Anda di halaman 1dari 35

REFARAT

Parafilia
Diajukan Sebagai salah Satu Syarat Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Di Bagian Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama
RSJ/Banda Aceh

Oleh

NAMA: Lerian Ferdika


NIM: 18174062

Pembimbing
dr. Juwita Sp.KJ

SMF/BAGIAN ILMU KESEHATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RUMAH SAKIT JIWA
BANDA ACEH
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas rahmat Allah Yang Maha Esa, Karna atas KehendakNya penulis
dapat menyelesaikan makalah refarat ini dengan judul Gangguan Parafillia.

Makalah refarat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Ilmu
Psikiatri. Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yyang tersedia untuk
menyusun makalah ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari
segi isi,susunan bahasa maupun sistematika penulisnya. Untuk itu kritik dan saran pembaca
yang bersifat membangun sangat diharapkan.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
dr.juwita Sp.KJ selaku pembimbing Kepaniteraan Ilmu Psikiatri di RSJ Banda aceh, yang
telah memberikan masukan yang berguna dalam proses penyusunan makalah ini.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang juga turut
membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini.

Akhir kata penulis berharap kiranya makalah ini dapat menjadi masukan yang
berguna dan bias menjadi iformasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait dengan
masalah kesehatan pada umum nya, dan khususnya tentang permasalahan gangguan
Parafillia

Banda aceh, 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKAN


2.1 DEFINISI...................................................................7
2.2 KLASIFIKASI.........................................................7
2.3 EPIDEMIOLOGI.......................................................8
2.4 ETIOPATOFISIOLOGI.............................................9
2.5 MANIFESTASI KLINIK........................................13
2.6 DIAGNOSA.............................................................13
2.7 DIAGNOSA BANDING.........................................28
2.8 PENATALAKNASAAN.........................................29
2.9 KOMPLIKASI.........................................................30
2.10 PROGNOSIS.........................................................33
BAB III KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN.......................................................34

DAFTAR PUSTAKA....................................................35

3
BAB I
PENDAHULUAN

Perilaku seksual bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu interaksi faktor-faktor


yang kompleks. Seksualitas ditentukan oleh anatomi, fisiologi, psikologi, lingkungan,
hubungan seseorang dengan orang lain yang mencerminkan perkembangan pengalaman seks
selama siklus kehidupannya. Ini termasuk persepsi sebagai laki-laki atau wanita dan semua
pikiran, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan kepuasan dan reproduksi, termasuk
ketertarikanya terhadap orang lain.
Seksualitas adalah sesuatu yang lebih dari jenis kelamin fisik, koitus atau non koitus
dan sesuatu yang kurang dari tiap aspek perilaku diarahkan untuk mendapatkan kesenangan.
Seksualitas normal termasuk hasrat, perilaku yang menimbulkan kenikmatan pada
dirinya dan pasangannya, dan stimulasi organ seks primer termasuk koitus tanpa disertai rasa
bersalah, atau kecemasan, dan tidak kompulsif. Pada beberapa konteks seks diluar
pernikahan, masturbasi, dan bebagai bentuk stimulasi seksual terhadap organ selain seksual
primer mungkin masih dalam batas normal.
Seksualitas seseorang dan kepribadian keseluruhan adalah sangat terjalin sehingga
tidak mungkin untuk membicarakan seksualitas sebagai bagian yang terpisah. Dengan
demikian istilah “psikoseksual” digunakan untuk mengesankan perkembangan dan fungsi
kepribadian sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh seksualitas seseorang. “Psikoseksual”
jelas bukan terbatas pada perasaan dan perilaku seksual, demikian juga tidak sama dengan
libido dalam pandangan Freud.
Dalam pandangan Sigmund Freud, semua impuls dan aktivitas yang menyenangkan
akhirnya adalah seksual dan harus sangat ditandai sejak permulaan. Seksualitas seseorang
tergantung pada empat faktor-faktor yang saling berhubungan: identitas seksual, identitas
jenis kelamin, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi
pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi kepribadian dan keseluhannya dinamakan “faktor
psikoseksual”. Seksualitas adalah sesuatu yang lebih dari jenis kelamin fisik, koitus atau
nonkoitus, dan sesuatu yang kurang dari tiap aspek perilaku diarahkan untuk mendapatkan
kesenangan. Fungsi utama perilaku seksual bagi manusia adalah membentuk ikatan, untuk
mengekspresikan dan meningkatkan cinta antara dua orang, dan untuk mendapatkan
keturunan.
Dalam dunia psikologi abnormal, gangguan abnormalitas seksual merupakan ruang
lingkup di dalamnya. Berdasar DSM IV TR (Asosiasi Psikiatrik Amerika) diklasifikasi
menjadi tiga garis besar yaitu Disfungsi seksual, Parafilia dan Gangguan Identitas Gender.

4
1.) Disfungsi psikoseksual – inhibisi dalam keinginan seksual atau penampilan
psikofisiologik
2.) Parafilia – perangsangan seksual terhadap stimulus yang menyimpang
3.) Gangguan identitas gender – pasien merasa sebagai jenis kelamin yang berlawanan.
Seiring dengan perkembangan zaman yang modern, kebebasan demokrasi dan hak
asasi manusia, salah satu jenis dari gangguan abnormal seksual parafilia, yaitu Homoseksual
mulai dihapus dari DSM IV TR dan dinyatakan bukan merupakan gangguan abnormal
seksual lagi bahkan saat ini di luar negeri sudah melegalkan perkawinan sejenis.
Homoseksualitas bukanlah gangguan medis atau kejiwaan, tetapi adalah sebuah kondisi yang
berhubungan dengan risiko medis tertentu. Homoseksualitas telah lama diakui baik di
populasi manusia dan hewan. Meskipun frekuensi homoseksualitas relatif, masih
disalahpahami dan kontroversial untuk banyak masyarakat. Individu homoseksual yang
memilih anggota jenis kelamin mereka sendiri untuk hubungan seksual dan kemitraan dalam
negeri sering menjadi sasaran prasangka dan bahkan mungkin didiskriminasi oleh para
profesional kesehatan.
Tujuh kategori disfungsi seksual dituliskan di dalam DSM IV TR yaitu gangguan
hasrat seksual, gangguan ransangan seksual, gangguan orgasme, gangguan nyeri seksual,
disfungsi seksual karena kondisi medis umum, disfungsi seksual akibat zat dan disfungsi
seksual yang tidak ditentukan.
Identitas seksual adalah karakteristik seksual biologis seseorang yaitu kromosom,
genitalia eksternal, genitalia internal, komposisi hormonal, gonad, dan karakteristik seks
sekunder. Dalam perkembangan normal, mereka membentuk suatu pola yang terpadu,
sehingga seseorang tidak memiliki keragu-raguan tentang seksnya. Identitas jenis kelamin
adalah rasa seseorang tentang kelaki-lakian atau kewanitaan.
Pada referat ini, kita akan membahas tentang parafilia yang pada PPDGJ disebut
sebagai gangguan preferensi seksual. Istilah parafilia diciptakan oleh Wilhelm Stekel pada
1920an. Parafilia merupakan istilah untuk segala sesuatu mengenai kebiasaan seksual, gairah
seksual, atau kepuasan terhadap perilaku seksual yang tidak lazim dan ekstrim.

5
Parafilia adalah stimulasi seksual atau tindakan yang menyimpang dari kebiasaan
seksual normal, namun bagi beberapa orang, tindakan menyimpang ini penting untuk
mendapatkan rangsangan seksual dan orgasme. Individu seperti ini mampu mendapatkan
pengalaman dalam kenikmatan seksual, namun mereka tidak memiliki respon terhadap
stimulasi yang secara normal dapat menimbulkan gairah seksual. Orang-orang dengan
parafilia terbatas pada stimulasi atau tindakan spesifik yang menyimpang.
Parafilia merupakan suatu tindakan bagi sebagian orang untuk melepaskan energi
seksual atau frustrasi mereka. Biasanya tindakan ini diikuti dengan gairah dan orgasme dan
dicapai dengan masturbasi dan fantasi. Gangguan ini kurang dikenali oleh masyarakat dan
sering sulit untuk diobati. Hal ini karena orang yang memiliki gangguan ini menyembunyikan
masalah mereka disebabkan oleh perasaan rasa bersalah, malu dan sering tidak bekerjasama
dengan profesi medis. Parafilia yang dialami oleh seseorang dapat merupakan parafilia
dengan kebiasaan mendekati normal sampai kebiasaan yang merusak atau menyakiti diri
sendiri ataupun pasangan sehingga pada akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap merusak
dan mengancam komunitas yang lebih luas.
Kriteria diagnostik untuk gangguan paraphilik telah dimodifikasi selama publikasi
Manual Diagnostik dan Statistik dari Psychiatric Association The American. Dalam edisi
terbaru, DSM-IV-TR (American Psychiatric Association, 2000), paraphilia harus memenuhi
dua kriteria penting yaitu fitur dari paraphilia yang berulang, fantasi yang membangkitkan,
dorongan seksual atau perilaku pada umumnya melibatkan bukan manusia melainkan benda,
penderitaan atau penghinaan diri sendiri atau pasangan atau anak-anak selama minimal 6
bulan (Kriteria A). Diagnosis dibuat jika perilaku, seksual dorongan, fantasi atau
menyebabkan klinis yang signifikan yaitu tekanan atau penurunan sosial, pekerjaan, atau
lainnya (Kriteria B).

6
BAB II
PARAFILLIA

A. DEFINISI
Parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap
objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Dengan kata
lain, terdapat deviasi dalam ketertarikan seseorang (filia). Parafilia (paraphilia) diambil
dari bahasa Yunani yaitu para yang artinya "pada sisi lain", dan philos artinya
"mencintai". Paraflia adalah gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan seksual yang
khusus dan desakan serta praktek seksual yang kuat, biasanya berulang kali dan sangat
menakutkan.
Perilaku seksual seseorang bisa dikatakan tidak lazim atau menyimpang jika
ketertarikannya secara seksual adalah pada salah satu dari sebagai berikut ini:
(a) bukan manusia, (b) orang dewasa yang tidak memberikan persetujuannya dalam
aktivitas seksual tsb, (c) anak-anak, dan (d) tindakan seksual yang mempermalukan atau
menyiksa dirinya ataupun partner seksualnya.
Paraphilia menjadi kondisi berbahaya jika sudah mengganggu orang tersebut dalam
kehidupanya sehari-hari sehingga dapat menimbulkan (stres, menghambatnya dalam
hubungannya dengan orang lain)

B. KLASIFIKASI
1. Parafilia Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder Edisi
Revisi IV (DSM-IV-TR)
 Ekshibisionisme
 Fetishisme
 Froteurisme
 Pedofilia
 Masokisme Seksual
 Sadisme Seksual
 Voyeurisme
 Fetishisme Transvestik
 Zoofilia

C. EPIDEMIOLOGI

7
Parafilia dipratekkan oleh sejumlah kecil populasi. Tetapi, sifat gangguan yang
berulang menyebabkan tingginya frekuensi kerusakan akibat tindakan parafilia. Di antara
kasus parafilia yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah jauh lebih sering
dibandingkan yang lainnya. Voyeurisme memiliki resiko yang tidak besar. 20% wanita
dewasa telah menjadi sasaran orang dengan ekshibisionisme dan voyeurisme.
Masokisme seksual dan sadisme seksual kurang terwakili dalam perkiraan prevalensi
yang ada. Zoofilia merupakan kasus yang jarang.
Menurut definisinya, parafilia adalah kondisi yang terjadi pada laki-laki. Lebih dari
80% penderita parafilia memiliki onset sebelum usia 18 tahun. Pasien parafilia umunya
memiliki 3 sampai 5 parafilia baik yang bersamaan atau pada saat terpisah. Kejadian
perilaku parafilia memuncak pada usia antara 15 dan 25 tahun, dan selanjutnya menurun.
Parafilia jarang terjadi pada pria umur 50 tahun, kecuali mereka tinggal dalam isolasi
atau teman yang senasib.
Pasien Parafilia dalam Terapi Rawat
Kategori Diagnostik
Jalan (%)
Pedofilia 45
Eksibisionisme 25
Veyorisme 12
Frotteurisme 6
Masokisme seksual 3
Transvestik Fetishisme 3
Sadisme seksual 3
Fetishisme 2
Zoofilia 1

Tabel 1 - Frekuensi Tindakan Parafilia yang dilakukan oleh Pasien Parafilia yang
mencari Terapi Rawat Jalan.

8
D. ETIOPATOFISIOLOGI
1. Faktor Psikososial
Dalam model psikoanalitik klasik, seseorang dengan parafilia adalah orang
yang gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan normal ke arah penyesuaian
heteroseksual, tetapi model tersebut telah dimodifikasi oleh pendekatan psikoanalitik.
Kegagalan menyelesaikan krisis oedipus dengan mengidentifikasi aggressor ayah
(untuk laki-laki) atau aggressor ibu (untuk perempuan) menimbulkan baik identifikasi
yang tidak sesuai dengan orang tua dengan jenis kelamin berlawanan atau pilihan
objek yang tidak tepat untuk penyaluran libido. Eksibisionisme dapat merupakan
suatu upaya menenangkan kecemasan mereka akan kastrasi. Kecemasan kastrasi
membuat eksibisionis meyakinkan diri sendiri tentang maskulinitasnya dengan
menunjukkan kelaki-lakiannya kepada orang lain, biasanya kepada wanita.
Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya adalah metode
yang dipilih oleh seseorang (biasanya laki-laki) untuk mengatasi kecemasan yang
disebabkan oleh: (1) kastrasi oleh ayah dan (2) perpisahan dengan ibu. Bagaimanapun
kacaunya manifestasi, perilaku yang dihasilkan memberikan jalan keluar untuk
dorongan seksual dan agresif yang seharusnya telah disalurkan kedalam perilaku
seksual yang tepat.
Kegagalan untuk memecahkan krisis oedipal melalui identifikasi dengan
agressor-ayah (untuk anak laki-laki) atau aggressor ibu (untuk anak perempuan)
menyebabkan identifikasi yang tidak sesuai dengan orangtua yang berlawanan jenis
kelamin atau pemilihan objek untuk katheksis libido yang tidak tepat. Teori lain
menyebutkan perkembangan paraphilia sebagai pengalaman awal yang membiasakan
atau mensosialisasi anak dalam melakukan tindakan parafiliak. Penganiayaan sebagai
anak dapat mempredisposisikan seseorang sehingga menjadi penerima penyiksaan
yang terus-menerus semasa dewasanya atau sebaliknya, menjadikannya penyiksa
orang lain.

Berdasarkan teori ini terdapat beberapa penyebab parafilia. Freud dan


koleganya mengajukan bahwa beberapa parafilia dapat disebabkan oleh penyimpangan

9
dari fase courtship. Normalnya, fase ini akan berujung pada proses mating pada pria
dan wanita. Fase ini dimulai dari masa remaja dan dengan/ tanpa adanya sexual
intercourse pada tahap awal perkembangan seksual. Fase Definitif Courtship :
a) Locating partner potensial à fase inisial dari courtship.
b) Pretactile interactionà berbicara, main mata
c) Tactile interaction à memegang, memeluk
d) Effecting genital unionà sexual intercourse .

Teori lain mengaitkan timbulnya parafilia dengan pengalaman diri yang


mengondisikan atau mensosialisasikan anak melakukan tindakan parafilia. Awitan
tindakan parafilia dapat terjadi akibat orang meniru perilaku mereka berdasarkan
perilaku orang lain yang melakukan tindakan parafilia, meniru perilaku seksual yang
digambarkan media, atau mengingat kembali peristiwa yang memberatkan secara
emosional dimasalalu. Teori pembelajaran menunjukkan bahwa karena
mengkhayalkan minat parafilia dimulai pada usia dini dan karena khayalan serta
pikiran pribadi tidak diceritakan kepada orang lain, penggunaan dan penyalahgunaan
khayalan dan dorongan parafilia terus berlangsung tanpa hambatan sampai usia tua.

2. Faktor Organik
Beberapa studi mengidentifikasi temuan organik abnormal pada orang dengan
parafilia. Di antara pasien yang dirujuk ke pusat medis besar, yang memiliki temuan
organik positif mencakup 74 % pasien dengan kadar hormone abnormal, 27 % dengan
tanda neurologi yang ringan atau berat, 24 % dengan kelainan kromosom, 9 % dengan
kejang, 9 % dengan disleksia, 4 % dengan EEG abnormal, 4 % dengan gangguan jiwa
berat, 4 % dengan cacat mental. Tes psikofisiologis telah dikembangkan untuk
mengukur ukuran volumemetrik penis sebagai repon stimulasi parafilia dan
nonparafilia. Prosedur dapat digunakan dalam diagnosis dan pengobatan, tetapi
memiliki keabsahan diagnostik yang diragukan karena beberapa laki-laki dapat
menekan respon erektilnya.
Beberapa faktor organik telah diimplikasikan dalam etiologi dari paraphilia.
Hal ini mencakup abnormalitas dalam sistem limbik otak, epilepsi lobus temporal,
tumor lobus temporal, dan karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia
adalah laki-laki, terdapat spekulasi bahwa androgen berperan dalam gangguan ini
(Bradford dan McLean,1984). Hasil penyelidikan-penyelidikan ini tidak meyakinkan
pada saat ini.
Menurut Sarwono (2002), ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya
penyimpangan perilaku seks pada kalangan remaja, yaitu:

10
1. Faktor Internal Faktor yang berasal dari dalam diri remaja itu sendiri.
Perubahan – perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual itu
sendiri pada remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan
penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.

2. Faktor Eksternal Yaitu faktor yang berasal dari luar diri remaja. Faktor –
faktor itu antara lain:
a. Penundaan usia perkawinan, baik secara hukum maupun secara norma
sosial yang menuntut persyaratan yang semakin tinggi untuk perkawinan,
misal: pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain.
b. Norma agama yang melarang berperilaku seksual yang bias mendorong
remaja melakukan senggama, seperti berpegangan tangan, berciuman,
sendirian dengan pasangan ditempat sepi.
c. Adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media
masa (TV, VCD, majalah, radio dan internet). Remaja cenderung ingin
tahu dan mencoba – coba serta meniru dengan apa yang dilihat dan
didengarnya khususnya karena remaja pada umumnya belum pernah
mengalami masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.
d. Orangtua, ketidaktahuan orang tua maupun sikap menabukan
pembicaraan seks dengan anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan
anak tentang masalah ini, akibatnya pengetahuan remaja tentang seks
berkurang. Peran orang tua dalam pendidikan anak sangat penting,
terutama pendidikan seksual.

3. Teori Behavioural (Kelakuan)


Berdasarkan teori ini, parafilia disebabkan oleh proses conditioning. Jika objek
nonseksual dipakai sering dan diulang-ulang untuk aktivitas seksual maka akan
mengakibatkan objek tersebut menjadi sexually arousing. Tidak harus dengan adanya
dorongan positif tapi bisa disebabkan oleh dorongan negatif. Misalnya jika anak laki-
laki suka membanggakan penisnya ketika ereksi maka ibunya akan memarahinya,
akibat dari itu, anak merasa bersalah dan malu dengan kelakuan seksual normal.
Pedofilia, ekshibisionisme dan vouyerisme merupakan akibat dari perilaku yang
beresiko dilakukan secara berulang-ulang. Conditioning bukan satu-satunya hal yang

11
berperan pada perkembangan parafilia. Hal yang juga berpengaruh adalah kepercayaan
diri yang rendah. Ini sering dijumpai pada pasien parafilia.

4. Teori Dawkin (Teori Transmisi Gen)


Parafilia dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Contohnya kebanyakan
orang akan mendapatkan orgasme yang pertama pada prapubertas tetapi ada beberapa
orang dapat terjadi sebelum periode prepubertas. Ada sedikit orang yang tanpa adanya
stimulus eksternal bisa mengalami orgasme, orang ini biasanya memiliki dorongan
seksual yang tinggi saat bayi (sonogram menunjukkan bayi memegang penisnya dalam
uterus). Anak yang aktif secara seksual pada usia muda akan cenderung aktif secara
seksual pada remaja. Hal ini dipengaruhi oleh DNA dan akan diturunkan kepada anak-
anaknya.

5. Teori Darwin
Faktor operatif dari teori Darwin ada 2, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas
jika dari keturunan yang dihasilkan yang besar dibandingkan dengan yang survive.
Kualitas yaitu yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan. Pria yang secara fisik
dapat menghasilkan banyak keturunan (kuantitas), dan wanita yang bertanggung jawab
untuk kualitas. Wanita akan lebih berhati hati dalam memilih pasangannya sedangkan
pria cenderung hanya untuk melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita
(tidak memilih-milih). Hal tersebut menjelaskan mengapa parafilia sering terjadi pada
pria. Study dari Sharnor (1978) menyatakan bahwa pria usia 12-19 tahun memikirkan
seks 20 kali dalam 1 jam atau sekali dalam 3 menit Pria usia 30-39 tahun,
memikirkan seks 4 kali per jam. Hal ini dapat menjelaskan alasan, mengapa parafilia
biasanya terjadi pada usia 15-25 tahun.

E. MANIFESTASI KLINIS
Penyimpangan seksual adalah istilah yang berlaku untuk subclass dari gangguan
seksual paraphilia. Paraphilia berhubungan dengan gairah dalam menanggapi obyek
seksual atau rangsangan yang tidak terkait dengan pola perilaku normal dan dapat
mengganggu pembentukan hubungan seksual. Dalam sistem klasifikasi modern, istilah
paraphilia adalah lebih baik untuk penyimpangan seksual karena menjelaskan sifat
penting dari kelompok perilaku yaitu, gairah sebagai respons terhadap stimulus yang
tidak pantas.
Paraphilia merupakan masalah yang muncul dari preferensi seksual yang tidak
menyenangkan untuk pasien, orang lain, atau masyarakat. Pasien menunjukkan
perubahan kapasitas respons erotis terhadap orang lain dan dapat dipahami sebagai

12
keterputusan (diskoneksi) antara seks dan cinta kasih. Gejala utama dari parafilia adalah
dorongan, fantasi, dan rangsangan yang terjadi berulang-ulang dan ada kaitannya
dengan:
1. Obyek-obyek yang bukan manusia (sepatu, baju dalam, bahan kulit atau karet).
2. Menyakiti diri sendiri atau menghina mitra sendiri.
3. Individu-individu yang tidak diperbolehkan menurut hukum  (anak-anak, orang yang
tidak berdaya atau pemerkosaan)..

F. DIAGNOSIS
1. Fetihisme
Fetihisme berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita fetishisme, aktivitas
seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos
kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan seksual. Sehingga,
orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita
yang meminta pasangannya untuk mengenakan benda-benda favoritnya, kemudian
melakukan hubungan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya tersebut dalam hal ini
orientasi seksual diarahkan pada objek kebendaan di sekitar si penderita. Fetishisme
adalah kelainan yang dikarakteristikan sebagai dorongan seksual hebat yang berulang
dan secara seksual menimbulkan khayalan yang dipengaruhi oleh objek yang bukan
manusia. Prevalensi tidak diketahui. Hal ini sering dapat ditelusuri dari masa remaja
dan biasanya berlanjut.
Pada fetishisme, dorongan seksual terfokus pada benda atau bagian tubuh
(seperti, sepatu, sarung tangan, celana dalam, atau stoking) yang secara mendalam
dihubungkan dengan tubuh manusia. Pada penderita fetishisme, penderita kadang
lebih menyukai untuk melakukan aktivitas seksual dengan menggunakan obyek fisik
(jimat), dibanding dengan manusia. Penderita akan terangsang dan terpuaskan secara
seksual jika:
1. Memakai pakaian dalam milik lawan jenisnya
2. Memakai bahan karet atau kulit
3. Memegang, atau menggosok-gosok atau membaui sesuatu, misalnya sepatu
bertumit tinggi.
Objek fetishisme sering digunakan untuk mendapatkan gairah selama
melakukan masturbasi, dorongan seksual tidak dapat terjadi jika ketidakhadiran dari
objek tersebut. Jika terdapat pasangan seksual, pasangannya ditanya untuk memakai
pakaian atau objek lain sesuai objek fethisnya selama aktivitas seksual.

13
Gambar 1. Foot Fetishisme

Pedoman Diagnostik Fetihisme menurut PPDGJ – III


 Mengandalkan pada beberapa benda mati(non-living object) sebagai rangsangan
untuk membangkitkan keinginan seksual dan memberikan kepuasan seksual.
Kebanyakan benda tersebut (object fetish) adalah ekstensi dari tubuh manusia,
seperti pakaian atau sepatu
 Diagnosis ditegakkan apabila object fetish benar-benar merupakan sumber yang
utama dari rangsangan seksual atau penting sekali untuk respon seksual yang
memuaskan.

14
 Fantasi fetihistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila
menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya sampai
menggangu hubungan seksual dan menyebabkan bagi penderitaan individu.
 Fetihisme terbatas hampir hanya pada pria saja

Kriteria Diagnostik Fetihisme menurut DSM-IV


1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa
pemakaian benda-benda mati (misalnya, pakaian dalam wanita)
2. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.
Objek fetish bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan pada “cross-
dressing” (berpakaian lawan jenis) seperti pada fetishisme transvestik atau alat-alat
yang dirancang untuk tujuan stimulasi taktil pada genital, misalnya sebuah vibrator.

2. Tranvetisme Fetihistik
Tranvetisme Fetihistik adalah gejala keadaan seseorang yang mencari
rangsangan dan pemuasan sexual dengan memakai pakaian dan berperan sebagai
seorang dari sex yang berlainan.Cross dressing tersebut dapat berupa menggunakan
salah satu bahan yang dipakai wanita atau mengenakan pakaian wanita lengkap dan
menampilkan diri sebagai wanita di depan umum. Tujuan orang tersebut adalah untuk
mencari kepuasan seksual. Pria yang mengalami penyakit ini mengadakan masturbasi
pada waktu mengenakan pakaian wanita dan berfantasi mengenai pria lain yang
tertarik dengan pakaiannya. Seorang wanita dikatakan mengalami kelainan ini jika
mereka mengenakan pakaian laki-laki untuk mencari kepuasan seksual.

15
Gambar 2. Tranvetisme Fetihistik pada Laki – Laki

Pedoman Diagnostik Tranvetisme Fetihistik menurut PPDGJ - III


 Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai
kepuasaan seksual
 Gangguan ini harus dibedakan dari fetihisme dimana pakaian sebagai objek fetish
bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk menciptakan penampilan seorang
dari lawan jenis kelaminya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang dipakai dan
seringkali suatu perlengkapan yang menyeluruh, termasuk rambut palsu dan tat
arias wajah.

 Transvetisme fetihistik dibedakan dari trasvetisme transsexual oleh adanya


hubungan yang jelas dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan/hasrat yang
kuat untuk melepaskan baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsang
seksual menurun
 Adanya riwayat transvetisme fetihistik biasanya dilaporkan sebagai suatu fase
awal oleh para penderita transeksualisme dan kemungkinan merupakan suatu
stadium dalam perkembangan transeksualisme.

Kriteria Diagnostik Fetishisme Transvestik menurut DSM-IV

16
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, pada laki-laki heteroseksual, terdapat
khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang
berulang dan kuat berupa ”cross dressing”.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis dan gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.

3. Ekshibisionisme
Eksibisionisme adalah dorongan berulang untuk menunjukkan alat kelamin
pada orang asing atau pada orang yang tidak menyangkanya. Kegairahan seksual
terjadi pada saat antisipasi terhadap pertunjukan tersebut, dan orgasme didapatkan
melalui masturbasi selama atau setelah peristiwa. Dinamika laki-laki dengan
eksibisonisme adalah untuk menegaskan maskulinitas mereka dengan menunjukkan
penis dan dengan melihat reaksi korban—ketakutan, kaget, jijik.

Gambar 3. Ekshibisionisme

Pedoman Diagnostik Ekhibisionisme menurut PPDGJ-III


 Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin
kepada orang asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang ramai
ditempat umum, tanpa ajakan atau niat untuk berhubungan lebih akrab.
 Ekshibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual yang
memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa, biasanya menghadap mereka
dalam jarak yang aman di tempat umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut,
takut, atau terpesona, kegairahan penderita menjadi meningkat.

17
 Pada beberapa penderita, ekshibisionisme merupakan satu-satunya penyaluran
seksual, tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini dilanjutkan bersamaan
(stimultaneously) dengan kehidupan seksual yang aktif dalam suatu jalinan
hubungan yang berlangsung lama, walaupun demikian dorongan menjadi lebih
kuat pada saat menghadapi konflik dalam hubungan tersebut.
 Kebanyakan penderita ekshibisionisme mendapatkan kesulitan dalam
mengendalikan dorongan tersebut dan dorongan ini bersifat “ego-alien” (suatu
benda asing bagi dirinya).
Kriteria Diagnosik Eksibisionisme menurut DSM-IV
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa
memamerkan alat kelaminnya sendiri kepada orang yang tidak dikenal dan tidak
menduga.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.

4.Voyeurisme
Istilah voyeurisme disebut juga (scoptophilia) berasal dari bahasa prancis yakni
vayeur yang artinya mengintip Penderita kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksual
dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi atau bahkan
berhubungan seksual. Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak
melakukan tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Pelaku hanya mengintip
atau melihat, tidak lebih. Ejakuasinya dilakukan dengan cara bermasturbasi setelah atau
selama mengintip atau melihat korbannya. Dengan kata lain, kegiatan mengintip atau
melihat tadi merupakan rangsangan seksual bagi penderita untuk memperoleh kepuasan

18
seksual. Voyeurisme adalah preokupasi rekuren dengan khayalan dan tindakan yang
berupa mengamati orang lain. Gangguan ini juga dikenal sebagai (scoptophilia).
Sebagian besar pelaku voyeurisme ialah dari golongan pria. Onset biasanya pada orang
usia muda dan gangguan cenderung dapat menjadi kronis.

Gambar 4. Voyeurisme

Pedoman Diagnostik Voyeurisme menurut PPDGJ-III


 Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang
berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti sedang menanggalkan
pakaian.
 Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan mastrubasi, yang
dilakukan tanpa orang yang diintip menyadarinya.

Kriteria Diagnostik Voyeuisme menurut DSM-IV


a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa

19
mengamati orang telanjang yang tidak menaruh curiga, sedang membuka pakaian,
atau sedang melakukan hubungan seksual.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fingsi
penting lainnya.

4. Pedofilia
Kata ini berasal dari bahasa Yunani:  paidophilia (παιδοφιλια), pais (παις,
"anak-anak") dan philia (φιλια, "cinta yang bersahabat" atau "persahabatan". Di
zaman modern, pedofil digunakan sebagai ungkapan untuk "cinta anak" atau "kekasih
anak" dan sebagian besar dalam konteks ketertarikan romantis atau seksual. Pedofilia
juga merupakan gangguan psikoseksual, yang mana fantasi atau tindakan seksual
dengan anak-anak prapubertas merupakan cara untuk mencapai gairah dan kepuasan
seksual. Perilaku ini mungkin diarahkan terhadap anak-anak berjenis kelamin sama
atau berbeda dengan pelaku. Beberapa pedofil tertarik pada anak laki-laki maupun
perempuan. Sebagian pedofil ada yang hanya tertarik pada anak-anak, tapi ada pula
yang juga tertarik dengan orang dewasa dan anak-anak.

Gambar 5. Pedofilia

Pedoman Diagnostik menurut Pedofilia PPDGJ – III


 Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya pra-pubertas atau awal masa
pubertas, baik laki-laki maupun perempuan
 Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan

20
 Preferensi tersebut harus berulang dan menetap
 Termasuk : laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual dewasa,
tetapi karena mengalami frustasi yang kronis untuk mencapai hubungan seksual
yang diharapkan, maka kebiasaanya beralih kepada anak-anak sebagai pengganti.
Kriteria Diagnostik Pedofilia menurut DSM-IV
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa aktivitas
seksual dengan anak prapubertas atau dengan anak-anak (biasanya berusia 13
tahun atau kurang)
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.
c. Orang sekurangnya berusia 16 tahun dan sekurangnya berusia 5 tahun lebih tua
dari anak, atau anak-anak dalam kriteria A.

5. Sadomasokisme
Sadisme seksual adalah preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan
seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun mental. Perbuatan
sadistik dalam bersetubuh antara lain memukul, menampar, menggigit, mencekik,
menoreh mitranya dengan pisau, menyayat-nyayat mitranya dengan benda tajam. Juga
bisa dengan mengeluarkan kata-kata kotor, penyiksaan berat sampai dengan
pembunuhan untuk mendapatkan kepuasan seks dan untuk mendapatkan orgasme
adalah puncak dari sadisme dimana tubuh korban dirusak dan dibunuh dengan kejam.
Biasanya hal ini dilakukan dengan kondisi jiwa psikotik. Ada semacam obsesi sangat
kuat merasa ditolak oleh wanita, sekaligus rasa agresif, dendam dan benci.
Masokhisme seksual yaitu mencapai kepuasan seksual dengan menyakiti diri
sendiri, lebih sering terjadi pada wanita, sedangkan sadisme lebih sering terjadi pada
laki-laki. Dalam hal ini kepuasan seksual dapat diperoleh bila mereka melakukan
hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti atau menyiksa pasangannya
Seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk
memperoleh kepuasan seksual, bentuk penyimpangan seksual ini umumnya terjadi
karena adanya disfungsi kepuasan seksual.

21
Gambar 6. Sadomasokisme

Kriteria Diagnostik Sadomasokisme menurut PPDGJ-III


 Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan pengikatan atau
menimbulkan rasa sakit atau penghinaan; (individu yang lebih suka untuk
menjadi resipien dari perangsangan demikian disebut “masokisme”, sebagai
pelaku = “sadism”)
 Seringkali individu mendapatkan rangsangan seksual dari aktivitas sadistik
maupun masokistik.
 Kategori ini hanya digunakan apabila sadomasokistik merupakan sumber
rangsangan yang penting pemuasan seksual.
 Harus dibedakan dari kebrutalan dalam hubungan seksual atau kemarahan yang
tidak berhubungan dengan erotisme.
Kriteria Diagnostik Untuk Sadisme Seksual menurut DSM-IV
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa tindakan
(nyata atau disimulasi) dimana penderitaan korban secara fisik atau psikologis
(termasuk penghinaan) adalah menggembirakan pelaku secara seksual.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.

22
Kriteria Diagnostik Untuk Masokisme Seksual menurut DSM-IV
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa tindakan
(nyata, atau disimuasi) sedang dihina, dipukuli, diikat, atau hal lain yang membuat
menderita.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.

6. Gangguan Preferensi Seksual Multipel


Kadang – kadang lebih dari satu gangguan preferensi seksual yang terjadi pada
seseorang dan tidak satupun lebih diutamakan daripada yang lainnya. Kombinasi yang
paling sering adalah fetihisme, transvestisme dan sadomasokisme.

7. Gangguan Preferensi Seksual Lainya


Suatu varietas dari pola lain pada preferensi dan aktivitas seksual mungkin
terjadi, yang masing – masing relatif tidak lazim. Ini mencakup kegiatan seperti
melakukan panggilan telepon cabul, menggosok – menempel pada orang untuk
stimulasi seksual di tempat umum yang ramai (frotteurisme), aktivitas seksual dengan
binatang. Menggunakan cekikan atau anoksia untuk mengintensifkan kepuasan
seksual dan kepuasan terhadap partner dengan cacat badan tertentu seperti tungkai
yang diamputasi.
Perbuatan erotik terlalu bermacam – macam dan banyak diantaranya terlalu
jarang atau idionsikatrik untuk diberikan istilah khusus untuk setiap kelainan.
Menelan urin, melaburkan feses, atau menusuk kulup atau puting susu merupakan
sebagian dari perilaku yan termasuk sadomasokisme. Masturbasi dengan berbagai
cara ialah lazim, tetapi praktek yang lebih ekstrem seperti memasukkan benda ke
rektum atau uretra penis atau strangulas diri parsialis, apabila menggantikan hubungan
seksual yang lazim, termasuk dalam abnormalitas. Nekrofilia juga harus dimasukkan
dalam kategori ini.

23
1. Frotteurisme
Frotteurisme biasanya ditandai oleh seorang laki-laki yang menggosokkan
penisnya kepada bokong atau bagian tubuh seorang wanita yang berpakaian lengkap
untuk mencapai orgasme. Pada saat yang lain, dia mungkin menggunakan tangannya
untuk meraba korban yang tidak menaruh curiga. Tindakan ini biasanya terjadi pada
tempat ramai, khususnya dalam kereta dan bus. Orang dengan frotteurisme adalah
sangat pasif dan terisolasi, dan cara tersebut seringkali merupakan satu-satunya
sumber kepuasan seksualnya.

Kriteria diagnostik Frotteurisme menurut DSM-IV


a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa menyentuh
atau bersenggolan dengan orang yang tidak menyetujuinya.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.

2. Incest
Incest adalah Hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non
suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki,
saudara laki-laki dengan saudara perempuan sekandung, kategori incest sendiri
sebenarnya cukup luas, di beberapa kebudayaan tertentu hubungan seksual yang
dilakukan antara paman dan keponakan atau sepupu atau bahkan galur seketurunan
(family) dapat dikategorikan sebagai perbuatan incest.

3. Nekrofillia
Nekrofilia adalah obsesi untuk mendapatkan kepuasan seksual dari mayat.
Sebagian besar orang dengan nekrofilia mendapatkan mayat untuk eksploitasinya dari
rumah mati. Beberapa orang diketahui menggali kuburan. Suatu waktu, orang
membunuh untuk memuaskan desakan seksualnya. Pada beberapa kasus yang
dipelajari, orang dengan nekrofilia percaya bahwa mereka membebankan penghinaan
terbesar yang dipikirkannya pada korban mereka yang mati.

24
Gambar .7 Frotteurisme Gambar .8 Nekrofilia

8. Parafilia yang tidak ditentukan


Skatologia Telepon
Pada skatologia, ditandai oleh panggilan telepon yang cabul, ketegangan dan
perangsangan yang dimulai saat akan menelepon, melibatkan pasangan yang tidak
menaruh curiga, penerima telepon mendengarkan saat penelepon (biasanya laki-laki)
secara verbal membuka preokupasinya atau mengajak wanita untuk menceritakan
aktivitas seksualnya, dan percakapan tersebut disertai dengan masturbasi, yang
seringkali disudahi setelah kontak terputus.
Orang dapat juga mengggunakan jaringan computer interaktif untuk
mengirimkan pesan cabul melalui surat elektronik. Di samping itu, orang
menggunakan jaringan computer untuk mengirimkan pesan dan gambar-gambar video
yang seksual. Beberapa orang secara kompulsif menggunakan jasa tersebut.

Gambar 9. Skatologia

25
Parsialisme
Dalam parsialisme seseorang memfokuskan pada satu bagian tubuh dan
menyingkirkan bagian lainnya. Kontak genital – mulut – seperti kunilingus (kontak
oral dengan genital eksternal wanita) felasio (kontak oral dengan penis), dan analingus
(kontak oral dengan anus) – adalah suatu aktivitas yang normalnya berhubungan
dengan pemanasan seksual (foreplay). Freud memandang bahwa permukaan mukosa
tubuh sebagai erotogenik dan mampu menghasilkan sensasi yang menyenangkan.
Tetapi jika seseorang menggunakan aktivitas tersebut sebagai sumber satu-satunya
kepuasan seksual dan tidak dapat melakukan koitus atau menolak melakukan koitus,
terdapat suatu parafilia. Keadaan ini juga dikenal sebagai oralisme.

Zoofilia
Zoofilia atau Bestially adalah bentuk penyimpangan orientasi seksual individu
dimana terdapat kejanggalan untuk mencapai kepuasan hubungan seksual dengan
menggunakan hewan sebagai media penyalur dorongan atau rangsangan seksual. Pada
kasus semacam ini penderita tidak memilki orientasi seksual terhadap manusia.
Zoofilia sebagai suatu parafilia yang jarang terorganisasi. Bagi sejumlah orang,
binatang adalah sumber utama hubungan, sehingga tidak mengejutkan bahwa binatang
rumah tangga dipergunakan untuk aktivitas seksual.
Hubungan seksual dengan binatang kadang-kadang merupakan suatu hasil
pertumbuhan dari tersedianya atau kesenangan, khususnya pada bagian dunia dimana
kaidah yang ketat melarang seksualitas pramarital atau dalam situasi isolasi yang
berlebihan. Tetapi, karena masturbasi juga tersedia dalam situasi tersebut, suatu
predileksi untuk kontak dengan binatang kemungkinan ditemukan pada zoofilia
oportunistik.

Gambar 8. Zoofilia

26
Koprofilia Dan Klismafilia
Koprofilia adalah kesenangan seksual yang berhubungan dengan keinginan
untuk defekasi pada tubuh pasangan, didefekasi oleh pasangan, atau makan feses
(koprofagia). Suatu varian adalah pemakaian kompulsif kata-kata cabul (koprolalia).
Parafilia tersebut adalah berhubungan dengan fiksasi pada stadium anal dari
perkembangan psikoseksual. Demikian juga, penggunaan enema sebagai bagian dari
stimulasi seksual, klismafilia, adalah berhubungan dengan fiksasi anal.

Urofilia
Urofilia adalah minat dalam kenikmatan seksual yang berhubungan dengan
keinginan untuk kencing pada tubuh pasangan atau dikencingi oleh pasangan; ini
adalah suatu bentuk erotikisme uretral. Keadaan ini mungkin disertai dengan teknik
masturbasi yang melibatkan insersi benda asing ke dalam uretra untuk mendapatkan
stimulasi seksual baik pada laki-laki maupun wanita.

Masturbasi
Masturbasi adalah aktivitas normal yang sering ditemukan pada semua
stadium kehidupan dari masa bayi sampai usia lanjut. Hal ini tidak selalu dianggap
demikian. Freud percaya neurastenia adalah disebabkan oleh masturbasi yang
berlebihan. Pada awal tahun 1990-an, kegilaan masturbasi (masturbatory insanity)
adalah suatu diagnosis yang sering ditemukan pada rumah sakit untuk kegilaan
criminal di AS. Masturbasi dapat didefinisikan sebagai pencapaian kenikmatan seksual
– biasanya menyebabkan orgasme – oleh diri sendiri (autoerotikisme). Alfred Kinsley
menemukan bahwa masturbasi adalah lebih menonjol pada laki-laki daripada wanita,
tetapi perbedaan tersebut tidak lagi benar. Frekuensi masturbasi bervariasi dari tiga
sampai empat kali dalam seminggu pada masa remaja sampai satu sampai dua kali
seminggu pada masa dewasa. Masturbasi sering ditemukan pada orang yang telah
menikah; Kinsey melaporkan bahwa keadaan ini terjadi rata-rata satu kali sebulan pada
pasangan yang menikah.

Teknik masturbasi adalah bervariasi pada kedua jenis kelamin dan dari orang
ke orang. Teknik yang paling sering adalah stimulasi langsung pada klitoris atau penis
dengan tangan atau jari. Stimulasi tidak langsung mungkin juga digunakan, seperti

27
menggosokan pada bantal atau mengencangkan panggul. Kinsey menemukan bahwa
2% wanita mampu mencapai orgasme melalui khayalan saja. Laki-laki dan wanita
telah diketahui menginsersikan benda-benda ke dalam uretranya untuk mencapai
orgasme. Vibrator tangan sekarang digunakan sebagai alat masturbasi oleh kedua jenis
kelamin.
Masturbasi adalah abnormal jika ia menjadi satu-satunya jenis aktivitas
seksual yang dilakukan, jika dilakukan sedemikian seringnya sehingga menyatakan
suatu kompulsi atau disfungsi seksual, atau jika secara terus menerus disukai untuk
berhubungan seks dengan pasangan.

Gambar 10. Ilustrasi Masturbasi/Onani

G. DIAGNOSIS BANDING
Klinisi perlu membedakan suatu parafilia dari coba-coba dimana tindakan dilakukan
untuk mengetahui efek baru dan tidak secara rekuren atau kompulsif. Aktivitas parafilia
paling sering terjadi pada masa remaja. Beberapa parafiliak (khususnya tipe kacau)
adalah bagian dari gangguan mental lain, seperti skizofrenia. Penyakit otak mungkin
melepaskan impuls yang buruk.

H. PENATALAKSANAAN
1. Kendali Eksternal
Penjara adalah mekanisme kendali eksternal untuk kejahatan seksual yang biasanya
tidak berisi kandungan terapi. Memberitahu teman sebaya, atau anggota keluarga

28
dewasa lain mengenai masalah dan menasehati untuk menghilangkan kesempatan
bagi perilaku untuk melakukan dorongannya.

2. Terapi Seks
Adalah pelengkap yang tepat untuk pengobatan pasien yang menderita
disfungsi seksual tertentu dimana mereka mencoba melakukan aktivitas seksual yang
tidak menyimpang dengan pasangannya.

3. Terapi Perilaku
Digunakan untuk memutuskan pola parafilia yang dipelajari. Stimuli yang
menakutkan, seperti kejutan listrik atau bau yang menyengat, telah dipasangkan
dengan impuls tersebut, yang selanjutnya menghilang. Stimuli dapat diberikan oleh
diri sendiri dan digunakan oleh pasien bilamana mereka merasa bahwa mereka akan
bertindak atas dasar impulsnya.

4. Terapi Obat
Termasuk medikasi antipsikotik dan antidepresan, adalah diindikasikan
sebagai pengobatan skizofrenia atau gangguan depresif jika parafilia disertai dengan
gangguan-gangguan tersebut.
Antiandrogen, seperti ciproterone acetate di Eropa dan medroxiprogesterone
acetate (Depo-Provera) di Amerika Serikat, telah digunakan secara eksperimental
pada parafilia hiperseksual. Medroxiprogesterone acetate bermanfaat bagi pasien
yang dorongan hiperseksualnya diluar kendali atau berbahaya (sebagai contoh
masturbasi yang hampir terus-menerus, kontak seksual setiap kesempatan, seksualitas
menyerang yang kompulsif). Obat serotonorgik seperti Fluoxetin (prozac) telah
digunakan pada beberapa kasus parafilia dengan keberhasilan yang terbatas.

5. Psikoterapi Berorintasi Tilikan


Merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati
parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia. Secara khusus,

29
mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka bertindak
atas impulsnya (sebagai contohnya, penolakan yang nyata atau dikhayalkan).
Psikoterapi juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya dan
memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang dapat diterima
untuk mendapatkan kepuasan seksual. Terapi kelompok juga berguna.

I. KOMPLIKASI
Perilaku seks bebas ini dapat menimbulkan berbagai dampak yang dapat merugikan bagi
remaja itu sendiri. Perilaku seks bebas pada remaja akan menimbulkan beberapa manifestasi
khususnya di kalangan remaja itu sendiri. Dampak yang berkaitan dengan perilaku seks bebas
ini menurut BKKBN (2008) meliputi :
1. Masalah penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS
2. Kehamilan yang tidak diinginkan
3. Dampak sosial seperti putus sekolah
4. Kanker
5. Infertilitas/kemandulan
Sedangkan menurut Sarwono (2003), Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan
berbagai dampak negatif pada remaja, diantaranya sebagai berikut :
1. Dampak Psikologis : Dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja
diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa.
2. Dampak Fisiologis : Dampak fisiologis dari perilaku seksual pranikah tersebut
diantaranya dapat menimbulkan kehamilan tidak diinginkan dan aborsi.
3. Dampak Sosial : Dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual yang dilakukan
sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang
hamil, dan perubahan peran menjadi ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang
mencela dan menolak keadaan tersebut
4. Dampak Fisik Dampak fisik lainnya sendiri menurut Sarwono (2003) adalah
berkembangnya penyakit menular seksual di kalangan remaja, dengan frekuensi
penderita penyakit menular seksual (PMS) yang tertinggi antara usia 15-24 tahun.
Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa sakit
kronis serta meningkatkan risiko terkena PMS dan HIV/AIDS.

Dampak yang lain dari perilaku seks bebas adalah penyakit menular seksual. Penyakit
menular seksual adalah penyakit yang pada umumnya terjadi pada alat kelamin dan
ditularkan terutama melalui hubungan seksual (Depkes, 2008). Penyakit menular seksual,

30
dapat diartikan suatu infeksi atau penyakit yang kebanyakan ditularkan melalui hubungan
seksual (oral, anal atau lewat vagina). Penyakit menular seksual juga diartikan sebagai
penyakit kelamin yang ditularkan melalui hubungan seksual. Harus diperhatikan bahwa
Penyakit ini menyerang sekitar alat kelamin tapi gejalanya dapat muncul dan menyerang
mata, mulut, saluran pencernaan, hati, otak, dan organ tubuh lain. Beberapa hal penting yang
perlu diketahui tentang penyakit menular seksual (PMS):
1. Penyakit menular seksual (PMS) dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan.
2. Penularan penyakit menular seksual (PMS) dapat terjadi, walaupun hanya sekali
melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan penderita penyakit
menular seksual (PMS).
3. Perempuan lebih mudah tertular penyakit menular seksual (PMS) dari pasangannya
dibandingkan laki-laki, karena bentuk alat kelaminnya dan luas permukaannya yang
terpapar sperma dari pasangannya.
4. Tanda-tanda dan gejala penyakit menular seksual (PMS) pada laki-laki biasanya
tampak jelas sebagai luka pada tubuh, sehingga pengobatan dapat dilakukan lebih
awal.
5. Komplikasi penyakit menular seksual (PMS) seperti kemandulan dapat dicegah bila
penyakit menular seksual (PMS) segera di obati.
Adapun macam – macam penyakit menular seksual yang umum sering menginfeksi
adalah:
1. Gonorrea adalah Kuman penyebab dari Neisseria gonnorrhoeae. Tanda-tandanya :
Nyeri pada saat kencing, merah, bengkah dan bernanah pada alat kelamin. Gejala
dan tanda-tanda pada wanita: Keputihan kental, rasa nyeri di rongga panggul,
dapat juga tanpa gejala. Gejala pada laki-laki: Rasa nyeri pada saat kencing,
keluarnya nanah kental kuning kehijauan, dapat juga tanpa-tanda gejala
Komplikasi yang timbul adalah infeksi radang panggul mandul, menimbulkan
kebutaan pada bayi yang dilahirkan Pemeriksaan yaitu dengan pewarnaan gram
(Yani widyastuti, dkk, 2009).

2. Chlamidia Disebabkan oleh bakteri Chamydia Trachomatis. Gejala yang


ditimbulkan: cairan vagina encer berwarna putih kekuningan, Nyeri di rongga
panggul, perdarahan setelah hubungan seksual. Komplilkasi yang muncul terjadi:
biasanya menyertai gonore, penyakit radang panggul, kemandulan akibat

31
perlekatan pada saluran falopian, infeksi mata pada bayi baru lahir, kemudahan
penularan infeksi HIV (Yani widyatuti, dkk, 2009).

3. Sifilis Kuman penyebabnya adalah Treponema Palidum. sekitar 6-12 minggu


setelah hubungan seksual muncul bercak merah pada tubuh yang datang hilang
serta tanpa disadari. Gejala : luka pada kemaluan tanpa ada nyeri, bintil bercak
merah pada tubuh. Komplikasi pada wanita hamil antara lain: dapat melahirkan
dengan kecacatan fisik seperti kerusakan kulit, limpa, hati, dan keterbelakangan
mental (Yani widyastuti, dkk, 2009).

4. Trikomonasiasis Disebabkan oleh protozoa Trichomanas Vaginalis. Gejala-gejala


yang mungkin timbul antara lain: keluar cairan encer berwarna kuning kehijauan,
berbusa dan berbau busuk, Sekitar kemaluan bengkak, kemerahan, gatal dan
terasa tidak nyaman. Komplikasi yang bisa terjadi: lecet sekitar kemaluan, bayi
lahir prematur, memudahkan penularan infeksi HIV (Yani widyastuti, dkk, 2009).

5. Kutil kelamin Disebabkan oleh Human Papiloma Virus. Gejala yang ditimbulkan:
tonjolan kulit seperti kutil besar disekitar alat kelamin (seperti jengger ayam)
(Yani widyastuti, dkk, 2009).

6. Chancroid Disebabkan oleh bakteri haemophillus ducreyi yang menular karena


hubungan seksual. Gejala dan tanda-tandanya: Luka-luka dan nyeri, benjolan
mudah pecah. Komplikasi: Luka dan infeksi sehingga mematikan jaringan
disekitar nya, memudahkan menularan HIV.

7. HIV-AIDS HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang
menyebabkan AIDS. Hampir tidak ada gejala yang muncul pada awal terinfeksi
HIV. Tetapi ketika berkembang menjadi AIDS, Maka orang tersebut perlahan-
lahan akan kehilangan kekebalan tubuhnya sehingga mudah terserang penyakit
dan tubuh akan melemah. Tes HIV (ELISA dua kali) perlu disertai konseling
sebelum dan sesudah dilakukan.

J. PROGNOSIS
Prognosisnya buruk untuk paraphilia karna berhubungan dengan onset usia yang
awal, tingginga frekuensi tindakan, tidak adanya perasaan bersalah atau malu terhadap
tindakan tersebut, dan penyalahgunaan zat. Perjalanan penyakit dan prognosisnya baik

32
jika pasien memiliki riwayat koitus disamping parafilia, jika pasien memiliki motivasi
tinggi untuk berubah, dan jika pasien datang berobat sendiri, bukannya dikirim oleh
badan hukum.

BAB III
KESIMPULAN

33
Gangguan Preferensi seksual atau disebut juga parafilia adalah sekelompok gangguan
yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual
yang tidak pada umumnya. Parafilia yang dialami oleh seseorang dapat merupakan parafilia
dengan kebiasaan mendekati normal sampai kebiasaan yang merusak atau menyakiti diri
sendiri ataupun diri sendiri dan pasangan, dan pada akhirnya menjadi kebiasaan yang
dianggap merusak dan mengancam komunitas yang lebih luas. Penyebab dari parafilia antara
lain adalah faktor psikososial dan faktor biologi.
Di antara kasus parafilia yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah jauh lebih
sering dibandingkan yang lainnya. Lebih dari 80% penderita parafilia memiliki onset sebelum
usia 18 tahun. Pasien parafilia umunya memiliki 3 sampai 5 parafilia baik yang bersamaan
atau pada saat terpisah. Kejadian perilaku parafilia memuncak pada usia antara 15 dan 25
tahun, dan selanjutnya menurun. Parafilia jarang terjadi pada pria umur 50 tahun, kecuali
mereka tinggal dalam isolasi atau teman yang senasib.
Gejala utama parafilia adalah dorongan, fantasi, dan rangsangan yang berulang-ulang
dan berkaitan dengan : (1) Obyek-obyek bukan manusia (sepatu, baju dalam, bahan kulit atau
karet). (2) Menyakiti diri sendiri atau pasangan. (3) Individu yang tidak diperbolehkan
menurut hukum  (anak-anak, orang yang tidak berdaya atau pemerkosaan).
Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria diagnostik PPDGJ III dan DSM – IV. Klinisi
perlu membedakan suatu parafilia dari coba-coba dimana tindakan dilakukan untuk
mengetahui efek baru dan tidak secara rekuren atau kompulsif.
Lima jenis intervensi psikiatri digunakan untuk mengobati orang dengan parafilia,
yaitu psikoterapi berorientasi tilikan, terapi seks, terapi perilaku, medikamentosa, dan terapi
aversi. Psikoterapi berorientasi tilikan adalah pendekatan yang paling sering digunakan.
Prognosisnya buruk berhubungan dengan onset usia yang awal, tingginya frekuensi
tindakan, tidak adanya perasaan bersalah atau malu terhadap tindakan tersebut, dan
penyalahgunaan zat. Prognosisnya baik jika pasien memiliki riwayat koitus disamping
parafilia, jika pasien memiliki motivasi tinggi untuk berubah, dan jika pasien datang berobat
sendiri, bukan dikirim oleh badan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/ Clinical
Psychiatry, 11th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2015.
2. Psychiatry. 4th ed. John Wiley & Sons. 2016.

34
3. Katzung: Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed. McGraw-Hill’s.
2016
4. Neurosciences from Molecule to Behavior: A University Textbook.
Springer Spektrum. 2015
5. Diagnostic and statistical manual of disorders, 5th ed. Arlington;
American Psychiatric Association. 2013.
6. Diagnostic Criteria from DSM-5. 1st ed. Washington; American
Psychiatric Association. 2013
7. Child and adolescent psychiatry. 3rd ed. John Wiley & Sons. 2012 8.
Textbook of Clinical Neuropsychiatry, 3rd ed. Taylor & Francis Group.
2012 9. Abnormal Psychology. 6th ed. McGraw-Hill’s. 2010

35

Anda mungkin juga menyukai