Anda di halaman 1dari 12

Tersedia online di www.sciencedirect.

com

ScienceDirect

Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108

Perencanaan Kota dan Desain Arsitektur untuk Pembangunan Berkelanjutan, UPADSD 14-16 Oktober
2015

Kearifan Lokal untuk Pembangunan Pariwisata Pedesaan yang Berkelanjutan,

Kasus di Desa Kalibiru dan Lopati, Provinsi


Daerah Istimewa Yogyakarta

Vincentia Reni Vitasurya *


Studi Penelitian Kewirausahaan, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Abstrak

Desa wisata di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berkembang pesat. Ini terjadi karena wisatawan mulai mengunjungi tempat-tempat dalam
kelompok-kelompok kecil yang berfokus pada pengalaman alam dan budaya. Perkembangan desa wisata sejalan dengan tuntutan desa sebagai daerah tujuan
wisata. Kelestarian desa wisata diawali dengan motivasi mengembangkan desa sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Penelitian ini dilakukan di Desa
Wisata Kalibiru dan Lopati untuk mengetahui faktor pendorong kesadaran masyarakat tentang kearifan lokal yang dijunjung untuk menjaga lingkungan
pedesaan yang menjadi ciri khas desa wisata tersebut. Penelitian ini menggunakan partisipasi masyarakat untuk memperoleh data berdasarkan motivasi
masyarakat. Pengamatan dengan pemetaan dan wawancara dilakukan untuk mengukur aspek konservasi lingkungan. Hasilnya diharapkan dapat menjadi
model pelestarian desa wisata berbasis alam dengan partisipasi warga sehingga dapat diimplementasikan untuk pengembangan desa wisata di masa yang
akan datang.

©
© 2 2 0 0 1 1 6 6 T T ut
h hu eh et Hai h r HaiSEBUAH
SEBUAH s. rs P. . u P. b u li b SH li e s d dia b d y b E y lse E v l saya s e e r v L yaitu td r . L T t h d saya . s adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND
( P. h e tt e p r : - ive
/ r / uc ce nr vHai
e saya
d m eSebuah
m etw - n R - E n K / , 4 saya . 0 n / t ) e . pakar nasional
rr Hai e n s s p . Hai Hai r n g s / l saya saya b c saya e l n Itu s y es Hai / f oleh YAITU CD
untuk Pengayaan Riset dan Pertukaran Pengetahuan.
Tinjauan sejawat di bawah tanggung jawab IEREK, pakar Internasional untuk Pengayaan Riset dan Pertukaran Pengetahuan

Kata kunci: desa wisata; kearifan lokal; konservasi; partisipasi masyarakat, wisata pedesaan.

* Penulis yang sesuai. Telp .: +62 81 326095114; faks: +62 274 487748
Alamat email: reni792003@yahoo.com / renivs@mail.uajy.ac.id

1877-0428 © 2016 Penulis. Diterbitkan oleh Elsevier Ltd. Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND ( http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/
).
Tinjauan sejawat di bawah tanggung jawab IEREK, pakar Internasional untuk Pengayaan Riset dan Pertukaran Pengetahuan doi: 10.1016 /
j.sbspro.2015.12.014
98 Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108

1. Perkenalan

Ekowisata merupakan jenis pariwisata baru yang sedang berkembang di Indonesia, meskipun telah diperkenalkan secara internasional sejak
Oktober 1999 oleh World Tourism Organization (WTO), (Gunawan, 1997), dan telah mengeluarkan “Global Code of Ethics for Tourism” sebagai
penyemangat bagi negara di dunia untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan. Yogyakarta sebagai kota pariwisata juga terpengaruh oleh trend
baru tersebut. Wisata berbasis aktivitas atau ekowisata dan budaya ini mulai bermunculan di Yogyakarta. Data Dinas Pariwisata tahun 2012
menyebutkan jumlahnya mencapai 97 desa wisata (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Statistik Dinas Pariwisata DIY 2012). Lokasi penelitian ini
adalah dua desa yang terletak di DI Yogyakarta, Kalibiru dan Lopati. Mereka dipilih karena sama-sama memiliki ciri khas benda alam yang berada di
desa Kalibiru dan industri rumah tangga pedesaan di Lopati. Peta lokasi ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 1. Lokasi Desa Kalibiru dan Desa Lopati. (Dokumentasi penelitian. 2015)

Desa wisata Kalibiru, Hargowilis, Kokap, Kulonprogro merupakan desa wisata yang terletak di Kabupaten Kulon Progo dan memiliki objek wisata
alam yang unik. Desa Kalibiru memiliki obyek pemandangan alam yang indah dengan pemandangan Waduk Sermo, serta memiliki berbagai fauna
langka seperti Elang Jawa, ayam hutan, landak, babi hutan, bahkan Harimau Jawa dan Kumbang Macan. Akses ke desa ini agak sulit karena berada
di ketinggian 450 dpl - atau di atas permukaan laut. Desa juga telah mencapai 1 st rangking lomba desa wisata se Provinsi DIY dan mendapat peringkat
4 th

peringkat lomba desa wisata nasional tahun 2014.


Desa wisata Lopati terletak di Dusun Lopati, Desa Trimurti, Srandakan, Bantul yang berjarak sekitar 25 km ke arah barat daya Yogyakarta,
dekat Pantai Pandansimo. Obyek wisata desa ini cukup berbeda, karena memiliki berbagai macam wisata kuliner dan kerajinan. Desa ini
terkenal dengan kulinernya seperti mie lokal yang disebut “mie lethek”, bakpia, kerupuk susu, tahu, geplak, kacang lima dan tempe kedelai,
“kokis” kue tradisional, telur asin dan jamu serta pembuatan susu segar . Desa ini juga terkenal dengan kerajinan uniknya seperti batik bambu,
kerajinan dari bambu, batik tulis, kronjot / krondho, kandang ayam, batik, arang bathok dan furnitur. Hiburan dan pertunjukan tradisional untuk
menarik wisatawan juga terus dikembangkan, desa ini memiliki paket seni budaya seperti reok, jatilan anak, kerawitan dan sholawatan. Desa
ini juga memiliki fasilitas homestay yang menyediakan 17 rumah dengan 21 kamar.

Seiring dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, maka akan diikuti dengan berbagai bentuk modernisasi seperti perluasan
lingkungan binaan, penambahan jumlah kamar yang digunakan sebagai homestay, dan terlebih lagi akan terjadi perubahan kualitas ruangan dari
bentuknya. , struktur, dan makna ruang menurut persepsi publik. Persepsi wisatawan yang berminat berwisata di pedesaan mungkin berbeda dengan
persepsi masyarakat setempat. Berdasarkan Purwaningsih, 2014 menunjukkan bahwa penelitian sebelumnya dalam pemberdayaan masyarakat
untuk menjaga kelestarian lingkungan di desa wisata difokuskan pada perencanaan dan diawali dengan motivasi untuk membangun desa tersebut,
namun lebih dari itu juga harus memiliki motivasi untuk menjaga kelestarian lingkungan desa wisata. keberlanjutan desa . Pada penelitian
sebelumnya di Desa Pentingsari, Sleman, Yogyakarta, sebenarnya budaya asli yang ada di desa tersebut menjadi daya tarik tersendiri (Pudianti,
2013), sedangkan masyarakat atas inisiatif sendiri.
Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108 99

melalui kelompok, ubah desa mereka sesuai dengan persepsi mereka sendiri. Jelas bahwa masyarakat pedesaan perlu diberdayakan secara intensif
untuk melestarikan lingkungan pedesaannya agar tetap menarik bagi wisatawan namun tetap berkembang secara ekonomi.

Desa adalah lingkungan binaan yang berfungsi sebagai kesatuan budaya yang mengandung unsur-unsur manusia, alam, dan perwujudan
budaya fisik termasuk arsitektur, oleh karena itu pemahamannya harus mengikuti kompleksitas unsur-unsur tersebut. Pemahaman bahasa
alamiah, manusia dan arsitektur sebagai salah satu cara untuk menggali potensi pengetahuan indegeneus dan sebagai wujud kearifan lokal yang
terbukti mampu menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat secara harmonis, langgeng dan berkelanjutan. Sebagai sebuah konsep dengan
berbagai bentuk penataan ruang, kearifan lokal suatu masyarakat akan terus tumbuh dalam kesadaran masyarakat. (Wikantiyoso,

2009). Hal ini mempengaruhi persepsi masyarakat sebagai subjek untuk memelihara lingkungannya yang bertindak sebagai objek. Lingkungan
memiliki ciri khas yang dapat dipahami oleh masyarakat sekitar. Terakhir, keunikan ini diterjemahkan ke dalam bahasa alamiah yang dapat
dipahami oleh manusia untuk terus dipertahankan sehingga komunikasi manusia sebagai aktor tidak akan menyimpang dari kapasitas lingkungan
sebagai wadahnya. Pemahaman proses tersebut mampu melihat konteks holistik kearifan lokal, sehingga keunikan lokal, bijaksana, penuh
kearifan dan nilai yang baik dapat dilekatkan dan diikuti oleh masyarakat (Antariksa, 2009).

Kebijaksanaan secara etimologis berarti kemampuan seseorang untuk menggunakan pikiran dan inderanya untuk menanggapi suatu kejadian, objek, atau situasi.
Sedangkan lokal menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi terjadi. Kearifan lokal adalah perilaku positif manusia dalam berinteraksi dengan alam dan
lingkungan lokalnya yang bersumber dari nilai-nilai adat istiadat keagamaan, nasehat nenek moyang atau budaya lokal, yang secara alamiah dibangun dalam suatu
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan lokalnya. Tingkah laku umum dan penerapan umum pada masyarakat diwariskan dan dikembangkan menjadi
nilai-nilai yang dianut secara kaku disebut budaya. Pengertian lain dari kearifan lokal adalah usaha manusia dengan memanfaatkan daya kognitifnya untuk bertindak
dan berperilaku terhadap suatu objek atau keadaan yang terjadi pada ruang tertentu.

Secara umum kearifan lokal muncul melalui proses internal dan diwariskan dalam waktu yang lama sebagai hasil interaksi antara manusia dengan
lingkungannya. Proses evolusi yang panjang ini akan bermuara pada munculnya sistem nilai yang mengkristal dalam bentuk common law, kepercayaan dan
budaya lokal. Dengan demikian, pada hakikatnya kearifan lokal merupakan norma yang dianut dalam masyarakat yang diyakini secara beriman dan menjadi
acuan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, wajar jika Geertz (1973) mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat penting bagi
martabat manusia di masyarakat. (Ernawi, 2009). Pendekatan partisipatif atau community based development merupakan salah satu strategi yang dapat
menjembatani kepentingan pembangunan yang bertumpu pada paradigma ekonomi dengan pembangunan berkelanjutan (socio-ecological based).
(Wikantiyoso, 2009).

Kawasan perdesaan sebagai lingkungan binaan manusia, merupakan suatu bentuk tatanan kehidupan yang mengandung unsur fisik
spasial sebagai ruang kegiatan dan unsur non fisik berupa nilai-nilai serta akumulasi kegiatan masyarakat. Menurut Bintarto (1977) ada tiga
unsur pembentuk pedesaan yaitu: wilayah / wilayah, penduduk dan sistem kehidupan. Perkembangan masyarakat pedesaan yang dinamis
akan tercermin dalam bentukan fisik dan perilaku sosial budayanya. Dengan demikian membahas pembangunan pedesaan tidak lepas dari
perspektif sejarah desa dan aspek-aspeknya, p (fisik dan non fisik) yang melatarbelakanginya. Morfologi keunikan fisik desa dalam proses
pembangunan merupakan hal yang penting untuk dicermati secara utuh dalam kehidupan masyarakat. Pemahaman fisik, topografi,
geografis, Struktur fisik lingkungan, tata kelola dalam bentang alam tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan aspek non fisik (kegiatan
masyarakat, nilai filosofis, sosial budaya dan politik). (Ernawi, 2009)

Salah satu filosofi dasar yang sarat dengan kearifan lokal Kerajaan Mataram sebagai cikal bakal kehidupan masyarakat Yogyakarta
adalah “hamemayu hayuning bawana”. Secara harfiah, filosofi ini memiliki arti “menciptakan dunia yang indah”. Hal ini juga dapat diartikan
sebagai pembangunan yang ramah lingkungan, yang mengutamakan pelestarian aset alam dan budaya. Hal ini diperlukan, karena jika
pembangunan daerah tidak dapat dikelola maka akan terjadi kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan di bumi, termasuk manusia.
Oleh karena itu, pembangunan ramah lingkungan juga bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan. “Hamemayu” dapat
diartikan sebagai tameng pelindung dari segala hal yang dapat mengganggu keselamatan atau menimbulkan ketidaknyamanan akibat dari
segala hal. Sedangkan yang dilindungi atau “hayuning bawono” adalah “rahayuning jagad” atau keselamatan dan kelestarian seluruh dunia.
100 Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108

Berdasarkan kondisi tersebut, maka permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah kearifan lokal yang menjadi dasar pelestarian dalam
pengembangan pariwisata pedesaan. Hasil dari penulisan ini merupakan wujud pemanfaatan kearifan lokal yang menjadi ciri khas desa wisata agar
berkelanjutan dengan lingkungan. Hasil ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata pedesaan di Indonesia dengan basis pelestarian kearifan
lokal.

2. Partisipasi Penelitian Tindakan sebagai metode utama

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Partisipatif dengan perspektif pelestarian lingkungan. Jenis penelitian ini menekankan pada
pelibatan sasaran sebagai subjek aktif, menjadikan pengalamannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam penelitian, menemukan masalah,
dan diarahkan untuk menyelesaikan masalah dengan menyasar pada konteks pemberdayaan subjek penelitian. Untuk mencapai hal tersebut, kegiatan
penelitian dan tindakan dilebur menjadi satu dan dilakukan terus menerus dan saling melengkapi untuk mencari solusi atas subjek penelitian. Oleh
karena itu, metode penelitian tindakan partisipatif identik dengan penelitian pemberdayaan (Mikkelsen, 2001). Untuk mencapai tujuan penelitian,
penggunaan metode penelitian tindakan partisipatif sebagai fokus perlu didukung dengan metode lain seperti observasi, wawancara mendalam, focus
group discussion (FGD).

Proses diskusi dilakukan melalui proses penelitian yang menitikberatkan pada upaya menemukan unsur kearifan lokal sebagai salah satu hal
penting untuk mengembangkan keberlanjutan desa wisata. Secara skematis pola pikir penelitian dapat diilustrasikan dengan skema di bawah ini.

Gambar 2. Diagram skema penelitian

3. Lokasi, gambaran desa wisata pedesaan

Tempat wisata alam dan desa wisata kalibiru merupakan tempat wisata yang terletak di waduk sermo yang merupakan satu-satunya waduk
yang ada di yogyakarta. Wisata alam dan desa wisata Kalibiru merupakan perpaduan antara konsep wisata alam dengan konsep desa wisata.
Awalnya hanya ada wisata alam kemudian berkembang seiring dengan bertambahnya pengunjung. Perkembangan ini penting, mengingat
banyaknya permintaan dan permintaan dari beberapa pihak wisata lainnya, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pengunjung akan fasilitas
yang menawarkan budaya lokal dan kehidupan lokal karena belum ditemukan dari Wisata Alam.

Desa Wisata Lopati memiliki luas 36 hektar yang merupakan dusun yang terdiri dari 3 (tiga) wilayah kecil. Seperti halnya di daerah yang dekat dengan pantai pada

umumnya, Desa Lopati beriklim tropis dengan kelembaban rendah dan tanah berpasir bercampur mengakibatkan buruknya pembangunan sektor pertanian, sehingga mata

pencaharian penduduk lokalnya adalah kerajinan dan perdagangan.


Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108 101

4. Wisata Pedesaan, sebagai objek wisata di desa

Tempat wisata alam dan desa wisata di Kalibiru berada dalam satu kawasan yaitu dalam kawasan hutan negara. Kegiatan desa wisata berada di
kawasan wisata alam yang didalamnya sudah terdapat enam Cottage Inn yang terbuat dari kayu dengan kamar mandi didalamnya. Pondok dapat
menampung hingga sepuluh orang per pondok. Kawasan wisata alam ini memiliki dua paviliun dengan pekarangan yang luas, mushola, warung milik
warga, kantor dan pos jaga milik pengelola. Secara umum gambaran objek wisata di desa Kalibiru dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

( Sebuah) (b)

Gambar 3. Objek Wisata Pemandangan Alam dengan Latar Hutan Waduk Sermo Keunikan Kalibiru

(a) pos pengamatan pohon dan (b) Pemandangan alam lereng bukit (Dokumentasi penelitian. 2015)

Secara umum tempat wisata di Desa Lopati merupakan tempat wisata industri kerajinan dan rumah tangga, oleh karena itu menurut jenisnya (profil desa wisata Lopati, 2014)
dibedakan menjadi:

Daya tarik industri kerajinan: batik bambu, krondo keranjang bambu, kandang ayam, suap, perabot tradisional, dan topi tradisional yang
disebut caping.
Daya tarik industri kuliner: “bakpia” kue kacang hijau tradisional, “geplak” jajanan kelapa manis tradisional, tempe, tahu, mie tradisional
panggilan “mie letek”, telur asin, roti dan kue, serta bumbu dapur. Atraksi budaya: pertunjukan tradisional seperti “jathilan dan reyog”,
pertunjukan keagamaan tradisional “slawatan” dan wayang kulit.

Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan tempat wisata terlihat dari partisipasi mereka untuk mengembangkan usahanya menjadi bagian dari paket
wisata. Gambaran perkembangan lahan dan perumahan seperti terlihat pada gambar berikut.

(Sebuah) (b) (c) (d)

Gambar 4. Kerajinan tempat wisata (a) keranjang bambu krondo (b) industri bakpia

(c) kerajinan bambu batik dan (d) tempe dari kedelai. (Dokumentasi penelitian. 2015)

5. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata pedesaan melalui kearifan lokal

Keberadaan tempat wisata alam dan desa wisata di Kalibiru tidak lepas dari keberadaan hutan rakyat yang dikelola oleh Kelompok Tani
Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) “Mandiri” dalam proses yang panjang. Kalibiru
102 Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108

Desa berubah menjadi wisata alam dan kemudian berkembang dengan (/ menjadi) desa wisata. Sebelumnya, hal ini berawal dari kemauan
masyarakat untuk memanfaatkan hutan dengan baik tanpa merusaknya dengan melakukan illegal logging. Puncak kerusakan hutan terjadi antara
tahun 1997-2000. Itu terjadi pada krisis global ketika tidak ada atau kurang pengawasan regulasi pemerintah atas sumber daya hutan. Kemudian
banyak pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan keadaan dengan menebang pohon dan menyisakan sebagian kecil pohon. ( wawancara
dengan Pak Marsono, ketua kelompok tani HKM Mandiri, Februari 2015)

Status Hutan Lindung yang melarang penebangan pohon menyebabkan masyarakat setempat secara kreatif berinisiatif dalam memanfaatkan
hutan secara hati-hati dengan tidak merusak hutan. Hal ini memicu munculnya ide pemanfaatan hutan sebagai jasa lingkungan yang akhirnya menjadi
prioritas kelompok tani HKm Mandiri. Pada tanggal 14 th Februari
2008, Wisata Alam Kalibiru secara resmi dikelola oleh Kelompok Tani HKm Mandiri.
Desa sejak dulu tidak hanya dipahami sebagai pemerintahan desa, tetapi sebagai negara yang juga termasuk wilayah, masyarakat dan diakui
oleh pihak luar, dalam hal ini bisa negara. Desa biasanya memiliki “wewengkon” atau wilayah milik desa yang dapat dikelola dengan baik sebagai
sumber pendapatan ekonomi, pelestarian dan 'kedaulatan'. “Wewengkon” adalah istilah untuk menyatakan hutan atau tanah milik desa - atau
sering disebut tanah “ulayat” atau tanah adat yang terletak di luar Jawa. (Hardiyanto, 2003). Izin sementara untuk mengelola hutan
kemasyarakatan telah diserahkan dan berhasil melegakan masyarakat. Masyarakat akan lebih menyukai hutan dengan melibatkan mereka dalam
memelihara dan mengelola hutan. Bahkan, Izin ini juga dimaknai sebagai permulaan untuk membuktikan apa yang sudah dibicarakan
sebelumnya, bahwa akan lebih baik jika masyarakat dipercaya untuk mengelola hutan. Tanggung jawab ini tidak mudah, terutama bagi
orang-orang yang sosialis dan praktis hanya bertumpu pada indra sosialnya yaitu kebersamaan, semangat dan rejeki yang sama dengan orang
yang akan lebih dulu menderita akibat perusakan hutan. Aset material dan fisik, seperti pendirian lembaga hukum, pembuatan dan pembelian
benih, pengolahan fisik lahan, peningkatan kapasitas, sedangkan semua dilakukan dengan cara gotong royong dan dibagi rata, tetap perlu
difasilitasi oleh pihak lain terutama pemerintah. Karena itu, Sekarang tidak ada yang bisa memaksa masyarakat untuk mengikuti proyek atau
program di wilayah yang mereka kelola tanpa harus bernegosiasi dengan mereka. ( wawancara dengan pimpinan rombongan HKm Tani Mandiri,
Bapak Sumardi, 2015). Partisipasi masyarakat terlihat pada pengelolaan wisata otonom di Kalibiru. Keberadaan kelompok desa wisata yang
dikoordinasikan oleh penduduknya sendiri seringkali membawa keberhasilan dalam pelestarian lingkungan. Partisipasi juga ditunjukkan dalam
bentuk penyediaan sarana dan prasarana. Masyarakat melakukan koordinasi terkait pengamanan lingkungan dengan melakukan pengawasan di
suatu wilayah. Petugas yang tergabung dalam “marshall” (istilah pemandu dan pengawas lapangan) melakukan shift pengamanan untuk
memantau kawasan hutan guna menjaga keberadaannya. Gambar pembagian wilayah, koordinasi, dan aksesibilitas pengunjung dapat dilihat
pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5. Peta jalur wisata dan pengaturan zonasi desa wisata Kalibiru (Dokumentasi penelitian. 2015)
Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108 103

Bentuk partisipasi masyarakat juga terlihat dari inisiatif mereka dalam merancang dan mengembangkan kawasan wisata. Masyarakat juga
melakukan pengelolaan lahan secara gotong royong seperti: perkuatan terasering dengan batu, penanaman rumput, dan fodderbank; pembagian
dan penataan batas tanah yang menjadi bagian dari kelompok; serta pembuatan jalur inspeksi (jalan setapak seperti pada gambar 5) yang
sebagian telah dikembangkan menjadi jalur atraksi alam. (Taufiqurrohman, 2014)

6. Pengembangan lahan hunian sebagai bentuk partisipasi masyarakat

Partisipasi masyarakat Desa Lopati dalam kegiatan pariwisata terlihat dari aspek pengelolaan desa wisata oleh 20 orang peserta
sebagai panitia desa wisata. Sedangkan dari aspek pengembangan industri, terdapat 17 jenis usaha dengan 47 pengusaha, dan 34 orang
yang turut serta menyediakan homestay bagi wisatawan. Sebagian besar pemilik homestay ini memiliki usaha lain dan hanya dua yang tidak
memiliki usaha. Secara umum, peran warga desa di Lopati ditunjukkan pada skema berikut.

- Jumlah peserta: 49
- Jumlah pengusaha industri
rumah tangga: 15
- Jumlah rumah tangga dan pengusaha
industri homestay Industri rumah tangga Homestay
pengusaha pengusaha
pemilik: 32
- Jumlah pemilik homestay: 2 1155 2
3322
pengusaha industri
dan homestay

(Sebuah) (b)
Gambar 6. Jumlah pengusaha industri kerajinan rumah tangga dan homestay sebagai gambaran gambaran partisipasi masyarakat (a)
pengusaha dan pemilik homestay (b) bagan hubungan pengusaha dan pemilik homestay.

Bentuk pelibatan masyarakat dalam pengembangan desa wisata dapat dilihat pada identifikasi fisik hunian berikut ini.

Tabel 1. Klasifikasi Sampel Rumah Tangga Industri dan Homestay.

Nama pemilik Jenis Industri Rumah Lokasi

Ibu Sri Indarti Industri susu Rt 92


Pak Imam Muhadi Pertanian Rt 92
Pak Japon Industri “bakpia” Rt 92
Pak Citosikin Industri "kokis" Rt 93
Ibu Sutiyem Industri “Peyek” dan minyak kelapa Rt 93
Pak Purwo Sugianto Industri “tempe” Rt 95
Pak Suwarji Kerajinan bambu Rt 95
Pak Pairin Kerajinan batik bambu Rt 95
Sumber: Pemerintahan desa, 2014

Dari sampel responden, secara fisik, pembangunan hunian sebagai tanggapan atas keterlibatannya dapat dikategorikan menjadi 4 jenis:

Pengembangan kawasan belakang: untuk industri susu, sapi, minyak goreng kelapa-peyek. Pengembangan
area samping: untuk industri tempe koro.
Pengembangan area samping belakang: untuk industri bakpia.
Pengembangan kawasan depan: untuk industri bambu, batik bambu dan roti kokis

Pengembangan kawasan industri tidak terikat pada jenis industri, kecuali susu dan ternak yang menempati kembali
104 Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108

area yang berkaitan dengan limbah ternak dan susu. Adapun industri lainnya terutama disebabkan ketersediaan lahan yang dimiliki warga untuk
mengembangkan kawasan industri rumah tangga. Secara rinci model penggunaan lahan yang dimanfaatkan masyarakat untuk pengembangan usaha di
bidang kerajinan dan industri rumah tangga dapat dijabarkan melalui empat model pada tabel berikut.

Tabel 2. Rumah Sampel Klasifikasi Industri dan Homestay yang Diteliti. Denah rumah
Diagram skematik Deskripsi

Rumah Ny. Sri Industri pengolahan susu


Pengembangan ruang untuk bisnis
adalah area belakang dan atas.

Area pengembangan homestay di depan


rumah dengan penggunaan ruang bersama
adalah ruang keluarga. Pisahkan akses
antara kawasan industri dan kawasan
hunian untuk homestay dengan pemiliknya.

Fasilitas:
2 kamar tidur
1 toilet
1 ruang tamu.

Rumah Tuan Japon


Industri pengolahan bakpia.
Pengembangan ruang usaha di area
belakang dan samping rumah.
Pengembangan homestay
bagian depan dan tengah dalam rumah
(pergantian fungsi) dengan
menggabungkan ruang tamu serta ruang
bersama.
Akses terpisah ke industri dan
homestay dengan hunian
pemilik.

Fasilitas:
2 kamar tidur
1 toilet
1 ruang tamu.
Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108 105

Tuan Suwarjo Industri kerajinan keroncong.


Pengembangan ruang usaha di area
depan rumah. Pembangunan
homestay adalah
di samping rumah (ubah fungsi)
dengan menggabungkan ruang
tamu serta a
ruang umum. Akses terpisah ke industri
dan hunian pemilik homestay.

Fasilitas:
2 kamar tidur
1 toilet
1 ruang tamu

Pengolahan tempe “Koro”


Rumah Pak Puroso industri. Perkembangan dari
ruang usaha di area samping sesuai
dengan sisa lahan yang tersedia.
Pembangunan homestay berada di bagian
depan dan tengah dalam rumah
(pergantian fungsi) dengan
menggabungkan ruang tamu serta ruang
bersama. Akses terpisah ke industri dan
homestay - pemilik tempat tinggal.

Fasilitas:
2 kamar tidur
1 toilet

Sumber: pemetaan dan identifikasi, 2015

Dari tabel analisis terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan perumahan sebagai bentuk pelibatan masyarakat adalah
sebagai berikut:
Jenis usaha / industri rumah tangga Ketersediaan lahan
kosong milik warga
Hal ini menunjukkan unsur kebersamaan untuk mencapai kemajuan, dalam hal ini diwakili oleh semangat gotong royong yang menjadi
alasan berani yang mendorong partisipasi warga.

7. Kearifan lokal dalam pengembangan pariwisata pedesaan

Praktis kearifan lokal merupakan upaya masyarakat dalam melestarikan sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara terus menerus untuk memberi
makan masyarakat dan menjaga keseimbangan lingkungan. (hadiwijoyo, 2012) Pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal melalui peran serta masyarakat
dalam pembangunan desa wisata menjadi faktor penting terutama dalam mengarahkan pembangunan yang berkeadilan dan memenuhi kebutuhan banyak
masyarakat.
Pengembangan desa wisata yang berbasis pelestarian lingkungan tidak lepas dari unsur pemberdayaan. Keberhasilan pembangunan
dapat diukur melalui tiga aspek utama (Nugroho, 2011) yaitu aspek ekonomi untuk mengukur nilai tambahnya dalam perekonomian
masyarakat, aspek sosial untuk mengukur
106 Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108

masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan desa wisata, dan aspek lingkungan untuk mengukur dampak pariwisata dalam
perspektif pelestarian lingkungan. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Campbell, (1977) Jika suatu pariwisata akan difokuskan pada
aspek keberlanjutan, maka aspek yang harus diperhatikan lebih lanjut adalah terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Berdasarkan ketiga aspek tersebut, maka dibuat rasio aspek pendukung pengembangan pariwisata antara Lopati dan Kalibiru untuk
menyimpulkan peran kearifan lokal dalam pengembangan desa wisata. Perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Perbandingan faktor-faktor yang mendukung perkembangan pariwisata

Faktor Pendukung Lopati Kalibiru

Lingkungan Hidup Alam pedesaan tradisional Hutan dan lanskap

Lingkungan Limbah rumah tangga Pelestarian dan


Konservasi industri manajemen lingkungan
pengawasan

Ekonomis Mata Pencaharian Masyarakat Pengrajin - petani Petani

Tempat wisata Wisata pendidikan Wisata Alam


Sosial masyarakat Pengembangan perumahan Pemeliharaan
partisipasi - industri dalam negeri lingkungan alam
hutan
Sumber: identifikasi, 2015

Partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan menghadapi dampak pembangunan desa wisata dapat dipahami sebagai wujud kearifan
lokal masyarakat desa untuk bertahan hidup. Identifikasi dari tiga aspek berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa semangat gotong royong
dan menjaga wawengkon mewujudkan falsafah “Hamamayu Hayuning Bawana” dan menjadi dasar untuk terlibat dalam kebersamaan masyarakat
untuk maju lebih jauh. Secara skematis, kearifan lokal inilah yang menjadi induk yang mendasari semangat kebersamaan yang menjadi ciri khas
partisipasi masyarakat untuk mengembangkan desa wisata. Hal tersebut dapat dipahami melalui skema berikut:

kearifan lokal “hamamayu


hayuning bawana ” Ekonomis

Lingkungan Hidup Sosial

Komunitas lokal

Gambar 7. Aspek keterkaitan pengembangan desa wisata dengan partisipasi masyarakat dalam melestarikan kearifan lokal

Model tersebut dapat menggambarkan tiga aspek keterkaitan pembangunan dalam ruang lingkup partisipasi masyarakat berbasis kearifan lokal.
Bentuk kearifan lokal dapat dideskripsikan melalui partisipasi masyarakat sebagai berikut:

Konservasi alam - kelompok Marshall (model statis)

Bentuk-bentuk pelestarian alam ini ditinjau dari sifatnya lebih statis, dimana obyek yang dilindungi dan dilestarikan tetap dan kegiatan
yang dilakukan adalah menjaga kelestarian lingkungan. Dalam konteks pembangunan pariwisata, hal ini dapat menjadi faktor jera, apalagi
jika sangat bertumpu pada wisata alam. masyarakat perlu berperan serta secara aktif mengembangkan variasi objek wisata agar lebih
menarik dan memperoleh nilai kekhasan. Wisata lintas alam, outbond dan atraksi ketangkasan menjadi alternatif pengembangan. Selain itu,
pengelolaan hutan dapat menjadi daya tarik tersendiri yang memiliki aspek edukatif sehingga wisatawan dapat belajar
Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108 107

langsung tentang konsep pelestarian alam yang dilakukan. Pengolahan hasil hutan yang sederhana seperti jamu, kerajinan dan makanan tradisional
dapat dikembangkan untuk memperpanjang masa tinggal wisatawan karena kegiatan ini dapat dikemas menjadi atraksi live in yang menarik.

Pengelolaan lingkungan - Kelompok industri rumah tangga (model dinamis)

Bentuk pelestarian lingkungan ini, ditinjau dari karakter kegiatannya lebih dinamis, dimana objek yang dilestarikan akan selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan wisata alam yang terjadi di desa tersebut. Dalam konteks pariwisata edukatif sangat kritis karena
apabila industri berkembang tetapi tidak diikuti dengan pengelolaan lingkungan yang baik dapat mengakibatkan keengganan wisatawan untuk
berkunjung. Masyarakat perlu berperan aktif dalam mengembangkan pengelolaan sampah pasca industri sendiri. Pengelolaan sampah
terpadu dapat menjadi salah satu alternatif atraksi pengemasan, konsep “one stop industry” dapat diterapkan agar wisatawan dapat
mempelajari proses produksi mulai dari bahan baku menjadi produk yang siap jual yang dilanjutkan dengan pengelolaan lingkungan yang
terintegrasi.

Alam dan lingkungan merupakan objek utama aset dasar pembangunan pariwisata, baik sebagai daya tarik maupun sarana penunjang
pariwisata. Kondisi alam dan lingkungan yang berkelanjutan merupakan aset yang harus dijaga untuk menjaga keberlangsungan pariwisata.
Masyarakat lokal berperan sebagai subyek, dimana unsur budaya memegang peranan penting. Motivasi dan partisipasi mereka menjadi
faktor pendorong yang dapat menjaga nilai keunikan pariwisata.

8. Kesimpulan Akhir

Kearifan lokal sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan dalam pariwisata pedesaan yang dapat disimpulkan dari tulisan ini adalah partisipasi masyarakat.
Berdasarkan pengamatan dengan membandingkan kedua desa tersebut maka dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam mengembangkan pariwisata
dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat melalui:
Partisipasi masyarakat untuk mengemas variasi atraksi, seperti wisata edukasi yang mengajarkan ketrampilan membuat industri rumah tangga
sederhana sesuai dengan jenis usaha yang dimiliki.
Peran serta masyarakat untuk mengembangkan sendiri sarana dan prasarana untuk menunjang daya tarik wisata industri kerajinan pendidikan agar lebih
diminati oleh wisatawan.
Keterlibatan masyarakat untuk ikut serta dalam kelompok pemelihara / “marshall” untuk menjaga kelestarian lahan “wawengkon” dan menjaganya agar
tetap lestari.
Keterlibatan masyarakat dalam mengelola sampah dari kegiatan pariwisata untuk menghindari pencemaran lingkungan dan menjaga kebersihan lingkungan
sehingga mendorong wisatawan untuk tinggal lebih lama.
Faktor pendorong untuk terus mengembangkan komunitas adalah semangat komunitas untuk maju bersama. Hal ini sejalan dengan
semangat gotong royong dengan prinsip kearifan lokal “Hamemayu Hayunung Bawana” yang menjadi dasar kehidupan sosial masyarakat
pedesaan. Hal ini terlihat dari adanya motivasi masyarakat untuk terus berkembang dengan cara memperbaiki kondisi yang ada melalui
inovasi dan keterbukaan menerima masukan yang sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu menjadi desa wisata yang berkelanjutan.

Pengakuan

Makalah ini berdasarkan hasil penelitian hibah kompetitif dari Dikti bertajuk “Model Pemberdayaan Desa Wisata Berbasis Pelestarian
Lingkungan Berkelanjutan Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta” (Model Pelestarian
Lingkungan Berkelanjutan Berbasis Desa Wisata Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Yogyakarta) Tahun kedua diraih
oleh Pusat Penelitian Pengusaha (PUSWIRA) Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan pendanaan dari Dikti. Apresiasi setinggi-tingginya
kepada seluruh anggota tim peneliti hibah penelitian kompetitif dari Pusat Penelitian Wirausaha (PUSWIRA) Universitas Atma Jaya
Yogyakarta

Lampiran

B. Bakpia, kue tradisional manis yang terbuat dari tepung kacang hijau
108 Vincentia Reni Vitasurya / Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku 216 (2016) 97 - 108

G. Geplak, jajanan tradisional manis dari gotongroyong parut kelapa,


semacam gotong royong
H. Hamemayu Hayuning Bawana, filosofi Jawa yang artinya memperindah bumi
Hamemayu, suatu tindakan untuk melindungi tameng dari segala sesuatu yang dapat mengganggu keselamatan atau ketidaknyamanan akibat dari apapun.

Hayuning bawono, sebuah aksi memperindah lingkungan


J. Jathilan, salah satu jenis pertunjukan tari tradisional
K. Kokis, sejenis kue tradisional Koro,
sejenis kacang-kacangan
M. Marshall, sekelompok masyarakat lokal yang menjaga lingkungan Mie lethek, mie
tradisional yang terbuat dari tepung singkong
P. Peyek, jajanan tradisional yang terbuat dari tepung yang digoreng dengan kacang

R. Rahayuning jagad, Filosofi Jawa Yang Berarti Keselamatan dan Kelestarian Seluruh Dunia Reyog, Pertunjukan Tari
Tradisional
S. Slawatan, pertunjukan keagamaan tradisional
U. Ulayat, tanah milik adat
W. Wawengkon, Tanah milik Adat

Referensi

Antariksa, Sudikno. (2009) “Lokal Kearifan dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan” di Wikantiyoso, Respati. (2009). “Prosiding
Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk mewujudkan Arsitektur Kota yang berkelanjutan ”. Penerbit Grup Konservasi Arsitektur dan Kota, Universitas
Merdeka. Malang. ISBN 979-979-9488-43-5
Bintarto. (1977). "Interaksi Desa - Kota". Penerbit Ghalia. Jakarta, Indonesia
Campbell, C. Lee. (1997). “Prinsip pembangunan berkelanjutan”. Diedit oleh F. Douglas Muschett, Fla .: St. Lucie Press.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ,. (2012). Statistik Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pariwisata
provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Ernawi, Imam Santoso. (2009). “Kearifan Lokal dalam perspektif penataan ruang”. Di Wikantiyoso, Respati. (2009). “Prosiding Kearifan Lokal
dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk mewujudkan Arsitektur Kota yang berkelanjutan ”. Penerbit Grup Konservasi Arsitektur dan Kota, Universitas Merdeka.
Malang. ISBN 979-979-9488-43-5
Geertz, Clifford. (1973). " The Interpretation of Cultures ”. New York: Basic Books, Inc., Publishers. Gunawan, MP. 1997.
“Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan”. Bandung: Penerbit ITB.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. (2012). “Perencanaan Pariwisata Perdesaan Berbasis Masyarakat (Sebuah Pendekatan Konsep)”. Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta - Indonesia.
Hardiyanto, Gladi. (2003). “Membumikan Hutan Desa ". Artikel pada SIKLUS Edisi Khusus Februari 2003.
Mikkelsen, Britha. (2001). “Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan: Sebuah Buku Penganggan bagi Para Praktisi
Lapangan ”. Edisi 2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (terjemahan).
Nugraha, Iwan. (2011). “Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan”. Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Pudianti, Anna. (2013). “Budaya Sebagai Dasar Konsep Lingkungan Berkelanjutan Pada Desa Wisata Pentingsari, Sleman, DIY”. Penelitian
Artikel, Seminar Internal Calon PhD, Universitas Diponegoro. Tidak diterbitkan.
Purwaningsih, Anna, 2014, Model Pemberdayaan Desa Wisata Berbasis Pelestarian Lingkungan Berkelanjutan Dalam Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta, Laporan Akhir Hibah Bersaing DIKTI 2014, tidak diterbitkan
Taufiqurrohman, 2014, ”Implementasi Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (Studi Kasus Hutan Kemasyarakatan di Dusun Kalibiru, Kulon Progo) ".
Skripsi Program Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Profil desa Lopati. (2014). “Pemerintahan desa”.
Desa Lopati.
Wagiran. (2012). Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana. Dalam
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun ke 2, No. 3, Oktober 2012. ISSN: 2089-5003.
Wikantiyoso, Respati. (2009). “Prosiding Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk mewujudkan Arsitektur Kota yang
berkelanjutan ”. Penerbit Grup Konservasi Arsitektur dan Kota, Universitas Merdeka Malang. . ISBN 979-979-9488-43-5 Sumber Lain

Wawancara mendalam dengan pimpinan rombongan HKm Tani Mandiri, Bapak Sumardi, 2015
Wawancara mendalam dengan Pak Marsono, ketua kelompok tani HKMMandiri, pada Februari 2015

Anda mungkin juga menyukai