ABSES PARU
Disusun Oleh:
1102010023
Pembimbing :
JULI 2014
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya
hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat
menyelesaikan sari pustaka ini dengan judul “ABSES PARU” sebagai salah satu
RSUD Cilegon.
Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga sari pustaka ini selesai
tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang
telah diberikan, baik moril maupun materil, maka selanjutnya penulis ingin
1. dr. Didiet Pratignyo Sp.PD, dr. Rizky Sp.P, dr. Hermawan Sp.PD, selaku
konsulen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon yang telah memberikan bimbingan,
ilmu, saran dan kritik kepada penulis dalam penyelesaian referat ini.
2. Kedua orang tua tercinta, atas segala doa, kasih sayang, perhatian, semangat,
nasihat serta segala dukungan yang telah diberikan kepada penulis, baik berupa
3. Staf dan karyawan RSUD Cilegon atas bantuan dan arahan yang telah diberikan
kepada penulis.
2
4. Teman-teman seperjuangan di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon.
kesalahan dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun tata
bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan
dan kekhilafan yang dibuat. Semoga referat ini dapat bermanfaat, khususnya bagi
penulis dan pembaca dalam memberikan sumbang pikir dan perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia kedokteran. Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis
harapkan demi memperoleh hasil yang lebih baik di dalam penyempurnaan referat
ini.
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………….
………………………………………………………………………3
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….
…………………………………………….4
BAB
I……………………………………………………………………………………………………
………………………………...5
1.1.
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………
…………………………....5
BAB
II……………………………………………………………………………………………………
………………………………..6
2.1.
DEFINISI…………………………………………………………………………………………
……………………………..…6
2.2. FAKTOR
RESIKO……………………………………………………………………………………………
………………….6
4
2.3.
ETIOLOGI…………………………………………………………………………………………
……………………………...7
2.4.
PATOGENESIS……………………………………………………………………………………
…………………………....8
2.5.
DIAGNOSIS………………………………………………………………………………………
………………………..…….9
2.7.
TATALAKSANA…………………………………………………………………………………
……………………………..15
2.8.
KOMPLIKASI………………………………………………………………………………………
…………….……………..17
2.9.
PROGNOSIS………………………………………………………………………………………
……………………………..17
BAB
III……………………………………………………………………………………………………
……………………………….18
KESIMPULAN……………………………………………………………………………………
…………………………………….18
5
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………………………………
………………………..19
BAB I
PENDAHULUAN
6
ataupun pneumonia asprasi pada orang normal. Sedangkan abses sekunder
dapat disebabkan penyebaran infeksi dari tempat lain secara limfogen,
hematogen,dan perkontinuitatum karena kondisi sebelumnya seperti septik
emboli (misalnya endokarditis sisi kanan), obstruksi bronkus (misalnya
aspirasi benda asing), bronkiektasis, ataupun pada
kasus immunocompromised.1,2,6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
Abses paru adalah proses infeksi paru supuratif yang menimbulkan
destruksi parenkim dan pembentukan satu atau lebih kaviti yang
mengandung pus pada satu lobus atau lebih sehingga membentuk
gambaran Radiologist Air Fluid Level.
7
aspirasi akan mengalir menuju lobus medius atau segmen
posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan
berbaring aspirat akan menuju ke segmen apikal lobus superior
atau segmen superior lobus interior paru kanan, hanya kadang-
kadang aspirasi dapat mengalir ke paru kiri.
4. Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi,
terutama pada Pasien HIV yang terkena abses paru pada
umumnya mempunyai status immunocompromised yang sangat
buruk (kadar CD4 <50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh
infeksi terutama infeksi paru.
2.3. ETIOLOGI
Berbagai infeksi dapat menyebabkan terjadinya abses paru. Infeksi bakteri
pyogenic terutama Bakteri anaerob merupakan penyebab terbanyak yang
ditemukan. Studi yang dilakukan Barlett et al. (1974) mendapatkan 46% abses paru
disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob
dan aerob. Bakteri anaerob ini ditemukan terutama pada saluran napas atas dan
paling banyak terdapat pada penyakit oral dan ginggiva. 1,6
Pada pasien immunocompromised spektrum kuman patogen penyebab abses
paru sedikit berbeda. Pada pasien AIDS kebanyakan kumannya adalah bakteri
aerob, P.Carinii, jamur, Cryptococcus neoformans, dan Mycobacterium tuberculosis.1
Penyebab lainnya dapat disebabkan oleh mikobakteria, jamur, parasit dan
komplikasi penyakit paru lain seperti keganasan primer atau metastasis. Saat ini
abses paru lebih banyak disebabkan oleh kuman anaerob (89%) dan aspirasi materi
orofaring. Bakteri anaerob tersering adalah Peptostreptococcus, Bacterioides,
Fusabacterium dan Microaerophylic streptococcus. Penyebab abses lain adalah
parasit (Paragonimus, Entamoeba), jamur (Aspergillus, Criptococcus, Histoplasma,
Blastomyces, Coccidioides) dan Mycobacterium. Penyakit dasar neoplasma yang
tersering adalah kanker paru jenis sel squamosa. 1
8
a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia
aspirasi
Bacteriodes melaninogenus
Bacteriodes fragilis
Peptostreptococcus species
Bacillus intermedius
Fusobacterium nucleatum
Microaerophilic streptococcus
Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100%
dari spesimen yang didapat melalui aspirasi transtrakheal.
Abses sekunder adalah abses yang terjadi sebagai akibat dari kondisi
lain. Seperti contoh: Obstruksi bronkial (karsinoma bronkogenik);
penyebaran hematogen (endokarditis bakterial, IVDU); penyebaran
infeksi dari daerah sekitar (mediastinum, subphrenic).
2.4. PATOFISIOLOGI
Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru
seperti daya tahan tubuh dan jenis dari mikroorganisme patogen yang menjadi
penyebab. Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik
yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan striktur
bronkial.1
Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia
aspirasi akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki
masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari
9
celah gusi sampai di saluran pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh
memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya
terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada
seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk karena
pengaruh obat penenang, obat bius atau penyalahgunaan alkohol. Selain itu dapat
pula terjadi pada penderita penyakit sistem saraf.1,2,8,12
Jika bakteri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan
tubuh, maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian
berkembang menjadi nekrosis yang berakhir dengan pembentukan abses. 2,8
Pada striktur bronkial terjadi obstruksi bronkus dan terbawanya organisme
virulen dapatmenyebabkan terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut.
Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien bronkitis kronik karena banyaknya mukus
pada saluran napas bawahnya yang merupakan kultur media yang sangat baik bagi
organisme yang teraspirasi. Pada perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa
merupakan dasar untuk terjadinya abses paru. 1
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagaifenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain
tubuhnya sepertitricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya
akan berbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus.
Penanganan abses multipel dan kecil lebih sulit dari abses single walaupun
ukurannya besar. Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa
milimeter sampai dengan 5 cm atau lebih.1
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang
terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada
orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis,
dan gangguan imunitas.1
Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami
konsolidasi, dengan organisme yang penyebabnya paling sering
ialah Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses
yang terjadi biasanya multipel dan berukuran kecil (<2cm). 1
Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista
bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur
10
untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi oleh
mikroorganisme yang virulens maka akan terjadilah abses paru. 1
Abses paru biasanya satu (single), tapi bisa multipel yang biasanya unilateral
pada satu paru, yang terjadi pada pasien dan keadaan umum yang buruk atau
pasien yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan
imunologis yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau penggunaan
sitostatika. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus
atas dan segmen apikal lobus bawah dan sering terjadi pada paru dekstra, karena
bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri. Abses bisa mengalami ruptur ke
dalam bronkus dengan isinya diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan
kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura
sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan terjadinya fistula bronkopleura. 1
2.5. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada pemeriksaan fisik pasien dengan abses paru bervariasi.
Temuan fisik mungkin menjadi sekunder dengan kondisi yang terkait seperti radang
paru yang mendasari atau efusi pleura. Temuan pemeriksaan fisik juga dapat
bervariasi tergantung pada organisme yang terlibat, tingkat keparahan dan luasnya
penyakit, dan status kesehatan pasien dan komorbiditas. 2
Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan penyakit 1-3 minggu
dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan
berat badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai
menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4 oC atau lebih. Namun, tidak
adanya demam tidak menyingkirkan adanya abses paru. 1,2
Kadang abses paru belum dicurigai hingga abses tersebut menembus
bronkus dan mengeluarkan banyak sputum yang bisa mengandung jaringan paru
yang mengalami gangren. Sputum yang berbau amis dan
berwarna anchovy (disebut dengan putrid abscesses) merupakan tanda yang
patognomonik untuk infeksi bakteri anaerob dan, tetapi tidak didapatkannya
sputum demikian tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Pada kasus ini
pun, dapat dijumpai batuk darah pada sekitar 25% dari pasien serta pada 60%
11
pasien pun ada yang mengeluhkan sakit dada yang berhubungan
dengan pleura.2,4,11
Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piothorax
(empiema) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada
tertinggal pada tempat lesi, vokal fremitus menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi
napas menghilang dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama
jantung ke arah kontralateral. Selain itu, pada abses paru pun bisa
ditemukan clubbing finger (jari tabuh).3,4
Gejala penyakit biasanya berupa:
a. Malaise
Malaise merupakan gejala awal disertai tidak nafsu makan yang lama
kelamaan menyebabkan penurunan berat badan.
b. Demam
Demam berupa demam intermitten bisa disertai menggigil bahkan ‘rigor’
dengan suhu tubuh mencapai 39.4 0C atau lebih. Tidak ada demam tidak
menyingkirkan adanya abses paru
c. Batuk
Batuk pada pasien abses paru merupakan batuk berdahak yang setelah
beberapa dapat berubah menjadi purulen dan bisa mengandung darah.
Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy menunjukkan
penyebabnya bakteri anaerob, tetapi tidak didapatkannya sputum dengan
ciri di atas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Batuk dara
bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang masif.
d. Nyeri pleuritik
Nyeri pleuritik atau nyeri yang dirasakan dalam dada menunjukkan
adanya keterlibatan pleura.
e. Sesak
Sesak disebabkan oleh adanya pus yang menumpuk menutupi jalan napas
f. Anemia
Anemia yang terjadi dapat berupa anemia defisiensi yang disebabkan oleh
kurangnya asupan akibat penurunan nafsu makan, namun lebih sering
disebabkan oleh perdarahan pada saluran nafas khususnya pada
hemoptysis.
2. Pemeriksaan Laboratorium
12
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukositosis berkisar
10.000 - 30.000/mm3 dengan laju endap darah ditemukan meningkat > 58
mm/1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran ke kiri
dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama neutrofil yang
immatur. Bila abses berlangsung lama sering ditemukan adanya
anemia.1,2
Pemeriksaan sputum dapat membantu dalam menemukan
mikroorganisme penyebab abses. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
yaitu pewarnaan gram, kultur mikroorganisme aerob, anaerob,
jamur, Nocardia, basil Mycobacterium tuberculosis, dan mikroorganisme
lainnya.1
3. Gambaran Radiologik
a. Foto Thorax
Pada gambaran radiologik tampak satu atau lebih kavitas, disertai
dengan air-fluid level. Bentuk abses kecil (<2cm) multipel seringkali
dihubungkan dengan necrotizingpneumonia dan gangren paru. Baik abses
paru maupun necrotizing pneumonia merupakan manifestasi dari proses
patologis yang serupa. Kegagalan dalam mengenali dan mengobati abses
paru berhubungan dengan keadaan umum yang jelek.2,6
Pada foto thorax PA dan lateral biasanya ditemukan satu kavitas,
tetapi dapat juga multikavitas berdinding tebal dengan tanda-tanda
konsolidasi di sekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan
tebal dinding kavitas bisa mencapai 5 mm.13
Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya single (soliter) yang
biasanya ditemukan pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru
sekunder (aerobik, nosokomial, atau hematogen) lesinya biasanya
multipel.1
Gambaran kavitas ini lebih sering dijumpai pada paru kanan dari paru
kiri. Bila terdapat hubungan dengan bronkus maka di dalam kavitas
terdapat air-fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya
13
dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas). Gambaran spesifik ini
tampak dengan mudah bila kita melakukan foto thorax PA dengan posisi
berdiri.1,13
Posisi Lateral
Terdapat kavitas disertai air fluid level pada lobus kanan paru
(panah putih)
14
Abses paru akibat aspirasi paling sering menyerang segmen posterior
paru lobus atas atau segmen superior paru lobus bawah. Ketebalan dinding
abses paru bervariasi, bisa tipis ataupun tebal, batasnya bisa jelas maupun
samar-samar. Dindingnya mungkin licin atau kasar.1,12,13
b. CT-Scan
Gambaran khas CT-Scan abses paru ialah lesi hiperdens bundar dengan
kavitas berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah jaringan paru
yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah berakhir secara mendadak
pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak. Selain itu lesi
tampak membentuk sudut pada permukaan pleura dinding dada.13
(black arrow). Kavitas memiliki batas dalam yang halus dan air-fluid level
(white arrow). Terdapat reaksi inflamasi pada sekitar paru-paru (yellow arrow).
15
emfisema setempat, atelektasis, pembesaran hilus unilateral, serta kavitas dapat
dicurigai sebagai suatu keganasan. 13
Berdasarkan histologinya, karsinoma bronkogen terdiri atas 4 jenis sel,
yakni:adenocarcinoma, squamous cell carcinoma, undifferentiated large cell
carcinoma, dan small cell carcinoma. Squamous cell carcinoma merupakan jenis sel
yang paling sering memberikan gambaran radiologik berupa kavitas, yakni pada
sekitar 10% dari kasus. Sedangkan karsinoma
bronkioloalveolar (adenocarcinoma) adalah jenis karsinoma bronkogen
kedua terbanyak setelah squamous cell carcinoma yang pada
gambaran radiologiknya menunjukkan kavitasi.13
(a) (b)
16
sudah diliputi jaringan ikat maka terlihat bayangan berupa bulatan dengan batas
tegas. Lesi ini lebih dikenal dengan tuberkuloma. Selain itu, nampak pula kavitas,
yakni bayangan berupa cincin. Dinding kavitas dapat tipis dan halus hingga tebal
dan noduler, air-fluid level dilaporkan terjadi pada 9-21% dari kavitas pada TB. Pada
proses lanjut dapat terlihat bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat,
garis fibrosis, kalsifikasi, kavitas, maupun atelektasis dan emfisema. 13
Gambar 11. Distribusi atipic postprimer TB pada seorang pria 62 tahun. (a) Foto
thorax menunjukkan massa kavitas 5 cm dengan dinding tebal tidak teratur (panah
besar) dan dikelilingi oleh noduler opacity yang saling berdekatan pada lobus kiri
atas. Suatu nodul 5 mm dengan densitas (panah kecil) terdapat di
kontralateral, lobus kanan atas.
2.7. TATALAKSANA
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya
dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang
adekuat dari empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.1
Pemberian antimikroba yang tepat merupakan terapi utama. Pemilihan
antibiotik yang tepat bergantung pada sumber infeksi dan hasil pemeriksaan
pewarnaan gram dan kultur spesimen sputum tidak terkontaminasi. Sambil
menunggu hasil kultur, agar terapi lebih efektif, diberikan terapi
beradasarkan data empiris dan terutama ditujukan untuk melawan bakteri
anaerob sebagai penyebab terbesar abses paru. Lama terapi tergantung
pada respons klinis dan radiologis pasien, bisa diberikan 4-6 minggu
17
kemudian dilanjutkan sampai didapatkan perbaikan klinis dan radiologis.
Pada tahap awal diberikan antibiotikintravena sampai pasien tidak
demam dan menunjukkan perbaikan klinis (4-8 hari) diikuti terapi oral 6-8
minggu. Bila respons terapi buruk, perlu dipertimbangkan penyebab lain
misalnya obstruksi benda asing, keganasan, infeksi bakteri resisten,
mikobakteria atau jamur.
Penisilin selalu menjadi antibiotik pilihan, namun percobaan terbaru
menunjukkan klindamisin lebih unggul. Meskipun khasiat keseluruhan
penisilin tampaknya berkurang, saat ini tetap menjadi obat praktis untuk
kebanyakan pasien, terutama jika klindamisin merupakan kontraindikasi.
Tetrasiklin dianggap terapi tidak memadai karena sebagian besar anaerob
tahan untuk itu. Demikian pula, metronidazol tidak efektif pada sekitar 50%
pasien, mungkin karena kontribusi bakteri aerobik. Karena itu, jika agen ini
harus digunakan, sebaiknya dikombinasikan dengan turunan penisilin
atau sefalosporin. Setelah terapi antibiotik awal, dan radiografi respon klinis
secara bertahap, demam biasanya mereda dalam 4-7 hari, namun
normalisasi foto thorax mungkin memerlukan 2 bulan.6
Drainase merupakan bagian penting dari penatalaksanaan abses
paru. Air-fluid level menyiratkan adanya hubungan dari rongga abses ke
trakeobronkial. Drainase postural dan fisioterapi dada 2-5 kali seminggu
selama 15 menit diperlukan untuk mempercepat proses resolusi abses paru.
Namun pada penderita abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus
maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.1,4,6
Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses
paru seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi
obstruksi, pengeluaran benda asing dan untuk melebarkan striktur.
Disamping itu, dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan
pengosongan abses yang tidak mengalami drainase yang adekuat, serta
dapatmemasukkan larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke lokasi
abses.1
18
Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus. Indikasi operasi
adalah:1
- Abses paru yang tidak mengalami perbaikan
- Komplikasi: empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura
- Pengobatan penyakit yang mendasari: karsinoma obstruktif
primer/metastasis,
pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas
gastroesofageal, malformasi
atau kelainan kongenital.
Lobektomi merupakan prosedur paling sering dilakukan, sedangkan
reseksi segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi
diperlukan terhadap abses multipel atau gangren paru yang refrakter
terhadap penanganan dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah
pneumoektomi mencapai 5%-10%.1,13
Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat
dilakukan drainase perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah
kebocoran isi abses ke rongga pleura.1
2.8. KOMPLIKASI
Komplikasi dari abses paru meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi
lewat bronkus atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses
paru yang drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain
dengan kecenderungan penyebaran infeksiStaphylococcus, dan apabila
ruptur ke rongga pleura akan menjadi piothorax (empiema). Komplikasi
sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura visceralis
sehingga terjadi piopneumothorax dan fistula bronkopleura.1,6,11
Abses paru yang kronik akan menyebabkan kerusakan paru yang
permanen dan mungkin menyisakan suatu bronkiektasis, cor pulmonal, dan
amiloidosis. Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi,
kaheksia, gangguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada
manula.1,12
19
2.9. PROGNOSIS
Faktor-faktor yang membuat prognosis jelek adalah kavitas yang besar
(lebih dari 6cm), penyakit dasar yang berat, status immunocompromissed,
umur yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi
obstruktif, abses yang disebabkan bakteri aerobik, dan abses paru yang
belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama.Angka
mortalitas pada pasien-pasien ini bisa mencapai 75% dan bila sembuh maka
angka kekambuhannya tinggi.1,7
BAB III
KESIMPULAN
20
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi
secepatnya dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup,
drainase yang adekuat dari empiema dan pencegahan komplikasi yang
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
21
6. Bhimji S. Lung abscess, surgical perspective. [online] 2010 Oct 22 [cited
2011 April 7]. Available
from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/428135-overview
7. Koziel H. Lung abscess. [online] 2006 [cited 2011 April 20]. Available from:
URL: http://www.scribd.com/doc/28978474/Lung-Abscess
8. Datir A. Lung abscess. [online] 2008 May 2 [cited 2011 April 7]. Available
from: URL:http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess
10. Faiz O, Moffat D. The Lungs. In: Anatomy at a glance. UK: Blackwell Science
Ltd; 2002. p.15-7.
11. Jardins TD. The cardiopulmonary system. In: Cardiopulmonary Anatomy and
physiology, essentials in respiratory care. Fourth edition. USA: Delmar; 2002.
p.45, 47.
13. Budjang N. Radang paru yang tidak spesifik. Dalam: Ekayuda I, editor.
Radiologi diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 2005. hal.100-5.
22