Anda di halaman 1dari 16

makalah Etika Sosial dan Budaya

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
pada akhirnya kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Kewarganegaan ini dengan baik. Dimana
Makalah ini kami sajikan dalam bentuk tulisan yang sederhana. Adapun judul dari Makalah yang kami
buat adalah sebagai berikut :

ETIKA BUDAYA DAN SOSIAL

Tujuan dibuat nya makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu nilai untuk mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaan.

Sebagai bahan penulisan makalah ini, kami menggunakan metode studi pustaka dari beberapa sumber
yang mendukung tema penulisan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh sekali dari sempurna, untuk itu kami mohon kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang.

Akhir kata semoga penulisan makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya dan bagi para pembaca
yang berminat pada umumnya.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………… 2

DAFTAR ISI ………………………………………… 3

PENDAHULUAN ………………………………………… 4

BAB I ………………………………………… 6

1.1 PENGERTIAN KEBUDAYAAN ………………………………………… 6

BAB II ………………………………………… 7

2.1. Proses Pembentukan Kebudayaan ………………………………………… 7

2.2. Pluralistik dan Multikultural ………………………………………… 8

2.3. Membangun Kebudayaan ………………………………………… 10

2.4. Mutualisme dan Kerjasama Sinergis ………………………………………… 12

2.5. Undang-undang ………………………………………… 15

BAB III ( PENUTUP ) ………………………………………… 17

KESIMPULAN ………………………………………… 17

KRITIK DAN SARAN ………………………………………… 18


DAFTAR PUSTAKA ………………………………………… 19

Pendahuluan

Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang diperoleh
bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman
acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang termaktub
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya
kebudayaan nasional. Namun kita juga telah melihat bahwa, khususnya dalam lima tahun terakhir, telah
terjadi krisis pemerintahan dan tuntutan reformasi (tanpa platform yang jelas) yang menimbulkan
berbagai ketidakmenentuan dan kekacauan. Acuan kehidupan bernegara (governance) dan kerukunan
sosial (social harmony) menjadi berantakan dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social
disobedience). Dari sinilah berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan
etika, tentu pula tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di kala hal ini
berkepanjangan dan tidak jelas kapan saatnya krisis ini akan berakhir, para pengamat hanya bisa
mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sedang sakit, suatu kesimpulan yang tidak pula
menawarkan solusi. Timbul pertanyaan: mengapa bangsa kita dicemooh oleh bangsa lain Mengapa pula
ada sejumlah orang Indonesia yang tanpa canggung dan tanpa merasa risi dengan mudah berkata, Saya
malu menjadi orang Indonesia dan bukannya secara heroik menantang dan mengatakan,Saya siap untuk
mengangkat Indonesia dari keterpurukan ini? Mengapa pula wakil-wakil rakyat dan para pemimpin
malahan saling tuding sehingga menjadi bahan olok-olok orang banyak. Mengapa pula banyak orang,
termasuk kaum intelektual, kemudian menganggap Pancasila harus disingkirkan sebagai dasar negara?
Kaum intelektual yang sama di masa lalu adalah penatar gigih, bahkan manggala dalam pelaksanaan
Penataran P-4. Pancasila adalah asas bersama bagi bangsa ini (bukan asas tunggal). Di samping itu,
makin banyak orang yang kecewa berat terhadap, bahkan menolak, perubahan UUD 1945 (lebih dari
sekedar amandemen) sehingga perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan berbangsa dan
bernegara dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh. Perjalanan panjang hampir enam dasawarsa
kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada warganegara tentang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Nation and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan
nasional belum dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi
dari dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan sebagai de hoogste politieke beslissing dan diterimanya
Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar Negara.
BAB I

1.1 Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-
Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett
Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan
cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan
untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

BAB II

2.1 Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia

Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah


di seluruh Indonesia. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan
norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh
rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan
integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta
kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling
menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.

Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan
sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan
kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan:. Siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?
Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan
bangsa dan tanah air kita? Jawaban terhadap sederet pertanyaan di atas telah dilakukan dalam berbagai
wacana mengenai pembangunan kebudayaan nasional dan pengembangan kebudayaan nasional.
Namun strategi kebudayaan nasional untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak
dikemukakan dan dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk dalam kongres-
kongres kebudayaan yang lalu.

Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu
bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo,
Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto
Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: kedaulatan rakyat, kemandirian dan
persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah
Pemuda pada tahun 1928. Bhineka Tunggal Ika adalah suatu manifesto kultural (pernyataan das Sollen)
dan sekaligus merupakan suatu titik-tolak strategi budaya untuk bersatu sebagai satu bangsa.

Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi
seluruh rakyat Indonesia (diantaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu
kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang kemudian menjadi TNI, PNS,
sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, sistem perekonomian nasional, sistem
pemerintahan dan sistem birokrasi nasional.). Di pihak lain, kesadaran nasional dipupuk dengan
menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme.

Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan
mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai perjuangan mencapai
peradaban, sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan,
keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing. Secara internal manusia dan masyarakat
memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu
mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan
dari lingkungannya. Rangsangan besar dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui
pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal ini merupakan
faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi
sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran
nasional.
2.2 Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural

Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi
berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warga negara
Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-
sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita.
Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri,
bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari. Dalam
konteks itu pula maka ratusan suku-suku bangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset
negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang
dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat di daya gunakan bagi pembangunan nasional.

Di pihak lain, setiap suku bangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda
antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas Negara lah untuk memahami,
selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-masing suku bangsa, dan secara aktif
memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri pluralistik bangsa kita, serta mengenai
pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural.

Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat
multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui
kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural
harus memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal
mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik.

Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari hambatan.
Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut
agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional.
Meskipun demikian, sebagai kaum professional Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan
kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi
nasional, memperkukuh gerak konvergensi, keanekaragaman.

Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk
mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun
pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu melihat
dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warga negara Indonesia,
sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air
Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga
membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan
kebersamaan dan saling bekerja sama.
2.3Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia

Kita perlu memahami kembali bahwa warga dari bangsa yang pluralistic ini adalah rakyat yang juga
warga negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945. Karena itu diperlukan adanya wawasan dan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kita juga harus membuka diri untuk memahami Pancasila, sekaligus bersedia membedakan
antara substansi ideal dan kemuliaannya sebagai dasar peradaban, dengan Pancasila yang
pelaksanaannya sengaja dikemas dan absurd secara politis demi kepentingan memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan, yang telah menyebabkan Pancasila dikambing hitamkan dan dibenci
sebagai penyebab timbulnya kediktatoran. Sejak mundurnya Presiden Soeharto, di lingkungan
masyarakat awam dan profesional tak jarang terdengar pernyataan kejenuhan, kebencian atau alergi
terhadap perkataan Pancasila. Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil pikiran
para pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh Bung Karno pada saat lahirnya pada
tanggal 1 Juni 1945, untuk dijadikan Dasar Negara, sebagai jawaban atas pertanyaan Dr. K.R.T. Radjiman
Wedyodiningrat: Apa dasar negara kita nanti. Kelima butir Pancasila itu merupakan refleksi buah pikiran
yang telah secara tulus ikhlas dipersiapkan secara serius dan mendalam oleh para pendiri negara kita
menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dimatangkan (dalam
wadah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI) untuk
menjadi pedoman berperilaku nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar
negara itu maka bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak ela-elo (Sastro Gending di zaman
Sultan Agung yang menggambarkan porak-porandanya bangsa ini, seakan kehilangan pegangan, jati diri,
harga diri dan percaya diri). Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita baru-
baru ini, di mana Pancasila tersurat di dalamnya, dinilai tidak sesuai dengan tujuannya melainkan justru
merubah makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pada saat generasi penerus dan
cendekiawan kita masa kini belum mampu menyusun suatu Pedoman acuan lain yang dianggap dapat
mengungguli Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjaga persatuan bangsa,
mensejahterakan rakyat Indonesia dan menjaga keutuhan tanah air kita, maka pada saat ini, niat untuk
menghapus Pancasila itulah yang harus ditanggalkan dari mindset kita. Sebaliknya, distorsi terhadap
mindset perlu diluruskan dengan cara memahami Pancasila yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu
tindakan yang dilandasi oleh suatu urgensi untuk menghindarkan bangsa kita dari ketidakadilan yang
menyebabkan kekacauan, ketidakrukunan, makin luasnya disintegrasi sosial, serta koyaknya keutuhan
negara. Bukanlah suatu hal yang aneh atau tabu, atau dinilai ketinggalan zaman bila kita menoleh
kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disiapkan oleh
para pendiri negara kita. Hakekat reformasi adalah pembaharuan dan juga back-to-basics, dalam arti
meluruskan yang keliru dan keluar jalur. Kemajuan peradaban tidak terlepas dari proses pembelajaran
makna. Sejarah sebagai acuan untuk membangun masa depan. Nilai-nilai dalam UUD 1945 menanamkan
pentingnya kehidupan yang cerdas, yang diutarakan dalam kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diartikan sebagai membangun kehidupan yang bermartabat, tidak rendah diri, dan mampu menjadi
tuan di negeri sendiri. Terdistorsinya nilai-nilai ini terlihat dari contoh yang sedang kita saksikan
sekarang ini (dan sebagian dari kita mewajarkannya pula), yaitu adanya pembodohan sosial di hadapan
kita, antara lain dengan diajukannya pandangan bahwa nation state tidak relevan lagi di dalam
globalisasi, dalam dunia yang borderless. Paham borderless world ini tentu banyak ditentang oleh
negara-negara yang lemah, namun didukung oleh negara-negara kuat yang memelihara hegemonisme
dan predatorisme. Pelaku dan korban pembodohan sosial ini tak terkecuali pula sebagian dari kaum
intelektual kita, yang sama-sama termakan oleh pola pikir atau mindset asing yang dengan sengaja ingin
menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi.

2.4 Strategi Budaya: Mutualisme dan Kerjasama Sinergis

Upaya untuk membentuk suatu mindset kebersamaan dan kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan
membangun rasa kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship), perasaan saling memiliki (shared intrerest
dan common property) perlu dikembangkan, baik yang berada di tingkat keluarga, ketetanggaan,
masyarakat luas hingga ke tingkat negara.

Demikian pula halnya, orientasi mutualisme dan kerjasama sinergis sebagai jiwa dalam UUD 1945 itu
harus menjadi titik-tolak dan landasan bagi penyusunan program-program pembangunan nasional
secara luas. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan.
Perencanaan pembangunan nasional harus pula memiliki metode dan mekanisme untuk mewujudkan
program-program atau pun proyek-proyek yang memfasilitasi terbentuknya prinsip-prinsip mutualitas
dan kebersamaan sinergis Beberapa contoh akan dikemukakan di bawah ini.

Di bidang pendidikan nasional, misalnya, penataan pola pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan
nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan yang
berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam permusuhan (dimulai dari sistem
ranking, pembedaan jenis dan kualitas sekolah, lengkap dengan istilahnya seperti sekolah unggulan dan
bukan sekolah unggulan, hingga persaingan antar sekolah yang berwujud tawuran pelajar dan
perbuatan negatif lainnya). Persaingan haruslah sebatas berlomba, bukan eksklusivisme yang
mengakibatkan renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem pendidikan nasional
harus menum buhkan pola kerjasama antar siswa, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar
yang diisi "proyek bersama" siswa dalam pembahasan materi pelajaran, atau pelaksanaan kegiatan seni-
budaya dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan kesadaran sebagai siswa sekolah
Indonesia, di manapun tempat bersekolahnya.

Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup (survival) ditentukan oleh
pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas, pendidikan
merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan identitas nasional dan
kesadaran nasional serta memformulasikan mindset bangsa. Sosialisasi dari platform nasional akan
memformulasi mindset masyarakat. Adalah suatu kecelakaan besar bahwa posisi dan peran kebudayaan
dalam pembangunan nasional telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan
ke luar Departemen Pendidikan Nasional.

Oleh karena itu kini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai lembaga
yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan
demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh untuk berperan dan mampu berdialog dengan
peradaban.

Di bidang sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki, suatu hal yang juga
penting sebagai suatu proses alamiah yang telah ikut memberikan isi kepada kesadaran nasional dan
identitas nasional adalah ketika kebersamaan memperoleh esensi persaudaraan (brotherhood) dan
keluarga luas (extended family), dengan makin meningkatnya perkawinan antarsukubangsa di tengah
masyarakat kita, yang menimbulkan perasaan saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-
masing pihak tetap memelihara identitasnya.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gudykunst dan Young Yun Kim yang menggambarkan
komunikasi yang mencerminkan mutualisme, perasaan bersama dan sinergi (togetherness) dalam
tulisan mereka, Communicating with Strangers (1997). Dalam pemahaman prinsip kebersamaan dan
kerjasama sinergi ini pula kita dapat lebih mengamati adanya primordialisme yang memperoleh makna
baru di antara masyarakat kita.

Dengan orientasi kebersamaan dan kerjasama pula, di bidang perhubungan, perlu digerakkan usaha
seluruh maskapai penerbangan nasional untuk maju bersama demi kemajuan seluruh bangsa.
Penggunaan berbagai jenis pesawat yang mampu menerobos isolasi, menjangkau pelosok tanah air yang
terpencil serta mendekatkan jarak sosial-politik dan jarak psiko-sosiokultural di dalam jarak mileage fisik.

Demikian pula dengan pembangunan industri pariwisata di berbagai pelosok tanah air. Di bidang
ekonomi, mutualisme memang dapat lebih nyata dan praktis dilaksanakan. Baru-baru ini kita telah
melihat proses mulai tumbuhnya kerjasama antar provinsi yang jauh dari pola pikir persaingan,
melainkan dilandasi oleh pola pikir kebersamaan dan mutualitas.

Di bidang hukum, kasus-kasus penggusuran yang tidak memihak rakyat dan merupakan kasus-kasus
alienasi dan marginalisasi, pelumpuhan dan pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan hal-hal
yang bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan harus segera dihentikan. Hal ini
bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia Penataan pola pikir perlu dilakukan terhadap sistem hukum yang tidak dilandasi oleh
keberpihakan dan perlindungan kepada rakyat, sebagai perwujudan dari nilai-nilai dalam Preambul UUD
1945 itu. Berbagai contoh di atas kiranya juga menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak akan berjalan
dengan baik jika pembangunan daerah tidak dilandasi oleh orientasi pola pikir kerjasama. Kebersamaan
dan kerjasama antar Pemda-Pemda di tingkat kabupaten, antar Kabupaten dan Provinsi, juga harus
beriorientasi pada pola pikir membangun seluruh bangsa Indonesia, bukan sekedar membangun rakyat
lokal. Sulit diperkirakan tentang akan tercapainya keberhasilan otonomi daerah yang masih dilandasi
oleh orientasi pola pikir persaingan (mengabaikan kerjasama) dan orientasi penguasaan (eksklusivisme
sumber daya alam dan sumber daya manusia) di antara provinsi, hanya akan mempercepat jatuhnya
bangsa lewat otonomi daerah yang tidak ditunjang oleh sikap mental mutualistik dan kerjasama demi
kesatuan bangsa.

2.5 Undang-undang yang mengatur hak-hak ekonomi, sosial dan budaya


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2005

TENTANG

PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND

CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG

HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati, menghargai,
dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia;

c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah
mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya);

d. bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada dasarnya tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sesuai dengan sifat Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia dan yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum,
dan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus memajukan dan melindungi hak asasi
manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C,
Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4026);

BAB III

Penutup

Kesimpulan

Sebagai penutup dapat diulangi di sini bahwa dalam penataan mindset untuk membentuk kebudayaan
nasional Indonesia, makalah ini mengambil titik-tolak utama sebagai awal strategis: identitas nasional
dan kesadaran nasional. Pertama, rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang harus
dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus
diberdayakan, ditingkatkan potensi dan produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya. Kedua, tanah air
Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai
Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan
intelektual kita untuk mentransformasikan kebhinekaan menjadi ketunggalikaan dalam identitas dan
kesadaran nasional. Ketiga, diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme,
kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir
persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-
sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai
bangsa. Keempat, membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada suatu strategi
kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita yang tentu
jawabannya adalah menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia
dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu
menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam
kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia. Kelima, yang kita hadapi saat ini adalah krisis
budaya. Tanpa segera ditegakkannya upaya membentuk secara tegas identitas nasional dan kesadaran
nasional, maka bangsa ini akan menghadapi kehancuran.

Kritik dan Saran


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism,
Wonder: Verso.

Danusiri, Aryo & Wasmi Alhaziri, ed. (2002). Pendidikan Memang Multikultural: Beberapa Gagasan.
Jakarta: SET.

Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur (2003). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya:
Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.
Greenfeld, Leah (2001). The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.:
Harvard University Press

Gudykunst, William B. dan Young Yun Kim (1997). Communicating with Strangers. Boston: McGraw Hill.

Kompas (2003). Presiden Canangkan Gerbang Mina Bahari?, hlm. 11 kol. 1-3, 12 Oktober.

Lustick, Ian S. (2002). ?Hegemony and the Riddle of Nationalism: The Dialectics of Nationalism and
Religion in the Middle East, Logos Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20.

Petras, James dan Henry Veltmeyer (2001). Globalization Unmasked: Imperialism in the 20 th Century.
London: Zed Books, 2001.

Smith, J.W. (2000). Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century, New York:
M.E. Sharpe.

Sulastomo (2003). Reformasi: Antara Harapan dan Realita. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas Sukubangsa.
Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

--- (1999). Reaktualisasi dan Rekontekstualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Kerangka Persatuan dan
Kesatuan Bangsa, makalah pada seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah dan
Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei.

(2000). Reaktualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Menghadapi Disintegrasi Bangsa, makalah diajukan
dalam Simposium dan Lokakarya Internasional dengan tema Mengawali Abad ke-21: Menyongsong
Otonomi Daerah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa, diselenggarakan oleh Jurnal
Antropologi Indonesia bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, di Makassar, 1-
5 Agustus 2000.

--- (2000). Kebudayaan Nasional sebagai Kekuatan Pemersatu Bangsa, makalah dalam Seminar Sehari
tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Sumpah Pemuda dan Bhineka Tunggal Ika, diselenggarakan oleh DPP
Badan Interaksi Sosial Masyarakat (DPP-BISMA) di Jakarta, 25 November.

--- (2002). Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata Menjelang AFTA 2002, Perencanaan
Pembangunan. Januari-Maret 2003, hlm. 10-15.

--- (2003). Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan Globalisasi dan Demokratisasi,
makalah diajukan dalam Seminar Nasional Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan
Globalisasi dan Demokratisasi, diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FISIP-UI di Depok, 30-31 Januari.

--- (2003). Membangun Kebudayaan Nasional, majalah Perencanaan Pembangunan, No.31, April-Juni
2003, hlm. 42-48.

--- (2003). Masalah Psikososial, Pandangan Masyarakat tentang Kesehatan Jiwa, dan Membangun Jiwa
Bangsa, makalah diajukan pada Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa II di Jakarta, 9-11 Oktober.

Swasono, S.E. (2003). Pluralisme, Mutualisme dan Semangat Bersatu: Mempertanyakan Jatidiri Bangsa,
makalah utama diajukan pada Dies Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 25 Februari
2003.

Anda mungkin juga menyukai