Anda di halaman 1dari 51

CRITICAL BOOK REPORT

HUKUM TATA NEGARA

Skor Nilai:

HUKUM TATA NEGARA PASCA PERUBAHAN UUD NEGARA RI


1945

(Dr. I. Gede Yusa, S.H. M.H, dkk.)

PENGANTAR ILMU HUKUM TATA NEGARA JILID II

(Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.)

Nama Mahasiswa : Maria Margaretha Manik

NIM : 3192111001
Dosen Pengampu : Dra. Yusna Melianti, MH.

Mata Kuliah : Hukum Tata Negara

Kelas : II PPKn Reguler D

PRODI S1 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
APRIL 2020
Executive Summary

Dalam buku Dr. I. Gede Yusa., S.H., M.H, dkk. ,buku Hukum Tata Negara Pasca
Perubahan UUD Negara RI ini dimaksudkan sebagai bacaan bagi mahasiswa Starata-1 dan
para pemula yang ingin mengetahui mengenai hakikat ketatanegaraan di bidang hukum.

Kedua, dalam judul ini juga tergambar bahwa isi buku ini merupakan pengantar
terhadap kajian ilmu hukum tata negara yang bersifat umum, yang tidak hanya terbatas
kepada pengertian hukum dan pengertian tata negara namun sinkron dengan pembahasan
bagaimana hukum itu berjalan dalam ketatanegaraan di suatu negara.
Sangat banyak sekali mahasiswa (sebagai calon guru) yang belum mengetahui
pengetahuan dasar mengenai pengantar hukum tata negara. Padahal jika kita membaca buku
tersebut maka pengetahuan kita akan bertambah semakin luas mengenai perspektif hukum
dalam ketatanegaraan.

i
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur selalu penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia yang telah diberikannya penulis dapat menyelesaikan tugas
Critical Book Report dengan judul buku utama “Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD
Negara RI 1945” dengan buku pembanding “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II”
Critical Book Report ( CBR ) ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliahHukum Tata
Negara.
Dalam pembuatan Critical Book Report ini penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang terlibat dan membantu penulis hingga makalah ini tersajikan,
sebagai berikut, Ibu Dra. Yusna Melianti, MH, sebagai dosen pengampu mata kuliah Hukum
Tata Negara, kedua Orang Tua yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis dan
semua teman-teman yang telah membantu penulis hingga makalah ini tersajikan.

Penulis sangat menyadari bahwasanya tugas ini masih memiliki banyak kekurangan
serta adanya kesalahan dalam penulisan dan kritik yang kurang tepat oleh karena itu penulis
memohon maaf dan penulis membutuhkan saran serta kritik dari Ibu Dosen serta pembaca
untuk kesempurnaan tugas ini.

Medan, 02 April2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER

EXECUTIVE SUMMARY .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii

BAB. I PENDAHULUAN
1.1 Rasionalisasi Pentingnya CBR ............................................................................ 1
1.2 Tujuan CBR ......................................................................................................... 1
1.3 Manfaat CBR ....................................................................................................... 1
1.4 Identitas Buku ...................................................................................................... 2

BAB. II RINGKASAN BUKU


2.1 Ringkasan Buku Utama ...................................................................................... 3
2.2 Ringkasan Buku pembanding ............................................................................. 27

BAB. III PEMBAHASAN


3.1 Kelebihan dan Kekurangan Buku ....................................................................... 41

BAB. IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 44
4.2 Rekomendasi ....................................................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 45


LAMPIRAN....................................................................................................................... 46

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Rasionalisasi Pentingnya CBR

Studi kuliah yang diambil PPKn adalah salah satu jurusan yang merupakan hanya 1
fakultas ilmu sosial yang mempelajari hukum tata negara khususnya jurusan PPKn dan
jurusan lain yang terkait dengan mata kuliah Hukum Tata Negara.

Mahasiswa pada umumnya sangat sedikit mengetahui pengantar hukum tata negara.
Padahal pengantar ini sangat di butuhkan bagi mahasiswa yang jurusannya terakit dengan
mata kuliah ukum tata engara. Oleh sebab itu pentingnya disini dalam pembuatan Critical
Book Report Hukum Tata Negara. Karena dengan pengerjaan CBR ini maka mahasiswa pun
akan semakin banyak mencari sumber referensi yang cocok. Dan dengan demikan maka
mahasiswa tersebut akan membaca dan memahaminya, jadi dengan membaca dan
memahaminya maka pengetahuan mahasiswa akan semakin bertambah. Oleh sebab itulah
para mahasiswa perlu melakukan pengkritikan pada buku mata kuliah Hukum Tata Negara
supaya bisa lebih melatih mahasiswa dalam pengerjaan laporan penelitian lainnya.

1.2 Tujuan Penulisan CBR

❖ Sebagai pemenuhan tugas mata kuliahHukum Tata Negara.


❖ Sebagai bahan referensi dan bisa menimbulkan minat membaca bagi mahasiswa
agar bisa menjadi mahasiswa yang cerdas dan berpikir kritis.
❖ Untuk bisa melakukan pembedaan buku tersebut dan melakukan pengkritisan
terhadap buku tersebut melalui kelebihan dan kekurangan buku.

1.3 Manfaat Penulisan CBR

Menjadi bahan referensi yang akan mungkin dibutuhkan dalam pengerjaan mata
kuliah lainnya sehingga dapat mempermudah untuk mengerjakan mata kuliah yang
bersangkutan dengan apa yang disampaikan dalam buku ini.

1
1.4 Identitas Buku

A. Buku Utama

Judul : Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD

Negara RI 1945

Edisi : Cetakan ke-1

Pengarang : Dr. I. Gede Yusa, S.H., M.H, dkk.

Penerbit : Setara Press

Kota Terbit : Malang, Jatim

Tahun Terbit : 2016

ISBN : 978-602-1642-98-6

Download : https://www.studocu.com/id/document/universitas-indonesia/asas-asas-

hukum-tata-negara/lecture-notes/pengantar-ilmu-hukum-tata-negara-2/3834157/view

B. Buku Pembanding

Judul : Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II

Edisi : Cetakan ke-1

Pengarang : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H

Penerbit : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran

Mahkamah Konstitusi RI

Kota Terbit : Medan

Tahun Terbit : 2006

ISBN :-

Download:https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/f58780fe17d2db10ce3843fc
6157a20.pdf

2
BAB II

RINGKASAN BUKU

2.1 Ringkasan Buku Utama

“HUKUM TATA NEGARA PASCA PERUBAHAN UUD NEGARA RI 1945”

Bab 1 Perspektif Keilmuan Hukum Tata Negara

A. Istilah dan Pengertian Hukum Tata Negara

Istilah Hukum Tata Negara (HTN) merupakan padanan daril istilah dalam Bahasa
Belanda Staatsrecht, dalam Bahasa Inggris Constitutional Lau, dalam Bahasa Jerman
Verfassunesrecht, atau dalam Bahasa Perancis Droit Constitutionel. Mengenai pengertian
Hukum Tata Negara, E.C.S Wade dan G. Godfrey Phillips (selanjutnya disebut Wade dan
Phillips) mengatakan bahwa: "There is no hard and fast definition of constitutional lant.
According to one very woide definition, constitutional lawo is that part of the lao zohich
relates to the sstem of gooeniment of the countrv."

Oleh karena itu, menurut mereka: i "It is more comenient to define constitutional lato
as meaning those laos whic rxulate the structure of the principle organs of govern-ment and
thar relationship to eachother and to the citizen, and determine their main i fnctions,"

Indonesia dibedakan antara Hukum Tata Negara Umum dan Hukum Tata Negara Positif.
Hukum Tata Negara Umum disebut pula Pengantar Hukum Tata Negara yakni mengenai
teori-teori ketatanegaraan secara umum, sedangkan Hukum Tata Negaral Positif hanya
membahas konstitusi yang berlaku di Indonesia saja. i Di samping itu, menurut Jimly
Asshiddigie, Hukum Tata Negarai memiliki pula cabang ilmu khusus yang melakukan kajian
perbandingan antar berbagai konstitusi, vaitu Hukum Tata Negarai Perbandingan atau Ilmu
Perbandingan Hukum Tata Negara. Dengan demikian, Hukum Tata Negara dapat diartikan
secara luas, secara sempit, dalam arti umum, dan dalam arti hukum positif.

Dalam hal ini, Hukum Tata Negara yang dimaksudkan adalah Hukum lata Negara
dalam arti sempit, sebab Hukum Administrasii Negara, sebagai salah satu bidang Hukum
Tata Negara, sudah merupakan satu mata kuliah tersendiri. Namun, mencakup Hukum Tata
Negara Umum dan Hukum Tata Negara Positif, sebab bidang telaah tidak hanya mengenai
konstitusi di Indonesia, melainkan juga disertai dengan teori-teori ketatanegaraan secara
umum. Oleh karena itu, Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan peraturan vang

3
mengenai organisasi negara, lembaga-lembaga negara, kekuasaannya, hubungannya satu
dengan vang lain, dan hubungan negara dengan warga negaranya.

B. Obyek dan Ruang Lingkup Hukum Tata Negara

Berdasarkan pada pengertian Hukum Tata Negara seperti tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa obvek Hukum Tata Negarai adalah negara, yaitu negara dalam arti konkret
negara tertentu atau i negara yang terikat oleh kurun waktu dan tempat. Sedangkan mengenai
ruang lingkup kajian Hukum Tata Negara adalah mengenai organisasi negara yang mencakup
mengenai lembaga-i lembaga negara, hubungannya satu dengan yang lain, dan kekuasaannya.
Di samping itu, juga mengenai warga negara (dalam hal ini termasuk hak asasi manusia atau
HAM), dan wilayah negara.

Menurut Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Negara mengatur persoalan-persoalan


ketatanegaraan, yaitu:

1) Struktur umum dari organisasi negara yang terdiri dari bentuk negara, bentuk
pemerintahan, sistem pemerintahan, corak pemerintahan (diktator atau demokrasi), sistem
pemencaran kekuasaan negara (desentralisasi), garis-garis besar tentang organisasi pelaksana
(perundang-undangan, pemerintahan, peradilan), wilayah negara, hubungan antara negara
dengan rakyat, cara rakyat menjalankan hak-hak ketatanegaraan (hak politiknya), dasar
negara, ciri-ciri lahir dari kepribadian negara Republik Indonesia (lagu kebangsaan, bahasa
nasional, lambang, bendera dan sebagainya).

2) Badan-badan ketatanegaraan memunyai kedudukan di dalam organisasi negara. Mengenai


hal ini, penyelidikan mencakup pembentukan, susunannya, tugas dan wewenangnya, cara
bekerjanya masing-masing, hubungannya dengan yang lain, dan masa jabatannya.

3) Pengaturan kehidupan politik rakyat. Substansi ini mencakup partai politik, hubungan
antara kekuatan-kekuatan politik dengan badan- badan negara, kekuatan politik dan
pemilihan umum, arti dan kedudukan golongan kepentingan dan golongan penekan, pen-
cerminan pendapat, dan cara kerja sama antar kekuatan-kekuatan politik (koalisi, oposisi,
kerja sama atas dasar kerukunan).

4) Sejarah perkembangan ketatanegaraan sebagai latar belakang dari keadaan yang berlaku.
Dengan demikian, ada empat hal pokok ruang lingkup Hukum Tata Negara yaitu struktur
umum organisasi negara, badan-badan ketatanegaraan, pengaturan kehidupan politik rakyat,
dan sejarah perkembangan ketatanegaraan suatu negara. Sementara itu, Bagir Manan dan

4
Kuntana Magnar dalam bukunya Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia menge-
mukakan bahwa yang juga merupakan masalah Hukum Tata Negara Indonesia adalah
"bentuk dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan". Berbeda dengan beberapa
pandangan tersebut di atas, Ni'matul Huda lebih menekankan pada segi kajian teoritis dan
yuridis terhadap konstitusi Indonesia sebagai obyek kajian Hukum Tata Negara.

Oleh karena itu, ruang lingkup kajiannya mencakup mengenai gagasan cita negara
dalam UUD NRI 1945; analisis yuridis terhadap naskah UUD NRI 1945, konstituante dan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959; hukum darurat negara di Indonesia; masa jabatan, peralihan
kekuasaan dan pertanggungjawaban presiden; kedudukan, peranan, dan pertang-
gungjawaban wakil presiden; jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia; hak uji
materiil terhadap undang-undang; reformasi konstitusi Indonesia; susunan dan kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD; dan konvensi ketatanegaraan di Indonesia.

Hukum Tata Negara dan Hukum Internasional memiliki hubungan yang saling
membutuhkan di mana Hukum Tata Negara memiliki fungsi-fungsi yang bermanfaat bagi
penerapan Hukum Internasional. Sebaliknya, Hukum Internasional pun memiliki fungsi-
fungsi penting bagi penerapan Hukum Tata Negara. Dalam UUD NRI 1945, ditentukan
mengenai kekuasaan presiden untuk mengadakan hubungan internasional antara lain dengan
mengadakan perjanjian inter- nasional dan hubungan diplomatik atau konsuler." Mengenai
hal ini, kualifikasi dan mekanismenya di samping diatur di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, juga ditentukan
di dalam Hukum Internasional, terutama di dalam Viena Convention on the Law of Treaties
1969, Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961, dan Vienna Covention on Consular
Relations 1963." Berdasarkan pada paparan obyek dan ruang lingkup Hukum Tata Negara
seperti tersebut di atas, maka pada buku ini studi Hukum Tata Negara mencakup beberapa
substansi pokok yakni perspektif keilmuan Hukum Tata Negara; dasar-dasar Hukum Tata
Negara; lembaga-lembaga Negara; wilayah negara dan otonomi daerah; warga negara; partai
politik; kesejahteraan sosial dan ekonon pertahanan dan keamanan serta

C. Metode dan Penafsiran dalam Hukum Tata Negara

1. Metode dalam Hukum Tata Negara

Metode yuridis dogmatis dalam kenyataannya tidak sesuai dengan perkembangan


ketatanegaraan. Kekurangan metode ini ditunjukkan oleh Struycken, yang mengatakan bahwa

5
Hukum Tata Negara tidak cukup hanya menyelidiki Undang-Undang Dasar dan Undang-
Undang. Di luar itu, masih terdapat berbagai peraturan Hukum Tata Negara lainnya, yang
walaupun tidak tertulis, namun memunyai kekuatan hukum sama dengan UUD, misalnya
conven- tions (kebiasaan ketatanegaraan atau kelaziman ketatanegaraan atau konvensi
ketatanegaraan). Kelemahan metode yuridis dogmatis juga ditunjukkan oleh Thoma dari
aliran Sociological Jurisprudence dalam bukunya "Handbuch des Deutzen Staatsrecht."
Menurut Thomas, dengan metode historis yuridis pemahaman terhadap masalah
Hukum Tata Negara tidak cukup dengan memahami lembaga-lembaga ketata- negaraan yang
terdapat di dalam peraturan-peraturan ketata- negaraan melainkan juga harus memahami
aspek sosiologis dan politis yang menjadi latar belakang perkembangan lembaga-lembaga
ketatanegaraan tersebut. Tetapi, menurut van der Pot dalam bukunya "Handboek van
Nederland Staatsrecht", metode historis yuridis menye- babkan penyelidik bersifat subyektif
dan tidak dapat mengungkap- kan latar belakang yang sebenarnya dari masalah yang dikaji.
Oleh karena itu, dalam perkembangan Hukum Tata Negara, dikenal pula metode
historis sistematis (historische systematische methode) yang dikembangkan oleh S.W.
Couwenberg dalam bukunya Modern Constitutioneelrecht Emancipate van de Mens. Dengan
metode ini, permasalahan didekati dari sudut historis dan dianalisa secara sistematis untuk
mendapatkan pengertian yang tepat, baik mengenai teori maupun peraturan ketatanegaraan.
Hal itu hanya dapat dipahami secara tepat berdasarkan kondisi-kondisi historis yang
melahirkannya. Setiap konsep maupun ide, betapapun abstraknya, terikat pada situasi
tertentu. Oleh karena itu, pemahamannya secara tepat tidak dapat dilepaskan dari situasi yang
melahirkannya

2. Penafsiran Negara Penafsiran (interpretasi)

Merupakan salah satu langkah dalam penerapan hukum,"yang dimaksudkan untuk


menentukan makna yang tepat bagi suatu peraturan perundang-undangan. Dalam studi ilmu
hukum adanya penafsiran tidak dapat dihindari. Hal itu ber- kaitan dengan adanya kata-kata
di dalam peraturan perundang- undangan yang menimbulkan arti ganda dan ketidakpastian
hukum." Di samping itu, juga karena ide dan semangat yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan ketika peraturan perundang-undangan itu dibentuk dapat mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan waktu dan situasi sebagai akibat dari tuntutan
perkembangan masyarakat.

Dalam studi Hukum Tata Negara, kebutuhan untuk meng- adakan penafsiran itu
timbul karena naskah konstitusi (UUD 1945) tidak memuat semua ketentuan normatif yang
6
diperlukan untuk menata kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Apalagi setelah
konstitusi itu mengalami perjalanan waktu cukup lama sejak di- rumuskan, berbagai peristiwa
kenegaraan terjadi dan timbul perkem- bangan politik dan sosial yang semakin kompleks,
yang mungkin belum diprediksikan pada waktu konstitusi itu disusun. Oleh karena itu, di
dalam

Hukum Tata Negara, mutlak diperlu- kan penafsiran. Namun demikian, hal itu
dilakukan dengan meng- gunakan metode dan teknik-teknik tertentu yang dapat dipertang-
gungjawabkan secara rasional dan ilmiah, sehingga usaha untuk menegakkan konstitusi
sesuai dengan tuntutan perkembangan sosial-politik yang ada, tetapi tetap sesuai dengan
semangat rumusan konstitusi yang lazim digunakan sebagai pegangan normatif dalam menata
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di samping itu, aspek otoritatif juga harus jelas,
sehingga penafsiran tidak dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan memiliki legitimasi
konstitu- sional. Dengan demikian, dalam hal ini, kajian terhadap penafsiran dalam Hukum
Tata Negara ditekankan pada segi metode penafsiran dan segi otoritas yang berwenang untuk
melakukan penafsiran.

Bab 2 Dasar-Dasar Hukum Tata Negara

A. Sumber-sumber Hukum Hukum Tata Negara

1. Pengertian dan Istilah Sumber Hukum

Menelaah dan memelajari sumber hukum memerlukan kehati- hatian karena istilah
sumber hukum mengandung berbagai pengertian tanpa kehati-hatian dan kecermatan, maka
apa yang dimaksud sumber hukum dapat menimbulkan kekeliruan.

Dalam hubungan ini, Paton,menyatakan bahwa sumber hukum menurut tinjauan


sejarah, berbeda dengan pengertian sumber hukum menurut tinjauan filsafat, sumber hukum
menurut tinjauan agama berbeda dengan pengertian menurut tinjauan ilmu hukum. I. Sumber
hukum menurut tinjauan sejarah:

I. stelsel hukum apakah yang memainkan peranan pada waktu hukum yang sedang berlaku
sekarang. Kedua, kitab-kitab hukum manakah yang telah diperhatikan pembuat undang-
undang pada waktu menetapkan hukum yang berlaku sekarang.

II. Sumber hukum menurut tinjauan filsafat: Pertama, sumber untuk atau menentukan isi
hukum. Kedua, sumber untuk menentukan kekuatan mengikat suatu kaidah hukum.

7
. Sumber hukum menurut tinjauan agama adalah ketentuan Allah yang diwahyukan
kepada manusia melalui Rasulnya. Bagi seorang ahli hukum, sumber hukum dapat dibagi
dalam dua pengertian yaitu: 1) Sumber hukum dalam arti formil adalah sumber hukum yang
dikenal dari segi bentuknya, karena bentuknya itu menyebab- kan hukum berlaku umum,
diketahui dan ditaati selama hukum itu belum mem[unyai bentuk, mungkin hukum itu baru
me- rupakan perasaan hukum dalam masyarakat atau baru me- rupakan cita-cita hukum, dan
oleh karena itu belum memunyai kekuatan mengikat. 2) Sumber hukum dalam arti materiil
adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum sumber hukum dalam arti materiil ini
diberlakukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum, dan menentukan isi hukum. Yang
penting dari kedua sumber hukum itu adalah sumber hukum dalam arti formal hal ini
disebabkan hukum itu berlaku dan mengikat apabila sudah memunyai bentuk. Baru bila
dirasa perlu akan asal-usul hukum itu, maka akan dicari dalam sumber hukum dalam arti
materiil.

2. Sumber Hukum Tata Negara

Pengertian sumber Hukum Tata Negara secara etimologis berasal dari istilah
"sumber" dan "Hukum Tata Negara". Sumber berarti tempat/sumber asal usul hukum positif
yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. Sumber hukum
terdiri dari sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan Hukum Tata Negara, menurut
Logemann adalah hukum yang meng- atur organisasi negara. Jadi, sumber Hukum Tata
Negara adalah sumber/asal-usul dari mana Hukum Tata Negara itu berasal, apakah dari
hukum tertulis dan/atau tidak tertulis.

Sumber Hukum Tata Negara menurut Bagir Manan terdiri atas dua yaitu:

1) Sumber hukum dalam arti materiil. Adalah sumber hukum yang menentukan sisi hukum
HTN, yang termasuk misalnya: Dasar dan pandangan hidup. Kekuatan politik yang
berpengaruh pada saat perumusan Hukum Tata Negara.

2) Sumber hukum Tata Negara Formal adalah sumber hukum yang dilihat dari segi
bentuknya terdiri atas:

a) Hukum perundang-undangan ketatanegaraan

b) Traktat

c) Doktrin

d) Konvensi

8
e) Hukum Adat Ketatanegaraan.

Menurut Joeniarto istilah sumber hukum digunakan tiga pengertian, yakni:

1) Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya hukum positif ialah: berupa
keputusan dari yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang
bersangkutan. Keputusan itu diberikan oleh yang berwenang untuk itu, ini berarti harus
didasarkan atas adanya kewenangan hukum yang diberikan tata hukum positif yang
bersangkutan. Keputusan penguasa yang berwenang ini dapat berbentuk:

a) Peraturan. Peraturan menurut Attamimi adalah semua peraturan hukum yang dibuat oleh
semua tingkat lembaga dalam bentuk tertentu dan prosedur tertentu.

b) Ketetapan. Lebih dikenal dengan ketetapan administrasi yaitu perubahan hukum


pemerintah atau penguasa berdasarkan wewenang yang diberikan, misalnya ijin, dispensasi.

2) Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai bentuk- bentuk hukum di mana
sekaligus merupakan tempat diketemu- kannya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum
positif- nya dan ini wujudnya ialah berupa peraturan-peraturan atau ketetapan-ketetapan
tertulis atau tidak tertulis.

3) Sumber hukum dalam pengertian sebagai hal yang seharusnya menjadi isi hukum positif,
dengan perkataan sumber hukum di sini diartikan sebagai hal-hal yang seharusnya dijadikan
per- timbangan oleh penguasa yang berwenang di dalam menentukan isi hukum.

3. Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia

Sumber hukum dalam Hukum Tata Negara terbagi atas sumber hukum materiil dan sumber
hukum formil.

a. Sumber Hukum Materiil

Dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, dikenal istilah "Sumber dari segala
Sumber Hukum", yang merupakan sumber hukum dari segala sumber hukum adalah
Pancasila, yang menjadi pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum dan cita-cita moral,
kejiwaan serta watak dari rakyat negara yang bersangkutan. Ketetapan tersebut diubah
dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000 menurut pasal 1 ayat 3 Ketetapan MPR
Nomor III/MPR/2000, sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis
dalam Pembukaan UUD NRI 1945.

9
Pancasila merupakan Sumber Hukum Materiil dalam Hukum Tata Negara Indonesia di mana
perwujudannya sebagai sumber segala sumber hukum yakni melalui :

➢ Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.


➢ Presiden 5 Juli 1959.
➢ 1945.
➢ Perintah Sebelas Maret.

2. Sumber Hukum Formil

Sumber Hukum Tata Negara formal menurut Bagir Manan yakni:

1) Hukum Perundang-undangan Ketatanegaraan.

2) Hukum Adat Ketatanegaraan.

3) Kebiasaan.

4) Yurisprudensi.

5) Hukum Perjanjian Internasional.

6) Doktrin Ketatanegaraan.

Dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 yang mengubah Ketetapan MPRS


Nomor XX/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPRNomor V/MPR/1973, maka sumber hukum
formal HTN sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat RI;

3) Undang-Undang;

4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);

5) Peraturan Pemerintah;

6) Keputusan Presiden;

7) Peraturan Daerah.

8) Doktrin.

9) Hukum Adat ketatanegaraan.

10
B. Asas-Asas Hukum Tata Negara

Sebagai berikut:

 Asas kekeluargaan
 Asas kedaulatan rakyat
 Asas pembagian kekuasaan
 Asas negara hukum

C. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia

Tentang sejarah ketatanegaraan dapat dilakukan berdasarkan beberapa cara, antara


lain; berdasarkan periode berlakunya UUD (Konstitusi), pergantian Orde, pergantian peme-
rintahan dan lain sebagainya.

Dalam tulisan ini, sejarah ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada periode berlakunya
UUD, yaitu;

 Periode Tahun 1945 Tahun 1949 (UUD 1945),


 Tahun 1949 - Tahun 1950 (KRIS),
 Tahun 1950 - Tahun 1959 (UUDS),
 Tahun 1959 - sekarang (berlakunya kembali UUD 1945, yang terbagi menjadi 3 masa
yakni Tahun 1959 - Tahun 1966, Tahun 1966 - Tahun 1999 dan Tahun 1999 -
sekarang. Pem- bagian dalam 3 masa ini adalah berkaitan dengan pergantian
pemerintahan dan terjadinya amandemen terhadap UUD 1945).

Bab 3. Lembaga-Lembaga Negara

A. Pengertian Sistem Pemerintahan dan Lembaga Negara

Philipus Mandiri Hadjon" berpendapat bahwa sistem Pemerin- tahan Indonesia


sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan sistem yang "unik".
Dikatakan "unik" dikarenakan sistem yang dianut Indonesia tidak ada duanya di dunia,
meskipun tidak diingkari bahwa dalam beberapa hal terdapat kesamaan dan ke- miripannya
dengan sistem dan ketatanegaraan di negara lain. Adapun setelah Perubahan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945", ditegaskan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem
Presidensial. Penegasan yang dimaksud telah mengaminkan apa yang telah disepakati sebagai
lima kesepakatan dasar dalam amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945 tersebut".

11
Penegasan tersebut menyatakan bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat, masa
jabatan Presiden yang pasti dan Presiden tidak dapat dijatuhkan di tengah-tengah masa
jabatannya.

Perlu dicatat, demi mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh, maka patut
ditelusuri sejarah perumusan dan pem- bahasan Undang-Undang Dasar oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, proses perdebatan pada Panitia Ad Hoc I Majelis Per-
musyawaratan Rakyat Republik Indonesia" dalam melakukan per- ubahan terhadap batang
tubuh dan penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan bilamana dinilai perlu dapat
juga digunakan pendekatan perbandingan Hukum Tata Negara untuk mendapat hasil yang
lebih tajam dan maksimal.

Ditinjau dari sejarah ketatanegaraan sebelum perubahan Undang- Undang Dasar


Tahun 1945, tidak terdapat ketentuan yang menen- tukan penggunaan nomeklatur lembaga
negara. Istilah lembaga negara tersebut mulai dikenal sejak ditetapkannya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/Majelis Permusyawaratan
Rakyat/1978 dengan menggunakan istilah Lembaga Tertinggi Negara untuk Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Lembaga Tinggi Negara untuk penyebutan Dewan Perwakilan
Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Pertimbangan
Agung dan Mahkamah Agung.5 Sedangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat,
digunakan istilah "alat-alat perlengkapan Federal" dan dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 digunakan istilah "alat-alat perlengkapan Negara". Dalam kedua konstitusi
tersebut", disebutkan secara rinci siapa saja alat-alat perlengkapan Negara yang dimaksud.
Dipandang tujuan pembentukannya, lembaga negara me- rupakan perwujudan dari
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Kemudian, dibentuk- lah dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 lembaga-lembaga negara
seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan dan lembaga negara yang
lainnya. Dan kepada lembaga-lembaga negara tersebut", diberikan fungsi, ke- dudukan dan
wewenang pemerintahan yang meliputi berbagai segi. Lembaga negara sebelum dan setelah
amandemen Undang- Undang Dasar Tahun 1945 terdapat perbedaaan. Ada beberapa yang
dihapus dan ada pula beberapa lembaga negara baru yang dibentuk.

Adapun sebelum Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di- amandemen", dipandang


dari kedudukannya, terdapat lembaga tertinggi negara yakni Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan lembaga tinggi negara yakni meliputi Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden,
12
Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan Per- timbangan Agung. Pasca
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat berubah
kedudukannya sebagai lembaga negara, sedangkan mengenai Dewan Pertimbangan Agung
dihapus- kan", secara khusus melalui perubahan keempat Undang-Undang Dasar Tahun
1945, adapun ketentuan Pasal 16 sebelum amandemen mengalami perubahan menjadi
rumusan perbandingan sebagai berikut:

1. BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG (Dihapuskan)" Pasal 16 Presiden


membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang".

Di samping itu, dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga terdapat
pembentukan lembaga negara baru yakni Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana
dirumuskan dalam Bab VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 22C dan 22D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH Pasal 220

1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
***)

2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah
seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. ***)

4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang- undang. ***)

3. Pasal 22 D:

1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat


rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pemben- tukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.

2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

13
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang


mengenai: otonomi daerah, pem- bentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
menyampai- kan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-
syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

Dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pula, terdapat penambahan pada
Kekuasaan Kehakiman Nasional yaitu dengan munculnya Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dirumuskan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 24 Ayat (2) dan
Pasal 24C Ayat (1) sampai (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

4. BAB IX KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 245 ayat 2: Kekuasaan kehakiman


dilakukan oleh sebuah Mahkamah agung dan badan peradilan yan lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.

Berada di bawahnya dalam Pasal 24C*

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan


Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.

14
3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung,
tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.

5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ke- tatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai
pejabat negara.

6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, ditegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan


Rakyat mempunyai tugas dan wewe- nang sebagai berikut:

a) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;


b) Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil Pemilihan umum, dalam
Sidang Paripuma Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampai- kan
penjelasan di dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d) Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e) Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya
dalam waktu enam puluh hari;
f) Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam
masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan
oleh Partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil
Presiden meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya,
sampai habis masa jabatannya selambat- lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g) Peraturan Tata Tertib dan Kode etik Majelis Per- musyawaratan Rakyat.

Berdasarkan pemaparan di atas, makin jelaslah bahwa dalam konteks Lembaga Negara di
Indonesia dari awal kemerdekaan hingga pada masa Reformasi ini, terjadi perubahan yang
signifikan meng- ingat perkembangan dan dinamika ketatanegaraan sebagai ekses dari
15
Amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan mengarah pada terciptanya politik
hukum nasional dengan pembentukan per- aturan perundang-undangan terkait dengan tugas,
fungsi, konsep, peranan dan wewenang, kedudukan, susunan, maupun konstruksi dari
keseluruhan Lembaga Negara di Indonesia.

Bab 4 Wilayah Negara dan Otonomi Daerah

A. Wilayah Negara

Dengan adanya Tri Komando Rakyat dan adanya bukti-bukti kesungguhan serta
kesanggupan bangsa Indonesia mempertahan- kan Irian Barat, maka Belanda bersedia untuk
mengadakan perjanjian, yang dikenal dengan Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962.
Adapun isi pokoknya: Belanda bersedia mengakhiri pemerin- tahannya di Irian Barat sejak 1
Oktober 1962, dengan melalui peme- rintahan peralihan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dan peme- rinthan akan diserahkan kepada Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1963. Selain itu
sebelum akhir tahun 1963, dengan bantuan Perseri- katan Bangsa-Bangsa, Indonesia akan
memberikan kesempatan kepada penduduk Irian Barat untuk mengadakan pemilihan yang
bebas apakah mereka tetap bergabung dengan Republik Indonesia atau memutuskan
hubungan dengan Republik Indonesia.

Faktanya kemudian, hasil referendum penduduk Irian Barat bergabung dengan


Republik Indonesia. Dengan demikian, maka secara de facto dan de jure, wilayah Republik
Indonesia adalah meliputi seluruh Wilayah Hindia Belanda. Bila ingin melihat batas-batas
wilayah secara jelas, maka harus melihat dahulu perjanjian-perjanjian yang diadakan antara
Kerajaan Belanda dengan Inggris dan Kerajaan Portugis yang masih berlaku, berdasarkan
Pasal 5 Persetujuan Perpindahan Kekuasaan sebagai berikut: "Segala hak dan kewajiban
Kerajaan Belanda yang disebabkan karena perjanjian-perjanjian dan persetujuan inter-
nasional menjadi kewajiban Negara Republik Indonesia Serikat sekedar perjanjian-perjanjian
dan perjnjian-perjanjian itu berlaku atas daerah hukum RIS". Mengenai wilayah batas laut
territorial, pada awalnya adalah 3 mil laut (kurang lebih 5 Km) dari pantai, dengan dasar
pertimbangan jarak tembak meriam pada saat itu. (Territoriale zee en Maritime Kringen
Ordonnantie 1939).

Teori ini kemudian ditinggalkan karena sangat merugikan Negara-negara Kepulauan


(Archipelago) dan juga bila dikaitkan dengan perkembangan tehnologi. Maka kemudian

16
dikeluarkan PERPU No.4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, yang menentukan batas
laut territorial Indonesia sejauh 12 mil laut 134-135.

B. Otonomi Daerah

Prinsip Otonomi yang seluas-luasnya dibuka asal Pemerintah Daerah mampu


melaksanakan sesuai dengan prinsip yang ditentukan dalam Pasal 11 UU No.32 Tahun 2004.

1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan cri- teria eksternalitas,


akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan.
2. urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan,
hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabu-
paten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan
sinergis sebagai satu system pemerintahan.
3. pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan
berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib
dan urusan pilihan.
4. urusan pemerintahan yang, bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan
minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Sementara
untuk urusan pemerintahan selain 6 urusan Peme- rintahan pemerintah memiliki
kewenangan menentukan urusan pemerintahan seperti yang diatur dalam Pasal 10
ayat (5) UU No.32 Tahun 2004.
5. Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

17
Bab 5 Warga Negara dan Hak Asasi Manusia

A. Warga Negara dan Orang Asing

Setiap Negara pasti memiliki warga negara, atau rakyat, di samping wilayah dan
pemerintahan. Warga Negara adalah istilah yuridis sementara rakyat adalah istilah politik,
baik yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri. Ada juga istilah penduduk yang
mengandung arti lebih luas yaitu meliputi warganegara dan orang asing. Penduduk Indonesia
meliputi warga Negara Indone- sia maupun orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Kewajiban warga negara berbeda dengan orang asing di Indonesia antara lain; Warga Negara:

a. memiliki hak dan kewajiban membela negara

b. memiliki hak pilih aktif dan pasif dalam pemilihan umum

c. hak dibidang hukum publik tertentu, seperti hak menjadi Pegawai negeri sipil/militer,
anggota partai politik dan sebagainya.

d. Bebas mencari pekerjaan di Indonesia Orang Asing:

• hak untuk memperoleh perlindungan terhadap keamanan diri selama di


Indonesia kebebasan beribadah dan memeluk agama
• kewajiban mentaati hukum yang berlaku di Indonesia
• Wajib memiliki ijin masuk/dan tinggal di Indonesia
• Wajib melaporkan diri dan memiliki surat-surat keimigrasian.
• Bila bekerja di Indonesia harus memiliki ijin kerja dengan prosedur khusus.

B. Asas-asas Kewarganegaraan

Cara untuk menentukan seseorang menjadi warga negara suatu Negara bisa
berdasarkan atas asas ius soli dan asas ius sanguinis. Ius Soli adalah cara memperoleh
kewargaannegaraan berdasarkan tempat di mana ia dilahirkan, sedangkan lus Sanguinis
adalah dalam menentukan kewarganegaraan berdasarkan keturunan darah, bila orang tuanya
warganegara Indonesia, maka ia juga akan menjadi warga negara Indonesia. Sementara hak
seseorang untuk menen- tukan kewarganegaraan ada dua macam yaitu Hak Opsi: hak untuk
memilih menjadi warganegara suatu negara dan Hak Repudiasi: hak untuk menolak menjadi
warga negara suatu negara. Bila seseorang menjadi warga negara dua negara atau lebih
disebut Bipatride, sedangkan seseorang tanpa kewarganegaraan suatu negara disebut
Apatride.

18
C. Sejarah Perkembangan Peraturan Perundang-undangan tentang Kewarganegaraan
di Indonesia

• Pada Awal Kemerdekaan Indonesia Tgl 18 Agustus 1945 ditetapkan UUD 1945 dan
Pasal 26 menentukan sebagai berikut:
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indone- sia asli dan
bangsa-bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang sebagai warga negara.
(2) Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan diatur dengan undang-undang.
Penjelasan Pasal 26 menentukan: Bagi mereka yang keturunan asing dapat menjadi
warga Negara dengan akan diatur dengan Undang-undang selama mereka mengakui
Indonesia sebagai tanah airmya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia.
• Dalam konferensi meja bundar.
• Di bawah Indang-Undang No.62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia
• Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
LNRI Tahun 2006 No. 63.

Beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan undang-undang tentang


Kewarganegaraan Republik Indonesia, yakni:

1) Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan


kewarganegaraan mengutamakan kepen- tingan nasional Indonesia, yang bertekad
mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan
tujuannya sendiri.

2) Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib
memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan
apapun baik di dalam maupun di luar negeri.

3) Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa
setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang lama di dalam hukum dan
pemerintahan.

4) Asas kehenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya


bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat
dipertang- gungjawabkan kebenarannya.

19
5) Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal
ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis
kelamin dan gender. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah
asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin,
melindungi.

Bab 6. Partai Politik dan Pemilihan Umum

A. Partai Politik

Adapun 4 (empat) fungsi utama partai politik dalam negara yakni sebagai berikut:

 Partai sebagai sarana komunikasi politik dimana partai politik bertugas sebagai alat
komunikasi dua arah, yakni menyalurkan aspirasi anggotanya kepada pemerintah dan
sebaliknya menginformasikan segala kebijaksanaan yang telah diambil pemerintah
kepada para anggotanya. Proses penyaluran aspirasi melalui langkah penggabungan
aspirasi (interest aggregation), kemudian diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang
teratur (interest articulation). Hasil perumusan kepentingan ini kemudian di-
sampaikan kepada pemerintah.
 Politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik (Instru- ment of political
socialization). Sosialisasi politik merupakan suatu proses melalui mana seseorang
memperoleh sikap dan orientasi mengenai suatu fenomena politik, yang umumnya
berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Proses ini berjalan secara ber- angsur-
angsur dari masa anak-anak sampai dewasa, melalui mana orang-orang mentransfer
norma-norma dan nilai-nilai dari generasi ke generasi berikutnya. Partai politik inilah
sebagai salah satu sarana.
 Partai Politik sebagai sarana recruitment politik. Partai politik ber- fungsi mencari
dan mengajak orang yang berbakat untuk aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota
partai. Caranya yakni me- lalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Melalui proses
seleksi akan melahirkan kader-kader pemimpin bangsa di kemudian hari.
 Politik sebagai sarana manajemen konflik. Dalam suatu negara demokrasi, perbedaan
pendapat adalah wajar terjadi.

20
B. Pemilihan Umum

Demokrasi menurut J.J. Rousseau dalam bukunya "Du Contract Social" adalah suatu
demokrasi langsung di mana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan kehendak umum
(volonte generale) atau sebagian besar dari warga negara. Dalam praktik, ajaran Rousseau ini
sulit diterapkan karena luasnya wilayah negara, banyaknya penduduk dengan kepentingan
yang beragam, sangat menyulitkan untuk penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan
demokrasi langsung tersebut, dan jalan keluarnya adalah melalui sistem per- wakilani.
Negara Swiss mencoba menerapkan ajaran Rousseau dengan sistem referendum.

Pada umumnya, negara-negara di seluruh dunia menganut sistem perwakilan. Adapun


pengertian Pemerintahan dengan sistem perwakilan menurut Konferensi International
Commission of Jurist di Bangkok 1965 adalah sebagai berikut: "Representative Government
is a government deriving its power and au thority from the people, which power amd
authority are exercised through representative freely chosen and responsible to them". Yang
dialih bahasakan yakni menjadi, "Pemerintahan Perwakilan adalah pemerintahan yang
memperoleh kekuasaan dan kewenangan dari rakyat, dimana kewenangan dan kekuasaan itu
diperoleh melalui perwakilan yang dipilih secara bebas dan bertanggung jawab kepada
pemilihnya".

Adapun syarat-syarat Pemerintahan dengan sistem perwakilan tersebut harus mencakup


perihal berikut ini:

1) Proteksi Konstitusional.

2) Pengadilan-pengadilan yang bebas dan tidak memihak.

3) Pemilihan-pemilihan yang bebas.

4) Kebebasan menyatakan pendapat.

5) Kebebasan berserikat dan tugas oposisi.

6) Harus ada pendidikan civics.

Berikut adalah uraian mengenai hubungan antara "si wakil" dengan "yang diwakili"
dengan beberapa teori di bawah ini:

1) Teori Mandat Menurut teori mandat, si wakil dianggap duduk di lembaga perwakilan
karena mendapat mandat dari rakyat, sehingga disebut mandataris, seperti yang diajarkan
oleh Rousseau. Teori mandat berkembang menjadi tiga, yakni:

21
a) Mandat Imperatif, dimana si wakil bertugas dan bertindak di lembaga perwakilan
sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakili, si wakil tidak boleh
bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal yang baru yang tidak
terdapat dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi baru dari
yang diwakilinya, sehingga ia baru dapat melaksana- kannya. Kelamahan mandat
jenis ini yakni dapat menghambat tugas lembaga perwakilan.
b) Mandat Bebas. Ajaran ini dianut oleh Abbe Sieyes (Perancis) dan Black Stone
(Inggris). Dalam hal ini, si wakil dapat bertindak bebas tanpa tergantung dari instruksi
yang diwakilinya. Si Wakil adalah orang-orang terpercaya dan terpilih serta memiliki
kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak
atas nama yang diwakilinya.
c) Mandat Representatif, dimana si wakil dianggap bergabung dengan badan
perwakilan (Parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga
perwakilan, sehingga si wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan
pemilihnya, apalagi pertangungjawabannya. Lembaga perwakilan inilah yang
bertanggung jawab kepada rakyat.

2) Teori Organ Ini dianut oleh Von Gierke dan juga Jellinek dan Paul Laband. Menurut teori
ini, negara merupakan organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapan dengan fungsinya
masing-masing dan saling tergantung satu dengan lainnya. Setelah rakyat memilih lembaga
perwakilan rakyat, maka rakyat tidak perlu mencampuri lembaga tersebut, dan lembaga itu
bebas berfungsi sesuai dengan wewenang yang diberikan Undang-Undang Dasar. Masalah
hubungan wakil dengan yang diwakili tidak perlu dipersoalkan dari segi hukum.

3) Teori Sosiologis dari Rieker Rieker menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan
merupakan bangunan politis, tetapi merupakan bangunan sosial (masya- rakat). Si pemilih
akan memilih wakilnya yang benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan yang akan
benar-benar mewakili kepen- tingan si pemilih sehingga terbentuk lembaga perwakilan dari
kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat". Lembaga perwakilan akan
mencerminkan lapisan-lapisan kepentingan dalam masyarakat.

4) Teori Hukum Objektif dari Leon Duguit". Menurut teori ini, dasar dari pada hubungan
antara rakyat dengan parlemen adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat melaksana- kan tugas
kenegaraannya atas nama rakyat, sedangkan rakyat tidak dapat melaksanakan tugas-tugas
kenegaraannya tanpa mendukung wakilnya dalam menentukan kewenangan pemerintahan.

22
Jadi, terdapat pembagian kerja. Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas
merupakan dasar hukum objektif yang timbul. Hukum objektif inilah yang membentuk
lembaga perwakilan sebagai suatu bangunan hukum. Akibatnya, sebagai berikut:

• rakyat atau kelompok yang diwakili harus ikut serta dalam pem- bentukan badan
perwakilan dan cara terbaik adalah melalui pemilihan umum yang menjamin adanya
solidaritas sosial.
• hukum antara pemilih dan yang dipilih adalah semata-mata berdasarkan hukum
objektif. Jadi, tidak ada per- soalan hak-hak dari masing-masing. Mereka harus
menjalankan kewajibannya sesuai dengan hasrat mereka untuk berkelompok dalam
Negara atas dasar solidaritas sosial.
• Si wakil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus menyesuaikan
tindakannya dengan kehendak pemilihnya bukan karena adanya hukum objektif yang
didasarkan pada solidaritas sosial yang mengikat, melainkan karena rasa
solidaritasnya.

5) Teori Gilbert Abcarian Gilbert Abcarian, dalam bukunya "Contemporary Political System"
(1970), melihat bahwa ada empat tipe hubungan antara "si wakil" dengan "yang diwakili"
dari segi kebebasan bertindak "si wakil" dalam lembaga perwakilan. 4 (empat) tipe hubungan
tersebut yakni:

1. Tipe Wali, dimana "si wakil"bertindak sebagai "wali" (trustee). Dalam hubungan ini, "si
wakil"bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa
perlu ber- konsultasi dengan yang diwakilinya (konstituen).

2. Tipe Utusan, dimana "si wakil" bertindak sebagai utusan (delegate). Dalam hubungan ini,
"si wakil" tidak memiliki kebebasan ber- tindak, karena "si wakil" hanya merupakan duta,
sehingga ia harus selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakili- nya dalam
melaksanakan atau menjalankan fungsi lembaga perwakilan. Jadi, tipe utusan atau delegasi
ini identik dengan "teori mandať".

Demikian pendapat-pendapat teoritisi mengenai hubungan antara wakil dengan yang


diwakili. Materi ini relevan dengan masalah apakah perlu hak recall atau tidak bagi
fraksi/parpol di Dewan Per- wakilan Rakyat." Demikian juga, analisis terhadap fakta bahwa
seorang wakil rakyat sering dipaksa menandatangani kontrak politik oleh sekolompok massa,
seperti fenomena menjelang pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah hasil Pemilihan Umum tahun 2004. Perlu dicatat, dari model

23
diversifikasi Hoogewerf tersebut, dapat dikatakan bahwa "karakter" atau sifat khas dari
lembaga perwakilan74 mencakup: Pertama, perwakilan Politik (political representation). Di
sini, "si wakil" direkrut atau dicalonkan oleh paratai politik melalui pemilihan umum.
Kelemahan dari "perwakilan politik" ini biasanya yang terpilih hanyalah mereka yang
memiliki "popularitas" politik- nya, bukan karena keahlian atau penguasaannya di bidang
teknis pemerintahan. Dengan demikian, si wakil sulit untuk terpilih melalui "perwakilan
politik". Mengatasi kelemahan ini, muncul sifat perwakilan yang kedua, yakni perwakilan
fungsional (functional atau occupational representation). Dalam perwakilan fungsional, "si
wakil" direkrut biasanya melalui pengangkatan berdasarkan pada fungsi/ jabatan atau
keahlian dalam masyarakat. Ketiga, perwakilan daerah yang biasanya dalam negara federal
atau negara kesatauan yang wilayah atau teitorialnya luas, seperti Indonesia. "Si wakil"
terpilih dalam pemilihan umum mewakili daerahnya. Contohnya pada DPD (Dewan
Perwakilan Daerah), maupun di Amerika Serikat dengan adanya Senat, mewakili "Negara-
Negara Bagian".

C. Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan umum merupakan satu cara untuk menentukan wakil- wakil rakyat yang
duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sistem pemilihan ini sangat dipengaruhi oleh cara
pandang terhadap individu atau masyarakat dalam negara. Apakah mereka dipandang sebagai
individu yang bebas untuk memilih wakilnya atau dipilih sebagai wakil rakyat atau mereka
dipandang sebagai satu kesatuan kelompok sehingga tidak dapat menentukan pilihan atau
men- calonkan diri untuk dipilih. Atas kriteria ini, maka dikenal dua sistem pemilihan yakni
sebagai berikut:

1) Sistem pemilihan Mekanis, yang memandang rakyat sebagai massa individu-individu yang
sama sebagai satu kesatuan otonom dan negara/masyarakat dipandang sebagai kompleks
hubungan-hubungan antar individu. Setiap individu memiliki hak dipilih dan memilih aktif
yang mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan. Sifat perwakilan yang dihasilkan
adalah perwakilan politik.

2) Sistem pemilihan Organis, yang menempatkan masyarakat sebagai satu kesatuan individu-
individu yang hidup bersama dalam berbagai macam kesatuan hidup berdasarkan: hubungan
genealogis, fungsi ekonomi, industri, lapisan-lapisan sosial seperti: buruh, cendekiawan,
pengusaha, dsb. Kesatuan-kesatuan hidup inilah yang mengendalikan hak memilih dan
dipilih, atau meng- utus wakil-wakilnya yang duduk di badan perwakilan rakyat. Prosedurnya

24
biasanya melalui pengangkatan, sehingga sifat per- wakilan yang dihasilkan adalah
perwakilan fungsional. Cara pandang ini pun berkaitan dengan soal apakah perlu atau tidak
adanya partai politik dalam negara. Menurut sistem pemilihan mekanis, maka partai
politikmutlak diperlukan dan perlu adanya pemilihan umum. Pada umumnya, negara
demokrasi menganut sistem pemilihan mekanis, atau kombinasi kedua sistem ini, seperti
Parlemen Inggris yang bersifat bicameral dimana House of Lord diisi dengan peng- angkatan
dan House of Common diisi lewat pemilihan umum. Dan bilamana melihat sistem pemilihan
mekanis, maka dapat dikaji bahwa terdapat dua macam cara yakni sebagai berikut:

 Sistem perwakilan distrik/Majority/Single member constituency, dilakukan dengan


cara sebagai berikut. Wilayah Negara dibagi-bagi dalam daerah pemilihan yang
disebut distrik-distrik pemilihan yangjumlahnya sama dengan jumlah anggota badan
perwakilan rakyat. Misalnya di badan perwakilan ada 500 kursi, maka wilayah
Negara akan dibagi- bagi menjadi 500 distrik pemilihan. b. Setiap distrik diwakili
oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas. Misalnya dalam setiap distrik,
jumlah pemilih adalah 100 orang, dan jumlah calon yang dipilih adalah 5 dengan
perolehan suara masing-masing: A 40, B= 35, C = 15, D=7, E=3, maka yang
mewakili distrik adalah A dengan suara mayoritas di antara para calon yang lain.
Disamping itu, terdapat beberapa dampak dalam sistem perwakilan distrik, yakni
sebagai berikut:
a. Orang yang dipilih belum tentu mewakili suara mayoritas dari wilayah distrik itu,
terutama bila calon yang dipilih lebih dari dua orang. Oleh karena itu, bilamana dianut
sistem pemi- lihan distrik, maka lambat-laun akan mendorong lahirnya sistem dwi
partai dalam Negara, karena partai-partai kecil akan sangat kehilangan harapan untuk
mendudukkan wakilnya di badan perwakilan rakyat.
b. Biasanya, orang yang terpilih itu pasti sangat dikenal dan memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan pemilihnya, sehingga ia akan dituntut memperjuangkan aspirasi
pemilih- nya, sehingga kemungkinan akan ada akibat bahwa si wakil hanya
memperjuangkan kepentingan daerahnya dan kurang memperhatikan kepentingan
nasional.
 Sistem perwakilan Proporsional Sistem perwakilan proporsional adalah sistem
perwakilan dimana prosentase kursi di badan perwakilan rakyat yang dibagikan
kepada partai politik berdasarkan prosentase jumlah suara yang diperoleh oleh tiap-
tiap partai politik. Negara me- rupakan satu wilayah pemilihan. Perolehan suara partai

25
politik dihitung secara nasional dan dibagi berdasarkan prosentase suara. Contohnya,
jumlah suara pemilih yang sah adalah 4.000.000, sementara jumlah kursi yang
diperebutkan adalah 400 buah, maka nilai sebuah kursi adalah 10.000 pemilih.

Demikian telah dijabarkan berkaitan dengan garis besar tentang kekuasaan negara,
partai politik dan sistem pemilihan umum di Indonesia. Seperti telah disinggung sebelumnya,
konsep pemerin- tahan dengan sistem perwakilan menuntut adanya konsep sistem pemilihan
mekanis dengan sistem perwakilan proporsional ada ber- bagai variasi, demikian juga
penerapan sistem distrik dengan ber- wakil banyak adalah satu contoh variasinya. Untuk
mengenal lebih mendalam tentang kekuasaan Negara, partai politik maupun pemilihan umum
pada masa tertentu, tentunya haruslah diteliti setiap undang-undang maupun pandangan
doktrin ketatanegaraan terkait dengan konsep kekuasaan negara, partai politik maupun
pemilihan umum, khususnya bilamana merujuk pada undang- undang tentunya haruslah
mengikuti dinamika ketatanegaraan Indonesia yang dinilai paling cepat berubah.

26
2.2 Ringkasan Buku Pembanding

“PENGANTAR ILMU HUKUM TATA NEGARA JILID II”

Bab 1. Organ dan Fungsi Kekuasaan Jilid II

A. Perbatasan Kekuasaan

Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut the rule of lauw atau
dalam bahasa Belan- da dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan
kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasa- an negara. Pembatasan itu dilakukan dengan
hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusi- onalisme modern. Oleh karena
itu, konsep negara hu- kum juga disebut sebagai negara konstitusional atau constitutional
state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara
demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang
dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.

Dalam empat ciri klasik negara hukum Eropa Kon- tinental yang biasa disebut
rechtsstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri pokok negara
hukum. Ide pembatasan kekuasaan itu dianggap mutlak harus ada, karena sebelumnya semua
fungsi kekuasaan negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu orang, yaitu di tangan
Raja atau Ratu yang mer pin negara secara turun temurun. Bagaimana kekuasaan negara itu
dikelola sepenuhnya tergantung kepada kehendak pribadi sang raja atau ratu tersebut tanpa
adanya kontrol yang jelas agar kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan
kebebasan rakyat. Bahkan, ketika kekuasaan Raja itu berhimpit pula dengan paham teokrasi
yang menggunakan prinsip ke- daulatan Tuhan, maka doktrin kekuasaan para raja ber-
kembang menjadi semakin absolut. Suara dan kehendak raja identik dengan suara dan
kehendak Tuhan yang ab- solut dan tak terbantahkan.

Dalam sejarah, kekuasaan Tuhan yang menyatu dalam kemutlakan kekuasaan Raja ini
dapat ditemukan dalam semua peradaban umat manusia, mulai dari peradaban Mesir,
peradaban Yunani dan Romawi kuno, peradaban Cina, India, serta pengala- man bangsa
Eropa sendiri di sepanjang sejarah masa lalu hingga munculnya gerakan sekularisme yang
memisahkan secara tegas antara kekuasaan negara dan kekuasaan gereja. Upaya untuk
mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak berhenti hanya dengan munculnya
gerakan pemisahan antara kekuasaan raja dan kekuasa- an pendeta serta pimpinan gereja.
Upaya pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan mengadakan pola-pola pembatasan di
dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan
27
pembedaan dan pemisahaan kekuasaan negara ke dalam beberapa fungsi yang berbeda-beda.
Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam
mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu? dengan teori trias
politica-nya,3 yaitu cabang kekuasaan legislatif, cabang kekuasaan eksekutif atau
administratif, dan cabang kekuasaan yudisial.

Menurut Montesquieu, dalam bukunya "Lesprit des Lois" (1748), yang mengikuti
jalan pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu:

(i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang- undang,

(ii) kekuasan eksekutif yang melaksanakan, dan

(iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.

Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern


dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or ad-
ministrative function), dan yudisial (the judicial function).

Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) fungsi, tetapi
berbeda isinya. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu meliputi:

1) Fungsi Legislatif;

2) Fungsi Eksekutif;

3) Fungsi Federatif.

Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat ke- dua sarjana itu nampaknya mirip.
Tetapi dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan
fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan fungsi kekuasaan
kehakiman (yudisial). Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu
dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihatnya dari
segi hubungan ke dalam dan keluar dengan negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan
fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang
dianggap penting adalah fungsi federatif. Sedangkan, fungsi yudisial bagi Locke cukup
dimasukkan ke dalam kategori fungsi legislatif, yaitu terkait dengan fungsi pelaksanaan
hukum.

Tetapi bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hu- bungan luar negerilah
(diplomasi) yang termasuk ke dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu disebut tersendiri.

28
Justru dianggap penting oleh Montesquieu adalah fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan
kehakiman.

Mirip dengan itu, sarjana Belanda, van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan juga dalam 4
(empat) fungsi, yang kemudian biasa disebut dengan "catur praja", yaitu:

1) Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik de- ngan fungsi legislatif menurut
Montesquieu;

2) Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif;

3) Rechtspraak (peradilan); dan

4) Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat
(social order) dan peri kehidupan bernegara.

Di samping itu, dalam studi ilmu administrasi publik atau public administration
dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan ke dalam dua fungsi saja. Kedua fungsi
itu adalah (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy making function), dan (ii) fungsi
pelaksanaan kebijakan (policy executing function).

Semua usaha membagi dan membedakan serta bahkan memisah-mi- sahkan fungsi-fungsi
kekuasaan itu ke dalam beberapa cabang, pada pokoknya adalah dalam rangka membatasi
kekuasaan itu sendiri sehingga tidak menjadi sumber kesewenang-wenangan.

2. Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa mengenai istilah "pembagian" itu telah dipergunakan
oleh Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 untuk pengertian pembagian dalam konteks pengertian
yang bersifat vertikal atau territorial division of power. Pasal 18 ayat (1) tersebut berbunyi:
"Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang". Artinya, dalam wadah
NKRI terdapat provinsi-provinsi yang merupakan daerah-daerah bagiannya, dan di tiap-tiap
daerah provinsi terdapat pula kabupaten-kabupaten dan kota yang merupakan daerah-daerah
bagian dari provinsi-provinsi tersebut.

Adanya konsep daerah bagian ini terkait erat dengan kekecewaan umum terhadap
penerapan ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 199920 yang menganggap pola
hubungan antar pemerintahan pusat dan provinsi serta kabupaten/kota di seluruh Indonesia

29
sebagai hubungan yang tidak hierarkis, melainkan bersifat horizontal. Ekses-ekses yang
timbul sebagai akibat ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang demikian itu,
menyebabkan banyaknya Bupati dan Walikota yang seolah-olah tidak mau tunduk di bawah
koordinasi Gubernur selaku Kepala Pemerintah Daerah Provinsi.

Untuk mengatasi hal itu, maka ketika rancangan Perubahan Kedua UUD 1945 dibahas
pada tahun 2000, ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 tersebut dengan sengaja
menggunakan istilah "dibagi atas daerah- daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota". Dengan penggunaan istilah ini, ingin ditegaskan bahwa hubungan
antara pusat dan daerah, dan antara provinsi dan kabupaten/kota kembali bersifat hierarkis
vertikal. Dengan demikian, UUD 1945 secara sadar menggunakan istilah "pembagian" itu
dalam konteks pengertiannya yang bersifat vertikal, sehingga konsep pembagian kekuasaan
(division of power) harus- lah diartikan sebagai pembagian dalam konteks penger- tian yang
bersifat vertikal pula.

Oleh karena itu, maka untuk pengertian pembagian kekuasaan dalam konteks
pengertian yang bersifat horizontal atau seperti yang diartikan oleh Arthur Mass dengan
capital division of power, haruslah diartikan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of
power), meskipun bukan dalam pengertian trias politica Montesquieu. Dengan perkataan lain,
saya menganjurkan orang tidak perlu ragu-ragu menggunakan istilah pemisahan kekuasaan
berdasarkan prinsip checks and balances untuk menyebut sistim yang dianut oleh UUD 1945
pasca Per- ubahan Keempat, asalkan tidak dipahami dalam konteks pengertian trias politica
Montesquieu.

3. Perkembangan Organisasi Negara

1. Liberalisasi Negara Kesejahteraan dan Perubahan Kelembagaan Negara

Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul gelom- bang liberalisasi politik,
ekonomi, dan kebudayaan di seluruh dunia. Di bidang politik, muncul gerakan demo-
kratisasi dan hak asasi manusia. Dalam tulisannya, "Will More Countries Become
Democratic?" (1984),56 Samuel Huntington menggambarkan adanya tiga gelombang besar
demokrasi sejak revolusi Amerika Serikat 1776. Gelombang pertama berlangsung sampai
dengan tahun 1922 yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa besar di Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, Jerman, dan Italia. Setelah itu, gerakan demokratisasi mengalami backlash dengan
munculnya fasisme, totalitarianisme, dan stalinisme, terutama Rusia (Stalin), dan Jepang.
Gelombang Kedua terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, fasisme dan

30
totalitarianisme berhasil dihancurkan, pada saat yang sama muncul pula dekolo- nisasi besar-
besaran, menumbangkan imperialisme dan kolonialisme.

Oleh karena itu, dikatakan bahwa Perang Dunia II berakhir bukan hanya dengan
kemenangan negara pemenangnya sendiri, melainkan dimenangkan oleh ide demokrasi, baik
di negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua itu sendiri maupun di negara-negara yang
kalah perang dan semua negara bekas jajahan di seluruh dunia, terutama di benua Asia dan
Afrika, gelombang kedua ini mulai terhambat sejak tahun 1958 dengan munculnya fenomena
rezim bureaucratic authoritarianism di seluruh dunia. Backlash kedua ini timbul karena
dinamika internal yang terjadi di masing- masing negara yang baru merdeka yang
memerlukan konsolidasi kekuasaan yang tersentralisasi dan terkon- sentrasi di pusat-pusat
kekuasaan negara.

Gejala otoritarianisme berlangsung beberapa deka- de, sebelum akhirnya ditembus


oleh gelombang demo- krasi ketiga, sejak tahun 1974, yaitu dengan munculnya gelombang
gerakan pro-demokrasi di Eropa Selatan se- perti di Yunani, Spanyol, dan Portugal,
dilanjutkan oleh negara-negara Amerika Latin seperti di Brazil dan Argentina. Gelombang
ketiga ini berlangsung pula di Asia, seperti di Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan
Indonesia. Terakhir, puncak gelombang demokrasi melanda pula negara-negara Eropa Timur
dan Uni Soviet yang kemudian berubah dari rezim komunis menjadi demokrasi.

Sir Ivor Jennings, dalam bukunya "Cabinet Government", mengemukakan lima alasan utama
yang melatarbelakangi pembentukan badan-badan yang bersifat ad hoc itu, yakni:

1) The need to provide cultural or personal services supposedly free from the risk of political
interference (misalnya, BBC);

2) The desirability of non-political regulation of mar- kets (seperti, Milk Marketing Boards);

3) The regulation of independent professions (seperti, medicine and the law);

4) The provision of technical services (seperti, the Forestry Commission);

5) The creation of informal judicial machinery for settling disputes (seperti, Tribunals).

Dalam perkembangannya sampai sekarang, peme- rintah Inggris terus menciptakan


beraneka ragam lem- baga baru yang sangat kuat kekuasaannya dalam urusan- urusan yang
sangat spesifik. Misalnya, pada mulanya dibentuk Regional Hospital Board dan kemudian
pada tahun 1974 menjadi Area and Regional Health Authori- ties. New Town Development
Corporation juga dibentuk untuk maksud menyukseskan program yang diharapkan akan

31
menghubungkan kota-kota satelit di sekitar kota- kota metropolitan seperti London dan lain-
lain. Demikian pula untuk program pembangunan perdesaan, dibentuk pula badan-badan
otoritas yang khusus menangani Rural Development Agencies di daerah-daerah Mid-Wales
dan the Scottish Highlands, Inggris.

Sebabnya ialah karena berbagai kesulitan ekonomi dan ketidakstabilan akibat


terjadinya berbagai perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan
eksperimentasi kelembagaan (institutional expe- rimentation) melalui berbagai bentuk organ
peme- rintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien, baik di tingkat nasional atau pusat
maupun di tingkat daerah atau lokal. Perubahan-perubahan itu, terutama terjadi pada non-
elected agencies yang dapat dilakukan secara lebih fleksibel dibandingkan dengan elected
agencies seperti parlemen. Tujuannya tidak lain adalah untuk menerapkan prinsip efisiensi
agar pelayanan umum (public services) dapat benar-benar efektif. Untuk itu, biro- krasi
dituntut berubah menjadi slimming down bureau- cracies yang pada intinya diliberalisasikan
sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan perkembangan di era liberalisme baru.

2. Belajar dari Negara Lain

Timbulnya ide demi ide bersifat sangat reaktif, sektoral, dan bersifat dadakan, tetapi
dibungkus oleh idealisme dan heroisme yang tinggi. Ide pembaruan yang menyertai
pembentukan lembaga-lembaga baru itu pada umumnya didasarkan atas dorongan untuk
mewujudkan idenya sesegera mungkin karena adanya momentum politik yang lebih memberi
kesempatan untuk dilakukannya demokratisasi di segala bidang. Oleh karena itu, trend
pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan,
sehingga jumlahnya banyak sekali, tanpa disertai oleh penciutan peran biro- krasi yang besar.
Upaya untuk melakukan slimming down bureaucracies seperti yang dikemukakan oleh
Stephen P. Robbins, belum lagi berhasil dilakukan, lembaga- lembaga baru yang demikian
justu sudah banyak dibentuk dimana-mana.85 Akibatnya, bukan efisiensi yang dihasilkan,
melainkan justru menambah inefisiensi karena meningkatkan beban anggaran negara dan
menam- bah jumlah personil pemerintah menjadi semakin banyak.

Kadang-kadang ada pula lembaga yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat
AdHoc untuk masa waktu tertentu. Akan tetapi, saking banyak jumlahnya, sampai waktunya
habis, lembaganya tidak atau belum juga dibubarkan, sementara para pengurusnya terus
menerus digaji dari anggaran pendapatan dan belanja negara ataupun anggaran pendapatan
dan belanja daerah.

32
Apalagi, jika negara-negara yang sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap
penyakit inferiority complex yang mudah kagum untuk meniru begitu saja apa yang
dipraktikkan di negara maju tanpa kesiapan sosial-budaya dan kerangka kelembagaan dari
masyarakatnya untuk menerapkan ide-ide mulia yang datang dari dunia lain itu.

Perubahan-perubahan dalam bentuk perombakan mendasar terhadap struktur


kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahan di semua lapisan dan di semua sektor,
selama sepuluh tahun terakhir dapat dikatakan sangat luas dan mendasar. Apalagi, dengan
adanya peru- bahan UUD 1945, maka desain makro kerangka kelembagaan negara kita juga
harus ditata kembali sesuai dengan cetak biru yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil 4
(empat) rangkaian perubahan pertama dalam sejarah republik kita. Kalau dalam praktik, kita
mendapati bahwa gagasan demi gagasan dan rancangan-rancangan perubahan kelembagaan
datang begitu saja pada setiap waktu dan pada setiap sektor, maka dapat dikatakan bahwa
perombakan struktural yang sedang terjadi berlangsung tanpa desain yang menyeluruh, persis
seperti pengalaman yang terjadi di banyak negara lain yang justru terbukti tidak
menghasilkan efisiensi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, di masa transisi sejak tahun
1998, sebaiknya bangsa kita melakukan konsolidasi kelembagaan secara besar-besaran dalam
rangka menata kembali sistem kelembagaan negara kita sesuai dengan amanat UUD 1945.

Bab 2 HAK ASASI MANUSIA DAN MASALAH KEWARGANEGARAAN

A. Hak Asasi Manusia

1. Selintas Sejarah HAM

Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal
sebagai a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang
lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh
karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap
sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan,
dalam perkembangan selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan
tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi
konstitusional (constitutional democracy).

33
Jaminan ketentuan tersebut dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam
konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan
pembagian kekuasaan negara serta mekanisme hubungan antar lembaga negara.

Sekarang, setelah Perubahan UUD 1945, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak-hak
warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi
yang semula hanya berisi 7 (tujuh) butir ketentuan yang juga tidak sepenuhnya dapat disebut
sebagai jaminan hak asasi manusia, sekarang telah bertambah secara sangat signifikan,
sehingga perumusannya menjadi sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 merupakan salah
satu undang- undang dasar yang paling lengkap memuat perlindungan terhadap hak asasi
manusia.

Dengan disahkannya Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, dan apabila
materinya digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang- undang yang
berkenaan dengan hak asasi manusia, maka keseluruhan norma hukum mengenai hak asasi
manusia itu dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan.

Kelompok yang ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:

1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;

2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi, kemanusiaan;

3) Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;

4) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;

5) Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;

6) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;

7) Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;
pertama adalah kelompok dan merendahkan martabat

8) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;

9) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah;

10) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;

34
11) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan
kembali ke negaranya;

12) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;

13) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

B. Kewajiban dan Tanggung Jawab Manusia

➢ Asal Mula Prakarsa


➢ Aspirasi tentang Kewajiban HAM
➢ Kampanye dan Sosialisasi Deklarasi

C. Prinsip-Prinsip Kewarganegaraan

Antara lain:

 Asas ius dan ius sanguinis.


 Bipatride dan apatride.
 Sistem campuran dan masalah dei kewarganegaraan.

D. Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan

Di samping itu, seseorang dapat pula kehilangan kewarganegaraan karena 3 (tiga)


kemungkinan cara, yaitu:

1) Renunciation, yaitu tindakan sukarela seseorang untuk menanggalkan salah satu dari dua
atau lebih status kewarganegaraan yang diperolehnya dari dua negara atau lebih. Misalnya,
dalam hal terjadi keadaan bipatride, yang bersangkutan dapat kewarganegaraan menentukan
pilihan secara sukarela dengan menanggalkan salah satu status kewarganegaraannya
(renunciation).

2) Termination, yaitu penghentian status kewarga- Negaraan sebagai tindakan hukum,


karena yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan dari negara lain. Jika seseorang
mendapatkan status kewarganegaraan dari negara lain, negara yang bersangkutan dapat
memutuskan sebagai tindakan hukum bahwa status kewarganegaraannya dihentikan.

3) Deprivation, 138 yaitu suatu penghentian secara paksa, pencabutan, atau pemecatan dari
status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya
kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan

35
atau apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan
undang-undang dasar.

Dalam sistim hukum kewarganegaraan Inggris, Menteri Dalam Negeri diberi


kewenangan mencabut status kewarganegaraan dari seorang warga negara Inggris
berdasarkan pendaftaran (Registration)139 atau karena memperoleh kewarganegaraannya
naturalisasi (naturalisation), karena alasan tertentu, yaitu termasuk karena (i) the of fraud,
false statements or concealment to obtain citizenship, (ii) disloyalty or disaffection towards
the Queen, (ii) trading or communicating with the enemy, atau (iv) karena dalam jangka
waktu lima tahun menjadi warga negara Inggris dijatuhi hukuman penjara tidak kurang dari
12 (dua belas) bulan.

Status kewarganegaraan pada pokoknya terkait dengan status seseorang sebagai


warga dari suatu negara. Oleh karena itu, kewarganegaraan itu biasanya dipahami bersifat
tunggal. Namun, di beberapa negara federal, seperti misalnya Amerika Switzerland, setiap
orang dianggap terkait dengan dua subjek negara, yaitu negara bagian dan federal. Maka dari
itu, warga negara Amerika Serikat dan Switzerland, pada hakikatnya, memiliki 2 (dua)
macam kewarganegaraan, yaitu sebagai warga negara nasional dan warga negara bagian.
Tentu tidak semua negara federal menganut paham demikian. India, misalnya, meskipun
susunannya organisasinya juga federal tetapi tidak menganut prinsip dwi-kewarganegaraan
seperti itu. Negara federal India mirip dengan praktik di negara kesatuan, yaitu memandang
status kewarganegaraan warganya bersifat tunggal.

Bab 3. Partai Politik dan Pemilihan Umum

A. Partai Politik

Norma hukum, norma moral, dan norma etika diharapkan dapat berfungsi efektif
membangun kultur internal setiap partai politik. Aturan- aturan yang dituangkan di atas
kertas, juga ditegakkan secara nyata dalam praktik, sehingga prinsip rule of law, dan rule of
ethics dapat sungguh-sungguh diwujudkan mulai dari kalangan internal partai-partai politik
sebagai sumber kader kepemimpinan negara. Di dalam ketiga kode normatif tersebut tersedia
berbagai prosedur kerja pengurus dan hubungannya dengan anggota, pengaturan mengenai
lembaga-lembaga internal, mekanisme hubungan lembaga-lembaga, serta mekanisme
penyelesaian konflik yang elegan dan dapat dijadikan pegangan bersama.

36
Dengan begitu, setiap perbedaan pendapat dapat disalurkan secara baik dan konflik
dapat diatasi agar tidak membawa kepada perpecahan yang tidak demokratis dan biasanya
kurang beradab (uncivilised conflict). Kedua, mekanisme keterbukaan partai di mana warga
masyarakat di luar partai dapat ikut serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang
hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai politik. Partai politik harus dijadikan dan
menjadi sarana perjuangan rakyat dalam turut menentukan bekerjanya sistem kenegaraan
sesuai aspirasi mereka. Oleh karena itu, pengurus hendaklah berfungsi sebagai pelayan
aspirasi dan kepentingan bagi konstituennya. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma
dalam cara memahami partai dan kegiatan berpartai.

Menjadi pengurus bukanlah segala-galanya. Namun yang lebih penting adalah


menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, jika yang menjadi faktor sebagai penentu adalah terpilih
tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat, maka setiap orang tentu akan berlomba-lomba
menjadi pengurus dan bahkan untuk menjadi pimpinan puncak partai politik. Akibatnya,
menjadi pengurus dianggap keharusan dan kelak dapat sekaligus menjadi wakil rakyat. Dua-
duanya dirangkap sekaligus, dan untuk seterusnya partai politik hanya akan berfungsi sebagai
kendaraan bagi individu para pengurusnya untuk terus mempertahankan posisi sebagai wakil
rakyat atau untuk meraih jabatan-jabatan publik lainnya. Kepengurusan partai politik di
memang sebaiknya diarahkan untuk menjadi pengelola yang profesional yang terpisah dan
dipisahkan dari para calon wakil rakyat.

Mungkin ada baiknya untuk dipikirkan bahwa kepengurusan partai politik dibagi ke
dalam 3 (tiga) komponen, yaitu (i) komponen kader wakil rakyat, (ii) komponen kader
pejabat eksekutif, dan (iii) komponen pengelola profesional. Ketiganya diatur dalam struktur
yang terpisah, dan tidak boleh ada rangkap jabatan dan pilihan jalur. Pola rekruitmen dan
promosi diharuskan mengikuti jalur yang sudah ditentukan dalam salah satu dari ketiga jalur
tersebut. Jika seseorang berminat menjadi anggota DPRD atau DPR, maka ia diberi
kesempatan sejak awal untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Partai atau yang dapat
disebut dengan nama lain, yang disediakan tersendiri strukturnya dalam kepengurusan Partai.
Sedangkan kader yang berminat duduk di lembaga eksekutif tidak duduk di Dewan
Perwakilan, melainkan duduk dalam Dewan Kabinet atau yang disebut dengan nama lain.

Di luar kedua struktur itu, adalah struktur kepengurusan biasa yang dijabat oleh para
profesional yang digaji oleh partai dan tidak dimaksudkan untuk direkrut menjadi wakil
rakyat ataupun untuk dipro- mosikan menduduki jabatan di lingkungan pemerintahan. Ketiga

37
kelompok pengurus tersebut hendaknya ja- ngan dicampur aduk atau terlalu mudah
berpindah- pindah posisi dan jalur.

B. Pemilu dan Kedaulatan Rakyat

Dapat dikatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu ada 4 (empat), yaitu:

 auntuk kepemimpinan pemerintahan secara damai;


 untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan
rakyat di lembaga perwakilan;
 untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
 untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga ne- memungkinkan terjadinya
peralihan tertib dan gara. Seperti dimaklumi, kemampuan seseorang bersifat terbatas.
Di samping itu, jabatan pada dasarnya merupa- kan amanah yang berisi beban
tanggung jawab, bukan hak yang harus dinikmati. Oleh karena itu, seseorang tidak
boleh duduk di suatu jabatan tanpa ada kepastian batasnya untuk dilakukannya
pergantian. Tanpa siklus kekuasaan yang dinamis, kekuasaan itu dapat mengeras
menjadi sumber malapetaka. Sebab, dalam setiap jabatan, dalam dirinya selalu ada
kekuasaan yang cenderung berkembang menjadi sumber kesewenang- wenangan bagi
siapa saja yang memegangnya.

C. Sistem Pemilihan Umum

1. Sistem Pemilu Mekanis dan Organis

Sementara itu dalam sistem pemilihan umum yang bersifat organis, pandangan
organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam
berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga) fungsi
tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-
lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat dilihat sebagai suatu
organisme yang terdiri atas organ- organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu
dalam totalitas organisme, seperti komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan
pandangan demikian, persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai
penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain, persekutuan-persekutuan itulah
yang mempunyai hak pilih untuk mengutus wakil-wakilnya kepada badan-badan perwakilan
masyarakat.

38
Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan seperti yang sudah diuraikan di atas,
pemilihan organis ini dapat dihubungkan dengan sistem perwakilan fungsional (function
representation) yang biasa dikenal dalam sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan
Irlandia. Pemilihan anggota Senat Irlandia dan juga para Lords yang akan duduk di House of
Lords Inggris, didasarkan atas pandangan yang bersifat organis tersebut. Dalam sistem
pemilihan mekanis, partai-partai politiklah yang mengorganisasikan pemilih-pemilih dan
memimpin pemilih berdasarkan sistem dua-partai atau pun multi-partai menurut paham
liberalisme dan sosialisme, ataupun berdasarkan sistem satu-partai menurut paham
komunisme.

Tetapi dalam sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu


dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan
hidup itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungannya sendiri.
Menurut sistem mekanis, lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga perwakilan
kepentingan umum rakyat seluruhnya.

2. Sistem Distrik dan Sistem Proporsional

Sistem yang lebih umum, dan karena itu perlu diuraikan lebih rinci, adalah sistem
pemilihan mekanis.

Sistem ini biasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu:

1) Perwakilan distrik/mayoritas (single member constituencies); dan

2) Sistem perwakilan berimbang (proportional rep- resentation).

Yang bersifat Sistem yang pertama, yaitu sistem distrik, biasa dinamakan juga sebagai
sistem single member constituencies atau sistem the winner's take-all. Dinamakan demikian,
karena wilayah negara dibagi dalam distrik- distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan
(dapil) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang
diperlukan untuk dipilih. Misalnya, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditentukan
500 orang, maka wilayah negara dibagi dalam 500 distrik atau daerah pemilihan (dapil) atau
constituencies. Artinya, setiap distrik atau daerah pemilihan akan diwakili oleh hanya satu
orang wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat.

Oleh karena itu dinamakan sistem distrik, atau single member constituencies.
Sebagian sarjana juga menamakan sistem ini sebagai sistem mayoritas, karena yang dipilih
sebagai wakil rakyat dari suatu daerah ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara yang

39
terbanyak atau suara mayoritas untuk daerah itu, sekalipun kemenangannya hanya bersifat
mayoritas relatif (tidak mayoritas mutlak). Misalnya, di daerah pemilihan 1, calon A
memperoleh suara 100.000, B memperoleh suara 99.999, C memperoleh 1000.001, maka
yang dinyatakan terpilih menjadi wakil dari daerah pemilihan 1 untuk menjadi anggota
lembaga perwakilan rakyat adalah C. Sebab, setiap distrik hanya diwakili oleh satu orang
yang memperoleh suara yang paling banyak, meskipun bukan mayoritas mutlak. Kelebihan
sistem ini tentu saja banyak. Setiap calon dari suatu distrik, biasanya adalah warga daerah itu
sendiri, atau meskipun datang dari daerah lain, tetapi yang pasti bahwa orang itu dikenal
secara baik oleh warga daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, hubungan antara para
pemilih dengan para calon harus erat dan saling mengenal dengan baik.

Bagi para pemilih tentunya calon yang paling mereka kenal sajalah yang akan dipilih.
Sebaliknya, karena calon yang dipilih adalah orang yang sudah dikenal dengan baik, tentu
diharapkan bahwa yang bersangkutan juga sudah sangat mengerti keadaan- keadaan yang
perlu diperjuangkannya untuk kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya itu. Sedangkan
pada sistem yang kedua, yaitu sistim perwakilan berimbang atau perwakilan proporsionil,
persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik,
sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Umpamanya,
jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum tercatat ada 1.000.00o (satu juta) orang.
Misalnya, jumlah kursi di lembaga perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi, berarti
untuk satu orang wakil rakyat dibutuhkan suara 10.000. Pembagian kursi di Badan
Perwakilan Rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai
politik yang ikut pemilihan umum. Jika sistem ini dipakai, maka dalam bentuk aslinya tidak
perlu lagi membagikan korps pemilih atas jumlah daerah pemilihan. Korps pemilih boleh
dibagi atas sejumlah daerah pemilihan dengan ketentuan bahwa tiap-tiap daerah pemilihan
(dapil) disediakan beberapa kursi sesuai dengan jumlah penduduknya.

40
BAB III

PEMBAHASAN BUKU

3.1 Kelebihan dan Kekurangan Kedua Buku

Berikut kelebihan dan kekurangan dari buku utama dan buku pembanding yang saya
review:

A. Aspek Tampilan Buku

Pada buku tersebut memiliki segi cover yang dapat dinilai oleh saya sebagai pembaca,
menurut saya segi cover karangan Dr. I. Gede Yusa, S.H., M.H.dkk memiliki keunggulan
cover yang sangat menarik dengan menggambarkan bangunan istana negara berwarna putih
juga ikut dengan perpaduan gambar peta di atas bangunan istana tersebut sangat cocok
menggambarkan atau mencirikhaskan pemerintahan Indonesia. Kemudian dalam karangan
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H hanya memiliki keunggulan di warna kontras yang di pakai
pada cover buku, warna terkesan lembut tidak terlalu mencolok atau tidak terlalu kekurangan
warna, namun perpaduan desain covernya kurang pas karna hanya menampilkan gambar
buku, kacamata, juga gelas diatas meja. Jadi segi cover karangan Jimly Asshiddiqie kurang
menarik.

Sehingga dapat saya simpulkan dalam segi cover karangan Dr. I. Gede Yusa, S.H.,
dkk lebih unggul dibandingkan cover karangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

B. Aspek Layout dan Tata Letak Tulisan

Dalam segi aspek tulisan buku utama karangan I. Gede Yusa,dkk dengan buku
pembanding karangan Jimly Asshiddiqie memiliki kesempurnaan dalam letak tulisan yang
sangat rapi dengan beberapa sumber pengutipan yang sesuai dengan studi pustaka sehingga
dapat disimpulkan kedua buku tersebut memiliki kesempurnaan dalam aspek layout dan letak
tulisan.

41
C. Aspek Isi Buku

Antara buku utama karangan I. Gede Yusa, dkk dengan buku pembanding karangan
Jimly Asshidddiqie keduanya sama-sama memiliki kajian isi yang bagus di setiap
pembahasan babnya.

Buku utama karangan karangan I. Gede Yusa, dkk dari yang saya abaca membahas
mengenai negara hukum tak lain adalah negara yang berkonstitusi. Sehingga salah 1 indikasi
kebernegaraan yang baik adalah kepatuhannya pada konstitusi. Dengannya seluruh
pengaturan kenegaraan ditata guna menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.

Menuju itu, buku karangan I. Gede Yusa, dkk ini memuat sejumlah aspek dasar dalam
bahasan-bahasan hukum tata negara Indonesia yakni:

 Perspektif keilmuan Hukum Tata Negara Indonesia


 Dasar-Dasar Hukum Tata Negara
 Lembaga-Lembaga Negara
 Wilayah negara dan otonomi daerah
 Warga negara dan Hak Asasi Manusia
 Partai Politik dan
 Pemilu.

Kemudian pada buku pembanding yakni karangan Jimly Asshiddiqie yang berjudul
“Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II” yang saya baca terdiri dari 3 bab pembahasan,
yakni membahas mengenai:

 Organ dan Fungsi Kekuasaan Negara


 Hak Asasi Manusia dan Masalah Kewarganegaraan, dan
 Partai Politik dan Pemilihan Umum.

Jadi antara buku utama karangan I. Gede Yusa, dkk dengan buku pembanding
karanagn Jimly Asshiddiqie yang saya baca memiliki beberapa persamaa dalam pembahasan,
dimana pada kedua buku ini di dalamnya masing-masing membahas tentang hak asasi
manusia dan masalah kewarganegaraan, dan sama-sama membahas juga tentang partai politik
dan pemilihan umum.

Namun dalam segi cakupan isi, buku pembanding karangan Jimly Asshiddiqie
cakupannya lebih sedikit karena hanya memuat 3 bab pembahasan saja sementara buku

42
utama karangan I. Gede Yusa, dkk cakupan lebih banyak dan lebih luas karena membahas 6
bab pembahasan di dalam bukunya.

Jadi disini dapat saya simpulkan buku utama karangan I. Gede Yusa,dkk lebih unggul
daripada buku pembanding karangan Jimly Asshiddiqie karena buku utama tersebut memiliki
cakupan pembahasan yang banyak dan lebih luas juga dalam segi identitas bukunya lengkap
disbanding dengan buku pembanding karangan Jimly Asshiddiqie yang cakupan isinya
kurang luas juga identitas buku kurang lengkap dicantumkan pada halaman utama buku,
identitas buku yang tidak dicantumkan adalah bagian ISBN nya.

D. Aspek Tata Bahasa

Pada aspek tata bahasa kedua buku yang saya review buku utama karangan I. Gede
Yusa, dkk dengan buku pembanding karangan Jimly Asshiddiqie memiliki keunggulan dalam
bahasa, kedua buku memiliki bahasa yang sangat mudah untuk dimengeri. Memang pada
kedua buku tersebut juga mencantumkan bahasa Inggris pada bagian-bagian pembahasan
babnya tetapi itu menurut saya wajar karena bahasa Inggrisnya bisa diterjemahkan dengan
mudah baik itu kita secara langsung menerjemahkannya ataupun melalui alat penerjemah
juga bisa.

Jadi dapat saya simpulkan kedua buku tersebut memiliki kesempurnaan dalam tata
bahasa.

43
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Secara keseluruhan buku yang saya kritik memilki kelebihan dan kekurangan dalam
segi cover, bahasa, tulisa, dan isi dan kedua buku ini dapat mempermudah para mahasiswa
untuk dapat menganalisis buku tersebut dan memahami buku tersebut.

Hukum tata negara merupakan suatu aspek yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui
bagaimana hukum tata negara yang dibutuhkan oleh negara kita baik dari segi pelaksanaan,
pembuatan kebijakan dan bagaimana peranan masyarakat itu sendiri untuk bisa terjun dan
bercampur tangan dalam hukum tata negara, kedua buku ini sudah sangat sempurna dalam
menjabarkan hal tersebut termasuk buku karangan I. Gede Yusa, dkk yang mengkaji hukum
tata negara secara luas, baik dalam segi ilmu tata negara dan politik.

Sehingga dapat saya simpulkan kedua buku ini sangat layak untuk dianalisis oleh para
mahasiswa mengingat sangat banyak sekali permasalahan yang didapatkan dalam hukum tata
negara sehingga dibutuhkanlah para generasi yang cerdas untuk bisa memprkeruh konflik
tersebut, dengan membaca dan mengkritisi kedua buku tersebut.

4.2 Rekomendasi

1) Bagi Mahasiswa
Hendaknya digunakan untuk bisa mempelajari dan membaca buku tersebut agar bisa
mengetahui secara luas mengenai hukum tata negara di Indonesia serta bisa
mengkritisi segala permasalahan hukum tata negara di Indonesia.
2) Bagi Penulis
Hendalnya memperhatikan setiap penulisan yang akan diterbitkan sehingga tidak
mengalami kesalahan dalam tata tulisan.
3) Bagi Pembaca
Bisa digunakan menjadi bahan referensi dalam membuat karya ilmiah, dan karya
tulis.

44
DAFTAR PUSTAKA

Yusa, I Gede, dkk. 2016. Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD Negara RI 1945.
Malang: Setara Press.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Medan: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD Negara RI 1945.


https://www.studocu.com/id/document/universitas-indonesia/asas-asas-
hukum-tata-negara/lecture-notes/pengantar-ilmu-hukum-tata-negara-
2/3834157/view.Kamis/02/April/2020.

Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

II.https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/f58780fe17d2db10ce3843fc
6157a20.pdf.Kamis/02/April/2020.

45
DAFTAR LAMPIRAN
A. Lampiran Buku Utama
1. Cover 2. Halaman Judul

3. Identitas Buku 4. Daftar Isi


1) 2)

4) 5)

46
B. Lampiran Buku Pembanding
1. Cover 2. Halaman Judul

3. Identitas Buku

4. Daftar Isi

47

Anda mungkin juga menyukai