Anda di halaman 1dari 88

LAPORAN PENDAHULUAN

7 DIAGNOSA KEPERAWATAN JIWA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:

RIZKAR PURNAMA DWI SUKMA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

KUNINGAN TAHUN AJARAN 2020


LAPORAN PENDAHULUAN

WAHAM

A. Definisi

Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara

kuat/terus menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan. (Keliat, 2011).

Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Direja,

2011). Waham merupakan gangguan proses pikir yaitu keyakinan yang salah yang

secara kokoh dipertahankan Analisis praktik, walaupun tidak diyakini oleh orang

lain dan bertentangan dengan realitas sosial. Ada beberapa jenis waham yaitu

waham kebesaran, waham somatik,waham curiga, waham keagamaan dan waham

nihilistik (Pieter, Janiwarti & Saragih, 2011).

Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus

internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa waham yaitu

keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realitas.

Keyakinan individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar

belakang budayanya, serta tidak dapat diubah dengan alasan yang logis. Selain itu

keyakinan tersebut diucapkan berulang kali (Kusumawati, 2010).

Dari ketiga definisi diatas disimpulkan bahwa waham adalah hal yang tidak

dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realitas.

B. Tanda Dan Gejala

1. Kognitif

a. Tidak mampu membedakan yang nyata dan tidak nyata

b. Individu sangat percaya pada keyakinannya

c. Sulit berfikir realita


d. Tidak mampu mengambil keputusan

2. Afektif

a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan

b. Afek tumpul

3. Perilaku dan hubungan sosial

a. Hipersenditif

b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal

c. Depresif

d. Ragu-ragu

e. Mengancam secara verbal

f. Aktifitas tidak tepat

g. Streotif

h. Impulsif

i. Curiga

4. Fisik

a. Higiene Kurang

b. Muka pucat

c. Sering menguap

d. BB menurun

e. Nafsu makan berkurang dan sulit tidur

B. Klasifikasi

Waham dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja (2011)

yaitu :

Jenis Waham Pengertian Perilaku klien


Waham kebesaran Keyakinan secara “Saya ini pejabatdi

berlebihan bahawa dirinya kementrian semarang!”

memiliki kekuatan khusus “Saya punya

atau kelebihan yang perusahaan paling besar

berbeda dengan orang lain, lho “.

diucapkan berulang-ulang

tetapi tidak sesuai dengan

Kenyataan
Waham agama Keyakinan terhadap suatu “ Saya adalah tuhan

agama secara berlebihan, yang bisa menguasai

diucapkan berulang-ulang dan mengendalikan

tetapi tidak sesuai dengan semua makhluk”.

kenyataan.
Waham curiga Keyakinan seseorang atau “ Saya tahu mereka

sekelompok orang yang mau menghancurkan

mau merugikan atau saya, karena iri dengan

mencederai dirinya, kesuksesan saya”.

diucapkan berulang-ulang

tetapai tidak sesuai dengan

kenyataan.
Waham somatik Keyakinan seseorang “Saya menderita

bahwa tubuh atau sebagian kanker”. Padahal hasil

tubuhnya terserang pemeriksaan lab tidak

penyakit, diucapkan ada sel kanker pada

berulang-ulang tetapi tubuhnya.

tidak sesuai dengan

kenyataan.
Waham nihlistik Keyakinan seseorang “ ini saya berada di

bahwa dirinya sudah alam kubur ya, semua

meninggal dunia, yang ada disini adalah

diucapkan berulang- ulang roh-roh nya”

tetapi tidak sesuai dengan

kenyataan.

C. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Pikiran logis  Pikiran kadang  Gangguan proses

menyimpang pikir: Waham


 Persepsi akurat
illusi  Halusinasi
 Emosi
 Reaksi
 Kerusakan emosi
konsisten
emosional
dengan  Perilaku tidak
berlebihan dan
pengalaman sesuai
kurang
 Perilaku sosial  Ketidakteraturan
 Perilaku tidak
isolasi sosial
 Hubungan sesuai

sosial  Menarik diri


Dari rentang respon neurobiologik diatas digambarkan bahwa bila

klien/individu mendapat suatu stressor maka individu akan berespon menuju

respon adaptif maupun respon maladaptif. Bila individu berespon adaptif,

cenderung dapat berpikir logis, persepsi akurat, emosi konsisten dengan

pengalaman, perilaku sesuai dan dapat berhubungan sosial. Bila individu berespon

antara respon adaptif dan maladaptif maka akan menimbulkan pemikiran kadang –

kadang menyimpang, ilusi, reaksi emosional berlebihan atau berkurang, perilaku

ganjil dan menarik diri. Namun bila individu berespon maladaptif maka cenderung

mengalami kelainan pemikiran/delusi/waham, halusinasi, ketidak mampuan untuk

mengalami emosi, ketidakteraturan dan isolasi sosial.

D. Faktor Predisposisi

a. Biologi

Waham dari bagian dari manifestasi psikologi dimana abnormalitas otak yang

menyebabkan respon neurologis yang maladaptif yang baru mulai dipahami, ini

termasuk hal-hal berikut :

1) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak

yang luas dan dalam perkermbangan skizofrenia. Lesi pada area frontal,

temporal dan limbik paling berhubungan dengan perilaku psikotik.

2) Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia. Hasil

penelitian sangat menunjukkan hal-hal berikut ini :

a) Dopamin neurotransmitter yang berlebihan

b) Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain

c) Masalah-masalah pada sistem respon dopamin

b. Psikologi
Teori psikodinamika untuk terjadinya respon neurobiologik yang maladaptif

belum didukung oleh penelitian. Sayangnya teori psikologik terdahulu

menyalahkan keluarga sebagai penyebab gangguan ini sehingga menimbulkan

kurangnya rasa percaya (keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa profesional).

c. Sosial budaya

Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan

gangguan psikotik tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama

gangguan.Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan

timbulnya waham (Direja, 2011).

E. Faktor Presipitasi

a. Biologi

Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang maladaptif

termasuk:

1) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses

informasi

2) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang

mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi

rangsangan.

b. Stres lingkungan

Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi

dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

1) Pemicu gejala

Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering

menunjukkan episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat

pada respon neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan


kesehatan. Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2011).

F. Mekanisema Koping

Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri

sendiri dari pengalaman berhubungan dengan respon neurobioligi :

1. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya

untuk menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang

tertinggal untuk aktivitas hidup sehari-hari

2. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.

3. Menarik diri

G. PROSES TERJADI MASALAH

Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :

1.  Fase Lack of Human need

Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara

fisik maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-

orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat

miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang

secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan

antara Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana

tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat cerdas,

sangat berpengalaman dn diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi

karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat

dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life

span history )
2. Fase lack of self esteem

Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan

antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta

dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan

sudah melampaui kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak

yang kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan

tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self

ideal  yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat

jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support

system semuanya sangat rendah.

3. Fase control internal external

Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang

ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan

kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang

sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap

penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena

kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan

sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan

klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena

besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya

menjadi pendengar pasif tetapi  tidak mau konfrontatif berkepanjangan

dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.

4.  Fase environment support

Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya

menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap


sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya

diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak

berfungsinya norma ( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi

perasaan dosa saat berbohong.

5.   Fase comforting

Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta

menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan

mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien

menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri

dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).

6. Fase improving

Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu

keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul

sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang

tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk

dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.

Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif

serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan

menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.

H. KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN

Data yang Perlu Dikaji

a. Perubahan isi pikir : waham


a. Data subjektif :

Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,

kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak

sesuai kenyataan.

Contoh :

 Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat

 Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus

b. Data Objektif :

Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak

(diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat

menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah

tersinggung.

Contoh :

 Klien terus berbicara tentang kemampuan yang dimilikinya

  Pembicaraan klien cenderung berulang – ulang

 Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan

I. MASALAH KEPERAWATAN

a. Kerusakan komunikasi : verbal

b. Gangguan proses Pikir : Waham Curiga

c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.   perubahan isi pikir: waham curiga
DAFTAR PUSTAKA

Direja, S.A.H 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogjakarta : Nuha Medika

Keliat, B. A 2005, Keperawatan Jiwa : Terapi Aktifitas Kelompok, Jakarta : EGC

Kusumawati & Hartono 2010, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Jakarta : Salemba Medika

Purba, dkk 2008, Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan
Jiwa, Medan : USU Pres

Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .


LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO BUNUH DIRI

A. Definisi

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien

untuk mengakhiri kehidupannya. (Herman Ade, 2011)

Bunuh diri adalah suatu tindakan agresif yang langsung terhadap diri

sendiri untuk mengakhirikehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir dari

individu untuk memecahkan masalah yangdihadapi. (Jenny,2010). Seperti yang

disampaikan oleh Rujescu (2012), bahwa risiko perilaku bunuh diri dipengaruhi

oleh masalah yang kompleks yaitu faktor sosiokultural, riwayat psikiatri,

kepribadian dan faktor genetik, faktor herediter mempengaruhi 55% percobaan

bunuh diri serius.

Definisi diatas menyimpulkan tindakan bunuh diri merupakan cara

ekspresi orang yang penuh stress dan tidak mampu menolong dirinya sendiri.

orang melakukan bunuh diri karena dia kehilangan makna hidupnya. Orang

kehilangan makna hidup bisa karena sakit jiwa atau karena masalah yang tidak

bisa diatasinya.

B. Tanda Dan Gejala

1. Data Subjektif

a. Sering berbicara tentang kematian

b. Mengutarakan keputusaasaannya dalam menjalani hidup seperti brkata

“buat apa saya hidp di dunia

c. Mengancam ingin bunuh diri

2. Data Objektif

a. Perilaku menyakiti diri sendiri


b. Menyimpan obat-obatan yang bisa di salah gunakan

c. Menjadi pemakai narkoba atau pemabuk

d. Sering marah tiba tiba

e. Sembrono dan terlibat dalam aktivitas yang mempertaruhkan nyawa

f. Menarik diri dari orang sekitar

g. Sering terlihat cemas

h. Mulai membuat wasiat

i. Berat badan berkurang karena kehilangan selera makan

j. Kehilangan minat pada banya hal

k. Mengalami kesulitan tidur dan gelisah

C. Tingkatan

1. Isyarat bunuh diri

Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak

langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan: “Tolong jaga anak -

anak karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa

saya.”

Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri

hidupnya, namun tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri.

Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah / sedih /

marah / putus asa / tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan hal - hal

negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.

2. Ancaman bunuh diri

Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, berisi keinginan

untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan

alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah


memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh

diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien belum pernah mencoba bunuh diri,

pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat

dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.

3. Percobaan bunuh diri

Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai

diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencoba

bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau

menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi.

D. Klasifikasi

Resiko Bunuh Diri menurut Yosep (2010), terbagi menjadi tiga klasifikasi :

a. Bunuh diri anomik

Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor

lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang

untuk bunuh diri.

b. Bunuh diri altruistik

Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan

kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.

c. Bunuh diri egoistik

Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam

dari seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

E. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Peningkatan Pengambilan Perilaku Pencederaan

bunuh diri resiko yang desdruktif diri diri Bunuh Diri

meningkatkan langsung

pertumbuhan

Keterangan :

1. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan,

yakin, dan kesadaran diri meningkat.

2. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang

yang masih normal dialami individu yang mengalami perkembangan

perilaku.

3. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak

kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian,

seperti perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat

dalam rekreasi yang berisiko tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang

menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.

4. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri

yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri

sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk

melukai tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk

melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh,

melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.


5. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri

untuk mengakhiri kehidupan.

F. Faktor Predisposisi

Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang

perilakuresiko bunuh diri meliputi:

1. Diagnosis psikiatri

Tiga gangguan jiwa yang membuat klien berisiko untuk bunuh diri

yaitugangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.

2. Sifat kepribadian

Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh

diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.

3. Lingkungan psikososial

Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian,kehilangan yangdini,

dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting

yang berhubungan dengan bunuh diri.

4. Biologis

Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis

yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada

gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan

perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan

bahwa perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suci

dalam mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang

sama.Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang

ditemukan berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri.

5. Psikologis
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga

bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama

didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder

turnedaround 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri

dengankehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara

psikologis,individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi

dirinyadengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek

kasihsayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh

orangyang hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya

denganobjek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum

jugaditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi

6. Sosiokultural

Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang

memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan

masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teraturatau

tidak dengan masyarakatnya

G. Faktor Presipitasi

Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang

memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan

umum,kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui

seseorang yang mencoba atau melakukan bunuh diri atau terpengaruh media

untuk bunuh diri, juga membuat individu semakin rentan untukmelakukan

perilaku bunuh diri. Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri

adalah perasaan terisolasi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal

melakukan hubungan yang berarti, kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat


menghadapi stres, perasaan marah/bermusuhan dan bunuh diri sebagai hukuman

pada diri sendiri, serta cara utuk mengakhiri keputusasaan

H. Mekanisme Koping

Iskandar (2012) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang

berhubungan dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah

penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.

a. Penyangkalan

Penyangkalan menjadi tindakan menolak untuk mengakui adanya stimulus

yang menjadi penyebab terjadinya rasa cemas. Jika individu menolak

tentang kenyataan, maka ia akan beranggapan jika hal tersebut tidak ada

atau menolak pengalaman yang tidak menyenangkan agar bisa melindungi

dirinya sendiri

b. Rasionalisasi

Rasionalisasi merupakan mekanisme pertahanan diri dimana individu akan

berusaha untuk mencari alasan yang baik demi menjelaskan ego dan jenis

emosi yang dimiliki. Rasionalisasi ini nantinya akan membantu individu

tersebut untuk membenarkan tingkah laku spesifik sekaligus melemahkan

rasa kekecewaan yang terjadi

c. Intelektualisasi

Jika seorang individu memakai mekanisme pertahanan diri intelektualisasi,

maka nantinya indivdu tersebut akan menghadapi sebuah situasi yang

semestinya bisa menimbulkan perasaan sangat tertekan dengan cara analitik,

intelektual dan juga agar menjauh dari sebuah persoalan.


akan
Individu menghadapi sebuah situasi yang lebih bermasalah sehingga

situasi tersebut akan menjadi pelajaran atau karena individu tersebut ingin
mengetahui apa yang sebenarnya sehingga tidak terlalu terlibat dalam

persoalan tersebut secara emosional.

Dengan mekanisme intelektualisasi tersebut, individu bisa mengurangi

pengaruh tidak menyenangkan untuk dirinya sendiri sebagai cara mengatasi

stres dan depresi dan sekaligus memberikan kesempatan untuk dirinya agar

lebih bisa meninjau masalah lebih obyektif.

d. Regresi

Regresi adalah respon umum untuk individu yang sedang berada dalam

frustasi anak atau juga bisa terjadi jika individu mendapat tekanan yang

kembali ke metode perilaku khas untuk individu yang lebih muda. Nantinya,

individu tersebut akan memberikan respon seperti layaknya individu yang

usianya lebih muda.

I. PROSES TERJADI MASALAH

Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan

dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme koping yang

digunakan dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan individu

mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk beradaptasi, sehingga tidak

dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan

hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan

marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri

sendiri, cara untuk mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2010).

Semua prilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang siap

membunuh diri adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak


kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan mempunyai niat untuk

melakukannya.

J. KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN

a. Keluhan utama

b. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan

c. Konsep diri : harga diri

d. Alam perasaan

- Sedih

- Ketakutan

- Putus asa

- Gembira berlebihan

e. Interaksi selama wawancara

- Bermusuhan

- Tidak kooperatif

- Mudah tersinggung

- Kontak mata kurang

- Defensive

- Curiga

f. Afek

- Datar

- Tumpul

- Labil

- Tidak sesuai

g. Mekanisme koping mal adaptif


- Minum alcohol

- Reaksi lambat

- Bekerja berlebihan

- Menghindar

- Mencederai diri

h. Masalah psikososial dan lingkungan

- Masalah dengan lingkungan keluarga

- Masalah dengan perumahan

K. MASALAH KEPERAWATAN

Resiko Bunuh Diri

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Resiko Bunuh Diri


DAFTAR PUSTAKA

Captain, C. (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incrediblyeasy, Volume 6.

Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa
Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.

Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama


LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH

A. Definisi

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga,tidak berarti dan rendah diri

yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau

kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena

tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri. ( Yosep,2010).

Harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan

menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan tidak

berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif

terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Fajariyah, 2012).

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri

yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan

diri, dan sering juga disertai dengan kurangnya perawatan diri, berpakaian tidak

rapi, selera makan menurun, tidak berani bertatap muka dengan lawan bicara, lebih

banyak menundukkan kepala, berbicara lambat dan nada suara lemah (Keliat dalam

Suerni,2013).

Dapat disimpulkan harga diri rendah adalah kurangnya rasa percaya diri

sendiri yang dapat mengakibatkan pada perasaan negatif pada diri sendiri,

kemampuan diri dan orang lain. Yang mengakibatkan kurangnya komunikasi pada

orang lain.

B. Tanda Dan Gejala

Data Mayor

 Subyektif
1) Mengeluh hidup tidak bermakna

2) Tidak memiliki kelebihan apapun

3) Merasa jelek

 Obyektif

1) Kontak mata kurang

2) Tidak berinisiatif berinteraksi dengan orang lain

Data Minor

 Subyektif

1) Mengatakn malas

2) Putus asa

3) Ingin mati

 Obyektif

1) Tampak malas-malasn

2) Produktivitas menurun

C. Klasifikasi

Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan

diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat. Umumnya

disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri dan menolak diri

sendiri. Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara :

a. Situasional

Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan,dicerai

suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada pasien yang dirawat dapat

terjadi harga diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan. Pemeriksaan

fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan
struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/penyakit,

perlakuan petugas yang tidak menghargai. (Makhripah D & Iskandar, 2012)

b. Kronik Yaitu perasaan negativ terhadap diri telah berlangsung lama,yaitu

sebelum sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berfikir yang negativ. Kejadian

sakit dan dirawat akan menambah persepsi negativ terhadap dirinya. Kondisi ini

mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada

pasien gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa. (Makhripah

D & Iskandar, 2012)

D. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi Konsep Harga diri Keracunan Depersonalisasi

diri Diri rendah Identitas

1. Respon Adaptif

Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah

yang dihadapinya.

a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif

dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima

b. Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang

positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang

negatif dari dirinya.(Eko P, 2014)


2. Respon Maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketika dia tidak

mampu lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.

a) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya

yang negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.

b) Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga

tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.

c) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu mempunyai

kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang

lain secara intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak dapat membina

hubungan baik dengan orang lain.(Eko P,2014)

E. Faktor Predisposisi

a. Faktor yang mempengaruhi harga diriMeliputi penolakan orang tua, harapan

orang tua tidak realistis, kegagalanyang berulang, kurang mempunyai tanggung

jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak

realistis. 

b. Faktor yang mempengaruhi peran. Dimasyarakat umunya peran seseorang

disesuai dengan jenis kelaminnya.Misalnya seseorang wanita dianggap kurang

mampu, kurang mandiri, kurang obyektif dan rasional sedangkan pria dianggap

kurang sensitive, kurang hangat, kurang ekspresif dibandingkan wanita. Sesuai

dengan standar tersebut, jika wanita atau pria berperan tidak sesuai lazimnya

maka dapat menimbulkan konflik diri maupun hubungan sosial.

c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri.Meliputi ketidak percayaan, tekanan

dari teman sebaya dan perubahan struktur sosial. Orang tua yang selalu curiga

pada anak akan menyebabkan anak menjadi kurang percaya diri, ragu dalam
mengambil keputusan dandihantui rasa bersalah ketika akan melakukan

sesuatu.

d. Faktor biologis Adanya kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi kerja

hormon secara umum, yang dapat pula berdampak pada keseimbangan

neurotransmitter diotak, contoh kadar serotonin yang menurun dapat

mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien depresi

kecenderungan harga diri dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak

berdaya.

F. Faktor Presipitasi

Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi yang dihadapi

individu dan ia tidak mampu menyesuaikan. Situasi atas stressor dapat

mempengaruhi komponen :

Stressor pencetus dapat berasal dari internal daneksternal:

a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau

menyaksikan peristiwa yang mengancam kehidupan. 

b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan

danindividu mengalaminya sebagai frustasi.

Ada tiga jenis transisi peran:

a. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normative yang

berkaitandengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan

dalamkehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai

sertatekanan untuk menyesuaikan diri. 

b. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya

anggotakeluarga melalui kelahiran atau kematian.


c. Transisi peran sehat-sakit terjadi akibat pergeseran dari sehat ke keadaan sakit.

Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran,

bentuk, penampilan atau fungsi tubuh, perubahan fisik

yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal. 

G. Mekanisema Koping

Mekanisme koping menurut Deden (2013) :

  Jangka pendek :

1. Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis : pemakaian obat-

obatan, kerja keras, nonoton tv terus menerus

2. Kegiatan mengganti identitas sementara: ikut kelompok sosial,

keagamaan, politik.

3. Kegiatan yang memberi dukungan sementara : kompetisi olah raga

kontes popularitas.

4. Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara :

penyalahgunaanobat-obatan.

Jangka Panjang :

1. Menutup identitas : terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi

dariorang-orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau

potensidiri sendiri

2. Identitas negatif : asumsi yang pertentangan dengan nilai dan

harapanmasyarakat.
H. PROSES TERJADI MASALAH

Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri

rendah situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena individu

tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien

sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi

respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah.

Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu

berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha

menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak

mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu

terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi

harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau

justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan

individu mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011)

I. KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN

1. Konsep diri

Kaji pengetahuan klien tentang perilaku Harga diri rendah dan tanda-tandanya

d. Citra tubuh

e. Identitas

f. Peran diri

g. Ideal diri

h. Harga diri

J. MASALAH KEPERAWATAN

Gangguan konsep diri : harga diri rendah


K. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah


DAFTAR PUSTAKA

Fitria, N.(2009),Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
PelaksanaanTindakan Keperawatan.Jakarta : Salemba Medika

Keliat, B.A, dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).
Jakarta: EGC.

Riyadi, P,(2009). Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta : Graha Ilmu.Stuart, G,(2006).Buku


Saku Keperawatan Jiwa.(5thed.). Jakarta : EGC

Stuart & Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Jakarta: EGC.Yosep Iyus.
2011. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

A. Definisi

Isolasi social adalah suatu sikap individu menghindari diri dari interaksi

dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilanngan hubungan akrab dan tidak

mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan

(Yosep, 2010).

Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang

karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Farida, 2012).

Isolasi sosial menurut NANDA 2012-2014 didefinisikan sebagai kesendirian yang

dialami oleh individu dan dirasakan mengganggu oleh orang lain dan sebagai

kondisi yang negatif atau mengancam (NANDA, 2012)

Definisi diatas menyimpulkan bahwa Isolasi sosial terjadi saat seseorang tidak

mampu membangun hubungan yang kooperatif dan saling ketergantungan dengan

orang lain.

B. Tanda Dan Gejala

Data subyektif 

 Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain

 Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain

 Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain

 Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu

 Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan

 Pasien merasa tidak berguna

 Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup


Data obyektif 

 Tidak memiliki teman dekat

 Menarik diri

 Tidak komunikatif

 Tindakan berulang dan tidak bermakna

 Asyik dengan pikirannya sendiri

 Tak ada kontak mata

 Tampak sedih, afek tumpul (Yosep iyus, 2009)

C. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Solitude  Merasa sendiri


 Menipulasi
 Otonomi (loneliness)
 Impilsive
 Kebersamaan
 Manarik diri
 Narcisisisme
 Saling

ketergantungan  Targantung

(depeden)

1. Respon Adaptif

respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah

yang dihadapinya.
a. Solitude

Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilakukan

dilingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi diri dan

menentukan langkah berikutnya.

b. Otonomi

Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide

pikiran.

c. Kebersamaan

Suatu keadaaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut

mampu untuk memberi dan menerima.

d. saling ketergantungan

Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam hubungan

interpersonal.

2. Respon Maladaptif

Respon maladaptive adalah respon yang diberikan individu ketika dan tidak

mampi lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.

a. Menarik Diri

Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak

berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara waktu.

b. Manipulasi

Adalah hubungan social yang terdapat pada individu yang menganggap orang

lain sebagai objek dan merorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan

berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina hubungan social

secara mendalam.

c. Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang

dimiliki.

d. Impulsive

Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari

pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan

cenderung memaksakan kehendak.

e. Narkisisme

Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan

penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah

jika orang lain tidak mendukung.

(Eko prabowo,2014)

D. Faktor Predisposisi

1. Faktor Perkembangan

Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu / pengasuh

kepada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat

terbentuknya rasa percaya.

2. Faktor komunikasi dalam keluarga

Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk

mengembangkan gangguan tingkah laku. Sikap bermusuhan / hostilitas. Sikap

mengancam dan menjelek – jelekkan anak. Ekspresi emosi yang tinggi. Orang

tua atau anggota keluarga sering berteriak, marah untuk persoalan kecil / spele,

sering menggunakan kekerasan fisik untuk mengatasi masalah, selalu

mengkritik, mengkhayalkan, anak tidak diberi kesempatan untuk

mengungkapkan pendapatnya tidak memberi pujian atas keberhasilan anak.

3. Faktor sosial budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri lingkungan merupakan faktor pendukung

terjadinya gangguan berhubungan. Contoh : Individu yang berpenyakit kronis,

terminal, menyandang cacat atau lanjut usia. Demikianlah kebudayaan yang

mengizinkan seseorang untuk tidak keluar ruman (pingit) dapat menyebabkan

isolasi sosial

4. Faktor biologi

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa, insiden tertinggi

skizofrenia di temukan pada keluarganya yang anggota keluarga menderita

skizofrenia.

E. Faktor Presipitasi

Stresor presipitas terjadi isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor Internal

maupun eksternal meliputi.

1. Stressor sosial budaya

Stressor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya

penurunan stabilitas keluarga seperti : perceraian, berpisah dengan orang yang

dicintai kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,

dirawat dirumah sakit atau dipenjara.

2. Stressor biologic dan lingkungan social

Beberapa penelitian membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi

akibat interaksi antara individu, lingkungan, maupun biologis.

3. Stressor psikologis

Kecemasan yang tertinggi akan menyebabkan menurunya kemampuan

individu untuk berhubungan dengan orang lain. Ego pada klien psikotik

mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stres.

F. Mekanisema Koping
Mekanisme pertahanan diri yang di gunakan pada gangguan hubungan sosial

sangat bervariasi, seperti pada gangguan menarik diri, mekanisme yang di

gunakan adalah regresi, represi, isolasi.

 Regresi

Yaitu menghadapi stress dengan perilaku, perasaan dan cara berfikir mundur

kembali ke ciri tahap perkembangan sebelumnya..

 Represi

Yaitu pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran atau memori yang

menyatkan atau bertentangan dengan kesadaran.

 Isolasi 

Yaitu memisahkan atau mengeluarkan dari komponen perasaan tentang

pikiran, kenangan atau pengalaman tertentu

Menurut Budi Anna Kelia (2009), tanda dan gejala ditemui seperti:

 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.

 Menghindar dari orang lain (menyendiri).

 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan

klien lain/perawat.

  Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.

  Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas.

  Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau

pergi jika diajak bercakap-cakap.

 Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.

G. PROSES TERJADI MASALAH


Proses terjadinya isolasi sosial adalah harga diri rendah yaitu perasaan negatif

terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan, yang

ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap

diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, kurang percaya diri,

dan juga dapat mencederai diri ( Carpenito, 1998)

H. KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN

a. Orang yang berarti bagi pasien

b. Peran serta dalam pengkajian kelompok atau masyarakat

c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain

d. Masalah keperawatan

I. MASALAH KEPERAWATAN

a. Resiko Perubahan persepsi sensori : Halusinasi

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Isolasi Sosial : Menarik Diri


DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall.2001 .Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Jakarta: EGC.
Keliat BA, Ria UP, Novy H. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta.
EGC.

Stuart & Laraia. 2001. Principles and practice of psychiatric nursing.USA: Mosby Company.

Stuart & Sudeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 3. Jakarta : EGC.

Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC.


LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

A. Definisi

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan

yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain

dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun

orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah

terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep,

2010). Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk

melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya

tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008)

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai

seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut maka

perilaku kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri sendiri,

orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu

sedang berlangsung kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku

kekerasan)

B. Tanda Dan Gejala

a. Fisik

- Muka merah dan tegang

- Mata melotot/ pandangan tajam

- Tangan mengepal
- Rahang mengatup

- Postur tubuh kaku

- Jalan mondar-mandir

b. Verbal

- Bicara kasar

- Suara tinggi, membentak atau berteriak

- Mengancam secara verbal atau fisik

- Mengumpat dengan kata-kata kotor

- Suara keras

- Ketus

c. Perilaku

- Melempar atau memukul benda/orang lain

- Menyerang orang lain

- Melukai diri sendiri/orang lain

- Merusak lingkungan

- Amuk/agresif

d. Emosi

- Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan

jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,

menyalahkan dan menuntut.


Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukan adanya (Kartika Sari,

2015) :

a. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam

b. Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna

c. Klien mengungkapkan perasaan jengkel

d. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar,

rasa tercekik dan bingung

e. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri

sendiri, orang lain dan lingkungan

f. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya

C. Klasifikasi

1. Perilaku kekerasan

2. Resiko perilaku kekerasan

D. Rentang Respon

Ke

terangan :

Aserti : kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain

Frustasi : kegagalan mencapai tujuan karena tidak realistis/terhambat

Pasif : respon lanjutan klien tidak mampu mengungkapkan

perasaannya

Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol

Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol


E. Faktor Predisposisi

 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut

teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural (Eko Prabowo, 2014) adalah:

a. Teori Biologik

Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap

perilaku:

1. Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem

limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai

peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem

limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada

gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial

perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak

mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan

agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi

memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam

menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan

berinteraksi dengan pusat agresif.

2. Gangguan Otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan

tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan

lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan

penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti

berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan

b. Teori Psikologik
1. Teori Psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan

kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan

membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan

dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam

kehidupannya. Perilaku agresif dan  perilaku kekerasan merupakan

pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya

harga diri.

2. Teori Pembelajara

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang

tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai

prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang

positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap

perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka

mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya

ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak

mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan

setelah dewasa.

c. Teori Sosiokultural

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial

terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima

perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat

juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari

bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif.

Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan

dalam hidup individu.

F. Faktor Presipitasi

Menurut Stuart (2013) Faktor presipitasi terdiri dari sifat stressor, asal stressor,

lamanya terpapar stressor yang dialami dan banyaknya berbagai stressor. Sifat

stressor terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah stressor biologis, stressor

psikologis dan sosial budaya. Stressor biologis seperti kelemahan fisik, penyakit

infeksi dan kronis. Stressor psikologis berkaitan tentang pertumbuhan dan

perkembangan, keinginan yang tidak terpenuhi, kehilangan pekerjaan, kehilangan

orang yang dicintai.. Sosial budaya misalnya adanya konflik, tuntunan

masyarakat, lingkungan yang padat, penghinaan, ribut. Faktor presipitasi dengan

teori Stuart yang meliputi:

1. Biologi meliputi gangguan umpan balik, abnormal pintu mekanisme/gatting

proses. Penyakit/kondisi yang mempengaruhi fungsi dan struktur otak,

kelemahan fisik, penyakit infeksi dan penyakit kronis. Segala proses fisik dan

kimiawi dalam tubuh seseorang termasuk didalamnya adalah ketidakpatuhan

pada pengobatan.

2. Psikologi meliputi toleransi terhadap stress frustasi yang rendah/ toleransi

terhadap stress, provokasi tugas, makna hubungan dengan orang lain,

kehilangan yang dirasakan, kegagalan mencapai sesuatu dan perkembangan

dari konsep diri.

3. Sosiokultural meliputi kurang pemahaman terhadap situasi penuh stress,

kurang penerimaan lingkungan. Konflik eksternal, kritikan yang mengarah

pada penghinaan, tuntutan keluarga/masyarakat yang tidak sesuai dengan

kemampuan seseorang, stigma masyarakat terhadap seseorang yang


mengalami gangguan jiwa. pertentangan aturan, interaksi sosial yang

provokatif, lingkungan yang ribut, padat. Peran sosial diembannya dan

hubungan ketergantuan individu dengan orang lain serta suport system yang

didalamnya ada proses memberi dan menerima dengan orang lain dan

lingkungan.

Asal stresor terdiri dari internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari diri

sendiri seperti hilangnya kepercayaan diri, merasa tidak mampu

ketidakberdayaan, keputusasaan, dll. Stresor eksternal berasal dari luar individu.

Stressor ini dapat berupa kehilangan (orang yang dicintai, barang/object,

pekerjaan), tuntutan dari keluarga/kelompok/ masyarakat, bencana alam, konflik,

dll. Jumlah stresor menggambarkan berapa banyak stressor yang dialami individu

dalam suatu waktu, baik berupa stressor biologis, psikologis dan sosialkultural.

Waktu menggambarkan kapan, berapa lama, dan berapa kali individu terpapar

stressor (Stuart, 2009). Jumlah dan frekuensi stresor juga mempengaruhi individu

dalam berespon terhadap stressor.

G. Mekanisme Koping

Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme koping

klien sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme

koping yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya. Mekanisme

koping yang umum di gunakan adalah mekanisme pertahanan ego menurut

Yosep (2011), seperti :

5. Displacement

Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang begitu

seperti pada mulanya yang membangkitkan emosi.


6. Proyeksi

Menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak baik.

7. Depresi

Menekan perasaan orang lain yang menyakitkan atau konflik ingatan

dari kesadaran yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya.

8. Reaksi formasi,

Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan apa

yang benar-benar di lakukan orang lain.

H. PROSES TERJADI MASALAH

Stres, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus

dihadapi oleh setiap individu. Stres dapat menyebabkan kecemasan yang

menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat

menimbulkan kemarahan. Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara,

yaitu: mengungkapkan secara verbal, menekan dan menantang. Kemarahan diawali

oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti

penyakit, hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor ekternal bisa berasal dari

ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana

dan sebagainya, hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada

sistem individu (disruption and loss). Terpenting adalah bagaimana seorang individu

memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal

meaning) (Videbeck, 2008).


I. KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN

Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses keperawatan.

Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, dan

perumusan masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa keperawatan.

1. Aniya Fisik

2. Aniaya seksual

3. Penolakan

4. Kekerasan dalam keluarga

5. Tindakan kriminal

6. Aktivitas motorik

a. Lesu

b. Gelisah

c. Tik

d. Tremor

e. Agitasi

f. Tegang

g. Grimasen

h. Kompulsif

7. Interaksi selama wawancara

a. Bermusuhan

b. Tidak kooperatif

c. defensive
d. mudah tersinggung

e. kontak mata kurang

f. Curiga

J. MASALAH KEPERAWATAN

1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

2. Perilaku kekerasan / amuk

3. Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah

K. ANALISA DATA

Data Masalah
Data Subyektif : Resiko mencederai diri, orang lain dan

Klien mengatakan benci atau kesal pada lingkungan

seseorang.

Klien suka membentak dan menyerang

orang yang mengusiknya jika sedang

kesal atau marah.

Riwayat perilaku kekerasan atau

gangguan jiwa lainnya.

Data Objektif :

Mata merah, wajah agak merah.

Nada suara tinggi dan keras, bicara

menguasai: berteriak, menjerit, memukul

diri sendiri/orang lain.

Ekspresi marah saat membicarakan orang,

pandangan tajam.
Merusak dan melempar barang-barang
Data Subyektif : Perilaku kekerasan / amuk

Klien mengatakan benci atau kesal pada

seseorang.

Klien suka membentak dan menyerang

orang yang mengusiknya jika sedang

kesal atau marah.

Riwayat perilaku kekerasan atau

gangguan jiwa lainnya.

Data Obyektif

Mata merah, wajah agak merah.

Nada suara tinggi dan keras, bicara

menguasai.

Ekspresi marah saat membicarakan orang,

pandangan tajam.

Merusak dan melempar barang-barang.


Data subyektif: Gangguan harga diri : harga diri rendah

Klien mengatakan: saya tidak mampu,

tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,

mengkritik diri sendiri, mengungkapkan

perasaan malu terhadap diri sendiri.

Data obyektif:

Klien tampak lebih suka sendiri, bingung

bila disuruh memilih alternatif tindakan,

ingin mencederai diri / ingin mengakhiri

hidup.
L. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Perilaku kekerasan
DAFTAR PUSTAKA

Keliat BA, Ria UP, Novy H. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta.
EGC.

Stuart & Laraia. 2001. Principles and practice of psychiatric nursing.USA: Mosby Company.

Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC.

Yosep Iyus, 2009, Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Bandung : Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

A. Definisi

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami

oleh pasien gangguan jiwa, pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan,

pengecapan, perabaan atau penciuman tanpa stimulus yang nyata. Keliat (2011) .

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien

mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca

indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu

persepsi melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi palsu. (Prabowo,

2014). Sedangkan menurut WHO, kesehatan jiwa bukan hanya tidak ada gangguan

jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yang positif yang

menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan dan mencerminkan

kedewasaan kepribadiannya.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Halusinasi adalah hilangnya

kemampuan manusia dalam membedakan pikiran dan dunia luar. Klien memberi

persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang

nyata.

B. Tanda Dan Gejala

Data subjektif :

1. Tidak mampu mengenal, orang dan tempat.

2. Tidak mampu memecahkan masalah.

3. Mengungkapkan adanya halusinasi (misalnya mendengar suara-suara atau

melihat bayangan).

4. Mengeluh cemas dan kuatir.


Data objektif :

1. Mudah tersinggung.

2. Apatis dan cenderung menarik diri (controlling).

3. Tampak gelisah, perubahan perilaku dan pola konumikasi, kadang berhenti

bicara seolah-olah mendengar sesuatu.

4. Menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara.

5. Menyeringai dan tertawa tidak sesuai.

6. Gerakan mata yang cepat.

7. Pikiran yang berubah-ubah dan konsentrasi rendah.

8. Kadang tampak ketakutan.

9. Respon-respon yang tidak sesuai (tidak mampu berespon terhadap petunjuk

yang kompleks)

C. Klasifikasi

Haluinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu, diantaranya:

a. Halusinasi Pendengaran ( akustik, audiotorik)

Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara-suara

orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa

yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

b. Halusinasi Pengihatan (visual)

Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pencaran cahaya,

gambaraan geometrik, gambar kartun dan/ atau panorama yang luas dan

komplesk. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan.

c. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)


Gangguan stimulus pada penghidu, yamg ditandai dengan adanya bau busuk,

amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses. Kadang-kadang

terhidu bau harum. Biasnya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan

dementia.

d. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya sara sakit atau tidak enak

tanpa stimulus yang terlihat. Contoh merasakan sensasi listrik datang dari

tanah, benda mati atau orang lain.

e. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis,

dan menjijikkan.

f. Halusinasi sinestetik

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah

mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.

(Yosep Iyus, 2007)

g. Halusinasi Viseral

Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.

1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya

sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan

yang ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom obus parietalis.

Misalnya sering merasa diringa terpecah dua.

2) Derelisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang tidak

sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu yang

dialaminya seperti dalam mimpi. (Damaiyanti, 2012)

D. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Pikiran logis  Pikiran kadang  Gangguan pikiran

menyimpang
 Persepsi akurat  Halusinasi

 Ilusi Reaksi emosi


 Emosi konsisten  Sulit merespon
tidak stabil
dengan emosi

pengalaman  Perilaku aneh /


 Perilaku
tidak biasa
 Perilaku sesuai disorganisasi

 Menarik diri
 Berhubungan  Isolasi sosial

sosial

Respon adaptif berdasarkan rentang respon halusinasi menurut

(Yusuf, Rizki & Hanik, 2015) Meliputi :

a. Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang dapat di

terima akal.

b. Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang tentang sesuatau

peristiwa secara cermat dan tepat sesuai perhitungan.

c. Emosi konsisten dengan pengalaman berupa ke mantepan perasaan

jiwa yang timbul sesuai dengan peristiwa yang pernah di alami.

d. Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan


dengan individu tersebut di wujudkan dalam bentuk gerak atau

ucapan yang tidak bertentangan denagn moral.

e. Hubungan sosial dapat di ketahui melalui hubungan seseorang

dengan orang lain dalam pergaulan di tengah masyarakat.

2. Respon maladaptive

Respon maladaptif berdasarkan rentang respon halusinasi menurut (Yusuf, Rizki

& Hanik, 2015) meliputi :

a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh di pertahankan

walaupun tidak di yakini oleh orang lain dan bertentangan dengan

kenyataan sosial.

b. Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang

salah terhadap rangsangan.

c. Tidak mampu mengontrol emosi berupa ketidak mampuan atau

menurunya kemampuan untuk mengalami kesenangan, kebahagiaan,

keakraban, dan kedekatan.

d. Ketiak teraturan perilaku berupa ketidak selarasan antara perilaku

dan gerakan yang di timbulkan.

e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang di alami oleh individu

karna orang lain menyatakan sikap yang negativ dan mengancam.

E. Faktor Predisposisi (Biologis, Fsikologis dan Sosial)

1) Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan

kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sehjak kecil,

mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima di ingkungannya sejak bayi akan merasa

disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

3) Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang

berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan zat yang dapat

bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stres berkepanjangan menyebabakan

teraktivasinya neutransmitter otak.

4) Faktor Psikologi

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus

padapenyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan

pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Pasien

lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyataa menuju alam hayal.

5) Faktor Genetik dan Pola Asuh Penelitian menunjukkan bahwaanak sehat yang

diasuh oleh orang tua skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia. Hasil

studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat

berpengaruh padapenyakit ini. (Prabowo, 2014)

F. Faktor Presipitasi (Biologis, Fsikologis dan Sosial)

1) Biologis

Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses

informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang

mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus

yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.

2) Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor

lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3) Sumber Koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi stress.

(Prabowo, 2014)

4) Perilaku

Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan

tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian,

tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan

tidak.

a. Dimensi fisik

Halusianasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti

kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga

delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalamwaktu yang

lama.

b. Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat

diatasi merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi

dapat berupa peritah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi

menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat

sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

c. Dimensi intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan

halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada

awalnya halusinasi merupakan usha dari ego sendiri untuk melawan


impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan

kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak

jarang akan mengotrol semua perilaku klien.

d. Dimensi sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan

comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata

sangat membahayakan. Klien asyik dengan dengan halusinasinya, seolah-

olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi

sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia

nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut, sehingga

jika perintah halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang lain individu

cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses

interkasi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan,

serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu

berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.

e. Dimensi spiritual

Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas,

tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara

spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu.

(Damaiyanti, 2012)

G. Mekanisema Koping

a. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari

b. Proyeksi : menjeslaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk

mengaliskan tanggung jawab kepada orang lain


c. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik denganstimuus internal.

(Prabowo, 2014)

H. PROSES TERJADI MASALAH

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase memiliki karakteristik

yang berdeda yaitu:

Fase I

Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan

takut serta mencoba berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan

ansietas. Di sini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah

tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.

Fase II

Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas kendali dan

mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumberdipersepsikan. Disini terjadi

peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan

tanda-tanda vital ( denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah), asyik dengna

pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi

dengan reaita.

Fase III

Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada

halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan dengan orang ain, berkeringat,

tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang ain dan berada dalam kondisi

yang sangat menegangkan terutamajika akan berhubungan dengan orang lain.

Fase IV

Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah halusinasi.

Di sni terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon
terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang.

Kondisi pasien sangan membahayakan. ( Prabowo, 2014)

I. KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN

Fokus pengkajian klien dengan kasus halusinasi berada pada status mental yaitu :

 Pendengaran

 Penghindu

 Pengecapan

 Perabaan

 Pengelihatan

J. MASALAH KEPERAWATAN

1. Kerusakan komunikasi verbal

2. Gangguan sensori persepsi : halusinasi

3. Kerusakan interaksi social

4. Gangguan proses pikir

K. ANALISA DATA

Jenis halusinasi Data Objektif Data Subjektif


Halusinasi Dengar/suara Bicara atau tertawa sendiri Mendengar suara-suara

Marah-marah tanpa sebab atau kegaduhan.

Menyedengkan telinga ke Mendengar suara yang

arah tertentu mengajak bercakap-cakap.

Menutup telinga Mendengar suara

menyuruh melakukan

sesuatu yang berbahaya.


Halusinasi Penglihatan Menunjuk-nunjuk ke arah Melihat bayangan, sinar,

tertentu bentuk geometris, bentuk

Ketakutan pada sesuatu kartoon, melihat hantu atau


yang tidak jelas. monster
Halusinasi Penghidu Menghidu seperti sedang Membaui bau-bauan

membaui bau-bauan seperti bau darah, urin,

tertentu. feses, kadang-kadang bau

Menutup hidung. itu menyenangkan.

Halusinasi Pengecapan Sering meludah Merasakan rasa seperti

Muntah darah, urin atau feses


Halusinasi Perabaan Menggaruk-garuk Mengatakan ada serangga

permukaan kulit di permukaan kulit

Merasa seperti tersengat

listrik

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a) Gangguan Persepsi sensori : penglihatan

b) Gangguan persepsi sensori : pendengaran

c) Gangguan persepsi sensori : perabaan

d) Gangguan persepsi sensori : penciuman

e) Gangguan persepsi sensori : pengecapan


DAFTAR PUSTAKA

Maramis, W. F., 2005. Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press. Surabaya

Keliat Budi A. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta: EGC. 2006

Stuart, G.W. dan Sundden, S.J. ( 2005). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC

Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC.


LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Definisi

Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam

memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya dan

kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya . Klien dinyatakan

terganggu perawatan dirinya ika tidak dapat melakukan perawatan dirinya

(Mukhripah & Iskandar, 2012:147).

Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalai kelainan

dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan

sehari – hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur,

tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan

tidak rapi. Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan dir,

makan, berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil sendiri

(toileting) (Keliat B. A, dkk, 2011).

Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien

dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga

kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang

perawatan diri terlihat dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri antaranya

mandi, makan minum secara mandiri, berhias secara mandiri, toileting

(BAK/BAB) (Damaiyanti, 2012)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi defisit

perawatan diri adalah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas

perawatan diri secara mandiri.


B. Tanda Gejala

Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri

adalah:

1. Fisik

a. Badan bau, pakaian kotor.

b. Rambut dan kulit kotor.

c. Kuku panjang dan kotor

d. Gigi kotor disertai mulut bau

e. Penampilan tidak rapi

2. Psikologis

a. Malas, tidak ada inisiatif.

b. Menarik diri, isolasi diri.

c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.

d. Sosial

e. Interaksi kurang

f. Kegiatan kurang

g. Tidak mampu berperilaku sesuai norma.

h. Cara makan tidak teratur

i. BAK dan BAB di sembarang tempat

C. Klasifikasi

Menurut Nanda-I (2012), jenis perawatan diri terdiri dari :

1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan

Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk

melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.

2. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.


Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan

memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.

3. Kurang perawatan diri : Makan

Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk

menunjukkan aktivitas makan.

4. Kurang perawatan diri : Toileting

Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk

melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah : 2004,

79 ).

D. Rentan Respon

Adaptif Maladaptif

Pola perawatan Kadang Tidak melakukan

diri seimbang perawatan diri perawatan diri

kadang tidak pada saat stres

1. Pola perawatan diri seimbang: saat pasien mendapatkan stressor dan mampu

ntuk berperilaku adatif maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang,

klien masih melakukan perawatan diri

2. Kadang melakukan perawatan diri kadang tidak: saat pasien mendapatan

stressor kadang-kadang pasien tidak menperhatikan perawatan dirinya

3. Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak perduli dan

tidak bisa melakukan perawatan saat stresso (Ade, 2011)

E. Faktor Predisposisi
Menurut (Depkes, 2010), faktor predisposisi terjadinya deficit perawatan diri

adalah :

1. Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan

inisiatif terganggu.

2. Biologis

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan

diri.

3. Kemampuan realitas turun

Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang

menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan

diri.

4. Social

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.

Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

F. Faktor Presipitasi

Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang

penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang

dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan

perawatan diri.
Menurut Stuart (2012), faktor presipitasi terjadinya deficit perawatan diri adalah:

1. Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses

informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang

mengakibatkan krtidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus

yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

2. Stress Lingkungan

Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor

lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku.

3. Sumber Koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

G. Mekanisme Koping

a. Regresi

b. Penyangkalan

c. Isolasi sosial, menarik diri

d. Intelektualisasi (Mukhripah & Iskandar, 2012:153).

Sedangkan menurut (Stuart & Sundeen, 2000) didalam didalam (Herdman

Ade, 2011:153-154) mekanisme koping menurut penggolongannya dibagi

menjadi 2 yaitu :

a. Mekanisme koping adaptif Mekanisme koping yang mendukund fungsi

integrasi, pertumbuhan, belajar mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien

bisa memenuhi kebutuhan perawatn diri secara mandiri.


b. Mekanisme koping maladaptif Mekanisme koping yang menghambat fungsi

integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung

menguasai lingkungan. Kategorinya adalah tidak mau merawat diri.

H. PROSES TERJADINYA MASALAH

Defisit perawatan diri atau kurang perawatan diri menurut damaiyanti

dan iskandar, 2012 yaitu berawal dari kurangnya atau penurunan motivasi,

kerusakan kognisi (kepercayaan seseorang tentang yang didapatkan dari proses

berpikir tentang seseorang atau sesuatu), cemas, lelah atau lemas yang

menyebabkan defisit perawatan diri sehingga menimbulkan gangguan pada diri,

seperti gangguan integritas kulit, gangguan mukosa mulut, gangguan kebutuhan

rasa nyaman, gangguan kebutuhan harga diri dan gangguan interaksi sosial.

Sedangkan Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa

terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk

melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari

ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri,berhias diri

secara mandiri, dan toileting (buang air besar [BAB]atau buang air kecil

[BAK])secara mandiri (Yusuf, Rizky & Hanik,2015:154).

I. KEMUNGKINAN DATA FOKUS PENGKAJIAN

1. Status mental

a. Penampilan tidak rapih, penggunaan pakaian tidak sesuai, cara pakai tidak

seperti biasanya

b. Kebutuhan sehari-hari

1) Makan

2) Mandi

3) Defekasi/berkemih
4) Berpakaian/berhias

J. MASALAH KEPERAWATAN

Defisit perawatan diri

K. ANALISA DATA

N DATA SUBYEKTIF DAN OBYEKTIF MASALAH

O
1. Data Subyektif: Defisit perawatan diri

1. Mayor

 Menyatakan malas mandi

 Tidak tahu cara makan yang

baik

 Tidak tahu cara dandan yang

baik

 Tidak tahu cara eliminasi yang

baik

2. Minor

 Merasa tak berguna

 Merasa tak perlu mengubah

penampilan

 Merasa tidak ada yang peduli

Data Obyektif

1. Mayor

 Badan kotor

 dandanan tidak rapi

 makan berantakan
 bab/bak sembarang tempat

2. minor

 tidak tersedia alat

kebersihan

 tidak tersedia alat makan

 tidak tersedia alat toileting

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Kurang perawatan diri


DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A, dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).
Jakarta: EGC.

Fitria, N.(2009),Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluandan Strategi


PelaksanaanTindakan Keperawatan.Jakarta : SalembaMedika

Stuart & Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Jakarta: EGC.

Yosep Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai