MeteorologiLautIndonesia PDF
MeteorologiLautIndonesia PDF
net/publication/305809658
CITATIONS READS
7 25,381
1 author:
Edvin Aldrian
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
103 PUBLICATIONS 1,899 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Edvin Aldrian on 05 November 2016.
Dalam hal demikian hingga saat ini belum ada buku yang
mengisi hubungan antara laut dan iklim benua maritim serta pengaruh
balik antara iklim dan lautan. Dikotomi ilmu meteorologi dan
oseanografi seringkali menjadi momok tersendiri dalam memadukan
kedua ilmu tersebut. Padahal hampir semua bukti mengarah bahwa
khusus untuk benua maritim, interaksi antara laut dan atmosfir adalah
nyata. Kita sebaiknya mempelajari serta mengambil manfaat akan ke-
khas-an yang dimilikinya.
i
Padahal teknik pemodelan regional seperti ini masih belum umum. Bukti
tersebut mengarahkan pada kepentingan dari isi buku ini dalam
memandang persoalan iklim benua maritim agar mengikutkan
pemahaman laut lokal dan sekitarnya.
Pada kasus lain saat ini kita tidak menyangkal kuatnya pengaruh
dinamika ENSO seperti El Niño dan La Niña terhadap iklim benua
maritim dan menyangkut hampir semua aspek kehidupan dari perikanan,
pertanian, kebakaran hutan, sumber daya air dan energi dan lain
sebagainya. Diperlukan pengetahuan yang memadai untuk dapat melihat
penyebab dampak yang ditimbulkan serta membuat proyeksi kedepan.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT
INDONESIA 1
iii
4. 3. Komponen Iklim Indonesia 52
4. 4. Monsun dan ITCZ 53
4. 5. ENSO 55
4. 6. Seruak Dingin (Cold Surge) 60
4. 7. Diurnal, MJO, Interannual 62
iv
6. 8. Iklim Laut Regional dengan Pertanian 103
108
BAB 7 METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU-PULAU
KECIL
7. 1. Cakupan Permasalahan 113
7. 2. Proses Pada Lapisan Batas, Laut Pesisir, dan 113
Interaksi Laut Atmosfer
7. 3. Efek Termal 115
7. 4. Efek Orografis 120
7. 5. Interaksi Sistem Skala Regional dengan Pantai 121
7. 6. Teknik Pengukuran dan Observasi 122
7. 7. Masalah Terumbu Karang 123
7. 8. Proses Konveksi Pada Garis Pantai dan Pulau- 124
Pulau Kecil
7. 9. Upwelling dan Downwelling di Garis Pantai 128
7. 10. Pantai Tempat Bercampurnya Dua Dunia 131
7. 11. Garam dan Aerosol di Pantai 136
7. 12. Angin Darat dan Angin Laut 138
7. 13. Gelombang Pasang 140
7. 14. Pengelolaan Mata Air Pesisir dan Pulau-Pulau 144
Kecil
144
BAB 8 PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP
PERIKANAN
8. 1. Modus Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap 149
Perikanan
8. 2. Iklim Indonesia dan Perikanan 150
8. 3. Pengaruh Musim Terhadap Tangkapan Ikan di 154
Sekitar Jawa
8. 4. Enso dan Ikan Tangkap 156
v
8. 5. Pemanasan Global dan Perikanan Tangkap 164
166
BAB 9 BENTUK BENTUK CUACA EKSTREM
9. 1. Bentuk Bentuk Cuaca Ekstrem di Indonesia 171
9. 2. Siklon Tropis 171
9. 3. Siklon Tropis di Sekitar Benua Maritim 172
9. 4. Tsunami 176
9. 5. Informasi Cuaca Laut Ekstrem Bagi Pesisir, 178
Perikanan, Asuransi, Pelayaran, dan Pariwisata
9. 6. Observasi Satelit 180
182
BAB 10 PEMANASAN GLOBAL
10. 1. Bagaimana Proses Pemanasan Global Terjadi 189
10. 2. Beberapa Dampak Langsung Pemanasan Global 189
10. 3. Bagaimana Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap 191
Daerah Tropis
10. 4. Catatan Historis Proses Pemanasan Global 193
10. 5. Faktor yang Menghambat Pemanasan Global 195
10. 6. Efek Pemanasan Global Terhadap Ekosistem 201
Laut
10. 7. Efek Pemanasan Global Terhadap Populasi 202
Pantai
10. 8. Pemanasan Global dengan Cuaca Ekstrem dan 207
Enso
10. 9. Dampak Sosioekonomi dari Pemanasan Global 209
10. 10. Prospek Iklim Indonesia Kedepan 212
213
BAB 11 MODEL IKLIM
11. 1. Dunia Model 219
11. 2. Komponen Model Iklim 219
11. 3. Model Iklim Atmosfer 222
vi
11. 4. Model Iklim Laut 227
11. 5. Model Iklim Lainnya 229
11. 6. Prospek dan Masa Depan Model Iklim untuk 232
Indonesia
234
DAFTAR PUSTAKA
237
BIODATA PENULIS
243
vii
BAB 1
1
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
2
BAB 1 - PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA
3
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Hal ini berdasarkan definisi pesisir (coastal) yaitu wilayah sekitar pantai
hingga daratan sejauh 100 km dari garis pantai. Dengan definisi
demikian, hampir seluruh daratan Indonesia adalah termasuk wilayah
pesisir dan iklim pesisirlah yang sangat mempengaruhi.
4
BAB 1 - PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA
cuaca dan iklim Indonesia adalah hujan. Di negara lintang tinggi selain
hujan, temperatur juga faktor utama lainnya. Sehingga untuk
mengetahui proses interaksi dari dan terhadap cuaca dapat dilakukan
dengan menghubungkannya dengan indikator cuaca tersebut. Salah satu
hubungan tersebut dapat dicapai dengan menghubungkan variasi suhu
muka laut dan curah hujan lokal, regional ataupun dengan skala global.
5
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
6
BAB 1 - PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA
kondisi ekstrem pada masa lampau. Artinya apabila dahulu kondisi yang
sama berada pada bagian kondisi ekstrem, maka kejadian tersebut akan
lebih sering terjadi sehingga tersebut akan lebih sering terjadi sehingga
merubah rata rata statistik cuaca pada umumnya. Kondisi ini terjadi
secara global meskipun tanda tandanya sangat sukar dideteksi karena
perubahan yang terjadi berlangsung lambat dalam rentang waktu yang
sangat lama.
7
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Tentu saja dampak dari perubahan iklim global ini juga akan terjadi pada
interaksi laut dan atmosfer di wilayah Indonesia. Namun demikian
bagaimana dampak sebenarnya masih perlu dikaji lebih lanjut lagi. Hal
terpenting untuk diketahui adalah bagaimana mekanisme proses itu
dapat terjadi dan proyeksi kedepan akibat perubahan tersebut. Proyeksi
kedepan akan dapat menentukan strategi sosio-ekonomis masa depan.
Sampai saat ini pemahaman fisis dan biologis atas perubahan global
terhadap iklim regional laut dan atmosfer Indonesia masih sangat
rendah dan merupakan peluang kajian yang sangat menarik.
8
BAB 1 - PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Pertanyaan:
1. Manakah diantara pulau-pulau besar di Nusantara yang tidak berlaku
iklim maritim?
9
BAB 2
2. 1. RADIASI MATAHARI
11
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
12
BAB 2 - KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI
13
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Dampak radiasi pada air laut juga beragam. Tidak semua radiasi
matahari dapat menembus badan air di laut.Sekitar 73 % mencapai
kedalaman 1 cm, 44.5 % kedalaman 1 m, 22.2 % kedalaman 10 m, 0.53 m
14
BAB 2 - KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI
15
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Gambar 2.2. Variasi energi yang dibawa dari daerah tropis menuju
daerah subtropis dan kutub pada beberapa samudra di dunia
(Trenberth dan Solomon 1994).
17
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
18
BAB 2 - KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI
lebih dominan terjadi pada lapisan turbulensi atau termoklin kecuali ada
penyebab khusus dikarenakan proses geologis seperti keberadaan
sumber panas di dasar laut. Sedangkan kedua proses terakhir yaitu
upwelling dan downwelling biasanya terjadi karena adanya dorongan
angin di permukaan. Tergantung pada posisinya, kedua proses tersebut
dapat terjadi pada musim yang berbeda. Kedua peristiwa upwelling dan
downwelling akan dibahas kemudian.
Pertanyaan:
4. Apa hubungan radiasi matahari dan radiasi dari bumi terhadap aliran
energi dari tropis ke lintang yang lebih tinggi?
19
BAB 3
21
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
22
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR
yang sama pada partikel udara. Proses penguapan air dengan demikian
akan memakan panas laten yang tinggi dari lingkungannya. Jumlah
panas yang besar ini akan dilepaskan pada saat uap air terkondensasi di
awan menjadi butiran hujan.
23
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Badai yang terjadi di laut didorong oleh tenaga berasal dari panas
laten yang dilepas ke atmosfer ketika uap air berkondensasi. Uap air
tersebut berasal sebagian besar dari penguapan air laut dimana laju
penguapannya dikendalikan oleh nilai suhu muka laut. Semakin tinggi
suhu muka laut maka akan semakin kuat laju penguapannya. Massa
udara dingin dari bawah akan mengurangi kemungkinan pergerakan
vertikal yang dibutuhkan pada pertumbuhan hujan atau badai. Daerah
yang suhu muka laut lebih dingin dari suhu udara di atasnya, maka hujan
atau badai akan jarang terjadi di laut dan daerah pesisir yang menerima
angin dari daerah tersebut. Sebaliknya udara panas dari bawah akan
menambah kemungkinan pergerakan vertikal udara yang membawa
kepada hujan dan badai. Daerah dimana suhu muka laut lebih hangat dari
suhu udara di atasnya, hujan atau badai akan sering terjadi di laut dan
daerah pesisir yang menerima angin dari daerah tersebut.
24
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR
25
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
3. 5. GAYA CORIOLIS
26
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR
3. 6. PERGERAKAN EKMAN
27
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
28
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR
kue lapis tersebut. Akibat tekanan yang ada akan terjadi pembelokan
gaya tekan (deflection) antara lapisan teratas dengan lapisan di
bawahnya dan di bawahnya lagi.
3. 7. S A L I N I TA S , C U R A H H U J A N , D A N P R O F I L
TEMPERATUR LAUT
29
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
panas dialirkan dari lapisan paling bawah. Pada situasi normal tersebut
udara menjadi jenuh dengan kelembaban dan penguapan yang terjadi.
Selanjutnya udara hangat akan terkondensasi apabila bertemu dengan
lapisan udara tinggi yang dingin atau bertemu badan air yang dingin.
Pada kasus pertama akan turun sebagai hujan, sedangkan pada kasus
kedua akan terbentuk kabut. Pada kedua kasus tersebut, energi yang
dihasilkan dari proses kondensasi akan lebih terserap di atmosfer,
sehingga kontribusi kondensasi terhadap neraca energi panas di laut
sangat kecil.
31
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
32
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR
33
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
34
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR
hubungan antara perubahan suhu muka laut yang disebabkan oleh aliran
arus air.
Gambar 3.5. Ilustrasi kolom air laut dimana terjadi perpindahan masa
dan suhu secara adveksi (Aldrian 2003).
35
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
suhu di permukaan laut. Dengan pergantian suhu muka laut akibat aliran
konveksi maka akan terjadi dinamika di lautan. Aliran arus laut dari
peristiwa adveksi sendiri diakibatkan oleh tekanan angin permukaan
yang mendorong aliran horizontal atau adveksi tersebut (Gambar 3.5).
Hasil simulasi dari model menunjukkan adanya perbedaan waktu
sekitar 3 bulan antara aliran adveksi dan perubahan suhu pada kolom air
yang dilewatinya. Dari perubahan suhu pada kolom air, terdapat
perbedaan 0.5 - 1 bulan untuk merubah suhu permukaan laut. Hasil dari
simulasi wilayah Maluku Utara tersebut menunjukkan adanya pengaruh
dari pola monsunal yang diartikan adanya perubahan fluks dalam lag
waktu 3 bulan akibat fluktuasi sinusoidal (Gambar 3.6).
36
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR
atmosfer dan terbentur pada sebuah bukit atau gunung, maka gelombang
tersebut akan terpecah di balik bukit dari arah datangnya. Gelombang
yang tercipta di balik bukit seringkali disebut sebagai gelombang
gravitasi karena gelombang itu terbentuk akibat gaya gravitasi bumi
yang mempengaruhi perjalanan gelombang tersebut. Di atmosfer,
gelombang gravitasi dapat menjadi pusat pertumbuhan awan daerah
bayangan hujan, sementara di laut dapat menggangu dinamika lautan
dan membentuk gelombang besar pada kedalaman tertentu. Salah satu
penyebab lain adanya gelombang gravitasi di laut adalah saat gelombang
di laut dalam melewati celah lembah yang sempit dan dangkal. Setelah
keluar dari celah ini, maka akan tercipta gelombang tersebut. Pada
dasarnya gelombang ini tidak terasa di permukaan tetapi pada laut dalam
akan terasa berlipat-lipat akibat dari menjalarnya gelombang secara
vertikal dan tumbuh menjadi besar. Gelombang gravitasi sejenis ini
sangat ditakuti terutama bagi kapal selam yang mengarungi lautan
dalam.
37
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
38
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR
Tengah dan juga mengalir melewati Selat Ombai setelah melalui Laut
Banda.
Gambar 3.7. Arus perputaran sabuk dunia (the Great ocean conveyor
39
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Gambar 3.8. Arus utama dari arus lintas Indonesia dengan nilai satuan
aliran persatuan waktu yaitu Sv (juta m3/detik) berdasarkan
nilai rerata tahunan (Gordon, 2005).
40
BAB 3 - HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFIR
Pertanyaan:
41
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
atmosfer?
8. Akibat sifat geostropis laut maka terjadi arlindo dari Samudra Pasifik
menuju Samudra Indonesia, apakah mungkin terjadi sebaliknya
dimana arus lintas mengalir dari Samudra Indonesia menuju
Samudra Pasifik, mengapa?
42
BAB 4
IKLIM INDONESIA
43
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
suhu muka laut. Meskipun demikian perbedaan suhu muka laut di daerah
tropis tidak sedemikian besar dibandingkan dengan daerah non tropis.
Perbedaan terbesar dari rentang normal untuk suhu muka laut lebih
disebabkan oleh faktor luar seperti cold surge di Laut Cina Selatan pada
bulan Januari hingga Maret, ENSO atau Indian Dipole. Meskipun
perbedaan suhu muka laut maksimum dan minimum tidak terlalu besar,
tetapi pengaruh terhadap jumlah curah hujan sangat besar. Peningkatan
suhu muka laut sedikit dapat mengakibatkan besarnya suplai uap air
yang mendorong tingginya curah hujan. Dapat dikatakan, daerah tropis
berada di ambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah hujan
maksimum dan minimum. Karena faktor luar sangat tidak dominan,
seperti siklon tropis, maka pengaruh perubahan suhu muka laut terhadap
curah hujan lebih dominan. Sebagai hasilnya kemampuan perubahan
atau peramalan cuaca dan iklim di daerah tropis jauh lebih baik untuk
skala bulanan hingga semi tahunan dibandingkan untuk skala harian
hingga bulanan.
Selain tingginya nilai curah hujan dan evaporasi, daerah tropis
ditandai dengan lemahnya angin permukaan dan tingginya tekanan
udara permukaan. Perubahan tekanan udara juga relatif kecil
dibandingkan skala perubahan waktu sehingga sulit terjadi
pembentukan angin kencang. Hal yang terakhir ini juga didukung oleh
lemahnya gaya coriolis bumi di daerah tropis yang menyebabkan tidak
mungkinnya di daerah tropis terbentuk atau menjadi lintasan siklon
tropis. Daerah yang bebas siklon tropis biasanya terletak diantara 10 LU
dan 10 LS. Meski tidak menjadi tempat tumbuh dan lintasannya, daerah
tropis mendapat pengaruh dari siklon tropis yang lewat pada ekornya.
Biasanya hal ini menyebabkan angin kencang dan curah hujan tinggi di
daerah ekor siklon. Sedangkan daerah yang jauh dapat mengalami
kekurangan awan karena tertarik kedaerah siklon.
44
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
45
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
46
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
47
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
memiliki satu puncak hujan dan satu puncak kemarau. Sedangkan untuk
daerah sebelah utaranya dapat memiliki dua puncak hujan dan dua
puncak bawah. Pada daerah tengah dan utara Indonesia, terkadang
disebut daerah iklim ekuatorial dimana tidak jelas nampak perbedaan
puncak musim kemarau dan hujan pada pola tahunannya. Kedua puncak
atas terjadi pada saat titik kulminasi matahari melewati daerah tersebut.
Dan kedua puncak bawah terjadi pada saat titik kulminasi meninggalkan
daerah tersebut. Puncak musim hujan terjadi pada saat pergantian tahun
dan puncak musim kemarau pada pertengahan tahun. Wilayah Indonesia
bagian selatan hanya memiliki satu puncak atas dan bawah karena
pergerakan monsun berhenti di daerah tersebut. Hal ini karena di
Samudra Indonesia sebelah selatan Kepulauan Indonesia tidak terdapat
pulau-pulau lagi yang menjadi pusat konveksi.
48
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
Selain variasi utara selatan, terdapat variasi barat timur pola iklim di
wilayah Indonesia. Untuk wilayah bagian selatan, semakin ke timur
maka musim kemarau akan semakin panjang. Hal ini dikarenakan lebih
cepatnya pusat konveksi meninggalkan daerah tersebut mengikuti pola
kulminasi matahari. Selain bergerak utara selatan, pergerakan suhu laut
di wilayah maritim Indonesia sebenarnya juga bergerak dari arah barat
laut tenggara. Sehingga daerah ini lebih banyak mengalami musim
kemarau.
Jauh sebelum era satelit pada akhir tahun 60an, telah dibuat studi
mengenai sistem arus laut wilayah Indonesia oleh beberapa riset Belanda
dengan proyek Snellius I dan Snellius II. Hasil dari proyek penelitian ini
49
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Gambar 4.4. Pola arus laut tahunan di Indonesia timur pada muka laut.
50
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
Gambar 4.5. Arus laut wilayah sekitar Indonesia pada bulan Juni (atas)
dan Desember (bawah) menurut Wyrtki (1961).
51
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
dapat dilihat pada laporan Naga Report oleh Wirtky (1961) sebagaimana
terlihat di Gambar 4.5. Hasil laporan Naga tersebut tidak jauh berbeda
dengan gambaran arus hasil keluaran model pada gambar sebelumnya.
Hal ini karena apa yang digambarkan lebih pada komponen iklim
tahunan yang secara klimatologis tidak berubah. Hingga saat ini Naga
Report masih menjadi acuan utama dari beberapa studi kelautan wilayah
Indonesia baik untuk observasi maupun dalam pemodelan arus laut.
52
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
Gambar 4.6. Peta daerah monsun muka bumi berdasarkan definisi dari
53
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Ramage 1971.
54
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
merupakan daerah dimana arah angin yang dominan berbalik arah paling
sedikit 120° antara bulan Januari dan Juli. Januari adalah maksimum
musim dingin di belahan bumi utara (BBU) dengan suhu rata-rata
terendah di BBU dan Juli adalah maksimum musim panas dengan suhu
rata-rata tertinggi di BBU. Ramage (1971) memberikan definisi monsun
dengan menambahkan kriteria kekuatan angin (wind strength) dan
mengidentifikasi daerah-daerah yang meliputi Afrika, Asia, dan
Australia sebagai daerah yang memenuhi kriteria angin yang berbalik
arah dan kriteria hujan monsun. Definisi modern dari monsun
sebagaimana yang diusulkan oleh Wang et al. (2001) memakai sifat
kontras antar benua dan samudra. Prinsip ini dipakai Wang et al. (2001)
untuk definisi indeks dari Monsun India yaitu memakai dua kotak aliran
angin zonal pada ketinggian level 850 hPa di tengah sub kontinen India
dan di laut Arab atau sebelah barat laut Samudra Indonesia. Untuk
wilayah Indonesia, hingga saat ini belum ada definisi indeks monsun
yang dipakai, salah satu penyebabnya adalah ada beberapa tipe
monsunal di benua maritim dan sifat lokal yang sangat mempengaruhi
variabilitas iklim akibat orografis dan rupa bumi.
55
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
4. 5. ENSO
56
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
57
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
58
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
Gambar 4.9. Anomali curah hujan Indonesia (dalam %) pada saat La Niña
memakai analisa komposit tahun La Niña antara 1960 -
1993 (Aldrian, 2003).
59
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Indonesia lebih dingin pada kejadian El Niño dan lebih hangat pada
kejadian La Niña. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah hujan pada
tahun La Niña dan penurunannya pada tahun El Niño (Gambar 4.8 dan
4.9). Untuk wilayah Indonesia, akibat pola monsunal yang mengatur
pola sirkulasi arus laut permukaan, pengaruh El Niño dan La Niña
ternyata dibatasi hanya pada musim kemarau. Karena pada musim inilah
arus laut dari Pasifik mengalir masuk ke wilayah Indonesia (Gambar
4.4) dengan implikasi perubahan akibat kedua fenomena global tersebut.
60
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
Pengaruh arus laut terhadap pola iklim tahunan juga terjadi pada
wilayah lainnya. Pada bulan Januari hingga Maret, di wilayah laut Cina
Selatan terjadi peristiwa cold surge (seruak dingin) dimana arus laut
dingin mengalir dari sebelah utara dan membawa akibat penurunan
curah hujan secara drastis di wilayah ini. Apabila cold surge tidak terjadi,
daerah ini akan mengalami pola ekuatorial seperti daerah lainnya.
Dengan adanya cold surge ini, wilayah sekitar laut Cina Selatan tersebut
akan mengalami perbedaan pola curah hujan yang mencolok pada bulan
bulan sekitar kejadi cold surge. Cold surge terjadi karena di Siberia pada
puncak musim dingin (winter) memiliki tekanan udara yang tinggi.
Tekanan udara tinggi ini mendorong aliran angin permukaan ke selatan
yang mendorong aliran arus ke selatan. Aliran arus laut permukaan ini
bersifat dingin karena di bumi belahan utara sedang mengalami puncak
musim dingin.Dari uraian di atas kita melihat peranan laut dalam
membentuk pola iklim di wilayah Indonesia dan berfungsi sebagai
interaksi laut atmosfer.
61
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Gambar 4.11. Contoh penjalaran dari sebuah episode cold surge antara
tanggal 18 dan 30 Desember 1999 berdasarkan angin
meridional. Gambar menunjukkan pergerakan setiap dua
harian pada level ketinggian 925mb (Aldrian dan Utama
2007).
62
BAB 4 - IKLIM INDONESIA
63
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Pertanyaan:
1. Monsun terjadi karena kontras antara benua dan samudra. Andaikan
bumi merupakan planet aqua atau planet tanpa daratan, seperti apa
pergerakan utara selatan dari ITCZ?
64
BAB 5
65
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
lanjut lagi pada skala regional dan global proses ini memberikan
pengaruh pada daerah lain yang jauh tetapi dihubungkan dengan proses
tele-connection yang dibantu sirkulasi di atmosfer atau di laut.
Gambar 5.1. Proses pembentukan butir uap air dari laut (a) dan
pengangkatan orografis di darat (b) serta pembentukan
jalur awan (c)
66
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
67
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
terjadi secara lokal dan dalam skala mikro fisis dimana kadangkala
peristiwa lokal tersebut sedemikian dominan dalam pembentukan proses
yang lebih luas.
68
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
69
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
70
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
71
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
72
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
Salah satu proyek penelitian yang sedang berjalan saat ini adalah
SOLAS Project (Surface Ocean and Lower Atmosphere Study) yang
membahas berbagai masalah air sea interaction. Fokus utama dari
proyek penelitian ini adalah:
interaksi biogeokimia dan mekanisme coupling antara laut dan
atmosfer
proses pertukaran pada permukaan laut atmosfer dan peran dari
mekanisme transport dan transformasi di atmosfer dan lapis batas
laut (mixing layer)
fluks CO2 antara laut dan atmosfer dan gas-gas lain yang berumur
radiasi panjang.
73
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
74
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
Pada kasus aliran masa udara hangat yang terus menerus dari
selatan (pada bumi belahan utara) di atas laut dingin, sebuah situasi stabil
akan terbentuk. Jika aliran terus menerus ini bertahan cukup lama, akan
terjadi pembentukan inversi di lautan, apabila ada sedikit pergerakan uap
air atau momentum pada lapisan stabil tersebut. Angin dapat menjadi
lemah di bawah daerah inversi daripada di atasnya. Kelembaban yang
diambil dari laut oleh angin dekat permukaan akan tetap berada pada
lapisan inversi tersebut, sehingga udara menjadi jenuh dan kabut segera
terbentuk.
75
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Hal ini terbentuk biasanya pada lautan hangat ketika suhu muka
laut masih hangat dan datang massa udara dingin di permukaannya.
Situasi udara dingin diperlukan untuk membuat kondisi tidak stabil
untuk menciptakan percikan air tersebut.
76
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
77
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Ini adalah hasil dari interaksi laut atmosfer yang cukup dikenal.
Angin pada level permukaan memberikan tekanan pada muka laut yang
mendorong terbentuknya gelombang. Gelombang tumbuh tinggi seiring
dengan panjangnya pada jarak lokasi dengan asal gelombang dan
lamanya angin berhembus. Pada angin lepas pantai, gelombang akan
tumbuh tinggi menjauh dari pantai. Gelombang dapat mencapai
antara10 hingga 15 meter ketinggian di tengah badai. Gelombang secara
individu dapat mencapai ketinggian dua kalinya. Ketinggian gelombang
diukur dengan jarak antara puncak dan lembah gelombang.
78
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
79
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
80
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
pengurangan secara drastis jumlah awan dan uap air yang beredar.
Konsekuensi dari hal ini adalah berkurangnya jumlah hari hujan di
daerah tropis yang mana dengan hari hujan yang sedikit diikuti oleh
intensitas yang lebih besar dibanding beberapa dekade lalu. Sehingga
jumlah hari hujan turun tetapi kejadian hujan maksimum harian
meningkat.
81
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
82
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
nilai suhu muka laut pada kasus tahun lain atau kasus khusus.
3. Memberikan nilai tambahan atau konstanta atau variabel acak pada
suhu muka laut pada daerah tertentu untuk melihat pengaruh dari
gangguan di lokasi tertentu
4. Memberikan nilai rata-rata pada tahun-tahun dengan kasus khusus
seperti pada tahun tahun El Niño dan kemudian membuat sebaran
spasial dengan memakai hubungan korelasi antara indeks El Niño
dengan nilai suhu muka laut pada masing-masing lokasi.
5. Melakukan simulasi dengan mematikan proses kopling antara laut
dengan atmosfer dengan maksud melihat pengaruh dari kopling
terhadap atmosfer atau melihat pengaruh lokal interaksi laut
atmosfer.
83
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
84
BAB 5 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL
3 Radiasi MAM
Pertanyaan:
Gelombang
Pendek vs SST SON
2. Proses apa saja yang terjadi saat transfer massa dan energi dari laut ke
atmosfer?
3. Proses apa saja yang terjadi saat transfer massa dan energi dari
85
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
atmosfer ke laut?
86
BAB 6
87
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
88
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
89
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
90
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
Gambar 6.2. Hubungan suhu muka laut (SST) dengan curah hujan lokal
91
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
92
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
Gambar 6.3. Aliran udara dalam sirkulasi walker di daerah Pasifik tropis
dengan massa udara naik di daerah kolam hangat (kiri) dan
gerakan massa udara ke arah barat di wilayah ekuatorial
(kanan).
93
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Pada kondisi tidak normal seperti pada Gambar 6.3 kanan yang
lebih dikenal dengan El Niño terjadi pergeseran pusat naik atmosfer dari
kolam hangat menuju ke timurnya dan mengakibatkan terjadinya dua
sirkulasi di daerah Pasifik. Sebagaimana tampak pada Gambar 6.3,
akibat dari dua sirkulasi yang ada akan memberikan daerah subsidensi di
benua maritim Indonesia. Daerah subsidensi atau daerah dimana terjadi
aliran udara turun akan menandakan daerah sulit terjadinya hujan atau
pertumbuhan awan. Terbentuknya daerah subsidensi ini erat berkaitan
dengan dinginnya suhu muka laut di wilayah benua maritim akibat arus
lintas Indonesia yang relatif dingin sehingga menyulitkan terjadinya
penguapan.
94
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
95
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Salah satu akibat dari sirkulasi ini adalah angin pasat tenggara
(northeast Trade) di bumi belahan utara dan angin pasat barat laut
(Southeast Trades) di bumi belahan selatan (Gambar 6.4). Angin passat
bergerak menuju ekuator tetapi dalam perjalannya selalu berbelok ke
sebelah barat akibat gaya coriolis bumi. Pusat pertemuan dari kedua
angin pasat tersebut dikenal sebagai daerah ITCZ (Inter Tropical
Convergence Zone) atau daerah konvergensi lintas tropis. Akibat hukum
kekekalan momentum, maka kesetimbangan arah gerak ke barat dari
angin pasat akan teratasi dengan gerak ke arah timuran di pusat
pertemuan angin pasat di ekuator. Indikasi ini sering dipakai untuk
menetapkan daerah ITCZ yaitu daerah dimana terdapat angin zonal
(barat timuran) terbesar. Pada beberapa kasus aliran timuran ini dikenal
sebagai aliran jet timuran tropis (equatorial easterly jet).
96
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
menjulur ke arah timur. Lidah hangat ini terjadi pada kedalaman lapisan
termoklin sekitar 300 m di bawah muka laut. Pada saat fase awal gejala
El Niño lidah hangat pada lapisan ini menjalar jauh ke timur dan berdiam
disana selama episode El Niño. Gejala seperti ini sudah terdeteksi pada
kasus El Niño parah tahun 1997/1998 dengan program pemasangan
buoy di lepas Samudra Pasifik pada proyek riset TOGA COARE.
97
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Gambar 6.6. Perubahan anomali suhu muka laut dan upwelling di Laut
Banda selama perioda El Niño dan La Niña (Gordon dan
Susanto 2001).
98
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
99
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
ENSO yaitu pada bulan Maret April dan Mei. Pada masa peralihan ini
belum jelas nampak kecendrungan El Niño, apakah menuju ke situasi
normal, El Niño atau La Niña. Kondisi yang tidak jelas ini biasanya
menghambat kinerja berbagai teknik peramalan yang ada. Setelah
melewati masa tersebut, kinerja model akan menjadi lebih baik dan kita
dapat memperoleh gambaran apakah tahun ini kita melewati masa El
Niño ekstrem atau tidak.
100
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
Gambar 6.7. Daerah indeks IOD pada dua kutub di lepas pantai Benua
Afrika dan barat daya benua maritim Indonesia didapat dari
hasil analisis Empirical Orthogonal Function ke dua (Saji
et al., 1999).
Gambar 6.8. Situasi konveksi (merah) dan subsidensi (biru) pada periode
IOD negatif dan positif (http:// www. Jamstec. Go. Jp/
frcgc/research/d1/iod/IOD1.html)
101
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
yang sama sebagaimana terlihat pada Gambar 6.8. pusat konveksi dan
subsidensi terbentuk akibat perubahan pola suhu muka laut di daerah
yang menjadi indeks IOD.
102
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
103
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
104
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
105
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Gambar 6.10. Pola antar tahunan titik api di Sumatera dan Kalimantan
serta hubungannya dengan indeks ENSO untuk total nilai
sepanjang tahun (atas) dan nilai antara bulan Juli ke
Desember (bawah) dari Aldrian, 2008.
106
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
Tabel 6.1. Koefisien korelasi antara nilai titik api dan variabilitas iklim
yang ditampilkan pada nilai akumulasi tahunan dan hanya
pada bulan Agustus hingga Desember terhadap nilai indeks
iklim ENSO.
Anomali tahunan Anomali Aug-Dec
Kalimantan Sumatera Kalimantan
Dari berbagai hasil di atas terlihat bahwa Sumatera
nilai jumlah titik api
1997-2004 0.94 0.83 0.95 0.93
pada data antar tahunan menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan
1997-2005 0.90 0.80 0.94 0.93
indikator
1997-2006
iklim, akan tetapi terlihat
0.77
ada anomali
0.75
pada nilai
0.84
hotspot pada
0.90
tahun 2005 dan 2006. Terlihat
1997-2007 0.80 nilai hotspot 0.85
juga 0.77 pada tahun 0.872006
mencapai sekitar 92.8 % dari nilai tahunan pada tahun 1997 padahal nilai
indikator iklim pada tahun tersebut tidak sedemikian parah seperti tahun
1997. Data diatas juga menunjukkan peningkatan korelasi apabila
hubungan dilakukan pada paruh kedua tahunan dimana terjadi puncak
dampak ENSO terhadap wilayah Indonesia. Dalam hal ini ada potensi
besar untuk prediksi jumlah titik api kebakaran hutan memakai data
iklim di Pasifik.
107
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
108
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
109
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Pertanyaan:
110
BAB 6 - PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL
111
BAB 7
7. 1. CAKUPAN PERMASALAHAN
113
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Gambar 7.1. Diagram perpindahan energi dan air dalam berbagai fase
antara daratan, lautan, dan atmosfer (siklus hidrologi).
Nilai-nilai yang tertera adalah rasio dari nilai rata-rata hujan
tahunan di bumi yaitu 1.040 mm.
114
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
115
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
116
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
117
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
118
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
Gambar 7.3. Beberapa skala lapisan batas atmosfer dan definisinya pada
daerah rata dan terbuka.
119
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
7. 3. EFEK TERMAL
Front suhu muka laut adalah batas skala meso yang memisahkan
udara air lembab dengan udara dingin serta kering dari daratan. Front
suhu yang tercipta dapat terjadi sepanjang 1.000 km dengan kontras suhu
mencapai 20 °C dan bertahan selama beberapa hari. Mekanisme inisiasi
dari pola ini termasuk perbedaan gradien friksi, perbedaan gradien
pemanasan diabatis , dan sirkulasi darat laut. Front suhu seperti ini
biasanya seringkali diasosiasikan dengan proses pembentukan badai dan
hujan lebat. Seringkali ditemukan hubungan yang kuat antara aliran
udara angin laut dengan front suhu muka laut dan dengan timbulnya
curah hujan lebat di sepanjang pantai yang diakibatkan olehnya. Faktor
konvergensi angin laut juga seringkali dihubungkan dengan kekuatan
pembentukan awan yang menyebabkan curah hujan tinggi seperti badai.
Hujan yang dihasilkan di pantai dapat masuk ke daratan dan
menciptakan curah hujan tidak lebat yang hangat.
120
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
7. 4. EFEK OROGRAFIS
121
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
122
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
123
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
124
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
secara rutin tiap tahun sebagai variasi dari temperatur dan radiasi.
Kerusakan serius terjadi apabila penyimpangan suhu terjadi diatas 1 ºC
(Brown et al., 1996). Lebih lanjut Hoegh-Guldberg (1999) menemukan
bahwa kerusakan dari terumbu karang pada 20 tahun terakhir berasosiasi
dengan peristiwa El Niño pada waktu temperatur maksimum
penyimpang lebih dari 1 ºC. Kerusakan permanen terumbu karang
terjadi apabila penyimpangan temperatur terjadi lebih dari 3 ºC selama
beberapa bulan (Brown dan Suharsono, 1990). Sebagaimana juga
diuraikan di atas bahwa terumbu karang sangat rentan terhadap aksi
cuaca ektrem seperti badai yang menghampiri pantai. Akibat dari
kedatangan badai adalah peningkatan turbiditas dan kerusakan ekologis
akibat terciptanya pusaran air dan gelombang yang merusak struktur
ekosistem pantai.
125
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
126
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
suhu muka laut akan jauh lebih dirasakan bagi kerentanan terumbu
karang terhadap iklim sebagaimana terlihat akibat dari badai atau gejala
El Niño. Pada kasus fenomena kedua dimana terjadi perubahan tinggi
muka laut akan juga terjadi perubahan sifat air laut yang menyelimuti
ruang hidup terumbu karang. Peningkatan suhu muka laut sebagaimana
terdeteksi pada hasil analisis proxi masa lampau menunjukkan adanya
kemungkinan bleaching atau pemutihan. Pemutihan terumbu karang
yang menunjukkan kerusakan akibat kematian lapisan terluar tidak
hanya terjadi pada kasus peningkatan suhu muka laut melainkan juga
pada penurunan suhu muka laut sebagaimana pada kasus El Niño dimana
terjadi penurunan suhu muka laut secara drastis.
127
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
128
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
antara 3 - 8 knot merupakan angin ideal bagi suplai udara basah yang
kontinu ke daerah konveksi di pantai. Apabila angin terlalu kencang,
proses konveksi awan sulit terbentuk, akibatnya tidak ada pertumbuhan
awan di daerah pantai. Angin yang seringkali berpengaruh bagi peristiwa
konveksi di pantai di siang hari berhubungan dengan angin laut yaitu
aliran angin dari laut ke daratan. Apabila suhu dibawah 28 ºC evaporasi
sulit terjadi karena radiasi yang diterima muka laut masih dipakai untuk
pemanasan air laut sehingga akumulasi hujan yang terjadi juga rendah.
Diatas 29.6 ºC suhu muka laut juga tidak mendukung karena hujan yang
turun seringkali tidak sampai di muka bumi tetapi langsung menguap
dalam perjalanan jatuhnya.
129
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
terkondensasi. Hal ini tentu saja akan lebih dibantu apabila orografis
pantai disertai pegunungan atau perbukitan. Daerah Bogor merupakan
daerah tangkapan hujan bagi teluk Jakarta. Tetapi pada akhir-akhir ini
daerah tangkapan hujan di Bogor berkurang. Bogor tidak lagi
mengalami hujan sepanjang tahun akibat polusi. Industri di wilayah
Jabotabek. Polusi Industri membawa dampak meningkatnya kadar
aerosol di udara. Aerosol industri biasanya menghambat pembentukan
awan-awan konvektif. Hanya awan konvektif kuat di musim hujan tetap
terbentuk di daerah Bogor. Padahal sebelumnya penumpukan awan
orografis dapat berarti bagi pembentukan awan di Bogor.
130
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
131
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
132
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
133
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
tergantikan oleh massa air dari laut dalam yang relatif lebih dingin.
Peristiwa dalam proses inilah yang dikenal sebagai upwelling. Pada
daerah lain ketika angin menyebabkan perpindahan massa air mendekati
pantai, tumpukan air di permukaan di dekat pantai akan tenggelam dan
suhu muka laut akan menghangat. Peristiwa ini dikenal sebagai
downwelling.
134
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
Suhu muka laut yang hangat akan membawa hujan sepanjang daratan
pantai tersebut.
135
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
136
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
137
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
138
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
139
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
140
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
141
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
142
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
Gambar 7.7. Sifat diurnal pertumbuhan awan (diatas nol) dan hujan
(dibawah nol) antara daratan (106.5-108.5 °BT dan 6.5-7.5
°LS) dan lautan (108.5-110.5 °BT dan 5.5-6.5 °LS) di Pulau
Jawa berdasarkan nilai gradien suhu puncak awan dari data
satelit geostasioner. Sumbu x menunjukkan waktu WIB.
Mengacu pada sifat angin darat dan angin laut serta kontras suhu
antara daratan dan lautan maka sifat pertumbuhan di daratan dan lepas
pantai seperti ini dapat mudah dimengerti. Pada siang hari daratan akan
lebih panas dibandingkan lautan dan proses konveksi akan lebih mudah
terjadi di daratan. Akibatnya udara akan terdorong ke atas dan angin akan
mengalir dari laut (angin laut) yang membawa uap air. Proses
mengalirnya uap air ini akan serta merta membawa pertumbuhan awan
akibat penumpukan uap air yang menyebabkan jenuhnya udara.
Sebaliknya pada malam hari lautan akan lebih hangat dibandingkan
dengan di daratan sehingga peristiwa sebaliknya akan terjadi. Apabila
kita perhatikan pola pada Gambar 7.6, terlihat bahwa lebih banyak
143
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
awan terbentuk di laut di siang hari daripada di daratan di malam hari dan
juga lebih banyak hujan terbentuk di daratan pada siang hari daripada di
lautan di malam hari. Fakta terakhir ini dapat dimengerti karena sumber
utama uap air lebih banyak di lautan daripada dari daratan.
144
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
pembentuk pulau dan tutupan vegetasi setempat. Hal ini berbeda dengan
kondisi di pulau besar dimana ketersediaan air dapat berasal dari curah
hujan yang berasal dari daerah lain yang kemudian di transfer melalui
sistem akuifer air tanah ke dalam suatu cekungan air tanah (ground water
basin) atau melalui aliran permukaan sungai yang kemudian meresap
masuk sistem air tanah di bagian hilirnya atau tertampung kedalam
sistem danau. Dengan demikian ketersediaan air di pulau kecil ini sangat
bergantung dari besarnya curah hujan sebagai pasokan utama sumber air
tawar serta kemampuan pulau tersebut menyimpan sumber air secara
alami. Pada umumnya ketebalan lapisan air di pulau kecil berkisar antara
1 - 2 m.
145
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Pertanyaan:
2. Mana yang lebih banyak, hujan di laut atau di pesisir atau di tengah
benua?
146
BAB 7 - METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU PULAU KECIL
147
BAB 8
149
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Hanya ada beberapa tempat pelelangan ikan atau catatan syah bandar
pelabuhan yang dapat dipakai sebagai dasar catatan. Selain untuk
keperluan studi, sebenarnya catatan yang baik dapat dipakai untuk
melihat trend dari stok ikan dan perubahannya. Catatan yang diharapkan
selain dari jenis ikan juga pada ukuran untuk melihat tren stok
kelimpahan pada masa mendatang. Karena dikuatirkan beberapa zona
penangkapan ikan nasional telah mencapai situasi over fishing atau
kelebihan penangkapan. Kasus over fishing di wilayah Atlantik utara
telah memaksa komisi Uni Eropa untuk melarang dan mengurangi
armada perikanan beberapa negara Eropa untuk melindungi
pertumbuhan dan stok ikan di wilayah tersebut.
150
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
151
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
152
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
Perubahan suhu air juga dapat terjadi di laut dalam terutama pada
lapisan termoklin atau perubahan ketebalan lapisan mixing. Sumber dari
perubahan suhu muka laut terdiri dari adveksi yaitu penjalaran energi
panas secara horizontal atau akibat pertukaran massa dan energi antara
laut dan atmosfer. Fenomena pertama yaitu adveksi lebih mendominasi
di laut lepas sedangkan fenomena kedua yaitu pertukaran energi akan
lebih terasa di perairan pantai atau laut tertutup. Hal seperti adveksi
dalam skala luas terjadi pada fenomena El Niño dimana terjadi
perpindahan massa air hangat pada lapisan termoklin dari daerah warm
pool menuju ke Pasifik tengah dan timur. Perubahan tersebut tentu saja
membawa konsekuensi migrasi ekologi ikan pada lapisan tertentu.
Perubahan suhu dapat mempengaruhi biologis ikan dalam hal
memodifikasi proses metabolisme (laju konsumsi dan pertumbuhan),
memodifikasi aktivitas gerak dan stimulus syaraf. Karena perubahan
suhu air laut juga merupakan indikasi perubahan kecepatan angin,
upwelling, dan arus sehingga perubahan ekosistem ikan dapat
dihubungkan dengan perubahan suhu.
Pengaruh arus laut juga sering diasosiasikan dengan perubahan
lokasi keberadaan ikan. Ikan-ikan yang bergerombol (school of fish)
seringkali memanfaatkan arus laut yang menghantarkan massa air laut
dengan suhu dan salinitas tertentu bagi keperluan perpindahannya.
Keberadaan makanan atau rantai makanan juga berpengaruh
pada populasi ikan, sementara makanan ikan beserta rantai makanannya
juga memiliki sifat yang tergantung pada kondisi cuaca dan iklim.
Sebagai contohnya populasi organik dasar yaitu fitoplanton sangat
tergantung pada ketersediaan dari nutrisi pembatas (limiting nutrient),
kadar sinar matahari, kedalaman lapisan mixing, suhu, dan perpindahan
oleh arus laut. Nutrisi pembatas adalah rasio kecukupan bahan dasar
nutrisi seperti karbon, fosfat, nitrogen, dan silikat dengan rasio
153
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
154
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
155
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
156
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
157
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Gambar 8.3. Pola musiman suhu muka laut dan kloropil-a di sekitar Jawa
(atas) dan data tangkapan ikan dari Pelabuhan Sarang -
Rembang Jawa Tengah yang menunjukkan pola musiman
(Hendiarti et al., 2005).
158
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
159
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
160
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
dari selat tersebut dan ikan besar dari samudra. Ikan pelagis kecil terdiri
dari ikan tembang (Sardinella fimbriata), kembung (Rastrelliger spp.),
selar (Selaroides leptolepis), layang (Decapterus spp.) dan lemuru
(Sardinella longiceps) dari Laut Jawa, sedangkan ikan pelagis besar
terdiri dari tongkol (Auxis thazard) dan tenggiri (Scomberomorus spp.)
dari Samudra Indonesia.
Ketika massa air hangat dari laut Jawa mengalir akan membuat
kondisi nyaman bagi ikan pelagis kecil. Di selat ini puncak penangkapan
terjadi di bulan Juni sedangkan di bulan September-Oktober
penangkapan menurun.
161
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
162
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
Table 1. Karakter dari ikan pelagis dan proses fisis laut (Hendiarti et al.,
2005).
Regions Spesies Dominan Karakter musim dan proses
8.Laut
4. ENSO
Jawa DAN IKAN SmallTANGKAP
pelagic: a) Max.: Sept Warm and
oceanic: D. Nov (SE rich surface
Fenomena El Niño seringkali
macrosoma, A. dihubungkan
monsoon) dengan perubahan
current,
fisis dan biologis di lautan yang
sirm, R. mempengaruhi
kanagurta; Min.: distribusi
March ikan.
- Beberapa
b) neritic: D. April
perubahan penting yang diakibatkan adalah perubahan pada suhu muka
russelli;
laut, pergerakan vertikal, c) coastal:
struktur thermal laut (terutama di pesisir) dan
S.
perubahan arus upwelling di pesisir. Perubahan tersebut dapat secara
crumenophthalmus,
langsung mempengaruhi komposisi dan kelimpahan ikan. Pada wilayah
S. gibbosa
Selatmengalami
yang Sunda - Small pelagic:
peningkatan Max.: June
suhu permukaan akibat ElSurface water
Niño, spesies
Sardinella spp., (SE and
ikan akan berenang lebih ke daerah sub tropis menjauhi wilayah hangat
Rastrelliger spp., monsoon) upwelling
atau berenang lebih dalam. Ikan yang bertahan akan mengalami
Selaroides
pelambatan pertumbuhan, reproduksi, dan daya tahan.
leptolepis,
Decapterus spp.
Pada saat El- Big
Niño tahun 1997 terjadi
pelagic: Min.: pergerakan ikan dalam
jumlah besar menjauhi daerah
Auxis tropis dan December
thazard, mengurangi tangkapan ikan di
Scomberomorus
wilayah pasifik timur seperti pantai barat Amerika Serikat. Ikan tropis
seperti mahi- mahi,spp.ikan pedang, marlin garis, dan marlin biru terlihat
Indian Ocean Big pelagic Max.: June Upwelling
berada di lepas pantai Alaska hingga Oregon. Sept.Ikan
(SE lain seperti whitebait
smelt, thresher shark, finescale triggerfish, spotted cuskeel, pacific
monsoon)
saury, common dolphinfish, white seabass, Min.:fantail
Nov ragfish,
- halfmoon,
Jan
ocean sunfish, barracuda, california tonguefish, dan california lizardfish
Bali Strait Small pelagic: S. Max.: Sept.- Influenced by
terpantau pada daerah yang bukan daerah
lemuru asal(SE
Nov. mereka. indirect
Selain itu juga
terjadi pergerakan ke utara dari cumi-cumi monsoon)dan gangguan terhadap
upwelling
pertumbuhan ikan salmon di Samudra Pasifik. Min.: March
Dalam -pengertian ini
- April
terjadi penurunan tangkapan ikan yang berarti kehilangan potensi
163
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
ekonomi. Kasus pada saat El Niño akan sangat berguna karena potensi
perubahan iklim di masa mendatang akan seperti kemiripan dengan
gejala El Niño dan mengetahui proses migrasi ikan akan berguna bagi
peningkatan potensi perikanan tangkap.
Gambar 8.4. Perpindahan ikan skijpack tuna ditandai, dimana a.) tuna
yang dilepas bulan April 1991 dan ditangkap sebelum
Februari 1992. b.) Tuna dilepas bulan Mei 1991, dan
ditangkap sebelum Februari 1992. c.) Trpindahan ikan
skipjack tuna yuna dilepas bulan Maret 1992 dan ditangkap
bulan Oktober 1992. Garis panah menunjukkan arah dan
besaran perpindahan dari ikan tuna beserta metoda pusat
gravity selama masa penangkapan.
164
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
165
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
dan siklus hidup ikan. Perubahan lain yang ditimbulkan adalah kuatnya
potensi kejadian siklon tropis yang menyulitkan aktivitas ikan di laut dan
perubahan tingkat salinitas serta angin permukaan yang dibawanya.
166
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
167
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Pertanyaan:
168
BAB 8 - PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP PERIKANAN
169
BAB 9
171
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
172
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM
173
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Gambar 9.1. Proses pusaran atmosfer (seperti siklon tropis) dan efeknya
di bawah laut
174
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM
Gambar 9.2. Efek perubahan tinggi muka laut dan lapisan termokline
pada saat terjadinya pola siklonik seperti siklon tropis.
175
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
176
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM
177
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
9. 4. TSUNAMI
178
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM
179
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
180
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM
Berikut ini adalah jenis informasi cuaca dan iklim bagi keperluan
pengembangan daerah pesisir, perikanan, pelayaran dan pariwisata
bersumber dari Badan Meteorologi dan Geofisika.
181
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
9. 6. OBSERVASI SATELIT
182
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM
Gambar 9.4 Daya serap (absorbsi) beberapa gas terhadap spektrum radiasi
matahari
183
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
184
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM
185
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
186
BAB 9 - BENTUK BENTUK CUACA EKSTRIM
187
BAB 10
PEMANASAN GLOBAL
189
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
190
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
191
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
192
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
yang tinggal di tepi pantai. Peningkatan tinggi muka air laut merupakan
kontribusi dari dua proses yaitu mencairnya es di kutub dan ekspansi
volume air laut akibat peningkatan suhu air muka laut. Dari kedua hal
tersebut sekitar 1.4 mm/tahun diakibatkan oleh mencairnya es di kutub
sementara 0.4 mm/tahun merupakan kontribusi dari ekspansi volume
air laut akibat peningkatan suhu (IPCC 2007).
193
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
194
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
berjumlah tetap terbagi antara daerah tropis dan tropis baru. Selain
itu lebih banyak siklon akan lebih banyak menarik uap air dari daerah
tropis.
8. Menambah keasaman di laut dan atmosfer dengan penambahan
curah hujan (sirkulasi di tropis) yang mengikat karbon di atmosfer
dan turun sebagai hujan asam.
195
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
196
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
Selain suhu pengamatan perubahan curah hujan dan kadar uap air
di atmosfer juga telah dilakukan. Peningkatan terjadi pada curah hujan
daerah lintang tinggi di belahan bumi utara antara 0.5 hingga 1.0 % per
197
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
198
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
199
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
200
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
pemanasan global lebih mudah dilakukan pada laut dangkal seperti Laut
Cina Selatan (0-5LU, 105-110BT). Pada daerah ini terjadi peningkatan
suhu muka laut tahunan di daerah ini adalah 0.0208 ºC atau 2.08 ºC
dalam seratus tahun. Dengan proyeksi ini maka dalam tahun 2.105
(seratus tahun kemudian) diproyeksikan suhu laut di daerah tersebut
mencapai 31.3 ºC.
201
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
pengganti hutang negara dengan emisi negatif dari hutan karena hutan
mengurangi emisi gas-gas rumah kaca. Yang belum dibahas oleh
pemerintah adalah peran dari kemampuan menyerap dari lautan yang
merupakan kontribusi nyata dan bagian dari wilayah yang luas dari
negara ini.
202
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
sirkulasi air laut. Akibatnya terjadi umpan balik terhadap sistem iklim
dengan perubahan daerah mixing di laut, produksi laut dalam, dan
upwelling di garis pantai yang pada akhirnya akan mempengaruhi
terhadap status, kesetimbangan, produktivitas, dan biodiversivitas zona
pantai dan ekosistem laut. Perubahan distribusi suhu muka laut akan
berakibat dengan perubahan distribusi biota laut dan biodiversitas.
203
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
204
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
205
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
suhu laut dan cuaca ektrem akan mempengaruhi produksi ikan budidaya
dan merusak infra struktur produksi. Peningkatan tinggi muka laut akan
berakibat negatif pada rumpon-rumpon. Peningkatan suhu muka laut
juga berakibat positif akan lebih luasnya peta penyebaran ikan-ikan yang
aslinya dari daerah bersuhu tinggi.
Gambar 10.6. Kondisi strata suhu pada kedalaman laut sebelum (kiri) dan
sesudah (kanan) pemanasan global terjadi pergeseran ke
suhu tinggi di lapisan permukaan, mixing, dan termoklin.
206
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
207
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
208
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
209
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
210
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
yang tinggi yaitu disekitar jalur siklon. Karena kumpulan awan tersebut
tidak merata, sehingga di Indonesia dapat terjadi banjir dan kekeringan
(kebakaran hutan) dalam waktu bersamaan. Selanjutnya karena daya
hidup siklon hanya berlangsung rata-rata 4 hari hingga seminggu, maka
terjadi variabilitas mingguan yang ektrem pada kondisi cuaca Indonesia.
211
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Penelitian pada garis Pantai Amerika bahwa pada akhir abad ini
kerugian akibat kenaikan tinggi muka air laut akan mengakibatkan
kerugian sebesar US$ 20.4 billion. Penelitian dampak potensi kenaikan
tinggi muka laut 0.5 m di Montevideo, Uruguay menyebutkan angka
kerugian hingga US$ 23 juta. Penelitian di Venezuala menunjukkan
angka potensi kerugian dengan kenaikan muka laut 0.5 m adalah US$ 30
billion untuk sepanjang pantai mereka. Diperkirakan akibat erosi pantai
di Amerika sekitar 1500 rumah akan hanyut dengan angka kerugian
properti US$ 530 juta per tahun. Sementara itu untuk Jepang
diperkirakan kenaikan muka laut 0.5 m akan mengakibatkan kerusakan
212
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
US$ 3.4 billion per tahun. Di Inggris, untuk proteksi garis pantai sebesar
4300 km diperlukan biaya sekitar US$ 500 juta per tahun. Total biaya
untuk proteksi dan membuat pelabuhan pelabuhan di Jepang tetap
bekerja seperti sekarang (1.000 pelabuhan) diperkirakan sekitar US$
110 billion untuk kenaikan muka laut 1 m. Hampir keseluruhan beban
biaya tersebut akan ditanggung oleh lembaga keuangan dan asuransi.
213
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Salah satu penyebab lain yang belum dan kurang dibahas adalah
pengaruh dari pemanasan global. Hasil kajian dari NASA menunjukkan
bahwa 5 tahun terpanas sejak pengukuran tahun 1890 berturut turut
adalah tahun 2005, 1998, 2002, 2003, dan 2004. Dari data tersebut,
hanya tahun 1998 yang merupakan tahun La Nina, tahun 2004 adalah
214
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
tahun dengan DM kuat positif, sedangkan sisanya tidak ada indikasi jelas
La Nina ataupun DM kuat. Suatu tahun diindikasikan mengalami La
Nina apabila suhu laut di wilayah Pasifik Barat semisal daerah NINO3
mengalami penurunan di bawah rata-ratanya melebihi nilai standar
deviasinya (stdev) yaitu 1 ºC sedangkan kondisi DM dinyatakan setelah
ada perbedaan antara dua wilayah kutub (dipole) di Samudra Hindia
dengan perbedaan melebihi 0.52 ºC (stdev). Sedangkan hasil kajian data
DM sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa kutub wilayah timurlah
yang lebih berpengaruh terhadap iklim Indonesia yang kondisi terakhir
masih jauh di bawah nilai stdev-nya.
Pelajaran yang dapat diambil dari tahun 2005 atau tahun terpanas
lainnya menunjukkan bahwa kemarau basah akan berlangsung hingga
awal musim hujan tahun tersebut atau kemarau kering yang relatif
pendek. Pada bulan Juni dan Juli 2005 tercatat bahwa Jakarta mengalami
banjir akibat intensitas hujan tinggi. Selain itu jumlah titik api akibat
kebakaran hutan pada musim kemarau tahun-tahun tersebut relatif
sedikit dibandingkan tahun tahun lainnya.
215
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
atau indikasi ke arah dipole mode positif akan lebih kuat sehingga
wilayah selatan Indonesia akan lebih sering mengalami kekeringan.
Sedangkan untuk wilayah lainnya prospek ke depan adalah peningkatan
kemarau basah. Melihat kondisi iklim mendatang seperti inilah terlihat
prospek perubahan iklim di Indonesia dimana terjadi potensi
peningkatan di seluruh wilayah untuk musim kemarau tetapi untuk
bagian selatan Indonesia dari Sumatera Selatan hingga Nusa Tenggara,
kemungkinan terjadi penurunan curah hujan.
Pertanyaan:
216
BAB 10 - PEMANASAN GLOBAL
217
BAB 11
MODEL IKLIM
219
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
waktu atau dan salah satu dimensi ruang. Kelebihan utama model adalah
dapat memberikan solusi secara komprehensif dan memberikan visual
yang lebih baik untuk hubungan beberapa parameter yang ada.
Kekurangan dari model biasanya terletak dari resolusi temporal dan
spasial. Kemampuan model mensimulasikan fenomena iklim dan cuaca
akan meningkat pada fenomena berskala spasial dan temporal yang
sesuai dengan kemampuan model.
Gambar 11.1. Contoh representasi grid T42 (kiri) dan T106 (kanan dari
model iklim atmosfer global. Panel di atas menggambarkan
perbedaan representasi grid sedangkan panel bawah
menggambarkan besarnya kesalahan terhadap data
observasi penakar pada resolusi T106 dari kedua
representasi model tersebut. Panel bawah menunjukkan
adanya pengurangan kesalahan dengan meningkatkan
resolusi model. Gambar diatas memakai hasil model iklim
global ECHAM4.
dimensi. Akibat kemajuan dunia komputasi, maka saat ini hampir tidak
ada masalah untuk menjalankan model berbagai parameter secara
komprehensif dan massive (dalam jumlah besar). Kemampuan terakhir
inilah yang dibutuhkan untuk dunia model iklim yang membutuhkan
perhitungan yang massive dan komprehensif. Saat ini hampir semua
komputer tercanggih di dunia dipakai untuk perhitungan pemodelan
iklim dan cuaca.
221
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
iklim. Saat ini ada dua pemakai utama dari data tersebut yaitu dari
European Centre for Medium Weather Forecast (ECMWF) yaitu
konsorsium Eropa untuk masalah cuaca dan iklim. Pemakai kedua
adalah dari NCEP/NCAR yaitu dari Amerika Serikat. Selain kedua
pemakai utama tersebut Jepang, Australia, dan Kanada juga
mengadakan pemodelan iklim mereka sendiri. Data data observasi
meteorologi pada umumnya bersifat terbuka dan boleh dipakai oleh
siapa saja untuk kepentingan khalayak umum.
222
BAB 11 - MODEL IKLIM
Gambar 11.3. Salah satu penerapan grid sistem curvilinear untuk model
iklim laut global dimana memakai perhitungan detail pada
wilayah tertentu. Pada model grid ini kutub utara
dipindahkan ke wilayah Cina dan kutub selatan ke wilayah
Australia agar mendapatkan detail untuk benua maritim
Indonesia. Kedua kutub, karena dilingkari oleh zona kutub
dan menghindari singularitas, harus diletakkan di daratan,
sehingga posisi yang paling praktis adalah di kedua wilayah
tersebut.
223
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
224
BAB 11 - MODEL IKLIM
225
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
226
BAB 11 - MODEL IKLIM
non ramalan dan non global, data dipenuhi dengan kebutuhan di daerah
batas. Untuk model atmosfer global biasanya membutuhkan data SST,
sedangkan untuk model laut global membutuhkan data atmosfer di
permukaan laut. Sedangkan untuk model iklim regional baik model laut
maupun atmosfer membutuhkan juga data di daerah batas domain di laut
atau di atmosfer pada masing-masing lapisan. Untuk keperluan
pemodelan atmosfer data tersebut biasanya didapat dari hasil reanalisis
cuaca terdahulu. Selain data tersebut yang bersifat dinamis, diperlukan
juga data statis permukaan seperti data orografi dan tutupan lahan. Data
tutupan lahan berisi data jenis vegetasi yang mana darinya akan diambil
informasi albedo, leaf area index, rasio tutupan hutan dan kekasaran
permukaan.
227
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
228
BAB 11 - MODEL IKLIM
229
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
230
BAB 11 - MODEL IKLIM
231
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Beberapa varian lain dari model iklim yang juga dipakai adalah
model es laut, model hidrologi permukaan, model proses permukaan
tanah, model transport kimia laut dan atmosfer, model biogeokimia dan
model iklim sosioekonomi. Masing-masing model juga terdapat dalam
skala regional dan global. Kecendrungan model selalu mengarah ke
perhitungan global dalam tujuan untuk membuat suatu model sistem
iklim dunia. Sehingga pendekatan untuk menggabungkan beberapa
model merupakan suatu trend pemakaian model iklim tersendiri.
Penggabungan dua buah model iklim tidak selalu mulus karena banyak
faktor terkait. Sebagai contoh antara model iklim laut dan atmosfer dapat
terjadi proses redam yang mengalir ke kedua model tersebut. Hal ini
karena proses tarik-menarik dua gelombang yang berbeda fase dan
frekuensinya. Proses redam tersebut dapat berarti positif karena pada
model iklim yang lepas satu sama lain, biasanya tidak ada kontrol
dinamis di daerah lapis batas model sehingga seringkali hasil keluaran
model bersifat terlalu ektrem seperti curah hujan yang terlalu tinggi.
232
BAB 11 - MODEL IKLIM
233
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Pertanyaan:
234
BAB 11 - MODEL IKLIM
235
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
REFERENSI
237
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). 2001. Report on Indonesia Fish
Stock Assessment, National Fish Stock Assessment Commission,
Indonesia.
Bemmelen, W van, 1922, Land und seebrise in Batavia, Beitr. Phys. Frei
Atmos., 10, 169-177.
Bradley, E. F., P. A. Coppin, and J. S. Godfrey, 1991, Measurements of sensible
and latent heat flux in the western equatorial Pacific Ocean, J.
Geophys. Res., 96, 3375-3389.
Brown, B.E. and Suharsono, 1990, Damage and recovery of coral reefs
affected by El Niño-related seawater warming in the Thousand Islands,
Indonesia. Coral Reefs, 8, 163-170.
Brown, B.E., R.P. Dunne, M.S. Goodson, and A.E. Douglas, 2000, Bleaching
patterns in reef corals. Nature, 404, 142-143.
Bryan K. 1969, A numerical method for the study of the world ocean. Journal of
Computational Physics 4: 347-376.
Charnock, H. 1951, Energy transfer between the atmosphere and the ocean.
Sci. Prog, Oxf 39, 80-95.
Chen, S.A., and W.M. Frank 1993, "A numerical study of the genesis of
extratropical convective mesovortices. Part I: Evolution and dynamics"
J. Atmos. Sci., 50, pp.2401-2426.
Davidson, K. L., P. J. Boyle, and P. S. Guest, 1992, Atmospheric boundary-layer
properties affecting wind forecasting in coastal regions, J. Appl.
Meteorol., 31, 983-994
D'Arrigo D., R. Wilson, 2008, El Niño and Indian Ocean influences on
Indonesian drought: implications for forecasting rainfall and crop
productivity, International Journal of Climatology, 28 (5),.611-616.
Draper D. W., and D. G. Long, 2002, An assessment of SeaWinds on
QuikSCAT wind retrieval, J. Geophys. Res., 107 (C12), 3212.
Ekman V.W. 1905, On the influence of the Earth's rotation on ocean currents.
Arkiv for Matematik, Astronomi, och Fysik: 2 (11).
Emanuel, K.A. 1993, "The physics of tropical cyclogenesis over the Eastern
Pacific. Tropical Cyclone Disasters J. Lighthill, Z. Zhemin, G. J.
Holland, K. Emanuel (Eds.), Peking University Press, Beijing, 136-142
238
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
239
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
240
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
241
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
242
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
243
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
Yu, L., and R.A. Weller, 2007, Objectively analyzed air-sea heat fluxes for the
global ice-free oceans (1981-2005). Bulletin of the American
Meteorological Society 88:527-539.
Zehr, R.M. 1992, "Tropical cyclogenesis in the western North Pacific. NOAA
Technical Report NESDIS 61, U. S. Department of Commerce,
Washington, DC 20233, 181 pp.
244
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
INDEKS
adveksi, 11, 15, 17, 32, 33, 34, 35, 54, El Niño, 39, 40, 54, 57, 59, 60, 62, 63, 86,
155, 235 90, 98, 101, 102, 103, 104, 105,
aerosol, 1, 125, 135, 144, 145, 146, 152, 109, 110, 111, 114, 117, 130, 132,
193, 207, 208 137, 140, 155, 156, 164, 168, 169,
170, 172, 184, 206, 209, 211, 213,
Afrika, 56, 91, 96, 106, 173
214, 215, 217, 218, 220, 221, 238,
angin darat, 28, 54, 65, 82, 145, 146, 243, 245, 246
147, 149, 152, 200, 203, 223
energi latent, 73
angin laut, 81, 119, 121, 125, 126, 127,
ENSO, 1, 40, 44, 57, 60, 62, 66, 101,
145, 146, 147, 148, 149, 152, 203,
103, 104, 105, 110, 112, 113, 114,
204, 223
115, 116, 117, 169, 214, 216, 242,
Angin laut, 81 244, 245, 247
anthropogenic, 82 equinok, 21, 99
arlindo, 37, 39, 42, 52, 54, 58, 59, 61, Eropa, 77, 90, 154, 226
164, 175, 200
eutrophication, 133, 142, 156
Asia, 55, 56, 159
evaporasi, 15, 19, 32, 41, 43, 44, 68, 94,
Australia, 55, 56, 66, 93, 159, 174, 211, 102, 134, 136, 159, 223
226, 229
fitoplankton, 143, 164, 166, 167, 174
bakau, 118, 129, 215
fosfat, 85
biota, 85, 156, 157, 202, 209, 210
Fosfat, 143, 156
blooming, 133, 156
fotosintesa, 85, 130, 208, 210
BMG, 48
freon, 197
Bulk parameterization, 72, 246
gas gas rumah kaca, 12, 83, 195, 208,
cold surge, 43, 63, 64, 65, 109 216, 222, 238
conveyor belt, 2, 38, 90, 117 gelombang gravitasi, 37
Conveyor Belt, 37, 76 geostationer, 129, 148, 149, 190, 191,
Dipole Mode, 2, 108, 222 192
downwelling, 18, 27, 75, 78, 108, 123, geostropis, 38, 39, 42, 59
137, 138, 139, 140, 141, 152, 155, glasier, 197, 201, 206
200
gravitasi, 24, 36, 75, 123, 150
Easterly waves, 91
gunung berapi, 85, 133, 208
ekman, 27, 75, 81, 137, 138
gurun pasir, 85, 193
Ekman, 25, 26, 27, 28, 41, 123, 139, 141,
Hadley, 32, 90, 96, 99, 117, 145
174, 243
hidrostatis, 233, 241
ekuator, 26, 33, 38, 57, 97, 99, 100, 123,
139, 140, 178, 184, 190, 200, 218 Ikan pelagis, 161, 165, 166
245
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
246
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
ocean color, 14, 129, 164, 167 49, 52, 56, 58, 59, 65, 91, 96, 97,
Ombai, 39 105, 108, 161, 166, 177, 221
orografis, 5, 57, 70, 79, 119, 127, 135 samudera Pasifik, 2, 37, 39, 42, 48, 52,
57, 59, 96, 97, 98, 101, 102, 105,
ozon, 12, 195, 197, 214
108, 113, 140, 170, 177, 218
paleo iklim, 131
satelit, 12, 32, 53, 71, 73, 75, 76, 80, 85,
pangan, 115 109, 129, 138, 139, 148, 149, 164,
Papua, 38, 39, 48, 52, 57, 97, 102, 117, 186, 188, 189, 190, 191, 192, 193,
211, 218 194, 203, 204, 207, 235
parameterisasi, 72, 73, 74, 120, 230, 240 sequestration, 83
pemanasan global, 20, 62, 66, 74, 82, seruak dingin, 54, 63, 109, 113
84, 95, 117, 142, 173, 174, 175, siklon tropis, 5, 44, 82, 83, 84, 91, 135,
184, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 172, 176, 177, 178, 179, 180, 181,
206, 207, 208, 209, 210, 211, 213, 182, 183, 184, 187, 192, 194, 210,
215, 216, 218, 219, 220, 221, 222, 216, 217, 223
223, 234, 238
siklon Vamei, 183
penguapan, 10, 11, 20, 21, 23, 30, 32,
Silikat, 156
58, 71, 72, 73, 94, 99, 110, 136,
199, 220 sill, 39
Peru, 57, 138, 140, 155 simulasi, 36, 86, 87, 238, 240
pesisir, 2, 3, 4, 23, 43, 79, 81, 97, 118, sirkulasi Hadley, 90, 96, 99
119, 120, 150, 152, 155, 163, 169, sirkulasi Walker, 97, 98
174, 182, 186, 187, 200, 218, 235, spektrum, 11, 13, 18, 189, 191, 195, 222
236
subsidensi, 58, 80, 99, 105, 106, 107,
plankton, 85, 86, 118, 202 108
polutan, 12, 125, 126, 157, 234, 236 suhu muka laut, 2, 4, 14, 20, 21, 23, 24,
proxi, 76, 131, 132 34, 35, 36, 43, 55, 76, 77, 80, 83,
pulau pulau kecil, 5, 72, 118, 134, 136, 86, 87, 89, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
152 101, 103, 105, 106, 110, 116, 121,
123, 125, 126, 131, 132, 134, 136,
radiasi, 10, 11, 69, 71, 88, 134, 189, 197
138, 139, 140, 141, 146, 155, 159,
Redfield, 133, 156 160, 163, 168, 169, 172, 173, 174,
Rossby, 124, 127 185, 187, 191, 197, 206, 207, 209,
rossby wave, 91 210, 211, 212, 214, 215, 219, 223,
238
salinitas, 10, 24, 28, 29, 30, 31, 32, 33,
40, 41, 42, 43, 130, 137, 144, 146, Sumatera, 64, 91, 105, 106, 110, 111,
156, 162, 165, 166, 172, 200, 206, 112, 113, 114, 137, 148, 183, 185,
209, 210, 211, 214, 235 220, 222, 246, 247
samudera Hindia, 2, 37, 38, 39, 42, 48, terumbu karang, 118, 128, 130, 131,
132, 133, 142, 172, 173, 201, 203,
247
210, 214, 215
thermocline, 17, 18, 52, 59, 60, 68, 71,
153, 155, 156, 213, 218
Timor, 39
tropopause, 33
troposfir, 33, 83, 178, 179, 209
tsunami, 176, 184, 185, 187, 188, 193
turbiditas, 57, 130, 154, 160, 182
turbulensi, 17, 18, 24, 68, 74, 126, 128,
230, 234
upwelling, 18, 27, 28, 37, 75, 78, 85,
103, 108, 119, 122, 123, 124, 125,
137, 138, 139, 140, 141, 152, 155,
156, 160, 164, 166, 167, 168, 169,
172, 173, 174, 187, 200, 209, 210,
212, 222
Walker, 58, 90, 96, 97, 117
warm pool, 38, 39, 48, 97
Wien, 14
zona pantai, 118, 128, 129, 140, 209
248
METEOROLOGI LAUT INDONESIA
BIODATA PENULIS
249