Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN ROTASI MANAJEMEN PENYELENGGARAAN MAKANAN

FORMULA ENTERAL DIET DIABETES MELITUS


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

RIFKA KHOSIMATUL WAHIDAH


P07131519001

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
JURUSAN GIZI
PRODI PENDIDIKAN PROFESI DIETISIEN
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Rotasi Penyelenggaraan Makanan tentang Pengembangan Formula


Enteral yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati
Bantul ini telah mendapat pengesahan pada tanggal : Oktober 2020

Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator Rotasi MPM, Pembimbing

Nisakwati Qusnul Qotimah, S.SiT Endah Martati, S.SiT. RD


NIP. 198107192005012013 NIP. 19760307 199903 2003

Menyetujui,
Ka. Instalasi Gizi RSUD Panembahan Senopati

Diah Yuliantina, S.SiT, RD


NIP. 19700729 199402 2002
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) menjadi salah satu epidemi terbesar abad ini.
Berdasarkan penelitian epidemiologi, World Health Organization (WHO)
memperkirakan 171 juta penderita DM pada tahun 2000 akan meningkat menjadi
366 juta pada tahun 2030 (Wild S, 2004). Setengah dari jumlah tersebut terjadi di
negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi DM pada tahun 2010 di
Indonesia mencapai 6,9 juta dan diperkirakan akan meningkat menjadi 11,9 juta
pada tahun 2030. Peningkatan jumlah populasi, urbanisasi, dan perubahan gaya
hidup merupakan penyebab peningkatan prevalensi DM pada tahun 2030 (Shaw
JE, 2010).
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin dan/atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap
insulin sehingga terjadi abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein di tubuh. Pasien dengan DM memiliki kadar glukosa plasma sewaktu >
200 mg/dl atau glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Secara umum, DM terbagi
menjadi DM Tipe 1, DM Tipe 2, dan diabetes gestasional. DM Tipe 1 terjadi
karena adanya destruksi sel beta pankres yang umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut, sedangkan DM Tipe 2 terjadi karena adanya resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif (Guyton AC, 2006). Salah satu cara mengontrol
glukosa darah yaitu dengan mengonsumsi makanan yang mengandung indeks
glikemi rendah serta tinggi serat (Imternational Diabetes Federation, 2011).
Pemberian gizi penderita DM perlu diperhatikan, salah satunya dengan
terapi enteral agar tidak terjadi overfeeding. Terapi enteral merupakan pemberian
makanan untuk tujuan kesehatan khusus baik melalui oral nutritional
supplements (ONS) maupun tube feeding (Lochs H, 2006). Indikasi pemberian
makanan secara enteral yaitu kemampuan fungsi traktus gastrointestinal dan
kapasitas absorbsi yang cukup serta ketidakmampuan mengkonsumsi zat gizi
melalui oral secara total atau sebagian. Pemberian makanan secara enteral
memiliki dampak komplikasi infeksi lebih sedikit dibandingkan parenteral
(ASPEN, 2009). Formula enteral terdiri dari berbagai jenis, salah satunya
formula enteral standar. Syarat formula enteral standar yaitu kandungan energi ±
1.0 – 1.2 kkal/ml, karbohidrat 40-60 %, lemak 30-40 %, dan protein 12-20 %
(Rolfes, 2006).
Berdasarkan formula makanan enteral dapat diklasifikasikan menjadi dua
jenis formula yaitu formula rumah sakit (FRS) dan formula komersial (FK).
Makanan enteral FRS, dibuat dari beberapa bahan pangan yang diracik dan
dibuat di rumah sakit dengan menggunakan blender (Simadibrata 2009).
Formula enteral standar buatan rumah sakit diberikan kepada pasien yang tidak
dapat mengkonsumsi makanan dalam bentuk padat. Saat ini belum terdapat
formula enteral rumah sakit berbahan dasar pangan tradisional yang berpotensi
antihiperglikemia juga antidiabetes. Labu kuning merupakan satu dari banyak
pangan tradisional yang bersifat antidiabetik dan antihiperglikemia. Labu kuning
mengandung serat larut pektin dan senyawa bioaktif seperti protein, peptida,
polisakarida, sterol, dan asam para aminobenzoate (Adam GG, 2011).
Kandungan polisakarida dilaporkan dapat meningkatkan kadar serum insulin,
dan toleransi glukosa, sehingga menurunkan kadar glukosa darah.
Penelitian di China tahun 2013 melaporkan pemberian ekstrak labu
kuning 75 mg/kg berat badan kelinci yang mengandung polisakarida selama 21
hari dapat meningkatkan kontrol glukosa darah, serta memperbaiki sel pancreas
(Zhang Y, 2013). Pektin disebutkan dapat mengontrol kadar glikemik karena
memiliki sifat mampu membentuk gel (Guillon F, 2000).
Pengembangan resep adalah usaha meningkatkan rasa, warna, aroma,
tekstur, dan nilai gizi makananagar lebih berkualitas dan menarik (meningkatkan
daya terima) serta menambah keanekaragaman menu pada institusi (Irawati,
2012). Berdasarkan latar belakang diatas, kami melakukan pengembangan resep
untuk makanan enteral diet diabetes mellitus untuk meningkatkan meningkatkan
menu makanan enteral diet diabetes mellitus menjadi lebih berkualitas dalam
aspek rasa, aroma, penampilan dan nilai gizi. Selain itu, pengembangan resep
juga merupakan cara untuk menambah variasi menu.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengembangkan resep formula enteral untuk diet diabetes mellitus di
instalasi gizi RSUD Panembahan Senopati Bantul.
2. Tujuan Khusus
a. Menyusun resep formula enteral diet diabetes mellitus
b. Menghitung zat gizi resep formula enteral diet diabetes mellitus
c. Menghitung biaya perporsi dari resep formula enteral diet diabetes
mellitus
d. Menguji cita rasa formula enteral diet diabetes mellitus
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
a. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan tentang pengembangan
resep di rumah sakit
b. Memahami dan mempraktikan ilmu yang telah diperoleh secara teoritis
dalam prakrik kerja nyata mengenai resep formula enteral di rumah sakit.
2. Bagi Rumah Sakit
Memberikan masukan tentang alternatif variasi menu pada instalasi gizi
RSUD Panembahan Senopati Bantul.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Formula Enteral
Formula enteral/makanan enteral adalah makanan dalam bentuk cair yang
dapat diberikan secara oral maupun melalui pipa selama saluran pencernaan
masih berfungsi dengan baik (Sobariah, 2005 dalam Khasanah, 2009). Formula
enteral diberikan pada pasien yang tidak bisa makan melalui oral seperti dalam
kondisi penurunan kesadaran, gangguan menelan (disfagia), dan kondisi klinis
lainnya atau pada pasien dengan asupan makan via oral tidak adekuat. Pemberian
nutrisi enteral pada pasien dapat meningkatkan berat badan, menstabilkan fungsi
hati/liver, mengurangi kejadian komplikasi infeksi, jumlah/frekuensi masuk
rumah sakit dan lama hari rawat di rumah sakit (Klek et al, 2014).
Pemilihan formula enteral ditentukan berdasarkan kemampuan formula
dalam mencukupi kebutuhan gizi, yang dipengaruhi oleh faktor – faktor sebagai
berikut yaitu kandungan/densitas energi dan protein dalam formula (dinyatakan
dalam kkal/ml, g/ml, atau ml Fluid/L), fungsi saluran cerna, kandungan mineral
seperti Natrium, Kalium, Magnesium, dan Posfor dalam formula terutama bagi
pasien dengan gangguan jantung, gangguan ginjal, dan gangguan liver. Bentuk
dan jumlah protein, lemak, karbohidrat, dan serat dalam formula, efektivitas
biaya, cost to benefit ratio (Mahan & Raymond, 2017).
1. Jenis formula enteral dikelompokan berdasarkan bentuk & komposisi
zat gizi makronya, antara lain:
a. Formula polimerik, yaitu formula dengan komposisi zat gizi
makro (protein, lemak, karbohidrat) dalam bentuk utuh/intak.
Kandungan energi 1-2 kkal/ml, dan pada umumnya bebas laktosa.
Formula enteral dengan densitas energi yang tinggi (1,5 – 2
kkal/ml) diperlukan bagi pasien yang membutuhkan pembatasan
cairan seperti paseian gangguan jantung, gangguan paru – paru,
gangguan hati/liver, gangguan ginjal, dan pasien yang tidak
mampu menerima makanan dalam volume tertentu
(Mahan&Raymond, 2017). Formula ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi formula standar dewasa, formula standar anak, dan
formula khusus untuk penyakit tertentu seperti formula DM,
formula rendah protein, dll (Sharma&Joshi, 2014)
b. Formula elemental (monomeric)/ semi- elemental (oligomeric),
yaitu formula dengan komposisi zat gizi dalam bentuk sederhana
(mudah serap) terdiri dari asam amino tunggal, glucose polymers,
rendah lemak 2-3% dari kalori terdiri dari LCT (long chain
triglycerides). Formula semi-elemental terdiri dari peptida, gula
sederhana, MCT (medium chaintriglycerides)
c. Formula blenderized, yaitu formula yang dibuat dengan
menghaluskan makanan menjadi bentuk cair sehingga bisa masuk
melalui pipa Naso Gastric Tube (NGT). Mengandung zat gizi
lengkap seperti diet via oral, lebih murah, namun tidak dapat
diberikan kepada pasien dengan immunocompromised, pasien
yang menggunakan jejunostomy, tidak dapat masuk pada pipa
NGT ukuran < 10 French dan pasien dengan multialergi makanan
(Mahan & Raymond, 2017). Formula Blenderized juga dikenal
dengan Domiciliary Enteral Nutrition Theraphy (DENT).
Menurut Hurt et al(2015) dalam Henriques et al(2017), formula
ini lebih murah dibandingkan dengan formula polimerik dan
formula elemental karena terbuat dari bahan makanan
konvensional yang biasa digunakan di rumah. Sehingga lebih
mudah diterima, lebih nyaman, dan dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien.Selain itu formula blenderized dapat meningkatkan
toleransi dalam pemberian makan dan mengurangi komplikasi
gastrointestinal (Bobo, 2016). Akan tetapi karakteristik fisik dan
kimiawi formula enteral tetap harus diperhatikan karena sangat
berpengaruh langsung terhadap aliran formula di dalam selang
(De Sousa et al, 2014).
d. Thickened Enteral Formula (TEF)
Dari hasil pengkajian mengenai efek samping pemberian formula
enteral, saat ini di Jepang (Ichimaru et al, 2016) mulai
mengembangkan Thickened Enteral Formula (TEF), yaitu
formula enteral yang viskositasnya secara sengaja ditingkatkan
dengan menambahkan bahan pengental. Tujuannya adalah untuk
mencegah komplikasi terkait pemberian komplikasi dalam
pemberian formula enteral seperti diare, mual, muntah, dan
Gastroesophageal Reflux (GER). TEFcocok digunakan oleh
pasien yang sudah lama menjalani terapi nutrisi enteral baik di
rumah sakit maupun di rumah. Viskositas TEF berkisar antara 9 –
20 cP. Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan antara
viskositas formula enteral dengan mekanisme pengosongan
lambung dimana formula dengan viskositas >16 cP dapat
memperlambat pengosongan lambung (Ichimaru et al, 2016)
2. Metode pemberian
Metode pemberian formula enteral ditentukan berdasarkan kondisi
klinik pasien (Mahan & Raymond 2017), terdiri dari :
a. Bolus, yaitu dengan cara memasukkan formula sekaligus
maksimal sebanyak 500 ml, biasa digunakan bagi pasien dalam
kondisi stabil. Lama pemberian 5 – 20 menit, diberikan 4 –
6x/hari
b. Intermitten dan siklik, dimasukan kedalam kantong atau botol
yang dilengkapi dengan klem pengatur tetesan per menit (gravity
feeding), lama pemberian selama 20 – 60 menit
c. Kontinyu (continous), yaitu memasukkan formula menggunakan
pompa. Digunakan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
gastrointestinal akibat penyakit, pembedahan, terapi kanker, dan
lain – lain. pemberian antara 10-25 ml/jam setiap 8-24 jam
3. Syarat Formula Enteral
Prinsip/syarat Formula Enteral standar adalah kandungan energi ± 1,0
– 2 kkal/ml, protein 12 – 20 %, lemak 30 – 40 %, dan karbohidrat 40
– 60 % (Sharma & Joshi, 2014). Formula enteral spesifik terkait
diagnosa penyakit mempunyai proporsi komposisi yang berbeda.
Formula untuk pasien dengan gangguan ginjal atau Chronic Kidney
Disease (CKD) dibuat dengan proporsi protein ≤ 10 %. Pasien dengan
gangguan profil lemak darah (dislipidemia), atherosklerosis,
malabsorbsi lemak, gangguan kantung empedu, dan gangguan
konstipasi membutuhkan formula enteral dengan penambahan serat
dengan proporsi lemak < 30 % (Khan et al, 2015).
Syarat penting lainnya adalah viskositas dan osmolaritas. Formula
enteral harus dapat mengalir dalam pipa makanan ukuran 8 – 14
French. Penelitian Aitonam tahun 2006 dalam Huda (2014)
menyebutkan viskositas makanan cair DM komersial di RS Cipto
Mangunkusumo berkisar 7 – 13,5 cP. Penelitian lain melaporkan
viskositas optimum formula enteral(blenderized) berkisar antara 3.5 –
10 cP (Itoh et al, 2016). Osmolaritas sama dengan cairan tubuh 350 –
400 mOsm/L atau osmolalitas 290 mOsm/kg.
B. Penyakit Diabetes Mellitus
Diabetes melitus atau DM adalah kelainan metabolisme karbohidrat,
glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan
keadaan hiperglikemia. Menurut ADA (2015) DM merupakan salah satu
kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan
kegagalan berbagai organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah. DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. Di abad ke-
21 penyakit diabetes melitu merupakan tantangan kesehatan bagi setiap negara
untuk diselesaikan. Berdasarkan penelitian epidemiologi WHO memperkirakan
171 juta penderita DM pada tahun 2000 akan meningkat menjadi 366 juta pada
tahun 2030. Setengah dari jumlah tersebut terjadi di negara berkembang,
termasuk Indonesia. Prevalensi DM pada tahun 2010 di Indonesia mencapai 6,9
juta dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 11,9 juta pada tahun 2030.
Peningkatan jumlah populasi, urbanisasi dan perubahan gaya hidup merupakan
penyebab peningkatan prevalensi DM pada tahun 2030 (Hardinsyah, 2017).
Pasien dengan DM memiliki kadar glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
atau glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL. Secara umum, DM terbagi menjadi DM
tipe I, DM tipe II, dan diabetes gestasional. DM tipe I terjadi karena adanya
destruksi sel beta pankreas yang umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut, sedangkan DM tipe II terjadi karena adanya resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif. Albumin serum adalah salah satu molekul yang
merupakan protein utama dalam plasma manusia (3,4 – 4,7 g/dL) dan
membentuk kira-kira 60% dari protein total. Penurunan albumin dapat digunakan
sebagai indikasi kekurangan protein dalam tubuh dan tanda malnutrisi. Kenaikan
atau penurunan tingkat albumin dipengaruhi oleh asupan protein, alkohol,
tekanan ostomik, hormon, dan faktor-faktor fisiologis. Albumin serum pada
pasien DM mengalami penurunan. Kadar albumin serum yang pada pasien DM
dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada kerja hormon insulin. Efek insulin
pada metabolisme protein yakni mencegah pemecahan protein atau asam amino
menjadi glukosa (glukoneogenesis) untuk produksi ATP. Asam amino
merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan pada saat sintesis albumin
sehingga jika asam amino digunakan untuk produksi ATP maka sintesis albumin
terhambat (Hardinsyah, 2017).
Diabetes melitus tipe II disebabkan oleh kegagalan refleksi sel β dan
resisten insulin. Resistensi insulin adalah turunannya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin
ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini
terlihat dari berkurangnay sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin yang lain
(Hardinsyah, 2017).
C. Diet Penyakit Diabetes Mellitus
Penderita DM tipe I perlu memperhatikan bahwa asupan makan
merupakan dasar untuk mengintegrasikan terapi insulin dengan pola makan dan
aktivitas fisik yang biasa dilakukan. Penderita dianjurkan makan sesuai dengan
waktu yang konsisten dan sinkron dengan waktu kerja insulin yang digunakan.
Penderita perlu terus memantau kadar gula darah sesuai dengan dosis insulin dan
jumlah makanan yang biasa dimakan (Nugroho, 2006).
Bagi penderita DM tipe II, penyediaan makanan bertujuan untuk
mengendalikan gula darah, lipida darah, dan hipertensi. Penurunan berat badan
dan diet rendah kalori (pada penderita yang gemuk) biasanya hanya
memperbaiki kontrol glikemik jangka pendek dan berpotensi meningkatkan
kontrol metabolik jangka lama. Penurunan berat badan ringan atau sedang (5-
10kg), sudah terbukti meningkatkan kontrol diabetes, walaupun berat badan ideal
belum tercapai. Prinsip pengaturan makan pada penderita DM tidak berbeda
dengan prinsip pengaturan pada orang sehat yaitu makanan yang beragam,
bergizi seimbang, aman, dan halal menurut agama masing-masing, dengan
memperhatikan jumlah kalori dan zat gizi yang dibutuhkan, jenis bahan makanan
dan atau makanan yang dikonsumsi serta keteraturan jadwal makan dengan
istilah 3J yaitu tepat jumlah kalori dan zat gizi, tepat jenis bahan makanan dan
atau makanan, serta tepat jadwal makan (Nugroho, 2006).
Tujuan diet diabetes melitus secara umum adalah membantu penderita
DM dalam memperbaiki kebiasaan hidup dan olahraga untuk mendapatkan
kontrol metabolik yang lebih baik. Adapun tujuan khusus diet DM sebagai
berikut :
1. Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin (endogen dan
eksogen) atau obat hipoglikemik oral dan tingkat aktivitas.
2. Mencapai kadar serum lipid yang normal.
3. Memberikan ebergi yang cukup untuk mencapai atau mempetahankan
barat badan yang memadai.
4. Menghindari dan menangani komplikasi akurat penderita DM yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek,
masalah yang berhubungan dengan kelainan jasmani dan komplikasi.
5. Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang
optimal.
Komposisi zat gizi yang dibutuhkan bagi penderita diabetes melitus
adalah sebagai berikut :
1. 45-65% dari KH, pembatasan KH total <130 g/hari tidak dianjurkan,
sukrosa <5% total energi dan serat dianjurkan sekitar 25 gram/1000
kalori per hari.
2. 10-20% dari protein pada penderita DM dengan nefropati perlu
penurunan protein menjadi 0,8 g/kg BB per hari (65% dari protein
bernilai biologis tinggi).
3. 20-25% dari lemak dengan asam lemak jenuh <7%, dan kandungan
kolesterol <300 mg/hari (Hardinsyah, 2017).
Penderita DM dianjurkan memilih jenis bahan makanan maupun
makanan yang tidak cepat meningkatkan kadar glukosa darah. Bahan makanan
atau makanan yang cepat meningkatkan kadar glukosa darah dikatakan memiliki
indeks glikemik (IG) tinggi. Konsep indeks glikemik dikembangkan untuk
mengurutkan makanan berdasarjan kemampuannya dalam meningkatkan kadar
glukosa darah setelah dibandingkan dengan makanan standar. Konsep tersebut
sangat berguna bagi orang-orang yang mengalami kegagalan toleransi glukosa.
Pada penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa makanan dengan indeks
glikemik rendah dapat mencegah terjadinya diabetes dan penyakit
kardiovaskuler. Nilai indeks glikemik bahan makanan dan beberapa makanan
jadi (Almatsier, 2010).
Selain dari bahan makanan yang memiliki indeks glikemik tinggi, perlu
pula diperhatikan cara pengolahan makanan, karena beberapa cara pengolahan
dapat meningkatkan nilai indeks glikemik, yaitu merebus atau mengukus dan
menghaluskan bahan. Presentase protein dan lemak dalam menu akan
menurunkan nilai indeks glikemik termasuk jumlah serat dan zat anti gizi (tanin
dan fitat). Oleh sebab itu, membuat menu makanan lebih bervariasi juga berarti
menurunkan IG pangan keseluruhan (Hardinsyah, 2017).
D. Labu Kuning
Labu kuning (Cucurbita moschata) merupakan jenis tanaman menjalar
dari familia Curcubitaceae. Labu kuning tergolong tanaman semusim yang
setelah berbuah akan langsung mati (Hendrasty, 2007). Labu kuning mempunyai
berat rata-rata sebesar 3-5 kg. Labu kuning yang mempunyai ukuran besar
beratnya dapat mencapai 20 kg per buah. Tebal daging buah labu kuning sekitar
3 cm dan mempunyai rasa yang agak manis. Buah labu kuning berbentuk bulat
pipih, lonjong, atau panjang dengan banyak alur (15-30 alur) (Krisnawati, 2009).
Labu kuning yang baik mempunyai ciri-ciri berkulit keras, tidak lecet atau luka,
tangkai buah sudah kering dan berwarna kecokelatan serta mempunyai daging
buah kuning, tebal dan padat. Labu kuning yang berkualitas baik jika diketuk
akan berbunyi nyaring (Harlinawati, 2008). Labu kuning akan awet asalkan
disimpan ditempat yang bersih dan kering, serta tidak ada luka pada buahnya.
Labu kuning apabila disimpan dalam waktu yang lama maka kandungan airnya
akan menurun sehingga beratnya akan terus berkurang (Brotodjojo, 2010).
Labu kuning adalah tanaman yang dapat dibudidayakan di dataran rendah
ataupun di dataran tinggi dan mempunyai manfaat kesehatan sebagai makanan
anti diabetes (Yadav M, 2010). Labu kuning diketahui mempunyai efek
hipoglikemik dengan meningkatkan level serum insulin, menurunkan glukosa
darah, dan meningkatkan toleransi glukosa darah. (Simpson R, 2014). Labu
kuning merupakan sumber pro vitamin A dengan kandungan betakaroten sebesar
180,00 SI atau sekitar 1.000 - 1.300 IU/ 100 gr bahan. Labu kuning juga
mengandung vitamin B dan C serta zat gizi lainnya seperti karbohidrat, protein
dan beberapa mineral (Hendrasty, 2007).
Beta-karoten, flavonoid, vitamin C dan vitamin E adalah antioksidan
yang menghambat aktivitas radikal bebas pada keadaan stress oksidatif yang
disebabkan karena hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia meningkatkan
produksi radikal bebas yang menyebabkan resistensi insulin. Flavonoid berperan
dalam menurunkan resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas inisulin,
selain itu flavonoid juga memiliki efek hipoglikemik dengan cara memblok
aktivitas enzim alfa amilase dan alfa glucosidase sehingga produksi glukosa akan
menurun. Beta-karoten meningkatkan produksi antibody sehingga melindungi
sel tubuh dari kerusakan akibat stress oksidatif. Vitamin C dan E berperan dalam
menurunkan radikal bebas dan memperlambat kerusakan oksidatif. (11-18).
E. Jeruk Siam
Jenis – jenis jeruk yang banyak dijumpai di Indonesia adalahjeruk manis
(Citrus sinensis L), jeruk keprok (Citrus reticulata), jeruk siam (Citrus nobilis),
jeruk lemon (Citrus limon Linn), dll. Jeruk siam banyak ditemui di pasar
tradisional mempunyai rasa yang manis, kulit tipis dan mudah dikupas. Menurut
Balitjestro (2016) ciri –ciri jeruk siam antara lain ukuran jeruk siam lebih kecil
dibandingkan jeruk keprok dengan kisaran 99,8 – 112,2gram. Buah berbentuk
bulat dengan ujung buah bundar, Kulit buah berwarna hijau kekunngan,
mengkilat dengan ketebalan sekitar 1,8 – 2,5 mm. Tekstur permukaan kulit buah
siam lebih halus karena pori – pori lebih rapat daripada jeruk keprok. Didalam
kulit buah terdapat segmen (bagian buah), setiap segmen mempunyai kulit tipis
putih transparan yang membungkus daging (pulp) berwarna kuning oranye. Pulp
ini terdiri dari gelembung kecil yang kedua ujungnya runcing atau tumpul berisi
cairan dan letaknya bebas. Pulp jeruk siam lebih lembut dibandingkan jeruk
keprok.
Komponen utama dari total padatan terlarut sari buah jeruk adalah gula
yang mencapai 75 – 85%, yaitu D-glukosa dan D-fruktosa, serta disakarida
sukrosa. Kandungan gula meningkat dengan semakin matangnya buah dan
sebanding dengan berkurangnya cadangan pati. Setiap 100 ml sari buah jeruk
siam mengandung 1,02 – 1,24 g glukosa, 1,49 – 1,58 g fruktosa, 2,19 – 4,9 g
sukrosa dengan total gula berkisar 4,93 – 7,57 g (Andriani, 2008).
Antioksidan yang berperan dalam pengelolaan DM tipe 2 yaitu
hesperidin dan naringin. Hesperidin dan naringin adalah flavonoid utama dalam
buah jeruk (Caballero, 2016). Flavonoid sebagai salah satu kelompok senyawa
fenolik yang memiliki sifat antioksidatif serta berperan dalam mencegah
kerusakan sel dan komponen selularnya oleh radikal bebas reaktif (Redha A,
2010). Kandungan gizi dalam 100gram jeruk adalah 45 kkal, 0.9gram protein,
0,2gram lemak, 87,2 gram air, 49 mg vitamin C, 0,4 mg Fe, dan 33 mg kalsium.
Senyawa utama yang terdapat dalam buah jeruk adalah vitamin C, asam folat,
serat, senyawa fitokimia, likopen dan karoteinoid. Kandungan firosterol dalam
buah jeruk (Citrus sinensis) adalah 1854 mg/kg berat kering (Piironen 2003
dalam Pardede, 2013).
Hesperidin dan naringin mempunyai peran penting dalam mencegah
perkembangan hiperglikemia, sebagian dengan meningkatkan glikolisis hati dan
konsentrasi glikogen dan/atau dengan menurunkan glukoneogenesis hepatik.
Hesperidin dan naringin menurunkan aktivitas glucose-6-phosphatase dan
phosphoenol pyruvate dengan meningkatkan aktivitas glukokinase hati dan
meningkatkan kadar glikogen hati ( Jung, 2004).
BAB III
PELAKSANAAN
A. Nama Produk
Makanan enteral diet Diabetes Mellitus
B. Tipe Nama
Menu standar rumah sakit
C. Sasaran
pasien dengan diet diabetes mellitus
D. Pola Makan
8x pemberian
E. Bahan yang diperlukan
Tabel 1. Bahan Makanan Enteral Diet DM Standar Rumah Sakit
Bahan Berat Per Porsi (gr) Berat Per Hari (gr)
Susu Skim 10 80
Putih Telur 50 464
Wortel 30 240
Minyak Jagung 3 24
Air 100 800

Tabel 2. Bahan Makanan Enteral DM Modifikasi


No Bahan Makanan Berat per-porsi (gr) Berat per- hari (gr)
1 Susu Skim 20 160
2 Telur Ayam 12.5 100
3 Labu kuning 50 400
4 Jeruk Manis 100 800
5 Tepung Maizena 4 32
6 Minyak Jagung 4 32
7 Gula Pasir 2 16

F. Alat yang Diperlukan

1. Pisau 4. Panci kukusan 7. Gelas Ukur


2. Talenan 5. Sendok Sayur 8. Panci
3. Blender 6. Timbangan digital 9. Saringan
G. Prosedur Pembuatan

Persediaan bahan makanan Persediaan bahan makanan


basah kering

Tepung Maizena Susu Skim Minyak Jagung


Telur ayam Brokoli

Pemecahan Larutkan Larutkan


Pemotongan dengan 100 dengan 100
ml air matang ml air matang

Jeruk manis Pencucian

Masukkan bahan yang sudah diblender, susu skim,


Pemotongan
dan terigu yang sudah dilarutkan

Pengukusan
Masak dengan api kecil hingga mendidih (±25 menit)
sambil terus diaduk
Pemblenderan menggunakan 250 ml air jeruk manis
Pemerasan (suhu ruang), kemudian lakukan penyaringan Tambahkan air hingga volume formula mencapai 800 ml
sebanyak 3 kali
H. Nilai Gizi

1. Identifikasi Kebutuhan Gizi Pasien dengan Penyakit DM

Nama : Tn. S No RM :
ASUHAN Pekerjaan :-
GIZI Bangsal : -
Umur : 67 tahun
Pengkajian/ Assessment Gizi
Assesment Gizi
 BB = 65 kg
 BBI = 90% x (Tb-100) x 1 kg
= 90% x (165 – 100) x 1
= 58,5 kg
 TB = 165 cm
BB
 IMT =
(TB dalam m)2
65
=
2,72
= 23,6  Lebih (WHO, Asia
Refferences, 2006)

Perhitungan kebutuhan energi pasien menggunakan rumus perkeni 2015


 BMR = 30 kkal/kg BB
= 30 x 58,5
= 1755 kkal
 Faktor Aktivitas = 10% x BMR
= 10% x 1755
= 175 kkal
 Faktor Stres = 10% x BMR
= 10% x 1755
= 175 kkal
 Faktor Usia = 10% x BMR
= 10% x 1755
= 175
 Energi = (BMR + Faktor aktivitas + Faktor Stres) – Faktor Usia
= (1755 + 175 + 175) – 175
= 1930 kkal

15 % x Energi
 Protein =
4
15 % x 1930
=
4
= 72,3 gram

25 % x Energi
 Lemak =
9
25 % x 1930
=
9
= 53,6 gram

60 % x Energi
 KH =
4
60 % x 1930
=
4
= 289 gram

2. Kandungan gizi
Tabel 3. Kandungan Gizi Menu Enteral untuk Diet DM Standar Rumah Sakit
Berat Energi Protein Lemak KH
No Bahan Makanan
(gram) (kkal) (gram) (gram) (gram)
1 Putih Telur 50 25 5,3 0,5 0,5
2 Susu Skim 10 26.8 3,6 5,2 5,2
3 Wortel 30 13.5 0,3 0,1 3,2
4 Minyak Jagung 3 26.49 0 3 0
Jumlah per porsi 166.18 9,3 3,2 46,21
Jumlah per hari 1329,44 74,4 25,6 369,68
Kebutuhan 1930 72,3 53,6 289
Prosentase per hari 68% 102% 47% 127%
Tabel 4. Kandungan Gizi Menu Enteral untuk Diet DM Standar Rumah Sakit
Bahan Berat Energi Protei Lemak KH
No
Makanan (gr) (kkal) n (gr) (gr) (gr)
1 Susu Apta+ 30 143,3 7,2 3,8 20,3
Jumlah per porsi 143,3 7,2 3,8 20,3
Jumlah per hari 859,8 43,2 22,8 121,8
Kebutuhan 1930 72,3 53,6 289
Prosentase per hari (%) 44 59 42 42

Tabel 5. Kandungan Gizi Menu Modifikasi Enteral Untuk Diet DM


No Bahan Makanan Berat Energi(kkal) Protein (gr) Lemak (gr) KH (gram)
1 Susu Skim 20 73.6 7.1 0.4 10.3
2 Telur Ayam 12.5 20.2 1.6 1.4 0.1
3 Labu kuning 50 19.5 0.4 0.3 4.4
4 Jeruk Manis 100 46.8 0.9 0.1 11.8
5 Tepung Maizena 4 15.2 0 0 3.7
6 Minyak Jagung 4 35.3 0 4 0
7 Gula Pasir 2 7.7 0 0 2
Jumlah per porsi 218.4 10.1 6.2 32.3
Jumlah per hari 1741.1 80.6 49.2 258.3
Kebutuhan 1930 72,3 53,6 289
Presentase 90,2% 110% 91% 90%

3. Biaya
Tabel 6. Biaya Bahan Makanan Untuk Menu Standar Enteral RS diet DM

Berat
Bahan BBD Berat Harga/Satuan Harga/Unit
No Bersih Satuan Harga
Makanan (%) Kotor (g) (Rp) (Rp)
(g)
1 Putih Telur 50 100 50 Kg 3.500 175

3 Susu Skim 10 100 10 Kg 70.000 700

4 Wortel 30 100 30 Kg 9.600 288

5 Minyak Jagung 3 100 3 Liter 33.000 99


Total biaya per porsi (200 ml) 1.262
Total biaya sehari (1200 ml) (6 kali pemberian) 7.572
Tabel 7. Biaya Bahan Makanan untuk Formula Enteral diet DM (Komersial)

N Bahan BB BBD BK Satuan Harga/Satuan Harga/Unit


o Makanan (g) (%) (g) Harga (Rp) (Rp)
1 Apta + 30 100 30 Kotak (180 gr) 50.600 8.433
Total biaya per porsi sekali pemberian 8.433
Total biaya sehari (6 kali pemberian) 50.600

Tabel 8. Biaya Bahan Makanan Menu Modifikasi

Bahan Berat BBD Berat Satuan Harga/Satuan Harga/Unit


No
Makanan Bersih (g) (%) Kotor (g) Harga (Rp) (Rp)
1 Susu Skim 20 100 20 Kg 90.000 1.800

3 Telur Ayam 12.5 90 13,8 Kg 23.900 329

4 Labu kuning 50 77 65 Kg 7.700 500

5 Jeruk Manis 100 72 139 Kg 18.300 254


Tepung 4 100 4 Kg 17.000 68
6 Maizena

7 Minyak Jagung 4 100 4 Liter 33.000 132


Total biaya per porsi (200 ml) 3.083
Total biaya sehari (1600 ml) (8 kali pemberian) 24.664
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

Gambar 1. Hasil Modifikasi Formula Enteral Diet DM

B. Pembahasan
Pengembangan resep yang kami buat adalah formula enteral untuk diet
DM. Makanan diet DM harus membatasi asupan glukosa sederhana. Formula
enteral tersebut dibuat dengan mempertimbangkan beberapa hal yaitu tidak
tembus pandang, tetap cair dalam suhu ruang, tidak meninggalkan endapan, dan
minimal dapat melalui selang nasogastrik yang berukuran 12 fr. Pengembangan
resep dilakukan dengan menambahkan bahan makanan yaitu labu kuning, jeruk
manis dan tepung maizena.
Harga pada formula enteral standar rumah sakit adalah Rp. 1.262 per
porsi sedangkan harga formula enteral modifikasi adalah Rp. 3.083 per porsi.
Perbedaan harga ini disebabkan karena adanya penambahan bahan makanan
pada resep modifikasi yaitu labu kuning, jeruk manis dan tepung maizena.
Formula enteral modifikasi sudah diuji coba menggunakan selang NGT
dan dapat melewati selang tanpa tersendat, hal ini membuktikan bahwa formula
ini layak diberikan kepada pasien dengan Diabetes mellitus.
Labu kuning dipilih karena mempunyai efek hipoglikemik dengan
meningkatkan level serum insulin, menurunkan glukosa darah, dan
meningkatkan toleransi glukosa darah. (Simpson R, 2014). Labu kuning
merupakan sumber pro vitamin A dengan kandungan betakaroten sebesar 180,00
SI atau sekitar 1.000 - 1.300 IU/ 100 gr bahan. Labu kuning juga mengandung
vitamin B dan C serta zat gizi lainnya seperti karbohidrat, protein dan beberapa
mineral (Hendrasty, 2007).
Kemampuan betakarotene sebagai antioksidan yang diduga mampu
melindungi kerja pankreas dari radikal bebas dengan cara inaktivasi radikal
bebas sehingga pankreas dapat bekerja secara optimal dalam menghasilkan
insulin. Betakarotene diduga dapat memperbaiki kemampuan sel β dalam
mensintesis dan mensekresi insulin sehingga kadar glukosa darah dapat turun.
Insulin akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pemindahan glukosa kedalam jaringan adiposa dan otot dengan merekrut
pengangkutan glukosa, ikatan insulin dan reseptornya membutuhkan GLUT4
untuk dapat masuk kedalam sel otot dan jaringan lemak serta uptake glukosa
dengan efisien, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah (Soviana E, dkk
2014)..
Antioksidan yang berperan dalam pengelolaan DM tipe 2 yaitu
hesperidin dan naringin. Hesperidin dan naringin adalah flavonoid utama dalam
buah jeruk (Caballero, 2016). Flavonoid sebagai salah satu kelompok senyawa
fenolik yang memiliki sifat antioksidatif serta berperan dalam mencegah
kerusakan sel dan komponen selularnya oleh radikal bebas reaktif (Redha A,
2010). Kandungan gizi dalam 100gram jeruk adalah 45 kkal, 0.9gram protein,
0,2gram lemak, 87,2gram air, 49 mg vitamin C, 0,4 mg Fe, dan 33 mg kalsium.
Senyawa utama yang terdapat dalam buah jeruk adalah vitamin C, asam folat,
serat, senyawa fitokimia, likopen dan karoteinoid. Kandungan firosterol dalam
buah jeruk (Citrus sinensis) adalah 1854 mg/kg berat kering (Piironen 2003
dalam Pardede, 2013).
Hesperidin dan naringin mempunyai peran penting dalam mencegah
perkembangan hiperglikemia, sebagian dengan meningkatkan glikolisis hati dan
konsentrasi glikogen dan/atau dengan menurunkan glukoneogenesis hepatik.
Hesperidin dan naringin menurunkan aktivitas glucose-6-phosphatase dan
phosphoenol pyruvate dengan meningkatkan aktivitas glukokinase hati dan
meningkatkan kadar glikogen hati (Jung, 2004)
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan
responden terhadap rasa, aroma, penampilan, dan suhu. Responden yang
melakukan uji organoleptik adalah 15 orang pramusaji dan tenaga pengolah yang
berada di Instalasi Gizi RSUD Panembahan Senopati Bantul. Berdasarkan hasil
uji organoleptik grafik berikut ini :

WARNA
Sangat Suka Suka
Tidak Suka Sangat Tidak Suka

47% Gambar 2. Tingkat


53% Kesukaan Berdasarkan
Warna
Berdasarkan gambar, diketahui 53% Responden sangat suka dan 47%
suka dengan warna formula enteral diet dm. Atribut warna merupakan faktor
yang memengaruhi pilihan dan kesukaan seseorang terhadap suatu produk untuk
pertama kali (Pathare PB, 2012). Formula enteral diet dm berwarna kekuningan.
Warna pada suatu produk pangan dipengaruhi oleh warna dari bahan-bahan yang
digunakan (Rachmawati, 2016). Warna kuning pada formula disebabkan oleh
adanya karotenoid yang terdapat pada labu kuning. Karotenoid berhubungan
dengan intensitas warna kuning sampai oranye pada labu kuning (Khoo HE,
2011), akan tetapi selama proses persiapan, pemrosesan, dan penyimpanan
produk memungkinkan terjadinya degradasi karotenoid yang dapat
menyebabkan perubahan warna pada produk (Provesi JG, 2015). Kemungkinan
perbedaan warna akan dihasilkan pada pembuatan produk bergantung pada
kondisi dan cara pemrosesan labu kuning.

AROMA

27%

73%

Gambar 3. Tingkat
Sangat Suka Suka
Kesukaan
Tidak Suka Sangat Tidak Suka
Berdasarkan
Aroma

Atribut aroma merupakan penilaian terhadap bau yang ditimbulkan oleh


makanan dan dapat memengaruhi selera seseorang untuk mengonsumsinya.
Aroma dapat diterima oleh sistem olfaktori melalui substansi folatil yang
terkandung dalam produk tersebut (Meilgard M, 2006). Berdasarkan gambar,
diketahui 73% responden suka dengan aroma formula enteral diet dm dan dan
27% tidak suka dengan aroma formula, hal ini dikarenakan aroma labu kuning
yang terlalu tajam. Penelitian pembuatan bubur bayi dengan salah satu bahan
tepung labu kuning menunjukkan bahwa produk menghasilkan aroma khas labu
kuning yang lebih dikenali sehingga lebih disukai oleh konsumen (Farida SN,
2016).

RASA
Sangat Suka Suka Tidak Suka Sangat Tidak Suka
20%

Gambar 4. Tingkat
80% Kesukaan
Berdasarkan Rasa
Atribut rasa
merupakan parameter selain aroma yang menentukan penerimaan suatu produk
pada konsumen (Hardinsyah, 2009). Meskipun suatu produk memiliki aroma
menarik namun tidak memiliki rasa yang disukai maka akan membuat produk
tersebut sulit diterima (Suharyo AS, 2007). Berdasarkan gambar, diketahui
bahwa sebanyak 80% suka dan 20% sangat suka rasa dari formula enteral diet
DM. labu kuning memberikan rasa manis pada produk, intensitas rasa manis
berhubungan dengan kandungan padatan terlarut pada labu dan juga kandungan
karotenoid (Marek G, 2008).
KEKENTALAN
Sangat Suka Suka
Tidak Suka Sangat Tidak Suka

47%
53%

Gambar 5 Tingkat Kesukaan Berdasarkan Kekentalan


Atribut kekentalan atau viskositas merupakan salah satu karakteristik
penting dari makanan dalam bentuk cair. Atribut ini dapat mengalami perubahan
selama proses pemanasan, pendinginan dan atau bergantung pada jumlah besar
kecilnya bahan padatan yang terdapat pada cairan (Fellow P, 2000). Berdasarkan
gambar 47% dan 53% responden, sangat suka dan suka dengan kekentalan
formula enteral diet DM.
Hasil Uji Organoleptik
90%
80%
80%
73%
70%
60%
0.53 53%
50% 47% 0.47

40%
30% 27%
0.2
20%
10%
0% 0 0 0 0% 0 0% 0
0%
Warna Aroma Rasa Kekentalan

Sangat Suka Suka Tidak suka Sangat Tidak Suka


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Formula enteral diet DM sudah memenuhi syarat makanan cair
2. Makanan enteral diet DM menggunakan bahan makanan yang mudah
didapatkan
3. Keunggulan makanan enteral diet DM adalah dapat diterima oleh pasien
diet DM karena sudah sesuai standar
B. Saran
1. Perbaikan pengolahan agar tidak terjadi endapan
2. Saat pembuatan disarankan untuk langsung dicoba dengan selang NGT
agar mengetahui osmolatitas formula
Daftar Pustaka
Adams GG, Imran S, Wang S, Mohammad A, Kok S, Gray DA, et al. The
hypoglycaemic effect of pumpkins as anti-diabetic and functional medicines Food
Research International 2011; 44: 862-867.

Almatsier, Sunita. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Putra Utama

ASPEN. Enteral Nutrition Practice Recommendations. JPEN J Parenter Enteral Nutr


April 2009; 33(2):1-46.

Bobo, Elizabeth. 2016. Reemerged of Blenderized Tube Feedings : Exploring the


Evidence. ASPEN : Nutrition in Clinical Practice.Vol 31(6) : 730 – 735.

Caballero, B, Finglas, P. M. dan Toldra, F. (Eds.).Encyclopedia of Food and Health.


Kidlington,Oxford ; Waltham, MA : Academic Press is an imprint of Elsevier,
Volume 1, 2016, p.140.

De Sousa, Luna RM, Ferreira, Sila MR, Schieferdecker, Maria EM. Physicochemical
and Nutritional Characteristics of Handmade enteral Diet. Nutricion Hospitalara. Vol
29(3): 568 – 574

Farida SN, Ishartani D, Affandi DR. Kajian Sifat Fisik, Kimia, dan Sensori Bubur
Bayi Instan Berbahan Dasar Tepung Tempe Koro Gliding, Tepung Beras Merah, dan
Tepung Labu Kuning. Jurnal Tekno sains pangan. 2016; 5 (4): 32-3

Fellow P. Food Processing Technology: Principles and Practice. New York:


Woodhead Publishing Limited; 2000. 13-14

Guillon F, Champ M. Structural and physical properties of dietary fibres, and


consequences of processing on human physiology. Food Research International
2000;33:233–245.

Guyton AC, Hall JE. Text Book of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia:
Saunders Elsvier; 2006:972 - 976.
Hardinsyah, 2017. Ilmu Gizi Teori dan Aplikasi. Jakarta : EGC

Hardinsyah, Briawan D, Rimbawan, Sulaeman A, Aries M. Uji Preferensi, Nilai


Antioksidan, dan Indeks Glikemik Serta Pengaruh Stamina dari Konsumsi Sari dan
Buah Kurma. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB;
2009.

Henriques, GS, Miranda, AV, Generoso, S, Guedes, EG, Jansen, Ann K. Osmolality
and pH in Handmade Enteral Diets Used in Domiciliary Enteral Nutritional
Theraphy. Food science and Technology. DOI: 10.1590/1678 – 457X.33616

Huda, N, Kusharto CM. 2014. Formulasi Makanan Cair Alternatif Berbasis Tepung
Ikan Lele (Clarias gariepinus) Sebagai Sumber Protein. Skripsi. Fakultas Ekologi
Manusia Institut Pertanian Bogor, Bogor

Ichimaru, S and Amagai, T. 2014. Viscosity Thickened Formula. Diet and Nutrition
in Critical Care. DOI : 10.1007/978-1-4614-8503-2_27-1

International Diabetes Federation. Guideline for Management of Postmeal Glucose in


Diabetes. International Diabetes Federation. 2011.

Irawati, Suci Dewi, Setyowati, Farissa Fatimah. 2012.“Perbedaan Tingkat Kesukaan


Sebelum dan Sesudah Pengembangan Resep Lauk Nabati (Tempe) di Rumah Sakit
Santa Clara Kota Madiun,”Jurnal Universitas Respati. Jogjakarta : Universitas
Respati

Itoh, M , Nishimoto, Y, Maui, H, Etani, Y, Takagishi, K, et al. 2016. Addition of


Alpha- Amylase and Thickener to Blenderized Rice Provides Suitable Viscosity for
Use in Nutritional Support. J Nutri Health. Vol 2 (1)

Jung, Un Ju, Lee, Mi-Kyung, Jeong, Kyu-Shik, dan Choi, Myung-Sook. The
HypoglycemicEffects of Hesperidin and Naringin Are Partly Mediated by Hepatic
Glucose-Regulating Enzymes in C57BL/KsJ-db/db Mice. The Journal of Nutrition,
2004, p.2499-2503.

Khan, MN, Farooq, S, Khalid, S, Kausar, N, Khalid, M. 2015. Development of


Energy Dense Cost – Effective Homemade Enteral Feed for Nasogastric Feeding.
IOSR Journal of Nursing and Health Science. Vol: 4(3) : 34-41

Khasanah Y, Ratnayani, P, Ditahardiyani, Angwar, M, Ariani, D. .2009. Karakteristik


Gizi Makanan Enteral dari Bahan Pangan Lokal. Prosiding Seminar Nasional Kimia
dan Pendidikan Kimia. Yogyakarta

Khoo HE, Prasad KN, Kong KW, Jiang Y, Ismail A. Carotenoids and Their Isomers:
Color Pigment in Fruits and Vegetables: Review. Molecules. 2011; 16 (2): 17101738

Klek, S, Hermanowicz, A, Dziwiszek, G, Matysiak, K, Szczepanek, K et al. Home


Enteral Nutrition Reduces Complications, Length of Stay, and Health Care Costs :
Results from a Multicenter Study. American Journal of Clinical Nutrition. DOI :
10.3945/ajcn.113.0082842

Lochs H, Allison SP, Meier R, Pirlich M, Kondrup J, Schneider St, et al. Introductory
to the ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition : Terminology, Definitions and
General Topics. Clinical Nutrition 2006; 25:180-186.

Mahan, L. Kathleen, Raymond, Janice L. 2017. Krause ‘s : Food & The Nutrition
Care Process, 14th edition. Elsevier Inc. St Louis, Missouri

Marek G, Radzanowska J, Danilcenko H, Janiere E, Cerniauskiene J. Quality Of


Pumpkin Cultivars in Relation to Sensory Characteristic. Not Bot Hort Agrobot.
2008; 36 (1): 73-79

Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. Sensory Evaluation Techniques. New York
(NY): CRC Press; 2006. 22-23.
Nugroho AE. Hewan Percobaan Diabetes Melitus : Patologi Dan Mekanisme Aksi
Diabetogenik. Biodiversitas 2006;7(4):378-382.

Pathare PB, Opara UL, Alsaid FA. Colour Measurement and Analysis in Fresh and
Processed Food: A Review. Food Bioproc Tech. 2012; 6 (1): 36-60.

Provesi JG, Amante ER. Carotenoids in Pumpkin and Impact of Processing


Treatments and Storage. Massachusetts: Academic Press; 2015. 71-81

Rachmawati, Novita R, Miko A. Karakteristik Organoleptik Biskuit Berbasis Tepung


Labu Kuning, Tepung Kacang Koro, dan Tepung Sagu. IJHN. 2016; 3 (1): 91-97

Redha, A. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya Dalam Sistem


Biologis. Jurnal Belian, Vol. 9 No. 2, 2010, hal. 196 – 202
Rolfes SR, Pinna K, Whitney E. Understanding Normal and Clinical Nutrition. 8th
ed. USA:Wadsworth Cengage Learning. 2006. p. 113-115; 663-667.

Sharma, K and Joshi, I. 2014. Formulation of Standard (Nutriagent Std) and High
Protein (Nutriagent Protein Plus) Ready to Reconstitute Enteral Formula Feeds.
Interantional Journal of Scientific & Technology Research. Vol: 3(5).

Shaw JE, Sicree R, Zimmet PZ. Global estimates of the prevalence of diabetes for
2010 and 2030. Diabetes research and clinical practice 2010;87(1):4-14.

Simpson R dan Morris GA. The Anti Diabetic Potential of Polysaccharides Extracted
from Members of The Cucurbit Family: A Review. Bioact Carbohydr Dietary Fibre.
2014; 3 (2): 106-114

Soviana dkk. 2014. Pengaruh suplementasi β-carotene terhadap kadar glukosa darah
dan kadar malondialdehida pada tikus sprague dawley yang diinduksi Streptozotocin.
Jurnal Gizi Indonesia (ISSN : 1858-4942) Vol. 2, No. 2, Juni 2014: 41-46

Suharyono AS. Efek Sinar Ultraviolet Terhadap Kandungan Total Mikroba dan
Vitamin C Sari Buah Jeruk Nipis. Agritecht. 2007; 30 (1): 25-31
Wild S, Gojka Roglic, Green A, Roglic G, Sicree R, King H. Global Prevalence of
Diabetes: Estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care
2004;27(5):1047-1053

Yadav M, Jain S, Tomar R, Prasad GB, Yadav H. Medicinal and Biological Potential
of Pumpkin: An Update Review. Nut Res Rev. 2010; 23 (2): 184-190.

Zhang Y, Chen P, Zhang Y, Jin H, Zhu L, Li J, et al. Effects of polysaccharide from


pumpkin on biochemical indicator and pancreatic tissue of the diabetic rabbits. Intern
Journ of Bio Macro 2013;62:574–581.

Anda mungkin juga menyukai