Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN MANAJEMEN AJAL DAN PALIATIF

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN TERMINAL ILLNES PALIATIVE


CARE (HIV/AIDS)

DISUSUN OLEH :

1. YENI FITRIASTUTI (1807122)


2. MARCHA DYAH (1807147)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN C

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA

SEMARANG

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien
yang mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah
ada atau tidak ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan
untuk menyediakan obat dan juga tidak sebaliknya perkembangan penyakit.
Perawatan paliatif merupakan bagian penting dalam perawatan pasien yang
terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana sering kali prioritas utama
adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit pasien. Namun saat ini,
pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan
penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana
prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar
mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Pada stadium
lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah
fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi
juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu
penyakit tidak hanya pemenuhan/ pengobatan gejala fisik,, namun juga
pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang
dilakukandengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan
paliatif.
Karena pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan
pasien paliatif care, maka masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya
untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep
baru perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih
dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik
Perawatan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan
terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa
setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.
Sedangkan saat ini hanya beberapa rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas di 6 (enam) ibu kota
propinsi yaitudimulai pada tanggal 19 Februari 1992 di RS Dr. Soetomo
(Surabaya), disusul RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS Kanker Dharmais
(Jakarta), RS Wahidin Sudirohusodo (Makassar), RS Dr. Sardjito (Yogyakarta),
dan RS Sanglah (Denpasar).. Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di
Indonesia masih belum merata sedangkan pasien memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistik, maka
diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang memberikan arah bagi
sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan perawatan
paliatif.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:
812/Menkes/SK/VII/2007 tantangan yang kita hadapi pada di hari-hari kemudian
nyata sangat besar. Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum
dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis,stroke, Parkinson,
gagal jantung /heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/
AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Oleh sebab itu, penulis membahas tentang ruang lingkup perawatan paliatif
care karena pelayanan kesehatan di Indonesia terutama perawat belum menyentuh
kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, atau penyakit
yang termasuk dalam lingkup perawatan paliatif.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dengan tersusunnya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami tentang Asuhan Keperawatan pada pasien Terminal Illness
(Palliative Care) HIV / AIDS.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pasien terminal illness
(palliative care)
b. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan pasien terminal
illness (palliative care)
c. Mahasiswa mampu menetapkan tujuan dan kriteria hasil pasien terminal
illness (palliative care)
d. Mahasiswa mampu menyusun rencana keperawatan pasienterminal illness
(palliative care)
e. Mahasiswa mampu mengevaluasi asuhan keperawatan terminal illness
(palliative care)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui
pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib
serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan
spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007). Menurut KEPMENKES RI
NOMOR: 812, 2007 kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang
dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai
yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya.
Acquired immunodefiency syndrome (AIDS) merupakan penyakit
kronik progresif yang disebabkan human immunodeficiency virus (HIV),
menyebabkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dan masih belum
dapat diobati sehingga menjadi fokus utama tatalaksana penyakit. Era highly
active antiretroviral therapy (HAART) dimulai dan secara signifikan
memperlambat perjalanan penyakit. Sejak saat itu terjadi perubahan, dimana
meningkatkan angka harapan hidup penderita HIV, namun di sisi lain dapat
meningkatkan komorbiditas dengan penyakit kronis dan komplikasi, yang
penanganannya menjadi kompleks.
B. Tanda dan Gejala
Menurut komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2
gejala yaoitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum
terjadi) :

1. Gejala mayor
a. Berat badan menurun leih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demam/HIV ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari satu bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpeszoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidas orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus sitomegalo

Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS


dapat dibagikan mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6
minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah
demam, faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise,
anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis,
ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan
erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama
dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan
mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik
narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala
ini akan hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak
70% dari penderita HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang
akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus
HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan
penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV.
Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk
ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang
rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut
akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
C. Tahap Berduka
Dr.Elisabeth Kublerr-Ross telah mengidentifikasi lima tahap berduka
yang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit terminal :
1. Denial ( pengingkaran )
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak
dapat menerima informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin
mengingkarinya.
2. Anger ( Marah )
Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia
akan meninggal.
3. Bergaining ( tawar-menawar )
Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba menawar
waktu untuk hidup.
4. Depetion ( depresi )
Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan
segera mati.ia sangat sedih karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama
lagi bersama keluarga dan teman-teman.
5. Acceptance ( penerimaan)
Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan
bahwa ia akan meninggal. Ia akan berusaha keras untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya yang belum terselesaikan.
D. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian
Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya
perubahan yang cepat dari fase akut ke kronik.

2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi
pada kondisi penyakit yang kronik

3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti,


biasanya terjadi pada pasien dengan operasi radikal karena adanya
kanker.

4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien
dengan sakit kronik dan telah berjalan lama.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi
terminal, tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien
sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya
dapat meninggal dengan tenang dan damai. Doka (1993) menggambarkan
respon terhadap penyakit yang mengancam hidup kedalam empat fase, yaitu :
1. Fase prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau factor resiko
penyakit
2. Fase akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada
serangkaian keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun
psikologis.
3. Fase kronis : klien bertempur dengan penyakit dan pengobatnnya, Pasti
terjadi. Klien dalam kondisi terminal akan mengalami masalah baik fisik,
psikologis maupun social-spiritual.
Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain :

1. Problem Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan


cheyne stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-
gelisah, tekanan darah menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi
ireguler.
2. Problem Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat
peristaltic, kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi
konstipasi, inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau
kondisi penyakit (mis Ca Colon), retensi urin, inkopntinensia urin terjadi
akibat penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misalnya : Trauma
medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau
kondisi penyakit mis gagal ginjal
3. Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun,
peristaltic menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan
pecah-pecah, lidah kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan,
dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.
4. Problem suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai
selimut.
5. Problem Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat
mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran
menurun, kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran
berkurang, sensasi menurun.
6. Problem nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan
secara intra vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan
kecemasan dan meningkatkan kenyamanan.
7. Problem Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan
masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan
posisi yang sering.
8. Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya
mengalami banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa
seringkali ditunjukan. Problem psikologis lain yang muncul pada pasien
terminal antara lain ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu lagi
produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan
komunikasi atau barrier komunikasi.
9. Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi
akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat
memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan.
Sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan
kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai.
Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan,
ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.

Faktor-faktor yang perlu dikaji :

1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan
pada berbagai masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara
lain perubahan pada penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan,
eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi
pada klien, klien mungkin mengalami berbagai gejala selama
berbulan-bulansebelum terjadi kematian. Perawat harus respek
terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal karena hal
tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan
klien dalam pemeliharaan diri.
2. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi
terminal. Perawat harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi
pada pasien terminal, harus bisa mengenali ekspresi wajah yang
ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah. Problem psikologis lain
yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan,
kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali tahap-
tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.
3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama
kondisi terminal, karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik
diri, mudah tersinggung, tidak ingin berkomunikasi, dan sering
bertanya tentang kondisi penyakitnya. Ketidakyakinan dan
keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat harus
bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat
memberikan dukungan social bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga
terdekat untuk selalu menemani klien.
4. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan
proses kematian, bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat
terakhirnya. Apakah semakin mendekatkan diri pada Tuhan ataukah
semakin berontak akan keadaannya. Perawat juga harus mengetahui
disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran tokoh
agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.
5. Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian Pasien
Terminal
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya
yang mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya
mempengaruhi individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan
menghadapi kematian atau menjelang ajal. Perawat tidak boleh
menyamaratakan setiap kondisi pasien terminal berdasarkan etika,
norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus dihindari.
6. Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi
dukungan. Perawat harus mampu memberikan ketenangan melalui
keyakinan-keyakinan spiritual. Perawat harus sensitive terhadap
kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi kematian, sehingga
kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.

B. Diagnose
1. ketidakefektifan termogulasi b.d penurunan imunitas Tubuh
2. katidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan asupan

oral

3. intoleransi aktivitas b.d keadaan mudah letih, kelemahan, malnutrisi dan

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

4. ansietas b.d ancaman nyata terhadap kesejahteraan diri

5. harga diri rendah b.d penyakit kronis, krisis stuasional

6. Tidak efektifnya mekanisme koping keluarga b.d kemampuan dalam

mengaktualisasi diri

7. distress spiritual b.d penyakit infeksi kronis

C. Intervensi
Diagnose
No Tujuan dan kriteria hasil Intervesi
Keperawatan
1 Ketidakefektifan NOC : NIC :
termoregulasi 1. Hidration Temperature regulation
2. Adherence Behavior (pengaturansuhu)
3. Immune status 1.1 Monitor suhu tubuh
4. Risk control minimal tiap 2 jam
5. Risk detection 1.2 Rencanakan monitor suhu
secara continue
KriteriaHasil : 1.3 Monitor TD, nadi, RR
- Keseimbanganantaraproduksipa 1.4 Monitor warna dan suhu
nas, panas yang diterima, dan kulit
kehilangan panas. 1.5 Monitor tanda-tanda
- Seimbang antara produksi hipotermi dan hipertermi
panas, panas yang diterima, dan 1.6 Tingkatkan intake cairan
kehilangan panas selama 28 dan nutrisi
hari pertama kehidupan. 1.7 Selimuti pasien untuk
- Keseimbangan asam basa bayi mencegah hilangnya
baru lahir kehangatan tubuh
- Temperature stabil : 36,5-37 C 1.8 Ajarkan pada pasien cara
- Tidak ada kejang mencegah keletihan akibat
- Tidak ada perubahan warna panas
kulit 1.9 Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan suhu
- Glukosa darah stabil dan kemungkinan efek
- Pengendalian risiko : negative dan kedinginan
hipertermia 1.10 Beritahu tentang indikasi
- Pengendalian risiko: terjadinya keletihan dan
hyporthermia penanganan emergency
- Pengendalian risiko: Proses yang diperlukan
menular 1.11 Ajarkan indikasi dari
- Pengendian risiko: paparan hipotermi dan penanganan
sinar matahari yang diperlukan
1.12 Berikan anti piretik jika
perlu

2 Ketidakseimba Setelah dilakukan tindakan 2.1 Kaji adanya alergi makanan


ngan nutrisi keperawatan selama 3x24 jam 2.2 Monitor adanya penurunan
kurang dari diharapkan nutrisi kurang teratasi berat badan
kebutuhan b.d dengan kriteria hasil: 2.3 Yakinkan diet yang dimakan
penurunan - -Adanya peningkatan berat mengandung tinggi serat untuk
asupan oral badan sesuai dengan tujuan mencegah konstipasi
- -Berat badan ideal sesuai 2.4 Berikan informasi tentang
dengan tinggi badan kebutuhan informasi
- Tidak ada tanda-tanda 2.5 Kolaborasi dengan ahli gizi
malnutrisi untuk menentukan jumlah
- menunjukkan penigkatan fungsi kalori dan nutrisi yang
pengecapan dan menelan dibutuhkan pasien
- Tidak terjadi penurunan berat
badan yang berarti

3 Intoleransi Setelah dilakukan tindakan 3.1 Bantu klien untuk


aktivitas b.d keperawatan selama 3x24 jam mengidentifikasi aktivitas yang
keadaan diharapkan Pasien bertoleransi mampu dilakukan
mudah letih, terhadap aktivtas dengan kriteria 3.2 Bantu klien untuk membuat
kelemahan, hasil: jadwal latihan diwaktu luang.
malnutrisi - Berpartisipasi dalam aktivitas 3.3 Sediakan penguatan yang
dangan fisik tanpa disertai positif bagi yang aktif
gangguan peningkatan tekanan darah, beraktivitas
keseimbangan nadi dan RR 3.4 Monitor responfisik,
cairan dan - -Mampu melakukan aktivtas emosional, social dan spiritual.
elektroit sehari-hari (ADLs) secara 3.5 Kolaborasi dengan Tenaga
mandiri Rehabilitasi Medik dalam
- Keseimbangan aktivitas dan merencanakan program terapi
istirahat yang tepat.

4 Ansietas b.d Setelah dilakukan tindakan Anxiety Reduction ( peneurunan


ancaman nyata keperawatan 3 x 24 jam diharapkan kecemasan)
terhadap ansietas dapat teratasi dengan 4.1 Gunakan pendekatan yang
kesejahteraan Kriteria Hasil: menyenagkan
diri - Klien mampu mengidentifikasi 4.2 Nyatakan dengan jelas harapan
dan mengungkapkan ejala terhadap pelaku pasien
cemas 4.3 Jelaskan semua prosedur dan
- Mengidentifikasi, apa yang dirasakan
mengungkapkan, dan 4.4 Pahami prespektif pasien
menunjukkan teknik terhadap situasi stress
mengontrol cemas 4.5 Temani pasien untuk
- Vital sign dalam batas normal mengurangi takut
- Postur tubuh, ekspresi wajah, 4.6 Dengarkan dengan penuh
bahasa tubuh dan tingkat perhatian
aktivitas menunjukkan 4.7 Instruksikan pasien
kurangnya kecemasan menggunakan teknik relaksasi
4.8 Berikan obat untuk mengurangi
kecemasan

5 harga diri rendah Setelah dilakukan tindakan


Self extem enhancement
b.d penyakit keperawatan 3 x 24 jam 5.1 Tunjukkan rasa percaya diri
kronis, krisis diharapakan masalah ahrga diri terhadap kemampuan pasien
stuasional rendah teratasi dengan Kriteria untuk mengatasi situasi
Hasil : 5.2 Dorong pasien
- Adaptasi terhadap mengidentifikasikan kekuatan
ketidakdayaan fisik : respon dirinya
5.3 Ajarkan keterampilan perilaku
adaptif klien terhadap tantangan
fungsional penting yang positif melalui
- Menunjukkan penilaian pribadi 5.4 Buat steatment positif terhadap
tentang harga diri pasien
- Mengungkapkan penerimaan5.5 Dukung pasien untuk menerima
diri 5.6 Kaji alasan-alasan untuk
- Komunikasi terbuka mengkritik atau menyalahkan
- Menggunakan strategi koping diri sendiri
efektif 5.7 Kolaborasi dengan sumber-
sumber lain ( petugas dinas
sosial, perawat specialis klinis,
dan layanan keagamaan )
Body image enhancement
counseling
5.8 Mengguakan proses
pertolongan interaktif yang
berfokus pada kebutuhan,
masalah atau perasaan pasien
dan orang terdekat untuk
meningkatkan atau mendukung
koping pemecahan masalah
6 Tidak Setelah dilakukan tindakan Coping Enhancement
efektifnya keperawatan 1 x 24 jam 7.1 Kaji koping keluarga terhadap
ekanisme diharapakan Keluarga dapat sakit pasein dan perawatanny
koping mempertahankan suport sistem dan 7.2 Biarkan keluarga mengung
keluarga b.d adaptasi terhadap perubahan akan -kapkan perasaan secara verbal
kemampuan kebutuhannya dengan criteria 7.3 Ajarkan kepada keluaraga
dalam hasil : tentang penyakit dan
mengaktualisa - pasien dan keluarga berinteraksi transmisinya.
si diri dengan cara yang konstruktif
- - keluarga bisa menerima
keadaan klien
7 distress spiritual Setelah dilakukan tindakan 1.1 bina hubungan saling percaya
b.d penyakit keperawatan 3 x 24 jam diharapkan dengan pasien
infeksi kronis masalh distress spiritual dengan 1.2 kaji factor penyebab gangguan
criteria hasil : spiritual pada pasien
- -mampu membina hubungan 1.3 bantu pasien mengung -kapkan
saling percaya dengan perawat perasaan terhadap spiritual
- -mampu mengungkapkan yang di yakini
penyebab gangguan spiritual 1.4 bantu klien mengem -bangkan
- -mengungkapkan perasaan dan skill untuk mengatasi
pikiran tentang spiritual yang perubahan spiritual dalam
diyakininya kehidupan
- aktif melakukan kegiatan 1.5 fasilitasi pasien dengan alat-
spiritual atau keagamaan alat ibadah sesuai keyakinan
- - ikut serta dalam keadaan atau agama yang di anut oleh
keagamaan pasien
1.6 bantu pasien untuk ikut serta
dalam kegiatan keagamaan
1.7 bantu pasien mengevaluasi
perasaan setelah melakukan
kegiatan ibadah atau kegiatan
spiritual lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Engels, J. 2009. Palliative Care Strategy for HIV and Other Disease. Cambodia:

Family Health International.

Green, K., Horne, C. 2012. Integrating palliative care into HIV service. A

Practical toolkit for implementers. London: FHI 360 and The Diana

Memorial Fund.

Gwyther, L., et al. 2006. A Clinical Guide to Supportive and Palliative Care for

HIV/AIDS. Cape Town: Hospice Palliative Care Association of South

Africa.

Jones, S.G., 2017. Symptom Management and Palliative Care in HIV/AIDS.

[cited Jun, 9, 2017]. Avalaible at:


http://www.medscape.org/viewarticle/445637.

Souza, P.N., et al. (2016). Palliative Care for Patients with HIV/AIDS Admitted to

Intensive Care Units. Rev Bras Intensiva, 28(3): 301-309.

Anda mungkin juga menyukai