Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sutarto (1991:1) mengatakan tiada organisasi tanpa pimpinan. Courtois

dalam Sutarto (1991:1) berpendapat bahwa “kelompok tanpa pimpinan seperti

tubuh tanpa kepala, mudah menjadi sesat, panik, kacau, anarki”. Ralph Currier

Davis dalam Sutarto (1991:1) menyatakan “organization is any group of

individual that is working toward some command end under leadership.”

(Organisasi adalah suatu kelompok orang yang sedang bekerja ke arah tujuan

bersama di bawah kepemimpinan).

Rivai dalam Pasolong (2013:2-3) menyatakan pemimpin adalah

anggota dari suatu kumpulan yang diberi kedudukan tertentu dan diharapkan

dapat bertindak sesuai kedudukannya. Jadi pemimpin adalah juga seseorang

dalam suatu perkumpulan yang diharapkan dapat menggunakan pengaruhnya

untuk mewujudkan dan mencapai tujuan kelompok. Sudriamunawar dalam

Pasolong (2013:3), pemimpin adalah seseorang yang memiliki kecakapan

tertentu yang dapat mempengaruhi para pengikutnya untuk melakukan kerja

sama ke arah pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Definisi dari kepemimpinan menurut Stoner dalam Pasolong (2013:4),

mengatakan kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mepengaruhi

aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok. Yulk dalam

Pasolong (2013:4) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses


mempengaruhi, yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa

bagi para pengikut, pilihan dari sasaran-sasaran bagi kelompok atau birokrasi,

pengorganisasian dari aktifitas-aktifitas kerja untuk mencapai sasaran-sasaran

tersebut, motivasi dari pengikut untuk mencapai sasaran, pemeliharaan

hubungan kerja sama dan teamwork, serta perolehan dukungan dan kerja sama

dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau organisasi.

Pasolong (2015:36), menyatakan bahwa “gaya kepemimpinan merupakan

cara atau norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang

tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang diamati.

Pasolong (2015:36) juga menyatakan “secara umum gaya kepemimnan hanya

dikenal dalam dua gaya yaitu gaya otoriter dan gaya demokrasi. Gaya

kepemimpinan otoriter biasanya dipandang sebagai gaya yang didasarkan atas

kekuatan posisi dan penggunaan otoritas dalam melaksanakan tugas-tugasnya

sebagai pemimpin. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan

dengan kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses

pemecahan masalah dan pengambilan keputusan”.

Kartasasmita dalam Pasolong (2013:18), menyatakan bahwa

kepemimpinan sangat penting dan amat menentukan dalam kehidupan setiap

bangsa, karena maju mundurnya masyarakat, jatuh bangunnya bangsa,

ditentukan oleh pemimpinnya. Kemudian, Siagian (2013:3) mengemukakan

bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi juga

memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi

tersebut dalam menyelenggarakan berbagai kegiatannya. Hal ini dapat


menunjukkan bahwa kebutuhan organisasi terhadap pemimpin sangatlah

penting dan menyangkut pula terhadap kemampuan seorang pemimpin dalam

mengelola sumber daya guna keberhasilan suatu organisasi.

Cribbin dalam Pasolong (2013:77) mengatakan bahwa “seorang pemimpin

yang baik adalah akan menyesuaikan perilakunya dengan tuntutan keadaan.”

Rivai (2014:148) juga menambahkan manajer juga harus mampu mengadakan

adapatasi perilaku kepemimpinan terhadap tuntutan lingkungan dimana ia

memperagakan kepemimpinannya. Oleh karena itu dalam menerapkan gaya

kepemimpinan seorang pemimpin harusnya mampu menyesuaikan gaya yang

akan diterapakan dengan keadaan yang ada dalam organisasi sehingga apa

yang menjadi tujuan organisasi serta apa yang diharapkan pemimpin dapat

tercapai.

Sehubungan dengan pentingnya pemilihan gaya kepemimpinan, Paul

Hersey dan Ken Blanchard dalam Pasolong (2013:47) mengemukakan tentang

kepemimpinan situasional atau the situational leadership theory yaitu” tidak

ada satu cara terbaik untuk memengaruhi perilaku orang-orang.” Adapun

kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard dalam Pasolong

(2013:50) sebagai berikut: (1) Gaya Instruksi diterapkan kepada bawahan

yang memiliki tingkat kematangan yang rendah. (2) Gaya Konsultasi

diterapkan kepada bawahan yang memiliki tingkat kematangan yang rendah

ke sedang. (3) Gaya Partisipasi diterapkan kepada bawahan yang memiliki

tingkat kematangan dari sedang ke tinggi. (4) Gaya Delegasi diterapkan

kepada bawahan yang memiliki tingkat kematangan yang tinggi. Oleh karena
itu gaya kepemimpinan yang terbaik adalah pemimpin yang mampu

mengadaptasikan gayanya agar sesuai dengan situasi tertentu dalam rangka

meningkatkan kinerjanya.

Pasolong (2015:36-37), menjelaskan bahwa “pemilihan gaya

kepemimpinan yang benar disertai dengan motivasi eksternal yang tepat dapat

mengarahkan pencapain tujuaan perseorangan maupun tujuan birokrasi.

Dengan gaya kepemimpinan atau teknik memotivasi yang tidak tepat, tujuan

birokrasi akan tergganggu dan pegawai-pegawai dapat merasa kesal, gelisah,

konfilk dan tidak puas”.

Politeknik Negeri Ujung Pandang adalah instansi perguruan tinggi yang

memiliki 6 jurusan, salah satunya ialah jurusan Administrasi Niaga yang

terdiri dari 2 prodi yaitu D4 Administrasi Bisnis dan D3 Administrasi Bisnis.

Administrasi Niaga sebagai salah satu jurusan Politeknik Negeri Ujung

Pandang harus merencanakan strategi kerja yang efektif dan efesien. Hal itu

dilakukan untuk meningkatkan atau melebihi target yang telah direncanakan.

Untuk mewujudkan hal itu semua, diperlukan seorang pemimpin yang mampu

mengorganisasikan dan mengontrol dengan baik seluruh kegiatan

bawahannya . Seperti halnya pada jurusan Administrasi Niaga Politeknik

Negeri Ujung Pandang, perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada

karyawan masih sangat kurang, hal ini didasari atas banyak hal diantaranya,

pimpinan memiliki pemikiran dari yang tidak sejalan dengan bawahannya,

terutama pada kebijakan-kebijakan yang diberikan serta pada saat

pengambilan keputusan. Bawahan akan cenderung menilai pimpinan tidak


demokratis ketika saran atau masukan yang diberikan tidak dijalankan.

Sebaliknya pimpinan akan dinilai tidak konsisten ketika menerima dan

melakukan semua saran.

Namun pada kantor tersebut kebutuhan para bawahan berbeda-beda, tetapi

perilaku pemimpin kepada para bawahan cenderung sama rata. Seperti yang di

jelaskan sebelumnya apabila pemimpin tidak dapat memilih gaya yang tepat

maka pencapaian tujuan organisasi menjadi terhambat.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mengangkat judul “Gaya

Kepemimpinan Ketua Jurusan Administrasi Niaga”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka ditetapkanlah rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Gaya kepemimpinan apa yang diterapkan Ketua Jurusan Administrasi

Niaga?

2. Apa yang menyebabkan sehingga adanya ketidaksesuain antara pimpinan

dan bawahan pada Jurusan Administrasi Niaga?

3. Mengapa gaya kepemimpinan yang digunakan oleh Ketua Jurusan

Administrasi Niaga cenderung tidak sesuai dengan lingkungan yang

dipimpinnya?

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terfokus pada gaya kepemimpinan dari Ketua Jurusan

Administrasi Niaga Politeknik Negeri Ujung Pandang.


1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu ;

Untuk mengetahui gaya kepemimpinan yang digunakan oleh Ketua Jurusan

Administrasi Niaga dan bagaimana feedback dari gaya yang digunakan.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu ;

1. Sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian studi pada Program Studi D3

Administrasi Bisnis Politeknik Negeri Ujung Pandang.

2. Sebagai sumbangan pemikiran atau masukan bagi Jurusan Administrasi

Niaga

3. Dapat menjadi referensi bagi pihak yang membutuhkan.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi-Definisi

2.1.1 Definisi Pemimpin

Pemimpin Berasal dari bahasa Inggris leader. Pemimpin merupakan

seseorang yang mempunyai kekuasaan untuk memengaruhi orang lain, Thoha

(2014:248). Menurut Bennis dalam Pasolong (2013:2) bahwa “pemimpin

adalah orang yang paling berorientasi hasil, dan kepastian dari hasil ini hanya

positif kalau seseorang mengetahui apa yang diinginkannya”. Selanjutnya

Kouzes dalam Pasolong (2013:2) juga mengemukakan bahwa “pemimpin

adalah pionir sebagai orang yang bersedia melangkah kedalam situasi yang

tidak diketahui”.

2.1.2 Perbedaan Pemimpin dan Pimpinan

Pemimpin dan pimpinan merupakan dua istilah yang hampir sama namun

mempunyai arti yang berbeda. Pemimpin menurut Syafi’ie dalam Pasolong

(2013:3) adalah “ orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses

kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu

dalam mencapai tujuan”. Sementara Rukmana dalam Pasolong (2013:3)

mengemukakan bahwa “pejabat sudah pasti pimpinan, tapi belum tentu dapat

berperan sebagai pemimpin. Sedangkan definisi pimpinan menurut Pasolong

(2013:3) “Pimpinan adalah mencerminkan kedudukan seseorang atau


sekelompok orang pada hierarkhi tertentu dalam birokrasi formal maupun

informal”. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pemimpin

adalah orang yang mempunyai kemampuan dalam memengaruhi orang lain

dalam pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan pemimpin adalah orang yang

menduduki jabatan struktural dalam suatu organisasi.

2.1.3 Definisi Kepemimpinan

Kepemimpinan secara luas meliputi proses memengaruhi dalam

menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku bawahan dalam mencapai

tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya, Rivai

(2014:2).

Definisi tentang kepemimpinan juga dikemukakan Robbins (2010:432)

sebagai “kemampuan untuk memengaruhi kelompok menuju pencapaian

sasaran”. Selanjutnya Kouzes dan Posner dalam Pasolong (2013:4)

mengatakan “kepemimpinan adalah penciptaan cara bagi orang untuk ikut

berkontribusi dalam mewujudkan sesuatu yang luar biasa”.

2.1.4 Perbedaan Kepemimpinan dan Manajemen

Kepemimpinan dan manajemen adalah dua istilah yang sering dikacaukan.

Keduanya mempunyai arti yang berbeda namun kadangkala disejajarkan atau

disamakan. Kepemimpinan menurut Robbins dalam Pasolong (2013:4)

merupakan “kemampuan untuk memengaruhi kelompok menuju pencapaian

sasaran”. Sedangkan manajemen menurut Terry dalam Pasolong (2013:97)

menyatakan bahwa “manajemen adalah suatu proses membeda-bedakan atas:


perencanaan, pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan, dan pengawasan

dengan memanfaatkan baik ilmu maupun seni, agar dapat menyelesaikan

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya”.

Pendapat lain dikemukakan Hersey dan Blanchard dalam Pasolong

(2013:97) mendefinisikan “manajemen sebagai proses kerja sama dengan dan

melalui orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasi”. Jadi,

di sini jelas terdapat perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen seperti

yang dikemukakan Thoha (2014:261) bahwa “manajemen merupakan jenis

pemikiran yang khusus dari kepemimpinan di dalam usahanya mencapai

tujuan organisasi”. Oleh sebab itu antar kepemimpinan dan manajemen

terdapat perbedaan yang penting untuk diketahui. Pada hakikatnya

kepemimpinan mempunyai pengertian agak luas dibandingkan manajemen,

Thoha (2014:261).

2.2 Gaya Kepemimpinan

2.2.1 Definisi-Definisi

Pasolong (2015:37), menjelaskan “gaya pada dasarnya berasal dari bahasa

Inggris “style” yang berarti mode seseorang yang selalu nampak menjadi ciri

khas orang tersebut”. Stoner dalam Pasolong (2015:37) mengatakan bahwa

gaya kepemimpinan (leadership style) adalah berbagai pola tingkah laku yang

disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi

pekerja. Gaya kepemimpinan menurut Thoha dalam Pasolong (2015:37)

adalah merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat

orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Gaya


kepemimpinan menurut Hersey & Blanchard dalam Pasolong (2015:37)

adalah pola-pola perilaku konsisten yang mereka terapkan dalam bekerja

dengan dan melalui orang lain seperti dipersepsikan orang-orang itu. Pola-pola

itu timbul pada diri orang-orang pada waktu mereka mulai serupa, pola itu

membentuk kebiasaan tindakan yang setidaknya dapat diperkirakan bagi

mereka yang bekerja dengan pemimpin itu.

2.2.2 Jenis-Jenis Gaya Kepemimpinan

Salusu (2014:194) mengatakan “pada dasarnya ada tiga kategori gaya

kepemimpinan yang dikembangkan oleh Lewin, Lippit, dan White yaitu

otokratik, demokratik, dan laissez-faire”. Sedangkan gaya kepemimpinan

menurut Thoha (2014:303) merupakan norma perilaku yang digunakan oleh

seseorang pada saat orang tersebut mencoba memengaruhi perilaku orang lain

seperti yang ia lihat. Hal ini sama dengan yang dikemukakan Stoner dalam

Pasolong (2013:37) bahwa “gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku

yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan memengaruhi

pekerjaan”. Stoner membagi dua gaya kepemimpinan yaitu: (1) Gaya yang

berorientasi pada tugas, mengawasi pegawai secara ketat untuk memastikan

tugas dilaksanakan dengan memuaskan. (2) Gaya yang berorientasi pada

pegawai, lebih menekankan kepada memotivasi ketimbang mengendalikan

bawahan. Beberapa dibawah ini merupakan gaya kepemimpinan, yaitu:

1. Gaya Kepemimpinan Kontinum

Gaya kepemimpinan kontinum termasuk dalam gaya

kepemimpinan klasik yang diperkenalkan oleh Robert Tannenbaum dan


Werren Schmidt dalam Thoha (2014:304). Keduanya menggambarkan

gagasannya dalam sebuah gambar yang memiliki dua bidang pengaruh

yang ekstrem. Bidang pertama adalah pengaruh pimpinan dan bidang

kedua adalah kebebasan bawahan.

Pada bidang pertama, pemimpin menggunakan otoritasnya dalam gaya

kepemimpinannya, sedangkan pada bidang kedua, pemimpin menunjukkan

gaya yang demokratis. Kedua bidang pengaruh ini dipengaruhi dalam

hubungannya kalau pemimpin melakukan aktivitas pembuatan keputusan.

Ada tujuh model gaya pembuatan keputusan yang dilakukan pemimpin.

Ketujuh model ini masih dalam kerangka dua gaya otokratis dan

demokratis di atas, yaitu:

1) Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan

kepada bawahannya. Model ini terlihat bahwa otoritas yang

dipergunakan atasan terlalu banyak sedangkan daerah kebebasan

bawahan sempit sekali.

2) Pemimpin menjual keputusan. Dalam hal ini, pemimpin masih

terlihat banyak menggunakan otoritas yang ada padanya, sehingga

persis dengan model pertama. Bawahan di sini belum banyak terlibat

dalam pembuatan keputusan.

3) Pemimpin memberikan pemikiran-pemikiran atau ide-ide dan

mengundang pertanyaan-pertanyaan. Dalam model ini pemimpin

sudah menunjukkan kemajuan, dibatasinya penggunaan otoritasnya

dan diberikan kesempatan bawahan untuk mengajukan pertanyaan-


pertanyaan. Bawahan sudah sedikit terlibat dalam rangka pembuatan

keputusan.

4) Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang

kemungkinan dapat diubah. Bawahan sudah mulai banyak terlibat

dalam rangka pembuatan keputusan, sementara otoritas pemimpin

sudah mulai dikurangi penggunaannya.

5) Pemimpin memberikan persoalan-persoalan, meminta saran-saran,

dan membuat keputusan. Model ini sudah jelas, otoritas pimpinan

dipergunakan sedikit mungkin, sebaliknya kebebasan bawahan

dalam partisipasi membuat keputusan sudah banyak dipergunakan.

6) Pemimpin merumuskan batas-batasnya, dan meminta kelompok

bawahan untuk membuat keputusan. Partisipasi bawahan dalam

kesempatan ini lebih besar dibandingkan dalam model kelima.

7) Pemimpin mengizinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam

batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin. Model ini terletak

pada titik ekstrem penggunaan kebebasan bawahan, adapun titik

ekstrem penggunaan otoritas pada model nomor satu diatas.

Gaya kepemimpinan Kontinum digambarkan sebagai berikut:


Gambar 2.1 Perilaku Kontinum Pemimpin

2. Gaya Manajerial Grid

Manajerial Grid merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang

terkenal untuk mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang diterapkan

dalam manajemen. Gaya ini dirumuskan dan diperkenalkan oleh Robert

R. Blake dan Jane S. Mounton dalam Thoha (2014:307). Dalam gaya

atau pendekatan ini, manajer berhubungan dengan dua hal yakni:

Produksi (concern for production) di satu pihak dan Orang-orang

(concern for people) di pihak lain. Manajerial Grid menekankan

bagaimana manajer memikirkan produksi dan hubungan manajer serta

memikirkan produksi dan hubungan kerja dengan manusianya. Bukannya

ditekankan pada berapa banyak produksi harus dihasilkan, dan berapa

banyak ia harus berhubungan dengan bawahan.

Menurut Blaku dan Mouton dalam Thoha (2014:307), terdapat

empat gaya kepemimpinan yang dikelompokkan sebagai gaya yang

ekstrem, sedangkan lainnya hanya satu gaya yang dikatakan berada


ditengah-tengah gaya ekstrem tersebut. Sebagaimana ditunjukkan dalam

gambar berikut:

Gambar

2.2

Manajerial Grid

1. Grid 1.1, Improvership Management. Pada grid ini, manajer sedikit

sekali usahanya untuk memikirkan orang-orang yang bekerja

dengannya, dan produksi yang seharusnya dihasilkan oleh

organisasinya. Dalam menjalankan tugas manajer dalam grid ini

menganggap dirinya sebagai perantara yang hanya

mengkomunikasikan informasi dari atasan kepada bawahan.

2. Grid 9.9, Team Management. Pada grid ini, manajer mempunyai rasa

tanggung jawab yang tinggi untuk memikirkan baik produksi

maupun orang-orang yang bekerja dengannya. Dia mencoba untuk


merencanakan semua usahanya dengan senantiasa memikirkan

dedikasinya pada produksi dan nasib orang-orang yang bekerja

dalam organisasinya. Manajer yang termasuk dalam Grid ini

dikatakan sebagai manajer Tim yang riil (the real team manajer). Dia

mampu memadukan kebutuhan-kebutuhan produksi dengan

kebutuhan orang-orang secara individu.

3. Grid 1.9, Country Club Management. Pada grid ini, manajer

mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memikirkan

orang-orang yang bekerja dalam organisasinya. Tetapi pemikirannya

mengenai produksi rendah. Manajer seperti ini dinamakan pemimpin

klub (The country club management). Manajer ini berusaha

menciptakan suasana lingkungan yang semua orang bisa bekerja

rileks, bersahabat dan bahagia dalam organisasinya.

4. Grid 9.1, Authority Compliance. Pada grid ini, manajer disebut

sebagai manajer yang menjalankan tugas secara otokratis (autocratic

task managers). Manajer semacam ini hanya mau memikirkan

tentang usaha peningkatan efisiensi pelaksanaan kerja, tidak

mempunyai atau hanya sedikit rasa tanggung jawabnya pada orang-

orang yang bekerja dalam organisasinya.

5. Grid 5.5, Middle of the road Management. Pada grid ini, Manajer

mempunyai pemikiran yang medium baik pada produksi maupun

pada orang-orang. Dia berusaha menciptakan dan membina moral

orang-orang yang bekerja dalam organisasi yang dipimpinnya, dan


produksi dalam tingkat yang memadai, tidak terlampau mencolok.

Dia tidak menciptakan target yang tinggi sehingga sulit dicapai, dan

berbaik hati mendorong orang-orang untuk bekerja lebih baik.

3. Gaya Kepemimpinan Tiga Dimensi

Gaya kepemimpinan Tiga Dimensi diperkenalkan oleh William J. Reddin.

Reddin dalam Thoha (2014:310) merumuskan tiga gaya efektivitas kepemimpinan

dalam modelnya, sehingga model ini dikenal dengan Gaya Kepemimpinan Tiga

Dimensi Reddin. Dalam modelnya, Reddin menggambarkan tiga kotak sebagai

pembeda tiga dimensi kepemimpinan. Kotak di tengah menggambarkan gaya

dasar dari kepemimpinan seseorang. Sementara kotak di tengah yang ditarik ke

atas dan ke bawah menggambarkan gaya efektif dan tidak efektif dari seorang

pemimpin. Pada kotak atas, terdapat empat gaya kepemimpinan efektif, yaitu:

1. Executive, Gaya ini banyak memberikan perhatian pada tugas-tugas

pekerjaan dan hubungan kerja. Seorang manajer yang menggunakan gaya

ini disebut sebagai motivator yang baik, mau menetapkan standar kerja

yang tinggi, berkehendak mengenal perbedaan diantara individu, dan

berkeinginan menggunakan tim kerja dalam manajemen.

2. Developer, Gaya ini memberikan perhatian yang maksimum terhadap

hubungan kerja, dan perhatian yang minimum terhadap tugas-tugas

pekerjaan. Seorang manajer yang menggunakan gaya ini mempunyai

kepercayaan yang implisit terhadap orang-orang yang bekerja dalam


organisasinya, dan sangat memperhatikan pengembangan mereka sebagai

individu.

3. Benevolent Autocrat, Gaya ini memberikan perhatian yang maksimum

terhadap tugas, dan perhatian minimum terhadap hubungan kerja.

Manajer ini mengetahui secara tepat apa yang ia inginkan dan bagaimana

memperoleh yang diinginkan tersebut tanpa menyebabkan

ketidaksenangan di pihak lain.

4. Bureaucrat, Gaya ini memberikan perhatian yang minimum baik

terhadap tugas maupun hubungan kerja. Manajer ini sangat tertarik pada

peraturan-peraturan dan menginginkan peraturan tersebut dipelihara serta

melakukan kontrol situasi secara teliti.

Sementara itu, pada kotak paling bawah, terdapat empat Gaya

Kepemimpinan yang tidak efektif, yaitu:

1. Compromiser, Gaya ini memberikan perhatian yang besar pada tugas dan

hubungan kerja dalam suatu situasi yang menekankan pada kompromi.

Manajer seperti ini merupakan pembuat keputusan yang tidak bagus

karena banyak tekanan yang mempengaruhinya.

2. Missionary, Gaya ini memberikan penekanan yang maksimum pada

orang-orang dan hubungan kerja, tetapi memberikan perhatian minimum

terhadap tugas dan perilaku yang tidak sesuai. Manajer semacam ini

hanya menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan dalam dirinya sendiri.

3. Autocrat, Gaya ini memberikan perhatian maksimum terhadap tugas dan

minimum terhadap hubungan kerja dengan suatu perilaku yang tidak


sesuai. Manajer seperti ini tidak mempunyai kepercayaan pada orang

lain, tidak menyenangkan, dan hanya tertarik pada jenis pekerjaan yang

segera selesai.

4. Deserter, Gaya ini sama sekali tidak memberikan perhatian baik pada

tugas maupun pada hubungan kerja. Dalam situasi tertentu gaya ini tidak

begitu terpuji, karena manajer seperti ini menunjukkan sikap positif dan

tidak mau ikut campur secara aktif dan positif.

Gaya kepemimpinan Tiga dimensi Reddin ini dapat digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 2.3

Kepemimpinan Tiga Dimensi

4. Gaya Kepemimpinan Keating

Keating dalam Pasolong (2013:38) membagi gaya kepemimpinan yaitu (1)

kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan (2) kepemimpinan

yang berorientasi pada manusia (human relationship oriented).

Gaya ini dikembangkan menjadi teori 4 (empat) gaya kepemimpinan

yaitu:
1. Kekompakan tinggi dan kerja rendah: Gaya kepemimpinan ini berusaha

menjaga hubungan baik, keakraban dan kekompakan kelompok, tetapi kurang

memperhatikan unsur tercapainya tujuan kelompok atau penyelesaian tugas-

tugas bersama. Inilah gaya kepemimpinan dalam perkumpulan social

rekreatif. Dalam perkumpulan semacam itu, seperti kelompok rekreasi,

peguyuban, persahabatan, yang sebagian besar perhatian diberikan kepada

hubungan antar kelompok, kalau ada, sedikit dan kadang-kadang saja. Maka

gaya ini tidak akan jalan, jika dipergunakan bagi kelompok yang bertujuan

untuk mencapai sesuatu, kelompok yang dituntut harus produktif. Sebab

tuntutannya adalah hasil kerja atau tercapainya tujuan bukan pada keakraban,

kesenangan atau kegembiraan bersama saja.

2. Kerja Tinggi Kekompakan Rendah: gaya ini menekankan segi

penyelesaian tugas dan tercapainya tujuan kelompok. Gaya kepemimpinan ini

menampilkan gaya kepemimpinan direktif. Gaya kepemimpinan itu baik

untuk kelompok yang baru dibentuk, yang membutuhkan tujuan dan sasaran

yang jelas, dan kelompok yang telah kehilangan arah, tidak mempunyai lagi

tujuan dan sasaran, tidak mempunyai kriteria untuk meninjau lagi hasil

kerjanya, yang sudah kacau dan tak berarti lagi. Karena gaya ini memberi

kejelasan tujuan dan sasaran kerja serta pengawasan yang ketat atas usaha

mencapai tujuan dan sasaran itu. Gaya kepemimpinan yang direktif ini tepat

dipergunakan dalam usaha dagang yang penuh persaingan, situasi gawat dan

dikalangan militer.
3. Kerja Tinggi dan Kekompakan Tinggi. Gaya kepemimpinan ini ideal

digunakan untuk membentuk kelompok baru. Karena setiap kelompok baru

membutuhkan kejelasan tujuan dan sasaran, struktur kerja untuk mencapai

tujuan dan sasaran itu, serta usaha untuk membina hubungan antara para

anggota. Waktu menggunakan gaya kepemimpinan itu untuk membentuk

kelompok, pemimpin perlu melengkapi dengan contoh. Pemimpin perlu

menjadi model untuk kelompok dengan menunjukkan perilaku yang membuat

kelompok efektif dan puas.

4. Kerja rendah dan kekompakan rendah. Gaya kepemimpinan ini ideal

digunakan bagi kelompok yang telah memiliki kejelasan tujuan dan

sasarannya, telah mengetahui langkah-langkah untuk mencapainya, serta

mengetahui bagaimana menjaga kehidupan kelompok selama mencapai

tujuan dan sasarannya. Gaya kepemimpinan ini merupakan gaya

kepemimpinan yang menggairahkan untuk kelompok yang sudah jadi.

Keputusan untuk mempergunakan gaya kepemimpinan ini amat tergantung

pada sejarah dan keadaan kelompok yang ada. Apakah kelompok itu memang

sudah dan masih mampu menjalankan tugas untuk mencapai tujuan bersama

dan untuk menjaga kekompakan kelompok; apakah kelompok sudah dan

masih mempergunakan struktur kerja dan cara kerja yang sehat; apakah

kelompok itu sudah dan masih peka terhadap kebutuhan kelompok? Kalau

kelompok memang sudah matang, tugas pemimpin menjadi terbatas dan

melengkapi hal-hal yang belum ditangani oleh kelompok.

5. Gaya Kepemimpinan House


Gaya kepemimpinan ini disebut pula dengan Teori Path-Goal atau

House’s path goal theory yang dikembangkan oleh Robert J. House, yang

berakar pada teori harapan yang dikembangkan oleh Victor Vroom dan juga

Martin G. Evans.

Menurut House dalam Pasolong (2013:39) mengemukakan ada empat gaya

kepemimpinan yang dapat mempengaruhi kepuasan dan kinerja karyawan,

sebagaimana berikut:

1. Kepemimpinan direktif: pemimpin memberikan pedoman, yang

memungkinkan bawahan tahu apa yang diharapkan dari mereka, menetapkan

standar kinerja bagi mereka, dan mengontrol perilaku ketika standar kinerja

tidak terpenuhi. Pemimpin secara bijaksana memberikan penghargaan dan

sanksi disiplin. Bawahan diharap mengikuti aturan dan kebijakan yang

dikeluarkan.

2. Kepemimpinan suportif: pemimpin yang sifatnya mengayomi bawahan

dan menampilkan perhatian pribadi terhadap kebutuhan, dan kesejahteraan

mereka.

3. Kepemimpinan partisipatif: pemimpin yang percaya pengambilan

keputusan dalam kelompok dan berbagi informasi dengan bawahan. Dia

berkonsultasi bawahannya mengenai keputusan penting berkaitan dengan

pekerjaan, tujuan tugas, dan cara untuk menyelesaikan tujuan.

4. Kepemimpinan berorientasi prestasi: pemimpin menetapkan tujuan yang

menantang dan mendorong karyawan untuk mencapai kinerja terbaik mereka.

Pemimpin percaya bahwa karyawan cukup bertanggung jawab untuk


mencapai tujuan yang menantang. Gaya ini sama dengan pandangan teori

penetapan tujuan.

2.3 Kepemimpinan Situasional

Kepemimpinan situasional atau the situational leadership theory adalah

gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard.

Hersey dan Blanchard dalam Pasolong (2013:47) mengatakan bahwa

kepemimpinan situasional, “tidak ada satu cara terbaik untuk memengaruhi

perilaku orang-orang”. Hersey dan Blanchard dalam Thoha (2014:317)

mengemukakan dasar dari kepemimpinan situasional adalah:

1. Sejumlah Petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan.

2. Sejumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan

3. Tingkat kesiapsiagaan yang para bawahan tunjukkan dalam melaksanakan

tugas khusus, fungsi dan sasaran.

Menurut Hersey dan Blanchard dalam Rivai (2014:25), hubungan antara

pimpinan dan anggotanya mempunyai empat tahap/fase yang diperlukan bagi

pimpinan untuk mengubah gaya kepemimpinannya, yaitu: (1) Perhatian pimpinan

pada tugas sangat tinggi, anggota diberi instruksi yang jelas dan dibiasakan

dengan peraturan, struktur, dan prosedur kerja. (2) Anggota sudah mampu

menangani tugasnya, perhatian pada tugasnya sangat penting karena bawahan

belum dapat bekerja tanpa struktur. (3) Anggota mempunyai kemampuan lebih

besar dan motivasi berprestasi mulai tampak dan mereka secara aktif mencari

tanggung jawab yang lebih besar. (4) Tahap di mana anggota mulai percaya diri,
dapat mengarahkan diri dan berpengalaman, pemimpin dapat mengurangi jumlah

perhatian dan pengarahan.

Dalam hubungannya dengan perilaku pemimpin ini, ada dua hal yang

biasanya dilakukan terhadap bawahannya atau pengikutnya menurut Hersey dan

Blanchard dalam Thoha (2014:318) yakni perilaku mengarahkan dan perilaku

mendukung.

Perilaku mengarahkan adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan

dalam komunikasi satu arah. Bentuk pengarahan dalam komunikasi satu arah ini

antara lain, menetapkan peranan yang seharusnya dilakukan pengikut,

memberitahukan pengikut tentang apa yang seharusnya bisa dikerjakan, dimana

melakukan hal tersebut, bagaimana melakukannya dan melakukan pengawasan

secara ketat kepada pengikutnya.

Perilaku mendukung adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan

diri dalam komunikasi dua arah, misalnya mendengar, menyediakan dukungan

dan dorongan, memudahkan interaksi, dan melibatkan pengikut dalam

pengambilan keputusan. Kedua norma perilaku tersebut ditempatkan pada dua

poros yang terpisah dan berbeda seperti gambar dibawah ini:


Gambar 2.4 Empat Dasar Kepemimpinan

Gaya 1 (G1), seorang pemimpin menunjukkan perilaku yang banyak

memberikan pengarahan dan sedikit dukungan. Pemimpin ini memberikan

instruksi yang spesifik tentang peranan dan tujuan bagi pengikutnya, dan secara

ketat mengawasi tugas mereka. Dalam hal ini pemimpin memberikan batasan

peranan pengikutnya dan memberi tahu mereka tentang apa, bagaimana, bilamana

dan dimana melaksanakan berbagai tugas. Inisiatif pemecahan masalah dan

pembuatan keputusan semata-mata dilakukan oleh pemimpin. Pemecahan masalah

dan keputusan diumumkan, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh

pemimpin.

Gaya 2 (G2), pemimpin menunjukkan perilaku yang banyak mengarahkan

dan banyak memberikan dukungan. Dalam gaya ini dirujuk sebagai Konsultasi,

karena dalam menggunakan gaya ini, pemimpin masih banyak memberikan

pengarahan dan masih membuat hampir sama dengan keputusan, tetapi hal ini

diikuti dengan meningkatkan banyaknya komunikasi dua arah dan perilaku

mendukung, dengan berusaha mendengar perasaan pengikut serta ide-ide dan

saran-saran mereka. Tetapi tetap pemimpin harus terus memberikan pengawasan

dan pengarahan dalam penyelesaian tugas-tugas pengikutnya.

Gaya 3 (G3), perilaku pemimpin menekankan pada banyak memberikan

dukungan dan sedikit pengarahan. Gaya ini dirujuk sebagai Partisipasi, karena

posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuat keputusan yang dipegang

secara bergantian. Dengan penggunaan gaya 3 ini, pemimpin dan pengikut saling

tukar menukar ide dalam pemecahan masalah, komunikasi dua arah ditingkatkan,
dan pemimpin juga mendukung usaha-usaha mereka dalam menyelesaikan tugas

pengikutnya.

Gaya 4 (G4), perilaku pemimpin yang memberikan sedikit dukungan dan

sedikit pengarahan. Gaya ini dirujuk sebagai Delegasi, karena pemimpin

mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai

kesepakatan mengenai definisi masalah yang kemudian proses pembuat keputusan

didelegasikan secara keseluruhan kepada bawahan. Pemimpin memberikan

kesempatan yang luas bagi bawahan untuk melaksanakan pengontrolan atas tugas-

tugasnya, karena mereka memiliki kemampuan dan keyakinan untuk mengemban

tanggung jawab dalam pengarahan perilaku mereka sendiri.

Hersey dan Blanchard dalam Thoha (2014:325) membagi tingkat

kematangan bawahan dalam empat tingkat: rendah (M1), rendah ke sedang (M2),

sedang ke tinggi (M3), dan tinggi (M4).

Selanjutnya Hersey dan Blanchard dalam Thoha (2014:325)

menggambarkan hubungan antara tingkat kematangan para bawahan dengan gaya

kepemimpinan yang untuk diterapkan ketika para pengikut bergerak dari

kematangan yang sedang ke kematangan yang telah berkembang. Hubungan

tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:


Gambar 2.5 Gaya Kepemimpinan Situasional

G1 (Instruksi), diberikan untuk pengikut yang rendah kematangannya.

Orang yang tidak mampu dan mau (percaya diri) (M1) memiliki tanggungjawab

untuk melaksanakan sesuatu adalah tidak kompeten atau tidak memiliki

keyakinan. Dalam banyak kasus ketidakinginan mereka merupakan akibat dari

ketidakyakinannya atau kurangnya pengalaman dan pengetahuannya berkenaan

dengan suatu tugas. Dengan demikian, gaya pengarahan (G1) memberikan

pengarahan yang jelas dan spesifik.

G2 (Konsultasi), adalah untuk tingkat kematangan rendah ke sedang.

Orang yang tidak mampu tetapi berkeinginan (M2) untuk memikul

tanggungjawab memiliki keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan. Dengan

demikian, gaya konsultasi (G2) yang memberikan perilaku mengarahkan, karena

mereka kurang mampu, juga memberikan perilaku mendukung untuk memperkuat

kemampuan dan antusias, tampaknya merupakan gaya yang sesuai digunakan bagi

individu pada tingkat kematangan seperti ini.

G3 (Partisipasi), adalah bagi tingkat kematangan dari sedang ke tinggi.

Orang-orang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampuan tetapi tidak

berkeinginan (M3) untuk melakukan suatu tugas yang diberikan. Ketidakinginan

mereka itu seringkali disebabkan karena kurangnya keyakinan. Namun bila

mereka yakin atas kemampuannya tetapi tidak mau, maka keengganan mereka
untuk melaksanakan tugas tersebut lebih merupakan persoalan motivasi

dibandingkan persoalan keamanan. Dengan demikian, gaya yang mendukung,

tanpa mengarahkan, partisipasi (G3) mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi

untuk diterapkan bagi individu dengan tingkat kematangan seperti ini.

G4 (Delegasi), adalah bagi tingkat kematangan yang tinggi. Orang-orang

dengan tingkat kematangan seperti ini adalah mampu dan mau atau mempunyai

keyakinan untuk memikul tanggungjawab (M4). Dengan demikian, gaya delegasi

yang berprofil rendah (G4) memberikan sedikit pengarahan atau dukungan

memiliki tingkat kemungkinan efektif yang paling tinggi dengan individu-

individu dalam tingkat kematangan seperti ini.

2.4 Kerangka Konseptual

PT Maradeka Kelapa Terpadu adalah salah satu Perusahaan yang ada di

Maros. PT Maradeka Kelapa Terpadu ini dipimpin oleh seorang pimpinan

perusahaan yang disebut sebagai Direktur Utama. Seorang pemimpin perusahaan

harus menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kemampuan

bawahannya. Untuk lebih jelasnya dapat dibuat pada kerangka konseptual pada

gambar berikut:

PT Maradeka Gaya
Kelapa Terpadu Kepemimpinan Hasil

1. Gaya Instruksi
2. Gaya konsultasi
3. Gaya partispasi
4. Gaya delegasi
Gaya kepemimpinan menurut Hersey dan
Blanchard dalam Pasolong (2013:50)
Umpan Balik

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.1.1 Tempat Penelitian

Kegiatan ini dilakukan pada Politeknik Negeri Ujung Pandang

yang berlokasi pada Jl. Perintis Kemerdekaan 10, Tamalanrea, Makassar.

3.1.2 Waktu Penelitian

Kegiatan ini akan dilakukan dengan jangka waktu 1 bulan, dimulai

dari bulan Juni hingga bulan Juli.

3.2 Tipe Penelitian

Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang

mendeskripsikan apa yang terjadi pada saat melakukan penelitian”. Di


dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisa, dan

menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada.

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe deskriptif yaitu memberikan

gambaran secara jelas mengenai kepemimpinan situasional Ketua Jurusan

Administrasi Niaga Politeknik Negeri Ujung Pandang.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Pasolong (2016:100) “Populasi adalah keseluruhan atau univers yang ciri-

cirinya atau karakteristik-karakteristiknya dapat diamati untuk ditarik menjadi

suatu sampel dalam penelitian”. Pada penelitian ini, yang menjadi populasi adalah

civitas akademik pada jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Ujung

Pandang.

3.3.2 Sampel

Menurut Nawawi dalam Pasolong (2016:100) “Sampel adalah sebagian bagian

dari populasi yang menjadi sumber data yang sebenarnya dalam suatu penelitian”.

Penelitian ini akan menggunakan teknik random sampling yaitu sistem yang

memberi kesempatan pada seluruh anggota populasi untuk menjadi sampel.

Penarikan sampel yang dilakukan dengan cara acak atau mengundi tanpa

memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi tersebut.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Dalam pelaksanaan penelitian ini, teknik pengumpulan data yang

digunakan untuk memperoleh informasi atau keterangan-keterangan lainnya yang

berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan adalah sebagai berikut.

3.4.1 Kuesioner

Yaitu suatu pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang diisi oleh

responden itu sendiri dengan membuat daftar pertanyaan lalu membagikan ke

seluruh pegawai yang menjadi responden.

3.4.2 Wawancara

Yaitu suatu pengumpulan data melalui daftar pertanyaan langsung yang

harus dijawab oleh informan itu sendiri melalui face to face antara penulis Civitas

Akademika Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Ujung Pandang.

Wawancara yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara tertutup

yaitu dengan menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab informan.

Adapun alat bantu yang digunakan yaitu, buku catatan, dan dokumentasi.

3.5 Jenis Data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Kuantitatif, yaitu data yang menunjukkan angka yang disajikan dalam

tabel.

2. Data Kualitatif, yaitu data yang menunjukkan kualitas tertentu yang

berbentuk kata, kalimat, skema, dan gambar.

3.6 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah “meletakkan arti pada suatu konstruk atau

variabel dengan menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu

untuk mengukur konstruk atau variabel itu”.

Definisi operasional adalah menjabarkan pengertian suatu konsep yang

abstrak dengan menurunkan pada tingkat yang lebih konkret agar konsep tersebut

dapat diukur secara empiris”.

Adapun yang menjadi definisi operasional pada penelitian ini yaitu sebagai

berikut:

1. Gaya Instruksi, yaitu perilaku pemimpin yang menggunakan komunikasi satu

arah terhadap bawahan dalam memberikan pengarahan tentang batasan peran

dan memberitahukan tantang apa, bagaimana, bilamana, dan dimana

pelaksanaan pekerjaan, dalam hal ini perilaku tugas tinggi dan hubungan

rendah. Indikator gaya instruksi yaitu:

a. Pimpinan memberitahukan dengan jelas dan detail mengenai tujuan, apa,

bagaimana dan kapan melakukan pekerjaan.

b. Pimpinan membuat semua keputusan dan kebijaksanaan sepihak.

c. Pimpinan melakukan pengawasan yang ketat terhadap pegawai dalam

melaksanakan pekerjaan.

d. Pimpinan melakukan komunikasi satu arah.

2. Gaya Konsultasi, yaitu perilaku pemimpin yang menggunakan komunikasi

dua arah terhadap bawahan, tetapi masih banyak memberikan pengarahan dan

keputusan masih tetap ada pada pimpinan, dalam hal ini perilaku tugas tinggi

dan hubungan tinggi. Indikator gaya konsultasi yaitu:


a. Pimpinan menerima pendapat pegawai sehubungan dengan keputusan

yang akan diambil.

b. Komunikasi dua arah yang didominasi oleh pimpinan.

c. Pimpinan melakukan pengawasan yang wajar terhadap pegawai dalam

melaksanakan pekerjaan.

d. Pemimpin menjelaskan peran masing-masing pegawai.

e. Pemimpin memberikan semangat untuk meningkatkan kinerja.

3. Gaya Partisipasi, yaitu perilaku pemimpin yang melibatkan bawahan dalam

bentuk tukar-menukar ide dalam pemecahan masalah, dan pengambilan

keputusan sebagian besar berada pada bawahan, dalam hal ini perilaku tugas

rendah dan hubungan tinggi. Indikator gaya partisipasi yaitu:

a. Pimpinan memberikan kelonggaran kepada bawahan dalam mengambil

keputusan.

b. Pimpinan melakukan pengawasan yang longgar terhadap pegawai dalam

melaksanakan pekerjaan.

c. Pimpinan menjadi pendengar yang aktif.

d. Pemimpin mendukung bawahan dalam mengambil risiko.

e. Pemimpin memberikan pujian atas keberhasilan bawahan.

4. Gaya Delegasi, yaitu perilaku pemimpin yang memberikan delegasi kepada

bawahan untuk pembuatan keputusan dan memberikan kesempatan yang luas

bagi bawahan untuk melaksanakannya, dalam hal ini perilaku tugas rendah

dan hubungan rendah. Indikator gaya delegasi yaitu:

a. Pimpinan hanya memberikan gambaran umum tentang tugas bawahan.

b. Pimpinan memberikan hak kepada bawahan untuk membuat keputusan.

c. Komunikasi hanya dalam hal tertentu yang dianggap penting.


d. Pimpinan melakukan pengawasan yang longgar terhadap pegawai dalam

melaksanakan pekerjaan.

3.7 Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu analis yang

digunakan dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang sudah

terkumpul dengan menggunakan skala Likert. Menurut Sugiyono (2016:107)

skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi sesorang

atau sekelompok orang tentang fenomena sosial.

Skala Likert ini digunakan untuk mendapatkan nilai dengan kategori

seperti di bawah ini:

Tabel 3.1: Kategori dan Skor Skala Likert


Kategori Skor
Sangat Sesuai (SS) 5
Sesuai (S) 4
Kurang Sesuai (KS) 3
Tidak Sesuai (TS) 2
Sangat tidak Sesuai (STS) 1
Tabel 3.2: Kategori Skor Untuk Setiap Pertanyaan

No. Rumus Interval Skor Total Kategori


1 78 x 5 = 390 4,2 – 5,0 Sanga Sesuai (SS)
2 78 x 4 = 312 3,4 - 4,1 Sesuai (S)
3 78 x 3 = 234 2,6 - 3,3 Kurang Sesuai (KS)
4 78 x 2 = 156 1,8 – 2,5 Tidak Sesuai (TS)
5 78 x 1 = 78 1 – 1,7 Sangat Tidak Sesuai (STS)

Berdasarkan perhitungan di atas, maka kategorisasi setiap instrumen dapat

digambarkan melalui garis kontinum sebagai berikut :

STS TS KS S SS

1 1,7 2,5 3,3 4,1 5


Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

deskriptif kuantitatif yang membahas tentang masalah yang akan diteliti dengan

menggunakan tabel distribusi frekuensi dengan memberikan presentase terhadap

setiap jumlah tanggapan responden kemudian mengambil kesimpulan dengan

melihat jumlah frekuensi yang tertinggi.

Anda mungkin juga menyukai