Anda di halaman 1dari 3

Slowbalisation: Mematahkan Mitos Paling Cepat Adalah yang Terbaik

Ramainya sebutan untuk zaman yang serba cepat ini, mulai dari Revolusi Industri 4.0, Society 5.0
terkadang menimbulkan kebingungan. Maklum, saat ini semua dituntut menjadi serba cepat, hingga terkadang lupa
untuk memikirkan apa-apa sebenarnya yang telah dilakukan. Stigma yang tercepat adalah yang terbaik dijadikan
komoditas harian, padahal tidak selalu demikian.
Hadirlah istilah baru yang disebut dengan slowbalisation. Awalnya, penulis mendengar istilah tersebut
mencari tahu lewat platfrom Google. Ternyata, kata slowbalisation lahir dari kondisi kecepatan integrasi ekonomi
di seluruh dunia yang sebagian mulai diperlamban. Reaksi tersebut muncul pada 2015 oleh Adjied Bakas seorang
pengamat tren Belanda. Kebutuhan akan slowbalisation tidak hanya dirasakan oleh dunia industri, tapi juga sektor
kebudayaan yang telah terdampak virus percepatan.
Slowbalisation ternyata tidak hanya berlaku untuk mengurangi integrasi ekonomi. Mengingat, semua-muanya
selalu digembar-gemborkan masalah 4.0. Padahal kenyataanya Indonesia belum selesai pada tahapan 2.0 mengenai
melek literasi. Buat apa terburu-buru jika pada endingnya tidak menghasilkan apa-apa?
Senada dengan konsep ini, budayawan Seno Gumira Adjidarma pada perayaan Dewan Kesenian Jakarta ke
51 di Taman Izmail Marzuki, menyampaikan sebuah pidato kebudayaan. “Dalam gembar-gembor kenyinyiran 4.0,
terkesan betapa apa yang berlangsung dalam dunia industri telah dengan sendirinya menjadi gejala kebudayaan,
yang memang tidaklah keliru, tetapi yang dalam pendapat Penulis tidak harus selalu secara harfiah bermakna adu
kecepatan—dan perihal kecepatan, manusia cukup sering tenggelam dalam mitos bahwa pencapaian terbaik adalah
menjadi yang tercepat,” ungkap Seno Gumira.
Seno lalu melogikan pendapatnya dengan bercerita siput dan kancil. Siput, binatang yang dikenal begitu
lambat. Pasalnya, ketika kancil bertanya posisinya, siput yang di depannya selalu menjawab. Kita tahu jumlah siput
itu bukan hanya banyak, melainkan tak terhingga. Sehingga praktis sebenarnya siput tersebut tidak perlu bergerak
sama sekali.
Hal itu berarti yang lemah seperti siput tidak selalu bisa dianggap kalah begitu saja. “Dalam falsafah dini
untuk kanak-kanak, ini bermakna otak mengalahkan otot; dalam fisika, waktu yang melesat pun tidak akan pernah
melampaui ruang; dalam wacana kritis: yang lemah itu tidak selalu harus dianggap sebagai yang kalah,” ungkap
penyair berperawakan gondrong tersebut saat menyampaikan pidato kebudayaan.
Beberapa hari sebelum itu, saat penulis mendatangi acara bertajuk diskusi budaya. Seorang dosen sekaligus
motivator bernama Dr Akhmad Tabrani juga menyampaikan terkait slowbalisation. Beliau memaknai hal tersebut
sebagai sebuah pelambatan atas segala pacuan yang terjadi. Bagi beliau tidak selama yang tercepat adalah yang
terbaik. Justru, kecepatan terkadang dapat membuat seseorang terburu-buru sehingga apa yang dihasilkan tidak
maksimal.

Masih lekat hingga kini, anggapan yang tercepat adalah yang terbaik. Misalnya mahasiswa semester tua
yang kuliahnya tidak kunjung usai acap mendapat hujam sorotan dari berbagai pihak. Tidak hanya pihak kampus
atau orang terdekat, bahkan orang yang baru kenal saja bisa beranggapan kurang baik dengan pengendapan
semester.
Padahal, dibalik keterlambatan tersebut bisa jadi ada hal positif lainnya yang tengah dikejar. Sebab lulus di
waktu yang tepat, akan lebih baik dibanding lulus tepat waktu tanpa adanya orientasi masa depan yang jelas.
Misteri dunia perkuliahan yang sesungguhnya akan terjadi setelah ia lulus dari jenjang sarjana. Mahasiswa yang
mengendapkan semester bisa saja memiliki tujuan lain, yaitu untuk mengasah hidup sehingga saat lulus telah benar
benar siap untuk berbagai kemungkinan.
Sedikit berbeda pandangan dengan kedua orang yang telah penulis sebut, Agus Sunyoto pakar sejarawan
NU, menjawab pertanyaan Penulis saat berjumpa pada sebuah acara seminar. Beliau menyampaikan yang
terpenting saat ini ialah kembali pada intuisi. Bagaimana merasa akan sesuatu yang dilakukannya, dan tidak
sebatas mengerjakan sesuatu yang dikerjakan.
Penafsiran Penulis, dalam kapasitasnya sebagai seorang sejarawan, beliau hendak memberikan pandangan
bahwa pada masa lalu orang melakukan berbagai hal atas dasar pemahaman komprehensif, bukan hanya mengacu
pada kecepatan atau perburuan deadline yang terkadang justru menjerumuskan.
Biodata Penulis
Nama: M Afnani Alifian
Alamat Domisili: Kota Malang, Jl. Mertojoyo Selatan Blok C No.18 A Merjosari, Kec.
Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144
Email: danialifian7@gmail.com
No Telp: 082338868178
No WhatsApp: 082338868178
Instagram: @dani_alifian

Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid, penulis buku Idelisme Telur Setengah Matang.
Institusi: Universitas Islam Malang
Pekerjaan: Mahasiswa (Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid)
Minat/kajian penulis: Telaah

Anda mungkin juga menyukai