Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

A. PENDAHULUAN...................................................................................................................1
B. DEFINISI................................................................................................................................2
C. ANATOMI..............................................................................................................................3
D. FISIOLOGI.............................................................................................................................7
E. PATOFISIOLOGI.................................................................................................................8
F. TRAUMATIC BRAIN INJURY (TBI).................................................................................10
G. DIAGNOSIS DAI.................................................................................................................11
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG........................................................................................14
I. PENATALAKSANAAN......................................................................................................17
J. KESIMPULAN.....................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................19
BAB I PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada

semua kelompok usia. Saat ini, belum ada penanganan yang efektif untuk

memulihkan efek yang menetap dari cedera kepala primer, dan penanganan ditujukan

untuk mengurangi efek sekunder dari cedera kepala yang dapat terjadi akibat dari

iskemik, hipoksia dan peningkatan tekanan intra cranial. Memahami epidemiologi

dari cedera kepala berguna untuk tindakan preventif, perencanaan strategi preventif

primer berdasarkan populasi untuk meningkatkan penanganan yang efektif dan

efisien, termasuk ketentuan fasilitas rehabilitasi bagi mereka yang terkena cedera

kepala.1

Kecelakaan lalu lintas menempati urutan kesembilan pada Disability Adjusted

Life Years (DALYs). Diperkirakan akan menempati urutan ketiga di tahun 2020

sedangkan di negara berkembang urutan kedua. Menurut WHO (2008) kecelakaan

lalu lintas menjadi penyebab kematian kesepuluh di dunia dengan jumlah kematian

1,21 juta (2,1%) sedangkan di negara berkembang menjadi penyebab kematian

ketujuh di dunia dengan jumlah kematian 940.000 (2,4%).2

Di Amerika Serikat pada tahun 1990 dilaporkan kejadian cedera kepala 200

per 100.000 penduduk per tahun (Japardi, 2004). Menurut penelitian Hesketad di

Rumah Sakit Universitas Stavanger Norwegia, selama tahun 2003 tingkat kejadian

tahunan cedera kepala adalah 207 per 100.000 penduduk. Proporsi disabilitas dan

(Case Fatality Rate) CFR cedera akibat kecelakaan lalu lintas masih tinggi. CFR

tertinggi dijumpai di beberapa negara Amerika Latin (41,7 per 100.000 penduduk),

1
Asia (21,9 dan 21,0 per 100.000 penduduk di Korea Selatan dan Thailand). Di

Kamboja pada tahun 2004 sebanyak 65% dari korban kecelakaan lalu lintas

menderita cedera kepala.2

Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang

kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala

terdapat otak yang mempengaruhi segala aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan

akan mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab trauma kepala yang terbanyak

adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan cedera olahraga (10%). Angka

kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan

penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan merupakan urutan

kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak yang dirawat di rumah sakit di

Indonesia. Secara umum, cedera otak dapat dibagi menjadi cedera fokal dan difus.

Salah satu tipe cedera otak difus yang banyak ditemui pada cedera kepala terkait

trauma adalah diffuse axonal injury (DAI).3

A. DEFINISI

DAI adalah suatu sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan kesadaran setelah

terjadinya trauma selama lebih dari enam jam, tanpa ditemukan adanya penyebab yang

jelas terjadinya penurunan kesadaran. Pemeriksaan histopatologis dengan sampel dari

biopsi otak kemudian akan menunjukkan adanya kerusakan akson difus pada hemisfer

serebri, serebelum, dan batang otak.4,5

2
Diffuse axonal injury adalah terjadinya cedera otak difus dan disfungsi neuron

yang luas. Gaya/energy rotasi menyebabkan gesekan atau shearing injury dan

regangan pada akson secara menyeluruh dan difus.6

B. ANATOMI

a. Neuron

Neuron merupakan sebuah sel yang berfungi untuk membentuk potensial aksi

(excitability), menerima dan menyampaikan impuls dari satu neuron ke

neuron lain melalui sinaps atau langsung ke efektor melalui neuromuscular

junction (conductivity) dan sekresi berbagai macam neurotransmitter

(Secretion). Diperkirakan sekitar 100 milyar neuron terdapat pada otak

manusia. Pada sistem saraf pusat, neuron tersusun secara topografi baik

sebagai suatu kumpulan seperti nuklei maupun ganglia atau sebagai kolumna

yang memanjang seperti yang terdapat pada keenam lamina pada korteks

serebri.7

Neuron pada umumnya memiliki 3 bagian yaitu :7

1. Dendrit

Dendrit berfungsi untuk menerima impuls dari neuron lain dan

mengirimkan impulsnya ke badan sel

3
2. Badan sel

Pada bagian ini terdapat nucleus dimana terjadi sintesis protein. Badan sel

berfungsi untuk menerima impuls dari dendrit dan mengirimkan impuls di

sepanjang akson

3. Akson

Akson berfungsi untuk mengirimkan impuls ke neuron lain.

Pada bagian akson terdapat selubung myelin. Selubung ini dibentuk oleh

sel schwan dan berfungsi untuk mempercepat konduksi impuls pada neuron

melalui saltatoric conduction. Bagian akson yang tidak mendapat selubung

myelin disebut dengan nodus ranvier.

Pada neuron juga terdapat jaringan penyangga. Sitoskeletal merupakan

protein-protein yang berfungsi sebagai otot dan tulang dari sebuah sel. Ada 3

jenis sitoskeletal yaitu :8

1. Mikrotubuli

Berbentuk panjang seperti selang terbentuk dari molekul tubulin.

Berfungsi untuk menjaga bentuk dari neuron dan memfasilitasi transport

vesikel di neuron tersebut.

2. Mikrofilamen

Terbentuk dari aktin subunit untuk pergerakan ameboid.

3. Intermediate filament

Terbentuk dari keratin sebagai kekuatan penahan dari mekanikal stress.

4
Gambar 1. Anatomi Neuron
(https://www.brainhq.com/brain-resources/image-gallery/brain-anatomy-images)

b. Serebrum

Serebrum tersusun dari luar ke dalam :

1. Korteks serebri

2. Centrum semiovale

3. Nuklei basalis

4. Rhinensefalon

Pada korteks serebri terdapat beberapa jenis sel, yaitu :

a. Sel piramidal. Berbentuk piramid, mempunyai sebuah dendrit apikalis

menuju ke permukaan dan beberapa dendrit basalis berjalan

5
horizontal. Axon sel ini keluar dari bagian basalis badan sel dan masuk

ke dalam substansia alba. Sel piramid raksasa terdapat pada gyrus

presentralis.

b. Sel stellata. Berbentuk poligonal dan mempunyai beberapa dendrit

yang menuju berbagai arah dan sebuah axon yang pendek. Terdapat

pada semua lapisan korteks.

c. Sel fusiformis. Serabut dendrit ada yang menuju permukaan dan ada

yang menyebar di lapisan yang sama. Axonnya keluar di bagian

kaudal sel dan masuk ke dalam substansia alba. Terletak vertikal dan

terutama terdapat dalam lapisan terdalam.

d. Sel horizontalis dari Cajal. Berbentuk fusiformis kecil dan berada

pada lapisan yang paling superfisial.

e. Sel dari Martinotti. Berbentuk segitiga dan kecil-kecil serta

mempunyai axon yang berjalan asendens menuju permukaan. Terdapat

pada semua lapisan korteks.

Sel-sel tersebut di atas terletak pada 6 lapisan korteks serebri yang

tersusun dari luar ke dalam sebagai berikut :

a) Lamina molekularis

b) Lamina granularis eksterna

c) Lamina piramidalis

d) Lamina granularis interna

e) Lamina ganglionaris

f) Lamina multiformis.

6
Serabut-serabut pada korteks ada yang berjalan radial dan ada yang

tangensial. Serabut radial arahnya vertikal dari bagian profunda menuju

permukaan, terdiri dari axon sel-sel pyramidal, sel fusiformis dan sel stellata

serta merupakan serabut proyeksi dan asosiasi. Serabut tangensial berjalan

paralel dengan permukaan korteks, terdiri dari akson sel horizontalis, dan sel

stellata dan serabut kolateralis dari sel piramidal dan sel fusiformis serta

merupakan serabut terminal dari serabut proyeksi dan asosiasi.

Centrum Semiovale merupakan substansia alba yang terdiri dari :

a. Serabut proyeksi yang menghubungkan korteks serebri dengan pusat-

pusat yang berada subkortikal, seperti antara lain yang berjalan radial

membentuk korona radiata menuju ke medula oblongata dan radiasi

optika yang menghubungkan korpus genikulatum lateral dengan area

17.

b. Serabut komisural yang menghubungkan hemisfer serebri yang satu

dengan lainnya. Serabut komisural ini membentuk bangunan yang

antara lain adalah korpus kallosum.

c. Serabut asosiasi yang menghubungkan tempat-tempat pada hemisfer

yang sama yang terdiri atas serabut asosiasi pendek yang

menghubungkan gyrus yang letaknya berdekatan dan serabut asosiasi

panjang yang menghubungkan gyrus yang letaknya berjauhan seperti

antara lain fasikulus longitudinalis superior dan fasikulus

longitudinalis inferior.

7
C. FISIOLOGI

Transport vesikel pada neuron dapat terjadi dalam 2 jalur. Yaitu jalur

anterograde dan retrograde. Transport ini terjadi di daerah mikrotubuli. Pada jalur

anterograde, terjadi pengiriman vesikel dari bahan sel menuju ke sepanjang akson

untuk kemudian dilepaskan pada ujung saraf. Pada jalur retrograde terjadi re-uptake

vesikel dari ujung saraf yang kemudian dikirim menuju badan sel.

Pembentukan potensial aksi dari sebuah neuron terdiri dari tahapan-tahapan berikut :

 Sodium masuk dan mendepolarisasi membran

 Potensial membrane harus mencapai -55mv karena itu merupakan minimal

untuk terbukanya kanal Na+ dan K-.

 Setelah kanal Na+ terbuka, Na+ masuk dengan cepat ke intraseluler. Pada

keadaan ini kanal K- juga terbuka, namun perlahan-lahan.

 Setelah potensial melewati )mv, kanal Na+ mulai terinaktivasi. Setelah semua

kanal Na+ menutup dan Na+ influx berhenti maka potensial aksi akan berada

pada 35mv.

 Pada kondisi tersebut kanal K- sudah terbuka penuh. Hal tersebut

menyebabkan pengeluaran K- dari dalam sel, sebab potensial di dalam sel

sudah positif.

 Karena kanal K- menutup lebih lama dari Na+ , maka terjadi penurunan

potensial yang drastis (hiperpolarisasi).

 Setelah itu terjadi difusi dari ion-ion melalui membran dan pembuangan K -

sehingga potensial membran kembali ke RMP (Resting Membran Potensial).

8
D. PATOFISIOLOGI

Coup Injury adalah kekerasan yang terjadi secara tiba-tiba yang menyebabkan

otak tertekan secara cepat ke depan dan menghantam sisi tengkorak. Contracoup

injury, terjadi di sisi lain ketika otak tertekan secara cepat ke depan dan menghantam

sisi tengkorak, dan kemudian memantul dari sisi lain tengkorak. Dalam kedua kasus,

otak rusak karena terjadi benturan pada bagian dalam tengkorak. Luka memar pada

coup injury akan timbul di lokasi benturan. Sedangkan pada contracoup terjadi di sisi

lain, memar akan tampak pada situs berlawanan dari lokasi benturan. Sebuah otak

yang mengalami benturan yang sangat keras dan tiba-tiba dapat mengalami coup dan

contracoup injury secara bersamaan.9

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai

akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung

kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan

kepala10

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak

(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak

lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa

otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari

benturan (countrecoup).10

9
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan

iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak

otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera

awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola

tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel

dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara

berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium

pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan

pembengkakan jaringan otak. 11

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit

pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat

rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan

hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang

tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.11

DAI terjadi karena akson mengalami tarikan atau robekan pada daerah

perbatasan antara substansia alba dengan substansia grisea pada saat otak mengalami

akselerasi, deselerasi, atau rotasi. Perbatasan ini biasanya menjadi tempat terjadinya

trauma sebab dua lapisan tersebut berakselerasi dan berdeselerasi secara berbeda

tergantung dari kepadatan jaringan.3

Segera setelah trauma, terjadi depolarisasi diikuti cedera intraseluler langsung

akibat gangguan mekanik pada sitoskeleton dan sitoplasma sel, sehingga terjadi

gangguan fungsi transport aksonal. Proses ini diikuti serangkaian reaksi biokimia

yang berujung pada kerusakan sel lebih lanjut dan aksonotmesis. Efek trauma

10
terhadap mitokondria menimbulkan gangguan pada pembentukan ATP di dalam sel,

diikuti kegagalan dari pompa natrium, kalium, dan kalsium yang menyebabkan

gangguan homeostasis pada akson.3

Gambar 2. Ilustrasi Diffuse Axonal Injury


(https://radiopaedia.org/cases/diffuse-axonal-injury-4)

Kegagalan pompa ion kemudian diikuti pengeluaran neurotransmiter

eksitatorik (glutamat, aspartat), aktivasi NMDA, kanal kalsium, dan kanal natrium.

Influks dari natrium dan kalsium menyebabkan terjadinya proses katabolisme

intraselular. Kalsium menyebabkan aktivasi dari lipid peroksidase, protease, dan

fosfolipase. Selanjutnya aktivasi dari kaspase, translokase, dan endonuklease

menyebabkan perubahan struktur yang progresif dari membran nukleus dan DNA.

Bersama-sama kejadian ini menyebabkan terjadinya degradasi membran dari struktur

selular, yang berakhir dengan nekrosis atau apoptosis.3

11
E. TRAUMATIC BRAIN INJURY (TBI)

Cedera pada otak dapat menyebabkan terjadinya berbagai kerusakan pada

otak. Kerusakan yang timbul pada TBI dapat mengakibatkan efek yang langsung atau

tidak langsung. Efek yang langsung berarti bahwa kerusakan pada otak yang

disebabkan oleh trauma itu langsung muncul (contohnya pada perdarahan

intraserebri), sedangkan efek tidak langsung berarti efek yang terlambat (delayed)

muncul sejak terjadinya trauma dan terus berkembang secara progresif.12

Prinsip mekanisme utama dari traumatic brain injury diklasifikasikan sebagai

berikut :13

1. Kerusakan otak fokal yang disebabkan oleh trauma kontak yang menimbulkan

terjadinya kontusi, laserasi dan perdarahan intrakranial.

2. Kerusakan otak yang difus karena akselerasi atau deselerasi yang

menyebabkan terjadinya DAI atau pembengkakan otak.

F. DIAGNOSIS DAI

Daerah otak yang mengalami lesi paling parah pada DAI biasanya pada

daerah yang secara anatomis paling mendapat tarikan baik rotasi atau akselerasi yang

paling hebat, yaitu daerah midline dari otak. Bagian-bagian itu adalah :8

- Dorsolateral dari midbrain dan pons (paling sering)

- Posterior corpus callosum

- Parasagital dari white matter

- Periventricular region

12
- Kapsula internal (jarang)

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma

Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran,

yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing

komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3

sedangkan nilai tertinggi adalah 15.

Sistem kategori trauma kapitis yang sederhana berdasarkan hanya pada skor GSC

adalah seperti berikut :14

 GCS 14-15 = ringan

 GCS 9-13 = sedang

 GCS ≤ 8 = berat

Tabel 1. Klasifikasi Trauma Kapitis14

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan inspeksi kranium meliputi tanda-tanda

fraktur basis cranii seperti racoon’s eyes (ekimosis periorbital), Battle’s sign

(ekimosis postaurikuler sekitar mastoid), CSF rhinorrhea/otorrhea, hemotimpanum

atau laserasi pada meatus austikus eksterna; pengecekan fraktur fasialis seperti LeFort

fraktur dengan palpitasi kestabilan tulang-tulang wajah termasuk arkus zigomatikum,

fraktur lingkaran orbital, udem periorbital, dan proptosis. Untuk auskultasi kranio-

servikal pada arteri karotis apabila ada bruit mungkin terkait dengan indikasi diseksi

13
karotis, auskultasi pada daerah bola mata apabila ada bruit mungkin terkait fistula

traumatic carotid-cavernous; tanda-tanda trauma pada tulang belakang seperti memar

dan deformitas; adanya kejang (simpel, multipel, status epileptikus).14

Manifestasi klinis dari DAI ini sangat berarti, tergantung dari tingkat

keparahannya. Ada yang sampai terjadi kehilangan kesadaran, ada juga yang hanya

mengalami kebingungan sesaat. Pada cedera kepala, kita dapat menentukan apakah

ini merupakan DAI atau hanya konkusi otak. Salah satu caranya adalah dengan

melihat kesadaran dari pasien.8

1. Apabila terjadi perubahan kesadaran (dapat berupa kebingungan atau

kehilangan kesadaran) yang kurang dari 6 jam, maka dapat disimpulkan

yang terjadi adalah konkusi otak. Pada konkusi otak biasanya kesadaran

berangsung pulih dengan cepat dapat dalam hitungan menit sampai jam.

2. Apabila terjadi koma yang lebih dari 6 jam tanpa bukti adanya massa

intracranial atau iskemik, maka dapat disimpulkan yang terjadi adalah DAI.

- Kehilangan kesadaran 6-24 jam : Mild DAI

- Kehilangan Kesadaran >24 jam : Moderate/Severe DAI

Pada kasus DAI yang berat biasanya terdapat gejala berupa ekstensi abnormal

dari ekstremitas dan disfungsi autonomik seperti bradikardi, hipertensi, hiperhidrosis,

demam. Hal ini disebabkan karena adanya lesi pada daerah hipotalamus dan brain

stem. Pada pasien DAI pemulihan kesadaran sangat bervariasi. Ada yang sampai

berbulan-bulan atau bahkan dapat sampai bertahun-tahun. Pada saat sadar, pasien

14
juga biasanya mengalami gangguan kognitif, terjadi spastisitas anggota gerak dan

ataksia.8

DAI Description
Grade
Mild coma >6–24 hrs, followed by mild-to-moderate memory impairment, mild-to
moderate disabilities
Moderate coma >24 hrs, followed by confusion & long-lasting amnesia. Mild-to-severe
memory, behavioral and cognitive deficits
Severe coma lasting months with flexor and extensor posturing. Cognitive, memory,
speech, sensorimotor and personality deficits. Dysautonomia may occur
Tabel 2. Klasifikasi Diffuse Axonal Injury14

Menurut Johnson dkk (2013) penegakan diagnosis pada pasien yang hidup

sulit untuk dikerjakan. Hal ini terkait dengan pemeriksaan imajing konvensional yang

umumnya memberikan hasil normal, meskipun pada kondisi berat dapat tampak

kelainan yang mengarah ke DAI. Oleh karena itu, diagnosis DAI sampai saat ini lebih

merupakan diagnosis eksklusi.5

Smith dkk (2013) mengatakan bahwa berbagai penelitian untuk menegakkan

diagnosis DAI secara non-invasif dengan pemeriksaan imajing mutakhir disertai

pemeriksaan elektrofisiologi dan biomarker masih terus berjalan, meskipun hasil

yang didapat sampai saat ini masih memiliki keterbatasan untuk diaplikasikan secara

klinis.15

Segera setelah terjadinya trauma, diagnosis pasti DAI dapat dilakukan dengan

metode imunohistokimia pada potongan otak pasien yang meninggal. Pemeriksaan

akan menunjukkan gambaran karakteristik berupa pengecatan neurofibrilar untuk

mendeteksi mikroglia yang banyak didapatkan pada substansia alba yang mengalami

15
degenerasi. Kemudian akan didapatkan gambaran yang mengarah ke degenerasi

aksonal tipe Wallerian seiring dengan proses disintegrasi pada membran akson.16

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Sekitar 50-80% pasien yang menderita DAI menunjukkan hasil CT Scan

normal. Pada kasus lebih berat yang menunjukkan kelainan, dapat ditemukan

gambaran klasik berupa bercak perdarahan pada korpus kalosum, perbatasan antara

subtansia alba dan grisea, serta perbatasan pons dengan mesensefalon yang berkaitan

dengan pedunkulus serebri superior.16

MRI merupakan pemeriksaan imajing yang lebih sensitif pada pasien DAI,

terutama jika dikerjakan dengan teknik yang lebih mutakhir seperti diffusion

weighted imaging (DWI), atau susceptibility weighted imaging (SWI).3

Sedangkan pada MRI selain terlihat lesi hiperintense pada perbatasan antara

gray dan white matter, dapat juga terlihat robekan jaringan.8 Selain itu, seiringnya

berjalan waktu degenerasi Wallerian dapat menyebabkan terjadinya atrofi. Dan atrofi

itu kadang terlihat sebagai dilatasi ventrikel (ex vacuo hydrocephalus).17

16
Gambar 3. CT Scan non kontras pada pasien dengan trauma kapitis
menunjukkan multipel perdarahan peteki (tanda panah) yang sesuai dengan DAI.
Perlu di perhatikan bahwa perdarahan khas terletak pada antarmuka gray-white
matter.9
Gambar 4. Pasien yang mengalami cedera aksonal dan selama 4 tahun dalam
kondisi vegetatif persisten menunjukan kehilangan yang luas dan kavitasi dari white

matter, dengan atrofi korpus kalosum dan ex vacuo hydrocephalus.9

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah

dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupaakan metode yang sensitiF untuk

mendeteksi DAI. Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana

halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS

ditemukan adanya DAI di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang

nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus

ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan

berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera

kepala ringan.17

DAI juga dapat dikelompokkan berdasarkan gambaran histologisnya :18

1. Pada grade 1, terlihat secara histologis kerusakan akson pada daerah white

matter di hemisfer serebri, batang otak atau serebelum. Walaupun tanpa

17
adanya gambaran makroskopis atau histologis klasik dari DAI berupa

perdarahan dan nekrosis pada korpus kalosum atau pada pedunkulus serebri

superior.

2. Pada grade 2, terlihat kerusakan secara makroskopis atau histologis lesi di

daerah korpus kalosum.

3. Pada grade 3, terlihat secara makroskopis atau histologis lesi di daerah korpus

kalosum dan dorsolateral dan brainstem.

Gambar 5. Berikut immunocytochemistry untuk β-amyloid precursor protein,


dapat terlihat akson berwarna hitam yang membengkak.9

H. PENATALAKSANAAN

Pemahaman tentang patofisiologi yang lebih baik seiring dengan kemajuan

pemeriksaan penunjang membantu perkembangan penatalaksanaan DAI menjadi

lebih spesifik. Meskipun demikian, penelitian-penelitian yang menunjang untuk

penggunaan secara klinis terapi-terapi baru ini masih belum cukup kuat. Beberapa

diantaranya bekerja melalui proses sebagai berikut :15

1. Homeostatis ion

18
Pada DAI biasanya terjadi penurunan konsentrasi Mg sampai 1 minggu setelah

injury. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa Mg dapat memberikan efek

neuroproteksi pada injury dari akson. Pemberian Mg ini paling berpengaruh pada

< 24 jam setelah terjadinya trauma. Mg memiliki kemampuan untuk mengaktfkan

Na, K, ATP pump. Namun, disamping semua itu efek paling penting dari Mg

adalah bloking pada Chanel NMDA.

2. Proteksi mitokondria

Influks Ca ke dalam mitokondria yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan

mitokondria yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya secondary axotomy.

Cyclosporine ini berfungsi untuk menghambat influks Ca ke dalam mitokondria.

3. Hipotermia dan stabilisasi sitoskeleton

Hipotermia memiliki efek perbaikan sitoskeleton akson pada DAI. Hal ini

dibuktikan pada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa hipotermin sedang

(320C) dapat mengurangi kehilangan mikrotubuli dan neurofilamen terutama pada

4 jam setelah trauma.

I. KESIMPULAN

DAI adalah suatu sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan

kesadaran setelah terjadinya trauma selama lebih dari enam jam, tanpa

ditemukan adanya penyebab yang jelas terjadinya penurunan kesadaran. DAI

disebabkan oleh trauma pada otak yang menyebabkan tarikan antara gray

19
matter dengan white matter otak. Hal itu dapat menyebabkan tertariknya

akson atau bahkan dapat menyebabkan axotomy. Hal ini menyebabkan

manifestasi klinis pada DAI dapat langsung timbul akibat primary axotomy

atau progresif akibat secondary axotomy disebabkan oleh banyak hal seperti

mechanoporation, influx Ca dan kerusakan pada sitoskeleton. Berbagai

penelitian untuk menegakkan diagnosis DAI secara non invasif dengan

pemeriksaan imajing mutakhir disertai pemeriksaan elektrofisiologi dan

biomarker masih terus berjalan. Perkembangan ini turut membantu

penatalaksanaan DAI menjadi lebih spesifik, sesuai dengan patofisiologi

terjadinya penyakit, sehingga diharapkan memberikan hasil yang lebih optimal.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Soertidewi Lyna,dkk. (2016), Konsensus Nasional; Penanganan Trauma


Kapitits dan Trauma Spinal. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.

2. Damanik, R.P., Jemadi, Hiswani. (2015), Karakteristik Penderita Cedera


Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Darat Rawat Inap Di RSUD DR. H.
Kumpulan Pane Tebing Tinggi Tahun 2010-2011. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Arimbawa, I Komang. (2014), Diffuse Axonal Injury After Traumatic Brain


Injury. Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.

4. Park S.J., Hur, J.W., Kwon, K.Y., Rgee, J.J., Lee, J.W. Lee, H.K. (2009), J
Korean Neurosurgeon Soc, Seoul.

5. Johnson, V.E., Stewart, W., Smith, D.H. (2013), Axonal pathology in


traumatic brain injury. Experimental Neurology

6. Yurmansyah, Adi. (2014), Difus Axonal Injury. Program Pendidikan Dokter


Spesialis Ilmu Bedah FK UNS/RSUD DR. Moewardi, Surakarta.

7. Sherwood, Lauralee. (2006), Human Physiology from Cell to System. Edisi


ke-5. Canada : Thomson

8. Burst, John. (2008), Current Diagnosis and Treatment in Neurology


International Edition. New York : McGrawHill.

9. Whitfield Peter C, et al. (2009), Head Injury; A Multy Diciplinary Approach.


Cambridge University Press. Cambridge

10. Ilyas, Kamal Kharrazi. (2010), Gambaran Glasgow Coma Scale pada Pasien
Trauma Kapitis di RSUP Haji Adam Malik Medan Pada Tahun 2009.

11. Lombardo, M.C. (2006), Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam : Price, S.A., dan
Wilson,L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC.

12. Brown, Ropper. (2008), Adam and Victor Principle’s of Neurology 8th
Edition. McGrawl Hill : New York.

21
13. Werner, C: Engelhard, K. (2007), Pathophysiology of Traumatic Brain Injury.
British Journal of Anesthesia.

14. Greenberg, Mark S. (2016), Handbook of Neurosurgery Eight Edition.


Thieme Publisher : New York
15. Smith, D.H., Hicks, R., Polivshock, J.T. (2013), Therapy Development for
Diffuse Axonal Injury. Journal Of Neurotrauma

16. Meythaler, J.M., Peduzzi, J.D., Eleftheriou, E., Novack, T.A. (2001), Current
Concepts: Diffuse Axonal Injury–Associated Traumatic Brain Injury. Arch
Phys Med Rehabil

17. Sastrodiningrat, Abdul Gofar. (2007), Pemahaman Indikator-Indikator Dini


Dalam Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan.

18. Shuquillo, J. (2009), Current Aspects of Pathophysiology and Cell


Dysfunction after Severe Head Injury. Medline.

22

Anda mungkin juga menyukai