Anda di halaman 1dari 32

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan Model-Model Triase Bencana


2.1.1 Pengertian Triase
Triase berasal dari Bahasa Prancis “Trier” berarti mengambil atau
memilih. Adalah penilaian, pemilihan dan pengelompokan penderita yang
mendapat penanganan medis dan evakusasi pada kondisi kejadian masal
atau kejadian bencana. Penanganan medis yang diberikan berdasarkan
prioritas sesuai dengan keadaan penderita.
Tujuan Triage adalah untuk memudahkan penolong untuk
memberikan petolongan dalam kondisi korban masalah atau bencan dan
diharapkan banyak penderita yang memiliki kesempatan untuk bertahan
hidup. Triage secara umum dibagi menjadi dua yakni Triage di UGD/IGD
Rumah Sakit dan Triage di Bencana.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya
cedera atau penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat
serta transportasi. Tindakan ini merupakan proses yang berkesinambungan
sepanjang pengelolaan musibah massal. Proses triase inisial harus
dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat kejadian dan tindakan
ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat
berubah. Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode
triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau
sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid
Transportation).
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan
atas korban adalah yang dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas
tindakan dijelaskan sebagai berikut :
1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan
tidak mungkin diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan
tindakan dan transport segera (gagal nafas, cedera torako-abdominal,

2
3

cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat,


luka bakar berat).
3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikan tidak
akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat (cedera abdomen
tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor
tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta luka bakar
ringan).
4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera (cedera jaringan lunak, fraktura dan
dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas
serta gawat darurat psikologis).
Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik yang
mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan
kelompok korban seperti yang memerlukan transport segera atau tidak,
atau yang tidak mungkin diselamatkan, atau mati. Ini memungkinkan
penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko
besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport
segera. Sistim METTAG atau pengkodean dengan warna tagging
system yang sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun
Lapangan START.
Sistem triase terdiri dari Disaster dan Non
Disaster. Disaster digunakan untuk menyediakan perawatan yang lebih
efektif untuk pasien dalam jumlah banyak. Sedangkan Non
Disaster digunakan untuk menyediakan perawatan sebaik mungkin bagi
setiap individu pasien.
2.1.2 Konsep dan Klasifikasi Triase
1. Konsep Triase antara lain :
a. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam
nyawa
b. Tujuan kedua adalah untuk memprioritaskan pasien menurut ke
akutannya
c. Pengkatagorian mungkin ditentukan sewaktu-waktu
4

d. Jika ragu, pilih prioritas yang lebih tinggi untuk menghindari


penurunan triage
2. Triase diklasifikasi berdasarkan pada :
a. Tingkat pengetahuan
b. Data yang tersedia
c. Situasi yang berlangsung
3. Sistem klasifikasi menggunakan nomor, huruf atau tanda. Adapun
klasifikasinya sebagai berikut :
a. Prioritas 1 atau Emergensi
1) Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan
evaluasi dan intervensi segera
2) Pasien dibawa ke ruang resusitasi
3) Waktu tunggu 0 (Nol)
b. Prioritas 2 atau Urgent
1) Pasien dengan penyakit yang akut
2) Mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan kaki
3) Waktu tunggu 30 menit
4) Area Critical care
c. Prioritas 3 atau Non Urgent
1) Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis
yang minimal
2) Luka lama
3) Kondisi yang timbul sudah lama
4)  Area ambulatory / ruang P3
d. Prioritas 0 atau 4 Kasus kematian
1) Tidak ada respon pada segala rangsangan
2) Tidak ada respirasi spontan
3)  Tidak ada bukti aktivitas jantung
4) Hilangnya respon pupil terhadap cahaya
4. Klasifikasi Triage Dalam Gambaran Kasus
a. Prioritas 1 – Kasus Berat
1) Perdarahan berat
5

2) Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla


3) Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat
4) Fraktur terbuka dan fraktur compound
5) Luka bakar > 30 % / Extensive Burn
6) Shock tipe apapun
b. Prioritas 2 – Kasus Sedang
1) Trauma thorax non asfiksia
2) Fraktur tertutup pada tulang panjang
3) Luka bakar terbatas  
4) Cedera pada bagian / jaringan lunak
c. Prioritas 3 – Kasus Ringan
1) Minor injuries
2) Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan
d. Prioritas 0 – Kasus Meninggal
1) Tidak ada respon pada semua rangsangan
2) Tidak ada respirasi spontan
3) Tidak ada bukti aktivitas jantung
4) Tidak ada respon pupil terhadap cahaya

2.1.3 Penilaian Di tempat dan Prioritas Triase


Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang
sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START.
Resusitasi di ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.
Ketua Tim Medik mengatur Sub Tim Triase dari Tim Tanggap
Pertama (First Responders) untuk secara cepat menilai dan
men tag korban. Setelah pemilahan selesai, Tim Tanggap Pertama
melakukan tindakan sesuai kode pada tag. Umumnya tim tidak
mempunyai tugas hanya sebagai petugas triase, namun juga melakukan
tindakan pasca triase dan setelah triase selesai. Kondisi penilaian di tempat
dan prioritas triase antara lain :
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
6

2. Tim respons pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan


bahaya, keamanan dan jumlah korban untuk menentukan tingkat
respons yang memadai.
3. Beritahukan koordinator untuk mengumumkan musibah massal dan
kebutuhan akan dukungan antar instansi sesuai yang ditentukan oleh
beratnya kejadian.
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu
tersedia :
a. Petugas Komando Musibah
b. Petugas Komunikasi
c. Petugas Ekstrikasi/Bahaya
d. Petugas Triase Primer
e. Petugas Triase Sekunder
f. Petugas Perawatan
g. Petugas Angkut atau Transportasi
5. Kenali dan tunjuk area sektor musibah massal :
a. Sektor Komando/Komunikasi Musibah
b. Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga)
c. Sektor Musibah
d. Sektor Ekstrikasi/Bahaya
e. Sektor Triase
f. Sektor Tindakan Primer
g. Sektor Tindakan Sekunder
h. Sektor Transportasi
6. Rencana Pasca Kejadian Musibah massal :
a. Kritik Pasca Musibah
b. CISD (Critical Insident Stress Debriefing)

2.1.4 Triase dalam Bencana


Bencana merupakan peristiwa yang terjadi secara mendadak atau
tidak terncana atau secara perlahan tetapi berlanjut, baik yang disebabkan
alam maupun manusia, yang dapat menimbulkan dampak kehidupan
7

normal atau kerusakan ekosistem, sehingga diperlukan tindakan darurat


dan luar biasa untuk menolong, menyelamatkan manusia beserta
lingkunganya.
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel
merupakan tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau
mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah
kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa
menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma,
immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk
menghambat kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam
beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ
vital (ventilasi tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi,
dan perfusi end-organ tidak memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan
ventilasi yang tidak adekuat dan/atau rusaknya pusat regulasi batang otak),
atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola yang
dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau kondisi
lingkungan). Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien,
mengidentifikasi cedera/kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai
tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan
definitif atau transfer kefasilitas sesuai.
Saat penolong (tenaga medis) memasuki daerah bencana yang
tentunya banyak memiliki koran yang terpapar hal yang pertama kali harus
dipikirkan oleh penolong adalah Penilaian TRIASE. Triase dibagi menjadi
penilaian triase pada psikologis korban dan menilai triase medis.
Dalam Triase Medis sebaiknya menggunakan metode START
(Simple Triage and Rapid Treatment) yaitu memilih korban berdasarkan
pengkajian awal terhadap penderita degan menilai Respirasi, Perfusi, dan
Status Mental.
8

Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan penolong saat terjadi bencana :


a. Penolong pertama melakukan penilaian cepat tanpa menggunakan alat atau
melakuakan tindakan medis.
b. Panggil penderita yang dapat berjalan dan kumpulkan diarea pengumpulan
c. Nilai penderita yang tidak dapat berjalan, mulai dari posisi terdekat dengan
penolong.
d. Inti Penilaian Triage Medis (TRIASE) dalam bencana memiliki 4 warna :
1) Hitam (penderita sudah tidak dapat ditolong lagi/meninggal)
2) Merah (penderita mengalami kondisi kritis sehingga memerlukan
penanganan yang lebih kompleks)
3) Kuning (kondisi penderita tidak kritis)
4) Hijau (penanganan pendirita yang memiliki kemungkinan hidup lebih
besar. Penderita tidak memiliki cedera serius sehingga dapat dibebaskan
dari TKP agar tidak menambah korban yang lebih banyak. Penderita yang
memiliki hidup lebih banyak harus diselamatkan terlebih dahulu).

1) Langkah 1: Respirasi
a) Tidak bernapas, buka jalan napas, jika tetap tidak bernapas beri TAG
HITAM
b) Pernafasan >30 kali /menit atau <10 kali /meni beri TAG MERAH
c) Pernafasn 10-30 kali /menit: lanjutkan ke tahap berikut
2) Langkah 2: Cek perfusi (denyut nadi radial) atau capillary refill test (kuku
atau bibir kebiruan)
a) Bila CRT > 2 detik: TAG MERAH
b) Bila CRT < 2 detik: tahap berikutnya
c) Bila tidak memungkinankan untu CRT (pencahayaan kurang), cek nadi
radial, bila tidak teraba/lemah; TAG MERAH
d) Bila nadi radial teraba: tahap berikutnya
3) Langkah 3: Mental Status
a) Berikan perintah sederhana kepada penderita, jika dapat mengikuti
perintah: TAG KUNING
b) Bila tidak dapat mengikuti perintah: TAG MERAH
9

Tindakan yang harus CEPAT dilakuakan adalah :


1) Buka jalan napas, bebaskan benda asing atau darah
2) Berikan nafas buatan segara jika korban tidak bernafas
3) Balut tekan dan tinggikan jika ada luka terbuka/perdarahan
Setelah memberikan tindakan tersebut, penolong memberikan tag/kartu
sesuai penilaian triase (hijau, kuning, merah, hitam), setelah itu menuju korban
lainya yang belum dilakukan triase. Triase wajib dilakukan dengan kondisi ketika
penderita/korban melampaui jumlah tenaga kesehatan.

2.2 Berfikir Kritis dan Sistematis


2.2.1 Berfikir Kritis
Berpikir merupakan suatu proses yang berjalan secara
berkesinambungan mencakup interaksi dari suatu rangkaian pikiran dan
persepsi. Critical berasal dari bahasa Grika yang berarti : bertanya, diskusi,
memilih, menilai, membuat keputusan. Kritein yang berarti to choose, to
decide. Krites berarti judge. Criterion (bahasa Inggris) yang berarti
standar, aturan, atau metode. Critical thinking ditujukan pada situasi,
rencana dan bahkan aturan-aturan yang terstandar dan mendahului dalam
pembuatan keputusan (Mz. Kenzie).
Berpikir kritis mengandung aktivitas mental dalam hal
memecahkan masalah, menganalisis asumsi, memberi rasional,
mengevaluasi, melakukan penyelidikan, dan mengambil keputusan.
Dalam proses  pengambilan keputusan, kemampuan mencari, menganalisis
dan mengevaluasi informasi sangatlah penting. Orang yang berpikir kritis
akan mencari, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membuat
kesimpulan berdasarkan fakta kemudian melakukan pengambilan
keputusan. Ciri orang yang berpikir kritis akan selalu mencari dan
memaparkan hubungan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah
atau pengalaman lain yang relevan.  Berpikir kritis juga merupakan proses
terorganisasi dalam memecahkan masalah yang melibatkan aktivitas
mental yang mencakup kemampuan: merumuskan masalah, memberikan
10

argumen, melakukan deduksi dan induksi, melakukan evaluasi, dan


mengambil keputusan.
Berpikir kritis digunakan perawat untuk beberapa alasan :
1. Mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
2. Penerapan profesionalisme
3. Pengetahuan tehnis dan keterampilan tehnis dalam memberi asuhan
keperawatan.
4. Berpikir kritis merupakan jaminan yang terbaik bagi perawat dalam
menuju keberhasilan dalam berbagai aktifitas
Berpikir kritis dalam keperawatan merupakan komponen dasar
dalam mempertanggungjawabkan profesi dan kualitas perawatan. Pemikir
kritis keperawatan menunjukkan kebiasaan mereka dalam berpikir,
kepercayaan diri, kreativitas, fleksibiltas, pemeriksaan penyebab
(anamnesa), integritas intelektual, intuisi, pola piker terbuka, pemeliharaan
dan refleksi. Pemikir kritis keperawatan mempraktekkan keterampilan
kognitif meliputi analisa, menerapkan standar, prioritas, penggalian data,
rasional tindakan, prediksi, dan sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Proses berpikir ini dilakukan sepanjang waktu sejalan dengan
keterlibatan kita dalam pengalaman baru dan menerapkan pengetahuan
yang kita miliki, kita menjadi lebih mampu untuk membentuk asumsi, ide-
ide dan membuat kesimpulan yang valid, semua proses tersebut tidak
terlepas dari sebuah proses berpikir dan belajar. Keterampilan kognitif
yang digunakan dalam berpikir kualitas tinggi memerlukan disiplin
intelektual, evaluasi diri, berpikir ulang, oposisi, tantangan dan dukungan.

2.2.2 Karakteristik Berpikir Kritis


1. Konseptualisasi
Konseptualisasi artinya proses intelektual membentuk suatu
konsep. Sedangkan konsep adalah fenomena atau pandangan mental
tentang realitas, pikiran-pikiran tentang kejadian, objek, atribut, dan
sejenisnya. Dengan demikian konseptualisasi merupakan pikiran abstrak
11

yang digeneralisasi secara otomatis menjadi simbol-simbol dan disimpan


dalam otak.
2. Rasional dan beralasan
Artinya argumen yang diberikan selalu berdasarkan analisis dan
mempunyai dasar kuat dari fakta fenomena nyata.
3. Reflektif
Artinya bahwa seorang pemikir kritis tidak menggunakan asumsi
atau persepsi dalam berpikir atau mengambil keputusan tetapi akan
menyediakan waktu untuk mengumpulkan data dan menganalisisnya
berdasarkan disiplin ilmu, fakta dan kejadian.
4. Bagian dari suatu sikap
Yaitu pemahaman dari suatu sikap yang harus diambil pemikir
kritis akan selalu menguji apakah sesuatu yang dihadapi itu lebih baik atau
lebih buruk dibanding yang lain.
5. Kemandirian berpiki
 Seorang pemikir kritis selalu berpikir dalam dirinya tidak pasif
menerima pemikiran dan keyakinan orang lain menganalisis semua isu,
memutuskan secara benar dan dapat dipercaya.
6. Berpikir adil dan terbuka
Yaitu mencoba untuk berubah dari pemikiran yang salah dan
kurang menguntungkan menjadi benar dan lebih baik.
7. Pengambilan keputusan berdasarkan keyakinan
Berpikir kritis digunakan untuk mengevaluasi suatu argumentasi
dan kesimpulan, mencipta suatu pemikiran baru dan alternatif solusi
tindakan yang akan diambil. Wade (1995) mengidentifikasi  delapan
kerakteristik berpikir kritis, yakni meliputi:
a. Kegiatan merumuskan pertanyaan
b. Membatasi permasalahan
c. Menguji data-data
d. Menganalisis berbagai pendapat
e. Menghindari pertimbangan yang sangat emosional
f. Menghindari penyederhanaan berlebihan
12

g. Mempertimbangkan berbagai interpretasi


h. Mentolerasi ambiguitas

2.2.3 Model Berfikir Kritis


Sebelum melanjutkan lebih jauh, kita perlu mencoba untuk
menemukan jalan yang membantu pelajar pemula untuk belajar tentang
berpikir kritis dan termasuk perkembangan model berpikir kritis yang
menjadi pokok bahasan. Banyak klasifikasi berpikir yang ditemukan di
literature. Costa and Colleagues (1985). Menurut Costa and Colleagues
klasifikasi berpikir dikenal sebagai “The Six Rs” yaitu :
1. Remembering (Mengingat)
2. Repeating (Mengulang)
3. Reasoning (Memberi Alasan/rasional)
4. Reorganizing (Reorganisasi)
5. Relating (Berhubungan)
6. Reflecting (Memantulkan/merenungkan
Meskipun The Six Rs sangat berguna namun tidak semuanya
cocok dengan dalam keperawatan. Kemudian Perkumpulan Keperawatan
mencoba mengembangkan gambaran berpikir dan mengklasifikasikan
menjadi 5 model disebut T.H.I.N.K. yaitu: Total Recall, Habits, Inquiry,
New Ideas and Creativity, Knowing How You Think.
a. Total Recall (T)
Total Recall berarti mengingat fakta atau mengingat dimana
dan bagaimana untuk mendapatkan fakta/data ketika diperlukan. Data
keperawatan bisa dikumpulkan dari banyak sumber, yaitu
pembelajaran di dalam kelas, informasi dari buku, segala sesuatu yang
perawat peroleh dari klien atau orang lain, data klien dikumpulkan dari
perasaan klien, instrument (darah, urine, feses, dll), dsb.
Total recall juga membutuhkan kemampuan untuk mengakses
pengetahuan, dengan adanya pengetahuan akan menjadikan sesuatu
dipelajari dan dipertahankan dalam pikiran. Masing-masing individu
mempunyai pengetahuan yang berbeda-beda dalam pikiran mereka.
13

Ada sekelompok yang mempunyai pengetahuan sangat luas dan ada


yang sebaliknya. Keperawatan diawali dengan pengetahuan yang
minimal tetapi kemudian secara pesat meluas seiring dengan adanya
sekolah-sekolah keperawatan.
b. Habit/Kebiasaan (H)
Habits merupakan pendekatan berpikir ditinjau dari tindakan
yang diulang berkali-kali sehingga menjadi kebiasaan yang alami.
Mereka menerima apa yang mereka kerjakan menghemat waktu dan
mudah untuk dilakukan. Manusia selalu menggambarkan sesuatu yang
mereka kerjakan sebagai kebiasaan seperti “saya mengerjakan sesuatu
di luar pikiran”. Hal ini bukan kebiasaan dalam keperawatan karena
tindakan yang dilakukan tidak menggunakan proses berpikir. Hal ini
terjadi jika proses berpikir sudah berakar dalam diri mereka dalam
melihat sesuatu atau kemungkinan yang terjadi, di bawah sadar.
Habits mengikuti sesuatu yang dikerjakan diluar metode baru
setiap waktu. Contoh : pernahkah kita mengendarai kendaraan dan
apakah pernah kita ingat pepohonan yang pernah kita lewati? Yang
kita pikirkan dan harapkan adalah supaya kita terhindar dari
kecelakaan.
Cardipulmonary Resuscitation (CPR) adalah suatu kebiasaan
yang sangat penting dalam keperawatan. Ketika seseorang menjelang
ajal, sebuah solusi yang cepat yang dibutuhkan disini adalah
melakukan pijat jantung (CPR), memberikan injeksi, mempertahankan
suhu tubuh, memasang kateter, dan aktivitas lainnya. Hal tersebut
merupakan suatu kebiasaan yang alami terjadi dan dilakukan oleh
perawat.
c. Inquiry/Penyelidikan/menanyakan keterangan (I)
Inquiry merupakan latihan mempelajari suatu masalah secara
mendalam dan mengajukan pertanyaan yang mendekati kenyataan.
Jika kita berada di tingkat pertanyaan ini dalam situasi social, kita akan
disebut “Mendesak”. Hal ini meliputi penggalian data dan pertanyaan,
khususnya pendapat dalam situasi tertentu. Ini berarti tidak menilai
14

dari raut wajah, mencari factor-faktor yang menyebabkan, keragu-


raguan pada kesan pertama, dan mengecek segalanya, tidak ada
masalah bagaimana memperlihatkan ketidaksesuaian.
Inquiry merupakan kebutuhan primer dalam berpikir yang
digunakan untuk menyimpulkan sesuatu. Kesimpulan tidak dapat
diambil jika tanpa inquiry, tetapi kesimpulan akan lebih akurat jika
menggunakan inquiry. Inquiry bisa diwujudkan melalui :
1) Melihat sesuatu (menerima informasi)
2) Mendapatkan kesimpulan awal
3) Mengakui keterbatasan pengetahuan yang dimiliki
4) Mengumpulkan data atau informasi mendekati masalah utama
5) Membandingkan informasi baru dengan yang sudah diketahui
6) Menggunakan pertanyaan netral
7) Menemukan satu atau lebih kesimpulan
8) Memvalidasi kesimpulan utama dan alternative untuk mendapatkan
informasi lebih banyak lagi. 
d. New Ideas and Creativity (N)
Ide baru dan kreativitas terdiri dari model berpikir unik dan
bervariasi yang khusus bagi individu. Kekhususan dalam berpikir ini
akan selalu dibawa individu selama hidupnya dan biasanya membentuk
kembali norma. Seperti Inquiry, model ini membawa kita sesuai ide
dari literature. Berpikir kreatif merupakan kebalikan dan akhir dari
Habits Model (kebiasaan). Dari kalimat “melakukan sesuatu seperti
biasanya” menjadi “Mari mencoba cara baru”. Berpikir kreatif tidak
untuk menjadi pengecut, tetapi salah satu kadang-kadang akan terlihat
bodoh dan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Pemikir kreatif
menghargai kesalahan yang mereka lakukan untuk mempelajari nilai.
Ide baru dan kreativitas sangat penting dalam keperawatan
karena merupakan dasar dalam merawat pelanggan atau klien. Banyak
hal yang harus dipelajari perawat untuk menjadi cocok, terpadu, dan
bekerja menyesuaikan keunikan klien. Perawat mempunyai standart
pendekatan untuk menghemat waktu perawatan dan secara keseluruhan
15

bekerja dengan baik, tetapi cara kerja perawat berbeda satu sama lain.
Contoh : Yudi yang tinggal di rumah perawatan menghabiskan sisa
harinya di atas kursi roda, keluar-masuk ke ruangan yang sama tiap
harinya. Dia tidak pernah berkata kepada seorangpun meskipun
perawat mengulangi kata-kata yang sama dan sudah memahami cara
berkomunikasi.
e. Knowing How You Think / Mengetahui apa yang kamu fikirkan (K)
Knowing How You Think merupakan yang terakhir tetapi
bukannya yang paling tidak dihiraukan dari model T.H.I.N.K. yang
berarti berpikir tentang apa yang kita pikirkan. Berpikir tentang
berpikir disebut “metacognition”. Meta berarti “diantara atau
pertengahan” dan cognition berarti “Proses mengetahui”. Jika kita
berada di antara proses mengetahui, kita akan dapat mengetahui
bagaimana kita berpikir. Yang perlu dipelajari :
1) Apakah hal ini sulit dilakukan? (untuk semua orang)
2) Mengapa hal ini sulit untuk dikerjakan?
3) Satu alasan mengapa hal ini sulit dilakukan adalah karena ada
kosakata special dari akhir analisis yang perlu menggambarkan
BAGAIMANA berpikir.

2.2.4 Metode Berfikir Kritis


Freely mengidentifikasi 7 metode critical thinking :
1. Debate : metode yang digunakan untuk mencari, membantu, dan
merupakan keputusan yang beralasan bagi seseorang atau kelompok
dimana dalam proses terjadi perdebatan atau argumentasi.
2. Individual decision : Individu dapat berdebat dengan dirinya sendiri
dalam proses mengambil keputusan.
3. Group discussion : sekelompok orang memperbincangkan suatu
masalah dan masing-masing mengemukakan pendapatnya.
4. Persuasi : komunikasi yang berhubungan dengan mempengaruhi
perbuatan, keyajinan, sikap, dan nilai-nilai orang lain melalui berbagai
16

alas an, argument, atau bujukan. Debat dan iklan adalah dua bentuk
persuasi.
5. Propaganda : komunikasi dengan menggunakan berbagai media yang
sengaja dipersiapkan untuk mempengaruhi massa pendengar.
6. Coercion : mengancam atau menggunakan kekuatan dalam
berkomunikasi untuk memaksakan suatu kehendak.
7. Kombinasi beberapa metode.

2.2.5 Elemen Berfikir Kritis


Berbagai elemen yang digunakan dalam penelitian dan komponen,
pemecahan masalah, keperawatan serta kriteria yang digunakan dengan
komponen keterampilan dan sikap berpikir kritis. Elemen berpikir kritis
antara lain:
1. Menentukan tujuan
2. Menyususn pertanyaan atau membuat kerangka masalah
3. Menujukan bukti
4. Menganalisis konsep
5. Asumsi
Perspektif yang digunakan selanjutnya keterlibatan dan
kesesuaian kriteria elemen terdiri dari kejelasan, ketepatan, ketelitan
dan keterkaitan.
6. Aspek-Aspek Berfikir Kritis
Kegiatan berpikir kritis dapat dilakukan dengan melihat penampilan
dari beberapa perilaku selama proses berpikir kritis itu berlangsung.
Perilaku berpikir kritis seseorang dapat dilihat dari beberapa aspek :
a. Relevance.  Keterkaitan dari pernyataan yang dikemukan. 
b. Importance. Penting tidaknya isu atau pokok-pokok pikiran yang
dikemukaan.
c. Novelty. Kebaruan dari isi pikiran, baik dalam membawa ide-ide
atau informasi baru maupun dalam sikap menerima adanya ide-ide
orang lain.
17

d. Outside material. Menggunakan pengalamanya sendiri atau bahan-


bahan yang diterimanya dari perkuliahan.
e. Ambiguity clarified. Mencari penjelasan atau informasi lebih lanjut
jika dirasakan ada ketidak jelasan.
f. Linking ideas. Senantiasa menghubungkan fakta, ide atau
pandangan serta mencari data baru dari informasi yang berhasil
dikumpulkan.
g.  Justification. Memberi bukti-bukti, contoh, atau justifikasi
terhadap suatu solusi atau kesimpulan yang diambilnya. Termasuk
didalamnya senantiasa memberikan penjelasan mengenai
keuntungan dan kerungian dari suatu situasi atau solusi.
7. Pemecahan Masalah Dalam Berfikir Kritis
Pemecahan masalah termasuk dalam langkah proses
pengambilan keputusan, yang difokuskan untuk mencoba memecahkan
masalah secepatnya. Masalah dapat digambarkan sebagai kesenjangan
diantara “apa yang ada dan apa yang seharusnya ada”.  Pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan yang efektif diprediksi bahwa
individu harus memiliki kemampuan berfikir kritis dan
mengembangkan dirinya dengan adanya bimbingan dan role model di
lingkungan kerjanya. Langkah-langkah pemecahan masalah antara lain
:
a. Mengetahui hakekat dari masalah dengan mendefinisikan masalah
yang dihadapi.
b. Mengumpulkan fakta-fakta dan data yang relevan.
c. Mengolah fakta dan data.
d. Menentukan beberapa alternatif pemecahan masalah.
e. Memilih cara pemecahan dari alternatif yang dipilih.
f. Memutuskan tindakan yang akan diambil.
g. Evaluasi
h. Berfikir Sistematis
Berpikir sistemik (Systemic Thinking)  adalah  sebuah cara
untuk  memahami sistem yang kompleks dengan menganalisis
18

bagian-bagian sistem tersebut untuk kemudian mengetahui pola


hubungan yang terdapat didalam setiap unsur atau elemen
penyusun sistem tersebut. Pada prinsipnya berpikir sistemik
mengkombinasikan dua kemampuan berpikir, yaitru kemampuan
berpikir analis dan berfikir sintesis. 
Ada beberapa istilah yang sering kita jumpai yang memiliki
kemiripan dengan berpikir sistemik (systemic thinking),
yaitu Systematic thinking (berpikir sistematik), Systemic
thinking (berpikir sistemik), dan Systems thinking (berpikir serba-
sistem). Jika dikaji, maka semua istilah itu berakar dari kata yang
sama yaitu “sistem” dan “berpikir”, namun menunjukkan konotasi
yang berbeda, karena itu memiliki tujuan yang berbeda pula.
Konsep sistem setidaknya menyangkut pengertian adanya
elemen atau unsur yang membentuk kesatuan, lalu ada atribut yang
mengikat mereka, yaitu tujuan bersama. Karena itu, setiap elemen
berhubungan satu sama lain (relasi) berdasarkan suatu aturan main
yang disepakati bersama. Kesatuan antar elemen (sistem) itu
memiliki batas (boundary) yang memisahkan dan membedakannya
dari sistem lain di sekitarnya.
Berpikir sistematik (sistematic thinking), artinya
memikirkan segala sesuatu berdasarkan kerangka metode tertentu,
ada urutan dan proses pengambilan keputusan. Di sini diperlukan
ketaatan dan kedisiplinan terhadap proses dan metoda yang hendak
dipakai. Metoda berpikir yang berbeda akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda, namun semuanya dapat
dipertanggungjawabkan karena sesuai dengan proses yang diakui
luas.
Berpikir sistemik (systemic thinking), maknanya mencari
dan melihat segala sesuatu memiliki pola keteraturan dan bekerja
sebagai sebuah sistem. Misalnya, bila kita melihat otak, maka akan
terbayangkan sistem syaraf dalam tubuh manusia atau hewan. Bila
19

kita melihat jantung akan terbayangkan sistem peredaran darah di


seluruh tubuh.
Sementara itu berpikir sistemik (systemic thinking) adalah
menyadari bahwa segala sesuatu berinteraksi dengan perkara lain
di sekelilingnya, meskipun secara formal-prosedural mungkin tidak
terkait langsung atau secara spasial berada di luar lingkungan
tertentu. Systemic thinking lebih menekankan pada kesadaran
bahwa segala sesuatu berhubungan dalam satu rangkaian sistem.
Cara berpikir seperti berseberangan dengan berpikir fragmented-
linear-cartesian. 
Berpikir sistemik (systemic thinking) mengkombinasikan
antara analytical thinking (kemampuan mengurai elemen-elemen
suatu masalah) dengan synthetical thinking (memadukan elemen-
elemen tersebut menjadi kesatuan). Kita harus memahami dan
akhirnya memadukan dua kemampuan dasar ini: melakukan
Analisis dan Synthesis. Analisis adalah alat untuk memahami
elemen-elemen suatu permasalahan. Misalnya, mengapa terjadi
banjir dan longsor di suatu daerah? Maka, kita perlu meneliti:
saluran air, kondisi tanah, aliran sungai, kondisi gunung atau hutan
di hulu, dan curah hujan yang terjadi.
Setelah itu, kita melakukan sintesis, yakni proses untuk
memahami bagaimana elemen-elemen itu berfungsi secara
bersama-sama. Di sini kita dituntut memahami elemen-elemen
tersebut secara mendasar sebelum memadukannya. Kita bisa
melihat hubungan yang jelas antara curah hujan yang tinggi dengan
kondisi hutan atau gunung yang gundul, lalu menyebabkan aliran
sungai yang sangat deras dan akhirnya menyembur ke daerah
tertentu. Kondisi makin parah, apabila saluran air di daerah sangat
buruk, sehingga tak bisa menampung aliran air yang melimpah
(banjir) dan kondisi tanah yang rawan hingga menyebabkan
longsor.
20

2.3 Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan setelah Bencana pada Korban
dan Survivor
2.3.1 Pengertian Penilaian Sistematis
Menurut Eko Putro Widoyoko, 2012: 3, Penilaian ialah sebagai
kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran berdasarkan kriteria dan
aturan-aturan tertentu. Penilaian memberikan informasi lebih konprehensif
dan lengkap dari pada pengukuran, karena tidak hanya mengunakan
instrument tes saja, melainkan mengunakan tekhnik non tes lainya.
Penilaian merupakan kegiatan mengambil keputusan dalam menentukan
sesuatu berdasarkan kriteria baik dan buruk serta bersifat kualitatif
Sistematis adalah bentuk usaha menguraikan serta merumuskan
sesuatu hal dalam konteks hubungan yang logis serta teratur sehingga
membentuk system secara menyeluruh, utuh dan terpadu yang mampu
menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat yang terkait suatu objek
tertentu.(Abdulkadir Muhammad : 2004)
Jadi penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses pengumpulan
data data dan informasi yang bersifat kualitatif yang disusun secara
berurutan, utuh dan terpadu untuk menjelaskan berbagai rangkaian sebab
akibat terkait suatu objek tertentu.
Penialain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan
data dan informasi yang berkaitan dengan bencana yang termasuk
didalamnya bentuk bencana, lokasi, dampak, korban, dan usaha dalam
menghadapi bencana sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana.
Penilaian sistematis ini disusun untuk memberikan gambaran mengenai
resiko dan dampak yang akan dialami jika terjadi bencana.
1. Penilaian sebelum bencana pada korban, survivor, populasi rentan
dan berbasis masyarakat.
Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak
melakukan kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency
response dan recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa
disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal,
apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan
21

sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian


(damages) yang mungkin timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya
dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk
meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.Mitigasi
bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-
tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana
yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan
tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur
dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi
terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa,
dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun
membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding
pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan
dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah
bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat
diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan
memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.
a. Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama,
yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan
1) Penilaian bahaya (hazard)
Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia
merupakan Negara dengan potensi bahaya (hazard potency)
yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam,
bencana ulah manusia ataupun kedaruratan kompleks.
Beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa bumi,
tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor,kekeringan,
kebakaran lahan dan hutan, kebakaran perkotaan dan
permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan
teknologi dan konflik sosial. Potensi bencana yang ada di
Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama,
22

yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya


ikutan (collateral hazard).
Penilaian risiko bencana / bahaya dibedakan berdasarkan
karakteristik utama yaitu :
a) Penyebab : alam atau ulah manusia
b) Frekuensi : berapa sering terjadinya
c) Durasi : beberapa durasinya terbatas seperti pada ledakan
sedang lainnya mungkin lebih lama seperti banjir dan
epidemic.
d) Kecepatan onset : bisa muncul mendadak hingga sedikit
atau tidak ada pemberitahuan yang bisa diberikan atau
bertahap seperti pada banjir (kecuali banjir bandang)
memungkinkan cukup waktu untuk pemberitahuan dan
mungkin tindakan pencegahan atau peringatan. Ini
mungkin berulang dalam periode waktu tertentu seperti
pada gempa bumi.
e) Luasnya dampak : bisa terbatas dan mengenai hanya area
tertentu atau kelompok masyarakat tertentu atau
menyeluruh mengenai masyarakat luas mengakibatkan
kerusakan merata pelayanan dan fasilitas.
f) Potensi merusak : kemampuan penyebab bencana
menimbulkan tingkat kerusakan tertentu (berat, sedang
atau ringan) serta jenis (cedera manusia atau kerusakan
harta benda) dari kerusakan.
2) Peringatan (warning)
Setelah mendapat pemetaan daerah rawan bencana
selanjutnya dibutuhkan system peringatan dini (Early Warning
System) melalui BMKG. Sistem Peringatan Dini (Early
Warning System) merupakan serangkaian sistem untuk
memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa
bencana maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini
pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan
23

memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh


masyarakat. Dalam keadaan kritis, secara umum peringatan
dini yang merupakan penyampaian informasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk sirine, kentongan dan lain
sebagainya. Namun demikian menyembunyikan sirine
hanyalah bagian dari bentuk penyampaian informasi yang perlu
dilakukan karena tidak ada cara lain yang lebih cepat untuk
mengantarkan informasi ke masyarakat.
Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin longgar
waktu bagi penduduk untuk meresponnya.
Hal-hal yang perlu dinilai dalam proses peringatan/warning
sebelum bencana adalah :
a) Tersedianya system dan akses komunikasi yang memadai
dan mencakup seluruh daerah khususnya didaerah resiko
tinggi bencana alam seperti daerah yang dilewati
lempeng/patahan pemicu gempa dan tsunami, dataran
tinggi yang rawan longsor, dan daerah dataran rendah yang
berdekatan dengan sungai yang rawan banjir bandang. Hal
ini diperlukan dalam penyampaian informasi secara cepat
dan akurat dari sumber terpercaya.
b) Pengetahuan masyarakat dalam menerima informasi
bencana yang akan terjadi yang termasuk didalamnya
menjangkau tempat perlindungan yang aman secepatnya
setelah peringatan diberikan.
c) System sensor pendeteksi (peralatan EWS) gempa, tsunami
dan letusan gunung berapi yang dipasang di area area
patahan apakah bekerja baik dan real time. Sehingga
mempercepat penyampaian informasi.
3) Persiapan (preparedness)
Persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi(atau
kemungkinan akan terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari
perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam keadaan
24

darurat dan identifikasi atas sumber daya yang ada untuk


memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat
mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.
Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi
sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang
membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan
terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan
untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan
saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Penilaian dalam kegiatan persiapan ini meliputi :
a) Tersedianya jalur evakuasi yang jelas dan bisa dijangkau
oleh masyarakat.
b) Fasilitas pelayanan public terutama fasilitas kesehatan yang
akan menjadi tempat rujukan bila terjadi bencana.
c) Kesiapan dan pengetahuan masyarakat di daerah rawan
bencana dalam menghadapi dan menyelamatkan diri saat
terjadi bencana. Kegiatannya berisi simulasi dan pelatihan
bencana.
b. Pemahaman Tentang Kerentanan Masyarakat Kerentanan
(vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi
bahaya atau ancaman. Penilaian kerentanan ini dapat berupa:
1) Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat
berupa daya tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya:
kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang berada di
daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman banjir bagi
masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya.
2) Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat
menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya.
Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau
25

kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak


mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk
melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
3) Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat
kerentanan terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan,
kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana
akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat
kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan
menghadapi bahaya.
4) Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi
kerentanan. Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering
dan sulit air akan selalu terancam bahaya kekeringan.
Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan
rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan
sebagainya.
2. Penilaian saat bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana
adalah saat bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui
proses peringatan dini, maupun tanpa peringatan atau terjadi secara
tiba-tba. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah seperti tanggap
darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat
agar jumlah korban atau kerugian dapat diminimalkan.
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani
dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan
dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
sarana prasarana. Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan
bencana yang dibentuk dimasing-masing daerah atau organisasi.
26

Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam


kondisi tanggap darurat antara lain:
a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude
bencana, luas area yang terkena dan perkiraan tingkat
kerusakannya.
b. Penentuan status keadaan darurat bencana.
c. Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana
sehingga dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat
bencana terlalu besar dan berdampak luas, mungkin bencana
tersebut dapat digolongkan sebagai bencana nasional.
1) Penilaian korban

Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel


merupakan tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti
hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan
untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang
bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak
cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi
saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk
menghambat kematian kemudian, late, karena trauma yang
terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah
trauma).

Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei


primer, resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif
atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak dibutuhkan
untuk menindak keadaan klinis kritis yang diketahui pada awal
proses.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar
beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin
akan mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan
prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
27

(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih


berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini
berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan proses yang
sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses
triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba /
berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus
karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk
atau membaik, lakukan retriase.
2) Penilaian lingkungan
Bencana menyebabkan kerusakan yang serius termasuk
didalamnya akibat fenomena alam luar biasa dan/atau disebabkan
oleh ulah manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa,
kerugian material dan kerusakan lingkungan yang dampaknya
melampaui kemampuan masyarakat setempat untuk mengatasinya
dan membutuhkan bantuan dari luar.
Adapun penilaian lingkungan pada saat terjadi bencana adalah :
1. Daerah rawan yang kemungkinan akan terjadi bencana susulan.
Seperti tsunami setelah gempa, tanah longsor setelah banjir
atau hujan deras, aliran lava dan abu vulkanik saat terjadi
letusan gunung berapi dan rubuhnya bangunan setelah terkena
guncangan gempa.
2. Tempat pengungsian yang aman untuk pertolongan pertama
pada korban bencana
3. Penilaian setelah bencana
Penilaian kerusakan, kerugian dan kebutuhan sumber daya
dilakukan pada minggu terakhir masa tanggap darurat atau setelah
masa tanggap darurat dinyatakan berakhir. Penilaian dilakukan
melalui persiapan, pengumpulan data, analisis data dan
pelaporan. Hasil assessment tersebut menjadi data dan informasi
penting untuk melakukan perbaikan sumber daya. Ketahanan
masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana menjadi tanggung
jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Program penguatan
28

tersebut harus berdasarkan data dan pengalaman serta didukung


adanya kebijakan terkait penanggulangan krisis pasca bencana.
Oleh karena itu diperlukan suatu acuan dalam melakukan penilaian
kerusakan, kerugian serta kebutuhan pasca bencana.
Damage and Loss Assessment (DaLA) biasanya dibuat
setelah terjadinya bencana. Metodologi standar DaLA
dikembangkan oleh Komisi Ekonomi UN untuk Amerika Latin dan
Karibia (UN-ECLAC) pada tahun 1972, dan telah berkembang
melalui berbagai macam organisasi internasional. Secara
sederhana, DaLA merupakan metodologi untuk mengukur dampak
dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana, berdasarkan
perhitungan ekonomi suatu negara dan kebutuhan penghidupan
individu untuk menentukan kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi.
Penilaian Damage and Loss Assessment meliputi sebagai berikut :
 Kerusakan dihitung sebagai pengganti nilai aset fisik yang
rusak total atau sebagian;
 Kerugian secara ekonomi yang timbul akibat adanya aset yang
rusak sementara;
 Dampak yang dihasilkan pada pasca bencana kinerja makro-
ekonomi, dengan referensi khusus untuk pertumbuhan
ekonomi/GDP, neraca pembayaran dan situasi fiskal
pemerintah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menjalin kerjasama dengan Badan PBB untuk Pembangunan
(UNDP), meluncurkan panduan nasional kajian kebutuhan pasca
bencana (Post Disaster Needs Assessment - PDNA) Menurutnya,
PDNA merupakan perpaduan antara DaLA dan HRNA. DALA
adalah metode penilaian kerusakan dan kerugian bencana.
Sedangkan HRNA adalah pengkajian kebutuhan pemulihan
manusia.
Panduan ini akan menjadi panduan utama pemerintah
dalam mengatasi situasi pasca bencana. Indonesia adalah negara
29

pertama yang memiliki panduan pasca bencana. Untuk itu BNPB


menamakan Ina-PDNA (Indonesia PDNA)
Menurut Peraturan Kepala BNPB No.17 Tahun 2010
entang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pasca Bencana pasal 25 : Pengkajian Kebutuhan
Pasca Bencana (Post Disaster Needs Assessment /PDNA) adalah
suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis
dampak, dan perkiraan kebutuhan, yang menjadi dasar bagi
penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengkajian
dan penilaian meliputi identifikasi dan penghitungan kerusakan
dan kerugian fisik dan non fisik yang menyangkut aspek
pembangunan manusia, perumahan atau pemukiman, infrastruktur,
ekonomi, sosial dan lintas sektor. Analisis dampak melibatkan
tinjauan keterkaitan dan aggregat dari akibat akibat bencana dan
implikasi umumnya terhadap aspek-aspek fisik dan lingkungan,
perekonomian, psikososial, budaya, politik dan kepemerintahan.
Perkiraan kebutuhan adalah penghitungan biaya yang diperlukan
untuk menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Hasil assessment tersebut selanjutnya menjadi dasar penilaian
kebutuhan pasca bencana dan penyusunan rencana aksi rehabilitasi
dan rekosntruksi wilayah pasca bencana. “Didorong oleh
kebutuhan akan adanya dokumen legal yang dapat menjadi rujukan
utama secara nasional bagi pelaksanaan pengkajian kebutuhan
pasca bencana yang komperhensif dan menjadi dasar perencanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, sesuai dengan
Peraturan Kepala BNPB nomor 17 tahun 2010”.
Penilaian pasca bencana meliputi :
a. Jumlah korban baik yang selamat maupun meninggal. Termasuk
populasi rentan lansia, ibu hamil, anak-anak dan penderita
disabilitas.
b. Kerugian harta benda
c. Kerusakan sarana dan prasarana
30

d. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana


e. Dampak social ekonomi yang ditimbulkan

2.3.2 Surveilens Bencana


1. Definisi
Surveilans adalah kegiatan “analisis” yang sistematis dan
berkesinambungan melalui kegiatan pengumpulan dan pengolahan
data serta penyebar luasan informasi untuk pengambilan keputusan dan
tindakan segera.
Surveilans Bencana adalah mengumpulkan data pada situasi
bencana ,data yang dikumpulkan berupa jumlah korban meninggal,
luka sakit, jenis luka, pengobatan yang dilakukan, kebutuhan yang
belum dipenuhi, jumlah korban anak-anak, dewasa, lansia. Surveilans
sangat penting untuk monitoring dan evaluasi dari sebuah proses,
sehingga dapat digunakan untuk menyusun kebijakan dan rencana
program.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa surveilans
adalah pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua
aspek penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam
suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan
penganggulangannya.

2. Tujuan surveilens
Tujuan Surveilans adalah untuk mendukung fungsi pelayanan bagi
korban bencana secara keseluruhan untuk menekan dampak negatif
yang lebih besar.
a. Mengurangi jumlah kesakitan, resiko kecacatan dan kematian saat
terjadi bencana.
b. Mencegah atau mengurangi resiko munculnya penyakit menular
dan penyebarannya.
c. Mencegah atau Mengurangi resiko dan mengatasi dampak
kesehatan lingkungan akibat bencana(misalnya perbaikan sanitasi.)
31

3. Surveilans berperan dalam:


a. Saat Bencana : Rapid Health Assesment (RHA), melihat dampak-
dampak apa saja yang ditimbulkan oleh bencana, seperti berapa
jumlah korban, barang-barang apa saja yang dibutuhkan, peralatan
apa yang harus disediakan, berapa banyak pengungsi lansia, anak-
anak, seberapa parah tingkat kerusakan dan kondisi sanitasi
lingkungan.
b. Setelah Bencana : Data-data yang akan diperoleh dari kejadian
bencana harus dapat dianalisis, dan dibuat kesimpulan berupa
bencana kerja atau kebijakan, misalnya apa saja yang harus
dilakukan masyarakat untuk kembali dari pengungsian,
rekonstruksi dan rehabilitasi seperti apa yang harus diberikan.
c. Menentukan arah respon/penanggulangan dan menilai keberhasilan
respon/evaluasi.
d. Managemen Penanggulangan bencana meliputi Fase I untuk
tanggap darurat, Fase II untuk fase akut, Fase III untuk recovery
(rehabilitasi dan rekonstruksi). Prinsip dasar penaggunglangan
bencana adalah pada tahap  Preparedness atau kesiapsiagaan
sebelum terjadi bencana.
4. Surveilens Bencana meliputi :
a. Surveilans penyakit-penyakit terkait bencana, terutama penyakit
menular.
Di lokasi pengungsian korban bencana, sangat perlu dilakukan
survey penyakit-penyakit yang ada, terutama penyakit menular.
Dengan ini diharapkan nantinya ada tindakan penanganan yang
cepat agar tidak terjadi transmisi penyakit tersebut.
Ada 13 besar penyakit menular dan penyakit terkait bencana :
Campak, DBD, diare berdarah, diare biasa, hepatitis, ISPA,
keracunan makanan, malaria, penyakit kulit, pneumonia, tetanus,
trauma (fisik), dan thypoid.
Mudahnya penyebaran penyakit pasca bencana dikarenakan
oleh adanya penyakit sebelum bencana, adanya perubahan ekologi
32

karena bencana, pengungsian, kepadatan penduduk di tempat


pengungsian, dan rusaknya fasilitas publik. Pengungsi yang
termasuk kategori kelompok rentan yaitu bayi dan anak balita,
orang tua atau lansia, keluarga dengan kepala keluarga wanita, ibu
hamil.
b. Surveilans data pengungsi
Data pengungsi meliputi data jumlah total pengungsi dan
kepadatan di tempat pengungsian, data pengungsi menurut lokasi,
golongan umur, dan jenis kelamin. Data dikumpulkan setiap
minggu atau bulanan.
c. Surveilans kematian
Yang tercantum dalam data kematian meliputi nama,
tempat atau barak, umur, jenis kelamin, tanggal meninggal,
diagnosis, gejala, identitas pelapor.
d. Surveilans rawat jalan
e. Surveilans air dan sanitasi
f. Surveilans gizi dan pangan
g. Surveilans epidemiologi pengungsi.
h. Upaya Penaggulangan Bencana meliputi;
1) Pra Bencana : Kelembagaan/koordinasi yang solid. SDM atau
petugas kesehatan yang terampil secara medik dan sosial dapat
bekerjasama dengan siapapun. Ketersediaan logistik seperti
bahan,peralatan dan obat. Ketersediaan informasi tentang
bencana seperti daerah rawan dan beresiko terkena dampak,
serta adanya ketersediaan jaringan kerja lintas program dan
sektor.
2) Ketika Bencana : Rapid Health assesment dilakukan dari hari
terjadi bencana sehingga 3 hari setelah bencana.
Pascabencana berdasarkan dari rapid health assesment untuk
menentukan langkah seterusnya seperti pengendalian penyakit
menular (ISPA,Diare,DBD,Chikungunya,Tifoid). Pelayanan
kesehatan dasar, Surveilans Masyarakat dan memperbaiki
33

kesehatan lingkungan seperti air bersih,sanitasi makanan dan


pengelolaan sampah
3) Pascabencana ; berdasarkan dari rapid health assesment untuk
menentukan langkah seterusnya seperti pengendalian penyakit
menular (ISPA,Diare,DBD,Chikungunya,Tifoid). Pelayanan
kesehatan dasar, Surveilans Masyarakat dan memperbaiki
kesehatan lingkungan seperti air bersih,sanitasi makanan dan
pengelolaan sampah
i. Membangun sistem Surveilans pada situasi bencana dapat
dilakukan:
1) Sistem yang harus sederhana
2) Mencakup yang sangat Prioritas.
3) Melibatkan semua pihak
4) Mengutamakan unsur kecepatan
5) Didukung kecepatan respons.

Jadi Surveilans bencana sangat penting karena secara garis besar dapat
disimpulkan manfaatnya adalah:
a. Mencari faktor resiko ditempat pengungsian seperti air, sanitasi,
kepadatan, kualitas tempat penampungan.
b. Mengidentifikasi Penyebab utama kesakitan dan kematian
sehingga dapat diupayakan pencegahan.
c. Mengidentifikasi pengungsi kelompok rentan seperti anak-anak,
lansia, wanita hamil, sehingga lebih memperhatikan kesehatannya.
d. Pendataan pengungsi diwilayah, jumlah, kepadatan, golongan,
umur, menurut jenis kelamin.
e. Mengidentifikasi kebutuhan seperti gizi
j. Masalah Epidemiologi dalam Surveilans Bencana

Anda mungkin juga menyukai