, R., & Berger, J. (2015). Fever in
ambient temperature and body mass index on normal oral temperature: A
trauma patients: evaluation of risk factors, including traumatic brain
prospective, comparative study. International Journal of Nursing Studies, 46(5),
injury., 2, 1–5. Retrieved from 10.4037/ajcc2015856.
661–668. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2008.11.006
Biran, J., Tahor, M., Wircer, E., & Levkowitz, G. (2015). Role of
Lorenzo, A. De, & Lia, F. (2017). High temperatures and nephrology : The climate
developmental factors in hypothalamic function. Frontiers in
change problem ଝ, 7(5), 492–500. https://doi.org/10.1016/j.nefroe.2016.12.015
Neuroanatomy, 9(April), 1–11. https://doi.org/10.3389/fnana.2015.00047
Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adults: theory and practice. (6th
Dorward, M., Endowed, S., Helen, W., Hill, C., & Reichel, W. (2009). Reichel
ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin.
’ s Care of the Elderly: Clinical Aspects of Aging. (C. Arenson, J. Busby-
Sherwood, L. (2010). Human physiology from cell to systems, (7th Ed). USA:
Whitehead, K. Brummel-Smith, J. G. O’Brien, M. H. Palmer, & W.
Brooks/Cole Cengage Learning.
Reichel, Eds.) (6th ed.). New York: Cambridge University Press.
Shibasaki, M., Okazaki, K., & Inoue, Y. (2013). Aging and thermoregulation. The
Journal of Physical Fitness and Sports Medicine (Vol. 2).
Ham, C., Dixon, A., dkk (2012), Transforming the Delivery of Health and
https://doi.org/10.7600/jpfsm.2.37
Social Care: The Case for Fundamental Change, London: The King’s
Fun.
Holowatz, L. A., Thompson-Torgerson, C., & Kenney, W. L. (2010). Aging
and the control of human skin blood flow. Frontiers in Bioscience
(Landmark Edition), 15, 718–39. Retrieved
fromhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20036842%0Ahttp://www.pu
bmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC3228253
SISTEM KARDIOVASKULER Menurut Strait & Lakatta (2012), penebalan dinding
Perubahan Fisiologis Jantung dan Pembuluh Darah pada ventrikel kiri menyebabkan disfungsi diastolik dan
Lansia peningkatan afterload. Selain itu, berhubungan dengan
a. Perubahan Miokardium produksi kolagen, ventrikel mulai menebal dan kaku, serta
Perubahan meliputi amyloid deposits, akumulasi terjadi penurunan jumlah sel miokard. Setiap perubahan
lipofuscin, degenerasi basofilik, atrofi miokard atau yang terjadi akan mengganggu kemampuan jantung untuk
hipertropi, katup kaku dan menebal, serta jumlah jaringan berkontraksi. Kontraktilitas menjadi kurang efektif,
ikat meningkat (Miller, 2012). Penuaan tidak sehingga membutuhkan lebih banyak waktu untuk
mengakibatkan perubahan ukuran jantung, tetapi dinding menyelesaikan siklus pengisian diastolik dan pengosongan
ventrikel kiri cenderung ketebalannya sedikit meningkat sistolik. Kekakuan pada dasar pangkal aorta menghalangi
karena peningkatan densitas kolagen dan hilangnya fungsi pembukaan katup secara lengkap, sehinga menyebabkan
serat elastis, sehingga jantung menjadi mampu untuk obstruksi parsial terhadap aliran darah selama denyut sistol.
distensi dengan kekuatan kontraktil yang kurang efektif. Menurut Stanley & Beare (2006) tidak sempurnanya
Penebalan miokardium dan miokardium dapat pengosongan ventrikel dapat terjadi selama waktu
menyebabkan terjadi peningkatan waktu pengisian peningkatan denyut jantung (misalnya olahraga, stres, dan
diastolik. Peningkatan tekanan pengisian diastolik demam).
digunakan untuk mempertahankan preload yang adekuat b. Perubahan Mekanisme Neuro-conduction
(Stanley & Bare, 2006). Menurut Miller (2012) perubahan Perubahan yang terjadi dalam sistem neuroconduction
lain yang terjadi terkait usia yaitu penebalan endokardium yaitu penurunan jumlah sel alat pacu jantung (pacemaker
atrium, penebalan katup atrioventrikular, dan kalsifikasi cells) dan ketidakteraturan dalam bentuk sel-sel alat pacu
sebagian dari anulus mitral katup aorta.
jantung meningkat. Perubahan struktural memengaruhi (lapisan tengah), berhubungan dengan hipertensi. Tunika
konduksi sistem jantung melalui peningkatan jumlah eksterna (lapisan terluar) tidak akan terpengaruh dari
jaringan fibrosa dan jaringan ikat. Jumlah total sel penuaan. Lapisan ini, terdiri dari jaringan adiposa dan
pacemaker mengalami penurunan seiring bertambahnya jaringan ikat yang mendukung serabut saraf dan vasorum
usia. Berkas his kehilangan serat konduksi yang membawa vasa, serta suplai darah untuk tunika media (Miller, 2012).
impuls ke ventrikel (Stanley & Beare, 2006). Tunika intima terdiri dari satu lapis sel endotel pada
c. Perubahan Pembuluh Darah lapisan tipis jaringan ikat. Fungsi tunika intima yaitu
Pembuluh darah juga mengalami penurunan elastisitas mengontrol masuknya lipid dan zat lain dari darah ke dalam
yang memungkinkan darah bersirkulasi (Touhy & Jett, dinding arteri. Sel endotel yang utuh membuat darah
2014). Kehilangan elastisitas mengganggu aliran koroner mengalir bebas tanpa adanya pembekuan. Namun, ketika
dan dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular. Dinding sel-sel endotel mengalami kerusakan, akan terjadi
arteri terdiri dari tiga lapisan yaitu tunika adventitia, tunika pembekuan.Tunika intima dapat menebal karena fibrosis,
media, dan tunika intima (Bolton & Rajkumar, 2011). proliferasi sel dan akumulasi lipid juga kalsium. Selain itu,
Adapun perubahan yang berkaitan dengan usia ukuran dan bentuk sel-sel endotel menjadi tidak teratur,
mempengaruhi dua dari tiga lapisan pembuluh darah dan sehingga perubahan tersebut menyebabkan perbesaran dan
akibat yang ditimbulkan bervariasi, tergantung pada lapisan pemanjangan arteri. Akibatnya, dinding arteri lebih rentan
yang terkena. Misalnya, mengalami aterosklerosis (Bolton & Rajkumar, 2011;
perubahan dalam tunika intima (lapisan terdalam) memiliki Miller, 2012).
dampak yang paling serius dalam perkembangan Tunika media terdiri dari lapisan tunggal atau beberapa
aterosklerosis, sedangkan perubahan dalam tunika media sel otot polos yang dikelilingi oleh elastin dan kolagen. Sel-
sel otot polos yang terdapat pada jaringan berfungsi untuk rendah. Vena menjadi lebih tebal, lebih dilatasi, dan kurang
memproduksi kolagen, proteoglikan, dan serat elastis. elastis seiring dengan bertambahnya usia. Katup vena besar
Lapisan ini mengendalikan pengembangan dan kontraksi pada kaki menjadi kurang efisien dalam mengembalikan
arteri karena struktur dari lapisan ini. Perubahan tunika darah ke jantung, sehingga edema ekstremitas bawah
media yang terjadi akibat penuaan yaitu peningkatan berkembang lebih cepat dan lansia lebih berisiko mengalami
kolagen dan penipisan serta kalsifikasi serat elastin yang thrombosis vena karena melemahnya sirkulasi vena.
menyebabkan kekakuan pembuluh darah.Selain itu, Sirkulasi perifer selanjutnya dipengaruhi oleh penurunan
perubahan yang terjadi pada tunika media menyebabkan massa otor dan
peningkatan resistensi perifer, gangguan fungsi bersamaan dengan pengurangan pada permintaan oksigen
baroreseptor, dan berkurangnya kemampuan untuk (Miller, 2012; Touhy & Jett, 2014).
meningkatkan aliran darah ke organ vital. Perubahan d. Adanya Mekanisme Baroreflex
tersebut dapat meningkatkan resistensi terhadap aliran darah Terjadi dimana sudah menjadi proses fisiologis, ketika
dari jantung, sehingga ventrikel kiri dipaksa untuk bekerja mengatur tekanan darah tubuh akan meningkatkan atau
lebih keras. Baroreseptor di arteri besar menjadi kurang menurunkan denyut jantung dan resistensi pembuluh darah
efektif dalam mengontrol tekanan darah, terutama selama perifer. Resistensi pembuluh darah perifer berfungsi untuk
perubahan postural. Secara keseluruhan, peningkatan mengkompensasi penurunan sementara atau peningkatan
kekakuan pembuluh darah menyebabkan sedikit tekanan arteri. Baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotis
peningkatan tekanan darah sistolik (Miller, 2012). sebenarnya reseptor regang. Penurunan distensi pada
Pembuluh darah vena juga mengalami perubahan yang reseptor ini, menyebabkan penambahan aktivitas pada
serupa dengan arteri, tetapi pada tingkatan yang lebih sistem parasimpatik dan ihibisi sistem aliran saraf.
Proses menua mengakibatkan perubahan mekanisme
baroreflex termasuk pengerasan arteri dan pengurangan
respon kardiovaskuar terhadap stimulasi adrenergik. Selain
itu terjadi perubahan miokardium, perubahan afterload, dan
perubahan mekanisme neuro-conduction. Untuk itu perawat
perlu mengerti perubahan tersebut untuk melihat
keabnormalan apa yang mungkin terjadi pada lansia untuk
memberikan intervensi terbaik bagi lansia.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kardiovaskular tinggi terhadap penyakit kardiovaskular dan kematian
1. Faktor yang dapat diubah (Miller, 2012). Hal tersebut dikarenakan merokok
a) Aktivitas fisik memiliki kandungan zat berbahaya seperti nikotin.
Aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor Nikotin dapat memberikan efek meningkatkan beban
gaya hidup yang dapat meningkatkan risiko penyakit kerja jantung (Tabloski, 2014). Selain itu, merokok juga
kardiovaskular dan juga menurunkan fungsi jantung memicu dan mempercepat proses penimbunan plak
pada lansia. Level aktivitas fisik yang kurang dari 30 (aterosklerosis), meningkatkan tekanan darah sistolik,
menit per 5 hari, meningkatkan risiko penyakit peningkatan kadar LDL tetapi menurunkan kadar HDL
kardiovaskular pada lansia (Miller, 2012). Aktivitas (Miller, 2012). Peningkatan kadar LDL dalam darah
fisik dapat membantu lansia untuk beradaptasi terhadap berpotensi untuk mengendap di dinding pembuluh darah
perubahan anatomis seperti penebalan miokardium yang dan berakibat pada penimbunan plak atau aterosklerosis.
dapat menurunkan fungsi jantung dalam memompa Penimbunan plak tersebut akan menghambat
darah. Semakin baik aktivitas fisik maka risiko penyakit transportasi darah sehingga jantung akan meningkatkan
kardiovaskular pada lansia semakin menurun. kerjanya dalam memompa. Peningkatan kerja jantung
b) Gaya hidup menjadi risiko jantung mengalami kegagalan atau gagal
Gaya hidup atau pola kebiasaan lain yang dapat jantung (Tabloski, 2014).
mempengaruhi kondisi jantung yaitu kebiasaan c) Pola makan
merokok. Perokok aktif maupun pasif memiliki risiko Pola makan yang tidak sehat merupakan faktor
lain yang dapat memicu terjadinya berbagai gangguan
sistem kardiovaskular. Konsumsi makanan tinggi garam
dapat memicu aktivasi Renin-Angiotensin-Aldosteron- 2003 dalam Rohmawati, 2015). Penelitian tersebut
System yang meningkatkan absoprsi air di ginjal menyebutkan bahwa pola makan lansia dipengaruhi
sehingga volume dan tekanan darah meningkat sehingga tingkat kecemasan atau stres dan pola makan lansia
menimbulkan hipertensi (White, Duncan, Baumle, perempuan dan laki-laki dalam keadaan stres memiliki
2013). Selain itu, makanan yang berlemak tinggi perbedaan. Lansia wanita dengan tingkat kecemasan
memicu timbulnya plak pada pembuluh darah tinggi menyebabkan konsumsi gula dan lemak
(aterosklerosis). Plak tersebut dapat mengganggu aliran meningkat. Konsumsi gula berlebih mengakibatkan
darah sehingga nutrien dan oksigen dalam darah tidak hiperglikemia (≥100 mg/dl) dan darah menjadi lebih
dapat diedarkan. Plak yang menyumbat arteri koroner kental sehingga memunculkan masalah hipertensi atau
jantung menyebabkan penyakit jantung koroner (Miller, gangguan transportasi darah (Cabrera, Andrade, &
2012). Mesas, 2012). Konsumsi kalori dan lemak yang berlebih
d) Kondisi psikososial secara terus menerus memiliki kemungkinan lebih
Kondisi psikososial yang sering terjadi pada tinggi untuk mengalami gizi lebih atau obesitas yang
lansia yaitu stres. Stres pada lansia umumnya terjadi merupakan salah satu penyebab kondisi patologis pada
akibat kondisi penyakit kronik tertentu, penurunan jantung (Lind, Sundstrom, Arnlov, & Lampa, 2018).
fungsi tubuh, merasa kurang atau tidak dibutuhkan lagi, 1. Faktor yang tidak dapat diubah
dan penurunan pendapatan (Rohmawati, Asdie, & a) Usia
Susetyowati, 2015). Penelitian yang dilakukan di Usia yang semakin bertambah akan berdampak pada
Indonesia dan London memiliki kesamaan hasil yaitu bertambah tua pula kondisi jantung dan pembuluh
stres lebih banyak terjadi pada lansia wanita (Catwright, darah. Jantung akan mengalami hipertrofi sehingga
jantung menjadi cepat lelah. Semakin usia tua maka koroner mempunyai riwayat keluarga terkena penyakit
semakin besar timbulnya plak yang menempel di jantung atau hipertensi. Selain itu, risiko terkena
dinding dan mengganggu aliran darah. Penyakit jantung penyakit jantung pada orang dengan riwayat keluarga
koroner terdapat lebih banyak pada usia lebih dari 40 hipertensi dan penyakit jantung, meningkat 3,8 kali
tahun (Ghani, Susilawati, & Novriani, 2016). dibandingkan dengan orang yang tidak ada riwayat
b) Jenis kelamin keluarga.
Menurut penelitian, perempuan cenderung lebih banyak
terkena hipertensi pada usia lanjut daripada laki-laki.
Hal ini disebabkan karena perbedaan hormon (Touhy &
Jettr, 2014). Sebelum menopause kemungkinan terkena
penyakit jantung pada perempuan lebih kecil dibanding
laki-laki. Penyebabnya yaitu karena meningkatnya usia
dan menurunnya estrogen. Fakta American Heart
Association mengatakan lebih dari sepertiga perempuan
dewasa mengalami salah satu penyakit kardiovaskular
terutama penyakit jantung koroner (AHA, 2010).
c) Keturunan
Keturunan memiliki peran penting dalam kondisi
kardiovaskular. Penelitian dari Zahrawardani (2013)
menyimpulkan bahwa penderita penyakit jantung
Gangguan Kardiovaskuler
Pengkajian Sistem Kardiovaskuler pada Lansia midklavikula), lakukan dengan posisi pasien semi
Terdapat lima aspek yang perlu diperhatikan (termasuk
fowler. Nilai perabaan impuls apikal normalnya 1-
anamnesa, inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi) saat
2 cm (satu jari), jika lebih dapat diindikasikan
mengkaji sistem kardiovaskuler pada lansia (Miller, 2012),
perbesaran jantung. Adanya perabaan thrill juga
yaitu:
mengindikasikan adanya gangguan penutupan
1. Menilai fungsi kardiovaskuler dasar (baseline)
katup jantung atau atrial septal defect. Lakukan
Dalam melakukan assessment ini, penilaian yang
juga palpasi pada lengan dan kaki untuk menilai
dilakukan berupa:
suhu, turgor kulit, dan edema.
Inspeksi. Inspeksi dimulai saat pertama kali
Perkusi. Perkusi berguna untuk menemukan batas
bertemu pasien. Amati adanya sianosis jari tubuh
jantung. Normal batas atas jantung, yaitu ruang
dan kepucatan selaput lendir serta edema. Amati
interkostal (ICS) II di linea parasternalis kiri (kiri
retraksi, denyut nadi, dan simetri gerakan pada
atas) dan ruang interkostal (ICS) II di linea
saat pasien duduk dan berbaring. Selain itu, amati
parasternalis kanan (kanan atas). Lalu, pada batas
juga nadi karotis dan vena jugularis di leher.
bawah jantung berada di ICS V ke medial dari
Posisikan pasien semi fowler (30-45 derajat) dan
linea midklavikula sinistial (kiri bawah) dan di
miringkan kepala pasien berlawanan arah dari
sekitar ICS III-IV linea parasternalis kanan (kanan
perawat. Ukur tinggi vena jugularis dari sternum.
bawah). Pada batas kanan jantung berada di sekitar
Normalnya tidak lebih dari 4 cm (Fritz &
ICS III-IV linea parasternalis kanan (bawah) dan
McKenzie, 2015).
ICS II linea parasternalis kanan (atas). Pada batas
Palpasi. Palpasi dilakukan diatas prekordium
kiri jantung, berada pada perubahan antara bunyi
untuk menemukan impuls apikal (di sela iga ke 5
sonor dari paru-paru ke redup. Pada lansia, perpanjangan interval P-R saat EKG merupakan
merupakan hal yang normal jika sulit menentukan hal yang normal pada lansia (Miller, 2012).
perbatasan jantung (Miller, 2012). 2. Menilai tekanan darah
Auskultasi. Auskultasi dilakukan untuk Dalam menilai tekanan darah pada lansia mungkin
mendengar bunyi vibrasi jantung. Suara normal akan lebih sulit dilakukan. Pada lansia, tekanan darah
jantung adalah S1 dan S2 (lubb-dubb). Auskultasi dapat lebih mudah berubah karena faktor perubahan
dilakukan di empat area, yaitu area aorta (ICS 2 gerakan (Miller, 2012). Temuan normal pada tekanan
kanan samping sternum), area pulmonal (ICS 2 darah adalah tekanan darah sistolik kurang dari 120
kiri samping sternum), area trikuspidal (ICS 3, 4, mmHg dan tekanan darah diastolik kurang dari 80
dan 5 kiri di dekat sternum), dan area mitral (pada mmHg (Miller, 2012).
impuls apikal/apeks, sekitar ICS 4-5 3. Mengidentifikasi risiko penyakit kardiovaskuler
midklavikula). Dengarkan suara tambahan juga, Pada assessment ini, perawat lebih menekankan pada
yaitu S3 (gallop ventrikel, lubb-dubb-dee), S4 pengidentifikasian risiko yang dapat dimodifikasi,
(gallop atrium, dee-lubb-dubb), dan murmur seperti merokok, aktivitas, dan obesitas. Untuk
(bunyi desiran pada awal, pertengahan, atau akhir mengidentifikasi faktor risiko penyakit kardiovaskuler
fase sistolik atau diastolik). Pada lansia, perawat dapat melakukan anamnesa seperti apakah
merupakan hal yang normal jika terdengar suara pernah memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya
murmur ejeksi sistolik pendek dan S4 serta suara dan apakah ada riwayat merokok, selain itu menghitung
jantung berkurang atau terdengar jauh (Miller, BMI klien juga dapat menjadi pertimbangan dalam
2012). Selain itu, perubahan gelombang ST-T dan menilai faktor risiko (Miller, 2012).
4. Menilai tanda dan gejala penyakit jantung 0%-5% dimana jika angkanya meningkat dapat menunjukkan
Untuk menilai tanda dan gejala penyakit jantung pada adanya kerusakan pada otot jantung, begitu pula dengan kadar
lansia sulit dilakukan karena sering berbeda dengan troponin I dengan nilai normal 0-2 ng/mL yang jika meningkat
manifestasi yang diharapkan. Misalnya pada penyakit menunjukkan adanya kerusakan jantung (Tabloski, 2014).
angina dan infark miokard sering timbul manifestasi Untuk pemeriksaan lab selengkapnya dapat dilihat pada
halus/diam pada lansia atau disebut juga presentasi lampiran 1.1.
atipikal, tidak ada nyeri dada (Miller, 2012; Fritz & 2.4.1 Pengkajian terkait Gangguan Patologis pada Lansia
McKenzie, 2015). 1. Hipertensi dan Hipotensi Ortotastik
5. Menilai pengetahuan lansia mengenai penyakit Anamnesa (Black & Hawks, 2014)
jantung Riwayat kesehatan: riwayat
Pengkajian ini dilakukan untuk melihat apakah lansia hipertensi/hipotensi atau penyakit sirkulasi
mengetahui tanda-tanda peringatan (warning signs) dari lainnya, riwayat keluarga, & riwayat merokok;
penyakit jantung sehingga ketika muncul tanda dan gaya hidup; riwayat penggunaan obat; keluhan
gejala tersebut lansia dapat segera meminta pertolongan yang dirasakan saat ini (perawat dapat
(Miller, 2012). menanyakan pertanyaan tertutup seperti apakah
Selain pengkajian diatas, perawat dapat melakukan tes mengalami pusing, dll); dan mengkaji
laboratorium untuk mendukung pengkajian yang dilakukan. pengetahuan klien terkait keluhan yang dialami.
Beberapa tes laboratorium yang dilakukan dapat berupa
Pengkajian Fisik
indikator spesifik seperti CK-MB dan kadar troponin (Tabloski,
Melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
2014). Nilai normal serum enzim CK-MB pada lansia adalah
auskultasi yang sudah dijelaskan sebelumnya;
dan mengukur tekanan darah (normal: 120 riwayat merokok; gaya hidup; riwayat
mmHg/80 mmHg (Miller, 2012)), suhu, RR, penggunaan obat; keluhan yang dirasakan saat
denyut nadi, saturasi oksigen, dan nyeri. ini (perawat dapat menanyakan pertanyaan
Pemeriksaan Lab (Smeltzer, Bare, Hinkle, & tertutup seperti apakah mengalami kelumpuhan
Cheever, 2010) pada bagian tertentu, dll); dan mengkaji
Tes darah lengkap (kolesterol, LDL, HDL, pengetahuan klien terkait keluhan yang dialami.
potassium, dan sodium) (lihat lampiran 1.1 Pengkajian Fisik
untuk mengetahui nilai normal pada lansia); tes Mengukur tanda-tanda vital; dan melakukan
glukosa darah, dimana orang dengan kadar inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi yang
glukosa tinggi rentan akan mengalami kerusakan sudah dijelaskan sebelumnya. Untuk inspeksi
pembuluh darah. Lihat lampiran 1.2; tes BUN dapat dilihat tingkat kesadaran pasien, gangguan
dan kreatinin. Lihat lampiran 1.1; untuk komunikasi, dan perubahan sensorik-motorik.
hipertensi dapat juga di tes urinalisis, karena
Pemeriksaan Lab (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
hipertensi yang dialami klien dapat berkembang Cheever, 2010)
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal atau Tes darah lengkap (kolesterol, LDL, HDL,
saluran kemih. potassium, dan sodium) (lihat lampiran 1.1
2. Stroke untuk mengetahui nilai normal pada lansia); dan
Anamnesa (Black & Hawks, 2014) tes glukosa darah, dimana orang dengan kadar
Riwayat kesehatan: riwayat hipertensi atau glukosa tinggi rentan akan mengalami kerusakan
penyakit sirkulasi lainnya, riwayat keluarga, & pembuluh darah. Lihat lampiran 1.
Pemeriksaan Diagnostik Tes darah lengkap (kolesterol, LDL,
CT Scan/MRI= untuk melihat kondisi HDL, potassium, dan sodium) (lihat lampiran
cerebral, melihat apakah ada lesi/edema pada 1.1 untuk mengetahui nilai normal pada lansia)
cerebral. 4. CHF (Chronic Heart Failure), Angina, dan Infark
3. Hiperlipidemia Miokard
Anamnesa (Black & Hawks, 2014) Anamnesa (Black & Hawks, 2014)
Riwayat kesehatan (riwayat hiperlipidemia Riwayat kesehatan: riwayat gagal jantung,
atau gangguan metabolism lipoprotrotein); gaya hipertensi, atau penyakit sirkulasi lainnya,
hidup; riwayat penggunaan obat; keluhan yang riwayat keluarga, & riwayat merokok; gaya
dirasakan saat ini (perawat dapat menanyakan hidup; riwayat penggunaan obat; keluhan yang
pertanyaan tertutup seperti apakah nyeri, dll); dirasakan saat ini (perawat dapat menanyakan
dan mengkaji pengetahuan klien terkait keluhan pertanyaan tertutup seperti apakah mengalami
yang dialami. nyeri dada, dll); mengkaji pengetahuan klien
Pengkajian Fisik terkait keluhan yang dialami; dan mengkaji
Mengukur tanda-tanda vital; serta tingkat nyeri pasien. (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan Cheever, 2010).
auskultasi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pengkajian Fisik
Pemeriksaan Lab (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Mengukur tanda-tanda vital; serta
Cheever, 2010) melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Inspeksi: ditemukan edema, distensi vena 5. Penyakit Katup Jantung
jugular. Palpasi: pembesaran jantung. Perkusi: Anamnesa (Black & Hawks, 2014)
dullness karena pembesaran jantung. Auskultasi: Riwayat kesehatan: riwayat kalsifikasi
suara tambahan jantung S3 atau S4 atau murmur. jantung atau penyakit sirkulasi lainnya, riwayat
Pemeriksaan Lab (Smeltzer, Bare, Hinkle, & keluarga, & riwayat merokok; gaya hidup;
Cheever, 2010) riwayat penggunaan obat; keluhan yang
Tes darah lengkap (kolesterol, LDL, HDL, dirasakan saat ini (perawat dapat menanyakan
potassium, dan sodium) (lihat lampiran 1.1 pertanyaan tertutup seperti apakah mengalami
untuk mengetahui nilai normal pada lansia); tes sesak atau nyeri dada, dll); mengkaji
glukosa darah, dimana orang dengan kadar pengetahuan klien terkait keluhan yang dialami;
glukosa tinggi rentan akan mengalami kerusakan dan mengkaji tingkat nyeri pasien. (Smeltzer,
pembuluh darah. Lihat lampiran 1.2; tes BUN Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
dan kreatinin. Lihat lampiran 1.1.; dan tes serum Pengkajian Fisik
enzim dan protein miokardial. Lihat lampiran Mengukur tanda-tanda vital; serta
1.1. melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
Pemeriksaan Diagnostik auskultasi yang sudah dijelaskan sebelumnya.
EKG= untuk mengetahui denyut dan irama Inspeksi: sesak, mitral facies (pipi sianosis), &
jantung; dan X-Ray= untuk melihat adanya clubbing finger. Palpasi: PMI pada interkosta 5
hipertrofi serta pembesaran atrium kiri dan midklavikula yang menyentak (tapping).
ventrikel kanan
Perkusi: terdengar dullness akibat pembesaran Riwayat kesehatan: riwayat aritmia atau
jantung. Auskultasi: murmur diastolik. penyakit sirkulasi lainnya, riwayat keluarga, &
Pemeriksaan Lab (Smeltzer, Bare, Hinkle, & riwayat merokok; gaya hidup; riwayat
Cheever, 2010) penggunaan obat; keluhan yang dirasakan saat
Tes darah lengkap (kolesterol, LDL, HDL, ini (perawat dapat menanyakan pertanyaan
potassium, dan sodium) (lihat lampiran 1.1 tertutup seperti apakah mengalami bradikardi,
untuk mengetahui nilai normal pada lansia); tes dll); dan mengkaji pengetahuan klien terkait
glukosa darah, dimana orang dengan kadar keluhan yang dialami.
glukosa tinggi rentan akan mengalami kerusakan Pengkajian Fisik
pembuluh darah. Lihat lampiran 1.2.; tes BUN Mengukur tanda-tanda vital; serta
dan kreatinin. Lihat lampiran 1.1.; dan tes serum melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
enzim dan protein miokardial. Lihat lampiran auskultasi yang sudah dijelaskan sebelumnya.
1.1. Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan Diagnostik Tes serum enzim dan protein miokardial. Lihat
EKG= untuk mengetahui denyut dan irama lampiran 1.1.
jantung; dan X-Ray= untuk melihat adanya Pemeriksaan Diagnostik
hipertrofi jantung akibat gangguan katup EKG= untuk mengetahui denyut dan
jantung. irama jantung; dan X-Ray= untuk melihat
6. Aritmia adanya hipertrofi jantung.
Anamnesa (Black & Hawks, 2014) 7. Penyakit Vaskuler Perifer
Anamnesa (Black & Hawks, 2014) untuk mengetahui nilai normal pada lansia); tes
Riwayat kesehatan: riwayat arteriosklerosis, glukosa darah, dimana orang dengan kadar
tromboplebitis, atau penyakit sirkulasi lainnya, glukosa tinggi rentan akan mengalami kerusakan
riwayat keluarga, & riwayat merokok; gaya pembuluh darah. Lihat lampiran 1.2.; dan tes
hidup; riwayat penggunaan obat; keluhan yang BUN dan kreatinin. Lihat lampiran 1.1.
dirasakan saat ini (perawat dapat menanyakan
pertanyaan tertutup seperti apakah mengalami
nyeri pada ekstrimitas, dll); mengkaji
pengetahuan klien terkait keluhan yang dialami;
dan kaji tingkat nyeri.
Pengkajian Fisik
Mengukur tanda-tanda vital; melakukan
Lampiran 1.2
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi yang
sudah dijelaskan sebelumnya. Inspeksi: kulit
pada pergelangan kaki terlihat berubah warna
(Tabloski, 2014).
Pemeriksaan Lab (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
Cheever, 2010)
Tes darah lengkap (kolesterol, LDL, HDL,
potassium, dan sodium) (lihat lampiran 1.1
Lampiran 1.1
1. Edukator
Perawat ini memiliki tanggung jawab untuk memberikan
pendidikan untuk populasi lansia tentang cara-cara mengurangi
resiko gangguan penyakit kardiovaskuler seperti penyakit
jantung koroner, kanker, dan stroke yang merupakan penyebab
utama kematian untuk kelompok lansia. Salah satu caranya
dengan memberikan intervensi keperawatan berupa
mengajarkan tentang diet, olahraga, berat badan optimal,
ajarkan tentang penghentian merokok bagi lansia perokok,
mengajarkan tentang hipertensi dan dislipidemia sebagai salah
satu penyakit kardiovaskular yang paling sering terjadi pada
lansia, dan mengajarkan tentang tanda dan gejala penyakit
jantung (Miller, 2012). Hasil yang diharapkan dari pemberian
asuhan tersebut diantaranya meningkatkan fungsi
kardiovaskular, pencegahan penyakit kardiovaskular, tekanan semakin menurun. Lansia sangat membutuhkan support dalam
darah normal dan lipid serum dalam batas yang normal, dan janga waktu yang panjang untuk menunjang kesehatannya
meningkatkan umur panjang dan kualitas hidup (Miller, 2012). (Tabloski, 2014).