Disusun oleh :
2. Nurraheni (20101857)
FAKULTAS TARBIYAH
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberi kesempatan kepada kami untuk menuntut ilmu dan kemudian mendapat
kesempatan tergolong pada manusia yang bernilai lebih dihadapan-Nya. Shalawar
serta salam semoga tercurahkan pada Nabi Muhammad SAW.
Kami tidak dapat membuat karya tulis ini dengan baik tanpa bantuan beberapa
pihak, antara lain :
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, begitupula dengan makalah ini. Kami
sadar bahwa karya tulis kami masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu meminta
kesediaan para pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang membangun untuk
makalah ini. Mohon maaf apabila ada kekurangan yang mengganjal di hati para
pembaca. Semoga karya tulis kami bermanfaat untuk para pembaca.
Penyusun
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 4
C. Manfaat Penelitian......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2. Aqidah.........................................................................................................................7
3. Syari’ah ......................................................................................................................9
4. Akhlak.......................................................................................................................13
1. Kesimpulan...............................................................................................................27
2. Saran.........................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................28
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang mulia dan telah disempurnakan oleh Allah SWT.
Proses penyebaran,pertumbuhan dan perkembangan Agama Islam di penjuru dunia tidak
mudah. Semua itu tak lepas dari peran Rasullulah sebagai rasul terakhir yang ditugaskan
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sehingga dampak perkembangan Agama Islam
sampai sekarang masih bisa kita rasakan. Akan tetapi perkembangan pesat itu
berbanding terbalik dengan akhlak. Penurunan akhlak didasari karena kurangnya
pemahaman mendasar tentang Agama Islam.
Kehidupan manusia adalah rahmat serta anugerah dari Allah SWT, yang harus
senantiasa kita syukuri. Namun, terkadang manusia lupa akan semua dzat Allah SWT
yangtelah memberi segala kenikmatan ini. Manusia haruslah mendapat bimbingan agar
dikehidupannya dapat berbuat seperti apa yang telah diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang lebih mengenai Kerangka Dasar
Pemahaman Ajaran Islam yang meliputi aqidah, syari’ah dan akhlaq. Sehingga kita
dapat mengenal Agama Islam lebih jauh lagi.
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat Penulisan
PEMBAHASAN
Kerangka dasar ajaran Islam maksudnya adalah garis besar atau rancangan
ajaran Islam yang sifatnya mendasar, atau yang mendasari semua nilai dan konsep
yang ada dalam ajaran Islam. Kerangka dasar ajaran Islam sangat terkait erat
dengan tujuan ajaran Islam. Secara umum tujuan pengajaran Islam atau Pendidikan
Agama Islam (PAI), khususnya di perguruan tinggi adalah membina mahasiswa
agar mampu memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam
sehingga menjadi insan Muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah Swt dan
berakhlak mulia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kerangka dasar ajaran Islam meliputi
tiga konsep kajian pokok, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Tiga kerangka dasar
ajaran Islam ini sering juga disebut dengan tiga ruang lingkup pokok ajaran Islam
atau trilogi ajaran Islam. Jika dikembalikan pada konsep dasarnya, tiga kerangka
dasar Islam di atas berasal dari tiga konsep dasar Islam, yaitu iman, islam, dan
ihsan. Ketiga konsep dasar Islam ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang
diriwayatkan dari Umar Bin Khaththab. Hadis ini menceritakan tentang dialog
antara Malaikat Jibril dengan Nabi saw. Jibril bertanya kepada Nabi tentang ketiga
konsep tersebut, pertama-tama tentang konsep iman yang dijawab oleh Nabi
dengan rukun iman yang enam, yaitu:
“ Wahai orang yang beriman, tetaplah beriman kepaada Allah dan Rasul-Nya
dan kepada kitab yang diturunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang diturunkan
sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya,
Rasul-Nya, hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya”.
Berdasarkan fondasi dari enam rukun iman tersebut, maka keterikatan setiap
muslim kepada Islam seyogyanya adalah:
Meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar disisi Allah
SWT, karena Islam adalah agama yang dianut oleh para Nabi sejak Nabi Adam as
sampai Nabi Muhammad. Islam datang dengan membawa kebenaran yang bersifat
absolut guna menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia selarasnya dengan
fitrahnya. Allah berfirman dalam surah Ali-Imran ayat 19:
Meyakini Islam adalah agama yang universal dan berlaku untuk semua
manusia, serta mampu menjawab segala persoalan yang muncul dalam segala
lapisan masyarakat dan sesuai dengan tuntutan budaya manusia sepanjang zaman.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surah As-Saba, ayat28:
“Dan tiadalah kami utus kamu (Muhammad) melainkan untuk semua manusia
sebagai berita gembira dan peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”
Jibril lalu bertanya tentang islam yang dijawab dengan rukun Islam yang lima
yaitu:
1. Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya,
2. Mendirikan shalat
3. Menunaikan zakat
Kemudian Jibril bertanya tentang konsep ihsan yang dijawab dengan rukun
ihsan, yaitu menyembah (beribadah) kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan
jika tidak bisa melihat Allah, harus diyakini bahwa Dia selalu melihatnya.
Berdasarkan hadis di atas, dapat dipahami bahwa rukun atau kerangka dasar ajaran
Islam itu ada tiga, yaitu iman, islam, dan ihsan.
B. Aqidah
Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam,
karena itu Islam dikenal sebagai agama Tauhid yaitu agama yang mengesakan
Allah. Kalau seserang telah menerima tauhid sebagai prima causa, yakni asal yang
pertama dari segala-galanya dalam keyakinan Islam, maka keyakinan pada yang
lainnya secara logis (masuk akal) akan diyakininya secara penuh. Sistem
kepercayaan Islam atau aqidah dibangun di atas dasar ketauhidan yang pada intinya
melahirkan keimanan yang lazim disebut dengan rukun iman meliputi keimanan
kepada Allah Swt, Nabi/Rasul-Nya, Malaikat-Nya, KitabKitab-Nya, Hari Akhir,
dan juga Qadha dan Qadar. Hal ini lebih diperkuat oleh firman Allah QS. An Nisa
ayat 38 sebagai berikut :
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan manusia dalam memahmi
aqidah yakni sebagai berikut :
b. Kedua, Keyakinan itu harus bulat dan utuh, tidak berbaur dengan kesamaran
dan keraguan. Oleh karena itu untuk sampai pada keimanan terhadap
pokok-pokok aqidah yang telah disebutkan di atas, maka manusia harus
memiliki ilmu sehingga dengannya ia dapat menerima kebenaran dengan
penuh hati setelah menerima dalil-dalil Al-Quran.
C. Syari’ah
Selain aqidah (pegangan hidup), syari’at (jalan hidup) adalah salah satu pilar
agama Islam yang kedua. Perkataan Syari’at berasal dari bahasa Arab dan berasal
dari kata syari’, secara harfiah berarti jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim.
Menurut ajaran Islam, syari’at ditetapkan Allah menjadi pedoman hidup setiap
muslim, atau the way of life umat Islam untuk menjalankan perintah dan
menjauhkan larangan Alllah.
Dilihat dari segi ilmu hukum, syari’at adalah norma hukum dasar yang
diwahyukan Allah dan wajib diikuti oleh setiap muslim, baik dalam hubungan
dengan Allah, hubungan sesama manusia, maupun hubungan dengan alam
sekitarnya. Norma hukum ini selanjutnya dijelaskan secara operasional oleh Nabi
Muhammad Saw sebagai Rasul Allah baik dalam bentuk Al-Hadits maupun
sunnahsunnah lainnya. Oleh karena itu dalam menjalankan syari’at ini umat Islam
selamanya berpedoman pada norma dasar hukum (Al-Quran) dan Sunnah Nabi
(Al-Hadits).
Ini menunjukkan bahwa syari’at itu menjadi arah dalam menjalankan tugas
beragama. Dapat dipahami disini bahwa seseorang yang tidak mengikuti syari’at
(peraturan) di dalam menjalankan agama, maka orang tersebut tidak mengetahui
apa-apa dalam beragama. Dalam agama Islam, untuk menjalankan agama yang
benar muncullah ilmu pengetahuan khusus menguraikan syari’at yang dalam
hukum Islam disebut dengan Ilmu fikih. Dengan demikian ilmu fikih inilah yang
mempelajari dan membahas syari’at itu. Segala peraturan yang berkaitan dengan
seluk beluk agama Islam dan menjadi ruang lingkup syari’at Islam adalah
masalah-masalah sebagai berikut :
2. Sumber-Sumber Syariat
Al-Quran sebagai sumber nilai dan norma umat Islam terdiri dari 30
juz (bagian), 114 surat (bab) lebih dari 6.000 ayat. Dilihat dari tempat
turunnya Al-quran yaitu; Mekah (Makkiyah), umumnya surat-suratnya pendek
dan isinya menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlak. Kemudian yang
turun di Madinah dikenal dengan surat Madaniyah, umumnya suratsuratnya
panjang, isinya menyangkut syariah. . Firman Allah QS. Al Isra ayat 18 :
Menurut tata bahasa adalah kata-kata kuno, yang dalam bahasa Arab
dikenal dengan makna ”cara yang berlaku”, tanpa dibedakan apakah cara itu
baik atau buruk. Sunnah merupakan amal perbuatan para nabi-nabi
sebelumnya. Firman Allah menjelaskan hal ini:
Selain sunnah dan hadits tersebut, ada pula yang dikenal dengan hadit
Qudsi, yakni ucapan Allah yang redaksi kalimatnya disusun oleh nabi sendiri
dan tidak menjadi bagian dari Al-Quran. Isi Hadits Qudsi kebanyakan tentang
hubungan langsung antara manusia dengan seperti tersirat dalam sebuah
Hadits Qudsi yang terkenal sering diucapkan berulang-ulang oleh para sufi
seperti : ”Hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekatkan dirinya kepada-Ku
melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia. Dan, apabila telah
Kucintai dia, maka Akulah pendengaran yang dengannya ia mendengar, mata
yang dengannya ia melihat, tangan dengan apa ia berjuang, dan kaki yang
dengannya ia berjalan” (Hadis Qudsi).
Setelah memahami dua sumber di atas, maka sumber yang ketiga dalam
syariat Islam adalah ijtihad atau dikenal dengan ar-Rayu. Ijtihad atau ar-Rayu
didasarkan pada akal pikiran yang sehat. Sebagai sumber ajaran Islam yang
ketiga, kedudukan akal sehat manusia sangat penting dalam sistem ajaran
Islam. Mengingat banyaknya persoalan yang muncul setelah wafatnya beliau
Nabi Muhammad saw, sementara tempat untuk bertanya dan menyelesaikan
persoalan yang timbul itu tidak ada lagi, maka Ijitihad yang didasarkan pada
akal sehat tersebut menjadi penting dalam kedudukan hukum Islam. Inilah
yang disebut sumber hukum ketiga dalam syariat Islam.
1. Pengertian Akhlak
Secara lughawi (bahasa), akhlak adalah berasal dari istilah bahasa arab
merupakan bentuk jama‟ dari kata khuluq, yang berarti thabi‟at, budi pekerti,
kebiasaan. Kata akhlak ini tidak di cantumkan dalam alQuran. Yang ada
dalam bentuk mufrad yakni khuluq, itupun terulang sebanyak dua kali, yaitu:
Artinya : “(Agama kami) ini tidak lain hanyalah kebiasaan orang terdahulu”
(Q.S. al-Syu‟ara: 137)
Bila ditinjau secara istilah, Akhlak (khuluq) adalah sebagai hal yang
melekat dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan dengan mudah tanpa
melalui suatu proses pikir yang panjang. Akhlak merupakan suatu keadaan
yang melekat dalam setiap jiwa. Bila jiwa dihinggapi sesuatu yang buruk
maka akan tercipta akhlak yang buruk dan apabila jiwa dihinggapi sesuatu
yang baik maka akan menciptakan akhlak yang baik pula. Suatu perbuatan
dapat disebut sebagai akhlak (baik) apabila memenuhi beberapa syarat, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Perbuatan itu dilakukan secara berulang-ulang dengan niat yang tulus, jika
perbuatan tersebut hanya dilakukan satu kali saja dengan niat tidak tulus
maka tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang berakhlak.
2. Karakteristik Akhlak
Artinya : Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikanNya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu.
3. Tawadhu
5. Taqwa
6. Tawakal
7. Berzikir, dll
1. Diri sendiri
2. Keluarga
3. Masyarakat sekitar
1. Keramahan (al-Hilm)
4. As-shabru (sabar)
7. Toleransi (at-Tasaamuh)
8. Solidaritas (ash-Shadaaqah)
Moral adalah ajaran baik dan buruk yang ukurannya adalah tradisi yang
berlaku di suatu masyarakat. Seseorang dianggap bermoral kalau sikap
hidupnva sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarakat tempat ia berada,
dan sebaliknya seseorang dianggap tidak bermoral jika sikap hidupnya tidak
sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarakat tersebut. Dan memang
menurut ajaran Islam pada asalnya manusia adalah makhluk yang bermoral
dan etis, Dalam arti mempunyai. potensi untuk menjadi makhluk yang
bermoral yang hidupnya penuh dengan nilai-nilai atau norma-norma.
Kalau ilmu akhlak menjelaskan mana nilai yang baik dan mana yang
buruk juga bagaimana mengubah akhlak buruk agar menjadi baik secara
Menurut ilmu tasawuf, harus berawal dan penyucian hati. Persoalan yang
mengemuka kemudian adalah bagaimana cara mensucikan hati dalam
tasawwuf? Metode tash‟fiat alqalb”, dalam pendapat para sufi adalah dengan
ijtinab al-manhiyyat (menjauhi larangan Tuhan adaa al wajibat (melaksanakan
kewajibankewajiban Tuhan, ada aI-naafilat (melakukan hal-ha! yang
disunahkan), dan al-riyadhah. “Riyadhah” artinya latihan spriitual sebagai
yang diajarkan oleh Rasulullah sebab yang mengotori hati manusia adalah
kemaksiatan-kemaksiatan yang diperbuat manusia akibat ia lengah dan
bujukan nafsu dan godaan setan. Kemaksiatan dapat mengakibatkan hati
manusia kotor, kelam dan berkarat sehingga hati tidak berfungsi malah dapat
mati.
Kata para sufi, keadaan hati itu ada tiga macam. Pertama hati yang mati
yaitu hatinya orang kafir, kedua hati yang hidup yaitu hatinya orang beriman
dan ketiga hati yang kadang-kadang hidup dan kadang mati itulah hatinya
orang-orang fasik dan “munafiq “. Yang harus diperjuangkan adalah
bagaimana agar hati kita “istiqamah” dalam kehidupannya dan bagaimana
cara memperoleh “istiqamah” dalam hati, hal ini pun bagian dan bahasan
ilmu tasawuf.
Berbicara tujuan ilmu akhlak berarti berbicara tujuan Islam itu sendiri.
Sebab pada dasarnya akhlak adalah aktualisasi ajaran Islam secara
keseluruhan. Dalam kacamata akhlak, tidaklah cukup iman seseorang hanya
dalam bentuk pengakuan, apalagi kalau hanya dalam bentuk pengetahuan.
Yang “kaffah” adalah iman, ilmu dan amal. Amal itulah yang dimaksud
akhlak. Tujuan yang hendak dicapai dengan ilmu akhlak adalah kesejahteraan
hidup manusia di dunia dan kebahagian hidup di akhirat.
Manusia berakhlak adalah manusia yang suci dan sehat hatinya sedang
manusia tidak berakhlak (a moral) adalah manusia yang kotor dan sakit
hatinya. Namun seringkali manusia tidak sadar kalau hatinya sakit. Kalaupun
dia sadar tentang kesakitan hatinya, ia tidak berusaha untuk mengobatinya.
j. Menghormati tamu;
a. Perintah zikir dalam Al-Quran datang ada secara mutlak dalam al-Qur‟an
tidak dikayidi dengan pernyataan-pernyataan yang lain dan ada yang
perintahnya dikaitan dengan kayid-kayid yang lain
d. Pujian Allah dialamatkan kepada ahli zikir dan Allah menjanjikan bagi
mereka ampunan dan surga.
g. Pernyataan Allah secara jelas bahwa zikir adalah perkara yang amat
besar.
Kata Ibnu Arabi ilmu adalah imam bagi amal. Maka pengetahuan yang
benar dan agak mendalam tentang tasawuf akan melahirkan mahasiswa yang
memahami Islam dan berusaha secara sungguh-sungguh mengamalkannya
dalam kehidupan rituahiya dan sosialnya. menjadi persoalan bagaimana
implementasi akhlak dan tasawuf dalam pembelajarannya. Secara singkat
dapat dikemukakan dengan penjelasan yang komprehensif tentang kedudukan
tasawuf dalam Islam. Terlalu lama Islam yang kita ajarkan kepada anak didik
adalah Islam fikih. Islam fikih cenderung menggiring mahasiswa bersikap
formalistik dalam pengamalan agama. Islam fikih kering dari makna dan ruh
ajaran. Padahal Nabi secara jelas menyatakan kalau al-Quran harus difahami
zhahir dan batinnya. Zahir ayat melahirkan fikih, batin ayat melahirkan ajaran
tasawuf. Tasawuf adalah bagian integral dan ajaran Islam, memisahkan
tasawuf dan ajaran Islam sama artinya dengan menghilangkan substansi ajaran
Islam itu sendiri. Ayat-ayat alQuran, sebagaimana telah dijelaskan bukan
hanya mengangkat ayat tentang tasawuf malah ayat yang berbicara hukum
sekalipun selalu dikaitkan dengan substansi ajaran tasawuf. Ke dua dengan
memberikan contoh dan teladan. Memberikan contoh dalam pengamalan fikih
dan tasawuf sekaligus memberikan teladan bagaimana sikap berakhlak yang
balk dalam kehidupan sehari-hari.
Secara substansial akhlak, etika dan moral adalah sama yaitu ajaran
tentang baik dan buruk berkaitan dengan sikap hidup manusia. Yang
membedakan satu dengan yang lainnya adalah sumber kebenarannya. Akhlak
bersumberkan al-Quran dan al-Sunnah, sementara etika bersumberkan akal
Aqidah, Syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
Islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Aqidah
sebagai sistem kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai agama.
Islam tidak hanya memberi tuntunan ritual, dalam rangka hubungan manusia
dengan Tuhan, tetapi juga memberi bimbingan dalam hubungan antar manusia, bahkan
hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya, baik lingkungan wujud nyata
maupun yang tak nyata (Yaa ‘alimal ghaibi wa syahadah).
Semua persoalan yang dihadapi oleh umat manusia dapat ditemukan tuntunannya
secara eksplisit atau implisit dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Islam
menyatukan dalam tuntunan akidah, syariah dan akhlak, ketiganya merupakan satu
kesatuan yang tidak boleh dipisahkan, dan di situlah letak kekuatan Islam.
Aqidah adalah bentuk jamak dari kata Aqaid, adalah beberapa perkara yang wajib
diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan
yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan. Aqidah adalah sejumlah
kebenaran yang dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan akal, wahyu
(yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam hati, dan ditolak segala
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Aqidah, Syariah dan Akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Aqidah
sebagai system kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai agama.
Muslim yang baik adalah orang yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang
mendorongnya untuk melaksanakan syariah yang hanya ditujukan pada Allah sehingga
tergambar akhlak yang terpuji pada dirinya.
Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar
diceritakan bahwa pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, yang
kemudian ternyata orang itu adalah malaikat Jibril, menanyakan tetang arti Iman
(Aqidah), Islam (Syariat) , dan Ihsan (Akhlak). Dan dalam dialog antara Rasulullah
SAW dengan malaikat Jibril itu, Rasulullah SAW memberikan pengertian tentang Iman,
Islam, dan Ihsan tersebut sebagai berikut.
Islam (Syariat): Engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah Rasulullah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
puasa Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergi ke sana.
Ditinjau dari hadis di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antar
ketiganya sangat erat bagaikan sebuah pohon. Tidak dapat dipisahkan antara akar
(Aqidah), batang (Syariat), dan daun (Akhlak).
Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan
syariah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang
kemudian di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang
dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di
dalam Islam, melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan
berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah
laksana gedung tanpa fondasi, namun demikian islam menyatakan bahwa hubungan
antara keduanya merupakan suatu keniscayaan, yang artinya bahwa antara akidah dan
syari’ah tidak bias sendiri-sendiri.[2]
Jadi ajaran islam terdiri dari dua pokok , yakni: pertama akidah/iman yang terdiri
dari enam rukun iman, yang landasannya adalah dalil-daalil qath’i (al-qur’an dan hadist
mutawatir). Kedua, syari’ah/amal sholeh yang mengatur dua aspek kehidupan manusia
yang pokok, yaitu: mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah), dan mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya atau aktivitasnya dalam masyarakat (muamalah).
Adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari’at
disebut bersama ‘aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu
hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang
bukan ‘aqidah (keyakinan).
Akidah tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan
tempat berlindung di saat kepanasan dan tidak pula ada buahnya yang dapat dipetik.
Sebaliknya akhlak tanpa akidah hanya merupakan layang-layang bagi benda yang tidak
tetap, yang selalu bergerak.
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui
tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan
dari imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai
iman yang kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman
yang lemah. Muhammad al-Gazali mengatakan, iman yang kuat mewujudkan akhlak
yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan akhlak yang buruk.
Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa iman yang kuat itu akan
melahirkan perangai yang mulia dan rusaknya akhlak berpangkal dari lemahnya iman.
Orang yang berperangai tidak baik dikatakan oleh Nabi sebagi orang yang kehilangan
iman. Beliau bersabda yang artinya “Malu dan iman itu keduanya bergandengan, jika
hilang salah satunya, maka hilang pula yang lain”. (HR. Hakim)
Kalau kita perhatikan hadits di atas, nyatalah bahwa rasa malu sangat berpautan
dengan iman hingga boleh dikatakan bahwa tiap orang yang beriman pastilah ia
mempunyai rasa malu; dan jika ia tidak mempunyai rasa malu, berarti tidak beriman
atau lemah imannya.
Aqidah dengan seluruh cabangnya tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon
yang tidak dapat dijadikan tempat berteduh dari panasnya , matahari, atau untuk
berlindung dari hujan, dan tidak ada pula buahnya yang dipetik . sebaliknya akhlak
tanpa aqidah hanya merupakan bayang-bayang bagi benda yang tidak tetap dan selalu
bergerak. Allah menjadikan keimanan (aqidah) sebagai dasar agama-Nya, ibadat
(syariah) sebagai rukun (tiangnya). Kedua hal inilah yang akan menimbulkan kesan baik
kedalam jiwa dan menjadi pokok tercapainya akhlak yang luhur.
Dari hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak itu harus berpijak pada
keimanan. Iman tidak cukup disimpan dalam hati, namun harus dipraktikan dalam
kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang baik.
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui
tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan
dari imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai
iman yang kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman
yang lemah.
Sebagai bentuk perwujudan iman (Aqidah), akhlaq mesti berada dalam bingkai
aturan syari’ah Islam. Karena seperti dijelaskan diatas, akhlaq adalah bentuk ibadah
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan proses ibadah harus
dilakukan sesuai dengan aturan mekanisme yang ditetapkan syariah, agar bernilai
sebagai amal shalih. Syariah merupakan aturan mekanisme dalam amal ibadah
seseorang mukmin/muslim dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Melalui
prantara syariah akan menghubungkan proses ibadah kita kepada Allah. Suatu amal
diluar aturan mekanisme ibadah tidak bernilai sebagai amal shalih. Dan akhlaq menjadi
sia-sia jika tidak berada didalam kerangka aturan syariah. Jadi, syaria adalah syarat yang
akan menentukan bernilai tidaknya suatu amal ibadah.
Syariat menjadi standard ukuran yang menentukan apakah suatu amal-perbuatan itu
benar atau salah. Ketentuan syariah merupakan aturan dan rambu-rambu yang berfungsi
membatasi, mengatur dan menetapkan mana perbuatan yang mesti dijalankan dan yang
mesti ditinggalkan. Ketentuan hukum pada syariat pada asasnya berisi tentang
keharusan, larangan dan kewenangan untuk memilih. Ketentuan ini meliputi wajib,
sunnah/mandub, mubah (wenang), makruh dan haram. Syariah memberi batasan-batasan
terhadap akhlaq sehingga praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan yang
benar tentang benar dan salahnya suatu amal perbuatan (ibadah).
Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak boleh lepas dari batasan dan kendali syariat. Syariat
menjadi bingkai dan praktik akhlaq, atau aturan yang mengatasi dan mengendalikan
akhlaq. Praktek akhlaq tidak melebihi apalagi mengatasi syariah, tetapi akhlaq harus
lahir sebagai penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan
akhlaq yang tidak menjadi penyempurna pelaksanaan syariat adalah perbuatan batal.
Jadi, kedudukan akhlaq adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah
seseorang.
Bisa terjadi suatu pelaksanaan kewajiban menjadi gugur nilainya karena tidak
disertai dengan akhlaq. Seperti kasus orang yang ber infak di jalan Allah tetapi ketika
dalam menyerahkan hartanya dilakukan sambil berkata-kata yang tidak baik, maka infak
Tetapi bukan berarti setiap pelaksanaan syariat yang tidak dilakukan dengan akhlaq
yang baik akan menggugurkan nilai ibadah seseorang disisi Allah. Dalam kasus orang
shalat tidak tepat waktu , tidak menjadi gugur nilai shalatnya, tetapi hanya mengurangi
keutamaannya saja, atau mengurangi kekusyuan orang yang dibelakang shofnya karena
terganggu oleh gambar pada bajunya. Tetapi itu tidak menggugurkan kewajiban
shalatnya.
Ketetapan syariah adalah ketetapan hukum yang bersifat mutlak dan harus wajib
ditaati, sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan yang akan menyempurnakan
dan memperkuat pelaksanaan dan penegakan syari’at tersebut. Jika dalam pelaksanaan
syariat mesti sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat itu sendiri, maka akhlak tidak
boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut. Meskipun bersifat keutamaan dan
penyempurnaan dalam melaksanakan syariat, ini tidak berarti setiap ummat dapat
melakukan atau tidak melakukannya. Karena seperti telah diterangkan diatas, bahawa
akhlaq adalah perwujudan dari prose amal ibadah, sehingga seseorang ummat) dapat
meningkatkan kualitas iman dan amal ibadahnya dengan akhlaq tersebut.
Selain itu antara syariat dan akhlaq dapat dibedakan dari bentuk dan jenis sanksi
yang diberikan kepada pelanggar atau mereka yang tidak menjalaninya. Sanksi bagi
pelanggar syariat adalah sesuatu yang jelas dan tegas sesuai dengan ketentuan dan
ketetapan yang tertuang dalam syariat itu sendiri, dan semua ketetapan yang tertuang
dalam syariat itu sendiri, dan semua ketetapan sanksi itu diputuskan oleh lembaga
yang berwenang (lembaga ‘ulil amri).
Sedangkan bagi yang tidak melakukan akhlak hasanah, tidak ada sanksi yang
ditetapkan oleh syariat sanksi terhadap pelanggaran akhlak tidak ditetapkan oleh
lembaga yang berwenang, tetapi sanksi ini bisa diberikan baik oleh dirinya sendiri atau
oleh lingkungan sosial dan masyarakatnya. Misalnya seorang yang menjalankan
perintah puasa (saum ramadhan) tetapi suka menggunjing dan menyakiti orang lain,
berbohong, tidak menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan keji, ia tetap tidak bisa
dikenai sanksi hukum atas perbuatan-perbuatannya tersebut, tetapi hal itu akan
mengurangi (ganjaran) keutamaan dalam puasanya, disamping itu akan mendapat sanksi
oleh dirinya sendiri atau lingkungan sekitarnya, sepertirasa penyesalan diri, gunjingan
dari sesama, dikucilkan dari pergaulan, dan lain-lain.
Muslim yang baik adalah orang yg memiliki aqidah yg lurus dan kuat yg
mendorongnya untuk melaksanakan syariah yg hanya ditujukan pada Allah sehingga
tergambar akhlak yg terpuji pada dirinya.
Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke dalam
kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak mau
melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg mengaku
beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak lurus disebut
munafik.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kerangka dasar ajaran Islam maksudnya adalah garis besar atau rancangan ajaran
Islam yang sifatnya mendasar, atau yang mendasari semua nilai dan konsep yang
ada dalam ajaran Islam.
3. Syari’at berasal dari bahasa Arab dan berasal dari kata syari’, secara harfiah berarti
jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Menurut ajaran Islam, syari’at
ditetapkan Allah menjadi pedoman hidup setiap muslim, atau the way of life umat
Islam untuk menjalankan perintah dan menjauhkan larangan Alllah.
4. Secara lughawi (bahasa), akhlak adalah berasal dari istilah bahasa arab merupakan
bentuk jama’ dari kata khuluq, yang berarti thabi’at, budi pekerti, kebiasaan. Kata
akhlak ini tidak di cantumkan dalam alQuran.
5. Aqidah, Syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
Islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Hubungan antar ketiganya sangat erat bagaikan sebuah pohon. Tidak dapat
dipisahkan antara akar (Aqidah), batang (Syariat), dan daun (Akhlak).
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan
penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan
yang dapat membangun penulisan makalah ini.
Drs. Darwin Une, M.Pd. Agil Bahsoan, S.Ag, M.Ag.,Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi, Ideas Publishing, Bandung, 2015.hal.41