Anda di halaman 1dari 61

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

Kelompok 1B

Anastacia T.V. Doda 16061110


Staysi C. Kaseger 16061095
Angelin V.F Lamogia 16061139
Militia C. Sondakh 16061159
Joner Morigol

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE

MANADO

2020

LAPORAN PENDAHULUAN
Open Pneumotoraks
A. Definisi
Menurut Willimas (2013) pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya
udara di rongga pleura akibat robeknya pleura visceral dan hal ini dapat terjadi
spontan ataupun karena adanya trauma yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses
pengembangan paru.
Open pneumotoraks merupakan adanya luka terbuka yang cukup besar di
toraks sehingga memungkinkan udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks
dengan mudah (American College of Surgeons Commite on Trauma, 2005).
Menurut Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah vol. 1 edisis 8, open
pneumotoraks adalah terdapat lubang yang cukup besar di dinding dada sehingga
menyebabkan udara dapat mengalir dengan bebas dan masuk keluar rongga toraks
bersamaan dengan saat upaya pernapasan.
B. Etiologi
Open pneumotoraks disebabkan oleh trauma tembus dada. Trauma tembus
dada berdasarkan kecepatannya dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
1. Luka tusuk, umumnya dianggap kecepatan rendah karena senjata (benda yang
menusuk atau yang mengenai dada). Luka tusuk kebanyakan disebabkan oleh
tusukan pisau dank arena patahan iga yang mengarah kedalam sehingga
merobek pleura parientalis dan viseralis.
2. Luka tembak pada dada dikelompokkan menjadi kecepatan rendah, sedang dan
tinggi. Faktor yang menentukan kecepatan dan keluasan kerusakan, yaitu jarak
darimana senjata ditembakkan, kaliber senjata, konstruksi dan ukuran peluru.
Peluru yang menembus dada dapat mengakibatkan udara mengalir bebas keluar
masuk rongga toraks.
C. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ada sangat bervariasi, tergantung jumlah udara yang
masuk ke dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps.
Gejala berupa :
 Nyeri dada yang timbul secara tiba-tiba dan semakin nyeri jika penderita
menarik napas atau batuk
 Sesak napas
 Dada terasa sempit
 Denyut jantung yang cepat
 Sianosis akibat kurangnya oksigen
 Takanan dara rendah
D. Anatomi dan Fisiologi
Dinding toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, dimana pada
bagian bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih
panjang dari pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru - paru dan
mediastinum. Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua
paru - paru. Di dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu;
sistem pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada
yaitu; esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe (Ombregt,
2013).
Tulang - tulang yang elastis dan otot - otot pernapasan menyokong dan
mengelilingi rongga toraks. Tiga dari bagian ruangan kompartemen ditempati oleh
dua buah paru - paru dengan lima segmennya yang terhubung oleh struktur
vaskuler kearah pusat kompartemen kardiovaskuler. Sebagai tambahan, trakea dan
bronkus menghubungkan paru - paru dan pharynk, dan beberapa saraf di dalam
rongga toraks. ( Ombregt, 2013 ).
Dinding toraks terdiri dari elemen tulang dan otot – otot. Bagian posterior
disusun oleh dua belas tulang vertebrae toraks. Bagian lateral dibentuk oleh tulang
costa ( masing – masing 12 pada setiap sisi ) dan 3 lapisan dari otot – otot datar
yang membentang pada ruang intercosta antara tulang osta yang berdeekatan,
menggerakkan kosta dan memberikan kekuatan pada ruang interkosta.Bagian
depan dibatasi oleh sternum yang terdiri dari manubrium sternum, body sternum
dan processus xiphoideus. (Drake, et al., 2010; Assi & Nazal, 2012; Hansen,
2014).
E. Patofisiologi
Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Hal ini
disebabkan karena kecenderungan paru untul kolaps (elastic recoil) dan dada yang
cenderung mengembang. Bila terjadi hubungan natar alveol atau ruang udara
intrapulmoner lainnya (kavitas, bulla) dengan rongga pleura oleh sebab apapun,
maka udara akan mengalir dari alveoli ke rongga pleura sampai terjadi
keseimbangan tekanan atau hubungan tersebut tertutup. Serupa dengan hal ini,
maka bila ada hubungan antara udara luar dengan rongga pleura melalui dinding
dada, udara akan masuk ke rongga pleura sampai perbedaan tekanan menghilang
atau hubungan menutup. Perubahan patofisiologi yang terjadi pada dasarnya
diakibatkan oleh, kegagalan ventilasi, kegagalan pertukaran gas pada tingkat
alveolar dan kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik serta ketiga hal
ini dapat menyebabkan hipoksia.
F. Penatalaksanaan
Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien
trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of
cervical spine, B: Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability
assessment, dan E: Exposure without causing hypothermia (Saaiq, et al., 2010;
Lugo, et al., 2015; Unsworth, et al., 2015).
Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harus
dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi yang
mengancam nyawa dengan segera, seperti obstruksi jalan napas, tension
pneumotoraks, pneuomotoraks terbuka, hemotoraks masif, tamponade perikardial,
dan flail chest yang besar. Begitu kondisi - kondisi yang mengancam nyawa sudah
ditangani, maka pemeriksaan sekunder dari kepala hingga kaki yang lebih
mendetail disertai secondary chest survey harus dilakukan. Pemeriksaan ini akan
fokus untuk medeteksi kondisi - kondisi berikut: kontusio pulmonum, kontusi
miokardial, disrupsi aortal, ruptur diafragma traumatik, disrupsi trakeobronkial,
dan disrupsi esofageal (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015).
Penatalaksanaan medik pada open pneumotoraks, yaitu :
 Pemasangan kassa oklusif 3 sisi
 Torakostomi dan WSD (Water Seal Drainase)
G. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan yang dibutuhkan adalah :
1. Rontgen Toraks, menyatakan akumulasi udara atau cairan pada area pleura,
dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung)
2. Gas Darah Arteri (GAD), variabel tergantung dari derajat fungsi paru oleh
gangguan makanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi PaCO2
kadang meningkat, normal bahkan menurun dan sarurasi O2 bisa menurun
3. Torasentesis, menyatakan darah atau cairan serosanginosa
4. Hb, menunjukan kehilangan darah
H. Asuhan Keperawatan

ASESMEN TRIASE

Tanggal Kunjungan : 12/08/2020 Jam : 13.00


Alasan masuk: Kecelakaan Lalu Lintas
PENGKAJIAN :
Jalan nafas : Terdapat bbstruksi jalan nafas (snoring +)
Pernafasan : Distres Napas Berat
Sirkulasi : Gangguan Hemodinamik ringan
Kesadaran : GCS 3
Nyeri : Pasien tidak sadarkan diri
Kondisi Mental : Tidak Kooperatif
Resiko Penularan Infeksi : Beresiko penularan infeksi
Diteruskan Kepada : Label Merah

Petugas Triase

Militia C. Sondakh
ASESMEN AWAL PASIEN RAWAT DARURAT
DIISI OLEH PERAWAT
Pasien datang diantar oleh : Teman
Rujukan dari : bukan korban rujukan
Dikirim oleh polisi :-
Macam Kasus : KLL
Cara bayar : BPJS
DIISI OLEH DOKTER
Keluhan utama :Penurunan Kesadaran
Subjektif : GCS 3, terdapat snoring, pasien tidak sadarkan diri,
terdapat raccoon eyes dan beatle sign, adanya tanda-
tanda syok (akral dingin dan nadi dalam lemah, sianosis)
hematom perineum, adanya open pneumotoraks
DIISI OLEH PERAWAT
OBJEKTIF
BB : 50 TB : 150
TTV : TD 110/80 mmHg N : 90x/m RR :29x/m SB :
36,5
CRT : > 2 detik
Alergi : Tidak ada
Pengkajian Nyeri :Pasien tidak sadarkan diri
Tekanan Intrakranial :-
Pupil : Normal
Neurosensorik Muskuloskeletal : kerusakan jaringan / luka, penurunan tingkat
kesadaran
Integumen : lecet, luka terbuka di dinding dada
Turgor Kulit : menurun
Edema :-
Pendarahan : jumlah = 650 ml
Intoksinasi :-
Eliminasi : BAB 1 x24 jam Konsistensi = padat Warna=coklat
BAK 5 x24jm warna = kuning lain-
lain=

Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi Gawat Darurat


Tgl / Metode Pemecahan Masalah Tanda tangan
jam SOAP (Subjek, Objek, Assesment, Planning)
Subjektif :
13.00 Pasien tidak sadarkan diri, terdapat suara snoring, terdapat (Theresia)
raccoon eyes, beatle sign, dan terdapat luka terbuka di
rongga dada sinistra
13.00 Objektif : (Theresia & Mili)
GCS 3, TTV : Nadi : 90x/m, RR: 29x/m, TD :
110/80mmHg.

Airway :
13.02 Subjektif :
Bunyi snoring (+) (Steisy)
Pasang Neck collar
OPA terpasang
Oksigen terpasang NRM 12 liter

Breathing
13.02 Subjektif : (Virjin)
Open pneumothoraks pada thoraks sinistra
Kasa oklusif 3 sisi terpasang

Circulatioan
10.02 Subjektif : (Joneas)
Akral teraba dingin , nadi cepat lemah dan sianosis
Objektif :
CRT > 2 dtk
Terpasang infus 2 line, cairang RL, sudah dihangatkan,
diguyur, iv cath 16, sudah diambil darah untuk
pemeriksaan HB serial

Disability
10.03 Penilaian GCS (Steisy)
E:3
V:3
M:5
Total = 11
Reflek Pupil : Normal (Isokor Kiri/Kanan)

Exposure (Theresia, virjin,


13.04 Logroll Joneas & Steisy)
Tidak ada pendarahan dan jejas
Folley Kateter
13.04 Subjektif : (Virgin)
Ada kontraindikasi (Hematom perineum)
Gatricup
13.04 Subjektif : (Joneas)
Ada kontraindikasi NGT (raccoon eyes dan beatle sign)
Ogt terpasang

Heart Monitor (Steysi)


13.04 Heart Monitor Terpasang
(Sinus rythem)

Secondary Survey dilakukan setelah pasien stabil


Penilaian GCS
13.05 E:4
V:4
M:5 (Theresia)
Total = 13
K:-
O : Tidak mengkomsumsi obat
M : Nasi Padang
P :-
A : tidak ada alergi obat
K : korban terserempet mobil, dan terlempar kurang lebih
1 meter.

TTV : N : 92x/m SB : 36,6 R : 20x/m TD : 110/80 (Joneas)


LAPORAN PENDAHULUAN

Gangguan Thoraks Flail Chest

I. Definisi

Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang
mengenai dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada
pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma tumpul maupun oleh sebab
trauma tajam.
Flail Chest adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur
iga multipel berturutan (3 iga), dan memiliki garis fraktur = 2 (segmented) pada tiap
iganya.Akibatnya adalah terbentuknya area "flail" yang akan bergerak paradoksal
(kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak
masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi

Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang berdekatan patah
baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral. Angka kejadian
dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab yang paling
sering. Diagnosis flail chest didapatkan berdasarkan 27 pemeriksaan fisik, foto Toraks,
dan CT scan Toraks (Wanek & Mayberry, 2004; Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al.,
2015).
Flail chest adalah keadaan dimana beberapa atau hampir semua kostae patah,
biasanya di sisi kanan kiri dada yang menyebabkan pelepasan bagian depan dada
sehingga tidak bisa lagi menahan tekanan negative waktu inspirasi dan malahan bergerak
kedalam waktu inspirasi. (Northrup,Robert S.1989)
Flail chest adalah suatu keadaan apabila dua iga berdekatan atau lebuh mengalami
fraktur pada dua tempat atau lebih. Bila fraktur terjadi pada dua sisi maka stabilitas
dinding dada lebih besar dan kurang mengancam ventilasi daripada bila terjadi pada satu
sisi.(Baswick,John A.1988).

J. Etiologi
Flail chest merupakan salah satu dari bentuk trauma toraks. Penyebab dari trauma
thoraks adalah kecelakan tabrakan mobil atau terjatuh dari sepeda motor. Pasien mungkin
tidak segera mencari bantuan medis, yang selanjutnya dapat mempersulit masalah
(Brunner & Suddarth, 2002).
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul 65% dan trauma
tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma toraks tersering adalah kecelakaan
kendaraan bermotor (63-78%) (Saaiq, et al., 2010). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada
lima jenis benturan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan
terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang
lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks
oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu
berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti tembakan pistol, dan
berenergi tinggi seperti pada tembakan senjata militer. Penyebab trauma toraks yang lain
11 adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru - paru yang bisa menyebabkan
Pneumotoraks seperti pada aktivitas menyelam (Saaiq, et al., 2010). Trauma toraks dapat
mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan sternum, rongga pleura saluran nafas
intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini dapat terjadi tunggal ataupun kombinasi
tergantung dari mekanisme cedera (Gallagher, 2014).
Flail Chest berkaitan dengan trauma thorak, yang dapat disebabkan oleh:
1. Trauma Tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain:
Kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau jatuh
pada
lantai yang keras atau akibat perkelahian.
2. Truma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa: Luka tusuk dan luka
tembak
3. Disebabkan bukan trauma
Yang dapat mengakibatkan fraktur costa adalah terutama akibat gerakan yang
menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena adanya gerakan
yang
berlebihan dan stress fraktur,seperti pada gerakan olahraga: Lempar martil, soft ball,
tennis,
golf.
K. Anatomi Fisiologi

Dinding toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, dimana pada bagian
bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari
pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru - paru dan mediastinum.
Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua paru - paru. Di dalam
rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu; sistem pernapasan dan
peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada yaitu; esophagus, paru, hati,
jantung, pembuluh darah dan saluran limfe (Ombregt, 2013).
Tulang - tulang yang elastis dan otot - otot pernapasan menyokong dan mengelilingi
rongga toraks. Tiga dari bagian ruangan kompartemen ditempati oleh dua buah paru -
paru dengan lima segmennya yang terhubung oleh struktur vaskuler kearah pusat
kompartemen kardiovaskuler. Sebagai tambahan, trakea dan bronkus menghubungkan
paru - paru dan pharynk, dan beberapa saraf di dalam rongga toraks. ( Ombregt, 2013 ).
Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum,
dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir di 12 anterior dalam segmen
tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang kosta berfungsi melindungi
organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru, hati dan Lien seperti gambar 2.1 dan
gambar 2.2. ( Drake, et al., 2010; Hansen, 2014)
Dinding toraks terdiri dari elemen tulang dan otot – otot. Bagian posterior disusun
oleh dua belas tulang vertebrae toraks. Bagian lateral dibentuk oleh tulang costa ( masing
– masing 12 pada setiap sisi ) dan 3 lapisan dari otot – otot datar yang membentang pada
ruang intercosta antara tulang osta yang berdeekatan, menggerakkan kosta dan
memberikan kekuatan pada ruang interkosta.Bagian depan dibatasi oleh sternum yang
terdiri dari manubrium sternum, body sternum dan processus xiphoideus. (Drake, et al.,
2010; Assi & Nazal, 2012; Hansen, 2014).

L. Patofisiologi

Flail chest, adanya pertahanan pada dua segmen koste atau lebih akan mengganggu
keseimbangan dalam pernafasan. Bila segmen thorak mengembang bebas, maka akan
terdorong bebas ke dalam oleh tekanan atmosfer biasa yang mengurangi kemampuan paru
untuk berekspansi pada saat inspirasi. Akibatnya oksigen yang masuk dalam paru akan
mengalami penurunan, jika hal ini terjadi, selanjutnya peredaran oksigen dalam darah
akan menurun, pada saat ekspirasi, tekanan paru yang meningkat akan mendorong udara
keluar paru, tapi segmen hasil yang telah kehilangan integrasinya akan menonjol keluar
sehingga kesanggupan sangkar toraks mendorong udara keluar dari paru akan berkurang.
Hal ini juga disebabkan karena sebagian karbondioksida pada paru yang tidak mengalami
trauma, masuk kedalam paru yang menonjol pada daerah flail chest.Karbondioksidapun
terakumulasi pada bagian yang fraktur dan volume udara ekspirasi
berkurang.Terakumulasinya karbondioksida pada paru mengakibatkan suatu keadaan
asidosis respiratori. Pada pasien flail chest,pada saat inspirasi, paru-paru akan
menggencet jantung, membatasi pompa hjantung sehingga CO menurun dan aliran darah
ke seluruh tubuh menjad berkurang.
M. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang biasanya tampak untuk menegakkan diagnosa flail Chest
adalah:
1. Tampak adanya gerakan paradoksal segmen yang mengambang, yaitu pada saat
inspirasi ke dalam, sedangkan pada saat ekspirasi keluar. Keadaan ini tidak akan tampak
pada klien
yang menggunakan ventilator.
2. Sesak nafas
3. Takikardi
4. Sianosis
5. Akral dingin
6. Wajah pucat
7. Nyeri hebat dibagian dada karena terputusnya integritas jaringan parenkim paru.

Biasanya karena ada pembengkakan jaringan lunak di sekitar dan terbatasnya gerak
pengembangan dinding dada, deformitas, dan gerakan paradoksal flail chest yang ada
akan tertutupi. Pada mulanya, penderita mampu mengadakan kompensasi terhadap
pengurangan cadangan respirasinya. Namun bila terjadi dan penurunan daya
pengembangan paru-paru akan terjadi anoksia berat, hiperkapnea, dan didapat akral
dingin positif dan wajah yag pucat  karena oksigen aliran darah ke daerah perifer
berkurang akibat penurunan ekspansi paru..Pda pasien flail chest akan didpat nyeri yang
hebat karen terputusnya inegritas jaringan
5.   Pemeriksaanbpenunjang
1.   Radiologi=Xfotothoraks
2.   BloodGaAnalys(BGA)
•   PaCoO2=menurun
•    Pa O2 = normal/menurun
N. Penatalaksanaan

Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien trauma
lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of cervical spine, B:
Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability assessment, dan E: Exposure
without causing hypothermia (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015; Unsworth, et al.,
2015).
Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harus
dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi yang
mengancam nyawa dengan segera, seperti obstruksi jalan napas, tension Pneumotoraks ,
pneuomotoraks terbuka yang masif, hemotoraks masif, tamponade perikardial, dan flail
chest yang besar. Begitu kondisi - kondisi yang mengancam nyawa sudah ditangani,
maka pemeriksaan sekunder dari kepala hingga kaki yang lebih mendetail disertai
secondary chest survey harus dilakukan. Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi
kondisi - kondisi berikut: kontusio pulmonum, kontusi miokardial, disrupsi aortal, ruptur
diafragma traumatik, disrupsi trakeobronkial, dan disrupsi esofageal (Saaiq, et al., 2010;
Lugo, et al., 2015).
Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi utama untuk
intubasi endotrakeal darurat. Resusitasi cairan intravena merupakan terapi utama dalam
menangani syok hemorhagik. Manajemen nyeri yang efektif 31 merupakan salah satu hal
yang sangat penting pada pasien trauma toraks. Ventilator harus digunakan pada pasien
dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan takipnea berat atau ancaman gagal napas. Ventilator
juga diindikasikan pada pasien dengan kontusio paru berat, hemotoraks atau
penumotoraks, dan flail chest yang disertai dengan gangguan hemodinamik (Saaiq, et al.,
2010; Lugo, et al., 2015).
Tindakan stabilisasi yang bersifat sementara terhadap dinding dada akan sangat
menolong penderita, yaitu dengan menggunakan towl-clip traction atau dengan
menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah dengan pembedahan. Takipnea, hipoksia,
dan hiperkarbia merupakan indikasi untuk intubasi endotrakeal dan ventilasi dgn tekanan
positif.
Stabilisasi eksternal dapat dilakukan dengan merekatkan bantalan, gulungan pakaian atau
kantong IV diatas segmen yang longgar sehingga ia dipertahankan di dalam. Maka
gerakan keluar menjadi tidak mungkin.Sedangkan stabilitas internal dengan memasang
pipa endotrakea yang memberi fentilasi tekanan positif.
O. Komplikasi

Gagal nafas yang disebabkan oleh adanya ineffective air movement (Tidak efektifnya
pertukaran gas), yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri.
P. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan yang dibutuhkan adalah
1. Rontgen Standar
- Rontgen thorak anteroposterior dan lateral dapat menunjukkan jumlah dan tipe costae
yang mengalami fraktur
- Pada pemeriksaan foto thorak pada pasien dewasa dengan trauma tumpul thoraks,
adanya gambaran hematothoraks, pneumotoraks, dan kontusio pulmo menunjukkan
hubungan yang kuat dengan gambaran fraktur kosta.
2. EKG
3. Monitor laju nafas, Analisis Gas Darah (AGD)
4. Pulse Oksimetr

Asuhan Keperawatan
1. Asesment Triase

Tuan S, usia 45 tahun datang pada 12 agustus 2020 (10.20 WITA), datang dengan
keluhan kecelakaan kerja. Rekan kerja yang membawanya ke rumah sakit megatakan
dada korban terhantam besi. Dari pemeriksaan. Pengkajian jalan nafas didapati jalan
nafas paten, pernapasan dengan distress napas sedang dengan bunyi snooring, pada
bentuk dada tampak tidak simetris, teraba adanya kerepitasi, dan fraktur iga. sirkulasi
terdapat gangguan hemodinamik ringan dengan akral teraba dingin, crt >2 dtk, keringat
dingin, gelisah, dengan kesadaran GCS = 12, nyeri berat dengan sjkala nyeri 9, kondisi
korban kooperatif, tidak terdapat resiko batuk 2 minggu dengan demam dan sesak, tidak
terdapat resiko infeksi penularan airbone disease, non- infeksius. Label triase KUNING.
2. Asesment Awal Pasien Rawat Gawat

Korban datang diantar oleh Rekan kerja ke rumah sakit dengan megatakan keluahan
dada korban terhantam besi. Dengan kasus Kecelakaan kerja. Cara bayar yang digunakan
menggunakan BPJS.
Keluhan Utama : Nyeri Dada hebat akibat terhantam besi saat bekerja. Dicurigai Flail
Chest.
Pemeriksaaan objektif :
TTV : didapat nadi 120 kali/menit, tekanan darah 150/110mmHg, RR: 26 kali/menit
dan Suhu 36oC. Tidak terdapat Alergi, korban tampak pucat, dan pada bagian dada
sebelah kanan tampak seperti cambukan. korban mengatakan nyeri hebat pada bagian
yang sakit, nyeri bertambah saat korban dipindah posisikan, berbicara dan brnafas. Nyeri
berkurang saat korban menahan nafas. Skala nyeri 9. Wajah korban terlihat menyeringai
menahan sakit. Pupil Normal. Turgor kulit menurun. Tampak odem dan memar pada
daerah yang sakit. Terdapat retraksi intercoste saat bernafas, adanya nyeri sentuh dan
akral dingin +. korban mengatakan mengalami kesulitan bernafas dan gelisah dengan
keadaannya. Perdarahan (-), Intoksikasi (-), Eliminasi BAB : (-) BAK : (-).

ASESMEN AWAL PASIEN RAWAT DARURAT


DIISI OLEH PERAWAT
Pasien datang diantar oleh : rekan kerja
Rujukan dari : bukan korban rujukan
Dikirim oleh polisi :-
Macam Kasus : kecelakaan kerja
Cara bayar : BPJS
DIISI OLEH DOKTER
Keluhan utama : Nyeri dada akibat terhantam besi
Subjektif : GCS 12, terdapat snoring, pasien sesak napas,
DIISI OLEH PERAWAT
OBJEKTIF
BB : 65 TB : 168
- TTV : TD 150/110 mmHg N : 120x/x/m RR : 26x/m SB : 36

Alergi : Tidak ada

Pengkajian Nyeri : Nyeri berat dengan Skala Nyeri 9


Tekanan Intrakranial :-
Pupil : Normal
Neurosensorik Muskuloskeletal : -,
Integumen : lecet
Turgor Kulit : menurun
Edema :-
Pendarahan :-
Intoksinasi ;-

Eliminasi : BAB - x24 jam Konsistensi = -


Warna=
BAK - x24jm warna = - lain-
lain=

Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi Gawat Darurat


Tgl / Metode Pemecahan Masalah Tanda tangan
jam SOAP (Subjek, Objek, Assesment, Planning)
12/ 08/ Subjektif :
2020 - korban datang dengan keluhan nyeri dada akibat (steysi)
10.20 kecelakaan kerja terhantam besi, tampak sesak
napas, bunyi napas snoring dengan, dengan
pengembangan dada tidak simetris dan tampak
seperti cambukan.
(steysi)
Objektif :
10.20 GCS 12 cidera kepala ringan
TD 150/110 mmHg N : 120x/x/m RR : 26x/m SB :
36

10.22 Airway : (Joneas)


Bunyi snoring (+)
Pasang Neck collar
OPA terpasang

10.22
Breathing
- Terdapat jejas, pengembangan dada tidak simetris, (angelin)
terdapat bunyi unvesikuler, dan hipersonor,
terdapat krepitasi dan teraba fraktur iga dicurigai
flail chest. : dipasangkan O2 8lt/ menit dan
pasangkan towel crip traction

Circulatioan
10.22 - Korban tampak gelisah, CRT > 2 detik, keringat
dingin, akral teraba dingin dan terdapat gangguan (militia)
hemodinamik ringan : terpasang infus 2 line , IV
cath 16, cairan RL yang telah di hangatkan, di
guyur, dan telah diambil darah untuk pemeriksaan
HB Serial.

Disability (angelin)
10.22 Penilaian GCS
E:4
V:4
M:4
Total = 12
Reflex cahaya isokor (staysi, militia,
10.23 joneas)
Exposure
Logroll
Tidak ada pendarahan dan jejas (virjin)
10.24
Folley Kateter
Kateter urin terpasang (tidak ada kontraindikasi)
Gatricup
Ogt terpasang (militia)
10.24
Heart Monitor
Heart Monitor Terpasang
(Sinus rythem)
(militia, virjin
10.24 Secondary Survey dilakukan setelah pasien stabil joneas)
K : Nyeri Pada thoraks dextra
O: -
10.25 M : ayam lalapan
P: - (angelin)
A: tidak ada
K: korban sedang bekerja dan terpeleset jatuh sehingga
10-26 mengenai besi debawahnya (militia)

TTV : N : 95x/m SB : 36,6 R : 18x/m TD : 100/80 (joneas)

10.26 Penilaian GCS


E:4
V:5
M:5
10.27 Total = 14 (militia)

P : - monitor TTV
- Monitor tanda-tanda syok
- Kolaborasikan dengan dokter jaga untuk
pemeriksaan foto rongent pada thoraks, dan
pemberian analgesic.
- Pindahkan korban pada ruangan perawatan
- Evaluasi kembali tanda-tanda syok.
LAPORAN PENDAHULUAN
TENSION PNEUMOTHORAKS
1. PENGERTIAN

Pneumotoraks merupakan keadaan emergensi yang disebabkan oleh


akumulasi udara dalam rongga pleura, sebagai akibat dari proses penyakit atau
cedera. sedangkan tension pneumotoraks merupakan medical emergency dimana
akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas.
Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum
secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan.
Tension pneumothoraks adalah pengumpulan penimbunan udara di ikuti
peningkatan tekanan di dalam rongga pleura. kondisi ini terjadi bila salah satu
rongga paru terluka, sehingg audara masuk ke rongga pleura dan udara tidak bisa
keluar secara alami. kondisi ini bisa dengan cepat menyebabkan terjadinya
insufisiensi pernapasan, kolaps kardiovaskuler, dan, akhirnya, kematian jika tidak
dikenali dan ditangani. hasil yang baik memerlukan diagnosa mendesak dan
penanganan dengan segera. Tension pneumothoraks adalah diagnosa klinis yang
sekarang lebih siap dikenali karena perbaikan di pelayanan-pelayanan darurat
medis dan tersebarnya penggunaan sinar-x dada.
Tension Pneumothoraks adalah suatu pneumothoraks yang progresif dan cepat
sehingga membahayakan jiwa pasien dalam waktu yang singkat. udara yang
keluar masuk paru masuk kerongga pleura dan tidak dapat keluar lagi sehingga
tekanan pleura terus meningkat. (Arief Manjoer, Selekta Kapita, 2000)
2. ETIOLOGI
Etiologi Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena
iatrogenik atau berhubungan dengan trauma. yaitu, sebagai berikut :
a) Trauma benda tumpul atau tajam : meliputi gangguan salah satu pleura
visceral atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk (patah tulang
rusuk tidak menjadi hal yang penting bagi teradinya Tension
Pneumotoraks)
b) Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat),
biasanya vena subclavia atau vena jugular interna (salah arah kateter
subklavia).
c) Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, Pneumotoraks sederhana
ke Tension Pneumotoraks.
d) Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke pneumothoraks
sederhana di mana fungsi pembalut luka sebagai I-way katup.
e) Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan
pneumothoraks.

3. TANDA DAN GEJALA


Tanda-tanda dan geJala pada trauma thorak :
a) Ada jejas pada thorak.
b) Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi.
c) Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi.
d) Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
e) Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan.
f) Penurunan tekanan darah.

4. PATOFISIOLOGI
Tension Pneumothoraks atau Pneumothoraks Ventiel, terJadi karena
mekanisme check valve yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke dalam rongga
pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak dapat keluar.
Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura akan meningkatkan dan
melibihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat
menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal nafas.
Tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis lebih hebat,
mediastinum tergeser kesisi lain dan mempengaruhi aliran darah vena ke atrium
kanan. Pada foto sinar tembus dada terlihat mediastinum terdorong kearah
kontralateral dan diafragma tertekan kebawah sehingga menimbulkan rasa sakit.
keadaan ini dapat mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus
segera ditangani kalau tidak akan berakibat fatal.

5. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari tanda dan gejala yang muncul pada tension pneumothoraks
penting sekali untuk mendiagnosa dan mengetahui kondisi pasien. manifestasi
awal: nyeri dada, dispnea, ansietas, takipnea, takikardi, hipersonor dinding dada
dan tidak ada suara napas pada sisi yang sakit. manifestasi lanjut : tingkat
kesadaran menurun, trachea bergeser menuju ke sisi kontralateral, hipotensi,
pembesaran pembuluh darah leher/ vena jugularis (tidak ada jika pasien sangat
hipotensi) dan sianosis.). Berikut adalah keadaan atau kelainan akibat trauma
toraks yang berbahaya dan mematikan bila tidak dikenali dan ditatalaksana
dengan segera : dispnea, hilangnya bunyi napas, sianosis, asimetri toraks,
mediastinal shift.

6. PENATALAKSANAAN
Tindakan penyelamatan hidup yang cepat, lakukan disinfeksi kulit disela iga ke-2
dari garis midklavikuler yang terkena tusuk benda tajam. lalu dengan jarum suntik
steril dilakukan pungsi dan dibiarkan terbuka. Secepat mungkin lakukan tube
torakostomi karena sangat mungkinakan terjadi tension pneumothotarks lagi
sesudah paru mengembang. namun pada prinsipnya, dapat dilakukan tindakan
sebagai berikut :
a) Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara
umum (primary survey : secondary survey).
b) Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara
konsekutif (berturutan).
c) Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien
stabil), adalah : portable X-ray, portable blood eXamination, portable
bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan
memindahkan pasien dari ruang emergency.
d) Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi
terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan
melakukan tindakan penyelamatan nyawa.
e) Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan
bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
f) Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah
memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
g) Oleh karena langkah-langkah aWal dalam primary survey (airway,
breathing, circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik ilmu bedah
Toraks kardiovaskular, sebaiknya setiap yang memiliki trauma unit/center
memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.
h) Bullow drainage / WSD
Pada trauma toraks dan tension pneumothoraks, WSD dapat berarti
Diagnostik :
menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga
dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita
jatuh dalam shock.
Terapi :
mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga “mechanis of breathing”
dapat kembali seperti yang seharusnya.
Preventive:
mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
Emechanis of breathing tetap baik.
Perawatan WSD dan pedoman latihanya:
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
b. Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti
verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang
menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori
waktu menyeka tubuh pasien.
c. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. untuk rasa sakit
yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
Dalam peraWatan yang harus diperhatikan :
a. Penetapan slang.
Slang diatur senyaman mungkin, sehingga slang yan dimasukkan
tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di
bagian masuknya slang dapat dikurangi.
b. Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal
kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan
pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan,
atau menaruh bantal di baWah lengan atas yang cedera.
c. Mendorong berkembangnya paru-paru
i) Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500-800 cc. jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi.
jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara
bersamaan keadaan pernapasan.
ASESMEN TRIASE

Tanggal Kunjungan : 12/08/2020 Jam : 10.00


Alasan masuk: kecelakaan Lalu Lintas
PENGKAJIAN :
Jalan nafas : terdapat Obstruksi jalan nafas
Pernafasan : Distres Napas Berat
Sirkulasi : Gangguan Hemodinamik ringan
Kesadaran : GCS 5
Nyeri : Berat
Kondisi Mental : Tidak Kooperatif
Resiko Penularan Infeksi : Tidak beresiko penularan airbone disease
Diteruskan Kepada : Label Merah

Petugas Triase

STEYSI M. KASEGER
ASESMEN AWAL PASIEN RAWAT DARURAT
DIISI OLEH PERAWAT
Pasien datang diantar oleh : Teman
Rujukan dari : bukan korban rujukan
Dikirim oleh polisi :-
Macam Kasus : KLL
Cara bayar : BPJS
DIISI OLEH DOKTER
Keluhan utama :Penurunan Kesadaran
Subjektif : GCS 5, terdapat snoring, pasien sesak napas, terdapat
raccoon eyes dan beatle sign.
DIISI OLEH PERAWAT
OBJEKTIF
BB : 49 TB : 149
TTV : TD 80/80 mmHg N : 100x/m RR :29x/m SB :
36,5
Alergi : Tidak ada

Pengkajian Nyeri : Pasien tidak kooperatif


Tekanan Intrakranial :-
Pupil : Normal
Neurosensorik Muskuloskeletal : kerusakan jaringan / luka, penurunan tingkat
kesadaran,
Integumen : lecet
Turgor Kulit : menurun
Edema :-
Pendarahan : jumlah = 650 ml
Intoksinasi ;-

Eliminasi : BAB 1 x24 jam Konsistensi = padat


Warna=coklat
BAK 5 x24jm warna = kuning
lain-lain=

Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi Gawat Darurat


Tgl / Metode Pemecahan Masalah Tanda tangan
jam SOAP (Subjek, Objek, Assesment, Planning)
Subjektif :
10.20 Pasien mengalami sesak nafas, terdapat suara snoring, (steysi)
terdapat raccoon eyes, beatle sign, dan terdapat luka
terbuka tibia dextra
10.20 (steysi)
Objektif :
GCS 5, Nadi : 100x/m, RR: 29x/m, TD : 80/80mmHg.
Airway :
10.22 Bunyi snoring (+) (Joneas)
10.22 Pasang Neck collar (joneas)
OPA terpasang
10.22
Breathing (virjin)
Oksigen terpasang simple mask 8 liter
10.22 Open pneumothoraks pada thoraks dextra
Kasa oklusif 3 sisi terpasang (virjin)

Circulatioan
10.23 Terpasang infus 2 line, cairang RL, sudah dihangatkan, (Theresia)
diguyur, iv cath 16, sudah diambil darah untuk
pemeriksaan HB serial
Akral teraba dingin
10.24 Nadi cepat dan dangkal
CRT > 2 dtk (virjin)

Disability
Penilaian GCS
10.24 E:3
V:2 (militia)
M:4
Total = 9
Reflex cahaya isokor

Exposure (militia, virjin


10.24 Logroll joneas)
Tidak ada pendarahan dan jejas

10.25 Folley Kateter


Kateter urin terpasang (tidak ada kontraindikasi) (theresia)
10-26 Gatricup
Ogt terpasang
(militia)

10.26 Heart Monitor (joneas)


Heart Monitor Terpasang
(Sinus rythem)

10.27 Secondary Survey dilakukan setelah pasien stabil


K : Nyeri Pada thoraks dextra (steysi)
O: -
M : kfc
P: -
A: tidak ada
K: korban terserempet mobil, dan terlempar kurang lebih
1 meter.

TTV : N : 95x/m SB : 36,6 R : 18x/m TD : 100/80 (steysi)


10.27 Penilaian GCS
E:4 (militia)
V:3
M:5
Total = 12
LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERTENSI EMERGENCY

A. Pengertian hipertensi emergensi


Hipertensi emergensi adalah keadaan gawat medis ditandai dengan tekanan
darah sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan
organ target akut (Aronow, 2017).
Hipertensi emergensi juga didefinisikan sebagai peningkatan berat pada
tekanan darah (> 180/120 mmHg) yang terkait dengan bukti kerusakan organ
target yang baru atau memburuk (Whelton et al., 2017).
Hipertensi emergensi ditandai oleh peningkatan tekanan darah sistolik atau
diastolik atau keduanya, yang terkait dengan tanda atau gejala kerusakan organ
akut (yaitu sistem saraf, kardiovaskular, ginjal). Kondisi ini memerlukan
pengurangan tekanan darah segera (tidak harus normalisasi), untuk melindungi
fungsi organ vital dengan pemberian obat antihipertensi secara intravena (Cuspidi
and Pessina, 2014).
Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah utama dan sering
mendadak, terkait dengan disfungsi organ target progresif dan akut. Hal ini dapat
terjadi sebagai kejadian serebrovaskular akut atau fungsi serebral yang tidak
teratur, sindrom koroner akut dengan iskemia atau infark, edema paru akut, atau
disfungsi ginjal akut. Tekanan darah sangat tinggi pada pasien dengan kerusakan
organ target akut yang sedang berlangsung, dan merupakan keadaan gawat medis
yang sebenarnya, yang memerlukan penurunan tekanan darah segera (walaupun
jarang ke kisaran normal) (Elliott et al., 2013).
Hipertensi emergensi merupakan kenaikan tekanan darah mendadak yang
disertai kerusakan organ target akut yang progresif. Pada keadaan ini diperlukan
tindakan penurunan tekanan darah yang segera dalam kurun waktu menit-jam.
(Turana et al., 2017).
B. Tanda dan Gejala

Dari beberapa definisi hipertensi emergensi di atas, bisa dimunculkan


beberapa Ciri-ciri dan Karakteristik hipertensi emergensi seperti dilihat pada Tabel
3 dan Tabel 4.
Tabel 1. Ciri-ciri hipertensi emergensi
Ciri-ciri hipertensi emergensi:
1. Keadaan gawat medis
2. Tekanan darah sangat tinggi
3. Peningkatan tekanan darah yang berat
4. Peningkatan tekanan darah terjadi secara mendadak
5. Terjadi kerusakan organ target (baru, progresif, memburuk, akut)
6. Kejadian serebrovaskular akut, sindrom koroner akut, edema paru akut,
disfungsi ginjal akut, hipertensif ensefalopati, infark serebri, pendarahan
intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, diseksi
aorta, atau eklampsia
7. Memerlukan penurunan tekanan darah segera (dalam waktu menit / jam)
Sumber: Elliott et al., 2013; Ram, 2014; Turana et al., 2017; Aronow, 2017;
Whelton 2017; Vidt, 2004; Alwi et al., 2016

Tabel 2. Karakteristik klinis hipertensi emergensi

1. Tekanan darah
Biasanya > 220/140 mmHg
2. Temuan funduscopy
Pendarahan, exudates, papiledema
3. Status neurologi
Sakit kepala, bingung, mengantuk, pingsan,
penglihatan kabur, kejang, gangguan neurologi
fokal, koma
4. Temuan Jantung
Pulsasi apex kordis prominent, kardiomegali, gagal
jantung kongestif
5. Gejala ginjal
Azotemia, proteinuria, oliguria
6. Gejala saluran cerna
Mual, muntah

Sumber: Vidt, 2004; Alwi et al., 2016


Ciri-ciri Hipertensi Emergensi
1) Keadaan gawat medis
Hipertensi emergensi merupakan keadaan gawat medis yang memerlukan
penangan secara serius dan segera. Penurunan tekanan darah perlu dilakukan
segera dalam hitungan menit atau jam dari onset, walaupun penurunan tekanan
darah jarang sampai keadaan normotensi (Elliott et al., 2013; Ram, 2014; Turana
et al.,
2017) untuk mencegah atau membatasi kerusakan organ target lebih lanjut (Elliott
et al., 2013; Whelton et al., 2017).
Tingkat kematian yang berkaitan hipertensi emergensi dalam 1 tahun adalah
> 79%, dan kelangsungan hidup rata-rata adalah 10,4 bulan jika tidak diobati
(Whelton et al., 2017). Tetapi apabila segera dilakukan perawatan di rumah sakit
maka angka kematian dapat diturunkan secara bermakna sebagaimana yang
dilaporkan oleh Shah, 2017. Dilaporkan bahwa dari 129.914 pasien hipertensi
emergensi yang diteliti di Amerika selama 10 tahun (2002-2012) hanya 630
(0.48%) pasien yang meninggal selama perawatan (Shah et al., 2017). Tingkat
kelangsungan hidup 1 tahun (survival rate) meningkat dari 20% tahun 1950
menjadi
90% dengan perawatan yang bagus (Hopkins, 2018).

2) Tekanan darah sangat tinggi


Tekanan darah pada hipertensi emergensi sangat tinggi biasanya mencapai >
220/140 mmHg (Vidt, 2004; Alwi et al., 2016), ada pula yang menyebutkan >
180/120 mmHg sudah termasuk hipertensi emergensi (Elliott et al., 2013; Aronow,
2017; Whelton 2017).

3) Peningkatan tekanan darah yang berat


Peningkatan tekanan darah yang terjadi secara signifikan dapat
menyebabkan hipertensi emergensi, tetapi pada pasien dengan hipertensi kronis
sering dapat mentolerir tingkat tekanan darah yang lebih tinggi daripada individu
normotensi (Elliott et al., 2013; Whelton et al., 2017.
4) Peningkatan tekanan darah terjadi secara mendadak
Peningkatan tekanan darah yang terjadi secara mendadak dapat
menimbulkan hipertensi emergensi (Elliott et al., 2013; Turana et al., 2017).

5) Terjadi kerusakan organ target


Contoh kerusakan organ target meliputi ensefalopati hipertensi, Intracranial
Hemorrhage (ICH), stroke iskemik akut, myocardial infarction akut, gagal
ventrikel akut dengan edema paru, angina pektoris tidak stabil, pembedahan aorta
aneurisma, gagal ginjal akut, dan eklampsia (Whelton et al., 2017).

Tabel 3. Organ target dan komplikasi pada hipertensi emergensi


Organ Target Komplikasi
Ensefalopati hipertensi
Infark serebral
Otak Pendarahan intraserebral
Retinopati
Sindrom koroner akut
Jantung Gagal jantung akut
Aorta Diseksi aorta
Ginjal Gagal ginjal akut
Plasenta Eklampsia
Sumber: Cuspidi and Pessina, 2014; Turana et al., 2017

6) Gambaran klinik: kejadian serebrovaskular akut, sindrom koroner akut,


edema paru akut, disfungsi ginjal akut, hipertensif ensefalopati, infark
serebri, pendarahan intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi
ventrikel kiri akut, diseksi aorta, atau eklampsia
Tekanan darah tinggi pada pasien masih memerlukan pemeriksaan status
klinik pasien agar dapat disebut hipertensi emergensi. Misalnya seorang wanita
hamil pada trimester ketiga memiliki tekanan darah 145/95 mmHg disertai
eklampsia merupakan hipertensi emergensi walaupun tekanan darahnya belum
mencapai > 180/120 mmHg (Elliott et al., 2013).
Hipetensi ensefalopati adalah komplikasi hipertensi berat yang jarang terjadi
namun serius. Hipertensi ensefalopati sering terjadi pada pasien dengan hipertensi
kronis yang tidak terkontrol atau ganas dan terjadi secara mendadak. Hipetensi
ensefalopati harus didiagnosis dan diobati dengan cepat, karena membawa
prognosis buruk saat tidak diobati. Manifestasi klinis hipetensi ensefalopati tidak
hanya disebabkan oleh tingkat keparahan peningkatan tekanan darah, tetapi juga
pada onset hipertensi mendadak individu normotensif (relatif). Kondisi ini terjadi
lebih sering dengan latar belakang gangguan ginjal. Manifestasi klinis penuh dari
hipetensi ensefalopati memerlukan waktu 12-48 jam (Ram, 2014).
Edema paru akut, hipertensi berat dapt menyebabkan disfungsi ventrikel kiri
akut, semakin tinggi tekan darah maka kerja ventrikel kiri semakin berat. Pada
edema paru akut, kebutuhan oksigen miokard meningkat karena bertambahnya
panjang serat diastolik dan dan volume akhir diastolik meningkat. Perubahan
fungsi jantung semacam itu sangat merugikan di hadapan penyakit arteri koroner,
yang memerlukan pengurangan tekanan darah segera dengan agen vasodilatasi
yang seimbang seperti nitroprusside. Sodium nitroprusside menurunkan tekanan
preload dan afterload, dengan restorasi fungsi miokard dan CO. Meskipun ACE
inhibitor, berdasarkan tindakan farmakologisnya, mungkin berguna dalam situasi
ini, hanya ada sedikit pengalaman klinis mengenai respons terapeutik akut
terhadap ACE inhibitor pada pasien dengan gangguan ventrikel kiri akut (Ram,
2014).
Diseksi aorta, rasa sakit terjadi secara tiba-tiba dan gejalanya parah. Jika
terjadi diseksi aorta disertai dengan hipertensi maka tekanan darah diturunkan
hingga mendekati normotensi menggunakan obat yang bekerja secara halus bukan
yang mendadak / cepat (Ram, 2014).
Eklampsia adalah komplikasi kehamilan kardiovaskular yang berpotensi
serius. Terapi pasti adalah melahirkan bayi. Selain itu, tekanan darah harus
dikurangi untuk mencegah kerusakan neurologis, jantung, dan ginjal. Meskipun
obat antihipertensi lain mungkin efektif dalam mengurangi tekanan darah, agen
pilihan untuk kontrol cepat hipertensi berat adalah hydralazine, yang memiliki
catatan keamanan yang panjang. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
nitroprusside dapat menyebabkan komplikasi janin dan penggunaannya harus
disediakan untuk hipertensi refrakter terhadap hidralazine atau metildopa.
Trimethaphan yang menghalangi ganglion harus dihindari karena risiko ileus
mekonium. Pada hipertensi yang diinduksi kehamilan, deplesi volume mungkin
ada dan diuretik harus dihindari. ACE inhibitor dan ARB harus dihindari karena
kemungkinan toksisitas janin / plasenta. Magnesium sulfate adalah terapi
adjunctive yang efektif untuk mengendalikan kejang (Ram, 2014).

7) Memerlukan penurunan tekanan darah segera (dalam waktu menit-jam)


Penurunan tekanan darah perlu dilakukan segera dalam hitungan menit atau
jam dari onset, walaupun penurunan tekanan darah jarang sampai keadaan
normotensi (Elliott et al., 2013; Ram, 2014; Turana et al., 2017) untuk mencegah
atau membatasi kerusakan organ target lebih lanjut (Elliott et al., 2013; Whelton et
al., 2017).

Karakteristik Hipertensi Emergensi


1) Tekanan darah
Tekanan hipertensi emergensi sangat tinggi, biasanya mencapai > 220/140
mmHg (Alwi et al., 2016), ada pula yang menyebutkan > 180/120 mmHg sudah
termasuk hipertensi emergensi (Aronow, 2017). Hipertensi emergensi bukan hanya
tergantung tingginya tekanan darah tetapi juga kecepatan peningkatan tekanan
darah (Sowers, 2001). Biasanya pasien dengan hipertensi kronis dapat mentolerir
tingkat tekanan darah yang lebih tinggi daripada individu normotensi (Elliott et al.,
2013; Whelton et al., 2017).

2) Temuan funduscopy
Pada hipertensi emergensi dapat ditemukan pendarahan, eksudat dan edema
papil (Alwi et al., 2016).

3) Status neurologi
Status neurologis pada hipertensi emergensi adalah rasa sakit di kepala,
terjadi kebingungan, mengantuk, pingsan, gangguan pada penglihatan, kejang,
gangguan neurologi fokal, koma (Vidt, 2004; Alwi et al., 2016)
4) Gejala ginjal
Terdapat gejala gangguan ginjal pada hipertensi emergensi seperti azotemia,
proteinuria, oliguria, AKI (Alwi et al., 2016).

5) Gejala saluran cerna


Terjadi gejala saluran cerna sepert mual, muntah pada pasien dengan
tekanan darah tinggi merupakan karakteristik dari hipertensi emergensi (Alwi et
al., 2016).

Hipertensi emergensi termasuk salah satu kelompok krisis hipertensi.


Sindroma klinis krisis hipertensi meliputi (Alwi et al., 2016):
1. Hipertensi gawat (hypertensive emergency): peningkatan tekanan darah yang
disertai kerusakan organ akut.
2. Hipertensi mendesak (hypertensive urgency): peningkatan tekanan darah
tanpa disertai kerusakan organ akut.
3. Hipertensi akselerasi (accelerated hypertension): peningkatan tekanan darah
yang berhubungan dengan pendarahan retina atau eksudat.
4. Hipertensi maligna (malignant hypertension): peningkatan tekanan darah yang
berkaitan dengan edema papil.

Dari klasifikasi di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam
antara hipertensi gawat dan mendesak, selain tergantung penilaian klinis.
Hipertensi gawat (hypertensive emergency) selalu berkaitan dengan kerusakan
organ, tidak dengan level spesifik tekanan darah. Manifestasi klinisnya berupa
peningkatan tekanan darah mendadak sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 120
mmHg dengan adanya atau berlangsungnya kerusakan target organ yang bersifat
progresif seperti perubahan status neurologis, hipertensif ensefalopati, infark
serebri, pendarahan intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel
kiri akut, edema paru akut, diseksi aorta, insufisiensi renal, atau eklampsia. Istilah
hipertensi akselerasi dan hipertensi maligna sering dipakai pada hipertensi
mendesak (Alwi et al., 2016).
Beratnya hipertensi emergensi bukan hanya tergantung tingginya tekanan
darah tetapi juga kecepatan peningkatan tekanan darah karena sistem
autoregulasinya tidak berjalan. Seperti pada peningkatan tekanan darah yang
berkaitan dengan glomerulonefritis pada anak atau pre-eklamsia/eklamsia wanita
muda sudah terjadi gangguan mental walaupun tekanan diastoliknya baru 110
mmHg (Sowers, 2001).
C. Patofisiologi
Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas (Singh,
2011; Varounis et al., 2017). Kecepatan onset menunjukkan faktor pemicunya
adalah hipertensi yang sudah ada sebelumnya (Singh, 2011).
Dua mekanisme yang berbeda namun saling terkait mungkin memainkan
peran sentral dalam patofisiologi krisis hipertensi. Mekanisme pertama adalah
gangguan mekanisme autoregulasi di vascular bed (Varounis et al., 2017).
Sistem autoregulasi merupakan faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi dan
krisis hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak,
jantung, dan ginjal) untuk menjaga aliran darah yang stabil terlepas dari
perubahan tekanan perfusi (Taylor, 2015).
Jika tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai akan menurun
sementara, namun kembali ke nilai normal setelah beberapa menit berikutnya.
Gambar 2 menggambarkan bahwa jika terjadi kerusakan fungsi autoregulasi, jika
tekanan perfusi turun, hal ini menyebabkan penurunan aliran darah dan
peningkatan resistensi vaskular. Dalam krisis hipertensi, ada kekurangan
autoregulasi di vascular bed dan aliran darah sehingga tekanan darah meningkat
secara mendadak dan resistensi vaskular sistemik dapat terjadi, yang sering
menyebabkan stres mekanis dan cedera endotelial (Taylor, 2015; Varounis et al.,
2017).
Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, yang
menyebabkan vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan
lingkaran setan dari cedera terus-menerus dan kemudian iskemia (Varounis et al.,
2017). Gambar 3 menggambarkan bahwa dalam keadaan normal, sistem renin-
angiotensin aldosteron berperan sentral dalam regulasi homeostasis tekanan darah.
Overproduksi renin oleh ginjal merangsang pembentukan angiotensin II,
vasokonstriktor yang kuat. Akibatnya, terjadi peningkatan resistansi pembuluh
darah perifer dan tekanan darah. Krisis hipertensi diprakarsai oleh peningkatan
resistensi vaskular sistemik yang tiba-tiba yang mungkin terkait dengan
vasokonstriktor humoral. Dalam keadaan krisis hipertensi, penguatan aktivitas
sistem renin terjadi, menyebabkan cedera vaskular, iskemia jaringan, dan
overproduksi reninangiotensin lebih lanjut. Siklus berulang ini berkontribusi pada
patogenesis krisis hipertensi (Singh, 2011).

Patofisiologi krisis hipertensi akibat gangguan mekanisme autoregulasi

Gambar 2. Patofisiologi Krisis Hipertensi karena gangguan autoregulasi


Sumber: Singh, 2011
Patofisiologi krisis hipertensi karena sistem renin-angiotensin

Gambar 3. Patofisiologi krisis hipertensi


Sumber: Varounis et al., 2017
D. Diagnosis Hipertensi Emergensi
Pendekatan awal pada krisis hipertensi dilakukan dengan tepat dan cepat di luar
rumah sakit maupun di dalam rumah sakit dengan urutan (Turana et al., 2017): a)
Anamnesis
Anamnesis pasien harus dilakukan secara cermat, mengenai:
- Riwayat hipertensi (awitan hipertensi, jenis obat yang dikonsumsi, kepatuhan
berobat).
- Gangguan organ (kardiovaskular, serebrovaskular, renovaskular, dan organ
lain).
b) Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan kecurigaan organ target yang
terkena berdasarkan anamnesis yang didapat.
- Pengukuran tekanan darah di kedua lengan.
- Palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas.
- Auskultasi untuk mendengar ada / tidak bruit pembuluh darah besar, bising
jantung, dan rhonki paru.
- Pemeriksaan neurologis umum.
- Pemeriksaan funduskopi.
c) Pemeriksaan laboratorium awal dan penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal dan penunjang yang dilakukan disesuaikan
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan serta ketersediaan
fasilitas.
Pemeriksaan laboratorium awal: Hb, Ht, ureum, kreatinin, gula darah dan
elektrolit. Urinalisis.
Pemeriksaan penunjang lain: Elektrokardiografi, Foto polos thoraks, CT scan
kepala, Echocardiography, USG.
Pendekatan diagnosis (Alwi et al., 2016):
>> Anamnesis: selain ditanyakan mengenai etiologi hipertensi pada umumnya,
perlu juga ditanyakan gejala-gejala kerusakan organ target seperti gangguan
penglihatan, edema pada ekstremitas, penurunan kesadaran, sakit kepala,
mual
/ muntah, nyeri dada, sesak nafas, kencing sedikit / berbusa, nyeri seperti
disayat pada abdomen.
>> Pemeriksaan fisik: tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut
nadi perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda
penumpukan cairan, funduskopi, dan status neurologis.
>> Pemeriksaan penunjang: darah perifer lengkap panel metabolik urinalisis,
toksikologi urine, EKG, CT scan, MRI, foto toraks.

Tabel 6. Evaluasi triase hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi


Tekanan darah tidak terkontrol
Sering Jarang Hipertensi emergensi
Tekanan > 180/110 mmHg > 180/110 mmHg Biasanya >
darah 220/140
Gejala Sakit kepala, Sakit kepala mmHg
Sesak nafas, nyeri
gelisah, berat, dada,
sering asymptomatic sesak nafas, nocturia,
edema, epistaxis dysarthria, lemas,
Tes Tanpa organ Organ target rusak, altered
Encephalopathy,
target ada edema
rusak, tidak penyakit pulmonary, renal
ada penyakit kardiovaskul insufficiensy, kejadian
kardiovaskular ar serebrovaskular, cardiac
Terapi Diamati 1-3 Diamati 3-6, Baseline labs, IV
jam, tekanan line,
inisiasi darah diawasi tekanan
pengobatan, diturunkan dengan darah, inisiasi terapi
peningkatan dosis obat reaksi parenteral
agen
Rencana Evaluasi follow up cepat,
Evaluasi atur
follow up Dimasukkan ke
< < ruang
72 jam 24 jam intensif, dirawat
hingga target tekanan
Sumber: Vidt, 2004 darah, perlu
Penilaian klinik hipertensi emergensi (Elliott et al., 2013):
1. Hipertensi encephalopathy
2. Hipertensi malignant: peningkatan tekanan darah dengan papilledema atau
acute retinal hemorrhages/exudates
3. Perdarahan intrakranial (intracerebral or subarachnoid); ischemic stroke
(jarang terjadi)
4. Acute coronary syndrome (unstable angina/myocardial infarction)
5. Acute left ventricular failure with pulmonary edema
6. Acute aortic dissection
7. Percepatan progresif gagal ginjal
8. Eclampsia
9. Pendarahan arteri
10. Situasi jarang:
a. Pheochromocytoma crisis
b. Tyramine interaction with monoamine oxidase inhibitor
c. Overdosis sympathomimetic drugs
d. Hipertensi rebound karena penghentian mendadak agen antihipertensi

Penilaian klinis hipertensi emergensi antara lain hipertensi encelopathy,


hipertensi yang berkaitan dengan penyakit (serebrovaskular, edema pulmonary,
sindrom koroner akut, dissecting aortic aneurysm, gagal ginjal akut),
pheochromocytoma, eklampsia, microangiopathic anemia (Cuspidi and Pessina,
2014).
D. Faktor Risiko dan Penyebab Hipertensi Emergensi
a. Faktor risiko
Faktor risiko krisis hipertensi menurut penelitian Saguner adalah jenis
kelamin wanita, obesitas, hipertensi, penyakit jantung koroner, gangguan
somatoform, banyaknya obat antihipertensi, dan ketidakpatuhan terhadap terapi
pengobatan (Saguner et al., 2010).
Faktor risiko untuk hipertensi emergensi meliputi rendahnya status sosial
ekonomi, lemahnya akses terhadap perawatan kesehatan, ketidakpatuhan terhadap
terapi obat antihipertensi yang diresepkan (termasuk penarikan mendadak dari
obat antihipertensi (misalnya clonidine), obat (terutama kokain) dan
penyalahgunaan alkohol, penggunaan kontrasepsi oral, dan merokok (Elliott et al.,
2013).

b. Penyebab hipertensi emergensi


Berikut ini adalah penyebab hipertensi emergensi (Alwi et al., 2016):
▪ Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik
dengan hipertensi berat, pendarahan intraserebral, pendarahan subaranoid, dan
trauma kepala.
▪ Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut infark miokard akut,
pasca operasi bypass koroner.
▪ Kondisi ginjal: Glomerulonefritis akut, hipertensi renovaskular, krisis renal
karena penyakit kolagen-vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal.
▪ Akibat ketokolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan atau
obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme
rebound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi, hiperrefleksi
otomatis pasca cedera korda spinalis.
▪ Eklampsia
▪ Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera,
hipertensi pasca operasi, pendarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular.
▪ Luka bakar berat.
▪ Epistaksis berat.
▪ Thrombotic thrombocytopenic purpura.

Hipertensi emergensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut


(Turana et al., 2017):
+ Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat
antihipertensi tidak teratur.
+ Kehamilan.
+ Penggunaan NAPZA.
+ Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti luka bakar berat,
phaeochromocytoma, penyakit kolagen, penyakit vaskular, trauma kepala.
+ Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal.
E. Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi
Pengobatan hipertensi emergensi tergantung pada jenis kerusakan organ.
Pada stroke iskemik akut tekanan darah diturunkan secara perlahan, namun pada
kasus edema paru akut atau diseksi aorta dan sindroma koroner akut maka
penurunan tekanan darah dilakukan dengan agresif. Penurunan tekanan darah
bertujuan menurunkan hingga < 25% MAP pada jam pertama, dan menurun
perlahan setelah itu. Obat yang akan digunakan awalnya intravena dan selanjutnya
secara oral, merupakan pengobatan yang direkomendasikan (Turana et al., 2017).
Secara umum, penggunaan terapi oral tidak disarankan untuk hipertensi emergensi
(Whelton et al., 2017), sebaiknya menggunakan parenteral (Whelton et al., 2017;
Elliott et al., 2013).
Pada orang dewasa dengan hipertensi emergensi, disarankan masuk ke unit
perawatan intensif (ICU), dilakukan pemantauan secara terus-menerus terhadap
tekanan darah dan kerusakan organ target dengan pemberian obat parenteral yang
tepat. Tekanan darah sistolik harus dikurangi menjadi < 140 mmHg selama satu
jam pertama dan < 120 mmHg pada diseksi aorta (Whelton et al., 2017).

Gambar 4. Skema evaluasi hipertensi emergensi


Sumber: Elliott et al., 2013
Rekomendasi spesifik ACC/AHA 2017 (Whelton et al., 2017):
a) Tidak ada bukti secara RCT bahwa obat antihipertensi mengurangi
morbiditas atau mortalitas pada pasien dengan hipertensi emergensi. Namun,
dari pengalaman klinik sangat mungkin terapi antihipertensi bermanfaat
untuk hipertensi emergensi. Juga tidak ada bukti secara RCT kualitas tinggi
untuk memberi tahu klinisi tentang golongan obat antihipertensi lini pertama
mana yang memberi manfaat lebih banyak daripada bahaya pada hipertensi
emergensi. Namun, 2 percobaan telah menunjukkan bahwa nicardipine
mungkin lebih baik daripada labetalol dalam mencapai target tekanan darah
jangka pendek. Karena autoregulasi perfusi jaringan terganggu pada
hipertensi emergensi, continuous infusion of shortacting titratable
antihypertensive agents seringkali lebih baik untuk mencegah kerusakan
organ target lebih lanjut.
b) Kondisi memaksa penurunan tekanan darah secara cepat hingga < 140
mmHg pada jam pertama pengobatan meliputi diseksi aorta, preeklamsia
berat atau eklampsia, dan pheochromocytoma dengan krisis hipertensi.
c) Tidak ada bukti secara RCT yang membandingkan strategi yang berbeda
untuk mengurangi tekanan darah dan tidak ada bukti secara RCT yang
menyarankan seberapa cepat atau berapa banyak tekanan darah yang harus
diturunkan pada hipertensi emergensi. Namun, pengalaman klinik
menunjukkan bahwa pengurangan tekanan darah berlebihan dapat
menyebabkan atau berkontribusi pada iskemia ginjal, serebral, atau koroner
dan harus dihindari. Dengan demikian, dosis komprehensif obat
antihipertensi intravena atau bahkan oral untuk menurunkan tekanan darah
dengan cepat bukan tanpa risiko. Pembebanan dosis oral obat antihipertensi
dapat menimbulkan efek kumulatif yang menyebabkan hipotensi setelah
dikeluarkan dari ruang perawatan.
Manajemen untuk krisis hipertensi ACC/AHA 2017 (Whelton et al, 2017):
1) Apabila kita menghadapi pasien dengan tekanan darah yang sangat tinggi
tekanan darah sistolik > 180 dan atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg
maka perhatikanlah apakah ada kerusakan organ target yang baru / progresif /
perburukan.
a) Apabila iya, maka diagnosisnya adalah hipertensi emergensi dan rawat di
ICU.
b) Apabila tidak, mungkin ada peningkatan tekanan darah saja dan lakukan
evaluasi / berikan obat antihipertensi oral dan follow up selanjutnya.
2) Pasien hipertensi emergensi yang dirawat di ICU, apakah terjadi diseksi aorta,
preeklampsia/eklampsia berat, krisis preokromositoma.
a) Apabila iya, turunkan TDS < 140 mmHg pada 1 jam pertama dan < 120
mmHg pada diseksi aorta.
b) Apabila tidak, turunkan tekanan darah maksimal 25% pada 1 jam pertama,
selanjutnya turunkan sampai 160/110 mmHg pada jam kedua sampai jam
keenam, dan selanjutnya dapat diturunkan sampai tekanan darah normal
pada
24-48 jam.

Skema manajemen krisis hipertensi menurut ACC/AHA 2017 diperlihatkan pada


Gambar 5.
Gambar 5. Manajemen untuk krisis hipertensi ACC/AHA 2017
Sumber: ACC/AHA 2017 (Whelton et al, 2017)
Obat untuk hipertensi emergensi
Obat-obatan antihipertensi untuk hipertensi emergensi dapat dilihat pada
Tabel 7, 8, 9.
Tabel 7. Obat parenteral hipertensi emergensi
Obat Dosis Onset Durasi Efek Samping

Sodium 0.25-10 Segera 2-3 menit Hipotensi,


nitroprussid µg/kg/meni muntah,
e t cyanate toxicity
Glyceryl 5-100 1-3 menit 5-15 menit Sakit
trinitrate µg/menit kepala,
muntah,
Labetalol 20-80 mg 5-10 menit 2-6 jam tachycardi
Bronchospasm,
bolus, muntah,
1-2 bradycardi
Esmolol mg/me
80 mg 6-10 menit a
15-30 menit Asma,
bolus, bradycardia
150
Furosemide µg/kg/
40-60 mg 5-10 menit 1-2 jam Hipotensi,
bolus hipokalemia
Enalaprilat 0.625-1.25 15-20 menit 4-6 jam Hipotensi,
mg gagal
Nicardipine 5-15 bolus 5-10 menit ginjal
2-4 jam Sakit
mg/jam kepala,
Fenoldopam 0.1-0.6 5-10 menit 10-15 menit tachycardia
Hipotensi,
µg/kg/meni sakit
Phentolamine 5-10t 1-2 menit 5-10 menit kepala
Tachycardia,
mg/menit hipotensi
orthostati
Hydralazine 10-20 mg 10 menit 2-6 jam cTachycardia,
bolus angina pectoris
Urapidil 20-60 mg 3-4 menit 6-10 jam Sedation
bolus
Sumber: Cuspidi and Pessina, 2014
Tabel 8. Obat pilihan dan kontraindikasi pada hipertensi emergensi
Kondisi Obat pilihan Kontraindikasi

Edema pulmonary akut Nitroglycerin + loop Beta bloker, verapamil


diuretic
Sindrom koroner akut Nitroprusside +
Nitroglycerin + beta
loop bloker Hydralazine
Nitroprusside + beta bloker
Hipertensi ensefalopati Nitroprusside, Centrally
labetalol, acting
nicardipine + beta bloker
Dissecting aortic aneurysm Nitroprusside sympatholytic
Isolated useagents
of
pure
Pendarahan intrakranial Labetalol, nicardipine vasodilators
Nitroprusside, nifedipine

Stroke iskemik Nitroprusside, Nifedipine


labetalol,
Adrenergic crisis nitroglycerinphentolamine
Labetalol, Beta blocker monotherapy
+
Kerusakan ginjal akut beta bloker nicardipine
Fenoldopam, Diuretic

Eclampsia MgSO4, Nitroprusside


hydralazine, methyldopa
Pendarahan subarachnoid Nimodipine Nitroprusside

Sumber: Cuspidi and Pessina, 2014


Tabel 9. Obat pilihan hipertensi emergensi dengan komorbiditasnya

Sumber: ACC/AHA 2017 (Whelton et al, 2017)


F. Asuhan Keperawatan
ASESMEN TRIASE
Tanggal kunjungan 12/08/2020

Alamat masuk : dari Rumah pasien di Winenet Jam: 14:00

PENGKAJIAN
Jalan nafas : terdapat bbstruksi jalan nafas (snoring +)
Pernafasan : cepat
Kesadaran :6
Nyeri :-
Kondisi mental : Koperatif
Resiko Penularan infeksi : tidak beresiko penularan infeksi
Distruksi label : merah

Petugas Triase

Angelin V. F. Lamogia
ASESMEN AWAL PASIEN RAWAT DARURAT
DIISI OLEH PERAWAT
Pasien datang diantar oleh : Keluarga
Rujukan dari : bukan korban rujukan
Dikirim oleh polisi :-
Macam Kasus : Hipertensi Emergency
Cara bayar : BPJS
DIISI OLEH DOKTER
Keluhan utama :Penurunan Kesadaran
Subjektif : GCS 6, terdapat snoring, pasien dalam keadaan sadarkan
diri, terdapat raccoon eyes dan beatle sign, adanya
tanda-tanda syok (akral dingin dan nadi dalam lemah,
gelisah), terdapat scrotum hematom, tekanan darah 180/170
DIISI OLEH PERAWAT
OBJEKTIF
BB : 70 TB : 176
TTV : TD 180/170 mmHg N : 110x/m RR :31x/m SB :
36,5
CRT : > 2 detik
Alergi : Tidak ada
Pengkajian Nyeri :Pasien dalam keadaan sadarkan diri
Tekanan Intrakranial :-
Pupil : Normal
Neurosensorik Muskuloskeletal : -
Integumen :-
Turgor Kulit : menurun
Edema :-
Pendarahan : jumlah = 700 ml
Intoksinasi :-
Eliminasi : BAB 1 x24 jam Konsistensi = padat Warna=coklat
BAK 5 x24jm warna = kuning lain-
lain=
Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi Gawat Darurat
Tgl / Metode Pemecahan Masalah Tanda tangan
jam SOAP (Subjek, Objek, Assesment, Planning)
Subjektif :
14.00 Keadaan umum compos mentis, terdapat suara snoring, (Virgin)
terdapat raccoon eyes, beatle sign, dan terdapat
Objektif :
14.00 GCS 6, N : 110x/m RR :31x/m SB : 36,5 Nadi : (Theresia &
90x/m, RR: 29x/m, TD : 180/170mmHg. Steisy)

Airway :
Subjektif :
14.02 Bunyi snoring (+)
Pasang Neck collar
OPA terpasang (Joneas)
Oksigen terpasang NRM 12 liter

Breathing
Subjektif :
14.02 -
(Virjin)

Circulatioan
Subjektif :
Akral teraba dingin , nadi cepat lemah dan sianosis
14.02 Objektif :
CRT > 2 dtk (Milly)
Terpasang infus 2 line, cairang RL, sudah dihangatkan,
diguyur, iv cath 16, sudah diambil darah untuk
pemeriksaan HB serial

Disability
Penilaian GCS
E:4
14.03 V:5
M:5 (Steisy)
Total = 11
Reflek Pupil : Normal (Isokor Kiri/Kanan)

Exposure
Logroll
Tidak ada pendarahan dan jejas
14.04 (Theresia, virjin,
Folley Kateter Joneas & Milly)
Subjektif :
Ada kontraindikasi (Hematom perineum)
14.04 Gatricup
Subjektif : (Steisy)
Ada kontraindikasi NGT (raccoon eyes dan beatle sign)
14.04 Ogt terpasang
(Joneas)
Heart Monitor
Heart Monitor Terpasang
(Sinus rythem)
14.04 (Steysi)
Secondary Survey dilakukan setelah pasien stabil
Penilaian GCS
E:4
V:4
14.05 M:5
Total = 13
K:-
O : Mengkonsumsi obat amlodipine 5ml (Theresia)
M : Rendang
P :-
A : tidak ada alergi obat
K : korban sedang beraktifitas di pagi hari dan sedang (Steysi)
-melakukan pekerjaan dan tiba-tiba merasa pusing

TTV : N : 92x/m SB : 36,6 R : 20x/m TD : 160/120

P : - monitor TTV
- Monitor tanda-tanda syok
- Kolaborasikan dengan dokter jaga untuk
pemeriksaan foto rongent pada thoraks, dan
pemberian analgesic.
- Pindahkan korban pada ruangan perawatan
Evaluasi kembali tanda-tanda syok.
Daftar Pustaka

Alwi, I., Salim, S., Hidayat, R., Kurniawan, J., et al., 2016. Krisis Hipertensi,
dalam Penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Panduan praktis
klinis cetakan ketiga. InternaPublishing. Jakarta. Hal 426-432.
Aronow, W.S., 2017. Treatment of hypertensive emergencies. Annals of
Translational Medicine. Vol 5.
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., et al., 2003. The Seventh Report of
the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. Vol 289 (19):
2560-72.
Cuspidi, C. and Pessina, A.C., 2014. Hypertensive Emergencies and Urgencies. In:
Mancia, G., Grassi, G., and Redon, J., Manual of Hypertension of the

European Society of Hypertension 2nd Edition Ch 38, Pp 367-72. CRC


Press. London.
Elliott, W.J., Rehman, S.U., Vidt, D.G., et al., 2013. Hypertensive Emergencies
and Urgencies. In: Black, H.R. and Elliott, W.J., Hypertension: A

Companion to Braunwald’s Heart Disease 2nd Edition Ch 46, Pp 390-6.


Elsevier Saunders. Philadelphia.
Hopkins, C., 2018. Hipertensive Emergencies.
https://emedicine.medscape.com/article/1952052-overview. 8 Maret 2018.
Janke, A.T., McNaughton, C.D., Brody, A.M., et al., 2016. Trends in the Incidence
of Hypertensive Emergencies in US Emergency Departments From 2006 to
2013. Journal of the American Heart Association. Vol 5 (12): e004511. Kaplan,

N.M., Victor, R.G., Flynn, J.T., 2015. Kaplan's clinical hypertension 11th
Edition. Wolters Kluwer. Philadelphia.
Karthikeyan, V.J., 2015. Malignant hypertension. In: Nadar, S. and Lip, G.,

Oxford Cardiology Library. Hypertension 2nd Edition, Pp 157-62. Oxford


University Press. Oxford.
Ram, C.V.S., 2014. Hypertension: A Clinical Guide. CRC Press. New York.
Saguner, A.M., Dür, S., Perrig, M., et al., 2010. Risk Factors Promoting
Hypertensive Crises: Evidence from a Longitudinal Study. American
Journal of Hypertension. Vol 23 (7): 775-80.
Shah, M., Patil, S., Patel, B., 2017. Trends in Hospitalization for Hypertensive
Emergency, and Relationship of End-Organ Damage with In-Hospital
Mortality. American Journal of Hypertension. Vol 30 (7): 700-6.
Singh, M., 2011. Hypertensive crisis-pathophysiology, initial evaluation, and
management. Journal of Indian College of Cardiology. Vol 1 (1): 36-9.
Sowers D.K., 2001. Hypertensive Emergencies. In: Weber M.A., (eds)
Hypertension Medicine. Current Clinical Practice. Humana Press. New
Jersey.
Taylor, D.A., 2015. Hypertensive Crisis: A Review of Pathophysiology and
Treatment. Critical Care Nursing Clinics of North America. Vol 27 (4): 439-
47.
Turana, Y., Widyantoro, B., and Juanda, G.N., 2017. Hipertensi krisis (emergensi
dan urgensi). In: Turana, Y., and Widyantoro, B., Buku Ajar Hipertensi.
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Jakarta.
Varounis, C., Katsi, V., Nihoyannopoulos, P., et al., 2017. Cardiovascular
Hypertensive Crisis: Recent Evidence and Review of the Literature.
Frontiers in Cardiovascular Medicine. Vol 3 (51).
Vidt, D.G., 2004. Hypertensive Crises: Emergencies and Urgencies. The Journal of
Clinical Hypertension. Vol 6 (9): 520-5.
Whelton, P.K., Carey, R.M., Aronow, W.S., et al., 2017. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of
High Blood Pressure in Adults: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guidelines. Hypertension 2017

Anda mungkin juga menyukai