Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Masa Balita adalah usia dari lahir s/d umur sebelum 5 tahun

merupakan usia emas atau “golden period” pertumbuhan dan perkembangan

anak. Di Indonesia jumlah anak usia balita mencapai 23,7 juta, mencapai

10,4% dari total penduduk Indonesia. (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

2018, Jumlah balita di Provinsi Kepulauan Riau sebanyak 217.246 balita atau

0,91% dari total balita di Indonesia. Jumlah balita dengan jenis kelamin

perempuan di Provinsi Kepulauan riau sebanyak 106.683 balita dan jumlah

balita dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 110.563 balita. (Kemenkes RI,

2018).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Batam 2018, Jumlah

balita di Kota Batam sebanyak 149.517 balita atau 11.65% dari jumlah

penduduk Kota Batam. Jumlah balita di Kota Batam menurut jenis kelamin

yaitu laki-laki sebanyak 75.935 balita dan jenis kelamin perempuan sebanyak

73.582 balita. (Dinas Kesehatan Kota Batam, 2018).

Menurut World Health Organization, Pada tahun 2015 kejadian diare

menyebabkan sekitar 688 juta orang sakit dan 499.000 kematian di seluruh

dunia tejadi pada anak-anak dibawah 5 tahun. Data WHO 2017 menyatakan,

hampir 1,7 miliar kasus diare terjadi pada anak dengan angka kematian

sekitar 525.000 pada anak balita tiap tahunnya. (WHO, 2017).


Penyakit Diare merupakan penyakit endemis potensial Kejadian Luar

Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian di Indonesia. Target

cakupan pelayanan penderita Diare Balita di Indonesia yang datang ke sarana

kesehatan adalah 20% dari perkiraan jumlah penderita Diare Balita. Tahun

2018 jumlah penderita diare balita di Indonesia yang dilayani di sarana

kesehatan sebanyak 1.637.708 atau 40,90% dari perkiraan diare di sarana

kesehatan. (Kemenkes RI, 2018).

Menurut Kemenkes RI 2018, didapatkan perkiraan kasus diare pada

balita di sarana kesehatan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2018

sebanyak 36.628 kasus. Namun, jumlah penderita diare pada balita di wilayah

Kepulauan Riau tahun 2018 yang dilayani di sarana kesehatan sebanyak

6.843 atau 18,68% dari perkiraan diare di sarana kesehatan. (Kemenkes RI,

2018).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Batam 2019, jumlah

penderita diare pada balita yang dilayani disarana kesehatan di Kota Batam

sebanyak 4.296 atau 2,87% dari jumlah balita di Kota Batam. Menurut

kategori usia balita kurang dari satu tahun, kasus diare di Kota Batam

mencapai 1.334 balita (31,05%) dan pada usia 1-4 tahun mencapai 2.962

balita (68,95%) dari jumlah penderita diare pada balita di Kota Batam. (Dinas

Kesehatan Kota Batam, 2019).

Data Dinas Kesehatan Kota Batam 2019, menyatakan kasus diare

pada balita terbanyak di Kota Batam dan telah ditangani terdapat di UPT

Puskesmas Baloi Permai tahun 2019 sebanyak 489 kasus atau 11,38% dari
jumlah balita dengan diare di Kota Batam. Kasus diare terbanyak di Kota

Batam selanjutnya terdapat di UPT Puskesmas Botania dengan kasus yang

telah ditangani sebanyak 473 kasus atau 11,01% dari jumlah balita dengan

diare di Kota Batam. (Dinas Kesehatan Kota Batam, 2019).

Menurut Kemenkes RI (2010) Diare adalah suatu kondisi dimana

seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat

berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (tiga kali atau lebih) dalam satu

hari. Diare merupakan penyakit berbasis lingkungan yang disebabkan oleh

infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa, dan

penularannya secara fekal-oral. (Sumampou, 2017).

Faktor risiko terjadinya diare menurut Pangesti, 2016 yaitu faktor

perilaku yang berupa tidak memberikan ASI Eksklusif, memberikan makanan

pendamping Asi terlalu dini dan cara pengelolahan yang tidak tepat,

menggunakan botol susu, tidak menerapkan kebiasaan perilaku hidup bersih

dan sehat, penyimpanan makanan tidak higienis. Faktor lingkungan berupa

ketersediaan air bersih yang tidak memadai dan kebersihan lingkungan dan

pribadi yang buruk. (Pangesti, 2016).

Bertambahnya usia bayi mengakibatkan bertambah pula kebutuhan

gizinya. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman

yang mengandung zat gizi yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24

bulan, guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI. Pengenalan dan pemberian

MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya,

sesuai dengan kemampuan bayi. (Mufida, 2015).


Pemberian makanan pendamping ASI setelah bayi berusia enam

bulan, akan memberikan perlindungan besar pada bayi dari berbagai macam

penyakit. Hal ini disebabkan sistem imun pada bayi yang berusia kurang dari

enam bulan belum sempurna, sehingga pemberian MP ASI dini (kurang dari

enam bulan) akan memberikan lebih sedikit faktor proteksi pada bayi dan

dapat dengan mudah terserang penyakit. (Nutrisiani, 2010).

Bayi yang mendapatkan MP ASI sebelum berusia enam bulan, lebih

banyak terserang diare, sembelit, batuk-pilek, dan panas dibandingkan bayi

yang hanya mendapat ASI eksklusif dan mendapatkan MP ASI dengan tepat

waktu (usia pemberian MP ASI setelah enam bulan). Namun tidak menutup

kemungkinan juga bahwa bayi atau anak yang usianya lebih dari enam bulan

dan telah diberi makanan pendamping ASI dengan tepat, dapat terserang

diare, sembelit, batuk-pilek, dan panas. Sebab dilihat dari berbagai faktor

seperti frekuensi pemberian makanan pendamping ASI, porsi pemberian

makanan pendamping ASI, jenis makanan pendamping ASI, pengolahan

makanan pendamping ASI dan cara pemberian makanan pendamping ASI

pada bayi ataupun anak sangat berpengaruh besar untuk terserangnya

penyakit diare dan lain-lain. (Nutrisiani, 2010).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti

pada tanggal 02 Maret 2020 di UPT Puskesmas Botania sebagai wilayah

tertinggi kedua dengan kejadian diare di Kota Batam, dengan metode

wawancara pada 10 orang ibu yang memiliki balita berusia 6-24 bulan.

Didapatkan hasil bahwa 7 balita mengalami diare. Dimana 4 orang ibu


menyatakan balita diberikan makanan tidak sesuai dengan usia dan jenis

pemberian MP-ASI. 1 orang ibu menyatakan balita diberikan makanan

pendamping tidak sesuai porsi dan 2 orang ibu menyatakan kurang

memperhatikan balita dalam kebersihan mencuci tangan sebelum makan.

Sedangkan 3 ibu menyatakan balita tidak mengalami diare karena balita

diberikan ASI Eksklusif dan makanan pendamping sesuai dengan usia.

Menurut hasil penelitian Halimah (2016) Berdasarkan hasil analisis uji

Chi square diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan antara makanan

pendamping air susu ibu (MP-ASI) dengan kejadian diare pada anak bayi

dengan р-value 0,030 (<α=0,05). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Ernawati (2018) yang berjudul Hubungan susu

formula dan MP-ASI terhadap kejadian diare pada anak usia 6 bulan sampai 2

tahun di Puskesmas Kelurahan Tanjung Duren Selatan. Hasilnya terdapat

adanya hubungan yang signifikan antara susu formula dan MP-ASI terhadap

kejadian diare pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun dengan nilai p-value =

0,001 dan pemberian susu formula dan MP-ASI memiliki risiko PR = 2,299

kali lebih besar terkena diare.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulistianti (2018) menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara pemberian makanan pendamping asi (MP-

ASI) dini dengan status gizi dan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di

Posyandu balita Wilayah Kelurahan Banjarejo Kota Madiun. Hasil analisa

yang didapatkan untuk status gizi nilai p=0,048 < α = 0,05. Sedangkan hasil

analisa untuk kejadian diare didapatkan nilai p=0,029 < α = 0,05.


Dampak dari pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang

tidak tepat akan mempengaruhi kebutuhan asupan gizinya, meningkatkan

risiko kesakitan terjadi diare, dan kurangnya faktor perlindungan. Pemberian

MP-ASI yang terlambat bisa mengakibatkan kebutuhan gizi anak yang tidak

terpenuhi, pertumbuhan perkembangan lebih lambat dan risiko kekurangan

gizi seperti anemia karena kekurangan zat besi. (Kemenkes RI, 2014).

Kasus diare yang meningkat perlu dikaji lebih mendalam agar upaya

pencegahan penularan dapat dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga

dapat menekan morbiditas akibat diare. Kemudian ditingkatkannya kegiatan

promosi kesehatan tentang diare juga perlu dilakukan upaya penemuan dan

penanganan diare dengan melibatkan kader kesehatan. Pengetahuan dan

keterampilan khususnya mengenai pencegahan dan penanggulangan penyakit

diare yang dimiliki kader serta ketersediaan oralit maka sangat membantu

petugas kesehatan dalam penanganan kasus diare dimasyarakat sehingga

kasus cepat ditangani dan kematian akibat diare dapat dicegah. (Dinas

Kesehatan Kota Batam, 2018).

Anda mungkin juga menyukai