Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Landasan dari teori lokasi adalah ruang. Tanpa ruang maka tidak mungkin ada lokasi. Dalam studi
tentang wilayah, yang dimaksud dengan ruang adalah permukaan bumi baik yang ada diatasnya maupun
yang ada dibawahnya sepanjang manusia awam masih bisa menjangkaunya. Lokasi menggambarkan
posisi pada ruang tersebut (dapat ditentukan bujur dan lintangnya). Studi tentang lokasi adalah melihat
kedekatan atau jauhnya satu kegiatan dengan kegiatan lain dan apa dampaknya atas kegiatan masing-
masing karena lokasi yang berdekatan (berjauhan) tersebut.

Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegitan ekonomi, atau ilmu yang
menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang langka, serta hubungannya dengan atau
pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain baik ekonomi maupun social.
Dalam mempelajari lokasi berbagai kegitan, ahli ekonomi regional atau geografi terlebih dahulu
membuat asumsi bahwa ruang yang dianalisis adalah datar dan kondisinya disemua arah adalah sama.
Salah satu unsur ruang adalah jarak. Jarak menciptakan ‘gangguan’ ketika manusia berhubungan atau
berpegian dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satu hal yang banyak dibahas dalam teori lokasi
adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi kelokasi lainnya.

Walaupun teori yang menyangkut pola lokasi ini tidak berkembang tetapi telah ada sejak awal abad ke-
19. Secara empiris dapat diamati bahwa pusat-pusat pengadaan dan pelayanan barang dan jasa yang
umumnya adalah perkotaan (central places), terdapat tingkat penyelidikan pelayanan yang berbeda-
beda. Pelayanan masing-masing kota untuk tingkat yang berbeda bersifat tumpang tindih, sedangkan
untuk yang sentingkat walaupun tumpang tindih tetapi tidak begitu besar. Keadaan ini bersifat universal
dan dicoba dijelaskan oleh beberapa ahli ekonomi atau geografi yang dirintis oleh Walter Christaller.

1.3 Rumusan Masalah

1. Pengertian teori lokasi.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori Lokasil

Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk melihat dan memperhitungkan pola lokasional
kegiatan ekonomi termasuk industri dengan cara yang konsisten dan logis, dan untuk melihat dan
memperhitungkan bagaimana daerah-daerah kegiatan ekonomi itu saling berhubungan (interrelated).
[1][1]

2.2 Ketergantungan Lokasi

Teori lokasi biaya rendah yang dikembangkan oleh Weber berasumsikan bahwa permintaan adalah
konstan dan tidak dipengaruhi oleh perusahaan yang berdekatan. Dengan demikian, secara implisit teori
ini juga mengasumsikan persaingan bebas tanpa ada kemungkinan timbulnya kekuatan monopoli yang
ditawarkan oleh lokasi perusahaan lain. Namun demikian lokasi biaya minimum perlu menjamin
keuntungan maksimum. Keuntungan dapat saja meningkat bila lokasi perusahaan yang bersangkutan
pindah ke daerah konsentrasi permintaan sekalipun biaya bertambah. Gejala ini disebabkan oleh
penjualan yang meningkat per satuan produk lebih rendah.

Perusahaan yang berdiri sendiri di suatu daerah, dalam batas tertentu, tidak perlu memperhatikan
kebijaksanaan perusahaan lain. Ia bebas menentukan kebijakaannya dalam bidang harga, kualitas,
maupun atribut lain dalam produknya. Tak demikian halnya bila ia berlokasi tak berjauhan dengan
perusahaan lain dan mempunyai daerah pasar diperebutkan dengan perusahaan itu. Dalam hal ini
kebijaksanaan yang diambil dipengaruhi oleh perusahaan lain atau sebaliknya.

Beberapa unsur ketergantungan lokasi telah dikemukakan dalam teori Palander dan Hoover. Teori
ketergantungan lokasi berpangkal tolak dari kesamaan biaya bagi semua perusahaan dan menjual
produknya di pasar yang tesebar secara sepasial.Teori biaya minimum dan ketergantungan lokasi
(Theory Least Cost and Place Interdependence) dikemukakan oleh Melvin Greenhut pada tahun 1956
dalam bukunya Plant Location in Theory and in Practice dan Microeconomics and The Space Economy.
Greenhut berusaha menyatukan teori lokasi biaya minimum dengan teori ketergantungan lokasi yang
mana dalam teori tersebut mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

a. Biaya lokasi yang meliputi biaya angkutan, tenaga dan pengelolaan


b. Faktor lokasi yang berhubungan dengan permintaan, yaitu ketergantungan lokasi dan usaha untuk
menguasai pasar.

c. Faktor yang menurunkan biaya.

d. Faktor yang meningkatkan pendapatan.

e. Faktor pribadi yang berpengaruh terhadap penurunan biaya dan peningkatan pendapatan.

f. Pertimbangan pribadi.

2.3 Sejarah Teori Lokasi

Dalam mempelajari dan menerapkan ilmu perencanaan wilayah, dibutuhkan banyak ilmu dasar yang
harus dikuasai, salah satunya adalah mengenal teori lokasi. Teori lokasi pada umumnya merupakan
suatu gagasan yang mendasari penentuan lokasi suatu objek. Hal ini perlu dipelajari untuk
menempatkan objek tersebut pada lokasi yang tepat dengan mempertimbangkan aspek efisiensi tenaga
manusia dan ekonomi. Dari beberapa teori lokasi yang ada, teori Von Thunen merupakan teori lokasi
klasik yang mempelopori teori penentuan lokasi berdasar segi ekonomi.

Johan Heinrich Von Thunen ialah seorang ahli ekonomi pertanian dari Jerman yang pada tahun 1783-
1850 mengeluarkan teori yang tertuang dalam buku “Der Isolirte Staat”. Teori Von Thunen lebih di kenal
sebagai teori lokasi pertanian. Von Thunen berpendapat bahwa pertanian merupakan komoditi yang
cukup besar di perkotaan. Pertanian merupakan proses pengolahan lahan yang di tanami dengan
tanaman tertentu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kegiatan pertanian meliputi persawahan,
perladangan, perkebunan, dan peternakan. Kegiatan pertanian sudah ada sejak zaman Mesopotamia
sebagai awal berkembangnya budaya dan sistem pertanian kuno.Pada zaman itu banyak area pertanian
yang terletak di wilayah yang tidak strategis. Petani yang berada di lokasi jauh dari pusat pasar atau
kota, harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk menjual hasil panennya. Padahal di zaman tersebut
alat transportasi yang digunakan untuk mengangkut hasil pertanian masih berupa gerobak yang ditarik
oleh sapi, kuda atau keledai. Biaya transportasi yang dikerahkan tidak sebanding dengan upah yang di
dapat. Hal ini menunjukkan betapa mahalnya kota sebagai pusat pasar. Dari hasil studi inilah Von
Thunen mengeluarkan teori lokasi pertanian.

Von Thunen melalui teorinya menciptakan contoh cara berfikir efektif yang di dasarkan atas penelitian
statistik, yang mulai dengan model sederhana selangkah demi selangkah memasukkan komplikasi atau
unsur baru sehingga semakin mendekati konkret. Ia mengembangkan suatu teori sewa tanah dan teori
produktivitas marginal yang di terapkan dalam upah dan bunga.Menurut Von Thunen guna lahan kota
dipengaruhi oleh biaya produksi, biaya transportasi dan daya tahan hasil komoditi. Sehingga
berpengaruh terhadap munculnya pasar lahan yang kompetitif. Pada model Von Thunen hubungan
antara transportasi dan lokasi aktivitas terletak pada biaya transportasi dan biaya sewa lahan. Guna
lahan akan menentukan nilai lahan, melalui kompetisi antara pemakai lahan. Karenanya nilai lahan akan
mendistribusikan guna lahan menurut kemampuan untuk membayar sewa lahan, sehingga akan
menimbulkan pasar lahan yang kompetitif. Faktor lain yang menentukan tinggi rendahnya nilai lahan
adalah jarak terhadap pusat kota. Melalui adanya nilai lahan maka terbentuk zona-zona pemakaian
lahan seperti lahan untuk kegiatan industri, kegiatan komersil, serta lahan untuk kegiatan pemerintahan.
Selain memiliki pengaruh terhadap zona lahan, teori Von Thunen juga berpengaruh terhadap struktur
keruangan kota. Perkembangan kota yang didasarkan terhadap penggunaan lahan kota memunculkan
elemen-elemen baru dalam struktur keruangan kota.[2][2]

Teori lokasi ini pertama kali dikembangkan oleh Von Thunen pada tahun 1850. Sebagai seorang ekonom
bangsa Jerman, Von Thunen mengembangkan suatu teori lokasi yang berorientasi kepada wilayah
lokasi. Teori lokasi bertolak dari pengambilan keputusan ekonomi yang berdasarkan pada penyebaran
komoditas pertanian ke wilayah hinterland (wilayah belakang) yang bersifat homogeny akibat adanya
ketergantungan jarak dari lokasi aktivitas ekonomi ke suatu pusat aktivitas ekonomi, sosial, maupun
politik. Jauh dekatnya jarak tempuh antara wilayah produksi atau bahan baku dengan pusat
distribusinya di pasar akan membentuk lingkar lokasi yang menjadi wilayah dimana lokasi tersebut
merupakan pusat aktivitas utama yang disebut dengan kota.

Teori lokasi Von Thunen yang berorientasi kepada daerah lokasi baru mulai berkembang pada waktu
Isard menguraikan teori lokasi industri pertanian. Melalui teorinya ini, maka isard menyalur fungsi sewa
tanah yang dapat dikembalikan ke lingkaran Von Thunen. Dalam bentuk yang baru ini, maka manfaat
teori Von Thunen mangkin tampak terutama bagi landasan teori penggunaan tanah modern.

B. Sejarah Teori Lokasi Wlater Christaller

Teori tempat pusat disebutkan oleh Wlater Christaller ( 1933) dan August Losch (1936), beliau
mengembangkan satu teori yang dapat dipergunakan sebagai kerangka analisis untuk membahas hal
tersebut. Teori pusat merupakan suatu permukiman yang menyediakan barang dan jasa-jasa bagi
penduduk local dan daerah belakangnya.Pada teori tempat pusat juga menjelaskan tentang hubungan
keterkaitan antara sosial-ekonomi dan fisik yang saling mempengaruhi.

Sebuah kota atau pusat merupakan inti dari berbagai kegiatan pelayanan, sedangkan wilayah di luar
kota atau pusat tersebut adalah daerah yang harus dilayaninya, atau daerah belakangnya (hinterland).
Sebuah pusat yang kecil akan memberikan penawaran pelayanan yang lebih terbatas jika dibandingkan
dengan pusat yang lebih besar. Jarak wilayah yang dilayaninyapun relatif lebih dekat dengan luasan yang
kecil (Knox, 1994). Guna mengetahui kekuatan dan keterbatasan hubungan ekonomi dan fisik suatu
kota atau pusat dengan wilayah sekelilingnya, seorang ahli geografi, Walter Christaller, melakukan
sebuah penelitian. Penelitian ini dilakukan di Jerman bagian selatan, di daerah perdesaan (Hartshorn,
1980). Dan teori tersebut dinyatakan sebagai teori tempat pusat (Central Place Theory) oleh
Christaller.Menurut Christaller, tidak semua kota dapat menjadi pusat pelayanan. Dan pusat pelayanan
harus mampu menyediakan barang dan jasa bagi penduduk di daerah dan kawasan sekitarnya.
Christaller menyatakan bahwa dua buah pusat permukiman yang memiliki jumlah penduduk sama tidak
selalu menjadi pusat pelayanan yang sama penting. Istilah kepusatan (centrality) digunakan untuk
menggambarkan bahwa besarnya jumlah penduduk dan pentingnya peran sebagai tempat terpusat
(central place).

Pada teori Christaller menyebutkan sistem keruangan yang optimum berbentuk heksagonal dengan
pusat kegiatan terdapat di tengah pola. Namun Christaller juga menyebutkan bahwa dalam struktur
keruangan kota terdapat hirarki, dimana tempat dengan hirarki yang teratas mampu memenuhi
kebutuhan tempat di hirarki bawahnya. Semakin tinggi jumlah hirarki kota maka jumlah kota semakin
tinggi, begitupun sebaliknya.

2.4 Tokoh-Tokoh dalam Teori Lokasi

Berikut adalah beberapa tokoh dengan pandangannya mengenai teori lokasi[3][3]:

A. Von Thunen (1826)

Mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa
lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat
pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan
dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih)
antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang
berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan,
makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola
penggunaan lahan berupa diagram cincin. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga
lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota.

B. Weber (1909)

Menganalisis tentang lokasi kegiatan industri. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan
atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total
biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana
total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang
maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi,
upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya
transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational triangle untuk
memperoleh lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi
bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri dijelaskan Weber dengan menggunakan
sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane).

C. Christaller (1933)

Menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu
wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri, di mana angka 3 yang diterapkan
secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti dan model ini disebut sistem K = 3. Model Christaller
menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari
setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold.

D. August Losch

Teori Lokasi dari August Losch melihat persoalan dari sisi permintaan (pasar), berbeda dengan Weber
yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat
berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual,
konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin
mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.
E. D.M. Smith

Memperkenalkan teori lokasi memaksimumkan laba dengan menjelaskan konsep average cost (biaya
rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata) yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi
jumlah produksi adalah sama maka dapat dibuat kurva biaya rata-rata (per unit produksi) yang
bervariasi dengan lokasi. Selisih antara average revenue dikurangi average cost adalah tertinggi maka
itulah lokasi yang memberikan keuntungan maksimal.

F. Mc Grone (1969)

Berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan keuntungan sulit ditangani dalam
keadaan ketidakpastian yang tinggi dan dalam analisis dinamik. Ketidaksempurnaan pengetahuan dan
ketidakpastian biaya dan pendapatan di masa depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi,
preferensi personal, dan pertimbangan lain membuat model maksimisasi keuntungan lokasi sulit
dioperasikan.

G. Isard (1956)

Menurut Isard, masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang
dihadapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang berbeda-beda. Isard (1956) menekankan pada
faktor-faktor jarak, aksesibilitas, dan keuntungan aglomerasi sebagai hal yang utama dalam pengambilan
keputusan lokasi.

H. Richardson (1969)

Mengemukakan bahwa aktivitas ekonomi atau perusahaan cenderung untuk berlokasi pada pusat
kegiatan sebagai usaha untuk mengurangi ketidakpastian dalam keputusan yang diambil guna
meminimumkan resiko. Dalam hal ini, baik kenyamanan (amenity) maupun keuntungan aglomerasi
merupakan faktor penentu lokasi yang penting, yang menjadi daya tarik lokasi karena aglomerasi
bagaimanapun juga menghasilkan konsentrasi industri dan aktivitas lainnya.

2.6 Pengaruh Teori Lokasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dewasa ini, perkembangan sektor industri di Indonesia menyebabkan terjadinya percepatan munculnya
bangunan industri, penambahan devisa negara, serta mengurangi jumlah pengangguran. Namun hal
tersebut jika tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan yang kuat, analisa lokasi khususnya lokasi
industri yang tepat, maka keberadaan kawasan industri disamping memberikan dampak positif juga
akan mempengaruhi potensi, kondisi, dan mutu sumber daya alam dan lingkungan sekitar (Anonim,
1993). Keberadaan sektor industri tersebut tidak terlepas dari pemilihan lokasi yang didasarkan pada
teori lokasi yang telah berkembang mulai dari teori klasik, neo-klasik, sampai dengan teori lokasi
modern.

Berikut pemaparan dari beberapa ahli tentang Teori Pusat Pertumbuhan:

a) Teori pusat pertumbuhan dikemukakan oleh Boudeville. Menurut Boudeville (ahli ekonomi Prancis),
pusat pertumbuhan adalah sekumpulan fenomena geografis dari semua kegiatan yang ada di
permukaan Bumi. Suatu kota atau wilayah kota yang mempunyai industri populasi yang kompleks, dapat
dikatakan sebagai pusat pertumbuhan. Industri populasi merupakan industri yang mempunyai pengaruh
yang besar (baik langsung maupun tidak langsung) terhadap kegiatan lainnya.

b) Teori tempat sentral dikemukakan oleh Walter Christaller (1933), seorang ahli geografi dari Jerman.
Teori ini didasarkan pada lokasi dan pola persebaran permukiman dalam ruang. Dalam suatu ruang
kadang ditemukan persebaran pola permukiman desa dan kota yang berbeda ukuran luasnya. Teori
pusat pertumbuhan dari Christaller ini diperkuat oleh pendapat August Losch (1945) seorang ahli
ekonomi Jerman.

Keduanya berkesimpulan, bahwa cara yang baik untuk menyediakan pelayanan berdasarkan aspek
keruangan dengan menempatkan aktivitas yang dimaksud pada hirarki permukiman yang luasnya
meningkat dan lokasinya ada pada simpul-simpul jaringan heksagonal. Lokasi ini terdapat pada tempat
sentral yang memungkinkan partisipasi manusia dengan jumlah maksimum, baik mereka yang terlibat
dalam aktivitas pelayanan maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang yang dihasilkannya.

Tempat-tempat tersebut diasumsikan sebagai titik simpul dari suatu bentuk geometrik berdiagonal yang
memiliki pengaruh terhadap daerah di sekitarnya. Hubungan antara suatu tempat sentral dengan
tempat sentral yang lain di sekitarnya membentuk jaringan yang disebut sarang lebah. Menurut Walter
Christaller, suatu tempat sentral mempunyai batas-batas pengaruh yang melingkar dan komplementer
terhadap tempat sentral tersebut. Daerah atau wilayah yang komplementer ini adalah daerah yang
dilayani oleh tempat sentral. Lingkaran batas yang ada pada kawasan pengaruh tempat-tempat sentral
itu disebut batas ambang (threshold level).

Berdasarkan penjelasan mengenai teori lokasi industri dan teori pusat pertumbuhan dapat kita
simpulkan bahwa keduanya memiliki peranan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dimana penempatan
lokasi industri yang tepat dapat memberikan banyak jalan, diantaranya industri yang didirikan dilokasi
yang tepat, mampu menyerap tenaga kerja yang ada disekitar lokasi industri khususnya dan masyarakat
luas pada umumnya. Selain itu daerah yang menjadi lokasi industri secara otomatis akan mengalami
kenaikan pendapatan daerah. Sehingga memungkinkan perekonomian didaerah lokasi industri
mengalami peningkatan.

2.2 Lokasi Industri

2.2.1. Teori Lokasi Industri

Lokasi industri merupakan tempat berlangsungnya suatu kegiatan industry pada suatu wilayah di
permukaan bumi. Lokasi industry adalah suatu tempat dimaa industry itu melakukan kegiatan fisik.

Terdapat 2 pendekatan penting dalam mempelajari lokasi indutri. Pertama yaitu wilayah dan cara
untuk menilai alas an mengapa lokasi tertentu memiliki daya tarik untuk kegiatan industry pada
umumnya baik dilihat dari skala local maupun internasional. Pendekata yang lainnya yaitu industry
dalam perspektif dan berusaha untuk menjelaskan mengapa suatu industry individu atau perusahaan
tertarik pada suatu lokasi tertentu. Kedua pendekatan ini menunjukkan bahwa suatu jenis industri akan
berlokasi sesuai dengan kebutuhannya.

a. Teori Keseimbangan Spasial

Teori keseimbangan spasial dikemukakan oleh August Losch pada tahun 1954 melalui bukunya yang
berjudul Economics of Location.Losch menyatakan bahwa lokasi suatu industri didasarkan pada
kemampuan untuk menjaring konsumen sebanyak-banyaknya (dalam Ardhian, 2010). Dengan kata lain,
konsep dasar teori lokasi industri yang dikemukakan oleh Losch ini berprinsip pada permintaan
pasar(demand) dengan asumsi:

- Lokasi optimal suatu pabrik atau industri adalah apabila dapat menguasai wilayah pemasaran yang luas
sehingga dapat dihasilkan pendapatan yang paling besar. suatu tempat yang topografinya datar atau
homogen jika disuplai oleh pusat industri, volume penjualan akan membentuk kerucut. Semakin jauh
dari pusat industri, maka volume penjualan barang akan semakin berkurang karena harganya semakin
tinggi akibat naiknya ongkos transportasi.
- Teori Losch ini bertujuan untuk menemukan pola lokasi industri sehingga ditemukan keseimbangan
spasial antarlokal. Untuk mencapai keseimbangan tersebut, harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

· Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli.

· Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata, sehingga seluruh
permintaan yang ada dapat dilayani.

· Terdapat free entry dan tidak ada petani yang memperoleh super normal profitsehingga tidak ada
rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut.

· Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan petani yang ada untuk mencapai
keuntungan yang maksimum.

· Konsumen bersifat indifferent terhadap penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk
membeli dengan harga yang rendah.

Pada akhirnya, luas daerah pasar akan menyempit dan dalam keseimbangannya akan membentuk
segienam beraturan. Losch juga menambahkan bahwa jaringan heksagonal tidak memiliki penyebaran
yang sama tetapi di sekeliling tempat sentralnya masih ada 6 faktor yang memiliki wilayah yang luas dan
6 faktor yang memiliki wilayah sempit sehingga Losch menggambarkan teorinya tersebut dalam bentuk
roda.

b. Teori Tempat Pusat

Teori ini dikemukakan oleh Walter Christaller pada tahun 1933 dalam bukunya yang berjudul Central
Places In Southern Germany. Dalam buku ini Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari
besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah Tempat pusat (central place)
merupakan suatu tempat dimana produsen cenderung mengelompok di lokasi tersebut untuk
menyediakan barang dan jasa bagi populasi di sekitarnya. Asumsi-asumsi yang dikemukakan dalam teori
Christaller antara lain:

· Suatu lokasi yang memiliki permukaan datar yang seragam.

· Lokasi tersebut memiliki jumlah penduduk yang merata dan memiliki daya beli yang sama.
· Lokasi tersebut mempunyai kesempatan transport dan komunikasi yang merata/gerakan ke segala
arah (isotropic surface).

· Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak/biaya.

Teori central place ini didasarkan pada prinsip jangkauan (range) dan ambang batas(threshold). Range
merupakan jarak jangkauan antara penduduk dan tempat suatu aktivitas pasar yang menjual kebutuhan
komoditi atau barang. Misalnya seseorang membeli baju di lokasi pasar tertentu, range-nya adalah jarak
antara tempat tinggal orang tersebut dengan pasar lokasi tempat dia membeli baju. Apabila jarak ke
pasar lebih jauh dari kemampuan jangkauan penduduk yang bersangkutan, maka penduduk cenderung
akan mencari barang dan jasa ke pasar lain yang lebih dekat. Sedangkan threshold adalah jumlah
minimum penduduk atau konsumen yang dibutuhkan untuk menunjang kesinambungan pemasokan
barang atau jasa yang bersangkutan, yang diperlukan dalam penyebaran penduduk atau konsumen
dalam ruang (spatial population distribution).

Dari komponen range dan threshold maka lahir prinsip optimalisasi pasar (market optimizing principle).
Prinsip ini antara lain menyebutkan bahwa dengan memenuhi asumsi di atas, dalam suatu wilayah akan
terbentuk wilayah tempat pusat (central place). Pusat tersebut menyajikan kebutuhan barang dan jasa
bagi penduduk sekitarnya. Apabila sebuah pusat dalam range dan threshold yang membentuk lingkaran,
bertemu dengan pusat yang lain yang juga memiliki range dan thresholdtertentu, maka akan terjadi
daerah yang bertampalan. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah yang bertampalan akan memiliki
kesempatan yang relatif sama untuk pergi ke kedua pusat pasar itu.

Christaller juga menyatakan bahwa sistem tempat pusat membentuk suatu hierarki yang teratur
dimana keteraturan dan hierarki tersebut didasarkan pada prinsip bahwa suatu tempat menyediakan
tidak hanya barang dan jasa untuk tingkatannya sendiri, tetapi juga semua barang dan jasa lain yang
ordernya lebih rendah. Hierarki tempat pusat menurut teori ini dibedakan menjadi 3, yaitu:

a. Tempat sentral yang berhierarki 3 (K = 3) merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang
senantiasa menyediakan barang-barang bagi daerah sekitarnya atau disebut juga sebagai kasus pasar
optimal.

b. Tempat sentral yang berhierarki 4 (K = 4) merupakan situasi lalu lintas yang optimum yakni daerah
tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh oleh tempat sentral senantiasa memberikan
kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien.
c. Tempat sentral yang berhierarki 7 (K = 7) merupakan situasi administratif yang optimum yang
mana tempat sentral ini mempengaruhi seluruh bagian wilayah-wilayah tetangganya.

Model Christaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal adalah sebagai berikut:

a. Mula-mula terbentuk areal perdagangan suatu komoditas berbentuk lingkaran-lingkaran. Setiap


lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari komoditas tersebut.

b. Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas tersebut yang


lingkarannya boleh tumpang tindih.

c. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal
yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan yang tidak lagi tumpang tindih.

d. Tiap barang berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendiri-sendiri. Dengan


menggunakan k = 3, maka barang orde I memiliki lebar heksagonal 3 kali heksagonal barang orde II, dan
seterusnya. Heksagonal yang sama besarnya tidak akan tumpang tindih tetapi antara heksagonal yang
tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih.

c. Teori Biaya Minimum dan Ketergantungan Lokasi

Teori biaya minimum dan ketergantungan lokasi (Theory Least Cost and Place Interdependence)
dikemukakan oleh Melvin Greenhut pada tahun 1956 dalam bukunya Plant Location in Theory and in
Practice dan Microeconomics and The Space Economy. Greenhut berusaha menyatukan teori lokasi
biaya minimum dengan teori ketergantungan lokasi yang mana dalam teori tersebut mencakup unsur-
unsur sebagai berikut:

a. Biaya lokasi yang meliputi biaya angkutan, tenaga dan pengelolaan

b. Faktor lokasi yang berhubungan dengan permintaan, yaitu ketergantungan lokasi dan usaha untuk
menguasai pasar.

c. Faktor yang menurunkan biaya

d. Faktor yang meningkatkan pendapatan.

e. Faktor pribadi yang berpengaruh terhadap penurunan biaya dan peningkatan pendapatan.

f. Pertimbangan pribadi
d. Kerangka Substitusi Isard

Teori ini dikemukakan oleh Walter Isard (1956) yang mengembangkan logika teori dasar Weber dengan
menempatkan teori tersebut dalam konteks analisis substitusi sehingga menjadi alat peramal yang
tangguh (robust) namun sederhana. Pendekatan Isard menggunakan asumsi bahwa lokasi dapat terjadi
di titik-titik sepanjang garis yang menghubungkan sumber bahan baku dengan pasar jika bahan baku
setempat adalah murni sehingga terdapat dua variabel, yaitu jarak dari pasar dan jarak dari sumber
bahan baku. Hubungan kedua variabel tersebut dapat diplotkan dalam bentuk grafik dimana garis yang
menghubungkan antara sumber bahan baku dan pasar adalah tempat kedudukan titik-titik kombinasi
antara bahan baku dan pasar yang bersifat substitusi. Apabila ditambah lagi satu variabel baru yakni
penggunaan bahan baku kedua kedalam input produksi, maka terdapat 3 set hubungan substitusi.

Alasan mengapa istilah satu variabel dibuat tetap hanyalah untuk mempermudah pembuatan grafik dua
dimensi. Penyelesaian masalah dalam penentuan lokasi dapat dilihat secara bertahap melalui pasangan-
pasangan dua sudut dari segitiga tersebut. Titik biaya terendah diperoleh dengan mengidentifikasikan
titik dimana jarak tempuh total adalah terendah di setiap pasangan garis transformasi sehingga jarak
parsial dapat digunakan untuk menentukan lokasi optimal. Jadi, lokasi optimal adalah lokasi dengan
biaya transportasi beberapa substitusi lokasi yang paling rendah.

e. Kurva Biaya Ruang

Teori ini dikemukakan oleh Smith yang merupakan penggabungan metode substitusi Isard dengan
metode isodapane (garis yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai biaya transportasi yang sama
dari seluruh unit produksi yang tetap) Weber dimana dalam teori ini terdapat dua tahap, yakni:

a. Memplotkan isotim (garis yang menunjukkan titik-titik biaya transportasi yang sama pada setiap
bahan baku/material dan produk akhir) di setiap bagian supply atau titik pasar. Hal ini menggambarkan
bahwa biaya transportasi setiap komponen secara individual akan meningkat jika jarak dari titik biaya
terendah meningkat sehingga isotim merupakan garis yang konsentris terhadap titik lokasi (pasar dan
bahan baku).

b. Menjumlahkan biaya transportasi pengumpulan bahan baku dan pengangkutan produk akhir ke
pasar yang mana perpotongan antara titik-titik biaya pada lingkaran isotim menunjukkan total biaya
yang sama disebut sebagai isodapane.
Jika terdapat titik yang unik di bagian dasar dari permukaan biaya, titik tersebut merupakan titik biaya
transportasi terendah berdasarkan asumsi yang dibuat yaitu bobot bahan baku bergerak, transportasi
tidak seragam. Bagi Smith, isodapane diinterpretasikan sebagai isopleth dari biaya atau kontur biaya
yang sama selain biaya transportasi. Ada dua konsep penting menurut Smith, yaitu:

a. Kurva biaya ruang yang sederhana merupakan bagian yang menggambarkan peta kontur biaya
yang mana titik terendah dari kurva tersebut adalah lokasi dengan biaya terendah.

b. Kurva biaya yang diturunkan merupakan spatial margin to profitability. Harga produk diasumsikan
dijual pada harga konstan di dalam ruang. Pada beberapa titik di permukaan biaya total akan merupakan
suatu kontur yang berkaitan dengan harganya. Keuntungan ataupun kerugian di dalam ruang dapat
dilihat dari besarnya biaya. Apabila suatu lokasi biayanya melebihi level harga pengiriman berarti terjadi
kerugian, begitu juga sebaliknya.

2.2.2. Faktor-faktor Lokasi

Faktor penentu lokasi merupakan kualitas suatu wilayah yang terkait dengan daya tarik wilayah
tersebut terhadap keputusan investasi dari calon investor yang sudah ada.Banyak faktor yang digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan dimanakah seharusnya lokasi industri yang tepat.

Suatu kegiatan yang produktif akan memilih lokasi yang dapat memperoleh input secara efisien.
Input tersebut tidak hanya berbentuk fisik, tetapi juga berbentuk jasa, seperti jasa prasarana dan sarana,
institusi pendukung, maupun kualitas sumberdaya manusia (Maryunani, 2003). Adapun faktor-faktor
yang diperhatikan dalam memilih lokasi industri menurut Weber dalam Tarigan (2005) adalah:

1. Biaya Transportasi

Biaya transportasi bertambah secara proporsional dengan jarak sehingga titik terendah untuk biaya
transportasi adalah titik yang menunjukkan biaya minimum untuk angkutan bahan baku dan distribusi
hasil produksi. Konsep titik minimum tersebut dinyatakan sebagai segitiga lokasi.

2. Biaya UpahProdusen cenderung mencari lokasi dengan tingkat upah tenaga kerja yang lebih rendah
dalam melakukan aktivitas ekonomi sedangkan tenaga kerja cenderung mencari lokasi dengan
konsentrasi upah yang lebih tinggi.
3. Keuntungan dari Konsentrasi Industri Secara Spasial

Konsentrasi spasial akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan lokalisasi dan
penghematan urbanisasi. Penghematan lokalisasi terjadi apabila biaya produksi perusahaan pada suatu
industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat. Hal ini terjadi pada
perusahaan/industri yang berlokasi secara berdekatan.

Menurut Djojodipuro (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi industri, adalah:

1. Faktor Endowment

Tersedianya faktor produksi secara kualitatif dan kuantitatif di suatu daerah, berupa tanah (topografi,
struktur tanah, cuaca, harga tanah), tenaga dan manajemen (fringe benefit, labour turn over,
absenteeism, techno-structure), dan modal (industrial inertia, industrial nursery).

2. Pasar dan Harga

Suatu daerah yang berpenduduk banyak secara potensial perlu diperhatikan. Bila daerah ini disertai
pendapatan perkapita yang tinggi, maka pasar tersebut akan menjadi efektif dan semakin meningkat
bila disertai dengan distribusi pendapatan yang merata. Luas pasar ditentukan oleh jumlah penduduk,
pendapatan perkapita, dan distribusi pendapatan.Pasar mempengaruhi lokasi melalui ciri pasar, biaya
distribusi, dan harga yang terdapat di pasar yang bersangkutan.Harga ditentukan oleh biaya produksi
dan permintaan (elastisitas dan biaya angkut). CIF (Cost, Insurance, Freight), FOB (Free On Board), dan
Basing Point System.

3. Bahan Baku dan Energi

Proses produksi merupakan usaha untuk mentransformasikan bahan baku kedalam hasil akhir yang
memiliki nilai lebih tinggi. Jarak antara lokasi pabrik dengan ketersediaan bahan baku mempengaruhi
biaya pengangkutan. Beberapa industri karena sifat dan keadaan dari proses pengolahannya
mengharuskan untuk menempatkan pabriknya berdekatan dengan sumber bahan baku.

4. Aglomerasi, Keterkaitan Antar Industri, dan Penghematan Ekstern

Aglomerasi adalah pengelompokkan beberapa perusahaan dalam suatu daerah atau wilayah sehingga
membentuk daerah khusus industri.

5. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah terkait dengan kawasan industri, kawasan berikat, kawasan ekonomi khusus
(KEK), kawasan perdagangan bebas (FTZ).

Menurut Sigit (1987), faktor-faktor yang digunakan sebagai dasar pertimbangan penentuan lokasi
industri, antara lain:

1. Pasar

Masalah pasar tidak boleh diabaikan sama sekali karena sangat berpengaruh terhadap kualitas dan
kuantitas barang yang diperlukan oleh pasar dan kekuatan daya beli masyarakat akan jenis barang yang
diproduksi.

2. Bahan Baku

Bahan baku sangat erat kaitannya dengan faktor biaya produksi. Lokasi perusahaan haruslah di tempat
yang biaya bahan baku relatif paling murah.

3. Tenaga Kerja

Tenaga kerja harus diperhatikan terutama bagi perusahaan yang padat karya atau perusahaan yang
biaya produksinya terdiri atas biaya tenaga kerja.

4. Transportasi

Letak perusahaan juga ditentukan oleh faktor transportasi yang menghubungkan lokasi dengan pasar,
lokasi dengan bahan baku, dan lokasi dengan tenaga kerja.

5. Pelayanan Bisnis

Faktor-faktor sumber tenaga, listrik, air, keadaan iklim, juga fasilitas komunikasi, perbankan, dan
pelayanan teknis seperti reparasi juga perlu dipertimbangkan dalam penentuan lokasi.

6. Inducement

Inducement ini seperti pemberian insentif dan disinsentif.

7. Sifat Perusahaan

Sifat perusahaan seperti perusahaan yang menghasilkan barang mudah meledak dan polutan yang
berbahaya.
8. Kemungkinan Lain

Kemungkinan lain disini maksudnya seperti bahaya alam seperti banjir, tanah longsor, dan bahaya sosial
misalnya tantangan masyarakat.

Sedangkan menurut Greenhut, faktor-faktor penentu lokasi industri, antara lain:

1. Biaya lokasi, meliputi biaya angkutan, tenaga, dan pengelolaan

Greenhut berpendapat bahwa biaya angkutan merupakan faktor yang penting dalam produksi. Apabila
berat bahan baku lebih berat dari hasil akhir atau bahan baku bersifat cepat rusak maka lokasi akan
berorientasi ke bahan baku. Oleh karena itu, perlu dibedakan dari biaya lain.

2. Faktor lokasi yang berhubungan dengan permintaan, yaitu ketergantungan lokasi dan usaha untuk
menguasai pasar

Bila elastisitas harga permintaan tak terhingga perusahaan cenderung berlokasi di tempat konsumen.
Hal ini disebabkan karena kenaikan biaya angkutan akan menurunkan permintaan yang besar. Jadi,
makin elastisitas permintaan makin cenderung perusahaan mendekati konsumen, perusahaan makin
tersebar. Biaya angkutan yang tinggi juga akan mendorong lokasi perusahaan tersebar dan mendekati
konsumen. Greenhut membedakan antara oligopoli yang terorganisasi dan yang tidak. Oligopoli yang
tidak terorganisasi cenderung menghindari persaingan dan mencari pasar yang aman dengan menjauhi
satu sama lain sehingga lokasinya lebih tersebar. Oligopoli yang terorganisasi biasanya bekerja sama
dalam berbagai kebijakan sehingga penyebaran tidak lagi merupakan masalah.

3. Faktor yang menurunkan biaya

Faktor yang menurunkan biaya mencakup external economies yang disebabkan oleh aglomerasi.Gejala
ini dapat terjadi di kawasan industri.Pada awalnya perusahaan yang berlokasi di kawasan dapat
memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada, seperti saluran pembuangan limbah, gardu listrik, telepon,
dan lain sebagainya.Pada perkembangan selanjutnya penghematan ini cenderung meningkat karena ada
banyak perusahaan yang berlokasi di tempat itu seperti bank, restoran, juga dari segi perizinan, dan lain
sebagainya.

4. Faktor yang meningkatkan pendapatan


Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang mempunyai penduduk yang banyak dan beragam
serta didukung oleh pendapatan berkapita yang lebih tinggi dari daerah lain. Hal ini mendorong
timbulnya berbagai permintaan barang sehingga merupakan kesempatan bagi perusahaan untuk
memperoleh keuntungan. Kesempatan ini tidak mungkin diberikan oleh kota kecil seperti Bangil,
Ungaran, dan lain sebagainya. Gejala ini yang disebut unsur-unsur yang berkenaan dengan peningkatan
pendapatan yang merupakan agglomeration economies dan berlaku umum bagi perusahaan manapun.

5. Faktor pribadi yang berpengaruh terhadap penurunan biaya dan peningkatan pendapatan

Hubungan pribadi memberikan peluang yang tidak kecil terhadap peningkatan pendapatan.

6. Pertimbangan pribadi

Kadang pertimbangan pribadi tampak bertentangan dengan tingkah laku mengejar


keuntungan.Misalnya lokasi pabrik kretek Gudang Garam di Kediri. Di Kediri tidak terdapat tembakau,
jadi lokasi tidak berorientasi pada bahan baku. Tenaga pada waktu berdiri juga tidak lebih banyak dan
lebih terampil dibandingkan dengan di Blitar, jadi tidak berorientasi pada tenaga.Begitu juga dengan
pasar, tidak lebih dari satu persen yang dikonsumsi di Kediri.Lokasi pabrik itu mempunyai arti tersendiri
bagi pemiliknya. Oleh karena itu pemiliknya bersedia membayar harga sebagai inputed cost. Gejala
demikian tidak sedikit dijumpai dalam lokasi perusahaan atau industri. Bila perusahaan semacam ini
berhasil maka dapat memberi kesempatan kerja kepada warga kota dan tetapi juga dari luar kota. Saat
ini tenaga kerja di pabrik tersebut sebagian besar berasal dari luar Kediri. Saat ini pabrik tersebut telah
labor oriented localized.

Konsep Aglomerasi Industri

Aglomerasi Industri yaitu pemusatan industri di suatu kawasan tertentu dengan tujuan agar
pengelolanya dapat optimal.

Relokasi Industri adalah perpindahan atau pemindahan lokasi industri dari negara maju ke negara
berkembangan dengan alasan menekan upah buruh, tekanan politis atau hukum di negara maju, syarat
pendirian industri di negara maju & lain sebagainya.

Aglomerasi dapat dibagi menjadi 2 yaitu;


1. Aglomerasi Primer adalah Perusahaan yang baru muncul tidak ada hubungan dengan perusahaan
lama yang sudah terdapat di wilayah aglomerasi.

2. Aglomerasi Sekunder adalah jika perusahaan yang baru beroperasi adalah perusahaan yang
memiliki tujuan untuk memberi pelayanan pada perusahaan yang lama.

Model aglomerasi industri yang berkembang akhir-akhir ini, dapat dikategorikan menguntungkan, di
antaranya adalah: mengurangi pencemaran atau kerusakan lingkungan, karena terjadi pemusatan
kegiatan sehingga memudahkan dalam penanganannya; mengurangi kemacetan di perkotaan, karena
lokasinya dapat disiapkan di sekitar pinggiran kota; memudahkan pemantauan dan pengawasan,
terutama industri yang tidak mengikuti ketentuan yang telah disepakati; tidak mengganggu rencana tata
ruang; dapat menekan biaya transportasi dan biaya produksi serendah mungkin.

Penyebab terjadinya aglomerasi industri antara lain;

a. Terkonsentrasinya beberapa faktor produksi yang dibutuhkan pada suatu lokasi

b. Kesamaan lokasi yang didasarkan pada satu faktor produksi tertentu

c. Adanya wilayah pusat pertumbuhan industri yang disesuaikan dengan tata ruang & fungsi wilayah

d. Adanya kesamaan kebutuhan sarana, prasarana & bidang pelayanan industri lainnya yang lengkap

e. Adanya kerja sama dan saling membutuhkan dalam menghasilkan suatu produk

Terbentuknya Aglomerasi

Adanya aglomerasi ditandai oleh beberapa hal berikut :

a) Persaingan industri yang semakin hebat dan semakin banyak

b) Pelaksanaan segala bentuk efisien dalam penyelenggaraan industri

c) Peningkatan produktivitas hasil industry dan mutu produksi

d) Pemberian kemudahan bagi kegiatan industri

e) Kemudahan control dalam hubungan tenaga kerja


f) Pemerataan lokasi industri sesuai dengan jumlah secara tepat dan berdaya guna serta menyediakan
industri yang berwawasan lingkungan

Terbentuknya aglomerasi membutuhkan adanya teknologi, modal dan ketersediaan infrastruktur. Teori
pertumbuhan endogeneous model menjelaskan bahwa pertumbuhan suatu wilayah diperlukan adanya
kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dan lokasi tumbuhnya skala ekonomi akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Kekuatan sentripetal atau, lebih tepatnya, prevalensi kekuatan
sentrifugal dalam jangka panjang akan mengarah terbentuknya aglomerasi (Orlando Gomes, 2007).

Mengukur Kekuatan Aglomerasi

Menurut (M. Irfan Affandi, 2009), aglomerasi dapat diketahui dari sumbangan masing-masing sektor
terhadap PDRB wilayah. Penghitungan ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya :

1. Koefisien Hoover-Balassa

Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif pada suatu wilayah terjadi apabila spesialisasi
industri dalam suatu wilayah lebih besar daripada spesialisasi industri dalam wilayah agregat

2. Indeks Spesialisasi Regional

Merupakan indeks yang digunakan untuk menganalisis perbedaan struktur industri pada suatu wilayah
dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun seluruh wilayah menjadi standar.

3. Indeks Gini Lokasional

Digunakan untuk menganalisis tingkat spesialisasi suatu sektro

4. Indeks Kekuatan Aglomerasi

Indeks kekuatan aglomerasi menunjukkan besarnya kekuatan aglomerasi mendorong kekuatan spasial.

5. Indeks Ellison-Glaeser atau Pengaruh Aglomerasi

Indeks Ellison-Glaeser diperlukan untuk menganalisis pengaruh natural advantage dan knowledge
spillovers terhadap konsentrasi spasial dari industri.
Dampak Aglomerasi

Sebuah proses aglomerasi merangsang pertumbuhan di atas kemajuan teknologi, jika tidak,
pertumbuhan akan lebih rendah daripada tingkat kemajuan teknologi. Beberapa orang mengatakan
bahwa aglomerasi atau konsentrasi yang memungkinkan adanya peningkatan tingkat output akan
menciptakan kekayaan, namun di sisi lain kekuatan sentrifugal biaya transaksi bertolak belakang dengan
kekuatan sentripetal dari skala ekonomi. Adanya konsentrasi kegiatan ekonomi selain akan
memungkinkan terjadinya peningkatan nilai output juga akan menimbulkan peningkatan biaya transaksi
sehingga utilitasnya menjadi rendah. Inilah alasan mengapa dalam jangka panjang aglomerasi belum
tentu bernilai positif. Nilai aglomerasi dapat bernilai negatif atau mungkin nol, tergantung pada nilai
parameternya. Dalam kasus tertentu adanya perubahan nilai aglomerasi akan menunjukkan hasilnya
dalam jangka panjang dimana tingkat pertumbuhan ekonomi per kapita sesuai dengan tingkat
pertumbuhan teknologi sehingga mudah untuk mengidentifikasi keseimbangan yang merupakan trade
off teknologi dan trade off konsumsi modal. (Orlando Gomes, 2007)

Geographical distribution dalam sektor industri sangat penting dalam memahami konsep aglomerasi.
Dari prespektif pengembangan bisnis, pemetaan industri sangat penting dalam membantu mengambil
keputusan untuk menentukan lokasi produksi. Lokasi yang dipilih berdasarkan ketersediaan tenaga kerja
yang potensial dan memiliki skill serta jarak dari pasar dan pemasok input produksi. Pemetaan industri
juga dapat digunakan oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan untuk menentukan prioritas dan
alokasi sumber daya yang tepat. (Andrew James Crwaly, 2010)

Penelitian Andrew James Crawly pada tahun 2010 menilai bahwa ukuran perusahaan dalam kondisi
konsentrasi manufaktur di beberapa daerah di South Wales telah dieksplorasi hingga menunjukkan
adanya potensi untuk aglomerasi manufaktur. Menurut Baldwin dan Martin (2003), "aglomerasi dapat
dianggap sebagai mitra wilayah pertumbuhan ekonomi”. Ciccone (2002) menemukan bukti empiris yang
menunjukkan bahwa aglomerasi memiliki efek positif dalam pertumbuhan perekonomian suatu daerah.
Hal ini mendukung gagasan bahwa aglomerasi dapat menjadi sukses.

Aglomerasi (Matias Siagian,2005) akan menimbulkan disparitas desa-kota. Terkonsentrasinya kegiatan


ekonomi di suatu tempat akan mengakibatkan terjadinya mobilitas penduduk ke tempat tersebut. Hal
ini dapat menyebabkan daerah asal ditinggalkan oleh penduduknya dan kegiatan ekonomi berjalan
lambat. Semakin jauhnya jarak antara penduduk kaya dan penduudk miskin merupakan masalah yang
perlu diselesaikan.Masalah ini dapat dieliminir dan dikikis secara perlahan-lahan dengan melakukan kaji
ulang terhadap strategi pembangunan dengan segala kebijakan-kebijakan publik dan kebijakan sosial
yang mengikutinya. Distribusi investasi yang merata harus diupayakan sehingga wilayah-wilayah
terbelakang dapat mengejar ketertinggalannya menuju pada kondisi merata.

2.1.4. Implikasi Aglomerasi Industri

Lokasi industri di suatu daerah sering menimbulkan persoalan.Bahkan, relokasi industri yang sudah
dilakukan oleh pemerintah pun terkadang menimbulkan konflik di antara banyak pihak. Contoh kasus
mengenai lokasi industri di Simongan, Semarang

Perlukah Industri di Simongan Direlokasi? Beberapa waktu yang lalu, polemik tentang perlu tidaknya
industri di kawasan Simongan direlokasi ke zona industri yang sesuai dengan peruntukannya mencuat ke
permukaan sejalan akan disahkannya Perda (peraturan daerah) tentang Rencana Detail Tata Ruang
Rencana (RDTRR) Semarang. Sebagaimana telah ditetapkan menurut Rencana Tata Ruang Kota (RTRK)
tahun 1995–2005 dan RDTRK, zona industri di Kota Semarang ditetapkan di daerah Tugu, Genuk, dan
Plamongansari.

Penetapan ini bahkan sudah tertuang dalam Rencana Induk Kota (RIK) Semarang tahun 1975–2000. Hal
ini berarti bahwa industri-industri yang menempati lokasi di luar ketiga zona yang telah tersebut di atas,
dipandang sebagai pelanggaran terhadap peraturan daerah (perda). Namun demikian, harus dicermati
pula bahwa industri-industri yang sekarang menempati lokasi seperti di Simongan tentu bukan tanpa
alasan.

Jika menilik sejarahnya, daerah Simongan dan Srondol sebelum tahun 1975 memang ditetapkan sebagai
kawasan industri. Oleh karena itu, di Srondol dan Simongan masih terdapat beberapa industri seperti PT
Fumira, Jamu Jago, Raja Besi, dan Kubota. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah industri-
industri tersebut harus direlokasi ke zona industri baru demi memenuhi perda?

Sekarang yang menjadi pertanyaan apakah yang melatarbelakangi pengelompokan industri di suatu
zona? Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui tujuan pengelompokan atau aglomerasi industri di
suatu zona. Di Indonesia, aglomerasi diadopsi dalam bentuk zona industri, yaitu suatu wilayah itu dalam
tata ruang daerah telah ditetapkan pemerintah sebagai kegiatan industri. Seperti dalam artikel tadi,
sering aglomerasi industri muncul sebelum peraturan daerah maupun rencana tata ruang ditetapkan.
Sebenarnya apa saja yang menjadi penyebab terjadinya aglomerasi industri? Mari ikuti paparan berikut
ini untuk mengetahuinya.

Anda mungkin juga menyukai