Anda di halaman 1dari 4

KONSEP AGAMA

Agama adalah satu hal yang sangat urgent dalam kehidupan manusia. Ia membantu manusia untuk
memahami realita kehidupan disekelilingnya. Sejak dulu, manusia selalu merasa penasaran terhadap
fenomena-fenomena alam yang menyapa mereka. Hal ini disebabkan kelebihan manusia yang
mempunyai sisi kreatifitas dalam sistem kognisi. Pada dasarnya, manusia mempunyai suatu sistem
spiritual dalam otak yang disebut God Spot atau titik Tuhan. Titik inilah yang mempengaruhi manusia
berpikir secara spiritual atau keagamaan. Bermula dari titik ini, manusia mulai bertanya secara spiritual,
mengapa fenomena alam tersebut bisa terjadi.

Bermula dari tatkala manusia primitif mendapati badai besar yang memporak-porandakan pepohonan,
petir yang memekakkan telinga, hujan yang turun dari langit, hingga aspek-aspek terkecil seperti pohon
yang menahan mata air, batu yang bergerak, bahkan binatang buas yang menyerang manusia memantik
titik Tuhan itu dalam mempengaruhi emosi manusia berpikir secara spiritual.

Dalam dinamika interpretasi spiritual manusia, banyak sekali macam pemahaman terhadap fenomena
itu. Beberapa diantaranya adalah bahwa fenomena itu disebabkan oleh adanya kekuatan supranatural
diluar kuasa manusia. Yakni kekuatan tak terlihat yang maha kuat. Kekuatan itulah yang selama ini
menurunkan hujan, membuat halilintar, meniup badai, yang menjaga sumber mata air tetap ada, dan
lain-lain. Kekuatan itu kemudian mereka sematkan pada sesuatu yang mereka anggap diluar kuasa
manusia, seperti binatang buas, pohon raksasa, hingga sosok seperti mereka (dewa) yang mempunyai
kekuatan mengendalikan petir, angin, dan hujan. Asumsi dasarnya sangat simple, yakni keyakinan
manusia tidak terlepas dari pengalaman kesehariannya. Sebagai konsekuensi logis terhadap keragaman
interpretasi manusia itu, muncullah beragam kepercayaan-kepercayaan dalam sejarah keagamaan
manusia. Untuk menyebut kekuatan tersebut, manusia membuat nama-nama sesuai dengan
pengalaman yang ada pada diri mereka. Mulai dari Mana bagi orang Melanesia, Kami bagi orang Jepang,
Hari bagi orang India, dan Tuah bagi orang Indonesia.

Seiring dengan perkembangan pemahaman spiritual manusia, komponen-komponen agama mulai


terkonstruksi. Di agama-agama besar, komponen agama meliputi emosi keagamaan, sistem keyakinan,
upacara, umat beragama, dan peralatan ritus. Kelima komponen itu saling berintegrasi dan
berkolaborasi. Namun, inti dari kelima komponen tersebut adalah emosi keagamaan. Hal ini disebabkan
karena emosi keagamaan merupakan sebuah kekuatan yang mengikat manusia untuk beragama. Ia
adalah sebuah getaran jiwa terhadap kekuatan supranatural yang menyebabkan manusia bertindak
serba religi.(Pratiwi, 2017, hlm. 4) Getaran itu terskpresi dalam bentuk rasa takut, sedih, gembira, dan
tegang. Begitu kuatnya emosi itu, sampai-sampai membuat manusia terkadang overload dalam
bertindak.(Hude, 2006, hlm. 20–22) Tanpa adanya emosi keagamaan ini, niscaya tidak akan ada manusia
yang beragama.

Dari emosi keagamaan ini, manusia kemudian mengekspresikan emosi dan pengalaman keagamaannya
dalam konstruksi keagamaan.(Rudyansjah dkk., 2012, hlm. 5) Dimulai dengan merumuskan sistem
keyakinan mereka terhadap kekuatan supranatural tersebut. Sistem keyakinan itu sendiri adalah
sekumpulan konsepsi manusia mengenai kekuatan supranatural.(Pratiwi, 2017, hlm. 7) Kumpulan
konsepsi ini kemudian mempengaruhi manusia dalam mengimplementasikan bentuk ritual
keagamaannya, seperti bagaimana cara berkontak dengan Tuhan, hingga tempat-tempat dimana
kontak itu dilakukan. Ada kalanya ia diambil dari pengalaman-pengalaman manusia, dan ada kalanya ia
diambil dari wahyu yang diturunkan Tuhan melalui penjelasan Nabi. Setelah konstruksi itu terbangun,
manusia-manusia yang mempunyai persamaan emosi dan pengalaman keagamaan berkumpul
membentuk umat agama. Disamping menyatukan emosi maupun pengalaman keagamaan, umat agama
juga berfungsi sebagai pembentuk sistem identitas dimana orang-orang yang berada dalam sistem
tersebut memperoleh naungan eksistensial. Namun, tidak hanya berhenti di situ, sistem identitas juga
berfungsi sebagai instrumen yang mengkonstruk jalan dan pandangan hidup orang-orang yang ada
didalamnya. Sehingga dari sistem identitas inilah kita melihat rasa keagamaan para penganutnya
berbeda dengan rasa keagamaan umat lainnya.

Konsep Agama dalam Islam

Dalam agama Islam sendiri, komponen keagamaan diambil dari al-Qur’an yang di aktualisasikan oleh
Nabi Muhammad saw dan hadis-hadis yang disandarkan kepada beliau. Mulai dari sistem keyakinan
yang meliputi rukun iman, ritual keagamaan yang yang meliputi rukun Islam, hingga tempat beribadah
yang umumnya dilakukan di masjid. Sedangkan perekrutan umat agama didasarkan pada ritual
membaca syahadat.

Dalam pembentukan komponen keagamaan itu, peran Nabi Muhammad saw sangatlah penting. Hal ini
disebabkan fungsi Nabi sebagai pentabligh titah Tuhan kepada manusia. Ia bertugas menyampaikan,
menafsirkan, membatasi, mengkhususkan, memperkuat, dan mengaktualkan titah tersebut. Dengan
titah ini, ia menjelaskan kepada manusia tentang kekuatan Maha Supranatural. Ia menjelaskan bahwa
pemilik kekuatan itu Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, kepada-Nyalah manusia
menggantungkan segala urusan. Di samping itu, peran Nabi ini juga diperkuat oleh titah tersebut,
sebagaimana dalam beberapa ayat disebutkan bahwa Nabi adalah sebaik-baik teladan yang diutus
memperbaiki akhlak manusia. Titah itu juga menegaskan bahwa barang siapa menaati Rasul, maka ia
telah menaati Tuhan. Apa yang di perintah oleh Nabi kepada manusia maka lakukanlah, dan apapun
yang di larang Nabi maka jauhilah. Hal ini disebabkan karena Nabi dan segala perilakunya selalu dalam
koridor pengawasan Tuhan. Oleh sebab itulah, Nabi beserta segala sendi kehidupannya menempati sisi
mulia disisi umat islam. Ia disakralkan.

Emosi keagamaan terhadap apa yang dibawa Nabi itu kemudian menguat seiring dengan pengalaman
hidup yang dihadapi manusia. Semakin sering pengalaman keagamaan seseorang berinteraksi dengan
ajaran Nabi itu, semakin tinggilah emosi keagamaan itu. Bahwa ketika bencana alam melanda, rasa
takut ketika sendirian dalam kegelapan, sampai ketika dikejar-kejar binatang buas, kehadiran Allah swt
— setelah dikenalkan oleh Al-Qur’an dan hadis — tempat berlindung dan menggantungkan segala
harapan sangatlah dibutuhkan manusia. Demikian ini sebagaimana disebutkan bahwa emosi keagamaan
(iman) ada kalanya meninggi dan ada kalanya menurun, tergantung seberapa sering manusia bergumul
dengan ajaran yang dibawa Nabi.(Wan, 2015, hlm. 185–188)

Pengalaman ini kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui ceramah-ceramah, khutbah-
khutbah, dan cerita rakyat. Dari sosialisasi yang masif itulah, hadis bertransformasi menjadi tradisi.
(Qudsy, 2016) Contohnya adalah larangan keluar bagi anak-anak di saat hari menjelang malam. Jikalau
diteliti, narasi mengenai larangan bermain menjelang malam ini bersumber dari hadis yang berbunyi:)

‫ َو ْاذ ُكرُوا‬،‫اب‬ َ ‫ َوأَ ْغلِقُوا األَب َْو‬،‫َب َسا َعةٌ ِمنَ اللَّ ْي ِل فَ َخلُّوهُ ْم‬
َ ‫ فَإِ َذا َذه‬،‫إن الشيطَانَ يَ ْنتَشـر ِحينَئِ ٍذ‬ ِ ‫إِ َذا َكانَ ُج ْن ُح اللَّ ْي ِل –أَوْ أَ ْمسـيتُ ْم– فَ ُكفُّوا‬
َّ َ‫ ف‬،‫ص ْبيَانَ ُك ْم‬
ً ‫إن الشيطَانَ الَ يَ ْفتَ ُح بَابا ً ُم ْغلَقا‬ َّ َ‫ ف‬،ِ ‫ا ْس َم هّللا‬

“Jika masuk awal malam –atau beliau mengatakan: jika kalian memasuki waktu sore- maka tahanlah
anak-anak kalian karena setan sedang berkeliaran pada saat itu. Jika sudah lewat sesaat dari awal
malam, bolehlah kalian lepaskan anak-anak kalian. Tutuplah pintu-pintu dan sebutlah nama Allah karena
setan tidak bisa membuka pintu yang tertutup” (HR. Al-Bukhari no. 3304 dan Muslim no. 2012).
Namun, seiring dengan living journey yang dilalui oleh narasi hadis tersebut, tidak jarang ditemukan
sebagian masyarakat yang belum mengetahui bahwa cerita-cerita yang beredar di tengah-tengah
mereka adalah narasi-narasi hadis.

Anda mungkin juga menyukai