Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT MEI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERTITAS TADULAKO

LAPORAN MANAJEMEN PROGRAM P2TB PUSKESMAS


BULILI

Disusun Oleh :
LILIS Purnamasari
N 111 17 080

PEMBIMBING:
dr. Sumarni, Sp.GK,M.Kes
dr. Nurul Eksan

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PUSKESMAS LEMBASADA
PALU
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. TB adalah suatu penyakit infeksi
yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama
Mycobacterium tuberculosis dan ditularkan melalui perantara droplet udara.1
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan terakhir dari WHO pada
tahun 2014 menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-3 terbanyak
kasus TB Paru di dunia setelah India dan Cina, dengan perkiraan prevalensi
TB Paru sebesar 680.000 dan 460.000 kasus baru pertahun. Selain itu kasus
resistensi terhadap obat anti tuberkulosis merupakan masalah baru yang
penting dalam program penanggulangan tuberkulosis.1
Angka prevalensi TBC Indonesia pada tahun 2014 sebesar 297 per
100.000 penduduk. Di Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan jumlah penduduk
diperkirakan kasus TB BTA positif dimasyarakat pada tahun 2011 sekitar
4.856 orang. Pada tahun 2011 ditemukan 2.807 kasus yang menandakan CDR
hanya 57,80%. Angka CDR Propinsi masih dibawah 70%. Berbagai upaya-
upaya yang dilakukan, salah satunya promosi secara aktif, pendekatan
pelayanan terhadap pelayanan kesehatan yaitu memaksimalkan Puskesmas
Pembantu dan Bidan Desa untuk mendekatkan pelayanan TB di masyarakat
terpencil.3,4
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan laporan manajemen ini antara lain;
1. Sebagai syarat penyelesaian tugas di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat
2. Untuk mengetahui manajemen program P2 TB paru di Puskesmas Bulili
3. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan program P2 TB paru di
Puskesmas Bulili
4. Sebagai evaluasi keberhasilan pelaksanaan program P2 TB paru di
Puskesmas Bulili

1.3 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pelaksanaan program P2 TB Paru di Puskesmas Bulili ?
2. Apa saja permasalahan yang menjadi kendala dalam mencapai target
cakupan Program P2 TB Paru di Puskesmas Bulili ?
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

2.1 Gambaran Umum Puskesmas Bulili

Puskesmas Bulili sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat


dan membina peran masyarakat, serta memberikan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat memilii visi dan misi
yaitu :
a. Visi
Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh menuju
masyarakat sehat yang cerdas Mandiri dan berkeadilan
b. Misi
1. Mendorong masyarakat untuk Hidup Sehat.
2. Meningkatkan Sumber daya manusia petugas kesehatan
3. Menjalin kerjasama lintas Sektor
c. Strategi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan swasta dalam
pembangunan kesehatan melalui kerja sama lintas program dan lintas
sektoral
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu
dan berkeadilan, serta berbasis bukti, menyeluruh dengan
pengutamaan pada upaya promotif dan preventif.

Puskesmas Bulili terletak di Kelurahan Birobuli Selatan Kecamatan


Palu Selatan dengan luas wilayah kerja sekitar 14,15 km², da secara
administratif pemerintahan terdiri atas 2 kelurahan, 15 RW dan 56 RT
dengan luas wilayah perkelurahan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Distribusi Luas Wilayah, RW dan RT dirinci menurut
kelurahan di puskesmas Bulili Tahun 2017
No Kelurahan Jumlah Luas wilayah RW RT
Penduduk (km²)
1 Petobo 10.410 10,40 9 28
2 Birobuli 12.029 3,75 6 28
selatan
Puskesmas 22.439 14,15 15 56
Sumber : Profil puskesmas bulili tahun 2017
Sampai dengan tahun 2018 jumlah penduduk di wilayah kerja
puskesmas Bulili berjumlah 22.439 jiwa naik dari jumlah sebelumnya,
dimana penduduk pada tahun 2016 berjumlah 19,601 jiwa.
Upaya kesehatan dapat berdaya guna dan berhasil guna ditunjang
dengan tenaga, biaya dan sarana yang memadai. Pada tahun 2017 jumlah
tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Bulili ssebanyak 52 orang
dengan rincian dapat dilihat pada tabel 2.2.Berdasarkan table tersebut
dapat dilihat bahwa dari jumlah tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas
Bulili memiliki jumlah tenaga yang sangat memadai.
Tabel 2.2 Komposisi Pegawai Menurut Tingkat Pendidikan Di Wilayah
Puskesmas Bulili Kecamatan Palu Selatan Kota Palu Tahun 2017
No Tingkat Penddikan Jumlah Persentase
1 Dokter 4 8%
2 S1 kesmas 3 6%
3 Apoteker 1 2%
4 S1 perawat 2 4%
5 D3 keperawatan 14 28%
6 D3 kebidanan 9 18%
7 D3 kesling 1 2%
8 D3 farmasi 2 4%
9 D1 kebidanan 7 14%
10 D3 Perawat gigi 2 4%
11 SPK 3 6%
12 SPPH 1 2%
13 SMA/Pekarya 1 2%
Jumlah 50 100%

Sumber : profil puskesmas bulili tahun 2017


Tabel 2.3 Sepuluh Penyakit terbesar di Puskesmas Bulili

NAMA PENYAKIT
NO JUMLAH
Tahun 2017
Infeksi Saluran Pernapasan Akut
1 1796
(ISPA)
2 Gastritis 578
Penyakit dan Kelainan Saraf
3 489
lainnya
Penyakit Pulpa dan Jaringan
4 436
Periapikal
4 Penyakit kulit-Alergi 376
5 Hipertensi 364
6 Karies Gigi 347
Gangguan Gigi dan Jaringan
7 293
Penyangga lainnya
8 Artritis Reumatoid 293
9 Kecelakaan Roda Paksa 264
Penyakit lain pada saluran
10 240
Pernapasan bagian Atas

NAMA PENYAKIT
NO JUMLAH
Tahun 2018 (november)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut
1 440
(ISPA)
2 HT 202
3 Diare 156
4 Dermatitis 147
5 Dyspepsia 105
6 Mialgia 86
7 DBD 56
8 DM 45
9 TFA 16
10 Faringitis 11
Total 1264
Pada laporan manajemen tentang program penanggulangan TB Paru
di Puskesmas Bulili, akan membahas permasalahan diantaranya sebagai
berikut :
4. Pencapaian target pelaksanaan dan penyelenggaran program
penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bulili yang ditentukan.
5. Bagaimana pelaksanaan dan penyelenggaraan program
penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bulili.
6. Bagaimana prosedur program penanggulangan TB Paru di Puskesmas
Bulili.
7. Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi selama pelaksanaan
program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bulili.
BAB III
IDENTIFIKASI MASALAH

3.1 Upaya Pengendalian TB Paru


Penanggulangan Tuberkulosis yang selanjutnya disebut Penanggulangan
TB adalah segala upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan
preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan
untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan,
kecacatan atau kematian, memutuskan penularan, mencegah resistensi obat
dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat Tuberkulosis.8
Inisiasi pengendalian TB di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa pra-
kemerdekaan. Terdapat empat tonggak penting yang menandai perkembangan
implementasi dan pencapaian program pengendalian TB :

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7


strategi:

1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu


2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat
(sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix
dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB Care
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program pengendalian TB
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis.
Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia
secara administratif berada di bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian
Kesehatan, yaitu Bina Upaya Kesehatan, dan P2PL (Subdit Tuberkulosis
yang bernaung di bawah Ditjen P2PL). Pembinaan Puskesmas berada di
bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan merupakan tulang punggung
layanan TB dengan arahan dari subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan
rumah sakit berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan.
Pelayanan TB juga diselenggarakan di praktik swasta, rutan/lapas,
militer dan perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak berada di
dalam koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian kerja sama antar
Ditjen dan koordinasi yang efektif oleh subdit TB sangat diperlukan dalam
menerapkan program pengendalian TB yang terpadu

Strategi dan Kebijakan

1. Strategi penanggulangan TB dalam pencapaian eliminasi nasional TB


meliputi:8
a. Penguatan kepemimpinan program TB di kabupaten/kota
1. Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
2. Regulasi dan peningkatan pembiayaan
3. Koordinasi dan sinergi program
b. Peningkatan akses layanan TB yang bermutu
1. Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public private mix)
2. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
3. Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS,
PAL, dan lain sebagainya.
4. Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat/saran diagnostik yang baru
5. Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case
holding
6. Bekerja sama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan
Layanan Semesta (health universal coverage).
c. Pengendalian faktor risiko
1. Promosi lingkungan dan hidup sehat.
2. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB
3. Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB
4. Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan
cakupan dan keberhasilan pengobatan yang tinggi.
d. Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB
1. Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat
2. Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah
e. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB
1. Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan
masyarakat
2. Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan
dukungan pengobatan TB
3. Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan
berbasis keluarga dan masyarakat
f. Penguatan manajemen program (health system strenghtening)
1. SDM
2. Logistik
3. Regulasi dan pembiayaan
4. Sistem Informasi, termasuk mandatory notification
5. Penelitian dan pengembangan inovasi program
3.3 Kegiatan Program Penanggulangan TB paru (P2TB)
Salah satu strategi utama dalam penanggulangan Tuberkulosis adalah
penemuan kasus dan pengobatan Tuberkulosis. Angka penemuan kasus atau
Case Detection Rate (CDR) adalah presentase jumlah pasien baru.
Tuberkulosis Paru BTA positif yang ditemukan dibandingkan dengan
perkiraan jumlah pasien baru Tuberkulosis Paru BTA posistif di suatu
wilayah. CDR di Indonesia pada tahun 2010 adalah 78,3%, tahun 2011 adalah
83,5%, tahun 2012 adalah 61%, tahun 2013 adalah 60%, tahun 2014 adalah
46%.7
Pada tahun 2015, CDR sudah tidak menjadi indikator utama atau indikator
Nasional dalam upaya penanggulangan tuberkulosis, namun CDR masih
merupakan indikator untuk mencapai indikator Nasional. Mulai tahun 2015,
indikator utama yang digunakan dalam menggambarkan penemuan kasus
adalah Case Notification Rate (CNR). CNR kasus baru BTA posistif adalah
angka yang menunjukkan jumlah semua kasus Tuberkulosis BTA posistif
yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah
tertentu. Pada tahun 2015, CNR tuberkulosis paru BTA positif di Indonesia
adalah 130 per 100.000 penduduk, menurun dibandingkan tahun 2014 yang
sebesar 129 per 100.000 penduduk. Data hingga tahun 2016 menyatakan
CNR kasus Tuberkulosis semua tipe adalah 136 per 100.000 penduduk.7
Dari penelitian Maryun di Kota Tasikmalaya pada tahun 2007, faktor
penting dalam pencapaian terget penemuan kasus adalah kinerja petugas.
petugas pelaksana program tuberkulosis paru di Puskesmas yang terdiri dari
petugas program, analis sebagai petugas labolatorium merupakan ujung
tombak dalam penemuan, pengobatan dan evaluasi penderita maupun
pelaksanaan administrasi program puskesmas. Dari penelitan Astuti dan
Awusi, kinerja mempengaruhi penemuan kasus tuberkulosis. Kinerja petugas
pelaksana program Tuberkulosis di Puskesmas meliputi penjaringan suspek,
pelacakan kontak, pemeriksaan dahak mikroskopis.7
Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau Directly
Observed Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB jangka
pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi
DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan
pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara
teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.8
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai
95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk
menanggulangi TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu, (a)
komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana,
(b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c),
kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita, dan (d)
Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara
langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).8
OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah
tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita,
oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-Fixed Dose
Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih
sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing komponen sudah
disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan
OAT-FDC dapat menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan
kesalahan pemberian obat, dan mengurangi efek samping.8

3.4 Evaluasi program penanggulangan TB paru


Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen
untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan
secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada
masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat
dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu
jarak-waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun.
Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah
ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut
diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan
perencanaan program. Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK,
Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan
pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Seluruh kegiatan
harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran
(output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan
langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan
masyarakat sasaran.5
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem
pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar.
Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator–
indikator program penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir
program dilakukan. Indikator merupakan alat yang paling efektif untuk
melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang menunjukkan keadaan
dan dapat digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan. Indikator yang
baik harus memenuhi syarat – syarat tertentu antara lain : valid, sensitive
dan specific, dapat dimengerti, dapat diukur dan dapat dicapai. Evaluasi
program pada puskesmas lembasada yang dinilai adalah angka kesembuhan
dan penjaringan suspek.

3.5 Uraian Tugas Pengelola Program Penanggulangan TB Paru


Petugas pengelola program TB paru adalah petugas yang bertangungjawab
dan mengkoordinir seluruh kegiatan dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi dalam program TB di Puskesmas. Adapun Tugas Pokok dan Fungsi
Petugas Program TB paru di Puskesmas yaitu : 8
a. Menemukan Penderita
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB
paru, antara lain :
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum.
2) Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC.
3) Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek.
4) Membuat sediaan hapus dahak.
5) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium.
6) Menegakkan diagnosis TB sesuai protap.
7) Membuat klasifikasi penderita.
8) Mengisi kartu penderita.
9) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+).
10) Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC
yang ditemukan.
b. Memberikan Pengobatan
1) Menetapkan jenis paduan obat.
2) Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan.
3) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita.
4) Menentukan PMO (bersama penderita).
5) Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO.
6) Memantau keteraturan berobat.
7) Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan.
8) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya.
9) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita.

c. Penanganan Logistik
1) Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas.
2) Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c.

- Aspek Tatalaksana pasien TB


Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter
Praktek Swasta.
a. Puskesmas
Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok
Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan
Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima)
Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan geografis yang sulit, dapat
dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga
dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.
b. Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum, Balai/Baiali Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (B/BKPM), dan klinik lannya dapat melaksanakan semua
kegiatan tatalaksana pasien TB.
c. Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.
Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS
sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Pengobatan
(klinik).
BAB IV
PEMBAHASAN

7.1 Input
Man
Dalam hal ini Man merupakan SDM yang bertanggung jawab
terlaksananya program P2M khususnya dalam hal penanggulangan TB.
Saat ini, SDM yang bertanggung jawab atas program dan penyelanggaraan
program di Puskesmas Bulili yaitu 1 orang dan menjadi kendala dalam
menyelenggarakan program.
Money : Sumber pendanaan program ini berasal dari Dinas Kesehatan
Method
Program Penanggulangan (P2) TB Paru di Puskesmas Bulili dikelola
oleh seorang perawat. Kegiatan awalnya berupa penemuan kasus yang
bersifat pasif yaitu penemuan kasus berdasarkan pasien yang datang
berobat ke puskesmas yang memiliki gejala utama seperti batuk lebih dari
2 minggu. Pasien yang memiliki gejala tersebut akan berstatus suspek
yang selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan sputum dan dilakukan
secara aktif yaitu petugas yang mendatangi masyarakat untuk melakukan
penjaringan pada pasien yang di suspek menderita TB. pasien yang datang
dengan keluhan batuk lebih dari 2 minggu dan memiliki tanda dan gejala
penyakit TB paru, maka akan segera di rujuk ke Rumah sakit untuk
pemeriksaan sputum, dan jika hasil BTA positif dilakukan penangganan
dan juga monitoring serta evaluasi dari hasi pengobatan.
Material
Tidak ada kendala dalam pengadaan stok obat pada program P2M
khususnya TB.
Machine
Adanya kendala pada pasien sendiri dikarenakan pasien tidak
mengantarkan sputum ke puskesmas
7.2 Proses

1. Planning
Perencanaan program telah diatur dalam Rencana Usulan Kegiatan dan
Rencana Pelaksanaan Kegiatan berupa (1) Penemuan suspek baik secara
aktif maupun pasif (2) Pemeriksaan fisik dan BTA suspek (3) Pengobatan
pada pasien suspek dengan BTA positif (4) Pengawasan Minum Obat, (5)
Edukasi dan Konseling (6) Melakukan penjaringan suspek.
2. Organizing
Pengorganisasian program Penanggulangan TB diinstruksikan langsung
dari kepala Puskesmas sebagai pemegang otoritas tertinggi dan
Pelaksanaan program dipimpin langsung oleh penanggung jawab program
dan dilaksanakan bersama pelaksana program serta berkoordinasi dengan
dinas kesehatan kota dan masyarakat terkait.
3. Actuating
Dalam pelaksanaannya, strategi program penanggulangan TB harus
diperkuat dengan metode dan media yang tepat, serta tersedianya sumber
daya yang memadai.
Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan:
a. promosi kesehatan;
Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan TB ditujukan untuk:
1) meningkatkan komitmen para pengambil kebijakan;
2) meningkatkan keterpaduan pelaksanaan program; dan
3) memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat
sebagaimana dimaksud dilakukan melalui kegiatan
menginformasikan, mempengaruhi, dan membantu masyarakat
agar berperan aktif dalam rangka mencegah penularan TB,
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta
menghilangkan diskriminasi terhadap pasien TB.

b. Surveilans TB; Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis


sistematis terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian
penyakit TB atau masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhinya untuk mengarahkan tindakan penanggulangan yang
efektif dan efisien. Dalam penyelenggaraan Surveilans TB dilakukan
pengumpulan data secara aktif dan pasif baik secara manual maupun
elektronik.
c. pengendalian faktor risiko;
Pengendalian faktor risiko TB dilakukan dengan cara:
1. membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat;
2. membudayakan perilaku etika berbatuk;
3. melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat;
4. peningkatan daya tahan tubuh;
5. penanganan penyakit penyerta TB; dan
6. penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
d. penemuan dan penanganan kasus TB;
Penemuan kasus TB secara aktif sebagaimana dimaksud dilakukan
melalui:
1) investigasi dan pemeriksaan kasus kontak;
2) skrining secara massal terutama pada kelompok rentan dan
kelompok berisiko; dan
3) skrining pada kondisi situasi khusus.

Penemuan kasus TB secara pasif sebagaimana dimaksud dilakukan


melalui pemeriksaan pasien yang datang ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Penemuan kasus TB ditentukan setelah dilakukan
penegakan diagnosis, penetapan klasifikasi dan tipe pasien TB.
Tata laksana kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
1. pengobatan dan penanganan efek samping di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan;
2. pengawasan kepatuhan menelan obat;
3. pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil pengobatan; dan/atau
4. pelacakan kasus mangkir.
e. pemberian kekebalan; dan
Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB dilakukan
melalui imunisasi BCG terhadap bayi. Penanggulangan TB melalui
imunisasi BCG terhadap bayi sebagaimana dimaksud dilakukan dalam
upaya mengurangi risiko tingkat keparahan TB.
f. pemberian obat pencegahan.
Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada:
1. anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan pasien
TB aktif;
2. orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosa TB;
atau
3. populasi tertentu lainnya.
Pemberian obat pencegahan TB pada anak dan orang dengan HIV
dan AIDS (ODHA) sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b
dilakukan selama 6 (enam) bulan.

4. Controlling
Pengaturan kegiatan upaya penanggulangan TB dilakukan bersama
oleh pemegang program dalam kegiatan evaluasi keberhasilan program
yang di lakukan evaluasi program setiap 1 tahun untuk melihat kendala
dalam pelaksanaan program ini.
Prosedur penanggulangan tuberkulosis paru di Puskesmas Bulili
dimulai dengan penemuan kasus tuberkulosis paru dilakukan secara aktif
maupun pasif. Penemuan pasien biasanya datang sendiri kepuskesmas
dengan keluhan batuk lebih dari 2 minggu dan pemeriksaan dahak
dipuskesmas lalu puskesmas mengirim dahak ke rumah sakit. Penemuan ini
bertujuan untuk mendapatkan kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai
dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium
(pemeriksaan dahak dan/atau foto thoraks), menentukan diagnosis dan
menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat
dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya
kepada orang lain.
Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap
awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan,
tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara
lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh.

7.3 Output
Adapun target pencapaian dari kegiatan P2M TB puskesma Bulili untuk
tahun 2018 yaitu :
1. Terlaksananya pemeriksaan dugaan TB (suspek) sebanyak 143 orang
dalam 1 tahun. Sehingga 11-12 orang perbulan. Untuk target ini sampai
bulan desember seharusnya mencapai 450 orang namun target yang dapat
dicapai hanya 143 orang.
2. Tercapainya temuan 29 orang pasien positif TB melalui pemeriksaan
standar dalam 1 tahun. 2-3 orang perbulan. Perkiraan pencapaian target
sampai bulan desember sekitar 45 orang.
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Permasalahan utama dalam program P2 TB Paru Puskesmas Bulili
terdapat pada bagian proses. Beberapa masalah seperti :
1. Kurangnya SDM pada program P2 TB Paru di Puskesmas Bulili
2. pasien TB paru tidak memberikan sputum pada pihak puskesmas.
3. Penderita TB paru masih kurang patuh saat meminum obat dikarenakan
efek samping obat.

5.2 SARAN
Untuk meningkatkan program ini perlu dilakukan beberapa hal sebagai
berikut :
1. Untuk kendala SDM, sebaiknya meminta bantuan dari tenaga pengabdi
dipuskesmas Biromaru yaitu honorer.
2. Penyuluhan kesehatan mengenai TB Paru harus lebih sering dilakukan
untuk meningkatkan kunjungan masyarakat ke puskesmas sehingga angka
penemuan kasus bisa dideteksi lebih cepat.
3. Memberikan Edukasi untuk efek samping dari penggunaan OAT kepada
pasien agar lebih mempersiapkan diri jika terjadi efek samping.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2014. Multidrug and extensively drug-resistant TB


(M/XDR-TB). Global report on surveillance and response. Geneva: WHO.
2. Sri Andayani , Yoni Astuti. 2017. Prediksi Kejadian Penyakit Tuberkulosis
berdasarkan Usia di Kabupaten Ponorogo tahun 2016-2020. Universitas
Muhammadiyah Ponorogo
3. Infodatin. 2017. Tuberkulosis. Pusat Data dan Informasi Kementrian Indonesia
4. Dinas Kesehatan Kota Palu. 2015. Profil Kesehatan Kota Palu Tahun 2015.
Palu : Dinas Kesehatan Kota Palu.
5. Puskesmas Biromaru. Profil Puskesmas Biromaru Tahun 2017. Puskesmas
Biromaru: Palu. 2017.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Strategi Nasional
Penanggulangan TB Di Indonesia. Kementrian Kesehatan: Republik Indonesia
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberculosis. Kementrian Kesehatan: Republik Indonesia
8. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan
tuberkulosis. Jakarta; Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2017.

Anda mungkin juga menyukai