Salah satu kendala dalam proses pasca panen ialah adanya serangan hama
bahan simpanan. Salah satu hama bahan simpanan yang menyerang jagung ialah S.
zeamais. S. zeamais merupakan hama gudang utama di Indonesia (Hasna dan Hanif,
2010). Hama ini dapat merusak hasil panen berupa polong maupun biji di tempat
penyimpanan maupun di lapangan sebelum panen. Hama ini dapat menyebabkan
kehilangan hasil sebesar 30% dan kerusakan biji 100% (Tenrirawe et al., 2013).
Hama S. zeamais memiliki siklus hidup dari telur hingga imago selama 25 hari pada
kondisi optimum. Imago S. zeamais dapat hidup lama (beberapa bulan sampai satu
tahun) tergantung jenis pakannya (Ress, 2004). Kehilangan hasil karena adanya
infestasi hama S. zeamais dapat dikendalikan. Salah satu cara alternatif pengendalian
yang tidak menimbulkan resistensi ialah penggunaan inert dust (Respyan et al., 2015).
Salah satu jenis hama gudang pada jagung adalah hama bubuk jagung,
Sitophilus zeamais (Motschulsky) (CABI 2014). Sitophilus zeamais merusak jagung
di daerah tropis maupun subtropis (Danho et al.2002). S. zeamais seperti halnya S.
oryzae ditemukan di daerah-daerah panas maupun lembap dan menyerang berbagai
jenis serealia, namun yang utama adalah pada jagung (Morallo dan Rejesus 2001).
Kerusakan yang ditimbulkan hama ini lebih tinggi pada jagung dan sorgum
dibandingkan pada gabah/beras. Sitophilus zeamais meletakkan telur pada biji jagung
sebelum dipanen maupun di gudang penyimpanan. Beberapa hari kemudian, telur
menetas menjadi larva dan makan bagian dalam biji jagung (Nonci et al., 2006).
Larva menyelesaikan siklus hidupnya di dalam biji sehingga biji akan rusak
(Pabbagge et al. 1997).
Sitophilus zeamais tergolong hama utama, mampu merusak dan berkembang
dengan baik pada komoditas yang masih utuh, dan menyelesaikan siklus hidupnya di
dalam biji sehingga mengakibatkan kerusakan yang nyata (Pranata 1985). Kerusakan
yang disebabkan oleh S. zeamais bervariasi sesuai dengan varietas tanaman yang
diserang dan populasi S. zeamais. Hama ini bersifat polifag atau dapat merusak
berbagai jenis biji-bijian, antara lain beras/gabah, jagung, gandum, dan sorgum Hama
ini juga merusak kacangkacangan seperti buncis, kapri, kacang tanah, dan kedelai
(Kranz et al. 1980). Selain itu, S. zeamais mampu tumbuh dan berkembang pada
berbagai jenis serealia maupun produk olahan serealia, misalnya pasta dan mi.
Namun, S. zeamais dominan ditemukan berasosiasi dengan jagung dan gandum
(CABI 2014). Deteksi awal serangan S. zeamais sulit diketahui karena larva
merusak/menggerek bagian dalam biji jagung. Serbuk hasil gerekan larva bercampur
dengan kotoran larva di dalam biji. Jika kerusakannya berat, dalam satu biji bisa
terdapat lebih dari satu lubang gerekan. Salah satu indikasi biji jagung terserang hama
bubuk yaitu bila biji tersebut dimasukkan ke dalam air maka biji akan terapung.
Untuk biji jagung yang disimpan dalam gudang yang besar, serangan S. zeamais
dapat dideteksi melalui peningkatan suhu. Namun, tanda serangan yang paling mudah
diamati (Nonci & Muis., 2016).
KOPI
1. Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.)
KACANG HIJAU
1. Callosobruchus chinensis L
Kacang hijau (Vigna radiata (L.) Wilczek) umumnya kurang tahan terhadap
hama kumbang kacang terutama Callosobruchus chinensis L. (Coleoptera: Bruchidae)
(Ujianto et al., 2009). Siklus hidup C. chinensis dimulai sejak telur diletakkan sampai
menjadi imago dan meletakkan telur lagi. Telur menetas 4–8 hari. Larva dari telur
yang baru menetas langsung menggerek masuk ke dalam biji. Lama masa larva
menjadi pupa berkisar antara 10–13 hari. Imago selama beberapa hari tetap berada
dalam biji selama 3–5 hari. Masa kopulasi berkisar antara 5–8 hari (Talekar 1988).
Imago betina yang keluar dari biji akan bertelur setelah berkopulasi. Imago yang
tidak berkopulasi tidak bertelur. Daur hidup C. chinensis antara 21–31 hari. Masa
kumbang hidup sangat dipengaruhi oleh aktivitas biologis selama hidupnya, kumbang
yang tidak pernah berkopulasi selama hidupnya mampu bertahan hidup 4 hari lebih
lama dibandingkan yang berkopulasi sedangkan kumbang betina yang tidak pernah
berkopulasi dapat bertahan hidup antara 4–11 hari. Dari kisaran jumlah telur yang
diletakkan oleh C. chinensis betina, fertilitas rata-rata 86,5% (Slamet et al. 1985).
C. chinensis memiliki telur berbentuk lonjong, transparan dan berwarna
kuning. Masa inkubasi telur berlangsung antara 4–5 hari. Larva berwarna kuning
jernih dengan kepala berwarna coklat dan mengalami pergantian kulit hingga menjadi
pupa (Musalamah, 2005). Pupa berwarna putih kekuningan menyerupai serangga
dewasa tetapi semua bagian tubuhnya masih menyatu. Imago mulamula berwarna
putih kekuningan pada bagian bakal kepala terbentuk bintik-bintik coklat yang makin
lama menjadi banyak dan berubah menjadi hitam. Kumpulan bintik ini akan menjadi
mata majemuk. Kemudian seluruh badannya dimulai dari kepala secara perlahan-
lahan berubah menjadi coklat. Bentuk tubuh imago jantan lebih kecil dari pada imago
betina. Imago yang telah tumbuh sempurna dan siap melakukan kopulasi keluar dari
biji kacang hijau melalui jendela berbentuk lingkaran yang telah disiapkan
sebelumnya pada saat masih berbentuk larva (Slamet et al., 1985).
Tingkat kerusakan yang diakibatkan kumbang kacang ini lebih besar pada biji
yang berada di penyimpanan karena dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 3 bulan,
biji akan mengalami kerusakan total (Lestari dkk., 2011). Kerusakan terlihat jelas
pada bagian permukaan biji, terdapat lubang tempat keluarnya kumbang kacang
dewasa. Kerusakan lain yang ditimbulkan adalah penyusutan bobot, penurunan daya
kecambah, dan perubahan nutrisi biji sehingga selain tidak aman untuk keperluan
pertanian, juga tidak aman bagi kesehatan manusia bila dikonsumsi (Lestari et al.,
2011). Pengendalian dapat dilakukan dengan mengaplikasikan insektisida seperti
fumigan berbahan aktif Alumunium Phosphide, insektisida berbahan aktif diklorvos
berkonsentrasi rendah, dan Metil Bromida. Bahan-bahan kimia tersebut terbilang
efektif dalam mengendalikan hama kumbang kacang, hanya saja pengendalian secara
kimiawi tentu tidak dapat selalu dilakukan mengingat berbagai dampak yang
diakibatkan nantinya dan perlunya kita menjaga kelestarian lingkungan (Ni, 2013).
Serangan hama Callosobruchus spp. pada biji kacang hijau dapat
menyebabkan susut bobot, penurunan daya kecambah, dan perubahan nutrisi dalam
biji sehingga membahayakan jika dikonsumsi oleh manusia ataupun untuk
penggunaan komersial dan pertanian. Hama Callosobruchus spp. dapat dikendalikan
dengan bahan kimia (Talekar, 1998) tetapi penggunaan varietas yang tahan lebih
disenangi karena tidak mengandung risiko baik untuk kesehatan maupun lingkungan
dan mengurangi biaya (Sun et al., 2008; Lale & Kolo, 2008). Oleh karena itu, target
utama perakitan kacang hijau yaitu varietas yang tahan terhadap hama penting seperti
kumbang kacang di samping hasil. Untuk perakitan varietas yang tahan hama perlu
adanya sumber gen ketahanan yang dapat dijadikan sebagai tetua (Srinives, 1995).
Lale NES & Kolo AA. 2008. Susceptibility of eight genetically improved
local cultivars of cowpea to Callosobruchus maculatus in Nigeria. Agric. Sci. 7:672-
677
Ujianto, L., Basuki, N., & Kasno, A. (2011). Evaluasi Ketahanan Hibrida
Hasil Persilangan Kacang Hijau dan Kacang Uci terhadap Callosobruchus chinensis
L.(Coleoptera: Bruchidae). Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 11(2),
130-138.
Musalamah, M. (2005). Peningkatan ketahanan kacang hijau terhadap hama
gudang Callosobruchus chinensis: dari pendekatan konvensional menuju
bioteknologi. Buletin Palawija, (9), 33-42.
Talekar, N.S. 1988. Mungbean. Shanmugasundaran, S (eds). In Proc. of the
Second Internat. Symp. Asian Vegetable Res. and Dev. Center. p: 329 –342.
Slamet, M., S. Sosromarsono, S. Wardoyo, J. Koswara. 1985. Beberapa Aspek
Biologi Hama Bubuk (Callosobruchus chinensis I) pada kacang hijau. Penelitian
Pertanian. 5(2): 53–56.
UBI KAYU
1. Kutu putih