Anda di halaman 1dari 23

“KOMUNIKASI DAN PENYEBARAN INFORMASI SERTA

PERLINDUNGAN DAN PERAWATAN BAGI PETUGAS DAN CARE


GIVER”
DOSEN PENGAMPUH: Nikodemus, Ns.,M.Kes

DISUSUN OLEH
Tresia Paruntung (C1714201048)
Tresia Tandi’ Pau (C1714201049)
Venska Triyana Pattirousamal (C1714201050)
Veronika Tumaruk (C1714201051)
Verrel Brayen Siahaya (C1714201052)
Veske Kiding (C1714201053)
Victor Aditya Dos Remedios (C1714201054)
Yovita Linda Jehani (C1714201055)
Yunety Avalda Lein (C1714201056)
Yunita Noviline Lawalata (C1714201057)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS MAKASSAR


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun dan

menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah ini tentang “Komunikasi dan

Penyebaran Informasi Serta Perlindungan dan Perawatan Bagi Petugas dan

Care Giver” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan

Bencana.

Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam

menyusun makalah ini. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang

bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca baik itu mahasiswa

maupun masyarakat dan dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan yang berguna

untuk kita semua. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Makassar, 10 Oktober 2020.


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.
Indonesia merupakan negeri yang beruntung karena dianugerahi oleh
Tuhan YME sumber daya alam yang berlimpah. Tanahnya yang subur,
alamnya yang indah beserta kandungan kekayaan di perut bumi nusantara
pantas untuk disyukuri oleh seluruh bangsa. Namun begitu, di balik kekayaan
alamnya, negeri nusantara menyimpan segudang potensi bencana baik alam
maupun non alam. Gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran,
kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi dan lainnya menjadi bagian
kehidupan rakyat negeri ini. Terlepas bagi sebagian kalangan itu bentuk
cobaan dari Tuhan atau bukan, cara terbaik menyikapi ancaman bencana
adalah mempersiapkan diri sebelum bencana itu hadir.
Belajar dari bencana gempa dan tsunami Aceh-Nias 2004 yang
menimbulkan korban jiwa lebih dari dua ratus ribu jiwa, Indonesia baru mulai
mempersiapkan penanggulangan bencana dengan lebih terencana.
Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat
nasional dan Badan Penanggulangan Daerah (BPBD) di level daerah
diharapkan mampu mengefektifkan upaya untuk mempersiapkan masyarakat
menghadapi situasi bencana, mengatasi kondisi darurat bencana hingga
merehabilitasi pasca-bencana. Kehadiran UU nomor 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana juga merupakan bagian dari rencana bangsa ini
mempersiapkan segala potensi menghadapi bencana.
Penanggulangan bencana harus didukung dengan berbagai pendekatan
baik soft power maupun hard power untuk mengurangi resiko dari bencana.
Pendekatan soft power adalah dengan mempersiapkan kesiagaan masyarakat
melalui sosialisasi dan pemberian informasi tentang bencana. Sementara hard
power adalah upaya menghadapi bencana dengan pembangunan fisik seperti
membangun sarana komunikasi, membangun tanggul, mendirikan dinding
beton, mengeruk sungai dan lain-lain. Dalam UU, dua hal ini yang disebut
mitigasi bencana. Pada dua pendekatan inilah, komunikasi bencana amat
dibutuhkan.
Komunikasi dalam bencana tidak saja dibutuhkan dalam kondisi darurat
bencana, tapi juga penting pada saat dan pra bencana. Mempersiapkan
masyarakat di daerah rawan bencana tentu harus senantiasa dilakukan. Selain
informasi yang memadai tentang potensi bencana di suatu daerah, pelatihan
dan internalisasi kebiasaan menghadapi situasi bencana juga harus dilakukan
secara berkelanjutkan. Tapi harus diingat, informasi berlimpah saja tidak
cukup untuk menyadarkan warga atas bahaya bencana yang mengancam.
Cara menyampaikan informasi juga harus dilakukan dengan tepat.
Kekeliruan dalam mengkomunikasikan sebuah informasi, bisa menimbulkan
ketidakpastian yang memperburuk situasi. Dalam situasi ini, pendekatan
komunikasi budaya dan lintas budaya amat dibutuhkan

B. RUMUSAN MASALAH.
1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi?
2. Apa fungsi dari komunikasi?
3. Apa saja yang menjadi landasan komunikasi bencana?
4. Bagaimana proses manajemen komunikasi bencana saat tanggap darurat?
5. Bagaimana pengelolaan data dan infromasi penanggulangan?
6. Bagaimana desain sistem penyebaran informasi?
7. Apa yang dimaksud dengan Care Giver ?
8. Apa saja karakteristik Care Giver?
9. Apa saja jenis-jenis Care Giver?
10. Apa saja tugas-tugas Care Giver?
11. Bagaimana standarisasi petugas pelayanan Kesehatan dan Care Giver
dalam bencana?
12. Bagaimana perlindungan dan perawatan petugas dan Care Giver ?

C. TUJUAN.
1. Untuk mengetahui definisi komunikasi.
2. Untuk mengetahui fungsi komunikasi.
3. Untuk mengetahui landasan komunikasi bencana.
4. Untuk mengetahui proses manajemen komunikasi bencana saat tanggap
darurat.
5. Untuk mengetahui pengelolaan data dan infromasi penanggulangan.
6. Untuk mengetahui desain sistem penyebaran informasi.
7. Untuk mengetahui definisi Care Giver.
8. Untuk mengetahui karakteristik Care Giver.
9. Untuk mengetahui jenis-jenis Care Giver.
10. Untuk mengetahui tugas-tugas Care Giver.
11. Untuk mengetahui standarisasi petugas pelayanan Kesehatan dan Care
Giver dalam bencana.
12. Untuk mengetahui perlindungan dan perawatan petugas dan Care Giver.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KOMUNIKASI DAN PENYEBARAN INFORMASI


1. Definisi Komunikasi.
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu maksud, tujuan,
ataupun berita-berita kepada pihak lain dan mendapatkan respon atau
tanggapan sehingga masing-masing pihak mencapai pengertian yang
makasimal. Bentuk komunikasi dapat dilakukan secara lisan, tulisan,
isyarat dan juga media lainnya.
Berkaitan dengan bencana, komunikasi dapat berfungsi sebagai
radar sosial yang memberi kepastian kepada pihak lain mengenai adanya
bencana di suatu tempat. Dalam konteks ini, komunikasi diperuntukkan
pada kegiatan pra bencana yang meliputi kesiagaan, peringatan dini dan
mitigasi. Dalam hal ini, komunikasi memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai kesiagaan yang diperlukan dan perisapan apa yang
harus dilakukan ketika bencana itu terjadi. Semua ini, dimaksudkan
untuk mengurangi seminimal mungkin korban jiwa dan kerugian harta
benda.

2. Fungsi Komunikasi.
Komunikasi yang berada di dslam jarring koordinasi untuk
penanganan bencana (disaster) harus berfungsi setiap saat, baik pada
tahap sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana, maupun pada tahap
pasca terjadinya bencana. Fungsi-fungsi tersebut meliputi:
a. Early Warning System (sarana peringatan dini) yang dilakukan
untuk memprediksi akan terjadinya bencana sejak awal, sehingga
semua usaha pertolongan dan penyelamatan dapat dilakukan tepat
waktu, terseleksi tepat guna) dan mengurangi timbulnya kerugian
yang banyak (harta benda bahkan jiwa manusia).
b. Sarana koordinasi antar semua institusi atau organisasi yang akan
terlibat dalam operasi, agar menemukan cara yang tepat, cepat,
efektif dan efisien.
c. Sarana untuk memberikan perintah dan berita-berita.
d. Sarana bantuan administrasi dan logistik.

3. Landasan Komunikasi Bencana.


Menurut Haddow (2008) terdapat 5 landasan utama dalam membangun
komunikasi bencana yang efektif yaitu:
a. Customer focus, yaitu memahami informasi apa yang dibutuhkan
oleh pelanggan dalam hal ini masyarakat dan relawan. Harus
dibangun mekanisme komunikas yang menjamin informasi
disampaikan dengan tepat dan akurat.
b. Leadership commitment, pemimpin yang berperan dalam tanggap
darurat harus memiliki komitmen untuk melakukan komunikasi
efektif dan terlibat aktif dalam proses komunikasi.
c. Situational awareness, komunikasi efektif di dasari oleh
pengumpulan, analisis dan diseminasi informasi yang terkendali
terkait bencana. Prinsip komunikasi efektif seperti transparansi dan
dapat di percaya menjadi kunci.
d. Media partnership, media seperti televisi, surat kabar, radio, dan
lainnya adalah media yang sangat penting untuk menyampaikan
informasi secara tepat kepada public. Kerjasama dengan media
menyangkut kesepahaman tentang kebutuhan media untuk
mendapatkan informasi dan menyebarkannya kepada public.

4. Proses manajemen komunikasi bencana saat tanggap darurat.


Tahapan suatu manajemen komunikasi bencana bertujuan untuk
mengelolah bencana dengan baik dan aman. Manajemen komunikasi
bencan dibangun dengan koordinasi berbagai pihak yang terlibat dalam
penanganan bencana. Pelaksanaan manajemen komunikasi bencana
terdiri dari perencanaan, pengorganisasian atau koordinasi, pelaksanaan,
dan evaluasi.
a. Perencanaan manajemen komunikasi bencana.
Perencanaan pada dasarnya dilakukan jauh sebelum suatu kegiatan
berlangsung. Perencanaan dibuat untuk dapat mengoptialkan
pencapaian tujuan yang diharapkan. Perencanaan menjadi bagian
penting dalam pelaksanaan manajemen komunikasi bencana.
Perencanaan dibuat sebagai dasar atau pedoan dalam melaksanakan
manajemen komunikasi bencana.
b. Pengorganisasian manajemen komunikasi bencana.
Pengorganisasian dalam manajemen komunikasi bencana erat
kaitannya dengan pembentukan tim yang terdiri dari pihak-pihak
yang memiliki tugas dan fungsi serta bertanggung jawab dalam
pengelolaan bencana yang terjadi. Penoprganisasian melibatkan
berbagai pihak dengan pemilihan yang tepat, biasanya dilakukan
oleh BNPB, BPBD, TNI-Polri, dan tenaga kesehatan.
c. Pelaksanaan manajemen komunikasi bencana.
Seluruh pelaksanaan dalam manajemen komunikasi bencana
dilakukan berdasarkan pembagian tugas, fungsi, dan tanggung jawab
dari pihak-pihak yang terlibat dalam tim penanggulangan bencana.
Pelaksanaan yang berpedoman pada peran fungsinya diharapkan
dapat mempercept proses pencapaian tujuan dan menghindari resiko.
d. Evaluasi manajemen komunikasi bencana.
Evaluasi yang dilakukan sebaiknya pada akhir kegiatan dengan
melibatkan seluruh pihak yang ada dalam tim untuk mengetahui
keberhasilan atau kegiatan yang dilaksanakan dan mengetahui
kekurangan sebagai bahan untuk dapat bekerja lebih baik di waktu
akan datang.
5. Pengelolaan data dan informasi penanggulangan krisis bencana.
Informasi penanggulangan krisis Kesehatan akibat bencana harus
dilakukan dengan cepat, tepat, akurat dan sesuai dengan kebutuhan. Pada
saat pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana pelaporan informasi
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana dimulai dari
pengumpulan sampai penyajian informasi dan ditujukan untuk
mengoptimalisasikan upaya penanggulangan krisis Kesehatan akibat
bencana.
a. Informasi pra-bencana.
Dalam rangka mendukung upaya-upaya sebelum terjadi
bencana diperlukan data dan infromasi yang lengkap, akurat, dan
terkini sebagai bahan masukan pengelola program di dalam
mengambil keputusan terkait penanggulangan krisis Kesehatan
akibat bencana. Salah satu bentuk informasi yang cukup penting
adalah adanya profil yang menggambarkan kesiapsiagaan sumber
daya dan upaya yang telah dilakukan terkait dengan penanggulangan
krisis kesehatan akibat bencana di daerah, khususnya ditingkat
kabupaten atau kota. Informasi yang dikumpulkan dalam bentuk
profil teridri dari;
1) Gambaran umum wilayah, yang meliputi letak geografis,
aksesbilitas wilayah, gambaran wilayah rawan bencana,
geomedik mapping, data demografi, dan informasi bencana yang
pernah terjadi.
2) Upaya pencegahan,, mitigasi dan kesiapsiagaan yang pernah
dilakukan.
3) Upaya tanggap darurat dan pemulihan yang pernah dilakukan.
4) Gambaran pengelolaan data dan informasi.
Sumber informasi pra bencana yang dituangkan dalam bentuk
profil tersebut berasal dari dinas Kesehatan, rumah sakit, instansi
terkait dan puskesmas.
b. Informasi saat dan pasca bencana.
Informasi saat dan pasca bencana ini terdiri dari:
1) Informasi pada awal kejadian bencana.
Informasi ini harus disampaikan segera setelah kejadian awal
diketahui serta dikonfirmasi kebenarannya dengan
menggunakan formulir penyampaian informasi. Sumber
informasi dapat berasal dari masyarakat, sarana pelayanan
Kesehatan, dinas Kesehatan provinsi / kabupaten / kota dan
lintas sector.
2) Informasi penilaian kebutuhan cepat.
Informasi ini dikumpulkan segera setelah informasi awal
kejadian bencana diterima oleh Tim Peniilaian Kebutuhan Cepat
dengan menggunakan formulir. Sumber informasinya dapat
berasal dari masyarakat, sarana pelayana Kesehatan, dinas
Kesehatan provinsi/kabupaten/kota dan lintas sector.
3) Informasi perkembangan kejadian bencana.
Informasi ini dikumpulkan setiap kali terjadi perkembangan
informasi terkait dengan upaya penanganan krisis Kesehatan
akibat bencana yang terjadi. Informasi ini disampaikan
menggunakan formulir. Informasi berasal dari sarana pelayanan
Kesehatan dan dinas Kesehatan provinsi/kabupaten/kota

6. Desain sistem penyebaran informasi.


Proses penyebaran informasi dimulai dari sumber informasi, seperti
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisik (BMKG), Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan SAR
Nasional (BASARNAS), para relawan dan masyarakat. Selanjutnya
informasi diverivikasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) untuk mengecek kebenarannya dan dikirim ke operator seluler
yang selanjutnya disebarluaskan ke masyarakat di daerah yang ditujuh
melalui pesan singkat. Dengan car aini diharapkan masyarakat dapat
terhindar dari isu menyesatkan dari oknum yang tidak bertanggung
jawab.

B. PERLINDUNGAN DAN PERAWATAN BAGI PETUGAS DAN CARE


GIVER.
1. Definisi Care Giver.
Care giver adalah individu yang memberikan bantuan kepada
orang lain yang mengalami disabilitas atau ketidakmampuan dan
memerlukan bantuan dikarenakan penyakit dan keterbatasannya yang
meliputi keterbatasan fisik dan lingkungan (Widiastuti, 2009), Adapun
yang menjadi fungsi care giver adalah memberikan bantuan dan
perawatan terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan, baik secara
fisik, psikologis, spiritual, emosional, sosial, dan finansial. Berbagai
bentuk bantuan dan perawatan diberikan care giver untuk membantu
keberfungsian sistem kehidupan korban bencana (Bates, 2007)

2. Karakteristik Care Giver.


Menurut Mc Querrey (2012) karakteristik care giver yang baik adalah:
a. Empaty. Salah satu karateristik caregiver yang baik adalah memiliki
kemampuan empat kepada klien yang memerlukan pendamping.
Ketika melakukan pendampng baik kepada anak kecil atau
membantu orang tua, kemampuan “personal understanding” dan
koneksi dengan klien adalah hal yang sangat penting. Caregiver yang
baik mengerti bagaimana membuat klien menjadi nyaman dan
merasa diperlukan.
b. Patience. Individu yang menerima pendamping/pelayanan basanya
tergantung pada oranglain dan self sufficient, hal tersebut dapat
membuat mereka frustasi dan memberontak. Ketika seorang anak
yang tidak bias mengekpresikan rasa laparnya, atau yang tidak bias
mengungkapkan rasa sakit secara verbal atau sesirng lansia yang
mengalami demensia. Kesabaran menjadi hal yang vitasl untuk
caregiver. Anda harus mampu memisahkan diri dari emarahan dan
tidak terbawah situasi.
c. Realistic Outlook. Pelayanan/pendampingan sring dilakukan dalam
jangka waktu yang panjang untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari
dari klien. Memahami keterbatasan dari klien membantu caregiver
untuk menurunkan tekanan yang ada di lingungan. Caregiver yang
baik menyadari kapabilitas dan tetap terdorog untuk semangat dalam
melayani dan memperhatikan klien.
d. Strong Constitution. Tugas yang dilakukan oleh caregiver
berhubungan dengan aktivasi instrumentasl seperti memandikan baik
itu bayi atau lansia, membersihkan luka. Seorang caregiver ang baik
tidak akan merasa malu dengan tugas yang dilakukan.
e. Soothing Nature. Caregiver tahu bagaimana cara untuk
menenangkan klien. Menjadi voice of encouragement adalah hal
yang membuat kualitas dari caregiver jadi baik.
f. Reliability. Merupakan trait yang penting bagi caregiver. Individu
yang menerima pendampingan/pelayanan bergantung dan tidak bias
berisah dari caregiver dan sering merasa dekat dengan caregivernya.
Caregiver harus komitmen dalam memerikan pelayanan baik itu
memakan dan pemberian obat.
3. Jenis-jenis Care Giver.
Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal.
Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota keluarga, teman,
atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa dibayar, paruh waktu
atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang
yang dirawat, sedankan caregiver formal adalah relawan atau individu
yang dibayar untuk menyediakan pelayanan. Keduannya termaksut
orangorang yang menyediakan bantuan yang berhubungan dengan
aktivitas sehari-har dan tenaga professional yang menyediakan pelayanan
terutama dalam hal kesehatan mental maupun jasmani (Kahana dkk,1999
dan Day,2014 dalam Akupunne,2015).
Barrow (1996 dalam widiastuti, 2009) menyebutkan terdapat dua
jenis caregiver yaitu formal dan tidak formal. Caregiver formal adalah
indvidu yang memberikan perawatan dengan melakukan pembayaran
yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan atauun
tenaga professional lainnya.
Sementara caregiver informal adalah individu yang memberikan
perawatan dengan tidak melakukan pembayaran dan tidak secara tenaga
professional. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah dan biasa diberikan
oleh pasangan penderita, anak dari penderita atau anggota keluarga
lainnya.

4. Tugas-Tugas Care Giver.


Milligan (2004, dalam widiastuti,2009) dalam penelitiannya megatakan
bahwa tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas kepada
pekerjaan rumah tangga, akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori, sebagai
berikut :
a. Physical Care / Perawatan fisik, yaitu : merupakan tindakan yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan fisik atau kebutuhan
sehari-hari seperti memberi makan, menggunakan pakaian,
memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain.
b. Social Care / Kepedulian social, antara lain mengunjungi tempat-
tempat bencana atau pengungsian korban bencana sebagai
penghibbur dan memberi hiburan, menjadi suir, bertindak sebagai
informasi dar seluruh dunia luar perawatan di rumah.
c. Emotional Care, yaitu menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih
saying kepada pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun
dikatakan tetapi ditunjukkan melalui tugas-tugas lain yang
dikerjakan.
d. Quality Care, yaitu : membantu meningkatkan tingkat perawatan,
standar pengobatan dan idikasi kesehatan.

5. Standarisasi Petugas Pelayanan Kesehatan dan Care Giver dalam


Bencana.
a. Standarisasi Petugas Pelayanan Kesehatan.
Untuk memastikan kualitas dan profesionalitas dalam menangasi
kondisi gawat darurat dan tanggap bencanam ada beberapa
sertifikasi yang ditetapkan oleh negara dan fungsinya:
1) Sertifikasi BTCLS, PPGD, BTLS, dan GELS.
Sertifikasi ini digunakan bagi perawat dan care giver serta
tenaga medis lainnyacdalam menanganis pasien yang
rujukannya di rumah sakit, khususnya di Unit Gawat Darurat
(UGD), puskesmas, dan klinik. Seluruh tenaga medis yang
mimiliki sertifikat ini tentunya telah mampu menangani kasus
kegawatdaruratan kardiovaskuler, termasuk di dalamnya
serangan jantung (Acute Miocard Infark) dan Arythmia Lethal.
Tenaga medis yang memegang sertifikat ini telah dipercaya
menggunakan alat Automatic External Defibrillator yang
merupakan alat basic standar internasional. Selain itu, memiliki
juga kemampuan untuk menangani berbagai kasus
kegawatdaruratan trauma, khususnya pada kasus-kasus
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di perusahaan atau tempat
kerja.
2) Basic Sea Survival.
Sertifikasi ini digunakan bagi perawat atau care giver serta
tenaga medis lainnya dalam menangani pasien di oerairan.
Sederhananya, para perawat dibekali ilmu yang meliputi
pengenalan perangkat keamanan dan keselamatan di laut atau
air. Ini selarasa dengan kemampuan dan tanggung jawab untuk
memahami Teknik penyelamatan korban kecelakaan terutama di
laut, bantuan hidup dasar, keracunan, Teknik safe di bencana
laut, dan lainnya.
3) Sertifikat Perawat Penerbangan.
Serupa dengan pemilik sertifikasi Basoc Sea Survival, pemilik
sertifikasi perawat penerbangan memiliki tanggung jawab di
bidangnya yang spesifik. Mulai dari perusahaan pesawat
penerbangan domestic dan international, bandara, Lembaga
Kesehatan {enerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) di
seluruh Indonesia atau sejenisnya. Para perawat dan care giver
serta tenaga medis lainnya bertanggung jawab di Kawasan
ketinggian ekstrem maupun antariksawan. Mereka memiliki
kemampuan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA).
4) Keperawatan Intensive Care Unit.
Sertifikasi ini digunakan bagi perawat dan care giver serta
tenaga medis lainnya dalam menangani pasien di ruang ICU,
HCU, ICU RS, Klinik, Home Care, atau sejenisnya.
b. Kecakapan relawan.
Dalam Perka BNPB nomor 17 tahun 2011 tentang pedoman relawan
penanggulangan bencana mengatakan bahwa relawan
penanggulangan bencana perlu memiliki kecakapan-kecakapan atau
keterampilan khusus yang dibutuhkan dalam penanggulangan
bencana. Kemahiran relawan dapat digolongkan dalam kelompok
kecakapan berikut:
1) Perencanaan.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau memiliki
pengalaman terlibat dalam perencanaan penanggulangan
bencana dapat mendukung proses perencanaan kontijensi,
perencanaan tanggap darurat, dan perencanaan rehabilitasi dan
k=rekonstruksi pasca bencana.
2) Pendidikan.
Relawan yang terdidik sebagai pendidik dan / atau
berpengalaman menyelenggarakan pendidik dalam situasi
darurat dan pasca bencana dapat membantu petugas dalam
penyelenggaraan Pendidikan bagi para penyitas bencana
terutama anak-anak yang masih berada dalam usia sekolah.
3) Pelatihan, Geladi, dan Simulasi Bencana.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang pelatihan, geladi, dan simulasi
bencana dapat mendukung masyarakat dalam peningkatan
kesiapsiagaan bencana melalui pelatihan, geladi, dan simulasi
bencana.
4) Kaji Cepat Bencana.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam kaji cepat bencana dapat mendampingi
para petugas kaji cepat dalam melakukan pendataan korban,
pengungsi, dan kerusakan serta kerugian akibat bencana.
5) Pencarian dan Penyelamatan (SAR) dan evakuasi.
Relawan yang pernah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang ini dapat membantu dalam upaya
pencarian, penyelamatan, dan ebakuasi korban bencana.
6) Logistik.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang logistic bencana dapat membantu
para petugas dalam mengelola penerimaan, penyimpanan, dan
distribusi logistic bencana termasuk pencatatan dan
pelaporannya.
7) Keamanan Pangan dan Nutrisi.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang ini dapat mendukung para petugas
dalam menjaga kecukupan pangan dan status nutrisi para
penyitas bencana dalam penampungan sementara.
8) Dapur Umum.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang pengelolaan dapur umum dapat
mendukung para petugas dalam menyiapkan makanan bagi para
penyitas bencana dalam penampungan sementara, termasuk
menjaga kecukupan, kualitas, dan kehigienisan makanan yang
disiapkan.
9) Pengelolaan Lokasi Pengungsian dan Huntara.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang ini dapat mendukung para petugas
dalam mengelola lokasi penampungan bagi para penyitas
bencana.
10) Pengelolaan Posko Penanggulangan Bencana.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang ini dapat mendukung para petugas
dalam mengelola posko penanggulangan bencana.
11) Kesehatan Medis.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang medis dapat mendukung para
petugas dalam menjaga Kesehatan para penyitas bencana,
termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan Kesehatan keliling.
12) Air bersih, Sanitasi, dan Kesehatan Lingkungan.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang ini dapat mendukung para petugas
dalam mencegah timbulnya penyakit di lokasi-lokasi
penampungan para penyitas bencana melalui pengelolaan air
bersih, sanitasi, dan Kesehatan lingkungan.
13) Keamanan dan Perlindungan.
Relawan yang telah terdidik dan menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidan ini dapat mendukung petugas dalam
menyediakan keamanan dan perlindungan bagi para penyitas
bencana dan asset mereka.
14) Gender dan Kelompok Rentan.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam isu gender dan kelompok rentan dapat
mendukung petugas dalam menjaga serta melindungi
kepentingan kelompok-kelompok yang lebih rentan.
15) Psikososial / Konseling / Penyembuhan Trauma.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang ini dapat mendukung petugas
dalam menjaga Kesehatan jiwa penyitas bencana termasuk
menangani dampak bencana pada hubungan keluarga.
16) Bahasa Asing.
Relawan yang telah menerima pendidikan atau pelatihan Bahasa
asing dan / atau berpengalaman dalam menggunakan bahasa
asing, dapat membantu mendampingi pihak-pihak asing yang
terlibat dalam respon bencana di Indonesia.
17) Informasi dan Komunikasi.
Relawan yang telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang ini dapat mendukung para petugas
dalam mengelola informasi, termasuk informasi peringatan dini
jika bahaya masih mengancam dan mendukung kelancaran
komunikasi dalam situasi darurat bencana.
18) Hubungan Media dan Masyarakat.
Relawan yang telah menerima pendidikan atau pelatihan dan /
atau berpengalaman dalam bidang ini dapat mendukung petugas
dalam menyampaikan informasi kepada media dan masyarakat,
termasuk menampung keluhan-keluhan dari pihak media dan
masyarakat penyitas bencana maupun penduduk yang tinggal di
sekitar lokasi penampungan sementara.
19) Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan.
Relawan yang telah menerima pelatihan pemantauan, evaluasi,
dan pelaporan dan / atau berpengalaman dan menguasai
keterampilan ini dapat membantu kegiatan pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan dalam penanggulangan bencana.
20) Promosi dan Mobilisasi Relawan.
Relawan yang terdidik atau telah menerima pelatihan dan / atau
berpengalaman dalam bidang ini dapat membantu upaya
promosi kerelawanan serta memobilisasi relawan dalam situasi
bencana.

6. Perlindungan dan Perawatan bagi Petugas dan Caregiver


Istilah perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum bisa
berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak
ditafsirkan berbeda da tidak cederai olah aparat penegak hukum dan
juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hokum terhadap
sesuatu. Hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan
dari hokum. Dengan demikian hamper seluruh hubungan hukum harus
mendapat perlidungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak
macam perlindungan hukum secara umum perlindungan hukum
diberikan kepada subjek hukum yang bersangkutan bersinggungan
dengan peristiwa hukum.
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya
fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlidungan hukum
adalah suatu Perlindungan yang diberikan keada subjek hukum sesuai
dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat prevenif (pencegahan)
maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang
secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan
peraturan hukum.
Dalam penelitian yang ditulis oleh M.Fakih,S.H.,M.S, di
Fakultas Hukum UGM, yang berjudul “Aspek Keperdataan Dalam
Pelaksanaan tugas Tenaga Keperawatan Di Bidang Pelayanan
Kesehatan Di Provinsi Lampung”. Dalam pernyataanya menyebutkan
bahwa “Mengingat perawat sebgai tenaga kesehatan terdepan dalam
pelayanan kesehatan di masyarakat, pemerintah menerbitan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor HK.02/Menkes/148/2010
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Pasal 8 ayat (3) permenkes menyebutkan praktik keperawatan
meliputi pelaksaaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya
promotif, preventif, dan pemberdayaan masayrakat dan pelaksanaan
tindaka keperawatan komplementer. Dari pasal tersebut menunjukkan
aktivtas perawat dilaksanakan secara mandiri (independent) berdasar
pada ilmu dan asuhan keperawatan, dimana tgas utama adalah
merawat (care) dengan cara memberikan asuhan keperawatan
(nurturing) untuk memuaskan kebutuhan fisiologi dan psikologis
pasien.
Hingga saat ini penjanjian keperawatan atau informed consent
keperawatan belum diatur secara tertulis dan baru mengatur infrmed
consent tindakan kedokteran sebgaaimana diatur dalam Permenkes
No.290/MenKes/Per?III/2008. Sehingga tidakan medic yang
dilakukan perawat pada prinsipnya berdasarkan delegasi secara
tertulis dari dokter. Kecuali dalam keadaan darurat, perawat diizinkan
melakukan tindakan medic tanpa delegasi dokter sesuai pasal 10 ayat
(01) Permekes No. HK. 02.02/MenKes/148/2010.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN.
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu maksud, tujuan,
ataupun berita-berita kepada pihak lain dan mendapatkan respon atau
tanggapan sehingga masing-masing pihak mencapai pengertian yang
makasimal. Bentuk komunikasi dapat dilakukan secara lisan, tulisan,
isyarat dan juga media lainnya.
Berkaitan dengan bencana, komunikasi dapat berfungsi sebagai radar
sosial yang memberi kepastian kepada pihak lain mengenai adanya
bencana di suatu tempat. Dalam konteks ini, komunikasi diperuntukkan
pada kegiatan pra bencana yang meliputi kesiagaan, peringatan dini dan
mitigasi.
Komunikasi yang berada di dslam jarring koordinasi untuk
penanganan bencana (disaster) harus berfungsi setiap saat, baik pada tahap
sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana, maupun pada tahap pasca
terjadinya bencana.
Proses penyebaran informasi dimulai dari sumber informasi, seperti
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisik (BMKG), Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan SAR Nasional
(BASARNAS), para relawan dan masyarakat. Selanjutnya informasi
diverivikasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk
mengecek kebenarannya dan dikirim ke operator seluler yang selanjutnya
disebarluaskan ke masyarakat di daerah yang ditujuh melalui pesan
singkat.
Care giver adalah individu yang memberikan bantuan kepada orang
lain yang mengalami disabilitas atau ketidakmampuan dan memerlukan
bantuan dikarenakan penyakit dan keterbatasannya yang meliputi
keterbatasan fisik dan lingkungan.
Untuk memastikan kualitas dan profesionalitas dalam menangasi
kondisi gawat darurat dan tanggap bencanam ada beberapa sertifikasi yang
ditetapkan oleh negara
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi
hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlidungan hukum adalah suatu
Perlindungan yang diberikan keada subjek hukum sesuai dengan aturan
hukum, baik itu yang bersifat prevenif (pencegahan) maupun dalam
bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis
maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

B. SARAN.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama
mahasiswa keperawatan. Semoga dapat menjadi bahan acuan
pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan. Adapun, semoga makalah ini
dapat menambah wawasan yang berarti bagi pembaca mengenai proses
penanggulangan bencana baik dari segi komunikasi dan penyebaran
informasi serta perlindungan hukum pada perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Bates, M. (2007). Caregiving and the Elderly. Ohio: Case Western Reserve
University.
BNPB (2011). PerKa Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17
Tahun 2011 Tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana. Jakarta:
Mentri Hukum & HAM.mc
Lestari, Puji. 2013. Manajemen Komunikasi Bencana Gunung Sinabung 2010
Saat Tanggap Darurat. Yogyakarta: UPN Veteran.
McQuerry, L. (2012). Good Qualities of a Caregiver. USA: Presbyterian Chruch.
M. Fakih, S.H., M.Si. (2013). Aspek Keperdataan Dalam Pelaksanaan Tugas
Tenaga Keperawatan Di Bidang Pelayanan Kesehatan Di Provinsi
Lampung. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Prasojo, I. (2011). Desain Sistem Penyebaran Luasan Informasi Bencana Alam
Dengan Telepon Seluler. Yogyakarta: UPN Veteran.
Rudianto. 2015. Komunikasi Dalam Penanggulangan Bencana. Jurnal Simbolika.
Volume 1. Nomor 1.
Widiastuti, R. (2009). Coping Stress Pada Primary Caregiver. Medan: F.
Psikologi USU.

Anda mungkin juga menyukai