Anda di halaman 1dari 3

Posisi Keraguan dalam Epistemologi Al-Ghazali

Oleh: Maryam Arrosikha

Tulisan ini adalah review atas buku Nalar Kritis Epistemologi Islam: Membincang
Dialog Kritis Para Kritikus Muslim, karya Dr. Aksin Wijaya. Dalam buku yang terdiri dari 6
Bab ini, penulis memaparkan mengenai beberapa kritikus muslim yaitu (1) Al-Ghazali
dengan epistemology keraguannya, (2) Ibnu Rusyd dengan komentarnya akan Plato dan teori
fiqih al-Ghazali, (3) Thaha Husein dengan tafsir syi’ri, dan (4) Muhammad Abid Al-Jabiri
dengan tafsir Al-Qur’annya.1 Dari enam bab mengenai empat tokoh pada buku tersebut,
review ini hanya akan membahas bab ke dua mengenai Al-Ghazali dengan yang disebut oleh
penulis “Epistemologi Keraguan”. Untuk mengkaji Al-Ghazali ini metode yang digunakan
adalah metode hermeunetika teoritis, yaitu sebuah metode yang mendahulukan pendekatan
psikologis dengan pengkajian tokohnya kemudian dilanjutkan dengan pendekatan linguistic
melalui membaca karya-karyanya. Sehingga, peneliti akan mengetahui maksud tokoh di
dalam karyanya.2 Secara praktis, penulis menggunakan empat dari delapan langkah yang
ditawarkan Amin Abdullah dalam Metodologi Penelitian untuk Pengembangan Studi Islam. 3
Metode yang menjadi penunjuk dalam membaca dan mengomentari sebuah karya sehingga
dapat melihat karya dalam perspektif sang penulis itu sendiri. Metode yang digunakan yaitu,
melihat kegelisahan akademik, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan, dan
kemudian pencarian bentuk metode dan pendekatan.4

Al-Ghazali merupakan tokoh yang dikenal dengan karyanya Ihya’ Ulumuddin


sekaligus Tahafut al-Falasifah, dengan dua kitab tersebut Al-Ghazali dinilai oleh satu pihak
berhasil memadamkan filsafat sekaligus menghidupkan ilmu-ilmu agama, namun oleh pihak
lain ia juga dianggap sebagai biang keladi kehancuran pikiran rasional dalam tradisi Islam.
Dua hal berseberangan tersebut terjadi disebabkan karena hanya melihat pemikiran Al-
Ghazali sebagai wacana atau hasil bukan sebagai alat atau metode. Padahal, sisi rasionalitas
Al-Ghazali akan sangat tampak jika pemikirannya dipandang sebagai metode.

1
Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), hal. v
2
Aksin Wijaya, Nalar Kritis …., hal. 10
3
Jurnal Studi Agama Agama Religi, UIN Sunan Kalijaga, Vol IV, no. 1, 2005
4
Aksin Wijaya, Nalar Kritis …., hal. 14
Tujuan dari penulis mengkaji Al-Ghazali ini adalah menemukan dimensi pemikiran
tertentu yang selama ini luput dari pembacaan. Pembahasan akan dimulai oleh pertanyaan
mengenai metode dan proses Al-Ghazali dalam mencari kebenaran. Diawali dengan
pemaparan mengenai kondisi social-politik dan keagamaan sebelum lahirnya Al-Ghazali, di
mana ia lahir pada kondisi penuh pergolakan antara Kamu Muslim, Kristen, dan Syi’ah.
Dipapaprkan kemudian mengenai sejarah hidup dan perjalanan intelektual Al-Ghazali yang
menyebutkan bahwa ia pernah mengalami keraguan mengenai ilmu yang ia pelajari.

Terdapat dua aliran besar epistemologi, yaitu yang lahir dari keyakinan dan yang lahir
dari keraguan, epistemologi yang lahir dari keyakinan ini meyakini adanya kebenaran yang
nisa dicapai melalui akal menurut aliran rasionalisme dan melalui indra menurut aliran
empirisme. Sedangkan epistemology yang lahir dari keraguan ini dibagi menjadi empat
aliran, yaitu epistemology keraguan mutlak yang tidak mempercayai kebenaran sama sekali,
epistemology keraguan muqallidah yang meyakini bahwa kebenaran hanya bisa ditemukan
melalui sosok ma’shum, epistemology keraguan imani yang meyakini bahwa kebenaran
hanya bisa ditemukan melalui wahyu, dan yang keempat adalah epistemology keraguan
metodologis yang bersikap kritis terhadap alat pengetahuan yang digunakan untuk
menemukan kebenaran.

Epistemologi keilmuan Al-Ghazali dinilai berangkat dari metode negasi yang bertolak
pada keraguan dan metode afirmasi atau metode cahaya. Bermula dari membahas mengenai
semangat keagamaan Al-Ghazali yang memasuki empat kelompok pembelajaran keagamaan
yaitu kalam, filsafat, ta’limiyah-batiniyah, dan tasawuf untuk mencari pengetahuan yang
benar dan meyakinkan. Karena telah memasuki kelompok-kelompok tersebut, Al-Ghazali
dapat melontarkan kritik pada kelompok – kelompok itu. Kepada mutakallim, Al-Ghazali
menyampaikan bahwa argument mereka tidak akurat dan argumentatif, serta tak mampu
menemukan realitas sejati, yakni Tuhan. Terhadap Filsuf, Al-Ghazali berpendapat bahwa
para filsuf telah menyalahi syari’ah terutama prinsip dasarnya. Terhadap kelompok
Ta’limiyah-Batiniyah Al-Ghazali berpendapat bahwa ajaran Rasul tidak hanya dapat
ditemukan pada sosok ma’shum namun juga terdapat dalam setip orang yang bersih hatinyam
yaitu orang yang mendalami ajaran Tasawuf. Tasawuf pada akhirnya menjadi pelabuhan
terakhir Al-Ghazali, ia berpendapat bahwa orang-orang sufi-lah yang benar-benar berjalan di
jalan Allah dengan metode amal dan ilmu sekaligus.
Keraguan berat yang merupakan keraguan internal yang dialami Al-Ghazali adalah
mengenai pengetahuan yang ia miliki. Al-Ghazali menegaskan bahwa ia tidak terhantui
tradisi taqlid, sehingga keraguan yang ia alami diarahkan untuk mencari kebenaran yang
hakiki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemology yang ditawarkan Al-Ghazali adalah
epistemology keraguan metodologis yang membuatnya tidak terjebak ke dalam taqlid buta.

Anda mungkin juga menyukai