Anda di halaman 1dari 7

RESUME

KECERDASAN EMOSIONAL SEBAGAI HASIL BELAJAR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu


Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran

Oleh:

Rani Octavia Khoerunnisa


12.22.1.0366

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS MAJALENGKA
2013/2014
BAB IV. KECERDASAN EMOSIONAL SEBAGAI HASIL BELAJAR
A. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University of Hampshire (Shapiro,
1997;5). Beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting bagi
keberhasilan, yaitu: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,
mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai,
kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan,
keramahan dan sikap hormat
Daneil Goleman dalam buku Working With Emotional Intellegence
mencoba menjelaskan beberapa konsep keliru yang paling lazim terjadi dan harus
diluruskan.
Pertama : kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah”
melainkan, mungkin sikap tegas yang barangkali tidak menyenangkan, tetapi
mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari.
Kedua : kecerdasan emosi bukan berarti memeberikan kebebasan kepada
perasaan untuk berkuasa, bukan memanjakan perasaan-perasaan, tetapi melainkan
mengelola perasaan-perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara
tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerjasama dengan lancar menuju
sasaran bersama. Tingkat kecerdasan emosi tidak terikat dengan faktor genetis,
tidak juga hanya dapat berkembang pada masa kanak-kanak. Tidak seperti IQ
yang berubah hanya sedikit setelah melewati usia remaja, kecerdasan emosi lebih
banyak diperoleh melalui belajar dari pengalaman sendiri, sehingga kecakapan-
kecakapan kita dalam hal ini dapat terus tumbuh (Goleman, 2000;9).

Salovey dan Mayer mula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional


sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain,
memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan tindakan”. Pendapat keduanya memeberikan isyarat bahwa
keterampilan EQ bukanlah lawan dari keterampilan IQ atau keterampilan kognitif,
namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual
maupun empirik. Idealnya seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif
sekaligus keterampilan emosional. Perbedaan mendasar antara IQ dan EQ adalah
bahwa IQ tidak dipengaruhi faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan
bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa yang telah disediakan
oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan.
Dengan demikian maka kecerdasan emosional ini lebih merupakan hasil dari
aktivitas individu dalam melatih fungsi-fungsi emosional dirisendiri atau oleh
oranglain sehingga lebih merupakan hasil belajar.

B. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional


Goleman menggambarkan beberapa ciri kecerdasan emosional yang
terdapat pada diri seseorang berupa
1. Kemampuan memotivasi diri sendiri
Kemampuan memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan internal pada
diri seseorang berupa kekuatan menjadi suatu energi yang mendorong seseorang
untuk mampu menggerakan potensi-potensi fisik dan psikologis atau mental
dalam melakukan aktivitas tertentu sehingga mampu mencapai keberhasilan yang
diharapkan.
Walaupun kemampuan memotivasi diri menjadi suatu yang sangat penting
sebagai wujud dari kemampuan anak, namun dalam proses perkembangannya
anak masih memerlukan peran orang tua untuk memfasilitasi peningkatan
motivasi orang tua. Untuk itu sebagai orang tua maupun guru dapat membantu
mengembangkan kemampuan menumbuhkan motivasi diri anak melalui;
a. Mengajarkan anak mengharapkan keberhasilan
b. Menyediakan kesempatan bagi anak untuk menguasai lingkungannya
c. Memberikan pendidikan yang relevan dengan gaya belajar anak
d. Mengajarkan anak untuk menghargai sikap tidak mudah menyerah
e. mengajarkan anak pentingnya menghadapi dan mengatasi kegagalan
2. Ketahanan menghadapi frustasi
Kemampuan menghadapi masalah akan mendorong anak untuk memiliki
daya tahan yang lebih tinggi bilamana suatu saat ia dihadapkan pada persoalan-
persoalan yang lebih kompleks dan rumit yang mungkin menyeret dirinya menjadi
frustasi. Bilamana kegadaan yang buruk terjadi, maka anak diharapkan
mengendalikan diri, menata emosinya sehingga tidak melakukan tindakan-
tindakan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
3. Kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan
Kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan menjadi ciri dari kecerdasan emosi. Kematangan berfikir anak, tidak
dapat sekedar ditunjukkan oleh kemampuan nalar, akan tetapi justru lebih banyak
ditunjukkan melalui isyarat-isyarat emosional. Ketika anak menghadapi sukses
seringkali kita melihat mereka mengaktualisasikan dengan sikap yang berlebih-
lebihan dan tidak jarang lupa dengan lingkungannya.
4. Kemampuan menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdo’a;
Kemampuan menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir juga merupakan ciri kecerdasan emosional.
Kemampuan ini terkait dengan kemampuan menghadapi masalah, karena
seseorang yang telah mampu mengatasi masalah-masalah yang diahadapi akan
lebih dewasa dalam menghadapi persoalan-persoalanyang lebih berat.

C. Emosi dan Kegunaannya


Kecerdasan emosi merupakan bagian dari aspek kejiwaan seseorang yang
paling mendalam, dan merupakan suatu kekuatan, karena dengan adanya emosi
itu manusia dapat menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah
manusiawi. Emosi menyebabkan seseorang memiliki rasa cinta yang sangat dalam
sehingga seseorang bersedia melakukan suatu pengorbanan yang sangat besar
sekalipun, walau kadang-kadang pengorbanan itu secara lahiriah tidak
memberikan keuntungan langsung pada dirinya bahkan mungkin mengorbankan
dirinya sendiri.
Manusia secara universal memiliki dua jenis tindakan pikiran, yaitu
tindakan pikiran emosional (perasaan) dan tindakan pikiran rasional (berpikir).
Dikotomi emosional/rasional kurang lebih sama dengan istilah awam antara “hati”
dengan “kepala”. Kedua pikiran tersebut, yang emosional dan yang rasional pada
umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat, guna mengarahkan seseorang
menjalani kehidupan duniawi.
Sejumlah penelitian terbaru mengenai otak manusia semakin mempekuat
keyakinan bahwa emosi mempunyai pengaruh yang besar dalam menetukan
keberhasilan belajar anak. Penelitian LeDoux misalnya menunjukan betapa
pentingnya integrasi anatara emosi dan akal dalam kegiatan belajar. Tanpa
keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak akan berkurang dari yang dibutuhkan
untuk menyimpan pelajaran dalam memori. Hal ini karena pesan-pesan dari
indera-indera kita – yaitu dari mata dan telinga – terlebih dahulu tercatat pada
struktur otak yang paling terlibat dalam memori emosi – yaitu amigdala – sebelum
masuk ke dalam neokorteks. Perangsang amigdala agaknya lebih kuat mematrikan
kejadian dengan perangsang emosional dalam memori. Semakin kuat rangsangan
amigdala, semakin kuat pula pematrian dalam memori (Desmita, 2005).

D. Kecakapan-kecakapan Emosional
Tanda-tanda kekurangan perhatian terhadap aspek emosi terlihat dari
banyaknya peristiwa-peristiwa kekerasan dikalangan siswa, meningkatnya
kekacauan remaja dan beberapa ekses prilaku negatif lainnya.
Tinjauan baru terhadap penyebab depresi pada kaum muda menunjukkan
dengan jelas adanya cacat dalam dua bidang keterampilan emosional, yaitu
keterampilan membina hubungan, dan cara menafsirkan kegagalan yang memicu
timbulnya depresi. Namun, apapun penyebabnya, depresi pada orang muda
merupakan masalah yang mendesak, dan depresi pada anak-anak bukan sekedar
perlu diobati melainkan harus dicegah. Adapun cara mencegahnya yaitu dengan
cara melihat dan memahami kesulitan itu sendiri, melatih untuk terampil menjalin
persahabatan, bergaul lebih baik dengan orang tua, dan melibatkan diri dalam
kegiatan-kegiatan sosial yang diminati.
Seringkali ketika depresi seseorang melsakukan sesuatu yang
sesungguhnya merugikan dirinya, misalnya mendorong sejumlah orang untuk
minum-minuman keras, penyalahgunaan obat terlarang. Cara yang paling tepat
untuk mencegahnya yaitu dengan mengembangkan keterampilan emosional
melalui penemuan ketahanan diri pada anak, yaitu mencakup kepandaian bergaul
yang membuat orang tertarik pada merek, keyakinan diri dan sikap optimis yang
terus menerus dalam menghadapi kegagalan dan kekecewaan, kemampuan untuk
cepat bangkit dari kegagalan, dan sikap santai.

E. Penerapan Kecerdasan Emosional


Dalam proses pembelajaran, penerapan kecerdasan emosional dapat
dilakukan secara luas dalam berbagai sesi, aktivitas bentuk-bentuk spesifik
pembelajaran. Pemahaman guru terhadap kecerdasan emosional serta pengetahuan
tentang cara-cara penerapannya kepada anak pada saat ini merupakan bagian
penting dalam rangka membantu mewujudkan perkembangan potensi-potensi
anak secara optimal. Karena itu berikut diuraikan bentuk kongkrit upaya
mengembangkan kecerdasan emosional anak.
1. Mengembangkan Empati dan Kepedulian, yaitu mampu menempatkan diri
dalam posisi orang lain. Anak-anak yang memiliki kuat cenderung tidak
begitu agresif dan rela terlibat didalam kegiatan sosial, misalnya menolong
orang lain dan bersedia berbagi.
Adapun beberapa cara yang perlu dilatihkan kepada anak untuk
mengembangkan sikap empati dan kepedulian, antara lain:
a) Memperketat tuntutan pada anak mengenai sikap dan peduli dan
tanggungjawab
b) Mengajarkan dan melatih anak mempraktekkan perbuatan-
perbuatan baik
c) Melibatkan anak didalam kegiatan-kegiatan masyarakat
2. Mengajarkan Kejujuran dan Integritas, yaitu ada bermacam-macam alasan
mengapa anak tidak berkata benar; sebagian dapat dimengerti, sebagian
lagi tidak. Anak kecil paling sering berbohong dengan maksud untuk
menghindari hukuman, untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan
atau untuk mendapatkan pujian dari sesama teman.
Ada beberapa hal penting dalam menumbuhkan kejujuran anak, yaitu:
a) Usahakan agar pentingnya kejujuran terus menjadi topik
perbincangan dalam rumah tangga, kelas dan sekolah
b) Membangun kepercayaan
c) Menghormati privasi anak
3. Mengajarkan Memecahkan Masalah, dalam proses pembelajaran anak-
anak harus sesering mungkin diajak untuk memecahkan masalah yang
sesuai dengan tingkat usia dan pengalaman yang mereka dapat. Bilamana
anak dibiasakan memecahkan masalah, maka berarti guru dan orangtua
telah membangun gudang pengalaman yang kelak dapat mereka gunakan
untuk memecahkanmasalah-masalah berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai