Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Sektor pertanian sedang menghadapi tantangan besar untuk mencukupi kebutuhan
manusia sehingga memerlukan sistem yang mampu melengkapi petani dan pihak yang
berkepentingan dalam melakukan perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan lahan
pertanian. Smart Farming 4.0 merupakan metode pertanian cerdas berbasis teknologi masa
kini untuk menunjang produktivitas hasil pertaniaan yang maksimal, smart agiculture ini
bertujuan untuk mengatur dan memprediksi hasil panen dan masalah yang dihadapi oleh para
petani. Sistem pertanian yang cerdas yang dijalankan dengan analisis data optimal akan
memampukan para petani dan pihak terkait untuk mengurangi biaya pertanian serta
mengoptimalkan keuntungan. Teknologi yang memanfaatkan jejaringan sensor yang
terkoneksi internet dikenal dengan Internet of Things (Engel dan Suakanto, 2016). Konsep
Internet of Things yang mengkoneksikan sesuatu dengan internet salah satunya melalui
global positioning systems (GPS).
Global Positioning System (GPS) adalah satu satunya sistem navigasi satelit yang
menggunakan 24 satelit yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke bumi. GPS
merupakan sebuah sistem navigasi berbasiskan radio yang menyediakan informasi koordinat
posisi, kecepatan, dan waktu, ketinggian, dan informasi tambahan lainnya kepada pengguna
di seluruh dunia berdasarkan perbedaan garis lintang (latitude) dan garis bujur (longitude).
Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta informasi
mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia tanpa bergantung waktu dan cuaca, bagi
banyak orang secara simultan (Armira et al., 2017). GPS dapat memberikan informasi posisi
dengan ketelitian bervariasi dari beberapa millimeter (orde nol) sampai dengan puluhan
meter. GPS cukup banyak diaplikasikan untuk survei pemetaan, geodinamika, geodesi,
geologi, geofisik, transportasi dan navigasi, pemantauan deformasi, pertanian, kehutanan, dan
bahkan juga bidang olahraga dan rekreasi (Pramono, 2019).
GPS terdiri atas 3 segmen utama yaitu segmen sistem kontrol, segmen satelit dan
segmen pengguna. Segmen sistem kontrol adalah otak dari GPS, yang bertugas mengatur
semua satelit GPS yang ada agar berfungsi sebagaiman mestinya. Segmen satelit adalah
satelit – satelit GPS yang mengorbit di angkasa sebagai stasiun radio. Satelit GPS tersebut
dilengkapi antena-antena untuk mengirim dan menerima sinyal-sinyal gelombang. Segmen
pengguna adalah para pengguna satelit GPS dalam hal ini receiver GPS yang dapat menerima
dan memproses sinyal yang dipancarkan oleh satelit GPS (Pramono, 2019). Oleh karena itu,
dilakukannya praktikum ini agar praktikan mengenal penggunaan GPS terutama di bidang
pertanian untuk menentukan koordinat tanaman perkebunan dan menghitung luas lahan.

b. Tujuan
1. Menentukan koordinat tanaman perkebunan dan luas lahan dengan global positioning
system (GPS).
2. Membandingkan antara pengukuran lahan secara konvensional dengan pengukuran
dengan menggunakan global positioning system (GPS).
II. TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar sumber mata pencaharian
penduduknya berasal dari bertani atau bercocok tanam. Salah satu tanaman tersebut yaitu
karet. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) termasuk dalam famili Euphorbiacea, disebut
dengan nama lain rambung, getah, gota, kejai ataupun hapea. Karet merupakan salah satu
komoditas perkebunan yang penting sebagai sumber  devisa non migas bagi Indonesia,
sehingga memiliki prospek yang cerah. Upaya peningkatan produktivitas tanaman tersebut
terus dilakukan terutama dalam bidang teknologi budidaya dan pasca panen (Sun, 2013).
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan lateks yang banyak maka
perlu diperhatikan syarat-syarat tumbuh dan lingkungan yang diinginkan tanaman ini.
Apabila tanaman karet ditanam pada lahan yang tidak sesuai dengan habitatnya maka
pertumbuhan tanaman akan terhambat (Muryamto et al.,2014). Lingkungan yang kurang baik
juga sering mengakibatkan produksi lateks menjadi rendah. Sesuai habitat aslinya di Amerika
Selatan, terutama Brazil yang beriklim tropis, maka karet juga cocok ditanam di Indonesia,
yang sebagian besar ditanam di Sumatera Utara dan Kalimantan. Sejak dekade 1980 hingga
saat ini tahun 2017, permasalahan karet Indonesia adalah rendahnya produktivitas dan mutu
karet yang dihasilkan, khususnya oleh petani karet rakyat.
Sebagai gambaran produksi karet rakyat hanya 600 - 650 kg KK/ha/thn. Meskipun
demikian, peranan Indonesia sebagai produsen karet alam dunia masih dapat diraih kembali
dengan memperbaiki teknik budidaya dan pasca panen/pengolahan, sehingga produktivitas
dan kualitasnya dapat ditingkatkan secara optimal. Secara umum ada dua jenis karet, yaitu
karet alam dan karet sintetis. Setiap jenis karet mempunyai/memiliki karakteristik yang
berbeda, sehingga keberadaannya saling melengkapi. Saat ini karet yang digunakan di
Industri terdiri dari karet alam dan karet sintetis. Adapun kelebihan yang dimiliki karet alam
adalah:
1. Memiliki daya lenting dan daya elastisitas yang tinggi,
2. Memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah.
3. Mempunyai daya aus yang tinggi.
4. Tidak mudah panas (low heat build up) dan memiliki daya tahan yang tinggi
terhadap keretakan (groove cracking resistance).
Di dalam pembudidayaan tanaman karet, juga perlu dilakukan persiapan bibit unggul
dengan harapan agar produksi yang dihasilkan baik. Untuk mendapatkan bibit standar dapat
diawali dengan menyeleksi biji yang mempunyai daya kecambah tinggi (> 70%), umur
kecambah kurang dari 21 hari sejak disemaikan, akar tunggang lurus, dan bebas penyakit
jamur akar putih (JAP). Pemilihan batang bawah yang sesuai untuk batang atas pada tanaman
karet sangat penting untuk diperhatikan karena sering kali terjadi ketidaksesuaian antara klon
batang bawah dan batang atas. Akibatnya, kombinasi tersebut tidak mampu menampilkan
potensi produksi dan karakter unggul lainnya secara maksimal.
Potensi klon batang atas yang maksimal hanya akan tercapai apabila batang bawah
yang digunakan sesuai dengan batang atas. Dijkman (1951) menyatakan bahwa kesalahan
penggunaan batang bawah dapat menurunkan produksi hingga 40%. Hal ini berarti mutu
genetis batang bawah sangat memengaruhi produksi batang atas. Mutu fisiologis batang
bawah yang digunakan menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya, terutama menyangkut
kejaguran. Penggunaan biji yang berkualitas akan menghasilkan pertumbuhan batang bawah
yang seragam sehingga dapat mempersingkat masa tanaman dan belum menghasilkan (TBM)
sekitar 5-9 bulan (Gan, 1989). Saat ini, biji yang dianjurkan sebagai benih untuk batang
bawah berasal dari klon GT1, AVROS2037, BPM24, PB260, PB330, dan RRIC100 (LRPI
2009). Oleh karena itu, upaya yang dianjurkan untuk memperpendek masa matang sadap
antara lain adalah menggunakan bibit polibeg yang mempunyai pertumbuhan cepat,
berdiameter besar, dan seragam (Boerhendhy & Amypalupy, 2011).
Persiapan lahan juga termasuk komponen penting dalam melakukan budidaya karet.
Persiapan lahan untuk budidaya tanaman karet bertujuan untuk memberikan kondisi
pertumbuhan yang baik dan mengurangi sumber infeksi/inokulan Rigidophorus lignosus yang
menyebabkan penyakit jamur akar putih (JAP). Lahan yang digunakan untuk perkebunan
karet dapat berasal dari hutan sekunder, semak belukar atau padang alang-alang. Pembukaan
lahan hutan sekunder dan semak belukar dapat dilakukan secara manual, sedangkan untuk
lahan alang-alang dianjurkan dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan herbisida.
Pertanian di Indonesia semakin hari terus berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman. Konsep smart farming mulaibanyak diterapkan. Berbagai upaya dan tekhnologi mulai
dimanfaatkan untuk menunjang kualitas dan hasil dari pertanian. Tidak hanya itu tekhnologi
juga memudahkan dalam proses persiapan lahan maupun pengolahan hasil pertanian. Salah
satu tekhnologi yang telah di gunakan yaitu GPS ( Global Positioning System).
GPS merupakan sistem navigasi berbasis satelit yang terdiri dari seridaknya 24 satelit.
Pemakaian GPS (Global Positioning System) di bidang pertanian telah demikian luas.
Teknologi ini digunakan antara lain untuk perencanaan pertanian, pemetaan lapangan,
pengambilan sampel tanah, pemandu traktor, pencarian tanaman, aplikasi tingkat variabel,
dan pemetaan hasil. Saat ini, pemakaian GPS memungkinkan aplikasi pestisida, herbisida,
dan pupuk yang lebih tepat, sehingga dapat menghemat biaya, mendapatkan hasil produksi
yang lebih tinggi, dan menciptakan pertanian yang lebih ramah lingkungan. GPS
memungkinkan petani bekerja dalam kondisi lapangan dengan visibilitas rendah seperti
hujan, debu, kabut, dan gelap.
Informasi lokasi yang dikumpulkan oleh penerima GPS memungkinkan petani untuk
memetakan batas lahan pertanian, jalan, sistem irigasi, dan area bermasalah karena terdapat
tanaman pengganggu seperti gulma atau penyakit. Data lapangan yang sama juga dapat
digunakan untuk memandu pesawat penyemprot pestisida, sehingga pesawat lebih akurat
terbang di atas lahan yang dituju dan dapat mengurangi pemakaian bahan kimia. Terdapat
tiga bagian penting dari sistem ini, yaitu bagian kontrol, bagian angkasa, dan bagian
pengguna. Fungsi bagian ini untuk mengontrol, setiap satelit dapat berada sedikit di luar
orbit, sehingga bagian ini melacak orbit satelit, lokasi, ketinggian, dan kecepatan.
Kumpulan satelit-satelit ini diatur sedemikian rupa sehingga alat navigasi setiap saat
dapat menerima paling sedikit sinyal dari empat buah satelit. Sinyal satelit ini dapat melewati
awan, kaca, atau plastik, tetapi tidak dapat melewati gedung atau gunung. Satelit mempunyai
jam atom, dan juga akan memancarkan informasi waktu/jam. Data ini dipancarkan dengan
kode ‘pseudo-random’. Masing-masing satelit memiliki kodenya sendiri-sendiri. Nomor kode
ini biasanya akan ditampilkan di alat navigasi, maka kita bisa melakukan identifikasi sinyal
satelit yang sedang diterima alat tersebut. Data ini berguna bagi alat navigasi untuk mengukur
jarak antara alat navigasi dengan satelit, yang akan digunakan untuk mengukur koordinat
lokasi. Kekuatan sinyal satelit juga akan membantu alat dalam perhitungan (Firmansyah,
2013)
III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM

Praktikum Budidaya Tanaman Tahunan Acara III yang berjudul “Penggunaan Global
Positioning System (GPS) untuk Penentuan Koordinat Tanaman Perkebunan dan Perhitungan
Luas Lahan” dilaksanakan pada hari Selasa, 3 Maret 2020 di Kebun Karet Pusat Inovasi Agro
Teknologi (PIAT) UGM Mangunan, Girirejo (Magir), Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah komoditas tanaman
perkebunan yaitu karet. Alat yang digunakan antara lain alat tulis, GPS Garmin Tipe 64s, dan
meteran.
Pada praktikum ini satu golongan dibagi menjadi dua kelompok besar. Setiap kelompok
besar terdapat satu atau dua narasumber yang menjelaskan budidaya dan cara penyadapan
karet. Setelah itu, setiap kelompok besar melakukan tagging dan tracking. Tagging yaitu
penentuan titik pohon menggunakan GPS, sedangkan tracking yaitu penentuan luas lahan
menggunakan GPS dan meteran (konvensional). Tagging dan tracking dilakukan pada 6
pohon (lebar) dan 10 pohon (panjang). Langkah-langkah penggunaan GPS untuk tagging
yaitu GPS dinyalakan dan ditunggu sampai mendapatkan sinyal dan dipastikan posisi
pengukur berada di dekat pohon yang akan diukur. Kemudian dipilih “Mark” lalu di klik
“Menu” dan dipilih “Lokasi rata-rata”. Setelah itu dipilih “Mulai” dan ditunggu hingga
100%. Sedangkan langkah-langkah penggunaan GPS untuk tracking sebagai berikut. GPS
dinyalakan dan ditunggu sampai mendapatkan sinyal. Dari menu utama dipilih “Kalkulasi
Area” dan kemudian “Mulai”. Kemudian pengukur berjalan di sekitar tepi area yang akan
diukur yaitu pada 6 pohon (lebar) dan 10 pohon (panjang) yang telah ditentukan sebelumnya.
GPS akan merekam posisi pengukur secara berkala dan melacak jarak yang pengukur telah
dilalui di setiap arah. “Kalkulasi” pada GPS dienter pada menu dilayar dan hasilnya akan
keluar. Untuk mengubah satuan pengukuran dengan menekan tombol menu dan dipilih
“Ubah Satuan” kemudian dienter. Hasil pengukuran menggunakan GPS dicatat.
Prosedur pengambilan data sebagai berikut. Pengambilan data berupa koordinat
tanaman, diameter tanaman, dan produksi tanaman. Tanaman dikebun di-record berdasarkan
koordinat GPS kemudian diidentifikasi diameter tanaman dan tingkat produksi tanaman
(sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat buruk). Diameter pohon diukur ada ketinggian
±120 cm dari permukaan tanah. Kalsifikasi produksi tanaman berdasarkan standar potensi
hasil pada masing-masing komoditas tanaman perkebunan (≥80% kategori sangat baik, ˂80%
- ≥60% kategori baik, ˂60% - ≥ 40% kategori sedang, ˂40% - ≥ 20% kategori buruk, dan
˂20% kategori sangat buruk). Tahapan perhitungan luas lahan dilakukan dengan cara
konvensional yaitu luasan lahan diukur secara konvensional berdasarkan batas-batas kebun
( 6 pohon untuk lebar dan 10 pohon untuk panjang) menggunakan meteran kemudian
dikonversi dalam satuan luas m2. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara luas lahan
yang dihitung secara konvensional dengan menggunakan GPS dilakukan analisis chi-square
(X2). Jika terdapat perbedaan nyata antara perhitungan secara konvensional dengan
perhitungan menggunakan GPS dibuat persamaan regresi linier sederhana dengan variabel
terikat (y) berupa luas lahan secara konvensional dan variabel bebas (x) berupa luas lahan
menggunakan GPS. Analisis data mengguankan uji X2 digunakan untuk membandingkan
hasil perhitungan luas lahan secara konvensional dengan hasil perhitungan menggunakn GPS.
Persamaan untuk menghitung X2 adalah :
(Oi−Ei )2
X2=
Ei

Dimana ;
Oi = nilai luas lahan yang diukur secara konvensional
Ei = nilai luas lahan yang diukur dengan GPS
i = sampel pengamatan ke-i
IV.
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Tabel 3.1 Pengamatan Koordinat Tanaman
Koordinat Tanaman Klasifikasi
Diameter Produksi Tanaman
No Produksi
x y Tanaman (cm) (kg/tanaman/tahun)
Tanaman
07°55’38,8
1 110°24’34,3” ” 15,61 30 Sangat baik
07°55’38,7
2 110°24’34,4” ” 17,83 30 Sangat baik
07°55’38,6
3 110°24’34,4” ” 18,15 30 Sangat baik
07°55’38,6
4 110°24’34,6” ” 19,43 30 Sangat baik
07°55’38,6
5 110°24’34,9” ” 18,15 30 Sangat baik
07°55’39,0
6 110°24’34,4” ” 16,24 30 Sangat baik
07°55’39,1
7 110°24’34,4” ” 12,10 30 Sangat baik
07°55’39,4
8 110°24’34,3” ” 18,28 30 Sangat baik
07°55’38,8
9 110°24’34,7” ” 16,24 30 Sangat baik
 110°24’34,9 07°55’39,1
10 ” ” 15,22   30 Sangat baik

Berdasarkan Tabel 3.1 diketahui tanaman yang digunakan untuk praktikum pengamatan
koordinat tanaman adalah tanaman karet klon PB 260 di PIAT UGM. Tanaman karet tersebut
memiliki jarak tanam yaitu 3 x 4 m dengan luas lahan 1 hektar. Jumlah tanaman karet pada
lahan tersebut adalah 834 tanaman. Pengamatan dilakukan pada sepuluh tanaman yang
memiliki klasifikasi diameter antara 15 hingga 19 cm. Produksi tanaman karet tersebut yaitu
30 kg/tanaman/tahun. Klasifikasi produksi tanaman dapat diketahui dengan menghitung
produktivitas actual dan produktivitas potensial. Produktivitas actual adalah 30 kg x 834
tanaman = 25.020 kg/ha. Produktivitas potensial adalah = 17.1 kg/ha=17.000 kg/ha.
Klasifikasi produksi tanaman didapat dengan cara membandingkan produktivitas aktual dan
potensial yang dikali 100%. Klasifikasi produksi tanman karet dapat dihitung dengan cara
(25.020/17.100)x100% dan didaptkan hasil 148.32%. Diketahui kriteria klasifikasinya adalah
sebagai berikut:
≥80% = sangat baik
<80%-≥60% = baik
60% -≥40% = sedang
<40%-≥20% = buruk
20% = sangat buruk
Berdasarkan hasil perhitungan klasifikasi produksi tanaman didapatkan hasil 143,82% yang
berarti hasil klasifikasi tergolong sangat baik dikarenakan lebih dari 80% (≥80%).
Tanaman karet (Hevea Brasiliensis) merupakan tanaman perkebunan yang memiliki
nilai ekonomis tinggi. Karet merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Latin, lebih
tepatnya negara Brasil. Tanaman karet termasuk dalam famili Euphorbiacea atau dapat
disebut dengan nama lain rambung, getah, gota, kejai ataupun havea. Klasifikasi tanaman
karet adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Family : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis Muell Arg. (Setyamidjaja, 1993).
Budidaya tanaman karet harus dapat dilakukan di kondisi agroklimat yang tepat agar tanaman
dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal. Tanaman karet mempunyai adaptasi yang
tinggi pada semua tipe lahan kecuali untuk lahan tergenang. Ketinggian tempat yang ideal
untuk pengembangan karet adalah 0 - 200 meter dari permukaan laut (Astuti et al., 2014).
Tanaman karet sangat ditentukan oleh bahan tanam yang digunakan. Bahan tanam
tanaman karet ditentukan oleh banyak faktor, salah satu faktor yang sangat penting tersebut
adalah bibit. Bibit karet sangat berperan terhadap keberhasilan budidaya karet sehingga
dalam menyiapkan bibit karet diperlukan perhatian yang khusus dan teknis budidaya yang
tepat dalam penyediaan batang bawah maupun pengelolaan batang atas pada kebun entres.
Terdapat klon - klon anjuran berdasarkan hasil rumusan Lokakarya Nasional Pemuliaan
Tanaman Karet 2005 sebagai berikut:
a. Klon penghasil lateks : BPM 24, BPM 107, BPM 109, IRR 104, PB 217, PB 260
b. Klon penghasil lateks-kayu : BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5,
IRR 32, IRR 39, IRR 42, 112, IRR 118
c. Klon penghasil kayu : IRR 70, IRR 71, IRR 72, IRR 78 10
Klon yang digunakan merupakan klon anjuran dan telah disertifikasi oleh BP2MB. Syarat
kebun sumber biji untuk batang bawah yaitu:
a. Terdiri dari klon monoklonal anjuran untuk sumber benih
b. Kemurnian klon minimal 95%
c. Umur tanaman 10-25 tahun
d. Pertumbuhan normal dan sehat
e. Penyadapan sesuai norma
f. Luas blok minimal 15 ha
g. Topografi relatif datar.
Sumber benih Klon karet di Indonesia dihasilkan oleh lembaga riset pemerintah
maupun lembaga riset swasta seperti Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet,
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet,
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Balai Penelitian Getas, Pusat Penelitian Karet,
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bah Lias Riset Center, dan PT London Sumatera
Plantation.
Kualitas dan standar mutu benih harus diperhatikan mulai dari biji untuk batang bawah
sampai bibit karet yang siap ditanam di lahan dengan peryaratan masing-masing tahapan
sebagai berikut:
1. Biji untuk batang bawah
a. Berasal dari pohon induk yang berumur minimal 10 tahun dan asal klon diketahui secara
pasti (propellegitim)
b. Umur biji diketahui dengan pasti dan masih segar
c. Biji yang baik adalah biji yang bernas, dengan permukaan mengkilat, biji tidak
berlobang, dan tidak cacat serta telah mencapai ukuran/besar optimal dan kesegaran
minimal 70%.

2. Biji yang sudah disemai dan akan dipindahkan ke pembibitan :


a. Telah berkecambah sebelum hari ke-22
b. Akar tunggang kecambah harus lurus
c. Tidak terserang hama atau penyakit.

3. Bibit batang bawah untuk diokulasi.


a. Bibit yang siap diokulasi yaitu bibit yang pertumbuhannya relatif seragam dan sudah
mencapai diameter batang tertentu untuk dapat di okulasi hijau atau okulasi cokelat
b. Bibit terawat dengan baik

4. Mata okulasi (entres)


a. Berasal dari kebun kayu okulasi (kebun entres) yang sudah dimurnikan dan terawat baik
dan sehat.
b. Merupakan klon anjuran dengan asal yang jelas.
c. Umurnya hampir sama dengan umur bibit batang bawah.
d. Kayu okulasi segera dimanfaatkan setelah dipotong dari tanaman induk.
e. Entres yang baik kulitnya mudah dikelupas.

5. Stum mata tidur.


a. Mempunyai akar tunggang yang lurus, tidak bercabang atau tidak berbentuk garpu, dan
tidak melingkar serta mempunyai akar-akar lateral 5-10 cm.
b. Panjang akar tunggang minimal 35 cm.
c. Pertautan mata okulasi sempurna dan masih hidup.
d. Stum masih segar, bila ditoreh masih mengeluarkan lateks dan bebas dari serangan jamur
akar putih.
Perbanyakan tanaman karet di Indonesia saat ini yaitu dengan cara okulasi. Teknik
okulasi dianggap teknik terbaik hal ini karena tanaman karet yang berasal dari biji, meskipun
dari jenis unggul, tidak menjamin keturunan- nya akan memiliki sifat baik seperti pohon
induknya akibat terjadinya segregasi dari hasil persarian sendiri (selfing) dan atau silang luar
(outcrossing) dari genotipe heterozigot. Oleh karena itu, keturunan yang berasal dari biji
akan memiliki pertumbuhan dan produksi yang bervariasi.
Okulasi merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman dengan menempelkan mata
entres dari satu tanaman ke tanaman sejenis dengan tujuan mendapatkan sifat yang unggul.
Ada tiga macam teknik okulasi pada tanaman karet, yaitu okulasi dini (early budding),
okulasi hijau (green budding), dan okulasi cokelat (brown budding). Ketiga teknik okulasi
tersebut pada dasarnya sama, perbedaannya terletak pada umur batang bawah dan batang
atas, umur bibit siap salur, dan mutu genetik atau fisiologis yang dihasilkan. Menurut Hadi et
al., (2012) untuk mendapatkan keseragaman dan mempertahankan sifat-sifat baik dari pohon
induk, tanaman karet diperbanyak secara vegetatif dengan teknik okulasi. Tanaman karet
hasil okulasi terdiri atas dua bagian, yaitu batang bawah (rootstock) dan batang atas (scion).
Klon sebagai batang atas diperoleh melalui proses seleksi dan kemudian diperbanyak secara
klonal melalui teknik okulasi. Sementara batang bawah merupakan tanaman dari biji klon
tertentu yang dianjurkan sebagai benih untuk batang bawah (Boerhendhy, 2012).
Tanaman karet biasanya diberi pohon pelindung salah satunya adalah tanman kacang.
Penanaman Kacangan Penutup Tanah Penanaman kacangan penutup tanah (LCC) biasanya
dilakukan oleh perkebunan besar, sedangkan untuk perkebunan rakyat biasa ditanamn tanamn
pangan atau hortikultura. Penanaman LCC memberikan berbagai keuntungan yaitu
meningkatkan kesuburan tanah, melindungi permukaan tanah dari erosi, memperbaiki sifat–
sifat tanah. Manfaat lain dari LCC dapat mempercepat lapuknya tunggul sebagai sumber
inokulum JAP dan menekan biaya pengendalian gulma, sehingga mempercepat pertumbuhan
tanaman karet. Jenis tanaman LCC yang umum digunakan (konvensional) adalah campuran
dari Centrosema pubescens (CP), Calopogonium mucunoides (CM) dan Pueraria javanica
(PJ) dengan perbandingan masing-masing 8:8:4 kg biji/ha serta di tanam dengan pola selang -
seling.
Penanaman Karet Penanaman karet sebaiknya dilakukan tepat waktu pada awal musim
hujan, dan berakhir sebelum awal musim kemarau. Apabila bahan tanam berupa stum mata
tidur, maka mata okulasi sebaiknya sudah membengkak. Hal tersebut dapat diperoleh dengan
cara menunda waktu pencabutan bibit minimal seminggu sejak penyerongan (pemotongan
bibit okulasi yang jadi). Apabila bahan tanam yang digunakan bibit polybag, maksimum dua
payung dengan payung daun teratas kondisi dorman/ daun tua. Berikut cara penanaman bibit
kakao:
a. Apabila bahan tanam berupa stum mata tidur, maka mata okulasi harus sudah
membengkak/ mentis. Hal ini dapat diperoleh dengan cara menunda pencabutan bibit
minimal seminggu sejak dilakukan pemotongan batang bawah
b. Bibit karet dalam polybag yang siap ditanam ke lahan ditandai dengan payung daun
terakhir sudah tua. Bibit berasal dari Stum Mata Tidur
c. Penanaman dilakukan dengan memasukkan bibit ke tengah-tengah lubang tanam. Arah
mata okulasi diseragamkan menghadap gawangan pada tanah yang rata, sedangkan pada
tanah yang berlereng mata okulai diarahkan bertolak belakang dengan dinding teras.
d. Kemudian bibit ditimbun dengan tanah bagian bawah (sub-soil) dan selanjutnya dengan
tanah bagian atas (top-soil). Selanjutnya, tanah dipadatkan secara bertahap sehingga
timbunan menjadi padat dan
kompak, tidak ada rongga udara dalam lubang tanam. Lubang tanam ditimbun sampai
penuh, hingga permukaan rata dengan tanah di sekelilingnya.
e. Kantong dalam polybag dibuka dengan hati-hati agar media tanam tidak pecah.
f. Bibit ditanam tegak lurus dengan arah okulasi
g. menghadap Timur di tengah-tengah lubang tanam, kemudian ditimbun dengan tanah
bagian bawah (subsoil), selanjutnya dengan tanah bagian atas (top soil) .
h. Pemadatan tanah dilakukan dengan hati-hati mulai dari bagian pinggir ke arah tengah.
Tanah pada bagian tanaman dibuat cembung untuk menghindari air agar tidak
menggenang.
i. Bibit yang baru ditanam harus diperiksa setiap 1-2 minggu, selama tiga bulan pertama
setelah penanaman, untuk memastikan kondisi tanaman. Bibit yang mati harus segera
disulam agar populasi dapat dipertahankan (Direktorat Jendral Perkebunan, 2009).
Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan karet sebaiknya dilakukan pada waktu dan cara
yang tepat, meliputi kegiatan:
a. Penyulaman
Pemeriksaan dilakukan selama 3 bulan setelah tanam dengan interval 1 - 2 minggu,
untuk memastikan kondisi tanaman. Bibit yang mati segera disulam agar populasi tanaman
dapat dipertahankan. Penyulaman dilakukan dengan bibit yang seumur. Oleh karena itu perlu
disiapkan bibit sulaman sebanyak 10% dan paling lambat dilakukan sampai umur 2 tahun.
b. Pewiwilan
Pewiwilan induksi cabang Tunas yang tumbuh bukan dari mata okulasi disebut tunas
palsu. Tunas ini umumnya banyak tumbuh pada bibit dalam bentuk stum mata tidur.
Pewiwilan tunas palsu dilakukan sedini mungkin sebelum tunas berkayu. Tunas cabang
adalah tunas yang tumbuh pada batang utama dengan ketinggian 2,5 – 3,0 m dari pertautan
okulasi. Pewiwilan tunas cabang bertujuan mendapatkan bidang sadap yang baik, dilakukan
sebelum tunas berkayu
c. Pemupukan
Pemupukan memberikan efek pada pertumbuhan dan peningkatan produktivitas pada
tanaman karet adalah pemupukan. Keberhasilan pemupukan dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu dosis pupuk, jenis pupuk, waktu dan frekuensi pemupukan, cara pemupukan, dan
pengendalian gulma. Dosis pupuk harus diberikan dalam jumlah cukup. Pupuk yang
diberikan umumnya terdiri atas 3 jenis, yaitu Urea, TSP, KCl dan Kieserit. Jumlah yang
diberikan hendaknya disesuaikan dengan keperluan tanaman tergantung pada umur dan
kondisi tanaman. Penggunaan pupuk yang berlebihan dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan tanah padat, sehingga harus diimbangi dengan pemberian bahan organik.
Penanaman kacangan penutup tanah merupakan salah satu alternatif untuk pengembalian
bahan organik, selain bersumber dari daun karet yang gugur setiap tahun.
d. Pengendalian Gulma
Keberadaan gulma pada perkebunan karet menimbulkan kerugian berupa terhambatnya
pertumbuhan tanaman, terganggunya aktivitas pemeliharaan tanaman, penurunan produksi.
Pengendalian gulma dapat dilakukan secara kimiawi (herbisida) dan secara mekanis (tebas,
cangkul, kored, cabut). Pengendalian gulma dilakukan di pembibitan, masa tanaman belum
menghasilkan (TBM) dan sampai masa produktif (TM). Pengendalian gulma pada
pembibitan dilakukan secara manual, terutama pada saat tanaman berumur < 4 bulan.
Pengendalian gulma menggunakan herbisida dapat dilakukan apabila batang tanaman karet
telah berwarna cokelat, yaitu kira-kira bibit telah berumur 4 - 5 bulan. Frekuensi penyiangan
dilakukan setiap dua minggu sampai umur empat bulan, ketika tajuk mulai menutup
penyiangan dapat dilakukan sebulan sekali.
Pengendalian gulma pada tanaman penutup tanah dilakukan setiap dua minggu. Gulma
dalam barisan karet disiang dengan secara mekanis dan di antara barisan dilakukan
penyemprotan herbisida. Pengendalian gulma pada tanaman belum menghasilkan (TBM)
dilakukan dengan sistem piringan (mengelilingi sekitar tanaman) atau sistem jalur (sepanjang
jalur barisan). Pengendalian gulma selama dua tahun pertama dilakukan secara manual
dengan frekuensi 10 - 12 kali per tahun. Penyemprotan herbisida dilakukan dengan frekuensi
3 - 4 bulan sekali. Pengendalian gulma pada tanaman menghasilkan (TM) dilakukan dengan
frekuensi yang disesuaikan dengan tingkat umur tanaman dan kondisi gulma. Pengendalian
dapat dilakukan secara mekanis maupun kimiawi (Direktorat Jendral Perkebunan, 2009).
Sistem Panen Kemampuan tanaman dalam menghasilkan lateks berubah dari waktu ke
waktu dan tergantung jenis klon berdasarkan tipe metabolismenya. Oleh karena itu aturan
penyadapannya juga harus disesuaikan. Cara penyadapan menurut aturan-aturan tertentu yang
dilakukan pada suatu periode, tersusun dalam suatu sistem yang dinamakan sistem sadap.
Beberapa sistem sadap yang dirangkai dan dilakukan secara berurutan sepanjang siklus
produksi tanaman dinamakan sistem panen. Setelah dilakukan pemanenan maka yang perlu
diperhatikan adalah mutu bahan olah karet (BOKAR) yang baik dicerminkan oleh kada karet
kering (KKK) dan tingkat kebersihan yang tinggi.
Upaya perbaikan mutu bokar harus mulai dilakukan sejak penanganan lateks di kebun
sampai dengan tahap pengolahan terakhir. Penurunan mutu biasanya disebabkan oleh
terjadinya proses prakoagulasi. Prakoagulasi akan menjadi masalah dalam proses pengolahan
sit (sit asap atau sit angin) dna crepe, sedangkan dalam pengolahan karet bongkah (SIR) tidak
menjadi masalah. Untuk mencegah terjadinya penggumpalan (prokoagulasi) lateks,
penggunaan anti koagulan merupakan cara upaya terakhir karena membutuhkan biaya
tambahan. Bahan anti koagulan yang sering digunakan adalah amonia 2,5% dan natrium
sulfit (90%-98% kadar Na2SO3). Dosis pemakaian amonia adalah 5 – 10 ml amonia per liter
lateks. Dosis natrium sulfit adalah 5 – 10 ml larutan Na 2SO3 58 10% untuk setiap liternya.
Pemberian bahan anti koagulan sedapat mungkin dilakukan dalam mangkok lateks. Semakin
cepat lateks diberi bahan anti koagulan akan semakin baik. Untuk memperoleh bahan olah
karet yang bermutu baik beberapa persyaratan teknis yang harus diikuti yaitu:
a. Tidak ditambahkan bahan-bahan non karet
b. Dibekukan dengan asam semut dengan dosis yang tepat
c. Segera digiling dalam keadaan segar
d. Disimpan di tempat yang teduh dan terlindung dan tidak direndam.
Jenis bahan olah karet (bokar) yang dapat diproduksi yaitu:
1. Lateks Pekat
Lateks pekat adalah lateks kebun yang dipekatkan dengan cara sentrifus atau didadihkan
dari KKK 28% - 30% menjadi KKK 60% - 64%. Peralatan yang diperlukan adalah tangki
dadih dari plastik, pengaduk kayu, dan saringan lateks 60 mesh. Bahan-bahan yang
diperlukan berupa bahan pendadih yaitu campuran amonium alginat dan karboksi metil
selulose, bahan pemantap berupa amonium laurat dan pengawet berupa gas atau larutan
amoniak. Pengolahan lateks pekat melalui beberapa tahap yaitu penerimaan dan penyaringan
lateks kebun, pembuatan larutan pendadih, pendadihan dan pemanenan.
2. Lump Mangkok
Lump mangkok adalah lateks kebun yang dibiarkan menggumpal secara alamiah dalam
mangkok. Pada musim penghujan untuk mempercepat proses penggumpalan lateks dapat
digunakan asam semut yang ditambahkan ke dalam mangkok (Direktorat Jendral
Perkebunan, 2009).
Tanaman karet akan siap disadap apabila sudah matang sadap pohon, artinya tanaman
sudah menunjukkan kesanggupan untuk disadap yaitu sudah dapat diambil lateksnya tanpa
menyebabkan gangguan yang berarti terhadap pertumbuhan dan kesehatannya. Kesanggupan
tanaman untuk disadap dapat ditentukan berdasarkan ukuran lilit batangnya sudah mencapai
45 cm atau lebih pada ketinggian 100 cm dari pertautan okulasi (dpo). Pengukuran lilit
batang untuk menentukan matang sadap mulai dilakukan pada waktu tanaman berumur 4
tahun. Penyadapan dapat dimulai setelah kebun karet memenuhi kriteria matang sadap kebun,
agar hasil yang diperoleh menguntungkan. Kebun dikatakan telah matang sadap kebun
apabila jumlah tanaman yang matang sadap pohon sudah mencapai 60 % atau lebih
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2009).
Tanaman karet akan siap disadap apabila sudah matang sadap pohon, artinya tanaman
sudah menunjukkan kesanggupan untuk disadap yaitu sudah dapat diambil lateksnya tanpa
menyebabkan gangguan yang berarti terhadap pertumbuhan dan kesehatannya. Kesanggupan
tanaman untuk disadap dapat ditentukan berdasarkan ukuran lilit batangnya sudah mencapai
45 cm atau lebih pada ketinggian 100 cm dari pertautan okulasi (dpo). Pengukuran lilit
batang untuk menentukan matang sadap mulai dilakukan pada waktu tanaman berumur 4
tahun. Penyadapan dapat dimulai setelah kebun karet memenuhi kriteria matang sadap kebun,
agar hasil yang diperoleh menguntungkan. Kebun dikatakan telah matang sadap kebun
apabila jumlah tanaman yang matang sadap pohon sudah mencapai 60 % atau lebih. Panjang
irisan sadap yang dianjurkan untuk sistem sadap konvensional adalah S/2 (irisan miring
sepanjang 1/2 spiral). Setelah penggambaran selesai dilakukan, maka dilanjutkan dengan
pemasangan alat-alat sadap berupa talang sadap dan mangkok sadap.
Penyadapan karet dapat dilakukan selama 25 - 30 tahun. Oleh karena itu harus
diusahakan agar kulit pulihan dapat terbentuk dengan baik. Kerusakan kambium yang terletak
di antara kulit dan kayu selama penyadapan harus dihindari agar kulit pulihan dapat disadap
pada periode selanjutnya. Kedalaman irisan sadap yang dianjurkan adalah 1 - 1,5 mm dari
kambium dengan ketebalan irisan yang dianjurkan antara 1,5 - 2 mm setiap penyadapan.
Frekuensi atau kekerapan penyadapan adalah jumlah penyadapan yang dilakukan dalam
jangka waktu tertentu.
Penentuan frekuensi penyadapan sangat erat kaitannya dengan panjang irisan dan
intensitas penyadapan. Dengan panjang irisan 1/2 spiral (S/2), frekuensi penyadapan yang
dianjurkan secara konvensional untuk karet rakyat adalah satu kali dalam 3 hari (d3) untuk 2
tahun pertama penyadapan, dan kemudian diubah menjadi satu kali dalam 2 hari (d2) untuk
tahun selanjutnya. Menjelang peremajaan tanaman, panjang irisan dan frekuensi penyadapan
dapat dilakukan secara bebas. Jumlah lateks yang keluar dan kecepatan alirannya dipengaruhi
oleh tekanan turgor sel. Tekanan turgor mencapai maksimum pada saat menjelang fajar, dan
kemudian akan menurun bila hari semakin siang. Oleh karena itu penyadapan sebaiknya
dilakukan sepagi mungkin setelah penyadap dapat melihat tanaman dengan jelas, yaitu jam
05.00 - 07.30 (Direktorat Jendral Perkebunan, 2009).
Metode dalam menghitung luas suatu lahan dapat dilakukan dengan berbagai cara atau
metode. Salah satu metode yang sering diguakan adalah dengan menggunakan di titik
koordinatdengan menggunakan GPS. GPS (Global Positioning System) adalah aplikasi yang
dapat menghitung luas lahan dengan menggunakan titik koordinat. GPS (Global Positioning
System) adalah suatu sistem navigasi satelit yang terdiri dari 24 satelit beroperasi dan 3 satelit
cadangan. Ke-24 satelit itu mengorbit bumi pada jarak 20.200 km dan waktu orbit 12 jam,
sambil memancarkan sinyal berita gelombang radio yang diterima oleh alat penerima
(receiver).
GPS terdiri dari tiga segmen, yaitu segmen angkasa (Space segment), segmen control
atau pengendali (Control segment), dan segmen pengguna (User segment). Kaplan & Hegarty
(2006) menjelaskan bahwa segmen angkasa merupakan konstelasi atau rasi dari satelit-satelit
dari mana pengguna membuat pengukuran. Sinyal yang ditransmit atau disebarkan diatur
dengan data yang berisi informasi yang menggambarkan posisi dari satelit berada. Segmen
pengendali bertanggungjawab dalam menjaga satelit agar tetap befungsi dengan baik.
Termasuk menjaga satelit agar tetap berada pada posisi orbitnya dan memonitor kondisi
satelit dan status satelit. Penguna menerima peralatan yang meliputi segmen pengguna. Setiap
set peralatan disbut sebagai GPS receiver yang memproses sinyal-sinyal yang tertransmisikan
dari satelit ke pengguna.
Jumlah minimal yang dibutuhkan untuk dapat menentukan lokasi (koordinat) obyek
yang diamati adalah 4 satelit. Hal ini berhubungan dengan konsep Triangulasi. Triangulasi
dapat dianalogikan sebagai berikut: Suatu titik A berada pada jarak a cm dari pengamat X.
Dari informasi ini dapat diketahui bahwa X dapat terletak di mana saja sepanjang keliling
lingkaran dengan radius a cm . Titik B diketahui berada pada jarak b cm dari X. Dari data
kedua ini dapat ditentukan dua kemungkinan posisi X (titik merah), yaitu di kedua titik
perpotongan kedua lingkaran. Kemudian titik C diketahui berada pada jarak c cm dari posisi
X. Dengan data terakhir ini bisa dengan tepat dipastikan letak X (Susilo et al.,2014).Cara
kerja GPS secara sederhana ada 5 langkah, yaitu :
1. Memakai perhitungan “triangulation” dari satelit.
2. Untuk perhitungan “triangulation”, GPS mengukur jarak menggunakan travel time sinyal
radio.
3. Untuk mengukur travel time, GPS memerlukan memerlukan akurasi waktu yang tinggi.
4. Untuk perhitungan jarak, kita harus tahu dengan pasti posisi satelit dan ketingian pada
orbitnya.
5. Terakhir harus menggoreksi delay sinyal waktu perjalanan di atmosfer sampai diterima
reciever.
Dua metode menghitung luas lahan yang dilakukan pada pratikum ini mempunyai
kelemahan dan kelebihan masing-masing. Metode manual memngunakan meteran dalam me
ghitung lahan. Proses perhitungan secara manual yang menarik meteran membutuhkan eaktu
yang lama dan perlu tenaga yang ekstra. Penggunaan metode manual kurang cocok
digunakan untuk luasan lahan yang besar. Pengguaan GPS lebih sederhana karena hanya
menggunakan satu alat kemudian bisa mengukur luas, koordinat kebun yang diukur.
Penggunaan GPS membuat waktu kerja lebih singkat dibandingkan dengan metode
konvensional. Akan tetapi, penggunaan metode GPS mempunyai harga yang lebih mahal
dibanding meteran dan penggunaannya secara teknis lebih rumit harus diberi bimbingan atau
pelatihan terlebih dahulu untuk mengoprasikan GPS.
Dilihat dari tabel 3.1 didapatkan dari 10 titik koordinat yang diambil mempunyai
klasifikasi produksi karet yang sangat baik. Menurut (Rao et al., 1993) area karet
berproduksi tinggi biasanya ditemukan pada daerah dengan pola curah hujan yang cukup dan
merata serta rendahnya fluktuasi suhu dan kelembaban selama 1 tahun. Wilayah
pengembangan karet harus nya tidak pada wilayah yang yang mengalami serangan penyakit
daun berkepanjangan, curah hujan tahunan < 3500 mm/th. Curah hujan tahunan yang tinggi
dan merata sepanjang tahun akan menyebabkan tingginya kelembaban nisbi udara, keadaan
ini sangat mendukung perkembangan patogen yang menyebabkan penyakit daun karet.
Wilayah pengembangan karet akan lebih baik ke daerah yang memililki rata-rata curah hujan
1500 – 2000 mm/tahun dengan distribusi merata atau 2000 – 3000 mm/ tahun dengan periode
bulan kering yang tegas 1 – 2 bulan (Susetya & Hadi, 2012).
Hasil analisis nilai chi-square lahan 1 lebih kecil daripada chi-square tabel (0,115364 ≤
3,84146). Artinya, tidak ada beda nyata antara luas lahan konvensional dengan luas lahan
GPS. Walaupun perhitungan lahan 1 dengan Gps 552.34 m2 dan menggunakan metode
konvensional 544.36 m2 memang tidak memiliki perbedaan yang sangat luas. Nilai chi-
square lahan 2 lebih besar daripada chi-square tabel (5,250081 ≥ 3,84146). Artinya, ada beda
nyata antara pengukuran luas lahan konvensional dengan pengukuran luas lahan GPS. Pada
lahan dengan GPS luas lahanya 494.45 m2 dan metode konvensional adalah 545.4 m2.
Mempunyai selisih 50,95 m2 . Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh pada saat
pengukuran dengan meteran terjadi pergeseran titik saat penghitungan luas. Pada saat
perhitungan dengan GPS saat berjalan tidak tercover dengan baik.
V. KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan mengenai pengamatan tanaman karet


maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengamatan dilakukan pada tanaman karet klon PB 260, dilakukan pengamatan koordinat
menggunakan GPS terhadap 10 tanaman. Diameter 10 tanaman karet yang diamati
hamper sama memiliki rentang 15 – 19 cm, produksi 30kg/pohon dan memiliki klasifikasi
produksi tanaman sangat baik.
2. Berdasarkan analisis chi square, pada lahan 1 tidak terdapat beda nyata antara luas lahan
konvensional dengan luas lahan GPS. Perhitungan luas lahan 1 dengan GPS 552.34 m2
dan menggunakan metode konvensional 544.36 m2. Pada lahan 2 terdapat beda nyata
antara pengukuran luas lahan konvensional dengan pengukuran luas lahan GPS. Luas
lahan dengan GPS sebesar 494.45 m2 dan metode konvensional adalah 545.4 m2.
DAFTAR PUSTAKA

Armira, A.F., A. S. Handayani, dan Ciksadan. .2017. Pengembangan sistem estimasi posisi
node sensor dengan teknologi GPS pada wireless sensor network. Prosiding
Annual Research Seminar 3 (1) : 157-159.

Astuti, M., Hafiza, E. Yuningsih, A.R. Wasingun, I.M. Nasution, D. Mustikawati. 2014.
Pedoman Budidaya Karet (Hevea Brasiliensis) yang Baik. Direktorat Jendral
Perkebunan Kementrian Pertanian, Jakarta.

Boerhendhy, I., dan K. Amypalupy. 2011. Optimalisasi produktivitas karet melalui


penggunaan bahan tanam, pemeliharaan, sistem eksploitasi, dan peremajaan
tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 30 : 23-30.

Boerhendhy, Island. 2013. Prospek perbanyakan bibit karet unggul dengan teknik okulasi
dini. Jurnal Litbang Pertanian 32(2):85-95.

Dijkman, M.J. 1951. Hevea. Thirty Years of Research in the Far East. University of Miami
Press, Coral Gables, Florida.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2009. Teknis Budidaya Tanaman Karet : Komoditas Tanaman
Karet. Kementrian Pertanian, Jakarta.

Engel, V. J. L, dan S. Suakanto. 2016. Model inferensi konteks Internet of things pada system
pertanian cerdas. Jurnal Telematika 11 (2) : 49 – 54.

Firmansyah, E. 2013. Pemanfaatan Global Positioning System (GPS) untuk menghitung luas
tanah. STMIK Sumedang, Jawa Barat

Hadi, H., E. Afifah, N.E. Prasetyo, dan L. Atmojo. 2012. Prospek teknik okulasi dini dalam
penyediaan bibit karet klonal. Makalah pada Konferensi Nasional Karet,
Yogyakarta 1920 September 2012. Pusat Penelitian Karet, Medan.
Kaplan, E. D. and C. J. Hegarty. 2006. Understanding GPS: Principles and Application 2 nd
Edition. Artech House Inc, Norwood.
Muryamto, R, Waljiyanto, U. Rahardjo, G. Riyadi, R. Andaru, I. Taftazani, Wahyu Marta, A.
Farida. 2014. Pembuatan peta dan sistem informasi geospasial lahan pertanian di
Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Geomatika.

Pramono, H.S. 2011. Pembacaan posisi koordinat dengan gps sebagai pengendali palang
pintu rel kereta api secara otomatis untuk penambahan aplikasi modul praktik
mikrokontroler. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan 20 (2) : 181-188.

Setyamidjaja, D. 1993. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius, Yogyakarta.

Sun , C.H, W. Li , C. Zhou, M. Li, X. Yang. 2013. Anti-counterfeit system for agricultural
product origin labeling based on GPS data and encrypted Chinese-sensible Code.
Journal of Computers and Electronics in Agriculture (92) : 82–91.

Susetyo, I., & Hadi, H. (2012). Pemodelan produksi tanaman karet berdasarkan potensi klon,
tanah, dan iklim. Jurnal Penelitian Karet, 30(1), 23-35.

.
LAMPIRAN
Gambar 1. Kegiatan belajar Gambar 2. Batang karet yang Gambar 3. Hasil sadapan karet
menyadap getah karet telah disadap

Gambar 4. Areal yang diamati Gambar 5. Areal yang diamati

Anda mungkin juga menyukai