Anda di halaman 1dari 14

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan lengkap praktikum Kimia Pangan dengan judul “Gelatinisasi dan


Sineresis” disusun oleh :
Nama : Fauziah Natzir
NIM : 1613042013
Kelas : Pendidikan Kimia A
Kelompok : VI (enam)
telah diperiksa dan dikonsultasikan oleh Asisten dan Koordinator Asisten, maka
laporan ini dinyatakan telah diterima.

Makassar, Oktober 2018


Koordinator Asisten Asisten

Nur Ainina Nurdin Fajril Ilmy Firdaus

Mengetahui
Dosen Penanggung Jawab

Dr. Halimah Husain M,Si


NIP. 196410201990031002
A. JUDUL PERCOBAAN
Gelatinisasi dan Sineresis

B. TUJUAN PERCOBAAN
1. Untuk memahami peranan suhu pada pembentukan sol dan gel
2. Untuk mengetahui proses sineresis

C. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Neraca analitik 1 buah
b. Gelas kimia 100 mL 6 buah
c. Gelas ukur 10 mL 2 buah
d. Batang pengaduk 6 buah
e. Spatula 1 buah
f. Termometer 1100C 1 buah
g. Hot plate 1 buah
h. Botol semprot 2 buah
i. Botol vial 4 buah
2. Bahan
a. Tepung tapioka
b. Tepung terigu
c. Aquades (H2O)
d. Tissu
e. Label
D. PROSEDUR KERJA
1. Sebanyak 12 gram tepung tapioka di timbang lalu dimasukkan ke dalam gelas
kimia 1 dan 2.
2. Sebanyak 60 mL H2O diukur menggunakan gelas ukur lalu dimasukkan ke
dalam masing-masing gelas kimia 1 dan 2 yang berisi tepung tapioka.
3. Campuran tepung tapioka dan air di dalam gelas kimia 1 dan 2 masing-masing
diaduk hingga terbentuk suspensi.
4. Gelas kimia 1 yang berisi tepung tapioka di panaskan sampai suhu 60oC,
sedangkan untuk tepung tapioka pada gelas kimia 2 di panaskan sampai suhu
85oC.
5. Selama pemanasan suspensi pada gelas kimia 1 dan 2 diaduk terus-menerus
hingga terbentuk gel dan suhu di perhatikan untuk setiap gelas kimia.
6. Pada saat mencapai suhu 60oC dan 85oC, masing-masing pemanasan pada
gelas kimia 1 dan 2 dihentikan.
7. Suspensi dan gel yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam botol vial yang
telah diberi label.
8. Perlakuan 1 sampai 7 diulangi untuk tepung terigu dengan massa yang sama
9. Suspensi dan gel tepung tapioka dan tepung terigu yang berada didalam botol
vial disimpan di dalam kulkas selama 3 hari dan diamati perubahan yang
terjadi pada masing-masing suspensi dan gel.

E. HASIL PENGAMATAN
1. Pembentukan gel dan suspensi pada tepung tapioka dan tepung terigu
No
Aktivitas Hasil Pengamatan
.
1.  Tepung tapioka I ditimbang 12,006 gram
Tepung tapioka II ditimbang 12,069 gram
 Tepung terigu I ditimbang 12,060 gram
Tepung terigu II ditimbang 12,036 gram

2.  Volume air untuk tepung tapioka


diukur:
Volume air I 60 mL
Volume air II 60 mL
 Volume air untuk tepung terigu
diukur: 60 mL
Volume air I 60 mL
Volume air II
3.  Tepung tapioka I + air I Terbentuk larutan
Tepung tapioka II + air II Terbentuk larutan

 Tepung terigu I + air I Terbentuk larutan


Tepung terigu II + air II Terbentuk larutan
4.  Suspensi tepung tapioka I dipanaskan Terbentuk suspensi
sampai suhu 60oC
Suspensi tepung tapioka II dipanaskan Terbentuk gel
sampai suhu 85oC
 Suspensi tepung terigu I dipanaskan Terbentuk suspensi
sampai suhu 60oC
Suspensi tepung terigu II dipanaskan Terbentuk gel
sampai suhu 85oC
2. Pengamatan gel dan suspensi yang terbentuk

No
Aktivitas Hasil Pengamatan
.
1. Suspensi dan gel dimasukkan ke Suspensi dan gel dalam botol vial
dalam botol vial yang berbeda dan yang berbeda (4 botol vial)
di simpan ke dalam kulkas
Hari Pertama:
 Tepung tapioka I (60oC) Terbentuk 2 lapisan, air dan endapan
 Tepung tapioka II (85oC) Tetap dalam bentuk gel

 Tepung terigu I (60oC) Tetap dalam bentuk suspensi

 Tepung terigu II I (85oC) Tetap dalam bentuk gel

Hari Kedua:
 Tepung tapioka I (60oC) Terbentuk 2 lapisan, air dan endapan
 Tepung tapioka II (85oC) tetap dalam bentuk gel

Terbentuk gel
 Tepung terigu I (60oC) Tetap dalam bentuk gel
 Tepung terigu II I (85oC)
Hari Ketiga:
 Tepung tapioka I (60oC) Terbentuk 2 lapisan, air dan endapan
 Tepung tapioka II (85oC) Tetap dalam bentuk gel

 Tepung terigu I (60oC) Tetap dalam bentuk gel

 Tepung terigu II I (85oC) Tetap dalam bentuk gel

F. PEMBAHASAN
Pati merupakan homopolimer dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai
macam pati tidak sama sifatnya, bergantung dari panjang rantai C-nya, serta
apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang
dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak
terlarut yaitu amilopektin. Amilosa mempunyai struktur rantai lurus dengan ikatan
(α)-1,4-glukosa. Sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan (α)-
1,4-glukosida (Husain, 2016: 31).
 Percobaan kali ini bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi pada
pembentukan sol dan gel dan mengetahui proses sineresis pada tepung terigu dan
tapioka. Gelatinisasi adalah proses penggelembungan dan disorganisasi granula
pati. Peristiwa ini disebut retrogradasi yang ditandai dengan pembentukan gel
oleh amilopektin secara lambat dan gel yang terbentuk lebih lunak (Putra, 2005:
17). Gelatinisasi terjadi ketika zat tepung menyerap air dan membesar.
Membesarnya zat tepung dan menjadi tetap atau tidak dapat kembali seperti
semula merupakan gelatinisasi yang sesungguhnya. Dengan kata lain gelatinisasi
terjadi karena adanya air dan panas (Hamidah, 2018: 42). Prinsip dasar percobaan
ini adalah pembentukan gel yang didasarkan pada perbedaan suhu. Sedangkan
prinsip kerjanya adalah penimbangan, pengukuran, pencampuran, pengadukan,
pemanasan, dan pengamatan.
Percobaan kali ini menggunakan dua sampel yaitu, tepung terigu, dan
tepung tapioka. Tepung terigu sering disebut tepung gandum, tepung terigu ini
mengandung beberapa unsur kimia yaitu karbohidrat, lemak, protein, air, abu,
mineral, dan serat. Tepung terigu mengandung pati ±70%, yang terbagi fraksi
amilosa 19%-26% dan amilopektin 74%-81% (Putra, 2005: 17-18). Sedangkan
tepung tapioka memiliki kandungan amilopektin 91,94% dan amilosa sebesar
8,05% (Imanningsih, 2012: 16). Digunakan 2 sampel tepung yang berbeda
bertujuan untuk mengetahui karakteristik gelatinisasi pada kedua jenis pati
(tepung terigu dan tepung tapioka). Hal ini dikarenakan, setiap jenis pati memiliki
karakteristik gelatinisasi (viskositas puncak, waktu dan suhu) yang berbeda-beda.
Masing-Masing dipanaskan dengan suhu yang berbeda-beda yaitu suhu
600C dan 85 0C. Proses pemanasan berfungsi agar granula tepung semakin
mengembang dan akhirnya granula pada tepung akan pecah. Dimana berdasarkan
teori pemanasan pati dalam keadaan jumlah air berlebih menyebabkan terjadinya
pengembangan granula, polimer pati keluar dari granula, dan pada akhirnya
granula pati akan pecah (Palguna, 2014: 149). Granula pati tidak larut dalam air
dingin, namun pati dapat terlarut sempurna pada pemanasan. Kelarutan pati
semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, dan kecepatan peningkatan
kelarutannya. Apabila granula pati dipanaskan hingga suhu gelatinisasinya,
granula akan membentuk pasta pati yang kental (Rohmah, 2013: 226). Pemanasan
dengan perbedaan suhu bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi pada kedua
jenis pati, dimana berdasarkan teori jika suspensi tepung dipanaskan pada suhu
60-850C, granula tepung makin mengembang, namun pada saat suhu mencapai
850C atau lebih, granula tepung mulai pecah sehingga tidak dapat kembali ke
bentuk semula dan suspensi makin kental (Tim Dosen Kimia Pangan, 2018: 8).
Hasil yang diperoleh dari pemanasan tepung dengan suhu berbeda yaitu:
pada tepung tapioka dan tepung terigu yang dipanaskan pada suhu 600C terbentuk
suspensi sedangkan tepung terigu dan tepung tapioka yang dipanaskan pada suhu
850C terbentuk gel. Hal ini menandakan bahwa, suhu gelatinisasi (suhu
pembentukan gel) kedua tepung bukan pada suhu 60 0C, tetapi di atas suhu 600C
atau pada suhu 850C. Hal ini sesuai teori, dimana suhu terjadinya gelatinisasi pada
tepung tapioka adalah 69,560C dan pada tepung terigu adalah 82,380C. Sifat
gelatinisasi dan pembengkakan dari suatu pati, ditentukan oleh struktur
amilopektin, komposisi pati, dan ukuran granular pati. Ketika pati dipanaskan
bersama air berlebih di atas suhu gelatinisasinya, granula pati yang memiliki
kandungan amilopektin lebih tinggi akan membengkak lebih besar dibandingkan
dengan yang memiliki kandungan yang lebih rendah. (Imanningsih, 2012: 18).
Oleh karena itu tepung tapioka akan membengkak lebih dahulu daripada tepung
terigu sehingga suhu gelatinsasi pada tepung tapioka lebih rendah dibandingkan
pada tepung terigu.
Amilopektin merupakan komponen yang berperan penting dalam proses
gelatinisasi. Tingginya kadar amilosa dapat menurunkan kemampuan pati untuk
mengalami gelatinisasi (Rohmah, 2013: 226). Semakin lama pemanasan maka
kadar amilosa semakin menurun , hal ini dikarenakan rantai lurus pada amilosa
yang terpotong (trisakarida, maltotriosa, oligosakarida atau sakarida rantai
pendek) akan cenderung larut pada air, sedangkan kadar amilopektin akan
semakin meningkat dengan pemanasan , dikarenakan amilopektin memiliki rantai
cabang (1,6) dan berat molekul yang lebih besar, sehingga amilopektin tidak
mudah terhidrolisis (Kartikasari, 2016: 17).
Kedua tepung didinginkan dan disimpan dalam botol vial, kemudian
diamati selama tiga hari. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan
sineresis kedua tepung yang sebelumnya dipanaskan pada suhu yang berbeda.
Sineresis adalah keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari pati. Bila
pasta tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk
melawan kecenderungan Molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali.
molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan
cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula. Dengan demikian mereka
menggabungkan butir pati yang membengkak itu menjadi semacam jaring-jaring
mikro kristal dan mengendap. Proses kristalisasi pati yang telah mengalami
gelatinisasi disebut retrogradasi. Sebagian besar pati yang telah menjadi gel bila
disimpan atau didinginkan untuk beberapa hari atau minggu akan terbentuk
endapan kristal di dasar wadahnya. Sineresis adalah proses keluarnya atau
merembesnya cairan dari suatu gel dari pati (Husain, 2016: 37).
Hasil yang diperoleh dari hasil pengamatan gel dan suspensi selama 3 hari
adalah: hari pertama, tepung tapioka (600C) terbentuk 2 lapisan, yaitu air dan
endapan, tepung tapioka (850C), tetap berbentuk gel, tepung terigu (600C) masih
dalam bentuk suspensi, tepung terigu (850C) tetap berbentuk gel. Hari kedua,
tepung tapioka (600C) terbentuk 2 lapisan, yaitu air dan endapan, tepung tapioka
(850C), tetap berbentuk gel, tepung terigu (600C) terbentuk gel, tepung terigu
(850C) tetap berbentuk gel. Hari ketiga, tepung tapioka (600C) terbentuk 2 lapisan,
yaitu air dan endapan, tepung tapioka (850C), tetap berbentuk gel, tepung terigu
(600C) tetap berbentuk gel, tepung terigu (850C) tetap berbentuk gel.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, tepung tapioka pada suhu 600C yang
mengalami sineresis ditandai dengan terbentuknya 2 lapisan yaitu air dan
endapan. Sedangkan tepung terigu (600C), tepung tapioka (850C), dan tepung
terigu (850C) tidak mengalami sineresis. Hal ini tidak sesuai teori, dimana amilosa
dengan bobot molekul lebih rendah yang dominan, yaitu amilosa yang memiliki
rantai pendek dominan (suspensi pati yang mengalami pemanasan lebih lama),
lebih mudah untuk berikatan kembali dan ikatannya sangat kuat, sehingga
retrogradasi yang terjadi semakin besar. Adanya ikatan yang kuat antara amilosa
selama retrogradasi menyebabkan semakin banyak air yang terpisah dari gel pati
ketika gel pati diletakkan pada suhu ruang. Keluarnya air dalam jumlah besar
selama proses retrogradasi menyebabkan sineresis menjadi tinggi (Haryanti, 2014:
311). Oleh karena itu dapat disimpulkan berdasarkan teori bahwa tepung terigu
dan tepung tapioka pada suhu 600C mempunyai sineresis yang rendah
dibandingkan kedua tepung pada suhu 850C atau bisa dikatakan kedua tepung
pada suhu 600C akan mengalami sineresis lebih dulu dibandingkan kedua tepung
pada suhu 850C.
Berdasarkan hasil analisis ragam, suhu pemanasan suspensi pati tidak
berpengaruh nyata terhadap sineresis, dan berpengaruh nyata terhadap kadar
amilosa dan swelling power, serta berpengaruh sangat nyata terhadap kejernihan
pasta dan kelarutan pati tinggi amilosa. Semakin lama pemanasan suspensi pati
mengakibatkan proses gelatinisasi berjalan terlalu lama, sehingga amilosa yang
meluruh memiliki berat molekul rendah (Haryanti, 2014: 309).
G. KESIMPULAN
1. Peranan suhu pada pembentukan sol dan gel yaitu ketika suhu dinaikkan,
maka terjadi pengembangan granula pati (pembentukan sol), jika suhu
dinaikkan terus sampai suhu geltinisasi pati, maka granula akan pecah
(pembentukan gel)
2. Proses sineresis dapat diketahui dengan mengamati proses keluarnya atau
merembesnya cairan dari suatu gel dari pati.
H. SARAN
Diharapkan dalam melakukan percobaan ini, harus memperhatikan suhu
pada saat pemanasan, kapan terjadi pengembangan granula, dan pemecahan
granula pada pati.
DOKUMENTASI

12 gram tepung (tapioka, 60 mL aquades Terigu dipanaskan suhu


terigu) ditimbang 60oC dan 85oC

Hasil setelah dipanaskan Hasil pengamatan


setelah 3 hari dalam
kulkas
JAWABAN PERTANYAAN

1. Apa yang dimaksud dengan sol?


Sol adalah koloid dengan fase terdispersi zat padat dan medium merambat
pendispersi zat cair atau zat padat.
2. Yang mana lebih kuat ikatan hydrogen di dalam sol atau di dalam gel?
Ikatan hydrogen lebih kuat ada pada gel. Karena pada saat terbentuk gel
molekul-molekul tepung mulai tidak terbentuk pilin lagi, melainkan
berbentuk garis panjang sehingga dapat membentuk ikatan hydrogen
dengan molekul-molekul air.
3. Beri contoh makanan yang mengikuti sistem sol dan gel.
a. Selai
b. Kaya
c. Agar-agar
DAFTAR PUSTAKA

Hamidah, Siti dan Kokom Komariah. 2018. Resep dan Menu. Yogyakarta:
Deepublish.

Haryanti, Pepita, dkk. 2014. Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Suspensi Pati
Serta Konsentrasi Butanol terhadap Karakteristik Fisikokimia Pati Tinggi
Amilosa dari Tapioka. Agritech, Vol. 34, No. 3.

Husain, Halimah. 2016. Bagian 1 Kimia Pangan. Makassar: Universitas Negeri


Makassar.

Immaningsih, Nelis. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-tepungan


untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Jurnal Penel Gizi Makan, Vol. 35, No.
1.

Kartikasari, Subekah Nawa, dkk. 2016. Karakteristik Sifat Kimia, Profil


Amilografi (RVA) dan Morfologi Granula (SEM) Pati Singkong
Termodifikasi Secara Biologi. Jurnal Agroteknologi, Vol. 10, No. 1.

Palguna, I Gusti Putu Adi, dkk. 2014. Karakteristik Pati Sagu yang Termodifikasi
dengan Perlakuan Gelatinisasi dan Retrogradasi Berulang. Jurnal Pangan,
Vol. 23, No. 2.

Putra, Feri Surya. 2005. Cara Praktis Pembuatan Pempek Palembang.


Yogyakarta: Kanisius.

Rohmah, Miftakhur. 2013. Kajian Kandungan Pati, Amilosa dan Amilopektin


Tepung dan Pati pada beberapa Kultivar Pisang (Musa spp). Prosiding
Seminar Nasional Kimia, ISBN: 978-602-19421-0-9.

Tim Dosen Kimia Pangan. 2018. Penuntun Praktikum Kimia Pangan. Makassar:
FMIPA UNM.

Anda mungkin juga menyukai