Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH GERAKAN MUHAMMADIYAH

“ GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI NUSANTARA

Disusun Oleh :

KELOMPOK : 1

1. NURHIDAYATI
2. NOVA NOVLITA

Kelas : Biologi V C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU

2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Dalam
kesempatan ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada
rekan-rekan yang telah membantu menyelesaikan makalah ini agar dapat selesai
tepat waktu.

Akhirnya dengan penuh kesadaran bahwa dalam penyusunan makalah ini


masih jauh dari kesempurnaan dan masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam
makalah ini. Namun harapan saya hendaknya makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua serta dapat mencapai sasaran yang kita inginkan. Hasil makalah ini
diharapkan dapat menjadi bahan informasi atau penunjang bagi rekan- rekan
untuk pembuatan makalah selanjutnya.

Bengkulu, Oktober 2014

Penyusun

Kelompok 1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................

1.3 Tujuan ...............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 pengertian pembaharuan.................................................................................


2.2 Landasan dan ruang lingkup pembaharuan....................................................
2.3 Gerakan pembaharuan islam oleh ibnu taimiyah...........................................
2.4 Gerakan pembaharuan islam oleh muhammad bin abdul wahab...................
2.5 Gerakan pembaharuan islam oleh jamaluddin al-afghani.............................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan..................................................................................................

3.2 Saran .............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah


Modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha
untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, intuisi-intuisi lama dan sebagainya.
Agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat dan keadan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Karena
terpuruknya nilai-nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam
yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu
yang harus diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi
bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh kaum barat yang pada masa lalu
tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses
pembaharuan Islam. Pertama, faktor internal yaitu faktor kebutuhan pragmatis
umat Islam yang sangat memerlukan satu system yang benar-benar bisa dijadikan
rujukan dalam rangka mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas,
bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua, faktor eksternal adanya kontak Islam
dengan kaum barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya
kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan pragmatis umat
Islam untuk belajar secara terus menerus kepada kaum barat, sehingga
ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir. Namun bukan
berarti pembaharuan Islammengubah isi Al-Quran dan Hadits.

1.2    Perumusan Masalah
1.    Apa pengertian pembaharuan ?
2.    Bagaimana landasan dan ruang lingkup pembaharuan ?
3.    Bagaimana gerakan pembaharuan Islam oleh Ibnu Taimiyah ?
4.    Bagaimana gerakan pembaharuan Islam oleh Muhammad bin Abdul Wahab ?
5.    Bagaimana gerakan pembaharuan Islam oleh Jamaluddin Al-Afghani ?
1.3    Tujuan Penulisan Makalah
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah :
1.    Untuk mengetahui pengertian pembaharuan.
2.    Untuk mengetahui landasan dan ruang lingkup pembaharuan.
3.    Untuk mengetahui gerakan pembaharuan Islam oleh Ibnu Taimiyah.
4.    Untuk mengetahui gerakan pembaharuan Islam oleh Muhammad bin Abdul
Wahab.
5.    Untuk mengetahui gerakan pembaharuan Islam oleh Jamaluddin Al-Afghani.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Pembaharuan
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham
keagamaan Islam dengan dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi madern. Dalam bahasa Arab, gerakan
pembaharuan Islam disebut tajdîd. Secara harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan
pelakunya disebut mujaddid. Dalam pengertian tersebut, sejak awal sejarahnya,
Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan. Sebab ketika menemukan
masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas
doktrin-doktrin dasar Al-Qur’an dan sunnah.[2]
Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa “sesungguhnya Allah akan
mengutus kepada umat ini(Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang yang
akan memperbaiki-memperbaharui agamanya” (HR. Abu Daud). Meskipun
demikian, istilah ini baru terkenal dan populer pada awal abad ke-18. tepatnya
setelah munculnya gaung pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam, menyusul
kontak politik dan intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secvara politis
maupun secara intelektual, Islam telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat
dianggap telah maju dan modern. Kondisi sosiologis seperti itu menyebabkan
kaum elit muslim merasa perlu uintuk melakukan pembaharuan.
Dari kata tajdid selanjutnya muncul istilah-istilah lain yang pada dasarnya
lebih merupakan bentuktajdid. Diantaranya adalah reformasi, purifikasi,
modernisme dan sebagainya. Istilah yang bergam itu mengindikasikan bahwa hal
itu terdapat variasi entah pada aspek metodologi, doktrin maupun solusi, dalam
gerakan tajdid yang muncul di dunia Islam.
Secara geneologis, gerakan pembaharuan Islam dapat ditelusuri akarnya
pada doktrin Islam itu sendiri. Akan tetapi hsl tersebut mendapatkan momentum
ketika Islam berhadapan dengan modernitas pada abad ke-19. Pergumulan antara
Islam dan modernitas yang berlangsung sejak Islam sebagai kekuatan politik
mulai merosot pada abad ke-18 yang menyita banyak energi dikalangan
intelektual muslim. Kaitan agama dengan modernitas memang merupakan
masalah yang pelik, lebih pelik dibanding dengan masalah-masalah dalam
kehidupan lain. Hal ini karena agama dan doktrin yang bersifat absolut, kekal,
tidak dapat diubah, dan mutlakkebenarannya. Sementara pada saat yang sama
perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar dan tuntutan modernitas atau
lebih tepatnya lagi ilmu pengerahuan dan teknologi.

2.2    Landasan dan Ruang Lingkup Pembaharuan


Landasan Pembaharuan
Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya
pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan
historis.
Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan
pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis
yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam).
Selanjutnya, landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan,
yaitu :
1.    Keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (universalisme Islam). Sebagai
agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat
bagi seluruh alam. Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang
mencakup semua aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat
manusia, baik berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang
khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min
al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya harmoni pada
ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di
dunia dan di akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata,
melainkan duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada
setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun
non Arab dalam tingkat yang sama, dengan tidak membatasi diri pada suatu
bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai
universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme dalam bentuk apapun.
Universalisme Islam juga memiliki makna bahwa Islam telah memberikan dasar-
dasar yang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Namun demikian, tidak
semua ajaran yang sifatnya universal itu diformulasikan secara rinci dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk
menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala tuntutan perkembangan
sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua bidang kehidupan dan
semua jaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsudin mengatakan bahwa watak
universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu baru untuk
menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam yang
universal-shalih li kulli zaman wa makan-menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam
dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya
menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat jaman. Hakikat Islam
yang rahmah li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat jaman,
yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahma-tan dan
kesemestaan sangat tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan metode
dan teknik untuk mendorong kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Din
Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan mengandung muatan kemodernan.
Islam menjadi universal justru karena mampu menampilkan ide dan lembaga
modern serta menawarkan etika modernisasi.
2.    Keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau
finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul Allah. Dalam
keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir
jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti pasca Islam sudah
tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai
agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan
lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang
diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap, sempurna, dan
mencakup segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang terlupakan dalam al-
Qur’an. Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw
sebagai Nabi akhir jaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi
seorang pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa
Muhammad diyakini sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad Jainuri bahwa keyakinan akan Muhammad sebagai Nabi
penutup hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian bukan berarti
terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat manusia. Kondisi ini mengacu pada ide
bahwa setelah fungsi keNabian Muhammad selesai, secara fungsional, peran
ulama dipandang sangat penting untuk memelihara dinamika ajaran Islam. Hal ini
dipandang tidaklah berlebihan karena ulama adalah pewaris para nabi (al’ulama’
waratsah al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah muncul para mujaddid yang
secara fungsional memelihara dinamika ajaran Islam yang dibawa oleh
Muhammad Saw sebagai pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan
perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk agama Wahyu dari Nabi Adam hingga
Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari Muhammad ke penerusnya
melalui para mujaddid yang secara institusional dimanifestasikan dalam berbagai
ragam pemikiran serta gerakan tajdid.
Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang
diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat al-
Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan tajdid dalam Islam karena
secara jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan pembaruan. Di
antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu
dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mengubah apa yang
ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari
situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif
dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya.
Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam masyarakat harus
selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat melakukan mekanisme
penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang
menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad
seseorang yang akan memperbarui (pema-haman) agamanya”. Menurut Achmad
Jainuri, dikalangan para pakar terdapat perbedaan interpretasi mengenai kata ‘ala
ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal abad) ini berkaitan dengan saat munculnya
sang mujaddid. Sebagian lain mengkaitkan dengan tanggal kematian. Hal ini
sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya hanya
menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan dengan
tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena sebagian mereka yang disebutkan
dalam daftar literatur sejarah Islam telah meninggal dunia pada awal abad, yang
berarti bahwa mereka belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini, maka
sebagian lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar dan menyatakan
bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad yang
dimaksud. Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai
awal abad), yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif
dalam teks hadis Nabi.
Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan
pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan
Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya
berkata: “sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya, Islam baik secara
etnografis maupun geografis menyebar luas, dari segi intelektual pun
membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi
berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir,
filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia
sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang
dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia yang cemerlang,
sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu
pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang
agama maupun dalam bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim
dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga
terbina apa yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak
kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi
statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa kemundurannya
semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan dengan taklid yang
merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang terdalam pada
abad ke XVIII. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana
dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke
abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendung-nya (melakukan
pembaruan).
Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga
sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi
asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik.
Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam
memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya. Dalam perkembangan
sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu Taimiyah terus mengalami
dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami beberapa variasi corak dan
penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks waktu, tempat, dan problem
yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern dan gerakan pembaharuan
pada masa modern.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil
bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan
modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte
(1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang rendahnya
kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan kesadaran akan
kelemahan dan keterbelakangan.
Walaupun gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam
dua batasan dekade yaitu pra-modern (abad XVII dan XVIII M) dan modern
(mulai abad XIX M), tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman
bahwa gerakan pembaruan yang dilancarkan pada abad tersebut pada dasarnya
menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah yang
dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaruan tersebut
mengedepankan rekontruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus melakukan
koreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam,
baik pra-modern maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad XVII
M. Syaikh Ahmad Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi yang sama
dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan pelaksanaan ajaran syariah dalam
kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan wahabiah pada abad XVIII M yang
dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih radikal dan tidak
mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam” terhadap amal
ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam lainnya.
Shah Waliyullah di India abad XVIII M, juga melakukan hal yang sama dengan
apa yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad dalam sikapnya terhadap ajaran sufi yang
menyimpang. Namun, yang membedakannya dengan pendahulunya, gerakan Shah
Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan sosial politik, di mana ia menentang
ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang
ditanggung oleh kaum petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk
menegakkan sebuah negara teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk
sebuah kekaisaran yang bersifat internasional.
Gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali kepada al-Qur’an
dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas, juga me-warnai gerakan
pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai misal, gerakan
pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad Abduh, yang
dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam dari berbagai
pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khufarat); kedua,
pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan kembali doktrin
Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat, pembelaan Islam
terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik
yang sama dengan era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa
yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan
juga dalam gerakan dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam
baik pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang
atau tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada
penerapan ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad;
ketiga, penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang
berbeda dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.
Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan
teologis dan normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua
landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid
(pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi
kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
Ruang Lingkup Pembaharuan
1.  Pra Modernis
Kelompok pembaharu pra modernis dan yang se-ide dengannya lebih menekankan
pada aspek pemurnian ajaran Islam dalam bidang akidah, syariah, dan akhlaq dari
subversi ajaran yang bukan Islam dan tidak dapat di-Islamkan. Meskipun
demikian mereka tidak melupakan aspek politik dan sosial ekonomi.
2.  Modernis Klasik
Kelompok modernis klasik sudah lebih jauh me-langkah dari apa yang
diperjuangkan oleh kekom-pok pra-modernis. Mereka bukan hanya sekedar mere-
kontruksi bidang teologi, akidah, dan ibadah, akan teta-pi sudah sampai pada
tahap membicarakan mana yang disebut ajaran dasar dan pokok dan mana pula
yang tidak dasar atau hanya furu’. Mereka melakukan reaktuali-sasi penafsiran
dan pemahaman Kitab suci dan juga melakukan kritik tentang keotentikan suatu
hadis secara tajam. Di antara mereka ada yang bersikap hati-hati terhadap
penerimaan hadis sebagai hujjah, seperti Muhammad Abduh misalnya, dan ada
yang meno-lak sama sekali hadis untuk dijadikan hujjah. Dari kalangan mereka
muncullah yang disebut golongan Quraniyah, seperti Sayyid Ahmad Khan.
Kelompok modernis ini berbicara banyak tentang masalah eko-nomi, kenegaraan,
penafsiran kontekstual dan mengam-bil metode modern dalam kalian-kajiannya.
3.  Pasca Modernis
Pasca modernis dapat pula kita katakan sebagai neo revivalisme yang
menekankan pembaharuan pada bidang politik dan pendidikan. Mereka, para
pembaharu ini ingin agar adanya identitas khusus yang Islami; mereka berbeda
dengan kaum modern klasik dan pra modernis.
Demikianlah pembaharuan dalam Islam, dengan berbagai variasinya dapat
membangkitkan umat Islam dari kevakinan Intelektual dan kerusakan akidah.
Pembaharuan yang dimulai di dunia Arab menghembuskan angin segar ke
seantero dunia Islam, sehingga kaum muslimin menemukan kembali identitas
dirinya dan mampu pula membebaskan dirinya dari penjajahan dan kolonialisme
Barat.
Ruang Lingkup Pembaharuan Dalam Dunia Islam
1.  Dibidang aqidah dan ibadah, pembaharuan di maksudkan untuk memurnikan
ajaran islam dari unsur-unsur asing dan kembali kepada ajaran yang murni dan
utuh, sehingga iman menjadi suci karena terus diperbaharui. Ini sesuai dengan
hadist Nabi :
Dari Abu Hurairah, bahwasannya Nabi Saw bersabda, Tuhanmu berfirman :
“Jaddidu manakum” yang bermakna perbaharuilah imanmu (Hadist riwayat
Ahmad).
2.  Di bidang muamalah duniawiyah, pembaharuan dimaksudkan sebagai upaya
modernisasi atau pengembangan dalam aspek social, ekonomi, politik,
pendidikan, budaya dan lain-lain sepanjang tidak bertentangan dengan dan di
bawah panduan Al-Qur’an dan Hadis. Di sini umat islam bebas melakukan kreasi,
inovasi, dan reformasi kehidupan masyarakat muslim dengan berbagai metode
dan pendekatan.

2.3    Gerakan Pembaharuan Islam oleh Ibnu Taimiyah (1263-1328)


Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah
al Harrani atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja lahir pada 22
Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H dan wafat wafat pada 1328/20 Dzulhijjah
728 H, adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki. Ia berasal dari
keluarga cendekiawan. Ayahnya bernama Shihabuddin Abdul Halim bin
Taimiyah seorang ahli hadits,ulama, syaikh, hakim, dan khatib terkenal di
Damascus. Demikian juga kakeknya Syekh Majuddin Abul Birkan Abdussalam
bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani, adalah ulama terkemuka yang menguasai
fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz).
Mereka semua adalah pemuka dalam mazhab Hambali. Ibnu Taimiyah
belajar Al-Qur’an dan hadits dari ayahnya, kemudian sekolah di Damascus. Pada
usia 10 tahun ia telah mempelajari kitab-kitab hadits utama, hafal Al-Qur’an,
belajar ilmu hitung dan sebagainya. Kemudian ia tertarik mendalami ilmu kalam
dan filsafat yang menjadi keahliannya. Karena penguasaannya di bidang kalam,
filsafat, hadits, Al-Qur’an, tafsir dan fikih, pada usia 30 tahun ia sudah menjadi
ulama besar pada zamannya. Ibnu Taimiyah kuat memegang ajaran kaum salaf. Ia
juga seorang penulis yang tekun dan produktif.
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu
Rasulullah Muhammad SAW danSahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi
yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, danTabi'ut tabi'in yaitu generasi yang
mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan
Islam. Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan
dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun
(tahun 1268), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan
tentara Mongol atas Irak.
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba
di Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang
ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan
otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum
mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami
bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam
Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani
Al-Kabir.
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar
dari Aleppo, Suriah yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu
Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia
memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus.
Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu
pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula
mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata:
"Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum
pernah ada seorang bocah sepertinya".
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga
mempunyai kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang
bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan
menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Ia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis
yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah,
sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan
beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan
masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di
madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar
hingga terpenuhi cita-citaku.”
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai
macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis
menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan
sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya
dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah
memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang
berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul
hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami
semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam
mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang
luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para
mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil
mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah
kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang
syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya
mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa
yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam.
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasionalis.
Empiris dalam arti bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan,
bukan dalam pemikiran (al-haqîqah fi al-a’yân la fi al-adhhân), dan rasionalis
dalam arti ia tidak mempertentangkan antara akal dengan naql (Al-Qur’an dan
hadits) yang sahih. Ia menolak logika sebagai metode berpikir deduktif yang tidak
dapat digunakan untuk mengkaji materi keislaman secara hakiki. Materi
keislaman empiris hanya dapat diketahui melalui eksperimen dan pengamatan
langsung (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 169). Adapun beberapa upaya
pembaharuannya antara lain sebagai berikut.
Pertama, sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan paham
tauhid. la menentang segala bentuk bid’ah, takhayul dan khurafat. Menurutnya,
aqidah tauhid yang benar adalah aqidah salaf, aqidah yang bersumber dari teks Al-
Qur’an dan hadits, bukan diambil dari dalil-dalil rasional dan filosofis. Dalam
menjelaskan sifat-sifat Allah, ia mengemukakan bahwa sifat-sifat Allah secara
jelas termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits. Pendapat yang membatasi sifat Allah
pada sifat dua puluh dan pendapat yang menafikan sifat-sifat Allah, bertentangan
dengan aqidah salaf. Walaupun ia menetapkan adanya sifat-sifat Allah, ia
menolak mempersamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Ibnu
Taimiyah menetapkan sifat-sifat Allah tanpa tamtsîl (menyamakan sifat-sifat
Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan tanzih (menafikan sifat-sifat Tuhan). Ia juga
gigih menentang penggunaan ta’wîl dalam menjelaskan sifat-sifat
Allah. Ta’wîl kata “yad” (tangan) dengan kekuasaan tidak dapat diterimanya. Ia
tetap mempertahankan arti “yad” dengan tangan. Demikian pula dengan ayat-
ayat mutasyâbihât lainnya. Inilah yang ia sebut al-aqîdah al-wâsithiyah.
Kedua, ia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits, serta mendorong mereka melakukan ijtihad
dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama. Menurutnya, metode penafsiran Al-
Qur’an yang terbaik adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Jika tidak didapati
dalam al-Qur’an, baru dicari dalam hadits. Jika penjelasan ayat tidak dijumpai
dalam hadits, dicari dari perkataan shahabat. Kalau juga tidak didapati, maka
dicari dalam perkataan tabi’în. Ayat Al-Qur’an harus ditafsirkan menurut bahasa
Al-Qur’an dan hadits. Di sini tampak bahwa Ibnu Taimiyah adalah pembaharu
yang mempergunakan metode berpikir kaum salaf.
Ketiga, karena untuk kembali pada Al-Qur’an dan hadits diperlukan ijtihad,
maka ia menentang taklid. la menolak sikap umat Islam yang mengekor pada para
mujtahid yang telah mendahului mereka, sementara pokok persoalan sudah
berubah. Taqlîd adalah sikap yang membuat umat Islam mundur,
sebab taqlîdberarti menutup pintu ijtihad, membuat otak menjadi beku. Pahadal
sudah sangat lama umat Islam berada dalam kegelapan akibat pintu ijtihad
dinyatakan tertutup. Menurutnya, ijtihad terbuka sepanjang masa, karena kondisi
manusia selalu berubah. Perubahan itu harus selalu diikuti oleh perubahan hukum
yang sumbernya dari wahyu. Di sinilah fungsi ulama membimbing perubahan
masyarakatnya sesuai dengan petunjuk wahyu.
Keempat, di dalam berijitihad tidak terikat pada madzhab atau imam.
Menurut Ibnu Taimiyah, pendapat siapa saja yang lebih tepat dan kuat
argumennya, itulah yang diambil. Pengambilan pendapat dan argumen itu bukan
didasarkan atas kemauan nafsu. Semua pendapat harus mempunyai alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Kelima, dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah menawarkan suatu
metode baru. Ia tidak mendasarkan keputusan hukum berdasarkan pada ‘illat,
tetapi berdasarkan hikmah. Penerapan hukum Islam hendaknya
mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan hukum tersebut. Di
sinilah sesungguhnya letak relevansi sekaligus keluwesan Ibnu Taimiyah dalam
merumuskan ushul fiqh yang menjadi ijtihadnya.
Ibnu Taimiyah wafat di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh
salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an
surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin"[1] . Ia
berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami
sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H, dan
dikuburkan pada waktuAshar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-
Islam Syarafuddin. Jenazahnya dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah
salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.
2.4    Gerakan Pembaharuan Islam oleh Muhammad bin Abdul
Wahab (1838/1839-1897)
Nama Lengkapnya adalah Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman
bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-
Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Ia lahir di Uyaynah pada 1730 M/l115
H dan wafat di Daryah tahun 1206 H (1793M). Ayah dan kakeknya adalah ulama
terkenal di Najd/Nejad (Arab Saudi). Dari ayahnya ia memperoleh pendidikan di
bidang keagamaan dan mengembangkan minatnya di bidang tafsir, hadits, dan
hukum madzhab Hanbaliyah. Untuk meningkatkan pengetahuannya ia banyak
melakukan perjalanan mencari ilmu. Ia juga membaca karya-karya Ibn Taimiyah
dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, sehingga ia benar-benar menjadi seorang ulama,
ahli hukum dan pembaharu ternama.
Dia adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin
gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang
kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.Dia juga merupakan seorang
ulama besar yang produktif, karena buku-buku karangannya tentang islam
mencapai puluhan buku, diantaranya buku yang berjudul “Kitab At-Tauhid” yang
isinya tentang pemberantasan syirik, khurafat, takhayul dan bid’ah yang terdapat
di kalangan umat Islam dan mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran
tauhid yang murni.
Proses pembaharuannya dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah
dan khutbah dengan berani dan antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat memperoleh
banyak pendukung. Pada permulaan ini pula ia melahirkan karya terkenal
berjudul Kitâb al-Tauhîd. Setelah kematian ayahnya pada 1740, Muhammad Ibn
Abdul Wahhab semakin populer dan gerakannya mendapat dukungan dari
pemerintah Kerajaan Ibn Saud.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha
membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para
pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada
dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad,
bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri
mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-
usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru
dengan mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran
Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang
merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Ia tumbuh
dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang
tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti
besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang
bersangkutan dengan agama.
Dia menempuh berbagai macam cara, dalam menyampaikan dakwahnya,
sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah
melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada
saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para
umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu
dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus
mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat
ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang
bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga
bahaya bid’ah, khurafat dan takhayul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara
dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga
beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya
semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di
kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti
di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan,Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria,
Iraq dan lain-lain lagi.
Inti gerakan pembaharuannya adalah : pertama, pembaharuan Islam yang
paling utama disandarkan pada persoalan tauhid. Dalam hal ini, Muhammad Ibn
Abdul Wahhab dan para pengikutnya membedakan tauhid menjadi tiga
macam; tauhîd rubûbiyah, tauhîd ulûhiyah dan tauhîd al-asmâ’ wa al-
sifât(C.M.Helm, 1981: 88-89). Menurut Abdul Wahhab, Allah adalah Tuhan alam
semesta yang maha kuasa, dan melarang penyifatan kekuasaan Tuhan pada
siapapun kecuali Dia. Dialah yang menciptakan manusia dan alam dari tiada.
Eksistensi Allah dapat dirasakan melalui tanda-tanda dan ciptaan-Nya yang
tersebar di seluruh alam, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, gunung-
gunung dan sungai-sungai, dan seterusnya. Allah adalah Tuhan yang berhak
disembah. Segala urusan manusia sehari-hari harus didasarkan pada Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi. Tuhan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan apapun
(QS. Asy-Syûrâ/42: 11). Baik dan buruk berasal dari Allah dan manusia tidak
bebas berkehendak.
Wahhab tidak mempercayai superioritas ras; superioritas atau inferioritas
tergantung pada ketaqwaan pada Allah. Tauhîd ulûhiyyah dipandang
sebagai tauhîd amalî. Tauhid ini didasarkan atas rukun Islam dan rukun Iman.
Yang termasuk dalam tauhid ini adalah semua bentuk ibadah harian, keyakinan
dan tindakan iman serta perjuangan dengan penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan
dan kepercayaan pada Allah.
Wahhab percaya pada makna harfiah Al-Qur’an termasuk ungkapan-
ungkapan antropomorfisme tentang Allah; tetapi bukan berarti ini mengharuskan
antropomorfisme bagi Allah. Ia berpendapat bahwa orang beriman akan melihat
Allah di surga, tetapi bentuk dan rupa Allah melampaui akal manusia (Saedullah,
1973: 138).
Kedua, Wahhab sangat tidak setuju dengan para
pendukung tawashshul. Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan
dengan Tuhan. Usaha mencari perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya
merupakan perbuatan syirik. Demikian juga bertawassul kepada orang yang sudah
mati atau kuburan orang suci sangat dilarang dalam Islam dan Allah tidak akan
memberikan ampunan bagi mereka yang melakukan perbuatan demikian. Ini
bukan berarti ziyarah kubur tidak diperkenankan, namun perbuatan-
perbuatanbid’ah, takhayul dan khurafat yang mengiringi ziyarah semestinya
dihindarkan agar iman tetap suci dan terpelihara (Ayman al-Yassini, 1995: 307-
308).
Ketiga, sumber-sumber syari’ah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang tak tercipta, yang diwahyukan
pada Muhammad melalui malaikat Jibril; ia merupakan sumber paling penting
bagi syari’ah. Ia hanya mengambil keputusan berdasarkan ayat-
ayat muhkamât dan tidak berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-
ayat mutasyâbihât. Maka, ia menyarankan agar kaum Muslim mengikuti
penafsiran Al-Qur’an generasi al-salaf al-shâlih. Sementara itu, Sunnah Nabi
adalah sumber terpenting kedua. Sedangkan ijma’ adalah sumber ketiga bagi
syari’ah dalam pengertian terbatas; ia hanya mempercayai kesucian ijma’ yang
berasal dari tiga abad pertama Islam, karena hadits yang memuat Sunnah Nabi
sebagai jawaban atas setiap masalah, dikembangkan Muslim selama 3 abad
pertama (D.S. Margouliouth, t.th.: 661). Ia menolak ijma’ dari generasi
belakangan. Oleb karena itu, menurutnya semua komunitas Muslim dapat
melakukan kesalahan dalam menyusun hukum-hukum secara independen melalui
proses ijma’.
Wahhab juga akan tetap memilih mengikuti hadits yang otentik daripada
pendapat para ulama yang menjadi idolanya, sekalipun seperti Ahmad Ibn Hanbal,
Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Jadi, ia percaya bahwa hukum Islam dan
dinamika kehidupan Muslim akan tetap hidup dengan menekankan pentingnya
ijtihad terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian, ia tidak keberatan bagi
siapapun untuk mengikuti salah satu dari empat madzhab Imam asalkan sesuai
dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Keempat, serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan pentingnya
negara dalam memberlakukan secara paksa syari’ah dalam masyarakat yang
otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus bertindak atas dasar
saran ulama dan komunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan
konsensus komunitas Muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah
upaya penggulingan khalifah yang tidak kompeten oleh Imam yang kompeten
melalui kekerasan dan paksaan. Namun demikian, khalifah yang tidak kompeten
tetap harus dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari’ah dan tidak menentang
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah. Wahhab juga memuji pentingnya jihad untuk
melaksanakan syari’ah sekaligus menyebarkan syiar Allah ke seluruh penjuru
dunia (R.B.Winder, 1965: 12).
Pembaharuan Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan Islam dari
segala bid’ah, takhayul dankhurafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi gerakan-
gerakan pembaharuan yang terjadi di dunia Muslim dari waktu ke waktu. Di
negara Arab sendiri ajaran-ajaran Wahhab kemudian menjadi Wahhabi karena
dukungan Ibn Saud dan putranya Abdul Aziz.
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48
tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis,
mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan
Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul Wahab berdakwah sampai
usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan
tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.

2.5    Gerakan Pembaharuan Islam oleh Jamaluddin Al-Afghani (1838/1839-


1897)
Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan
di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama
Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-
Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke
Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Meskipun
lahir di Afghanistan, ia berasal dari keluarga Syi’ah Iran. Namun, tidak ada bukti
yang menguatkan bahwa ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Syi’ah.
Pendidikan dasarnya diperoleh di tanah kelahirannya, yakni Asadabad. Kemudian
ia melanjutkan pendidikan di kota-kota suci kaum Syi’ah pada 1805. Di sinilah ia
banyak dipengaruhi para filosof rasionalis Islam seperti Ibnu Sina dan Nasir al-
Din al-Tusi.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar
biasa, beliau tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqih
dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir
seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran,
astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil
jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di
Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya
membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang
melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian kepada kolonialisme
yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk ketika Afghani
menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan terjadi di
seluruh India. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan
bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun,
Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh
penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya
posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang
mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang
didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan
takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul.
Perjalanan hidup Jamaluddin sebenarnya lebih mirip seorang politik dari
pada pembaharu Islam (L. Stoddard, 1921: 21). Hal ini terbukti dari aktivitas yang
ia lakukan. Pada umur 22 tahun ia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad
Khan di Afghanistan. Pada 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa
tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad Azam Khan.
Meninggalkan Kabul, Afghani berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah.
Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia
tidak diperbolehkan melewati jalur Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu
masuk ke India. Pada tahun 1869 Afghani masuk ke India untuk yang kedua
kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk
bertemu dengan para pemimpin India berpengaruh yang berperan dalam revolusi
India. Khawatir pengaruh Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan
pemerintah kolonial, pemerintah India mengusir Afghani dengan cara
mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak.
Jamaluddin pernah tinggal di India meskipun tidak lama. Setelah itu  
menetap di Mesir dari 1871 hingga l879 dengan bantuan dana Riyad Pasha. Di
kota ini, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan memperkenalkan 
penafsiran filsafat Islam. Ketika Mesir berada dalam krisis politik dan keuangan
pada akhir 1870, tokoh ini mendorong para pengikutnya untuk menerbitkan surat
kabar politik. Ia banyak memberikan ceramah dan melakukan aktivitas politik
sebagai pemimpin gerakan bawah tanah. Para pengikutnya antara lain Muhammad
Abduh, Abdullah Nadim, Sa’ad Zaghlul, dan Ya’kub Sannu. Pada 1889 ia
membentuk partai Hizbul Wathani dan berhasil menggulingkan Raja Mesir
Khedewi Ismail, meskipun kemudian ia diusir oleh penguasa baru Tawfik (Harun
Nasution,  1975: 54-55).
Kemudian, Jamaluddin pergi ke Paris dan bersama-sama muridnya yang
bernama  Muhammad Abduh, menerbitkan majalah al-‘Urwah al Wutsqa. Pada
tahun 1884 pergi ke Inggris untuk berunding dengan Sir Henry Drummond Wolff
tentang masalah Mesir. Dua tahun kemudian, pergi ke Iran untuk membantu
penyelesaian sengketa Rusia dan Iran. Akhirnya diusir keluar Iran oleh penguasa
Syah Nasir al-Din karena perbedaan faham.
Sultan Ottoman Abdul Hamid II mengundang Jamaluddin ke Istambul untuk
membantu pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul. Pengaruh
Jamaluddin yang cukup besar, membuat Abdul Hamid khawatir jika posisinya
akan terongrong. Selanjutnya Abdul Hamid mengeluarkan kebijakan untuk
membatasi aktivitas politik Jamaluddin. Di kota inilah Jamaluddin tinggal hingga
akhir hayatnya,  meninggal pada 1897 karena penyakit kanker.
Meskipun karirnya lebih menggambarkan sebagai tokoh politik, Jamaluddin
al-Afghani telah berjasa memberikan kontribusi bagi pembaharuan Islam modern.
Pengalamannya berkelana ke Negara-negara Barat, membawa pada suatu 
kesimpulan bahwa dunia Islam dalam keadaan mundur, sementara Barat
mengalami kemajuan. Ini mendorongnya untuk melahirkan pemikiran-pemikiran
baru. Pemikiran pembaharuannya didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah
agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Jika ada
pertentangan, perlu dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru
terhadap ajaran Islam. Kemunduran umat Islam, menurutnya, disebabkan karena
mereka statis, taqlîd dan fatalis. Umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang
sebenarnya, al-Islâm mahjûbun bi al-Muslim. Umat Islam juga terbelakang dari
segi pendidikan dan kurang pengetahuan mengenai dasar-dasar ajarannya, serta
lemah rasa persaudaraan akibat perpecahan internal.
Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemunduran tersebut, Jamaluddin
mengemukakan dan memperjuangkan gagasan pembaharuannya
meliputi: pertama, dari sudut pandang Islam tradisional, Jamaluddin
mengemukakan pentingnya kepercayaan pada akal dan hukum alam, yang tidak
bertentangan dengan kepercayaan pada Tuhan. Jamaluddin mengajarkan hal yang
dibela oleh para filosof, mendakwahkan agama dan rasionalisme kepada massa,
serta hukum alam pada para elite Muslim. Ia berusaha mengelaborasi interpretasi
Islam modernis dan pragmatis (Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Kedua, Jamaluddin berhasil mendukung kebangkitan nasionalisme di Mesir
dan India. Lebih luas dari itu,  juga menawarkan gagasan dan gerakan Pan-Islam
sebagai anti-imperialisme dan mempertahankan kemerdekaan Negara-negara
Muslim. Pan-Islam dalam pengertian kesatuan politik atau lebih umum kesatuan
Negara-negara Gerakan Muslim tersebut, semakin menguat dan mampu
menggalang solidaritas Muslim untuk menentang Kristen dan penjajah Barat.
Dikombinasikan dengan aktivitas anti-Inggris inilah yang membuat Jamaluddin
semakin populer di dunia Islam saat itu. Maka jasanya adalah  memberikan
kontribusi pemikiran Islam modern khususnya berkenaan dengan politik (Nikki R.
Keddie, 1995: 25-27).
Ketiga, Jamaluddin menyatakan ide tentang persamaan antara pria dan
wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama kedudukannya, keduanya
mempunyai akal untuk berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di
luar rumah, jika situasi menuntut semacam itu. Dengan demikian, Jamaluddin
menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerjasama dengan pria
untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis ( Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 1993: 300).
Afghani menghabiskan sisa umurnya dengan bertualang keliling Eropa
untuk berdakwah. Bapak pembaharu Islam ini memang tak memiliki rintangan
bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia (Arab, Inggris, Perancis, Turki,
Persia, dan Rusia). Afghani menghembuskan nafasnya yang terakhir karena
kanker yang dideritanya sejak tahun 1896. Beliau pulang keharibaan Allah pada
tanggal 9 Maret 1897 di Istambul Turki dan dikubur di sana. Jasadnya
dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam
bukunya “Al-Afghani : Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, menyatakan
bahwa Al-Afghani meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua yang
menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.
 BAB III
KESIMPULAN

3.1    Kesimpulan
Kemunculan gerakan pembaharuan Islam tidak bisa dipisahkan dari kondisi
obyektif kaum muslim di satu sisi dan tantangan Barat yang muncul di hadapan
Islam di sisi lain. Dari sudut pandang ini, Islam memang menghadapi tantangan
dari dua arah, yaitu dari dalam dan dari luar. Dengan demikian, Pengertian
pembaharuan bukan hanya mencakup perbaikan kondisi obyektif masyarakat
muslim, tetapi juga mencakup jawaban Islam atas tantangan modernitas.
Pembaharuan Islam juga mengindikasikan ketidakpuasan atas kondisi Islam
historis yang berkembang sejak abad ke-18. oleh karena itu, kaum pembaru ingin
membangun citra ideal Islam yang maju dan modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan
Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan terknologi Modern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam akan berarti
mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits,
melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya.
Adapun yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam
adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan
kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap
orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran. Kedua,
sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju
di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu
selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad,
tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang
berusaha memberantas kejumudan.
Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan
mengalami kemajuan. Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam
dengan Barat. Adapun tujuan dari pembaharuan dalam dunia Islam yaitu
mengembalikan ajaran Islam kepada unsur aslinya, dengan bersumberkan Al-
Qur’an dan Hadist, dan membuang segala bid’ah, khurafat, tahayul dan mistik.

3.2    Saran
Adapaun saran yang dapat kami sampaikan kepada pembaca melalui
makalah ini yaitu. sebagai berikut:
1.    Pembaharuan Islam (tajdid) merupakan suatu keharusan karena ajaran Islam
yang rahmatan lil al’alamin serta sebagai agama “pamungkas” menuntut adanya
upaya rasionalisasi dan kontekstualisasi sesuai dengan semangat jaman. Hal itu
karena pada hakikatnya pembaruan Islam merupakan ikhtiar melakukan
rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam segala ranah kehidupan.
2.    Keharusan bagi upaya tajdid setidaknya memiliki tiga landasan dasar yaitu
landasan teologis, landasan normatif, dan landasan historis. Artinya bahwa
gerakan tajdid dilaksanakan dengan dasar dan pijakan yang kuat.
3.    Agar tajdid dalam Islam dapat terimplementasikan dan teraktualisasikan, maka
ijtihad harus dijalankan karena tajdid dan ijtihad hakikatnya merupakan dua hal
yang saling terkait.
DAFTAR PUSTAKA

http://aanborneo.blogspot.com/2012/09/makalah-gerakan-pembaharuan.html

http://nikmatulmaskuroh.blogspot.com/2013/12/gerakan-pembaharuan-dalam-
islam.html

http://www.academia.edu/7155167/GERAKAN_PEMBAHARUAN_DALAM_IS
LAM_DI_INDONESIA_Jamiat_al-
Khair_alIrsyad_Muhammadiyah_dan_Persatuan_Islam_

http://fikykpistainparay.wordpress.com/2012/03/04/ppmdi-gerakan-pembaruan-
di-indonesia-muhammadiyah-dan-persis/

http://sibage.blogspot.com/2013/04/makalah-awal-kelahiran-gerakan.html

Anda mungkin juga menyukai