Anda di halaman 1dari 23

TUGAS PERTANIAN BERLANJUT

MENSITESIS KEBUTUHAN GIS UNTUK PENERAPAN PRESISI PERTANIAN


DALAM SISTEM PERTANIAN BERLANJUT

DISUSUN OLEH:

PUTRI STEFANIE PANJAITAN 185040100111088

JIHAN SANIYYAH OCTAVIA 185040100111092

FERDY OKTORA SIAHAAN 185040101111008

INTAN SALVA ANGGRAENI 185040101111078

KELAS X

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2020
BAB I

LATAR BELAKANG

Pertanian secara luas merupakan kegiatan manusia dalam upaya untuk memperoleh
hasil yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan atau hewan dengan cara mengembangbiakkan
tumbuhan atau hewan tersebut (Van Aarsten,1953). Indonesia sendiri merupakan negara
agraris, di mana banyak mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai petani. Menurut data
BPS pada tahun 2013 penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani di Indonesia
mencapai 34% atau sekitar 38,1 juta jiwa dari seluruh angkatan kerja. Salah satu sektor
pertanian yang menyumbang tenaga kerja terbanyak adalah pada sektor tanaman pangan yaitu
sebanyak 52%. Akan tetapi, sebagian besar pertanian di Indonesia adalah pertanian
konvensional yang memiliki dampak negatif seperti adanya degradasi lahan, meningkatnya
residu pestisida, berkurangnya keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sektor pertanian adalah dengan
menerapkan sistem pertanian berlanjut. Pertanian berkelanjutan merupakan pemanfaatan
sumberdaya yang dapat diperbaharui dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui dengan
tujuan untuk mengurangi efek negatif terhadap lingkungan pada proses produksi pertanian
(Kasumbogo Untung, 1997). Dalam sektor pertanian, lahan merupakan salah satu sumberdaya
yang sangat penting dan dibutuhkan dalam menjalankan kegiatan pertanian, namun seperti kita
tahu, semakin tahun pertumbuhan penduduk semakin meningkat yang mana kebutuhan akan
pangan juga berbanding lurus, tetapi banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
pemukiman dan industri. Sehingga berkurangnya luasan lahan yang digunakan untuk kegiatan
pertanian secara signifikan dapat mengganggu stabilitas kemandirian, ketahanan dan
kedaulatan pangan baik lokal maupun nasional.

Menurut Prabawa et al. (2009), pertanian presisi dengan menggunakan Sistem


Informasi Geografis (GIS) merupakan salah satu sistem yang mampu mengendalikan laju alih
fungsi lahan pertanian. Adanya sistem ini, diharapkan dapat menekan tingginya laju alih fungsi
lahan pertanian sawah. Apabila laju alih fungsi lahan pertanian dapat dikendalikan diharapkan
fungsi lain seperti fungsi ekologi dapat dipertahankan dan dijaga keberadaannya, serta sudah
diterapkan di beberapa negara lain (Pasour, 1982). Pertanian presisi adalah sistem pertanian
terpadu berbasis pada informasi dan produksi, untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan
profitabilitas produksi pertanian dari hulu ke hilir yang berkelanjutan, spesifik-lokasi serta
meminimalkan dampak yang tidak diinginkan pada lingkungan (Whelan dan Taylor 2013). Ada
empat pilar utama dalam pendekatan pertanian presisi, yaitu: memandang aktivitas pertanian
secara holistik dan menyeluruh dari hulu ke hilir sebagai rantai proses yang terpadu dan
berkesinambungan untuk memastikan aliran konversi produk pertanian (tanaman, ternak, ikan,
dan turunannya) dengan aman, efisien, dan efektif dari lahan hingga ke meja makan.
Memedulikan keragaman (heterogenitas) dan dinamika lokasi, waktu, objek bio, iklim, geografi,
kultur, pasar, dan konsumen. Mendayagunakan teknologi yang memungkinkan pengamatan
dan perlakuan presisi. Dan berbasis kepada data, informasi, dan pengetahuan yang sahih.

Pertanian presisi membutuhkan teknologi baru seperti global positioning system (GPS),
sensor tanah, sensor tanaman, sensor hama, satelit atau foto udara, dan sistem informasi
geografis (SIG) untuk menilai dan memahami berbagai variabel lahan (Manalu, 2013). Sistem
Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS) merupakan suatu sistem
yang terorganisir dari perangkat komputer, aplikasi (perangkat lunak), dan data geografis yang
dirancang secara efektif dan efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui,
memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi
geografis (Bustomi et al., 2012). SIG bekerja dengan cara mengambil data sesuai kebutuhan
dan menganalisis statistik dengan menggunakan visualisasi yang menampilkan kondisi
geografis melalui gambar pada peta.

Pertanian presisi yang menggunakan GIS memiliki kaitan dengan pertanian


berkelanjutan, dimana pertanian berkelanjutan memiliki 4 aspek yang saling terintegrasi, yakni
aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya. Pertanian presisi yang menggunakan GIS
membantu para petani untuk melakukan tindakan, pemilihan lokasi, penggunaan cara dan
pemilihan waktu yang tepat. Implementasi Sistem Informasi Geografi (GIS) dalam pertanian
presisi sebagai salah satu teknologi yang mampu merancang suatu perencanaan pengelolan
lingkungan dengan cepat diharapkan mampu menaggulangi permasalahan-permasalahan
pertanian berkelanjutan, seperti konversi lahan, pemakaian lahan yang tidak sesuai kebutuhan,
degradasi lahan, erosi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui arti dari
pertanian presisi dengan penggunaan Sistem Informasi Geografis (GIS) untuk mendukung
pertanian berlanjut.
BAB II
KARAKTERISTIK DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN PRESISI PERTANIAN
Pertanian presisi membantu petani untuk menghindari input pada tanaman seperti
benih, pupuk, kapur dan bahan kimia. Penggunaan teknologi presisi memungkinkan petani
untuk memantau seluruh aspek usahatani dengan menyesuaikan tingkat aplikasi masukkan
untuk memaksimalkan tujuan produksi dan mengurangi jumlah bahan kimia. Konsep
berkelanjutan sendiri adalah konsep yang sederhana tetapi juga kompleks. Melalui penyuluhan
di harapkan mampu melakukan perubahan perilaku petani, sehingga dapat memperbaiki cara
bercocok tanam agar lebih memiliki penghasilan yang besar. Beberapa faktor akan berpotensi
menjadi kendala utama pada inovasi pertanian presisi.

Teknologi Pertanian berkembang dengan sangat pesat, perkembangan ini sejalan


dengan tuntutan global yang dilakukan untuk suatu perubahan. Perkembangan ini melalui
proses produksi dalam membuat perubahan dalam teknologi pertanian. Inovasi pertanian perlu
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas lembaga penelitian dalam menghasilkan inovasi yang
sesuai dengan kebutuhan. Pertanian presisi adalah sistem pertanian terpadu berbasis pada
informasi dan produksi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi produktivitas dan
profitabilitas produksi pertanian dari awal hingga akhir sesuaia dengan kondisi (Heriyanto et al
2016). Teknologi informasi geografis dengan basis data spasial yang digunakan untuk melihat
kesesuaian lahan suatu tanaman dengan memperhitungkan tanaman pada suatu wilayah.
Pendekatan pertanian presisi dengan memanfaatkan data agroklimat dan data spasial yang
didapat dari satelit atau GPS bisa digunakan untuk perencanaan pembukaan pengelolaan lahan
yang paling tepat dari aspek sumberdaya.

Pendekatan pertanian presisi juga dapat digunakan untuk menghitung dosis yang tepat
dalam penyemprotan gulma dan tanaman. (Solahudin et al 2010), citra dari tutupan gulma yang
terfilter dan ditangkap kamera menunjukkan populasi gulma. Rekomendasi pemupukkan yang
tepat jenis, dosis dan waktu untuk padi sawah berbasis pertanian presisi telah dikembangkan
dengan bekerjasama dengan Litbang Pertanian Kementrian Pertanian (Dobermann dan
Fairhust, 2000), dengan pendekatan presisi juga dapat dilakukan dengan pemberian air yang
tepat sesuai dengan waktu, volume pada lahan.(Heriyanto et al 2016). Penyediaan dan
penetuan tingkat ketersediaan air irigasi dapat dilakukan dengan sistem yang cerdas dan dapat
dikembangkan lebih lanjut agar mengurangi peluang kerusakan yang fatal.

Pertanian presisi menjanjikan manajement revolusi yang memiliki banyak potensial


dalam keuntungan, produktivitas, keberlanjutan dan perlindungan terhadap lingkungan.
Pertanian presisi memiliki 3 kemampuan yaitu a) mampu mengidentifikasi lokasi lahan, b)
mampu menganbil gambar interpretasi dan analisis agronomi c) mampu untuk memasukkan
data dan memaksimalkan keuntungna pada lahan tersebut, Pertanian presisi biasnaya
menggunakan informasi tersebut dari beberapa sumber yaitu dengan mengunakan GPS, GIS,
VRT dan Sensor.

Relevansi pertanian presisi pada kondisi asia yang dimana penduduknya mayoritas
merupakan petani. Pertanian presisi di Asia tebilang masih hal yang baru bagi masyarakat,
pada lahan yang sempit hal ini sangat efektif untuk memonitoring hasil lahan secara berkala.
Pertanian presisi dapat berkontribusi dalam management lahan. Pertambahan penduduk,
perubahan gaya hidup, tingkat kebutuhan akan pangan meningkat hal ini dapat membuat
masyarakat di Asia semakin didorong untuk menghasilkan produk yang baik kedepannya.
Selain itu manajemen lahan dengan pertanian presisi dapat berkontribusi dalam
pengembangan agronomi, beberapa pertanian presisi memiliki banyak fungsi dalam
mengadaptasi pertanian yang sudah dilakukan petani sebelumnya.

Pertanian presisi merupakan hal yang sangat cocok dalam teknologi dan prakteknya
dalam mengoptimalkan implementasi dari pengoperasian pertanian, seperti pada:

1. Penyiapan lahan
2. Pembibitan
3. Input management
4. Monitoring tanaman
5. Pemanenan

Berdasarkan hal diatas merupakan kombinasi yang digunakan dalam teknologi dan
alat, disini tidak perlu mengadopsi semua teknologi presisi, beberapa petani sudah memulia
untuk menggunakan teknologi tersebut. Seperti contoh dalam penggunaan monitoring lahan
dan VRT untuk beberapa pengusaha di bidang pertanain sudan melakukan hal tersebut.
Implikasi dari adapatasi pertanian presisi di asia memiliki beberapa isu seperti:

1) Kebiasaan yang suddah di adopsi dengan adanya pertanian presisi dapat memperbaiki
teknologi dalam pertanian sehingga tidak memelukan banyak biaya dan waktu, serta
pertanian presisi dapat dijadikan sebagai hal yang dapat membantu para petani.
2) Implikasi terhadap lingkungan,sebelum adanya pertanian presisi banyak hal eksternal
yang perlu diberikan kepad lingkungan yang menyebabkan lingkungan tersebut menjadi
terkena polusi, dan kerusakan apabila hal tersebut terjadi terus menerus maka akan
berdampak pada meningkatknya erosi tanah, penggunaan airm nutrisi dan pestisisda
yang terbuang percuma, dengan adanya pertanian presisi dapat menjadi patokan pada
beberapa petani untuk mengembangkan keuntungan secara ekonomi juga dapat
membantu petani dalam menjaga lingkungan
3) Implikasi Ekonomi. Keuntungan yang besar bagi para petani yang telah mengadopsi
teknologi pertanain yang presisi sehingga dapat memberikan keuntungan pada petani.
4) Implikasi tenaga kerja, pertanian presisi secara signifikan menggunakan infrastruktur
yang memadai agar didapat hasil data yang memadai bagi lahan tersebut.

Informasi manajemen dan praktek penggunaan dalam membuat pertanian menjadi


berlanjut pada era ini, pertanian presisi merupakan ha yang bermanfaat bagi masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang penting serata dapat membantu petani menjadi lebih efisien
dalam memanage hasil dan keberlanjutan dari pertaniannya tersebut. Teknologi pertanian yang
presisi dapat menjadi solusi dalam dalam permaslahan pertanian konvesional sehingga
kedepannya pertanian presisi dapat polpuler dan terintegrasi
BAB III

REKOMENDASI PENERAPAN DAN PEMANFAATAN GIS UNTUK MENDUKUNG


IMPLEMENTASI PERTANIAN BERLANJUT

Pada sektor pertanian di Indonesia saat ini semakin dituntut atau diharapkan untuk
semakin berperan dalam perekonomian nasional. Sektor pertanian juga dituntut atau
diharapkan harus mampu dalam memenuhi ketahanan atau penyediaan pangan, meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menambah lapangan kerja di negara Indonesia. Perencanaan
dan pengembangan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang baik sangat diperlukan
guna meningkatkan sektor pertanian nasional di negara Indonesia. Jika kita telah lebih jauh,
sudah banyak kasus penggunaan lahan pertanian yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan.
Sehingga sudah banyak mengakibatkan kasus-kasus kerusakan lahan seperti erosi, degradasi
lahan, lahan kritis, sampai dengan terjadinya bencana alam. Lahan yang tidak dikelola sesuai
dengan kemampuannya dan tidak menerapkan konservasi pada kegiatan lahannya akan
mengakibatkan kualitas lahan menurun dan terjadilah degradasi lahan. Banyak juga terjadi
aktivitas alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, atau bahkan industri sehingga
lahan pertanian di Indonesia jumlah luasnya semakin tahun semakin sedikit. Sedangkan jumlah
penduduk yang semakin lama semakin tinggi juga menuntut pertanian di Indonesia untuk
menghasilkan produksi yang mencukupi dan menjaga ketahanan pangan. Oleh karena itu
banyak sekali kegiatan pertanian yang dilakukan tidak memperhatikan lingkungan sekitar dalam
jangka panjangnya, yang dapat menyebabkan penurunan produksi pangan dan ketahanan
pangan di negara Indonesia.
Agar hal tersebut tidak terjadi maka petani perlu untuk menerapkan sistem pertanian
yang berlanjut. Menurut Sari et al. (2016), pertanian berkelanjutan merupakan kegiatan
pertanian dengan pengelolaan sumber daya alam serta perubahan teknologi dan kelembagaan
yang diatur untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara
berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang dan mampu untuk menerapkan
konservasi tanah, air, tanaman dan hewan, tidak merusak lingkungan, serta secara teknis tepat
guna, secara ekonomi layak, dan secara sosial dapat diterima. Sehingga dalam kegiatan
bertani sumber daya alamnya dikelola dan dilakukan konservasi dengan baik sehingga dapat
berlanjut ke generasi mendatang. Selain berguna untuk pemenuhan kebutuhan serta menjaga
sumber daya alam, sistem pertanian berlanjut harus dapat memenuhi dalam bidang ekonomi,
dan juga sosial.
Hal ini didukung oleh pernyataan Suwardji (2004), yang menyatakan terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan dan dikembangkan dalam pertanian berlanjut, antara lain:
1. Perlu upaya untuk ketergantungan pada sumber energi yang tidak terbaharui dan sumber
daya kimia
2. Perlu pengurangan kontaminasi dari bahan pencemar yang memiliki efek samping dari
kegiatan pertanian pada udara, air dan lahan
3. Mempertahankan habitat untuk kehidupan fauna yang memadai, dan dapat mempertahankan
sumber daya genetic untuk tanaman dan hewan yang dibutuhkan dalam bidang pertanian.
4. Pertanian juga perlu untuk mempertahankan produksinya sepanjang waktu dalam
menghadapi tekanan sosial ekonomi tanpa merusak lingkungan yang berarti.
Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat banyak membawa dampak positif
pada berbagai hal, termasuk sektor pertanian. Teknologi-teknologi baru yang menguntungkan
sangat dibutuhkan dalam mensukseskan pertanian berlanjut. Tersedianya informasi
sumberdaya lahan secara mudah sangat dibutuhkan dalam rencana pengelolaan dan
penggunaan lahan, dengan tersedianya informasi tersebut sangat membantu dalam
mengetahui penggunaan lahan yang aktual/sesuai dan memberi informasi tindakan-tindakan
yang perlu dilakukan agar lahan tersebut dapat digunakan dengan baik dan berkelanjutan.
Salah satu informasi dasar yang dibutuhkan dalam pengembangan sektor pertanian adalah
data spasial (peta) potensi sumberdaya lahan, yang memberikan informasi penting tentang
distribusi, luasan, tingkat kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan alternatif teknologi yang
dapat diterapkan (Suryana et.al, 2005).
Penginderaan Jauh Citra Satelit dan Geographic Information System (GIS) merupakan
teknologi spasial yang sangat berguna dalam perencanaan pertanian. Kegunaan dari sistem
teknologi ini banyak dikenal dengan strategi pertanian presisi. Menurut Manalu (2013),
pertanian presisi adalah suatu strategi untuk menekan biaya produksi pertanian dan
meminimalkan efek kegiatan pertanian terhadap lingkungan dengan penggunaan teknologi
informasi spasial yang digunakan untuk mengumpulkan memproses, dan menganalisis
berbagai sumber data spasial pertanian (pembibitan, pemupukan, pestisida, irigasi) secara
berlanjut sebagai pendukung keputusan untuk optimalisasi hasil pertanian dengan
mempertahankan sumber daya alam yang ada. Apabila menggunakan strategi ini, maka selain
dimudahkan dalam mencari data yang akurat, biaya yang dikeluarkan pun dapat semakin
sedikit dan juga dapat lebih mudah untuk memutuskan optimalisasi kegiatan pertanian atau
juga menentukan kegiatan konservasi yang akan dilakukan disana dan juga memonitoring
kegiatannya agar dapat dilihat keefektifan dari kegiatan tersebut. Manalu (2013), juga
menjelaskan bahwa dalam melaksanakan strategi pertanian presisi membutuhkan teknologi
seperti global positioning system (GPS), sensor tanah, sensor tanaman, sensor hama, satelit
atau foto udara, dan sistem informasi geografis (GIS) untuk menilai dan memahami berbagai
variabel lahan. Setelah menilai dan memahami variable tersebut maka akan didapatkan
informasi dan data tentang lahan yang nantinya dapat digunakan untuk mengevaluasi lahan
pertanian agar dapat lebih berproduksi optimal dengan menerapkan pengelolaan terhadap
lingkungan. Informasi yang didapatkan misalnya adalah kerapatan benih, penggunaan pupuk
dan pestisida, prediksi panen, kesuburan tanah, tutupan lahan, erosi di suatu daerah dalam
waktu tertentu.
Sistems Informasi Geografis (GIS) adalah suatu teknologi informasi untuk melakukan
analisa dan managemen dari data spasial dan pemetaan yang dibuat dari data remote sensing
(RS) yang mengidentifikasi variabel lahan dan nantinya GIS menentukan lokasi dan
mendifinisikan fitur spasial lahan tersebut. Sehingga melalui teknologi ini, dapat dihasilkan
suatu data dalam bentuk spasial ataupun table yang berisikan informasi dan kondisi di lapangan
yang nantinya dapat dilakukan analisis dan manajemen sesuai dengan kebutuhan pengelolaan
lahan disana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tjahjana et al., (2015) yang menyatakan bahwa
Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus
untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat
operasi kerja. Adapun komponen utama SIG dibagi empat, yaitu : perangkat keras (hardware),
perangkat lunak (software), organisasi/manajemen, dan pemakai (user). Kombinasi yang benar
antara keempat komponen utama tersebut akan menentukan suatu proses pengembangan
SIG. Pengelolaan data dasar tanah dan kelas lahan berbasis sistem informasi geografi (SIG)
akan didapatkan distribusi spasial (keruangan) jenis dan tingkat kesuburan tanah, serta faktor-
faktor pembatas yang ada sehingga dapat mempermudah perencanaan pengembangan jenis-
jenis komoditas pertanian dan penggunaan lahan yang sesuai dengan potensi sumber daya
lahan yang diamati dengan sistem SIG atau GIS.
Gambar 1. Bagan Alir Kegiatan Pengelolaan Lahan Berbasis SIG
(Tjahjana et al., 2015)
Menurut Tjahjana et al (2015), untuk mendukung suatu Sistem Informasi Geografis, pada prinsipnya
terdapat dua jenis data, yaitu:
a. Data Spasial
Data yang berkaitan dengan aspek keruangan dan merupakan data yang menyajikan lokasi geografis
atau gambaran nyata suatu wilayah di permukaan bumi. Umumnya direpresentasikan berupa grafik, peta, atau
pun gambar dengan format digital dan disimpan dalam bentuk koordinat x,y (vektor) atau dalam bentuk image
(raster) yang memiliki nilai tertentu.
b. Data Non-Spasial
Data non-spasial disebut juga data atribut, yaitu data yang menerangkan keadaan atau informasi-
informasi dari suatu objek (lokasi dan posisi) yan g ditunjukkan oleh data spasial. Salah satu komponen utama
dari Sistem Informasi Geografis adalah perangkat lunak (software). Dalam pendesainan peta digunakan salah
satu software SIG yaitu MapInfo Profesional 8.0. MapInfo merupakan sebuah perengkat lunak Sistem Informasi
Geografis dan pemetaan yang dikembangkan oleh MapInfo Co. Perangkat lunak ini berfungsi sebagai alat yang
dapat membantu dalam memvisualisasikan, mengeksplorasi, menjawab query, dan menganalisis data secara
geografis.
Gambar.2 Cara Kerja Sistem Informasi Geografis
Input data yang dimaksud disini adalah menginput data - datanya kedalam aplikasi SIG
agar dalam aplikasi tersebut dapat ditampilkan suatu bidang yang berisikan misalnya daerah
daerah yang perlu dianalisis. Kedua adalah analisi data, pada langkah ini data yang ada
dikelola agar dapat disimpan, diubah, dan diperbaiki. Ketiga adalah manipulasi, dimana data
hasil manajemen tadi akan dianalisa dengan data input spasial sehingga dapat menghasilkan
suatu informasi baru yang dibutuhkan misalnya analisis penutupan lahan di suatu daerah.
Setelah melakukan semua kegiatan tersebut, nanti akan mendapatkan hasil akhir atau output
berupa bisa digital yang berasal dari simpanan data ataupun cetakan di atas kertas.
Pemanfaaatan GIS pada bidang pertanian yang dapat mendukung implementasi
pertanian berlanjut di negara Indonesia menurut Zulfahmi (2012), antara lain:
1. Pemantauan Produksi di Bidang Pertanian
Modeling produksi tanaman merupakan salah satu contoh aplikasi SIG di
bidangpertanian. Permodelan dengan menggunakan SIG menawarkan suatu mekanisme yang
mengintegrasikan berbagai jenis data (biofisik) yang dikembangkan atau digunakan dalam
penelitian pertanian. Monitoring kondisi tanaman pertanian sepanjang musim tanaman serta
prediksi potensi hasil panen berperan penting dalam menganalisis produksi musiman. Informasi
hasil panen yang akurat dan terkini sangat dibutuhkan oleh departemen pertanian berbagai
negara.
Aplikasi GIS di bidang pertanian sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil produksi
yang maksimal dan memuaskan. Aspek - aspek yang biasanya menggunakan aplikasi GIS
adalah pada bagian pemetaan atau peletakan komoditas yang sesuai dengan keadaan lahan
pertanian tersebut. Peningkatan produksi dengan masukan bahan kimia yang rendah, seperti
pemupukan, sangat diperlukan karena sejak tahun 1980 kegiatan pertanian untuk produksi
pangan yang tidak terkontrol menjadi penyebab pencemaran lingkungan. Sebagai contoh
aplikasi pupuk nitrogen dan fosfor yang berlebihan menjadi penyebab terjadinya pemanasan
global dan hujan asam. Salah satu masalah utama yang dihadapi bagi kehidupan manusia
adalah pencemaran air tanah oleh nitrogen nitrat.
Aplikasi GIS juga sangat membantu dalam memantau keadaan-keadaan di sekitar
wilayah pertanian tersebut, misalnya dalam mengetahui wilayah-wilayah yang terserang hama
atau penyakit, wilayah-wilayah yang telah siap diproduksi. Pemantauan ini dilakukan dari jarak
jauh dengan menggunakan aplikasi dengan sistem monitoring.
2. Penilaian Resiko Usaha Pertanian.
Aplikasi GIS dapat digunakan untuk memetakan keberadaan tanaman pangan. Aplikasi
GIS yang digunakan dalam teknologi pangan diantaranya adalah food trace dan quality trace.
Aplikasi ini telah dikembangkan oleh Thailand. Dengan aplikasi ini kita dapat memperoleh
informasi mengenai bahan baku suatu produk baik itu dari segi mutu dan asal bahan baku. Di
Thailand, salah satu perusahaan pengalengan jagung menggunakan aplikasi ini untuk
mencantumkan informasi bahan baku dan ada kode-kode yang dapat dicek oleh konsumen
untuk mengetahui asal bahan baku. Selain itu, GIS juga dapat dipergunakan untuk memetakan
ketahanan pangan suatu wilayah berdasarkan data-data yang dimasukkan dalam GIS.
GIS juga dapat digunakan untuk membantu mengelola sumberdaya pertanian dan
perkebunan skala kawasan yang luas secara optimal dengan menekan resiko gagal tanam dan
gagal panen. GIS dapat menetapkan masa tanam yang tepat, memprediksi masa panen,
mengembangkan sistem rotasi tanam, dan melakukan perhitungan secara tahunan terhadap
debit, curah hujan dan scenario pola tanam dan jenis tanam yang paling menguntungkan
secara ekonomi dan teknisPenilaian risiko bisnis dilakukan dengan mengukur nilai
penyimpangan yang terjadi. Terdapat beberapa ukuran risiko di antaranya adalah nilai varian
(variance), standar deviasi (standard deviation), dan koefisien variasi (coefficient variation).
Secara praktis pengukuran varian dari penghasilan (return) merupakan penjumlahan selisih
kuadrat dari return dengan ekspektasi return dikalikan dengan peluang dari setiap kejadian.
Sedangkan standar deviasi dapat diukur dari akar kuadrat dari nilai varian. Sementara itu,
koefisien variasi dapat diukur dari rasio standar deviasi dengan return yang diharapkan
(expected return) dari suatu aset. Penghasilan (return) yang diperoleh dapat berupa
pendapatan, produksi atau harga. Koefisien variasi menunjukkan variabilitas return dan
biasanya dihitung sebagai nilai persentase. Jika data penghasilan yang diharapkan (expected
return) tidak tersedia dapat digunakan nilai rata-rata return.
Pelaku bisnis termasuk petani harus berhati-hati dalam menggunakan varian dan standar
deviasi untuk meperbandingkan risiko, karena keduanya bersifat absolut dan tidak
mempertimbangkan risiko dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan. Untuk
membandingkan aset dengan return yang diharapkan, pelaku bisnis atau petani dapat
menggunakan koefisien variasi. Nilai koefisien variasi merupakan ukuran yang sangat tepat
bagi petani sebagai pengambil keputusan dalam memilih salah satu alternatif dari beberapa
kegiatan usaha untuk setiap return yang diperoleh. Dengan menggunakan ukuran koefisien
variasi, perbandingan di antara kegiatan usaha sudah dilakukan dengan ukuran yang sama,
yaitu risiko untuk setiap return.
3. Presisi Pertanian
Pertanian Presisi (teknologi presisi pada sistem farming/PF) merupakan informasi dan
pengelolaan pertanian untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan mengelola informasi
keragaman spasial dan temporal di dalam lahan untuk mendapatkan keuntungan optimum,
berkelanjutan, dan menjaga lingkungan. Tujuan dari pertanian presisi adalah mencocokkan
aplikasi sumber daya dan kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan
tanaman berdasarkan karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan. Pertanian presisi sebagai
teknologi baru yang sudah demikian berkembang di luar Indonesia perlu segera dimulai
penelitiannya di Indonesia untuk memungkinkan perlakuan yang lebih teliti terhadap setiap
bagian lahan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dengan meningkatkan hasil,
menekan biaya produksi dan mengurangi dampak lingkungan. Maksud tersebut dapat dicapai
melalui kegiatan pembuatan peta hasil (yield map), peta tanah (soil map), peta pertumbuhan
(growth map), peta informasi lahan (field information map), penentuan laju aplikasi (variable
rate application), pembuatan yield sensor, pembuatan variable rate applicator, dan lain-lain.
Penggabungan peta hasil, peta tanah, peta pertumbuhan tanaman ini akan menghasilkan peta
informasi lahan (field information map) sebagai dasar perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan
spesifik lokasi yaitu dengan diperolehnya variable rate application. Pelaksanaan kegiatan ini
akan lebih cepat dan akurat apabila sudah tersedia variable rate applicator.
Pertanian presisi diprediksi pada geo-referencing, yaitu penandaan koordinat geografi
untuk titik-titik pada permukaan bumi. Dengan Global Postioning System (GPS) memungkinkan
untuk menandai koordinat geografi untuk beberapa objek atau titik dalam 5 cm, walaupun
keakuratan dari aplikasi pertanian kisaran umumnya adalah 1 sampai 3 meter. GPS adalah
sistem navigasi berdasarkan satelit yang dibuat dan dioperasikan oleh Departemen Pertahanan
Amerika Serikat. GPS telah terbukti menjadi pilhan dalam Positioning System untuk pertanian
presisi. Metode untuk meningkatkan keakuratan pengukuran posisi disebut koreksi diferensial
atau DGPS (Differential Global Postiong System). Perangkat keras yang diperlukan adalah
GPS receiver, differential correction signal receiver, GPS antenna, differential correction
antenna, dan computer/monitor.
4. Pengelolaan Sumberdaya Air
GIS bukan sebuah sistem yang mampu membuat keputusan secara otomatis. GIS hanya
sebuah sarana untuk mengambil data, menganalisanya, dari kumpulan data berbasis pemetaan
untuk mendukung proses pengambilan keputusan. Kita dapat menggunakan GIS untuk
membantu memantau serta mengendalikan irigasi dari tanah-tanah pertanian. GIS dapat
membantu memantau kapasitas sistem, katup-katup, efisiensi, serta distribusi menyeluruh dari
air di dalam sistem. Teknologi GIS irigasi juga dapat membantu berbagai kegiatan pekerjaan
seperti keputusan luas tanam aman berdasarkan informasi debit, membantu memecahkan
masalah yang berkatan dengan kekeringan, atau keputusan tentang lokasi jaringan irigasi mana
yang perlu direhabilitasi. Selain itu GIS juga dapat digunakan untuk membantu meraih
keputusan mengenai lokasi bendung baru yang memiliki sedikit mungkin dampak lingkungan
atau minimal dalam pembebasan lahan pemukiman, berada di lokasi yang memilki resiko paling
sedikit, dan berada pada posisi topografi yang optimal untuk mengairi arel yang paling luas.
Rice Irrigation Management System (RIMS) di Tanjung Karang, Malaysia dikembangkan
oleh Eltaeb Saeed, Rowshon, M.K., Amin, M.S.M. Tujuan pembangunan RIMS yang didukung
teknologi GIS (Geographic Information System) adalah untuk melakukan efisiensi penggunaan
air dan meningkatkan produktifitaslahan pertanian. Teknologi GIS berfungsi untuk menyimpan
data ke dalam basis data komputer sehingga memungkinkan untuk melakukan analisa wilayah
geografi dalam hal ini wilayah yang dilalui saluran irigasi. Kemampuan sistem RIMS yang
menggunakan teknologi GIS dapat mengembangkan manajemen air dengan baik. Sistem RIMS
diterapkan di wilayah irigasi Tanjung Karang, Malaysia. Perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya air yang baik mutlak diperlukan untuk menjaga kelestariannya. Untuk itu dipelukan
informasi yang memadai yang bisa digunakan oleh pengambil keputusan, termasuk diantaranya
informasi spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan teknologi spasial yang sedang
berkembang saat ini. Sebagian besar aplikasi SIG untuk pengelolaan sumberdaya air masih
sangat kurang di negara Indonesia meskipun perkembangan SIG sudah maju pesat di negara-
negara lain. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air harus dilakukan terpadu mulai dari
sumber air sampai dengan pemanfaatannya. Informasi secara spasial akan sangat membantu
pada proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya air.
5. Pengendalian Hama dan Penyakit
Penerapan Geographical Information System (GIS) pada sektor pertanian terkhususnya
dalam pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman. Penerapan GIS sebagai pemetaan dalam
penyebaran penyakit-penyakit tanaman di beberapa daerah tertentu dimana terdapat beberapa
penyakit ang sudah lama timbul atau penyakit yang baru timbul. Penerapan GIS dapat
dilakukan beberapa pelaksanaan, yaitu dilakukan dengan pengendalian atau pengontrolan
sejak dini secara kewilayahan, di mana pelaksanaan GIS sendiri mampu meminimalisir
serangan penyakit tanaman atau sebagai estimasi atau pencegahan sebelum akan terjadi
terserangnya penyakit pada wilayah tersebut. Dimana pelaksanaan GIS dalam mewujudkan
pertanian berlanjut terdepat beberapa kajian yang perlu diperhatikan, sebagai berikut :
a. Data fisiografi wilayah, seperti pada bentuk lahan / landform, kelerengan, jenis tanah dan
sebaran vegetasi/tanaman yang terdapat di wilayah tersebut
b. Data iklim, meliputi curah hujan, intensitas penyinaran matahari dan arah angin
c. Data pola penggunaan lahan
d. Data sosial penduduk, meliputi adat istiadat, mata pencaharian, tingkat perekonomian
penduduk dan tingkat pendidikan penduduk
Aplikasi Geografis Informasi System perlu digunakan dalam pengendalian hama dan
penyakit tanaman. seperti yang kita ketahui bahwa serangan hama dan penyakit tanaman
menyebabkan target produksi sektor pertanian akan menurun. Serangan hama dan penyakit
tanaman dapat diprediksi menggunakan akses teknologi seiring perkembangan teknologi yang
semakin modern. Upaya premitif merupakan suatu pengendalian hama berdasarkan sistem
informasi dan peristiwa pengalaman hama dan penyakit tanaman tersebut. Upaya tersebut
mencakup penentuan pola tanam, varietas, waktu tanam, pemupukan, pengairan dan
penyiangan. Tujuan pengendalian dengan upaya premitif ini agar sistem teknik budidaya
tanaman yang lebih sehat. Respon yang terjadi pada upaya premitif ialah penggunaan musuh
alami atau konservasi musuh alami, pestisida dan pengendalian mekanis akan mendeteksi
serangan hama dan penyakit.
Penerapan GIS pada bidang pertanian khususnya pada bidang hama dan penyakit
tumbuhan yaitu pemetaan, yang mengenai analisis keruangan (spasial) dan modeling. Analisis
spasial dan modeling merupakan suatu metode dalam memahami dan menilai keadaan yang
didasarkan pada informasi yang mencakup lokasi atau tempat, dalam metode ini tercakup
berbagai analisis dan penilaian sejumlah data dan informasi baik yang berupa peta atau laporan
yang diidentifikasi secara geografis.
Penerapan Geographical Information System (GIS) masih jarang sekali digunakan oleh
petani, karena kurangnya pendidikan atau pengetahuan oleh petani mengenai penggunaan
sistem informasi geografis tersebut. Sistem informasi geografis sendiri ialah menurut petani
cukup membuang-buang waktu saja dan petani merasa sulit menggunakannya. Disamping pola
pikir petani yang ingin sistem cepat dan tidak mau mengambil resiko. Petani akan kurang
mengontrol atau memantau kemajuan pasar seperti harga atau produk yang dihasilkan apa saja
kendala berupa data-data yang telah diperoleh hasil dari penggunaan Geographical Information
System tersebut. Padahal oleh petani yang mampu menguasai teknologi ini, petani mampu
mewujudkan pertanian berlanjut yang lebih optimal.
6. Pemantauan Budidaya Pertanian
Menurut DPP Jawa Barat (2006), penerapan atau implementasi sistem informasi geografis
digunakan akan mewujudkan peningkatan produktivitas sumber daya manusia, pengembangan
struktur perekonomian, peningkatan kinerja pemerintah daerah dan peningkatan implementasi
pembangunan pertanian berlanjut. Sistem informasi geografs dapat digunakan untuk mmbantu
mengelola sumberdaya pertanian dan perkebunan seperti untuk luas pada kawasan untuk
tanaman/vegetasi, pepohonan atau saluran perairan.
Penerapan SIG dapat memantau dalam tahap-tahap budidaya tanaman, seperti sebelum
melakukan pembudidayaan atau penanaman, petani akan memperhatikan kondisi tanah,
kesesuaian kelas lahan dan faktor pembatas terlebih dahulu. Dimana sistem informasi geografis
memberikan peran untuk mempermudah perencanaan pengembangan jenis-jenis komoditas
dan penggunaan lahan yang tepat untuk pengelolaan tanaman budidaya. Data tanah dapat
dilakukan dengan memperhatikan, seperti survei tanah dengan skala, analisis dan interpretasi
data iklim wilayah, pengamatan profil tanah, analisis beberapa sifat kimia dan sifat fisik tanah,
interpretasi tanah dan lahan, melakukan penyusunan kelas kemampuan lahan serta kelas
kesesuaian lahan, klasifikasi kesuburan tanah dan digitasi pemetaan tanah menggunakan
Geographical Information System. Hal ini sesuai dengan pendapat Buchori (2010), bahwa
perencanaan GIS dalam penyesuaian potensi sumberdaya lahan berdasarkan hasil data yang
diperoleh, secara ekonomi akan mampu menigkatkan produksi komoditas, dimana akan
menguntungkan perekonomian dan terjaganya kelestarian lingkungan.
Penggunaan aplikasi Geographical Information System (GIS), dapat mengetahui keadaan
atau kondisi tanah, parameter tanah, informasi mengenai lingkungan sebagai daya tumbuh
tanaman di lahan, mendeteksi masa-masa pertumbuhan tanaman, kadar air tanah dan
tanaman, pemantauan hama dan penyakit tanaman, pemetaan sumber daya, pemantauan
irigasi, mengetahui kebutupan pupuk tiap luas lahan yang dibudidayakan komoditas tertentu,
pemetaan lahan, monitoring lingkungan. GIS mampu memantau tanaman budidaya dalam
tahap-tahap pengelolaan lahan, mengembangkan sistem rotasi tanam, pemeliharaan seperti
penyiangan, pemupukan, dan sebagainya hingga tahap masa panen. Upaya GIS mampu
mendukung proses pembibitan, penanaman serta inventarisasi data-data cepat di analisis.
Penggunaan GIS juga bermanfaat dalam pembuatan peta sebaran tanaman pangan dalam
suatu wilayah, peta sebaran tiap komoditas seperti hortikultura, jenis tanah, dan sebagainya.
Sistem Informasi Geografis dalam pertanian merupakan informasi dan sistem teknologi pada
sistem pengelolaan pertanian mencakup identifikasi, analisa, dan mengelola keragaman spasial
dan temporal di suatu bentang lahan untuk mendapatkan produksi yang optimum, pertanian
berkelanjutan dan kelestarian lingkungan. Penerapan SIG cukup general karena penerapan
yang tepat dalam bidang pertanian maupun non pertanian. Penerapan teknologi ini cukup
praktis dan efisien karena penginputan data hanya dilakukan didalam ruangan dan menguasai
penggunaan teknologi saja.
7. Kajian Biodiversitas bentang lahan untuk kegiatan Pertanian.
Berdasarkan aspek konservasi hutan dan keragaman hayati, dimana akan menentukan area
prioritas dari keanekaragaman hayati. Penerapan Sistem Infromasi Geofragis merupakan alat
yang sangat berguna dalam analisis perubahan iklim, seperti analisis data dalam skala
pemodelan tertentu. Basis data spasial juga dapat dilakukan meliputi basis data topografi, hujan
tropis basah, iklim global, perubahan iklim global, citra satelit dan konservasi tanah dan air.
Kawasan konservasi ialah salah satu kawaan yang sudah ditetapkan oleh departemen
kehutanan sebagai akwasan yang harus dilestarikan atau dilindungidengan penggunaan lahan
atau kawasan yang cukup terbatas, dimana telah terbagi menjadi beberapa zona dalam
pemanfaatan kawasan hutan lindung. Kawasan konservasi meliputi taman nasional, cagar
alam, suaka magasatwa, taman wisata alam dan taman hutan raya. Sedangkan kawasan hutan
lindung meliputi kawasan hutan lindung saja. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Perpres no 3 tahun 2012 pasal 1 poin no4, bahwa kawasan lindung merupakan wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk dilindungi atau dklestarikan lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, terkhusus pada keanekaragaman
hayati yang terdapat di kawasan tersebut dimana harus seimbang dengan ekosistemnya.
Sedangkan kawasan budidaya merupakan wilayah atau kawasan yang ditetapkan dengan
fungsi pembudidayan dan sumberdaya manusia, sumberdaya alam serta sumberdaya buatan.
Kawasan budidaya meliputi kawasan peruntukan hutan, pertanian, permukiman dan
pertambangan. Apabila terjadi kerusakan pada wilayah tersebut akan menganggu ekosistem
yang berdampak terhadap lingkungan yang mempengaruhi siste perekonomian dan sistem
sosial (Prahasta, 2002).
8. Efisiensi Pembiayaan
Melalui dukungan GIS petani dapat melakukan efisiensi pembiayaan melalui pembelian
berbagai sarana dan sumber daya pertanian seperti bibit, pupuk, dan peralatan pendukung
dengan harga yang murah namun tetap memiliki kualitas yang baik. Melalui internet petani akan
dapat mengakses informasi harga dari berbagai sumber. Sehingga mereka dapat menentukan
pilihan yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Penggunaan GIS mampu mewujudkan
minim pengeluaran dalam bidang pertanian maupun non pertanian.
BAB IV

REKOMENDASI TEKNOLOGI UNTUK PENERAPAN PERTANIAN PRESISI

4.1 Komponen Teknologi dalam Pertanian Presisi


Precision agriculture atau pertanian presisi merupakan pendekatan untuk menentukan
tindakan yang tepat pada lokasi yang tepat dengan cara yang tepat pada saat yang tepat.
Precision agriculture membutuhkan teknologi baru seperti global positioning system (GPS),
sensor tanah, sensor tanaman, sensor hama, satelit atau foto udara, dan sistem informasi
geografis (SIG) untuk menilai dan memahami berbagai variabel lahan (Manalu, 2013).
Pertanian presisi bertujuan untuk memberikan input pada lahan berdasarkan pada lokasi yang
tepat, sesuai dengan kondisi tanah dan kebutuhan tanaman. Oleh karena itu, penilaian
variabilitas merupakan aspek penting dan merupakan tahap awal yang sangat mendasar
dalam pertanian presisi karena tahap ini menentukan tahap-tahap berikutnya (Wijayanto,
2013)
Manfaat dari precision farming adalah meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan
lahan dari berbagai aspek seperti aspek agronomi, teknik dan ekonomi. Khusus untuk aspek
lingkungandapat mengurangi pencemaran misalnya dengan peningkatan akurasi estimasi
kebutuhan nitrogen akan mengurangi tingkat cemaran karena nitrogen yang terbawa run-off
dapat diminimalisasi. Keuntungan lain yang akan didapatkan oleh petani adalah terbentuk
sistem basis data akurat yang bisa membantu petani untuk mencatat data-data usaha tani dan
hasil panen, sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan (Auernhammer, 2001).

Sistem Pertanian Presisi Pertanian presisi adalah sistem pertanian terpadu berbasis pada
informasi dan produksi, untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan profitabilitas produksi
pertanian dari hulu ke hilir yang berkelanjutan, spesifik-lokasi serta meminimalkan dampak yang
tidak diinginkan pada lingkungan (Whelan dan Taylor 2013). Pertanian presisi menggunakan
pendekatan dan teknologi yang memungkinkan perlakukan presisi pada setiap simpul proses
pada rantai bisnis pertanian dari hulu ke hilir sesuai kondisi (lokasi, waktu, produk, dan
consumer) spesifik yang dihadapi (Seminar 2016, Heriyanto et al. 2016). Ada empat pilar utama
dalam pendekatan pertanian presisi, yaitu:
1. Memandang aktivitas pertanian secara holistik dan menyeluruh dari hulu ke hilir
sebagai rantai proses yang terpadu dan berkesinambungan untuk memastikan
aliran konversi produk pertanian dengan aman, efisien, dan efektif dari lahan
hingga ke meja makan.
2. Memedulikan keragaman (heterogenitas) dan dinamika lokasi, waktu, objek bio,
iklim, geografi, kultur, pasar, dan konsumen.
3. Mendayagunakan teknologi yang memungkinkan pengamatan dan perlakuan
presisi.
4. Berbasis kepada data, informasi, dan pengetahuan yang sahih. Penerapan
pertanian presisi dari hulu ke hilir dalam rantai produksi dan pasok produk
pertanian dimulai dari menentukan dan melihat lahan yang sesuai berdasarkan
kondisi tanah, iklim, dan air, dilanjutkan dengan ketepatan dalam menentukan
metode pembukaan dan pengolahan lahan; metode dan waktu tanam; metode dan
waktu irigasi dan perawatan tanaman; pemupukan yang tepat jenis, waktu, dan
dosis; waktu dan metode panen; pengolahan pascapanen, transportasi, kemasan
produk, pemilihan target pasar; serta penyajian makanan yang tepat fungsi dan
aman.
Berkembangnya teknologi dan internet pada era Industri 4.0 memberikan kemudahan
bagi manusia untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Potensi petani juga dapat
dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi untuk mengedukasi petani mengenai
kesesuaian lahan untuk tanaman yang dikehendaki oleh petani. Sayangnya, perkembangan
teknologi dan internet ini belum menyentuh dunia pertanian dengan optimal.
Pertanian presisi membutuhkan teknologi baru seperti global positioning system (GPS),
sensor tanah, sensor tanaman, sensor hama, satelit atau foto udara, dan sistem informasi
geografis (GIS) untuk menilai dan memahami berbagai variabel lahan. Kumpulan informasi
bisa digunakan untuk mengevaluasi secara lebih teliti kerapatan pembenihan yang optimum,
mengestimasi penggunaan pupuk dan herbisida, serta memprediksi hasil panen lebih tepat
(Sonka, 1997). Pertanian presisi juga dapat menghindari pemakaian input usaha tani lainnya
secara berlebihan, memberikan sesuai takaran berdasarkan kondisi tanah dan iklim, dan
membantu menaksir takaran yang tepat untuk pembasmian hama penyakit (Thorp, 2004).
Teknologi yang terdapat dalam pertanian presisi memanfaatkan rangkaian teknologi seperti
GPS, GIS, penginderaan jauh, VRT, sensor saat bepergian, grid pengambilan sampel,
monitor, dan irigasi presisi. Rangkaian teknologi tersebut digunakan untuk memenuhi
persyaratan pertanian presisi dimana dalam melakukan pertanian presisis terdapat tiga
persyaratan utama yaitu kemampuan mengidentifikasi setiap lokasi lapangan, kemampuan
menangkap, menafsirkan dan menganalisis data agronomi pada skala dan frekuensi yang
sesuai, dan kemampuan untuk menyesuaikan penggunaan input dan praktik pertanian untuk
memaksimalkan manfaat dari setiap lokasi lapangan. Selain itu, berbagai konfigurasi teknologi
tersebut dapat cocok untuk operasi pertanian presisi yang berbeda. Kemudian teknologi
berbasis internet sangat berharga untuk pengiriman data dan cara pertanian presisi yang
efisien (Srinivasan Ancha, 2016).
Komponen teknologi yang pertama adalah GPS, teknologi ini merupakan konstelasi 27
satelit yang dikembangkan oleh Departemen AS Pertahanan. GPS dapat memberikan akurasi
geospasial untuk praktik pertanian dan memungkinkan petani untuk mengidentifikasi
karakteristik dari setiap lokasi lapangan (di mana sampel tanah atau data organisme
pengganggu tanaman berada dikumpulkan). Diperlukan minimal empat satelit untuk
mendapatkan informasi berdasarkan posisi yang baik. Jika penerima GPS digunakan bersama
dengan stasiun referensi bumi (GPS Diferensial), lokasi mana pun di bumi dapat diidentifikasi
dalam satu meter persegi. Akurasi horizontal per sub-meter dianggap memiliki sebagian besar
data yang memadai untuk aplikasi pertanian presisi. Seorang peneliti tanaman dapat
menggunakan GPS untuk memetakan serangga atau gulma suatu ladang infestasi dan dapat
gambaran lokasinya dengan detail yang spesifik. Demikian juga dengan kinematik GPS yang
dapat digunakan untuk pengembangan secara cepat mengenai peta topografi yang akurat.
Komponen teknologi yang kedua berupa GIS. GIS merupakan suatu sistem
penyimpanan dan pengambilan data yang terkomputerisasi, yang dapat digunakan untuk
mengelola dan menganalisis data spasial yang berkaitan dengan produktivitas tanaman dan
faktor agronomi. Teknologi ini dapat mengintegrasikan semua jenis informasi dan antarmuka
dengan keputusan lain alat pendukung. GIS dapat menampilkan informasi yang dianalisis
dalam peta yang memungkinkan lebih baik pemahaman tentang interaksi antara hasil,
kesuburan, hama, gulma dan lainnya faktor, serta dapat dimanfaatkan untuk pengambilan
keputusan berdasarkan hubungan spasial tersebut. Banyak jenis perangkat lunak GIS
dengan berbagai fungsi dan harga kini tersedia. Sebuah GIS pertanian yang komprehensif
berisikan peta dasar seperti topografi, jenis tanah, N, P, K dan tingkat unsur hara lainnya,
kelembaban tanah, pH, dll. Data rotasi tanaman, pengolahan tanah, aplikasi nutrisi dan
pestisida, hasil panen, dan lain-lain juga dapat disimpan. GIS berguna untuk membuat peta
kesuburan, gulma dan intensitas hama, yang kemudian dapat digunakan membuat peta yang
menunjukkan tingkat aplikasi nutrisi yang direkomendasikan atau pestisida.
Komponen teknologi selanjutnya berupa citra satelit penginderaan jauh, teknologi ini
menggunakan pesawat terbang rendah atau satelit yang menjadi sumber utama informasi
tentang keragaman spasial di lapangan yang disebabkan oleh faktor alam dan budaya. Satelit
komersial yang akan diluncurkan di masa depan diharapkan memiliki spesifikasi yang ideal
untuk pertanian presisi seperti cakupan berulang 3 hari, mengukur resolusi spasial dan
pengiriman gambar ke pengguna dalam waktu 15 menit selanjutnya dilakukan akuisisi.
Gambar penginderaan jauh dapat menampilkan semua bidang di desa atau blok dan
menemukan masalah lebih cepat daripada inspeksi lapangan, sehingga memungkinkan
perbaikan perawatan yang harus diambil sebelum kerusakan menyebar ke bagian lain di
lapangan. Di Dalam survei lapangan, GPS dapat digunakan untuk menunjukkan area yang
dimanfaatkan secara rinci untuk pemeriksaan lahan. Selain itu melakukan pengoalahan data
mengenai perubahan kekuatan tanaman yang dapat ditentukan menggunakan gambar yang
diperoleh pada waktu yang berbeda selama satu musim. Data-data tersebut jika digabungkan
dan dianalisis dengan benar dapat berguna untuk memprediksi hasil panen.
Komponen teknologi lainnya adalah VRT (Variable Rate Technology), komponen
teknologi ini dinilai paling canggih dari teknologi dalam pertanian presisi, teknologi ini
menyediakan "on-the-fly" pengiriman input lapangan. Kerja teknologi ini dimulai dari
pemasagan GPS di truk sehingga memembuat pemetaan serta dapat dengan mudah
mengenali medan lokasi. Selanjutnya data-data yang diperoleh berdasarkan GPS sebelumnya
ditransfer ke komputer yang berisi file masukan peta rekomendasi, dan kontrol katup distribusi
diman untuk menyediakan campuran masukan yang sesuai dengan membandingkan informasi
posisi yang diterima dari Penerima GPS. Sistem VRT komersial saat ini berbasis peta atau
berbasis sensor (NRC, 1997). Sistem VRT berbasis peta membutuhkan GPS / DGPS lokasi
georeferensi dan unit perintah yang menyimpan rencana data yang diinginkan untuk setiap
lokasi lapangan. Sistem VRT berbasis sensor tidak memerlukan lokasi georeferensi tetapi
menyertakan unit kontrol dinamis, yang menentukan aplikasi melalui analisis waktu nyata dari
sensor tanah dan tanaman pengukuran untuk setiap lokasi lapangan.
Teknologi selanjutnya adalah sensor, sensor disini berupa sensor tanaman dan tanah
elektronik yang dapat mendeteksi tingkat kelembapan butir, protein, tekanan air, penyakit atau
serangan gulma, kelembaban tanah, nitrogen tanah, KTK, kedalaman tanah lapisan atas, dll.
Sensor kelembaban butiran dapat membantu dalam mengoptimalkan operasi panen dan
persyaratan penyimpanan dan pengeringan. Selanjutnya sensor untuk mendeteksi kualitas
tanah dengan cepat dan kontrol mesin yang memandu peralatan lapangan serta dapat
memvariasikan tingkat, campuran, lokasi benih, unsur hara, semprotan air atau kimia.
Kemudian sistem kendali berbasis mikroprosesor sangat berguna dalam pertanian presisi.
Sebagai contoh, dalam sistem pemantauan hasil gabungan, mikroprosesor mengumpulkan
dan menyimpan informasi dari penerima GPS dan sensor butir kelembaban. Di peralatan VRT,
mikroprosesor memperoleh informasi posisi dari GPS penerima, dan membandingkan data
tersebut dengan peta komputer yang direkomendasikan aplikasi, lalu memberi sinyal kepada
sistem kontrol aplikator untuk mendistribusikan dengan tepat jumlah input pada posisi itu.
4.2
4.2 Rekomendasi Teknologi untuk Penerapan Pertanian Presisi
Komponen-komponen teknologi yang telah dijelaskan sebelumnya dapat melahirkan
suatu inovasi teknologi baru pada sistem pertanian presisi sesuai dengan bagaimana kondisi
wilayahnya dan apa saja persoalan yang dihadapi. Berikut beberapa rekomendasi teknologi
yang dapat dilakukan:
1. Aplikasi kontrol digital untuk pemupukan secara Variable Rate Nitrogen Fertilizer
(VRNF) pada sistem pertanian presisi
Praktek pertanian yang sudah bertahun-tahun menghasilkan
pengetahuan tentang karakteristik dan produktivitas lahan, kemudian adanya
variabilitas tanah menyebabkan kebutuhan pupuk perluasan lahan juga berbeda.
Sehingga sangat menguntungkan bila tingkat kandungan nitrat dalam tanah dapat
diketahui sehingga pemakaian pupuk nitrogen dapat disesuaikan dengan
kebutuhan. Atas dasar inilah dikembangkan teknologi Variable Rate Nitrogen
Fertilizer (VRNF) dengan menggunakan komponen teknologi berupa VRT untuk
menghindarkan kekurangan atau kelebihan pupuk pada suatu bagian lahan/
hamparan pertanian (Torbett et al., 2006).
Beberapa spreader pupuk sudah dimodifikasi untuk dapat melakukan
pemupukan secara variable rate, tetapi perubahan lajunya masih dikendalikan
secara manual oleh operator. Kendala utama metode ini adalah dibutuhkannya
perhatian dan konsentrasi terus-menerus dari operator yang membuat orang
cepat menjadi lelah. Untuk mengatasi kendala tersebut perlu dikembangkan suatu
sistem otomatik yang dapat melakukan pemupukan secara variable rate dengan
membaca sinyal input dari peta yang telah direkam sebelumnya atau dari alat
sensor. Beberapa alat sensor yang memonitor level nitrogen tanah sudah
dikembangkan dan dapat digunakan secara real-time (Isgin et al., 2008). Desain
sistem kontrol untuk teknologi VRNF sebagai berikut:

Gambar 4. Sistem pengaturan laju pemberian pupuk (Yu Li and Kushwaha,


1994).
Gambar 5. Diagram blok desain sistem kontrol (Yu Li and Kushwaha, 1994).

Gambar 4 menunjukkan metode yang digunakan untuk menyelesaikan


laju pemberian pupuk dengan menggunakan servo motor. Kemudian pada
gambar 5 terlihat voltase output dari sensor nitrat setelah diperkuat dimasukkan
ke konverter A/D oleh mikro kontroler unit. Setpoin sistem kontrol digital dihitung
dari sinyal level sampel nitrat dengan menggunakan model agronomis untuk
VRNF. Nilai set poin ini dihubungkan dengan posisi slide gate yang diinginkan,
sedangkan posisi aktualnya diukur dengan potensiometer. Sinyal yang masuk
berhubungan dengan selisih antara posisi slide gate yang diinginkan dengan
posisi aktualnya. Dalam hal ini sinyal eror dimanipulasi oleh digital controller.
Keluaran dari digital controller dikonversi ke sinyal analog dan dilewatkan pada
alat zero order hold (ZOH) dan diperkuat sebagai input untuk servomotor DC
yang selanjutnya menjadi penggerak gear train dan lead screw untuk mengontrol
posisi slide gate (Manalu, 2013).
Setelah pengujian simulasi yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa
alat pemupuk nitrogen yang dikontrol secara variable rate dengan metode pole-
placement controller telah menunjukkan kinerja yang baik. Alat ini sudah mampu
merespon input setpoint dengan tingkat kesalahan yang dapat diterima, baik
menyangkut steady-state offset error, settling time maupun overshoot. Meskipun
tidak dapat dipungkiri bahwa introduksi teknologi tinggi merupakan syarat
penting, dalam pelaksanaannya harus tetap diingat bahwa precision farming
lebih merupakan proses managemen dari pada hanya sekedar implementasi
teknologi. Dampak precision farming terhadap kelestarian lingkungan juga
mengarah pada pengaruh yang positif. Pengaruh terpenting adalah pada sektor
ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.
2. Aplikasi Berbasis Android Menggunakan SIG Untuk Kesesuaian Lahan Tanam
Aplikasi berbasis andorid yang dapat digunakan adalah aplikasi Cocok Tanam.
Aplikasi Cocok Tanam akan mengandalkan komponen teknologi berupa SIG dan
penggunaan yang mudah (friendly user). Proses dalam pembuatan peta dan
database akan menggunakan teknik overlay yang terdapat dalam SIG. Overlay
menampalkan suatu peta digital pada peta digital yang lain beserta atribut-
atributnya dan menghasilkan peta gabungan keduanya yang memiliki informasi
atribut dari kedua peta tersebut. Penggunaan overlay akan menggabungkan peta
pH tanah, peta curah hujan, ketinggian tempat, suhu udara, dan 10 jenis tanah
menjadi sebuah peta baru yang menunjukkan kecocokan lahan tersebut untuk
tanaman tertentu. Hal inilah yang menjadikan aplikasi ini user friendly karena
informasi yang mudah didapat tanpa prosedur yang rumit.

Gambar 6. Tampilan dan langkah penggunaan aplikasi.

Penggunaannya dapat dilakukan beberapa tahapan. Pada tahapan


pertama hanya perlu memilih 2 opsi yang disediakan dengan kemudian
menginput titik koordinat dengan fitur yang ada pada aplikasi. Pilihan pertama
adalah pilihan jika petani ingin mengetahui rekomendasi tanaman untuk ditanam
pada koordinat tertentu (Rekomendasi Tanaman). Pilihan kedua adalah pilihan
jika petani ingin mengetahui rekomendasi lokasi untuk menanam benih yang
dimiliki (Rekomendasi Lokasi). Pilihan pertama (Rekomendasi Tanaman) hanya
perlu memasukkan koordinat lahan yang dimiliki, lalu akan keluar rekomendasi
tanaman yang dianjurkan dengan menyertakan informasi tentang kondisi lahan
yang dimiliki. Pilihan kedua (Rekomendasi Lokasi) pengguna hanya perlu
memasukkan jenis tanaman pangan yang ingin mereka tanam, lalu akan keluar
rekomendasi lokasi berupa peta yang dianjurkan untuk menanam benih yang
dimiliki. Jika ternyata lahan yang dimiliki tidak memiliki kesesuaian untuk
tanaman apapun, maka akan muncul opsi solusi yang akan menyediakan
beberapa cara agar lahan tersebut sesuai dengan tanaman yang ingin ditanam
(Chatami, 2019).
3. Konsep Forecast Based Financing (FbF)
Konsep FbF mencoba membangun sistem pendanaan berbasis prediksi informasi
cuaca, iklim, dan hidrologi yang sistematis mengintegrasikan masing-masing dari
ketiga elemen tersebut, yang bergantung pada keakuratan prediksi untuk daerah
yang bersangkutan. Informasi prediksi cuaca dan iklim tersebut diolah dan
disajikan sebagai suatu peringatan dini yang akan diverifikasi keakuratannya dan
ditranformasikan menjadi informasi berharga berupa tindakan yang diambil
sebagai tanggapan terhadap informasi tersebut. Sehingga, dengan
memanfaatkan konsep yang digunakan tersebut pengguna mendapatkan
informasi mengenai biaya pengurangan risiko, kerugian bencana, serta biaya
yang dapat dikeluarkan untuk mengakomodasi kerugian apabila bencana tersebut
terjadi. Sistem FbF dapat dilakukan untuk pertanian presisi di Indonesia karena
merupakan peluang bagus untuk mendorong dan mengoperasionalkan
perlindungan terhadap terjadinya kegagalan panen dan peningkatan ketahanan
pangan di Indonesia. Sistem yang diuraikan di atas memanfaatkan metode
perkiraan laba yang ada dalam hubungannya dengan informasi yang ditentukan
pengguna tentang biaya pengurangan risiko dan kerugian kegagalan panen akibat
dinamika cuaca dan iklim. Ketika berada dalam sistem tersebut, informasi ini
dapat memecah hambatan peluang dan mandat yang saat ini mencegah
penggunaan sistematis ramalan di sektor pertanian, dan mengembangkan SOP
yang memastikan pengembalian investasi yang berkelanjutan. keuntungan bersih
dari sistem seperti ini terlihat jelas bila diterapkan dalam jangka panjang, karena
hits dan false alarm akan menyesuaikan dan menyatu pada frekuensi yang
sebenarnya (Wijaya, 2018).
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pertanian presisi dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS) merupakan


salah satu sistem yang mampu mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian. Adanya sistem
ini, diharapkan dapat menekan tingginya laju alih fungsi lahan pertanian sawah. Pertanian
presisi adalah sistem pertanian terpadu berbasis pada informasi dan produksi untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi produktivitas dan profitabilitas produksi pertanian dari
awal hingga akhir sesuaia dengan kondisi (Heriyanto et al 2016). Teknologi informasi geografis
dengan basis data spasial yang digunakan untuk melihat kesesuaian lahan suatu tanaman
dengan memperhitungkan tanaman pada suatu wilayah. Pendekatan pertanian presisi dengan
memanfaatkan data agroklimat dan data spasial yang didapat dari satelit atau GPS bisa
digunakan untuk perencanaan pembukaan pengelolaan lahan yang paling tepat dari aspek
sumberdaya.

Dalam melaksanakan strategi pertanian presisi membutuhkan teknologi seperti global


positioning system (GPS), sensor tanah, sensor tanaman, sensor hama, satelit atau foto udara,
dan sistem informasi geografis (GIS) untuk menilai dan memahami berbagai variabel lahan.
Pemanfaatan GIS pada bidang pertanian yang dapat mendukung implementasi pertanian
berlanjut di negara Indonesia menurut Zulfahmi (2012), yaitu pemantauan produksi di bidang
pertanian, penilaian , resiko usaha pertanian, presisi pertanian, pengelolaan sumberdaya air,
pengendalian hama dan penyakit, pemantauan budidaya pertanian, kajian biodiversitas bentang
lahan untuk kegiatan pertanian dan efisiensi pembiayaan. Terdapat beberapa rekomendasi
teknologo untuk penerapan pertanian presisi yaitu aplikasi control digital untuk pemupukan
secara Variable Rate Nitrogen Fertilizer (VRNF) pada sistem pertanian presisi, aplikasi berbasis
android menggunakan SIG untuk kesesuain lahan tanam, dan konsep Forecast Based
Financing (FbF).
5.2 Saran
Peningkatan perhatian dan dukungan pemerintah kepada para peneliti agar dapat
mengembangkan suatu sistem untuk melaksanakan pertanian presisi secara mudah, efektif,
dan efisien sehingga dapat segera diadopsi di sektor pertanian Indonesia. Selain itu, diperlukan
kegiatan sosialisasi dan pelatihan kepada para petani agar dapat mengadopsi sistem ini.
DAFTAR PUSTAKA

Aartsen, J. V., (1953). Ekonomi pertanian Indonesia. Jakarta: Pembangunan


Auernhammer, H. 2001. Precision farming – the environmental challenge. Computers and
Electronics in Agriculture, 30, 31-43.
Buchori, I. 2010. Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Perencanaan Tata
Ruang. Buletin Tata Ruang: Ruang Untuk Ekonomi Masyarakat. Badan Koordinasi
Penataan Ruang Nasional. Jakarta Halaman: 20-25.
Bustomi, Y., Ramdhani, M. A., & Cahyana, R. (2012). Rancang bangun sistem informasi
geografis sebaran tempat riset teknologi informasi di Kota Garut. Jurnal Algoritma, 9 (20).
Chatami Cindra. 2019. Pertanian Presisi dengan Aplikasi Berbasis Android Menggunakan SIG
untuk Kesesuaian Lahan Tanam dengan Tujuan Menghentikan Kelaparan. Purwokerto.
Universitas Jenderal Soedirman.
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: nutrient disorders &nutrient management. IRRI-
PPI-PPIC. Canada.
DPP Jawa Barat (2006), Informasi Sentra Produksi Holtikultura, Dinas Pertanian dan Pangan
Propinsi Jawa Barat, Bandung.
Geografis (Sig) dalam Pengembangan Kebun Percobaan. SIRINOV. Vol 3(2). Hal : 103 - 112.
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar.
Heriyanto H, Seminar K B, Solahudin M, Subrata IDM, Supriyanto, Liyantono, Noguchi R,
Ahamed, T. 2016. Water Supply Pumping Control System Using PWM Based on Precision
Agriculture Principles. International Agricultural Engineering Journal (IAEJ) 25(2): 1–8.
Isgin, T., Bilgic, A., Forster, D.L., Marvin T. Battec. 2008. Using Count Data Models to
Determine the Factors Affecting Farmers’ Quantity Decisions of Precision Farming
Technology Adoption. Computers and Electronics in Agriculture, 62, 231–242.
Manalu, L.P., 2013. Aplikasi Kontrol Digital untuk Pemupukan Secara Variable Rate pada
Sistem Pertanian Presisi. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Jakarta BPPT. Vol. 15
No. 3.
NRC, 1997. Precision Agriculture in the 21st Century. Geospatial and Information Techniques
in Crop Management. National Academy Press, Washington DC. 149pp.
Pasour, E.C.Jr. (1982). Agricultural Land Protection: is Government Intervention Waranted.
Cato Jurnal, 2:739-758.
Prabawa, S., B. Pramudya, I.W. Astika, R.P.A. Setiawan, dan E. Rustiadi. (2009). Sistem
Informasi Geografis dalam Pertanian Presisi pada Kegiatan Pemupukan di Perkebunan
Tebu.
Prahasta, E., 2002. “Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis”, Informatika. Bandung.
Sari, D. P., Syafruddin, R. F. and Kadir, M. 2016. Penerapan Prinsip-Prinsip Good
Agricultural Practice (GAP) Untuk Pertanian Berkelanjutan di Kecamatan Tinggi
Moncong Kabupaten Gowa. Jurnal Galung Tropika. Vol 5 (3): 151-163.
Solahudin M, Seminar KB, Astika IW, Buono A. 2010. Pendeteksian kerapatan dan jenis gulma
dengan metode Bayes dan analisis dimensi fraktal untuk pengendalian gulma secara
selektif. JTEP 24(2): 129–135.
Sonka, S. T. 1997. Precision agriculture in the 21st Century. Geospatial and Information
Technologies in Crop Management. USA: National Research Council.
Srinivasan Ancha, 2016. Relevance of Precision Farming Technologies to Sustainable
Agriculture in Asia and the Pacific. Sapporo: Geospatial Analysis Center.
Suryana, A., A. Adimihardja, A. Mulyani, Hikmatullah, dan A.B. Siswanto. 2005. Prospek dan
Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan aspek kesesuaian lahan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Suwardji, 2004. Rencana strategi pengembangan lahan kering Provinsi NTB.Bappeda, NTB.
Pp157.
Thorp, K.R. and L.F. Tian. 2004. Performance Study of Variable-rate Herbicide applications
based on Remote Sensing Imagery. Biosystems Engineering, 88 (1), 35–47
Tjahjana, B., E., Heryana, N. dan Wibowo, N., A. 2015. Penggunaan Sistem Informasi
Torbett, J.C., R.K. Roberts, J. A. Larson, B. C. English. 2006. Perceived improvements in
nitrogen fertilizer efficiency from cotton precision farming. Computers and Electronics in
Agriculture, 64(2), 140-148.
Whelan, B., Taylor, J. 2013. Precision Agriculture for Grain Production Systems, CSIRO
Publishing, ISBN: 978-0-643-10747
Wijaya Aristyo R, dan Susandi Armi. 2018. Konsep Forecast-Based-Financing untuk Pertanian
Presisi di Indonesia. Jakarta. Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Wijayanto, Y. 2013. Kajian Penggunaan Sistem Informasi GEOGRAFIS (SIG) untuk Pertanian
Presisi’. Makalah. Jember: Universitas Jember
Yu Li and Kushwaha. 1994. A Digital Control System for Variable Rate Nitrogen Fertilization.
Computers and Electronics in Agriculture 10, 245-258
Zulfahmi, M., G., A. 2012. Aplikasi Gis untuk Mendukung Kegiatan Pertanian Berlanjut di Skala
Bentang Lahan. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya.

Anda mungkin juga menyukai