Anda di halaman 1dari 252

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/305809658

Meteorologi Laut Indonesia

Book · June 2008

CITATIONS READS

7 25,381

1 author:

Edvin Aldrian
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
103 PUBLICATIONS   1,899 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

kampret belang View project

PhD Thesis Project View project

All content following this page was uploaded by Edvin Aldrian on 05 November 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Dr. Edvin Aldrian

Badan Meteorologi dan Geofisika


Edvin Aldrian
Meteorologi Laut Indonesia / Edvin Aldrian - Jakarta | Badan Meteorologi dan
Geofisika, 2008'
vii+ 243 hlm; 21 cm
ISBN: 978-979-1241-19-9
I. Indonesia -- Iklim. I. Judul
_______________________________________________________________ 551.6

Penulis : Edvin Aldrian


Penerbit : Badan Meteorologi dan Geofisika
Jl. Angkasa I No 2 Kemayoran, Jakarta, Indonesia 10720
Telp. (+6221)4246321; Facs.(+6221)4246703

(C) Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008


KATA PENGANTAR

Benua maritim Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang


sangat unik dan tidak memiliki kesetaraan dengan kawasan lain di dunia.
Selain berada di kawasan tropis, diapit oleh dua samudera dan dua benua
juga merupakan pusat dari aktivitas sirkulasi atmosfir serta sirkulasi laut
global. Lebih dari dua pertiga benua maritim adalah lautan yang sangat
mempengaruhi iklim dan notabene mempengaruhi pola aktivitas
kehidupan manusianya. Tidak hanya aktivitas yang langsung
bersinggungan dengan laut, tetapi juga kehidupan di daratan. Akibat
ribuan pulau kecil yang tersebar serta pipihnya bentuk geografis hampir
semua pulau besar maka iklim daratan pun bersifat iklim laut atau pesisir.
Ditengahnya terdapat pola pegunungan dan aktivitas geologis yang
memberikan warna tersendiri bagi iklim lokal yang sangat heterogen
tetapi memiliki ciri khas yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas laut
lokal maupun regional.

Dalam hal demikian hingga saat ini belum ada buku yang
mengisi hubungan antara laut dan iklim benua maritim serta pengaruh
balik antara iklim dan lautan. Dikotomi ilmu meteorologi dan
oseanografi seringkali menjadi momok tersendiri dalam memadukan
kedua ilmu tersebut. Padahal hampir semua bukti mengarah bahwa
khusus untuk benua maritim, interaksi antara laut dan atmosfir adalah
nyata. Kita sebaiknya mempelajari serta mengambil manfaat akan ke-
khas-an yang dimilikinya.

Hasil penelitian pemodelan regional wilayah benua maritim


menunjukkan peningkatan kinerja model setelah model iklim atmosfir
dipadukan dengan dinamika di laut dengan model iklim laut dinamis.

i
Padahal teknik pemodelan regional seperti ini masih belum umum. Bukti
tersebut mengarahkan pada kepentingan dari isi buku ini dalam
memandang persoalan iklim benua maritim agar mengikutkan
pemahaman laut lokal dan sekitarnya.

Pada kasus lain saat ini kita tidak menyangkal kuatnya pengaruh
dinamika ENSO seperti El Niño dan La Niña terhadap iklim benua
maritim dan menyangkut hampir semua aspek kehidupan dari perikanan,
pertanian, kebakaran hutan, sumber daya air dan energi dan lain
sebagainya. Diperlukan pengetahuan yang memadai untuk dapat melihat
penyebab dampak yang ditimbulkan serta membuat proyeksi kedepan.

Saat ini dunia sedang menghadapi ancaman yang sangat serius


akan dampak pemanasan global dimana lautan memainkan peranan
penting. Pengaruh terhadap perubahan iklim lokal yang ditimbulkan
tidak lain juga berasal dari peran lautan lokal dan sekitarnya.
Bagaimanakah peran laut di benua maritim serta semua pemain iklim
lokal serta bagaimana pola iklim di laut dan atmosfir berubah
mengikutinya serta bagaimana proyeksi kemuka.

Buku ini diharapkan dapat meletakkan dasar pemahaman atas


beberapa masalah besar diatas serta memberikan pengetahuan pada level
akademis setingkat universitas maupun pasca sarjana. Pemahaman
proses secara filosofis lebih diutamakan dibandingkan pemahaman
teoritis berdasarkan rumus baku. Hal ini dikarenakan dalam ilmu
kebumian, pendekatan teoritis dibuat pada wacana dunia yang sangat
ideal dan iklim lebih bersifat chaos dimana ketidak beraturan berperan.

Jakarta, Agustus 2008

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT
INDONESIA 1

BAB 2 KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI 11


2. 1. Radiasi Matahari 11
2. 2. Tekanan Udara dan Angin 17

BAB 3 HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFER 21


3. 1. Kopling Atmosfer dan Laut 21
3. 2. Sifat Fisis Air 22
3. 3. Implikasi Sifat Fisis Air Terhadap Cuaca dan
Iklim 23
3. 4. Peran Angin Terhadap Arus Laut 25
3. 5. Gaya Coriolis 26
3. 6. Pergerakan Ekman 27
3. 7. Salinitas, Curah Hujan, dan Profil Temperatur
Laut 29
3. 8. Stabilitas Isotherm Laut dan Atmosfer 33
3. 9. Gelombang Gravitasi di Atmosfer dan di Lautan 36
3. 10. Aliran Perputaran Laut Lintas Samudra (the
Great Conveyor Belt) dan Arlindo 37

BAB 4 IKLIM INDONESIA 43


4. 1. Sifat Iklim Daerah Tropis 43
4. 2. Pembagian Iklim Indonesia 45

iii
4. 3. Komponen Iklim Indonesia 52
4. 4. Monsun dan ITCZ 53
4. 5. ENSO 55
4. 6. Seruak Dingin (Cold Surge) 60
4. 7. Diurnal, MJO, Interannual 62

BAB 5 PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL 65


5. 1. Bagaimana Interaksi Terjadi 65
5. 2. Parameterisasi Proses Interaksi 68
5. 3. Gelombang Angin dan Tekanan Permukaan 69
5. 4. Perpindahan Molekul Gas 70
5. 5. Proses di Lapisan Batas 71
5. 6. Observasi Interaksi Laut Atmosfer 71
5. 7. Permasalahan Interaksi Laut dan Atmosfer 74
5. 8. Aplikasi Interaksi Laut Atmosfer 78
5.8.1. Energi Budget Bumi 78
5.8.2. Siklon Tropis 79
5.8.3. Pemanasan Global dan Pengurangan Emisi
Karbon 81
5. 9. Penelitian Interaksi Laut Atmosfer Memakai
Model 82

BAB 6 PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL


6. 1. Telekoneksi Laut dan Atmosfer 87
6. 2. Easterly Waves  MJO di Indonesia 87
6. 3. Hubungan Suhu Muka Laut dan Curah Hujan 88
6. 4. Hadley and Walker Cell 90
6. 5. Enso dan Laut Indonesia 92
6. 6. Indian Dipole dan Iklim Indonesia 96
6. 7. Iklim Laut Regional dan Kebakaran Hutan 100

iv
6. 8. Iklim Laut Regional dengan Pertanian 103
108
BAB 7 METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU-PULAU
KECIL
7. 1. Cakupan Permasalahan 113
7. 2. Proses Pada Lapisan Batas, Laut Pesisir, dan 113
Interaksi Laut Atmosfer
7. 3. Efek Termal 115
7. 4. Efek Orografis 120
7. 5. Interaksi Sistem Skala Regional dengan Pantai 121
7. 6. Teknik Pengukuran dan Observasi 122
7. 7. Masalah Terumbu Karang 123
7. 8. Proses Konveksi Pada Garis Pantai dan Pulau- 124
Pulau Kecil
7. 9. Upwelling dan Downwelling di Garis Pantai 128
7. 10. Pantai Tempat Bercampurnya Dua Dunia 131
7. 11. Garam dan Aerosol di Pantai 136
7. 12. Angin Darat dan Angin Laut 138
7. 13. Gelombang Pasang 140
7. 14. Pengelolaan Mata Air Pesisir dan Pulau-Pulau 144
Kecil
144
BAB 8 PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP
PERIKANAN
8. 1. Modus Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap 149
Perikanan
8. 2. Iklim Indonesia dan Perikanan 150
8. 3. Pengaruh Musim Terhadap Tangkapan Ikan di 154
Sekitar Jawa
8. 4. Enso dan Ikan Tangkap 156

v
8. 5. Pemanasan Global dan Perikanan Tangkap 164
166
BAB 9 BENTUK BENTUK CUACA EKSTREM
9. 1. Bentuk Bentuk Cuaca Ekstrem di Indonesia 171
9. 2. Siklon Tropis 171
9. 3. Siklon Tropis di Sekitar Benua Maritim 172
9. 4. Tsunami 176
9. 5. Informasi Cuaca Laut Ekstrem Bagi Pesisir, 178
Perikanan, Asuransi, Pelayaran, dan Pariwisata
9. 6. Observasi Satelit 180
182
BAB 10 PEMANASAN GLOBAL
10. 1. Bagaimana Proses Pemanasan Global Terjadi 189
10. 2. Beberapa Dampak Langsung Pemanasan Global 189
10. 3. Bagaimana Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap 191
Daerah Tropis
10. 4. Catatan Historis Proses Pemanasan Global 193
10. 5. Faktor yang Menghambat Pemanasan Global 195
10. 6. Efek Pemanasan Global Terhadap Ekosistem 201
Laut
10. 7. Efek Pemanasan Global Terhadap Populasi 202
Pantai
10. 8. Pemanasan Global dengan Cuaca Ekstrem dan 207
Enso
10. 9. Dampak Sosioekonomi dari Pemanasan Global 209
10. 10. Prospek Iklim Indonesia Kedepan 212
213
BAB 11 MODEL IKLIM
11. 1. Dunia Model 219
11. 2. Komponen Model Iklim 219
11. 3. Model Iklim Atmosfer 222

vi
11. 4. Model Iklim Laut 227
11. 5. Model Iklim Lainnya 229
11. 6. Prospek dan Masa Depan Model Iklim untuk 232
Indonesia
234
DAFTAR PUSTAKA
237
BIODATA PENULIS
243

vii
BAB 1

PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT


INDONESIA

Cuaca adalah kondisi terkini dari atmosfer pada suatu lokasi.


Atmosfer selalu bergerak dalam skala waktu yang bervariasi
berdasarkan fenomena seperti hembusan angin lokal hingga sirkulasi
angin global yang mengelilingi bumi. Energi yang menjaga pergerakan
ini didapat dari energi matahari melalui radiasi yang diterima oleh
permukaan bumi. Sekitar 71 % dari permukaan bumi ditutupi oleh muka
laut sehingga tidak dapat dielakkan bahwa lautan sangat mempengaruhi
pergerakan dan sirkulasi atmosfer serta cuaca di daerah manapun di
muka bumi. Pada bagian lain pergerakan di atmosfer dan kandungan
radiasi yang diterima oleh permukaan laut merupakan sumber utama
pergerakan arus laut di permukaan yang mengatur dinamika fisis di
lautan. Dalam hal ini hubungan antara laut dan atmosfer bersifat
dinamis, saling mempengaruhi dan bergantung pada kondisi lokal dan
faktor musiman yang mempengaruhinya.

Tujuan dari buku ini adalah memberikan pemahaman atas:


 proses meteorologi dan iklim yang mempengaruhi dinamika di laut
 proses di laut yang mempengaruhi dinamika atmosfer

Kedua tujuan di atas merupakan masalah interaksi laut dan


atmosfer yang merupakan bagian dari lingkup proses sistem iklim bumi
yang terpusat pada siklus air dalam fase yang berbeda yaitu cair, gas dan

1
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

padat (Gambar 1.1). Permasalahan interaksi laut dan atmosfer


mencakup permasalahan mikro fisis dekat permukaan laut dimana
terjadi perpindahan aerosol dari air laut ke atmosfer dan perubahan fluks
atmosfer dan energi menjadi dinamika laut. Dalam skala makro
peristiwa interaksi laut dan atmosfer juga terlihat dari terjadinya
interaksi iklim Indonesia dengan peristiwa ENSO di Samudra Pasifik,
dipole mode di Samudra Indonesia dan arus lintas Indonesia. Salah satu
contoh paling nyata dan penting bagi Indonesia adalah bagaimana
peristiwa cuaca terpengaruh oleh panas tidaknya suhu muka laut di
sekitar pulau-pulau besar nusantara. Dalam skala kepentingan ekonomi
praktis proses interaksi laut dan atmosfer yang paling diminati adalah
yang menyangkut dinamika perikanan yang terpengaruh iklim dan
bagaimana kita memanfaatkan pengaruh tersebut. Dinamika laut dan
atmosfer juga membahas interaksi di daerah pesisir yang berhubungan
dengan dinamika sekitar pantai dan juga interaksi di laut dalam.
Dinamika laut dan atmosfer dalam berhubungan dengan fenomena skala
besar dimulai dengan pembentukan awan potensial, siklon hingga gejala
global ENSO dan arus lintas samudra (conveyor belt).
Untuk dapat memahami hal-hal tersebut diperlukan pengertian
dasar dari ilmu meteorologi dan dinamikanya serta bagaimana aplikasi
dinamika tersebut pada media air. Pada dasarnya semua pemahaman
dalam ilmu meteorologi atmosfer dapat diaplikasikan dalam dinamika
air laut. Perbedaan utama tampak dari jenis fase air yang merupakan
media bekerjanya proses fisis tersebut. Dinamika di laut berhubungan
dengan media air pada fase cair, sedangkan dinamika di atmosfer
berhubungan dengan air pada fase gas. Peristiwa angin barotropik dan
baroklinik memiliki persamaan dengan arus laut barotropik dan
baroklinik. Rumus dasar timbulnya angin dari perbedaan tekanan juga
memiliki persamaan di laut dalam dengan perbedaan tinggi muka laut

2
BAB 1 - PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA

dan densitas laut berdasarkan tingkat salinitasnya. Di balik persamaan


tersebut antara laut dan atmosfer memiliki perbedaan mendasar seperti
kapasitas memori laut yang besar sehingga perubahan di laut memiliki
skala bulanan (di permukaan) hingga ribuan tahun (di dasar laut dalam).
Sedangkan atmosfer memiliki kapasitas memori yang relatif kecil dalam
skala perubahan jam-jaman sehingga perubahan di atmosfer sangat
dinamis dalam skala hariannya. Contoh nyata adalah siklus
pertumbuhan dan matinya awan yang terjadi hanya dalam skala jam-
jaman.
Yang menjadi pertanyaan dasar sekarang adalah kepentingan
ilmu meteorologi laut. Indonesia sebagai negara kepulauan tropis
terbesar di muka bumi dengan garis pantai terpanjang. Rasio wilayah
laut terhadap darat di muka bumi rata rata adalah 71.1 % dibanding 28.9
% sedangkan untuk wilayah teritorial Indonesia adalah sekitar 62 %
dibanding 38 %. Dengan perbandingan sebesar itu diyakini bahwa iklim
Indonesia sangat dipengaruhi oleh laut-laut di dalam kepulauan
Indonesia dan di sekitar wilayah geopolitisnya. Pada kenyataannya iklim
di wilayah Jawa dan pulau-pulau besar lainnya masih mewakili iklim
maritim dan bukan iklim benua dikarenakan bentuk pulau yang pipih.
Salah satu aplikasi sifat iklim akibat komposisi permukaan tersebut
adalah kuatnya prediksi iklim kita pada waktu bulanan atau musiman
dibandingkan dengan prediksi pada skala harian. Jika kita mengingat
faktor besarnya daya memori laut seperti disebutkan di atas maka hal ini
akan mudah dimengerti. Dari alenia ini dapat disimpulkan bahwa
dibutuhkan pengertian dasar dari sistem iklim Indonesia agar dapat
memahami bagaimana proses interaksi laut atmosfer terjadi di
Indonesia.
Kenyataannya lebih dari separuh umat manusia tinggal di daerah
pesisir atau wilayah yang masih diklasifikasikan dekat dengan pesisir.

3
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Hal ini berdasarkan definisi pesisir (coastal) yaitu wilayah sekitar pantai
hingga daratan sejauh 100 km dari garis pantai. Dengan definisi
demikian, hampir seluruh daratan Indonesia adalah termasuk wilayah
pesisir dan iklim pesisirlah yang sangat mempengaruhi.

Dari pemahaman iklim Indonesia dapat kita lihat proses interaksi


laut atmosfer yang spesifik terjadi di Indonesia. Proses interaksi laut
atmosfer dalam ilmu kebumian merupakan hal terpenting yang sangat
mempengaruhi pola kehidupan manusia terutama di daerah pesisir. Ilmu
meteorologi di Indonesia merupakan ilmu dasar yang kurang diminati,
sehingga perkembangannya dibandingkan ilmu kebumian lainnya
seperti geofisika, geologi dan kelautan sangat jauh tertinggal.
Pemahaman atas proses fisis kebumian atmosfer Indonesia masih
terbilang jauh tertinggal dibandingkan bidang ilmu kebumian lainnya.
Kurangnya minat mempelajari meteorologi karena sering dihubungkan
dengan salah satu pekerjaan meteorologi, untuk meramal cuaca atau
iklim. Padahal pengkajian ilmu meteorologi cukup luas meliputi
berbagai aspek.

Di negara maju yang berlintang tinggi dengan empat musim,


masalah kebumian lain selalu dihubungkan dengan perubahan fisis
meteorologi yang terjadi. Karena pada dasarnya hampir semua aspek
kehidupan manusia dipengaruhi oleh keempat musim tersebut dan
variasinya. Variasi iklim utama di Indonesia adalah faktor musiman yang
dikenal dengan istilah monsoon. Faktor musiman ini tanpa disadari
sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Indonesia. Perhatikan
bagaimana pola bercocok tanam petani dan pola melautnya nelayan
Indonesia. Perhatikan juga bagaimana wabah penyakit yang bersifat
musiman dan banyak pekerjaan yang sifatnya berfluktuatif tergantung
musim yang sedang terjadi. Salah satu indikator terpenting dari sifat

4
BAB 1 - PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA

cuaca dan iklim Indonesia adalah hujan. Di negara lintang tinggi selain
hujan, temperatur juga faktor utama lainnya. Sehingga untuk
mengetahui proses interaksi dari dan terhadap cuaca dapat dilakukan
dengan menghubungkannya dengan indikator cuaca tersebut. Salah satu
hubungan tersebut dapat dicapai dengan menghubungkan variasi suhu
muka laut dan curah hujan lokal, regional ataupun dengan skala global.

Pentingnya interaksi laut dan atmosfer di Indonesia dapat dilihat


paling tidak di wilayah yang paling berperan ekonomis yaitu daerah di
sekitar garis pantai. Untuk lebih mengenal aspek lokal di pesisir maka
diperlukan pemahaman meteorologi pesisir pantai dan peran pulau-
pulau dalam dinamika proses meteorologi lokal. Kepulauan Indonesia
terdiri dari lebih 17.000 pulau yang tersebar di seantero Nusantara.
Sebagian besar pulau-pulau tersebut adalah pulau-pulau kecil yang tidak
dihuni atau tempat bermukimnya warga yang berpopulasi kecil. Selain
itu juga diperlukan pemahaman fungsi meteorologis dari pulau-pulau
kecil tersebut terhadap iklim regional Indonesia karena keberadaan
pulau-pulau tersebut mengatur arus lintas air laut dan atmosfer
disekitarnya. Sebagaimana diulas di atas bahwa daratan memiliki waktu
memori yang kecil sehingga radiasi matahari berpengaruh secara lokal
dalam hitungan jam sehingga variasi dan fluktuasinya lebih besar dari
laut sekitarnya, maka pulau-pulau kecil tersebut berperan sebagai heat
source atau heat engine untuk proses konveksi awan lokal. Proses-proses
kecil ini terjadi di seantero Nusantara dan berperan penting bagi sifat
iklim regional terutama pada musim penghujan.

Keberadaan variasi cuaca dan iklim membawa dampak yang


terkadang cukup serius bagi kehidupan manusia karena terlalu
ekstremnya fluktuasi tersebut. Meskipun demikian karakteristik cuaca
regional juga ditentukan selain faktor orografis, juga letak lintang suatu

5
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

daerah. Beruntunglah bahwa Indonesia berada di daerah khatulistiwa


dimana faktor coriolis muka bumi kecil sehingga meski dengan garis
pantai yang panjang, tidak akan dilalui oleh siklon tropis tetapi masih
menerima dampaknya. Beberapa gejala cuaca ekstrem lainnya yang
dapat terjadi di wilayah Indonesia dan bagaimana dampaknya terhadap
laut dan kehidupan lain seperti turisme dan perikanan juga menjadi topik
penting dalam pembahasan ini. Hal lain yang perlu dibahas adalah
bagaimana peran ilmu pengetahuan dalam mitigasi bencana tersebut
terutama dengan teknologi sensor jarak jauh (remote sensing).

Gambar 1.1. Sistem iklim muka bumi (IPCC 2007)

Perubahan cuaca akibat variasi dinamika atmosfer ekstrem


bersifat sesaat dapat terjadi pada skala harian hingga musiman. Selain itu
ada lagi faktor perubahan laten lainnya yang terjadi pada iklim global
yang sedang dialami bumi ini. Akibat faktor natural dan antropogenis
(hasil perbuatan manusia), cuaca dan iklim berubah secara perlahan dari
kestabilan normal tertentu menuju kestabilan baru yang lebih mendekati

6
BAB 1 - PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA

kondisi ekstrem pada masa lampau. Artinya apabila dahulu kondisi yang
sama berada pada bagian kondisi ekstrem, maka kejadian tersebut akan
lebih sering terjadi sehingga tersebut akan lebih sering terjadi sehingga
merubah rata rata statistik cuaca pada umumnya. Kondisi ini terjadi
secara global meskipun tanda tandanya sangat sukar dideteksi karena
perubahan yang terjadi berlangsung lambat dalam rentang waktu yang
sangat lama.

Gambar 1.2. Energi budget dari atmosfer bumi (IPCC 2007)

Perubahan iklim yang berlangsung lambat dan dalam rentang


waktu yang lama ini dikenal dengan istilah perubahan iklim global atau
global climate change. Perubahan iklim global bertumpu pada
terjadinya perubahan sistem energi budget di atmosfer (Gambar 1.2),
dimana lebih banyak energi radiasi matahari yang terperangkap atau
terserap akibat efek rumah kaca dan memanaskan atmosfer setempat.

7
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Tentu saja dampak dari perubahan iklim global ini juga akan terjadi pada
interaksi laut dan atmosfer di wilayah Indonesia. Namun demikian
bagaimana dampak sebenarnya masih perlu dikaji lebih lanjut lagi. Hal
terpenting untuk diketahui adalah bagaimana mekanisme proses itu
dapat terjadi dan proyeksi kedepan akibat perubahan tersebut. Proyeksi
kedepan akan dapat menentukan strategi sosio-ekonomis masa depan.
Sampai saat ini pemahaman fisis dan biologis atas perubahan global
terhadap iklim regional laut dan atmosfer Indonesia masih sangat
rendah dan merupakan peluang kajian yang sangat menarik.

Kemajuan pesat ilmu pengetahuan di bidang teori, pengamatan


dan komputasi membawa dampak semakin matangnya kemampuan
umat manusia untuk memahami proses alam dengan membuat model
alam tersebut. Model iklim saat ini telah dapat dimasukkan dalam
sebuah komputer pribadi dan dijalankan untuk menghitung secara
komprehensif kondisi alam yang terjadi. Dengan model iklim, kita dapat
mengisi kekosongan titik-titik pengamatan dengan cukup memadai
meskipun dengan tingkat bias asumsi teori yang lumayan besar. Hasil
dari model iklim seperti ini seringkali berhasil memberikan gambaran
skala luas fenomena yang terjadi meski tidak pada skala yang terlalu
detail. Meskipun dengan berbagai pendekatan, tingkat keberhasilan
manusia dalam komputasi iklim masih jauh dari memuaskan, namun
demikian peningkatan pemahaman kita terhadap proses dinamika alam
telah meningkat jauh berdasarkan hasil menjalankan model iklim
tersebut. Hal ini dikarenakan model iklim menyediakan hasil
komprehensif di luar imaginasi manusia sebelumnya dan tidak
terbayangkan oleh teori linier dan observasi pada titik titik tertentu di
muka bumi. Ambisi manusia dalam pengembangan model iklim saat ini
tidak terbatas pada hanya proses fisis tetapi juga proses biologi, kimia
dan geologis. Model iklim telah menjadi suatu tren dimana meteorologi

8
BAB 1 - PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA

menjadi pusatnya. Model iklim telah menjadikan ilmu meteorologi suatu


ilmu dan fenomena favorit dari yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Bagaimanakah aplikasi dan hasil model iklim terhadap kondisi regional
Indonesia dan apa permasalahan serta prospeknya?

Pertanyaan:
1. Manakah diantara pulau-pulau besar di Nusantara yang tidak berlaku
iklim maritim?

2. Dengan sifat iklim yang unik untuk masing-masing wilayah di muka


bumi, pengembangan ilmu meteorologi laut untuk wilayah benua
maritim Indonesia juga bersifat unik. Apakah ada wilayah lain
dengan kondisi meterologi laut serupa dengan wilayah Nusantara?

9
BAB 2

KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI

2. 1. RADIASI MATAHARI

Tidak dapat dibayangkan kehidupan di dunia tanpa matahari.


Bagi mahluk hidup, selain air, maka matahari adalah sumber kehidupan
utama di muka bumi. Matahari adalah sumber energi utama pergerakan
di atmosfir dan di lautan. Untuk pergerakan di lautan, sebagai tambahan
selain radiasi matahari maka perputaran bumi juga membantu timbulnya
aliran arus air laut. Matahari mengatur pergerakan di laut dengan
membuat dinamika di atmosfer dalam membentuk angin. Energi juga
ditransfer dari angin ke lapisan teratas dari laut melalui gaya gesek antara
lautan dan atmosfer di permukaan laut. Matahari juga mengatur
pergerakan di laut dengan membuat variasi suhu dan salinitas di lautan
yang pada akhirnya membedakan densitas masa jenis air laut. Perubahan
pada suhu air laut disebabkan oleh aliran energi panas di batas laut
atmosfer sedangkan perubahan tingkat salinitas diakibatkan oleh
perpindahan air tawar melalui proses hujan dan penguapan. Sedangkan
di daerah kutub ditambah lagi dengan proses mengkristalnya air laut
menjadi es. Keseluruhan proses tersebut berhubungan secara langsung
maupun tidak langsung dengan aktivitas radiasi matahari. Jika
permukaan air laut menjadi lebih padat berat jenisnya daripada lapisan
air di bawahnya, kondisi menjadi tidak stabil dan air dengan berat jenis

11
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

besar akan tenggelam. Pergerakan vertikal, sirkulasi akibat beda berat


jenis akibat proses pendinginan atau perubahan tingkat salinitas dikenal
dengan sirkulasi termohalin atau proses gabungan berat jenis dan
perubahan energi panas. Pergerakan air laut akibat perputaran bumi akan
dibahas pada bab kemudian.

Secara umum jenis energi yang diterima lautan terdiri dari


sumber primer yaitu radiasi dari matahari, radiasi gelombang panjang,
pertukaran fase air ke gas dan sebaliknya (perpindahan energi sensibel),
penguapan dan proses adveksi. Selain sumber primer, laut juga
menerima transfer energi dari sumber sekunder yaitu dari proses
biokimia di lautan, aktivitas hidrotermal, proses dari friksi arus laut dan
dari proses radioaktivitas.

Radiasi matahari terdiri dari gelombang pendek yang tersebar


pada spektrum energi elektromagnetis. Diantara besaran spektrumnya
adalah termasuk sinar gamma, sinar X-ray, sinar ultraviolet, sinar
tampak, sinar infra merah, sinar microwave untuk radar dan radiosonde,
sinar gelombang radio pendek, sinar gelombang radio AM dan sinar
gelombang radio panjang. Semua gelombang elektromagnetis tersebut
berjalan pada kecepatan yang sama yaitu kecepatan cahaya. Saat ini
hampir seluruh aspek kehidupan manusia tidak terlepas dari
pemanfaatan panjang gelombang energi yang disebut di atas. Tidak
semua energi matahari mencakup keseluruhan spektrum energi di atas,
tetapi terbatas pada panjang gelombang sinar, bukan gelombang radio.
Besarnya radiasi matahari yang terpancarkan berhubungan dengan nilai
panjang gelombang pangkat empat. Hasilnya adalah kurva penyebaran
energi dari radiasi pada suhu sekitar 6000 °K yaitu suhu di permukaan
matahari. Radiasi yang diterima bumi pada sumbu normal adalah
sebesar 2.00 cal cm-2 min-1. Sedangkan berdasarkan distribusi posisi

12
BAB 2 - KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI

lintangnya radiasi di khatulistiwa diterima sekitar 1.100 cal cm-2 day-1


dan di daerah kutub sebesar 800 - 900 cal cm-2 day-1. Variasi dari energi
yang diterima bumi sangat rendah hanya sekitar 3.34 % dan variasi
tersebut dapat diprediksi dengan baik dan menggambarkan perubahan
iklim dalam satuan waktu geologis. Sedangkan bentuk gelombang
radiasi matahari yang diterima bumi telah mengalami banyak degradasi
akibat penyerapan radiasi matahari pada panjang gelombang tertentu.
Energi matahari akan terserap pada panjang gelombang dimana radiasi
tersebut bertemu partikel yang dimaksud. Sebagai contoh uap air di
atmosfir akan menyerap energi matahari pada panjang gelombang
sekitar 3 m. sehingga bentuk kurva energi pada panjang gelombang itu
akan mengalami degradasi oleh gas-gas rumah kaca seperti O2, H2O,
CO2 (Gambar 2.1). Pemanfaatan dari sifat degradasi ini adalah untuk
teknologi penginderaan jauh. Sebagai contoh, untuk satelit yang
memantau awan dan nilai kandungan uap airnya bekerja dengan sensor
yang sensitif pada panjang gelombang 3 m yang sesuai dengan besaran
panjang gelombang untuk eksitasi molekul H2O. Metoda yang sama
dipakai untuk melihat berbagai kandungan polutan di atmosfer termasuk
gas ozon dari sifat degradasi di atas.

Distribusi penyebaran energi radiasi matahari di muka bumi


beragam menurut posisi lintang. Nilai rata-rata radiasi yang ditangkap
muka bumi menurun dari khatulistiwa ke kutub karena daerah lintang
rendah menerima energi dalam jumlah besar sepanjang tahun, hal ini
dikarenakan sinar matahari menuju daerah ini dengan tegak lurus,
sehingga nilai yang terpendar atau terefleksi kecil. Sementara sepanjang
garis lintang menuju kutub, nilai sudut inklinasi sinar matahari akan
semakin besar dan nilai radiasi yang terpendar atau terefleksi akan
semakin besar, akibatnya nilai radiasi matahari yang sampai ke

13
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

permukaan akan semakin kecil. Selain itu sebagaimana dilukiskan pada


Gambar 2.2 distribusi menurut energi yang diterima juga beragam, 16
% darinya diserap oleh atmosfer, 24 % dipantulkan oleh awan, 7 %
diradiasikan kembali ke luar angkasa dari atmosfer, sedangkan 4 %
dipantulkan oleh permukaan bumi terutama laut dan es di kutub. Secara
total sekitar 35 % kembali ke luar angkasa.

Gambar 2.1. Spektral energi radiasi matahari yang dipancarkan benda


hitam (black body radiation) dan yang diterima di muka bumi

Dampak radiasi pada air laut juga beragam. Tidak semua radiasi
matahari dapat menembus badan air di laut.Sekitar 73 % mencapai
kedalaman 1 cm, 44.5 % kedalaman 1 m, 22.2 % kedalaman 10 m, 0.53 m

14
BAB 2 - KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI

kedalaman 100 m dan 0.0062 % kedalaman 200 m. Akibat dari


perbedaan kedalaman tembus spektrum radiasi matahari adalah terserap
atau terpantulnya sinar matahari pada gelombang tertentu. Sehingga
pantulan sinar matahari dari laut dangkal akan berwarna cerah karena
energi yang terpantul masih hampir seluruh spektrum cahaya.
Sedangkan pada kedalaman yang lebih banyak lagi spektrum sinar
matahari yang terserap atau masih menembus kedalaman air laut
sehingga sinar yang terpantul dan terpantau dari atas akan berwarna
lebih gelap. Dengan prinsip ini maka tingkat kegelapan warna air laut
yang kita lihat dapat menunjukkan tingkat kedalaman dari laut yang kita
amati. Teknik memantau tingkat kedalaman laut dengan warna air laut
dikenal dengan teknik ocean color pada teknologi inderaja. Energi
minimum yang dibutuhkan untuk mensuplai dan menjaga
perkembangan pitoplankton untuk proses fotosintesis adalah sekitar
0.003 cal cm-2 min-1. dengan kalkulasi sesuai kedalaman di atas, hal ini
dapat tercapai hingga kedalaman 220 m.

Bumi tidak hanya menerima energi gelombang pendek matahari


tetapi juga menghasilkan balik energi yang diterimanya dalam bentuk
radiasi gelombang panjang. Sebagian kecil dari gelombang radiasi
panjang akan dipancarkan kembali ke luar angkasa. Biasanya
gelombang panjang ini dipancarkan di bagian paling atas atmosfer dan
dikenal dengan istilah outgoing long wave radiation. Karena
dipancarkan di bagian paling atas dari atmosfer atau dari lapisan awan
terluar, maka parameter ini sering dipakai untuk melihat potensi cuaca
setempat. Hal ini disebabkan semakin tinggi tempat awan yang
memancarkannya akan semakin berpotensi memberikan curah hujan
maksimum dengan indikasi suhu gelombang yang dipancarkan semakin
rendah. Berbeda dengan panjang gelombang pendek, maka radiasi
keluar panjang gelombang panjang tidak memiliki variasi sebagaimana

15
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

halnya radiasi gelombang datang dengan panjang gelombang pendek.


Laut sendiri juga memancarkan energi dengan panjang gelombang
panjang, karena suhu muka laut berkisar 283 °K, maka panjang
gelombang yang dipancarkan, berdasarkan hukum Wien adalah 10
mikrometer atau panjang gelombang infra merah.

Gambar 2.2. Variasi energi yang dibawa dari daerah tropis menuju
daerah subtropis dan kutub pada beberapa samudra di dunia
(Trenberth dan Solomon 1994).

Hal ini berarti dari perbandingan energi masuk (gelombang


pendek) dan energi keluar (gelombang panjang) terjadi surplus energi
masuk di dekat khatulistiwa dan surplus energi keluar di dekat kutub.
Meskipun adanya nilai masuk positif di dekat khatulistiwa dan negatif di
kutub, tidak pernah ada petunjuk bahwa daerah dekat khatulistiwa terus
menerus memanas dan daerah kutub terus menerus mendingin, sehingga
pastilah ada transfer energi radiasi antara daerah lintang rendah dan
tinggi (Gambar 2.3). Kejadian itu dilakukan oleh angin di atmosfer dan
sirkulasi air di lautan. Ada berbagai perdebatan tentang siapa dari
16
BAB 2 - KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI

keduanya yang lebih penting terhadap pergerakan ke arah kutub dari


energi panas di atas, tetapi dipercaya kalau lautan lebih berkontribusi di
daerah tropis dan atmosfer lebih di daerah lintang tinggi. Nilai
maksimum dari kehilangan energi panas akibat evaporasi terjadi di
daerah subtropis akibat proses adveksi di atmosfer pada daerah kering,
sedangkan kehilangan energi panas minimum di daerah tropis akibat dari
kandungan uap air di udara tropis yang cukup jenuh. Selain itu
penghilangan akibat energi panas sensibel kurang lebih sama antara
daerah tropis dan subtropis. Sehingga arus laut berfungsi membawa
panas dari daerah tropis ke daerah kutub.

Gambar 2.3. Kesetimbangan radiasi gelombang pendek dan panjang dari


khatulistiwa ke kutub. (PhysicalGeography.net after
Trenberth dan Solomon 1994)

2. 2. TEKANAN UDARA DAN ANGIN

Angin menghantarkan kandungan panas terutama dengan proses


adveksi masa air hangat ke daerah dingin dan sebaliknya. Sebagian lagi
transfer energi panas melalui panas laten yang diambil ketika air laut

17
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

menguap ke atmosfer dan berkondensasi pada lingkungan yang lebih


dingin. Angin dihasilkan oleh perbedaan tekanan dan suhu di atmosfer
akibat distribusi energi radiasi matahari, tutupan awan serta dinamika
disekitarnya. Pergerakan horisontal angin dinamai adveksi sedangkan
yang vertikal disebut konveksi. Proses konveksi biasanya bersifat sangat
lokal, sehingga untuk perhitungan neraca energi biasanya diabaikan.
Proses konveksi sendiri dapat terjadi untuk skala kecil hingga besar
dalam bentuk siklon atau badai tropis. Siklon atau badai tropis dipercaya
sebagai media transpor jumlah energi panas dalam jumlah besar
menjauh dari lautan khatulistiwa dalam bentuk energi panas laten yang
terbawa ke daerah lintang tinggi.

Proses pergerakan arus laut juga sangat dipengaruhi oleh angin di


atmosfer terutama pada kedalaman hingga sekitar 200 m. Pada lapisan
atas yang sangat terpengaruh oleh angin, terdapat lapisan turbulensi, di
bawahnya terdapat lapisan termoklin dan lebih ke bawah lagi yang
disebut lapisan laut dalam. Terkadang lapisan turbulensi tidaklah dalam,
tergantung pada besarnya gelombang laut di permukaan. Akibat
turbulensi tersebut, terjadi perpindahan kalor dari muka laut ke batas
lapisan turbulensi yang menyebabkan homogenitas suhu air pada lapisan
turbulensi. Sedangkan lapisan termoklin adalah lapisan dimana terjadi
penurunan suhu air yang sangat drastis dan mencapai kedalaman hingga
200 m. Lapisan laut yang lebih dalam memiliki suhu asimtotik (menuju
kesetimbangan) atau menuju pada suhu kesetimbangan air antara suhu,
tekanan dan volum yaitu pada suhu sekitar 4 °C. Daerah kedalaman ini
tidak tembus dengan sinar matahari sehingga sangat gelap dan bersuhu
dingin tetapi tidak membeku.

Di laut juga terjadi proses pergerakan vertikal atau konveksi dan


peristiwa upwelling dan downwelling. Proses vertikal atau konveksi

18
BAB 2 - KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI

lebih dominan terjadi pada lapisan turbulensi atau termoklin kecuali ada
penyebab khusus dikarenakan proses geologis seperti keberadaan
sumber panas di dasar laut. Sedangkan kedua proses terakhir yaitu
upwelling dan downwelling biasanya terjadi karena adanya dorongan
angin di permukaan. Tergantung pada posisinya, kedua proses tersebut
dapat terjadi pada musim yang berbeda. Kedua peristiwa upwelling dan
downwelling akan dibahas kemudian.

Beberapa sifat lapisan laut seperti dibahas di atas memiliki


korelasi atau perbandingannya di atmosfer. Lapisan atmosfer terendah
yang sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi disebut lapisan batas
atmosfer yang sebanding dengan lapisan turbulensi di laut. Lapisan
atmosfer di atasnya mengalami penurunan suhu sebagaimana lapisan
termoklin di laut dan juga lapisan dimana proses konveksi aktif terjadi.

Pertanyaan:

1. Terangkan proses terbentuknya arus laut dari radiasi matahari!

2. Terangkan kegunaan degradasi spektrum matahari yang diterima


permukaan bumi yang berperan penting dalam mengetahui efek gas
rumah kaca dan metoda inderaja!

3. Bagaimana distribusi evaporasi dan hujan dari daerah tropis hingga


ke kutub, terangkan mengapa?

4. Apa hubungan radiasi matahari dan radiasi dari bumi terhadap aliran
energi dari tropis ke lintang yang lebih tinggi?

19
BAB 3

HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFER

3. 1. KOPLING ATMOSFER DAN LAUT

Interaksi laut dan atmosfer membentuk proses kopling (interaksi


dua arah) yang terjadi di pergantian energi dan masa di permukaan laut.
Proses yang terjadi adalah perpindahan energi dan masa dalam proses
neraca energi dalam hal energi radiasi termasuk energi panas dan
momentum dalam hal friksi permukaan. Pergantian energi dalam hal
neraca masa terjadi dalam hal penguapan dan hujan, perpindahan
mineral dan gas. Gas-gas yang ada di permukaan mengabsorbsi energi
radiasi karena gas-gas tersebut menyerap energi matahari pada panjang
gelombang khusus. Hasilnya adalah peningkatan dari suhu atmosfer dan
mengakibatkan juga peningkatan suhu laut. Salah satu gas penting yaitu
CO2, juga banyak terdapat di atmosfer yang kemudian dapat diendapkan
di dalam lautan. Kepentingan pengendapan CO2 sangat membantu
mengurangi pengaruh pemanasan global. Dalam hal kopling atau
interaksi laut dan atmosfir, perlu ditekankan peranan lautanl sebagai
pensuplai uap air terbesar bagi atmosfer. Penguapan terjadi akibat tidak
jenuhnya atmosfer oleh uap dan akibat cukup hangatnya suhu muka laut.
Sebaliknya atmosfer mensuplai energi dan masa dalam bentuk curah
hujan dan endapan yang juga melibatkan transfer energi.

Ketika lautan mendingin, maka laut akan merespon dengan


menghasilkan gerak konveksi vertikal yang akan mensuplai panas ke

21
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

permukaan. Hal ini terjadi karena persamaan kontinuitas masa


membutuhkan air dingin mengendap ke kedalaman dari permukaan
tergantikan oleh masa air di bawahnya yang notabene lebih hangat. Air
hangat tersebut akan menyembul ke permukaan. Proses perubahan suhu
di lautan terjadi jauh lebih lambat daripada di atmosfer. Sebagai akibat
maka lautan terus panas meskipun ekuinok atau titik nadir matahari telah
menjauhi garis khatulistiwa.

3. 2. SIFAT FISIS AIR

Air memiliki sifat yang unik yang membutuhkan panas spesifik


(specific heat) dan panas laten (latent heat) yang tinggi. Besaran panas
spesifik adalah jumlah yang dibutuhkan untuk merubah suhu suatu unit
masa zat sebanyak satu derajat. Panas yang dibutuhkan untuk air dalam
hal ini cukup tinggi. Sedangkan panas laten adalah jumlah yang
dibutuhkan untuk merubah fase seperti contohnya dari fasa cair menjadi
uap. Perubahan fase air terjadi karena pemasukan panas melalui proses
pencairan, penguapan atau sublimasi dan karena pelepasan panas ke
lingkungan melalui proses pembekuan, kondensasi atau deposisi. Sifat
fisis air seperti ini memiliki implikasi penting pada suhu muka laut, suhu
air di atas muka laut, perpindahan panas antar lautan dan atmosfer serta
sirkulasi atmosfer.

Dibandingkan partikel udara, masa jenis air sekitar 1.000


kalinya. Sehingga dibutuhkan lebih banyak massa per volume air untuk
menyerap dan memancarkan energi. Sedangkan untuk meningkatkan
suhu laut satu derajat dibutuhkan sekitar 6 kali panas dibandingkan udara
dengan masa yang sama. Sehingga untuk besar volume yang sama
diperlukan sekitar 6.000 kali panas untuk menaikkan suhu pada volume

22
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

yang sama pada partikel udara. Proses penguapan air dengan demikian
akan memakan panas laten yang tinggi dari lingkungannya. Jumlah
panas yang besar ini akan dilepaskan pada saat uap air terkondensasi di
awan menjadi butiran hujan.

Penguapan air laut diikuti oleh kondensasi di atmosfer adalah


mekanisme perpindahan panas utama yang terjadi antara laut dan
atmosfer. Panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air akan dilepaskan
ke atmosfer saat uap tersebut berkondensasi membentuk awan.

Karena sifat penyerapan dan penyimpanan panas yang tinggi


dari air maka dibandingkan atmosfer, laut merupakan penyimpan
memori perubahan panas yang lambat atau memakan waktu yang lebih
panjang. Perubahan panas lingkungan memberikan variabilitas temporal
iklim. Sehingga perubahan iklim karena proses perpindahan panas di
laut akan memakan waktu yang lebih lama karena memori perubahan
panas yang besar dari lautan.
Sebagian besar energi radiasi matahari yang diterima muka laut
akan terserap dan selanjutnya dikonversikan menjadi panas kalori pada
lapisan dekat permukaan. Angin mendorong sirkulasi laut yang
mendistribusikan panas tersebut hingga mencapai kedalaman ratusan
meter di bawah laut. Sebagai hasilnya laut menjadi media besar
penyimpan panas.

3. 3. IMPLIKASI SIFAT FISIS AIR TERHADAP CUACA DAN


IKLIM
Sifat besarnya nilai panas spesifik dari air dibandingkan tanah
dan udara adalah penyebab utama kenapa lautan menghangat lebih
lambat daripada daratan atau udara dan juga mendingin lebih lambat.

23
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Dibandingkan dengan daratan terdekat, lautan tidak akan memanas lebih


tinggi daripada daratan di siang hari dan juga tidak akan mendingin lebih
dari daratan di malam hari.

Suhu dari masa udara lebih dipengaruhi oleh permukaan dimana


udara tersebut diam atau bergerak. Udara di atas lautan menunjukkan
variasi perubahan musiman dan diurnal yang lebih kecil daripada
daratan. Selain itu udara di atas muka laut juga lebih lembab. Salah satu
konsekuensinya, komunitas di pesisir dengan dominasi angin pantai
akan memiliki iklim yang moderat, dengan musim panas yang sejuk dan
musim dingin yang tidak terlalu dingin.

Badai yang terjadi di laut didorong oleh tenaga berasal dari panas
laten yang dilepas ke atmosfer ketika uap air berkondensasi. Uap air
tersebut berasal sebagian besar dari penguapan air laut dimana laju
penguapannya dikendalikan oleh nilai suhu muka laut. Semakin tinggi
suhu muka laut maka akan semakin kuat laju penguapannya. Massa
udara dingin dari bawah akan mengurangi kemungkinan pergerakan
vertikal yang dibutuhkan pada pertumbuhan hujan atau badai. Daerah
yang suhu muka laut lebih dingin dari suhu udara di atasnya, maka hujan
atau badai akan jarang terjadi di laut dan daerah pesisir yang menerima
angin dari daerah tersebut. Sebaliknya udara panas dari bawah akan
menambah kemungkinan pergerakan vertikal udara yang membawa
kepada hujan dan badai. Daerah dimana suhu muka laut lebih hangat dari
suhu udara di atasnya, hujan atau badai akan sering terjadi di laut dan
daerah pesisir yang menerima angin dari daerah tersebut.

Sebagai respons terhadap perbedaan suhu terhadap jarak atau


gradien suhu maka panas akan di transfer dari tempat yang hangat ke
tempat yang dingin. Dalam hal ini udara hangat akan mendingin apabila
berpindah dari atas muka laut yang hangat menuju ke muka laut yang

24
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

dingin. Sebaliknya udara dingin akan menghangat apabila berpindah


menuju ke muka laut yang lebih hangat.

Konsentrasi uap air di atas muka laut meningkat dengan


penguapan. Udara yang hangat dan lembab yang bergerak melalui muka
laut yang dingin akan mendingin menuju titik jenuhnya sehingga
menyulitkan penguapan lebih lanjut. Uap air berkondensasi dan kabut
laut akan terbentuk. Kabut adalah awan yang menyentuh badan air atau
daratan. Kabut juga terbentuk ketika massa udara yang sangat dingin
melalui muka air yang hangat. Dalam hal ini penguapan ke udara dingin
akan menghasilkan kejenuhan dan kabut akan terbentuk seperti uap yang
berhembus ke atas.

3. 4. PERAN ANGIN TERHADAP ARUS LAUT


Sewaktu angin bertiup di muka laut, energi ditransformasikan
dari angin ke permukaan laut. Beberapa dari energi tersebut menjadi
gelombang gravitasi permukaan yang mengikuti pergerakan arus
permukaan akibat pergerakan angin. Hal yang terakhir ini yang
menyebabkan terjadinya arus laut. Proses transfer energi sebenarnya
yang terjadi di permukaan laut sangat kompleks. Seberapa besar energi
yang terpakai untuk proses penghasilan turbulensi dan seberapa besar
yang dikonversi menjadi arus. Akan tetapi aturan umum adalah semakin
kuat angin bertiup, semakin besar friksi permukaan yang mendorong
arus di bawahnya. Pekerjaan angin yang mendorong arus laut disebut
dengan wind stress.

Peristiwa dorongan angin terhadap arus laut lebih banyak terjadi


pada skala kecil melalui proses turbulensi. Peningkatan kecepatan arus
laut dan sebaliknya lebih banyak disebabkan oleh proses turbulensi
permukaan. Turbulensi akan mendistribusikan dan menghilangkan

25
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

energi gerak (kinetik) dan merubahnya menjadi energi panas melalui


viskositas molekular. Hal terakhir inilah yang memberikan kontribusi
terhadap suhu muka laut. Selebihnya arus laut diatur oleh kondisi
salinitas densitas, suhu dan topografi dasar laut.

Gesekan antara angin dan muka laut adalah faktor yang


mendorong terjadinya pergerakan arus secara horizontal pada muka laut
yang disebut arus permukaan. Arus ini meyerupai pola dari angin
permukaan. Jika bumi tidak berotasi maka friksi antara angin dan muka
laut akan mendorong arus permukaan sesuai dengan dorongan arah
angin tetapi dengan faktor kecepatan tertentu. Arus pada lapisan atas ini
akan menarik lapisan di bawahnya dan mendorong untuk bergerak juga.
Interaksi tersebut akan terus berlanjut melalui lapisan di bawahnya
bagaikan lapisan pada kue lapis dimana arus pada lapisan di bawahnya
akan bergerak lebih lambat dari lapisan di atasnya karena hilang dengan
gaya gesek antar lapisan.

3. 5. GAYA CORIOLIS

Bumi berotasi pada sumbunya yang menyebabkan pergerakan


sudut (angular) pada setiap tempat di muka bumi sesuai kecepatan rotasi
bumi. Kecepatan gerak angular tidak sama dengan kecepatan linier
masing-masing tempat karena ditentukan oleh posisi di bumi yaitu oleh
garis lintang posisinya. Persamaan sederhana hubungan antara
kecepatan angular dan kecepatan linier adalah
v   cos 

dimana  adalah kecepatan linier,  adalah kecepatan angular bumi yaitu


kecepatan linier di ekuator dan  adalah posisi garis lintang. Dengan
gambaran ini maka kecepatan linier yang paling tinggi terjadi di garis

26
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

khatulistiwa dan menurun menuju daerah kutub. Sehingga dalam sehari


atau 24 jam, seseorang yang berada di daerah ekuator akan bergerak
secara linier lebih jauh dibandingkan orang yang berada di daerah
lintang tinggi. Perbedaan kecepatan linier antar daerah dengan garis
lintang yang berbeda menyebabkan gaya dorong ke arah berlawanan
dengan arah sumbu putar rotasi bumi yaitu menuju arah Barat. Hal ini
sangat dirasakan pada benda yang bergerak pada arah Utara-Selatan atau
meridional dimana gaya dorong virtual tersebut disebut sebagai gaya
coriolis bumi. Pada daerah dekat khatulistiwa perbedaan kecepatan
linier antara garis lintang tidaklah besar dan cenderung mendekati nilai
nol, sedangkan menjauh dari ekuator gaya koriolis membesar dan
mencapai puncaknya pada daerah kutub. Besaran nilai gaya coriolis
memiliki hubungan sebagai berikut
Fcor  sinα
dimana gaya coriolis pada garis ekuator memiliki nilai nol dan semakin
kuat menjauh dari ekuator.

Karena perputaran bumi, lapisan laut dangkal yang bergerak


karena pengaruh angin akan berbelok ke arah kanan dari arah angin di
bumi belahan utara dan ke arah kiri dari arah angin di bumi belahan
selatan. Pembelokan ini diakibatkan oleh efek koriolis.

3. 6. PERGERAKAN EKMAN

Salah satu proses pergerakan arus laut oleh angin adalah


pergerakan ekman yang seringkali mendorong adanya upwelling dan
downwelling di tepi pantai. Proses ekman spiral akibat dorongan angin
permukaan atau transfer dari momentum gerak angin ke arus laut dan
diamati oleh Fridjof Nansen yang melihat bahwa bongkahan es di laut

27
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

bergerak 20 - 40 derajat ke kanan dari arah angin. Dia memberikan hasil


observasinya kepada Vagn Walfrid Ekman. Akibat pengaruh gaya
coriolis, arus permukaan bergerak 45 derajat dari arah angin dan energi
dinamis di salurkan ke lapisan laut yang lebih dalam. Energi diserap oleh
gesekan pada kedalaman dimana kecepatan menurun menurut
kedalaman dan akhirnya kecepatan masa air adalah 0 pada kedalaman
ekman (Gambar 3.1). Gaya coriolis menyebabkan penyimpangan

Gambar 3.1. Proses spiral Ekman akibat tiupan angin permukaan.

berturut-turut ke kedalaman sementara juga menyalurkan energi ke


lapisan lebih dalam lagi (spiral ekman). Gerak masa air secara umum
mengarah 90 derajat dari arah angin. Asumsi utama dari pergerakan
Ekman adalah luas wilayah yang sangat luas dan sangat dalam (tidak ada
friksi dengan dasar laut atau pantai). Kedalaman proses ini dapat terjadi
hingga 200 m di bawah muka laut. Sifat pergerakan Ekman ini dapat
diilustrasikan dengan pola perubahan atas kue lapis apabila kita
memberikan tekanan pada salah satu ujung pada lapisan paling atas dari

28
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

kue lapis tersebut. Akibat tekanan yang ada akan terjadi pembelokan
gaya tekan (deflection) antara lapisan teratas dengan lapisan di
bawahnya dan di bawahnya lagi.

Secara umum ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya


efek spiral Ekman pada arus laut yaitu: angin, gaya antar lapisan dari
atas, pengaruh arah terhadap aliran per lapisan, efek coriolis. Secara
lokal pergerakan Ekman dapat terjadi pada garis pantai karena hembusan
angin darat dan laut, tergantung pada musim saat angin bertiup. Pada
kenyataannya angin monsun yang bergerak sejajar dengan garis pantai
seperti pantai selatan Pulau Jawa sering memberikan efek coriolis yang
menyebabkan aliran menjauh garis pantai pada muka laut dan
menyebabkan proses upwelling.

3. 7. S A L I N I TA S , C U R A H H U J A N , D A N P R O F I L
TEMPERATUR LAUT

Lautan merupakan badan air terbesar di dunia. Sekitar 96.5 %


adalah air dan hampir 3.5 % nya adalah garam yang terlarut. Distribusi
salinitas atau tingkat kegaraman dan suhu adalah aspek penting bagi
pergerakan arus laut. Sebagian besar perbedaan distribusi suhu dan
salinitas terdapat di permukaan laut atau sekitar kedalaman 200 m.
sedangkan sisa bagian laut terisi oleh air dengan suhu dan tingkat
salinitas yang seragam. Sekitar 75 % air laut memiliki tingkat salinitas
antara 3.4 dan 3.5 % dan suhu antara 0 °C hingga 4 °C dengan suhu rata
rata 3.8 °C (Gambar 3.2). Di khatulistiwa, rata-rata suhu air laut hanya
4.9 °C. Lapisan dimana suhu berubah dengan cepat terhadap kedalaman
ditemukan antara suhu 8 - 15 °C dan disebut lapisan termoklin yang
kedalamannya antara 150 - 400 m di khatulistiwa dan antara 400 hingga
1000 m di daerah subtropis.

29
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Gambar 3.2 Persentase sebaran salinitas dan suhu air laut.

Jika suhu permukaan sangat rendah proses konveksi dari


pendinginan air laut dapat mencapai daerah yang dalam. Pada umumnya
di samudra-samudra besar di dunia, mulai kedalaman 1000 m, suhu dan
salinitas laut sudah seragam. Penurunan suhu mengakibatkan
peningkatan berat jenis sehingga stratifikasi suhu akan menghasilkan
stratifikasi berat jenis yang teratur. Penurunan salinitas menghasilkan
penurunan berat jenis. Sehingga stratifikasi salinitas justru akan
menimbulkan stratifikasi yang tidak stabil. Pada umumnya di lautan,
efek dari penurunan suhu lebih kuat dari efek penurunan salinitas
sehingga laut terstratifikasi lebih stabil.

Tingkat salinitas dan suhu sangat dipengaruhi oleh aktivitas di


permukaan laut dimana curah hujan dan penguapan memegang peranan
paling besar. Sekitar 51 % dari energi yang diserap lautan akan diambil
oleh proses penguapan. Selain itu, penguapan juga memberikan
kontribusi terbesar dari neraca masa air di lautan dimana terjadi
pengurangan besar besaran akibat penguapan. Proses penguapan terjadi
saat udara menjadi tidak jenuh dengan uap. Semakin hangat suhu udara,
semakin kuat penguapan yang terjadi. Dalam kondisi normal
perpindahan panas langsung adalah dari laut ke udara dengan asumsi
30
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

panas dialirkan dari lapisan paling bawah. Pada situasi normal tersebut
udara menjadi jenuh dengan kelembaban dan penguapan yang terjadi.
Selanjutnya udara hangat akan terkondensasi apabila bertemu dengan
lapisan udara tinggi yang dingin atau bertemu badan air yang dingin.
Pada kasus pertama akan turun sebagai hujan, sedangkan pada kasus
kedua akan terbentuk kabut. Pada kedua kasus tersebut, energi yang
dihasilkan dari proses kondensasi akan lebih terserap di atmosfer,
sehingga kontribusi kondensasi terhadap neraca energi panas di laut
sangat kecil.

Gambar 3.3. Nilai rata-rata stratifikasi suhu dan salinitas terhadap


kedalaman (dalam m) di Kepulauan Indonesia pada bulan
Januari hasil keluaran model laut dan dirata-rata antara

31
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

tahun 1979 - 1993 (Aldrian 2003).

Gambar 3.4. Distribusi global tahunan (Schmitt, 2008) dari (a)


penguapan dikurangi curah hujan berdasarkan data
klimatologis dari Yu dan Weller (2007) dan estimasi curah
hujan berdasarkan citra satelit dari proyek The Global
Precipitation Climatology Program (GPCP). (b) rerata
besaran salinitas permukaan air laut mengacu pada The
World Ocean Database of NODC.

Pada kondisi global seperti disampaikan pada bab terdahulu,


energi di lautan lebih banyak dipakai di daerah sub tropis untuk
pergerakan arus menjauh khatulistiwa. Energi panas yang diterima
menurun dekat khatulistiwa akibat pantulan dari awan-awan yang
banyak terdapat di daerah tersebut. Proses evaporasi terjadi maksimum
di daerah sub tropis karena adveksi udara dingin yang salah satunya

32
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

disebabkan oleh Hadley cell (Gambar 3.4). Evaporasi di daerah tropis


sangat minimum karena sudah jenuhnya udara di daerah tersebut yang
salah satu dikarenakan tutupan awan yang sangat tinggi. Sedangkan
curah hujan tinggi di daerah dekat khatulistiwa di sebelah utara akibat
bentuk rupa bumi dan distribusi darat dan lautan serta di daerah dekat
kutub pada lintang 50. Distribusi perpaduan evaporasi dikurangi hujan
akan menyerupai distribusi melintang tingkat salinitas laut. Secara
umum jumlah evaporasi di dunia mencapat 440 x 103 km3 per tahun,
curah hujan mencapai 411 x 103 km3 per tahun dan volume aliran
permukaan di sungai danau dll. mencapai 29 x 103 km3 per tahun.

3. 8. STABILITAS ISOTHERM LAUT DAN ATMOSFER

Stratifikasi di laut dan atmosfer terjadi akibat perbedaan suhu


dan tekanan. Di laut perbedaan tekanan dikonversikan dalam hal
salinitas atau kerapatan masa jenis. Pada lapisan bawah di atmosfer, suhu
di lapisan lebih bawah akan lebih hangat daripada lapisan di atasnya.
Lapisan atmosfer dimana sifat perlapisan demikian itu disebut lapisan
troposfer. Batas lapisan ini dengan lapisan di atasnya dimana terjadi
kenaikan suhu di lapisan di atasnya disebut daerah batas tropopause.
Lapisan tropopause ini bervariasi dan paling tinggi terdapat di daerah
ekuator karena suhu di permukaan tanah di wilayah ini sangat tinggi.
Biasanya ketinggian lapisan ini berkisar antara 14 hingga 18 km dari
muka laut. Pada daerah lapisan bawah atmosfer, tropopause adalah
lapisan dengan suhu udara paling rendah. Dengan sifat seperti
digambarkan di atas untuk lapisan troposfer maka secara normal udara di
lapisan bawah akan cenderung bergerak di atas berdasarkan prinsip
udara hangat akan mengambang karena ringan dan udara dingin akan
turun karena berat.

33
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Secara alamiah maka atmosfer di muka bumi akan cenderung


bersifat instabil dimana udara di bawah akan bergerak ke atas. Peristiwa
pergerakan secara vertikal masa udara tersebut dikenal dengan istilah
konveksi. Tanpa dibantu oleh sebab lainnya maka pergerakan vertikal
masa udara jauh lebih sedikit daripada aliran udara horizontal atau
peristiwa adveksi. Pada waktu musim hujan tambahan suplai uap air
memberikan tambahan daya apung di atmosfer akibat tambahan masa
yang lebih mendorong ke atas. Masa uap air akan bergerak terus ke atas
mencari titik stabilitas hingga mencapai daerah atau level dimana terjadi
kondensasi atau uap air berubah menjadi butir yang lebih besar seperti
butiran awan. Pada saat tersebut, aktivitas konveksi mencapai
puncaknya. Rangkaian peristiwa tersebut ditambah dengan suplai angin
yang lebih memberikan suplai udara basah ke titik-titik perkumpulan
awan. Besarnya energi apung di atmosfer tiap lapisan dapat dihitung dari
berbagai faktor di atas seperti suhu per lapisan dan kandungan uap air per
lapisan. Perhitungan energi apung biasanya dilakukan dengan
pengukuran nilai tersebut per lapisan memakai alat observasi seperti
radiosonde.

Pada waktu musim kemarau udara cenderung lebih stabil karena


berbagai faktor di atas tidak terjadi. Angin yang kencang pada lapisan
atas cenderung memecah lapisan instabilitas atmosfer sehingga
seringkali ditemukan lapisan isotherm yaitu lapisan dimana suhu tidak
berubah terhadap ketinggian atau lapisan inversi dimana suhu malah
menaik terhadap ketinggian. Kedua jenis lapisan tersebut akan membuat
udara cenderung stabil. Hal ini biasanya ditambah lagi dengan
kurangnya suplai uap air dari permukaan karena suhu muka laut yang
cenderung lebih dingin di musim kemarau. Dinginnya suhu muka laut
diakibatkan pada musim kemarau titik kulminasi matahari tidak berada

34
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

di wilayah Indonesia melainkan jauh disebelah utara sehingga tingkat


radiasi matahari yang diterima di wilayah maritim Indonesia berkurang.

Proses yang terjadi di laut tidak serupa seperti di atmosfer.


Peristiwa konveksi jauh lebih jarang terjadi dan sebagian besar aliran
terjadi karena aliran horizontal. Hal ini disebabkan karena stratifikasi di
laut lebih stabil dibandingkan di atmosfer. Masa udara di atmosfer juga
lebih bouyant (memiliki daya apung tinggi) dibandingkan masa air laut.
Oleh karena itu, di laut proses adveksi memberikan dampak yang lebih
kuat daripada konveksi. Hal ini dapat dilihat apabila kita membuat

hubungan antara perubahan suhu muka laut yang disebabkan oleh aliran
arus air.

Gambar 3.5. Ilustrasi kolom air laut dimana terjadi perpindahan masa
dan suhu secara adveksi (Aldrian 2003).

Aliran arus laut akan membawa perubahan suhu kolom udara


yang dilewatinya. Hal ini karena proses adveksi arus laut membawa suhu
baru yang bercampur pada daerah yang dilaluinya. Setelah terjadi
perubahan suhu laut di kolom air tersebut, maka akan segera merubah

35
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

suhu di permukaan laut. Dengan pergantian suhu muka laut akibat aliran
konveksi maka akan terjadi dinamika di lautan. Aliran arus laut dari
peristiwa adveksi sendiri diakibatkan oleh tekanan angin permukaan
yang mendorong aliran horizontal atau adveksi tersebut (Gambar 3.5).
Hasil simulasi dari model menunjukkan adanya perbedaan waktu
sekitar 3 bulan antara aliran adveksi dan perubahan suhu pada kolom air
yang dilewatinya. Dari perubahan suhu pada kolom air, terdapat
perbedaan 0.5 - 1 bulan untuk merubah suhu permukaan laut. Hasil dari
simulasi wilayah Maluku Utara tersebut menunjukkan adanya pengaruh

dari pola monsunal yang diartikan adanya perubahan fluks dalam lag
waktu 3 bulan akibat fluktuasi sinusoidal (Gambar 3.6).

Gambar 3.6. Variabilitas dari arus permukaan laut di daerah Maluku


Utara, menunjukkan berbagai komponen budget dari
pergerakan horizontal (adveksi), perubahan energi di
kolom air dan perubahan suhu muka laut di permukaan
(Q_{surf} dxdy, Aldrian 2003).

3. 9. GELOMBANG GRAVITASI DI ATMOSFER DAN DI


LAUTAN

Apabila gelombang horizontal mengalir baik di laut maupun di

36
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

atmosfer dan terbentur pada sebuah bukit atau gunung, maka gelombang
tersebut akan terpecah di balik bukit dari arah datangnya. Gelombang
yang tercipta di balik bukit seringkali disebut sebagai gelombang
gravitasi karena gelombang itu terbentuk akibat gaya gravitasi bumi
yang mempengaruhi perjalanan gelombang tersebut. Di atmosfer,
gelombang gravitasi dapat menjadi pusat pertumbuhan awan daerah
bayangan hujan, sementara di laut dapat menggangu dinamika lautan
dan membentuk gelombang besar pada kedalaman tertentu. Salah satu
penyebab lain adanya gelombang gravitasi di laut adalah saat gelombang
di laut dalam melewati celah lembah yang sempit dan dangkal. Setelah
keluar dari celah ini, maka akan tercipta gelombang tersebut. Pada
dasarnya gelombang ini tidak terasa di permukaan tetapi pada laut dalam
akan terasa berlipat-lipat akibat dari menjalarnya gelombang secara
vertikal dan tumbuh menjadi besar. Gelombang gravitasi sejenis ini
sangat ditakuti terutama bagi kapal selam yang mengarungi lautan
dalam.

3.10. ALIRAN PERPUTARAN LAUT LINTAS SAMUDRA (THE


GREAT CONVEYOR BELT) DAN ARLINDO

Walapun dinamika di lautan yang mendorong arus laut lebih


banyak terbentuk oleh angin lokal. Tetapi akibat bentuk morfologi atau
rupa muka bumi maka lautan juga memiliki arus laut yang terbentuk
akibat tekanan dari morfologi dasar laut. Arus yang terbentuk lebih
karena tekanan di dalam laut ini menyebabkan adanya aliran yang
mengitari bumi. Arus yang ditemukan sebagai hasil utama dari proyek
penelitian Wolrd Ocean Circulation Experiment (WOCE) sekitar dekade
90an dikenal dengan arus perputaran sabuk dunia atau the Great Ocean
Conveyor Belt (Gambar 3.7). Arus ini mengalir di permukaan dari

37
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Samudra India menuju Samudra Atlantik, lalu berputar di Atlantik


bagian utara sekitar pulau Greenland dan masuk ke laut dalam (the North
Atlantic over turning) ke Atlantik Selatan dan mengalir menuju Samudra
Pasifik Utara dan sebelah barat Samudra Indonesia (Indian Ocean)
dimana arus ini akan menyembul di sana. Arus menyembul yang
merupakan gejala upwelling terbesar ini membawa arus dingin dari laut
dalam dan menjadi sumber nutrisi serta konsentrasi karbon ke
permukaan setempat.

Arus laut di Samudra Pasifik yang merupakan samudra terluas


akan mengalir ke arah barat akibat dari tekanan momentum akibat
perputaran bumi pada rotasinya ke arah timur. Prinsip serupa terlihat
pada arah angin pasat akibat tekanan gaya serupa dan gaya coriolis yang
mengarahkannya ke barat. Arus muka air laut di daerah Pasifik yang
mengalir ke barat ini akan berkumpul di daerah ekuator sekitar daerah
kolam hangat (warm pool) atau sebelah utara Pulau Papua. Karena
tempat ini merupakan tempat mengumpulnya arus permukaan yang
notabene hangat akibat radiasi matahari maka panas yang terbawa arus
laut ini akan mengumpul dan menciptakan daerah yang lebih hangat dari
sekitarnya atau kolam hangat. Selain menciptakan kolam hangat, arus
yang mengumpul tersebut juga akan menumpuk sehingga menciptakan
tinggi muka laut yang lebih tinggi di bandingkan di Samudra Indonesia
dan menimbulkan tekanan geostrofis. Akibatnya akan terjadi aliran arus
lintas Indonesia.

Penumpukan massa air laut di daerah warm pool menyebabkan


tekanan geostropis (tekanan akibat perbedaan tinggi muka laut) antara
samudra Pasifik dengan samudra Indonesia. Akibatnya arus dari
samudra Pasifik kemudian kembali mengalir menuju samudra Indonesia
melalui kepulauan benua maritim. Arus yang mengalir melewati

38
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

kepulauan Indonesia ini disebut sebagai Arus Lintas Indonesia atau


Arlindo yang polanya sangat persisten atau terus menerus (Gambar
3.8). Masa air yang dibawa oleh Arlindo ini adalah masa air hangat yang
terkumpul di kolam air hangat di sebelah utara Pulau Irian. Daerah kolam
hangat (warm pool) terbentuk karena pengumpulan arus muka laut yang
relatif hangat. Variabilitas aliran masa laut ini kurang dipengaruhi oleh
gejala lokal, tetapi untuk fenomena regional seperti aliran Kelvin wave
dari Samudra India serta gejala El Niño, variabilitas dari aliran ini cukup
terganggu terutama hingga lapisan termoklin. Aliran arus laut lintas
Indonesia ini dari Samudra Pasifik terutama melewati Selat Makassar
dan menuju Selat Lombok dan Selat Ombai dekat Pulau Timor. Selain itu
juga mengalir lewat Selat Lifamatola antara Maluku Utara dan Sulawesi

Tengah dan juga mengalir melewati Selat Ombai setelah melalui Laut
Banda.

Gambar 3.7. Arus perputaran sabuk dunia (the Great ocean conveyor

39
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

belt) yang mengitari bumi dalam ± 2000 tahun. Arus


permukaan masuk ke dalam di Atlantik utara, sementara
arus dalam menyembul di barat samudra Indonesia (Indian
Ocean) dan utara samudra Pasifik.

Gambar 3.8. Arus utama dari arus lintas Indonesia dengan nilai satuan
aliran persatuan waktu yaitu Sv (juta m3/detik) berdasarkan
nilai rerata tahunan (Gordon, 2005).

Sebagaimana akan di paparkan pada Bab berikutnya, arus lintas

40
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR

Indonesia ini sangat mengendalikan sistim iklim di daerah Indonesia


bagian timur terutama akan dampak dari fenomena regional di daerah
Pasifik yaitu ENSO. Hal ini dapat mudah dimengerti karena sinyal
perubahan laut yang terjadi di daerah Pasifik akan dengan mudah
terbawa oleh arus lintas Indonesia. Akibatnya akan terlihat pengaruh
langsung terhadap iklim di benua maritim. Pengendali lain yang
mempengaruhi daerah ini hanya sifat monsunal dari arus laut. Sifat
monsunal juga mempengaruhi dari sistem dampak dari ENSO terhadap
benua maritim Indonesia. Dengan kuatnya pengaruh ENSO terhadap
iklim Indonesia, deteksi dini dari ENSO diharapkan datang dari
informasi yang dibawa oleh arus lintas ini. Selain itu lautan membawa
sinyal yang jauh lebih stabil di bandingkan oleh sinyal yang dibawa oleh
atmosfer yang cuma bertahan relatif lebih singkat. Diperlukan studi yang
lebih seksama lagi dimana dapat dilakukan pemantauan perubahan arus
laut baik suhu, tinggi muka laut atau salinitas untuk dapat mendeteksi
sedini mungkin kedatangan gejala El Niño yang menimbulkan dampak
negatif terutama bagi pertanian dan kebakaran hutan.

Pertanyaan:

1. Bagaimana distribusi evaporasi dan hujan dari daerah tropis hingga


ke kutub, terangkan mengapa?

2. Bagaimana struktur di daerah perbatasan laut dan atmosfer untuk


salinitas dan temperatur, serta hubungan dengan atmosfer.

3. Terangkan terbentuknya pergerakan Ekman?

4. Bagaimana tingkat salinitas di lautan dipengaruhi oleh aktivitas di

41
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

atmosfer?

5. Apa peran inversi di atmosfer dan peran isotherm di lautan.

6. Bagaimana tingkat salinitas di lautan dipengaruhi oleh aktivitas di


atmosfer?

7. Bagaimana pengaruh gaya coriolis terhadap pergerakan siklon di


bumi belahan utara dan selatan? Apa akibatnya bila bumi itu
berbentuk silinder dan bukan bulat bundar?

8. Akibat sifat geostropis laut maka terjadi arlindo dari Samudra Pasifik
menuju Samudra Indonesia, apakah mungkin terjadi sebaliknya
dimana arus lintas mengalir dari Samudra Indonesia menuju
Samudra Pasifik, mengapa?

42
BAB 4

IKLIM INDONESIA

4. 1. SIFAT IKLIM DAERAH TROPIS

Seperti telah diuraikan pada Bab terdahulu, iklim daerah tropis


ditandai dengan tingginya curah hujan dan evaporasi dimana untuk
wilayah Indonesia curah hujan lebih tinggi daripada evaporasi. Akibat
dari kedua proses tersebut, daerah tropis memiliki tutupan awan yang
tinggi yang mengakibatkan rendahnya jumlah radiasi di permukaan.
Sebenarnya jumlah radiasi dalam bentuk energi gelombang pendek
terbanyak diterima di daerah tropis. Akan tetapi tutupan awan
menghalangi radiasi masuk. Selain itu awan berfungsi sebagai cermin
dimana nilai albedo yang sangat kecil sehingga jumlah radiasi yang
dipantulkan oleh awan sangat tinggi dan hanya lebih kecil daripada
tutupan es di daerah kutub. Karena pesatnya proses curah hujan dan
evaporasi, maka daerah tropis merupakan daerah yang paling lembab di
muka bumi, terutama daerah tropis yang berada diatas pulau. Hal ini
karena pulau-pulau berfungsi sebagai pusat aktivitas konveksi atau pusat
pertumbuhan awan terutama di daerah pesisir. Untuk lautan, kuatnya
proses hujan dan evaporasi mengakibatkan daerah tropis memiliki nilai
salinitas yang rendah terutama pada waktu musim hujan dimana terdapat
tambahan kontribusi besar dari aliran sungai dari daratan.
Perbedaan nilai salinitas antara puncak musim hujan dan puncak
musim kering tidak terlalu drastis jika dibandingkan oleh perbedaan

43
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

suhu muka laut. Meskipun demikian perbedaan suhu muka laut di daerah
tropis tidak sedemikian besar dibandingkan dengan daerah non tropis.
Perbedaan terbesar dari rentang normal untuk suhu muka laut lebih
disebabkan oleh faktor luar seperti cold surge di Laut Cina Selatan pada
bulan Januari hingga Maret, ENSO atau Indian Dipole. Meskipun
perbedaan suhu muka laut maksimum dan minimum tidak terlalu besar,
tetapi pengaruh terhadap jumlah curah hujan sangat besar. Peningkatan
suhu muka laut sedikit dapat mengakibatkan besarnya suplai uap air
yang mendorong tingginya curah hujan. Dapat dikatakan, daerah tropis
berada di ambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah hujan
maksimum dan minimum. Karena faktor luar sangat tidak dominan,
seperti siklon tropis, maka pengaruh perubahan suhu muka laut terhadap
curah hujan lebih dominan. Sebagai hasilnya kemampuan perubahan
atau peramalan cuaca dan iklim di daerah tropis jauh lebih baik untuk
skala bulanan hingga semi tahunan dibandingkan untuk skala harian
hingga bulanan.
Selain tingginya nilai curah hujan dan evaporasi, daerah tropis
ditandai dengan lemahnya angin permukaan dan tingginya tekanan
udara permukaan. Perubahan tekanan udara juga relatif kecil
dibandingkan skala perubahan waktu sehingga sulit terjadi
pembentukan angin kencang. Hal yang terakhir ini juga didukung oleh
lemahnya gaya coriolis bumi di daerah tropis yang menyebabkan tidak
mungkinnya di daerah tropis terbentuk atau menjadi lintasan siklon
tropis. Daerah yang bebas siklon tropis biasanya terletak diantara 10 LU
dan 10 LS. Meski tidak menjadi tempat tumbuh dan lintasannya, daerah
tropis mendapat pengaruh dari siklon tropis yang lewat pada ekornya.
Biasanya hal ini menyebabkan angin kencang dan curah hujan tinggi di
daerah ekor siklon. Sedangkan daerah yang jauh dapat mengalami
kekurangan awan karena tertarik kedaerah siklon.

44
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

Angin permukaan untuk daerah tropis umumnya lemah, hal ini


berlawanan dengan angin pada level atas yang umumnya relatif
kencang. Salah satu penyebab lemahnya angin permukaan adalah karena
kecilnya perbedaan tekanan udara permukaan di daerah tropis. Pada
musim hujan, akibat kuatnya suplai udara basah dan konveksi udara,
sirkulasi angin kencang pada level atas terganggu sehingga angin pada
level tersebut lebih lemah daripada pada musim kemarau. Lemahnya
angin permukaan di daerah tropis membawa konsekuensi lemahnya
sirkulasi arus laut di daerah tropis jika dibandingkan dengan daerah non
tropis. Pengaruh faktor luar dapat merubah ini. Seperti contohnya arus
lintas Indonesia yang konsisten selalu mengalir dari Samudra Pasifik ke
Samudra India melewati benua maritim Indonesia. Arus ini mengalir
lebih bukan karena pengaruh angin permukaan tetapi karena tekanan
masa air permukaan di daerah kolam hangat (warm pool) disebelah utara
Pulau Irian. Meskipun angin permukaan lemah, tetapi pola tahunannya
berubah ubah mengikuti pola monsun, sehingga pola sirkulasi arus laut
Indonesia secara umum dapat diprediksi.

4. 2. Pembagian Iklim Indonesia

Pola iklim Indonesia didominasi sifat monsunal karena


pergerakan titik kulminasi matahari dari bumi belahan utara ke selatan
dan sebaliknya dalam skala setengah tahunan (Gambar 4.1 dan 4.2). Hal
ini mengakibatkan nilai kontras akumulasi hujan pada puncak musim
hujan dan puncak kemarau. Sesuai dengan kriteria yang dikembangkan
oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), jika hujan diatas 150
mm, maka dikategorikan bulan basah, sebaliknya apabila curah hujan
dibawah 150 mm per bulan akan disebut bulan kering. Meskipun
dipengaruhi monsun, tidak semua daerah Indonesia memiliki pola iklim
tahunan yang serupa (Gambar 4.3). Untuk daerah selatan Indonesia,

45
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Gambar 4.1. Pergerakan tahunan musim hujan wilayah Indonesia

46
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

Gambar 4.2. Pola musiman angin dan hujan di wilayah Indonesia.

47
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

memiliki satu puncak hujan dan satu puncak kemarau. Sedangkan untuk
daerah sebelah utaranya dapat memiliki dua puncak hujan dan dua
puncak bawah. Pada daerah tengah dan utara Indonesia, terkadang
disebut daerah iklim ekuatorial dimana tidak jelas nampak perbedaan
puncak musim kemarau dan hujan pada pola tahunannya. Kedua puncak
atas terjadi pada saat titik kulminasi matahari melewati daerah tersebut.
Dan kedua puncak bawah terjadi pada saat titik kulminasi meninggalkan
daerah tersebut. Puncak musim hujan terjadi pada saat pergantian tahun
dan puncak musim kemarau pada pertengahan tahun. Wilayah Indonesia
bagian selatan hanya memiliki satu puncak atas dan bawah karena
pergerakan monsun berhenti di daerah tersebut. Hal ini karena di
Samudra Indonesia sebelah selatan Kepulauan Indonesia tidak terdapat
pulau-pulau lagi yang menjadi pusat konveksi.

Gambar 4.3. Pembagian wilayah Iklim Indonesia berdasarkan pola curah


hujan tahunan dengan pola hujan tahunan (gambar inset).
Pembagian wilayah adalah pola monsunal (A), pola semi
monsunal atau ekuatorial (B) dan pola anti monsunal (C).

48
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

Selain variasi utara selatan, terdapat variasi barat timur pola iklim di
wilayah Indonesia. Untuk wilayah bagian selatan, semakin ke timur
maka musim kemarau akan semakin panjang. Hal ini dikarenakan lebih
cepatnya pusat konveksi meninggalkan daerah tersebut mengikuti pola
kulminasi matahari. Selain bergerak utara selatan, pergerakan suhu laut
di wilayah maritim Indonesia sebenarnya juga bergerak dari arah barat
laut tenggara. Sehingga daerah ini lebih banyak mengalami musim
kemarau.

Perkecualian dari pola iklim diatas terjadi di wilayah Maluku


Utara dimana pola iklimnya bertolak belakang dari pola iklim monsunal
umum wilayah lain Indonesia. Puncak dari musim hujan bukannya
terjadi pada akhir tahun tetapi pada tengah tahun. Apabila diteliti lebih
lanjut, ternyata anomali iklim ini lebih disebabkan oleh aliran arus laut di
daerah tersebut (Gambar 4.4). Pada pertengahan tahun, arus laut hangat
mengalir dari daerah kolam hangat di utara Pulau Irian masuk ke laut
utara Maluku. Akibatnya daerah ini mengalami puncak musim hujan.
Pada pertengahan tahun yang lain, arus laut dingin mengalir ke daerah ini
dan menghambat pertumbuhan daerah konvektif di wilayah ini.
Akibatnya pola iklim tahunan lebih diatur oleh pola arus laut permukaan
dan menunjukkan pola kebalikan dan pola monsun umumnya. Arus laut
yang bersifat bolak-balik di Kepulauan Maluku ini mengacu pada arus
permukaan hingga lapisan termoklin pada kedalaman sekitar 200 m.
Untuk arus dari arlindo pada kedalaman yang lebih tidak terlihat
pengaruh sifat bolak-balik namun adalah pergerakan arus yang persisten
dari Samudra Pasifik menuju Samudra Indonesia.

Jauh sebelum era satelit pada akhir tahun 60an, telah dibuat studi
mengenai sistem arus laut wilayah Indonesia oleh beberapa riset Belanda
dengan proyek Snellius I dan Snellius II. Hasil dari proyek penelitian ini

49
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Gambar 4.4. Pola arus laut tahunan di Indonesia timur pada muka laut.

50
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

Gambar 4.5. Arus laut wilayah sekitar Indonesia pada bulan Juni (atas)
dan Desember (bawah) menurut Wyrtki (1961).

51
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

dapat dilihat pada laporan Naga Report oleh Wirtky (1961) sebagaimana
terlihat di Gambar 4.5. Hasil laporan Naga tersebut tidak jauh berbeda
dengan gambaran arus hasil keluaran model pada gambar sebelumnya.
Hal ini karena apa yang digambarkan lebih pada komponen iklim
tahunan yang secara klimatologis tidak berubah. Hingga saat ini Naga
Report masih menjadi acuan utama dari beberapa studi kelautan wilayah
Indonesia baik untuk observasi maupun dalam pemodelan arus laut.

4. 3. KOMPONEN IKLIM INDONESIA

Meskipun tidak pernah disebut secara eksplisit pada berbagai


penelitian terdahulu apa yang menjadi komponen pembentuk iklim
Indonesia, berikut ini adalah beberapa komponen iklim utama yang
membentuk variabilitas iklim Indonesia disarikan dari beberapa
penelitian terdahulu.

 Pergerakan utara selatan ITCZ


 Arus Lintas Indonesia (Arlindo)
 Aktivitas El Niño Southern Oscillation
 Indian Dipole Mode
 Indian Summer Monsoon
 Cold Surge (seruak dingin) dan cross equatorial advection
 Variabilitas Intra Seasonal (MJO), gelombang Easterly
Kelvin dan equatorial jet
 Proses adveksi dan konveksi lokal
 Angin darat dan laut serta variabilitas diurnal
 Siklon tropis

52
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

 Variabilitas pada frekuensi lain seperti: osilasi quasi biennial,


variabilitas dekade dan skala panjang perubahan iklim.

4. 4. MONSUN DAN ITCZ

Monsun adalah fenomena iklim global dimana terjadi perubahan


iklim di atmosfer dan laut. Penyebab utama dari fenomena ini adalah
pergerakan titik kulminasi matahari terhadap bumi yang bergerak utara
selatan dan terciptanya kontras tekanan dan suhu antara benua dan
samudra. Fenomena monsun selain mengikuti fungsi kulminasi
matahari juga mengikuti pola garis pantai karena pada daerah tersebut
terjadi pusat-pusat konveksi dan juga diakibatkan oleh pola kontras
antara benua dan samudra. Sehingga pergerakan daerah fenomena
monsun tidak murni bergerak arah utara selatan. Untuk wilayah
Indonesia terjadi pergerakan masuk dan keluarnya monsun dari barat
laut menuju tenggara. Hal ini dikarenakan mengikuti posisi benua dan
samudra yang mengapit wilayah benua maritim.

Gambar 4.6. Peta daerah monsun muka bumi berdasarkan definisi dari

53
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Ramage 1971.

Pergerakan titik pusat konveksi membawa akibat daerah pumpunan


awan konvektif lintas benua yang dikenal dengan istilah Inter Tropical
Convergence Zone (ITCZ, daerah konvergensi lintas tropis). Daerah ini
memiliki ciri, tempat kumpulan awan, tempat bertemunya angin pasat
timur laut dan tenggara dan daerah dengan suhu muka laut maksimum.
Tempat bertemunya kedua angin pasat ini ditandai dengan angin arah
timuran sekaligus merupakan daerah konvergensi yang disebut sabuk
ITCZ.
Kontras antara Benua Asia dan Australia yang semakin
memperkuat pergerakan utara selatan dari ITCZ. Apabila salah satu
benua tersebut tidak ada maka pergerakan utara selatan dari ITCZ akan
tidak sekuat yang terjadi selama ini. Jikalau kita perhatikan wilayah
monsunal lain di muka bumi (Gambar 4.6) maka jelas sekali posisi
daerah monsun yang mengikuti garis pantai dari benua. Apabila tidak
terdapat benua Australia maka pergerakan monsun di benua maritim
Indonesia tidak akan mencapai wilayah selatan Indonesia. Selain itu juga
diamati bahwa musim penghujan di wilayah selatan Indonesia jauh lebih
pendek daripada musim penghujan di sebelah utara Indonesia karena
wilayah selatan adalah wilayah puncak selatan dari pergerakan ITCZ.
Sedangkan wilayah tengah dan utara mengalami dua kali dilewati oleh
ITCZ sehingga memiliki sifat curah hujan tahunan dua puncak. Sifat
lebih pendeknya musim penghujan di wilayah selatan juga dikarenakan
oleh sifat masuk dan keluarnya ITCZ ke wilayah Indonesia dari barat
laut menuju tenggara dan sebaliknya yang mengikuti kontras sebaran
benua dan samudra.
Definisi monsun menurut Khromov (1957) daerah monsun

54
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

merupakan daerah dimana arah angin yang dominan berbalik arah paling
sedikit 120° antara bulan Januari dan Juli. Januari adalah maksimum
musim dingin di belahan bumi utara (BBU) dengan suhu rata-rata
terendah di BBU dan Juli adalah maksimum musim panas dengan suhu
rata-rata tertinggi di BBU. Ramage (1971) memberikan definisi monsun
dengan menambahkan kriteria kekuatan angin (wind strength) dan
mengidentifikasi daerah-daerah yang meliputi Afrika, Asia, dan
Australia sebagai daerah yang memenuhi kriteria angin yang berbalik
arah dan kriteria hujan monsun. Definisi modern dari monsun
sebagaimana yang diusulkan oleh Wang et al. (2001) memakai sifat
kontras antar benua dan samudra. Prinsip ini dipakai Wang et al. (2001)
untuk definisi indeks dari Monsun India yaitu memakai dua kotak aliran
angin zonal pada ketinggian level 850 hPa di tengah sub kontinen India
dan di laut Arab atau sebelah barat laut Samudra Indonesia. Untuk
wilayah Indonesia, hingga saat ini belum ada definisi indeks monsun
yang dipakai, salah satu penyebabnya adalah ada beberapa tipe
monsunal di benua maritim dan sifat lokal yang sangat mempengaruhi
variabilitas iklim akibat orografis dan rupa bumi.

Pergerakan arus laut yang diakibatkan oleh pola monsunal yang


mengikuti titik kulminasi matahari menyebabkan perubahan distribusi
ikan pada kedua musim tersebut. Perubahan di laut juga terjadi karena
penurunan suhu laut permukaan pada musim kemarau yang
mengakibatkan beberapa jenis ikan dalan naik ke level kedalaman laut
yang lebih tinggi. Pada waktu musim kemarau lautan jauh lebih tenang
sehingga mengakibatkan tingkat turbiditas yang rendah. Sifat terakhir
ini lebih disukai oleh ikan-ikan di lautan sehingga potensi tangkap di
musim kemarau lebih tinggi dibandingkan di musim hujan.

55
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

4. 5. ENSO

El Niño Southern Oscillation (ENSO) adalah sebuah fenomena


interaksi laut atmosfer yang berpusat di wilayah ekuatorial Samudra
Pasifik (Philander, 1983, 1990). El Niño sendiri berarti bayi laki-laki
dalam bahasa Peru (Spanyol) karena puncak dampak yang dirasakan di
wilayah tersebut terasa pada saat mendekati Natal atau akhir tahun
dengan matinya banyak ikan di laut lepas Pantai Peru.

Dampak dari fenomena ini terasa secara global. Osilasi dari


fenomena ini membawa dua fenomena yaitu El Niño dan La Niña, yaitu
berhubungan berturut-turut dengan fase hangat dan dingin di wilayah
ekuator Pasifik. Secara normal terdapat kolam hangat (warm pool) di
sebelah utara Pulau Papua yang merupakan tempat berkumpulnya arus
permukaan dari aliran sabuk dunia sebelum dihantar melalui arlindo
melalui wilayah benua maritim menuju Samudra Indonesia. Kolam
hangat ini juga tempat sirkulasi Walker dimana terjadi pengangkatan
masa udara (convection center). Pada saat El Niño, terjadi perpindahan
daerah warm pool menuju ke timur daerah ekuator Pasifik dan
meninggalkan daerah subsidensi (berlawanan dengan daerah konveksi)
di utara Irian. Daerah warm pool mendingin dan dengan arlindo
membawa arus dingin ke benua maritim yang juga menyebabkan
kekeringan akibat terhambatnya penguapan akibat dinginnya laut.
Gejala sebaliknya pada saat La Niña terjadi lebih penghangatan di
daerah warm pool.

Penumpukan massa air di daerah warm pool tersebut


menyebabkan aliran geostropis massa air dari Samudra Pasifik menuju
Samudra Indonesia melalui Indonesia yang dikenal sebagai arus lintas
Indonesia (arlindo). Penumpukan di warm pool tersebut menyebabkan
ketinggian muka laut di daerah warm pool di atas daripada di Samudra

56
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

Indonesia. Penumpukan panas di permukaan membawa implikasi pada


penumpukan panas di bawah permukaan yang menebalkan lapisan
termoklin di daerah warm pool (Gambar 4.7). Pada saat El Niño terjadi
perpindahan massa air hangat ke timur di permukaan dan di bawahnya,
sehingga terjadi perubahan lapisan termoklin yang menipis di daerah
barat Samudra Pasifik dan massa air hangat mengalir ke timur. Penyebab
utama aliran massa air hangat ke timur hingga saat ini belum diketahui

tetapi kemungkinan akibat perbedaan gradien suhu dan energi akibat

57
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

penumpukan energi di daerah warm pool dibandingkan dengan di


Pasifik tengah.

Gambar 4.7. Perubahan tinggi muka laut dan kedalaman termoklin


akibat angin pasat tenggara dan sewaktu terjadi El Niño

Gambar 4.8. Anomali curah hujan Indonesia (dalam %) pada saat El


Niño memakai analisa komposit tahun El Niño antara 1960
- 1993 (Aldrian, 2003).

Menurut analisa Aldrian dan Djamil (2007) terhadap curah hujan


wilayah Jawa Timur, ditemukan bahwa pengaruh ENSO merupakan
sinyal terkuat kedua setelah monsun. Hal ini dapat dipahami karena
kuatnya pengaruh ENSO terhadap iklim wilayah Indonesia disebabkan
oleh kuatnya pengaruh wilayah warm pool dan arlindo terhadap iklim
benua maritim. Selanjutnya penelitian dari Aldrian et al. (2007) juga

58
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

menemukan bahwa model iklim global berkinerja baik untuk wilayah


Indonesia pada saat tahun tahun ENSO. Diluar tahun tahun ENSO
kinerja model iklim menurun drastis. Dampak utama selain kekeringan
yang terasa di Indonesia adalah maraknya kebakaran hutan dan
gangguan suplai air permukaan yang dirasakan pada beberapa waduk
utama di Indonesia.

Gambar 4.9. Anomali curah hujan Indonesia (dalam %) pada saat La Niña
memakai analisa komposit tahun La Niña antara 1960 -
1993 (Aldrian, 2003).

Fenomena monsun adalah gejala alam umum yang terjadi pada


skala waktu tahunan di Indonesia. Variasi pola umum ini berubah akibat
proses pemanasan global atau karena fluktuasi gejala ENSO. ENSO
adalah fenomena global laut atmosfer yang memiliki dampak global
terhadap iklim di muka bumi. Gejala ENSO membawa implikasi laut

59
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Indonesia lebih dingin pada kejadian El Niño dan lebih hangat pada
kejadian La Niña. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah hujan pada
tahun La Niña dan penurunannya pada tahun El Niño (Gambar 4.8 dan
4.9). Untuk wilayah Indonesia, akibat pola monsunal yang mengatur
pola sirkulasi arus laut permukaan, pengaruh El Niño dan La Niña
ternyata dibatasi hanya pada musim kemarau. Karena pada musim inilah
arus laut dari Pasifik mengalir masuk ke wilayah Indonesia (Gambar
4.4) dengan implikasi perubahan akibat kedua fenomena global tersebut.

Sedangkan pada musim hujan pengaruh dari kedua fenomena global


tersebut dihambat oleh tidak mendukungnya pola arus laut, dimana pola
arus permukaan menuju keluar wilayah Indonesia. Berdasarkan kriteria
di atas, maka pengaruh El Niño akan lebih memperburuk iklim
Indonesia karena pengurangan jumlah hujan terjadi pada puncak musim
kemarau, sedangkan La Niña lebih bukan merupakan bencana karena

60
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

terjadi juga di musim kemarau yang tidak terlalu kering.

Gambar 4.10. Beberapa proses di atmosfer saat terjadinya El Niño

4. 6. SERUAK DINGIN (COLD SURGE)

Pengaruh arus laut terhadap pola iklim tahunan juga terjadi pada
wilayah lainnya. Pada bulan Januari hingga Maret, di wilayah laut Cina
Selatan terjadi peristiwa cold surge (seruak dingin) dimana arus laut
dingin mengalir dari sebelah utara dan membawa akibat penurunan
curah hujan secara drastis di wilayah ini. Apabila cold surge tidak terjadi,
daerah ini akan mengalami pola ekuatorial seperti daerah lainnya.
Dengan adanya cold surge ini, wilayah sekitar laut Cina Selatan tersebut
akan mengalami perbedaan pola curah hujan yang mencolok pada bulan
bulan sekitar kejadi cold surge. Cold surge terjadi karena di Siberia pada
puncak musim dingin (winter) memiliki tekanan udara yang tinggi.
Tekanan udara tinggi ini mendorong aliran angin permukaan ke selatan
yang mendorong aliran arus ke selatan. Aliran arus laut permukaan ini
bersifat dingin karena di bumi belahan utara sedang mengalami puncak
musim dingin.Dari uraian di atas kita melihat peranan laut dalam
membentuk pola iklim di wilayah Indonesia dan berfungsi sebagai
interaksi laut atmosfer.

Saat ini untuk menentukan indeks cold surge dipakai kondisi


cuaca di Hongkong. Cold surge dikatakan sampai di Hongkong apabila:
1) Suhu di Hongkong turun 5 ºC atau lebih selama 24 jam.
2) Angin meridional minimal 10 knot / 5 ms-1.
3) Beda tekanan udara di 30 ºLU - 115 ºBT dan Hongkong sama dengan

61
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

atau lebih besar dari 10 mb.

Beberapa dampak dari penjalaran cold surge ke wilayah


Indonesia adalah kebakaran hutan di Propinsi Riau, penundaan atau
tekanan ITCZ ke wilayah selatan yang sering mengakibatkan banjir di
wilayah Sumatera Selatan serta banjir di Jakarta apabila cold surge
diserta oleh fase aktif MJO (diterangkan kemudian) dan sebuah vorteks
di barat daya Jawa.

Gambar 4.11. Contoh penjalaran dari sebuah episode cold surge antara
tanggal 18 dan 30 Desember 1999 berdasarkan angin
meridional. Gambar menunjukkan pergerakan setiap dua
harian pada level ketinggian 925mb (Aldrian dan Utama
2007).

62
BAB 4 - IKLIM INDONESIA

4. 7. DIURNAL, MJO, INTERANNUAL

Selain faktor tahunan tersebut, pola iklim Indonesia juga


dipengaruhi oleh faktor-faktor non tahunan seperti pada frekuensi yang
lebih tinggi seperti harian intraseasonal dan frekuensi rendah seperti
faktor inter tahunan. Wilayah tropis memiliki ciri faktor harian yang kuat
karena tidak adanya perbedaan suhu permukaan dan tekanan yang besar
antar selang waktu berbeda. Konsekuensinya adalah sirkulasi angin
permukaan yang lemah di daerah ini. Kekurangan dari faktor angin
permukaan yang lemah akan menyebabkan kuatnya pengaruh angin
lokal seperti angin darat dan laut, angin lembah dan gunung dan angin
danau. Angin angin ini ditambah dengan besarnya perbedaan radiasi
matahari menyebabkan dominannya faktor harian diurnal. Faktor
diurnal merupakan perbedaan antara siang dan malam akibat kondisi
lokal di atas.

Untuk skala intra seasonal atau antara 30 - 90 hari, terdapat


dominasi pengaruh pergerakan daerah konveksi dari Samudra India ke
arah timur. Pergerakan variabilitas intra seasonal ini membawa akibat
daerah hujan yang tinggi pada daerah yang dilaluinya. Variabilitas atau
osilasi intra seasonal ini dikenal dengan istilah Madden Julian
Oscillation sesuai nama pencetusnya (Madden dan Julian 1994).
Pergerakan MJO lebih mengikuti keberadaan ITCZ, yaitu ke daerah
selatan pada waktu puncak musim hujan dan ke arah utara pada waktu
puncak musim kemarau. Fenomena MJO akan dibahas lebih lanjut pada
Bab berikutnya.

Pengaruh dari osilasi inter-tahunan lebih terjadi pada skala


panjang seperti 2 tahunan (osilasi biennial) akibat perubahan atmosfer
atas, 11 tahunan akibat perubahan aktivitas matahari, osilasi dekadal

63
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

skala antara 10 hingga 30 tahunan dan lebih panjang lagi akibat


perubahan iklim global karena proses pemanasan di muka bumi.

Pertanyaan:
1. Monsun terjadi karena kontras antara benua dan samudra. Andaikan
bumi merupakan planet aqua atau planet tanpa daratan, seperti apa
pergerakan utara selatan dari ITCZ?

2. Bagaimana peran benua Australia terhadap sifat monsun benua


maritim Indonesia.

3. Dengan keberadaan dua benua dan dua samudra sekitar wilayah


benua maritim, apakah mungkin terjadi kekeringan panjang diatas
tahunan di benua maritim Indonesia?

4. Dengan keberadaan dua benua dan dua samudra sekitar wilayah


benua maritim, apakah dampak pemanasan global yang dapat
terjadi?

5. Mengapa dampak ENSO hanya terasa di musim kemarau?

6. Meskipun pergerakan equinoks matahari adalah utara selatan, tetapi


pola masuk musim di Indonesia lebih bersifat dari barat laut menuju
tenggara. Apa penyebab perbedaan ini?

64
BAB 5

PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

5. 1. BAGAIMANA INTERAKSI TERJADI

Lapisan batas antara laut dan atmosfer sangat dinamis. Materi


dan energi secara terus menerus di transfer antara kedua media ini dalam
dua arah. Kopling antara angin dengan muka laut akan menggerakkan
gelombang dan arus. Udara di atas laut akan memperoleh atau
kehilangan panas dari laut tergantung pada perbedaan suhu antara muka
laut dan lapisan udara di atasnya. Air laut menguap ke atmosfer dan uap
air di atmosfer akan berkondesasi membentuk kabut, awan, dan hujan
yang mengembalikan massa air ke lautan.

Interaksi antara laut dan atmosfer terjadi di permukaan air laut


dengan terjadinya perpindahan energi, massa air, momentum, dan
partikel gas yang menyertainya. Proses fundamental yang
menghubungkan laut dan atmosfer adalah input energi ke laut dari angin,
perpindahan massa air (water flux) yaitu hujan dikurangi evaporasi dan
net surface heat flux (energy flux). Kesemua proses ini terjadi pada skala
mikro level molekul. Akhir dari proses interaksi ini adalah pengetahuan
bagaimana proses mikro tersebut berpengaruh terhadap lapisan turbulen
laut atau lapisan campur (mixing layer) laut dan lapisan batas atmosfer
yang juga dipenuhi oleh turbulensi. Selanjutnya proses tersebut
berpengaruh terhadap lapisan termoklin dan laut dalam serta lapisan
atmosfer bebas melalui proses konveksi di laut dan atmosfer. Lebih

65
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

lanjut lagi pada skala regional dan global proses ini memberikan
pengaruh pada daerah lain yang jauh tetapi dihubungkan dengan proses
tele-connection yang dibantu sirkulasi di atmosfer atau di laut.

Gambar 5.1. Proses pembentukan butir uap air dari laut (a) dan
pengangkatan orografis di darat (b) serta pembentukan
jalur awan (c)

Proses interaksi laut atmosfer diawali oleh penyerapan energi


radiasi matahari oleh angin. Radiasi matahari menyebabkan perbedaan
tekanan udara yang membawa akibat perpindahan masa udara dari

66
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

tekanan tinggi menuju ke daerah tekanan rendah. Sebagaimana pertama


diungkap oleh Charnock (1951) bahwa hanya sebagian kecil energi
radiasi yang dibawa angin dipindahkan ke permukaan laut, tetapi arus
laut yang terbentuk akibat angin menentukan daerah laut mana yang
memberikan kembali energi dari laut ke atmosfer dalam bentuk suplai
uap air dan pembentukan awan (Gambar 5.1). Distribusi awan-awan
inilah yang kemudian menentukan distribusi radiasi matahari di muka
bumi akibat proses penyerapan dan pemantulannya (albedo). Pada
akhirnya kembali lagi menentukan arah dan kecepatan pergerakan angin
di permukaan. Radiasi matahari yang terserap di permukaan laut sendiri
tersimpan dalam bentuk suhu laut terutama pada lapisan beberapa meter
paling atas. Apabila ada tekanan angin, maka molekul air laut mulai
bergerak melakukan perpindahan dan distribusi suhu laut baru secara
horizontal dan vertikal mencapai kedalaman termoklin (sekitar 200
meter). Perbedaan suhu permukaan laut inilah yang menentukan daerah
mana yang terjadi penguapan lebih kuat dibandingkan daerah lainnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa secara intrinsik laut dan atmosfer
berhubungan secara interaksi dua arah (coupling).

Proses yang secara prinsip secara sederhana dan gamblang ini


tidak demikian pada kenyataan di permukaan dimana sangat tergantung
pada variabilitas dan distribusi spatial dan temporal yang ada. Sehingga
kita tidak mengetahui secara pasti berapa energi yang terdistribusi pada
keduanya. Beberapa hal penting yang hingga kini masih menjadi
masalah besar bagi proses interaksi laut atmosfer adalah penyebab
distorsi terhadap aliran massa air dan udara. Untuk mengatasi masalah
ini dilakukan pengukuran di laut terbuka yang dicoba dengan teknologi
inderaja satelit dan hubungan dari pengukuran di satu titik dengan situasi
regional (point to spatial distribution). Meskipun demikian daerah tidak
terukur (blank spot) tetap menjadi masalah utama karena proses interaksi

67
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

terjadi secara lokal dan dalam skala mikro fisis dimana kadangkala
peristiwa lokal tersebut sedemikian dominan dalam pembentukan proses
yang lebih luas.

Secara global distribusi proses interaksi laut atmosfer tergantung


pada posisi lintang di bumi dan titik kulminasi matahari saat terjadinya
proses. Seperti dijelaskan sebelumnya pada distribusi aliran masa air
yang memiliki ketergantungan pada posisi lintang dimana pada daerah
khatulistiwa lebih banyak terjadi hujan dibandingkan penguapan. Selain
itu juga radiasi sebagai faktor sentral dari aliran energi juga sangat
tergantung pada posisi kulminasi matahari atau pada musim dalam tahun
berjalan. Dengan kata lain, daerah khatulistiwa adalah wilayah dimana
proses interaksi laut dan atmosfer terjadi paling intensif. Khusus untuk
wilayah benua maritim Indonesia yang terletak di khatulistiwa, peristiwa
interaksi laut atmosfer akan menjadi lebih penting dalam hal prediksi
dan pengendalian iklim skala regional. Hal khusus yang juga berperan
penting pada benua maritim adalah distribusi pulau pulau kecil pada
interaksi laut atmosfer dan sebaliknya. Permasalahan ini akan dibahas
lebih detail pada Bab selanjutnya.

5. 2. PARAMETERISASI PROSES INTERAKSI

Pengamatan berbagai parameter interaksi laut atmosfer secara


global adalah sesuatu kemustahilan karena membutuhkan upaya dan
biaya yang tidak terhingga. Salah satu cara adalah melakukan
pendekatan agar proses yang diukur di suatu tempat dapat di
interpolasikan dalam situasi regional memakai proses parameterisasi
berdasarkan data in situ atau inderaja (Katsaros et al., 1994). Prinsip
dasar yang dipakai adalah dapat menghubungkan fluks massa, gas dan
energi di permukaan dengan kuantitas rata-rata parameter lain. Fluks

68
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

pada suatu area permukaan ditentukan oleh angin permukaan, suhu,


kelembaban pada suatu titik di permukaan dengan memakai sebuah
koefisien transfer (bulk transfer coefficients) dari energi, kelembaban
dan momentum. Bulk parameterization saat ini dipakai dalam berbagai
pemodelan arus laut dalam penyerapan energi, masa air dan momentum
dari atmosfer.
Parameterisasi mengalami hambatan terutama di daerah tropis
dimana angin permukaan sangat rendah dan muka laut menjadi licin
(Bradley et al. 1991; Miller et al. 1992). Bradley et al. (1991). Hasil
perbandingan dari kerja Bradley et al. (1991) menunjukkan bahwa
parameterisasi Liu et al. (1979) dapat bekerja baik dibawah kecepatan
angin 4 m/det pada daerah barat Samudra Pasifik. Dalam hal ini terjadi
modifikasi faktor gust pada formulasi umumnya. Parameterisasi juga
membutuhkan estimasi dari suhu tepat permukaan (skin temperature) di
laut yang biasanya tidak tersedia. Hasil pengukuran satelit biasanya
berkurang akurasinya di daerah tropis akibat terserapnya radiasi
gelombang panjang oleh kandungan uap air di atmosfer. Pengukuran
dengan kapal riset juga biasanya mengukur pada ketinggian 2m di atas
muka laut yang harus dikoreksi dengan suhu laut dan laju penguapan
yang memproduksi skin efek. Lapisan uap air pada ketinggian
permukaan hingga 2 m menyerap energi laten yang mengambil hingga
setengah dari radiasi matahari di lapisan ini. Dua hal di atas
menunjukkan faktor kesulitan utama menentukan parameterisasi di
daerah tropis.

5. 3. GELOMBANG ANGIN DAN TEKANAN PERMUKAAN

Gelombang angin dan tekanan permukaan menentukan


perpindahan momentum dari atmosfer ke laut. Beberapa permasalahan

69
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

dalam hal ini adalah transfer koefisien dari tekanan permukaan ke


momentum yang berhubungan dengan drag coefficient dan kondisi laut
(Smith et al. 1992). Masalah selanjutnya adalah pengaruh perpindahan
massa air, dalam hal ini hujan, terhadap momentum. Le Méhauté and
Khangaonkar (1990) menunjukkan bahwa hujan yang terjadi pada
kondisi tenang akan mengurangi gelombang angin, sebaliknya hujan
yang terjadi pada kondisi angin kencang akan menambah momentum di
laut.
Masalah pada tekanan permukaan diakibatkan oleh terbentuknya
lapisan muka laut (surface film) yang mengurangi dampak radiasi
gelombang pendek dan aliran molekul gas sehingga mengurangi tekanan
permukaan itu sendiri. Terakhir, tekanan permukaan juga dipengaruhi
oleh pembentukan butiran halus (spray) molekul kecil uap air di
permukaan laut yang menyerap energi laten (sensible heat flux) dan
menganggu stabilitas tekanan permukaan disekitarnya.

5. 4. PERPINDAHAN MOLEKUL GAS


Hingga saat ini diperkirakan sekitar setengah emisi CO2 di
atmosfer diserap oleh laut. Sebaliknya lautan juga mengemisikan gas
NO2 ke atmosfer. Erikson (1993) menunjukkan bahwa proses
penyerapan CO2 oleh laut tergantung pada stabilitas termal di muka laut.
Saat ini penyerapan CO2 oleh laut dianggap memainkan peran penting
dalam siklus biogeokimia global dan proses pemanasan global. Berbagai
proses perindahan gas lainnya saat ini juga menarik perhatian akibat
semakin berkembangnya spesies gas yang berada di atmosfer bumi.
Selanjutnya dipercaya bahwa kurangnya pemahaman akan proses
perindahan gas ini menjadi salah satu faktor kesalahan parameterisasi
proses interaksi.

70
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

5. 5. PROSES DI LAPISAN BATAS


Dari proses skala molekul, gejala interaksi laut atmosfer akan
berakibat langsung pada lapisan batas di dekatnya. Proses pembentukan
turbulensi dan konveksi di laut dan di atmosfer sedikit banyak diatur oleh
perpindahan massa air, energi, dan momentum di muka laut. Di atmosfer,
proses turbulensi dan konveksi mendorong pembentukan awan,
sementara di laut proses serupa mendorong perpindahan kalori akibat
arus laut. Pembentukan awan di atmosfer dipengaruhi oleh labilitas
atmosfer akibat suplai uap air yang terdorong ke atas. Proses serupa
terjadi di laut seperti contohnya proses upwelling di dekat garis pantai
akibat proses Ekman pumping. Proses sebaliknya dapat terjadi yang
menyebabkan downwelling di sekitar garis pantai juga. Selanjutnya juga
penjalaran dari gelombang gravitasi di laut atau di atmosfer yang
notabene juga dipengaruhi oleh proses interaksi laut atmosfer.

5. 6. OBSERVASI INTERAKSI LAUT ATMOSFER

Observasi dan pengukuran di lapangan menyangkut pada


beberapa parameter utama di atas seperti suhu udara di permukaan,
kelembaban, kecepatan angin, radiasi, dan suhu laut. Pengukuran
umumnya dilakukan dengan kapal riset untuk pengukuran in situ.
Pengukuran lain dengan teknologi inderaja memakai pesawat terbang
dan satelit yang dilengkapi berbagai sensor. Teknik scanning memakai
lidar pada pesawat dan satelit dapat dipakai untuk melihat struktur
vertikal dari lapis batas atmosfer dan kecepatan angin.

Berbagai pengukuran dengan teknik radar dipakai untuk


menentukan arah gelombang dengan memakai radar kontur permukaan
(Walsh, 1991), radar ocean wave spectrometer (ROWS; Jackson, 1991),

71
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

C-band synthetic aperture radar (SAR; Tilley 1991) dan multimode


airborne radar altimeter (Walsh et al. 1994). Hasil dari berbagai
pengukuran dengan berbagai instrumen tersebut telah dibandingkan
oleh Tilley (1991) dalam proyek riset Labrador Sea Extreme Waves
Experiment (LEWEX). the Scanning Multichannel Microwave
Radiometer (SMMR) dan the Special Sensor Microwave Imager (SSMI)
dapat dipakai untuk penentuan dan memantau latent heat flux secara
global. Selanjutnya SMMR dapat dipakai untuk mengukur total potensi
air tercurah (column integrated water vapor atau precipitable water),
kecepatan angin dan suhu muka laut, dan SSMI menyediakan vektor
angin permukaan (atau stress). Pengukuran satelit untuk total potensi air
tercurah dapat diandalkan. Estimasi dari fluks permukaan membutuhkan
nilai kelembaban permukaan. Liu (1986) memberikan hubungan antara
rata-rata bulanan total air tercurah dan kelembaban spesifik sehingga
kalkulasi kasar dari latent heat fluxes dapat diperoleh juga dari data air
tercurah sebagai proxi-nya.

Proyek-proyek observasi proses interaksi laut atmosfer lainnya


telah dikompilasi oleh Geernaert (1990) dari eksperimen sejak tahun
1950 dimana studi dan pengukuran mengenai tekanan angin and fluks di
muka laut diperlukan pada eksperimen skala besar. Berbagai proyek riset
tersebut diantaranya Barbados Oceanographic and Meteorology
Experiment (BOMEX), Atlantic Trade Winds Experiment (ATEX),
Global Atmospheric Research Program Atmospheric Tropical
Experiment (GATE), Joint Air-Sea Interaction Experiment (JASIN),
Marine Remote Sensing Experiment (MARSEN), Storm Transfer and
Response Experiment (STREX), Humidity Exchange Over the Sea
(HEXOS), Marginal Ice Zone Experiment (MIZEX), Frontal Air-Sea
Interaction Experiment (FASINEX), the Tropical Ocean Global

72
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

Atmosphere Coupled Ocean Atmosphere Response Experiment (TOGA


COARE), the Surface of the Ocean, Fluxes and Interactions and Atlantic
Stratocumulus Transition SOFIA/ ASTEX and World Ocean
Circulation Experiment (WOCE). Proyek terakhir yang disebut di atas
(WOCE) bertujuan melihat proses sirkulasi laut global yang telah
menemukan sabuk perputaran arus dunia (the Great Conveyor Belt).

Salah satu proyek penelitian yang sedang berjalan saat ini adalah
SOLAS Project (Surface Ocean and Lower Atmosphere Study) yang
membahas berbagai masalah air sea interaction. Fokus utama dari
proyek penelitian ini adalah:
 interaksi biogeokimia dan mekanisme coupling antara laut dan
atmosfer
 proses pertukaran pada permukaan laut atmosfer dan peran dari
mekanisme transport dan transformasi di atmosfer dan lapis batas
laut (mixing layer)
 fluks CO2 antara laut dan atmosfer dan gas-gas lain yang berumur
radiasi panjang.

Saat ini berbagai data hasil pengukuran secara in situ dan


inderaja tersedia di internet, diantaranya, tekanan angin (wind stress),
kecepatan angin, suhu muka laut, kandungan air di atmosfer
(atmospheric moisture), heat flux, tinggi muka laut. Keseluruhan data
tersebut juga telah diintegrasikan pada beberapa produk re-analysis
dunia seperti keluaran NCEP/NCAR dari Amerika dan ECMWF dari
konsorsium Eropa. Sebagai contoh untuk tekanan angin (wind stress)
keluaran Jet Propulsion Laboratory NASA tersedia hingga resolusi
0.250 dan data tersedia harian (contoh Draper dan Long, 2002).

73
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Gambar 5.2. Skema pemikiran Proyek SOLAS.

5. 7. PERMASALAHAN INTERAKSI LAUT DAN ATMOSFER

Sebagaimana disampaikan terdahulu bahwa lapisan batas antara


laut dan atmosfer adalah dinamis. Masukan dari sifat fisis air dan
pengaruh dari kejadian upwelling dan downwelling membawa dampak
yang nyata kepada dinamika proses laut dan atmosfer. Namun demikian
dunia interaksi laut dan atmosfer jauh lebih kompleks dan sulit untuk
dimodelkan dengan sebuah model yang sederhana. Ketika mendengar
atau melihat fenomena badai laut, seringkali kita tidak menghubungkan
dengan peristiwa upwelling dan downwelling. Padahal sebenarnya
mereka seringkali berasosiasi dengan kejadian badai tersebut.
Permasalahan dari interaksi laut atmosfer dan proses yang seringkali
berasosiasi dengannya dapat diterangkan sebagai berikut.

74
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

5.7.1. Lapisan Batas Laut

Angin meningkat kecepatannya seiring dengan ketinggian dari


permukaan. Pada bagian atas dari lapisan batas, arah dan kecepatan
angin ditentukan oleh pola tekanan udara. Kecepatan angin di lapisan
batas akan berkurang akibat gesekan antara atmosfer dengan daratan
atau lautan. Laju perubahan di lapisan dekat permukaan tergantung pada
tingkat kekasaran dari permukaan yang bervariasi tergantung pada jenis
orografis. Sedangkan di lautan yang permukaannya relatif halus, kecuali
pada keadaan gelombang pasang. Di laut pada kondisi netral (stabil atau
tidak stabil), peningkatan angin terhadap ketinggian di dekat muka laut
pada lapisan batas (kurang lebih hingga 60 m) digambarkan dengan
hubungan logaritma. Laju perubahannya tergantung pada
ketidakstabilan atmosfer. Semakin stabil kondisinya berarti angin lebih
merata secara vertikal, sehingga terdapat lebih sedikit perubahan dari
satu level ke atasnya. Pada kondisi stabil, ada sedikit perpindahan
momentum dari satu lapisan ke lapisan lain sehingga angin menjadi lebih
rendah ke arah muka laut.

5.7.2. Proses Inversi di Laut

Pada kasus aliran masa udara hangat yang terus menerus dari
selatan (pada bumi belahan utara) di atas laut dingin, sebuah situasi stabil
akan terbentuk. Jika aliran terus menerus ini bertahan cukup lama, akan
terjadi pembentukan inversi di lautan, apabila ada sedikit pergerakan uap
air atau momentum pada lapisan stabil tersebut. Angin dapat menjadi
lemah di bawah daerah inversi daripada di atasnya. Kelembaban yang
diambil dari laut oleh angin dekat permukaan akan tetap berada pada
lapisan inversi tersebut, sehingga udara menjadi jenuh dan kabut segera
terbentuk.

75
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

5.7.3. Kabut Laut

Biasanya terdapat di wilayah pesisir ketika suhu masih cukup


sejuk di daratan dan masa udara hangat memasuki daerah air dingin
tersebut. Proses ini membentuk lapisankabut yang tetap bertahan di air
pada siang hari, terkadang bergerak ke daratan pada malam hari dan
kembali ke lautan di siang hari pada saat daratan menghangat.

5.7.4. Awan Berpusar

Dengan proses serupa seperti pembentukan kabut laut, udara


mengalir melalui laut dingin mengambil uap air dan mendingin. Jika ini
terjadi pada waktu yang lama, awan rendah dan kabut akan terbentuk.
Sebagai contohnya, angin berhembus antara jam-jaman dan harian akan
menciptakan kondisi ini hingga berakhirnya aliran udara tadi.

5.7.5. Percikan Air

Hal ini terbentuk biasanya pada lautan hangat ketika suhu muka
laut masih hangat dan datang massa udara dingin di permukaannya.
Situasi udara dingin diperlukan untuk membuat kondisi tidak stabil
untuk menciptakan percikan air tersebut.

5.7.6. Jalur Awan

Dapat terbentuk apabila massa udara dingin berhembus pada laut


hangat. Massa udara dingin mengambil uap air hangat dari muka laut.
Hal ini menyebabkan udara tidak stabil pada lapisan bawah sehingga uap
air tersebut mulai terangkat. Setelah itu uap air tersebut berkondensasi
dan membentuk awan. Terkadang awan yang terbentuk sangat panjang
dengan didampingi jalur bersih dimana terjadi subsidensi. Hal ini jelas
terlihat dari foto satelit sebagai jalur panjang awan. Biasanya hal ini juga

76
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

terbentuk pada awal pembentukan pusat daerah tekanan rendah yang


sedang berubah menuju ke tekanan tinggi. Jika konveksi dari awan ini
cukup kuat mereka dapat turun sebagai hujan gerimis.

Gambar 5.3. Proses pembentukan barisan buih lautan akibat proses


tiupan angin dan proses Ekman. Perhatikan kemiripan
proses tersebut dengan pembentukan barisan atau jalur
awan.

5.7.7. Angin Laut

Angin laut dapat mempengaruhi cuaca di pesisir sebagaimana


udara di atas daratan mengangkat dan air mulai mengalir dari laut untuk
menggantikannya. Angin laut meningkat ketika terjadi situasi pola
sinoptik regional yang mendukung angin dari daratan pada level atas,
sehingga ada massa udara balik yang kemudian akan membentuk
sirkulasi sel. Batas antara udara di atas daratan yang hangat dan angin
laut yang datang dari laut disebut sebagai fron angin laut. Fron ini dapat

77
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

menjangkau jarak hingga beberapa kilometer masuk ke daratan di siang


hari dan mendukung terjadinya hujan dan kilat yang bertahan di daratan
dan tidak bergerak ke laut sebagaimana biasanya terjadi. Kebalikannya
dari angin laut terjadi di malam hari, ketika kontras suhu berbalik dan
daratan menjadi lebih dingin relatif dibandingkan lautan dan ditandai
dengan udara cerah. Kejadian ini dinamai angin darat yang membawa
hembusan angin ke laut dari daratan.

5.7.8. Gelombang Muka Laut

Ini adalah hasil dari interaksi laut atmosfer yang cukup dikenal.
Angin pada level permukaan memberikan tekanan pada muka laut yang
mendorong terbentuknya gelombang. Gelombang tumbuh tinggi seiring
dengan panjangnya pada jarak lokasi dengan asal gelombang dan
lamanya angin berhembus. Pada angin lepas pantai, gelombang akan
tumbuh tinggi menjauh dari pantai. Gelombang dapat mencapai
antara10 hingga 15 meter ketinggian di tengah badai. Gelombang secara
individu dapat mencapai ketinggian dua kalinya. Ketinggian gelombang
diukur dengan jarak antara puncak dan lembah gelombang.

5. 8. APLIKASI INTERAKSI LAUT ATMOSFER

5.8.1. Energi Budget Bumi

Aplikasi utama dari proses interaksi laut atmosfer adalah


variabilitas iklim seperti gejala panjang dalam dekadal (sepuluh
tahunan), tahunan berupa musim (monsunal), seasonal (bulanan atau
tiga bulanan), intraseasonal (30 - 90 harian) hingga gejala cuaca seperti
siklon tropis dan gejala cuaca ekstrem lainnya. Proses yang bermain
dalam hal ini adalah perpindahan massa air dalam siklus air dan

78
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

perpindahan energi dalam hal variabilitas energi budget. Proses interaksi


laut atmosfer pada belakangan ini menjadi lebih kompleks akibat
semakin berperannya faktor yang merupakan kontribusi perbuatan
manusia (anthropogenic). Pengaruh anthropogenic saat ini secara nyata
telah merubah energi budget bumi dengan menambah pemanasan
global. Artinya lebih banyak lagi energi yang terserap di atmosfer dan
berakibat pada perubahan pola temporal iklim dan cuaca. Apabila
tadinya radiasi matahari yang merupakan sumber energi utama di
atmosfer, sekarang ada peran baru yang kekuatannya semakin besar
yaitu energi sisa pembakaran dari tenaga fosil yang ditambang dari
dalam bumi. Sebenarnya laut memiliki kemampuan luar biasa dalam
menyerap energi dari emisi gas buang ini. Tetapi dikuatirkan
kemampuan menyerap laut akan tidak memadai lagi. Upaya untuk
menyerap kelebihan energi di atmosfer dilakukan dengan berbagai cara
seperti penyerapan sebagai energi angin atau memasukkan ke dalam
bumi (energy sequestration) kembali.

5.8.2. Siklon Tropis

Siklon tropis terjadi di lautan akibat beberapa kondisi yang


mendukung terjadinya yaitu: suhu muka laut hangat di atas 26.5 °C,
kolom udara tempat terjadinya cukup labil dan berpotensi konveksi,
lapisan udara lembab pada lapisan troposfer tengah (5 km). daerah yang
gaya coriolis-nya memadai (kurang lebih 500 km atau diatas lintang 10
dari tropis) dan cukupnya terbentuk gaya vortisitas dan konvergensi di
permukaan laut.

Salah satu akibat dari kelebihan energi di atmosfer ini adalah


bertambahnya frekuensi dan kecepatan siklon tropis. Perubahan iklim
global membawa pengaruh akan semakin kuatnya frekuensi dan

79
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

intensitas siklon tropis dan mengakibatkan panjangnya ekor dari siklon


yang terjadi. Mengapa hal ini dapat terjadi? Peristiwa pemanasan iklim
global merupakan akibat dari eksplorasi energi dari dalam perut bumi
untuk dipakai di muka bumi dan sisa energi dibuang ke atmosfer dalam
bentuk gas gas rumah kaca serta energi berlebih. Gas-gas rumah kaca
tersebut juga menyerap energi radiasi matahari dan menyimpannya di
atmosfer. Selama paradikma pemanfaatan energi di muka bumi masih
seperti demikian dan belum ada upaya membalik proses tersebut
(reversible process) seperti menyerap energi dari atmosfer dan
mengendapkannya ke dalam perut bumi (contoh pemanfaatan energi
angin) maka proses pemanasan global akan terus terjadi. Beberapa kasus
penyerapan secara natural selama ini terasa belum memadai untuk
mengurangi dampak pemanasan global tersebut. Sesuai hukum
kekekalan energi, maka energi yang berlebih di atmosfer tersebut akan
tetap berada di atmosfer atau berubah bentuk menjadi bentuk energi
lainnya. Beberapa bentuk energi di atmosfer seperti energi laten yang
terbentuk akibat perubahan fase air menjadi uap dan es, energi kinetik
seperti angin, siklon dan pergerakan awan serta uap air, energi potensial
seperti butir air yang jatuh sebagai hujan dan energi panas yang
tersimpan pada gas-gas di atmosfer yang menambah panasnya atmosfer
bumi.

Seperti digambarkan di atas, salah satu bentuk energi yang


mungkin terjadi adalah energi kinetik yang berupa angin kencang dan
siklon. Sehingga dengan lebih banyaknya energi yang beredar
kemungkinan terjadinya siklon tropis akan lebih besar dan dengan energi
yang lebih besar maka intensitas serta ekornya secara otomatis akan
lebih besar pula. Konsekuensi dari lebih kuatnya intensitas siklon ini
adalah akan berakibat terjadi penyerapan awan dan uap air yang lebih
besar di daerah sekitar siklon sedangkan di daerah yang jauh akan terjadi

80
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

pengurangan secara drastis jumlah awan dan uap air yang beredar.
Konsekuensi dari hal ini adalah berkurangnya jumlah hari hujan di
daerah tropis yang mana dengan hari hujan yang sedikit diikuti oleh
intensitas yang lebih besar dibanding beberapa dekade lalu. Sehingga
jumlah hari hujan turun tetapi kejadian hujan maksimum harian
meningkat.

5.8.3. Pemanasan Global dan Pengurangan Emisi Karbon


Potensi serap karbon oleh laut dikenal dengan potensi
biogeokimia laut. Ilmu yang diterapkan dalam pemahaman ini
merupakan gabungan ilmu dari berbagai disiplin ilmu. Selain
pemahaman ilmu biologi, geologi, dan kimia, juga diperlukan
pemahaman ilmu kelautan, meteorologi, fisika dinamik, dan inderaja.
Ilmu kelautan diperlukan untuk memahami proses dinamika laut seperti
arus laut, ilmu meteorologi diperlukan untuk mengetahui proses
dinamika atmosfer lokal yang mendorong dinamika di laut. Ilmu fisika
dinamik diperlukan untuk pemahaman sifat dinamika di laut dan
atmosfer di atasnya sedangkan teknologi inderaja diperlukan untuk
mengetahui kandungan plankton baik phytoplankton dan zooplankton
serta mikro biota lainnya dipermukaan yang merupakan agen penyerap
karbon utama di muka laut. Proses penyerapan karbon dapat diterangkan
berikut ini.
Gas-gas rumah kaca yang terserap di atmosfer akan diserap oleh
proses fotosintesis plankton dan turun ke dasar samudra setelah
berasosiasi dengan elemen berat hasil metabolisme di tubuh plankton
tersebut. Proses sederhana ini terjadi di permukaan laut dan
membutuhkan beberapa syarat seperti cukupnya sinar matahari untuk
proses fotosintesis dan nutrisi di permukaan laut untuk mendukung
pertumbuhan plankton di permukaan laut. Dua zat penting yang

81
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

mendukung keberadaan populasi plankton adalah zat nitrat dan fosfat.


Selain itu juga dikenal peran dari silika dan zat besi. Keberadaan zat
nitrat dapat diketahui dengan data satelit inderaja seperti data AVHRR
(Advance Very High Resolution Radiometer). Sebagai sumber nutrisi
utama, sumber nitrat dan fosfat dapat dari proses dinamika di lautan
seperti proses upwelling, tambahan dari partikel yang terbang seperti
debu dari gurun pasir dan letusan gunung berapi, atau dari sumbangan
polusi industri manusia yang bermuara di laut. Dari data di atmosfer
telah diketahui bahwa letusan gunung berapi selalu berfungsi
menurunkan suhu di atmosfer secara global, meski penelitian belum
mencapai kesimpulan peran dari debu gunung berapi terhadap produksi
plankton serta metabolismenya di permukaan laut.

5. 9. PENELITIAN INTERAKSI LAUT ATMOSFER MEMAKAI


MODEL

Meskipun dasar dari pemodelan iklim akan dijelaskan


kemudian, berikut ini ada beberapa teknik pemodelan yang umum
dipakai untuk mempelajari atau meneliti sifat interaksi laut atmosfer
secara lokal dengan memakai pemodelan iklim atmosfer atau gabungan
(kopel) laut dan atmosfer. Cara termudah untuk melakukan penelitian
masalah interaksi laut atmosfer adalah dengan melakukan gangguan
terhadap nilai suhu muka laut yang akan di suplai ke model atmosfer,
beberapa tehnik pemodelan adalah sebagai berikut:
1. Memakai nilai suhu muka laut rata-rata atau biasa disebut
klimatologis untuk melihat kondisi klimatologis tanpa adanya
gangguan fenomena besar regional.
2. Memberikan gangguan suhu muka laut dengan mengganti dengan

82
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

nilai suhu muka laut pada kasus tahun lain atau kasus khusus.
3. Memberikan nilai tambahan atau konstanta atau variabel acak pada
suhu muka laut pada daerah tertentu untuk melihat pengaruh dari
gangguan di lokasi tertentu
4. Memberikan nilai rata-rata pada tahun-tahun dengan kasus khusus
seperti pada tahun tahun El Niño dan kemudian membuat sebaran
spasial dengan memakai hubungan korelasi antara indeks El Niño
dengan nilai suhu muka laut pada masing-masing lokasi.
5. Melakukan simulasi dengan mematikan proses kopling antara laut
dengan atmosfer dengan maksud melihat pengaruh dari kopling
terhadap atmosfer atau melihat pengaruh lokal interaksi laut
atmosfer.

Gambar 5.4. Gambaran hasil simpangan hujan jenis stratiform (regional)


dan convective (lokal) akibat perubahan suhu muka laut di
daerah Maluku utara (Oktivia, 2008)

Untuk meningkatkan nilai signifikansi dari hasil pemodelan


biasanya dibuat simulasi dengan memberikan gangguan pada masa

83
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

inisiasi (waktu awal) atau dengan memakai simulasi dengan beberapa


model. Teknik seperti ini dikenal sebagai ensemble modeling.

Hasil penelitian pengaruh lokal dari interaksi laut atmosfer


wilayah Indonesia tidak terlalu banyak. Hal ini karena animo penelitian
ke arah ini kurang diminati.

Oktovia (2008) menemukan bahwa dengan melakukan simulasi


pemutusan pengaruh interaksi laut atmosfer di lokal wilayah Maluku
Utara didapat bahwa sensitivitas curah hujan terhadap laut terasa pada
jenis hujan konvektif (lokal) daripada jenis hujan stratiform. Fenomena
ini terlihat pada hasil rata-rata pengaruh pada hampir setiap bulan dari
Januari hingga November, pada bulan Desember perubahan suhu muka
laut lebih memberikan pengaruh pada hujan jenis stratiform. Selain itu
terdapat sifat musiman dari pengaruh interaksi laut atmosfer lokal yang
terjadi di wilayah Maluku Utara dimana sensitivitas atmosfer paling kuat
terjadi pada bulan April atau pada musim Maret hingga Mei (Gambar
5.4). Pada bulan-bulan tersebut gangguan pada nilai suhu muka laut akan
memberikan perubahan paling besar terhadap curah hujan dibandingkan
dengan pengaruh perubahan suhu muka laut yang sama pada bulan yang
lain terhadap curah hujan lokal. Sebaliknya pengaruh pada perubahan
suhu muka laut akan tidak dirasakan pada curah hujan di bulan Agustus
dan September dimana sensitivitas atmosfer terhadap perubahan suhu
muka laut terjadi paling kecil. Implikasi dari hasil studi ini adalah
perlunya untuk memperhatikan nilai observasi suhu muka laut pada
bulan-bulan tertentu karena nilai kesalahan observasi pada bulan
tersebut dapat memberikan hasil pemodelan yang sangat bias. Selain itu
peran dari interaksi lokal dari laut ke atmosfer untuk wilayah Maluku
Utara lebih memberikan dampak pada cuaca lokal atau hujan tipe lokal
(konvektif) daripada cuaca regional.

84
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

Tabel 5. 1 Rekapitulasi hubungan antara beberapa variabel-variabel


SST dengan curah hujan, panas laten dan radiasi gelombang
pendek di permukaan di Maluku Utara yang memiliki
koefisien korelasi diatas tingkat signifikan 95%. Interaksi
bertanda  dan  menunjukkan proses terjadi karena laut
mempengaruhi atmosfer dan sebaliknya (Oktivia, 2008).
Korelasi Bentuk Korelasi
No Musim Interaksi
parameter
Pada lag oleh Oktivia
studi yang sama lead (2008) juga dipaparkan
Curah
hubungan Hujan vs
interaksi lokal antara beberapa parameter
1 SONmuka laut dan
SST
atmosfer untuk melihat keterkaitan dan proses fisis dari interaksi laut
atmosfer yang terjadi. Beberapa parameter laut DJF dan atmosfer
berhubungan satu arah dari laut ke atmosfer atau sebaliknya dan
Panas Laten vs
beberapa
2 diantaranya terjadi hubungan dua MAM arah dan saling
SST
mempengaruhi. Analisis hubungan antar parameter laut dan atmosfer
JJA pada waktu
dilakukan dengan melakukan analisis korelasi temporal
bersamaan (lag 0) dan memakai korelasi temporal jeda waktu atau
SON
tertinggal (lag) dan mendahului (lead) sebagaimana tertera pada Tabel
5.1.
DJF

3 Radiasi MAM
Pertanyaan:
Gelombang
Pendek vs SST SON

1. Bagaimana pengaruh sifat interaksi laut atmosfer di daerah Maluku


Utara terhadap kemampuan pemodelan iklim regional?

2. Proses apa saja yang terjadi saat transfer massa dan energi dari laut ke
atmosfer?

3. Proses apa saja yang terjadi saat transfer massa dan energi dari

85
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

atmosfer ke laut?

86
BAB 6

PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

6. 1. TELEKONEKSI LAUT DAN ATMOSFER


Gejala telekoneksi terjadi akibat pengaruh sirkulasi di lautan dan
di atmosfer yang menyebabkan gejala iklim di suatu tempat memiliki
dampaknya di tempat lain yang tidak berdekatan dengan lokasi tersebut.
Sirkulasi laut yang paling bertanggung jawab terhadap telekoneksi di
muka bumi adalah arus lintas sabuk benua (the great conveyor belt) yang
mengitari bumi dengan waktu resolusi sekitar 2.000 tahun. Tidak
seluruhnya arus ini mengalir di permukaan dan di laut dalam, melainkan
dipercaya ada kala di permukaan samudra dan adakalanya di dalam
samudra. Pengaruh nyata dari arus sabuk bumi tersebut contohnya
adalah hangatnya daerah pantai timur Amerika dan benua Eropa karena
aliran permukaan di samudra Atlantik. Pengaruh dari aliran arus sabuk
ini di benua maritim Indonesia adalah berlakunya pengaruh El Niño dan
La Niña terhadap iklim di Indonesia dan pengaruh tidak langsung seperti
kemarau panjang, kekeringan dan resiko kebakaran hutan.
Sedangkan untuk atmosfer sirkulasi yang bertanggung jawab
adalah sirkulasi Walker dan Hadley untuk daerah tropis. Dari kedua
sirkulasi tersebut juga pengaruh El Niño dan La Niña tersebar ke belahan
bumi lainnya. Sirkulasi Walker lebih pada arah telekoneksi timur barat
(zonal) dan sirkulasi Hadley lebih pada arah telekoneksi utara selatan
(meridional).

87
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

6. 2. EASTERLY WAVES  MJO DI INDONESIA


Gambar 6.1. Kondisi pergerakan osilasi Madden Julian dari akhir

Agustus hingga akhir Januari. Selang antara kontur


positif/perioda basah (kontur garis sambung) adalah sekitar
50 harian di wilayah Indonesia (antara bujur 90 hingga
145). Terlihat bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah
paling aktif. Sumber gambar BMRC Australia.

Easterly waves atau terjemahannya gelombang ke timur terjadi


di berbagai belahan dunia. Penjalaran gelombang di timur yang dikenal
dengan easterly waves terjadi sebenarnya di Samudra Atlantik dari

88
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

benua Amerika Selatan menuju pantai Afrika. Penjalaran gelombang


ditandai dengan timbulnya siklon tropis yang menjalar ke arah timur.
Peristiwa easterly wave yang digambarkan disini biasanya terjadi di
permukaan laut yang merupakan gejala interaksi laut atmosfer dimana
selain tekanan udara juga terjadi perubahan suhu permukaan laut yang
pada akhirnya menghasilkan siklon tropis. Untuk daerah lain seperti di
daerah dekat kutub (diatas lintang 60 derajat) dikenal juga gelombang
menjalar ke timur yang disebut dengan rossby wave. Penjalaran
gelombang ini ditandai dengan perubahan tekanan udara naik dan turun
dalam perioda sekitar 10 harian ditandai dengan kenaikan dan turunnya
tekanan permukaan. Dengan kenaikan maka udara menjadi cerah dan
sebaliknya akan menyebabkan udara dalam kondisi hujan. Penyebab
udara cerah karena pada pusat tekanan tinggi masa udara akan menjauh
dan uap air juga sehingga tidak ada suplai udara basah yang mendukung
turunnya hujan.

Untuk daerah benua maritim Indonesia, penjalaran gelombang


ke timur juga terjadi yang dikenal dengan istilah Madden Julian
Oscillation yang merupakan istilah dari kedua nama penemu gelombang
ini (Madden dan Julian, 1994). Serupa dengan yang terjadi di Samudra
Atlantik, gejala ini juga terjadi di Samudra India dan peristiwa yang
dimulai di laut akan berakibat pada daerah hujan yang mana daerah
hujan ini akan bergerak ke arah timur masuk di Kepulauan Indonesia
melalui propinsi Sumatera Barat dan terus bergerak ke Timur. Apabila
peristiwa tersebut terjadi pada bulan musim hujan maka pergerakan akan
lebih ke arah selatan mengikuti jalur ITCZ yang sedang berada di bumi
belahan selatan. Apabila penjalaran terjadi pada saat musim kemarau
maka akan bergerak ke utara juga mengikuti jalur ITCZ. Peristiwa
penjalanan dengan gelombang ini terjadi dengan periode antara 30 - 90
hari atau periode seasonal dan intraseasonal sehingga gejala MJO ini

89
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

dikenal juga dengan istilah intraseasonal wave. Pergerakan gelombang


ini membawa implikasi ke laut dan atmosfer seperti perpindahan suhu
laut hangat menuju timur dan daerah konvektif yang juga searah.

6. 3. HUBUNGAN SUHU MUKA LAUT DAN CURAH HUJAN

Hubungan antara suhu muka laut dan hujan menunjukkan


hubungan antara laut dan atmosfer dengan hubungan langsung atau
interaksi antara keduanya. Dari data lokal Indonesia terdapat hubungan
antara suhu muka laut dan hujan dengan ciri-ciri yang tidak linier seperti
diperlihatkan pada Gambar 6.2. Hubungan antara keduanya dapat
dibagi dalam tiga jarak yaitu antara dibawah sekitar 28 °C, antara 28
hingga 29.6 °C dan diatas 29.6 °C. Apabila dilihat dari gambar tersebut,
apabila suhu muka laut naik maka kemungkinan nilai curah hujan akan
lebih tinggi dan demikian juga sebaliknya. Pada suhu muka laut diatas
29.6 °C terdapat penurunan curah hujan pada saat kenaikan suhu muka
laut. Dari gambaran tersebut terlihat puncak curah hujan tercapai pada
saat suhu muka laut mencapai 29.6 °C dimana suhu di atas atau di
bawahnya menurunkan nilai curah hujan. Hubungan yang digambarkan
ini hanya memberikan nilai curah hujan maksimum dimana
dimungkinkan curah hujan di bawahnya karena faktor cuaca lain seperti
angin laju evaporasi dll.

Kenaikan suhu laut yang membawa implikasi naiknya curah


hujan karena naiknya suhu muka laut menunjukkan peningkatan energi
di laut yang memberikan kemungkinan naiknya tingkat penguapan di
atmosfer. Dengan demikian ada hubungan yang tidak langsung antara
kenaikan suhu muka laut dan curah hujan serta evaporasi. Hubungan
suhu muka laut dengan evaporasi sulit ditemukan karena sulitnya
observasi nilai evaporasi yang ada terutama untuk daerah lautan. Hingga

90
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

saat ini nilai evaporasi diperhitungkan secara tidak langsung


berdasarkan nilai parameter lain yang terukur seperti neraca energi
permukaan laut dan suhu muka laut.

Gambar 6.2. Hubungan suhu muka laut (SST) dengan curah hujan lokal

di daerah Maluku Utara (atas) mewakili tipe anti


monsunal/tipe lokal dan daerah Maluku Selatan (bawah)
mewakili tipe monsunal.

91
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Dengan nilai suhu muka laut di Indonesia berada di nilai kritis


seperti 29.6 °C di atas, maka dengan dampak pemanasan global, suhu
muka laut di Indonesia tidak akan meningkat lebih jauh lagi tetapi
kenaikan suhu bumi akan lebih berdampak pada peningkatan suhu di
daratan. Permasalahan hubungan antara suhu muka laut dengan curah
hujan akan berdampak pada sifat hubungan keduanya dalam jangka
panjang akibat pemanasan global terutama pada kemungkinan
perubahan musim akibat perubahan hubungan antara keduanya.

6. 4. HADLEY AND WALKER CELL

Di wilayah Indonesia ada dua aliran udara regional global yang


terjadi. Proses sirkulasi barat timuran (zonal) disebut sebagai sirkulasi
walker, sementara proses sirkulasi udara utara selatan (meridional)
disebut dengan sirkulasi Hadley. Proses pembentukan sirkulasi barat
timuran terjadi karena distribusi laut dan benua di daerah khatulistiwa
yaitu berturut turut benua Afrika, Samudra Indonesia, benua maritim
Indonesia, Samudra Pasifik, Benua Amerika Selatan, dan Samudra
Atlantik.

Indonesia sebagai benua maritim memiliki kekhasan dengan


menjadi pusat konveksi aktif karena panjangnya daerah pesisir atau garis
pantai yang memicu konveksi di pinggir laut dan peran pulau-pulau yang
tersebar sebagai heat engine. Sementara di sebealah barat dan timur
wilayah Indonesia terdapat dua samudra luas yang merupakan badan air
terluas di dunia. Dengan sistim tersebut maka akan terjadi udara naik di
daerah maritim Indonesia dan udara turun di daerah lautan Pasifik dan
India. Pusat aliran udara naik disekitar wilayah Indonesia terjadi
disebelah utara Pulau Irian atau dikenal dengan istilah kolam hangat
(Warm Pool). Daerah kolam hangat ini selain menjadi pusat sirkulasi

92
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

atmosfer akibat keberadaan sirkulasi Walker juga karena peran dari


aliran lintas sabuk dunia. Di wilayah Samudra Pasifik aliran sabuk dunia
akan mengalir ke barat akibat tekanan momentum perputaran bumi yang
bergerak ke arah timur. Akibatnya terjadi pengumpulan massa air laut
permukaan di daerah kolam hangat dari penumpukan massa muka air
laut dari Pasifik Ekuatorial dan Pasifik Selatan. Wilayah dengan suhu
muka laut hangat ini juga berfungsi sebagai heat engine terbesar yang
menjadikannya sebagai pusat kendali sirkulasi Walker untuk daerah
Pasifik dan Samudra Indonesia.

Proses aliran udara dari sirkulasi Walker ini lebih banyak


dikendalikan oleh perbedaan suhu muka laut di daerah pasifik. Pada
kondisi normal sirkulasi terjadi dengan naiknya udara di daerah kolam
hangat (barat Pasifik) dan menurun di timur Pasifik. Pergerakan dari
sirkulasi Walker ini dapat terlihat dan juga terasa pada aliran laut di
sebelah timur Indonesia dengan aliran masa air laut menuju kolam
hangat dari daerah ekuator Samudra Pasifik.

Gambar 6.3. Aliran udara dalam sirkulasi walker di daerah Pasifik tropis
dengan massa udara naik di daerah kolam hangat (kiri) dan
gerakan massa udara ke arah barat di wilayah ekuatorial
(kanan).

93
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Pada kondisi tidak normal seperti pada Gambar 6.3 kanan yang
lebih dikenal dengan El Niño terjadi pergeseran pusat naik atmosfer dari
kolam hangat menuju ke timurnya dan mengakibatkan terjadinya dua
sirkulasi di daerah Pasifik. Sebagaimana tampak pada Gambar 6.3,
akibat dari dua sirkulasi yang ada akan memberikan daerah subsidensi di
benua maritim Indonesia. Daerah subsidensi atau daerah dimana terjadi
aliran udara turun akan menandakan daerah sulit terjadinya hujan atau
pertumbuhan awan. Terbentuknya daerah subsidensi ini erat berkaitan
dengan dinginnya suhu muka laut di wilayah benua maritim akibat arus
lintas Indonesia yang relatif dingin sehingga menyulitkan terjadinya
penguapan.

Gambar 6.4. Sistem sirkulasi Walker dan lapisan termoklin di Samudra


Pasifik pada kondisi normal (kiri) dan kondisi El Niño
(kanan). Kedalaman termoklin di bawah laut
menggambarkan besar suhu muka laut dimana termoklin
dalam berarti suhu muka laut hangat dan sebaliknya.

Selain pola sirkulasi tersebut, ada juga sirkulasi utara selatan


yang dikenal dengan sirkulasi Hadley. Pola sirkulasi ini terjadi akibat
dari gaya coriolis akibat rotasi bumi dan posisi titik ekuinok puncak
radiasi matahari yang selalu berpindah utara selatan. Selain itu juga
disebabkan oleh kesetimbangan neraca energi akibat sebagian besar

94
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

energi bumi diterima di daerah ekuator sehingga terjadi sirkulasi yang


mengalirkan energi tersebut ke wilayah sub tropis. Sebagaimana sistem
arus sabuk bumi yang juga mengalirkan energi dalam jumlah besar,
maka sistem sirkulasi atmosfer utara selatan ini merupakan satu sistem
ventilasi muka bumi yang mengalirkan energi dari daerah ekuator
menuju daerah kutub. Sistem sirkulasi Hadley bertanggung jawab atas
pembentukan daerah gurun di wilayah sub tropis akibat daerah
subsidensi Hadley. Aliran udara yang telah kering ini turun di wilayah ini
dan mengalir di permukaan dalam bentuk angin pasat menuju ke daerah
ekuator.

Gambar 6.5 Pola sirkulasi utara selatan bumi

Sirkulasi Hadley di daerah tropis merupakan bagian dari


beberapa sirkulasi lain pada lintang tinggi yang merupakan sistim
ventilasi bumi yang terbentuk secara alamiah yaitu sirkulasi Ferrel dan

95
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

sirkulasi Kutub. Sering menjadi kesalahan bahwa sirkulasi Hadley


tergantung pada posisi garis lintang absolut, tetapi kenyataannya
sirkulasi ini tergantung pada puncak ekuinok matahari yang memberikan
radiasi maksimum.

Salah satu akibat dari sirkulasi ini adalah angin pasat tenggara
(northeast Trade) di bumi belahan utara dan angin pasat barat laut
(Southeast Trades) di bumi belahan selatan (Gambar 6.4). Angin passat
bergerak menuju ekuator tetapi dalam perjalannya selalu berbelok ke
sebelah barat akibat gaya coriolis bumi. Pusat pertemuan dari kedua
angin pasat tersebut dikenal sebagai daerah ITCZ (Inter Tropical
Convergence Zone) atau daerah konvergensi lintas tropis. Akibat hukum
kekekalan momentum, maka kesetimbangan arah gerak ke barat dari
angin pasat akan teratasi dengan gerak ke arah timuran di pusat
pertemuan angin pasat di ekuator. Indikasi ini sering dipakai untuk
menetapkan daerah ITCZ yaitu daerah dimana terdapat angin zonal
(barat timuran) terbesar. Pada beberapa kasus aliran timuran ini dikenal
sebagai aliran jet timuran tropis (equatorial easterly jet).

6.5. ENSO DAN LAUT INDONESIA

Peristiwa El Niño sendiri diakibatkan oleh proses interaksi laut


atmosfer di daerah Pasifik yang tidak hanya merubah arah sirkulasi
atmosfer tetapi juga pola arus dan iklim di benua maritim Indonesia.
Penyebab utama dari kejadian El Niño hingga saat ini masih
diperdebatkan. Pada penganut paham penyebab akibat kejadian di
atmosfer seringkali beranggapan ada hembusan ke arah timur (easterly
yang mendorong perpindahan kolam hangat ke arah timur. Sementara
penganut paham fenomena laut memakai indikasi bahwa kejadian El
Niño selalu dimulai dengan terjadinya lidah hangat yang berfluktuasi

96
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

menjulur ke arah timur. Lidah hangat ini terjadi pada kedalaman lapisan
termoklin sekitar 300 m di bawah muka laut. Pada saat fase awal gejala
El Niño lidah hangat pada lapisan ini menjalar jauh ke timur dan berdiam
disana selama episode El Niño. Gejala seperti ini sudah terdeteksi pada
kasus El Niño parah tahun 1997/1998 dengan program pemasangan
buoy di lepas Samudra Pasifik pada proyek riset TOGA COARE.

ENSO atau El Niño Southern Oscillation adalah fenomena alam


global yang berpusat di Samudra Pasifik. Fluktuasi atau osilasi dari
ENSO terdiri dari tiga fenomena yaitu kondisi normal, El Niño dan La
Niña. Pembagian kriteria pada masing masing tergantung pada nilai
suhu muka laut pada daerah acuan yang dikenal sebagai daerah Nino1,
Nino2, Nino3, dan Nino4. Daerah tersebut tersebar dari yang paling
timur (Nino1) hingga mendekati daerah warm pool di sebelah utara
Papua Nugini (Nino4). Apabila anomali suhu muka laut di daerah Nino
tersebut bersifat positif atau lebih hangat melebihi 1 °C dari normalnya
maka akan terjadi El Niño, sedangkan peristiwa sebaliknya disebut
dengan La Niña. Peristiwa El Niño merupakan peristiwa yang terjadi di
atmosfer dan laut. Pemicu dari El Niño ini hingga saat ini belum
diidentifikasi secara pasti. Pada fase awal El Niño akan terjadi tiupan
angin ke timur yang dikenal dengan easterly wind burst dan pergeseran
kolam hangat ke timur sehingga terjadi perubahan pola arus laut dan
angin.

El Niño banyak membawa dampak terhadap iklim dan laut di


wilayah Indonesia terutama di Indonesia bagian timur. Perpindahan
kolam hangat ke sebelah timur Samudra Pasifik akan berakibat
dinginnya kolam hangat yang biasanya mengalir ke wilayah Indonesia
Timur. Aliran arus dingin ini membawa konsekuensi berkurangnya
evaporasi dan sekaligus berkurangnya curah hujan. Pada kondisi El Niño

97
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

ekstrem seperti kasus tahun 1997, perubahan yang terjadi membawa


akibat kemarau panjang dan resiko kebakaran hutan tinggi karena
keringnya udara saat itu. Salah satu peluang dari masuknya arus dingin
selama gejala El Niño ini adalah naiknya ikan-ikan laut dalam ke atas
permukaan laut karena suhu di lapisan atasnya mendukung lingkungan
hidup mereka (peristiwa upwelling). Ikan tuna sebagai contoh ikan laut
dalam yang ternyata lebih mudah ditangkap pada tahun-tahun El Niño
yang dikarenakan lebih dinginnya laut di wilayah Indonesia bagian
timur.

Gambar 6.6. Perubahan anomali suhu muka laut dan upwelling di Laut
Banda selama perioda El Niño dan La Niña (Gordon dan
Susanto 2001).

Dari gambar diatas dapat terlihat bahwa dampak atau pengaruh


El Niño tidak seragam dalam tahun kejadian El Niño. Ada bulan-bulan
dimana dampak tersebut menjadi maksimal dan ada saat kapan dampak
tersebut mulai terasa. Episode El Niño mulai terasa pada bulan April dan
berkembang hingga mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan
September. Setelah itu dampak dari El Niño tersebut akan menghilang
pada akhir tahun. Karena dampak dari ENSO sangat terasa pada saat

98
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

Indonesia mengalami musim kemaran, maka dari gejala alam di atas,


yaitu El Niño dan La Niña, kasus El Niño akan memberikan dampak
yang lebih merusak. Hal ini dikarenakan sifat dari El Niño yang akan
memberikan kekeringan yang lebih pada saat benua maritim Indonesia
mengalami musim yang telah kering.

Sedangkan pada kasus tahun La Niña, kekeringan di musim


kemarau akan berkurang dengan kejadian sebaliknya dari El Niño.
Dampak ENSO akan tidak terasa pada puncak musim hujan karena
sistem monsun dan arus laut menghambat pengaruh tersebut. Besarnya
dampak El Niño pada musim kemarau dan menghilangnya dampak
tersebut pada musim hujan lebih disebabkan oleh sirkulasi laut wilayah
Indonesia. Pada pertengahan musim kemarau, arus laut akan
mengalirkan masa laut dari wilayah kolam hangat ke wilayah timur
Indonesia. Pada saat El Niño, sirkulasi arus laut ini membawa masa air
dingin yang menghambat hujan ke wilayah Indonesia. Pada paruh
setengah tahun berikutnya, sirkulasi arus laut akan membawa massa air
dari wilayah Indonesia keluar menuju kolam hangat dan menghambat
dampak ENSO bagi wilayah Indonesia.

Permasalahan lain dari gejala El Niño adalah kemampuan untuk


melakukan prediksi kedatangan El Niño seperti kasus El Niño ekstrem.
Mengingat dampak yang sangat luas yang terasa di wilayah Indonesia,
maka prediksi kedatangan El Niño merupakan hal yang sangat penting
untuk membuat penataan kerja dan manajemen lapangan bagi pertanian,
pariwisata, transportasi energi dan berbagai sektor ekonomi lainnya.
Upaya untuk menghasilkan prediksi yang handal sering dilakukan
dengan memakai berbagai metode peramalan seperti secara statistik atau
dinamis memakai model iklim. Kesulitan utama dari berbagai peramalan
tersebut adalah turunnya kinerja peramalan pada waktu musim peralihan

99
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

ENSO yaitu pada bulan Maret April dan Mei. Pada masa peralihan ini
belum jelas nampak kecendrungan El Niño, apakah menuju ke situasi
normal, El Niño atau La Niña. Kondisi yang tidak jelas ini biasanya
menghambat kinerja berbagai teknik peramalan yang ada. Setelah
melewati masa tersebut, kinerja model akan menjadi lebih baik dan kita
dapat memperoleh gambaran apakah tahun ini kita melewati masa El
Niño ekstrem atau tidak.

6.6. INDIAN DIPOLE DAN IKLIM INDONESIA

Selain pengaruh dari Samudra Pasifik, Indonesia, terutama


wilayah bagian barat dipengaruhi oleh aktivitas lautan di Samudra India.
Sama seperti di Samudra Pasifik, indikator pengaruh tersebut dinyatakan
dengan besarnya nilai suhu permukaan laut. Di Samudra India dikenal
sebuah gejala yang disebut sebagai Indian Ocean Dipole (IOD) yang
agak berbeda dengan gejala yang di Pasifik. Untuk gejala yang di
Samudra India, dipole mengacu pada dua tempat sehingga aktivitas
gejala tersebut ditandai dengan anomali dari perbedaan suhu muka laut
kedua tempat tersebut.

Perbedaan perubahan suhu muka laut untuk wilayah 50°E - 70°E


/ 10°S - 10°N (tengah Samudra India) dikurangi 90°E - 110°E / 10°S -
equator (sebelah barat Pantai Sumatera) adalah indikator dari gejala ini
(Gambar 6.7). Apabila terjadi indeks sangat negatif (dibawah standar
deviasi historis) yang berarti suhu di tengah Samudra Indonesia lebih
hangat daripada di pantai barat Sumatera, maka wilayah Indonesia barat
bagian selatan mendapat resiko kekeringan akibat terjadi subsidensi dan
aliran massa udara menjauh daerah ini. Apabila yang terjadi sebaliknya,
maka wilayah yang sama akan mengalami curah hujan tinggi.

100
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

Gambar 6.7. Daerah indeks IOD pada dua kutub di lepas pantai Benua
Afrika dan barat daya benua maritim Indonesia didapat dari
hasil analisis Empirical Orthogonal Function ke dua (Saji
et al., 1999).

Gambar 6.8. Situasi konveksi (merah) dan subsidensi (biru) pada periode
IOD negatif dan positif (http:// www. Jamstec. Go. Jp/
frcgc/research/d1/iod/IOD1.html)

Variasi dari indeks IOD memberikan implikasi pada perubahan


iklim terutama di wilayah Indonesia bagian barat. Pada saat IOD negatif
akan terjadi tumpukan awan atau daerah konvektif tinggi di wilayah
Indonesia bagian barat dan sebaliknya akan terjadi subsidensi di wilayah

101
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

yang sama sebagaimana terlihat pada Gambar 6.8. pusat konveksi dan
subsidensi terbentuk akibat perubahan pola suhu muka laut di daerah
yang menjadi indeks IOD.

Pada Gambar 6.9 ditampilkan kekuatan pengaruh kekuatan


Indian dipole terhadap lamanya musim kemarau pada beberapa waduk
di Pulau Jawa yang mewakili daerah wilayah Indonesia barat bagian
selatan (Aldrian dan Asril, 2005). Lamanya musim kemarau atau bulan
kering diukur dari jumlah debit minimum atau dibawah 90 m3/detik
untuk waduk Saguling dan dibawah 30 m3/detik untuk waduk Kedung
Ombo. Nilai ambang batas ini masih dibawah nilai aliran dasar inflow
kedua waduk tersebut yaitu 92.5 m3/detik untuk inflow waduk Saguling
dan 42.97m3/detik untuk waduk Kedung Ombo. Dari hasil perhitungan
tersebut didapat hubungan yang kuat yang menunjukkan hubungan
telekoneksi antara aktivitas IOD dan aliran inflow di kedua waduk
tersebut.

Gambar 6.9. Hubungan regresi linier antara lamanya musim kemarau


(dalam satuan bulan kering) dan indeks Indian dipole
pada inflow waduk Saguling (kiri) dan waduk Kedung
Ombo (kanan).

Melihat hubungan antara El Niño di Samudra Pasifik dan dipole


mode di Samudra Indonesia merupakan hal yang kompleks. Seringkali

102
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

kejadian dipole mode terjadi bersamaan dengan kejadian El Niño. Hal


seperti ini dapat dimengerti dari aliran arus lintas Indonesia yang pada
saat El Niño membawa arus dingin ke benua maritim. Selain membuat
subsidensi dengan pengurangan curah hujan di wilayah benua maritim,
pada outlet dari arus lintas tersebut juga terdapat aliran arus dingin
terutama terlihat pada muara selatan Selat Lombok. Selain itu pada saat
El Niño juga berpotensi pada peningkatan upwelling di selatan Jawa
yang mendorong kejadian upwelling dengan membawa arus dingin ke
permukaan. Kombinasi antara keduanya yaitu antara outlet dingin dari
arus lintas dan upwelling dengan arus dingin permukaan menjadikan
daerah indeks dipole mode timur menjadi rendah dan cenderung menjadi
episode dipole mode positif. Pada kasus sebaliknya saat La Niña juga
seringkali ditemui kejadian bersamaan dengan kasus dipole mode
negatif dengan penjelasan yang hampir serupa tetapi upwelling bukan
digantikan dengan downwelling melainkan tidak terjadi atau pelemahan.
Adakalanya terjadi kombinasi yang tidak umum seperti El Niño dengan
Indian dipole negatif atau La Niña dengan dipole mode positif meski
kedua kombinasi ini sangat jarang terjadi.

6.7. IKLIM LAUT REGIONAL DAN KEBAKARAN HUTAN

Meskipun sudah dipahami bahwa mekanisme utama kebakaran


hutan dan lahan di Indonesia adalah akibat ulah manusia, tetapi pola
yang ditemukan menunjukkan kuatnya pengaruh dari iklim dalam pola
variabilitas titik kebakaran hutan berdasarkan data hotspot. Akibat
kuatnya kesesuaian pola iklim dan titik api, sudah ada beberapa kajian
untuk menerapkan metode prediksi titik api berdasarkan indeks iklim.
Pemahaman hubungan iklim dengan kebakaran hutan di wilayah
Indonesia sangatlah penting karena dampak merugikan yang

103
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

ditimbulkan oleh kebakaran hutan sangatlah besar. Sehingga prediksi


yang lebih baik akan memberikan upaya mitigasi yang lebih memadai.

Titik api biasanya marak apabila terjadi kekeringan hebat dan


berlangsung pada waktu lama. Pada pola yang umum setelah terjadi
kekeringan atau tiada hujan diatas satu minggu akan mulai terjadi
penyebaran titik api berdasarkan data hotspot keluaran pemantauan
satelit NOAA beresolusi tinggi. Kekeringan terjadi apabila ada gejala
regional yang mendukung tingkat kekeringan udara. Untuk kasus
Indonesia ada tiga fenomena regional yang seringkali dihubungkan
dengan peningkatan kekeringan baik sesaat maupun dalam jangka
panjang diatas musiman yaitu seruak dingin (cold surge), indian ocean
dipole (IOD) dan El Niño. Dari ketiga fenomena tersebut maka El Niño
adalah fenomena regional yang paling konsisten dan memberikan pola
titik api kebakaran hutan.

Dari hasil studi Aldrian (2008) ditemukan bahwa selama periode


El Niño (La Niña), suhu muka laut dingin (hangat) akan membawa lebih
sedikit (lebih banyak) penguapan sehingga membawa kekeringan
(kelembaban) di udara yang mendorong (menghambat) kejadian
kebakaran. Fenomena ini dapat terlihat pada kasus kebakaran awal tahun
2005 di Riau dimana kebakaran saat itu lebih dipicu oleh episode seruak
dingin yang membawa arus muka laut dingin di wilayah perairan
sekitarnya. Pada saat itu hanya Riau yang mengalami peningkatan
jumlah titik api cukup signifikan. Kontribusi titik api dari propinsi ini
terhadap keseluruhan titik api di Pulau Sumatera pada bulan Februari
dan Maret tahun tersebut adalah, berurut-turut 86 % dan 77%. Pada
kebalikannya di kasus tahun 1998 dimana terjadi nilai titik api terendah
yang diakibatkan hangatnya perairan di sekitar propinsi tersebut dan
angin meridional sekitar propinsi tersebut juga melemah.

104
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

Sebelum dapat melihat situasi antar tahunan gejala iklim dari


jumlah titik api, perlu dipelajari bagaimana pola bulanan dari titik api
yang ada. Dalam hal ini karena kebakaran hutan hanya terpusat di dua
pulau besar yaitu Sumatera dan Kalimantan maka pembahasan akan
terutama pada penyebaran titik api di kedua pulau tersebut. Dari data
kebakaran hutan sejak tahun 1997 hingga 2007 terlihat bahwa puncak
kebakaran terjadi pada bulan Agustus dan September yang merupakan
puncak kering atau puncak musim kemarau, hal ini diperparah pada
kasus tahun-tahun El Niño seperti pada tahun 1997, 2006, 2002 dan
2004. Pengecualian dengan jumlah titik api besar pada awal tahun 1998
juga lebih disebabkan oleh perpanjangan fenomena El Niño dari tahun
sebelumnya yang tetap berlangsung hingga bulan Mei 1998. Sehingga
dari nilai-nilai tersebut tampak terjadinya telekoneksi antara peristiwa
kebakaran hutan dengan ENSO.

Selanjutnya pada Gambar 6.10 ditampilkan hubungan


variabilitas nilai antar tahunan jumlah titik api di Sumatera dan
Kalimantan dengan nilai indeks El Niño pada daerah NINO3. Pada
gambar atas diperlihatkan hubungan antara nilai parameter tersebut pada
nilai akumulasi tahunan dan pada nilai parameter untuk nilai antara
bulan Juli hingga Desember. Juli hingga Desember seringkali
ditenggarai sebagai periode dimana puncak jumlah titik api tercapai hal
ini dikarenakan pada periode inilah terjadi puncak musim panas di
wilayah Indonesia. Hasil dari hubungan antara kedua parameter yaitu
nilai titik api dan nilai indeks iklim ENSO ditampilkan pada Tabel 6.1
dimana terdapat hubungan yang kuat atau signifikan antara besaran
variabilitas titik api dan indeks iklim ENSO. Kenyataan pada gambar
dan tabel tersebut menunjukkan adanya pengaruh yang kuat antara
kejadian kebakaran di Sumatera dan Kalimantan dengan kondisi iklim di
Samudra Pasifik. Pemilihan tampilan memakai dua indeks yang berbeda

105
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

yaitu akumulasi tahunan dan setengah tahunan untuk mengurangi bias


dari hubungan yang kurang nyata pada bulan-bulan tertentu.

Gambar 6.10. Pola antar tahunan titik api di Sumatera dan Kalimantan
serta hubungannya dengan indeks ENSO untuk total nilai
sepanjang tahun (atas) dan nilai antara bulan Juli ke
Desember (bawah) dari Aldrian, 2008.

Hubungan empiris antara jumlah titik api di Sumatera dan

106
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

Kalimantan dengan anomali iklim mencapai 0.83 dan 0.94 (berdasarkan


2
nilai R ) secara berturut-turut. Nilai korelasi yang tinggi tersebut
mengindikasikan hubungan yang kuat antara kedua paramater pada
periode 1997 hingga 2004, apabila memakai data lanjutan hingga 2007,
maka korelasi tersebut turun sedikit. Salah satu penyebabnya adalah
maraknya kebakaran pada awal tahun 2005 diakibatkan oleh fenomena
seruak dingin. Hal ini terbukti bahwa apabila memakai nilai paruh tahun
kedua akan tampak kenaikan nilai korelasi tersebut.

Tabel 6.1. Koefisien korelasi antara nilai titik api dan variabilitas iklim
yang ditampilkan pada nilai akumulasi tahunan dan hanya
pada bulan Agustus hingga Desember terhadap nilai indeks
iklim ENSO.
Anomali tahunan Anomali Aug-Dec
Kalimantan Sumatera Kalimantan
Dari berbagai hasil di atas terlihat bahwa Sumatera
nilai jumlah titik api
1997-2004 0.94 0.83 0.95 0.93
pada data antar tahunan menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan
1997-2005 0.90 0.80 0.94 0.93
indikator
1997-2006
iklim, akan tetapi terlihat
0.77
ada anomali
0.75
pada nilai
0.84
hotspot pada
0.90
tahun 2005 dan 2006. Terlihat
1997-2007 0.80 nilai hotspot 0.85
juga 0.77 pada tahun 0.872006
mencapai sekitar 92.8 % dari nilai tahunan pada tahun 1997 padahal nilai
indikator iklim pada tahun tersebut tidak sedemikian parah seperti tahun
1997. Data diatas juga menunjukkan peningkatan korelasi apabila
hubungan dilakukan pada paruh kedua tahunan dimana terjadi puncak
dampak ENSO terhadap wilayah Indonesia. Dalam hal ini ada potensi
besar untuk prediksi jumlah titik api kebakaran hutan memakai data
iklim di Pasifik.

6. 8. IKLIM LAUT REGIONAL DENGAN PERTANIAN


Serupa dengan kondisi sumber daya air yang mempengaruhi
besar tampung air di waduk, kondisi kekeringan yang mengarahkan

107
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

kepada kebakaran hutan, demikian juga kepentingan iklim regional


terhadap kondisi pertanian di wilayah Indonesia lebih banyak
terpengaruh oleh aktivitas ENSO. Indikasi hubungan antara aktivitas
ENSO terhadap pertanian Indonesia menunjukkan pola hubungan yang
kuat antara iklim laut regional terhadap pertanian. Pengaruh dari iklim
dapat berupa perubahan pola musim tanam, pola kedatangan musim dan
pola panjang musim.
Gambar 6.11. Hubungan antara jumlah area panen padi nasional dengan
kejadian ENSO dan Indian Ocean Dipole positif (dm+)
pada empat dekade terakhir (Amien, 2004).

Hasil penelitian dari Amien (2004) menunjukkan bahwa tingkat


produksi padi sejak awal Repelita I tahun 1968 hingga saat ini selalu
meningkat, akan tetapi peningkatan tersebut seringkali terganggu oleh
aktivitas ENSO (Gambar 6.11) dimana pada saat El Niño terjadi
pengurangan peningkatan dan ada beberapa tahun yang terjadi
pengurangan absolut. Sehingga meskipun terjadi peningkatan produksi
pangan akibat program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian,

108
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

tetapi terjadi penurunan produksi pada tahun-tahun dimana El Niño


melanda.

Gambar 6.12. Hubungan antara nilai panen padi dengan indeks


kekeringan iklim (Palmer Drought Severity Index, PDSI)
dari D'Arrigo et al 2007.

Selanjutnya hasil studi oleh D'Arrigo et al. (2007) sebagaimana


Gambar 6.12 dengan memakai nilai hasil panen padi di Jawa
menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi dengan indeks kekeringan
berdasarkan indeks kekeringan Palmer. Hasil tersebut didapat setelah
melakukan beberapa penyaringan dari data asli dengan membuang nilai
pola tahunan dan trend akibat perubahan iklim. Dengan metoda ini nilai

109
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

indeks kekeringan dapat dipakai sebagai prediktor besarnya jumlah area


panen pada musim tanam berikutnya. Sebagaimana diketahui
sebelumnya telah terdapat hubungan yang kuat antara ENSO dengan
kekeringan di Indonesia.

Pertanyaan:

1. Bagaimana pergerakan MJO ketika melewati benua maritim


Indonesia pada musim kemarau dan musim hujan, mengapa?

2. Terangkan hubungan empiris hujan dan suhu muka laut di daerah


tropis. Mengapa kecenderungan hujan tidak selalu menaik pada suhu
muka laut tinggi atau mengapa ada nilai kritis suhu atas?

3. Iklim Indonesia sangat terpengaruh oleh keberadaan kolam hangat di


utara Pulau Irian. Bagaimana pembentukan kolam hangat ini ditinjau
dari the great conveyor belt?

4. Sebutkan pengaruh dari osilasi indeks ENSO dan Indian dipole


terhadap iklim Indonesia dan sebutkan mekanisme serta dampaknya
terhadap iklim (hujan) di wilayah Indonesia?

5. Terangkan proses terbentuknya Hadley dan Walker cell?

6. Pada waktu El Niño seringkali gejala kebakaran hutan meningkat.


Kira kira apa hubungan El Niño dengan kebakaran hutan?

7. Gambarkan proses coupling atau interaksi laut atmosfer antara


beberapa parameter meteorologis di atmosfer dan lautan dalam
bentuk sebuah siklus hubungan!

110
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

111
BAB 7

METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU-PULAU


KECIL

7. 1. CAKUPAN PERMASALAHAN

Permasalahan meteorologi pantai atau pesisir mencakup area


dari 100 km lepas pantai hingga 100 km masuk ke daratan. Berdasarkan
definisi ini dan melihat situasi di negara maritim Indonesia maka hampir
seluruh wilayah Indonesia berada dalam cakupan meteorologi pantai.
Sehingga pemahaman dari meteorologi dari zona pantai adalah
kombinasi antara pengetahuan interaksi lapisan batas atmsofer di laut
dan daratan, interaksi laut atmosfer, dinamika atmosfer skala besar dan
sirkulasi dari arus di sekitar pantai.

Secara global zona pantai merupakan hampir 20 % dari total area


bumi didiami oleh lebih dari 45 % populasi dunia, tempat sekitar 75 %
dari megapolitan dengan populasi diatas 10 juta, tempat penghasil ikan
hingga 90 % produksi dunia, menghasilkan sekitar 25 % produksi
biologis lainnya, tempat pengendapan utama dari sedimen, tempat
dengan intensitas proses biogeokimia antara sedimen dan nutrisi, sangat
dinamis dan penuh diversitas dan variabilitas. Laut dangkal pada zona
pantai didominasi oleh plankton, bentos dalam mikro dan makro alga,
rumput laut, terumbu karang, dan hutan bakau. Zona pantai adalah
wilayah yang paling rentan akibat hasil interfensi manusia dan

113
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

perubahan iklim dimana buangan dari aktivitas di daratan akan lebih


mudah ditemukan pada muara-muara sungai di zona pantai.

Gambar 7.1. Diagram perpindahan energi dan air dalam berbagai fase
antara daratan, lautan, dan atmosfer (siklus hidrologi).
Nilai-nilai yang tertera adalah rasio dari nilai rata-rata hujan
tahunan di bumi yaitu 1.040 mm.

Meskipun sudah ada pemahaman proses yang homogen tentang


lapisan batas atmosfer di laut dan daratan, aplikasi permasalahan
meteorologi pantai sering menemui kesulitan dari keragaman karakter
pesisir. Kebanyakan lingkungan pesisir telah berubah oleh laut
sekitarnya, topografi pantai dan kontras dari daratan terhadap laut.
Selain itu terdapat interaksi balik antara atmosfer, laut, dan daratan. Efek
kontras termal antara daratan dan laut membuat angin darat dan angin
laut, front udara pesisir, aliran arus pesisir dan upwelling. Sementara itu
konvergensi dari udara di laut sepanjang jalur pesisir menyebabkan
proses konveksi dengan hujan lebat dan aliran permukaan tinggi.
Sementara itu lapisan batas orografis pegunungan dapat menambah kuat

114
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

hembusan angin sementara juga menghambat aliran angin yang paralel


sepanjang pesisir. Kompleksitas dari pegunungan sekitar pesisir
menyebabkan variabilitas temporal yang tinggi dalam proses pertukaran
massa udara laut atmosfer yang mendominasi proses yang mengikutinya
hingga puluhan atau ratusan kilometer jauhnya dari pesisir.

Proses-proses pada meteorologi pantai dapat digolongkan


sebagai akibat dari sirkulasi yang didorong perbedaan suhu, didorong
akibat pengaruh orografis dan badai yang mendarat di pantai. Sebagai
tambahan adalah proses yang dimodifikasi akibat interaksi dengan
lautan sepanjang pantai.

7. 2. PROSES PADA LAPISAN BATAS, LAUT PESISIR, DAN


INTERAKSI LAUT ATMOSFER

Pengetahuan mengenai daerah lapisan batas atmosfer di atas laut


terbuka dan di atas daratan belumlah memadai, akan tetapi saat ini sudah
dipahami berbagai proses fisis mengenai interaksi diantaranya. Hal ini
terutama juga didapati untuk kasus benua maritim Indonesia dimana
hasil riset mengenai daerah lapisan batas masih minim. Hasil penelitian
yang didapat dari daerah lapisan batas di atas laut terbuka atau di atas
daratan belum tentu dapat dipakai untuk wilayah pesisir. Davidson et al.
(1992) menunjukkan bahwa prediksi angin pantai yang akurat
membutuhkan pengetahuan response lokal atau pantai terhadap gejala
regional. Hasil tersebut menyatakan bahwa efek dari kekasaran
permukaan terhadap angin permukaan ketinggian 15 m sekitar 25%
lebih kuat pada perairan pantai dibandingkan di atas laut terbuka.
Kebanyakan parameterisasi pada aliran permukaan didapat dari riset di
wilayah daratan dan di modifikasi pada situasi laut terbuka. Sementara
itu kebanyakan riset mengenai interaksi angin dan gelombang dilakukan

115
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

pada situasi pantai dimana kompleksitas interaksi dari koefisien transfer


permukaan menjadi rumit. Smith et al (1992) menunjukkan adanya
hubungan antara umur gelombang dan tinggi kekasaran permukaan,
yang berkontribusi pada koefisien gesek angin permukaan. Sehingga,
umur gelombang yang berhubungan dengan nilai pendorong dan
kedalaman air, lebih sensitif pada arah angin dibandingkan dengan batas
pantai dan dasar batas atmosfer.

Daerah lapis batas atmosfer dari pantai sangatlah beragam, di


dominasi oleh topografi, gradien suhu yang besar, dan perubahan pola
kekasaran permukaan yang kuat. Laut pantai ditandai dengan variasi
yang besar dari suhu muka laut dan kekasaran muka laut akibat
gelombang dan situasi laut yang dinamis. Kondisi ini membawa
interaksi antara angin laut, pusaran eddy dan angin akibat topografi
pantai yang menyebabkan kompleksitas arus pantai.

Aliran air upwelling seringkali lebih dingin dari suhu lingkungan


di permukaan, sehingga terjadi front suhu yang drastis antara arus air
dingin dekat pantai dan air hangat di lepas pantai. Karakter suhu muka
laut yang koheren diamati di wilayah pantai yang terjadi upwelling
menunjukkan kompleksitas struktur dari atmosfer di atasnya. Daerah ini
adalah wilayah dimana interaksi laut atmosfer terjadi intensif karena
dinamika dan besarnya keragaman di muka laut. Struktur dari lapisan
batas atmosfer menjadi sangat kompleks di wilayah front muka laut.
Perubahan dari stabilitas lapisan batas mempengaruhi interaksi yang
terjadi antara permukaan laut dan keseluruhan lapisan batas. Selanjutnya
akan mempengaruhi angin permukaan, aliran uap air, perawanan dan
pola ketebalan lapisan batas. Pengaruh front suhu muka laut sebesar 2 ºC
dalam 5 km akan membawa penurunan sekitar 50 % dari aliran angin
permukaan ketika aliran udara mengalir di daerah bersuhu dingin Friehe

116
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

et al (1991). Apabila kejadian front berkepanjangan maka sirkulasi angin


yang koheren akan terbentuk dan menciptakan keragaman di batas
daratan dan laut. Lapisan batas yang stabil dapat terbentuk ketika aliran
udara hangat mengalir dari daratan ke laut dingin. Gelombang gravitasi,
yang berasosiasi dengan pengaruh pegunungan, mengalir sepanjang
arah angin permukaan di daerah lapis batas. Gelombang ini akan
memperkuat medan angin dan tekanan permukaan dalam skala sekitar
20 km dan menghasilkan perubahan yang tidak nampak pada front suhu
laut akibat kestabilan di atas front tersebut. Seringkali pola pertumbuhan
skala meso terjadi akibat konfigurasi pantai dan pola suhu muka laut di
sekitarnya.

Sirkulasi angin lintas pantai adalah penting untuk proses


mendorong terjadinya upwelling dan downwelling serta mempengaruhi
pola suhu muka laut dan aliran angin yang mengalir ke atmosfer.
Upwelling sebagai mana akan dijelaskan kemudian terjadi apabila ada
aliran searah garis ekuator di pantai selatan ke arah barat, misalnya
selatan Jawa, membentuk aliran menjauh dari pantai ke arah selatan
melalui mekanisme Ekman dan menarik aliran dari bawahnya,
upwelling. Sehingga aliran ke selatan tadi akan di kompensasi oleh aliran
dari laut dalam yang membentuk fenomena upwelling yang membawa
aliran air dingin dan kaya nutrisi ke permukaan. Aliran arus pantai seperti
ini sangat bergantung pada durasi aliran angin yang menyebabkannya.
Jika tekanan angin permukaan cukup periodik, upwelling terjadi hanya
ketika periode dari forcing lebih panjang daripada karakter skala waktu,
yaitu jumlah dari periode inersia dan waktu friksi gelombang. Upwelling
terjadi pada region horizontal pada radius deformasi gelombang Rossby.
Gradien dari stres permukaan secara horizontal menjadi lebih penting
dalam menentukan daerah upwelling dibandingkan dengan deformasi
gelombang Rossby.

117
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Gambar 7.2. Berbagai skema pembentukan lapisan batas atmosfer dan


pembentukan daerah mixing di darat dan di laut.

Pertumbuhan awan tipe stratus dan strato cumulus sangat


berasosiasi dengan pola suhu dingin akibat upwelling di pantai. Lapisan
batas atmosfer yang tipis dan kekuatan inversi suhu atmosfer

118
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

menunjukkan bahwa pertumbuhan awan sangat sensitif pada perubahan


kecil di struktur lapis batas. Sinyal harian besar pada awan strato
cumulus di pantai ketika terjadi pemanasan di siang hari meningkatkan
tinggi dasar awan dan menumbuhkan lapisan awan tipis dan
memisahkannya dari permukaan. Hal ini akan meningkatkan aliran
permukaan dan divergensi fluks panas antara lapisan awan di atas dan di
bawah awan dengan permukaan. Variasi harian dari jumlah awan juga
dihubungkan dengan perubahan ketinggian atas awan, besar droplet
awan dan aliran titik kondensasi di awan. Sehingga meskipun angin laut
mengalir ke darat, tetapi terkadang awan tetap bertahan di lepas pantai.
Hal terakhir ini diakibatkan oleh efek baroklinik (perbedaan tekanan)
yang berhubungan dengan pertumbuhan awan dan menghasilkan
sirkulasi yang menahan awan di lepas pantai atau terperangkap di lepas
pantai (coastally-trapped).

Gambar 7.3. Beberapa skala lapisan batas atmosfer dan definisinya pada
daerah rata dan terbuka.

119
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

7. 3. EFEK TERMAL

Efek termal yang paling kuat antara daratan dan lautan


mendorong aliran sirkulasi angin laut, yang mengakibatkan pertemuan
antara aliran angin dari laut dengan angin di daratan. Angin laut
berhubungan dengan banyak proses yang berkontribusi dengan sirkulasi
ulang dan penjebakan dari polutan, pertumbuhan proses hujan pada
awan konvektif, yang membuat efek kontras dekat pantai, gradien
kelembaban, dan aerosol serta pembentukan dan transport dari kabut,
awan rendah pada wilayah pantai (Gambar 7.4).

Polutan seringkali terjebak di daratan pantai akibat aliran angin


laut dari wilayah pantai yang dingin serta dangkal. Lapisan batas
atmosfer di atas laut dapat bergerak menuju daratan hingga 20 atau 50
km dalamnya. Lapisan batas dengan ketebalan 100 hingga 200 m dapat
bervariasi hingga kilometer di atas daratan.

Front suhu muka laut adalah batas skala meso yang memisahkan
udara air lembab dengan udara dingin serta kering dari daratan. Front
suhu yang tercipta dapat terjadi sepanjang 1.000 km dengan kontras suhu
mencapai 20 °C dan bertahan selama beberapa hari. Mekanisme inisiasi
dari pola ini termasuk perbedaan gradien friksi, perbedaan gradien
pemanasan diabatis , dan sirkulasi darat laut. Front suhu seperti ini
biasanya seringkali diasosiasikan dengan proses pembentukan badai dan
hujan lebat. Seringkali ditemukan hubungan yang kuat antara aliran
udara angin laut dengan front suhu muka laut dan dengan timbulnya
curah hujan lebat di sepanjang pantai yang diakibatkan olehnya. Faktor
konvergensi angin laut juga seringkali dihubungkan dengan kekuatan
pembentukan awan yang menyebabkan curah hujan tinggi seperti badai.
Hujan yang dihasilkan di pantai dapat masuk ke daratan dan
menciptakan curah hujan tidak lebat yang hangat.

120
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

Gambar 7.4. Contoh terjadinya interaksi laut daratan dalam


pembentukan zona mixing akibat angin laut dengan dibantu
cerobong asap untuk menggambarkan arah aliran angin dan
daerah mixing (daerah dimana turbulensi kuat) dan
diperlihatkan juga dimana terjadinya jebakan polutan di
daratan.

7. 4. EFEK OROGRAFIS

Pegunungan di pantai membentuk halangan terhadap aliran


angin yang mempengaruhi aliran turun maupun naik dari angin laut.
Permasalahan ini dihubungkan dengan dua parameter bebas yaitu angka
Froude (Fr) dan angka Rossby (Ro) yang merupakan fungsi kecepatan
angin, koefisien coriolis, frekuensi Brunt-Vaisala, nilai potensial suhu
dan tinggi dari halangan tersebut (bukit). Nilai potensial suhu adalah
suhu dari kolom udara yang turun secara adiabatis kering ke level
tekanan 1.000 mb.

Region lokal dengan tekanan tinggi dan rendah yang terjadi di


sepanjang wilayah pantai dapat terjebak dan bergerak di sepanjang
pantai akibat efek orografis. Efek seperti ini dapat diamati terjadi pada
skala dua hingga enam harian dan memiliki panjang hingga 1.000 km
sepanjang pantai dan lebar mencapai hingga 100 - 300 km. Efek yang
dihasilkan dapat berupa pergantian udara cerah dengan kabut dan awan
yang menyebabkan pergantian aliran angin di sepanjang pantai.

121
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Ketika aliran di pantai menjadi seragam yang ditandai dengan


angka Froude yang kecil dan menemui halangan pantai berupa
pegunungan akan menghasilkan front tekanan yang bersifat
membendung. Medan tekanan yang dihasilkan oleh halangan
pegunungan akan menghasilkan halangan jet. Kasus serupa dapat terjadi
ketika aliran yang datang tidak seragam seperti pada saat kedatangan
badai di pantai.

Interaksi antara perbedaan medan tekanan skala meso dan skala


regional dengan topografi akan membawa medan angin dan turbulensi
yang kompleks di zona pantai. Angin ageostropic yang terjadi akibat
kontur pegunungan akan membentuk kanal aliran yang dapat
mempercepat aliran angin di antara pegunungan di pantai. Fenomena ini
pada skala lokal dapat menjadi bibit dari puting beliung apabila gejala ini
terjadi pada skala waktu jam-jaman yang lama.

7. 5. INTERAKSI SISTEM SKALA REGIONAL DENGAN


PANTAI

Sebagaimana telah digambarkan sebelumnya, banyak fenomena


cuaca di zona pantai yang berhubungan dengan gangguan skala meso
atau regional. Waktu respon dari fenomena cuaca di zona pantai sangat
singkat sehingga perubahan dari sirkulasi di daratan dapat dikendalikan
oleh perubahan aliran udara yang singkat. Waktu respons dari skala
cuaca di daratan pada zona pantai sekitar 3 hingga 12 jam. Sebuah badai
yang mendarat di pantai akan diubah akibat situasi di daratan dimana
akibat kekurangan suplai dari panas laten yang biasanya ada di atas
lautan, akan melemahkan badai itu sendiri. Akan tetapi halangan
pegunungan dapat dengan secara tidak sengaja memperkuat efek dari
badai dengan menimbulkan hujan lebat dan angin kencang di zona

122
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

pantai. Peningkatan friksi antara badai dengan daratan akan


memperlebar radius dari batas mata badai. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan dari gesekan angin vertikal yang menyebabkan
peningkatan kejadian tornado dari kedatangan badai ini. Sementara itu
badai akan meluruh saat menghampiri daratan akibat gesekan tersebut.

Ekosistem pantai akan pulih dalam waktu lama dimana erosi


hebat akibat badai terjadi dan juga terjadi kerusakan terumbu karang di
laut dangkal. Selain itu badai juga dapat menyebabkan penurunan dari
daerah penangkal pantai (buffer zone). Erosi dan kerusakan struktural
dikendalikan oleh sifat morfologis pantai, komposisi sedimen, jenis
terpaan gelombang, dan angin serta keberadaan dari struktur bangunan
di zona pantai. Seperti dapat di duga maka kerusakan hebat dapat terjadi
apabila tidak ada daerah penangkal (buffer zone) yang dapat merupakan
hutan bakau atau penangkal gelombang di pantai. Peningkatan
kerusakan dari badai belakangan ini dan kehilangan materi dalam jumlah
besar membuat beberapa perusahaan asuransi untuk mencari hubungan
antara perubahan iklim dengan badai. Hasil penelitian terakhir
sebagaimana dilaporkan pada IPCC 2007 menunjukkan hubungan yang
positif, meski masih terus diperdebatkan, antara peningkatan kejadian
badai tropis dan perubahan iklim.

7. 6. TEKNIK PENGUKURAN DAN OBSERVASI

Skala waktu dan ruang yang kecil yang berhubungan dengan


zona pantai menumbuhkan kebutuhan untuk sistem pengukuran dan
observasi yang memadai. Peralatan inderaja (remote sensing) dengan
satelit dapat mengukur kejadian secara langsung akan fenomena yang
terjadi di daratan dan di lautan pada zona pantai. Pada dasarnya satelit
inderaja yang dipakai saat ini masih memiliki kesulitan akan resolusi

123
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

temporal dikarenakan sistem orbital polar yang hanya kembali pada


selang dua kali sehari untuk tempat yang sama (hal ini hanya pada kasus
tertentu). Sedangkan satelit geostationer yang memiliki resolusi waktu
yang tinggi hingga tiap jam memiliki resolusi ruang yang terkadang
kurang memadai dibandingkan dengan satelit dengan orbit polar.
Selanjutnya pengukuran angin dengan skala resolusi tinggi juga
diperlukan. Metode Scatterometry dan synthetic aperture radar (SAR)
dapat menampilkan profil atau data angin dan gelombang, sementara
resolusi ruang dari SAR cukup memadai untuk keperluan pemantauan.
Pemantauan daerah laut di zona pantai juga dapat dilakukan dengan
memakai teknik ocean color.

7. 7. MASALAH TERUMBU KARANG

Daerah pantai merupakan tempat ikan bertelur dan menaruh


larva terutama di daerah terumbu karang. Terumbu karang terdapat di
daerah tropis dimana salinitas air rendah dan di kedalaman mixing
dimana masih terdapatnya pengaruh radiasi matahari sebagai sumber
energi bagi proses fotosintesis. Daerah lapisan laut dimana masih
terdapat pengaruh cahaya matahari dikenal sebagai lapisan euphotic
zone.

Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh shock psikologis


akibat respons dari perubahan mendadak dari temperatur, salinitas dan
turbiditas. Kerusakan ini merupakan kehilangan ganggang simbiotik
(symbiotic algae) yang penting untuk penyuburan sumber makanan dan
warna terumbu karang tersebut. Proses kerusakan dapat terjadi
sementara akibat kondisi lingkungan dan hilang jika tekanan lingkungan
meluruh. Brown et al. (2000) mengindikasikan bahwa beberapa koral di
Lautan Hindia, Karibia dan Pasifik mengalami pemutihan (bleach)

124
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

secara rutin tiap tahun sebagai variasi dari temperatur dan radiasi.
Kerusakan serius terjadi apabila penyimpangan suhu terjadi diatas 1 ºC
(Brown et al., 1996). Lebih lanjut Hoegh-Guldberg (1999) menemukan
bahwa kerusakan dari terumbu karang pada 20 tahun terakhir berasosiasi
dengan peristiwa El Niño pada waktu temperatur maksimum
penyimpang lebih dari 1 ºC. Kerusakan permanen terumbu karang
terjadi apabila penyimpangan temperatur terjadi lebih dari 3 ºC selama
beberapa bulan (Brown dan Suharsono, 1990). Sebagaimana juga
diuraikan di atas bahwa terumbu karang sangat rentan terhadap aksi
cuaca ektrem seperti badai yang menghampiri pantai. Akibat dari
kedatangan badai adalah peningkatan turbiditas dan kerusakan ekologis
akibat terciptanya pusaran air dan gelombang yang merusak struktur
ekosistem pantai.

Dalam hubungan dengan perubahan iklim, maka posisi terumbu


karang akan menjadi penting karena terumbu karang merupakan obyek
pada penelitian paleo iklim atau studi iklim untuk skala abad atau ratusan
tahunan. Dengan teknik pengukuran yang memadai akan diperoleh nilai
yang berkorelasi dengan suhu muka laut sekitar, kandungan oksigen
sekitar, serta pola musim apakah basah atau kering. Dalam teknik paleo
iklim akan diperoleh sampel terumbu karang dengan melakukan
pemotongan melintang dari badan terumbu karang. Karena biasanya
terumbu karang hidup pada lapisan laut dangkal dengan kuatnya
pengaruh cuaca di muka laut maka pengambilan sampel terumbu karang
tidak diperlukan teknik dan kondisi khusus atau penyelaman laut dalam.
Dari data terumbu karang akan juga diperoleh nilai isotop karbon yang
dapat dikonversi kepada umur lapisan dari terumbu karang yang
diperoleh. Dari nilai konversi umur dan diasosiasikan dengan parameter
lain seperti besaran nilai isotop tertentu akan diperoleh gambaran iklim
di masa lampau berupa perkiraan (proxi) musim, perkiraan suhu muka

125
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

laut dan perkiraan kandungan oksigen terlarut. Penelitian paleo iklim


dengan terumbu karang merupakan satu dari beberapa pilihan lain untuk
penelitian iklim seperti memakai lapisan es serta sedimentasi tanah di
danau dan gua. Dibandingkan dengan pilihan lainnya, terumbu karang
dapat menghasilkan nilai proxi pada skala hingga satu atau dua abad.
Sedangkan dari analisis lapisan es dan sedimen dapat dihasilkan nilai
proxi hingga skala waktu ribuan tahun. Walaupun demikian analisis
proxi dari terumbu karang cukup menggambarkan iklim yang relatif kuat
untuk satu hingga dua abad yang lampau.

Hubungan antara terumbu karang dengan perubahan iklim juga


penting bagi neraca karbon dalam hal daya serap dan emisi CO2 ke
atmosfer. Menurut Ware et al. (1991) terumbu karang adalah sumber
emisi CO2 diakibatkan oleh proses presipitasi dari kalsium karbonat
yang mengubah pH (peningkatan pH lebih ke nilai skala basa sehingga
lebih meningkatkan produksi CO2) dari terumbu karang dan pada
akhirnya menghasilkan CO2. Perubahan pH akan mengakibatkan
peningkatan karbon terlarut (dissolved inorganic carbon) yang
berasosiasi langsung dengan satuan CO2. Pada pemahaman sebelumnya
proses presipitasi dari kalsium karbonat dianggap sebagai proses
pengendapan dari zat tersebut yang berarti terjadi proses penyerapan
CO2. Pada ekosistem keseluruhan di sekitar terumbu karang dari tempat
pemijahan ikan, hewan-hewan mikro, dan rantai makanan disekitarnya,
terumbu karang ekosistem dapat merupakan sumber penyerapan CO2,
tetapi terumbu karangnya sendiri merupakan suatu unit dimana terjadi
pelepasan atau emisi dari CO2 ke atmosfer.

Permasalahan berikutnya dari terumbu karang adalah ancaman


perubahan iklim akibat naiknya suhu muka laut dan naiknya tinggi muka
laut. Meskipun pengaruh dari fenomena yang pertama yaitu peningkatan

126
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

suhu muka laut akan jauh lebih dirasakan bagi kerentanan terumbu
karang terhadap iklim sebagaimana terlihat akibat dari badai atau gejala
El Niño. Pada kasus fenomena kedua dimana terjadi perubahan tinggi
muka laut akan juga terjadi perubahan sifat air laut yang menyelimuti
ruang hidup terumbu karang. Peningkatan suhu muka laut sebagaimana
terdeteksi pada hasil analisis proxi masa lampau menunjukkan adanya
kemungkinan bleaching atau pemutihan. Pemutihan terumbu karang
yang menunjukkan kerusakan akibat kematian lapisan terluar tidak
hanya terjadi pada kasus peningkatan suhu muka laut melainkan juga
pada penurunan suhu muka laut sebagaimana pada kasus El Niño dimana
terjadi penurunan suhu muka laut secara drastis.

Terumbu karang juga sensitif terhadap peningkatan mikro


organisma seperti alga yang dapat bersaing dengan terumbu karang
dalam mendapatkan suplai oksigen. Apabila terjadi ledakan (blooming)
dari mikro organisme seperti ini yang dikenal sebagai eutrophication
maka akan terjadi perusakan terumbu karang selama periode
ehthropication. Apabila periode tersebut berlangsung lama dikuatirkan
akan terjadi total bleaching atau kerusakan total dari terumbu karang.
Sumber dari eutrophication dapat dari berbagai sumber seperti sumber
nutrisi dari limpahan sungai dari daratan, kelimpahan nutrisi dari
sebaran di laut akibat ledakan gunung berapi atau akibat sebaran zat-zat
logam dari hasil kebakaran hutan. Pertumbuhan mikro organisme
mengacu pada tingkat kesuburan lingkungan yaitu pada kesetimbangan
nilai nutrisi beberapa zat penting seperti karbon, nitrogen, pospor, dan
silikat. Nilai kesetimbangan nutrisi yang dikenal dengan istilah nilai
rasio Redfield akan menjaga nilai kesetimbangan nutrisi dan populasi
mikro organisme di perairan. Apabila terjadi kelebihan salah satu zat
nutrisi di atas maka akan terjadi kelimpahan pada mikro organisme yang
menjadi pemakan utama dari nutrisi yang berlebih tersebut. Jika hal ini

127
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

terjadi maka akan terjadi eutrophication sebagaimana digambarkan di


atas. Kerusakan dari terumbu karang akibat persaingan akan suplai
oksigen juga tidak hanya merusak terumbu karang melainkan juga ikan-
ikan yang memanfaatkan ekologi terumbu karang bagi kehidupannya.
Hal terakhir yang dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang
adalah kekurangan suplai radiasi matahari akibat tertutupnya muka air
laut oleh lapisan tertentu. Hal seperti ini dapat terjadi akibat penutupan
oleh mikro organisme yang sedang melimpah atau tertutup oleh per-
awanan atau lapisan zat akibat letusan gunung berapi atau akibat
kebakaran hutan.

7. 8. PROSES KONVEKSI PADA GARIS PANTAI DAN PULAU-


PULAU KECIL

Pulau-pulau kecil berperan penting bagi proses konveksi di


lapisan batas atmosfer. Proses konveksi seringkali dimulai dari tepi
pantai karena besarnya suplai uap air dari wilayah laut oleh proses
evaporasi. Suplai uap air besar apabila kondisi muka laut mendukung
seperti adanya radiasi matahari yang cukup, angin yang berhembus, dan
suhu muka laut yang mendukung. Diperlukan suhu muka laut antara 28
s.d. 29.6 C untuk daerah tropis seperti Indonesia agar terjadi kondisi
yang mendukung terjadinya evaporasi. Radiasi matahari diperlukan
untuk memberikan energi perubahan fase cair ke gas. Radiasi ini tidak
harus radiasi langsung, tapi dapat juga akibat radiasi tidak langsung dari
pantulan awan awan di langit. Angin diperlukan untuk mengurangi
saturasi udara di atas muka laut tempat evaporasi untuk memberikan
peluang evaporasi lebih lanjut. Angin yang terlalu lemah dapat
mengakibatkan proses evaporasi berpengaruh sangat lokal dan proses
konveksi yang dapat terjadi juga bersifat lokal. Angin kecepatan sedang

128
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

antara 3 - 8 knot merupakan angin ideal bagi suplai udara basah yang
kontinu ke daerah konveksi di pantai. Apabila angin terlalu kencang,
proses konveksi awan sulit terbentuk, akibatnya tidak ada pertumbuhan
awan di daerah pantai. Angin yang seringkali berpengaruh bagi peristiwa
konveksi di pantai di siang hari berhubungan dengan angin laut yaitu
aliran angin dari laut ke daratan. Apabila suhu dibawah 28 ºC evaporasi
sulit terjadi karena radiasi yang diterima muka laut masih dipakai untuk
pemanasan air laut sehingga akumulasi hujan yang terjadi juga rendah.
Diatas 29.6 ºC suhu muka laut juga tidak mendukung karena hujan yang
turun seringkali tidak sampai di muka bumi tetapi langsung menguap
dalam perjalanan jatuhnya.

Tanpa bantuan fenomena global, kecepatan angin ini sangat ideal


(tidak terlalu cepat dan lambat) bagi pertumbuhan awan konvektif.
Fenomena alam global seperti siklon tropis bisa memberikan suplai uap
air berlebih dan membentuk awan-awan, tetapi awan yang terbentuk
adalah awan skala luas yang tipis pada lapisan tinggi yaitu 10.000 kaki
atau sekitar 3.500 m. Awan jenis ini terbentuk tidak di siang atau sore hari
seperti pembentukan awan-awan konvektif tetapi adalah awan yang
bertahan lama hingga di malam hari. Seringkali awan ini cukup tebal
untuk dapat memberikan curah hujan tinggi di malam hari. Pada skala
luas akibat dari pembentukan awan jenis ini, peristiwa monsun memiliki
jangkauan awan hingga jauh ke daratan benua.

Sebuah teluk atau estuari biasanya berfungsi sebagai daerah


tangkapan hujan dimana terjadi penumpukan atau konvergensi masa
udara basah. Di daerah Palopo di Teluk Bone hal ini terjadi dimana antara
Palopo dan Luwuk terjadi penumpukan hujan pada saat angin timuran
mengalir dari tenggara. Bentuk orografis teluk yang cekungan menjebak
aliran massa udara dan mengangkatnya menjadikan udara basah tersebut

129
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

terkondensasi. Hal ini tentu saja akan lebih dibantu apabila orografis
pantai disertai pegunungan atau perbukitan. Daerah Bogor merupakan
daerah tangkapan hujan bagi teluk Jakarta. Tetapi pada akhir-akhir ini
daerah tangkapan hujan di Bogor berkurang. Bogor tidak lagi
mengalami hujan sepanjang tahun akibat polusi. Industri di wilayah
Jabotabek. Polusi Industri membawa dampak meningkatnya kadar
aerosol di udara. Aerosol industri biasanya menghambat pembentukan
awan-awan konvektif. Hanya awan konvektif kuat di musim hujan tetap
terbentuk di daerah Bogor. Padahal sebelumnya penumpukan awan
orografis dapat berarti bagi pembentukan awan di Bogor.

Untuk pulau-pulau kecil, peristiwa konvektif kecil-kecil


merupakan ventilasi energi dan siklus hidrologi yang paling vital bagi
muka bumi. Peristiwa perubahan fase cair menjadi gas, menyerap energi
atmosfer dan mendinginkannya. Peristiwa pendinginan ini menjaga
suhu muka laut tidak mendidih akibat panas radiasi matahari. Selebihnya
energi kinetik mentransfer suplai uap air ke daerah lain. Pada skala
global peristiwa evaporasi di daerah tropis di transfer ke daerah lintang
tinggi dan energi laten yang terkandung di suplai uap air tersebut
mentransfer energi dari daerah tropis ke daerah lintang tinggi. Siklus
hidrologi atmosfer terjadi akibat penguapan membawa potensi hujan ke
daerah konvektif lainnya dan mendorong proses pada siklus hidrologi
berikutnya.

Keberadaan pulau-pulau kecil tidak hanya berarti bagi konveksi


di atmosfer tetapi juga mempengaruhi jalur lintasan arus permukaan.
Akibat dominasi angin di wilayah Indonesia yang monsunal atau
berbalik arah dalam kurun waktu setengah tahun. Sifat pola arus sekitar
pulau-pulau kecil di sebagian besar wilayah Indonesia sudah dapat
diperkirakan. Keberadaan pulau-pulau kecil tersebut sangat

130
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

berpengaruh bagi penentuan arus dan volume transport massa air


keseluruhan. Hal inilah yang seringkali menjadi faktor kesalahan yang
mendominasi pemodelan laut dan atmosfer wilayah Indonesia. Kedua
faktor diatas yaitu proses konveksi dari pulau-pulau kecil bagi
pemodelan atmosfer dan arus lintas sepanjang pulau kecil yang
dipengaruhi keberadaannya bagi pemodelan laut. Kedua masalah
tersebut merupakan problem utama bagi wilayah kita yang memiliki
ribuan pulau pulau kecil. Dengan turut memperhitungkan keberadaan
pulau-pulau kecil menggunakan model resolusi tinggi akan
membutuhkan kemampuan komputer dan memori yang besar,
mengabaikannya akan memberikan faktor kesalahan yang besar.

7. 9. UPWELLING DAN DOWNWELLING DI GARIS PANTAI

Apabila angin permukaan berhembus searah garis pantai maka


proses Ekman akan mendorong upwelling atau downwelling menuju
daerah pantai. Upwelling membawa unsur hara dari pitoplanton di
permukaan laut dari laut dalam. Pada laut dangkal peristiwa upwelling
yang terjadi lebih banyak merupakan proses mixing dari laut yang lebih
dalam. Peristiwa upwelling dengan unsur hara terjadi apabila garis
pantai terjal hingga dalam beberapa ratus meter ke tengah laut
kedalaman laut mencapai lebih dalam dari daerah thermocline. Peristiwa
upwelling dengan menaiknya unsur hara makanan seringkali
dihubungkan dengan tempat berkumpulnya ikan-ikan. Akan tetapi
hubungan langsung dari hal tersebut masih diperdebatkan. Salah satu
argumen yang timbul adalah pengaruh dari rantai makanan dari
pitoplanton ke ikan-ikan kecil dan ikan besar. Rantai makanan tersebut
membutuhkan waktu untuk berlangsungnya dan hal ini yang
menyulitkan membuat hubungan korelasi langsung peristiwa upwelling

131
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

dan keberadaan ikan-ikan tangkap. Karena sifat dari daerah upwelling


yang membawa unsur hara dihubungkan dengan garis pantai yang
berdekatan dengan laut dalam, maka lokasi terjadinya peristiwa ini
adalah di sekitar laut-laut dalam seperti barat Sumatera, selatan Jawa,
atau disekitar Laut Banda.

Peristiwa upwelling membawa pengaruh terhadap mixing di


permukaan karena air dari laut dalam biasanya mengandung kadar
garam tinggi (salinitas tinggi) dan suhu rendah. Pengaruh peristiwa
upwelling terjadi hingga tidak jauh dari garis pantai (beberapa ratus
meter) tetapi cukup berarti bagi nelayan untuk penambahan
penangkapan ikan mereka.

Salah satu fenomena upwelling yang paling terkenal adalah


peristiwa El Niño dimana di pantai Peru terjadi upwelling dalam periode
yang lama pada akhir bulan Desember. Waktu itu merupakan puncak
peristiwa El Niño. Saat tersebut nelayan setempat panen ikan akibatnya.
Karena peristiwa tersebut terjadi bersamaan dengan peristiwa Natal
maka nelayan setempat menamakan fenomena tersebut dengan El Niño
yang berarti anak laki-laki untuk juga memperingati kelahiran anak laki-
laki yaitu Yesus yang dirayakan pada akhir bulan tersebut. Untuk
mengetahui kapan peristiwa upwelling terjadi di wilayah Indonesia perlu
diketahui situasi angin dominan di muka laut dan posisi geografis apakah
di belahan bumi utara atau selatan. Faktor terakhir mempengaruhi
putaran Ekman transport akibat dari gaya coriolis bumi. Untuk daerah
upwelling di pantai selatan Jawa. Kemungkinan terjadinya adalah pada
saat angin timuran bertiup yang membawa konsekuensi upwelling
mengalir dari selatan Jawa. Hal ini terjadi pada bulan Juni, Juli, dan
Agustus dimana terjadi puncak angin timuran. Akibat tiupan angin
permukaan tersebut, proses Ekman akan mendorong arus menjauhi garis

132
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

pantai. Arus muka laut menjauhi pantai akan menyebabkan kekosongan


masa air di pantai dan diisi oleh aliran masa air dari laut dalam. Kejadian
sebaliknya apabila angin di pantai selatan jawa mengalir dari barat maka
akan terjadi downwelling.

Peristiwa upwelling akan jelas sekali terlihat dari satelit inderaja


laut. Dengan satelit ini seperti SeaWif, warna daerah mixing dari daerah
upwelling akan jelas terlihat dan berbeda dari daerah lainnya. Akan
tetapi peristiwa mixing di garis pantai juga biasa terjadi akibat turunnya
hujan di garis pantai. Air hujan yang jauh lebih tawar dari laut sekitarnya
akan menandai proses mixing yang terlihat dari satelit inderaja. Hal ini
seringkali menjadi faktor kesalahan dari data satelit inderaja.

Cara paling praktis mengetahui peristiwa upwelling dengan


melihat data suhu muka laut. Proses upwelling dan mixing yang
diakibatkannya akan menambah unsur variabilitas rata-rata data suhu
muka laut. Dengan mengambil data suhu muka laut historis dan
membandingkannya dengan nilai rata-rata bulanan dapat diketahui
kecenderungan wilayah yang terjadi upwelling. Metode ini baik untuk
mendeteksi peristiwa upwelling yang terjadi akibat angin di permukaan
laut dari peristiwa monsunal yang berlangsung dalam beberapa bulan.
Untuk peristiwa upwelling dalam hitungan hari, metoda ini tidak layak
untuk dilakukan, melainkan dengan memakai data satelit inderaja lebih
baik lagi.

Pada daerah pantai, kombinasi antara angin yang persisten,rotasi


bumi, dan orientasi letak pantai dapat menimbulkan sirkulasi vertikal
dari air laut. Pada lokasi dimana angin menyebabkan perpindahan massa
air permukaan (pada kedalaman dari permukaan hingga sekitar ratusan
meter) menjauh dari garis pantai maka massa air tersebut akan

133
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

tergantikan oleh massa air dari laut dalam yang relatif lebih dingin.
Peristiwa dalam proses inilah yang dikenal sebagai upwelling. Pada
daerah lain ketika angin menyebabkan perpindahan massa air mendekati
pantai, tumpukan air di permukaan di dekat pantai akan tenggelam dan
suhu muka laut akan menghangat. Peristiwa ini dikenal sebagai
downwelling.

Rotasi dari pergerakan bumi membelokkan massa air dan udara


yang bergerak di semua tempat kecuali di dekat garis ekuator.
Pembelokan ini dikenal sebagai efek coriolis. Efek coriolis ini dan
dengan kombinasinya dengan angin dan air laut menyebabkan
perpindahan massa air dekat permukaan. Perpindahan air itu akan terjadi
dengan sudut 90º dari arah sebenarnya akibat dari efek Ekman. Dengan
pemahaman ini maka apabila ada hembusan angin di selatan Pulau Jawa
yang searah dengan garis pantai ke arah barat akan menyebabkan
terjadinya upwelling. Sebaliknya jika ada hembusan angin searah garis
pantai ke arah timur akan menyebabkan terjadinya downwelling.

Peristiwa upwelling dan downwelling di pantai mempengaruhi


cuaca dan iklim dengan mengubah suhu muka laut, seperti upwelling
yang membawa air dingin dari dalam laut yang mempengaruhi
pembentukan kabut sebagaimana air hangat mengalir di atas badan air
yang dingin. Selain itu peran dari badan air dingin di permukaan yang
menghentikan pembentukan awan dan kemungkinan terjadinya badai di
zona pantai.

Proses upwelling yang terjadi di bagian timur Samudra Pasifik


atau Pantai Ekuador dan Peru berhubungan dengan pembentukan
padang pasir di daratan pantainya. Perlemahan dari upwelling yang
berhubungan dengan sirkulasi di atmosfer dan di lautan yang berulang
ulang pada periode tiga hingga tujuh tahunan dikenal sebagai El Niño.

134
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

Suhu muka laut yang hangat akan membawa hujan sepanjang daratan
pantai tersebut.

Daerah yang riskan terhadap terjadinya upwelling dan


downwelling adalah wilayah studi yang menarik bagi peneliti untuk
mencari hubungan antara arus muka laut yang terdorong angin, arus
dalam yang terdorong oleh beda massa jenis dan sirkulasi di atmosfer.
Ada kemungkinan bahwa pengaruh dari upwelling dan downwelling
dapat berdampak pada variabilitas cuaca dan iklim di seputar bumi.

Pengaruh perputaran bumi dan gaya atau efek coriolis akan


menyebabkan pengaruh pembelokan di bumi belahan utara dan bumi
belahan selatan bertolak belakang. Pada prinsipnya semua gerakan
menuju ke arah garis ekuator akan dibelokkan ke arah barat. Sehingga di
bumi belahan utara apabila massa air dan massa udara menuju ke garis
ekuator maka akan dibelokkan ke barat atau ke arah kanan. Sedangkan
untuk bumi belahan selatan apabila ada pergerakan massa udara ke arah
ekuator akan dibelokkan ke kiri atau juga ke barat. Demikian juga untuk
kasus di pantai selatan Jawa dimana arah garis pantai melintang dari
barat ke timur, apabila ada angin di permukaan akan menyebabkan
terjadinya efek Ekman yang mendorong arus bergerak ke kiri atau ke
arah selatan. Akibat perbelokan tersebut maka massa air atau udara yang
mengalir tersebut akan digantikan oleh massa udara atau air lain yang
dapat menyebabkan terjadinya upwelling atau downwelling.

Fenomena upwelling dan downwelling sangat penting dalam


menghasilkan perubahan besar pada suhu muka laut yang dapat bertahan
hingga skala beberapa harian. Seringkali fenomena ini dihubungkan
dengan tingkat kenyamanan pariwisata pantai atau untuk dunia
penangkapan ikan. Sebagai contoh, untuk keperluan daerah pariwisata
akan menghindari daerah upwelling dimana suhu lautan menjadi dingin

135
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

akan tetapi untuk keperluan penangkapan ikan upwelling lebih disukai


karena akan dapat menyebabkan kemudahan menangkap ikan, karena
ikan akan berenang lebih dekat permukaan. Selain suhu di dekat
permukaan yang memberi kenyamanan bagi ikan, juga karena upwelling
memberikan nutrisi yang mengalir ke permukaan untuk makanan ikan.

Daerah yang sering terdapat upwelling akan merasakan suasana


yang sejuk dimana seringkali timbul kabut di pantai. Selain itu curah
hujan juga tidak lebat karena proses konveksi akan terhambat dengan
suhu muka laut yang dingin dan petir serta kilat akan jarang terjadi pada
daratan pantai seperti demikian.

7.10. PANTAI TEMPAT BERCAMPURNYA DUA DUNIA

Pantai merupakan akhir dari mengalirnya aliran (runoff) dari


sungai yang membawa banyak sedimentasi dan limbah dari daratan. Air
tawar dan asin bercampur di muara sungai yang letaknya di tepi pantai.
Aliran air sungai membawa sedimentasi daratan dan limbah
antropogenik atau hasil perbuatan manusia. Sedimentasi biasanya
menambah kadar garam di laut, meski kadar garam dalam sedimen air
sungai sangat minim. Selain sedimentasi yang menciptakan
pendangkalan, kejadian sebaliknya dapat terjadi yaitu erosi garis pantai.
Erosi garis pantai merupakan bahaya nyata dalam dekade kedepan akibat
munculnya gejala pemanasan global yang membawa dampak
menaiknya tinggi muka air laut sehingga erosi adalah bahaya nyata
untuk negara dengan garis pantai terbanyak seperti Indonesia. Perlu
dihitung berapa banyak warga masyarakat yang bermukim di garis
pantai dan dalam ketinggian daratan tertentu. Perlu diperhatikan bahwa
pemanasan global adalah fenomena iklim dengan skala variabilitas yang
sangat lambat.

136
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

Beban muara sungai bertambah akibat bertumpuknya limbah,


sehingga banyak merusak terumbu karang di dekat muara sungai.
Rusaknya terumbu karang tersebut dan kondisi penangkapan ikan
berlebihan akan mengakibatkan habisnya stok ikan di sekitar muara
sungai. Limbah kotor yang berisi zat kimia seringkali merusak tidak
hanya terumbu karang tetapi juga ikan-ikan kecil dan tempat tumbuhnya
ikan tersebut. Hal ini membahayakan habisnya stok ikan secara lebih
cepat. Untuk wilayah tertentu dimana arus air laut terpengaruh pada pola
monsun dimana terjadi aliran berbalik arah, seringkali ikan akan datang
pada suatu periode dan hilang pada periode lain. Hal ini biasa
melengahkan para nelayan sehingga beranggapan tidak ada pengaruh
kerusakan ekosistem setempat.

Eutropication adalah contoh rusaknya muara sungai akibat


pencemaran air laut. Eutrophication adalah fenomena dimana
mengalirnya material Nitrogen dan Fosfat dari urea hasil fertilisasi
pupuk buatan manusia. Pupuk merupakan penyubur untuk upaya
intensifikasi pertanian yang intensif dipakai hingga saat ini. Pemakaian
pupuk yang berlebihan akan terbuang ke dalam aliran sungai dan
akhirnya mengalir ke laut. Kasus eutropication ini turut membantu
rusaknya ekosistem garis pantai karena senyawa kimia ini tidak
diproduksi secara natural dan tidak berurai secara natural di laut
melainkan sumber hara atau makanan bagi berbagai fitoplankton
berbahaya atau beracun. Eutrophication merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan negara maju menghentikan pemakaian pupuk non
biologis atau alamiah dalam intensifikasi pertanian mereka.

Kasus pencemaran lain adalah limbah dari badan manusia yaitu


bakteri e-coli yang terdapat dalam tinja atau kotoran manusia. Akibat
sistem drainasi di Indonesia tidak terkoordinir secara rapi. Limbah ini

137
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

dibuang di halaman rumah dan dibiarkan meresap ke tanah. Tetapi akibat


aliran air tanah atau ground water, kotoran tersebut juga mengalir ke
dalam aliran sungai yang mengalir ke laut. Keberadaan bakteri ini di
muara sungai membuktikan daya tahan hidup yang lama untuk
mengarungi dari buangan manusia hingga ke muara sungai.
Kemungkinan lain adalah terjadinya mutasi dari bakteri ini untuk dapat
terdeteksi di muara sungai. Hal yang menarik adalah dalam beberapa
tahun terakhir terjadi pergeseran tempat bakteri ini di muara sungai
hingga menjangkau jarak yang lebih jauh dari garis pantai.
Kemungkinan adanya tingkat kejenuhan bakteri ini di muara sungai
hingga akhirnya keberadaannya dapat terdeteksi hingga jauh di tengah
laut. Pola penyebaran bakteri ini di muara sungai juga terpengaruh oleh
sistem iklim kita yaitu pada waktu musim basah dimana hujan sering
turun, konsentrasi bakteri ini di muara sungai menurun. Pada waktu
musim kering keberadaan bakteri ini memiliki konsentrasi tinggi.

7.11. GARAM DAN AEROSOL DI PANTAI

Meskipun kandungan garam di laut hanya 3 %, tetapi garam


membentuk sifat fisis yang khusus bagi air laut. Sifat fisis yang
dinyatakan dengan tingkat salinitas dan tingkat dielektris karena garam
seringkali berupa ion lepas bermuatan listrik statis positif atau negatif.
Di permukaan laut pada lapisan kulit udara dan muka air, terjadi mixing
dari laut ke udara dimana partikel garam terlepas ke udara dalam bentuk
aerosol garam. Aerosol adalah partikel di udara selain partikel air dalam
fase cair, padat atau gas. Aerosol garam ini terbawa dengan angin ke
daerah lain dan sangat mempengaruhi kondisi iklim di tepi pantai.
Wilayah Indonesia dimana hampir semua pulau (termasuk hampir
semua pulau besar) memiliki iklim maritim. Salah satu ciri iklim maritim

138
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

adalah terdapatnya aerosol garam di udara. Hal termudah yang dapat


terlihat adalah mudahnya terjadi karat pada besi-besi di kota-kota di
pinggir pantai Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah keberadaan
aerosol garam baik itu merupakan senyawa garam maupun ion-ion
garam lepas.

Gambar 7.5. Proses pembentukan angin darat dan angin laut.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sifat iklim wilayah


Indonesia berupa pengangkatan udara, dimana wilayah tropis adalah
pusat pergerakan hadley cell yang mengirimkan energi dari tropis ke
daerah lintang tinggi. Di daerah tropis terjadi pengangkatan udara.
Pengangkatan udara inilah yang membantu peristiwa mixing aerosol

139
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

garam di udara sehingga aerosol garam terangkat dan dibawa angin.


Peristiwa pengangkatan udara juga terjadi di darat dimana aerosol tanah
terangkat dalam bentuk debu sehingga kota-kota besar di Indonesia
sering kumuh karena kepulan debu di udaranya. Hal ini tidak terdapat
pada kota-kota besar di lintang tinggi dimana tidak terjadi proses
pengangkatan sebagaimana digambarkan dalam hadley cell.

Meskipun tingkat salinitas di daerah tropis rendah di bawah


permukaan laut, tetapi peristiwa pengangkatan aerosol cukup membuat
masalah. Perpaduan antara sifat angkat, aerosol garam dan tingkat
kelembaban tinggi membuat manusia Indonesia sebenarnya memiliki
daya tahan yang tinggi terhadap iklim tropis. Manusia non tropis
memiliki kesulitan besar untuk beradaptasi untuk lingkungan demikian.

7.12. ANGIN DARAT DAN ANGIN LAUT

Peristiwa pembentukan angin darat dan angin laut sangat


berhubungan dengan sifat daya hantar panas air dan daratan. Air
memiliki sifat daya hantar panas yang kecil atau lambat sedangkan
daratan memiliki sifat daya hantar besar dan cepat. Sifat kedua media
tersebut berperan penting dalam lamanya pembentukan panas daratan
dan lautan. Akibat daratan lebih cepat hangat maka di siang hari suhu
permukaan di daratan lebih tinggi daripada di laut dan udara yang lebih
hangat tersebut merenggangkan udara di atasnya dan udara renggang
tersebut mengapung dan naik. Udara naik tersebut diisi oleh aliran udara
dari muka laut yang mengalir ke daratan. Fenomena di siang hari inilah
yang disebut sebagai angin darat. Pada malam hari suhu daratan lebih
cepat mendingin dan pada saat ini suhu muka laut lebih hangat dari
daratan sehingga proses sebaliknya terjadi. Akibat dari aliran bolak-
balik angin darat dan laut maka cuaca di garis pantai sangat diurnal

140
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

dimana terjadi pergantian suasana udara siang malam. Angin malam di


tepi pantai akan lebih segar karena mengalirkan udara yang tidak
mengandung garam, sebaliknya di siang hari udara akan terasa lengket di
kulit karena kandungan garamnya.

Gambar 7.6. Proses terjadinya awan-awan konvektif di Laut Cina


Selatan, Selat Karimata, dan Pulau Kalimantan dan peran
angin darat dan angin laut (Houze et al. 1981)

Penelitian mengenai efek angin darat dan angin laut di benua


maritim Indonesia dimulai dari catatan penelitian pada era penjajahan
Belanda oleh Bemmelen (1922) yang mengamati pengaruh dari angin

141
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

laut di pada cuaca di Kota Jakarta (waktu itu Batavia). Selanjutnya


penelitian mengenai pengaruh angin darat dan laut kurang diminati
hingga akhir abad 20 dimana mulai dipasangnya alat pemantau angin di
selatan kota Jakarta yaitu radar lapis batas atmosfer (Boundary layer
radar, BLR) pada tahun 1992 di Serpong selatan Jakarta. Pemasangan
BLR yang merupakan kerjasama beberapa institusi Indonesia dengan
Universitas Kyoto menghasilkan beberapa penelitian termasuk
mengenai angin darat dan angin laut seperti oleh Hashiguti et al. (1995),
Hadi et al. (2000; 2002), Mori et al. (2004), Sakurai et al. (2005) dan
Araki et al. (2006). Selain studi mengenai situasi angin darat dan laut di
Jakarta, juga ada studi mengenai hal serupa di Pulau Sumatera oleh Nitta
dan Seine (1994) memakai data satelit cuaca geostasioner. Selain itu
Ichikawa dan Yasunari (2006) melakukan studi memakai data satelit
TRMM pada kasus serupa untuk Pulau Kalimantan. Pada proyek
penelitian Winter Monsoon Experiment (WMONEX) di Laut Cina
Selatan, Houze et al (1981) menemukan sistem konvergensi antara
monsun timur laut dengan angin darat yang berhubungan dengan sifat
curah hujan di lepas pantai barat laut Kalimantan.

Hal serupa juga diperoleh dari Kusumayanti (2008) yang


studinya menemukan sifat diurnal dari pertumbuhan awan di daratan dan
di lautan Pulau Jawa dari hasil perhitungan rata-rata jam-jaman setahun
dari data gradien pertumbuhan awan berdasarkan data satelit cuaca
geostasioner MTSAT (Gambar 7.7). Perhitungan tersebut dilakukan
dengan mengambil nilai rata-rata perbedaan nilai suhu puncak awan
antara dua jam yang berbeda. Hasil dari perbedaan yang diperoleh
menunjukkan pertumbuhan awan apabila perbedaan tersebut positif dan
menunjukkan hujan turun apabila perbedaan tersebut negatif. Efek dari
pengaruh kontras daratan dan lautan dapat diamati dengan melihat
bahwa pada siang dan sore hari pertumbuhan awan terjadi di lepas pantai

142
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

tetapi curah hujan lebih banyak terjadi di daratan. Sedangkan di malam


hari curah hujan lebih banyak terjadi di lepas pantai sedangkan
pertumbuhan awan lebih banyak terjadi di daratan.

Gambar 7.7. Sifat diurnal pertumbuhan awan (diatas nol) dan hujan
(dibawah nol) antara daratan (106.5-108.5 °BT dan 6.5-7.5
°LS) dan lautan (108.5-110.5 °BT dan 5.5-6.5 °LS) di Pulau
Jawa berdasarkan nilai gradien suhu puncak awan dari data
satelit geostasioner. Sumbu x menunjukkan waktu WIB.

Mengacu pada sifat angin darat dan angin laut serta kontras suhu
antara daratan dan lautan maka sifat pertumbuhan di daratan dan lepas
pantai seperti ini dapat mudah dimengerti. Pada siang hari daratan akan
lebih panas dibandingkan lautan dan proses konveksi akan lebih mudah
terjadi di daratan. Akibatnya udara akan terdorong ke atas dan angin akan
mengalir dari laut (angin laut) yang membawa uap air. Proses
mengalirnya uap air ini akan serta merta membawa pertumbuhan awan
akibat penumpukan uap air yang menyebabkan jenuhnya udara.
Sebaliknya pada malam hari lautan akan lebih hangat dibandingkan
dengan di daratan sehingga peristiwa sebaliknya akan terjadi. Apabila
kita perhatikan pola pada Gambar 7.6, terlihat bahwa lebih banyak

143
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

awan terbentuk di laut di siang hari daripada di daratan di malam hari dan
juga lebih banyak hujan terbentuk di daratan pada siang hari daripada di
lautan di malam hari. Fakta terakhir ini dapat dimengerti karena sumber
utama uap air lebih banyak di lautan daripada dari daratan.

7.13. GELOMBANG PASANG

Selain berbagai fenomena yang telah diuraikan, di atas garis


pantai juga mengalami gelombang pasang dan surut (tides) akibat
peristiwa astronomik karena daya tarik gravitasi bumi dan bulan.
Hubungan dan posisi bumi dan bulan telah diketahui secara pasti sejak
dulu dan perhitungan kekuatan gelombang pasang dapat dilakukan
untuk masa mendatang. Hal ini menjadikan tides adalah salah satu
fenomena laut yang paling susah dimengerti. Bentuk panjang
gelombang dari fluktuasi tides adalah sebesar lama periode evolusi atau
rotasi bulan yaitu 29.45 hari. Yang menjadi rumit adalah interferensi dari
masing-masing tides tersebut akibat pantulan dan refleksinya
dikarenakan rumitnya orografis garis-garis pantai terlebih di kepulauan
maritim Indonesia. Dengan bantuan program komputer hal ini dapat di
kalkulasi. Yang membantu adalah sifat tides itu yang berulang-ulang
akibat posisi bumi dan bulan berulang-ulang dalam rotasinya sehingga
dengan analisa fourier, karakteristik tides suatu daerah dapat
diinterpolasikan untuk jangka waktu yang lebih lama kedepan dan
ramalan bentuk tides yang akan datang dapat dihitung secara pasti.

7. 14. PENGELOLAAN MATA AIR PESISIR DAN PULAU-


PULAU KECIL

Ketersediaan sumber air tawar pulau kecil dipengaruhi oleh


curah hujan lokal tahunan yang jatuh di pulau tersebut, lapisan geologi

144
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

pembentuk pulau dan tutupan vegetasi setempat. Hal ini berbeda dengan
kondisi di pulau besar dimana ketersediaan air dapat berasal dari curah
hujan yang berasal dari daerah lain yang kemudian di transfer melalui
sistem akuifer air tanah ke dalam suatu cekungan air tanah (ground water
basin) atau melalui aliran permukaan sungai yang kemudian meresap
masuk sistem air tanah di bagian hilirnya atau tertampung kedalam
sistem danau. Dengan demikian ketersediaan air di pulau kecil ini sangat
bergantung dari besarnya curah hujan sebagai pasokan utama sumber air
tawar serta kemampuan pulau tersebut menyimpan sumber air secara
alami. Pada umumnya ketebalan lapisan air di pulau kecil berkisar antara
1 - 2 m.

Ketersediaan air di pulau kecil juga dipengaruhi oleh bentuk


pulau itu sendiri, pasang surut dan kekuatan serta arah arus laut.
Dilaporkan dalam suatu pulau kecil yang memanjang, keberadaan
sumber air tawar terletak salah satu atau kedua ujung pulau, tidak
mengikuti panjang pulau dengan titik berat berada di bagian tengah
pulau sebagaimana umumnya. Hal ini dapat terjadi karena adanya arah
arus laut yang menuju tegak lurus pulau sehingga air tawar mendapat
tekanan ke salah satu atau kedua ujung pulau akibatnya terjadi akumulasi
resapan air di bagian tersebut.

Tabel 1. Contoh neraca air Pulau Bira Besar di Kepulauan Seribu


No. Keseimbangan
Keunikan sumber daya air Jumlah air dibandingkan
pulau kecil Volume dengan
air
(mm/tahun) (m 3/hari)
pulau besar adalah karena luas kawasan yang kecil menyebabkan
1 Curah hujan 1768 1409
volume air yang tertampung sangat sedikit. Hal ini menyebabkan
2 Evapotranspirasi 1433 1142
ketersediaan
3 sumber
Resapan air sangat terbatas,
335 terisolasi dan
267 mudah
terkontaminasi
4 air asin. Permasalahan 514
Kebutuhan yang dihadapi adalah pada saat
410
musim
5 kemarau
Defisit dimana secara alami hujan
179 sebagai sumber143 utama air

145
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

tawar relatif sangat rendah, sehingga ketersediaan air juga sangat


terbatas, disisi lain kebutuhan air relatif tetap. Oleh karena itu
pengelolaan dan pengambangan sumber air di kawasan ini harus
terproteksi dari pencemaran baik secara alami maupun pengaruh
manusia, alokasi pengambilan dibatasi pada batas aman dan
pemanfaatan air yang rasional untuk menjaga pemanfaatan yang terus-
menerus.

Intrusi air laut di kawasan pulau kecil menjadi sangat


menentukan dibandingkan di pulau besar dimana di pulau besar ada
tekanan air tanah yang selalu menjaga keseimbangan antara air tawar
dan air asin. Berkurangnya pasokan air hujan sebagai sumber air tawar di
pulau kecil menyebabkan terjadinya intrusi air laut sehingga
menyebabkan berkurangnya lapisan lensa air tawar dengan terjadinya
fluktuasi air tawar. Pengambilan air tanah melalui pemompaan yang
berlebihan merupakan penyebab utama terjadinya intrusi air asin. Selain
itu adanya kegiatan pembangunan dermaga marina dan jalur air di pulau
kecil dapat menyebabkan terjadinya intrusi air laut.

Pertanyaan:

1. Bagaimana proses terbentuknya angin darat dan angin laut?

2. Mana yang lebih banyak, hujan di laut atau di pesisir atau di tengah
benua?

3. Garam di laut dapat melayang di atmosfer sebagai aerosol,


bagaimana proses terjadinya dan dampaknya terhadap kehidupan
kita?

146
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL

4. Coba jelaskan pembentukan upwelling dan downwelling di


sepanjang garis pantai!

5. Apa aspek meteorologis gelombang pasang surut di laut?

6. Sebutkan peran pulau-pulau kecil pada proses konveksi dan heat


budget.!

147
BAB 8

PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP


PERIKANAN

Cuaca dan iklim memiliki peran besar terhadap kondisi ekologis


dan lingkungan di laut terutama pada lapisan permukaan hingga lapisan
termoklin atau hingga kedalaman ratusan meter. Hingga saat ini aktivitas
utama dari perikanan tangkap juga masih melakukan eksploitas
penangkapan pada lapisan ini, sehingga sangat relevan untuk
membicarakan peran dari iklim dan cuaca terhadap aktivitas perikanan.
Dengan semakin kuatnya tekanan dari demografi yaitu tingkat populasi
dunia untuk kebutuhan akan ikan tangkap dan perubahan iklim dan
cuaca terhadap laut, maka diperlukan pengertian yang lebih memadai
terutama mengenai kondisi perikanan di benua maritim Indonesia.

Meskipun demikian, studi mengenai hubungan permasalahan


iklim dan cuaca terhadap perikanan tangkap di Indonesia masih sangat
jarang. Padahal seperti sama-sama diketahui bahwa para nelayan
tradisional sudah memakai tanda-tanda cuaca bagi keperluan melaut
mereka sehari-hari. Tanda-tanda yang merupakan kearifan lokal tersebut
bukan hanya merupakan insting belaka, tetapi jika dicermati lagi
merupakan pengetahuan dengan dasar ilmiah yang cukup baik.

Kesulitan utama dari baik studi maupun penelitian pengaruh


iklim dan cuaca terhadap perikanan lebih kepada buruknya sistem
pencatatan hasil perikanan tangkap nasional dan pada tingkat lokal.

149
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Hanya ada beberapa tempat pelelangan ikan atau catatan syah bandar
pelabuhan yang dapat dipakai sebagai dasar catatan. Selain untuk
keperluan studi, sebenarnya catatan yang baik dapat dipakai untuk
melihat trend dari stok ikan dan perubahannya. Catatan yang diharapkan
selain dari jenis ikan juga pada ukuran untuk melihat tren stok
kelimpahan pada masa mendatang. Karena dikuatirkan beberapa zona
penangkapan ikan nasional telah mencapai situasi over fishing atau
kelebihan penangkapan. Kasus over fishing di wilayah Atlantik utara
telah memaksa komisi Uni Eropa untuk melarang dan mengurangi
armada perikanan beberapa negara Eropa untuk melindungi
pertumbuhan dan stok ikan di wilayah tersebut.

8. 1. MODUS PENGARUH CUACA DAN IKLIM TERHADAP


PERIKANAN

Evaluasi dari pengaruh perubahan cuaca dan iklim terhadap


perikanan memerlukan pemahaman proses fisis dibalik pengaruh
tersebut. Pengaruh terbesar dari cuaca dan iklim terjadi pada permukaan
laut dimana interaksi antara atmosfer dan laut terjadi. Pengaruh cuaca
akan berhubungan dengan perilaku penangkapan yaitu nelayan dan
kapal tangkap, perilaku ikan yaitu dari perubahan yang terjadi di laut.

Pengaruh cuaca dapat terjadi untuk masalah keamanan nelayan


dan kondisi ikan di laut. Sebagai contoh kejadian badai akan
membahayakan nelayan untuk melaut dan juga merupakan saat ikan
berenang lebih dalam untuk menghindari turbiditas di permukaan.
Seringkali ditemukan bahwa data badai di laut memiliki hubungan yang
erat dengan laporan hasil tangkap ikan. Selain itu kabut juga merupakan
faktor yang seringkali dihindari oleh nelayan dalam melaut.

150
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

Cuaca juga mempengaruhi perilaku ikan di laut, kelimpahannya,


penyebaran dan migrasi melalui efek cuaca dan iklim terhadap laut.
Faktor-faktor cuaca seperti cahaya radiasi, angin, serta curah hujan
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi perilaku ikan. Angin
dengan pengaruh pada proses turbiditas dan mixing di permukaan laut
akan menyebabkan ikan berenang lebih dalam. Pencahayaan yang
seringkali berhubungan dengan tutupan awan akan sangat berpengaruh
terhadap distribusi ikan pada kedalaman khususnya spesies ikan yang
melakukan migrasi diurnal (siang-malam) secara vertikal.

Peran angin pada muka laut juga bertanggung jawab atas


kejadian gelombang, pembentukan lapisan mixing dan pembentukan
arus laut di permukaan. Perubahan aliran energi panas dan aliran massa
udara maupun air di muka laut juga lebih banyak berhubungan dengan
peran angin di permukaan. Angin juga berperan pada proses upwelling
dan downwelling dimana terjadi transport nutrisi dari dan ke permukaan
yang mempengaruhi keberadaan ikan.

Pengaruh suhu air sangat besar bagi tingkat kenyamanan


ekologis ikan dimana ikan akan berenang pada kondisi yang sesuai
tingkat kenyamanannya. Akibatnya perubahan dari suhu air laut akan
menyebabkan perubahan lokasi tempat ikan berenang. Dengan
pengetahuan ini maka peristiwa upwelling dan downwelling serta
perubahan suhu laut akibat gejala regional maupun global seringkali
berhubungan dengan situasi perikanan tangkap. Sebagai contohnya,
gejala global El Niño menyebabkan tingkat kehangatan yang luar biasa
di daerah Pasifik tengah dan timur yang membawa bahaya kematian
terhadap ikan- ikan di lepas Pantai Peru. Perubahan mendadak dari suhu
muka laut juga seringkali menjadi sumber kematian bagi ikan di pesisir.

151
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Gambar 8.1. Peta pembagian Zona Wilayah Pengelolaan Perikanan


(WPP) Indonesia, sumber Badan Riset Kelautan dan
Perikanan.

152
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

Perubahan suhu air juga dapat terjadi di laut dalam terutama pada
lapisan termoklin atau perubahan ketebalan lapisan mixing. Sumber dari
perubahan suhu muka laut terdiri dari adveksi yaitu penjalaran energi
panas secara horizontal atau akibat pertukaran massa dan energi antara
laut dan atmosfer. Fenomena pertama yaitu adveksi lebih mendominasi
di laut lepas sedangkan fenomena kedua yaitu pertukaran energi akan
lebih terasa di perairan pantai atau laut tertutup. Hal seperti adveksi
dalam skala luas terjadi pada fenomena El Niño dimana terjadi
perpindahan massa air hangat pada lapisan termoklin dari daerah warm
pool menuju ke Pasifik tengah dan timur. Perubahan tersebut tentu saja
membawa konsekuensi migrasi ekologi ikan pada lapisan tertentu.
Perubahan suhu dapat mempengaruhi biologis ikan dalam hal
memodifikasi proses metabolisme (laju konsumsi dan pertumbuhan),
memodifikasi aktivitas gerak dan stimulus syaraf. Karena perubahan
suhu air laut juga merupakan indikasi perubahan kecepatan angin,
upwelling, dan arus sehingga perubahan ekosistem ikan dapat
dihubungkan dengan perubahan suhu.
Pengaruh arus laut juga sering diasosiasikan dengan perubahan
lokasi keberadaan ikan. Ikan-ikan yang bergerombol (school of fish)
seringkali memanfaatkan arus laut yang menghantarkan massa air laut
dengan suhu dan salinitas tertentu bagi keperluan perpindahannya.
Keberadaan makanan atau rantai makanan juga berpengaruh
pada populasi ikan, sementara makanan ikan beserta rantai makanannya
juga memiliki sifat yang tergantung pada kondisi cuaca dan iklim.
Sebagai contohnya populasi organik dasar yaitu fitoplanton sangat
tergantung pada ketersediaan dari nutrisi pembatas (limiting nutrient),
kadar sinar matahari, kedalaman lapisan mixing, suhu, dan perpindahan
oleh arus laut. Nutrisi pembatas adalah rasio kecukupan bahan dasar
nutrisi seperti karbon, fosfat, nitrogen, dan silikat dengan rasio

153
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

kecukupan yaitu redfield. Apabila rasio Redfield tidak terpenuhi dimana


ada salah satu unsur nutrisi yang berlebih, maka akan terjadi
eutrophication (blooming) bagi biota yang menjadi pemakan unsur yang
berlebih tadi. Eutrophication tadi akan membahayakan populasi ikan
karena biasanya akan terjadi kompetisi dalam hal konsumsi oksigen
terlarut dan juga populasi biota mikro yang blooming tadi akan
menghalangi sinar matahari masuk ke laut dan menyebabkan ikan
kesulitan respirasi dan bergerak.

Hal lain yang berpengaruh pada mekanisme peningkatan


populasi ikan adalah aliran nutrisi dari daratan atau fluks dari darat ke
laut. Selain nutrisi, fluks dari darat juga dapat membawa polutan yang
membahayakan biota di laut. Fluks atau aliran sungai ke laut adalah
proses yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh berbagai parameter
cuaca seperti hujan. Wilayah pantai juga berguna bagi pemijahan ikan
dan tempat pengembangbiakan serta pertumbuhan ikan kecil. Sehingga
aliran fluks serta kondisi ekologi pantai sangat berpengaruh pada kondisi
populasi ikan.

8. 2. IKLIM INDONESIA DAN PERIKANAN

Kondisi monsun wilayah benua maritim Indonesia merupakan


interaksi reguler dari laut dan atmosfer lokal. Sumber utama dari monsun
yang dikenal sebagai monsun Asia-Australia adalah sifat kontras benua
antara benua Asia dan Australia dengan dua samudra yang mengapit
benua maritim Indonesia. Sifat kontras dihasilkan dari pergerakan titik
ekuinok matahari secara meridional (utara selatan).

Secara umum pada saat puncak matahari menyinari akan terjadi


suplai radiasi matahari yang meningkatkan suhu muka laut dan

154
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

memberikan potensi evaporasi dan peningkatan curah hujan. Pada saat


ini benua maritim akan memasuki periode musim hujan dan sebaliknya
periode musim kemarau. Dengan demikian musim hujan lebih
berasosiasi dengan suhu muka laut hangat dan musim kering lebih
berasosiasi dengan suhu muka laut dingin.

Peristiwa konveksi yang didukung oleh suplai uap air yang


cukup terkadang membawa pengaruh pada gelombang tinggi di laut.
Pada musim penghujan gelombang di laut akan membawa konsekuensi
pada keengganan nelayan untuk melaut dan juga ikan akan berenang
lebih dalam.

Angin pada kedua musim di atas juga sangat bertolak belakang.


Pada musim penghujan angin bersifat lambat karena terganggu dengan
aliran konveksi vertikal sehingga aliran horizontal akan terganggu. Pada
musim kering angin berhembus lebih kencang akan tetapi lebih kering
dikarenakan oleh kurangnya suplai uap air dari muka laut yang bersuhu
dingin.
Konsekuensi dari kondisi musiman seperti di atas adalah potensi
perikanan yang lebih tinggi di musim kering atau kemarau dibandingkan
dengan di musim penghujan. Beberapa faktor yang mendukung adalah
rendahnya suhu muka laut sehingga ikan akan berenang lebih dekat
permukaan karena sudah pada level kenyamanan yang memadai. Selain
itu musim kemarau ditandai dengan kurangnya gejolak gelombang dan
badai di laut yang membahayakan nelayan serta ikan. Pada saat badai,
ikan akan berenang lebih dalam, selain karena suhu muka laut hangat
juga terjadi peningkatan turbiditas di permukaan yang menyulitkan
respirasi ikan. Faktor lainnya adalah sistem angin di wilayah benua
maritim dimana pada musim kemarau seringkali terjadi peristiwa

155
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

upwelling yang membawa nutrisi dari laut dalam ke permukaan yang


sangat dibutuhkan oleh ikan.
Dalam sub bab berikut ini akan disampaikan contoh studi kasus
mengenai pengaruh musim terhadap tangkapan ikan di laut sekitar Pulau
Jawa berdasarkan studi oleh Hendiarti et al. (2005). Meskipun studi
dilakukan terbatas memakai data hasil tangkapan beberapa pelabuhan
utama di Jawa tetapi sudah cukup memadai untuk dapat memberikan
gambaran mengenai pengaruh iklim terhadap potensi perikanan
tangkap.

8.3. PENGARUH MUSIM TERHADAP TANGKAPAN IKAN DI


SEKITAR JAWA

Estimasi dari stok ikan nasional termasuk di dalam wilayah ZEE


sekitar 6.4 juta ton/tahun dengan estimasi kemampuan produksi 63%
dari nilai tersebut (BRKP, 2001). Stok ikan tersebut terdiri dari 5.14 juta
ton/tahun yang berpotensi ditangkap di wilayah benua maritim dan 1.26
juta ton/tahun di wilayah ZEE. Ikan pelagis adalah jenis yang paling
utama bagi perikanan tangkap di Indonesia karena sekitar 75% dari total
ikan yang tersedia atau sekitar 4.8 juta ton/tahun adalah termasuk jenis
ini.

Data yang dipakai diambil dari empat pelabuhan utama yang


dianggap mewakili jenis pengaruh yang berbeda karena letak dari
pelabuhan yang menghadap laut yang berbeda yaitu Laut Jawa, Samudra
Indonesia, Selat Bali, dan Selat Sunda. Data penangkapan ikan yang
tersedia adalah data 20 tahun dari keempat pelabuhan utama tersebut.
Menurut beberapa studi terdahulu, penangkapan ikan pelagis masih
sekitar 50 % di selatan Jawa akan tetapi untuk di Laut Jawa sudah
dieksploitasi penuh (Luong, 1997).

156
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

Gambar 8.2. Sebaran kloropil-a di sekitar Pulau Jawa pada 24 Agustus


2004 berdasarkan pantauan inderaja satellit (Hendiarti et al.
2005)

Variabilitas dari sirkulasi di muka laut seperti Laut Jawa akan


merubah distribusi spasial dari lapisan termohalin atau lapisan
temperature dan salinitas. Perubahan dari distribusi termohalin terutama
tingkat salinitas memiliki pengaruh kuat terhadap jenis ikan pelagis
kecil. Sebagai contoh distribusi dan kelimpahan dari ikan layang yang
merupakan jenis pelagis kecil di Laut Jawa sangat dipengaruhi oleh
distribusi salinitas yang dikendalikan oleh sistim monsun regional
(Potier et al, 1989).

Untuk melihat pengaruh iklim terhadap potensi perikanan di


empat wilayah sekitar Jawa perlu diperhatikan proses yang

157
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

mendominasi daerah pesisir seperti pengaruh arus laut dalam migrasi


ikan, pengayaan nutrisi dengan upwelling yang mempengaruhi rantai
makanan dari fitoplankton hingga ikan serta dengan melihat
kemungkinan pengaruh dari aliran sungai dari daratan ke muara pantai.
Metode observasi yang dapat dipakai dengan melihat data dari satelit
ocean color seperti dari Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer (MODIS) Aqua atau Sea-viewing Wide Field-of-view
Sensor (SeaWiFS) untuk data konsentrasi kloropil.

Gambar 8.3. Pola musiman suhu muka laut dan kloropil-a di sekitar Jawa
(atas) dan data tangkapan ikan dari Pelabuhan Sarang -
Rembang Jawa Tengah yang menunjukkan pola musiman
(Hendiarti et al., 2005).

158
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

Kelimpahan dari fitoplankton didapat dari data observasi


kloropil-a. Pada periode monsun kering (Juni hingga Oktober) massa air
arlindo dari Indonesia timur yang kaya nutrisi masuk menuju Laut Jawa.
Pada akhirnya dalam periode ini terjadi peningkatan konsentrasi
kloropil-a di Laut Jawa dan Selat Sunda. Pada sisi selatan terjadi
peningkatan konsentrasi kloropil-a akibat proses upwelling yang terjadi
di selatan Jawa. Kekuatan dari proses dinamis ini bervariasi tergantung
pada kekuatan monsun. Pengaruh El Niño seperti pada tahun 1997 jelas
nampak pada aktivitas upwelling di selatan Jawa seperti dilaporkan oleh
Susanto et al., 2001. Pada saat tahun La Niña seperti 1998 terjadi
konsentrasi tinggi dari kloropil-a di Laut Jawa dan Selat Sunda pada saat
kekuatan upwelling di selatan Jawa jauh lebih lemah dari rata rata 1999
hingga 2004.

Proses fisis di Laut Jawa


Ada sekitar 30 jenis ikan pelagis yang terdapat di Laut Jawa
dimana sekitar 11 dari padanya adalah 90% dari keseluruhan ikan
tangkap. Jenis ikan pelagis yang ditemukan adalah Carangids
(Decapterus russelli dan D. macrosoma; trevallies, S.
crumenophthalmus), Clupeids (sardinella, S. gibbosa, A. sirm), dan
Scrombids (mackerels, R. kanagurta). Spesies lainnya yang terdapat di
sekitar pantai adalah Selaroides leptolepis, Sardinella brachysoma,
Rastrelliger brachysoma dan Stolephorus spp. Ikan pelagis kecil di laut
ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu populasi laut dalam yang banyak
terdapat pada saat arus dari Laut Banda mengalir ke Laut Jawa, populasi
neritik yang banyak terdapat setiap saat dan populasi pantai yang
terdapat di sekitar garis pantai dengan populasi rendah. Secara umum
variasi jumlah tangkapan ikan terdapat dua puncak maksimum di bulan
September dan November serta puncak minimum di bulan Maret dan
April.

159
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Pengaruh iklim terhadap tangkapan ikan yang musiman tersebut


dipengaruhi oleh sifat arus permukaan yang mengalir sesuai dengan
aliran angin monsun. Aliran arus permukaan yang mendorong arah dari
migrasi ikan pelagis kecil

Untuk ikan pelagis besar, ikan layang dan deles (Decapterus


russelli dan D. macrosoma) adalah jenis yang paling dominan sekitar 50
% di Laut Jawa. Maksimum waktu penangkapan adalah bulan
September dan November. Jenis ikan lainnya adalah Sardinella gibbosa
pada bulan Mei dan Juni, ikan selar ditemukan dalam populasi rendah,
bawal hitam dan tuna pantai kecil.

Fluktuasi tangkap musiman dari berbagai spesies mencapai


puncak sekitar bulan September-November di Laut Jawa, sementara
bulan Maret- April di Selat Makassar. Pada bulan Mei dan Juni air
dengan tingkat salinitas rendah mencapai ke arah timur dan mencapai
puncaknya. Selanjutnya Sadhotomo dan Potier (1995) menyebutkan
adanya evolusi besar ikan pelagis kecil di sekitar Jawa, ikan besar
terletak disebelah timur, yang menunjukkan jenis ikan laut dalam.
Selanjutnya juga terdapat pengaruh dari fluks aliran sungai dari daratan
ke lautan sepanjang musim hujan (Desember ke Maret).

Proses fisis di Selat Sunda

Karakter dari Selat Sunda bervariasi secara waktu dan ruang


dengan pengaruh masukan massa air dari Laut Jawa dan dari Samudra
Indonesia. Masukan aliran massa air dari Laut Jawa terjadi pada saat
monsun tenggara atau musim kemarau dengan suhu massa air sekitar
29.5 C dan mengandung konsentrasi kloropil tinggi dan salinitas rendah
yang mungkin diakibatkan oleh aliran fluks sungai dari daratan. Populasi
ikan di selat ini dibagi dalam dua yaitu ikan pelagis kecil yang berasal

160
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

dari selat tersebut dan ikan besar dari samudra. Ikan pelagis kecil terdiri
dari ikan tembang (Sardinella fimbriata), kembung (Rastrelliger spp.),
selar (Selaroides leptolepis), layang (Decapterus spp.) dan lemuru
(Sardinella longiceps) dari Laut Jawa, sedangkan ikan pelagis besar
terdiri dari tongkol (Auxis thazard) dan tenggiri (Scomberomorus spp.)
dari Samudra Indonesia.
Ketika massa air hangat dari laut Jawa mengalir akan membuat
kondisi nyaman bagi ikan pelagis kecil. Di selat ini puncak penangkapan
terjadi di bulan Juni sedangkan di bulan September-Oktober
penangkapan menurun.

Proses fisis di selatan Jawa, Samudra Indonesia

Proses upwelling mendominasi proses fisis bagi penangkapan


ikan di selatan Pulau Jawa disaat di mana terjadi kelimpahan
fitoplankton. Wilayah ini sangat cocok untuk ikan karena memberikan
kondisi nutrisi yang baik untuk larva, anak ikan hingga ikan dewasa.
Jenis ikan pelagis besar di daerah ini terdiri dari Skipjack (Katsuwonus
pelamis), Tuna (Thunnus albacores), Layar (Istiophorus spp.), Tenggiri
(Scomberomorus spp,) Cucut (Isurus glaucus), Tongkol (Euthynnus
spp), dan BlueMarlin (Thunnus spp.). Pada saat monsun tenggara atau
musim kemarau, peningkatan konsentrasi kloropil-a biasanya diikuti
oleh jumlah penangkapan ikan cakalang. Hal serupa tidak terjadi pada
kasus penangkapan ikan tuna. Dari Pelabuhan Banyuwangi tangkapan
ikan pelagis kecil seperti sardinella ditemukan di daerah upwelling di
selatan Jawa Timur yang ditandai dengan laut yang dingin dan
konsentrasi kloropil tinggi. Ikan tuna (Thunnus sp.) yang memakan ikan
pelagis kecil biasanya terdapat dalam jumlah besar disekitar populasi
ikan pelagis kecil. Sehingga kelimpahan tuna juga seringkali dijumpai
pada area upwelling yang produktif.

161
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Proses fisis di Selat Bali

Ikan Sardinella lemuru adalah jenis yang paling dominan


ditangkap di daerah ini. Puncak tangkapan terjadi di bulan September
hingga November dan puncak kecil terjadi pada bulan Maret-April.
Fluktuasi dari tangkapan ini juga terpengaruh oleh proses di laut
terutama pada saat terdapat upwelling. Masa pemijahan terjadi pada
bulan Juni dan Juli dimana terjadi puncak proses upwelling di selatan
dari Selat Bali. Pada bulan Agustus terdapat puncak kelimpahan dari
"semenit" yaitu anak dari ikan Lemuru yang berumur satu hingga dua
bulan. Sedangkan ikan dewasa mulai nampak pada bulan Mei setelah
berumur lebih dari setahun.

Hasil dari keempat jenis laut di sekitar Pulau Jawa menunjukkan


proses fisis penting yang berhubungan dengan iklim yang mendukung
keberadaan ikan tangkap. Pertumbuhan dari fitoplankton pada daerah
tertentu berhubungan dengan kejadian proses pantai dan laut yang
didorong angin. Bantuan dari teknologi inderaja dari ocean color sangat
membantu bagi pemahaman proses fisis yang terjadi. Proses fisis yang
terjadi adalah aliran arus permukaan, aliran fluks dari sungai di darat
yang keduanya terjadi di pantai Laut Jawa dan Selat Sunda. Sedangkan
upwelling yang ditandai dengan konsentrasi tinggi kloropil dan suhu
muka laut rendah dijumpai di selatan Jawa dan Selat Bali.

Fenomena monsun adalah pendorong utama dari terjadinya


proses yang menentukan variabilitas penangkapan ikan di sekitar Pulau
Jawa. Umumnya periode tangkap terjadi pada musim kemarau. Pada
keempat wilayah perairan di sekitar Pulau Jawa terdapat kemiripan
waktu puncak penangkapan ikan walaupun di masing-masing region
monsun mempengaruhi proses fisis yang berbeda. Sementara itu proses

162
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

yang mendorong pengaruh dari fenomena global El Niño dan La Niña


pada berbagai proses fisis tersebut belum dibahas.

Table 1. Karakter dari ikan pelagis dan proses fisis laut (Hendiarti et al.,
2005).
Regions Spesies Dominan Karakter musim dan proses
8.Laut
4. ENSO
Jawa DAN IKAN SmallTANGKAP
pelagic: a) Max.: Sept Warm and
oceanic: D. Nov (SE rich surface
Fenomena El Niño seringkali
macrosoma, A. dihubungkan
monsoon) dengan perubahan
current,
fisis dan biologis di lautan yang
sirm, R. mempengaruhi
kanagurta; Min.: distribusi
March ikan.
- Beberapa
b) neritic: D. April
perubahan penting yang diakibatkan adalah perubahan pada suhu muka
russelli;
laut, pergerakan vertikal, c) coastal:
struktur thermal laut (terutama di pesisir) dan
S.
perubahan arus upwelling di pesisir. Perubahan tersebut dapat secara
crumenophthalmus,
langsung mempengaruhi komposisi dan kelimpahan ikan. Pada wilayah
S. gibbosa
Selatmengalami
yang Sunda - Small pelagic:
peningkatan Max.: June
suhu permukaan akibat ElSurface water
Niño, spesies
Sardinella spp., (SE and
ikan akan berenang lebih ke daerah sub tropis menjauhi wilayah hangat
Rastrelliger spp., monsoon) upwelling
atau berenang lebih dalam. Ikan yang bertahan akan mengalami
Selaroides
pelambatan pertumbuhan, reproduksi, dan daya tahan.
leptolepis,
Decapterus spp.
Pada saat El- Big
Niño tahun 1997 terjadi
pelagic: Min.: pergerakan ikan dalam
jumlah besar menjauhi daerah
Auxis tropis dan December
thazard, mengurangi tangkapan ikan di
Scomberomorus
wilayah pasifik timur seperti pantai barat Amerika Serikat. Ikan tropis
seperti mahi- mahi,spp.ikan pedang, marlin garis, dan marlin biru terlihat
Indian Ocean Big pelagic Max.: June Upwelling
berada di lepas pantai Alaska hingga Oregon. Sept.Ikan
(SE lain seperti whitebait
smelt, thresher shark, finescale triggerfish, spotted cuskeel, pacific
monsoon)
saury, common dolphinfish, white seabass, Min.:fantail
Nov ragfish,
- halfmoon,
Jan
ocean sunfish, barracuda, california tonguefish, dan california lizardfish
Bali Strait Small pelagic: S. Max.: Sept.- Influenced by
terpantau pada daerah yang bukan daerah
lemuru asal(SE
Nov. mereka. indirect
Selain itu juga
terjadi pergerakan ke utara dari cumi-cumi monsoon)dan gangguan terhadap
upwelling
pertumbuhan ikan salmon di Samudra Pasifik. Min.: March
Dalam -pengertian ini
- April
terjadi penurunan tangkapan ikan yang berarti kehilangan potensi

163
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

ekonomi. Kasus pada saat El Niño akan sangat berguna karena potensi
perubahan iklim di masa mendatang akan seperti kemiripan dengan
gejala El Niño dan mengetahui proses migrasi ikan akan berguna bagi
peningkatan potensi perikanan tangkap.

Gambar 8.4. Perpindahan ikan skijpack tuna ditandai, dimana a.) tuna
yang dilepas bulan April 1991 dan ditangkap sebelum
Februari 1992. b.) Tuna dilepas bulan Mei 1991, dan
ditangkap sebelum Februari 1992. c.) Trpindahan ikan
skipjack tuna yuna dilepas bulan Maret 1992 dan ditangkap
bulan Oktober 1992. Garis panah menunjukkan arah dan
besaran perpindahan dari ikan tuna beserta metoda pusat
gravity selama masa penangkapan.

Untuk wilayah benua maritim Indonesia, El Niño berarti aliran


massa air permukaan yang dingin karena berpindahnya warm pool ke
timur. Aliran massa air dingin terdeteksi oleh aliran ikan tuna menuju
wilayah perairan utara Indonesia (Lehodey et al., 1997). Dengan sifat
iklim seperti ini maka benua maritim Indonesia sangat diuntungkan oleh
kondisi El Niño dimana terdapat aliran ikan dari laut dalam menuju
permukaan dan potensi pergeseran migrasi ikan masuk ke perairan
wilayah Indonesia. Selain itu juga terdapat potensi upwelling akibat
angin permukaan yang juga mendukung kelimpahan ikan di muka laut.
Kondisi di dunia perikanan benua maritim tersebut sangat bertolak
belakang dibandingkan dengan kondisi pertanian sebagai dampak
kejadian El Niño dimana kekeringan hebat terjadi saat puncak pengaruh
El Niño yaitu pada saat puncak musim kemarau. Akan tetapi keuntungan
di sektor perikanan ini tidak serta merta dapat berdampak positif bagi
perekonomian karena mayoritas mata pencaharian masih di bidang
pertanian dibandingkan perikanan.

164
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

8.5. PEMANASAN GLOBAL DAN PERIKANAN TANGKAP

Pemanasan global serta akibatnya yaitu perubahan iklim


membawa dampak yang kuat terhadap perikanan tangkap. Perubahan
suhu muka laut menyebabkan ikan akan berenang lebih dalam, selain itu
terjadinya kerusakan pada terumbu karang yang merupakan tempat
pemijahan ikan membawa implikasi yang parah pada rantai makanan

165
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

dan siklus hidup ikan. Perubahan lain yang ditimbulkan adalah kuatnya
potensi kejadian siklon tropis yang menyulitkan aktivitas ikan di laut dan
perubahan tingkat salinitas serta angin permukaan yang dibawanya.

Ikan-ikan muda terumbu karang setelah berumur tertentu akan


pergi ke dunia lepas dan setelah beberapa minggu kembali ke terumbu
karang tempatnya berasal. Aktivitas tersebut biasanya dipandu dari
sinyal suara yang diperoleh dari ekologis terumbu karang. Ikan muda
tersebut akan kembali dengan mengandalkan suara frekuensi tinggi dari
invertebrata seperti udang dan binatang terumbu karang lainnya dan
dapat membedakan suara tersebut dari sinyal frekuensi rendah
gelombang laut dan ikan dewasa. Hasil penelitian dari Monica Gagliano
dari Australian Institute of Marine Science di Townsville, Queensland
menyebutkan bahwa setengah dari ikan damselfish Ambon memiliki
masalah dengan pendengaran akibat memanasnya lautan. Dapat
dikatakan bahwa banyak diantara mereka menjadi tuli akibat
memanasnya air laut. Penyebabnya adalah tulang telinga mereka tidak
tumbuh akibat peningkatan derajat keasaman air laut yang menyebabkan
berkurangnya kalsium yang diserap ikan untuk pembentukan tulang.
Pada akhirnya pemanasan global mengurangi kemampuan ikan untuk
kembali kepada habitat aslinya di terumbu karang dan merusak sistem
ekosistem tersebut.

Daerah upwelling yang mengandung nutrisi yang kaya adalah


mewakili hanya sekitar satu persen lautan dunia tetapi menyumbang
pada 20 % hasil tangkap ikan dunia. Temuan terakhir menyebutkan
pengaruh dari pemanasan global pada proses upwelling yang memiliki
nilai implikasi ekonomis. Hasil penelitian Helen McGregor yang
dipublikasikan di jurnal sains menyebutkan bahwa perubahan yang
diakibatkan oleh iklim terhadap laut tidak pernah sedramatis saat ini

166
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

sehingga suhu muka laut di wilayah Samudra Atlantik di baratlaut Afrika


telah menurun hingga 1,2 derajat dalam abad yang lalu. Dari hasil
penelitian terumbu karang hingga rekonstruksi suhu muka laut hingga
2.500 tahun lampau di lepas pantai Maroko mereka menemukan
pendinginan yang drastis dari muka laut di abad yang lalu sebagai sinyal
peningkatan angin pantai yang beraosiasi dengan proses upwelling.
Meskipun upwelling berakibat pada peningkatan nutrisi yang berpotensi
pada peningkatan kelimpahan ikan tetapi kekuatan arus menjauh pantai
yang terjadi kemungkinan terlalu kuat bagi ikan. Selain itu proses
upwelling juga telah membawa akibat pada peningkatan karbon terlarut
di permukaan akibat upwelling yang membawa implikasi pada
peningkatan CO2 di atmosfer. McGregor memberikan jawaban atas
peningkatan upwelling di wilayah tersebut yang diakibatkan oleh
kombinasi perputaran bumi dan peningkatan angin permukaan akan
mendorong lebih kuatnya proses upwelling di pesisir. Sehingga semakin
kuat pemanasan global dan peningkatan angin permukaan semakin
dingin laut di lepas pantai Maroko tersebut.

Kejadian serupa mungkin juga dijumpai pada kasus pantai


selatan Pulau Jawa dimana belakangan ini semakin sering terjadi
penurunan suhu muka laut yang berasosiasi dengan upwelling dan juga
dengan dipole mode positif. Upwelling yang terjadi di daerah ini pada
musim kemarau diakibatkan oleh angin pemukaan dari tenggara yaitu
dari Benua Australia yang mengalir sepanjang jalur pantai selatan Pulau
Jawa. Dengan proses efek Ekman yang mirip di garis Pantai Maroko
maka dapat terjadi dampak serupa untuk wilayah ini yaitu peningkatan
upwelling di selatan Pulau Jawa yang dapat berdampak pada perikanan
dan pemanasan global.

Pada studi lain diamati pengaruh dari kondisi iklim mendatang

167
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

hasil prediksi pada kapasitas kondisi metabolisme hewan kecil. Hasil


riset mengumpulkan contoh fitoplankton dari laut dan di inkubasi pada
kondisi laut prediksi tahun 2100 yaitu dengan suhu dan konsentrasi
karbon terlarut yang dikondisikan sesuai prediksi pada tahun tersebut.
Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Marine Ecology Progress
Series. Peneliti menemukan bahwa kondisi air tersebut lebih mendukung
daya hidup fitoplankton skala kecil dan merugikan diatoms.
Sebagaimana diatoms menjadi langka, binatang predator yang
memangsa mereka akan juga mati. Kelangkaan diatoms juga menjadi
simalakama bagi pemanasan global karena sebenarnya diatoms-lah yang
paling besar menyerap dan menyimpan karbon ke laut dalam sewaktu
mereka mati dan tertimbun di dasar samudra. Jika mereka punah maka
binatang yang lebih kecil lainnya kemungkinan tidak dapat menyerap
lebih kuat dan menurunkan daya serap laut akan gas karbon di atmosfer.

Pertanyaan:

1. Apa pengaruh arlindo terhadap perikanan tangkap terutama


perikanan di laut sebelah selatan Pulau Jawa?
2. Bagaimana kemungkinan pengaruh kebakaran hutan terhadap
potensi perikanan tangkap?
3. Bagaimana kemungkinan pengaruh buangan lahan pertanian
terhadap perikanan tangkap?

168
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN

169
BAB 9

BENTUK-BENTUK CUACA EKSTREM

9.1. BENTUK-BENTUK CUACA EKSTREM DI INDONESIA

Negara maritim Indonesia memiliki beberapa bentuk cuaca


ekstrem di laut diantaranya siklon tropis, gelombang laut, pasang surut,
alun atau swell, dan tsunami. Dari ketiga jenis gangguan tersebut, maka
yang merupakan fenomena meteorologi hanyalah siklon tropis.
Sedangkan gelombang laut merupakan fenomena astronomis yang
tergantung pada posisi bumi, matahari, dan bulan. Alun atau swell adalah
gelombang laut dengan panjang gelombang yang sedemikian panjang
sehingga dapat bergerak ribuan kilometer jauhnya. Gangguan ini dapat
diakibatkan oleh badai yang terjadi di atmosfer. Bentuk gangguan
terakhir atau tsunami yang sangat jarang tetapi sangat mencelakakan
adalah bentukan gangguan hasil dari gangguan tektonik di dasar
samudra. Dengan resiko tsunami yang sangat kecil maka waktu periode
ulang kejadian tsunami mencapai hingga ratusan tahun. Di Indonesia
dipakai standar bahwa bahaya tsunami adalah apabila terjadi gempa
diatas 6.3 skala richter dan pada kedalaman di bawah 10 km.

Untuk gangguan siklon tropis, sebenarnya Indonesia bukanlah


merupakan wilayah tempat terbentuknya siklon maupun tempat jalur
lintasannya, tetapi Indonesia menerima imbas dari ekor siklon tersebut
yang panjang ekornya dapat mencapai ribuan kilometer. Hal ini
karenakan wilayah tropis memiliki efek gaya coriolis yang minimal dan

171
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

sulit untuk mendukung pertumbuhan siklon dan sulit untuk mendukung


laju gerak siklon. Siklon tropis membawa akibat timbulnya badai di laut
berupa hujan dengan intensitas tinggi disertai angin kencang dan
gelombang laut tinggi. Selain gangguan di laut yang ektrem tersebut, di
laut dapat terjadi jenis badai laut kecil seperti angin puting beliung.

9.2. SIKLON TROPIS

Isitilah "hurricane" dan "typhoon" adalah istilah regional yang


berarti "tropical cyclone" atau siklon tropis. Istilah lain yang dipakai
adalah taifun yang berasal dari bahasa Jepang yang berarti angin besar
dan istilah ini menjadi typhoon dalam bahasa Inggris. Siklon tropis
adalah istilah umum untuk sebuah sistim tekanan rendah yang tidak
frontal pada skala sinoptik di atas badan air di daerah tropis dengan
organisasi teratur konveksi (dengan adanya kejadian thunderstorm) dan
sirkulasi angin kencang di sekitarnya (Holland 1993).

Siklon tropis dengan kecepatan angin maksimum kurang dari 17


m/s (atau 34 knot, 39 mil per jam) disebut depresi tropis. Pada saat
kecepatan angin mencapai diatas 17 knot maka disebut siklon tropis
dengan sebuah nama khusus. Jika angin mencapai diatas 33 m/s maka
mereka disebut:
 "hurricane" (untuk wilayah Samudra Atlantik bagian utara, timur
laut Samudra Pasifik di timur garis tanggal dan di selatan daerah
Pasifik timur garis 160°E)
 "typhoon" (di daerah barat laut Samudra Pasifik dan sebelah barat
garis batas tanggal) “
 "severe tropical cyclone" (sebelah barat daya Samudra Pasifik
sebelah barat 160 °E dan tenggara Samudra India sebelah timur garis
90 °E)

172
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM

 "severe cyclonic storm" (sebelah utara Samudra India)


 "tropical cyclone" (sebelah barat daya Samudra India)

Bagaimana terbentuknya siklon tropis?

Untuk terbentuknya sebuah siklon tropis ada beberapa kondisi


pendukung yang harus terdapat di lingkungan (Gray 1968,1979):
 Suhu muka laut yang hangat (paling kurang 26.5 ºC) dalam
kedalaman yang cukup (tidak tahu kedalaman pasti, tetapi paling
tidak 50 m). Air hangat diperlukan sebagai heat engine dari siklon
tropis.
 Kolom udara yang mendingin secara cepat dengan ketinggian yang
cukup berpotensi tidak stabil untuk proses konveksi lembab.
Aktivitas kilat dan petir yang menyebabkan energi panas tersimpan
di air laut dan dilepaskan ke atmosfer untuk perkembangan siklon
tropis.
 Lapisan lembab relatif dekat lapisan troposfer tengah (5 km), lapisan
udara kering pada lapisan tengah tidak mendukung pembentukan
dari aktivitas kilat.
 Jarak minimal dari garis ekuator sekitar 500 km. Untuk siklon tropis,
dibutuhkan keberadaan gaya coriolis untuk memberikan
kesetimbangan gradien angin. Tanpa adanya gaya coriolis tersebut
keberadaan tekanan rendah tidak dapat terjaga.
 Keberadaan di dekat permukaan dari gangguan dengan cukup gaya
vortisitas dan konvergensi. Siklon tropis tidak dapat terjadi seketika.
Untuk berkembang, mereka membutuhkan sistem yang terorganisasi
lemah dengan pusaran yang berukuran dan daya hisap pada lapisan
bawah.
 Nilai gesekan angin vertikal yang kecil (kurang dari 10 m/s) antara

173
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

permukaan dan lapisan troposfer atas. Gesekan angin vertikal adalah


besaran perubahan angin terhadap vertikal. Nilai gesek angin
vertikal yang besar akan mengganggu aktivitas siklon dan
menghalangi pertumbuhan, atau, jika sebuah siklon tropis telah
terbentuk, gesekan vertikal yang besar akan memperlemah atau
menghancurkan siklon tropis dengan mengintervensi pembentukan
konveksi tinggi pada sekitar pusat siklon.

Gambar 9.1. Proses pusaran atmosfer (seperti siklon tropis) dan efeknya
di bawah laut

Dengan memenuhi kriteria ini adalah kebutuhan, tetapi tidak


cukup sebagaimana banyak kemungkinan gangguan yang timbul yang
mengganggu pertumbuhan. Pada penelitian terakhir (Velasco and
Fritsch 1987, Chen and Frank 1993, Emanuel 1993) telah
mengidektifikasikan bahwa sistim badai besar (disebut sebagai

174
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM

mesoscale convective complexes [MCC]) seringkali menghasilkan


sebuah pusat pusaran yang stabil dan hangat dengan ekor altostratus dari
pusat MCC. Vortisitas skala meso ini dapat mencapai hingga 100 atau
200 km, yang terkuat di lapisan atmosfer tengah (5 km) dan tidak
memiliki bekas apapun di permukaan.

Gambar 9.2. Efek perubahan tinggi muka laut dan lapisan termokline
pada saat terjadinya pola siklonik seperti siklon tropis.

175
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Zehr (1992) memberikan hipotesis kemungkinan pembentukan


siklon tropis dalam dua tahap
1. terjadi ketika MCC menghasilkan vortisitas / pusaran skala meso.
2. terjadi ketika tiupan kedua dari konveksi pada skala meso
menghasilkan proses penguatan atau penurunan tekanan udara
permukaan dan kekuatan angin pusaran.

9.3. SIKLON TROPIS DI SEKITAR BENUA MARITIM

Dengan mengacu kepada berbagai kriteria di atas, maka dapat


dilihat bahwa wilayah Indonesia sebenarnya bukanlah jalur tempat
pembentukan dan pergerakan siklon tropis. Namun demikian, bukannya
siklon tropis yang menjadikan bahaya, akan tetapi ekor dari siklon tropis
dapat membawa bahaya seperti badai, angin kencang, dan gelombang
tinggi. Besar kecilnya gelombang di laut lebih banyak ditentukan oleh
posisi bumi dan bulan serta distribusi kepulauan. Besarnya gelombang
laut yang dihasilkan oleh badai tropis akan meningkatkan turbiditas di
lapisan laut bagian atas di daerah pesisir. Turbiditas adalah tingkat
kekeruhan air laut yang sangat membahayakan kehidupan ikan-ikan di
laut. Penyebab turbiditas ini karena besarnya gelombang permukaan dan
lapisan mixing di laut menjadi lebih tebal (Gambar 9.2).

Pada Gambar 9.3 ditunjukkan rekapitulasi kejadian siklon


tropis disekitar benua maritim yang menunjukkan bahwa Indonesia
bukan merupakan jalur lintasan siklon tropis dimana siklon sepertinya
berada pada daerah lintang di atas 10 derajat. Hanya ada satu siklon yang
melintas wilayah Sumatera yaitu siklon Vameii yang terjadi pada
Desember 2001 setelah terbentuk di daerah Laut Cina selatan dan
bergerak ke arah Singapura dan terus ke arah barat.

176
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM

Gambar 9.3. Kejadian siklon tropis disekitar benua maritim Indonesia


pada tahun 1995 hingga 2006 di lintang utara (atas) dan di
lintang selatan (bawah), sumber Mustika, 2008.

177
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Dari data yang sama ditunjukkan bahwa kejadian siklon lebih


banyak di bumi belahan utara dibanding belahan selatan. Puncak
kejadian siklon dikedua belahan bumi tersebut berlawanan yaitu di
musim kemarau (Juli sampai Oktober) pada bumi belahan utara dan di
musim hujan benua Maritim pada bumi belahan selatan (Januari sampai
Maret). Kesuburan kejadian siklon tropis pada musim kemarau
seringkali membawa berkah tersendiri bagi benua maritim terlebih
dengan dampak pemanasan global dimana terjadi peningkatan kekuatan
siklon tropis. Ekor dari siklon tropis akan lebih jauh dikarenakan lebih
kuatnya energi dinamis yang dimilikinya. Dengan kuatnya energi
dinamis ini semakin menguatkan daya tarik siklon yang akan
memperpanjang ekor yang terbentuk. Sehingga daerah yang berpotensi
hujan akan semakin meluas. Terbentuknya siklon di utara ekuator pada
musim kemarau membawa hujan di wilayah Indonesia yang terkena
dampak ekor siklon tersebut.

Dari hasil rekapitulasi yang ada juga terlihat bahwa tidak


terdapat hubungan dari kejadian siklon tropis dan fenomena El Niño. Hal
ini dikarenakan dua hal yaitu siklon tropis terbentuk dan mengalir pada
daerah sub tropis sedangkan El Niño adalah fenomena di jalur ekuator.
Selain itu daerah pembentukan siklon tropis lebih dominan pada daerah
antara 120 hingga 160 derajat bujur timur yang merupakan daerah netral
dari dampak El Niño. Dengan demikian kasus pembentukan siklon
tropis tidak terpengaruh oleh fenomena El Niño.

9. 4. TSUNAMI

Istilah tsunami berasal dari Bahasa Jepang yang berarti


gelombang besar. Salah satu gelombang laut yang sering ditakuti adalah
gelombang tsunami. Gelombang tsunami terjadi karena peristiwa

178
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM

geologis dan tektonik seperti pergeseran lempengan dan gempa.


Meskipun terjadi gempa di dasar samudra, belum tentu akan terbentuk
gelombang tsunami. Tsunami biasanya terjadi apabila di permukaan
tanah di dasar samudra terjadi patahan yang menurunkan lempeng dasar
samudra secara mendadak. Apabila gempa terjadi di bawah dasar
samudra maka kecil kemungkinan terjadinya tsunami. Orang sering
menyalah artikan tsunami karena badai atau peristiwa meteorologis,
padahal tidak demikian. Selain itu sering dipertanyakan apakah
gelombang tsunami membawa akibat perubahan angin dan suhu muka
laut mengikuti penyebaran gelombangnya. Gelombang tsunami adalah
gelombang longitudinal bukan transversal. Gelombang longitudinal
memiliki ciri bahwa arah pergerakan gelombang berbeda dengan arah
penjalaran energi. Pada kasus tsunami, energi menjalar secara
horizontal, tetapi pergerakan gelombang naik turun atau vertikal.
Sehingga suhu muka air laut setempat tidak menjalar, karena pada
dasarnya tidak terjadi pergeseran masa air laut, tetapi terjadi penjalaran
energi tsunami.

Peristiwa tsunami biasanya ditandai dengan surutnya muka air


laut dipantai sesaat setelah patahan di dasar samudra turun. Surutnya
muka air laut disebabkan massa volume air tertarik ke daerah
gelombang tinggi yang datang yang akan mengancam garis pantai
disekitar daerah gempa. Gelombang tsunami dapat mencapai ketinggian
hingga di atas 20 m di permukaan laut dan dapat mengikis garis pantai
hingga jauh ke pedalaman dan menghabiskan semua yang ada di
atasnya. Peristiwa tsunami terakhir yang paling dashyat terjadi setelah
gempa di lepas pantai barat laut Pulau Sumatera tanggal 26 Desember
2004 yang merenggut sekurangnya 300.000 jiwa di berbagai negara di
kawasan lautan India terutama di Propinsi Aceh dan Sumatera Utara.

179
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

9. 5. INFORMASI CUACA LAUT EKTREM BAGI PESISIR,


P E R I K A N A N , A S U R A N S I , P E L AYA R A N , D A N
PARIWISATA.

Pemanfaatan data cuaca untuk keperluan maritim seringkali


dihubungkan dengan keperluan perikanan, asuransi keselamatan, bidang
pelayaran, dan turisme. Sasaran utama dari pelayanan tersebut adalah
memberikan pemantauan dan laporan terhadap bahaya dari kondisi
cuaca ekstrem yang berdampak buruk terhadap berbagai sektor tersebut.
Biasanya sebuah kapal besar akan dilengkapi dengan radio komunikasi
dan tidak jarang dengan radar cuaca serta informasi data satelit seperti
penerima satelit NOAA. Jenis jenis informasi yang dapat disediakan dari
pelayanan cuaca seperti data satelit bagi keperluan di atas termasuk
diantaranya kondisi per-awanan, kandungan uap air yang menunjukkan
potensi cuaca buruk, kondisi hujan, angin, suhu permukaan laut, tutupan
salju di laut.

Pemanfaatan data meteorologi untuk perikanan membantu


penempatan nelayan pada lokasi tempat berkumpulnya ikan dan
menghindarkannya dari lokasi dimana terjadinya cuaca ektrem.
Pemanfaatan data cuaca sangat membantu perusahaan asuransi dalam
menghadapi klaim kecelakaan di laut. Seringkali faktor cuaca dijadikan
alasan diluar faktor kesalahan manusia. Informasi cuaca sangat penting
dilakukan untuk menyingkap yang bertanggung jawab terhadap
kecelakaan di laut dan membantu pihak perusahaan asuransi dalam
mengatasi klaim. Untuk tujuan pelayaran, informasi cuaca sangat
penting untuk mencapai suatu tujuan pelayaran dalam waktu yang
singkat tanpa risiko yang berat. Industri pariwisata juga sangat
berkepentingan terhadap informasi cuaca dalam mendukung
keberhasilan program-program pariwisata terutama untuk wisata bahari
dan pesisir.

180
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM

Berikut ini adalah jenis informasi cuaca dan iklim bagi keperluan
pengembangan daerah pesisir, perikanan, pelayaran dan pariwisata
bersumber dari Badan Meteorologi dan Geofisika.

Jenis informasi cuaca dan iklim bagi daerah pesisir:


 Info tentang kondisi ekstrem cuaca kelautan (gelombang tinggi,
angin, arah dan pergerakan siklon tropis)
 Sistem peringatan dini cuaca ekstrem
 Informasi iklim/cuaca wilayah pesisir,
 Informasi swell (keluaran model)
 Peta rawan tsunami dan petir
 Informasi wind rose utk pertimbangan arsitektur (desain coastal
airport, run way)
 Model gelombang dan arus laut untuk desain pelabuhan
 Informasi dan model pasang surut (dari AWS maritim) untuk
pertimbangan desain kolam pelabuhan
 Kelembaban dan suhu udara untuk pergudangan di pesisir

Jenis informasi cuaca dan iklim bagi perikanan:


 Buletin cuaca perairan harian
 Prakiraan gelombang harian (setiap 3 jam)
 Isoterm suhu muka laut dan suhu permukaan yang menunjukkan
kaitan dengan upwelling
 Prakiraan gelombang mingguan (sampai 7 hari ke depan)
 Informasi daerah gelombang tinggi
 Prakiraan musim hujan/musim kemarau
 Peringatan dini tsunami

181
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

 Informasi suhu muka laut


 Peta rawan gempa bumi dan tsunami

Jenis informasi cuaca dan iklim bagi pelayaran:


 Buletin cuaca untuk pelayaran perairan harian
 Prakiraan gelombang harian (setiap 3 jam)
 Frekuensi angin, gelombang, hari hujan, peta seismisitas bagi
pelabuhan
 Prakiraan gelombang mingguan (sampai 7 hari ke depan)
 Informasi peringatan gelombang tinggi
 Informasi cuaca ekstrem dan peringatan dini

Jenis informasi cuaca dan iklim bagi pariwisata:


 Peta panjang musim, informasi suhu, kelembaban (diagram
kenyamanan) dan curah hujan
 Informasi jumlah hari hujan, lama hari siang, intensitas matahari
 Frekuensi hari nyaman wisata (suhu, angin, hujan, asap)
 Peta rawan gempa, tsunami, dan petir

9. 6. OBSERVASI SATELIT

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pengetahuan meteorologi


dewasa ini tidak terlepas dari kemajuan teknologi inderaja satelit dalam
melakukan observasi atmosfer bumi. Observasi satelit dilakukan dengan
memakai prinsip inderaja aktif dan pasif. Pada sistim aktif seperti halnya
pada teknologi radar, instrumen inderaja selain mendeteksi sinyal yang
datang juga mengeluarkan sinyal. Pada sistim pasif, instrumen inderaja
hanya menerima sinyal elektromagnetis berupa radiasi yang

182
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM

dipancarkan oleh benda-benda angkasa. Benda yang berfungsi


menyerap total energi radiasi disebut sebagai benda hitam (black body).
Kebanyakan benda di angkasa bukan merupakan benda hitam sehingga
masih berfungsi memancarkan radiasi.

Gambar 9.4 Daya serap (absorbsi) beberapa gas terhadap spektrum radiasi
matahari

Pada prinsip inderaja satelit pasif dimanfaatkan hasil pantulan


energi radiasi matahari. Energi matahari yang dipancarkan dari benda
dengan suhu sekitar 6.000 K memiliki spektrum energi yang sangat luas.

183
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Pancaran radiasi yang dikeluarkan ini tidak semuanya diterima oleh


permukaan bumi karena sebagian terserap di atmosfer oleh gas-gas
tertentu yang berfungsi sebagai gas rumah kaca. Selain diserap, sebagian
radiasi matahari juga dipantulkan oleh benda-benda di atmosfer seperti
awan atau oleh permukaan. Radiasi yang dipantulkan inilah yang
kemudian dipakai sebagai materi sinyal pasif dan diterima oleh sensor
inderaja. Pada dasarnya semua benda memancarkan sinyal
elektromagnetis dengan kekuatan energi setara dengan pangkat empat
dari suhu benda tersebut dan dengan variasi panjang gelombang yang
berbeda-beda.

Berdasarkan panjang gelombangnya daerah operasi satelit


inderaja dibagi dalam batasan berikut ini:

- Gelombang tampak (visible) yang memanfaatkan hampir


keseluruhan radiasi terpantul dari matahari pada panjang
gelombang tampak dan infra merah dekat (0.4 hingga 1.1 µm).
- Gelombang infra merah yang memanfaatkan radiasi
gelombang panjang bumi dan atmosfer yang melingkupinya
pada panjang gelombang termal infra merah (10 hingga 12 µm)
- Gelombang uap air yang memanfaatkan emisi radiasi dari uap
air di atmosfer (6 hingga 7 µm)
- Gelombang 3.7 µm yang merupakan panjang gelombang
mencakup kedua region antara radiasi matahari dan bumi yang
sering dikenal sebagai gelombang infra merah dekat.

Berdasarkan jenis orbitnya maka satelit inderaja dikenal dengan


tipe:
- Satelit orbit polar
Jenis satelit ini mengitari bumi pada jarak orbit dekat sekitar

184
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM

850 km di atas muka laut. Dengan kecepatan orbitnya biasanya


satelit ini mengitari bumi 14 kali dalam 24 jam. Dengan sistim
orbit seperti ini satelit dapat memberikan pantauan seluruh
bumi sekitar 2 kali sehari. Daya pantau satelit ini sekitar 2600
km (swath distance) tepat di bawah lintasannya. Keunggulan
utama dari tipe satelit ini adalah resolusi spasial dari daerah
yang dipantaunya sangat tinggi, karena rendahnya orbit yang
dipakai. Contoh satelit jenis ini adalah satelit NOAA yang
memiliki resolusi tinggi hingga satuan kilometer.
- Satelit orbit geostationer
Jenis satelit ini berada pada titik orbit dimana terjadi
kesetimbangan gaya tarik bumi dan luar angkasa sehingga
satelit ini berputar atau mengorbit mengikuti periode orbit
bumi. Titik orbit ini dikenal sebagai titik orbit geostationer.
Pada hasilnya wilayah yang dipantau satelit ini selalu pada titik
yang sama. Ketinggian orbit dari satelit ini adalah sekitar
35.800 km dari muka laut. Biasanya satelit geostationer ini
diletakkan di garis ekuator. Prinsip kerja dari satelit ini yang
biasanya berupa drum berputar akan melakukan scan dari citra
bumi dari hasil putaran drum yang berisikan sensor.
Diperlukan sekitar 25 menit untuk menyelesaikan scan seluruh
muka bumi. Keuntungan dari satelit tipe ini adalah resolusi
temporal yang tinggi karena hanya dibutuhkan kurang dari
setengah jam untuk melakukan sekali scan posisi bumi dan
dapat memantau sekitar sepertiga muka bumi sekaligus.
Dibandingkan dengan tipe orbit polar maka tipe satelit ini
kurang baik pada resolusi spasial.

Jenis satelit baik polar maupun geostationer sering dipakai untuk


memantau fenomena meteorologis dan juga pengamatan laut. Dengan

185
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

kemampuan satelit dan kurangnya kemampuan observasi di tengah laut


maka teknologi satelit inderaja dapat memberikan pantauan banyak
parameter di laut seperti suhu muka laut, angin, gelombang, tingkat
kesuburan, tingkat kekeruhan, tingkat sedimentasi dan curah hujan di
laut.
Dengan satelit geostationer dapat dipantau misalnya ketinggian
awan berdasarkan nilai suhu yang dipantulkan oleh awan yang
menunjukkan nilai suhu benda hitam (Black Body Temperature).
Semakin dingin suhu yang dipantau akan semakin tinggi awan yang
dipantau yang berasosiasi dengan curah hujan tinggi. Dengan
memanfaatkan citra satelit jenis ini pada temporal berurutan akan
diperoleh gambaran pergerakan awan dan uap air dan juga dapat
digambarkan gejala sinoptik (regional) yang bekerja. Pada akhirnya
dapat digambarkan bagaimana perubahan tekanan, suhu dan angin
secara regional.
Pemantauan badai serta siklon tropis sangat dibantu oleh
kemajuan teknologi inderaja satelit. Kemajuan teknologi satelit dalam
hal ini sangat membantu upaya peringatan dini untuk mengurangi resiko
cuaca ekstrem di laut dan dampak di daratan. Untuk pemantauan
gelombang di laut diperlukan teknologi satelit tipe polar untuk
memberikan data dengan resolusi tinggi. Akan tetapi tipe satelit ini
memeiliki kekurangan pada resolusi temporal dimana seringkali tidak
memadai untuk memberikan waktu respon yang cukup untuk analisis,
pengambilan keputusan dan evakuasi. Aplikasi dari pemantauan swell
akan sangat berguna terutama apabila pemantauan dilakukan pada swell
yang terjadi sangat jauh dari garis pantai. Untuk pemantauan tsunami,
hingga saat ini juga kurang efektif karena pemantauan gelombang
tsunami dengan tipe satelit orbital tidak memiliki waktu yang cukup
untuk mengambil keputusan.

186
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM

Gambar 9.5. Kondisi citra satelit geostationer MTSAT mengenai kondisi


awan pukul 6 WIB 6 Oktober 2005. Kumpulan awan tinggi
di sebelah barat pulau Jawa menunjukkan aktivitas aktif
MJO yang akan dirasakan seminggu kemudian setelah
pergerakan kearah timur.

Aplikasi jenis lain dari pemantauan inderaja satelit seperti


pemantauan asap kebakaran hutan maupun sebaran aerosol dari gurun
pasir. Untuk keperluan dua di atas ini biasanya memakai tipe satelit polar
karena jenis bahaya bagi keduanya tidak terlalu ekstrem sehingga dapat
memakai data yang tersedia dua kali sehari.

Akhir-akhir ini kemajuan teknologi inderaja satelit memadukan


teknologi satelit dengan teknologi radar sehingga terjadi inderaja aktif.
Pada proses ini hambatan seperti pada pemantauan terdahulu yaitu tidak
dapat menembus cuaca buruk seperti awan tebal dapat diatasi. Awan
memiliki prinsip menyerap panjang gelombang uap air sehingga daya
pantau satelit menurun. Penurunan ini terutama dirasakan pada satelit
pemantau tingkat kesuburan laut dimana tutupan awan seringkali
menggangu pemantauan.

187
BAB 10

PEMANASAN GLOBAL

10.1. BAGAIMANA PROSES PEMANASAN GLOBAL


TERJADI

Proses pemanasan global terjadi akibat akumulasi emisi gas-gas


rumah kaca di atmosfer dimana gas-gas tersebut menghambat keluarnya
radiasi matahari dari atmosfer bumi, sehingga mengakibatkan energi
radiasi tersebut terserap atmosfer dan memanaskannya. Prinsip
memanaskan atmosfer dengan mengisolasikan energi akibat terserap
gas-gas tersebut serupa dengan isolasi panas pada rumah kaca, sehingga
gas-gas tersebut disebut sebagai gas-gas rumah kaca. Gas-gas rumah
kaca terdiri dari gas-gas hasil buangan pembakaran industri, rumah
tangga dan transportasi. Gas-gas tersebut diantaranya adalah CO2
(karbon dioksida), CH4 (metana), N2O (nitrous oxide), HFCs
(hydrofluorocarbons), PFCs (perfluorocarbons) dan SF6 (Sulphur
hexafluoride). Proses akumulasi gas-gas tersebut diatmosfer dimulai
sejak adanya revolusi industri dan usaha manusia melakukan mekanisasi
dan industrialisasi besar-besaran sejak pertengahan abad 19. pada akhir
perang dunia II, terjadi pengurangan besar-besaran emisi rumah kaca
karena terjadi kekosongan industri dan sejak beberapa saat kemudian
terjadi peningkatan kembali.

Proses peningkatan gas-gas tersebut di atmosfer dapat dilacak


dari data spektrum sinar matahari. Pada panjang gelombang tertentu

189
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

dimana absorpsi sinar matahari terjadi akibat penyerapan radiasi


matahari oleh gas-gas tersebut menyebabkan adanya kekosongan sinyal
pada panjang gelombang tersebut. Metode ini telah dipakai luas untuk
melihat peningkatan akumulasi gas-gas tersebut dan melihat kerusakan
lapisan ozon.

Gambar 10.1. Gambaran efek rumah kaca (IPCC 2007)

Terkadang sering terjadi salah pengertian antara pemanasan


global dan perubahan iklim. Perubahan iklim adalah dampak yang
terjadi akibat pemanasan global dengan proses yang terjadi secara
langsung dan tidak langsung. Proses pemanasan global lebih

190
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

menyebabkan pada dampak langsung yaitu peningkatan suhu bumi


terutama suhu laut dan peningkatan tinggi muka air laut akibat
mencairnya es di kutub dan ekspansi volume air akibat naiknya suhu
bumi. Proses perubahan iklim diakibatkan oleh terjadinya proses tidak
langsung akibat peningkatan energi di atmosfer dan perubahan yang
mengikutinya.

10. 2. BEBERAPA DAMPAK LANGSUNG PEMANASAN


GLOBAL

Gambar 10.2. Catatan historis pemanasan global terhadap beberapa


parameter utama yaitu suhu muka bumi, tinggi muka air
laut serta area tutupan salju di bumi belahan utara.

191
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Akibat akumulasi gas-gas tersebut, maka selain terjadi proses


pemanasan global, juga terjadi kerusakan lapisan ozon di lapisan
stratosfer dan troposper bumi. Gas ozon atau O3 merupakan lapisan
pelindung bumi yang konsentrasinya sangat sedikit tetapi berfungsi
sebagai pelindung terhadap radiasi ultra violet dan radiasi dengan
panjang gelombang yang di atasnya. Ozon terbentuk dari reaksi
fotokimia dari proses alamiah. Radiasi ultra violet bersifat merusak kulit
dan menyebabkan kanker kulit. Kerusakan lapisan ozon terutama nyata
di daerah kutub utara dimana terjadi akumulasi gas di lapisan ionosfer
karena daerah tersebut sirkulasi atmosfer tidak intensif berpindah
tempat. Gas perusak lapisan ozon adalah freon yang pada dekade 1960-
an sering dipakai untuk zat hair foam, pendingin ruangan dan kulkas.
Sejak diketahuinya dampak negatif pemakaian freon, maka sejak tahun
1988 (Protokol Montreal) pemakaian freon telah dilarang dan berbagai
produk yang memakai freon telah diganti gas lain yang lebih ramah
lingkungan. Akibat pelarangan tersebut, telah terjadi perbaikan lapisan
ozon hingga awal dekade 2000 lapisan ozon di kutub mulai menutup.

Peningkatan energi di atmosfer bumi selain meningkatkan suhu


atmosfer juga meningkatkan suhu muka laut rata-rata. Akibatnya terjadi
ancaman mencairnya es di kutub. 2.5 % air yang ada di muka bumi
adalah air tawar yang mana diantaranya 0.3 % adalah air tawar di danau
dan sungai, sementara 29.9 % adalah air tanah dan 0.9 % terdapat di
kandungan tanah lapisan atas dan rawa-rawa. Sebagian besar air tawar
atau 68.9 % berada di glasier, dan lapisan es permanen seperti di kutub.
Apabila terjadi pemanasan global dan peningkatan suhu permukaan laut
dan atmosfer, maka es di kutub dapat mencair dan pencairan tersebut
memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap peningkatan volume
air laut yang akhirnya adalah peningkatan tinggi muka air laut.
peningkatan muka air laut merupakan ancaman nyata bagi komunitas

192
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

yang tinggal di tepi pantai. Peningkatan tinggi muka air laut merupakan
kontribusi dari dua proses yaitu mencairnya es di kutub dan ekspansi
volume air laut akibat peningkatan suhu air muka laut. Dari kedua hal
tersebut sekitar 1.4 mm/tahun diakibatkan oleh mencairnya es di kutub
sementara 0.4 mm/tahun merupakan kontribusi dari ekspansi volume
air laut akibat peningkatan suhu (IPCC 2007).

10. 3. BAGAIMANA PENGARUH PERUBAHAN IKLIM


TERHADAP DAERAH TROPIS
Sistim sirkulasi laut atmosfer dapat dianalogikan dengan sebuah
bola kaca yang diisi air setengahnya dan dipanasi di bawahnya (lilin) dan
dibekukan di atasnya (es). Sirkulasi di tengah bola kaca serupa sirkulasi
di daerah ekuator dan sirkulasi di atmosfer termasuk proses penguapan
dan hujan. Inilah sistim sirkulasi laut dan atmosfer secara normal.

Gambar 10.3. Situasi pengembangan daerah tropis akibat pemanasan


global yang digambarkan pada bola kristal kaca sebelum
(kiri) dan setelah pemanasan global (kanan). Wilayah tropis
terletak ditengah bola, di lapisan atas terdapat bunga es
yang menyebabkan kondensasi uap air menjadi hujan.
Selain itu juga terlihat peningkatan sirkulasi air ditandai
dengan lebih besarnya volume air yang bersirkulasi.

193
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Apabila terjadi pemanasan global dengan penambahan suhu


bumi, dalam hal ini digambarkan dengan penambahan lilin pemanas di
bawah bola kaca tersebut, maka akan meningkatkan sirkulasi laut dan
atmosfer, serta luas daerah tropis meningkat ke sebelahnya atau
terjadinya daerah tropis baru. Peningkatan sirkulasi menunjukkan pola
kuatnya intensitas cuaca ekstrem di daerah tropis baik di laut maupun di
atmosfer. Sirkulasi laut global di wilayah Indonesia yang dikenal sebagai
arus lintas Indonesia (arlindo) akan meningkat, demikian juga sirkulasi
atmosfer yang berdampak pada cuaca ekstrem.

Berikut ini akan diberikan beberapa akibat yang ditimbulkan dari


perubahan sistim iklim bumi untuk daerah tropis seperti yang
digambarkan pada bola kaca di atas. Berubahnya pola iklim dan curah
hujan dengan meningkatnya gas-gas rumah kaca membawa beberapa
konsekuensi seperti:
1. Curah hujan di daerah tropis baru meningkat.
2. Salinitas di daerah tropis baru menurun akibat penambahan curah
hujan.
3. Sirkulasi laut global menurun akibat kurangnya dorongan perbedaan
termohalin.
4. Perbedaan suhu permukaan antara daerah tropis baru dan tropis
menurun.
5. Sirkulasi angin global menurun yang mengakibatkan menurunnya
aktivitas angin darat dan laut dan aktivitas upwelling dan
downwelling di pesisir.
6. Cuaca lebih ekstrem (lebih banyak siklon) di daerah tropis baru
akibat lebih banyak uap air dan energi.
7. Jumlah hari hujan di ekuator berkurang akibat uap air yang

194
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

berjumlah tetap terbagi antara daerah tropis dan tropis baru. Selain
itu lebih banyak siklon akan lebih banyak menarik uap air dari daerah
tropis.
8. Menambah keasaman di laut dan atmosfer dengan penambahan
curah hujan (sirkulasi di tropis) yang mengikat karbon di atmosfer
dan turun sebagai hujan asam.

Selanjutnya dampak daerah tropis baru dan peningkatan suhu


bumi akan berakibat pada berbagai sektor kehidupan seperti contoh yang
dapat digambarkan berikut ini:
1. Daerah subtropis beriklim tropis dan menjadi saingan lahan
pertanian dan perkebunan daerah tropis, saingan baru bagi hasil
pertanian Indonesia.
2. Peningkatan suhu permukaan berdampak pada daya tahan bibit dan
benih yang dapat bertahan pada ekosistem yang memiliki suhu baru.
3. Penyakit tropis menyebar, juga penyakit daerah pantai naik ke
pegunungan (malaria) akibat meluasnya pemanasan global.
4. Perubahan pola musim tahunan akibat perubahan pola iklim akan
berakibat pada perubahan pola tanam dan manajemen waduk. Dalam
hal ini diperlukan benih dan bibit baru yang menyesuaikan dengan
pola tanam dan suhu yang baru.

10. 4. CATATAN HISTORIS PROSES PEMANASAN GLOBAL

Peneliti memakai data proxy yang tercatat di alam untuk


merekonstruksi kembali iklim di masa lampau diantaranya untuk
melihat catatan historis pemanasan global. Ilmu untuk rekonstruksi
iklim lampau ini dikenal sebagai paleoclimate yang melihat perubahan

195
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

iklim dari catatan di es, lingkaran pohon, lingkaran di terumbu karang,


atau lapisan sedimen di danau.
Catatan batang es seperti dari Antartika, Greenland di Denmark,
atau di glasier abadi lain dianalisa untuk melihat gas yang terjebak, rasio
isotop stabil, serbuk sari yang terjebak untuk melihat iklim masa lampau.
Lingkaran pohon dapat dipakai untuk menentukan umur.
Ketebalan dari masing-masing lingkaran menunjukkan fluktuasi dari
suhu dan curah hujan atau musim, karena kondisi yang optimal bagi
spesies tertentu akan menghasilkan pertumbuhan lingkaran yang tebal
pada tahun tertentu, sebaliknya kebakaran di masa lampau juga dapat
terlihat dari catatan lingkarang pohon.
Lapisan sedimen di dasar danau dapat dianalisa dengan berbagai
cara. Laju sedimentasi dapat terpancar dari jenis laminasi sedimen yang
terjadi. Arang yang terperangkap di sedimen menunjukkan kasus
kebakaran hutan atau lahan. Peninggalan mikroorganisme tertentu
seperti diatoms, foraminifera, mikrobiota, dan serbuk sari dapat
menunjukkan kondisi iklim masa lampau karena masing masing
organisme tersebut memiliki ruang ekologis untuk habitat
pertumbuhannya. Ketika biota tersebut terbenam ke dasar sedimen
mereka dapat terkubur selamanya di lapisan tersebut. Sehingga
perubahan iklim dapat dilihat dari komposisi sedimen yang dianalisa.
Terumbu karang membentuk skeletons dengan mengeluarkan
(ekstraksi) calcium carbonate dari air laut. Ketika suhu berubah,
densitas dari kalsium karbonat di skeleton juga berubah. Terumbu
karang yang terbentuk di musim panas memiliki densitas berbeda
dibandingkan karang yang tumbuh di musim dingin sehingga mereka
membentuk semacam lingkaran umur seperti lingkaran pohon.
Selanjutnya dapat dilihat bagaimana musim iklim dari tiap tahun.

196
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

Foraminifera dan diatoms dikenal sebagai salah satu sumber


proxy iklim lampau. Mereka adalah mikroorganisme yang ditemukan di
lingkungan laut. Mereka tersebar di permukaan sebagai plankton,
melayang di kolam air laut, dan bentos atau mengendap di dasar laut.
Kulit tubuhnya terbentuk dari karang yang terbentuk dari calcium
carbonate (CaCO3) sementara diatom terbentuk dari silicon dioxida
(SiO2). Isotop oksigen yang stabil biasanya dipakai untuk analisa suhu
masa lampau. Isotop oksigen ini ditemukan di alam baik di atmosfer dan
di air laut dalam bentuk terlarut. Air hangat lebih banyak menguapkan
isotop yang mengandung oksigen ringan sehingga menyisakan isotop
oksigen berat di pertumbuhan karang. Sebaliknya terjadi pada saat suhu
laut dingin. Pengukuran isotop stabil dari plankton dan bentos
foraminifera serta karang diatom dari dasar laut dan dekat permukaan
dipakai untuk melakukan rekonstruksi suhu dan iklim pada masa
lampau.

Dari data paleoclimate diketahui bahwa perubahan suhu


permukaan global telah meningkat 0.6  0.2 ºC sejak akhir abad ke 19
dengan perkecualian pada masa perang dunia II. Perubahan suhu global
ini membawa dampak peningkatan suhu di lapisan laut atas (hingga 300
m) dengan laju peningkatan 0.04 ºC / dekade. Hasil pengamatan satelit
dan observasi balon menunjukkan peningkatan suhu muka bumi pada
laju 0.1 ºC / dekade. Pengamatan perubahan suhu sebelum era
industrialisasi dilakukan dengan catatan proxy berupa catatan iklim yang
tercatat pada paleo data dari data batang pohon, terumbu karang, es di
kutub, dan data historis dari catatan sejarah sejak tahun 100- an masehi.

Selain suhu pengamatan perubahan curah hujan dan kadar uap air
di atmosfer juga telah dilakukan. Peningkatan terjadi pada curah hujan
daerah lintang tinggi di belahan bumi utara antara 0.5 hingga 1.0 % per

197
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

dekade. Sedangkan diperkirakan jumlah total kandungan uap air telah


meningkat beberapa persen dalam beberapa dekade dari banyak region
di belahan bumi utara. Perubahan dari kandungan uap air telah dianalisa
dari berbagai region dengan data lapangan dan pengukuran lapisan
bawah troposfer dari data satelit dan balon cuaca. Perubahan jumlah
kandungan uap air membawa konsekuensi peningkatan jumlah tutupan
awan di daerah lintang tinggi yang meningkat sekitar 2 % dari awal abad
20 dan berakibat pada turunnya peredaan temperatur siang dan malam
atau mengakibatkan turunnya kapasitas angin darat dan angin laut.
Analisa terbaru menyebutkan bahwa pada daerah yang terjadi
peningkatan curah hujan juga terjadi peningkatan curah hujan
berintensitas tinggi. Selain itu juga karakter dari tropikal storm juga
berubah pada intensitas dan frekuensinya.

Waktu (sebelum tahun 2005)


Gambar 10.4. Catatan perubahan komposisi atmosfer dari konsentrasi
atmosfer CO2, CH4 dan N2O dalam 1000 tahun terakhir.
Data dari analisa es kutub dan beberapa tempat lain di
Antartika dan Greenland ditambah data pengukuran
atmosfer langsung pada beberapa dekade terakhir. Gambar
bawah menunjukkan data yang serupa bagi konsentrasi
sulfat.

Perubahan suhu juga mengakibatkan penurunan lahan tertutup


salju dan laju perubahan tutupan lahan bersalju berkorelasi dengan

198
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

menariknya suhu permukaan. Dari data satelit terlihat bahwa terjadi


penurunan sekitar 10% dari tutupan salju sejak tahun 1960 yang
berhubungan erat dengan laju peningkatan suhu permukaan daratan di
belahan bumi utara. Jumlah tutupan es di bumi belahan utara menurun,
tetapi tidak ada tren yang jelas pada laju penurunan tutupan es di
Antartika. Meski demikian kemunduran tutupan bongkahan es di Arktik
pada musim semi dan musim panas sebesar 10 hingga 15 % sejak tahun
1950 konsisten dengan peningkatan suhu permukaan pada musim panas
di belahan bumi utara.

Dari data instrumen muka laut (tide gauge), laju peningkatan


muka laut pada abad 20 ada pada kisaran 1.0 hingga 2.0 mm/tahun. Laju
peningkatan muka laut ini bukan hanya diakibatkan oleh mencairnya
glasier dan es di kutub tetapi juga karena ekspansi termal akibat
peningkatan suhu air laut itu sendiri. Karena perubahan ekspansi termal
air laut berlangsung lama terutama pada laut dalam, maka dikuatirkan
apabila masalah konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer telah selesai
diatasi perlu waktu agak lama agar termal ekspansi di laut juga berhenti.
Selain itu distribusi geografis dari perubahan muka laut juga dipengaruhi
oleh perubahan salinitas, angin, sirkulasi lautan, dan perpindahan masa
air dari daratan menuju laut atau dari kandungan lapisan es di darat atau
laut ke laut. Mencairnya glasier dan es di kutub memberikan kontribusi
terbesar setelah ekspansi termal. Perubahan muka laut juga ditentukan
oleh faktor geologis yang tidak terkait dengan iklim yang bervariasi
dalam skala ribuan tahun. Faktor perubahan pemanfaatan kandungan air
di dalam tanah juga berpengaruh terhadap laju perubahan muka laut.
Terakhir, pada skala seasonal, interannual dan dekadal, muka laut
terpengaruh pada perubahan di atmosfer dan laut dengan contoh nyata
adalah gejala El Niño.

199
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Pemanasan global juga disinyalir berpengaruh terhadap


perubahan sirkulasi laut yang pada akhirnya menyebabkan perubahan
karakter El Niño dan fenomena besar lainnya seperti osilasi Atlantik
Utara. Terjadi peningkatan anomali pada suhu muka laut di Pasifik yang
memicu terjadinya El Niño terbesar abad ini pada tahun 1997/1998 yang
diduga akibat peningkatan suhu muka laut akibat rumah kaca dimana
energi yang tersimpan di muka bumi meningkat.

Gambar 10.5. Sinyal pemanasan global yang terlihat dari peningkatan


suhu muka laut di daerah laut Cina Selatan dengan proyeksi
peningkatan 0.0208 ºC per tahun.

Sinyal pemanasan global di wilayah Indonesia belum banyak


terdeteksi karena observasi perubahan iklim membutuhkan waktu
pengamatan yang panjang diatas 30 tahun untuk dapat mendeteksi sinyal
perubahan yang ada. Dari dua parameter utama perubahan iklim global
yaitu peningkatan suhu dan tinggi muka air laut, maka perubahan suhu
laut lebih mudah diamati berdasarkan data observasi satelit. Dari hasil
deteksi data series yang panjang maka pengaruh perubahan iklim akan
lebih tampak terlihat pada laut marginal yang dangkal karena laut ini
tidak memiliki perbedaan suhu antara permukaan dan kedalaman serta
tidak adanya sirkulasi arus vertikal. Sehingga perubahan suhu muka laut
dapat dikatakan mewakili apa yang terjadi di atmosfer. Deteksi

200
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

pemanasan global lebih mudah dilakukan pada laut dangkal seperti Laut
Cina Selatan (0-5LU, 105-110BT). Pada daerah ini terjadi peningkatan
suhu muka laut tahunan di daerah ini adalah 0.0208 ºC atau 2.08 ºC
dalam seratus tahun. Dengan proyeksi ini maka dalam tahun 2.105
(seratus tahun kemudian) diproyeksikan suhu laut di daerah tersebut
mencapai 31.3 ºC.

10. 5. FAKTOR YANG MENGHAMBAT PEMANASAN GLOBAL

Selain terjadi proses pemanasan global akibat kegiatan manusia,


beberapa faktor lainnya dapat mengurangi terjadinya pemanasan global.
Perubahan fluks di permukaan laut dan atmosfer mendorong
terpendamnya aerosol beberapa gas-gas rumah kaca seperti misalnya
CO2 dan NO2 dalam lautan. Sehingga lautan bisa dianggap sebagai
penyerap panas atmosfer terbesar dan penyimpan sedimen dari dua gas
rumah kaca terbesar yaitu uap air dan CO2 dengan proses berikut ini.
Lautan juga berfungsi sebagai tempat berfotosintesis pitoplankton dan
respirasi zooplankton dimana terjadi perubahan gas-gas dari CO2
menjadi O2 (pada proses fotosintesis pitoplankton) dan dari O2 menjadi
CO2 (pada proses respirasi zooplankton). Beberapa faktor tersebut
menjadikan laut sebagai peredam efek pemanasan global. Kedua fungsi
lautan sebagai peredam dampak pemanasan global tersebut sering
diistilahkan sebagai faktor biogeochemistry lautan.

Selain lautan, proses fotosintesis juga terjadi pada tanaman di


darat seperti hutan belantara. Hutan berfungsi sebagai paru-paru bumi
dan peredam pemanasan global menjadikan hutan sebagai daya tarik
dalam perdagangan emisi karbon untuk mengikuti konsep protokol
Kyoto . Salah satu konsep yang ditawarkan adalah debt swap atau

201
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

pengganti hutang negara dengan emisi negatif dari hutan karena hutan
mengurangi emisi gas-gas rumah kaca. Yang belum dibahas oleh
pemerintah adalah peran dari kemampuan menyerap dari lautan yang
merupakan kontribusi nyata dan bagian dari wilayah yang luas dari
negara ini.

Faktor pengurang lain adalah dari letusan gunung berapi yang


berfungsi mengurangi jumlah kadar air di atmosfer. Gas SO2 yang
dihasilkan dari letusan gunung berapi akan bereaksi dengan uap air dan
menyerap energi yang ada di atmosfer dan turun dalam bentuk hujan
asam. Terkondensasinya uap air menjadi butir-butiran hujan membantu
mengurangi energi di atmosfer. Selain itu aerosol letusan gunung berapi
juga menjadi penghalang radiasi matahari masuk ke muka bumi dan
mengurangi terserapnya energi radiasi matahari yang berada di
permukaan bumi. Energi tersebut malah tertahan di lapisan atas atmosfer
(stratosfer) dan memanaskan suhu di sana. Biasanya perubahan suhu di
stratosfer berbanding terbalik dengan perubahan suhu di lapisan
troposfer atau lapisan paling bawah di muka bumi, apabila suhu di
stratosfer meningkat maka suhu di troposfer menurun dan sebaliknya.

10. 6. EFEK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP EKOSISTEM


LAUT

Proses pemanasan global akan mempengaruhi karakter fisis,


biologis dan biogeokimia dari lautan dan pantai, memodifikasi struktur
ekologisnya dan fungsi dari struktur tersebut terhadap ekosistem.
Dampak global dari pemanasan tersebut meliputi peningkatan tinggi
muka laut dan suhu muka laut, penurunan tutupan es di laut dan
perubahan salinitas, alkalinitas, meteorologi gelombang laut, dan

202
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

sirkulasi air laut. Akibatnya terjadi umpan balik terhadap sistem iklim
dengan perubahan daerah mixing di laut, produksi laut dalam, dan
upwelling di garis pantai yang pada akhirnya akan mempengaruhi
terhadap status, kesetimbangan, produktivitas, dan biodiversivitas zona
pantai dan ekosistem laut. Perubahan distribusi suhu muka laut akan
berakibat dengan perubahan distribusi biota laut dan biodiversitas.

Perubahan habitat laut termasuk meningkatnya suhu muka laut,


pelemahan sirkulasi laut, tutupan es di laut dan tinggi muka laut.
Perubahan frekuensi gejala ekstrem juga akan terjadi. Kejadian El Niño
juga diperkirakan akan meningkat intensitas dan frekuensinya seiring
dengan perubahan iklim global. Hal ini akibat meningkatnya energi di
atmosfer. Jika terjadi penurunan beda suhu di ekuator dan di kutub akibat
pemanasan global maka terjadi pelemahan sirkulasi atmosfer di banyak
tempat (bukan daerah siklon) dan mengakibatkan berkurangnya
upwelling. Pengamatan dan penelitian tentang angin dan gelombang
menunjukkan peningkatan tinggi gelombang laut di lautan Atlantik
meski belum ada keyakinan penuh apakah akibat dari pemanasan global.
Habitat laut juga terganggu akibat meningkatnya siklon tropis dan
peningkatan hujan di daerah lintang tinggi akibat menyebarnya daerah
tropis. Akibat dari kasus terakhir ini adalah berkurangnya perbedaan
salinitas laut di daerah tropis dan lintang tinggi, sehingga mengurangi
laju sirkulasi arus laut. Tutupan es di laut mempengaruhi albedo,
salinitas, dan proses transfer energi laut atmosfer. Hal terakhir
mempengaruhi peristiwa konveksi di dalam laut dan pada akhirnya
mempengaruhi daya serap terhadap CO2 dan penimbunannya. Selain itu
melemahnya sirkulasi arus laut itu sendiri juga mengurangi kemampuan
menyerap CO2 di permukaannya karena mengurangi wilayah tempat
menyerapnya CO2. Sedangkan albedo mempengaruhi besarnya

203
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

intensitas energi radiasi matahari yang dipantulkan oleh muka bumi


seperti tutupan awan di daerah tropis.

Proses biologi berperan penting dalam menyerap CO2 dan


membuang karbon dari atmosfer ke laut dalam melalui partikel organik
dan dengan arus laut yang melarutkan partikel organik. Proses ini
dikenal dengan nama pompa biologis yang memompa kandungan
karbon di permukaan laut dan mengendapkannya di kedalaman. Proses
ini seringkali dipengaruhi oleh kondisi biocalcification di terumbu
karang dan kandungan organisme di lautan. Peningkatan suhu muka laut
akan mengakibatkan peningkatan degradasi biologis laut. Perubahan
iklim diperkirakan akan mempengaruhi proses yang mengontrol siklus
dari berbagai elemen. Proses fotosintesis sebagai faktor utama biota laut
dalam menyerap CO2 dikontrol oleh keberadaan zat besi. Perubahan
runoff dari sungai ke laut akibat pemanasan global akan mempengaruhi
nutrisi dan kandungan besi ke laut sehingga mengakibatkan perubahan
daya serap CO2 di laut. Dampak nyata kemungkinan terdapat di laut semi
tertutup dan teluk. Salah satu penelitian akhir menunjukkan bahwa
kandungan zat besi dalam jumlah beberapa ton saja dapat menyebabkan
pertumbuhan biota organisme laut yang menyerap CO2 meningkat pesat.
Hal ini diramalkan akan dapat membuat kondisi atmosfer menjadi jauh
lebih dingin dan sehingga dapat menyebabkan timbulnya iklim era es
seperti beberapa ribu tahun yang lalu.

Sudah lama diketahui bahwa ada hubungan erat antara distribusi


ikan dan perubahan iklim. Perubahan suhu, salinitas, nutrisi, tinggi muka
laut kondisi arus, dan tutupan es diyakini mempengaruhi distribusi
tersebut. Suhu laut juga mempunyai efek langsung dengan pertumbuhan
dan kelangsungan hidup larva ikan dan ikan muda. Suhu laut juga
mempengaruhi laju produksi biologis dan akhirnya ketersediaan

204
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

makanan di lautan yang merupakan regulator utama dari distribusi dan


berkumpulnya ikan. Sebagai contoh adalah penyebaran ikan tuna di
utara dan timur laut Pulau Irian yang erat terkait dengan peristiwa El
Niño dan La Niña. Keterkaitan penyebaran tuna dengan suhu muka laut
tersebut diyakini akan berpengaruh pula jika terjadi proses pemanasan
global. Jumlah penangkapan ikan sarden di Pasifik Utara sebagai contoh
berikutnya juga terpengaruh dengan variabilitas iklim dekadal di daerah
tersebut. Hal ini dirasakan pada penangkapan ikan sarden di Laut
Jepang, California, dan Chile. Di Tasmania dan Australia, berkurangnya
stress angin permukaan di perairannya mengurangi produksi
zooplankton secara besar-besaran dan mempengaruhi densitas ikan Jack
Makerel. Peningkatan suhu muka laut di laut utara Pasifik diyakini akan
menahan distribusi Sokeye Solmon keluar Lautan Pasifik utara dan
menuju Laut Bering. Hal serupa mirip dengan kasus tahun El Niño di
wilayah Pasifik Timur. Dari beberapa fakta di atas, efek dari pemanasan
global terhadap distribusi ikan di wilayah perairan Indonesia masih
banyak belum diketahui. Salah satu faktor seperti telah dibahas di atas
yang mungkin adalah pengurangan gradien suhu muka laut antara daerah
tropis dan kutub sehingga memperlemah angin dan mengurangi potensi
upwelling dan berakibat pada distribusi nutrisi dan distribusi ikan.

Perubahan iklim global akan membawa efek perubahan fisis dan


ekosistem di lingkungan laut dan air tawar. Tinggi muka air dan suhu
permukaan akan meningkat di daerah lintang tinggi dengan konsekuensi
memanjangnya masa pertumbuhan ikan budidaya dan kerang-kerangan.
Perubahan ini akan memberi dampak positif untuk laju pertumbuhan dan
angka efisiensi rantai makanan. Akan tetapi peningkatan suhu muka laut
akan berakibat juga seperti perubahan level kandungan oksigen yang
dihubungkan dengan intensitas dan frekuensi menyebarnya penyakit
perairan seperti seringnya algal blooms di perairan pantai. Peningkatan

205
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

suhu laut dan cuaca ektrem akan mempengaruhi produksi ikan budidaya
dan merusak infra struktur produksi. Peningkatan tinggi muka laut akan
berakibat negatif pada rumpon-rumpon. Peningkatan suhu muka laut
juga berakibat positif akan lebih luasnya peta penyebaran ikan-ikan yang
aslinya dari daerah bersuhu tinggi.

Gambar 10.6. Kondisi strata suhu pada kedalaman laut sebelum (kiri) dan
sesudah (kanan) pemanasan global terjadi pergeseran ke
suhu tinggi di lapisan permukaan, mixing, dan termoklin.

Keberadaan mamalia laut dan burung burung pantai juga banyak


dipengaruhi oleh pola iklim. Perubahan komposisi mamalia dan burung
pantai di laut Pasifik utara dipercaya dipengaruhi oleh variasi iklim.
Penyelidikan menemui penyebaran ikan paus berhubungan erat dengan
situasi El Niño. Pengurangan tutupan es di kutub akan mempersulit
beruang kutub untuk memangsa-mangsa mereka. Lebih lamanya masa

206
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

musim panas di kutub akan juga mempengaruhi waktu berburu beruang


kutub sehingga memperlama waktu berpuasa mereka. Hal ini justru
menambah peluang hidup mangsanya seperti anjing laut.

10. 7. EFEK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP POPULASI


PANTAI

Paling kurang 20% dari populasi dunia hidup dalam jarak 30 km


dari garis pantai dan dua kalinya pada jarak 100 km dari laut. Sehingga
perubahan terhadap sistim ekologi dan ekosistem pantai akan
berpengaruh besar terhadap populasi di daerah pantai. Daerah-daerah
pantai dunia telah mendapat tekanan daeri berbagai faktor seperti
peningkatan jumlah penduduk, perusakan habitat, dan peningkatan
polusi dari atmosfer, yang bersumber dari daratan dan sungai. Dengan
tambahan meningkatnya radiasi sinar ultra violet akibat rusaknya ozon
akan membawa konsekuensi yang jauh lebih parah.

Perubahan pada curah hujan, pH, suhu laut, angin terlarutnya


Co2, dan salinitas akan mempengaruhi kualitas air di kestuari dan
perairan pantai. Beberapa organisme penyakit dan spesies algae
terpengaruh pada faktor-faktor fisis tersebut. Pada dekadal terakhir
ditemui penyakit yang mempengaruhi organisme laut seperti terumbu
karang dan rumput laut. Kerusakan terparah terumbu karang pada tahun
1997 - 1998 berhubungan erat dengan gejala El Niño. Dilaporkan juga
penyakit baru pada penyebaran terumbu karang foraminifera dengan
implikasi sedimentasi pantai. Siklus ENSO dan peningkatan suhu laut
berkorelasi dengan peningkatan penyakit Dermo (akibat parasit bakteri
protozoa) dan MSX (multinucleated spore) pada pembudidayaan oyster
sepanjang pantai timur Amerika. Beberapa penyakit tersebut di transfer
kepada manusia akibat mengkonsumsi oyster tersebut. Bakteri Vibrio

207
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

vulnificus yang ditemukan di oyster juga mematikan bagi manusia dan


menjadi meningkat populasinya akibat naiknya suhu muka laut. Epidemi
kolera (Vibrio cholerae) sering diasosiasikan dengan meningkatnya
suhu muka laut dan tinggi muka air seperti di Banglades.

Beberapa masalah pantai yang mungkin timbul diantaranya


peningkatan banjir akibat badai, peningkatan erosi pantai, intrusi air laut
ke dalam air tanah, menyeruaknya daerah pasang surut hingga estuari
dan sistim sungai dan peningkatan tinggi muka laut dan suhu daratan.
Dalam 100 tahun terakhir sekitar 70 % pantai pasir dunia telah mundur
akibat erosi dan sekitar 20 - 30 % stabil dan sekitar 10% bertambah luas
ke laut. Dengan pemanasan global dan peningkatan suhu muka laut akan
terjadi tendensi erosi lebih lanjut. Pendekatan multi disiplin diperlukan
untuk menggabungkan beberapa faktor seperti morfologi pantai, suplai
sedimen, tekstur pantai, dan komposisi, sejarah tektonik dan keberadaan
proteksi pantai biologis seperti hutan bakau. Pada saat El Niño laju
peningkatan erosi pantai menjadi lebih nyata. Keberadaan hutan bakau
penting untuk tempat produksi makanan laut dan sumber produk kayu
dan perlindungan laut. Di Thailand, 50 % hutan bakau telah hilang dalam
35 tahun terakhir. Hutan tersebut diganti oleh penumpukan sedimen di
pantai, pada akhirnya hutan bakau tersebut menjalar jauh ke tengah laut.
Dalam berbagai penelitian disebutkan bahwa hutan bakau juga
terpengaruh oleh kenaikan tinggi muka laut.

Terumbu karang merupakan sumber utama biodiversitas dan


mereka merupakan tempat lebih dari 25 % dari seluruh jenis ikan dan
mengandung lebih banyak spesies dari hutan tropis. Terumbu karang
penting bagi kepulauan atoll, perlindungan pantai, sumber pasir laut,
daya tarik turisme, dan masa depan bioteknologi laut. Lebih dari 80%
terumbu karang di asia dalam bahaya akibat perbuatan manusia seperti

208
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

industrialisasi, polusi, turisme, urbanisasi, buangan pertanian, buangan


limbah air perkotaan, sedimentasi, penangkapan berlebihan
penambangan pasir, reklamasi pantai, penyakit, dan predator. Proyeksi
kerusakan akibat kenaikan tinggi muka laut dianggap kecil tetapi
kenaikan suhu muka laut yang diprediksikan diatas 1 - 2 ºC pada tahun
2100 akan menyebabkan terumbu karang berada diatas ambang toleransi
hidupnya. Dengan meningkatnya kandungan CO2 akan menurunkan
kadar kapur (CaCO3) pada terumbu karang tersebut sehingga
membahayakan kelangsungan hidupnya.

10. 8. PEMANASAN GLOBAL DENGAN CUACA EKSTREM


DAN ENSO

Perubahan iklim global membawa pengaruh akan semakin


kuatnya frekuensi dan intensitas siklon tropis dan mengakibatkan
panjangnya ekor dari siklon yang terjadi. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Peristiwa pemanasan iklim global merupakan akibat dari eksplorasi
energi dari dalam perut bumi untuk dipakai di muka bumi dan sisa energi
dibuang ke atmosfer dalam bentuk gas-gas rumah kaca serta energi
berlebih. Gas-gas rumah kaca tersebut juga menyerap energi radiasi
matahari dan menyimpannya di atmosfer. Selama paradikma
pemanfaatan energi di muka bumi masih seperti demikian dan belum ada
upaya membalik proses tersebut (reversible process) seperti menyerap
energi dari atmosfer dan mengendapkannya ke dalam perut bumi
(contoh pemanfaatan energi angin) maka proses pemanasan global akan
terus terjadi. Beberapa kasus penyerapan secara natural selama ini terasa
belum memadai untuk mengurangi dampak pemanasan global tersebut.
Sesuai hukum kekekalan energi, maka energi yang berlebih di atmosfer
tersebut akan tetap berada di atmosfer atau berubah bentuk menjadi

209
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

bentuk energi lainnya. Beberapa bentuk energi di atmosfer seperti energi


laten yang terbentuk akibat perubahan fase air menjadi uap dan es, energi
kinetik seperti angin, siklon dan pergerakan awan serta uap air, energi
potensial seperti butir air yang jatuh sebagai hujan dan energi panas yang
tersimpan pada gas-gas di atmosfer yang menambah panasnya atmosfer
bumi.

Seperti digambarkan di atas, salah satu bentuk energi yang


mungkin terjadi adalah energi kinetik yang berupa angin kencang dan
siklon. Sehingga dengan lebih banyaknya energi yang beredar
kemungkinan terjadinya siklon tropis akan lebih besar dan dengan energi
yang lebih besar maka intensitas serta ekornya secara otomatis akan
lebih besar pula. Konsekuensi dari lebih kuatnya intensitas siklon ini
adalah akan berakibat terjadi penyerapan awan dan uap air yang lebih
besar di daerah sekitar siklon sedangkan di daerah yang jauh akan terjadi
pengurangan secara drastis jumlah awan dan uap air yang beredar.
Konsekuensi dari hal ini adalah berkurangnya jumlah hari hujan di
daerah tropis yang mana dengan hari hujan yang sedikit diikuti oleh
intensitas yang lebih besar dibanding beberapa dekade lalu. Sehingga
jumlah hari hujan turun tetapi kejadian hujan maksimum harian
meningkat.

Dampak nyata dari peningkatan cuaca ekstrem adalah frekuensi


dan intensitas siklon tropis meningkat. Dengan intensitas siklon yang
tinggi maka dapat menarik awan dari daerah yang lebih jauh dari
sebelumnya karena energi kinetis yang lebih kuat pada siklon sekarang
ini. Hal ini terlebih dapat dilihat kombinasinya pada tahun El Niño
ekstrem dimana pada tahun tersebut maka terjadi siklon tropis dengan
intensitas sangat kuat. Pada saat terjadinya siklon seperti ini maka awan
berkumpul lebih banyak di daerah dengan aktivitas/dinamika atmosfer

210
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

yang tinggi yaitu disekitar jalur siklon. Karena kumpulan awan tersebut
tidak merata, sehingga di Indonesia dapat terjadi banjir dan kekeringan
(kebakaran hutan) dalam waktu bersamaan. Selanjutnya karena daya
hidup siklon hanya berlangsung rata-rata 4 hari hingga seminggu, maka
terjadi variabilitas mingguan yang ektrem pada kondisi cuaca Indonesia.

Gambar 10.7 Salah satu indikator prediksi kejadian El Niño adalah


dengan melihat siklus anomali suhu pada lapisan termoklin
di sepanjang garis ekuator di Samudra Pasifik. Pemantauan
dilakukan dengan memakai hasil observasi triton buoy.

Pengaruh pemanasan global terhadap fenomena El Niño dapat


dilihat dari mekanisme kerja El Niño itu sendiri. Penumpukan yang
menciptakan kolam hangat (warm pool) di utara Pulau Papua juga
membentuk kolam hangat di laut dalam pada lapisan termoklin di daerah
tersebut pada kedalaman hingga 300 m. lapisan termoklin ini apabila
terdapat gradien suhu yang tinggi dengan daerah di Pasifik tengah akan
menyebabkan terjadinya perpindahan kolam hangat di dalam laut ke
arah timur. Kondisi inilah yang kemudian dikenal sebagai fenomena El
Niño. Pengaruh dari pemanasan global terhadap hal ini adalah pada
penumpukan panas dimana pemanasan global dapat memberikan
kontribusi akan lebih cepatnya terkumpul energi di kolam hangat baik di

211
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

permukaan maupun di lapisan termoklin. Sehingga dapat diperkirakan


bahwa pemanasan global akan memberikan percepatan terjadinya atau
peningkatan frekuensi kejadian El Niño karena proses penumpukan
panas akan semakin cepat.

10. 9. DAMPAK SOSIOEKONOMI DARI PEMANASAN


GLOBAL

Untuk daerah pesisir, dampak nyata dari segi sosioekonomis


akan terasa pada beberapa sektor seperti turisme, kualitas dan suplai air
bersih, perikanan dan pembudidayaannya, pertanian, pemukiman,
lembaga keuangan, dan kesehatan. Jumlah manusia yang akan
terpengaruh oleh banjir di pesisir akibat badai akan berlipat dua kali pada
akhir abad ini tanpa faktor pertambahan penduduk. Proteksi untuk
daerah pesisir bagi daerah pantai rendah seperti Negara Belanda akan
menjadi sangat mahal. Sayangnya beberapa penelitian sosioekonomi
tidak selalu dihubungkan dengan faktor atau mekanisme biologis dan
fisis dari dampak yang ditimbulkan oleh proses pemanasan global
tersebut.

Penelitian pada garis Pantai Amerika bahwa pada akhir abad ini
kerugian akibat kenaikan tinggi muka air laut akan mengakibatkan
kerugian sebesar US$ 20.4 billion. Penelitian dampak potensi kenaikan
tinggi muka laut 0.5 m di Montevideo, Uruguay menyebutkan angka
kerugian hingga US$ 23 juta. Penelitian di Venezuala menunjukkan
angka potensi kerugian dengan kenaikan muka laut 0.5 m adalah US$ 30
billion untuk sepanjang pantai mereka. Diperkirakan akibat erosi pantai
di Amerika sekitar 1500 rumah akan hanyut dengan angka kerugian
properti US$ 530 juta per tahun. Sementara itu untuk Jepang
diperkirakan kenaikan muka laut 0.5 m akan mengakibatkan kerusakan

212
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

US$ 3.4 billion per tahun. Di Inggris, untuk proteksi garis pantai sebesar
4300 km diperlukan biaya sekitar US$ 500 juta per tahun. Total biaya
untuk proteksi dan membuat pelabuhan pelabuhan di Jepang tetap
bekerja seperti sekarang (1.000 pelabuhan) diperkirakan sekitar US$
110 billion untuk kenaikan muka laut 1 m. Hampir keseluruhan beban
biaya tersebut akan ditanggung oleh lembaga keuangan dan asuransi.

10.10. PROSPEK IKLIM INDONESIA KEDEPAN

Akibat pemanasan global dan peningkatan suhu muka laut dan


tinggi muka air laut maka akan berakibat terhadap berubahnya pola iklim
di Indonesia. Seperti sudah digambarkan sebelumnya, terjadi proses
penyebaran daerah tropis menuju iklim subtropis. Konsekuensinya
adalah berubahnya iklim di daerah subtropis menjadi lebih menyerupai
tropis. Sementara di wilayah Indonesia hubungan antara suhu muka laut
dan hujan sudah berada pada titik puncaknya sehingga peningkatan suhu
muka laut hanya akan menyebabkan berkurangnya akumulasi curah
hujan. Dikuatirkan akan terjadi penurunan volume curah hujan tahunan
di Indonesia dan penurunan hari hujan. Hal ini juga berakibat semakin
banyaknya hari dengan intensitas hujan tinggi yang membawa resiko
banjir lebih besar. Dengan berkurangnya hari-hari hujan maka resiko
kekeringan juga terus mengancam untuk iklim Indonesia. Perubahan
pola iklim tersebut tentu berakibat perubahan pula terhadap pola iklim
tahunan dimana diperkirakan akan terjadi perlambatan masuknya
musim hujan dan melambatnya kedatangan musim kering. Selain itu
periode musim hujan juga diperkirakan akan lebih pendek.

Laporan IPCC 2007 menyebutkan bahwa akibat pemanasan


global terjadi peningkatan penguapan di lautan sebesar 5 %. Salah satu

213
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

akibat yang dapat di timbulkan terutama untuk benua maritim di daerah


tropis adalah fenomena kemarau basah. Fenomena ini semakin sering
terjadi saat ini seperti pada tahun 2003, 2005, 2007, dan 2008. Memang
El Niño /La Niña dan DM merupakan dua fenomena regional utama
yang mempengaruhi iklim Indonesia. Kalau El Niño (atau La Niña) akan
mengurangi (atau menambah) curah hujan pada musim kemarau di
Indonesia terutama di wilayah timur hingga selatan Indonesia.
Sedangkan DM positif (atau negatif) akan mempengaruhi curah hujan di
wilayah Barat seperti Sumatera bagian selatan dan Jawa dengan
mengurangi (atau menambah) pada musim kemarau. Berdasarkan hasil
pemantauan karakteristik curah hujan tahunan Indonesia, ada
kecenderungan bahwa setelah terjadi tahun El Nino (tahun kering)
biasanya diikuti dengan peningkatan curah hujan pada kemarau tahun
berikutnya. Hal ini terbukti terjadi pada tahun 1998/1999 setelah El Niño
kuat 1997/1998 dan pada tahun 2003/2004 setelah El Niño lemah 2002.
Padahal tahun 2006 lalu kita mengalami juga El Niño lemah yang
berawal agak telat di sekitar bulan November. Selain itu DM kuat positif
tahun 2004 juga diikuti oleh tahun kemarau basah 2005. Secara teoretis
pendapat itu dapat dipahami karena berdasarkan konsep neraca energi
klasik, termasuk uap air akan selalu mencapai keseimbangan setelah
mengalami kondisi ekstrem tertentu akan berbalik ke kondisi ekstrem
lainnya. Dengan pola yang sama, maka kemungkinan besar tahun 2007
ini adalah tahun kemarau basah.

Salah satu penyebab lain yang belum dan kurang dibahas adalah
pengaruh dari pemanasan global. Hasil kajian dari NASA menunjukkan
bahwa 5 tahun terpanas sejak pengukuran tahun 1890 berturut turut
adalah tahun 2005, 1998, 2002, 2003, dan 2004. Dari data tersebut,
hanya tahun 1998 yang merupakan tahun La Nina, tahun 2004 adalah

214
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

tahun dengan DM kuat positif, sedangkan sisanya tidak ada indikasi jelas
La Nina ataupun DM kuat. Suatu tahun diindikasikan mengalami La
Nina apabila suhu laut di wilayah Pasifik Barat semisal daerah NINO3
mengalami penurunan di bawah rata-ratanya melebihi nilai standar
deviasinya (stdev) yaitu 1 ºC sedangkan kondisi DM dinyatakan setelah
ada perbedaan antara dua wilayah kutub (dipole) di Samudra Hindia
dengan perbedaan melebihi 0.52 ºC (stdev). Sedangkan hasil kajian data
DM sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa kutub wilayah timurlah
yang lebih berpengaruh terhadap iklim Indonesia yang kondisi terakhir
masih jauh di bawah nilai stdev-nya.

Dapat disimpulkan bahwa akhir-akhir ini bahwa apabila El Niño


/La Niña dan DM lemah maka pemain ketiga yang menentukan iklim
Indonesia adalah pemanasan global. Akibat dari pemanasan global ini
suhu laut di wilayah Indonesia masih relatif hangat (di atas 28 ºC)
sehingga memberikan suplai uap air yang cukup bagi proses konveksi
dari curah hujan tinggi di beberapa wilayah Indonesia. Hal ini terbukti
oleh beberapa peristiwa banjir yang dilaporkan dibeberapa wilayah
Indonesia pada musim kemarau.

Pelajaran yang dapat diambil dari tahun 2005 atau tahun terpanas
lainnya menunjukkan bahwa kemarau basah akan berlangsung hingga
awal musim hujan tahun tersebut atau kemarau kering yang relatif
pendek. Pada bulan Juni dan Juli 2005 tercatat bahwa Jakarta mengalami
banjir akibat intensitas hujan tinggi. Selain itu jumlah titik api akibat
kebakaran hutan pada musim kemarau tahun-tahun tersebut relatif
sedikit dibandingkan tahun tahun lainnya.

Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa prospek iklim ke


depan bahwa kejadian upwelling di selatan Jawa akan lebih sering terjadi

215
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

atau indikasi ke arah dipole mode positif akan lebih kuat sehingga
wilayah selatan Indonesia akan lebih sering mengalami kekeringan.
Sedangkan untuk wilayah lainnya prospek ke depan adalah peningkatan
kemarau basah. Melihat kondisi iklim mendatang seperti inilah terlihat
prospek perubahan iklim di Indonesia dimana terjadi potensi
peningkatan di seluruh wilayah untuk musim kemarau tetapi untuk
bagian selatan Indonesia dari Sumatera Selatan hingga Nusa Tenggara,
kemungkinan terjadi penurunan curah hujan.

Pertanyaan:

1. Jelaskan proses terjadinya pemanasan global akibat gas-gas rumah


kaca!

2. Apa fungsi dan peran spektrum radiasi matahari dalam menjelaskan


konsep gas- gas rumah kaca?

3. Pemanasan global berakibat pada terbentuknya daerah tropis baru,


sebutkan akibat fisis di laut dan atmosfer dari pembentukan daerah
tropis baru tersebut!

4. Apa dampak menguntungkan dan merugikan akibat pemanasan


global terhadap pariwisata dan lembaga keuangan?

5. Jelaskan dampak pemanasan global terhadap frekuensi terjadinya


siklon tropis dan kekuatan angin darat dan angin laut!

6. Bagaimana proses pemanasan global dapat terhambat di permukaan


laut?

216
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL

7. Selain volume es di kutub yang mencair faktor apalagi yang


membuat lautan meluap akibat pemanasan global?

8. Suhu muka laut di Indonesia sudah berada di ambang batas kritis


mendekati 300C yaitu titik evaporasi air laut. Apa yang terjadi
apabila terjadi pemanasan global dan suhu muka laut global
meningkat 20C?

9. Dengan adanya pemanasan global apakah Indonesian through flow


(arus lintas Indonesia) akan bertambah kuat atau lemah? Mengapa?

217
BAB 11

MODEL IKLIM

11. 1. DUNIA MODEL

Dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat tiga sumber acuan


informasi yaitu dari data hasil pengamatan instrumen, hasil kajian
teoritis, dan data hasil model. Ketiga jenis sumber informasi tersebut
membuat trikotomi yang nyata dari peneliti ilmu pengetahuan. Masing-
masing grup mengklaim bahwa sumber acuan mereka yang paling baik
daripada yang lainnya. Yang paling bernilai dari ketiga dunia tersebut
adalah hasil observasi instrumen pengamatan karena semua analisis
ilmiah akan dikembalikan kepada acuan tersebut. Akan tetapi
pengamatan dengan instrumentasi apapun memiliki keterbatasan dari
resolusi fisis alat dan tutupan spasial dan temporal. Selain itu keusangan
alat akibat terlalu lama dipakai seringkali jarang dikalibrasi dan
meyumbang faktor kesalahan berikutnya. Hasil pengamatan tersebut
biasanya ditumpahkan dalam hubungan teoritis dalam bentuk bentuk
formula. Kelemahan formula tersebut biasanya bekerja pada asumsi dan
keterbatasan teoritis akibat penyederhanaan yang dilakukan. Asumsi dan
penyederhanaan tersebut tidak dapat dielakkan tetapi juga menyumbang
pada faktor kesalahan teoritis.

Setelah mendapatkan persamaan teoritis berbagai parameter,


maka dilakukan penghubungan masing-masing parameter dalam suatu
model yang lebih komprehensif. Model dapat dibuat dengan dimensi

219
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

waktu atau dan salah satu dimensi ruang. Kelebihan utama model adalah
dapat memberikan solusi secara komprehensif dan memberikan visual
yang lebih baik untuk hubungan beberapa parameter yang ada.
Kekurangan dari model biasanya terletak dari resolusi temporal dan
spasial. Kemampuan model mensimulasikan fenomena iklim dan cuaca
akan meningkat pada fenomena berskala spasial dan temporal yang
sesuai dengan kemampuan model.

Gambar 11.1. Contoh representasi grid T42 (kiri) dan T106 (kanan dari
model iklim atmosfer global. Panel di atas menggambarkan
perbedaan representasi grid sedangkan panel bawah
menggambarkan besarnya kesalahan terhadap data
observasi penakar pada resolusi T106 dari kedua
representasi model tersebut. Panel bawah menunjukkan
adanya pengurangan kesalahan dengan meningkatkan
resolusi model. Gambar diatas memakai hasil model iklim
global ECHAM4.

Pada perkembangan saat ini model telah dapat mengakomodir


rumusan teoritis untuk bekerja pada dimensi waktu dan ruang secara 3
220
BAB 11 - MODEL IKLIM

dimensi. Akibat kemajuan dunia komputasi, maka saat ini hampir tidak
ada masalah untuk menjalankan model berbagai parameter secara
komprehensif dan massive (dalam jumlah besar). Kemampuan terakhir
inilah yang dibutuhkan untuk dunia model iklim yang membutuhkan
perhitungan yang massive dan komprehensif. Saat ini hampir semua
komputer tercanggih di dunia dipakai untuk perhitungan pemodelan
iklim dan cuaca.

Gambar 11.2. Representasi model iklim atmosfer regional REMO yang


merupakan model keluaran Max Planck Institute for
Meteorology dengan resolusi spasial 0.5 derajat. Dengan
resolusi ini mulai terlihat adanya kesesuaian grid dengan
bentuk pulau-pulau besar.

Pemodelan iklim seringkali juga terbentur oleh ketersediaan data


pengamatan, sehingga model iklim lebih banyak bekerja dengan data
yang terinterpolasi. Saat ini data pengamatan harian dari seluruh penjuru
dunia dikumpulkan secara elektronis untuk kepentingan pemodelan

221
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

iklim. Saat ini ada dua pemakai utama dari data tersebut yaitu dari
European Centre for Medium Weather Forecast (ECMWF) yaitu
konsorsium Eropa untuk masalah cuaca dan iklim. Pemakai kedua
adalah dari NCEP/NCAR yaitu dari Amerika Serikat. Selain kedua
pemakai utama tersebut Jepang, Australia, dan Kanada juga
mengadakan pemodelan iklim mereka sendiri. Data data observasi
meteorologi pada umumnya bersifat terbuka dan boleh dipakai oleh
siapa saja untuk kepentingan khalayak umum.

11. 2. KOMPONEN MODEL IKLIM

Metoda numerik matematika merupakan engine matematis


utama dalam pemodelan 3 dimensi. Parameter fisika secara spasial akan
didekati oleh dua pendekatan yaitu metode elemen hingga (finite
element), finite difference dan metode spektral. Karena unsur atmosfer
bumi yang bersifat global dan kontiniu, metode spektral yang berbasis
pada penerapan fungsi-fungsi matematis spektral sinusoidal lebih
dipakai. Pada persepsi spektral, semua fungsi dapat direpresentasikan
dalam bentuk spektral frekuensinya sehingga dapat didekati dengan
pendekatan fungsi-fungsi sinusoidal. Untuk pendekatan temporal, kedua
metoda di atas juga dapat dipakai. Untuk kestabilan model diperlukan
bahwa resolusi temporal dibagi resolusi spasial jauh lebih kecil dari satu.

Perhitungan kekekalan energi dan momentum dan hukum


kontinuitas masa merupakan basis hukum dinamika alam. Diperlukan
perhitungan yang seimbang antara energi yang masuk dan keluar serta
kekekalan momentum. kekekalan momentum menjamin perhitungan
energi kinetis sedangkan hukum kontinuitas masa menjamin
perhitungan energi potensial. Sebagai sumber utama energi di atmosfer
yang pada akhirnya menjalankan angin adalah energi radiasi matahari

222
BAB 11 - MODEL IKLIM

dan bumi. Sumber utama dinamika laut adalah angin permukaan,


sehingga akhirnya seluruh dinamika atmosfer dikendalikan oleh
perhitungan energi radiasi matahari dan bumi yang tepat. Biasanya
dalam sebuah model iklim atmosfer, perhitungan energi ini memakai
hingga 30% dari sumber daya komputer yang ada.

Gambar 11.3. Salah satu penerapan grid sistem curvilinear untuk model
iklim laut global dimana memakai perhitungan detail pada
wilayah tertentu. Pada model grid ini kutub utara
dipindahkan ke wilayah Cina dan kutub selatan ke wilayah
Australia agar mendapatkan detail untuk benua maritim
Indonesia. Kedua kutub, karena dilingkari oleh zona kutub
dan menghindari singularitas, harus diletakkan di daratan,
sehingga posisi yang paling praktis adalah di kedua wilayah
tersebut.

223
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Perbedaan utama dari dinamika laut dan atmosfer adalah lama


adaptasi atau waktu memori diantara keduanya dimana atmosfer
memiliki ingatan yang cepat dan laut yang lama. Sifat ini diperlukan
untuk memulai suatu model iklim atmosfer dan laut. Sebuah model iklim
akan dimulai pada masa inisiasi tertentu dan dijalankan menurut kondisi
saat tertentu. Untuk atmosfer, peran dari masa lalu terhadap iklim saat ini
tidak terlalu besar sehingga diperlukan masa inisiasi yang pendek.
Sedangkan untuk lautan diperlukan masa inisiasi yang panjang.
Biasanya untuk keperluan model atmosfer hanya butuh jam-jaman,
sedangkan inisiasi model laut global membutuhkan hingga 30 tahun.
Daya ingat yang cepat dari atmosfer memiliki kerugian dalam hal
gangguan yang sangat lokal sekalipun untuk model iklim global.
Pengaruh sekecil apapun berpengaruh terhadap cuaca suatu saat.
Fenomena ini dikenal dengan nama butterfly effect. Prinsip serupa tidak
terjadi di laut karena resistensi masa laut akibat memori yang lama
menahan pengaruh lokal dalam waktu singkat untuk berperan besar.
Semua model iklim bekerja pada sistem grid tertentu. Banyak
terdapat grid sistem dan pemilihannya berdasarkan kebutuhan dan
berbagai kriteria lainnya. Pembagian grid yang paling sederhana dan
umum adalah kotak-kotak seperti papan catur. Akan tetapi pemilihan
sistem grid ini hanya baik untuk daerah tropis. Untuk daerah kutub,
misalnya, pemilihan tetap kotak-kotak papan catur yang
direpresentasikan dalam koordinat kartesius bujur dan lintang bumi.
Sehingga dalam perhitungan bujur dan lintang terlihat tidak kotak-kotak.
Selain itu daerah kutub juga bermasalah karena bersebrangan dengan
berbagai belahan bumi (barat dan timur) serta terkadang memotong garis
penanggalan. Diperlukan perhitungan tambahan untuk mengkoreksi
berbagai reinterpretasi tersebut. Cara grid terbaru memakai sistem
curvilinear grid, dengan cara ini sebuah model dapat memiliki kutub

224
BAB 11 - MODEL IKLIM

dimana saja diinginkan dan memiliki beberapa kutub sekaligus.


Keuntungan dengan sistem ini model dapat memiliki daerah yang lebih
detail pada wilayah tertentu tanpa mengabaikan aspek dinamika global.
Aspek perbedaan grid merupakan perhatian utama para pemodelan iklim
dimana mereka membutuhkan metoda agar antara model iklim dapat
berkomunikasi pada grid yang berbeda.

Gambar 11.4. Salah satu penerapan penggabungan model iklim laut


(MPI-OM) dan atmosfer (REMO) dengan memakai
perangkat lunak penggabung (OASIS) dan data atmosfer
yang sama (ERA/NCEP). Skema ini telah dipakai untuk
membuat model atmosfer laut yang dapat berinteraksi
diantara keduanya pada permukaan laut. Penggabungan
hanya terjadi diwilayah Indonesia sedangkan di luar
wilayah tersebut hanya model iklim laut global yang
bekerja.

225
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Dalam mengaplikasikan teori-teori fisika dan dinamika kedalam


model perlu dilakukan pendekatan dengan berbagai parameterisasi
seperti proses pembentukan awan yang merupakan media sentral
transfer energi dan masa udara serta proses turbulensi dan berbagai
gelombang. Pada model iklim laut juga proses turbulensi atau mixing
serta gelombang laut akibat angin adalah faktor penting untuk di
parameterisasi. Pada model laut yang berdiri sendiri, proses fluks uap air
dan energi antara atmosfer dan laut juga memegang peranan penting
sehingga perlu diparameterisasi dengan benar karena akan
mempengaruhi nilai SST dan besarnya mixing di lapisan permukaan.

Data untuk model iklim tergantung pada modus peruntukan


modelnya. Ada dua modus pengoperasian model yaitu modus iklim dan
modus forecasting atau peramalan. Modus iklim mengacu pada
pengkajian cuaca atau iklim yang sudah berlalu, sedangkan modus
ramalan untuk cuaca mendatang. Model iklim regional dapat dipakai
untuk kedua modus tersebut, karena fungsi dari model iklim regional
adalah sebagai alat kaca pembesar kondisi iklim global. Hasil dari model
iklim global biasanya diberikan sebagai input untuk model iklim
regional dimana dinamika proses yang terjadi kembali dihitung dalam
skala regional. Sedangkan untuk model global dapat juga dipakai untuk
modus iklim tetapi untuk modus forecast memiliki keterbatasan. Untuk
modus forecast dibutuhkan kedua model iklim laut dan atmosfer yang
dijalankan sekaligus dimana terjadi feedback antara keduanya. Masing-
masing model tersebut tidak dapat jalan sendiri-sendiri untuk modus
ramalan karena masing-masing saling membutuhkan untuk data di
permukaan laut. Untuk modus ramalan hanya membutuhkan data awal
atau inisial dan model akan berjalan dengan sendirinya setelah itu. Untuk
data awal biasanya dipakai data kondisi terakhir saat ini. Untuk model

226
BAB 11 - MODEL IKLIM

non ramalan dan non global, data dipenuhi dengan kebutuhan di daerah
batas. Untuk model atmosfer global biasanya membutuhkan data SST,
sedangkan untuk model laut global membutuhkan data atmosfer di
permukaan laut. Sedangkan untuk model iklim regional baik model laut
maupun atmosfer membutuhkan juga data di daerah batas domain di laut
atau di atmosfer pada masing-masing lapisan. Untuk keperluan
pemodelan atmosfer data tersebut biasanya didapat dari hasil reanalisis
cuaca terdahulu. Selain data tersebut yang bersifat dinamis, diperlukan
juga data statis permukaan seperti data orografi dan tutupan lahan. Data
tutupan lahan berisi data jenis vegetasi yang mana darinya akan diambil
informasi albedo, leaf area index, rasio tutupan hutan dan kekasaran
permukaan.

11. 3. MODEL IKLIM ATMOSFER

Dari berbagai model iklim yang tersedia sekarang ini, model


iklim atmosfer adalah yang paling tua dan dipakai sejak manusia
memakai komputer untuk komputasi numerik sejak penemuan oleh von
Neumann di Princeton. Pekerjaan pioner untuk pemodelan iklim global
dilakukan oleh Smagorinsky pada tahun 1965. sebelumnya beberapa
perhitungan komputasi cuaca juga dilakukan oleh Edward N Lorentz
pada awal dekade 1960-an. Pemodelan iklim atmosfer, berkembang dari
perhitungan sederhanan perubahan dan prediksi tekanan permukaan,
aliran masa udara hingga proses konvektif di awan. Dalam
perkembangannya terdapat beberapa varian pemodelan iklim atmosfer
diantaranya model iklim global, model iklim regional atau limited area
model, model perawanan dan model lokal skala resolusi tinggi untuk
proses di permukaan tanah dan lapis batas atmosfer. Dari jenis dinamika

227
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

perlapisan model atmosfer dan demikian juga model laut dibedakan


dengan model hidrostatik dan model non hidrostatik. Model hidrostatik
mengacu pada perubahan minimal antar lapisan sehingga diasumsikan
tidak terjadi proses perpindahan masa secara vertikal dan aliran masa
udara bersifat laminar mengikuti orografi bumi. Konsep hidrostatis ini
bersifat sangat idealis dan membantu perhitungan untuk tidak terlalu
rumit, tetapi kekurangan utama adalah konsep ini menafikan bentuk
orografi bumi yang curam. Dengan konsep non hidrostatis, model dapat
bekerja dengan orografi yang curam dan biasanya bagus dipakai untuk
model resolusi tinggi yang sangat memperhatikan aspek lokal. Model
iklim global dan regional biasanya bersifat hidrostatis, sedangkan model
yang sangat lokal bersifat non hidrostatis, contohnya adalah model
proses permukaan untuk model iklim bagi pertanian dan perkotaan.

Resolusi kerja model iklim global hingga lokal bervariasi dan


biasanya ditentukan oleh nilai spektralnya. Nilai spektral adalah berapa
banyak gelombang spektral dalam satuan radius bumi yang
direpresentasikannya. Contohnya model resolusi T42 bekerja dengan
nilai spektral 42 yaitu bisa menyelesaikan 42 gelombang melingkari
bumi atau dengan resolusi sekitar 3.875 derajat atau 400 km persegi di
daerah ekuator. Pada perhitungan awal dipakai model resolusi T21,
tetapi saat ini sudah banyak model iklim global bekerja pada resolusi
T106, T256 dan resolusi yang lebih tinggi lagi. Contoh pada resolusi
T106 bekerja pada resolusi 110 km persegi di daerah ekuator. Pada
model regional dan lokal, bisa bekerja pada 0.5, 1/6 derajat atau hingga 1
km persegi.

Perkembangan model iklim atmosfer saat ini telah jauh untuk


mengakomodir perkembangan ilmu pengetahuan sehingga dalam model

228
BAB 11 - MODEL IKLIM

atmosfer dilengkapi dengan modul proses kimia untuk masalah polusi,


pemanasan global, ekonomi, dan kesehatan. Pemanfaatan model iklim
juga telah diperluas dari sekedar untuk melakukan prediksi cuaca dan
iklim ke depan dan ke belakang, juga untuk pengkajian skenario
perubahan iklim global, peristiwa ledakan nuklir, penyebaran polutan,
dan skenario geografis seperti perubahan lahan akibat aforestasi dan
deforestasi.

11. 4. MODEL IKLIM LAUT

Sebagai basik utama model iklim laut adalah proses dinamika


laut dimana persamaan gerak adalah fokus utamanya. Sama seperti
model atmosfer, model laut juga dapat dibagi sebagai model hidrostatik
dan non hidrostatik dengan pemakaian yang serupa. Pada model dengan
tingkat detail yang tinggi dan skala lokal maka model non hidrostatik
lebih dibutuhkan. Sedangkan untuk skala global model hidrostatik lebih
disukai. Permasalahan konveksi daerah turbulensi batas seperti di
atmosfer juga dikenal di model laut. Persamaan fisis dari lapisan mixing
tempat utama turbulensi dan konveksi sangat kompleks sehingga banyak
pendekatan yang telah diupayakan. Proses konveksi lebih berhubungan
dengan perpindahan masa dan energi secara vertikal, sedangkan proses
serupa dalam skala horizontal dikenal dengan proses adveksi. Parameter
input utama bagi daerah lapisan atas adalah fluks air dan energi dari
atmosfer serta aliran air dari daratan. Perbedaan utama model laut dan
atmosfer adalah skala waktu gerak yang lebih cepat untuk atmosfer.
Parameter utama dalam dinamika laut adalah profil salinitas dan
temperatur. Sehingga proses dinamika laut sering disebut sebagai
thermohaline circulation. Sedangkan parameter utama untuk muka laut
adalah suhu dan tinggi muka laut.

229
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Sama halnya dengan atmosfer, laut juga memiliki daerah batas.


Perbedaan utamanya adalah batas laut yang terdiri dari batas atas (muka
laut), batas daerah domain dan batas dasar laut. Yang terakhir adalah
perbedaan utama antara laut dan atmosfer dimana atmosfer sering
dianggap tidak memiliki batas atas. Batas bawah laut sangat penting
untuk mengetahui arah aliran masa air laut sehingga berperan penting
pada proses konveksi dan adveksi yang akhirnya mempengaruhi profil
salinitas dan temperatur. Batas lapis dasar laut juga penting bagi proses
sedimentasi daerah pesisir. Karena daerah batas dasar laut sudah bersifat
statis dengan data topologi laut, maka input utama model laut ada di
permukaan laut. Untuk model laut regional membutuhkan juga
parameter di daerah batas domain. Untuk hal ini biasanya model laut
mendapatkan data daerah domain dari rata-rata klimatologi lautan. Data
klimatologi didapat dari data rata-rata iklim 30 tahunan dan data yang
sering dipakai saat ini adalah koleksi Levitus. Untuk atmosfer data
daerah batas domain didapat dari data observasi harian terutama data
satelit, sedangkan di bawah laut, data serupa tidak ada sehingga hal ini
adalah salah satu masalah utama untuk model laut. Model laut global
mendapatkan informasi permukaan dari reanalisis atmosfer permukaan
atau dari keluaran model atmosfer global. Parameter laut permukaan
yang dibutuhkan oleh model laut adalah tekanan permukaan, suhu
permukaan yang biasa diwakili oleh suhu 2 m, angin permukaan, stress
angin permukaan, tutupan awan, radiasi matahari di permukaan, dan
curah hujan permukaan.

Aplikasi model laut sering dipergunakan untuk kajian aliran


massa air laut untuk kepentingan fisika laut dan perikanan. Model laut
regional sering dipakai untuk pengkajian daerah pesisir untuk masalah
sedimentasi dan polutan. Model iklim laut adalah komponen utama
untuk melakukan prediksi iklim bulanan dan tiga bulanan karena sifat

230
BAB 11 - MODEL IKLIM

Gambar 11.5. Sistem arus laut permukaan akibat angin monsun di


Indonesia bagian barat dari hasil keluaran model iklim laut
global.

231
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

lautan yang lama bereaksi dalam dinamikanya. Pemakaian kedepan dari


model laut adalah pengembangan untuk masalah biogeokimia laut
seperti proses pelarut gas-gas rumah kaca dan model biologi laut untuk
perikanan serta hubungan proses biologi dan fisika laut. Sebagai contoh
telah diketahui hubungan keberadaan zat besi di muka laut terhadap
populasi zooplanton dan pada akhirnya mendinginkan lapisan atmosfer
permukaan yang menghambat proses pemanasan global. Keberadaan
proses biologi juga dicurigai sebagai pemicu gejala El Niño dan La Niña.

11. 5. MODEL IKLIM LAINNYA

Beberapa varian lain dari model iklim yang juga dipakai adalah
model es laut, model hidrologi permukaan, model proses permukaan
tanah, model transport kimia laut dan atmosfer, model biogeokimia dan
model iklim sosioekonomi. Masing-masing model juga terdapat dalam
skala regional dan global. Kecendrungan model selalu mengarah ke
perhitungan global dalam tujuan untuk membuat suatu model sistem
iklim dunia. Sehingga pendekatan untuk menggabungkan beberapa
model merupakan suatu trend pemakaian model iklim tersendiri.
Penggabungan dua buah model iklim tidak selalu mulus karena banyak
faktor terkait. Sebagai contoh antara model iklim laut dan atmosfer dapat
terjadi proses redam yang mengalir ke kedua model tersebut. Hal ini
karena proses tarik-menarik dua gelombang yang berbeda fase dan
frekuensinya. Proses redam tersebut dapat berarti positif karena pada
model iklim yang lepas satu sama lain, biasanya tidak ada kontrol
dinamis di daerah lapis batas model sehingga seringkali hasil keluaran
model bersifat terlalu ektrem seperti curah hujan yang terlalu tinggi.

Semakin tingginya kompleksitas model iklim sebenarnya


memberikan bahaya tersendiri pada interpretasi hasil karena

232
BAB 11 - MODEL IKLIM

kompleksitas berarti semakin banyak faktor turunan kesalahan dari


asumsi teori yang dipakai. Pemakaian model-model yang kompleks
lebih kepada penggunaan sebagai modeling an sich yaitu pemakaian
model sebagai alat untuk mengerti proses komprehensif di belakang dari
parameter yang diinginkan. Diperlukan proses panjang agar dapat
diambil umpan balik dari proses tersebut untuk memperbaiki model
yang dipakai. Sehingga lebih sering hasil model hanya dipakai untuk
verifikasi data lapangan daripada dipakai untuk prediksi proses-proses
kompleks. Pemakaian model untuk prediksi lebih banyak untuk model
atmosfer. Pemakaian model untuk, lebih banyak, verifikasi ini sering
dipakai sebagai media kontrol untuk eksperimen berbagai skenario
ilmiah. Pemakaian model untuk jenis ini jelas berbahaya karena hasil
yang didapat sering mengabaikan proses kompleks yang terjadi di alam
dan seringkali menyederhanakannya dengan melihat perbedaan antara
hasil model kontrol dan model skenario belaka. Apalagi apabila kita
melihat aspek turunan asumsi kesalahan teori. Walau demikian model
adalah satu satunya alat eksperimen yang paling murah dan aman bagi
lingkungan dan mudah dilakukan.

Proyek perpaduan berbagai model iklim adalah upaya besar yang


saat ini dilakukan untuk memahami lebih komprehensif berbagai isu
iklim dan lingkungan global. Masalah terbesar adalah resolusi model
dan sistim parameterisasi proses. Saat ini sebuah komputer tercanggih di
dunia telah dipasang di Earth Simulator project di Yokohama Jepang
untuk melakukan penelitian tersebut. Diharapkan dapat dilakukan
simulasi iklim dunia pada resolusi 1 hingga 3 km dengan model global.
Model ini diharapkan dapat memberikan proses konvektif laut atmosfer
yang sesuai dengan realitas di alam meskipun hanyalah pendekatan.

233
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

11. 6. PROSPEK DAN MASA DEPAN MODEL IKLIM UNTUK


INDONESIA

Pemakaian model iklim atmosfer dan laut untuk Indonesia relatif


masih baru. Keterbatasaan sumber daya manusia dan komputer untuk
masalah ini merupakan hambatan tersendiri. Untuk kebutuhan wilayah
yang sedemikian luas, Indonesia membutuhkan pengamatan iklim
terpadu yang cukup mencakup seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut
membutuhkan biaya yang sangat besar. Data hujan sendiri yang
merupakan model utama verifikasi berbagai model iklim tidak tersusun
rapi dan memadai. Kebutuhan komputer mungkin dapat diatasi dengan
teknologi murah seperti linux cluster, tetapi untuk data membutuhkan
kerjasama internasional yang handal untuk kelangsungan model
tersebut. Kompleksitas masalah lingkungan dan iklim di Indonesia
dewasa ini mendorong kita cepat atau lambat untuk mengadopsi
pemakaian model iklim. Saat ini tersedia banyak model iklim di internet
yang dapat diakses secara gratis dan dipakai sebagai model iklim
komunitas.

Pertanyaan:

1. Sebutkan beberapa keuntungan dan kerugian dari pemakaian teori,


hasil pengamatan dan model!

2. Apa hubungan dari pemakaian model iklim hidrostatis dan non


hidrostatis terhadap topologi dan orografi bumi?

3. Uraikan beberapa komponen utama model iklim!

4. Mengapa cuaca tidak dapat diramalkan dengan tepat?

234
BAB 11 - MODEL IKLIM

5. Sebutkan 2 metode numerik untuk penyelesaian persamaan pada


model iklim dan apa keuntungan masing masing?

6. Sebutkan beberapa modus pemakaian model iklim dan kebutuhan


apa yang membedakan modus tersebut?

235
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

REFERENSI

Aldrian, E. 2003, Simulation of Indonesian Rainfall with hierarchy of climate


model, Dissertasi Max Planck Institute for Meteorology - Universitas
Hamburg Jerman.
Aldrian, E., R. D. Susanto, 2003, Identification of three dominant rainfall regions
within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, Intl.
J. Climatol., 23, 1435-1452.
Aldrian, E., L. D. Gates, D. Jacob, R. Podzun, D. Gunawan, 2004, Long term
simulation of the Indonesian rainfall with the MPI Regional Model,
Climate Dynamics, 22, 8, 794-814.
Aldrian, E., D. Sein, D. Jacob, L. Dümenil-Gates, R. Podzun, 2005, Modelling
Indonesian Rainfall with a Coupled Regional Model, Climate
Dynamics, 25, 1-17.
Aldrian, E., Asril, 2005, Influences of Indian Ocean Dipole and ENSO on
variability of summer inflow of several dams and lakes in Indonesia.
Alami- diterbitkan oleh BPPT, 10, 19-26.
Aldrian, E. and G S A Utama, 2007, Identifikasi dan karakteristik seruak dingin
(Cold Surge) tahun 1995-2003. J. Sains Dirgantara- diterbitkan oleh
LAPAN, 4, No 2, 107-127.
Aldrian, E:, L. D. Gates, F. H. Widodo, 2007, Seasonal Variability of Indonesian
Rainfall in ECHAM4 Simulations and in the Reanalyses: Roles of
ENSO, Theoretical and Applied Climatology, 87, 41-59.
Aldrian, E., Y. S. Djamil, 2008, Spatio-temporal climatic change of rainfall in
East Java Indonesia, International Journal of Climatology, 28, Issue 4,
435 - 448.
Aldrian, E., 2008, Peat carbon, fire and climate interactions, Jurnal Teknologi
Lingkungan- diterbitkan oleh BPPT, submitted.
Amien I., Redjekiningrum, P., Kartiwa, B dan Estiningtyas, W. 1999, Simulated
rice yields as affected by interannual climate variability and possible
climate change in Java. Climate Research 12: 145-152.
Araki, R., M.D. Yamanaka, F. Murata, H. Hashiguchi, Y. Oku, T. Sribimawati, M.
Kudsy, and F. Renggono, 2006, Seasonal and interannual variations of
diurnal cycles of wind and cloud activity observed at Serpong, West
Jawa, Indonesia, J. Meteor. Soc. Japan, 84A, 171-194.

237
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). 2001. Report on Indonesia Fish
Stock Assessment, National Fish Stock Assessment Commission,
Indonesia.
Bemmelen, W van, 1922, Land und seebrise in Batavia, Beitr. Phys. Frei
Atmos., 10, 169-177.
Bradley, E. F., P. A. Coppin, and J. S. Godfrey, 1991, Measurements of sensible
and latent heat flux in the western equatorial Pacific Ocean, J.
Geophys. Res., 96, 3375-3389.
Brown, B.E. and Suharsono, 1990, Damage and recovery of coral reefs
affected by El Niño-related seawater warming in the Thousand Islands,
Indonesia. Coral Reefs, 8, 163-170.
Brown, B.E., R.P. Dunne, M.S. Goodson, and A.E. Douglas, 2000, Bleaching
patterns in reef corals. Nature, 404, 142-143.
Bryan K. 1969, A numerical method for the study of the world ocean. Journal of
Computational Physics 4: 347-376.
Charnock, H. 1951, Energy transfer between the atmosphere and the ocean.
Sci. Prog, Oxf 39, 80-95.
Chen, S.A., and W.M. Frank 1993, "A numerical study of the genesis of
extratropical convective mesovortices. Part I: Evolution and dynamics"
J. Atmos. Sci., 50, pp.2401-2426.
Davidson, K. L., P. J. Boyle, and P. S. Guest, 1992, Atmospheric boundary-layer
properties affecting wind forecasting in coastal regions, J. Appl.
Meteorol., 31, 983-994
D'Arrigo D., R. Wilson, 2008, El Niño and Indian Ocean influences on
Indonesian drought: implications for forecasting rainfall and crop
productivity, International Journal of Climatology, 28 (5),.611-616.
Draper D. W., and D. G. Long, 2002, An assessment of SeaWinds on
QuikSCAT wind retrieval, J. Geophys. Res., 107 (C12), 3212.
Ekman V.W. 1905, On the influence of the Earth's rotation on ocean currents.
Arkiv for Matematik, Astronomi, och Fysik: 2 (11).
Emanuel, K.A. 1993, "The physics of tropical cyclogenesis over the Eastern
Pacific. Tropical Cyclone Disasters J. Lighthill, Z. Zhemin, G. J.
Holland, K. Emanuel (Eds.), Peking University Press, Beijing, 136-142

238
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Erickson, D. J., 1993, A stability dependent theory for air-sea gas


exchange, J. Geophys. Res., 98, 8471-8488. Ffield, A., K. Vranes, A. L.
Gordon, R. D. Susanto, 1999, Temperature variability within Makassar
Strait, Geophys. Res. Lett., 27, 237-240.
Friehe, C. A., W. J. Shaw, D.P. Rogers, K. L. Davidson, W. G. Large, S. A. Stage,
G. H. Crescenti, S. J. S. Khalsa, G. K. Greenhut, and F. Li, 1991, Air-sea
fluxes and surface layer temperatures around a sea-surface
temperature front, J. Geophys. Res., 96, 8593-8609
Geernaert, G. L., 1990, Bulk parameterizations for the wind stress and heat
fluxes, in Surface Waves and Fluxes, Volume 1---Current Theory,
edited by G. L. Geernaert, and W. J. Plant, pp. 91-172, Kluwer
Academic Publishers. Gordon, A.L., R. D. Susanto, A. Ffield, 1999,
Throughflow within Makassar Strait, Geophys. Res. Lett., 26, 3325-
3328.
Gordon, A. L.; Susanto, R. D., 2001, Banda Sea surface-layer divergence,
Ocean Dynamics, 52,. 2-10.
Gordon, A.L., R. D. Susanto, 2001, Banda sea surface layer divergence.,
Ocean Dyn., 52, 2-10.
Gordon, A.L., R. D. Susanto, K. Vranes, 2003, Cool Indonesian throughflow as
a consequence of restricted surface layer flow., Nature, 425, 824-828.
Gordon, A.L., 2005, The Oceanography of the Indonesian seas and their
throughflow, Oceanography, 18, 14-27.
Gray, W.M. 1968, "A global view of the origin of tropical disturbances and
storms" Mon. Wea. Rev., 96, pp.669-700.
Gray, W.M. 1979, "Hurricanes: Their formation, structure and likely role in the
tropical circulation" Meteorology Over Tropical Oceans. D. B. Shaw
(Ed.), Roy. Meteor. Soc., James Glaisher House, Grenville Place,
Bracknell, Berkshire, RG12 1BX, pp.155-218.
Hadi, T. W., T. Horinouchi, T. Tsuda, H. Hashiguchi, S: Fukao, 2002, Sea-breeze
circulation over Jakarta, Indonesia: A climatology based on boundary
layer radar observations, Month. Wea. Rev., 130, 2153-2166.
Hadi, T. W., T. Tsuda, H. Hashiguchi, and S. Fukao, 2000, Tropical sea-breeze
circulation and related atmospheric phenomena observed with L-band
boundary layer radar in Indonesia, J. Meteor. Soc. Japan, 78, 123-140.

239
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Hamada, J. I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso, T.


Sribimawati, 2002, Spatial and temporal variations of the rainy season
over Indonesia and their link to ENSO., J of Meteorol. Soc. Japan, 80,
285-310.
Hashiguchi, H., M. D. Yamanaka, T. Tsuda, M. Yamamoto, T. Nakamura, T.
Adachi, S. Fukao, T. Sato, and D. L. Tobing, 1995, Diurnal variations of
the planetary boundary layer observed with an L-band clear-air Doppler
radar, Bound.-Layer Meteor., 74, 419-424.
Hendiarti N., Suwarso, E. Aldrian, R. A Ambarini, S. I. Sachoemar, I. B.
Wahyono, K. Amri, 2005, Seasonal Variation of Coastal Processes and
Pelagic Fish Catch around the Java, Oceanography, 18, No 4, 112-123.
Hendon, H. H., 2003, Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO and local
air sea interaction, J. Clim., 16, 1775-1790.
Hoegh-Guldberg, O. 1999, Coral bleaching, Climate Change and the future of
the world's Coral Reefs. Review, Marine and Freshwater Research,
50:839-866.
Holland, G.J. 1993, "Ready Reckoner" - Chapter 9, Global Guide to Tropical
Cyclone Forecasting, WMO/TC-No. 560, Report No. TCP-31, World
Meteorological Organization; Geneva, Switzerland.
Houze, R.A., Geotis, S.G., Marks, F. D., West, A. K., 1981, Winter Monsoon
Convection in the vicinity of North Borneo. Part I: Structure and Time
Variation of the Clouds and Precipitation, Monthly Weather Review,
109, 1595-1614.
Ichikawa H, Yasunari T. 2006, Time-space characteristics of diurnal rainfall over
Borneo and surrounding oceans as observed by TRMM-PR. J Clim. 19,
1238-1260.
IPCC, 2007, Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution
of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M.
Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller
(eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and
New York, NY, USA. Jackson, F. C., 1991, Directional spectra from
radar ocean wave spectrometer during LEWEX, in Direction Ocean
Wave Spectra, edited by R. C. Beal, pp. 91-97, The Johns Hopkins
University Press. Katsaros, K. B., W. M. Drennan, and M. A. Donelan,

240
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

1994, Flux gradient measurements from a catamaran buoy in


SEMAPHORE, in Preprints of the Second International Conference on
Air-Sea Interaction and on Meteorology and Oceanography of the
Coastal Zone, pp. 306-307, American Meteorological Society, Boston,
Mass.
Khromov, S. P., 1957, Die geographische Verbreitung der Monsune.
Petermanns Geographische Mitteilung. 101, 234-237.
Kusumayanti Y., 2008, Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau
Jawa, Skripsi sarjana Departemen Agrometeorologi Institut Pertanian
Bogor.
Le Méhauté, B., and T. Khangaonkar, 1990, Dynamic interaction of intense rain
with water waves, J. Phys. Oceanogr., 20, 1805-1812. Lehodey, P.,
Bertignac, M., Hampton, J., Lewis, A., Picaut J., 1997, El Niño Southern
Oscillation and tuna in the western Pacific, Nature, 389, 716-718.
Liu, W. T., 1986, Statistical relation between monthly precipitable water and
surface-level humidity over global oceans, Mon. Wea. Rev., 114, 1591-
1602.
Liu, W. T., K. Katsaros, J. A. Businger, 1979, Bulk parameterization of air-sea
exchanges of heat and water vapor including the molecular constraints
at the surface, J. Atmos. Sci., 36, 1722-1735.
Luong, N., 1997, Java Sea pelagic fishery assessment project
(ALA/INS/87/17), Scientific and technical document No. 30, Research
Institute for marine fisheries, Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Madden, R. A., and P. R. Julian, 1994, Observations of the 40-50-day
oscillation-A review. Mon. Wea. Rev., 122, 813-837.
Miller, M. J., A. C. M. Beljaars and T. N. Palmer, 1992, The sensitivity of the
ECMWF model parameterization of evaporation from the tropical
oceans, J. Climate, 5, 418-434. Mori, S., J. Hamada, Y.I. Tauhid, M.D.
Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai, H. Hashiguchi, and T.
Sribimawati, 2004, Diurnal land-sea rainfall peak migration over
Sumatera Island, Indonesia maritime continent observed by TRMM
satellite and intensive rawinsonde soundings, Mon. Weather Rev., 132,
2021-2039.
Munk W.H. 1950, On the wind-driven ocean circulation. Journal of Meteorology
7 (2): 79-93. Munk W.H., and E. Palmen. 1951. A note on the dynamics

241
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

of the Antarctic Circumpolar Current. Tellus 3: 5355.


Mustika A., 2008, Karakteristik Siklon Tropis sekitar Indonesia, Skripsi sarjan
Departemen Agrometeorologi Insitut Pertanian Bogor.
Nitta T, Sekine S. 1994, Diurnal variation of convective activity over the tropical
western Pacific. J Meteor Soc Japan 72, 627-641.
Oktivia R., 2008, studi interaksi laut-atmosfir Terhadap curah hujan
Menggunakan skenario model kopel, Thesis Magister Departemen
Geofisika dan Meteorologi Insitut Teknologi Bandung.
Philander S.G.H. 1983, El Niño southern oscillation phenomena. Nature, 302,
295-301.
Philander, S. G. H., 1990, El Niño, La Niña and the Southern Oscillation.
Academic Press, San Diego, 293 pp.
Potier, M. et L. Marec. 1989, Note sur l'utilisation des messages ship en mer de
Java. Veille Climat. Satel., 28, 42-46.
Ramage, C.S., 1971, Monsoon Meteorology, Academic Press, New York and
London, 296pp.
Sadhotomo, B. and M. Potier. 1995, The exploratory scheme for the recruitment
and migration of the main pelagic species of the Java Sea. In: M. Potier
and S. Nurhakim (Eds.), BIODYNEX, Biology, Dynamics, Exploitation
of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea. AARD/ORSTOM, 155-168.
Saji, N.H., Goswami, B.N., Vinayachandran, P.N., Yamagata, T., 1999, A dipole
mode in the tropical Indian Ocean, Nature, 401, 360-363.
Sakurai, N., F. Murata, M. D. Yamanaka, S. Mori, J. Hamada, H. Hashiguchi, Y.I.
Tauhid, T. Sribimawati, and B. Suhardi, 2005, Diurnal cycle of cloud
system migration over Sumatera Island, J. Meteor. Soc. Japan, 83,
835-850.
Schmitt, R.W., 2008, Salinity and the global water cycle, Oceanography, 21, 12-
19.
Semtner A.J. & R.M. Chervin 1988, A simulation of the global ocean circulation
with resolved eddies. Journal of Geophysical Research 93: 15: 502-
15,522 & 15,767-15,775.
Semtner A.J. & R.M. Chervin 1992, Ocean general circulation from a global
eddy-resolving model. Journal of Geophysical Research 97: 5,493-

242
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

5,550.Stommel H. 1948. The westward intensification of wind-driven


ocean currents. Transactions American Geophysical Union 29 (2): 202-
206.
Smith, S. D., R. J. Anderson, W. A. Oost, C. Kraan, N. Maat, J. DeCosmo, K. B.
Katsaros, K. L. Davidson, K. Bumke, L. Hasse, and H. M. Chadwick,
1992, Sea surface wind stress and drag coefficients: The HEXOS
results, Bound.-Layer Meteorol., 60, 109-142. Susanto, R.D., Gordon,
A.L., Zheng, Q., 2001, Upwelling along the coasts of Java and Sumatra
and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters, 28, 1599-
1602.
Tilley, D. G., 1991, SAR scattering mechanisms as inferred from LEWEX
spectral Intercomparisons, in Direction Ocean Wave Spectra, edited
by R. C. Beal, pp. 110-116, The Johns Hopkins University Press.
Trenberth, K.E., Solomon, A., 1994, The global heat balance: heat
transports in the atmosphere and ocean, Climate Dynamics, 10, 107-
134.
Velasco, I., and J.M. Fritsch 1987, "Mesoscale convective complexes in the
Americas" J. Geophys. Res., 92, pp.9561-9613.
Walsh, E. J., 1991, Surface contour radar directional wave spectra
measurements during LEWEX, in Direction Ocean Wave Spectra,
edited by R. C. Beal, pp. 86-90, The Johns Hopkins University Press.
Walsh, E., D. Hagan, D. Rogers, D. Vandermark, R. Swift, and J. Scott,
1994, Scanning radar altimeter measurements of sea surface mean
square slope during TOGA COARE and its relationship to SST and
internal waves, paper presented at International Geoscience and
Remote Sensing /ISEE Symposium, Caltech, Pasadena, California,
August.
Wang, B., R. Wu, K.-M. Lau, 2001, Interannual variability of Asian summer
monsoon: Contrast between the Indian and western North Pacific-East
Asian monsoons. Journal of Climate, 14, 4073-4090.
Ware, J. R., Smith, S. V., Reaka-Kudla, M. L. 1992, Coral reefs: sources or sinks
of atmospheric CO,? Coral Reefs 11: 127-130.
Wyrtki, K., 1961, Physical Oceanography of the Southeast Asian waters, in
Scientific results of Maritime investigations of the South China Sea and
Gulf of Thailand 1959-1961., Naga Report 2, Univ. of California -
Scripps Inst. of Oceanography, 195 pp.

243
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Yu, L., and R.A. Weller, 2007, Objectively analyzed air-sea heat fluxes for the
global ice-free oceans (1981-2005). Bulletin of the American
Meteorological Society 88:527-539.
Zehr, R.M. 1992, "Tropical cyclogenesis in the western North Pacific. NOAA
Technical Report NESDIS 61, U. S. Department of Commerce,
Washington, DC 20233, 181 pp.

244
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

INDEKS
adveksi, 11, 15, 17, 32, 33, 34, 35, 54, El Niño, 39, 40, 54, 57, 59, 60, 62, 63, 86,
155, 235 90, 98, 101, 102, 103, 104, 105,
aerosol, 1, 125, 135, 144, 145, 146, 152, 109, 110, 111, 114, 117, 130, 132,
193, 207, 208 137, 140, 155, 156, 164, 168, 169,
170, 172, 184, 206, 209, 211, 213,
Afrika, 56, 91, 96, 106, 173
214, 215, 217, 218, 220, 221, 238,
angin darat, 28, 54, 65, 82, 145, 146, 243, 245, 246
147, 149, 152, 200, 203, 223
energi latent, 73
angin laut, 81, 119, 121, 125, 126, 127,
ENSO, 1, 40, 44, 57, 60, 62, 66, 101,
145, 146, 147, 148, 149, 152, 203,
103, 104, 105, 110, 112, 113, 114,
204, 223
115, 116, 117, 169, 214, 216, 242,
Angin laut, 81 244, 245, 247
anthropogenic, 82 equinok, 21, 99
arlindo, 37, 39, 42, 52, 54, 58, 59, 61, Eropa, 77, 90, 154, 226
164, 175, 200
eutrophication, 133, 142, 156
Asia, 55, 56, 159
evaporasi, 15, 19, 32, 41, 43, 44, 68, 94,
Australia, 55, 56, 66, 93, 159, 174, 211, 102, 134, 136, 159, 223
226, 229
fitoplankton, 143, 164, 166, 167, 174
bakau, 118, 129, 215
fosfat, 85
biota, 85, 156, 157, 202, 209, 210
Fosfat, 143, 156
blooming, 133, 156
fotosintesa, 85, 130, 208, 210
BMG, 48
freon, 197
Bulk parameterization, 72, 246
gas gas rumah kaca, 12, 83, 195, 208,
cold surge, 43, 63, 64, 65, 109 216, 222, 238
conveyor belt, 2, 38, 90, 117 gelombang gravitasi, 37
Conveyor Belt, 37, 76 geostationer, 129, 148, 149, 190, 191,
Dipole Mode, 2, 108, 222 192
downwelling, 18, 27, 75, 78, 108, 123, geostropis, 38, 39, 42, 59
137, 138, 139, 140, 141, 152, 155, glasier, 197, 201, 206
200
gravitasi, 24, 36, 75, 123, 150
Easterly waves, 91
gunung berapi, 85, 133, 208
ekman, 27, 75, 81, 137, 138
gurun pasir, 85, 193
Ekman, 25, 26, 27, 28, 41, 123, 139, 141,
Hadley, 32, 90, 96, 99, 117, 145
174, 243
hidrostatis, 233, 241
ekuator, 26, 33, 38, 57, 97, 99, 100, 123,
139, 140, 178, 184, 190, 200, 218 Ikan pelagis, 161, 165, 166

245
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Ikan Tuna, 167 220, 221, 238, 246


indeks kekeringan Palmer, 115 laut Cina Selatan, 183
inderaja, 14, 19, 71, 72, 75, 77, 85, 129, laut Jawa, 161, 162, 164, 165, 166, 167
138, 139, 162, 167, 188, 189, 191, Laut Jawa, 168
192, 193
Levitus, 235
India, 42, 56, 97, 117, 185
Lombok, 39, 108
Indian Ocean Dipole, 105, 115, 242
Madden Julian Oscillation, 66, 91
ITCZ, 54, 55, 56, 64, 66, 92, 100
Maluku, 35, 36, 39, 50, 52, 87, 88, 89, 96
Jakarta, 64, 135, 147, 222, 244
matahari, 1, 5, 8, 10, 11, 13, 14, 17, 18,
Jawa, 3, 28, 60, 64, 106, 107, 108, 115, 19, 20, 21, 22, 34, 38, 48, 49, 54,
123, 137, 138, 139, 141, 148, 149, 57, 65, 66, 69, 71, 72, 73, 82, 83,
160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 85, 99, 130, 133, 134, 136, 156,
167, 168, 174, 175, 192, 220, 222, 159, 176, 188, 189, 191, 195, 208,
242, 245 210, 216, 222, 227, 236
kabut, 23, 79 mixing layer, 68, 77
karbon, 37, 84, 131, 133, 174, 195, 200, model iklim, 8, 61, 87, 104, 225, 226,
208, 210 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233,
Karbon, 156 234, 238, 239, 240, 241
kebakaran hutan, 40, 61, 64, 90, 103, monsun, 28, 40, 48, 49, 50, 56, 57, 60,
109, 110, 114, 117, 133, 175, 193, 62, 96, 159, 162, 164, 165, 166,
202, 217, 222 168
Kelvin, 39, 54 Monsun, 66
khatulistiwa, 5, 11, 13, 14, 16, 17, 21, 26, musim hujan, 33, 43, 44, 47, 48, 50, 52,
29, 32, 72, 96 57, 63, 66, 92, 104, 116, 135, 159,
kondensasi, 21, 22, 32, 34, 125, 199 165, 184, 187, 220, 222
konveksi, 5, 17, 18, 20, 29, 33, 34, 36, 43, musim kemarau, 34, 45, 48, 49, 57, 62,
45, 49, 54, 55, 58, 65, 68, 74, 80, 63, 66, 92, 104, 107, 108, 110, 116,
83, 92, 96, 106, 107, 119, 134, 136, 151, 159, 160, 166, 167, 168, 172,
141, 149, 152, 159, 177, 178, 179, 174, 184, 187, 220, 222
180, 210, 221, 234, 235 NASA, 77, 221
konvergensi, 55, 83, 119, 126, 135, 148, NCEP, 77, 226, 232
178 nitrat, 85
kopling, 20, 86, 238 Nitrogen, 143, 156
koriolis, 5, 25, 26, 27, 28, 38, 42, 44, 83, NOAA, 102, 109, 186, 190, 248
99, 100, 127, 138, 139, 140, 176,
nutrisi, 37, 85, 118, 124, 133, 155, 156,
178
157, 160, 163, 164, 166, 173, 210,
La Niña, 57, 61, 62, 63, 90, 101, 103, 211
104, 105, 108, 110, 164, 168, 211,

246
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

ocean color, 14, 129, 164, 167 49, 52, 56, 58, 59, 65, 91, 96, 97,
Ombai, 39 105, 108, 161, 166, 177, 221
orografis, 5, 57, 70, 79, 119, 127, 135 samudera Pasifik, 2, 37, 39, 42, 48, 52,
57, 59, 96, 97, 98, 101, 102, 105,
ozon, 12, 195, 197, 214
108, 113, 140, 170, 177, 218
paleo iklim, 131
satelit, 12, 32, 53, 71, 73, 75, 76, 80, 85,
pangan, 115 109, 129, 138, 139, 148, 149, 164,
Papua, 38, 39, 48, 52, 57, 97, 102, 117, 186, 188, 189, 190, 191, 192, 193,
211, 218 194, 203, 204, 207, 235
parameterisasi, 72, 73, 74, 120, 230, 240 sequestration, 83
pemanasan global, 20, 62, 66, 74, 82, seruak dingin, 54, 63, 109, 113
84, 95, 117, 142, 173, 174, 175, siklon tropis, 5, 44, 82, 83, 84, 91, 135,
184, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 172, 176, 177, 178, 179, 180, 181,
206, 207, 208, 209, 210, 211, 213, 182, 183, 184, 187, 192, 194, 210,
215, 216, 218, 219, 220, 221, 222, 216, 217, 223
223, 234, 238
siklon Vamei, 183
penguapan, 10, 11, 20, 21, 23, 30, 32,
Silikat, 156
58, 71, 72, 73, 94, 99, 110, 136,
199, 220 sill, 39
Peru, 57, 138, 140, 155 simulasi, 36, 86, 87, 238, 240
pesisir, 2, 3, 4, 23, 43, 79, 81, 97, 118, sirkulasi Hadley, 90, 96, 99
119, 120, 150, 152, 155, 163, 169, sirkulasi Walker, 97, 98
174, 182, 186, 187, 200, 218, 235, spektrum, 11, 13, 18, 189, 191, 195, 222
236
subsidensi, 58, 80, 99, 105, 106, 107,
plankton, 85, 86, 118, 202 108
polutan, 12, 125, 126, 157, 234, 236 suhu muka laut, 2, 4, 14, 20, 21, 23, 24,
proxi, 76, 131, 132 34, 35, 36, 43, 55, 76, 77, 80, 83,
pulau pulau kecil, 5, 72, 118, 134, 136, 86, 87, 89, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
152 101, 103, 105, 106, 110, 116, 121,
123, 125, 126, 131, 132, 134, 136,
radiasi, 10, 11, 69, 71, 88, 134, 189, 197
138, 139, 140, 141, 146, 155, 159,
Redfield, 133, 156 160, 163, 168, 169, 172, 173, 174,
Rossby, 124, 127 185, 187, 191, 197, 206, 207, 209,
rossby wave, 91 210, 211, 212, 214, 215, 219, 223,
238
salinitas, 10, 24, 28, 29, 30, 31, 32, 33,
40, 41, 42, 43, 130, 137, 144, 146, Sumatera, 64, 91, 105, 106, 110, 111,
156, 162, 165, 166, 172, 200, 206, 112, 113, 114, 137, 148, 183, 185,
209, 210, 211, 214, 235 220, 222, 246, 247

samudera Hindia, 2, 37, 38, 39, 42, 48, terumbu karang, 118, 128, 130, 131,
132, 133, 142, 172, 173, 201, 203,

247
210, 214, 215
thermocline, 17, 18, 52, 59, 60, 68, 71,
153, 155, 156, 213, 218
Timor, 39
tropopause, 33
troposfir, 33, 83, 178, 179, 209
tsunami, 176, 184, 185, 187, 188, 193
turbiditas, 57, 130, 154, 160, 182
turbulensi, 17, 18, 24, 68, 74, 126, 128,
230, 234
upwelling, 18, 27, 28, 37, 75, 78, 85,
103, 108, 119, 122, 123, 124, 125,
137, 138, 139, 140, 141, 152, 155,
156, 160, 164, 166, 167, 168, 169,
172, 173, 174, 187, 200, 209, 210,
212, 222
Walker, 58, 90, 96, 97, 117
warm pool, 38, 39, 48, 97
Wien, 14
zona pantai, 118, 128, 129, 140, 209

248
METEOROLOGI LAUT INDONESIA

BIODATA PENULIS

Dr. Edvin Aldrian adalah Peneliti Utama bidang


Meteorologi di Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi dan juga dosen Meteorologi Laut di
Universitas Indonesia dan beberapa mata kuliah di
Institut Pertanian Bogor. Selain itu juga memberikan
kuliah pasca sarjana di Insitut Pertanian Bogor. Gelar
sarjana diperoleh di Mc Master University di Canada
dalam bidang Teknik Fisika, gelar master diperoleh
di Nagoya University di Jepang dalam bidang Earth Science yaitu radar
atmosfer, sedangkan gelar doctor diperoleh di Max Planck Institut for
Meteorology, Jerman dalam hal pemodelan iklim. Selain itu juga telah
mengikuti hingga 15 training spesialis di mancanegara. Hingga
pertengahan 2008 telah mempublikasikan 10 karya ilmiah di jurnal
internasional bidang meteorologi dan carbon cycle, 30 karya ilmiah di
jurnal nasional, publikasi sebuah buku internasional (Indonesian
Rainfall), 5 bagian buku nasional dan buku pemerintah. Telah menjadi
pembicara seminar nasional sebanyak 26 kali, serta seminar/konferensi
internasional sebanyak 26 kali. Selain itu juga aktif menulis di surat
kabar nasional sebanyak 6 kali. Atas karyanya telah dianugerahi START
International Young Scientist Award pada tahun 2004. Penulis adalah
satu dari hanya tiga ilmuwan Indonesia yang memberikan kontribusi
(jurnal ilmiah internasional) pada IPCC report 2007 yang mendapatkan
hadiah Nobel bidang perdamaian 2007.

249

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai