Anda di halaman 1dari 13

 JAGUNG

HAMA BUBUK JAGUNG Sitophilus zeamais MOTSCHULSKY

Salah satu kendala dalam proses pasca panen ialah adanya serangan hama
bahan simpanan. Salah satu hama bahan simpanan yang menyerang jagung ialah S.
zeamais. S. zeamais merupakan hama gudang utama di Indonesia (Hasna dan Hanif,
2010). Hama ini dapat merusak hasil panen berupa polong maupun biji di tempat
penyimpanan maupun di lapangan sebelum panen. Hama ini dapat menyebabkan
kehilangan hasil sebesar 30% dan kerusakan biji 100% (Tenrirawe et al., 2013).
Hama S. zeamais memiliki siklus hidup dari telur hingga imago selama 25 hari pada
kondisi optimum. Imago S. zeamais dapat hidup lama (beberapa bulan sampai satu
tahun) tergantung jenis pakannya (Ress, 2004). Kehilangan hasil karena adanya
infestasi hama S. zeamais dapat dikendalikan. Salah satu cara alternatif pengendalian
yang tidak menimbulkan resistensi ialah penggunaan inert dust (Respyan et al., 2015).
Salah satu jenis hama gudang pada jagung adalah hama bubuk jagung,
Sitophilus zeamais (Motschulsky) (CABI 2014). Sitophilus zeamais merusak jagung
di daerah tropis maupun subtropis (Danho et al.2002). S. zeamais seperti halnya S.
oryzae ditemukan di daerah-daerah panas maupun lembap dan menyerang berbagai
jenis serealia, namun yang utama adalah pada jagung (Morallo dan Rejesus 2001).
Kerusakan yang ditimbulkan hama ini lebih tinggi pada jagung dan sorgum
dibandingkan pada gabah/beras. Sitophilus zeamais meletakkan telur pada biji jagung
sebelum dipanen maupun di gudang penyimpanan. Beberapa hari kemudian, telur
menetas menjadi larva dan makan bagian dalam biji jagung (Nonci et al., 2006).
Larva menyelesaikan siklus hidupnya di dalam biji sehingga biji akan rusak
(Pabbagge et al. 1997).
Sitophilus zeamais tergolong hama utama, mampu merusak dan berkembang
dengan baik pada komoditas yang masih utuh, dan menyelesaikan siklus hidupnya di
dalam biji sehingga mengakibatkan kerusakan yang nyata (Pranata 1985). Kerusakan
yang disebabkan oleh S. zeamais bervariasi sesuai dengan varietas tanaman yang
diserang dan populasi S. zeamais. Hama ini bersifat polifag atau dapat merusak
berbagai jenis biji-bijian, antara lain beras/gabah, jagung, gandum, dan sorgum Hama
ini juga merusak kacangkacangan seperti buncis, kapri, kacang tanah, dan kedelai
(Kranz et al. 1980). Selain itu, S. zeamais mampu tumbuh dan berkembang pada
berbagai jenis serealia maupun produk olahan serealia, misalnya pasta dan mi.
Namun, S. zeamais dominan ditemukan berasosiasi dengan jagung dan gandum
(CABI 2014). Deteksi awal serangan S. zeamais sulit diketahui karena larva
merusak/menggerek bagian dalam biji jagung. Serbuk hasil gerekan larva bercampur
dengan kotoran larva di dalam biji. Jika kerusakannya berat, dalam satu biji bisa
terdapat lebih dari satu lubang gerekan. Salah satu indikasi biji jagung terserang hama
bubuk yaitu bila biji tersebut dimasukkan ke dalam air maka biji akan terapung.
Untuk biji jagung yang disimpan dalam gudang yang besar, serangan S. zeamais
dapat dideteksi melalui peningkatan suhu. Namun, tanda serangan yang paling mudah
diamati (Nonci & Muis., 2016).

CABI. 2014. Sitophilus zeamais. Invasive Species Compendium.


Danho, M., C. Gaspar, and E. Haubruge. 2002. The impact of grain quantity on the
biology of Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera: Curculionidae):
oviposition, distribution of egg, adult emergence, body weight and sex ratio. J.
Stored Products Res. 38: 259266.
Hasnah dan U. Hanif. 2010. Efektivitas Ekstrak Bawang Putih Terhadap Mortalitas
Sitophilus zeamais M. Pada Jagung di Penyimpanan.Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian Unsyiah. Darussalam Banda Aceh.
Kranz, J., H. Schumuterer, and W. Koch. 1980. Disease Pest Weed in Tropical Crop.
John Wiley and Son, New York. 666 pp.
Nonci, N., & Muis, A. (2016). Biologi, gejala serangan, dan pengendalian hama
bubuk jagung Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera:
Curculionidae). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 34(2), 61-
70.
Pranata. R.I. 1985. Mengamankan hasil panen dari serangga hama. Balai Informasi
Pertanian Ciawi. hlm. 42.
Respyan, G., Rahardjo, B. T., & Astuti, L. P. (2015). Pengaruh Inert Dust Terhadap
Mortalitas Sitophilus zeamais Mostchulsky Pada Biji Jagung Dalam
Simpanan. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan, 3(2), pp-31.
Ress, D. P. 2004. Insect of Stored Product. CSIRO Publising. Australia. p. 181.
Tenrirawe, A., M. S. Pabbage, dan A. Takdir. 2013. Pengujian Ketahanan Galur
Jagung Hibrida Umur Genjah Terhadap Hama Kumbang Bubuk Sitophilus
zeamais Mostchulsky. Balai Penelitian Tanaman Seralia
 PADI
1. Sitophilus oryzae (L.)

Serangga yang banyak merusak terutama dari jenis kumbang (Coleoptera). S.


oryzae merupakan jenis serangga hama gudang yang paling penting dan banyak
menimbulkan kerusakan pada bahan pangan biji-bijian yang disimpan di daerah tropis
(Alonso-Amelot & Avila- Núñez, 2011). S. oryzae tergolong sebagai serangga
polifag yang merusak beras, sorgum, gandum, dan jagung di penyimpanan
(Longstaff, 1981). S. oryzae tergolong sebagai hama primer yang mampu menyerang
biji utuh. Adanya kerusakan yang ditimbulkan serangga ini dapat menguntungkan
bagi serangga hama lainnya yang tidak mampu menyerang biji utuh yaitu serangga
yang tergolong hama sekunder seperti T. castaneum. Serangga dewasa dan larva S.
oryzae merusak bahan pangan dengan memakan karbohidrat dalam butiran biji
sehingga terjadi penurunan susut berat pangan dan kontaminasi produk, mengurangi
viabilitas benih, menurunkan nilai pasar, dan mengurangi nilai gizi (Ashamo, 2006).
Kerusakan yang disebabkan oleh S. oryzae berkisar antara 10–20% dari keseluruhan
produksi (Phillips & Throne, 2010).
Kerusakan bahan pangan yang terjadi selama penyimpanan adalah kerusakan
fisik, kimia, mekanik, biologi dan mikrobiologi yang akan menurunkan mutu hasil
pertanian secara kualitatif maupun kuantitatif. Penyebab kerusakan pasca panen yang
paling banyak terjadi karena serangan hama pascapanen (Lopulalan, 2010). Kualitas
awal, rentang waktu simpan atau periode penyimpanan, teknik atau metode
penyimpanan, dan kondisi gudang penyimpanan berpengaruh terhadap proses alami
tersebut (Anggara & Sudarmaji, 2008). Kerugian akibat serangga hama pascapanen
dapat dipengaruhi oleh periode penyimpanan yang berasosiasi dengan serangga hama
pascapanen (Tefera et al., 2011). Periode penyimpanan mempengaruhi perkembangan
Callosobruchus maculatus dan meningkat persentase kacang Vigna unguiculata yang
rusak (Maina et al., 2011). Populasi imago T. castaneum semakin meningkat dengan
bertambahnya lama periode penyimpanan beras (Dharmaputra et al., 2014). Namun,
informasi tentang hubungan antara periode penyimpanan bahan pangan dengan
infestasi serangga hama pascapanen seperti S. oryzae terhadap pertumbuhan populasi
serangga hama pascapanen dan karakteristik kehilangan bobot dari bahan pangan
masih sedikit.
Serangan S. oryzae menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang
gejalanya dapat terlihat antara lain dengan adanya lubang gerek, lubang keluar (exit
holes), garukan pada butir beras serta timbulnya gumpalan (webbing), bubuk (dust
powder) dan adanya kotoran (feces). Hama S. oryzae lebih menyukai beras dan
gandum dibandingkan jagung. Beras merupakan makanan yang paling disukai oleh
imago betina S. oryzae berkaitan dengan perilaku peletakan telur dibandingkan
gandum dan jagung (Subedi et al., 2009). Persentase kehilangan bobot dan beras
berlubang meningkat tajam selama proses penyimpanan beras. Hasil penelitian Tafera
et al. (2011) mengungkapkan bahwa kerusakan gandum akibat serangan S. zeamais
mengalami peningkatan selama periode penyimpanan gandum. Hasil penelitian yang
sama juga dilaporkan oleh Keskin & Ozkaya (2015), kerusakan gandum akibat
serangan S. granarius dipengaruhi oleh periode penyimpanan gandum. Kerusakan
gandum banyak terjadi pada saat disimpan dalam jangka waktu yang lama.
Fraksi bubuk yang terbentuk dari hancuran beras yang menjadi rapuh selama
penyimpanan akibat konsumsi beras oleh S. oryzae. Pembentukan frass membuat
beras menjadi rusak dan tidak dapat dikonsumsi dan meningkatkan kadar air beras.
Serangan hama S. granarius pada gandum mengakibatkan terbentuknya bubuk dari
hancuran gandum. Bubuk gandum yang dihasilkan mengalami penurunan kandungan
protein dan lemak. Produksi bubuk juga dipengaruhi oleh periode penyimpanan
gandum. Penyimpanan gandum dalam jangka waktu yang lama menyebabkan
peningkatan produksi bubuk sebagai bentuk kerusakan gandum akibat serangan hama
S. granarius (Keskin & Ozkaya, 2015). Populasi imago S. oryzae memiliki korelasi
positif dengan kerusakan gandum (Khan et al., 2014). Beras yang sudah terserang S.
oryzae dalam populasi rendah tetap disimpan dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan kerusakan beras yang tinggi. Hama S. oryzae memiliki kekhususan
makanan pada beras dan paling dominan menimbulkan kerusakan pada beras.
Pengetahuan periode penyimpanan beras yang berdampak terhadap perkembangan
populasi S. oryzae dan kerusakan beras dapat dimanfaatkan sebagai acuan bagi
masyarakat untuk tidak menyimpan beras jangka waktu yang lama (Hendrival &
Muetia., 2016).

Hendrival, H., & Muetia, R. (2016). Pengaruh Periode Penyimpanan Beras


terhadap Pertumbuhan Populasi Sitophilus oryzae (L.) dan Kerusakan
Beras. Biogenesis: Jurnal Ilmiah Biologi, 4(2), 95-101.
Lopulalan CGC. 2010. Analisa ketahanan beberapa varietas padi terhadap
serangan hama gudang (Sitophilus zeamais Motschulsky). Jurnal Budidaya Pertanian.
vol 6(1): 11–16.
Maina YT, Degri MM, and Sharah HA. 2011. Effects of population density
and storage duration on the development of Callosobruchus subinnotatus in stored
bambara groundnut (Vigna subterranean (L.) Verdcourt). Journal of Environmental
Issues and Agriculture in Developing Countries. vol 3(3): 70–75.
Phillips TW and Throne JE. 2010. Biorational approaches to managing stored
product. Annual Review of Entomology. vol 55: 375–397
Keskin S and Ozkaya, H. 2015. Effect of storage and insect infestation on the
technological properties of wheat. CyTA– Journal of Food. vol 13(1): 134–139.
Khan K, Khan GD, Din S, Khan SA, and Ullah W. 2014. Evaluation of
different wheat genotypes against rice weevil (Sitophilus oryzae (L.) (Coleopteran:
Curculionidae). Journal of Biology, Agriculture and Healthcare. vol 4(8): 85–89.
Subedi S, GC YD, Thapa RB, and Rijal JP. 2009. Rice weevil (Sitophilus
oryzae L.) host preference of selected stored grains in Chitwan Nepal. Journal of the
Institute of Agriculture and Animal Science. vol 30: 151–158.
Tefera T, Mugo S, and Likhayo P. 2011. Effects of insect population density
and storage time on grain damage and weight loss in maize due to the maize weevil
Sitophilus zeamais and the larger grain borer Prostephanus truncates. African Journal
of Agricultural Research. vol 6(10): 2249–2254.
Dharmaputra OS, Halid H, dan Sunjaya. 2014. Serangan Tribolium castaneum
pada beras di penyimpanan dan pengaruhnya terhadap serangan cendawan dan susut
bobot. Jurnal Fitopatologi Indonesia. vol 10(4): 126– 132.

 KOPI
1. Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.)

Penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei Ferrari) merupakan hama utama


pada perkebunan kopi di seluruh dunia (Infante, Pérez, & Vega, 2012). Tingkat
kerusakan yang ditimbulkannya dapat mencapai lebih dari 80% pada perkebunan kopi
yang tidak terawat (Kumar, Prakasan, & Vijayalakshmi, 1990; Damon, 2000; Silva,
Mascarin, Romagnoli, & Bento, 2012). Di Indonesia, kumbang PBKo dilaporkan
pertama kali menyerang kopi Liberika di perkebunan Lampegan, Jawa Barat, pada
tahun 1909 akibat masuknya kopi dari Uganda. Hama tersebut kemudian menyebar
ke berbagai sentra produksi kopi (Susilo, 2008). Hama PBKo menyerang buah pada
saat masih muda dan yang sudah matang. Serangan pada buah muda dapat
menyebabkan gugur buah, sedangkan serangan pada buah tua (matang)
mengakibatkan penurunan kualitas (Damon, 2000; Jaramillo, Borgemeister, & Baker,
2006).
Tingkat serangan H. hampei sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
tumbuh seperti suhu, kelembapan, ketinggian tempat, cara budi daya, dan varietas
tanaman. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan kumbang H. hampei
dalam menyerang buah kopi (Sera et al., 2010; Matiello, Santinato, & Garcia, 2002).
Suhu optimum untuk perkembangan kumbang H. hampei adalah 20–33oC. Pada suhu
≤ 15oC atau ≥ 35oC kumbang betina sering gagal menggerek buah kopi. Walaupun
mampu menggerek, H. hampei tidak dapat bertelur (Mathieu, Gaudichon, Brun, &
Frérot, 2001; Jaramillo et al., 2009; Silva, Costa, & Bento, 2014). Kelembapan
optimum untuk perkembangan PBKo berkisar 90%– 95% (Sera et al., 2010).
Prastowo et al. (2010) menyebutkan bahwa ada tiga komponen pengendalian hama
terpadu hama PBKo yaitu sanitasi, pemangkasan perangkap dan pengendalian secara
kultur teknik atau agronomis. Menurut Samosir (2013) walaupun pemeliharaan
tanaman kopi dilakukan dengan cukup baik, tetap dapat menyebabkan populasi PBKo
tinggi.
Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan
mutu kopi karena biji berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negatif
terhadap susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji
berlubang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu kimia, sedangkan
citarasa kopi dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen senyawa kimia yang
terkandung dalam biji (Meilin et al., 2017). Serangga H. hampei masuk ke dalam
buah kopi dengan cara membuat lubang di sekitar diskus. Serangan pada buah muda
menyebabkan gugur buah, serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi
cacat berlubanglubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006). Perkembangan H. hampei
dipengaruhi oleh suhu dan ketersediaan buah kopi. H. hampei dapat hidup pada suhu
15⁰C-35⁰C, suhu optimal untuk perkembangan telur antara 30⁰C-32⁰C dan untuk
larva, pupa dan dewasa antara 27⁰C-30⁰C. Serangga betina dapat menggerek buah
kopi antara suhu 20⁰C-33⁰C, pada suhu 15⁰C dan 35⁰C serangga betina gagal
menggerek buah kopi atau mampu menggerek buah kopi tapi tidak bertelur (Jaramilo
et al.,2009).
Penggerek buah kopi masuk kedalam buah kopi dengan cara membuat lubang
di sekitar diskus. Jika buah masih muda akan menggakibatkan buah muda gagal
berkembang dan akan gugur, namun jika buah sudah mulai mengeras akan
mengakibatkan biji kopi cacat berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh
negatif terhadap susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula
pereduksi. Biji berlubang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu
kimia, sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen
senyawa kimia yang terkandung dalam biji (Hamdani & Supriyatdi., 2019).

Hamdani, H., & Supriyatdi, D. (2019). Keragaman Intensitas Serangan Hama


Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus Hampei Ferrari) Pada Beberapa Sentra
Produksi Kopi Robusta Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian
Terapan, 19(3), 250-255.
Meilin, A., Nasamsir, N., & Riyanto, S. (2017). Tingkat serangan hama utama
dan produksi kopi Liberika Tungkal Komposit (Coffea sp.) di Kecamatan Betara
Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jurnal Media Pertanian, 2(1), 1-9.
Jaramillo, J., Olaye, A. C., Kamonjo, C., Jaramillo, A., Vega, F. E., Poehling,
M., Borgemeister, C. (2009) . Thermal Tolerance of the Coffee Berry Borer
Hypothenemus hampei: Predictions of Climate Change Impact on a Tropical Insect.
Pest. Plos One. 4 (8): 64-87.
Infante, F., Pérez, J., & Vega, F. E. (2012). Redirect research to control coffee
pest. Nature, 489, 502.
Samosir F. 2013. Survei faktor kultur teknis terhadap perkembangan populasi
hama penggerek buah kopi Hyphotenemus hampei ferr (coleoptera:scolytidae). di
Kabupaten Simalungun. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1(4): 11.
Prastowo B., Elna K., Rubijo., Siswanto., Chandra I., S Joni. 2010. Budidaya
dan Pasca Panen Kopi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.
Matiello, J. B., Santinato, R., & Garcia, A. W. R. (2002). Cultura de café no
Brasil - novo manualde recomendações (pp. 387). Rio de Janeiro: Procafe
Foundation.
Sera, G. H., Sera, T., Ito, D. S., Filho, C. R., Villacorta, A., Kanayama, F.
S., ... Grossi, L. D. (2010). Coffee berry borer resistance in coffee genotypes. Braz.
Arch. Biol. Technol., 53, 261–268.

 KACANG HIJAU
1. Callosobruchus chinensis L

Kacang hijau (Vigna radiata (L.) Wilczek) umumnya kurang tahan terhadap
hama kumbang kacang terutama Callosobruchus chinensis L. (Coleoptera: Bruchidae)
(Ujianto et al., 2009). Siklus hidup C. chinensis dimulai sejak telur diletakkan sampai
menjadi imago dan meletakkan telur lagi. Telur menetas 4–8 hari. Larva dari telur
yang baru menetas langsung menggerek masuk ke dalam biji. Lama masa larva
menjadi pupa berkisar antara 10–13 hari. Imago selama beberapa hari tetap berada
dalam biji selama 3–5 hari. Masa kopulasi berkisar antara 5–8 hari (Talekar 1988).
Imago betina yang keluar dari biji akan bertelur setelah berkopulasi. Imago yang
tidak berkopulasi tidak bertelur. Daur hidup C. chinensis antara 21–31 hari. Masa
kumbang hidup sangat dipengaruhi oleh aktivitas biologis selama hidupnya, kumbang
yang tidak pernah berkopulasi selama hidupnya mampu bertahan hidup 4 hari lebih
lama dibandingkan yang berkopulasi sedangkan kumbang betina yang tidak pernah
berkopulasi dapat bertahan hidup antara 4–11 hari. Dari kisaran jumlah telur yang
diletakkan oleh C. chinensis betina, fertilitas rata-rata 86,5% (Slamet et al. 1985).
C. chinensis memiliki telur berbentuk lonjong, transparan dan berwarna
kuning. Masa inkubasi telur berlangsung antara 4–5 hari. Larva berwarna kuning
jernih dengan kepala berwarna coklat dan mengalami pergantian kulit hingga menjadi
pupa (Musalamah, 2005). Pupa berwarna putih kekuningan menyerupai serangga
dewasa tetapi semua bagian tubuhnya masih menyatu. Imago mulamula berwarna
putih kekuningan pada bagian bakal kepala terbentuk bintik-bintik coklat yang makin
lama menjadi banyak dan berubah menjadi hitam. Kumpulan bintik ini akan menjadi
mata majemuk. Kemudian seluruh badannya dimulai dari kepala secara perlahan-
lahan berubah menjadi coklat. Bentuk tubuh imago jantan lebih kecil dari pada imago
betina. Imago yang telah tumbuh sempurna dan siap melakukan kopulasi keluar dari
biji kacang hijau melalui jendela berbentuk lingkaran yang telah disiapkan
sebelumnya pada saat masih berbentuk larva (Slamet et al., 1985).
Tingkat kerusakan yang diakibatkan kumbang kacang ini lebih besar pada biji
yang berada di penyimpanan karena dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 3 bulan,
biji akan mengalami kerusakan total (Lestari dkk., 2011). Kerusakan terlihat jelas
pada bagian permukaan biji, terdapat lubang tempat keluarnya kumbang kacang
dewasa. Kerusakan lain yang ditimbulkan adalah penyusutan bobot, penurunan daya
kecambah, dan perubahan nutrisi biji sehingga selain tidak aman untuk keperluan
pertanian, juga tidak aman bagi kesehatan manusia bila dikonsumsi (Lestari et al.,
2011). Pengendalian dapat dilakukan dengan mengaplikasikan insektisida seperti
fumigan berbahan aktif Alumunium Phosphide, insektisida berbahan aktif diklorvos
berkonsentrasi rendah, dan Metil Bromida. Bahan-bahan kimia tersebut terbilang
efektif dalam mengendalikan hama kumbang kacang, hanya saja pengendalian secara
kimiawi tentu tidak dapat selalu dilakukan mengingat berbagai dampak yang
diakibatkan nantinya dan perlunya kita menjaga kelestarian lingkungan (Ni, 2013).
Serangan hama Callosobruchus spp. pada biji kacang hijau dapat
menyebabkan susut bobot, penurunan daya kecambah, dan perubahan nutrisi dalam
biji sehingga membahayakan jika dikonsumsi oleh manusia ataupun untuk
penggunaan komersial dan pertanian. Hama Callosobruchus spp. dapat dikendalikan
dengan bahan kimia (Talekar, 1998) tetapi penggunaan varietas yang tahan lebih
disenangi karena tidak mengandung risiko baik untuk kesehatan maupun lingkungan
dan mengurangi biaya (Sun et al., 2008; Lale & Kolo, 2008). Oleh karena itu, target
utama perakitan kacang hijau yaitu varietas yang tahan terhadap hama penting seperti
kumbang kacang di samping hasil. Untuk perakitan varietas yang tahan hama perlu
adanya sumber gen ketahanan yang dapat dijadikan sebagai tetua (Srinives, 1995).

Lale NES & Kolo AA. 2008. Susceptibility of eight genetically improved
local cultivars of cowpea to Callosobruchus maculatus in Nigeria. Agric. Sci. 7:672-
677
Ujianto, L., Basuki, N., & Kasno, A. (2011). Evaluasi Ketahanan Hibrida
Hasil Persilangan Kacang Hijau dan Kacang Uci terhadap Callosobruchus chinensis
L.(Coleoptera: Bruchidae). Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 11(2),
130-138.
Musalamah, M. (2005). Peningkatan ketahanan kacang hijau terhadap hama
gudang Callosobruchus chinensis: dari pendekatan konvensional menuju
bioteknologi. Buletin Palawija, (9), 33-42.
Talekar, N.S. 1988. Mungbean. Shanmugasundaran, S (eds). In Proc. of the
Second Internat. Symp. Asian Vegetable Res. and Dev. Center. p: 329 –342.
Slamet, M., S. Sosromarsono, S. Wardoyo, J. Koswara. 1985. Beberapa Aspek
Biologi Hama Bubuk (Callosobruchus chinensis I) pada kacang hijau. Penelitian
Pertanian. 5(2): 53–56.

 UBI KAYU
1. Kutu putih

Kutu putih P. marginatus merupakan hama yang paling sering ditemukan


menyerang pertanaman ubi kayu di Kabupaten Lima Puluh Kota. Serangga ini
menyerang daun yang sudah tua, dan pada serangan berat juga dapat menyerang daun
muda yang menyebabkan gejala klorosis. Hama ini juga menghasilkan embun madu
yang berasosiasi dengan embun jelaga. Hal ini didukung oleh pernyataan Walker et
al. (2003) yang menyatakan bahwa kutu putih P. marginatus menyerang di bawah
permukaan daun yang sudah tua dapat menyebabkan gejala klorosis, kerdil,
malformasi, dan pada serangan berat juga menyerang daun muda. Kutu putih tersebut
juga menghasilkan embun madu yang dapat berasosiasi dengan cendawan jelaga,
sehingga dapat menghambat proses fotosintesis dan menyebabkan kematian tanaman.
Tingginya serangan hama dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jarak
tanam yang terlalu rapat, lahan yang kurang terawat dan jarang dilakukan sanitasi
atau pembersihan lahan, serta faktor ketinggian tempat yang berpengaruh langsung
terhadap kelembaban. Faktor tersebut ditemukan di lokasi penelitian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kutu putih dan kutu kebul tertinggi terdapat di Kecamatan Lareh
Sago Halaban. Kondisi di dua lahan yang diamati di Kecamatan Lareh Sago Halaban
menunjukkan lahan tidak terawat, gulma dibiarkan tumbuh liar, dan tidak dilakukan
pengendalian, dan terletak pada ketinggian antara 624- 671 m dpl yang memiliki
iklim mikro yang lembab. Hal ini didukung oleh pendapat Rahayu (2012) yang
menyatakan bahwa ketinggian tempat erat kaitannya dengan suhu udara yang
memegang peranan penting bagi perkembangan dan kehidupan serangga. Suhu dan
kelembaban menjadi faktor pembatas yang mempengaruhi segala aktivitas dan
memiliki daya adaptasi tertentu dengan lingkunganya.
Kutu putih P. marginatus mampu bertahan hidup pada suhu 20-30ºC, dan
cepat berkembang pada suhu 25ºC (Amarasekare et al., 2007). Populasi P.marginatus
paling tinggi ditemukan di daerah Lareh Sago Halaban yang memiliki suhu sekitar
antara 24 - 26ºC. Hal ini sesuai dengan pendapat Nietschke et al. (2007), suhu
menjadi faktor yang relevan yang mempengaruhi aktivitas hama. Thomson et al.
(2010) menambahkan bahwa serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk
perkembangan dan proses fisiologisnya, dimana pada suhu tertentu aktivitas serangga
tinggi dan berkurang (menurun) pada suhu yang lebih rendah
Thomson LJ, S Macfadyen dan AA Hoffmann. 2010. Predicting the effects of
climate change on natural enemies of agriculture pests. Biological Control 52: 296-
306.
Nietschke BS, RD Magarey, DM Borchert, DD Calvin dan E Jones. 2007. A
developmental database to support insect phenology models.
Amarasekare KG, JH Chong, ND Epsky dan CM Mannion. 2007. Effect of
temperature on the biology of Paracoccus marginatus Williams and Granara de
Willink (Hemiptera: Pseudococcidae). Journal of Economic Entomology 101(6):
1798- 1804

Anda mungkin juga menyukai