Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hepar merupakan organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini

dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh. Organ ini memiliki fungsi

yang kompleks diantaranya mempunyai peranan dalam metabolisme karbohidrat,

protein, lemak, vitamin dan obat-obatan (Sherwood, 2011: 669). Hepar memiliki

peran penting dalam mentransformasi zat-zat biologis yang memungkinkan

bersifat racun pada kadar tinggi atau yang tidak dapat diekskresikan dari tubuh

tanpa transformasi. Obat sering kali toksik dimodifikasi oleh hepar dan dibuat

menjadi inaktif atau larutan air dengan mengonjukasikan dengan senyawa kimia

lain. Tanpa fungsi hepar yang baik banyak toksik dan obat akan terakumulasi di

tubuh (Corwin, 2009: 673).

Gagal hepar adalah hasil akhir dari semua penyakit hepar yang parah dan

ganas seperti hepatitis. Gagal hepar akut dapat terjadi setelah overdosis obat-obat

tertentu termasuk acetaminophen. Gagal hepar merupakan suatu sindrom

kompleks yang ditandai dengan gangguan pada banyak organ dan fungsi tubuh

(Corwin, 2009: 673).


Umumnya gagal hepar yang parah memiliki tingkat kematian yang

tinggi mencapai 60 %. Hal ini terjadi pada pasien dengan kerugian kritis

fungsional jaringan hepar (Rademacher, 2011: 592). Sekitar 3,4 % kasus gagal

hepar terjadi di negara Afrika dan Amerika, 4,1% pada penduduk asli Hawaii

yang berkulit putih, 6,7 % di Latin dan 6,9% di Jepang (Setiawan, 2016: 2).

Insiden dan etiologi dari gagal hepar bervariasi sesuai dengan wilayah geografis.

Di Asia dan Eropa Tengah penyebab penyakit hepar disebabkan oleh infeksi

virus hepatitis, di Eropa Utara dan Amerika Serikat penyebab terbanyak penyakit

hepar disebabkan oleh racun atau obat-obatan terutama acetaminophen

(Rademacher, 2011: 592). Di Indonesia angka pasti prevalensi dan insidensi

penyakit hepar belum diketahui, tetapi data WHO menunjukan bahwa untuk

penyakit hepar yang disebabkan oleh virus, Indonesia termasuk dalam peringkat

endemik (Depkes RI, 2007: 7)

Gagal hepar merupakan salah satu daftar penyakit dalam Standar Kompetensi

Dokter Indonesia (SKDI) dengan tingkat kemampuan 2, sehingga penulis

diharapkan mampu membuat diagnosis klinik dan menentukan rujukan yang

paling tepat bagi pasien.

Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk membuat karya tulis ilmiah

dengan metode kajian pustaka mengenai definisi, etiologi, epidemiologi, tanda

gejala, diagnosis, komplikasi, serta penatalaksanaan dari Gagal Hepar.


1.2. Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi gagal hepar?

1.2.2 Bagaimana epidemiologi gagal hepar ?

1.2.3 Apa etiologi gagal hepar ?

1.2.4 Bagaimana cara menegakkan diagnosis gagal hepar ?

1.2.5 Apa diagnosis banding gagal hepar ?

1.2.6 Bagaimana terapi pada penderita gagal hepar ?

1.2.7 Apa komplikasi gagal hepar ?

1.2.8 Bagaimana cara rehabilitasi gagal hepar ?

1.2.9 Bagaimana prognosis dari gagal hepar ?

1.2.10 Bagaimana edukasi pada penderita gagal hepar ?

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui definisi gagal hepar.

1.3.2 Mengetahui epiemiologi gagal hepar.

1.3.3 Mengetahui etiologi gagal hepar.

1.3.4 Mengetahui cara mendiagnosis gagal hepar.

1.3.5 Mengetahui diagnosis banding gagal hepar.

1.3.6 Mengetahui dan memahami penatalaksanaan gagal hepar.

1.3.7 Mengetahui komplikasi gagal hepar.

1.3.8 Mengetahui cara rehabilitasi gagal hepar.


1.3.9 Mengetahui prognosis gagal hepar.

1.3.10 Mengetahui edukasi pada penderita gagal hepar.

1.4. Manfaat Penulisan

Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.

1. Manfaat teoritis

 Didarapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada

pembaca, baik masyarakat maupun rekan-rekan mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih tentang gagal

hepar.

 Diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis tentang gagal

hepar dan menambah keterampilan dalam menyusun karya tulis.

2. Manfaat praktis

Diharapkan dapat berguna sebagai acuan dalam menambah informasi dan

pengetahuan khususnya tentang penganan, pencegahan sampai edukasi

tentang gagal hepar.


BAB II

ISI

2.1 Definisi

Gagal hepar adalah hasil akhir dari semua penyakit hepar yang parah dan

ganas. Gagal hepar merupakan suatu sindrom kompleks yang ditandai dengan

gangguan pada banyak organ dan fungsi tubuh. Gagal hepar akut dapat terjadi
setelah overdosis obat-obat tertentu termasuk acetaminophen (Corwin, 2009:

673).

Ada beberapa jenis gagal hepar diantaranya yaitu gagal hepar akut dan acute

on cronic liver failure (ACLF). Gagal hepar akut adalah sindrom klinik yang

dapat menyebabkan kerusakan pada hepar ditandai dengan disfungsi dan

kematian sel-sel hepar serta timbulnya koagulapati dan ensepalopati dalam

waktu 26 minggu (Mauss, 2013: 555). Menurut Asian Pacific Association for the

Study of the Liver (APASL) (2014) mendefinisikan gagal hepar akut on kronik

sebagai sindrom klinik bermanifestasi akut pada gangguan hepar berat yang

dihasilkan dari beragam penyakit (Sarin, 2014: 455), gagal hepar akut-on-kronis

(ACLF) merupakan suatu penyakit yang meliputi kerusakan akut fungsi hepar

pada penderita dengan penyakit hepar kronis (Kim, 2013: 349).

2.2 Epidemiogi

Umumnya gagal hepar yang parah memiliki tingkat kematian yang tinggi

mencapai 60%. Hal ini terjadi pada penderita dengan kerugian kritis fungsional

jaringan hepar (Rademacher, 2011: 592). Data terbaru dari Amerika Serikat
(Ostapowicz, 2002), Inggris (Bernal, 2004), Swedia (Wei, 2007), dan Jerman

(Canbay, 2009) mengungkapkan toksisitas obat sebagai penyebab utama gagal

hepar akut diikuti oleh virus hepatitis, sebaliknya di Mediterania, Asia, dan

Afrika (Escorsell, 2007; Koskinas, 2008; Mudawi, 2007; Oketani, 2011), virus

hepatitis merupakan penyebab utama dari gagal hepar akut (Mauss, 2013: 555-

556). Pada sebagian besar negara-negara Asia, hepatitis B merupakan 70%

pencetus ACFL, sedangkan alkohol hanya sekitar 15% dari semua etiologi ACLF

(Kurniawan, 2012:1).

2.3 Etiologi

Etiologi dari gagal hepar akut dan acut on chronic liver failure kurang lebih

sama, yaitu hepatitis yang diakibatkan oleh virus, alkohol dan intoksikasi obat-

obatan, tetapi juga gagal hepar dapat terjadi akibat komplikasi dari sirosis (Sarin,

2014:454).

Patofisiologi

A. Hepatitis virus

Hepatitis virus adalah virus yang dapat menyebabkan cedera

hepatosit terutama dengan merangsang reaksi peradangan dan imun

sel inang yang pada akhirnya merusak hepatosit. Reaksi peradangan

melibatkan degranulasi sel mast dan pelepasan histamin,


pembentukan sitokin, aktivasi komplemen, lisis sel-sel terinfeksi dan

sel-sel di sekitarnya, serta edema dan pembengkakan interstisium.

Respon imun yang timbul kemudian mendukung respons peradangan.

Perangsangan komplemen dan lisis sel lebih lanjut serta serangan

antibodi langsung terhadap antigen virus meyebabkan destruksi sel

yang terinfeksi. Hepar menjadi edematosa sehingga kapiler kolaps

dan aliran darah berkurang, yang menyebabkan hipoksia jaringan,

akhirnya terbentuk jaringan ikat dan fibrosis di hepar (Corwin, 2009:

665).

B. Hepatitis alkohol

Pada pecandu alkohol peradangan sebagian sel dan nekrosis

biasanya timbul setelah meminum minuman beralkohol dalam jumlah

besar. Kerusakan hepatosit disebabkan oleh toksisitas produk akhir

metabolisme alkohol, terutama asetaldehida dan ion hidrogen. Pada

hepatitis alkohol, infiltrasi neutrofil hati dan sekresi sitokin tumor

nekrosis faktor alfa (TNF-α) mendorong terjadinya peradangan. Sel-

sel hati dirangsang untuk mengalami apoptosis (kematian sel

terprogram) yang dapat menyebabkan jaringan parut dan fibrosis

(Corwin, 2009: 664).


C. Obat-obatan

Kerusakan hepar dapat dikarenakan masuknya obat lewat inhalasi,

ingesti atau parenteral dari sejumlah obat-obatan atau bahan kimia,

misalkan acetaminophen (Nugraheni, 2012: 3). Overdosis

acetaminophen terkait dengan menipisnya simpanan glutamin hepar

dan akumulasi racun dalam jumlah sedang oleh N-Asetil-

P-Benzokuinon-Imin (NAPQI), yang langsung menyebabkan cedera

hepatosit (Gonzalez, 2016:2).

D. Sirosis

Sirosis adalah kondisi fibrosis dan pembentukan jaringan parut

yang difus di hepar. Sirosis terjadi di hepar sebagai respon terhadap

cedera sel berulang (Corwin, 2009: 660). Setelah terjadi peradangan

dan bengkak, hepar mencoba memperbaiki dengan membentuk bekas

luka atau jaringan parut kecil. Jaringan parut ini disebut fibrosis yang

membuat hepar lebih sulit melakukan fungsinya. Sewaktu kerusakan

berjalan, semakin banyak jaringan parut yang terbentuk dan mulai

menyatu, dalam tahap selanjutnya disebut sirosis. Pada sirosis, area

hepar yang rusak dapat menjadi permanen dan menjadi sikatrik,

sehingga darah tidak dapat mengalir dengan baik pada jaringan hepar
yang rusak dan hepar mulai menciut serta menjadi keras (Depkes RI,

2007).

2.4 Penegakan Diagnosis

2.4.1 Anamnesis

Untuk menegakkan diagnosis gagal hepar, perlu menanyakan beberapa

hal yang berkaitan dengan proses terjadinya gagal hepar, sebagai berikut :

1. Ada tidaknya riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat

menyebabkan toksik pada hepar seperti acetaminophen,

paracetamol atau obat-obat non streroid anti inflamasi drug

(NSAID).

2. Ada tidaknya riwayat penggunaan minuman beralkohol dalam

jumlah yang berlebihan.

3. Pada gagal hepar yang disebabkan oleh hepatitis B biasanya

memiliki riwayat penggunaan obat-obat intravena, homoseksual

dan pernah menggunakan jasa prostitusi serta penggunaan produk

darah yang terinfeksi virus hepatitis

4. Adanya nyeri pada perut kanan atas.

(Firth, 2008: 55 & 56).


2.4.2 Pemeriksaan fisik

1. Jaundice pada sklera dan kulit.

Pada pemeriksaan sklera, dilakukan dengan membuka mata

penderita dengan tangan lalu dinilai apakah terdapat tanda-tanda

ikterik atau tidak. Tanda ikterik bila sklera pada penderita terlihat

kekuningan (Setiati, 2013: 55).

Pemeriksaan pada kulit dilakukan di bawah pencahayaan yang

baik dan terang. Warna kulit yang kuning disebabkan peningkatan

kadar serum bilirubin di atas kadar normal. Pada kondisi ini bilirubin

akan terdeposisi dalam jaringan tubuh, terutama pada jaringan yang

mengandung elastin (Setiati, 2013: 42).


2. Anemia.

Warna kulit yang kepucatan diakibatkan kurangnya kadar

hemoglobin dalam sel darah merah. Warna yang pucat ini dapat pula

terlihat pada membran mukosa mulut, konjungtiva, bibir dan kuku.

Warna pucat tersebut lebih bermakna untuk menyatakan keadaan

anemia (Setiati, 2013:42).


3. Hepatomegali

Pada keadaan normal hepar tidak akan teraba pada palpasi hepar.

Untuk melakukan pemeriksaan palpasi hepar posisi pasien berbaring

terlentang dengan kedua tungkai kanan dilipat agar dinding abdomen

lebih lentur. Palpasi dikerjakan dengan menggunakan sisi palmar

redial jari tangan kanan (bukan ujung jari) dengan posisi ibu jari

terlipat di bawah palmar manus. Lebih tegas lagi bila arah jari

membentuk sudut 45o dengan garis median, ujung jari terletak pada

bagian lateral muskulus rektus abdominalis dan kemudian pada garis

median untuk memeriksa hepar lobus kiri (Setiati, 2013:177-178).


Palpasi dimulai dari regio iliaka menuju ke tepi lengkung iga

kanan. Dinding abdomen ditekan ke bawah dengan arah dorsal dan

kranial, sehingga akan dapat menyentuh tepi anterior hepar. Gerakan

ini dilakukan berulang dengan posisinya mengeser 1-2 jari ke arah

lengkung iga. Penekanan dilakukan pada saat penderita sedang

inspirasi. Apabila adanya perbesaran hepar, maka harus dilakukan

deskripsi sebagai berikut:

 Berapa lebar jari tangan di bawah lengkung iga kanan

 Bagaimana keadaan tepi (tajam atau tumpul)

 Bagaimana konsistensinya

 Bagaimana permukaannya

 Apakah terdapat nyeri tekan

(Setiati, 2013:177-178)
4. Splenomegali
Teknik palpasi limpa tidak berbeda dengan palpasi hepar. Pada

keadaan normal limpa tidak teraba. Limpa membesar mulai dari

bawa lengkung iga kiri, melewati umbilikus sampai regio iliaka

kanan. Pembesaran limpa diukur dengan menggunakan garis

Schuffner, yaitu garis yang dimulai dari titik di lengkung iga kiri

menuju ke umbilikus dan diteruskan sampai di spina iliaka anterior

superior (SIAS) kanan, setelah tepi bawah limpa teraba, maka

dilakukan deskripsi sebagai berikut:

 Berapa jauh dari lengkung iga kiri pada garis Schuffner

(S-I sampai S-VIII).

 Bagaimana konsistensinya (kenyal atau keras).

(Setiati, 2013:178-179)
4. Ascites

Cara pemeriksaan ascites :

 Cara pemeriksaan gelombang cairan

Cara ini dilakukan dengan cara penderita dalam keadan

berbaring terlentang dan tangan pemeriksa diletakkan pada

satu sisi sedangkan tangan lainnya mengetuk-ngetuk dinding

perut pada satu sisi lainnya.


 Pemeriksaan menentukan adanya redup yang berpindah

(shifting dullness).

(Setiati, 2013: 175-176)


2.4.3 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Lab :

1. Serum glutamate piruvat transferase (SGPT) / alanin amino

transferase (ALT)

Nilai normal: 5-35 U/L. Peningkatan kadar SGOT lebih dari

1000 U/L dapat dijumpai pada penyakit hepar yang disebabkan oleh

virus.

2. Bilirubin direk/indirek

Nilai normal bilirubin: total <1,4 mg/dl. Kadar bilirubin lebih

dari 3 mg/dl biasanya baru dapat menyebabkan ikterus.

3. Alkali fosfatase (AlT) / serum glutamate oxaloacetate transferase

(SGOT)

Nilai normal 30-130 u/l. Peningkatan kadar alkalin fosfatase

mengindikasikan adanya kerusakan hepar atau penyakit hepar.

4. Gamma GT

Nilai normal: laki-laki : ≤ 94 U/L, perempuan ≤ 70 U/L .

Peningkatan kadar enzim GGT dalam darah mengindikasikan

adanya kerusakan hepar.


5. HbsAg, Anti HbcAg, IgM dan IgG

Nilai normal: negatif

HBs-Ag merupakan antigen hepatitis B yang ditemukan pada 4-

12 minggu setelah infeksi. Hasil positif menunjukkan hepatitis B.

Hbc-Ag (antibody inti hepatitis B) ditemukan setelah 6-14

minggu terinfeksi. Hasil yang positif menunjukkan infeksi yang

sudah lampau.

6. Serum albumin

Normal: 3,5-5,0 g/dl. Berkurangnya kadar dari nilai normal

mengindikasikan adanya kerusakan atau penyakit hepar.

7. Prothrombine time (PT)

Normal : 10-15 detik. Pada kerusakan hepar berat maka sintesi

faktor koagulasi oleh hepar berkurang sehingga prothrombine time

akan memanjang.

(KemenKes, 2011: 58-61 & 68)

2.5 Diagnosis Banding

Table 1. Diagnosis Banding pada Gagal Hepar, berdasarkan Tanda dan Gejala

(Gonzalez, 2016:4)

Penyakit / Membedakan tanda / gejala Membedakan tes


kondisi
Hepatitis Penderita dengan penyakit Ketiadaan encephalopati hepar. Menurut West
akut parah kuning dan koagulopati. Namun, Haven Kriteria, Encephalopati hepar dapat
tidak akan dianggap ALF jika dikategorikan menjadi 4 kelas berdasarkan
tidak ada ensefalopati hepar. beratnya:
Hepatitis akut berat harus Kelas 1: ensefalopati ditandai dengan susah
diperhatikan dengan baik karena tidur, kesadaran menurun dan gangguan
berpotensi dapat berkembang perhitungan.
menjadi ALF atau gagal hati Kelas 2 : lemas, penurunan daya ingat,
subakut, tergantung pada perubahan kepribadian, dan adanya asterixis
perjalanan waktu dan pada pemeriksaan fisik
perkembangan ensefalopati Kelas 3: berkembang menjadi mengantuk,
hepar. kebingungan, disorientasi, dan temuan fisik
yang meliputi hiperrefleksia, nistagmus,
klonus, dan kekakuan.
Kelas 4 ditandai dengan pingsan dan koma.
kolestasis Penyakit kuning yangdiakibatkan PT / INR normal, tidak adanya ensefalopati
obstruksi intra bilier atau (menurut Kriteria West Haven seperti yang
ekstrahepatik serta dari disebutkan di atas). Adanya koagulopat terkait
kolestasis intrahepatik karena dengan gangguan kolestasis dan kekurangan
kondisi seperti kerusakan hepar vitamin K, pemberian vitamin K subkutan
oleh obat-obatan atau penyakit akan meningkatkan PT / INR dan juga dapat
hepar kolestatik kronis. digunakan sebagai pembanding.
gambaran utama yang
membedakan kondisi ini ALF
termasuk tidak adanya
koagulopati dan ensefalopati
hepatik, yang keduanya ada
selama ALF.dapat terjadi pada
penyakit kuning yang ditandai
dengan tak terkonjugasi
bilirubin.
hemolisis Biasanya terjadi dengan tidak PT / INR normal, pemeriksaan apusan darah
adanya disfungsi hati. Oleh tepi tidak normal, tes Coombs positif, tidak
karena itu, koagulopati dan adanya ensefalopati (menurut Kriteria West
ensefalopati hepar tidak Haven seperti yang disebutkan di atas).
ditemukan. Kecuali pada ALF
sekunder terdapat penyakit
Wilson, yang mungkin
berhubungan dengan anemia
hemolitik Coombs-negatif. ALF
sekunder untuk hepatitis
autoimun mungkin sama dengan
anemia hemolitik autoimun akut.
Penyakit sel sabit akut dapat juga
terjadi dengan penyakit kuning,
hemolisis, dan disfungsi hepar
sebagai akibat dari hepatopathy
sel sabit.

2.6 Terapi
2.6.1 Farmako terapi

Pemberian obat diberikan berdasarkan penyebab penyakit penyerta sebagai

berikut:

1. Hepatitis Virus

Pemberian obat:

 Lamivudine 100-300 mg/hari

 Entekavir 0,5-1 mg/hari

 Tenovovir 245 mg/hari

2. Hepatitis Alkohol

 Pada penderita hepatitis alkohol dianjurkan untuk berhenti

mengkonsumsi alkohol.

3. Terapi intoksikasi acetaminophen

 N-acetil sistein (oral/iv) 150 mg/kgBB loading dose,

50 mg/kgBB selama 4 hari, 100 mg/kgBB selama

20 hari (Mauss, 2013: 564).

2.6.2 Non formakoterapi

1. Suport nutrisi dan metabolisme

Penderita dengan gagal hepar akut memiliki pengeluaran energi

yang tinggi dan katabolisme protein, sehingga membutuhkan

dukungan nutrisi untuk melestarikan masa otot dan fungsi kekebalan


tubuh. Pada penderita dengan ensefalopati, mengelola 1,0 sampai 1,5

g perkilogram protein enteral per hari sementara sering mengukur

kadar amonia darah, dengan beban protein menurunkan untuk jangka

pendek pada pasien dengan memburuknya hiperamonemia atau

berisiko tinggi untuk hipertensi intrakranial.

2. Transplantasi hepar

(Bernal, 2013:2531-2532)

2.7 Komplikasi

1. Gangguan fungsi kardiorespirasi

Disfungsi kardiorespirasi dan hipotensi yang umum pada pasien dengan

gagal hepar akut sering karena multifaktorial. Efektivitas volume darah

awalnya mungkin rendah karena asupan oral yang kurang dan kehilangan

cairan melalui muntah yang mengarah pada kondisi syok hipovolemik

(Bernal, 2013: 2530)

2. Kondisi neurologis

Ensefalopati hepatika adalah suatu kompleks gangguan susunan saraf

pusat yang dijumpai pada individu yang mengidap gagal hepar. Kelainan
ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian. Dapat

timbul tremor flapping. Gerakan gerakan menyentak lainnya dan gangguan

keseimbangan juga dapat timbul. Orang yang mengidap ensefalopati

hepatika akhirnya dapat mengalami koma dan meninggal (Corwin, 2009:

673).

Ensefalopati hepatika sebagian besar timbul akibat penimbunan toksit di

dalam darah, yang terjadi apabila hepar gagal mengubah toksin tersebut

secara adekuat. Tekanan osmotik meningkat karena penumpukan toksit dan

produk sisa metabolik, sehingga terjadi pembengkakan otak dan edema

serebral. Salah satu toksit yang menumpuk dan yang diduga merupakan

penyebab dari banyak gejala ensefalopati hepatik adalah amonia. Amonia

adalah produk sampingan metabolisme protein dan kerja bakteri usus.

Salah satu fungsi penting hepar adalah mengubah amonia menjadi urea,

urea mudah diekskresikan oleh ginjal. Apabila amoniak tidak diubah

menjadi urea, maka kadarnya di dalam darah meningkat dan amonia

tersebut akan mencapai otak. Di otak amonia bersifat racun (Corwin, 2009:

673).

3. Gangguan fungsi ginjal

Pada penderita gagal hepar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal

akibat pembentukan jaringan parut di hepar yang disebut sirosis. Pada


penderita dengan sirosis mengalami kegagalan untuk melakukan

kompensasi tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan ginjal sistemik

dan splanchnic, mengakibatkan terjadinya vasodilatasi sekunder portal

(atau sinusoidal). Hipertensi yang mengarah ke penurunan volume darah

arteri yang efektif dan aktivasi sistem neurohormonal, yang renin-

angiotensin-aldosteron (RAAS), merangsang sistem saraf simpatik, dan

rilis non-osmotik hormon antidiuretik, sehingga retensi natrium dan air

(Sarin, 2014: 463).

4. Sepsis

Penderita yang tanpa Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS)

atau dengan SIRS yang kemudian berkembang menjadi sepsis selama 1-2

minggu menunjukkan bahwa infeksi dan sepsis berkembang setelah terjadi

gagal hepar dan kemudian berlanjut menjadi suatu peradangan. Infeksi

yang terjadi di luar hepar juga umum terjadi pada penderita dengan ACLF

(Sarin, 2014: 462).

Disfungsi neutrofil dan menurunnya kekebalan tubuh karena

berkurangnya ekspresi HLA-DR telah terbukti dapat berkembang cepat

pada penderita ACLF (Sarin, 2014: 462).

2.8 Rehabilitasi
Dalam kasus ini tindakan rehabilitasi di fokuskan setelah transpatasi hepar

melalui tidankan fisioterapi. Pendekatan rehabilitatif dapat membantu

penderita yang akan menerima transplantasi hepar untuk meningkatkan

kualitas hidup dengan meningkatkan kekuatan otot, mencegah kelelahan yang

berlebihan, meningkatkan kapasitas aerobik dan meningkatkan tingkat

aktivitas fisik. Fisioterapi pada penderita yang akan menerima transplantasi

hepar, terutama dibagi menjadi tiga periode:

1. Fisioterapi pre-operasi

Penderita yang menunggu transplantasi biasanya menunjukkan

hilangnya massa otot, kepadatan mineral tulang yang rendah,

kekuatan otot berkurang, peningkatan kadar kelelahan dan penurunan

kapasitas aerobik. Nutrisi merupakan faktor penting yang

mempengaruhi massa otot dan tingkat aktivitas. Disfungsi

penyimpanan glikogen dan glukoneogenesis pada penyakit hepar

stadium akhir menyebabkan pemecehan protein otot dan lemak untuk

penggunaan energi yang mengakibatkan penurunan berat badan dan

kelemahan otot. Kekurangan asupan makanan dan kehilangan nafsu

makan dapat memperburuk efek sekunder dari malnutrisi (Senduran,

20121: 446).

Latihan dan rehabilitasi dengan tujuan meningkatkan kekuatan otot

dan daya tahan tubuh, kapasitas aerobik dan mengoptimalkan kualitas

hidup terkait kesehatan dengan meningkatkan fungsi fisik untuk


penderita menunggu pada proses transplantasi hepar (Senduran,

20121: 446).

2. Fisioterapi awal pasca-operasi

Fisioterapi di Intensive Care Unit. Meskipun istirahat dapat

dianggap sebagai bagian dari pengobatan di ICU, imobilisasi lebih

lanjut dapat mempengaruhi status kesehatan secara keseluruhan

sebagai akibat dari atrofi otot, berkurang drainase bronkial dan

penurunan ekspansi paru. Fisioterapi di ICU bertujuan untuk

menghindari komplikasi imobilisasi, memberikan dukungan

pernafasan untuk mencegah komplikasi paru pasca operasi dan

memulihkan independensi fungsional. Mobilisasi awal dimulai pada

hari pasca operasi pertama segera setelah keadaan fisiologis penderita

stabil dan berlangsung sampai pasien dipulangkan dari ICU

(Senduran, 20121: 446, 447 & 448).

Kegiatan setelah operasi harus dimulai sedini mungkin sebagai

stabilitas fisiologis dan hemodinamik disediakan. Hal ini penting

untuk mempertimbangkan cadangan jantung dan pernapasan pasien

dan tingkat hemoglobin serta sebelum merencanakan sesi mobilisasi.

Mobilisasi harus dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut agar

dapat dengan baik ditoleransi oleh penderita seperti latihan penguatan

otot, latihan peregangan dan latihan postur harus dimasukkan dalam


program latihan rawat inap. Penguatan latihan menggunakan band

elastis atau beban untuk tungkai atas dan bawah membantu untuk

mencegah hilangnya otot dan memulihkan penurunan kekuatan otot

dan daya tahan otot. Intensitas latihan dapat diatur sesuai dengan 1

protokol pengulangan maksimal.

(Senduran, 20121: 446, 447 & 448).

Latihan peregangan digunakan untuk memberikan perpanjangan

otot normal, terutama pada penderita yang menderita imobilisasi lama

yang mungkin lebih mempengaruhi kegiatan sehari-hari. Peregangan

dan latihan postur juga membantu mempersiapkan penderita untuk

sesi latihan dan dapat merangsang relaksasi dan pengurangan

kecemasan. Penderita harus diperingatkan untuk tidak mengemudi,

tidak mengangkat, mendorong benda berat dan tidak mencoba sit-up,

push-up atau pull-up (Senduran, 20121: 446, 447 & 448).

3. Fisioterapi akhir pasca-operasi

Intervensi fase awal melibatkan tiga bulan pertama setelah keluar

dari rumah sakit. Sebuah program latihan di rumah yang disesuaikan

dengan masing-masing penderita. Akhir periode pasca-operasi, yang

dimulai terutama tiga bulan setelah transplantasi hepar bertujuan

untuk menyediakan kapasitas maksimum untuk kemandirian

kehidupan sehari-hari dan mengoptimalkan kualitas hidup terkait


kesehatan. Kembali ke pekerjaan, kehidupan sosial dan kegiatan

rekreasi dan bahkan kembali ke partisipasi olahraga adalah tujuan dari

proses seumur hidup ini. Fleksibilitas, keseimbangan, ketahanan dan

latihan aerobik adalah hal yang terpenting dalam periode ini.

(Senduran, 20121: 449, 450 & 451).

Meskipun transplantasi hepar adalah satu-satunya pengobatan yang

pasti untuk penyakit hepar stadium akhir untuk mengatur fungsi hepar

dan menjaga kelangsungan hidup, itu bukan solusi serratus untuk

memulihkan status kesehatan secara keseluruhan yang terganggu

karena kehilangan massa otot, kelelahan yang berlebihan, mengurangi

kinerja fisik dan kapasitas aerobik berkurang. Program rehabilitasi

diawasi diperlukan untuk meningkatkan kapasitas fungsional setelah

transplantasi hepar sebagai operasi sendiri memiliki efek yang sangat

sederhana dan tidak konsisten pada kapasitas aerobik. Latihan

resistensi membantu untuk mengembalikan kekuatan otot dan

mencegah osteoporosis yang mungkin terjadi akibat terapi

imunosupresan (Senduran, 20121: 449, 450 & 451).

Osteoporosis telah dilaporkan sebagai penyebab umum dari

morbiditas setelah transplantasi hepar yang mengarah ke patah tulang

terutama pada enam bulan pertama setelah operasi. Pelatihan aerobik

terdiri dari berjalan; jogging atau bersepeda sesuai dengan cadangan

jantung dan paru masing-masing penderita. Pertisimpasi olaraga pada


penderita harus dimulai dengan aktivitas ringan seperti jalan kaki,

memanjat tangga, golf, bowling, anak panah, panahan dan

memancing. Tenis meja dan bola voli dapat disarankan sebagai

kegiatan intensitas sedang (Senduran, 20121: 449, 450 & 451).

2.9 Prognosis

Penderita dengan gagal hepar tidak dapat bertahan hanya dengan terapi

medis saja, harus dilakukan transplantasi hepar. Namun kebanyakan

penderita yang menunggu proses transplantasi juga memiliki kegagalan

multi organ yang progresif sehingga calon penerima transplantasi harus

diidentifikasi secepat mungkin untuk mendapat prognosis yang baik

(Bernal, 2013:2532).

2.10 Edukasi

1. Pentingnya untuk memberitahukan kepada penderita gagal hepar untuk

tetap mengkonsumsi makanan yang bergizi, dan mengkonsumsi protein

sebanyak 1,0-1,5 gram perhari perkilogram, karena penderita dengan

gagal hepar memiliki pengeluaran katabolisme energi protein yang tinggi

(Bernal, 2013:2531-2532).

2. Pada penderita gagal hepar diajurkan agar tidak mengkonsumsi obat-obat

yang bersifat toksik bagi hepar.


3. Pada penderita gagal hepar disarankan untuk tidak mengkonsumsi

alkohol (Beth Israel Deacones Medical Center, 2016).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gagal hepar adalah hasil akhir dari semua penyakit hepar yang parah

dan ganas. Gagal hepar terdiri dari gagal hepar akut dan Acute on

chronic liver failure. Gagal hepar disebabkan oleh hepatitis yang

diakibatkan oleh virus dan alkohol, dan intoksikasi obat-obatan, tetapi

juga gagal hepar dapat terjadi akibat komplikasi dari sirosis. Diagnosis

gagal hepar dapat ditegakkan dengan anamnesis, dengan menanyakan

apakah ada riwayat sakit hepatitis, penggunaan obat-obatan dan alkohol.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan jaundice, anemia, splenomegali,

hepatomegali asites dan edema. Pada pemeriksaan laboratorium yaitu

SGOT/AST, SGPT/ALT, bilirubin urin, serum albumin dan

prothrombine time.

Adapun terapi gagal hepar sesuai dengan etiologi yang

mendasari, jika gagal hepar disebabkan oleh virus maka diberikan


antivirus, jika disebabkan oleh intoksikasi obat-obatan harus hindari obat

yang bersifat toksik bagi hepar, dan jika disebabkan oleh alkohol maka

harus menghindari minuman yang beralkohol. Selain itu perlu pemberian

nutrisi yang cukup sebagai bahan metabolisme dan proses penyembuhan

bagi tubuh. Untuk penderita gagal hepar yang kronis perlu melakukan

transplantasi hepar. Gagal hepar yang tidak ditangani secara cepat dapat

menyebabkan komplikasi pada organ-organ lain seperti, gangguan fungsi

ginjal, gangguan respirasi, gangguan metabolis dan sepsis. Pada

penderita dengan transplantasi hepar perlu dilakukan rehabilitasi dengan

cara fisioterapi untuk meningkatkan kualitas hidup dengan meningkatkan

kekuatan otot, mencegah kelelahan yang berlebihan, menigkatkan

kapasitas aerobik dan meningkatkan tingkat aktivitas fisik. Penderita

gagal hepar tidak dapat bertahan hanya dengan terapi medis saja harus

dilakukan transplantasi hepar, namun kebanyakan penderita yang

menunggu proses transplantasi juga memiliki kegagalan multi organ

yang progresif sehingga calon penerima transplantasi harus diidentifikasi

secepat mungkin untuk mendapatkan prognosis yang baik.

Pengobatan gagal hepar tidak hanya didasarkan oleh penanganan

medis saja, tetapi perlu juga mengedukasikan penderita untuk menjaga

pola hidup dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi, menghindari

obat-obatan yang bersifat racun bagi hepar dan tidak mengkonsumsi

alkohol yang dapat merusak fungsi hepar.


3.2 Saran

1. Menyarankan bagi pembaca untuk menghindari penyebab terjadinya

gagal hepar seperti minuman beralkohol dalam jumlah berlebihan

dan penggunaan obat-obatan yang bersifat toksit bagi hepar.

2. Menyarankan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Uncen agar lebih

lagi mencari informasi-informasi dari sumber artikel ataupun journal

sehingga ada informasi yang cukup untuk dipelajari.


DAFTAR PUSTAKA

American Academiy of Family Physicians. 19 Desember 2016. Gambar Pucat

pada Bibir karena Anemia. http://www.aafp.org/afp/2014/0115/p89.html

Bernal,W & Wendon, J. 2013. Acute Liver Failer. NEJM, England:

2530-2532 hlm

Corwin, E J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. EGC, Jakarta: 673, 664 hlm.

Dwuma-badu D. 19 Desember 2016. Gambar Perbandingan Warna Tangan

Pucat karena Anemia dan Warna Tangan Normal. http://pedsgh.com/sickle-

cell-disease-in-children-part-one/

Frith, J.D. 2008. Gastroenterology and Hepatology. Module 8. Medical Masterclass.

London: 55-56 hlm

Gonzalez, S.A. 2016. Acute Liver Failure. BMJ. 2 hlm

Hug G. 19 Desember 2016. Gambar Hepatomegali. http://www.nejm.org/doi/full/

10.1056/NEJM196301172680301
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. 58-61 &

68 hlm.

Kerniawan, H.D. 2012. Penghentian Lamivudine sebagai Pencetus Acute on chronic

liver failure. Departemen Penyakit Dalam FK UI, Jakarta: 1 hlm

Kainth M.K. 10 Desember 2016. Gambar Splenomegali. http://emedicine.meds

cape.com/article/959720-overview

Levin N. 19 Desember 2016. Gambar Pucat pada Kuku karena Anemia.

http://www.onhealth.com/content/1/nail_health

Mauss, S., et all. 2013.Hepatologya clinical texbook. Edisi 4. Fliying publisher,

Germany: 555 hlm

Mazzone A. 19 Desember 2016. Gambar Perbandingan Ikterus pada Telapak

Tangan dan Tangan Normal. http://www.nejm.org/na101/home/literatum/

publisher/mms/journals/content/nejm/2002/nejm_2002.346.issue11/nejmicm9

50425/production/images/medium/nejmicm950425_f1.gif

Nugraheni,E.S. 2013. Macam Penyakit Hepar dan Pemeriksaannya: 2-3 hlm

Rademacher. S, Oppert, M & Jorres,A.2016. Artificial Extracorporeal Liver

SupportTherapy in Patients with Severe Liver Failure: 592 hlm

Sarin, S.K et all. 2014. Acute-on-chronic liver failure:consensus recommendations of

the Asian Pacific Association for the Studyof the liver (APALS). Published by

Hepatol Int. Asian Pacific: 455 hlm

Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia. Edisi 6. EGC, Jakarta: 669 hlm

University of Connecticut Health Center. 19 Desember 2016. Gambar Ikterus


pada Sklera. http://fitsweb.uchc.edu/student/selectives/Luzietti/images/

gallbladder/scleral_icterus1.JPG

Anda mungkin juga menyukai