Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PRAKTIKUM

NARRATIVE WRITING

Oleh:

Yusticha Maylanda Darmawi

17/409171/KU/19729

Kelompok 11

Kedokteran Reguler 2017

PRODI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN KEPERAWATAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2020
Being A Final Medical Student in Pandemic Covid-19

Hari di mana aku menulis teks narasi ini adalah tahun angka kembar pertama di awal
abad 21 ini. Ya, tahun 2020. Tahun 2020 ini merupakan tahun yang pasti akan tercatat di banyak
buku-buku sejarah dan buku keilmuan lain karena betapa legendarisnya tahun ini. Tahun 2020
ini dapat diibaratkan sebagai tahun yang mengguncang setiap orang. Tidak hanya dalam lingkup
individu, bahkan hingga tingkat yang lebih luas seperti negara pun mengalami banyak krisis di
tahun 2020 ini. Tidak lain dan tidak bukan tentu akibat adanya pandemi virus jenis baru yang
melanda seluruh dunia.

Maka dari itu, seorang aku pun turut mengalami dampaknya. Sebagai mahasiswa
kedokteran yang akan menyongsong tahun terakhir di studi S1 ini, aku sudah membayangkan
dan menyiapkan diri tentang betapa sibuk dan penuhnya jadwal perkuliahanku nanti saat
memasuki masa-masa tahun terakhir. Mulai dari rutinitis kuliah beserta praktikumnya, segala
macam rangkaian ujian, hingga perihal skripsi.

Sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa masa pandemi ini walaupun memang banyak
hal yang tidak diharapkan justru terjadi. Namun masih ada hal-hal baik yang dapat diambil
hikmahnya. Menurutku pribadi, hal baik yang mungkin dapat diambil hikmahnya adalah aku
menjadi bisa dekat dengan keluarga dan orang-orang yang aku sayangi, menghemat pengeluaran
bulanan, hal-hal sepele lain seperti berkuliah tanpa perlu repot-repot berdandan terlebih dahulu,
dan hal-hal positif lain yang bisa kita peroleh saat di waktu-waktu biasanya tidak bisa kita
dapatkan dengan mudah.

Namun adanya pandemi ini juga menyebabkan rencana-rencana yang sudah aku susun
sedemikian rupa menjadi cukup berantakan. Bagaimana tidak, apabila banyak jadwal ujian-ujian
diundur, maka akan menyebabkan berbagai rangkaian timeline menjadi banyak berubah, bukan?
Tidak hanya itu, beban berkuliah online, belum lagi apabila terdapat gangguan jaringan, tugas
yang menumpuk, hingga suasana bosan di rumah menyebabkan rendahnya motivasi dalam
menjalankan kewajiban lain pun sangat mengganggu produktivitas harian. Bahkan pada detik di
mana aku menulis narasi ini pun tampaknya hanya ada dua puluh persen motivasi yang muncul,
setelah berhari-hari lamanya menunda untuk mengerjakan tugas ini.
Masa pandemi yang menuntut kegiatan yang sudah biasa dilaksanakan offline diubah
menjadi online itu pun cukup memberi pengaruh tersendiri. Saat kampus memberikan himbauan
untuk melakukan karantina mandiri untuk pertama kalinya, kampus sudah mulai berusaha untuk
beradaptasi dengan keadaan serta mengubah sistem perkuliahan menuju serba online. Hal yang
cukup berat bagi kami adalah banyak perkuliahan yang justru digantikan dengan tugas. Tidak
hanya perkuliahan dosen saja, namun kegiatan BCCT yang biasanya kami hanya perlu membuat
worksheet dan membaca buku blok sebelum sesi BCCT pun digantikan dengan tugas pula. Hal
ini cukup membuat rangkaian rencanaku sebagai mahasiswa tingkat akhir menjadi berantakan
karena waktu yang seharusnya dapat dialokasikan untuk menyicil belajar atau mengerjakan yang
lain, justru digunakan untuk mengerjakan tugas yang tidak pernah kubayangkan akan ada. Belum
lagi saat diadakannya kuliah pun dijadikan model kuliah panel yang mana banyak materi-materi
besar terkadang hanya disampaikan dengan sangat singkat karena keterbatasan waktu dan
mempertimbangkan terkait penggunaan kuota. Hal tersebut juga menyebabkan interaksi antara
dosen dan mahasiswa pun menurun.

Sebenarnya, menurutku pribadi, terkait pemberian jumlah tugas yang diberi, berat beban
tugas, beban perkuliahan lain, dan sebagainya, masih dapat ditoleransi karena memang tidak
sesusah dan sememberatkan itu, apabila dipikir-pikir kembali. Namun hal yang menyebabkan
terasa berat adalah beban pikiran terkait betapa tertumpuknya tugas tersebut di samping tugas
dan kewajiban lain yang juga menunggu untuk diberi perhatian khusus. Misalnya saja kewajiban
belajar OSCE, skripsi, dan kewajiban lainnya di luar akademik. Hanya dengan terbayang betapa
banyaknya tanggung jawab tersebut saja sudah cukup membuat tengkuk berat, kepala berdenyut,
dan otak mendidih. Itulah alasannya mengapa motivasiku sering kali tidak berkompromi karena
energi yang kupunya sudah habis terlebih dahulu oleh tekanan-tekanan yang timbul tersebut.

Aku pernah membaca suatu kutipan dari seorang yang bijak, bahwa sebenarnya orang
malas itu tidak ada. Kebanyakan orang menjadi malas karena dia menghindari suatu
perasaan/pengalaman/efek yang buruk/tidak diharapkan dari suatu kewajiban/tanggung
jawab/pekerjaan/tugas yang seharusnya dia kerjakan. Aku merasa setuju. Bukan bermaksud
membenarkan apa yang terjadi padaku selama menjalani perkuliahan di masa pandemi ini. Aku
tahu itu tidak baik. Namun ya, aku setuju sepenuhnya karena setelah dipikir-pikir memang aku
menghindari/menunda-nunda mengerjakan tugas/tanggung jawab hingga batas deadline yang
diberikan karena apabila aku menyentuh tugas tersebut di awal waktu, rasanya akan teringat
semua tanggung jawab yang menunggu kedepannya, bukan selesainya tugas yang dicapai, justru
pusing dan sakit kepala yang aku dapatkan. Jadilah aku menunda untuk memusingkan tugas-
tugas tersebut dan mengandalkan kemampuan otak encer di jam-jam terakhir batas pengumpulan
tugas.

Mungkin cara pandang yang menganggap bahwa tugas adalah suatu beban merupakan
cara pandang yang tidak seharusnya diterapkan pada seorang mahasiswa yang seyogyanya akan
bersukacita dalam menjalani segala kegiatan perkuliahan karena orientasinya adalah menuntut
ilmu. Namun, mekanisme coping setiap orang dalam menanggapi suatu tekanan pasti berbeda-
beda, bukan? Itulah yang selama ini aku rasakan selama menjadi seorang mahasiswa kedokteran
tahun terakhir di masa pandemi ini.

Beruntungnya kuliah-kuliah dosen yang diganti menjadi tugas hanya terjadi di beberapa
bulan awal masa perkuliahan online. Namun tetap saja, sesi BCCT yang selama masa
perkuliahan online hanya perlu membuat workplan, sekarang tetap diganti tugas. Mungkin
terkait perihal tersebut bisa sedikit kita kesampingkan karena tugas-tugas tersebut sebenarnya
masih bisa aku terima dan aku kerjakan dengan maksimal serta tanpa begitu banyak distress yang
aku rasakan selama mengerjakannya. Hanya saja, yang menjadi poin dari keseluruhan teks narasi
yang aku tulis dengan ketikan digital ini adalah, betapa tekanan justru hadir dari buah pikiran ku
sendiri tentang waktu perkuliahan yang tersisa semakin sedikit namun waktu yang ada terasa
kurang untuk mengerjakan kewajiban lain yang justru menjadi kunci untuk kelulusan S1 ini,
yaitu skripsi dan ujian OSCE akibat berubahnya timeline tadi. Bukan karena besar beban
berkuliah online atau tugasnya tersebut. Namun karena beban pikir ku sendiri yang merasa
adanya tugas-tugas tersebut membuat waktuku untuk mengerjakan kewajibanku yang lain terasa
menjadi prioritas yang ‘nanti-nanti’ saja, karena ada tugas yang perlu segera dikerjakan dan
dikumpulkan terlebih dahulu.

Aku sudah berandai-andai bahwa aku akan mengalokasikan waktu di sela-sela kuliahku
untuk menyicil skripsi dan belajar OSCE, namun menghadapi kenyataan bahwa waktu-waktu
tersebut banyak tersedot untuk menghayati makna soal, brainstorming, mencari sumber, dan
mengerjakan tugas yang sebelumya tidak kubayangkan akan ada itulah yang sangat memberi
tekanan tersendiri bagiku. Dan betapa merasa geramnya aku pada diriku sendiri, bahwa sifat
perfeksionisku dalam mengerjakan tugas tetap membara dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut
yang semakin menyebabkan banyak waktu yang tercurah selama mengerjakan tugas. Walaupun
dilanda rasa malas dan unmotivated, tapi sifat perfeksionis itu tetap saja bertengger di kepala ini
Mungkin seharusnya aku senang karena maknanya aku masih tidak menyepelekan sama sekali
output atau hasil dari tugas yang kukerjakan tadi, walau diiringi rasa malas sebelumnya, namun
aku masih bisa memberi hasil yang semaksimal-maksimalnya. Namun aku sadar, betapa
keperfeksionisan tersebut justru memberi imbas yang kuanggap kurang baik ke waktu yang
tersisa untuk dialokasikan mengerjakan kewajiban lainnya.

Aku bukan orang yang asing terkait ilmu time management, penentuan skala prioritas,
dan sebagainya. Sehingga aku bukan orang yang begitu tidak terorganisirnya terkait kewajiban-
kewajiban dan waktu yang kupunya. Jelas aku tahu bahwa aku akan mendahulukan tugas-tugas
yang bertenggang waktu sebentar lagi dibanding yang masih beberapa bulan lagi. Namun
memang distress yang kurasakan akibat beban takut lulus terlambat itulah yang membayang-
bayangiku dan menyebabkan aku menjadi pusing sendiri kemudian lebih memilih menenangkan
diri terlebih dahulu dibandingkan dipaksa mengerjakan tugas yang justru akan menjadikan
kondisiku sendiri lebih kalut dan tugas pun juga tidak akan terselesaikan dengan maksimal.

Jujur aku benci dengan diriku sendiri yang seperti ini. Aku sadar bahwa sebenarnya
masih ada waktu-waktu yang bisa kumanfaatkan. Namun kondisi distress (yang secara nyata
memberi efek psikosomatis berupa pusing, sakit kepala, nyeri badan, nyeri tengkuk, dan
sebagainya) yang ku alami dan motivasi yang benar-benar tidak bisa diharapkan untuk terus
menggebu-gebu ini menyebabkan banyak waktu justru kubuat untuk menenangkan diri terlebih
dahulu dibandingkan beraktivitas yang lain. Sungguh mekanisme coping-ku ini begitu lemah dan
buruk, sehingga di tengah tekanan ini, justru masalah fisik yang justru semakin ku rasakan.

Maka dari itu untuk kedepannya, aku akan lebih banyak berkompromi dengan tekanan-
tekanan tersebut, berusaha menjadi lebih tenang, berlatih untuk sadar akan sisa waktu yang
tersisa sedikit lagi, sehingga aku bisa memanfaatkan setiap waktu yang ada semaksimal mungkin
dan pada akhirnya semua kewajiban yang sekarang masih menjadi tanggungan ini akan dapat
terselesaikan tepat waktu dan dengan hasil yang semaksimal mungkin.
Jumlah kata : 1341

Identifikasi Teks

Tema : Being A Final Medical Student in Pandemic Covid-19

Struktur: Teks naratif dengan plotnya (dari segi waktu) campuran, yaitu maju dan mundur.

Karakter : Aku, yang merupakan seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir.

Sudut pandang : Orang pertama.

Setting :

- Waktu = di masa pandemi covid-19


- Tempat = di rumah
- Suasana = bosan, unmotivated, geram dan benci dengan diri sendiri, tertekan

Plot : apabila dijabarkan berdasarkan komponen-komponen plot, maka akan seperti ini:

- Exposition/Introduction : Penjelasan bahwa tahun 2020 ini adalah tahun pandemi dan
banyak memberi pengaruh ke berbagai aspek bahkan ke tingkat individu, terutama ke
seorang aku yang merupakan mahasiswa kedokteran tingkat akhir.
- Rising action : Kuliah menjadi online dan mulai banyak tugas pengganti.
- Climax : Saat timeline yang sudah dibentuk menjadi berantakan karena jadwal-jadwal
banyak diundur dan tugas-tugas menumpuk menimbulkan distress dan beban pikiran
yang menjadikan motivasi turun karena pikiran sudah terlanjur kalut dibuatnya.
- Falling action : Karakter marah dengan diri sendiri, menyalahkan diri sendiri karena
timbulnya beban pikiran yang seharusnya tidak terjadi. Ia sadar karena lemahnya coping
mechanism karakter teks ini, menyebabkan pikirannya menjadi berantakan akibat beban
pikirnya sendiri dan menjadikan semua hal terasa kalut.
- Resolution : karakter belajar lebih tenang dan mengatur pikiran-pikiran yang menekan
agar tidak menjadi distress bagi diri sendiri dan sadar agar waktu yang tersisa segera
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Moral value : Di masa-masa pandemi yang tidak diketahui bagaimana perkembangan
kedepannya, hendaknya terus menjaga kesehatan utamanya adalah kesehatan dan kekuatan
mental. Kondisi yang menekan hendaknya dihadapi dengan lebih gigih agar tidak muncul
pikiran-pikiran buruk yang justru menjadikan semua hal kalut dan justru tidak produktif. Belajar
untuk memilih mekanisme coping yang lebih positif apabila merasa tertekan. Belajar tidak
membuat-buat pikiran-pikiran buruk menggerogoti isi pikir.

Anda mungkin juga menyukai