Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN RADIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2019

UNIVERSITAS HALU OLEO

SINUSITIS

PENYUSUN :

Rahma Nur Zakia, S.Ked

K1A1 14 058

PEMBIMBING :

dr. Metrila Harwati, M. Kes., Sp. Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Rahma Nur Zakia, S. Ked

NIM : K1A1 14058


Judul referat : Sinusitis

Telah menyelesaikan referat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada

Bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, November 2019

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Metrila Harwati, M. Kes., Sp. Rad

SINUSITIS
Rahma Nur Zakia, Metrila Herawati

2
A. Pendahuluan
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut
rhinosinusitis. Rhinitis dan sinusitis biasanya hidup berdampingan dan
sebagian besar terjadi bersamaan pada sebagian individu.1
Sebagian besar pedoman telah diadopsi istilah rinosinusitis bukan
sinusitis. Diagnosis rinosinusitis dibuat oleh berbagai ahli, yakni ahli
alergi, dokter THT, dan dokter paru, dokter anak, dan banyak lainnya.
Oleh karena itu, agar lebih efisien dan akurat, terminologi yang benar
sekarang adalah rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan
maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang ditemukan. Sinus maksila
disebut juga antrum Highmore, letaknya, letaknya dekat akar gigi
rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut
sinusitis dentogen1,2
Sinusitis dapat terjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi
ke orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan
asma yang sulit diobati.3
Sinusitis adalah salah satu keluhan kesehatan paling sering
ditemukan dalam praktek sehari-hari, serta salah satu penyebab utama
terbanyak penggunaan antibiotik. Dalam 1 tahun, ada sekitar 73 juta
hari aktivitas terbatas pada pasien sinusitis.4
B. Definisi 2
1. Rhinosinusitis pada dewasa
Didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus
paranasal dengan karakteristik dua/lebih gejala. Salah satuya
termasuk berupa sumbatan hidung/ obstruksi/ kongesti/ atau
pilek (sekret hidung anterior/ posterior).
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± penurunan/ hilangnya penghidu

3
dan salah satu dari
• Temuan nasoendoskopi:
- polip dan/ atau
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau
• Pencitraan (foto polos sinus paranasal tidak disarankan)
CT Scan : perubahan mukosa di kompleks osteomeatal
dan/atau sinus.
2. Rhinosinusitis pada Anak
Didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus
paranasal dengan karakteristik dua/lebih gejala., salah satunya
termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior) :
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± batuk
Dan lainnya
 Temuan nasoendoskopi:
- polip dan/ atau
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius
 Pencitraan (foto polos sinus paranasal tidak disarankan)
CT Scan : perubahan mukosa di kompleks osteomeatal
dan/atau sinus.

C. Klasifikasi 5
Klasifikasi RS menurut the American Academy of Otolaryngic

4
Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS) :
1. Rinosinusitis akut (RSA)
Bila gejala RS berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul
mendadak, biasanya akibat infeksi virus dan sembuh sebelum 4
minggu.
Setelah itu seluruh gejala akan menghilang. Gejala RSA viral
yang memburuk setelah 5 hari atau gejala yang menetap setelah 10
hari menunjukkan adanya infeksi kuman (RSA bakterial).
2. Rinosinusitis akut berulang (Recurrent acute rhinosinusitis).
Gejala dan tanda sesuai dengan RSA,tetapi memburuk setelah
5hari atau menetap selama lebih dari 10 hari. Kriteria gejala untuk
RSA berulang identik dengan kriteria untuk RSA. Episode
serangan berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya episode
berulang terjadi sampai 4 atau lebih dalam 1 tahun. Diantara
masing-masing episode terdapat periode bebas gejala tanpa terapi
antibiotik.
3. Rinosinusitis sub akut (RSSA).
RS dengan gejala yang berlangsung antara 4 sampai 12
minggu. Kondisi ini merupakan kelanjutan perkembangan RSA
yang tidak menyembuh dalam 4 minggu. Gejala lebih ringan dari
RSA. Penderita RSSA mungkin sebelumnya sudah mendapat terapi
RSA tetapi mengalami kegagalan atau terapinya tidak adekuat.
4. Rinosinusitis kronis (RSK).
Bila gejala RS berlangsung lebih dari 12 minggu.
5. Rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut.
RSK pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada
suatu saat dapat terjadi gejala yang tiba-tiba memburuk karena
infeksi
yang berulang. Gejala akan kembali seperti semula setelah pengobatan
dengan antibiotik akan tetapi tidak menyembuh
D. Epidemiologi

5
Sekitar 0,5% dari semua infeksi saluran pernapasan bagian atas
dipersulit oleh sinusitis, kejadian sinusitis akut berkisar antara 15
hingga 40 episode per 1000 pasien per tahun. Ini jauh lebih umum pada
orang dewasa daripada pada anak-anak, yang sinusnya tidak
sepenuhnya berkembang. Sinusitis akut adalah penyakit menular kedua
yang paling umum dijumpai oleh dokter. Sebagian besar sinusitis akut
disebabkan oleh virus. Meskipun hingga sepertiga dari pasien dewasa
datang ke poliklinik telinga, hidung, dan tenggorokan yang dapat
disebabkan bakteri6
E. ETIOLOGI4,7
Penyebabnya adalah kombinasi dari faktor lingkungan dan tuan
rumah. Sinusitis akut paling sering disebabkan oleh virus dan biasanya
sembuh sendiri. Sekitar 90% pasien dengan pilek memiliki unsur
sinusitis virus. Mereka yang menderita atopi umumnya menderita
sinusitis. Ini dapat disebabkan oleh alergen, iritan, virus, jamur, dan
bakteri. Iritasi yang populer adalah bulu binatang, polusi udara, asap,
dan debu. hanya 2% dari kasus-kasus yang yang disebabkan oleh
sinusitis bakteri.

Penyebab tersering Penyebab yang jarang terjadi


- Infeksi virus - Fibrosis kista
- Alergi - Neoplasma
- Kelainan anatomi dengan - Sarkoidosis
deviasi septum, hipertrofi - Defisiensi sistem imun
konka
- Kebiasaan merokok

Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara


mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen
telah ditetapkan sebagai penyebab utama. Namun sebaliknya, etiologi
dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum
sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang

6
terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa
pendapat dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik.
Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi,
asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan
endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor
lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal”.
F. PATOGENESIS 8
Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang
normal baik dari segi viskositas, volume dan komposisi; transport
mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan
kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk
mempertahankan drainase dan aerasi.
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi
kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris)
dan berperan penting bagi transport mukus dan debris serta
mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah
pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan
faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik. Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat
berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau
lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian
memicu terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis
kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan juga
mukosa nasal, seperti yang tergambar pada gambar 2 dibawah ini.

G. Anatomi dan Fisiologi3


1. Anatomi

7
Sinus paranasal terbagi atas sinus frontal, ethmoid, sphenoid dan
maksilaris, bertempat di dalam tulang tengkorak. Semua sinus
terbuka ke dinding lateral rongga hidung melalui ostia yang sesuai.(
1. Sinus Frontalis

Sinus frontalis yang terletak di os frontal mulai terbentuk


sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal
atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu
lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5 sinus
frontalnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4
cm dan dalamnya 2 cm. sinus frontal biasanya berlekuk-lekuk.
Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk
dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative tipis
dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah mejalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase
melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum ethmoid.
2. Sinus Ethmoidalis
Sinus ethmoid yang paling bervariasi dai semua sinus
paranasal dan akhir-akhir ini dianggap paling penting karena
dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus ethmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian
anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus ethmoid

8
berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon yag terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoid,
yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita.
Sel-sel ini jumlahnya bervariasi, berdasarka letaknya sinus
ethmoid dibagi menjadi sinus ethmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus ethmoid posterior yang bermuara yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus ethmoid anterior
biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng
yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus ethmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak di posterior dari lamina basalis.
Bagian terdepan sinus ethmoid anterior ada bagian yang
sempit disebut resesus frontal yang berhubungan dengan sinus
frontal. Sel ethmoid yang terbesar disbut bula ethmoid. Di
daerah ethmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal
dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus sthmoid yang disebt fovea ethmoidalis
berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah
lamina papirasea yangs angat tipis membatasi sinus ethmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus ethmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid.
3. Sinus Sphenoidalis
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus
ethmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang
diseut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tinggi,
dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. volumenya bervariasi
dari 5 sapai 7,5 ml. saat sinus berkembang, pembuluh darah dan

9
nervus dibagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi
pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa serebri
media dan kelenjar hipofise, sebelah inferiornya atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri
karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan disebalah
posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah
pons.
4. Sinus Maxillaris
sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Saat lahir,
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang
dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15
ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasila os maksila yang disebut
fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan
dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
ethmoid.

10
Gambar 1. Anatomi sinus paranasal9

2. Fisiologi 3
Beberapa teori yang mengemukakan fungsi sinus paranasal
antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan
suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi
suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu
produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.

11
1. Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan
dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap
teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara
yag definitive antara sinus dan rongga hidung. Volume udara
dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada
tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus.
2. Sebagai penahan suhu
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan panas,
melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung
yang berubah-ubah, akan tetapi kenyataannya sinus-sinus
yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ
yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi
berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti
dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
5. Membantu resonansi suara
6. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara
dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang
berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagi pula tidak
ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah.
7. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar
dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang
ingus.

12
8. Membantu produksi mucus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang
jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus di rongga
hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari
meatus medius, tempat yang paling strategis.
H. Diagnosis 1,10,11
a. Gambaran Klinik
Secara umum rhinisinusitis diartikan sebagai peradangan
hidung dan sinus paranasalis yang ditandai oleh dua gejala atau
lebih, seperti berikut : sumbatan/kongesti, pengeluaran sekret:
anterior/ post nasal drip, nyeri/rasa tertekan di wajah, berkurang
atau hilangnya indra penciuman.
Gejala lebih lanjut adalah bersin, rinore encer, gatal di hidung
dan mata. Penyakit yang timbul sampai 12 minggu dikelompokkan
sebagai akut, dan bila lebih dari waktu itu dinamakan kronik.

b. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan
untuk mengevaluasi sinus paranasal adalah: pemeriksaan foto
kepala dengan berbagai posisi yang khas, pemeriksaan CT-Scan,
pemeriksaan MRI, pemeriksaan USG. Dengan pemeriksaan
radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambaran
anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada
sinus paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat
memberikan diagnosis yang lebih dini.
 Pemeriksaan Foto Kepala
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal
terdiri dari berbagai macam posisi, antara lain :

13
1. Foto Kepala posisi Caldwell
Foto ini diambil pada posisi kepala tegak lurus pada
film. Idealnya pada film tampak pyramis=d tulang
petrosusm di proyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada
dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal
line tegak lurus pada film dan membentuk 150o caudal.

Gambar 2. Foto kepala posisi Gambar 3. Foto Kepala


Caldwell menunjukkan posisi Caldwell tentang sinus
opasifikasi dari sinus frontal dan yang menunjukkan sinus
13
ethmoidal.12 paranasal
2. Foto Kepala Lateral
Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral
dengan sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding
posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama
lain.
3. Foto Kepala posisi Water’s
Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala film,
garis orbito meatus membentuk sudut 30o dengan film. Pada
foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan
pada dasar sinus maxillaris dapat dievaluasi sepenuhnya.
Foto water’s umumnya dilakukan pada keadaan mulut
tertutup. Pada kondisi mulut terbuka akan dapat menilai
dinding posterior sinus sphenoid dengan baik.

14
Gambar 4. Radiografi Waters menunjukkan penebalan
mukosa pada sinus maksilaris12
3. Pemeriksaan USG

Gambar 5. Sinusitis maksila kanan. Perempuan 38 tahun,


riwayat infeksi gigi Molar 1: tampak echo cairan
dan triangular shape pada maksila kanan14

15
4. Pemeriksaan CT Scan

Gambar 5. Sinusitis maksila kanan. 14

Gambar 6. (Sisi Kiri) Sinusitis ethmoidalis15. (Sisi Kanan) Gambar


CT-scan noncontrast potongan aksial menunjukkan
opasifikasi pada sinus sphenoid kanan dan sinus etmoid
bilateral16

16
Gambar 7. CT Scan potongan coronal pada sinusitis frontalis17

5. MRI

Gambar 8. Foto MRI menunjukkan sinusitis maksila18

17
Gambar 9. MRI Pada pasien dengan Sinusitis Frontal akut19

Gambar 10. Sinusitis Sphenoid. Pada MRI tampak penebalan dinding sinus
sphenoid20

18
Gambar 11. MRI menunjukkan Sinusitis Ethmoid bilateral21

I. Diagnosis Banding 

Diagnosis banding sinusitis dapat berupa Acute Fulminant


ivasive fungal sinusitis (AFIFS), granulomatosis dengan
polyangitis dan keganasan, paling banyak karsinoma sel
skuamosa sinonasal, dan limfoma non-Hodgkin. penyakit ini
berasal dari jaringan lunak sinonasal, seperti massa, dengan
erosi tulang yang bervariasi. Dibandingkan dengan AFIFS,
granulomatosis dengan polyangitis menyebabkan lebih banyak
erosi tulang. Rongga hidung umumnya paling menonjol.22

19
Gambar 12. CT potongan koronal, granulomatosis dengan polyangitis
menunjukkan massa jaringan lunak homogen memanjang ke
orbit kiri dengan perubahan erosif pada rongga hidung kiri,
sinus ethmoid dan sinus maksila yang tampak perforasi
septum dan erosi tulang rahang atas.22
J. Penatalaksanaan23
Rinosinusitis Akut

• Irigasi hidung

Irigasi hidung direkomendasikan untuk rinosinusitis akut.


Larutan normal atau salin irigasi untuk pengangkatan lendir, agen
infeksius dan mediator inflamasi. Juga mengurangi pengerasan
pada rongga hidung dan meningkatkan pembersihan mukosiliar.

• Kortikosteroid

Kortikosteroid intranasal seharusnya dipertimbangkan selama


14 - 21 hari. Seharusnya kortikosteroid oral tidak diresepkan
untuk mengobati di layanan primer.

• Antihistamin oral

20
Antihistamin dapat berperan dalam pengobatan Rinositis
akut. Gejala sugestif dari kondisi termasuk bersin, hidung gatal,
sumbatan hidung dan rhinorrhoea. Bukti menunjukkan bahwa ada
peningkatan bersin setelah 14 hari dan hidung mengalami
obstruksi setelah 28 hari perawatan.

• Antibiotik

Antibiotik dapat diresepkan untuk Rinosinusitis yang


disebabkan oleh karena bakteri setelah menimbang manfaat
terhadap efek samping potensial. Penggunaan antibiotik secara
berlebihan telah dibuktikkan menjadi peningkatan pevalensi
resistensi antimikroba. Dalam dugaan Rhinosinusitis bakteri,
lebih digunakan antibiotik adalah: Amoksisilin 500 mg setiap 8
jam selama 5 - 7 hari atau Amoksisilin / Klavulanat 625 mg setiap
8 jam selama 5 - 7 hari. Obat lain - Analgesik: parasetamol atau
obat antiinflamasi nonsteroid dapat memberikan bantuan gejala di

 Dekongestan: Topikal atau sistemik

Dekongestan terbukti dapat menurukan gejala. Topik.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Rasad, S. 2013. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Badan Penerbit FK UI. Jakarta.

2. Frokkens, M.J. 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

Polyps 2012. International Rhinologic. Societi.

3. Soetjipto, D., Mangunkusumo, E. 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Ed. 7. Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

4. Basiti, A.S. 2019. Sinusitis. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470383/

5. Husni, T. 2016. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Fakultas

Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSU Dr. Zainoel Abidin. Banda Aceh

6. Worall, G. 2011. Acute Sinusitis. Canadian Family Physician.

7. Almutairi, A.F. 2017. Acute and Chronic Sinusitis Causes and Management.

Medical University of Warsaw.

8. Selvianti. 2017. Patofisiologi, Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis

Kronik Tanpa Polip Nasi Pada Orang Dewasa. Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya.

9. Netter, F. H. 2014. Atlas Of Human Anatomy. Elsevier.

10. Bradley, P.J. 2011. ABC Telinga, Hidung, Tenggorokan. EGC. Jakarta.

11. Ramanan. 2014.Sinusitis Imaging. Elsevier.

12. Elbrahimnejad, H. 2016. Diagnostic Efficacy Of Digital Waters’ And

Caldwell’s Radiographic Views For Evaluation Of Sinonasal Area.

University of Medical Sciences. Iran.

13. Thaler, E.R. 2008. Rhinosinusitis A Guide for Diagnosis and

Management.Springer. USA.

22
14. Harwati, M. 2012. Akurasi Ultrasonografi Sinus Maksila dalam

Mendiagnosis Rinosinusitis Maksila. Majalah Radiologi Indonesia

15. Archarya, A. 2015. CT of nasal sinuses (PNS)-A Surgeon’s View Point.

Department ENT, Govt. Medical College, Nizamabad, Telangana. India

16. Kanwar, S.S. 2017. Evaluation of Paranasal Sinus Diseases by Computed

Tomography and its Histopathological Correlation. Swami Vivekananda

Subharti University. India.

17. Kolawole, S. 2002. Radiologic Imaging in the Management of Sinusitis.

University of Kansas School of Medicine. Kansas.

18. Coley, B.D. 2013. Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging vol.1. Elsevier.

China.

19. Massey, CJ. 2019. Acute Frontal Sinusitis Surgery. American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, American Rhinologic
Society, North American Skull Base Society. Washington.
20. Gupta, R. 2015. Isolated acute sphenoid sinusitis presenting with hemicranial
headache and ipsilateral abducens nerve palsy. King George’s Medical
University. India.
21. Ramanan, R.V. 2016. Sinusitis Imaging. Department of Radiology. India.
22. Gorovoy, IR. 2012. Fungal Rhinosinusitis and Imaging Modalities. Saudi

Jounal of Ophtalmology. Saudi.

23. Husain, S. 2018. Management Of Rhinosinusitis In Adults In Primary Care.

Kebangsaan Malaysia University. Malaysia.

23

Anda mungkin juga menyukai