Anda di halaman 1dari 29

KEPEMIMPINAN

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS AL WASHLIYAH MEDAN

Yuni Andri Ekawati, S.E., M.M.


BAB IX
Kepemimpinan Berbasis Kecerdasan Emosional

Topik Pembahasan
1. Defenisi Kepemimpinan Berbasis Kecerdasan Emosional
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
3. Dimensi Kepemimpinan Berbasis Kecerdasan Emosional
4. Dampak Kecerdasan Emosional Bagi Organisasi
5. Pengukuran Kecerdasan Emosional
1. Defenisi Kepemimpinan Berbasis Kecerdasan Emosional

• Dalam kepemimpinan seorang pemimpin juga harus memiliki skill


kepemimpinan, diantaranya adalah Emotional Intellegence atau
kecerdasan emosional.
• Sebelum membicarakan tentang kepemimpinan berbasis kecerdasan
emosi, maka dapat dibahas dahulu secara singkat mengenai
kecerdasan emosi.
• Kecerdasan emosi adalah penggunaan emosi secara cerdas atau
memanfaatkan emosi tersebut sebagai pemandu perilaku, sehingga
hasil perilaku seseorang dapat meningkat.
• Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mendapatkan dan
menerapkan pengetahuan dan emosi diri dan orang lain agar bisa
lebih berhasil dan bisa mencapai kehidupan yang lebih memuaskan.
• Contohnya, ketika seseorang hendak melakukan sebuah presentasi
maka yang dilakukan adalah mengurangi kegelisahan dengan
melakukan relaksasi ataupun menghentikan tindakan yang kurang
menyenangkan seperti berjalan bolak-balik dalam suatu ruangan.
Dengan menurunnya kegelisahan, maka dapat melakukan presentasi
dengan baik, inilah yang dimaksud dengan meningkatnya hasil
perilaku.
• Kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer adalah
himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang
lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan. Dalam Bahasa sederhananya
kecerdasan emosional merupakan bentuk kemampuan dalam
mengelola emosi pribadi maupun orang lain yang ada disekitarnya.
• Seseorang dengan kecerdasan intelektual namun tidak memiliki
kecerdasan emosi, digambarkan dengan kemampuan mendapat nilai
A atau sangat baik pada suatu ujian, namun tidak bisa menjadi orang
yang terdepan dalam hidupnya.
• Medan yang menekankan penerapan kecerdasan emosi antara lain
saat menjalin hubungan personal dan interpersonal diwujudkan
dalam kesadaran diri, sensitifitas serta adaptasi terhadap lingkungan
sosial sekitarnya.
• Daniel Goleman menjelaskan bahwa kepemimpinan berbasis
kecerdasan emosi atau Primal Leadership merupakan model
kepemimpinan yang dibuat atas dasar kaitannya dengan neurologi
(otak).
• Konsep kepemimpinan ini memaparkan bahwa kecerdasan emosi seorang
pemimpin dapat menginspirasi hingga menjadikan bawahannya tetap termotivasi
menjalankan tugas dan memiliki komitmen terhadap organisasi. Pemimpin yang
tidak memiliki kecerdasan emosi bahkan dapat mengganggu keadaan emosi
bawahan di tempat kerja.
• Kepemimpinan berbasis kecerdasan emosi mengungkapkan konsep bahwa emosi
yang dinampakkan pemimpin sangat berpengaruh pada para bawahan karena
pemimpin menjadi pusat perhatian, sebagai orang yang paling didengar pendapatnya
dan ditiru perilakunya dalam suatu organisasi atau masyarakat.
• Penelitian terbaru pun mengungkapkan bahwa aspek kecerdasan emosi (EQ) menjadi
pemrediksi yang lebih baik terhadap kinerja kepemimpinan dibandingkan dengan
kepemimpinan tradisional yang berpijak pada kecerdasan intelektual (IQ) semata.
• Hal ini semakin membuktikan bahwa kecerdasan emosi tidak dapat dilepaskan dari
aspek perilaku kepemimpinan dalam suatu organisasi. Sehingga ketika parameter
keberhasilan suatu kepemimpinan hanya berpijak pada aspek IQ saja, maka masih
belum bisa dikatakan mengikuti perkembangan zaman.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan
Emosional

• Kecerdasan emosional pemimpin dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor


yang bersifat pribadi, sosial ataupun gabungan beberapa faktor.
• Menurut Goleman (dalam Ifham, 2002) terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:
1. Faktor internal
• Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri individu yang
dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang. Ketika bagian-bagian
otak yang memungkinkan merasakan emosi rusak, maka kemampuan
rasional (Intelek) tetap utuh. Ketika seseorang dalam kondisi traumatis
dengan rusaknya otak emosi, maka Ia masih dapat berbicara, menganalisa,
bahkan dapat memprediksi bagaimana Ia harus bertindak dalam situasi.
• Tapi dalam keadaan tragis tidak demikian, dimana tidak dapat
berinteraksi dengan orang lain secara layak sehingga rencana yang telah
disusun tidak dapat dijalankan dan kesuksesan jauh darinya (Dalam
Khalifah, 2009).
• Kaitannya Dengan Faktor Internal, Banyak Penelitian Yang Dilakukan
Oleh Para Ahli Tentang Apa Yang Di Sebut Teori Dominansi Otak. Temuan
Tersebut Pada Dasarnya Menunjukkan Bahwa Masing-Masing Belahan
Otak Kiri Dan Kanan Memiliki Fungsi Berbeda. Belahan Kiri Memainkan
Peranan Dalam Proses Logis Dan Verbal Yang Disebut Pembelajaran
Akademis, Sedangkan Belahan Kanan Lebih Pada Aktivitas Kreatif Yaitu
Irama, Music, Gambar Dan Imajinasi. Idealnya, Untuk Menghasilkan
Kerja Otak Yang Optimal Maka Pengolahan Dan Pengembangan Dalam
Lintasan Kedua Belahan Itu Sangat Dibutuhkan (Dalam Goleman, 1999).
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi
atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan,
secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat
bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak
maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.
Kecerdasan emosional seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan tidak
bersifat menetap. Oleh karena itu faktor eksternal yang mempengaruhi
kecerdasaneEmosi yaitu: A) Pengaruh Keluarga, B) Lingkungan Sekolah, dan C)
Lingkungann Sosial.
Goleman berpendapat bahwa Lingkungan Keluarga merupakan Sekolah Pertama
dalam mempelajari emosi. Menurutnya ada ratusan penelitian yang memperlihatkan
bahwa Cara Orang Tua Memperlakukan Anak-Anaknya Berakibat Mendalam Bagi
Kehidupan Emosional Anak karena anak-anak Adalah murid yang pintar, sangat peka
terhadap transmisi emosi yang halus sekalipun dalam keluarga. Goleman menegaskan
bahwa mengajarkan keterampilan emosi sangat penting untuk mempersiapkan
belajar dan hidup (Goleman, 1999;).
• Sedangkan menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional, yaitu:
1. Faktor psikologis
• Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol,
mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi
dalam perilaku secara efektif.
• Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan
otak emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik.
Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan
kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak
hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu
mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya
yaitu puasa sunah Senin Kamis.
2. Faktor pelatihan emosi
• Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan
kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan
pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value).
• Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang
menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja
tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan,
maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan
begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri.
Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan
menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting bagi
pembangunan kecerdasan emosi.
3. Faktor pendidikan
• Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk
mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan
berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan.
Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan
keluarga dan masyarakat.
• Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada
kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat,
serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa
sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman
keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin
Kamis mampu mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi,
kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan,
peguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi.
3. Dimensi Kecerdasan Emosional
• Pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional, akan lebih mudah memahami
kondisi yang ada sekitarnya. Ia tidak akan mudah lepas kontrol saat sedang
mengalami situasi yang tidak terduga. Selain itu ia akan lebih mampu
menggerakan orang lain tanpa orang lain merasa sudah diperintah oleh dirinya.
• Ada tujuh elemen dalam dimensi kecerdasan emosional yakni kesadaran diri,
elastisitas emosional, motivasi, sensitivitas antar pribadi, pengaruh, tanggap
serta tanggung jawab dan integritas.
1. Kesadaran diri
• Pemimpin yang memiliki kesadaran diri, ia akan mengetahui apa yang menjadi
kelebihan serta kekurangan dirinya serta orang yang dipimpinnya. Sehingga ia
akan mampu mengoptimalkan segala sumber daya yang dimiliki serta strategi
kepemimpinan apa yang tepat dengan kondisinya saat ini.
2. Elastisitas emosional
• Seorang pemimpin tidak akan jauh dari yang namanya tekanan serta akan
menjalani situasi yang tak terduga sebelumnya. Melihat hal ini seorang
pemimpin mestinya bisa fleksibel dengan baik agar kinerja yang
dilakukannya tetap dalam keadaan baik dan konsisten disegala situasi dan
tekanan yang dihadapi olehnya.
3. Motivasi
• Manusia hidup dengan motivasi yang ada dalam dirinya. Dorongan dan
energy yang ada dalam dirinya akan mempengaruhi seperti apa hasil yang
akan terjadi kedepannya. Seorang pemimpin mestinya memiliki motivasi
yang tinggi agar dapat mencapai tujuan yang ingin diraihnya. Selain itu
pemimpin juga mesti mampu memberikan motivasi orang-orang yang
dipimpinnya, agar tetap dalam koridor yang menjadi tujuannya.
4. Sensitivitas antar pribadi
Pemimpin memiliki orang-orang yang dipimpinnya. Memimpin orang-
orang yang memiliki kepribadian serta pemikiran yang berbeda-beda
tentu mesti memahami kebutuhan dan perasaan orang lain. Hal ini agar
ia bisa mengelola sdm yang ada dengam efektif dan efisien yang akan
mempengaruhi strategi dan keputusan yang akan diambil.
5. Pengaruh
• Ketika pemimpin tidak memiliki pengaruh dilingkungan yang
dipimpinnya bagaimana ia akan mengelola mereka? Maka setiap
pemimpin mesti memiliki pengaruh didalamnya, syukur-syukur
pengaruhnya tidak hanya di internal saja namun juga eksternal
mereka. Sehingga ia akan mampu mengubah sudut pandang mereka
terhadap persoalan yang dihadapi atau keputusan yang diambil.
6. Tanggap
• Pemimpin yang tanggap ia memahami akan keadaan saat ini dan
keputusan apa yang akan diambil melihat berbagai faktor
disekitarnya. Keputusan maupun tindakan yang diambil tidak semata-
semata secara emosional namun karena pengaruh dari keadaan dan
kondisi yang sedang dihadapi.
7. Tanggung jawab dan integritas
• Setiap tindakan yang diambil tentu akan memiliki konskuensinya,
entah dalam hal positif maupun negatif. Ketika pemimpin sudah
memutuskan akan melakukan sesuatu maka ia mesti komitmen
terhadap tindakannya serta tidak lari akan hasil yang tidak sesuai
dengan diharapkan. Serta integritas memiliki makna seberapa jauh
pemimpin tersebut bisa dipercaya.
4. Dampak Kecerdasan Emosional Bagi Organisasi

• Kecerdasan emosional berpengaruh terhadap efektifitas organisasi di


beberapa arean sebagai berikut :
1. Retensi dan Rekrutmen Pegawai
Kecerdasan emosi seseorang yang melakukan perekrutan adalah hal yang
krusial dalam membuat keputusan yang tepat. Mencari karyawan yang tepat
dengan cara yang efektif merupakan salah satu cara pengelolaan retensi
karyawan.
Retensi karyawan adalah strategi organisasi untuk mempertahankan
karyawan yang potensial dimiliki oleh organisasi untuk tetap loyal kepada
organisasi. Apabila strategi retensi karyawan diterapkan dengan baik maka
angka turnover karyawan akan dapat ditekan.
2. Pengembangan Bakat
Individu dapat mengembangkan kompetensi sosial dengan adanya
interaksi sosial di tempat kerja. Aktivitas interaksi sosial tersebut adalah
aktivitas pembelajaran dua arah, kedua belah pihak berinteraksi dan
mengharapkan adanya expert dan leaner, menerima dan memberi
informasi/pengetahuan serta dibutuhkan juga kecerdasan emosi.
3. Tim Kerja
Adanya interaksi dan negosiasi antara anggota kelompok secara aktif
dalam suatu tim kerja yang menciptakan harapan tentang bagaimana
mereka sebaiknya berpikir dan bertindak dalam kelompok tersebut.
Di samping itu, keccerdasan emosi juga berdampak pada komitmen,
inovasi, produktivitas, efisiensi, penjualan, pendapatan, kualitas jasa, dan
kesetiaan pelanggan.
5. Pengukuran Kecerdasan Emosional

• Emotional Competency Inventory (ECI) (Wolff, 2005) merupakan salah satu


instrumen untuk mengukur kecerdasan emosional.
• Instrumen alat ukur kecerdasan emosi disusun berdasarkan teori kompetensi
emosional dari Dr. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence dan
Hay/McBer’s Generic Competency Dictionary atau yang biasa disebut juga
dengan Self-Assessment Questionnaire (SAQ) dari Dr. Richard Boyatzis.
• ECI (Wolff, 2005) mengukur 18 kompetensi emosional yang mencakup empat
klaster yaitu kesadaran diri (self-awareness), pengelolaan diri (self-
management), kesadaran sosial (social awareness) dan pengelolaan hubungan
(relationship management). Berikut rincian ke-18 kompetensi emosional
tersebut.
1. Kesadaran Diri (Self-Awareness)
Kesadaran diri merujuk pada kemampuan mengetahui kondisi diri
sendiri, kesukaan, sumber daya, dan intuisi.
Klaster kesadaran diri meliputi tiga kompetensi, antara lain:
1) Kesadaran emosi (emotional awareness): Mengenali emosi diri
sendiri dan efeknya.
2) Penilaian diri secara teliti (accurate self-asssessment : Mengetahui
kekuatan dan batas-batas diri sendiri.
3) Percaya diri (self –confidence): Keyakinan tentang harga diri dan
kemampuan sendiri.
2. Pengelolaan/Pengaturan Diri (Self-Management)
Pengelolaan diri merujuk pada pengelolaan kondisi, impuls, dan sumber daya diri
sendiri.
Klaster pengelolaan/pengaturan diri meliputi enam kompetensi, antara lain:
1) Kendali diri emosi (emotional self-control): Mengelola emosi dan dorongan yang
merusak.
2) Sifat dapat dipercaya (transparency): Memelihara integritas, berperilaku sesuai
dengan nilai pada diri sendiri.
3) Adaptabilitas (adaptability): Keluwesan dalam menghadapi perubahan.
4) Dorongan berprestasi (achievement): Dorongan untuk menjadi lebih baik atau
memenuhi standar keberhasilan.
5) Inisiatif (initiative): Kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
6) Optimisme (optimism): Kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada
halangan dan kegagalan.
3. Kesadaran Sosial (Social Awareness)
Kesadaran sosial merujuk pada bagaimana seseorang menangani
hubungan dan kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan perhatian
orang lain.
Klaster kesadaran sosial meliputi tiga kompetensi, antara lain:
1) Empati (empathy): Mengindra perasaan dan perspektif orang lain,
dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
2) Kesadaran politis (organizational awareness): Mampu membaca
arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan
perusahaan.
3) Orientasi pelayanan (service orientation): Mengantisipasi,
mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.
4. Pengelolaan/Pengaturan Hubungan (Relationship Management)
Pengelolaan hubungan adalah kemampuan atau kecakapan dalam menggugah tanggapan
yang dikehendaki pada orang lain.
Klaster pengelolaan/pengaturan hubungan meliputi enam kompetensi, antara lain:
1) Mengembangkan orang lain (developing others): Merasakan kebutuhan
perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.
2) Kepemimpinan yang inspiratif (inspirational leadership): Membangkitkan inspirasi dan
memandu kelompok dan orang lain.
3) Katalisator perubahan (change catalist): Memulai dan mengelola perubahan.
4) Pengaruh (influence): Memiliki taktik untuk melakukan persuasi.
5) Manajemen konflik (conflict management): Negosiasi dan pemecahan silang
pendapat.
6) Kolaborasi dan kooperasi (teamwork and collaboration): Kerja sama dengan orang lain
demi tujuan bersama. Menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan
bersama.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai