Anda di halaman 1dari 683

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. MIKROBIOLOGI KEDOKTERAN


1.2. KLASIFIKASI MAKHLUK HIDUP
1.3. INFEKSI
1.4. PENYAKIT

1.5. PENDEKATAN DIAGNOSTIK


1.6. POLA PENULARAN PENYAKIT

1.7. DIAGNOSIS PENYAKIT INFEKSI

1.8. PENGOBATAN PENYAKIT

1.9. PENCEGAHAN INFEKSI

1.10. PENYAKIT BAKTERIAL

1.11. PENYAKIT VIRAL

1.12. PENYAKIT JAMUR


2

1.1. MIKROBIOLOGI KEDOKTERAN

Mikrobiologi kedokteran adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari


pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit infeksi. Terdapat empat
mikroorganisme penyebab penyakit infeksi, yaitu bakteri, virus, jamur dan
parasit.
Mikrobiologi kedokteran mempelajari sifat-sifat patogen penyebab penyakit,
cara penularannya, mekanisme terjadinya infeksi dan perkembang biakan
patogen. Dengan melakukan identifikasi patogen dapat diketahui sifat-sifat
biologiknya, cara penularannya, virulensinya dan ditetapkan pengobatannya
yang tepat. Mikrobiologi kedokteran juga mempelajari pemanfaatan mikroba
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, misalnya untuk membuat
antibiotika.

Sejarah

Pada tahun 1676 salah satu pengamat mikroorganisme yang pertama kali
melakukan penelitian menggunakan mikroskop adalah Anton van
Leeuwenhoek.
Pada tahun 1796, Edward Jenner mengembangkan cara vaksinasi
menggunakan cowpox dan berhasil memberikan kekebalan terhadap penyakit
cacar pada seorang anak.
Pada tahun 1857, Louis Pasteur menciptakan vaksin terhadap penyakit
anthrax, kolera unggas dan rabies. Ia juga memperkenalkan cara pasteurisasi
untuk mengawetkan makanan. Tahun 1867 Joseph Lister yang dikenal
sebagai bapak pembedahan aseptik, yang dengan melakukan sterilisasi alat-
alat bedah dengan carbolic acid dan menggunakannya untuk membersihkan
luka-luka, dapat mengurangi jumlah infeksi pasca bedah sehingga
menjadikan tindakan operasi aman bagi penderita.
Antara tahun 1876-1884 merupakan salah satu ilmuwan yang berhasil
mengisolasi bakteri di biakan (kultur) murni. Hal ini memperkuat teori kuman
(germs theory) yang menyatakan bahwa
3

mikroorganisme tertentu bertanggung jawab atas terjadinya penyakit tertentu.


Kriteria-kriteria yang terbentuk terkait dengan keadaan ini kemudian dikenal
sebagai postulat Koch.

Gambar 1. Antoni van Leeuwenhoek


(http://fineartamerica.com/featured/anthony-van-leeuwenhoek)

Tonggak sejarah mikrobiologi kedokteran yang penting terjadi pada tahun


1884 ketika Hans Christian Gram menciptakan metode untuk mewarnai
bakteri sehingga lebih mudah dilihat dan dibedakan di bawah mikroskop.
Pewarnaan Gram ini sampai saat ini masih digunakan secara luas.
Pada tahun 1929 Alexander Fleming menemukan substansi antibiotika
penicillin yang sejak waktu itu hingga saat ini digunakan secara luas untuk
mengobati berbagai macam patogen.
Pada tahun 1977, suatu metode, DNA sequencing, yang dikembangkan oleh
Walter Gilbert dan Frederick Sanger menyebabkan perubahan besar dalam
pengembangan
4

pembuatan vaksin, dalam bidang pengobatan dan dalam metode diagnosis


penyakit. Pada tahun 1979 dengan menggunakan recombinant DNA, insulin
sintetik dapat dibuat, sedangkan pada tahun 1986 dengan melalui rekayasa
genetika vaksin terhadap hepatitis B untuk pertama kalinya dapat diciptakan.
Untuk pertama kalinya pada tahun 1995 The Institute for Genomic Research
berhasil menciptakan genom bakteri, yaitu Haemophylus influenzae.
1.2. KLASIFIKASI MAKHLUK HIDUP

Dunia makhluk hidup terbagi menjadi lima kerajaan (kingdom), yaitu Plantae,
Animalia, Fungi, Protista dan Monera. Karena itu fungi atau jamur tidak
sekerabat dengan bakteri (Monera).

KERAJAAN KARAKTER CONTOH

Monera Prokariosit Bacteri


Actinomycetes

Protista Eukariosit Protozoa

Fungi Eukariosit Fungi

Plantae Eukariosit Tanaman,


Lumut

Animalia Eukariosit Artropoda


Mamalia
Manusia

1.3. INFEKSI

Definisi Infeksi

Infeksi adalah invasi jaringan tubuh hospes oleh organisme penyebab


penyakit, diikuti perbanyakan diri, dan reaksi jaringan hospes terhadap
5

organisme atau racun yang dihasilkannya. Infeksi dapat disebabkan oleh


agen infektif, antara lain virus,
bakteri, jamur dan parasit. Hospes melawan infeksi dengan sistem imun yang
merupakan respon innate , berupa proses keradangan diikuti respon adaptif.
Untuk melawan infeksi dapat digunakan obat-obatan.

Klasifikasi Infeksi
Infeksi dapat dikelompokkan atas infeksi primer dan infeksi sekunder serta
occult infection. Infeksi bakterial dibedakan berdasar agen penyebabnya,
gejala kliniknya dan tanda-tanda medik yang dihasilkannya.
Infeksi simtomatik dapat terlihat nyata (apparent), sedangkan infeksi aktif
yang tidak menunjukkan gejala tak jelas disebut infeksi yang tak jelas (0),
infeksi yang tenang (silent) atau infeksi subklinik (subclinical). Infeksi yang
tidak aktif (dormant) disebut infeksi laten (latent infection).
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung tidak lama dan mendadak,
sedangkan infeksi yang berlangsung lama dan pelan-pelan disebut infeksi
kronis.

Infeksi primer dan sekunder


Berdasar pada waktu terjadinya infeksi (infeksi yang pertama kali atau yang
kedua kalinya) atau berdasar pada tahapan terjadinya infeksi, infeksi
dikelompokkan menjadi infeksi primer dan infeksi sekunder.

Occult infection
Occult infection adalah infeksi yang tersembunyi yang baru diketahui
sesudah terjadi manifestasi sekunder.

Komponen Rantai Infeksi


Jika terjadi infeksi, rantai infeksi (chain of infection) akan dipengaruhi oleh
faktor-faktor berikut ini:
 Agen patogen yang infektif,
6

 Sumber infeksi (reservoir),


 Tempat infeksi terjadi (portal of entry)
 Hospes yang peka,
 Ada tempat keluar dari tubuh hospes( portal of exit)
 Penularan ke hospes baru.

Gambar 2. Rantai infeksi (www.gndmoh.com)

Agen patogen yang infektif


Mikroorganisme penyebab infeksi atau penyakit, antara lain bakteri, virus,
jamur, parasit.

Hospes yang peka


Hospes yang peka adalah orang yang dapat terinfeksi oleh agen penyebab
infeksi. Termasuk hospes yang peka adalah penderita, petugas kesehatan,
dan pengunjung rumah sakit. Vaksinasi mengurangi kepekaan hospes
terhadap penyebab penyakit.
7

Penyebab infeksi
Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Patogen
penyebabnya dapat berasal dari luar (eksogen) misalnya dari lingkungan,
berasal dari hewan atau dari orang lain, misalnya penyakit Influenza, atau
berasal dari flora normal yang ada di dalam tubuh (endogen), misalnya
kandidiasis.
Mikroba dapat memasuki tubuh melalui tempat masuk (portal of entry) yaitu
saluran pernapasan, saluran gastrointestinal, saluran urogenital, kulit dan
membran mukosa.

Portal of entry
Jalan masuk dimana patogen memasuki hospes yang peka, yaitu melalui :
 Aliran darah (tempat suntikan, kateter intravenus,
 Kulit yang rusak (luka iris, tempat operasi, ruam kulit),
 Selaput mukosa (mata, hidung, mulut),
 Saluran pernapasan (misalnya paru),
 Saluran urogenital (vagina, penis),
 Saluran gastrointestinal (mulut, anus)
 Plasenta

Portal of exit
Jalan keluar, tempat patogen meninggalkan tubuh hospes, yaitu melalui
 Aliran darah (tempat suntikan, kateter intravenus,
 Kulit yang rusak (luka iris, tempat operasi, ruam kulit),
 Selaput mukosa (mata, hidung, mulut),
 Saluran pernapasan (misalnya paru),
 Saluran urogenital (vagina, penis),
 Saluran gastrointestinal (mulut, anus)
 Plasenta
8

 Perlengkapan rumah sakit yang tercemar bahan infektif karena dicuci


dengan air yang tercemar agen patogen..

1.4. PENYAKIT

Penyakit akan terjadi jika mekanisme pertahanan tubuh hospes lemah,


sehingga organisme dapat menimbulkan kerusakan pada tubuh hospes.
Kerusakan jaringan hospes terjadi karena mikroorganisme mengeluarkan
toksin atau enzim perusak. Misalnya, Clostridium tetani mengeluarkan toksin
yang dapat menyebabkan kelumpuhan atau paralisis otot, dan
Staphylococcus mampu menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan syok
dan sepsis.

Agen patogen penyebab penyakit


Tidak semua agen infektif dapat menyebabkan penyakit pada semua hospes.
Hanya kurang dari 5% orang yang terinfeksi virus polio menjadi sakit polio.
Akan tetapi ada agen patogen yang sangat virulen, misalnya prion penyebab
penyakit sapi gila (mad cow disease) dan Creutzfeld-Jakob disease akan
menyebabkan kematian pada hampir semua hewan dan manusia yang
terinfeksi patogen ini. Infeksi yang menetap (persisten) terjadi jika tubuh tidak
mampu membersihkan semua organisme sesudah terjadi infeksi. Dalam
keadaan ini patogen infektif selalu dapat ditemukan, seringkali sebagai infeksi
laten yang mengalami kekambuhan berulang pada waktu infeksi sedang aktif.
Beberapa jenis virus menyebabkan infeksi yang persisten karena dapat
menginfeksi sel-sel yang berbeda, dan beberapa jenis virus sekali individu
terinfeksi, virus tidak akan meninggalkan tubuh penderita. Virus herpes yang
selalu bersembunyi di dalam saraf akan menjadi aktif kembali pada keadaan
tertentu.
Infeksi yang persisten menyebabkan jutaan orang di seluruh dunia meninggal
dunia setiap tahunnya, sedangkan infeksi kronis penyakit parasit
menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi di banyak
negara-negara kurang berkembang. .
9

Penularan Penyakit
Penyakit dapat ditularkan dari penderita ke orang lain melalui berbagai jalan,
yaitu:
 Kontak langsung. Menyentuh hospes terinfeksi, termasuk melalui
hubungan seksual.
 Kontak tidak langsung. Menyentuh permukaan benda tercemar.
 Kontak droplet. Batuk atau bersin.
 Jalur fekal-oral. Tertelan makanan atau minuman tercemar.
 Penularan melalui udara. Penularan spora patogen.
 Penularan oleh vektor. Organisme membawa patogen dari satu hospes
ke hospes lainnya.
 Penularan fomite. Objek atau substansi pembawa organisme infektif
atau parasit
 Penularan lingkungan. Infeksi nosokomial.
Penularan penyakit dari penderita ke orang lain terjadi melalui berbagai jalan,
melalui kontak langsung atau kontak tidak langsung. Kontak secara langsung
terjadi karena terjadi paparan dengan sumber penularan, misalnya dengan
menyentuh cairan tubuh penderita terinfeksi atau karena minum air yang
tercemar atau tergigit serangga yang menjadi vektor penular penyakit. Infeksi
kontak langsung juga terjadi karena terhirup organisme infektif yang terdapat
pada partikel aerosol yang tersebar melalui batuk atau bersin. Selain itu
termasuk penularan kontak langsung adalah penularan melalui kegiatan
seksual, baik seks oral, vaginal, atau anal.
Kontak tidak langsung terjadi jika organisme mampu bertahan lama berada di
lingkungan di luar tubuh hospes, dalam keadaan tetap infektif. Benda-benda
mati yang sering tercemar agen patogen adalah boneka, perabot rumah,
pegangan pintu, tisu pembersih atau produk perawatan badan dari individu
yang terinfeksi.
10

Selain itu mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar melalui


kontak dengan organisme yang terinfeksi juga termasuk penularan penyakit
melalui kontak tidak langsung.

Cara penularan yang banyak terjadi di negara-negara tidak maju adalah


penularan fekal-oral. Hal ini misalnya terjadi karena mencuci makanan
dengan menggunakan air limbah atau mengkonsumsinya. Keadaan ini dapat
menimbulkan keracunan makanan. Patogen-patogen yang umumnya
ditularkan secara fekal-oral antara lain adalah Vibrio cholerae, Giardia sp.,
Entamoeba histolytica, Escherichia coli, cacing pita, dan rotavirus, yang
sebagian besar menyebabkan gastroenteritis.
Penularan penyakit dari orang ke orang yang berasal dari satu generasi yang
sama disebut penularan horisontal (horizontal transmission), sedangkan
penularan dari ibu ke bayi yang dkandungnya disebut penularan vertikal
(vertical transmission). Penyakit-penyakit yang ditularkan secara vertikal
adalah AIDS, hepatitis, herpes, dan cytomegalovirus.
Seperti halnya patogen lainnya, virus juga memasuki tubuh dengan cara yang
sama, tetapi virus harus dapat memasuki sel hospes dan memasukkan
material genetik virus (DNA atau RNA) ke dalam sel hospes.

1.5. PENDEKATAN DIAGNOSTIK

Pada penyakit tertentu terdapat tanda-tanda spesifik yang menjurus kearah


diagnosis penyakit tersebut. Tanda-tanda ini disebut tanda patognomik
(pathognomic signs) yang jarang terlihat.
Jika terdapat dugaan telah terjadi infeksi, tindakan pertama yang harus
dilakukan adalah melakukan pembiakan (kultur) darah, urin dan dahak.
Pemeriksaan sinar-X dada dan pemeriksaan tinja juga membantu
11

menetapkan diagnosis. Pemeriksaan cairan sumsum belakang (spinal fluid)


hanya boleh dilakukan jika tidak ada infeksi otak.
Pada anak yang menunjukkan gejala sianosis, napas cepat, perfusi periferi
buruk, atau adanya ruam petekial, hal
ini menunjukkan bahwa risiko terjadinya infeksi yang berat meningkat 5 kali.
Indikator lain terjadinya infeksi adalah meningkatnya suhu badan di atas 40 oC.

Tanda dan Gejala


Bentuk gejala infeksi tergantung pada jenis infeksi yang terjadi. Beberapa
tanda infeksi terjadi di seluruh bagian badan, misalnya rasa lelah (fatigue),
hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, demam, keringat malam,
menggigil, nyeri dan rasa sakit. Tanda infeksi lainnya hanya terjadi di bagian
badan tertentu saja, misalnya ruam kulit, batuk, atau pilek cair.

Perbedaan gejala infeksi bakterial dan infeksi viral


Infeksi bakteri dan infeksi virus sering menunjukkan gejala infeksi yang sama.
Karena itu sulit untuk membedakannya. Mengingat bahwa infeksi virus tidak
dapat diobati dengan antibiotika, maka penting diketahui perbedaan kedua
macam infeksi tersebut. Infeksi virus atau infeksi bakterial mempunyai ciri-ciri
khas gejala klinik.
Pada infeksi viral, umumnya terjadi sistemik, mengenai berbagai bagian tubuh
atau lebih dari satu sistem tubuh dalam waktu bersamaan. Misalnya terjadi
pilek cair, kongesti sinus, batuk, badan terasa sakit, dan lain sebagainya.
Tetapi infeksi virus dapat terjadi lokal, misalnya konjungtivitis pada mata, dan
pada penyakit herpes. Penyakit virus jarang menyebabkan rasa nyeri,
misalnya herpes. Rasa sakit pada infeksi virus biasanya terasa sebagai
terbakar atau gatal-gatal.
Pada infeksi bakterial, gejala klasik yang terjadi adalah rasa panas,
kemerahan setempat (lokal), pembengkakan dan nyeri. Satu tanda khas
infeksi bakterial adalah terjadinya nyeri lokal yang hanya terjadi pada bagian
tubuh tertentu saja. Sebagai contoh, jika terjadi infeksi bakterial pada luka
sayatan, nyeri hanya terasa di tempat terjadinya infeksi. Pada infeksi
tenggorok, rasa nyeri hanya terjadi di satu sisi daerah tenggorok. Infeksi
12

bakterial pada satu telinga, hanya menyebabkan nyeri pada telinga yang
terinfeksi

1.6. POLA PENULARAN PENYAKIT

Penyakit menular dengan jalan patogen berpindah dari reservoir ke hospes


yang peka. Dengan memahami rantai tahapan penularan ini, akan
memudahkan dalam menindak lanjuti sasaran infeksi dan melakukan
pencegahan infeksi.

Pembentukan koloni
Infeksi mulai terjadi ketika organisme berhasil membentuk koloni, memasuki
tubuh hospes, tumbuh dan memperbanyak diri. Hospes yang lemah, sakit,
mengalami malnutrisi, menderita kanker atau diabetes, kepekaannya akan
meningkat terhadap infeksi kronis atau persisten. Individu yang sistem imun
tubuhnya terganggu akan peka terhadap infeksi oportunistik.

Jalan masuk patogen


Tempat masuk organisme penyebab penyakit ke dalam tubuh hospes
umumnya melalui mukosa di lubang-lubang masuk misalnya di rongga mulut,
hidung, mata, genitalia, anus, atau luka terbuka. Sebagian organisme
berkembang di sekitar tempat masuknya, sedangkan sebagian besar lainnya
akan mengadakan migrasi ke berbagai organ dan menimbulkan infeksi
sistemik.
Pembentukan koloni dan infeksi
Mikroorganisme ada yang hidup di dalam sel hospes (intraseluler) dan ada
yang hidup bebas di dalam cairan tubuh hospes. Koloni organisme yang
terbentuk di dalam luka tidak akan memperbanyak diri di dalam luka,
sedangkan pada luka yang mengalami infeksi organisme patogen akan
berkembang biak dan menimbulkan kerusakan jaringan. Semua organisme
multiseluler membentuk koloni bersama dengan organisme ekstrinsik dan
13

hidup bersama hospes secara mutualistik atau hidup secara komensal.


Spesies bakteri anaerob yang membentuk koloni di kolon mamalia hidup
bersama hospes
secara mutualistik, sedangkan Staphylococcus yang terdapat pada kulit
manusia hidup bersama secara komensal.
Perbedaan antara infeksi dan pembentukan koloni seringkali tergantung pada
lingkungannya. Organisme tidak patogen bisa berubah sifatnya menjadi
patogen pada keadaan tertentu, sebaliknya organisme yang sangat ganas
(virulen) memerlukan suatu kondisi tertentu untuk dapat menyebabkan infeksi
pada hospes.
Beberapa koloni Corynebacteria sp. dan Streptococcus viridans mencegah
terjadinya adesi dan pembentukan koloni bakteri patogenik, sehingga bakteri-
bakteri tersebut dikenal sebagai organisme yang hidup simbiotik dengan
hospesnya karena bersifat mencegah infeksi dan mempercepat
penyembuhan luka.

Bentuk kelainan yang terjadi pada hospes jika mengalami inokulasi patogen
dipengaruhi oleh :
 tempat masuk patogen ke dalam badan hospes
 virulensi intrinsik organisme
 jumlah organisme yang masuk ke dalam tubuh hospes
 status imun hospes
Sebagai contoh, bakteri Staphylococcus yang terdapat dipermukaan kulit
tidak menyebabkan infeksi pada hospes. Tetapi jika bakteri tersebut berada di
ruang steril, misalnya dikapsul sendi atau di dalam rongga peritoneum, bakteri
ini akan berkembang biak secara leluasa tanpa hambatan sehingga
populasinya akan besar jumlahnya yang hidup di dalam tubuh hospes.

1.7. DIAGNOSIS PENYAKIT INFEKSI

Untuk menentukan diagnosis penyakit, dilakukan wawancara riwayat penyakit


dan pemerksaan fisik penderita. Selan itu untuk membantu menegakkan
14

diagnosis dapat dilakukan berbagai pemeriksaan, misalnya biakan mikrobial,


pemeriksaan mikroskopi, uji biokimia dan penetapan genotip. Untuk
mengetahui adanya kelainan internal akibat pertumbuhan agen
patogen diperlukan pemeriksaan yang lebih teliti menggunakan pemeriksaan
dengan sinar-X, CAT scan, PET scan atau NMR.

Kultur mikroba

Biakan mikrobiologik merupakan metode primer untuk mengisolasi agen


penyakit infeksi untuk dipelajari di laboratorium. Contoh jaringan atau cairan
yang diduga mengandung patogen yang spesifik dibiakkan pada medium
selektif atau medium diferensial untuk menentukan jenis patogen.

Gambar 3. Koloni Klebsiella pneumoniae pada MacConkey agar


(http://www.ppdictionary.com/bacteria )
Terdapat tiga jenis kultur atau medium yang dapat digunakan untuk pengujian
yaitu:
 Kultur padat. Permukaan medium padat yang terbuat dari campuran
nutrien, garam dan agar menjadi tempat pertumbuhan koloni (klon
yang sel-selnya identik satu dengan lainnya) terutama dari bakteri dan
jamur.
15

 Kultur cair. Sel-sel tumbuh di dalam medium cair dan menyebabkan


terjadinya suspensi koloidal. Teknik ini digunakan untuk diagnosis
parasit dan mycobacteria.
 Kultur sel. Kultur sel manusia atau hewan yang diinfeksi dengan
mikroba diamati untuk menentukan pengaruh mikroba pada sel. Teknik
ini digunakan untuk melakukan identifikasi virus.

Pemeriksaan mikroskopi
Mikroskop digunakan untuk memeriksa hasil kultur dan melakukan
identifikasi mikroba. Mikroskop sinar digunakan untuk memeriksa sediaan
berasal dari penderita secara langsung atau sesudah dilakukan teknik
pewarnaan sediaan untuk memperjelas gambaran sel. Untuk memeriksa lebih
jelas gambaran mikroba dapat diperbesar dan diperjelas menggunakan
mikroskop elektron dan mikroskop fluoresen.

Uji biokimia
Uji biokimia dapat dilakukan dengan cepat dan mudah untuk melakukan
identifikasi agen infektif. Sifat-sifat metabolik atau enzimatik dan kemampuan
mengadakan fermentasi karbohidrat dapat digunakan sebagai pola untuk
menetapkan genus atau spesies mikroorganisme. Biakan bakteri pada
medium padat atau medium cair selektif dapat menghasilkan asam, alkohol
atau gas yang khas untuk bakteri tertentu, sehingga dapat digunakan untuk
melakukan identifikasi bakteri
16

Gambar 4. Uji fermentasi karbohidrat untuk diferensiasi Enterobacteriaceae


(http://faculty.lacitycollege.edu/hicksdr/phenolreds.htm)
Pemeriksaan serologi
Metode pemeriksaan serologi sangat sensitif, spesifik dan sangat cepat
hasilnya dalam melakukan identifikasi mikroorganisme. Dasar pemeriksaan
adalah pembentukan ikatan antigen-antibodi sehingga uji serologi dapat
digunakan untuk identifikasi bakteri dan organisme lainnya. Teknik serologi
yang lebih komplek dikenal sebagai immunoassay. Dengan immunoassay
dapat dideteksi atau diukur antigen yang berasal dari agen infektif atau
protein yang berasal dari hospes terinfeksi yang mengadakan respon
terhadap infeksi.

Polymerase chain reaction (PCR)


Pada waktu ini PCR merupakan teknik pemeriksaan molekuler untuk
mempelajari dan mendeteksi mikroba, karena dapat memberikan hasil
pemeriksaan yang lebih pasti dan cepat. Dengan PCR kuantitatif yang
menggunakan fluoresensi dan probe untuk mendeteksi molekul DNA yang
diteliti, metode ini lebih cepat dibanding PCR tradisional yang menggunakan
elektroforesis gel sesudah reaksi berakhir. Selain itu PCR kuantitatif juga
mengurangi terjadinya kontaminasi selama proses PCR berlangsung. Karena
itu PCR kuantitatif merupakan metode baku untuk mendeteksi infeksi virus,
misalnya AIDS dan hepatitis.

Pada pengobatan penyakit harus diperhatikan jenis mikroba yang


menginfeksi, adanya kemungkinan telah terjadinya resistensi mikroba
terhadap obat-obatan, dan adanya kemungkinan efek samping dan
toksisitas obat serta alergi bisa terjadi pada penderita tertentu.

Sebagai contoh, dilakukan uji kepekaan antibiotika terhadap bakteri


pada cawan petri menggunakan beberapa jenis antibiotika terhadap
bakteri yang dibiakkan pada medium biakan,
17

1.8. PENGOBATAN PENYAKIT

Pada waktu terjadi infeksi, sistem imun tubuh akan menghambat dan
mencegah terjadinya penyakit. Meskipun demikian pada infeksi yang berat
diperlukan pengobatan untuk memberantas mikroorganisme yang masuk.
Untuk mengobati penyakit bakterial dapat diberikan antibiotika, sedangkan
penyakit viral dan penyakit jamur diobati dengan antiviral dan antijamur.
Penyakit-penyakit parasitik umumnya dapat diobati dengan antiparasit yang
mempunyai spektrum lebar.

Gambar 5. Uji kepekaan antibiotika


(https://picasa.web.google.com/MCCMicrobiology)

Pada uji kepekaan pada Gambar 5, . bakteri yang dibiakkan di bagian kiri
masih sensitif terhadap antibiotika yang terdapat pada lempeng kertas putih,
sedangkan bakteri yang dibiakkan di medium kultur di sebelah kanan banyak
yang telah kebal (resisten) terhadap antibiotika yang terdapat pada lempeng
kertas putih.
18

Mikroba tidak selalu menyebabkan penyakit. Berberapa jenis mikroba


bermanfaat untuk manusia, misalnya untuk memberantas penyakit infeksi
(penisilin adalah antibiotika yang dihasilkan oleh bakteri genus
Streptomyces).
Selain itu flora normal usus adalah bakteri-bakteri yang bertindak sebagai
probiotik yang memelihara kesehatan pastrointestinal karena menghambat
perkembang biakan bakteri patogen di dalam usus.

1.9. PENCEGAHAN INFEKSI

Infeksi dapat dicegah dengan memutuskan rantai infeksi melalui


pengobatan dan upaya pencegahan lainnya, misalnya dengan menjaga
kebersihan lingkungan, meningkatkan higiene perorangan, dan
pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

Obat-obatan yang dapat diberikan dapat berupa antibiotikaa, anti viral,


anti jamur atau antituberkulosa. Tergantung pada beratnya penyakit
antibiotika dapat diberikan melalui mulut, melalui suntikan atau
diberikan sebagai obat luar. Kadang-kadang beberapa antibiotika
diberikan bersama-sama untuk mengurangi terjadinya resistensi dan
meningkatkan efektifitas.

Untuk mencegah penularan infeksi, mencuci tangan sesering merupakan


cara yang penting. Mencuci tangan, menggunakan pakaian operasi,
mengggunakan masker wajah dapat mencegah penularan dari dokter bedah
ke penderita dan sebaliknya.

Meningkatkan nutrisi penderita, memperbaiki cara hidup, memasak makanan


dan minuman, dapat mencegah penularan penyakit.

Penggunaan antibiotika yang terlalu lama harus dihindari karena pengobatan


yang lama selain bisa menimbulkan resistensi patogen terhadap antibiotika,
19

juga dapat memicu terjadinya infeksi oportunistik, misalnya kolitis oleh


Clostridium difficile.

Vaksinasi merupakan upaya pencegahan penyakit dengan cara


meningkatkan imunitas seseorang.

1.10. PENYAKIT BAKTERIAL

Bakteri patogen adalah bakteri yang dapat menyebabkan infeksi bakterial.


Sebagian besar bakteri tidak berbahaya karena tidak menyebabkan penyakit.
Beberapa diantaranya bahkan berguna untuk manusia. Salah satu penyakit
bakterial yang penting adalah tuberkulosis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang telah menyebabkan kematian sekitar 2 juta
manusia di dunia, terutama di Afrika Sub-Sahara.
Penyakit-penyakit oleh bakteri patogenik lain yang penting adalah pneumonia
yang disebabkan oleh Streptococcus dan Pseudomonas, dan penyakit yang
ditularkan melalui makanan yang disebabkan oleh Shigella,
Campylobacter,dan Salmonella. Bakteri patogen juga menyebabkan tetanus,
demam tifoid, difteri, sifilis dan lepra. Untuk menentukan adanya hubungan
antara penyakit dan mikroba penyebabnya digunakan postulat Koch sebagai
landasannya.

Gambar 6. Mycobacterium tuberculosis (Sumber: NIAID)


20

Gambar 7. Salmonella typhi penyebab demam tifoid (Sumber: CDC)

Patogenesis penyakit bakterial


Bakteri dalam keadaan tertentu menjadi bersifat patogen, misalnya jika
terdapat luka yang memungkinkan bakteri masuk ke dalam darah atau terjadi
penurunan fungsi kekebalan tubuh.
Misalnya, Staphylococcus dan Streptococcus yang merupakan flora normal
manusia yang terdapat di kulit dan di hidung yang tidak menyebabkan
penyakit, dapat berubah menjadi patogen penyebab infeksi kulit, pneumonia,
meningitis, atau dapat menyebabkan sepsis, syok dan kematian penderita.
Beberapa spesies bakteri, misalnya Pseudomonas aeruginosa, Burkholderia
cenocepacia, dan Mycobacterium avium adalah patogen oportunistik yang
dapat menyebabkan penyakit pada sesorang yang menurun daya tahan
tubuhnya atau menderita penyakit fibrosis kistik.
Organisme-organisme yang hidup sebagai parasit intraseluler obligat,
misalnya Chlamydophila, Ehrlichia, dan Rickettsia, mampu hidup dan
berkembang biak di dalam sel organisme lainnya. Infeksi oleh bakteri
intraseluler pada masa inkubasi
21

tidak menunjukkan gejala atau asimtomatik. Rickettsia antara lain dapat


menyebabkan penyakit typhus dan Rocky Mountain spotted fever, sedangkan
Chlamydia dapat menyebabkan pneumonia, infeksi saluran kemih dan
penyakit jantung koroner.

Gambar 8. Intracellular Chlamydia trachomatis inclusion bodies


(http://www.cdc.gov/nchhstp/newsroom/images/chlamydia.jpg )

Berbagai bakteri hidup intraseluler fakultatif, misalnya Salmonella, Neisseria,


Brucella, Mycobacterium, Listeria, Francisella, Legionella dan Yersinia pestis.

Infeksi bakterial berdasar tempat infeksi


Berdasar tempat terjadinya infeksi, infeksi bakterial dikelompokkan menjadi:
 Vaginosis bakterial. Infeksi vagina terjadi karena adanya gangguan
keseimbangan flora normal bakteri. Tidak termasuk dalam vaginosis
bakterial adalah kandidiasis yang disebabkan oleh jamur dan
trikomoniasis yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.
 Meningitis bakterial. Radang selaput otak (meninges)

yang melindungi otak dan sumsum tulang belakang (spinal cord).


22

 Pneumonia bakterial. Infeksi bakterial paru.


 Infeksi saluran kemih. Hampir semua infeksi di daluran kemih
disebabkan oleh bakteri, terutama oleh Escherichia coli. Gejala klinis
yang sering terjadi berupa disuri, poliuri, atau piuri. Bakteriuri tidak
selalu terjadi. Infeksi saluran kemih terjadi jika bakteri yang masuk ke
dalam kandung kemih atau ginjal berkembang biak di dalam organ-
organ tersebut dan menyebabkan infeksi saluran kemih (urinary tract
infection).
 Gastroenteritis bakterial. Infeksi disebabkan oleh bakteri enterik
patogen yang bisa dibedakan dari bakteri flora normal usus.
Escherichia coli yang bersifat sebagai flora usus normal dapat berubah
menjadi bakteri enterik patogen.
 Infeksi kulit bakterial. Terdapat berbagai jenis infeksi kulit yang
disebabkan oleh bakteri, yaitu:
o Impetigo. Infeksi kulit yang sangat menular ini terutama
disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan kadang-kadang
oleh Streptococcus pyogenes.
o Erisipelas. Infeksi akut bakterial oleh Streptococcus ini terjadi
pada epidermis bagian dalam diikuti penyebaran melalui saluran
limfatik.
o Selulitis. Radang difus jaringan ikat disertai radang berat kulit
dan lapisan subkutan. Selulitis disebabkan oleh flora normal kulit
atau bakteri eksogen, dan terjadi pada kulit yang rusak, teriris,
lecet, terbakar, gigitan serangga, luka operasi, tempat suntikan
atau tempat masuknya kateter.

Pengobatan infeksi bakterial

Infeksi bakterial diobati dengan antibiotika, yang dapat dikelompokkan dalam


bakteriosidal jika menyebabkan kematian
23

bakteri atau bakteriostatik jika hanya menghambat pertumbuhan bakteri.


Antibiotika dapat digunakan untuk mengobati infeksi bakterial pada manusia,
tetapi juga dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan hewan ternak.
Hal ini merupakan salah satu sebab terjadinya resistensi antibiotika pada
populasi bakterial. Beberapa jenis infeksi bakterial dapat diobati dengan fage
(phage therapy).

Infeksi bakterial dapat dicegah dengan menggunakan antiseptik misalnya


untuk melakukan sterilisasi kulit sebelum dilakukan penyuntikan atau waktu
memasukkan kateter. Sterilisasi alat-alat bedah dan kedokteran gigi dilakukan
untuk mencegah infeksi bakteri. Disinfektan, misalnya larutan pemutih
(bleach) digunakan untuk membunuh bakteri dan patogen lainnya yang
mencemari permukaan benda-benda untuk mencegah kontaminasi dan
mengurangi risiko infeksi. Untuk membunuh bakteri yang ada di dalam
makanan dilakukan pemanasan atau memasaknya sampai di atas 73 0C.

Gambar 9. Grup A Streptococcus penyebab faringitis streptokokal


(http://www.nizetlab.ucsd.edu)
24

1.11. PENYAKIT VIRAL

Terdapat sekitar 21 keluarga virus yang dapat menyebabkan penyakit pada


manusia. Terdapat lima keluarga virus double-stranded DNA. Tiga keluarga
virus yang tidak berselubung (non enveloped) yaitu Adenoviridae,
Papillomaviridae dan Polyomaviridae dan dua keluarga virus berselubung
(enveloped) yaitu Herpesviridae dan Poxviridae. Semua keluarga virus yang
non-enveloped mempunyai nukleokapsid isokahedral.
Terdapat satu keluarga virus berselubung dengan double-stranded DNA yaitu
Hepadnaviridae.
Terdapat satu keluarga virus single-stranded DNA yang menginfeksi manusia,
yaitu Parvoviridae, yang tidak berselubung.

Dari tujuh keluarga virus RNA yang single-stranded positif terdapat tiga
keluarga yang tidak berselubung (non-enveloped) yaitu Astroviridae,
Caliciviridae dan Picornaviridae dan empat keluarga yang berselubung
(Coronaviridae, Flaviviridae, Retroviridae dan Togaviridae). Semua keluarga
yang non-enveloped mempunyai nukleokapsid ikosahedral.
Terdapat enam keluarga virus RNA yang single-stranded negatif
(Arenaviridae, Bunyaviridae, Filoviridae, Orthomyxoviridae, Paramyxoviridae
dan Rhabdoviridae). Semua keluarga virus ini mempunyai selubung dengan
nukleokapsid helikal.
Dari virus RNA yang double-stranded hanya ada satu keluarga, yaitu
Reoviridae.

Terdapat satu jenis virus yang belum dapat dimasukkan dalam keluarga-
keluarga virus tersebut diatas, yaitu Hepatitis D virus.
Beberapa catatan tentang virus penyebab penyakit pada manusia yang
penting adalah:
 Virus DNA berkembang biak di dalam inti, sedangkan virus RNA
berkembang biak di dalam sitoplasma, kecuali : Poxvirus (virus DNA)
berkembang biak di
25

dalam sitoplasma dan Orthomyxovirus dan Hepatitis D virus (virus


RNA) berkembang biak di dalam inti.
 Terdapat empat keluarga yang mempunyai genom yang bersegmen,
yaitu Bunyaviridae, Orthomyxoviridae, Arenaviridae dan Reoviridae.
Semuanya termasuk virus RNA.
 Tiga keluarga virus, Bunyavirus, Flavivirus dan Togavirus ditularkan
oleh artropoda. Beberapa jenis Reovirus ditularkan oleh artropoda.
Semua keluarga virus ini termasuk virus RNA.
 Hanya ada satu keluarga virus berselubung (enveloped)
menyebabkan gastroenteritis, yaitu Coronaviridae. Virus lain penyebab
gastroenteritis termasuk virus tidak berselubung (non enveloped).

Diagnosis dan Pengobatan


Penyakit viral dapat dideteksi dengan memperhatikan gejala klinik, riwayat
adanya nyeri otot dan nyeri sendi yang berat sebelum terjadi demam dan
ruam kulit serta pembesaran kelenjar limfe. Pemeriksaan laboratorium tidak
bisa digunakan untuk menetapkan diagnosis penyakit viral, melainkan hanya
untuk mengetahui adanya infeksi sekunder bakterial.
Virus umumnya mempunyai masa hidup yang terbatas, sehingga pengobatan
ditujukan untuk mengurangi gejala klinis, menurunkan demam dan untuk
menghilangkan rasa sakit.

Rotavirus
Rotavirus merupakan salah satu penyebab diare pada anak.berumur di
bawah lima tahun. Gastroenteritis rotavirus merupakan penyebab diare berat
pada bayi dan anak sehingga menimbulkan dehidrasi yang dapat
menyebabkan kematian.
Infeksi rotavirus pada anak, umumnya dimulai dengan timbulnya demam yang
kemudian diikuti diare cair dan muntah yang berlangsung selama 3-8 hari.
Sakit perut dapat juga dialami oleh penderita. Infeksi rotavirus pada orang
dewasa umumnya
26

ringan gejalanya atau tanpa gejala. Pada umumnya infeksi rotavirus tidak
menimbulkan komplikasi.
Meskipun rotavirus yang keluar bersama tinja penderita sangat menular,
mencuci tangan sesering mungkin setiap kali menggunakan kamar mandi
dapat mencegah penularan virus ini.

Gambar 10. Transmission Electron micrograph Rotavirus


(web.stanford.edu/group/virus/reo)

Virus Hepatitis
Beberapa penyakit hepatitis disebabkan oleh virus, yaitu hepatitis virus A
(picornavirus, virus RNA single strand), hepatitis B (keluarga hepadnavirus,
virus DNA double strand), hepatitis C (flavivirus suatu virus RNA single
strand), virus hepatitis E (virus RNA, mirip dengan calicivirus). Hepatitis D
yang dikenal sebagai agen Delta adalah RNA sirkuler yang lebih mirip viroid
tumbuhan, bukan virus yang lengkap.
27

Gambar 11. Virus Hepatitis B (Sumber: CDC)

Human papillomavirus (HPV)

Sekitar 50% orang laki-laki di Brazil, mexico, dan USA menderita infeksi
genital dengan HPV. Selain itu menimbulkan kanker cervix pada perempuan,
HPV juga menyebabkan kutil (warts) dan kanker genital dan anus pada kedua
jenis kelamin. Diduga HPV juga dapat menyebabkan kanker kepala dan
kanker leher.

Gambar 12. Human papilloma virus (Sumber: National Institute of Health).


28

Tabel 1. Infeksi virus keluarga Herpesviridae

Tipe virus Famili Penularan


Penyakit

 infeksi HSV-1 primer


Herpes simplex Herpesviridae Kontak langsung (gingivostomatitis,ker
virus (HSV) tipe 1 ato-konjungtivitis)

 infeksi laten HSV-1


(herpes labialis)
 Kontak seksual  infeksi primer HSV-2
Herpesviridae  Transmisi vertikal  infeksi laten HSV-2
HSV tipe2
 meningitis aseptik
 Melalui cairan  mononucleosis
Herpesviridae tubuh infeksiosa
Cytomegalovirus
 Transmisi vertikal  penyakit inklusi
Cytomegalik
 Sarkoma Kaposi
Herpesviridae Melalui cairan tubuh  Penyakit Castleman
HPV tipe 8 multisentrik

 Limfoma efusi primer


 Mononucleosis
infeksiosa
 Limfoma Burkitt
Epstein-Barr virus Herpesviridae Melalui air liur  Limfoma Hodgkin

 Karsinoma
nasofaring
 Chickenpox
 Kontak langsung
Varicella-zoster  Herpes zoster
Herpesviridae
virus
 Kontak droplet

Gejala klinik menunjukkan bahwa spesies virus yang berasal dari satu
keluarga (family) yang sama dapat menunjukkan gejala klinik yang berbeda
sifatnya. Sebagai contoh tipe-tipe virus dari famili Herpesviridae menunjukkan
sifat-sifat klinis yang berbeda-beda, begitu juga cara penularan dan penyakit
yang ditimbulkannya.
29

1.12. PENYAKIT JAMUR

Mikosis adalah infeksi oleh jamur yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh


lingkungan dan kondisi fisiologis. Inhalasi spora jamur atau pembentukan
koloni jamur pada kulit dapat menyebabkan infeksi persisten. Mikosis dapat
terjadi pertama kali di kulit atau di paru-paru.

Penyebab mikosis
Orang yang menggunakan antibiotika kuat dalam jangka panjang berisiko
tinggi untuk terinfeksi jamur karena antibiotikaa juga membunuh bakteri yang
menguntungkan kesehatan. Gangguan keseimbangan mikroorganisme dapat
terjadi di rongga mulut, vagina, usus dan tempat lain pada tubuh manusia
sehingga jamur berkembang biak berlebihan.

Individu dengan sistem imun yang lemah juga mempunyai risiko mengalami
infeksi jamur, misalnya penderita HIV/AIDS dan pengguna obat-obat steroid.
Penderita diabetes, anak kecil dan bayi serta orang lanjut usia juga berisiko
mengalami infeksi jamur.

Klasifikasi mikosis

Berdasar pada jaringan tempat koloni jamur ditemukan, mikosis


dikelompokkan menjadi mikosis superficial, mikosis kutan, mikosis subkutan,
mukosis sistemik dan mikosis oportunistik.

 Mikosis superfisial. Jamur hanya menginfeksi lapisan paling luar dari


kulit dan rambut. Misalnya pada Tinea versicolor, infeksi jamur yang
sering diderita orang berusia muda, pada kulit dada, punggung, lengan
atas dan kaki. Jamur jarang dijumpai pada wajah. Kulit yang terserang
jamur menimbulkan bercak berwarna putih atau coklat muda. Bercak
kulit akan lebih nyata terlihat pada kulit yang lembab. Gangguan
hormonal dan imunitas serta kesehatan penderita juga merupakan
faktor pendukung terjadinya infeksi jamur.
30

 Mikosis kutan. Pada mikosis kutan, jaringan yang terserang adalah


epidermis dan dapat menyerang rambut serta kuku. Penyakit ini
terbatas menyebabkan infeksi pada lapisan kulit yang mengandung
keratin, rambut dan kuku. Karena menyerang lapisan kulit yang lebih
dalam, respon imun dapat terjadi. Organisme yang menjadi penyebab
penyakit ini adalah dermatophyte, sedangkan mikosis yang
ditimbulkannya disebut ringworm atau tinea. Jamur yang menjadi
penyebab mikosis kutan (cutaneous mycosis) adalah Microsporum,
Trichophyton dan Epidermophyton. Salah satu penyakit yang umum
dijumpai adalah athlete’s foot yang banyak diderita anak sebelum
puber.

Gambar 13. Microsporum gypseum


(http://www.vetmed.wisc.edu/students/vetmycology/41.jpg)

 Mikosis subkutan. Infeksi jamur biasanya diawali dengan terjadinya


luka tusuk, yang menyebabkan jamur dapat masuk ke dalam jaringan.
Infeksi sukar diobati sehingga membutuhkan tindakan pembedahan,
misalnya debridement untuk membersihkan jaringan yang rusak.

 Mikosis sistemik oleh patogen primer. Sumber patogen primer berasal


dari paru yang kemudian menyebar ke berbagai sistem organ.
Umumnya patogen primer penyebab mikosis sistemik adalah jamur
dimorphic. Contoh jamur dimorfik adalah Histoplasma.
31

Histoplasma
Jamur dimorfik ini banyak ditemukan pada tinja burung dan kelelawar.
Spesies Histoplasma capsulatum dapat menyebabkan histoplasmosis
Penularan terjadi dengan masuknya spora organisme bersama debu yang
terhirup, yang berasal dari tinja unggas.

Gambar 14. Bentuk ragi Histoplasma capsulatum di dalam makrofag alveolar.


Anak panah menunjukkan halo yang terbentuk karena adanya retraksi
sitoplasma. (C.Kuhn: www.brown.edu)

Mikosis sistemik oleh patogen oportunistik

Pada penderita dengan defisiensi sistem imun, patogen oportunistik dapat


menyebabkan penyakit mikosis sistemik. Keadaan dengan
immunocompromised ini terjadi pada penderita AIDS, flora normal yang
berkembang akibat pemakaian antibiotika lama, orang yang mendapatkan
terapi imunosupresif dan penderita kanker metastatik. Contoh infeksi jamur
oportunistik adalah kandidiasis, kriptokokosis dan aspergilosis.
32

Gambar 15. Gambaran mikroskopis Aspergillus pada sediaan bahan klinik


(http://www.vetmed.wisc.edu/student/vetmycology/lab)

Candida adalah ragi berdinding tipis berukuran kecil 4- 6 mikron yang


melakukan reproduksi dengan membentuk tunas (budding). Organisme ini
merupakan organisme komensal yang membentuk koloni pada orang sehat
maupun sakit. Banyak ditemukan di tanah, benda-benda mati , makanan, dan
lingkungan rumah sakit. Dalam keadaan tertentu dapat terjadi infeksi
oportunistik kandidiasis.Infeksi kandidiasis orofaringeal dan vulvovaginitis
sebagian besar disebabkan oleh Candida albicans.

Pengobatan dan pencegahan mikosis

Obat anti jamur tergantung jenis infeksinya dapat diberikan secara topical
atau sistemik. Photochemotherapy atau photopheresis diberikan sebagai
terapi mikosis fungoides.

Obat anti jamur yang sering diberikan adalah fluconazole atau diflucan. Untuk
jamur yang sudah resisten terhadap obat-obatan tersebut dapat digunakan
amphotericin B yang diberikan secara intravenous.
33

Untuk mengobati infeksi jamur pada kulit dapat diberikan obat jamur
tolnaftate, ketoconazole, itraconazole, terbinafine, echinocandins atau
griseofulvin.

Untuk infeksi jamur di vagina yang disebabkan oleh Candida albicans dapat
digunakan tioconazole dalam bentuk suppositoria.

Menjaga agar kulit selalu bersih dan kering dan selalu dalam keadaan higiene
yang baik, dapat mencegah mikosis kulit. Karena infeksi jamur menular,
selalu mencuci tangan sesudah menyentuh orang lain atau hewan sebaiknya
selalu dilakukan. Pakaian olahraga harus segera dicuci sesudah digunakan
34
35

BAB 2

DASAR MIKROBIOLOGI

2.1. BAKTERI
2.2. RICKETTSIA, COXIELLA, CHLAMYDIAE
2.3. VIRUS
2.4. BACTERIOPHAGE
2.5. JAMUR
2.6. PROTOZOA
2.7. BAKTERI FLORA NORMAL MANUSIA
36

2.1. BAKTERI

MIkroorganisme yang penting dalam bidang kedokteran: bakteri, rickettsia


dan chlamydia, virus, jamur dan protozoa.
Berdasar struktur selnya, mikroorganisme dikelompokkan dalam ::
(a). eukariotik: struktur selnya seperti hewan dan tumbuhan tinggi (jamur
dan protozoa)
(b).prokariotik: sel mikroorganisme sederhana strukturnya (bakteri,
rickettsia, chlamydia)

Bakteri adalah prokariot (prokaryote) yang merupakan sel sederhana, yang


mempunyai inti yang tidak sempurna, dengan kromosom yang terdiri dari
lingkaran tertutup DNA.

Biologi dan pengelompokan bakteri

Bentuk dan ukuran bakteri bermacam-macam, dari bentuk sferis yang sangat
kecil, silindris dan berbentuk benang spiral, sampai bentuk batang yang
berflagel, dan rantai yang berfilamen. Bakteri dapat ditemukan di hampir
semua bagian bumi termasuk di tempat yang tidak layak untuk dihuni
organisme lainnya. Banyak bakteri dapat menyebabkan penyakit bagi
manusia, tetapi berbagai bakteri menguntungkan kesehatan manusia bahkan
merupakan organisme yang diperlukan dalam kehidupan manusia. Misalnya
bakteri yang hidup simbiotik di dalam usus besar yang membentuk vitamin K,
yang penting sebagai faktor pembeku darah. Bakteri lain menguntungkan
hidup manusia secara tidak langsung, misalnya yang dimanfaatkan dalam
berbagai industri makanan, dan bakteri-bakteri yang menghancurkan
sampah-sampah dan hewan serta tumbuhan yang mati.
Terdapat dua cara lain untuk mengelompokkan bakteri, yaitu reaksinya
terhadap gas oksigen, yaitu bakteri aerob yang membutuhkan oksigen untuk
hidupnya, bakteri anaerob yang tidak dapat hidup jika ada oksigen, dan
anaerob fakultatif yang membutuhkan oksigen untuk hidupnya, tetapi dapat
tetap hidup meskipun tidak ada oksigen.
37

Cara pengelompokan bakteri lainnya adalah berdasar kebutuhan energinya.


Bakteri heterotroph membutuhkan komponen organik komplek untuk
energinya (misalnya dari sampah organik atau yang menggunakan fermentasi
atau respirasi) dan bakteri autotroph yang mampu membuat sendiri
energinya, misalnya melalui bantuan sinar matahari, atau melalui reaksi-
reaksi kimiawi.

Gambar 16. Bentuk morfologi bakteri (http://www.arabslab.com)

1. Kokus Gram positif bentuk anggur (Staphylococcus) 2. Rantai kokus Gram


positif ( Streptococcus) 3. Kokus Gram positif berkapsul (Pneumococcus)
4.Gram positif ,clubshaped, pleomorfik, bentuk batang (Corynebacterium)
5. Batang Gram negatif ujung runcing (Fusobacterium) 6. Gram negatif
batang melengkung seperti koma (Vibrio) 7. Gram negatif diplokokus
(Neisseria) 8. Batang Gram-negatif ujung tumpul (E.coli) 9. Batang spiral atau
melengkung, Gram-negatif (Helicobacter) 10.Flagel peritrich 11. Flagel
lopotrich 12. Flagel monotrich
38

Struktur bakteri
Sebagian besar bakteri koki yang berbentuk sferis berukuran garis sekitar
sekitar 1 μm atau satu perseribu milimeter. Sebagai contoh, basil antraks
berukuran 4-8 μm x 1-1.5 μm dan basil batuk rejan (pertusis) berukuran 1-18
μm x 0.3-0.5 μm.
Biasanya bakteri adalah uniseluler, mampu melakukan sendiri berbagai
aktifitas metabolisme, bertambah ukurannya, mampu melakukan reproduksi
sendiri dengan membelah diri.
Ukuran sel : panjang 0.5-8 mikrometer (μm) x lebar 0.5-1 μm.
Bentuk sel ditentukan oleh dinding sel yang kaku tetapi permeable (dapat
ditembus larutan).

Dinding Sel. Dinding sel kaku yang membungkus bakteri merupakan molekul
mukopeptida atau peptidoglikan (peptidoglycan) yang adalah molekul
polisakarida yang terdiri dari rantai molekul N-acetylglucosamine dan N-
acetylmuramic acid yang dirangkai oleh rantai peptida.
Dinding sel memberi bentuk pada sel bakteri dan mengelilingi membran
sitoplasmik untuk melindunginya dari faktor lingkungan. Ia juga menjadi
tempat melekat pili dan flagel yang berasal dari membran sitoplasma yang
menembus dinding dan menuju keluar. Dinding sel mencegah pecahnya sel
jika terdapat perbedaaan besar antara tekanan osmotik sitoplasma dan
lingkungan. Komposisi dinding sel bakteri berbeda-beda, sehingga dapat
digunakan untuk diferensiasi dan analisis spesies bakteri. Misalnya pada
pewarnaan gram, bakteri gram-positif mengikat warna ungu pewarna karena
struktur dinding sel menangkap. Pada bakteri gram-negatf, karena dinding
selnya tipis, zat warna akan hilang, larut dalam alkohol atau aseton yang
digunakan untuk mencucinya.

Bakteri gram-positif (warna biru) dan gram-negatif (warna merah) berbeda


penyerapan warnanya karena berbeda komponen mukopeptid dinding selnya.
Pada gram-positif komponen mukopeptid dinding sel 60-90%, pada gram-
negatif 5-10% tetapi dengan lapisan komplek phospholipid-polysachharide-
protein yang lebih tebal.
39

Pada bakteri gram positif pada dinding sel terdapat teichoic acids ( polimer
glycerol phosphate atau ribitol phosphate) yang tidak terdapat pada dinding
sel bakteri gram-negatif.

Tabel 2 . Hubungan pewarnaan Gram dengan struktur Bakteri (Todar,2012)

Struktur bakteri Gram-positif Gram-negatif


Ketebalan dinding  Tebal (20-80 nm) Tipis (10 nm)
Jumlah lapisan 1  2
Kadar Peptidoglycan
>50% 10-20%
(murein)
Teichoic acids di dinding Ada Tidak ada
Kadar Lipid dan lipoprotein 0-3% 58%
Kadar Protein 0 9%
Kadar Lipopolysaccharide 0  13%
Peka terhadap Penicillin G  Ya Tidak (1)
Peka terhadap lysozyme Ya Tidak (2)

(1). Beberapa bakteri Gram-negatif sensitif terhadap penicilin alami.Banyak bakteri


Gram-negatif sensitif terhadap penicilin semisintetik. Bakteri Gram-negatif, termasuk
E.coli dapat dibuat sensitif pada penicilin alami dengan cara merusak sifat
permeabilitas membran sel terluar (2). Bakteri Gram-negatif peka terhadap lysozim
jika membran terluar dihilangkan dan peptidoglycan terpapar secara langsung
dengan enzim.

Sitoplasma. Sitoplasma atau protoplasma sel bakteri menjadi tempat


dilaksanakannya fungsi-fungsi pertumbuhan sel, metabolisme, dan replikasi
sel. Sitoplasma merupakan matriks mirip gel (agar-agar) yang terdiri dari air,
enzim, nutrien, sampah dan gas-gas dan mengandung struktur sel, misalnya
ribosom, kromosom, dan plasmid. Di dalam sitoplasma terdapat berbagai
struktur, yaitu ribosom, suatu struktur granuler yang banyak

mengandung sel RNA (ribonucleic acid) dan suatu chromosome atau badan
inti (nuclear body) yang terdiri double-stranded molekul DNA (deoxy-
ribonucleic acid); DNA juga bisa terdapat dalam bentuk plasmid yang
merupakan bagian extrachromosome yang kecil. Baik chromosome maupun
40

plasmid melekat pada membran dan mengatur replikasi sel. Selubung sel
(envelope) membungkus sitoplasma semua komponennya. Berbeda dengan
sel eukariotik (true cell), bakteri tidak mempunyai selaput (membran) penutup
inti. Kromosom terletak pada bagian sel yang disebut nukleoid (nucleoid),
sedangkan komponen seluler lainnya tersebar di semua bagian sitoplasma.
Membran sitoplasma. Selaput tipis (plasma membrane) ini yang terdiri dari
phospholipid dan protein, meliputi bagian dalam dari bakteri, berperan
mengatur keluar masuknya material ke luar dan ke dalam sel. Membran ini
mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang
berbeda-beda.
Fungsi membran plasma prokariotik adalah:
1. Menjaga permeabilitas dan osmosis
2. Tempat berlangsungnya sistem transportasi nutrien dan ion-ion
3. Pembangkit energi, turut berperan pada sistem respirasi dan sistem
transport elektron fotosintesis
4. Sintesis lipid membran (termasuk lipopolisakarida sel Gram-negatif)
5. Sintesis murein (peptidoglycan dinding sel)
6. Mengumpulkan dan mensekresi protein ekstrasitoplasma
7. Melakukan koordinas replikasi DNA dan pembelahan sel
8. Berperan pada proses chemotaxis
9. Mengatur tempat berlangsungnya sistem enzim tertentu

Plasmid. Komponen seluler sitoplasma berukuran kecil, merupakan struktur


genetik ekstrakromosom, banyak bakteri yang memilikinya. Plasmid terbentuk
dari suatu potongan sirkuler dari DNA (seperti halnya kromosom), tetapi tidak

berperan dalam proses reproduksi. Hanya kromosom yang berperan dalam


proses reproduksi bakteri. Plasmid adalah instrumen untuk memindahkan
sifat-sifat khusus, misalnya resistensi terhadap antibiotika, resistensi terhadap
logam berat, dan faktor virulensi dari satu bakteri ke bakteri lainnya. Plasmid
41

yang menggandakan diri (replikasi) di sitoplasma dipindahkan ke bakteri lain


pada waktu pembelahan sel (ke daughter cell) atau melalui pilus pada waktu
dilakukan proses konjugasi (pertukaran informasi genetik). Kemampuan untuk
memasukkan gen yang spesifik ke dalam plasmid merupakan teknik yang
sangat bermanfaat dalam rekayasa genetika di bidang biologi molekuler dan
genetika..

Protoplas. Terdapat di dalam dinding sel, terdiri dari sitoplasma yang


semisolid, dikelilingi cytolasmic membrane yang tipis, elastis, semipermeabel.
Membran sitoplasmik ini merupakan struktur komplek yang sangat penting
dalam menentukan jenis substansi yang bisa masuk atau keluar dari sel dan
menjadi tempat sebagian besar aktifitas enzimatik.

Mesosomes. Organel membranous berasal dari membran sitoplasmik yang


menjadi tempat kegiatan metabolisme tertentu terutama pada waktu
berlangsung proses sintesis dinding sel dan proses sporulasi.

Ribosom. Struktur granuler ini tersebar bebas di semua bagian dari


sitoplasma dan banyak mengandung sel RNA (ribonucleic acid). Ribosom
mengatur genetik molekuler asam nukleat dan asam amino dalam
membentuk susunan protein yang mengatur fungsi sel organisme hidup.
Beberapa jenis antibiotika dapat menghambat fungsi ribosom bakteri,
sehingga dapat membunuh bakteri.

Kapsul. Selubung yang tersusun dari polisacharida yang terdapat di luar


dinding sel bakteri. Kadang-kadang sel bakteri diliputi oleh matriks
polisakarida atau biofilm. Jika film polisakarida tidak dapat dilihat disebut
glycocalyx. Kapsul berfungsi untuk mencegah kekeringan, melindungi bakteri
dari proses fagositosis oleh organisme yang lebih besar. Kapsul juga
merupakan faktor virulensi utama dari bakteri penyebab
penyakit misalnya Escherichia coli dan Streptococcus pneumoniae. Mutan
yang tidak berkapsul dari dua organisme tersebut tidak virulen sehingga tidak
menyebabkan penyakit.
42

Gambar 17. Kapsul bakteri dibatasi tinta India dibawah mikroskop sinar
(http://faculty.ksu.edu.sa)

Gambar 18. Pewarnaan kapsul bakteri


(http://www.austincc.edu/microbugz/capsule_stain.php)

Selubung sel (cell envelope). Selubung sel terbentuk dari dua atau tiga
lapis selubung, yaitu membran sitoplasmik interior, dinding sel, dan kapsul
luar yang terdapat pada beberapa spesies bakteri.
43

Flagel. Struktur berbentuk seperti rambut (flagellum) adalah alat gerak yang
terdapat di seluruh permukaan bakteri atau hanya terdapat di salah satu atau
kedua ujung bakteri. Gerak flagela (jamak dari flagel) seperti baling-baling
membantu bakteri untuk maju menjari makanan, menghindar dari bahan kimia
toksik, atau bergerak mendekati cahaya. Flagel mempunyai struktur protein
berbentuk filamen yang melekat pada permukaan sel sekitar setengah
jumlah basil dan semua bakteri spiral bergerak menggunakan flagel, dan
sangat sedikit kokus yang motil.

Gambar 19. Flagel pada Salmonella enterica,Transmission


electronmicrograph (http://textbookofbacteriology.net/structure)

Susunan flagel ada yang keluar dari kutub sel (polar) atau peritrich (flagel
terletak lateral, tersebar di seluruh permukaan sel). Sebaran flagel merupakan
ciri genetik yang kadang-kadang digunakan untuk mengenali bakteri.
Misalnya Pseudomonas adalah bakteri Gram-negatif bentuk batang,
mempunyai flagela kutub (polar flagella), yang berbeda dari bakteri enterik
lainnya yang mempunyai flagela peritrich. Berdasar pada banyaknya flagel
yang keluar dari kutub bakteri atau dari permukaan bakteri, flagel disebut
sebagai monotrich, lophotrich, amphitrich dan peritrich.
44

Gambar 20. Jenis-jenis flagel (http://www.faculty.ccbcmd.edu)

Pergerakan dari organisme prokariot dalam merespon rangsangan


lingkungan dapat berlangsung dalam beberapa tipe sifat taktis (tactic
behaviour) antara lain chemotaxis (rangsangan taktis berupa bahan kimiawi),
phototaxis (rangsangan cahaya), aerotaxis (rangsangan gerak udara) dan
rangsangan magnet (magnetotaxis).

Untuk mengetahui adanya gerakan bakteri (bacterial motility) yang dapat


membantu identifikasi bakteri, dapat dilakukan:

1. Pewarnaan flagel. Adanya flagela menunjukkan adanya sifat motil


bakteri.

Gambar 21. Pewarnaan flagela pada tiga jenis bakteri:


(a). Bacillus cereus (b). Vibrio cholerae (c). Bacillus brevis. Sumber: CDC
45

2. Medium uji motilitas. Dengan menggunakan medium semisolid yang


diinokulasi bakteri dengan jarum sehingga membentuk garis lurus, jika
terlihat adanya kekeruhan di luar garis lurus, berarti ada gerakan
bakteri pada medium.

Gambar 22. Kultur bakteri pada medium uji motilitas. Tabung kiri
organisme motil, tabung kanan organisme non motil
(https://www.alpenacc.edu/faculty/milostanm)

3. Pemeriksaan bakteri sediaan basah di bawah mikroskop dapat


menunjukkan gerakan berenang bakteri, misalnya Rhodospirilum
rubrum dengan pembesaran 1500x.

Pili. Banyak spesies bakteri mempunyai pili (tunggal: pilus), tonjolan seperti
rambut pendek yang berasal dari bagian luar permukaan sel. Pili membantu
bakteri melekatkan diri pada sel lain dan permukaan, misalnya pada gigi,
usus dan jaringan hospes. Terdapat pili khusus yang digunakan pada waktu
konjugasi, dimana dua bakteri bertukar fragmen plasmid DNA.

Fimbriae. Seperti halnya pili, fimbriae juga berbentuk rambut pendek pada
permukaan sel prokariot, yang komposisinya adalah protein. Fimbriae lebih
pendek dan lebih kaku dari pada flagel, dan berukuran garis tengah lebih
kecil. Umumnya fimbriae bukan alat gerak bakteri (kecuali pada
Pseudomonas) tetapi lebih berperan dalam pelekatan bakteri pada
permukaan sel, substrat
46

dan sel atau jaringan. Pada E.coli , terdapat pilus sex atau pilus F yang
turut berperan pada proses konjugasi. Fimbriae (common pili) menentukan
virulensi bakteri karena membantu patogen membentuk koloni pada jaringan
(N.gonorrhoeae dan E.coli strain enterotoksigenik ) dan tahan terhadap
proses fagositosis oleh leukosit (pada Streptococcus pyogenes).

Tabel 3. Sifat dan fungsi pili dan fimbriae bakteri

Spesies bakteri Jumlah pada Sebaran pada Fungsi pili/ fimbriae


setiap seL permukaan sel

Transfer DNA pada


Escherichia coli 1-4 uniform konjugasi
(pili F atau sex)

Pelekat permukaan
E.coli (pili umum 100-200 uniform pada sel epitel usus
atau fimbriae
tipe1)
Pelekat permukaan
Neisseria 100-200 uniform pada sel urogenital
gonorrhoeae

Streptococcus ? uniform Pelekatan, resisten


pyogenes pada fagositosis,
(fimbriae plus variabilitas antigenik
protein M)
Pseudomonas
aeruginosa 10-20 daerah kutub Pelekatan permukaan

Nukleoid. Nukleoid adalah kromosom bakteri pada sitoplasma tempat dimana


DNA kromosom terletak. Nukleoid merupakan satu molekul sirkuler berukuran
besar yang berperan dalam replikasi. Beberapa spesies mempunyai dua atau
lebih nukleoid.
47

Genom. Jumlah seluruh DNA yang dipunyai oleh prokariot.

Kromosom. Sel kromosom merupakan pusat pengendalian genetik sel yang


menentukan sifat-sifat dan fungsi bakteri.

Granul inklusi. Granul yang merupakan bagian substansi dari sitoplasma


yang biasanya merupakan cadangan material, misalnya karbon dan energi
yang disimpan dalam bentuk glikogen

Gambar 23. Struktur dasar bakteri (www.arabslab.com)

Spora. Bentuk non reproduktif bakteri yang terbentuk di dalam sel, berdinding
tabal, aktifitas metabolismenya sangat rendah, dan sangat tahan terhadap
perubahan lingkungan, misalnya suhu yang tinggi, radiasi, asam kuat dan
disinfektan.

Reproduksi bakteri

Bakteri berkembang biak dengan membelah diri (binary fission) dimana satu
sel membesar, lalu membelah diri menjadi dua bagian yang sama.
48

Tabel 4. Ringkasan karakter khusus struktur sel bakteri

Struktur Fungsi Nahan kimia utama

Flagel Pergerakan Protein

Pili

Pilus seksual Transfer DNA pada Protein


waktu konjugasi
Pili umumnya atau Melekat pada Protein
fimbriae permukaan; mencegah
fagositosis
Kapsul Melekat pada permu- Biasanya polisakarida,
kaan; mencegah fagosi- kadang-kadang poli
tosis;cadangan peptida.
makanan atau
mencegah kekeringan
Dinding sel

Bakteri Gram-positif Mencegah lisis osmotik Ikatan peptidoglikan


sel protoplas dan (murein) dengan asam
memberi bentuk dan teichoic
kekakuan sel
Bakteri Gram-negatif Peptidoglikan mencegah Peptidoglikan (murein)
lisis osmotik dan memberi dikelilingi oleh protein
bentuk dan kekakuan sel; phospholipid - LPS
membran luar penghalang “dinding luar”.
(barrier)permeabilitas;
LPS (lipo polisakarida)
dan protein mempunyai
berbagai fungsi.
Membran plasma Penghalang permeabilitas Phospolipid dan protein.
transportasi bahan
terlarut, pembentuk
energi, tempat sejumlah
sistem enzim.

Ribosom Tempat sintesis protein RNA dan protein

Inklusi Cadangan makanan dan Karbohidrat, lipid,


fungsi khusus lainnya protein, inorganik dsb.

Kromosom Material genetik sel DNA

Plasmid Material genetik DNA


ekstrakromosal
49

Fisiologi bakteri

Golongan bakteri mempunyai bermacam-macam ukuran, bentuk dan


strukturnya, dan hidup pada berbagai jenis lingkungan. Karena itu berbagai
jenis bakteri mempunyai fisiologi yang berbeda-beda, meskipun mekanisme
biokimianya pada garis besarnya tidak berbeda satu dengan lainnya.

Kebutuhan metabolisme. Sel bakteri komplek strukturnya, meliputi berbagai


jenis protein, asam nukleat, polisakarida, lipid, dan derivat-derivatnya. Aktifitas
utama hidup bakteri adalah berkembang biak (reproduksi) dengan
membentuk bakteri-bakteri baru. Dalam kondisi optimal (tersedia energi dan
bahan baku yang cukup, serta lingkungan yang baik) beberapa spesies
bakteri dapat membelah diri 3-4 kali setiap jam; berarti satu individu bakteri
dalam waktu satu malam dapat membentuk bermiliar bakteri baru.
Kebutuhan organisme tertentu terutama enzim-enzim yang berperan dalam
proses penyusunan genetik atau genotip. Beberapa enzim dibentuk oleh
organisme pada semua keadaan yang membutuhkan, sedangkan enzim
lainnya hanya dibentuk pada keadaan tertentu, misalnya jika terdapat substrat
yang sesuai.

Sumber energi. Sesuai dengan sumber energi yang digunakannya,


mikroorganisme dikelompokkan menjadi:
 Phototroph: sumber energi berasal dari sinar matahari
 Chemotroph: energi berasal dari oksidasi komponen kimiawi.
 Chemo-organotroph: energi berasal dari komponen organik yang
berasal dari hospes.

Oksigen. Berdasar pada kebutuhan akan oksigen untuk pertumbuhan dan


hidupnya organisme dikelompokkan menjadi organisme yang:
 Aerob: hanya dapat hidup jika selalu tersedia oksigen.
 Aerob obligat: tidak dapat hidup jika tidak ada oksigen bebas.
50

 Aerob fakultatif: organisme dapat hidup baik ada atau tidak ada
oksigen, tetapi tumbuh lebih baik jika ada oksigen.
 Anaerob obligat: organisme hanya bisa hidup jika tidak ada oksigen
bebas.
 Micro-aerophile: organisme hidup lebih baik pada keadaan oksgen
yang rendah.
Pada organisme chromotroph, respirasi terjadi melalui tiga jalan, yaitu:
1. Respirasi aerobik. Pada rantai reaksi redoks (reduksi-oksidasi)
akseptor elektron akhir berupa oksigen bebas;
2. Respirasi anaerobik. Akseptor elektron akhir berupa komponen
inorganik (nitrat, sulfat dan karbonat).
3. Fermentasi anaerobik. Pada fermentasi anaerobik karbohidrat
atau substansi organik lainnya, akseptor elektron adalah
molekul sumber energi lain atau molekul organik lainnya.
Berbagai asam organik dan gas CO2 dan H2 dapat terbentuk
sebagai produk akhir fermentasi.

Karbon dioksida. Pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme,


memerlukan hanya sedikit karbon dioksida, misalnya yang terdapat di
atmosfer. Beberapa spesies yang hidup parasitik, misalnya Neisseria
gonorrhoeae dan organisme anaerob akan meningkat pertumbuhannya jika
konsentrasi karbon dioksida berkisar antara 5-10%. Selain itu karbon dioksida
pada konsentrasi tersebut diperlukan untuk melakukan isolasi primer Brucella
abortus dari material patologik.
Organisme carboxyphilic atau CO2-dependent untuk hidupnya membutuhkan
konsentrasi CO2 yang tinggi, misalnya Streptococcus milleri.
Organisme autotroph membutuhkan sumber karbon yang bebas CO2.

Bahan mentah. Beberapa bakteri chemotrofik, disebut autotroph, dapat hidup


pada larutan garam inorganik sederhana.
51

Sedangkan basil lepra dan spirochaeta penyebab sifilis, tidak dapat hidup
pada media mati (non-living media) dan rickettsia tergantung hidupnya pada
enzim esensial dan bahan mentah yang disediakan oleh sel hospesnya.
Pada organisme heterotroph untuk hidupnya memerlukan substrat organik
dan inorganik yang berbeda kadar kebutuhannya. Sebagai contoh,
Escherichia coli dapat berkembang pada larutan yang mengandung glukose
sebagai sumber karbon dan sumber energi , amonium sulfat (sebagai
sumber nitrogen), dan garam inorganik lainnya.
Sebaliknya Haemophylus influenzae membutuhkan untuk hidupnya, selain
karbohidrat, mineral, dan beberapa jenis asam amino, purin, dan vitamin juga
harus mendapatkan nicotinamide-adenine-dinucleotide (NAD) atau bentuk
fosfatnya (NADP) sebagai co-dehydrogenase, dan dengan haemin diperlukan
untuk melakukan sintesis enzim pernapasan,

Temperatur. Berdasar pada suhu yang menjadi tempat hidupnya, organisme


dikelompokkan menjadi organisme yang bersifat:
 Psychrophile. Organisme ini hidup dengan baik pada suhu rendah, ada
yang di bawah 00C. Organisme ini penting pada pengelolaan tempat
pendinginan makanan dan penyimpanan darah.
 Thermophile. Organisme tahanhidup pada suhu di atas 40 0C, misalnya
spesies Campylobacter.
 Mesophile. Sebagian besar bakteri hidup pada suhu antara 20 0C dan
400C, dan parasit pada manusia yang optimal adalah pada suhu sekitar
370C. Neisseria gonorrhoeae hanya dapat hidup pada suhu antara
300C dan 390C, sedangkan Yersinia pestis bakteri penyebab penyakit
pes hidup optimal pada suhu 270C.

Konsentrasi Ion hidrogen. Toleransi mikroorganisme terhadap pH


lingkungan sangat lebar variasinya. Sebagian besar mikroorganisme bidang
kedokteran berkembang dengan baik pada lingkungan yang agak alkalis.
Medium kultur buatan
52

harus selalu dijaga pH nya menggunakan larutan penyangga (buffer) agar


sesuai untuk pertumbuhan bakteri. Lactobacilli yang hidup di vagina
perempuan dewasa melindungi organ tersebut agar tetap bersifat asam
dengan membentuk asam laktat dari glikogen, agar organisme patogen tidak
dapat hidup. Lactobacillus hidup optimal pada pH 4.0. Medium kultur untuk
jamur (Sabouraud) dipertahankan keasamannya pada pH 5.4 agar bakteri
tidak dapat hidup dan menghambat pertumbuhan jamur. Sedangkan Vibrio
cholerae merupakan bakteri yang hidup optimal pada keadaan alkalis, yaitu
pada pH 8.5.

Produk Metabolisme. Produk terpenting dari metabolisme bakteri adalah


bertambahnya jumlah bakteri baru. Produk-produk lain yang bisa dihasilkan
melalui metabolisme bakteri toksin, enzim ekstraseluler, pigmen dan produk-
produk lainnya.

(a). Toksin. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri hidup adalah exotoxin dan
enterotoxin, sedangkan endotoxin terutama dikeluarkan pada waktu terjadi
kematian atau kerusakan bakteri.
 Exotoxin. Eksotoksin adalah protein yang mempunyai aktifitas
enzimatik yang bersifat tidak tahan panas (heat-labile). Salah satu
eksotoksin yang sangat toksik adalah toksin yang dikeluarkan oleh
Clostridium botulinum. Eksotoksin lainnya dihasilkan oleh organisme-
organisme penyebab tetanus, difteri,dan scarlet fever.

 Enterotoxin. Toksin ini adalah eksotoksin yang menyebabkan


kerusakan mukosa usus yang dihasilkan oleh bakteri penyebab kolera
dan penyebab disenteri yang berkembang biak di dalam lumen usus
hospes. Eksotoksin lainnya diberi nama sesuai dengan efeknya,
misalnya hemolisin yang menyebabkan hemolisis sel darah merah,
dan leukocidin yang merusak sel leukosit, yang dihasilkan oleh
sterptococcus dan staphylococcus, danphospholipase C (lecithinase)
yang dihasilkan oleh Clostridium perfringens dan bersifat
menyebabkan hidrolisis phospholipid lecithin sel membran.
53

 Endotoxin. Endotoksin yang merupakan material komplek


lipopolisakarida yang berasal dari lapisan phospholipid-polysacharide-
protein yang terdapat di bagian luar dinding sel bakteri gram-negatif.
Toksin ini bersifat tahan panas dan baru terlepas jika bakteri mati atau
mengalami kerusakan. Sebagian organisme ada yang mengeluarkan
endotoksin dalam jumlah kecil dari permukaan tubuhnya. Endotoksin
spesies bakteri yang berbeda, tidak sama komposisi dan efeknya,
tetapi pada umumnya lebih rendah potensinya dari pada eksotoksin
dan sifatnya kurang spesifik. Di dalam darah manusia atau hewan,
endotoksin menyebabkan demam dan koagulasi serta gangguan
sirkulasi karena terjadinya aktifasi makrofag oleh endotoksin.

(b). Enzim ekstraseluler. Beberapa jenis enzim mempunyai kemampuan


bertindak sebagai eksotoksin. Selain itu enzim turut berperan pada
patogenitas organisme(disebut aggressin).
Enzim koagulase yang dihasilkan oleh staphylococci patogen menghambat
sistem pertahanan hospes dengan cara membungkus bakteri dengan
gumpalan fibrin dan tersangkut di dalam pembuluh darah kapiler dan
memperbanyak diri di dalamnya.
Sebaliknya streptokinase yang dihasilkan oleh streptokoki hemolitik bersifat
mampu menembus bekuan dengan mengaktifkan plasminogen pada plasmin
enzim fibrinolitik.
Hyaluronidase yang dihasilkan oleh beberapa jenis adalah faktor
meningkatkan kemampuan invasi bakteri untuk masuk ke dalam jaringan ikat.
Banyak mikroorganisme mempertahankan hidupnya dengan menggunakan
enzim untuk menghancurkan bahan toksik. Misalnya, katalase berperan
merusak peroksid dan beta-laktamase untuk melawan penisilin dan
sefalosporin.
Enzim ekstraseluler ada yang dimanfaatkan dalam proses penggunaan
nutrisi. Sebelum suatu organisme dapat
54

menggunakan nutrien yang mempunyai berat molekul tinggi, mereka harus


dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih kesil sehingga dapat menembus
membran sitoplasmik. Pencernaan ekstraseluler dengan menggunakan enzim
merupakan upaya penting pada kehidupan organisme saprofitik.

(c). Pigmen. Mikroorganisme fototrofik menangkap energi sinar matahari


dengan pigmen yang ada padanya, misalnya pada alga biru-hijau dan
tumbuhan yang lebih tinggi. Semua organisme kemotrof juga mengandung
pigmen -flavoprotein dan cytochrome- yang berperan sebagai donor elektron
dan akseptor jalur respirasi.
Pyocyanin dari Pseudomonas aeruginosa yang memberi warna hijau pada
kulturnya berperan dalam fungsi pernapasan, sedangkan pigmen hitam atau
coklat dari Bacteroides melaninogenicus hanyalah produk sampingan
metabolisme hemoglobin di dalam medium kultur. Pigmen merah, kuning,
ungu dan pigmen lain yang dihasilkan oleh bakteri, terutama oleh berbagai
mold dan oleh bakteri saprofit yang tidak penting dalam bidang kedokteran.

(d). Produk lain. Di alam, produk akhir suatu organisme seringkali


dimanfaatkan oleh organisme lain sehingga dapat menjaga stabilitas
populasinya. Sebagai contoh, dekstran yang dihasilkan oleh streptokoki yang
terdapat di rongga mulut dapat dipecah oleh spesies Bacteroides dan
dimanfaatkan dalam plak gigi (dental plaque). Di laboratorium dapat
ditemukan pembentukan pertumbuhan satelit H.influenzae di sekitar koloni
bakteri lain yang memberinya faktor V (NAD: nicotineamide-adenine-
dinucleotide). Beberapa jenis produk metabolik mikrobial merupakan sumber
nutrisi hospes, misalnya sapi atau domba, memanfaatkan adanya bakteri
anaerob untuk memecah selulose dan menghasilkan asam lemak dan
alkohol. Pada manusia, beberapa vitamin esensial dihasilkan oleh flora
intestinal yang ada di dalam usus.
55

Meskipun demikian banyak produk metabolisme mikroba merupakan limbah


(waste products) yang tidak berguna dan bahkan bisa berbahaya bagi
kehidupan organisme lain maupun dirinya sendiri.
Pemeriksaan adanya produk-produk metabolisme bakteri dapat digunakan
untuk melakukan identifikasi bakteri-bakteri. Sebagai contoh, alat gas-liquid
chromatography digunakan untuk identifikasi produk-produk metabolisme
bakteri, misalnya asam lemak rantai pendek dan alkohol yang diproduksi oleh
oleh bakteri anaerob. Produk-produk metabolisme bisa ditemukan pada
medium kultur dan bahan pemeriksaan klinik, misalnya darah, sehingga
dengan cepat diketahui adanya organisme yang sesuai.

Reproduksi bakteri

Reproduksi Genetik. Satu bakteri yang memperbanyak diri dengan cara


pembelahan diri sederhana (simple binary fission), akan menjadi dua
organisme identik, dan pengulangan hal ini secara terus menerus akan
menghasilkan suatu populasi dari organisme yang identik. Meskipun demikian
dapat terjadi perubahan pada komposisi genetik (genotypic variation) bakteri,
yang terjadi melalui beberapa jalan, antara lain mutasi, transformasi,
transduksi, dan konjugasi.

1. Mutasi. Mutasi yang merupakan perubahan pada rantai nukleotida gen


yang terjadi di dalam suatu sel. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan
genotip atau ciri genetik yang baru. Sel atau organisme yang
menunjukkan adanya mutasi disebut mutan. Mutasi spontan yang
menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat yang dikenali jarang terjadi.
Pada keadaan yang normal, hanya terjadi satu “kesalahan” pada setiap
beberapa juta kali pembelahan sel. Mutasi dapat terjadi lebih sering jika
organisme yang sedang membelah diri mengalami radiasi sinar-X, atau
radiasi sinar ultraviolet, atau jika terpapar bahan kimia yang mutagenik.
56

2. Transformasi. Perpindahan material genetik dari satu sel ke sel lainnya


dapat memberikan ciri genetik yang khas melalui transformasi DNA. Pada
pneumokokus tipe kapsul yang dibiakkan pada kondisi tertentu yang
mengandung DNA dari pneumokoki tipe lainnya, sejumlah kecil sel yang
sedang membelah akan mengambil DNA “asing” dan disertakan dalam
mengolah sifat genetiknya, sehingga menghasilkan progeni pembuat
material kapsul dimiliki oleh tipe yang memberikan DNA. Transformasi
dapat juga terjadi pada bakteri lain asalkan strain donor dan resipien
berasal dari spesies yang berkerabat dekat.

3. Transduksi. Pemindahan gen antara sel-sel yang menimbulkan terjadinya


rekombinasi genetik yang dilakukan oleh bakteriofag disebut transduksi.
Karena bakteriofag hanya mempunyai jenis hospes (host range) yang
terbatas jumlahnya, maka transduksi umumnya hanya terjadi antara strain
yang berkerabat dekat.

4. Konjugasi. Material genetik bakteri ada yang terdapat di dalam kromosom


inti, tetpi ada juga yang terdapat di luar kromosom DNA (disebut plasmid).
Pemindahan material genetik dari satu sel ke sel lainnya terjadi melalui
kontak fisik antara sel atau dengan bantuan sex-fimbriae. Transfer faktor
genetik ini dapat menjelaskan terjadinya resistensi obat pada bakteri yang
sebelumnya adalah sensitif terhadap obat tersebut.
Dalam hal ini dua sel berhubungan melalui pili merka dan bertukar plasmid
yang seringkali mengandung gen untuk resistensi antibiotika.
57

Gambar 24. Konyugasi gen resisten melalui pilus


(www.scienceaid.co.uk/biology/micro)

Fase pertumbuhan bakteri

Jika bakteri dimasukkan ke dalam atau pada medium kultur, banyak faktor
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan multiplikasinya. Pertumbuhan
maksimal terjadi jika kondisi medium kultur optimal bagi kehidupan bakteri.
Kurva pertumbuhan bakteri pada medium kaldu (broth) atau medium cair
menunjukkan gambaran kurva pertumbuhan bakteri yang berlangsung dalam
empat fase, yaitu lag phase, logarithmic phase, stationary phase dan decline
phase. Pada lag phase, sel bakteri menyesuaikan diri pada lingkungannya
yang barudan mempersiapkan diri untuk memperbanyak diri. Bakteri
meningkat ukurannya tetapi jumlahnya hanya sedikit bertambah. Pada
logarithmic phase jumlah bakteri meningkat dengan interval peningkatan
yang teratur sehingga berbentuk garis lurus jika ditempatkan pada skala
logaritma. Kecepatan membelah diri sesudah tercapai maksimal akan mulai
mendatar (stationary phase) karena jumlah pertambahan sel seimbang
dengan jumlah sel yang mati. Grafik pertumbuhan bakteri kemudian akan
menurun dan melambat (phase of decline) karena bakteri mulai kekurangan
nutrisi atau akibat terbentuknya metabolit toksik, atau akibat kedua hal
tersebut.
58

Klasifikasi dan identifikasi bakteri

Bakteri pada garis besarnya dibagi menjadi Bakteri Derajat Rendah (Lower
Bacteria) dan Bakteri Derajat Tinggi (Higher Bacteria).
(a). Bakteri Derajat Rendah. Bakteri derajat rendah adalah uniseluler, tidak
pernah membentuk miselium dan masing-masing sel dalam koloni bersifat
independen biologik. Bakteri rendah lebih banyak jumlahnya dari pada bakteri
derajat tinggi, dan merupakan penyebab penyakit yang sangat pada manusia.
(b). Bakteri Derajat Tinggi. Pada kelompok ini, bakteri membentuk filament
dan sering menunjukkan percabangan yang membentuk miselium. Pada
koloni bakteri ini sel-sel menunjukkan interdependen dengan spesialisasi
fungsi tertentu, misalnya sekelompok sel berfungsi reproduksi. Filament
bakteri derajat tinggi sering berselubung (sheated). Bentuk bakteri ditentukan
oleh dinding selnya yang kaku. Gambaran mikroskopis merupakan salah satu
kriteria untuk melakukan identifikasi bakteri. Berdasar bentuk selnya bakteri
derajat rendah digolongkan menjadi tiga kelompok dasar, yaitu bentuk cocci
yang bulat, bacilli yang berbentuk batang, dan spirochete yang berbentuk
seperti spiral. Beberapa jenis bakteri mempunyai bentuk yang bermacam-
macam (pleomorphic).
Coccus. Bakteri berbentuk bulat, lonjong atau sferis, jika coccus berkelompok
berpasangan, disebut diplokokus. Cocci dapat berkelompok dalam bentuk
yang teratur atau tidak teratur.
Basil. Bentuk bakteri seperti batang yang silindris memanjang, lurus atau
agak melengkung, dengan ujung yang bundar (rounded) atau persegi,
berujung runcing atau membengkak ujungnya (clubs).
Vibrio. Bentuk bakteri mirip basil yang lebih melengkung dan disebut juga
sebagai basil koma.
Spirilum. Bentuk sel mirip pembuka tutup botol (corkscrew), berbentuk spiral
yang tidak berkelok-kelok.
59

Spirochaeta. Bakteri berbentuk filamen spiral, sangat berkelok-kelok.


Sebagian besar spirochaet mempunyai garis tengah berukuran sangat kecil
sehingga hanya dapat dilihat dengan mikroskop dengan teknik khusus.

Gambar 25. Morfologi bakteri, flagel dan spora


( Sumber: www.arabslab.com)

1. Kokus berkelompok 2,Kokus bentuk rantai 3.kokus berkapsul 4. batang


pleomorfik 5. batang ujung lancip 6. batang lengkung seperti koma (vibrio)
7. diplokokus 8. batang lurus ujung bulat 9. batang kurva, spiral 10. flagel peritrich
11. flagel lopotrich 12. flagel monotrich 13. endospora a). spora sentral b). spora
terminal tanpa pembesaran sel c). spora terminal bentuk raket d). spora sentral
dengan pembesaran sel e). Spora terminal, bentuk pemukul drum 14. spora bebas
60

Actinomycetes dan Mycoplasma


Actinomycetes adalah bakteri dengan tingkatan lebih tinggi, mirip jamur
karena membentuk filament yang bercabang-cabang.
Mycoplasma adalah bakteri yang tidak mempunyai dinding sel yang kaku,
dengan sel terutama terdiri dari protoplast, berukuran lebih kecil dari bakteri,
dengan garis tengah sekitar 0.25 μm. Bentuknya tidak tetap, tetapi dapat
tumbuh dan memperbanyak diri seperti bakteri. Mycoplasma merupakan
bentuk mutan bakteri normal yang dikenal sebagai bakteri bentuk L (L-forms).

2.2. RICKETTSIA, COXIELLA, CHLAMYDIAE

Morfologi dan Biologi


Organisme-organisme ini dikelompokkan sebagai bakteri karena mempunyai
sifat-sifat:
 Mengandung DNA dan RNA
 Kulit luar mengandung muramic acid
 Reproduksi dengan membelah diri
 Peka terhadap antibiotika
Berbeda dengan bakteri, organisme-organisme ini mempunyai karakter:
 Ukurannya sangat kecil (diameter 0.2-0.5 μm) mendekati virus
 Hanya dapat berkembang biak di dalam sel hospes.
Rickettsia dan coxiella bersifat pleomorfik, berbentuk kokus, basil dan
berbentuk filamen.
61

Gambar 26. Rickettsia, intraseluler (Sumber: CDC)

Sebaliknya chlamydia berbentuk sferis dan mempunyai siklus perkembangan


intra seluler yang tidak lazim. Bentuk infektif (elementary body) berukuran
garis tengah sekitar 0.3 μm difagosit oleh sel hospes dan berkembang di
dalam sel hospes menjadi reticulate bodies yang lebih besar ukurannya
(sampai 2 μm).

Gambar 27. Coxiellla burnetti pada kultur jaringan Vero


(http://emtrix.dbs.umt.edu)
62

Reticulate bodies juga membelah diri sampai sekitar 20 jam dan kemudian
semuanya akan berubah menjadi elementary bodies. Sel hospes akan pecah
dalam waktu 48-72 jam sesudah infeksi dan melepaskan elementary bodies
yang kemudan menginfeksi sel-sel hospes lainnya.

Gambar 28. Chlamydia tumbuh di dalam sel endoserviks manusia


(http://www.newcastle.edu.au/school/biomedical-sciences/)

2.3. VIRUS

Morfologi dan Biologi


Sebagian besar ukuran virus lebih kecil dari pada organisme hidup lainnya,
sehingga tidak bisa dilihat dengan mikroskop sinar biasa. Karena tidak
mempunyai metabolisme sendiri dan tidak dapat melakukan reproduksi
sendiri, virus dianggap merupakan bukan makhluk hidup. Virus yang mampu
menginfeksi sel hospes dan berkembang biak disana dianggap hanya aktif
dan bukan hidup. Virus yang mati dianggap virus yang tidak aktif.
63

Gambar 29. Struktur virus hewani


(http://micro.magnet.fsu.edu/cells/virus.html)

Partikel virus disebut virion dan bukan sel . pada virus yang paling sederhana,
yaitu virus poliomyelitis, ukuran diamternya hanya sekitar 25-30 nm (1
nm=nanometer = satu perseribu mikrometer) hanya mempunyai satu genome
berupa satu asam nukleat (nucleic acid core) yang terbungkus capsid
( selubung protein) yang melindungi genom pada waktu terjadi transmisi
antara sel-sel hospes.
Asam nukleat virus hanya ada satu jenis saja, yaitu RNA saja atau DNA saja.
Virus meningkatkan jumlahnya tidak dengan cara membelah diri, melainkan
dengan cara memperbanyak diri malalui replikasi (replication) di dalam sel
hospes berupa bakteri, tumbuhan atau sel hewan.

Klasifikasi virus
Klasifikasi virus dilakukan dengan memperhatikan sifat-sifat virus, yaitu:
1. Asam nukleat genom, apakah RNA atau DNA yang mengandung
informasi genetik replikasi virus.
64

2. Simetri capsid, yang ditentukan oleh bentuk capsomer yang


merupakan unit dari capsid. Cubic symetri atau helical symetri.
3. Selubung (envelope). Pada beberapa kelompok virus nucleocapsid
(inti asam nukleat + capsid) dibungkus oleh selubung tipis
(membranous) yang lepas yang terdiri dari lipid, protein dan
arbohidrat. Virus yang tak mempunyai selubung disebut virus
telanjang (naked virus).
4. Ukuran partikel. Ukuran partikel virus ditentukan dengan melakukan
penyaringan (filtrasi) melalui membran yang sudah diketahui ukuran
porinya, dengan mengukur tingkat sedimentasi pada sentrifus
kecepatan tinggi, atau dengan mengukur tingkat kepadatan (density-
gradient centrifugation).
5. Reseptor virus: misalnya reseptor untuk virus polio adalah lipprotein.
6. Proses penetrasi dan pelepasan selubung virus. Sekali terserap, virus
akan menembus masuk ke sel hospes (penetrasi) dengan cara mirip
fagositosis jika virus telanjang (naked virus) atau dengan mengadakan
fusi dengan permukaan membran sel hospes. Asam nukleat kemudian
melepaskan nukleokapsid ke dalam sel hospes.
7. Proses replikasi dan biosintesis komponen. Penetrasi virus akan diikuti
pelepasan selubung virion, kemudian terjadi replikasi asam nukleat
yang terjadi di dalam inti atau sitoplasma, diikuti sintesis protein di
dalam sitoplasma.

Fisiologi virus
Virus tidak memperbanyak diri dengan membelah dirinya sendiri, tetapi
melakukan replikasi dengan memanfaatkan sel hospesnya. Proses replikasi
virus ini melalui proses-proses berikut ini:
65

 Pelekatan dan adsorpsi. Virus melekat di permukaan sel


hospes.Adsorpsi virus merupakan peran projeksi selubung virus dan
reseptor sel hospes. Pada myxovirus reseptor hospes adalah
mukoprotein sedangkan reseptor untuk virus polio adalah lipprotein.
 Proses penetrasi dan pelepasan selubung virus. Sekali terserap, virus
akan menembus masuk ke sel hospes (penetrasi) dengan cara mirip
fagositosis jika virus telanjang (naked virus) atau dengan mengadakan
fusi dengan permukaan membran sel hospes. Asam nukleat kemudian
melepaskan nukleokapsid ke dalam sel hospes.
 Proses replikasi dan biosintesis komponen. Penetrasi virus akan
diikuti pelepasan selubung virion, kemudian terjadi replikasi asam
nukleat yang terjadi di dalam inti atau sitoplasma, diikuti sintesis
protein di dalam sitoplasma.

Badan Inklusi
Yang disebut badan inklusi (inclusion bodies) adalah kumpulan material virus
yang dapat mencapai ukuran garis tengah 30 µm yang terbentuk di dalam sel
hospes yang terinfeksi virus tertentu. Biasanya badan inklusi ini dapat
didapatkan lebih dahulu sebelum virusnya sendiri belum ditemukan. Contoh
dari badan inklusi ini adalah Negri body yang ditemukan pada infeksi virus
rabies dan Guarnieri body pada infeksi varicella dan vaccinia. Adanya
inclusion bodies penting untuk menentukan diagnosis infeksi virus rabies,
varicella dan vaccinia, karena virus-virus tersebut berada di sitoplasma
sehingga sulit ditemukan.

Infeksi virus
Infeksi virus dapat terjadi secara laten atau persisten. Infeksi laten virus dapat
terjadi sesudah virus melewati masa infektif. Pada infeksi laten yang terjadi
beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi, virus tetap hidup di dalam sel
hospes, tidak mengadakan
66

replikasi, tidak membunuh sel hospes dan tidak menimbulkan respon


imunologik. Meskipun demikian reaktifasi virus dapat terjadi jika terjadi
rangsangan tertentu atau terjadi perubahan status imun hospes.

Beberapa jenis virus menginfeksi secara persisten, dimana virus terdapat di


dalam sel hospes dalam keadaan tidak bersifat cytopathic ( tidak membunuh
sel terinfeksi, tetapi melemahkan fungsi khusus sel hospes). Adanya virus
persisten misalnya menyebabkan ekspresi pada permukaan sel hospes yang
terinfeksi terhadap antigen virus melemah, sehingga virus tetap hidup meski
imun respon cukup kuat. Meskipun demikian sejumlah kecil virus infektif
masih diproduksi oleh sel yang terinfeksi persisten dan menyebabkan
terbentuknya circulating antibodies terhadap virus. Hal ini menyebabkan
terjadinya penyakit kompleks imun (immune complex diseases).

Transformasi. Ketika asam nukleat virus memasuki DNA sel hospes, sel
dapat mengalami trasformasi menjadi sel ganas (kanker) yang
memperbanyak diri dengan cepat, tidak dapat dikendalikan oleh sel pengatur
proliferasi normal. Beberapa infeksi virus yang berkaitan dengan kanker
antara lain adalah virus Epstein Barr dengan limfoma Burkitt, virus hepatitis B
dengan hepatoma dan infeksi herpes genital dengan karsinoma cervix.
sehingga virus tetap hidup meski imun respon cukup kuat. Meskipun demikian
sejumlah kecil virus infektif masih diproduksi oleh sel yang terinfeksi secara
persisten.

2.4. BACTERIOPHAGE

Biologi dan struktur


Bakteriofag adalah kelompok virus yang ditemukan sebagai agen parasitik
terhadap berbagai spesies bakteri (virus bakterial) tetapi bersifat spesifik
terhadap spesies dan strain bakteri tertentu. Bakteriofag menyebabkan lisis
pada kultur bakteri meskipun suspensi kultur sudah disaring dengan
penyaring bakteri.
67

Bakteriofag dapat ditemukan pada sumber alami, misalnya dari tinja, limbah
dan air yang tercemar. Fag dapat ditemukan di dalam sel bakteri dalam
bentuk infeksi laten yang tidak menimbulkan lisis.

Gambar 30. Bakteriofag (www.abovetopsecret.com/forum)

Fag mempunyai ukuran dan bentuk yang bermacam-macam dengan struktur


seperti virus. Umumnya fag mempunyai sebuah inti asam nukleat DNA
berukuran sekitar 100 nm yang dikelilingi oleh selubung protein. Beberapa
jenis fag berbentuk seperti kecebong dengan kepala mengandung DNA dan
ekor yang berfungsi menyalurkan asam nukleat ketika menginokulasi sel
hospes.

Bakteriolisis
Jika sejumlah besar fag ditambahkan pada kultur bakteri yang peka dan fag
terserap masuk ke tiap sel bakteri, sel akan pecah karena dinding selnya
mengalami lisis. Di dalam sel bakteri fag mengadakan multiplikasi yang terjadi
beberapa menit sesudah
68

DNA fag masuk ke dalam sel. Sel bakteri tidak melakukan sintesis DNA nya
sendiri, tetapi melakukannya untuk fag yang baru dan juga memberi mereka
pasokan dengan protein pembungkusnya. Dalam waktu kurang dari satu jam
banyak fag terbentuk yang menimbulkan lisis pada sel dan kemudian terlepas
keluar sel.
Untuk mempelajari bakteriolisis oleh fag, pada seluruh permukaaan lempeng
agar (medium padat) ditanam strain bakteri yang akan diteliti. Sebelum kultur
diinkubasi, larutan berbagai fag diteteskan pada titik-titik tertentu. Sesudah
diinkubasi semalam, akan tampak bercak-bercak lisis (plak, plaque) yang
diakibatkan oleh fag karena bakteri tidak tumbuh.

Fag dapat ditemukan dalam bentuk infeksi pada sel bakteri dan tidak selalu
menimbulkan lisis. DNA fag yang masuk tidak menganggu kegiatan sintesis
sel, tetapi akan berintegrasi ke dalam kromosom bakteri. Fag ini disebut
temperate fag yang berbeda dari virulent fag atau lytic fag. Bentuk fag yang
tidak menyebabkan lisis sel bakteri yang dimasukinya disebut profag. Dalam
bentuk ini fag mengadakan reproduksi bersama sama bakteri dan
melakukannya pada semua progeni sel asalnya. Hubungan ini disebut
lysogeny dan bakteri hospesnya lysogenic. Penyebaran dan lepasnya fag
dapat terjadi, yang bisa menimbulkan lisis pada bakteri lain strain.
Penyebaran fag dapat terjadi secara spontan
Fag strukturnya seperti virus mempunyai ukuran dan bentuk yang bermacam-
macam. Biasanya fag mempunyai sebuah inti asam nukleat DNA yang
berukuran sekitar 100 nm yang dikelilingi oleh selubung protein. Beberapa
jenis fag berbentuk seperti kecebong katak dengan kepala mengandung DNA
dan ekor untuk menyalurkan asam nukleat waktu menginokulasi sel hospes. ,
tetapi bisa dipicu oleh sinar ultraviolet atau bahan kimia tertentu. Bakteri strain
lisogenik tidak akan mengalami lisis (resisten) terhadap sediaan fag lainnya.
69

2.5. JAMUR

Morfologi dan struktur


Organisme ini biasanya berukuran lebih besar dari pada bakteri dan
umumnya multiseluler. Dinding sel jamur mempunyai dinding tebal dan kaku
karena terdiri dari fibril chitin yang terbenam dalam matriks protein, mannan
atau glucan. Di dalam dinding sel terdapat membran sitoplasmik yang
mengandung sterol. Jamur filamen atau mold tumbuh sebagai filamen tabung
bercabang (hyphae) yang saling berhubungan seperti jaring (mycelium). Pada
beberapa keluarga jamur, hifa dipisahkan oleh dinding pemisah (septa). Mold
penting yang paling sering dijumpai adalah Penicilium, dan Aspergillus.
.

Gambar 31. Aspergillus, mold (www.mycology.adelaide.edu.au)


70

Ragi (yeast) adalah sel jamur berbentuk lonjong atau sferis yang
memperbanyak diri dengan cara membentuk tunas (budding). Candida
adalah ragi yang membentuk tunas yang tumbuh memanjang ke dalam
filamen (pseudohyphae) yang tetap saling berhubungan sehingga mirip rantai
miselium mold.

Gambar 32. Candida albicans (yeast). (https://bioweb.uwlax.edu/bio203)

Banyak jamur yang patogenik bagi manusia bersifat dimorfik: pada waktu
menginvasi jaringan berbentuk seperti ragi (yeast-like), tetapi jika hidup
saprofitik di tanah atau di medium kultur akan membentuk miselium (misalnya
Histoplasma dan Blastomyces).
Jamur lainnya yang bersifat parasitik dalam bentuk miselium adalah Candida
albicans dan Malassezia furfur.
Cryptococcus neoformans dalam kedua fase berbentuk seperti ragi,
sedangkan Aspergillus fumigatus berbentuk filamen baik
71

pada fase infektif di jaringan maupun pada biakan di dalam kultur.

Fisiologi jamur
Sebagian besar jamur yang menginfeksi manusia dapat menyesuaikan diri
terhadap panas, meskipun jamur tumbuh optimal pada suhu 25-35 0C.
Dermatophytes yang di permukaan kulit tumbuh optimal pada suhu 28-30 0C,
suhu yang sesuai dengan suhu permukaan kulit. Jamur-jamur yang dapat
menginfeksi organ internal, misalnya Candida albicans dan Aspergillus
fumigatus tumbuh dengan baik pada suhu 370C, suhu normal manusia sehat.
Jamur tidak membutuhkan banyak untuk kebutuhan hidupnya. Gula
sederhana, misalnya glukose, cukup untuk memenuhi kebutuhan sumber
energinya, nitrat atau amonia merupakan sumber nitrogen dan garam mineral
untuk kebutuhan elektrolit dan elemen dasarnya (trace element). Karena itu
Sabouraud’s agar yang merupakan medium kultur untuk jamur yang
mengandung D-glukose, pepton dan air secara luas digunakan di
laboratorium mikrobiologi kedokteran.
Jamur umumnya bersifat aerobik, tetapi banyak ragi (yeast) dapat
memproduksi alkohol dengan cara fermentasi (anaerob metabolisme). Jika
jamur dibiakkan dalam kondisi lingkungan yang terkendali, berbagai metabolit
yang berguna dapat dihasilkan, antara lain antibiotika, misalnya penisilin dan
sefalosporin, bahkan griseofulvin dan amphotericin B , obat-obatan anti jamur.
Banyak mold menghasilkan mycotoxin, antara lain aflatoxin yang bersifat
hepatotoksik dan karsinogenik pada hewan dan manusia. Sedangkan jamur
Claviceps purpurea yang tumbuh di roti, jika dimakan dapat menimbulkan
ergotisme karena mengandung alkaloid ergot.

Reproduksi jamur
Sebenarnya setiap jamur mempunyai kemampuan untuk melakukan
reproduksi melalui proses mitosis, membuat spora
72

aseksual. Sebagian besar jamur filamen untuk penyebarannya membentuk


konidia atau pada kondisi yang ekstrim membentuk chlamydospora atau
arthrospora. Sebagian besar jamur patogenik pada manusia tidak mempunyai
fase seksual dalam siklus hidupnya, karena itu dikelompokkan sebagai fungi
imperfecti.

2.6. BAKTERI FLORA NORMAL

Pada hewan sehat, jaringan-jaringan internal, misalnya darah, otak, dan otot
umumnya tidak mengandung mikroorganisme. Akan tetapi, jaringan yang
terdapat di permukaan tubuh, misalnya kulit dan membran mukosa, karena
selalu terpapar organisme yang ada di lingkungan, dapat menjadi tempat
mikroba untuk membentuk koloni. Kumpulan organisme yang ditemukan pada
suatu habitat anatomis disebut sebagai flora normal atau “mikrobiota asli”
(indigenous microbiota).

Flora normal pada manusia


Pada manusia, bakteri merupakan bagian terbesar flora normal, sedangkan
beberapa jenis jamur eukariotik dan protista dapat bersifat sebagai flora
normal.
(1). Staphylococci dan corynebacteria selalu ditemukan pada berbagai
permukaan tubuh manusia, yaitu di kulit, konjungtiva, hidung, faring, mulut,
usus bagian bawah, uretra anterior dan vagina. Staphylococcus epidermidis
mampu beradaptasi di lingkungan tempat hidup manusia yang menjadi
hospesnya. Staphylococcus aureus yang termasuk bakteri patogen penyebab
utama penyakit infeksi pada manusia dapat ditularkan dari selaput rongga
hidung seorang karier yang asimtomatik ke hospes yang peka. Bakteri ini
dapat juga bersifat sebagai patogen yang oportunistik.
73

Gambar 33. Staphylococcus aureus, electron micrograph


(Sumber: J.Carr, CDC)

Gambar 34. Staphylococcus epidermidis, pewarnaan Gram


(http://web.uconn.edu )
74

(2). Streptococcus mutans yang merupakan bakteri primer yang


berperan pada pembentukan plak dan karies gigi, juga berperan
penting sebagai penyakit menular oportunistik .

Gambar 35. Streptococcus mutans, pewarnaan Gram


(Sumber: CDC)
75

(3). Enterococcus faecalis. Bakteri yang termasuk flora intestinal ini kini
menjadi patogen nosokomial yang resisten antibiotika, sehingga
menjadi masalah global kesehatan di berbagai negara.

Gambar 36. Enterococcus faecalis yang resisten vancomycin, scanning


electron micrograph (Sumber: CDC)
76

(4). Streptococcus pneumoniae. Koloni bakteri ini ditemukan pada


saluran pernapasan bagian atas pada sekitar populasi. Invasi bakteri
ini ke saluran pernapasan bagian bawah dapat menyebabkan
pneumonia. Sekitar 95% dari semua pneumonia bakterial disebabkan
oleh Streptococcus pneumoniae.

Gambar 37. Streptococcus pneumoniae, pewarnaan


Direct fluorescent antibody (Sumber: CDC)
77

(5). Streptococcus pyogenes yang termasuk streptococci hemolitik-


beta grup A adalah penyebab tonsilitis, pneumonia, endokarditis.
Beberapa penyakit streptococci memicu terjadinya demam rematik dan
nefritis yang dapat menimbulkan kerusakan jantung dan ginjal.

Gambar 38. Streptococcus pyogenes, pewarnaan Gram (Sumber: CDC)


78

(6). Neisseria meningitidis. Bersama koki Gram-negatif lainnya bakteri


ini sering ditemukan hidup membentuk koloni di saluran pernapasan
atas, terutama di faring. N.meningitidis adalah penyebab penting
meningitis bakterial

Gambar 39. Neisseria meningitidis, pewarnaan Gram


(http://www.cdc.gov/meningitis/lab-manual )

(7). E.coli merupakan penghuni tetap di usus halus bersama bakteri


enterik lainnya, seperti Klebsiella, Enterobacter dan Citrobacter.
Beberapa strain E.coli yang bersifat patogenik dapat menyebabkan
infeksi intestinal, infeksi saluran kemih dan meningitis pada bayi.
79

Gambar 40. E.coli, Scannning electron micrograph (S.Owens,


Michigan State University)

(8). Pseudomonas aeruginosa. Bakteri ini merupakan patogen


oportunistik pada manusia yang dapat menginvasi semua jenis
jaringan. Selain menjadi penyebab utama infeksi nosokomial di rumah
sakit, bakteri Gram-negatif ini sumber infeksinya berasal dari luar tubuh
hospes (eksogen).

Gambar 41. Koloni Pseudomonas aeruginosa, biakan pada lempeng agar.


Spesies paling virulen spesies Pseudomonas membentuk koloni yang mukoid
dengan pigmen berwarna hijau. (http://academic.pgcc.edu)
80

(9).Haemophilus influenzae sering menjadi penyebab infeksi sekunder


pada virus influenza. Bakteri ini merupakan penyebab utama
meningitis pada bayi dan anak kecil sampai ditemukannya vaksin Hflu
tipeB pada waktu ini.

Gambar 42. Haemophilus influenzae, pewarnaan Gram.


(https://courses.cit.cornell.edu/biomi290/microscopycases )
81

(10). Bacteroides fragilis. Organisme Gram-negatif bukan pembentuk


spora ini merupakan penghuni utama saluran intestinal bagian bawah,
terutama di daerah kolon, dan berperan pada kolitis dan kanker kolon.

Gambar 43. B.fragilis, pewarnaan Gram pada medium cair, pewarnaan tak
beraturan,bentuk polimorf. (http://intranet.tdmu.edu.te.ua)
82

(11). Bifidobacteria, bakteri asam lactat, Gram-positif, tidak membentuk


spora, merupakan bakteri usus manusia yang bersahabat.
Bifidobacterium bifidum adalah spesies bakteri utama pada usus bayi
yang mendapat ASI, yang diduga mencegah pembentukan koloni
bakteri patogen. Bakteri yang tergolong probiotik ini kadang-kadang
digunakan pada pembuatan yogurt.

Gambar 44. Bifidobacterium longum


( Sumber: M.Schell, University Georgia)

(12). Lactobacilli, yang berada di dalam rongga mulut diduga


membentuk asam yang dapat menyebabkan karies gigi. Lactobacillus
acidophilus membentuk koloni pada epitel vagina pada masa subur
membuat rendahnya pH yang menghambat pertumbuhan organisme
patogen.
83

Gambar 45. Spesies Lactobacillus dan sel epitel skuamus vagina,


pewarnaan Gram (Sumber : CDC).

(13). Sejumlah spesies Clostridium membentuk koloni di usus.


C.perfringrens sering ditemukan di tinja, sedangkan C.difficile yang
membentuk koloni di usus dapat menyebabkan kolitis pseudomembran
(antibiotic-induced diarrhea).

Gambar 46. Clostridium perfringens, pewarnaan Gram


(www.medschool/lsuhsc.edu/microbiology)
84

(14). Clostridium tetani. Bakteri ini kadang-kadang ditemukan di tinja


manusia sebagai flora normal, tetapi tidak membentuk koloni di usus,
menghasilkan endospora yang kadang-kadang tertelan bersama
makanan dan minuman.

Gambar 47. Clostridium tetani, pewarnaan Gram.


(www.uaz.edu.mx/histo/pathology)

(15). Corynebacteria. Corynebacteria dan bakteri asam propionat


tertentu merupakan flora yang selalu didapatkan di kulit, dan dapat
menyebabkan akne. Corynebacterium diphtheriae adalah anggota flora
normal yang dimanfaatkan untuk membuat toksoid difteri, yang
digunakan untuk melakukan vaksinasi terhadap difteri. Sekarang
C.diptheriae tidak dimasukkan dalam kelompok flora normal.
85

Tabel 5. Bakteri yang sering ditemukan di permukaan tubuh manusia (CDC)

Konjung- Usus Uretra


BAKTERI Kulit Hidung Faring Mulut Vagina
tiva bawah anterior
++
Staphylococcus epidermidis ++ + ++ ++ ++ + ++
+
Staphylococcus aureus*  +  +/- + + + ++ +/-
+
Streptococcus mitis  + ++  +/-  +

Streptococcus  salivarius  ++  ++   

Streptococcus mutans* + ++
+
Enterococcus faecalis* +/-  + ++ +
+/-
Streptococcus pneumoniae* +/-  +/-  + +
+/-
Streptococcus pyogenes* +/- +/- + + +/-
+
Neisseria sp. + +  ++  + +
+
Neisseria meningitidis* + ++ +
Enterobacteriaceae*(Escherichi
+/-  +/- +/- + ++ + +
a coli)
+
Proteus sp. +/-  + + + + +

Pseudomonas aeruginosa* +/-  +/- +  +/-

Haemophilus influenzae* +/-  +  +  +


+/-
Bacteroides sp.* ++  +

Bifidobacterium bifidum ++

Lactobacillus sp. + ++ ++ ++

Clostridium sp.*   +/-  ++

Clostridium tetani +/-


+
Corynebacteria ++ + ++ + + + +

Mycobacteria + +/- +/-  + + 

Actinomycetes + + 

Spirochetes + ++ ++
+
Mycoplasmas  + + + +/-

Keterangan:

++ = hampir 10%      + = sering (sekitar 25 %)     


+/- = jarang  (kurang dari 5%)       * = patogen potensial
86
87

BAB 3.

EKOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI

3.1. EKOLOGI

3.2. EPIDEMIOLOGI

3.3. NORMAL FLORA

3.4. SUMBER INFEKSI

3.5. PENULARAN PATOGEN


88

3.1. EKOLOGI

Ekologi adalah hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup


dengan lingkungan hidupnya, yang bersifat spesifik, terus menerus dan tidak
terpisahkan. Dengan demikian dalam ekologi terlibat berbagai macam
spesies organisme yang saling berinteraksi dan berupaya untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan.
Perubahan dapat berupa adaptasi yang bersifat fenotipik yang berlangsung
sementara atau mutasi yang bersifat tetap.

Mutasi
Pada mutasi, perubahan tetap yang terjadi bersifat genotipik berupa
rekombinasi gene berupa perubahan sekuen nukleotida gen dengan
membentuk alel atau gen-gen yang berbeda. Perubahan pada mutasi
organisme ini akan menghasilkan mutan. Mutasi dapat disebabkan oleh
faktor fisik (misalnya akibat pemanasan, paparan sinar ultraviolet atau akibat
radiasi.) atau akibat paparan bahan-bahan kimia (misalnya oleh bahan
bersifat basa, agen alkilasi, dan obat-obat anti kanker). Mutasi yang
berlangsung secara tetap terjadi dengan sendirinya (secara spontan) dan
akan berulang kembali sesudah masa tertentu, misalnya sesudah terjadi satu
juta kali pembelahan sel.

Perubahan genetik
Perubahan genetik dapat terjadi dengan berbagai cara, yaitu melalui
reproduksi seksual (dengan perkawinan antara organisme jantan dengan
organisme betina, misalnya pada Escherichia coli), melalui transformasi
(proses rekombinasi dengan transfer DNA) dan transduksi (transfer DNA dari
satu ke bakteri lain melalui virus)..
89

Perubahan-perubahan mutasi genetik terjadi misalnya pada terjadinya


resistensi antibiotikaa, pada perubahan virulensi akibat kapsul tidak
terbentuk, hilangnya motilitas karena tidak terbentuknya flagel (misalnya pada
Salmonella) dan perubahan morfologi koloni karena pembentukan pigmen.

Faktor lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan organisme dapat
merupakan lingkungan yang bersifat biotik dan yang bersifat abiotik.
Termasuk dalam lingkungan biotik adalah tumbuh-tumbuhan, manusia dan
hewan, sedangkan faktor abiotik, antara lain adalah bahan-bahan kimia,
temperatur, radiasi dan faktor fisikal

Interaksi organisme. Organisme-organisme di alam dapat mengalami


interaksi, yang tergantung pada keadaan lingkungannya dapat berupa
sintropisme, kompetisi dan simbiosis. Pada sintropisme dua organisme yang
hubungannya tidak berdekatan, memperoleh keuntungan dari terjadinya
interaksi antara kedua organisme tersebut. Jika organisme yang melakukan
interaksi tersebut karena terbatasnya cadangan makanan dan sumber energi,
kedua organisme akam memperebutkannya. Keadaan ini disebut sebagai
kompetisi. Pada keadaan dimana organisme yang berinteraksi memiliki
hubungan dekat sehingga terjadi kontak di antara mereka, dapat terjadi
simbiosis (yang menguntungkan satu atau kedua organisme yang
mengadakan interaksi) atau terjadi parasitisme (salah satu organisme
mendapatkan keuntungan dari interaksi yang terjadi, sedangkan organisme
yang lain menderita kerugian).
.
90

3.2. EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajar distribusi dan faktor-faktor yang


mempengaruhi frekwensi penyakit pada populasi manusia (Mac Mahon &
Pugh: Epidemiology Principles and Methods). Epidemiologi merupakan ilmu
yang mempelajari hubungan antara waktu, tempat dan manusia dalam
terjadinya penyakit atau infeksi. Dalam lapangan epidemiologi, terdapat dua
asumsi atau prakiraan yang dibuat, yaitu:
 Secara acak tidak terjadi penyakit pada manusia
 Penyakit pada manusia mempunyai faktor-faktor penyebab dan
pencegahan yang dapat diidentifikasi melalui pengamatan sistemik
pada populasi atau subgrup dalam populasi pada tempat yang berbeda
atau pada periode waktu yang berbeda. (Epdemiology in Medicine-
Hennekens & Buring).

Faktor yang mempengaruhi epidemiologi


Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi epidemiologi penyakit adalah :
1. Faktor personal, yaitu umur, jenis kelamin, status nutrisi, atau adanya
penyakit lain;
2. Faktor geografis dan iklim, misalnya malaria hanya dapat menular jika
iklim mendukung kehidupan nyamuk anophelin yang menjadi penular
penyakit ini;
3. Faktor sosial dan lingkungan, misalnya keadaan tempat tinggal,
adanya pasokan air bersih yang memadai, dan sistem pembuangan
limbah;
4. Faktor pekerjaan yang menyebabkan terjadinya kontak antara orang
dengan infeksi tertentu, misalnya petani dan dokter hewan yang rawan
tertular bruselosis.
Untuk menjelaskan dan menganalisa terjadinya suatu wabah atau kejadian
luar biasa digunakan ” segitiga epidemiologi” ( “epidemiologic triangle”).
91

Gambar 48. Segitiga Epidemiologi


(www.umncphp.umn.edu)

Istilah yang terkait dengan epidemiologi

Epidemi, adalah keadaan dimana terjadi peningkatan frekensi penyakit


tertentu yang berlangsung sementara pada suatu komunitas.
Pandemi, menunjukkan terjadinya epidemi yang luas di seluruh dunia;
Endemi, menunjukkan adanya penyakit yang selalu ada di suatu daerah.
Keadaan endemi dapat sewaktu-waktu berkembang menjadi epidemi

Infeksi. Masuknya organisme patogenik pada pada permukaan atau di dalam


jaringan tubuh hospes dan menyebabkan penyakit infeksi. Infeksi dapat
menyebabkan gejala penyakit (clinical) atau tidak menunjukkan gejala jelas
(subclinical). Infeksi subklinik yang dalam keadaan tertentu dapat berubah
menjadi infeksi klinik disebut latent.

Kolonisasi. Adanya kumpulan flora normal pada habitatnya yang normal,


misalnya di kulit, pemukaan mukosa dan sebagainya. Atau adanya
mikroorganisme patogen, misalnya Staphylococcus aureus yang tidak
menyebabkan penyakit pada hospes. Keadaan ni mirip dengan keadaan pada
infeksi subklinik.
92

Sebaran dan cara hidup mikroorganisme


Mikroorganise tersebar di semua tempat di bumi ini dan ditemukan di semua
jenis lingkungan . Mereka dapat ditemukan di tanah, di air dan di udara, di
semua benda-benda mati organis maupun inorganik, dan di dalam maupun di
permukaan tubuh makhluk hidup. Berdasar cara hidupnya mikroorganisme
dikelompokkan menjadi organisme yang bersifat sebagai berikut:

 Saprophyt. Organisme yang hidup saprofitik dapat hidup dari bahan


organik mati, meskipun kadang-kadang organisme ini ditemukan pada
jaringan hewan hidup atau manusia.

 Parasit. Organisme ini hidup di dalam tubuh atau di permukaan badan


makhluk hidup lain untuk mendapatkan makanan dan kebutuhan
hidupnya. Mikroorganisme yang hidup parasitik pada organisme hidup
lainnya dan menggantungkan seluruh hidupnya pada hospes
tempatnya hidup adalah virus yang harus melakukan multiplikasi di
dalam sel hospesnya. Bakteri sendiri juga bisa mempunyai virus
parasitik (bakteriofag) di dalam tubuhnya. Parasit pada dasarnya bisa
hidup dalam tubuh hospesnya secara komensal (commensal),
simbiotik (symbiotic) atau patogenik (pathogenic).

 Komensal. Mikroorgansme yang hidup komensal mendapatkan


makanan dari hospesnya tanpa memberikan imbal balik (keuntungan)
pada hospesnya.

 Simbiosis. Organisme yang hidup simbiotik, disebut simbion, hidup


berdampingan dengan hospesnya, saling menguntungkan. Misalnya
bakteri pembentuk vitamin yang hidup di dalam usus manusia.

 Patogenik. Bakteri patogenik adalah bakteri yang merugikan


hospesnya karena metabolit yang dihasilkan proses metabolismenya
menimbulkan gangguan kesehatan pada hospes.
93

Patogenesis dan karier


Patogenitas menunjukkan kepekaan hospes terhadap kemampuan organisme
penyebab penyakit yang memasuki tubuhnya. Beberapa jenis bakteri ada
yang selalu menyebabkan penyakit (patogenik) pada manusia, tidak
ditemukan pada orang sehat, dan jika ditemukan merupakan diagnosis
penyakitnya. Bakteri patogenik ini antara lain adalah mycobacteria penyebab
tuberkulosis dan lepra, spirochaeta penyebab sifilis dan basil gram-negatif
penyebab penyakit pes. Meskipun demikian tidak selalu ditemukannya koloni
bakteri patogen pada hospes menyebabkan penyakit pada hospes. Misalnya
pada orang yang dikenal sebagai karier (carrier), adanya flora bakteri pada
orang normal (pneumococci yang ada di dalam nasofaring, flora normal usus
yang baru dapat menyebabkan penyakit jika berada di luar usus.

Carrier. Karier adalah orang yang merasa sehat dan tidak menunjukkan
gejala sakit, tetapi selalu mengeluarkan mikroorganisme patogen yang dapat
ditularkan pada orang lain sehingga menjadi sakit.

 Incubational carrier. Karier inkubatif adalah orang yang mengalami


infeksi yang berada pada masa inkubasi sehingga belum menunjukkan
gejala klinis tetapi dapat menularkan penyakitnya pada orang lain.

 Convalescent carrier. Karier konvalesen adalah penderita yang


sudah berada pada masa penyembuhan dan tidak menunjukkan gejala
klinis penyakitnya, sehingga masih mengeluarkan mikroorganisme
yang infektif.

 Chronic carrier. Karier kronik adalah penderita suatu penyakit yang


sudah tidak menunjukkan gejala klinis tetapi berulang-ulang masih
menularkan bakteri patogen tersebut karena bakteri masih hidup dan
berada dalam waktu yang lama di dalam organ penderita. Misalnya
pada penderita dengan infeksi Salmonella typhi bakteri masih berada
di kantung empedu penderita dalam waktu yang lama.
94

3.3. FLORA NORMAL

Pada waktu janin sehat dilahirkan, belum ada populasi bakteri yang
ditemukan pada tubuhnya. Mikroorganisme mulai didapatkan pada saat bayi
melewati jalan lahir ibunya, melekat di permukaan tubuh bayi atau tertelan
atau terhirup melalui jalan napas bayi. Sesudah itu dalam waktu beberapa
jam sesudah bayi dilahirkan bayi juga mendapatkan paparan mikroorganisme
dari lingkungan di sekitarnya melalui kulit, mulut, penggorok atau hidungnya
dan bisa juga melalui pencernaannya. Berat dan cepatnya paparan
tergantung pada berbagai faktor, misalnya seringnya dan cara
memandikannya, makanan atau diet yang diberikan padanya dan kondisi
lingkungan hidupnya. Kumpulan organisme ini kemudian akan hidup dan
menetap di beberapa daerah tertentu dalam keadaan stabil dan dengan
hubungan antar populasi organisme yang seimbang. Keadaan ini mirip
dengan keadaan flora normal pada orang dewasa.
Manusia merupakan hospes berbagai jenis organisme. Populasi bakteri yang
hidup pada setiap individu manusia jumlahnya sekitar 10 14. Misalnya, pada
sekeping sisik kulit manusia dapat hidup banyak mikro koloni bakteri yang
masing-masing koloni terdiri dari ribuan sel bakteri. Di dalam tinja terdapat
sekitar 1012 bakteri per 1 gram tinja.

Flora normal pada manusia


Pada kulit normal orang dewasa yang sehat dapat ditemukan koki gram-
positif Staphylococcus dan Micrococcus , basil gram-positif misalnya basil
“coryneform” dan “difteroid” dari genus Corynebacterium dan
Propionibacterium, dan ragi, misalnya Pityrosporum. Di daerah nares anterior,
Staphylococcus aureus ditemukan pada sekitar 30% orang dewasa. Mulut
mengandung sejumlah besar populasi bakteri, antara lain streptococcii alpha-
hemolitik (viridans), lactobacilli, actinomyces micro-aerophilic dan basil gram-
negatif genus Bacteroides dan Fusobacterium serta sejumlah kecil ragi dari
genus Candida. Pada mukosa faring dapat ditemukan berbagai bakteri,
antara lain haemophili,
95

pneumococci, neisseriae dan Branhamella. Hanya terdapat sejumlah kecil


bakteri yang hidup di lambung dan usus kecil bagian atas, sedangkan di
daerah usus besar banyak ditemukan bakteri yang sebagian besar adalah
bakteri anaerobik. Vagina pada perempuan pasca-puber mengandung flora
yang didominasi oleh lactobacilli dan sejumlah kecil cocci gram-positif
anaerob dan bacteroides. Beberapa spesies flora bakteri yang berasal dari
kulit dan tinja dapat ditemukan dalam bentuk koloni di daerah introitus dan
bagian bawah vagina.

Sifat protektif flora normal


Bakteri-bakteri mempunyai peran penting karena bersifat protektif. Dengan
keberadaan bakteri-bakteri ini, kolonisasi bakteri-bakteri patogen akan
terhambat. Selain itu , kegiatan metabolik bakteri-bakteri flora normal tersebut
juga melindungi hospes dari infeksi, misalnya:
1. Lactobacilli di dalam vagina menghasilkan asam dari glikogen dan
mengatur pH agar tetap rendah sehingga menghambat pertumbuhan
banyak bakteri;.
2. Propionibacteria yang terdapat di kulit akan memecah sebum dan
melepaskan asam lemak yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri patogen;
3. Staphylococci yang hidup di kulit ada yang menghasilkan antibiotika
yang aktif terhadap flora kulit dan beberapa jenis patogen.
Jika kehidupan flora normal yang hidup komensal terganggu, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik yang berbahaya.
Obat-obatan anti bakterial dapat menimbulkan dua akibat pada flora normal,
yaitu membunuh sebagian atau seluruh flora normal dan terjadinya resistensi
flora normal terhadap obat-obatan tersebut. Jika jumlah flora normal menurun
atau lenyap sama sekali, hal ini dapat menimbulkan superinfeksi atau
pertumbuhan berlebihan Candida albicans yang menyebabkan terjadinya
sariawan (thrush) di mulut. Selain itu dapat terjadi
96

pembentukan kolitis pseudomembran oleh Clostridium difficile di usus besar.


Resistensi yang terjadi pada flora normal misalnya streptococci yang ada di
rongga mulut yang resisten terhadap penisilin, dapat menimbulkan
endokarditis yang sulit diobati.
Ketidak seimbangan flora normal juga dapat terjadi jika terdapat perubahan
metabolik (misalnya pada penderita diabetes) atau perubahan hormonal ,
misalnya pada waktu terjadi kehamilan.

3.4. SUMBER INFEKSI

Sumber organisme patogen dapat berasal dari luar tubuh hospes (exogen)
atau berasal dari tubuh hospes sendiri (endogen), misalnya berasal dari flora
normal dirinya sendiri.
Pada umumnya, infeksi penyakit yang terjadi bersifat eksogen akibat
penularan yang berasal dari orang lain atau dari hewan yang sakit. Infeksi
endogen menjadi penting jika akibat penurunan daya tahan setempat atau
daya tahan umum hospes, sehingga penderita menjadi lebih peka terhadap
organisme yang ada di dalam tubuhnya sendiri.
Tempat-tempat di dalam tubuh yang biasanya steril, misalnya pertoneum atau
jaringan dinding abdomen, dapat mengalami kontaminasi pada waktu
dilakukan pembedahan usus.
Penurunan daya tahan lokal dapat terjadi akibat terjadinya hambatan pasokan
darah daerah setempat, sedangkan penurunan daya tahan umum tubuh
penderita terjadi pada penderita dengan malnutrisi, penderita diabetes,
pemberian kemoterapi imunosupresif, akibat radioterapi atau karena
menderita penyakit infeksi lainnya, misalnya measles.

Manusia sebagai sumber infeksi


Manusia menjadi sumber infeksi karena sedang menderita sakit atau karena
bertindak sebagai karier (carrier),
97

Karier merupakan sumber infeksi yang penting dalam penularan penyakit


terutama pada waktu terjadi epidemi karena sukar diketahui atau dideteksi,
dan karena merasa tidak sakit carrier hidup berbaur dengan orang lain. Selain
itu carrier dalam waktu yang lama dapat terus menerus menyebarkan
organisme patogen dalam jumlah besar yang ada di dalam tubuhnya tanpa
diketahui.orang lain.

Hewan sebagai sumber penyakit


Berbagai jenis hewan dapat menularkan penyakit zoonosis pada manusia.
Berbagai penyakit zoonosis yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia
antara lain adalah:
 teniasis solium (oleh Taenia solium ) oleh babi,
 trikinosis ( oleh Trichinella spiralis) oleh babi dan tikus,
 bruselosis (oleh Brucella) dapat ditularkan oleh sapi, babi, atau anjing;
 leptospirosis (oleh Leptospira) dapat ditularkan oleh tikus, anjing, dan
babai;
 rabies (oleh virus rabies) dapat ditularkan oleh anjing dan kera..

Lingkungan sumber infeksi


Organisme saprofit yang hidup di lingkungan dapat menyebabkan penyakit
pada manusia yang sistem imun tubuhnya mengalami gangguan, atau daya
tahan tubuhnya sangat menurun.
Berbagai jenis jamur yang hidup di lingkungan dapat menyebabkan penyakit
berupa lesi lokal (mycetoma) atau penyakit sistemik jika terhirup melalui udara
(inhalasi).
Berbagai penyakit sistemik juga dapat disebabkan oleh bakteri pembentuk
spora, misalnya Bacillus dan Clostridium.

3.5. PENULARAN PATOGEN

Mikoorganisme patogenik dapat ditularkan dari sumber infeksi ke korban yang


baru melalui berbagai jalan, mulai dengan
98

cara ditularkan secara langsung atau tidak langsung, melalui benda-benda


mati (fomites), melalui makanan, air, atau dengan perantaraan serangga yang
menjadi vektornya.

Patogenitas organisme
Kemampuan organisme untuk menyebabkan penyakit (patogenitas) terdiri
dari tiga komponen, yaitu :

1. Transmissibility, kemampuan untuk mendapatkan hospes baru. Hal


ini dipengaruhi oleh kemampuan bakteri patogen untuk bertahan
terhadap lingkungan hidupnya. Misalnya spora tetanus dapat bertahan
hidup selama bertahun-tahun di dalam tanah dan bakteri kolera yang
mampu bertahan hidup pada air yang tercemar limbah. Tetapi
Treponema pallidum penyebab sifilis dan kuman gonore tidak tahan
terhadap sinar dan pengeringan.
2. Infectivity, kemampuan untuk menginfeksi atau membentuk koloni
pada hospes yang baru. Infectivity dapat diekspresikan secara
kuantitatif sebagai infective dose (ID) atau effective dose (ED), yaitu
jumlah terkecil organisme yang dapat menyebabkan infeksi.
3. Kemampuan menimbulkan kerusakan pada hospes yang baru.

Jalur penularan
Mikroorganisme patogenik dapat ditularkan melalui berbagai jalur, yaitu
melalui kontak langsung dari penderita ke orang lain, atau secara tidak
langsung melalui makanan, melalui air, ditularkan bersama tanah atau
ditularkan oleh serangga yang menjadi vektornya.

(a). Kontak langsung


Penularan mikroorganisme patogen dari penderita ke orang lain dapat terjadi
melalui berbagai jalan, yaitu melalui :
99

 Bahan infektif pernapasan (droplet), misalnya pada penularan infeksi


saluran pernapasan, tuberkulosis, meningitis, morbili, rubella, mumps
dan variola;
 Air ludah, misalnya pada penularan infectious mononucleosis dan
rabies (berasal dari ludah hewan);
 Jalur tinja-mulut (fecal-oral route), misalnya pada diare bakterial,
hepatitis A, poliomielitis dan infeksi enterovirus lainnya;
 Kontak langsung dengan penderita, misalnya pada penularan bakteri
Staphylococcus spp. dan Streptococcus spp., infeksi yang ditularkan
melalui hubungan seksual, herpes simplex dan ringworm;
 Darah dan produk darah, misalnya hepatitis B, AIDS, sifilis;
 Penularan dari ibu hamil ke janin yang ada di uterus (penularan
vertikal), misalnya pada rubella, cytomegalic inclusion disease dan
sifilis;
 Penularan dari ibu ke bayi selama persalinan, misalnya pada herpes
simplex, gonore, streptococci grup B dan infeksi chlamydia;
 Debu atau benda mati (fomites). Banyak bakteri, virus dan jamur dari
penderita yang mencemari benda-benda di lingkungan dapat ditularkan
secara tidak langsung ke orang lain.

(b). Penularan tidak langsung


Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui makanan, air, tanah dan
penularan oleh serangga,

Penularan melalui makanan. Berbagai jenis makanan dapat menjadi sarana


penularan penyakit infeksi, antara lain:
 Telur, produk daging, ternak unggas: misalnya penularan salmonelosis
dan penularan Campylobacter.
 Susu yang tidak dipasteurisasi dan produk susu: misalnya
salmonelosis, bruselosis, infeksi Campylobacter, demam Q dan
tuberkulosis;
100

 Sayuran mentah: misalnya penularan disenteri basiler dan hepatitis A.

Penularan melalui air. Bakteri dapat ditularkan melalui air :


 Minum air, misalnya penyakit tifoid, dan kolera;
 Paparan dengan air yang tercemar, misalnya pada penularan
leptospirosis, infeksi Pseudomonas pada telinga dan kulit;
 Melalui air yang berasal dari alat rumah tangga (AC, shower,
humidifiers); misalnya pada penularan Legionelosis.

Penularan melalui tanah. Misalnya penularan tetanus, gas-gangren, dan


infeksi jamur sistemik.

Penularan oleh serangga. Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh serangga


antara lain adalah demam kuning (yellow fever), demam dengue, virus
encephalitides, bubonic plague, infeksi ricketsial dan trachoma. Berbagai jenis
serangga dapat bertindak sebagai vektor patogen, misalnya nyamuk, caplak
(ticks), pinjal (fleas), tungau (mites), kutu (lice) dan kecoa (cockroaches).
Pinjal dapat menularkan riktsiosis, penyakit pes yang disebabkan oleh
Yersinia pestis, sedangkan lipas dapat menularkan poiovirus dan
enterobabkteria dan caplak dapat menularkan riketsiosis.

Gambar 49. Pinjal, lipas dan caplak sebagai penular penyakit (Sumber: CDC)
101

BAB 4

IMUNOLOGI

4.1. GARIS PERTAHANAN TUBUH

4.2. SISTEM IMUN NON SPESIFIK

4.3. SISTEM IMUN SPESIFIK

4.4. IMUNOGEN DAN ANTIGEN

4.5. IMUNOGLOBULIN

4.6. REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI

4,7. KARAKTER UMUM RESPON ANTIBODI

4.8. SEL BERPERAN PADA RESPON IMUN DAN PENGENALAN

ANTIGEN

4.9. PENGATURAN SISTEM IMUN (IMMUNOREGULATION)

4.10. IMUNISASI

4.11. AUTOIMUNITAS

4.12. REAKSI HIPERSENSITIF

4.13. IMUNOLOGI TUMOR

4.14. IMUNODEFISIENSI
102

4.1. GARIS PERTAHANAN TUBUH


Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pertahanan diri terhadap
makromolekul asing atau invasi organisme dan respon tubuh terhadap
mereka. Termasuk dalam organisme asing tersebut adalah virus, bakteri,
protozoa atau parasit berukuran besar lainnya.
Selain itu tubuh juga dapat membentuk respon imun terhadap protein atau
molekul yang berasal dari tubuh sendiri (autoimun) dan terhadap sel diri
sendiri yang berubah sifat,yaitu pada imunitas tumor.

Garis pertahanan tubuh yang pertama terhadap organisme asing adalah


jaringan pelindung, misalnya kulit yang menghentikan masuknya organisme
ke dalam tubuh. Jika jaringan pelindung ini dapat ditembus oleh organisme,
tubuh mempunyai sel-sel yang segera akan terangsang oleh adanya
organisme asing tersebut. Sel-sel ini adalah makrofag (macrophag) dan
neutrofil (neutrophil) yang akan menelan dan membunuh organisme asing
tersebut, tanpa bantuan antibodi. Tindakan segera juga datang dari molekul-
molekul terlarut yang mengikat organisme asing dari nutrien esensial
(misalnya zat besi) dan dari molekul-molekul tertentu yang terdapat pada
permukaan epitel, di dalam sekresi (misalnya air mata dan air ludah) dan
yang terdapat di dalam darah. Bentuk imunitas ini disebut sistem imun non-
spesifik atau innate immune system yang selalu siap untuk menghadapi
invasi organisme asing.

Garis pertahanan tubuh yang kedua adalah sistem imun yang spesifik atau
adaptif (adaptive immune system) yang memerlukan waktu beberapa hari
untuk menghadapi invasi primer (yaitu infeksi organisme yang belum terlihat).
Pada sistem imun yang spesifik ini diproduksi antibodi (protein terlarut yang
mengikat antigen asing) dan cell-mediated responses yang merupakan sel-sel
khusus yang mampu mengenali patogen asing dan menghancurkannya. Pada
tumor atau infeksi virus, respon ini juga penting untuk mengenali sel-sel tumor
atau sel yang terinfeksi virus, dan selanjutnya menghancurkannya.
103

Respon terhadap infeksi yang kedua sering lebih cepat terjadi dibanding
respon terhadap infeksi primer. Hal ini disebabkan oleh pengaktifan sel-sel
memori B dan T.
Terjadinya interaksi dan koordinasi antara sel-sel sistem imun karena adanya
molekul-molekul pemberi tanda (signal molecules) yang dapat berupa protein
misalnya limfokin (lymphokine) yang dihasilkan oleh sel-sel sistem limfoid,
sitokin (cytokine) dan kemokin (chemokine) yang diproduksi oleh sel-sel lain
pada respon imun, dan yang merangsang sel-sel sistem imun.

Sistem Imun
Pertahanan tubuh terhadap infeksi organisme dilaksanakan oleh sistem imun.
Sistem imun dikelompokkan menjadi dua subdivisi besar, yaitu sistem imun
non spesifik (innate) dan sistem imun spesifik (adaptif). Sistem imun non-
spesifik merupakan garis pertahanan pertama terhadap masuknya organisme
asing, sedangkan sistem imun spesifik adalah garis pertahanan kedua dan
juga sebagai perlindungan terhadap terjadinya paparan ulang dengan
patogen yang sama.
Subdivisi sistem imun tersebut, masing-masing mempunyai komponen seluler
dan humoral yang membawa fungsi protektif. Meskipun kedua sistem imun
mempunyai fungsi yang berbeda, tetapi keduanya bekerja sama dalam peran
mereka sebagai sistem imun.

Gambar 50. Bagan Sistem Imun


(Sumber: http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/innate.htm)
104

Semua sel sistem imun sumbernya berasal dari sumsum tulang yaitu dari sel
mieloid (neutrofil, basofil, eosinofil, makrofag dan sel dendrite) dan sel limfoid
(limfosit B, limfosit T dan Natural Killer).

Gambar 51. Sel sistem imun (http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/innate.htm)

Sistem imun non spesifik dan spesifik meskipun fungsi keduanya adalah
melindungi tubuh terhadap masuknya organisme, tetapi cara kerjanya
berbeda. Pertama, sistem imun adaptif membutuhkan waktu untuk bereaksi
dengan organisme yang masuk, sedangkan sistem imun non spesifik dapat
segera bekerja sesudah organisme masuk ke dalam tubuh. Kedua, sistem
imun adaptif bersifat antigen spesifik dan hanya bereaksi terhadap organisme
yang merangsang terjadinya respons. Sedangkan sistem imun non spesifik
bersifat tidak antigen spesifik dan bereaksi terhadap berbagai organisme.
Akhirnya, sistem imun adaptif menunjukkan adanya memori imunologik,
sehingga jika terjadi invasi dengan organisme yang sebeumnya pernah
menginvasi hospes, responnya akan terjadi lebih cepat. Pada sistem imun
non spesifik tidak terjadi memori imunologik.
105

Tabel 6. Perbedaan fungsi imun non spesifik dan imun spesifik

Imunitas non-spesifik Imunitas spesifik

Respons: antigen-independen Response: antigen-dependen

Terjadi respons segera yang Terdapat waktu jeda antara terjadinya


maksimal paparan dan respons maksimal

Bukan antigen specifik Antigen specifik

Tidak terjadi memori imunologik Terjadi memori imunologik

(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/innate.htm)

Pembentukan sistem imun


Sel punca (stem cell) mieloid di dalam sumsum tulang akan membentuk
eritrosit, trombosit, neutrofil, monosit/makrofag dan sel dendrit, sedangkan sel
punca limfoid membentuk sel NK, sel T dan sel B. Untuk pembentukan sel T,
prekursor sel T harus melakukan migrasi ke timus dimana mereka melakukan
diferensiasi menjadi dua tipe sel T yang berbeda, yaitu CD4+T helper cell dan
CD8+pre-cytotoxic T cell. Dua tipe T helper cells diproduksi di timus sel TH1
(yang membantu CD8+pre-cytotoxic cells melakukan diferensiasi menjadi sel
T sitotoksik) dan sel TH2 yang membantu sel B melakukan diferensiasi
menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi.

Fungsi sistem imun


Fungsi utama sistem imun adalah membedakan antara sel sendiri dari sel lain
untuk melindungi diri dari masuknya patogen dan melenyapkan sel-sel yang
berubah sifat atau mengalami modifikasi misalnya sel yang mengalami
keganasan (maligna). Patogen dapat berkembang biak intraseluler (virus,
beberapa jenis bakteri dan parasit) atau ekstraseluler (sebagian besar bakteri,
jamur dan parasit), karena itu sistem imun membentuk
106

berbagai jenis komponen sistem imun sesuai dengan patogen yang masuk.

Gambar 52. Pembentukan sel-sel sistem imun (http://pathmicro.med.sc.edu)

Tidak selalu masuknya patogen menyebabkan penyakit karena sebagian


besar organisme dapat dihambat oleh sistem imun. Penyakit dapat terjadi
jika patogen penyebab infeksi banyak jumlahnya, jika virulensi patogen tinggi,
atau jika terdapat compromised immunity. Akibat sistem imun selain
menguntungkan juga bisa menyebabkan efek samping, misalnya karena
terjadi proses keradangan dapat terjadi gangguan lokal atau kerusakan pada
jatingan yang sehat akibat produk beracun yang dihasilkan oleh respon imun.
Selain itu pada beberapa keadaan respon imun dapat mengenai jaringan
badan sendiri, misalnya pada penyakit autoimun.
107

4.2. SISTEM IMUN NON SPESIFIK

Elemen sistem imun non spesifik (innate) adalah penghambat anatomi,


molekul sekretori (pertahanan humoral) dan komponen seluler. Termasuk
penghambat anatomi mekanik adalah kulit dn lapisan epitel internal,
pergerakan usus dan getaran silia bronko pulmoner. Pelindung permukaan
terutama ditujukan terhadap agen biologi dan kimiawi.

Penghambat anatomi
Hambatan atau barier anatomi terhadap infeksi meliputi faktor mekanik, faktor
kimiawi dan faktor biologik.
1. Faktor mekanik. Permukaan epitel yang sukar ditembus sebagian
besar agen infektif merupakan garis pertahanan pertama terhadap
masuknya organisme. Lepasnya epitel kulit membantu membuang
bakteri dan agen infektif yang telah melekat di permukaan kulit.
Gerakan silia yang ada di saluran pernapasan atau peristaltik usus
membersihkan daerah-daerah tersebut dari mikroorganisme. Begitu
juga air mata dan saliva mencegah infeksi di mata dan mulut. peran
lendir yang melapisi saluran napas dan usus menangkap
mikroorganisme yang ada di daerah tersebut melindungi paru dan
sistem pencernaan dari infeksi.

2. Faktor kimiawi. Asam lemak yang ada di dalam keringat menghambat


pertumbuhan bakteri. Lisosim dan fosfolipase yang ada di dalam air
mata, saliva dan cairan hidung dapat merusak dinding sel bakteri dan
menganggu stabilisasi membran bakteri. Rendahnya pH keringat dan
sekresi lambung juga mencegah pertumbuhan bakteri. Defensin yang
merupakan protein dengan berat molekul rendah yang ditemukan di
paru dan saluran gastrointestinal mempunyai kemampuan
antibakterial. Surfaktan yang ada di paru bertindak
108

sebagai opsonin yang merangsang proses fagositosis partikel


mikroorganisme oleh sel fagositik.

3. Faktor biologik. Flora normal kulit dan saluran gastrointestinal dapat


mencegah pembentukan koloni bakteri patogen dengan cara
membentuk bahan toksik atau bersaing dengan bakteri patogen dalam
mengkonsumsi nutrisi atau menghambat pelekatan bakteri pada
permukaan sel.

Pertahanan humoral terhadap infeksi


Jika pertahanan anatomi terganggu misalnya karena adanya kerusakan
jaringan, dan agen infeksi dapat menembus jaringan, mekanisme pertahanan
tubuh non spesifik (innate) akan berperan berupa inflamasi (keradangan)
akut. Pada proses keradangan, faktor humoral berperan penting, berupa
edema dan berfungsinya sel-sel fagositik. Faktor humoral dapat ditemukan di
dalam serum atau terbentuk di tempat terjadinya infeksi.

1. Sistem komplemen. Sistem ini merupakan mekanisme pertahanan


non spesifik humoral yang penting. Sekali diaktifkan komplemen akan
menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, peningkatan sel
fagosit, dan lisis dan opsonisasi bakteri.

2. Sistem koagulasi. Tergantung pada beratnya kerusakan jaringan,


sistem koagulasi dapat atau tidak dapat diaktifkan. Sistem koagulasi
dapat membantu pertahanan non spesifik dengan cara (a).
Meningkatkan permeabilitas vaskuler (b). agen kemotaktik terhadap
sel fagositik, (c).bekerja langsung sebagai antimikrobial. Sebagai
contoh, beta-lisin, suatu protein yang dibentuk oleh trombosit selama
berlangsung proses koagulasi dapat menyebabkan lisis berbagai
bakteri Gram-positif dengan bertindak sebagai detergen kationik.

3. Laktoferrin dan transferrin. Protein-protein ini berperan menghambat


pertumbuhan bakteri dengan cara mengikat zat besi yang merupakan
nutrisi esential bagi bakteri.
109

4. Interferon. Protein ini dapat menghambat replikasi virus di dalam sel.

5. Lisozim. Enzim ini dapat memecah dinding sel bakteri.

6. Interleukin-1 (IL-1). Faktor humoral ini dapat merangsang terjadinya


demam dan produksi protein fase akut yang bersifat antimikrobial
karena dapat menyebabkan opsonisasi bakteri.

Tabel 7. Penghambat fisiko-kimiawi terhadap infeksi

SISTEM / ORGAN KOMPONEN AKTIF MEKANISME EFEKTOR

KULIT Sel skuamosa, keringat Deskuamasi,flushing,


asam organik

SALURAN Sel kolumnar Peristaltik, pH rendah,


GASTROINTESTINAL asam empedu, flushing,
tiosianat

PARU Silia trakea Elevator mukosiliair,


surfaktan

NASOFARING & MATA Mukus, saliva, airmata Flushing, lisozim

Sel fagosit Fagositosis dan


SIRKULASI DAN ORGAN intraseluler killing
LIMFOID
Sel NK dan sel-K Sitolisis langsung atau
antibody dependent

LAK IL2-activated sytolysis

Laktoferin dan transferin Pengikatan zat besi


SERUM
Interferon Protein antiviral

TNF-alpha Antiviral,aktifasi fagosit

Lisozim Hidrolisis peptidoglikan

Fibronectin Opsonisasi, fagositosis


110

Komplemen Opsonisasi, inflamasi


merangsang fagositosis,

(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/innate.htm)

Pertahanan seluler terhadap infeksi

Salah satu bagian dari respon keradangan adalah mengumpulkan eosinofil


polimorfonuklir dan makrofag ke tempat infeksi. Sel-sel ini merupakan garis
pertahanan utama pada sistem imun non spesifik.

1. Neutrofil. Sel polimorfonuklir (PMN) dikirimkan ke tempat infeksi untuk


memfagositosis organisme yang masuk dan membunuhnya
intraseluler. Selain itu PMN juga berperan membentuk kolateral
jaringan yang rusak yang terjadi selama terjadi proses keradangan.

Gambar 53. Neutrofil di dalam darah (http://bcrc.bio.umass.edu/histology)


111

Gambar 54. Monosit (kiri) dan dua neutrofil di dalam darah


(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/neutrophil.jpg)

2. Makrofag. Makrofag jaringan dan monosit yang melakukan diferensiasi


menjadi makrofag, juga berfungsi pada proses fagositosis dan
memberantas mikroorganisme intraseluler. Selain itu makrofag mampu
membunuh sel terinfeksi yang terdapat sektraseluler atau sel target
sendiri yang berubah sifatnya. Selanjutnya makrofag juga berperan
dalam perbaikan jaringan dan berfungsi sebagai antigen-presenting
cells yang diperlukan untuk merangsang terjadinya respon imun yang
spesifik.
3. Sel NK (natural killer) dan LAK (lymphokine activated killer). Sel NK
dan LAK dapat secara non spesifik membunuh sel terinfeksi virus dan
sel tumor. Sel NK dan LAK bukan bagian dari respon keradangan
tetapi penting pada imunitas non spesifik terhadap terjadinya infeksi
virus dan dalam penanganan tumor.
112

4. Eosinofil. Sel ini mempunyai butiran atau granul protein yang berperan
dalam memberantas parasit-parasit tertentu.

  

Gambar 55. Eosinofil pada usapan darah


(http://dabcc.nmsu.edu/hps/ho/blood-histology-slides.html)

Fagositosis

Proses fagositosis dilakukan oleh berbagai sel fagositik, yaitu sel


neutrofil/polimorfonuklir (PMN) dan monosit/makrofag.:

1. Sel neutrofil/Polimorfonuklir (PMN). PMN adalah sel fagositik yang


mampu bergerak (motil) yang mempunyai inti berlobus dan mengandung dua
jenis granul yang berperan sebagai antimikroba. Terdapat dua tipe PMN
yaitu tipe pertama yang azurofilik dan tipe kedua yang spesifik.

Tipe pertama yaitu granul azurofilik, banyak ditemukan pada PMN muda,
mengandung protein kationik dan defensin yang mampu membunuh bakteri,
enzim proteolitik
113

(misalnya elastase), dan cathepsin G untuk memecah protein, dan lisozim


untuk memecah dinding sel bakteri. Selain itu tipe ini juga mengandung
myeloperoxidase yang berperan dalam pembentukan komponen
bakteriosidal.

Tipe kedua yang banyak ditemukan pada PMN yang lebih matur merupakan
granul yang sekunder dan spesifik. Granul ini mengandung lisozim,
komponen NADPH oksidase, yang berperan dalam pembentukan produk
oksigen toksik dan lactoferrin (iron chelating protein) dan protein pengikat
B12.

2. Monosit/Makrofag. Makrofag adalah sel fagositik yang mempunyai inti


khas berbentuk ginjal. Sel ini dikenali secara morfologik atau karena adanya
sel petanda permukaan (cell surface marker ) CD14. Berbeda dengan PMN,
sel makrofag tidak mengandung granul tetapi mempunyai banyak lisozom
yang mirip dengan granul yang ada di PMN.

Respon fagosit terhadap infeksi. PMN dan monosit di sirkulasi memberikan


respon terhadap tanda bahaya yang berasal dari tempat terjadinya infeksi.
Tanda bahaya antara lain adalah N-formyl-methionine yang mengandung
peptid yang dilepaskan oleh bakteri, peptid sistem penggumpal, produk
komplemen dan sitokin yang dilepaskan dari makrofag jaringan yang telah
bereaksi dengan bakteri di jaringan . Sebagian tanda bahaya merangsang sel
endotil yang berada di dekat tempat infeksi untuk mengekspresi molekul sel
adesi, misalnya ICAM-1 dan selektin yang melekat pada komponen pada
permukaan sel-sel fagositik sehingga sel fagosit dapat melekat pada
endotelium.

Vasodilator yang terbentuk pada tempat infeksi menyebabkan hubungan


antara sel-sel endotil menjadi renggang sehingga fagosit dapat menembus
hambatan endotelial melalui proses diapedesis.
114

Gambar 56. Respon kemotaktik pada rangsangan keradangan


(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/neutrophil.jpg)

Langkah-langkah fagositosis.
Sel-sel fagositik mempunyai beberapa jenis reseptor pada membran sel,
dimana agen infeksi melekat pada sel. Reseptor-reseptor tersebut adalah:
1. Reseptor Fc. Bakteri dengan antibodi IgG pada permukaannya
mempunyai daerah (region ) paparan Fc dan bagian dari molekul Ig ini dapat
melekat pada reseptor yang ada pada fagosit. Terjadinya ikatan pada
reseptor Fc sebelumnya membutuhkan interaksi antara antibodi dengan
antigen. Terjadinya ikatan antara bakteri yang terbungkus IgG pada reseptor
Fc menghasilkan peningkatan fagositosis dan pengaktifan aktifitas metabolik
fagosit (disebut respiratory burst).
115

Gambar 57. Pelekatan bakteri melalui reseptor (http://pathmicro.med.sc.edu)

2. Reseptor komplemen. Sel-sel fagositik mempunyai sebuah reseptor untuk


komponen ketiga dari komplemen (C3b). Pelekatan bakteri berlapisan C3b
pada reseptor ini juga meningkakan fagositosis dan rangsangan pada
respiratory burst

3. Scavenger receptor. Reseptor pembersih ini mengikat berbagai jenis


polianion pada permukaan bakteri menyebabkan terjadinya fagositosis
bakteri.

4. Toll-like receptor. Fagosit mempunyai berbagai jenis Toll-like receptor


(Pattern Recognition Receptor atau PRR) yang mengenali banyak pola-pola
molekuler yang disebut PAMP (pathogen associated molecular pattern) pada
agen infeksi. Ikatan agen infeksi melalui Toll-like receptor menyebabkan
fagositosis dan pelepasan sitokin keradangan (IL-1, TNF-alpha dan IL-6) oleh
sel-sel fagosit.
116

5. Fagositosis. Sesudah terjadi pelekatan bakteri, fagosit akan membentuk


pseudopodi di sekeliling bakteri, menelannya dan mengurungnya di dalam
fagosom (phagosome). Selama proses fagositosis granul atau lisozom
fagosit akan berfusi dengan fagosom dan mengosongkan isinya. Hasilnya,
bakteri tertelan di dalam fagolisozom yang mengandung isi dari granul atau
lisozom.

Respiratory burst

Selama proses fagositosis terjadi peningkatan konsumsi glukose dan oksigen


yang dikenal sebagai respiratory burst. Akibatnya diproduksi komponen
mengandung oksigen yang dapat membunuh bakteri yang difagositosis
(dikenal sebagai oxygen dependent intracellular killing). Sebagai tambahan,
bakteri dapat dibunuh oleh substansi yang sebelumnya dilepaskan oleh
granul atau lisozom ketika mereka mengadakan fusi dengan fagosom. Yang
terakhir ini disebut sebagai oxygen-independent intracellular killing.

Gambar 58. Respiratory burst : Oxygen-dependent, myeloperoxidase-


independent intracellular killing
(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/neutrophil.jpg)

Selama terjadi proses fagositosis, glukose mengalami metabolisme melalui


pentose monophosphate shunt dan terbentuk
117

NADPH. Cytochrome B yang merupakan bagian dari granul spesifik yang


mengadakan kombinasi dengan membran plasma NADPH oxidase dan
mengaktifkannya dengan menggunakan oksigen dan terbentuk anion
superoksid (O2-).

Anion superoksid mengadakan konversi menjadi H2O2 dan singlet oksigen


(1O2) dengan bantuan superoxide dismutase. Sebagai tambahan, anion
superoksid dapat bereaksi dengan H2O2 menghasilkan pembentukan radikal
hidroksil (OH) dan lebih banyak singlet oxygen.

Gambar 59. Respiratory burst: Oxygen-dependent, myeloperoxidase-


dependent reactions(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/neutrophil.jpg)

Ketika granul azuroflik mengadakan fusi dengan fagosom, mieloperoksidae


dilepaskan ke dalam fagolisozome. Mieloperoksidase menggunakan H2O2
dan ion Cl – untuk memproduksi hipoklorit (Ocl-), bahan yang sangat toksik.
Hipoklorit dapat memecah spontan menjadi singlet oxygen

Reaksi detoksifikasi.
PMN dan makrofag dapat melindungi dirinya dari oksigen toksik dengan
dismutasi anion superoksid menjadi hydrogen
118

peroksid dengan bantuan dismutase superoksid dan konversi hidrogen


peroksid menjadi air dengan bantuan katalase.

Tabel 8. Reaksi detoksifikasi (Sumber Gene Mayer, 2011)

REAKSI ENZIM

H2O2 + Cl-  --> OCl- + H2O


Myeloperoxidase
- 1 -
OCl + H2O --> O2 +Cl + H2O

2O2 + 2H+ --> O2- + H2O2 Superoxide dismutase

H2O2 --> H2O + O2 Catalase

Oxygen-independent intracellular killing


Pada mekanisme fagositosis ini protein kationik (cathepsin) dilepaskan ke
dalam fagolisoziim dapat merusak membran bakteri, lisozim memecah
dinding sel bakteri, laktoferin mengkelasi besi yang menjadi kebutuhan
nutrien bakteri, dan enzim hidrolitik memecah protein bakteri.

Tabel 9 . Mekanisme oxygen-independent intracellular killing


(Sumber Gene Mayer, 2011)

Molekul Efektor Fungsi

Protein kation (termasuk Merusak membran mikroba


cathepsin)

Lysozyme Memecah mukopeptid di dinding sel bakteri

Lactoferrin Mengkelasi besi dari nutrisi bakteri


Mencerna organisme yang mati
Enzim proteolitik dan
hidrolitik
119

Nitric oxide dependent killing


Pelekatan bakteri pada makrofag terutama yang melalui Toll-like receptor,
menyebabkan terbentuknya TNF-alpha, yang merangsang pembentukan
nitrik oksid (NO). Sel yang terpapar interferon gamma (IFN-gamma) juga
membentuk NO. Niitrik oksid bersifat toksik dan dapat membunuh
mikroorganisme yang ada di sekitar makrofag.

Gambar 60. Nitric oxide-dependent killing (http://pathmicro.med.sc.edu)

Non-specific Killer Cells


Beberapa jenis sel, yaitu sel NK, LAK dan sel K mengaktifkan makrofag dan
eosinofil dan mampu membunuh benda asing dan sel sendiri yang menjadi
target atau sasaran pada keadaan non-spesifik. Sel-sel ini memegang peran
penting pada sistem imun non spesifik (innate).
120

1. Sel NK dan LAK. Sel NK (natural killer) yang dikenal sebagai LGL (large
granular lymphocytes) yang mirip limfosit yang berukuran besar dan
mengandung banyak granul. Sedangkan sel NK dapat dikenal karena
mempunyai sel CD56 dan CD16 tetapi tidak mempunyai sel CD3 penanda
permukaan (surface marker). Sel NK juga dapat membunuh sel terinfeksi
virus dan sel maligna meskipun kurang efisien. Meskipun demikian jika
terpapar IL-2 dan IFN-gamma, sel NK akan menjadi sel LAK (lymphokine-
activated killer) yang mampu membunuh sel maligna dan sel mengalami
transformasi. Karena itu sel LAK dapat digunakan untuk mengobati
keganasan.

Sel NK dan sel LAK dapat membedakan sel normal dari sel maligna atau sel
yang terinfeksi virus karena sel-sel tersebut mempunyai dua macam reseptor
pada permukaannya, yaitu KAR (killer activating receptor) dan KIR (killer
inhibiting receptor).

Gambar 61. Sel NK dan pengaktifannya


(Sumber: http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/nk-target.gif).
121

2. Sel K. Sel K (killer cell) adalah setiap sel yang menjadi perantara ADCC
(antibody-dependent cellular cytotoxicity) Pada ADCC antibodfi bertindak
sebagai penghubung antara sel K dengan sel sasaran (target) sehingga
proses pemunihan sel target dapat terjadi. Sel K di permukaan selnya
mempunyai reseptor Fc untuk antibodi sehingga sel target yang dilapisi
antibodi dapat dikenali, diikat dan dibunuh. Sel K yang mempunyai reseptor
Fc adalah NK, LAK dan makrofag yang mempunyai reseptor Fc untuk
antibodi IgG dan eosinofil yang mempunyai reseptor Fc untuk antibodi IgE.

Gambar 62. Pemusnahan sel target dengan opsonisasi oleh sel K


(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/nk-target.gif)
122

Tabel 10. Karakter sel-sel pada resistensi non-spesifik (Gene Mayer,2011)

Sel efektor Penanda identitas (marker) dan/atau fungsi


CD3 Ig Fc CD Fagositosis
- - IgG CD67 +
Neutrophil
- - IgG +
Macrophage CD14
- - IgG -
NK cell CD56 & 16
- - IgG -
K-cells ?
- - ? ?
LAK cell ?
Eosinophil - - IgE CD67 -

(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/neutrophil.jpg)

4.3. SISTEM IMUN SPESIFIK

Karakter-karakter imunitas spesifik

Berbagai karakter sistem imun yang spesifik adalah:

1. Pertahanan tubuh terhadap patogen dan material asing yang bekerja


terhadap molekul spesifik, dan sistem imun perlu waktu beberapa hari
atau beberapa minggu sebelum memberikan respon pada benda asing.
2. Respon imun terhadap suatu patogen tidak efektif terhadap patogen lain
yang berbeda, meskipun masih satu kerabat dekat.
3. Imunitas meningkat jika dilakukan vaksinasi pada individu dengan
menggunakan patogen atau toksinnya.
123

4. Mempunyai imunitas humoral dan cell-mediated immunity.


5. Sejumlah organ tubuh, jaringan, dan sel tertentu dapat berperan pada
imunitas spesifik.
6. Imunitas spesifik dapat juga meliputi imunitas dapatan alami (natural
acquired immunity), imunitas dapatan buatan (artificially acquired),
imunitas dapatan aktif (actively acquired) dan imunitas dapatan pasif
(passively acquired).

KOMPLEMEN

Komplemen semula diartikan sebagai komponen serum yang mampu


menyebabkan lisis pada bakteri. Aktivitas ini akan menghilang jika serum
dipanaskan pada 560C selama 30 menit. Ternyata komplemen juga berperan
sebagai pertahanan tubuh melalui berbagai jalan. Komplemen dapat
mengopsonisasi bakteri untuk meningkatkan fagositosis, mengaktifkan sel
PMN dan makrofag, berperan mengatur respon antibodi, dan turut serta
dalam proses komplek imun dan terjadinya apoptosis. Selain itu komplemen
juga merugikan hospes, karena dapat menyebabkan keradangan dan
kerusakan jaringan dan dapat memicu terjadinya anafilaksis. Komplemen
meliputi sekitar 20 jenis protein serum yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel,
antara lain hepatosit, makrofag dan sel epitel usus. Beberapa protein
komplemen berikatan dengan imunoglobulin atau komponen membran sel.
Komplemen yang lain adalah proenzim yang jika diaktifkan, memecah satu
atau lebih protein komplemen lainnya, dan menghasilkan fragmen yang dapat
mengaktifkan sel, meningkatkan permeabilitas vaskuler atau menyebabkan
opsonisasi bakteri.

Jalur Aktifasi Komplemen


Aktivasi komplemen terjadi melalui empat jalur, yaitu jalur klasik, jalur lektin,
jalur alternatif dan jalur litik. Jalur klasik dan jalur alternatif mengawali aktifasi
C5 konvertase dan
124

menghasilkan C5b yang esensial dalam aktifasi jalur litik (jalur membrane
attack).

Gambar 63. Jalur aktifasi komplemen


(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/neutrophil.jpg)

Jalur Klasik. Pada jalur klasik terdapat tahapan-tahapan aktifasi C1, aktifasi
C2 dan C4 dan aktifasi C3.

 Aktifasi C1. C1 adalah protein multi subunit yang mengandung tiga


jenis protein (C1q, C1r dan C1s), melekat pada daerah Fc (Fc region)
dari molekul antibodi IgG dan IGM yang telah mengadakan interaksi
dengan antigen. Ikatan C1 tidak terjadi pada antibodi yang belum
membentuk ikatan (komplek) dengan antigen dan dalam proses
pelekatan tersebut dibutuhkan ion kalsium dan magnesium. Pelekatan
C1 pada antbodi melalui C1q harus berhubungan siilang dengan
sedikitnya dua molekul antibodi sebelum benar-benar kuat. Pelekatan
C1q menyebabkan aktifasi C1r yang kemudian mengaktifkan C1s yang
akhirnya membentuk ”C1qrs”, suatu enzm yang dapat memecah C4
menjadi fragmen C4a dan C4b.
125

 Aktifasi C4 dan C2. Dengan aktifasi C2 dan C4 akan terbentuk C3


konvertase. Fragmen C4b melekat pada membran dan fragmen C4a
dilepaskan memasuki mikrolingkungan. ”C1qrs” yang aktif juga
memecah C2 menjadi C2a dan C2b. C2a melekat pada membran yang
bergabung dengan C4b danC2b dilepaskan ke lingkungan mikro.
Komplek C4bC2a merupakan C3 konvertase, yang memecah C3
menjadi C3a dan C3b.
 Aktifasi C3. Dengan terjadinya aktifasi C3 akan terbentuk C5
konvertase. C3b melekat pada membran dan bergabung dengan C4b
dan C2a, sedangkan C3a dilepaskan ke dalam lingkungan mikro.
C4bC2aC3b merupakan C5 konvertase, yang pembentukannya adalah
batas akhir dari jalur klasik. Beberapa produk jalur klasik mempunyai
kemampuan aktifitas biologik yang turut berperan dalam pertahanan
tubuh hospes,.Beberapa produk lainnya berakibat merugikan jika
diproduksi secara tidak wajar.

Tabel 11. Aktifitas biologik produk jalur klasik (

Komponen Aktifitas Biologik

C2b Prokinin; dipecah oleh plasmin menghasilkan kinin, timbul edema.

Anaphylotoxin; mengaktifkan basofil dan sel mast, meningkatkan


C3a
permeabilitas membran;kontraksi sel otot halus; anafilaksis.

Opsonin; melekat pada reseptor komplemen meningkatkan


C3b
fagositosis dan mengaktifkan sel fagosit.

C4a Anaphylotoxin (lemah dibanding C3a)

Opsonin melekat pada reseptor komplemen meningkatkan


C4b
fagositosis
126

Jika jalur klasik tidak terkendali, maka secara terus menerus akan terbentuk
C2b, C3a dan C4a. Karena itu jalur klasik harus dikendalikan dan diatur oleh
beberapa faktor, yaitu C1INH, inaktifator C3a, faktor H, faktor I, C3-INA dan
C4 binding protein.

Tabel 12. Pengaturan Jalur Klasik

Komponen Pengaturan

C1-INH; disosiasi C1r dan C1s dari C1q . Defisiensi C1-INH


All menyebabkan terjadinya angioedema heriditer.

C3a inactivator (C3a-INA;Carboxypeptidase B); inaktifasi C3a


C3a
Faktor H dan faktor I; degradasi C3b
C3b
C4a C3-INA
C4 -BP dan Faktor I; menyebabkan degradasi ; C4-BP mencegah
C4b ikatan C2a dan C4b yang mencegah pembentukan C3 convertase.

Jalur Lektin. Jalur lektin mirip jalur klasik. Jalur ini dimulai dengan pelekatan
MBL (mannose-binding lectin) pada permukaan bakteri dengan polisakarida
yang mengandung mannose (mannan), yang menyebabkan terjadinya dua
protease-serine yang mirip C1r dan C1s, sedangkan MBL mirip C1q.
Pembentukan komplek MBL dan protease-serine mengaktifkan protease-
serine dan kemudian pemecahan C4 menjadi C4a dan C4b. fragmen C4b
melekat pada membran dan C4a dilepaskan ke lingkungan mikro. Aktifasi
protease-serine memecah C2 menjadi C2a dan C2b. C2a melekat pada
membran bergabung dengan C4b sedangkan C2b dilepaskan ke lngkungan
mikro. Komplek C4bC2a merupakan C3 convertase, yang memecah C3
menjadi C3a dan C3b. C3b melekat pada membran bergabung dengan C4b
dan C2a membentuk C4bC2aC3b (suatu C5 convertase), sedangkan C3a
dilepaskan ke lingkungan mikro. Pembentukan C5 convertase merupakan
akhir dari jalur lektin. Pengaturan protein pada jalur lektin sama dengan
pengaturan protein pada jalur klasik.
127

Jalur Alternatif. Jalur alternatif dimulai dengan aktifasi C3 dibantu faktor B,


faktor D dan kation Mg++ yang semuanya tedapat di dalam serum normal.
Tahapan jalur alternatif adalah :
1. Peningkatan pembentukan C3b
2. Pengendalian peningkatan C3b
3. Stabilisasi C convertase oleh aktifator permukaan patogen.
4. Pembentukan C5 convertase (komplek C3bBbC3b)
Jalur alternatif merupakan garis pertahanan pertama terhadap agen infektif,
berupa resistensi non-spesifik tanpa melibatkan antibodi. Banyak bakteri
Gram-negatif dan beberapa jenis Gram-positif , virus, parasit, sel darah merah
heterolog, imunoglobulin dan protein lainnya dapat mengaktifkan jalur
alternatif.

Jalur Litik. Jalur litik (lytic pathway) disebut juga sebagai Membrane Attack
Pathway. C5 convertase dari jalur klasik, lektin atau jalur alternatif dapat
memecah C5 menjadi C5a dan C5b. C5a terdapat dalam fase larutan,
sedangkan C5b yang bergabung dengan C6 dan C7 akan masuk ke dalam
membran. Kemudian juga melekat C8, diikuti molekul-molekul C9. Molekul C9
membentuk pori-pori pada membran dimana melalui pori-pori tersebut isi sel
yang mengalami lisis lewat. Lisis bukanlah proses enzimatik, tetapi terjadi
akibat proses kerusakan fisik pada membran. Komplek yang terdiri dari
C5bC6C7C8C9 disebut sebagai MAC (membrane attack complex).

C5a yang terbentuk pada jalur litik memiliki beberapa aktifitas biologik
merupakan anaphylotoxin yang kuat. Selain itu C5a juga merupakan faktor
kemotaktik untuk neutrofil dan memicu terjadinya respiratory burst sel dan
merangsang makrofag untuk memproduksi sitokin pada proses keradangan.
Aktifitas C5a dikendalikan melalui inaktifasi oleh carboxypeptidase B (C3-
INA).

Sebagian komplek C5b67 dapat mengalami disosiasi dari membran dan


memasuki fase larutan. Jika ini terjadi akan terjadi ikatan dengan sel-sel yang
berdekatan dan menyebabkan lisis. Kerusakan sel ini dapat dicegah dengan
Protein S (vitronectin) yang mengikat C5b67 yang terlarut.
128

Produk Biologik Aktifasi Komplemen

Aktifasi komplemen menghasilkan beberapa molekul biologik yang berperan


pada proses terjadinya resistensi, anafilaksis dan inflamasi, yaitu kinin,
anafilotoksin, faktor kemotaktik dan opsonin.

1. Kinin. C2b yang terbentuk pada aktifasi C pada jalur klasik adalah prokinin
yang oleh plasmin mengalami perubahan enzimatik menjadi aktif. Produksi
yang berlebihan C2b dicegah dengan menghambat aktifasi C2 oleh C1-INH
(C1-inhibitor) yang dikenal juga sebagai serpin yang menggantikan Cfrs dari
komplek C1 qrs. Defisiensi genetik C1-INH menyebabkan produksi C2b
berlebihan yang menyebabkan terjadinya edema angioneuritik heriditer.
Kelainan ini dapat diobati dengan Danazol yang meningkatkan produksi C1-
INH atau dengan c-aminocoproic acid untuk menurunkan aktifitas plasmin.

2. Anaphylotoxin. C4a, C3a dan C5a semuanya adalah anafilatoksin yang


menyebabkan degranulasi basofil / sel mast dan kontraksi otot halus. Untuk
mencegah terjadinya akibat yang tidak dikehendaki dari peptida tersebut
dapat digunakan carboxypeptidase-B (C3a-INA).

3. Faktor kemotaktik. C5a dan MAC (C5b67) keduanya bersifat kemotaktik.


C5a juga merupakan aktifator neutrofil, basofil dan makrofag dan
menyebabkan induksi terhadap adesi molekul pada sel endotil vaskuler.

4. Opsonin. C3b dan C4b pada permukaan mikroorganisme melekat pada


reseptor C (CR-1) pada sel fagosit dan meningkatkan fagositosis.

RINGKASAN

Sistem komplemen berperan pada resistensi spesifik maupun non-spesifik


dan menghasilkan sejumlah produk biologik dan patofisiologik yang penting.
129

Tabel 13. Aktifitas dan faktor pengendali produk aktifasi komplemen

Faktor
Fragmen Aktifitas Akibat
pengendali
Prokinin, akumulasi cairan
C2a Edema C1-INH
Degranulasi sel basofil dan
sel mast ; meningkatkan
C3a permeabilitas vaskuler dan Anaphylaxis C3a-INA
kontraksi otot halus

Faktor H dan
C3b Opsonin, aktifasi fagosit Phagocytosis
faktor I
Degranulasi sel basofil dan
Anaphylaxis
sel mast ; meningkatkan
(kurang kuat)
C4a permeabilitas vaskuler dan C3a-INA
kontraksi otot halus
 
C4-BP dan
C4b Opsonin Fagositosis
faktor I
Degranulasi sel basofil dan
sel mast ; meningkatkan
Anaphylaxis
permeabilitas vaskuler dan C3a-INA
(paling kuat)
kontraksi otot halus
C5a
Kemotaksis, aktifasi fagosit,
merangsang respiratory
Keradangan
burst, dan sitokin
keradangan
Kemotaksis Inflammation
Kerusakan Protein S
C5bC6C7
Melekat pada membran lain jaringan (vitronectin)

(http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/neutrophil.jpg)

Defisiensi genetik dapat terjadi terutama akibat defisiensi C3 yang bisa


berbahaya dan fatal akibatnya. Defisiensi komplemen dapat terjadi pada
penyakit imun komplek, misalnya pada SLE , dan pada infeksi akut atau
kronis bakterial, viral dan infeksi parasitik.

Hapten. Molekul kecil yang tidak bersifat imunogen tetapi dapat bereaksi
dengan produk respon imun yang spesifk. Hapten bersifat seperti antigen
tetapi tidak bersifat seperti imunogen.
130

Epitop. Epitop atau determinan antigenik adalah bagian dari antigen yang
bergabung (combine) dengan produk respon imun yang spesifik.
Antibodi. Protein yang bersifat spesifik yang diproduksi sebagai respon
terhadap imunogen dan yang bereaksi dengan antigen.

Tabel 14. Penyakit defisiensi komplemen (http://pathmicro.med.sc.edu)

JALUR
KOMPLEMEN PENYAKIT MEKANISME
(KOMPONEN)
 
Jalur Klasik
Produksi berlebihan C2b
Angioedema
   C1INH (prokinin)
heriditer
Opsonisasi komplek imun
memban- tunya tetap larut,
Predisposisi pada defisiensi beraki -bat
  C1, C2, C4
SLE meningkatnya pengendapan di
jaringan dan keradangan

 
Jalur Lektin
Kepekaan infeksi
Tidak mampu melaksanakan jalur
bakteri pada bayi
MBL lektin
atau imunosupresi

 
Jalur alternatif
Kepekaan terhadap
infeksi bakterial
Tidak terjadi opsonisasi bakteri
Faktor B atau D piogenik (pembentuk
nanah)

Tidak terjadi opsonisasi dan tidak


Kepekaan terhadap
mampu menggunakan membrane
  C3 infeksi bakterial
attack pathway

Kepekaan terhadap Tidak mampu merusak membran


 C5, C6, C7 C8,
infeksi Gram negatif luar bakteri Gram-negatif
dan C9
Kepekaan terhadap
Properdin (X- Tidak terjadi opsonisasi bakteri
meningitis
linked)
meningokokus
Tidak terkendalinya aktifasi C3
Defisiensi C3 dan
melalui jalur alternatif
 Faktor H atau I kepekaan terhadap
menyebabkab hilangnya C3.
infeksi bakteri
131

4.4. IMUNOGEN DAN ANTIGEN

Imunogen
Imunogen adalah bahan yang dapat merangsang terjadinya respon imun
yang spesifik, mempengaruhi imunogenitas dan sistem biologik hospes.

Pengaruh imunogen pada imunogenitas. Imunogenitas dipengaruhi oleh


berbagai faktor, antara lain faktor imunogennya sendiri. Berbagai karakter
dan sifat-sifat imunogen yang dapat mempengaruhi imunogenitas adalah:
 1.Pembedaan (foreigness). Dalam keadaan normal sistem imun
membedakan antara sistem imun sendiri (self) dan yang berasal dari
luar (non-self), misalnya bahwa hanya molekul asing yang bersifat
imunogenik.
 Ukuran. Makin besar ukuran molekul suatu substansi, makin tinggi sifat
imunogeniknya
 Komposisi kimiawi. Makin komplek komposisi kimiawi suatu bahan
makin imunogenik sifatnya.
 Bentuk fisik. Pada umumnya antigen berbentuk partikel lebih
imunogenik dibanding antigen yang berbentuk larutan dan antigen
yang mengalami denaturasi lebih imunogenik dibanding antigen alami.
 Degradasi. Antigen yang mudah difagositosis biasanya lebih
imunogenik. Hal ini disebabkan pada sebagian besar antigen agar
menimbulkan respon imun membutuhkan antigen yang sudah
difagositosis, sudah diproses dan diteruskan ke sel T helper oleh APC
(antigen presenting cell).
Pengaruh Imunogen pada sistem biologik. Terhadap sistem biologik,
imunogen dapat mempengaruhi faktor genetik dan umur hospes.
1. Faktor Genetik. Beberapa jenis bahan yang bersifat imunogenik
pada suatu spesies tetapi tidak imunogenik pada spesies yang lain.
Demikian juga halnya pada manusia, suatu bahan bersifat
imunogenik pada seorang
132

individu (responder) tetapi tidak imunogenik pada individu lainnya


(non responder). Suatu spesies atau indvidu dapat tidak
mempunyai gen petanda atau mempunyai gen petanda yang sudah
berubah terhadap reseptor untuk antigen pada sel B dan sel T atau
mereka tidak mempunyai gen yang dibutuhkan oleh APC untuk
meneruskan antigen ke sel T helper.
2. Umur. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua kurang
kemampuannya untuk memberikan respon imun terhadap paparan
imunogen.

Metoda pemberian Imunogen. Imunogenitas dipengaruhi oleh dosis


imunogen yang diberikan. Umumnya pemberian imunogen secara subkutan
memberikan respon imun yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian
secara intravenus atau intragastrik. Cara pemberian dapat juga mengubah
mekanisme respon yang terjadi. Pemberian adjuvan dapat meningkatkan
respon imun terhadap imunogen. Penggunaan adjuvan dapat menimbulkan
efek samping yang tidak dikehendaki, misalnya demam dan keradangan.

Komponen Imunogen. Komponen terbesar imunogen adalah protein, bisa


protein murni atau berupa glikoprotein atau lipoprotein. Umumya protein
merupakan imunogen yang baik. Selain itu pada imunogen terdapat
komponen polisakarida, baik polisakarida yang murni dan lipopolisakarida
yang merupakan imunogen yang baik. Dalam imunogen komponen asam
nukleat biasanya merupakan imunogen yang buruk. Meskipun demikian asam
nukleat dapat menjadi imunogenik jika membentuk komplek dengan protein
atau jika berbentuk beruntai tunggal (single stranded.). Pada umumnya
komponen lipid tidak bersifat imunogenk, meskipun mungkin dapat
merupakan hapten.

Antigen
Antigen adalah substansi yang bereaksi terhadap produk respon imun yang
spesifik.Terdapat dua tipe antigen, yaitu Antigen T-independen dan Antigen
T-dependen.
133

Antigen T-independen. Antigen T-independen adalah antigen yang secara


langsung merangsang sel B untuk memproduksi antibodi tanpa bantuan sel T.
Pada umumnya polisakarida adalah antigen T independen, yang respon yang
ditimbulkannya berbeda dengan respon antigen lainnya.
Antigen T-independen mempunyai karakter sebagai berikut:
 Strukturnya polimerik. Antigen-antigen mempunyai karakter berupa
determinan antigen yang sama yang terjadi berulang-ulang.
 Aktifasi poliklonal sel B. Banyak antigen yang dapat mengaktifkan klon
sel B yang spesifik untuk antigen lainnya (aktifasi poliklonal). Terdapat
dua tipe antigen T-independen, yaitu Tipe 1 yang aktifator poliklonal sel
B dan Tipe 2 yang tidak bersifat aktifator.
 Resisten terhadap degradasi. Antigen ini tahan terhadap degradasi
sehingga tetap dapat merangsang sistem imun dalam waktu yang
lama.

Antigen T-dependen. Antigen T-dependen hanya dapat merangsang


terbentuknya antibodi jika dibantu oleh sel T. Protein adalah antigen T-
dependen. Struktur antigen ini mempunyai beberapa turunan (kopi) dari
banyak determinan antigenik.

Konjugat pembawa hapten

Konjugat pembawa hapten (hapten-carrier conjugate) adalah molekul


imunogenik dimana hapten melekat secara kovalen. Molekul imunogenik ini
disebut karier. Karakter khas konjugat ini adalah bahwa ia mempunyai
determinan antigenik asal (native) yang berasal dari karier dan juga
determinan baru yang dibuat oleh hapten (haptenic determinant). Determinan
hapten terdiri dari hapten dan beberapa jenis residu yang berdekatan.
134

Determinan antigenik

Determinan antigenik selain dapat dikenali oleh sel B atau oleh sel T, tetapi
dapat juga dikenali oleh sistem imun yang non-spesifik.

Determinan yang dikenali oleh sel B. Determinan antigenik yang dikenali


oleh sel B dan antibodi yang disekresi oleh sel B dihasilkan melalui residu
sekuen primer pada polimer (linear determinant atau sequence determinant)
dan/atau oleh struktur molekul yang sekunder, tertier atau kuarterner
(conformational determinant).

Determinan antigen yang dikenali oleh sel B umumnya berukuran kecil dan
terdiri dari 4-8 residu (asam amino dan atau gula). Tempat melekat suatu
antibodi dapat digunakan oleh 4-8 residu determinan antigen. Meskipun
dalam teori setiap 4-8 residu dapat membentuk satu determinan antigenik
yang tersendiri, tetapi kenyataannya determinan antigenik untuk setiap
antigen lebih kecil jumlahnya.

Determinan yang dikenali oleh sel T. Determinan antigenik yang dikenali


oleh selT dibentuk melalui sekuen primer asam amino pada protein. Sel T
tidak dapat mengenali antigen polisakarida atau antigen asam nukleat.
Karena itu polisakarida biasanya adalah antigen T-independen dan protein
merupakan antigen T-dependen. Determinan tidak terletak pada permukaan
terpapar antigen karena pengenalan determinan oleh sel T hanya terhadap
antigen yang sudah mengalami degradasi proteolitik menjadi peptida yang
berukuran lebih kecil. Peptida bebas tidak dikenali oleh sel T sedangkan yang
dikenali adalah peptida yang sudah berikatan dengan molekul MHC (major
histocompatibility complex).

Determinan antigenik yang dikenali oleh sel T umumnya berukuran kecil dan
hanya terdiri dari 8-15 asam amino. Secara teori setiap 8-15 residu dapat
membentuk satu determinan antigenik, tetapi kenyataannya setiap antigen
hanya terdiri dari sejumlah lebih kecil determinan antigenik, yang terbatas
pada bagian antigen yang bisa melekat pada molekul MHC.
135

Superantigen. Pada waktu terjadi respon sistem imun terhadap antigen T-


dependent, hanya sebagian fraksi sel T dapat aktif mengenali antigen (respon
monoklonal/oligoklonal). Terdapat beberapa jenis antigen poliklon yang
mengaktifkan sebagian besar fraksi sel T. Antigen ini disebut superantigen.
Contoh superantigen adalah enterotoksin Staphylococcus (penyebab food
poisoning), toksin penyebab toksik Staphylococcus (penyebab toxic shock
syndrome), Staphylococcal exfoliating toxin (penyebab scalded skin
syndrome) dan eksotoksin pirogenik Staphylococcus (penyebab syok).
Superantigen juga dapat disebabkan oleh virus dan mikroorganisme lainnya.
Penyakit-penyakit yang terjadi akibat paparan superantigen antara lain
berupa hiperaktifasi sistem imun dan diikuti dilepaskannya sitokin yang aktif
oleh sel T yang menjadi aktif.

Diterminan yang dikenali oleh Sistem Imun Non Spesifik. Deteriman yang
dikenali oleh komponen sistem imun non spesoifik (innate) berbeda dari yang
dikenali oleh sistem imun spesifik (adaptif). Antibodi dan resptor sel B dan sel
T mengenali determinan dengan sangat spesifik, sehingga sistem imun
adaptif dapat mengenali dan bereaksi terhadap patogen tertentu. Sebaliknya
komponen sistem imun non spesifik mengenali banyak pola molekuler yang
ada pada patogen, dan bukan yang ada pada hospes, sehingga tidak
spesifik. Pola molekuler yang berbagai jenis yang dikenali oleh sistem imun
non spesifik ini disebut PAMPS (pathogen associated molecular patterns) dan
reseptor untuk PAMPS disebut PRR (pattern recoqnition receptor).

4.5. IMUNOGLOBULIN

Imunglobulin (Ig) adalah molekul glikoprotein yang diproduksi oleh sel plasma
sebagai respon terhadap imunogen dan berfungsi sebagai antibodi.
Imunoglobulin secara spesifik melekat pada satu atau lebih antigen yang
sesuai. Setiap imunoglobulin  akan melekat pada determinan antigenik yang
spesifik. Pelekatan antigen oleh antibodi adalah fungsi primer dari antibodi
dan
136

merupakan perlindungan bagi hospes. Valensi antibodi sesuai dengan jumlah


determinan antigenik yang dapat menjadi tempat melekat bagi masing-
masing molekul antibodi. Valensi dari semua antibodi paling sedikit adalah
dua.

Fungsi Imunoglobulin sebagai Efektor

Ikatan antara antibodi dan antigen seringkali tidak secara langsung


menyebabkan efek biologik, tetapi terjadi karena adanya fungsi efektor yang
dimiliki oleh antibodi. Imunoglobulin umumnya mempunyai kemampuan
untuk membawa fungsi efektor tertentu yang diperlukan oleh antibodi untuk
mengikat antigen. Tidak setiap imunoglobulin dapat menjadi perantara semua
fungsi efektor.

Fungsi-fungsi efektor imunoglobulin antara lain adalah:

 Fiksasi komplemen: menyebabkan terjadinya lisis sel-sel dan


dilepaskannya molekul yang aktif biologik.
 Mengikat berbagai tipe sel: sel fagositik, limfosit, trombosit, sel mast
dan basofil mempunyai reseptor pelekatan imunoglobulin. Terjadinya
ikatan ini dapat mengaktifkan sel-sel untuk melakukan fungsinya.
Beberapa imunoglobulin juga melekat pada reseptor yang terdapat
pada trofoblas plasenta, sehingga dapat terjadi transfer imunoglobulin
menembus plasenta. Hasilnya, terjadi transfer antibodi maternal yang
memberikan imunitas pada janin dan bayi.

Struktur Dasar Imunoglobulin

Imunoglobulin mempunyai berbagai struktur dasar, yaitu:

(a). Rantai berat dan ringan. Semua imunoglobulin mempunyai empat


struktur rantai sebagai unit dasar, yaitu berupa dua rantai ringan (light chain)
yang identik (23 kD) dan dua rantai berat (heavy chain) yang identik (50-70
kD).
137

(b). Ikatan Disulfida.Terdapat ikatan diantara rantai-rantai (inter-chain) dan di


dalam rantai (intra-chain) ikatan disulfida.

 Inter-chain disulfide bonds: rantai berat dan rantai ringan dan dua
rantai berat terikat bersama melalui inter-chain disulfide bonds dan
melalui interaksi non-covalent. Jumlah inter-chain disulfige bond
berbeda untuk setiap molekul imunoglobulin.
 Intra-chain disulfide bonds: di dalam masing-masing rantai
polipeptida juga terdapat intra-chain disulfide bonds.

(c). Region V (variabel) dan region C (constant) . Asam amino terdiri dari
deretan rantai berat dan rantai ringan yang pada masing-masing rantai terdiri
dua region, yaitu rantai ringan (light chain) dan rantai berat (heavy chain).
Rantai ringan terdiri dari VL (110 asam amino) dan CL (110 asam amino)
sedangkan rantai berat terdiri dari V H (110 asam amino) dan C H (330-440
asam amino).

(d). Hinge Region. Region ini merupakan tangan molekul antibodi yang
berbentuk huruf Y yang memberikan fleksibilitas molekul di daerah tersebut.

(e). Domain. Pada gambaran tiga dimensi dari molekul imunoglobulin dapat
ditunjukkan bahwa molekul tidak lurus bentuknya, terlipat menjadi bagian atau
region yang bundar (globular region) yang masing-masing mengandung suatu
ikatan intra-chain disulfide. Region ini disebut domain. Terdapat domain pada
rantai ringan (light chain domain) yaitu VL dan CL sedangkan pada rantai berat
(heavy chain domain) terdapat VH, CH1 sampai CH4.

(f). Oligosakarida. Pada sebagian besar imunoglobulin, karbohidrat melekat


pada domain CH2 , meskipun pada beberapa keadaan dapat juga melekat di
tempat lain.

Struktur region variabel. Region variabel mempunyai struktur region


hipervariabel, region penentu komplemen dan framework region (region
kerangka kerja).
138

 (1). Region Hipervariabel dan Region Penentu komplemen. Deretan


(sekuen) asam amino pada region variabel dari imunoglobulin menunjukkan
adanya tiga region

hipervariabel (hypervariable region- HVR) atau region penentu komplemen


(complementarity determining region-CDR). Antibodi yang berbeda karakter
khasnya (misalnya berbeda tempat pelekatannya) mempunyai CDR yang
berbeda, sedangkan antibodi yang sama sifat khasnya mempunyai CDR yang
identik. CDR didapatkan baik pada rantai H maupun rantai L.

(2). Framework region. Region kerangka kerja (framework region) adalah


region yang terletak antara region-region CDR yang terdapat pada region
variabel. Berdasar pada persamaan dan perbedaan framework region, region
variabel dari imunoglobulin berat maupun ringan dapat dikelompokkan
menjadi grup dan subgrup, yang menunjukkan produk gen oleh region
variabel yang berbeda.

Fragmen Imunoglobulin

Fragmen imunoglobulin yang dihasilkan melalui digesti proteolitik dapat


sangat berguna untuk menjelaskan hubungan antara struktur dan fungsi
imunoglobulin.

1. Fragmen Fab. Digesti papain akan memecah molekul iimunoglobulin pada


hinge region dan menghasilkan pembentukan dua fragmen identik yang
mengandung rantai ringan dan domain VH dan CH1 dari rantai berat.
Fragmen Fab mengandung tempat pelekatan antigen yang terdapat pada
antibodi. Masing-masing fragmen adalah monovalen sedangkan molekul
aslinya adalah divalen. Tempat pelekatan pada antibodi terbentuk oleh V H
maupun VL. Kombinasi yang berbeda dari V H dan VL memungkinkan antibodi
dapat mengikat determinan antigenik yang berbeda.

2. Fragmen Fc. Digesti dengan papain juga menghasilkan suatu fragmen


yang mengandung dua rantai berat yang masing-masing mengandung
139

domain CH2 dan CH3. Fc disebut demikian karena fragmen ini mudah
mengkristal.

Fungsi efektor imunoglobulin dilakukan dengan perantara bagian molekul ini.


Fungsi yang berbeda akan dimediasi oleh domain yang berbeda pada
fragmen ini. Dalam keadaan normal kemampuan antibodi untuk membawa
keluar suatu fungsi efektor membutuhkan adanya pelekatan antigen
sebelumnya.

3. Fragmen F(ab’)2. Pemberian pepsin (digesti pepsin) pada imunoglobuln


menyebabkan terjadinya pemecahan rantai berat yang menghasilkan suatu
fragmen yang mengandung dua antigen binding site. Fragmen ini disebut
F(ab’)2 karena divalen. Fc region molekul dicerna menjadi peptida-peptida
kecil oleh pepsin. F(ab’)2 yang mengikat antigen tetapi tidak menjadi
perantara fungsi efektor antibodi.

Gambar 64. Segmen immunoglobulin, pemutusan ikatan dengan pepsin.


(http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/IgStruct2000.htm)
140

Heterogeneitas Imunoglobulin

Immunoglobulin merupakan populasi molekul yang dalam keadaan normal


sangat heterogen, karena komposisi Ig terdiri dari kelas dan subkelas yang
berbeda, dimana masing-masing mempunyai tipe dan subtype rantai ringan
yang berbeda pula. Selain itu molekul immunoglobulin dapat mempunyai
perbedaan tempat pelekatan antigen pada region V H dan VL.

Gambar 65. Fragmen Imunoglobulin: hubungan struktur dan fungsi


(http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/IgStruct2000.htm)
 

Struktur dan sifat imunoglobulin

Terdapat lima kelas immunoglobulin berdasar pada perbedaan sekuen asam


amino pada constant region rantai berat. Perbedaan ini dapat dideteksi
dengan melakukan pemeriksaan serologi menggunakan antibodi. Lima kelas
imunoglobulin tersebut adalah IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE.

1. IgG; rantai berat Gama (γ) dengan subkelas IgG1, IgG2,IgG3 dan
IgG4.
2. IgM: rantai berat Mu (μ)
141

3. IgA: rantai berat Alpha (α) dengan subkelas IgA1 dan IgA2.
4. IgD: rantai berat Delta (δ)

5. IgE: rantai berat Epsilon.(ε).

Tipe imunglobulin diklasifikasi berdasar perbedaan sekuen asam amino tipe


rantai ringan yang dimilikinya. Perbedaan tipe ini juga dapat dideteksi dengan
pemeriksaan serologi, yaitu tipe Kappa rantai ringan dan Lambda rantai
ringan. Berdasar pada perbedaan sekuen asam amino pada constant region
rantai ringan, imunoglobulin dibagi menjadi subtipe-subtipe Lambda (Lambda
1, Lambda 2, Lambda 3, dan Lambda 4.

1. Imunoglobulin G (IgG)

Struktur subkelas semua IgG adalah monomer (7S imunoglobulin);


perbedaan subkelas terdapat pada jumlah ikatan disulfida dan panjang dari
hinge region.

Gambar 66. Struktur Imunoglobulin


(http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/IgStruct2000.htm)

Sifat-sifat IgG. Berdasar pada tempat ditemukannya, fungsinya, kemampuan


menembus plasenta, ikatannya dengan komplemen dan kemampuan
melekatnya pada berbagai sel, IgG memiliki karakter sebagai berikut:
142

 IgG paling mudah berubah-ubah karena ia mampu membawa semua


fungsi molekul imunoglobulin.
 IgG adalah imunoglobulin yang terbanyak jumlahnya di serum (75% Ig
di dalam serum adalah IgG).

 IgG merupakan imunoglobulin yang terbanyak berada di rongga ekstra


vaskuler.

 IgG merupakan satu-satunya kelas Imunoglobulin yang dapat


menembus plasenta. Subkelas IgG2 sukar menembus plasenta.

 IgG dapat mengikat komplemen, kecuali IgG4 tidak mengikat


komplemen.

 Pelekatan dengan sel. makrofag, monosit, PMN dan beberapa jenis


limfosit yang mempunyai reseptor Fc untuk region Fc dari IgG.
Subkelas IgG2 dan IgG4 tidak dapat melekat pada reseptor Fc. Akibat
terjadinya pelekatan pada reseptor Fc PMN, monosit dan makrofag, sel
dapat memasuki antigen dengan lebih baik. IgG merupakan opsonin
yaitu substansi yang dapat meningkatkan fagositosis. Pelekatan IgG
pada reseptor sel tipe lainnya akan dapat mengaktifkan fungsi lainnya.

2. Imunoglobulin M (IgM)

Struktur IgM umumnya merupakan pentamer (imunoglobulin 19S), tetapi ia


dapat dijumpai sebagai suatu monomer. Dalam bentuk pentamer, semua
rantai berat (heavy chain) adalah identik dan semua rantai ringan (light chain)
juga identik, sehingga secara teoritis valensinya adalah 10. IgM mempunyai
satu domain tambahan pada rantai μ (C H4) dan ia mempunyai ikatan kovalen
protein lainnya melalui suatu ikatan S-S yang disebut rantai J. Rantai ini
berfungsi dalam polimerisasi molekul menjadi pentamer.
143

Gambar 67. Struktur pentamer IgM serum (http:// faculty.ccbcmd.edu)

Sifat-sifat IgM . Imunoglobulin M mempunyai karakter sebagai berikut:

 IgM merupakan imunoglobulin ketiga yang terbanyak di dalam serum.


 IgM adalah imunoglobulin yang dibuat pertama kalinya oleh janin dan
yang pertama kali digunakan oleh sel B muda jika ia dirangsang oleh
antigen.

 Karena struktur pentameriknya, IgM merupakan komplemen pelekat


yang baik (complement fixing), sehingga merupakan antibodi yang
sangat efisien dalam menyebabkan lisis pada mikroorganisme.

 IgM juga merupakan imunoglobulin penyebab aglutinasi yang baik


terhadap mikroorganisme sehingga gumpalan mikroorganisme mudah
dikeluarkan dari dalam badan.

 IgM melekat pada sel melalui reseptor Fc.


144

 IgM adalah imunoglobulin permukaan sel B dalam bentuk monomer


yang tidak mempunyai rantai J tetapi mempunyai 20 asam amino
tambahan pada terminal C untuk melekatkan diri pada membran. IgM
permukaan sel berfungsi sebagai reseptor antigen pada sel B.

3. Imunoglobulin A (IgA)

Struktur IgA adalah monomer, tetapi di dalam sekresi strukturnya adalah


dimer (dalam bentuk dimer, bergabung dengan rantai J ). Di dalam sekresi
terdapat protein lain yang bergabung dengannya, yaitu secretory piece (T
piece). IgA kadang-kadang disebut imunoglobulin 11S. Jika IgA dibentuk di
dalam sel plasma, T piece dibentuk di sel epitel dan selama melewati T piece
bergabung dengan IgA. T piece membantu IgA dalam pengangkutannya
melewati mukosa dan melindunginya dari degradasi selama berada di dalam
sekresi.

Sifat-sifat IgA

 IgA merupakan imunoglobulin nomor dua yang paling sering ditemukan


di dalam serum..
 IgA adalah kelas imunoglobulin yang terutama didapatkan di dalam
sekresi (air mata, saliva, kolostrum, mukus), sehingga IgA penting
dalam imunitas lokal atau mukosal.

 Dalam keadaan normal IgA tidak melekat pada komplemen, kecuali


jika sudah mengalami agregasi.

 IgA dapat berikatan dengan sel PMN dan beberapa jenis sel limfosit.

4. Imunoglobulin D (IgD)

Struktur IgD hanya terdapat dalam bentuk monomer.

Sifat-sifat IgD
145

 Di dalam serum IgD hanyalah sedikit ditemukan dan fungsinya belum


diketahui.
 IgD umumnya ditemukan di permukaan sel B dan berfungsi sebagai
reseptor untuk antigen. Pada permukaan sel B IgD mempunyai asam
amino tambahan pada ujung terminal-C untuk dapat melekat pada
membran. Juga terdapat rantai Ig-alpha dan rantai Ig-beta.

 IgD tidak mengikat komplemen.

5. Imunoglobulin E (IgE)

Struktur IgE adalah sebagai monomer dan mempunyai domain tambahan


pada constant region.

Sifat-sifat IgE

 IgE paling sedikit ditemukan di dalam serum karena terikat erat pada
reseptor Fc pada basofil dan sel mast , bahkan sebelum terjadi
interaksi dengan antigen.
 Berperan pada reaksi alergi, karena IgE berikatan dengan basofil dan
sel mast. Pelekatan alergen pada IgE pada sel menyebabkan
dilepasnya berbagai mediator farmakologik yang menyebabkan
timbulnya gejala alergi.

 IgE juga berperan pada infeksi parasit cacing. Pada penyakit cacing,
kadar IgE serum meningkat, sehingga dapat digunakan untuk
membantu diagnosis infeksi parasitik. Eosinofil; mempunyai reseptor
Fc untuk IgE dan ikatan eosinofil dengan IgE yang meliputi cacing
dapat membunuh parasit cacing.

 IgE tidak melekat pada komplemen.

Implikasi klinik imunoglobulin

1. Imunoglobulin G (IgG)

IgG meningkat kadarnya pada:


146

 Infeksi granulomatosa kronis


 Semua jenis infeksi

 Hiperimunisasi

 Penyakit hati

 Malnutrisi berat

 Disproteinemia

 Penyakit yang berkaitan dengan granuloma hipersensitif, kelainan kulit,


dan mieloma IgG.

 Artritis rematoid.

 IgG menurun kadarnya pada:

 Agamaglobulinemia

 Aplasia limfoid

 Defisiensi IgA

 Mieloma IgA

 Proteinemia Bence Jones

 Leukemia limfoblastik kronis

2. Imunoglobulin M (IgM)

IgM meningkat kadarnya (orang dewasa) pada:

 Makroglobulinemia Waldenstrom’s
 Tripanosomiasis

 Aktinomikosis
147

 Bartonelosis

 Malaria

 Mononukleosis infeksiosa

 Lupus eritematosus

 Artritis rematoid

 Disgamaglobulinemia

Catatan. Jika pada bayi yang baru lahir titer IgM diatas 20 mg/dl, hal ini
menunjukkan adanya rangsangan sistem imun di dalam rahim (in utero) dan/atau
rangsangan oleh virus rubella, sitomegalovirus, sifilis atau toksoplasmosis.

2. IgM menurun kadarnya pada:

 Agamaglobulinemia
 Kelainan limfoproliferatif

 Aplasia limfoid

 Mieloma IgG dan IgA

 Disgamaglobulinemia

 Leukemia limfoblastik kronis.

3. Imunoglobulin A (IgA)

IgA meningkat kadarnya pada:

 Sindrom Wiskott-Aldrich
 Sirosis hati

 Penyakit autoimun, misalnya artritis rematoid dan lupus eritematosus


148

 Infeksi kronis yang tidak disebabkan oleh defisiensi imunologik

 Mieloma IgA.

IgA menurun kadarnya pada:

 Ataksia telangiektasi heriditer


 Defisiensi imunologik (misalnya disgamaglobulinemia, agamaglobulinemia,
dan hipogamaglobulinemia).

 Sindrom malabsorpsi

 Aplasia limfoid

 Mieloma IgG

 Leukemia limfoblastik akut dan kronis

4. Imunoglobulin D (IgD)

IgD meningkat kadarnya pada:

 Infeksi kronis
 Mieloma IgD

5. Imunoglobulin E (IgE)

IgE meningkat kadarnya pada:

 Penyakit kulit atopik, misalnya eksim


 Hay fever

 Asma

 Syok anafilaktik

 Mieloma IgE

IgE menurun kadarnya pada:

 Agamaglobulinemia kongenital
149

 Hipogamaglobulinemia karena gangguan metabolisme atau sintesis


imunoglobulin

Struktur dan fungsi Imunoglobulin

Pada struktur imunoglobulin meliputi antara lain isotip, idiotip, dan alotip.

Isotip

Isotip (isotype) adalah determinan antigenik yang memberi ciri karakter kelas
dan subkelas rantai berat (heavy chain) dan tipe dan subtipe dari rantai ringan
(light chain). Isotip didapatkan pada semua individu spesies yang normal.
Kata Iso berarti sama pada semua anggota spesies. Pada beberapa individu
yang mengalami imunodefisiensi dapat tidak mempunyai satu atau lebih dari
satu isotip .

Lokasi isotip. Isotip rantai berat didapatkan pada porsi Fc (Fc portion) dari
region konstan molekul, sedangkan isotip rantai ringan didapatkan pada
region konstan. Antibodi terhadap isotip digunakan untuk menentukan secara
kuantitatif kelas dan subkelas imunoglobulin pada berbagai macam penyakit,
menentukan karakteristik leukemia sel B dan untuk menetapkan diagnosis
penyakit-penyakit imunodefisiensi.

Jika IgM manusia disuntikkan pada rabbit, maka hewan ini akan mengenali
determinan antigenik yang terdapat pada rantai berat dan rantai ringan dan
kemudian membentuk antibodi-antibodi terhadap mereka. Jika antiserum
tersebut diserapkan dengan IgG manusia, antibodi pada determinan rantai
ringan dan setiap determinan yang terdapat pada IgM dan IgG manusia

akan dihilangkan dan antiserum yang tinggal hanya bereaksi dengan IgM
manusia. Jadi, antibodi hanya akan bereaksi dengan region konstan
(constant region) dari rantai gamma (γ). Antibodi-antibodi pada region
variabel jarang ditemukan karena jumlah masing-masing region variabel yang
terdapat pada IgM sangat sedikit sehingga imunisasi yang efektif tidak terjadi.
Determinan yang dikenali oleh antibodi tertentu disebut anti-isotypic
150

antibodies. Setiap kelas, subkelas, tipe dan subtipe imunoglobulin memiliki ciri
khas masing-masing determinan isotipik

Idiotip

Idiotip merupakan kombinasi determinan antigenik yang terdapat pada


berbagai regio yang tidak sama dari molekul imunoglobulin atau antibodi
individu spesies yang mengadakan respon dengan antigen-antigen yang
berbeda. Karena itu idiotip adalah varian yang terbentuk karena adanya sifat
yang sangat heterogen dari imunoglobulin atau reseptor sel T (T-cell
receptor) pada regio V.

Gambar 68. Idiotip imunoglobulin ( http://1.bp.blogspot.com)

Lokasi idiotip. Idiotip terletak pada fragmen Fab dari molekul imunoglobulin,
yaitu pada atau di dekat regio hipervariabel dari rantai berat dan rantai ringan.

Manfaat idiotip. Peran idiotip pada imunoglobulin adalah bertindak sebagai:

 Marker regio V: idiotip berguna untuk menandai regio variabel.


 .Mengatur respon imun: pengaturan respon imun dilakukan dengan
antibodi anti-Id yang ditujukan terhadap idiotip (Id).
151

 Vaksin anti-idiotip. Antibodi anti-idiotip merangsang sel B untuk


membentuk antibodi sehingga dapat digunakan untuk membuat vaksin,
terutama untuk memberikan imunisasi terhadap patogen yang sangat
berbahaya yang tidak aman jika digunakan sebagai vaksin.

 Mengobati tumor sel B. Antibodi anti-idiotip yang bekerja terhadap sel


B yang ganas (maligna) dapat digunakan untuk membunuh sel
tersebut.

Alotip

Alotip (Allotype) adalah determinan antigenik yang khas karena bentuk alelik
dari gen imunoglobulin. Alotip menunjukkan sedikit perbedaan pada sekuen
asam amino dari rantai berat atau rantai ringan pada individu-individu yang
berbeda. Meskipun hanya satu asam amino berbeda, hal ini dapat
meningkatkan determinan alotipik, meskipun pada kenyataannya yang terjadi
substitusi dengan beberapa asam amino Pada manusia, perbedaan alotipik
terjadi pada regio konstan dari rantai berat dan rantai ringan. Perbedaan
alotipik dapat diketahui dengan menggunakan antibodi secara langsung
terhadap determinan alotipik. Antibodi dapat dibuat dengan menyuntikkan
imunoglobulin dari satu orang ke orang lain. Antisera anti-alotip mudah
diperoleh dari perempuan yang sudah beberapa kali hamil atau dari orang
yang telah menerima transfusi darah atau dari penderita dengan artritis
rematoid. Alotip individual ditemukan pada angota individual suatu
spesies;tidak semua alotip ditemukan pada semua anggota spesies. Prefix
Allo berarti berbeda pada individu suatu spesies.
152

Gambar 69. Perbedaan alotipik pada regio konstan rantai berat dan rantai
ringan imunoglobulin (http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/IgTypes2000.htm)

Alotip imunoglobulin. Pemberian nama (nomenklatur) berdasarkan pada


lokasi dari rantai berat atau ringan. Misalnya, alotip pada suatu Gamma 1
rantai berat diberi nama G1m(3). Alotip pada Kappa rantai ringan diberi nama
Km(1).

Manfaat alotip. Alotip imunoglobuln dapat digunakan untuk berbagai


keperluan antara lain:

 Memantau cangkok sumsum tulang. Bahan cangkok sumsum tulang


yang dihasilkan oleh resipien dapat digunakan untuk memantau
cangkokan.
 Kedokteran forensik. Alotip Km dan Gm dapat dideteksi di dalam darah
dan semen dengan melakukan pewarnaan dapat dimanfaatkan pada
kedokteran forensik.

 Uji paternitas. Alotip imunoglobulin merupakan salah satu cara untuk


menentukan paternitas dan penyelesaian kasus hukum lainnya.

4.6. REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI

Tempat kombinasi suatu antibodi (antibody combining site) terletak pada


bagian Fab molekul dan terbentuk dari regio hipervariabel dari rantai berat
dan rantai ringan. Konsep reaksi antigen-antibodi merupakan anak kunci,
yaitu antigen, yang

melekat pada kunci (yaitu antibodi). Pelekatan antigen pada tempat


kombinasi antibodi secara alami bersifat non-konvalensi, seperti halnya ikatan
hidrogen, ikatan elektrostatik, gaya Van der Waals dan ikatan hidrofobik.
Ikatan yang multipel antara antigen dan antibodi menyebabkan bahwa
antigen akan melekat erat pada antibodi. Meskipun demikian, karena reaksi
antigen-antibodi terjadi melalui ikatan non-kovalen, secara alami ikatan ikatan
tersebut dapat mengalami perubahan (reversibel).
153

Afinitas dan aviditas

Afinitas (affinity) antibodi adalah kekuatan reaksi antara satu determinan


antigenik dan satu tempat kombinasi antibodi, yang merupakan hasil akhir
dari kekuatan menarik dan menolak antara determinan antigenik dan tempat
kombinasi antibodi. Sebagian besar antibodi mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap antigen mereka. Makin tinggi afinitas antibodi terhadap antigen,
interaksi akan makin stabil.

Aviditas (avidity) adalah ukuran dari seluruh kekuatan ikatan suatu antigen
dengan banyak determinan antigenik dan antibodi multivalen. Aviditas
dipengaruhi oleh baik valensi antibodi maupun valensi antigen. Reaksi antara
antigen multivalen dan antibodi multivalen lebih stabil.

Spesifitas

Spesifitas (specificity) adalah kemampuan suatu tempat kombinasi antibodi


individual untuk bereaksi dengan hanya satu determinan antigenik atau
kemampuan suatu populasi molekul-molekul antibodi untuk bereaksi dengan
hanya satu antigen. Pada umumnya terdapat derajat spesifisitas yang tinggi
pada reaksi antigen-antibodi.

Antibodi dapat mengenali perbedaan-perbedaan yang terdapat pada:

 Struktur primer suatu antigen


 Bentuk isomerik antigen

 Struktur sekunder dan tertier antigen.

Reaktifiitas silang

Reaktivitas silang (cross reactivity) adalah kemampuan tempat kombinasi


antibodi individual untuk bereaksi dengan lebih dari satu determinan antigenik
atau kemampuan suatu populasi molekul antibodi untuk bereaksi dengan
lebih dari satu antigen. Reaksi silang terjadi karena antigen yang
mengadakan reaksi silang bersama-sama suatu epitop yang umum dengan
154

antigen imun atau karena ia mempunyai epitop yang strukturnya mirip dengan
salah satu antigen imun (multispecificity).

Uji Reaksi Antigen-Antibodi

Untuk mengetahui terjadinya reaksi antigen-antibodi adalah dengan secara


langsung atau tidak langsung mendeteksi adanya komplek yang terbentuk
antara antigen dan antibodi.

Uji reaksi antigen-antibodi dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut, yaitu:

 Afinitas antibodi terhadap antigen (makin tinggi afinitas antibodi


terhadap antigen, interaksi makin stabil).
 Aviditas pada reaksi antigen multivalen dan antibodi multivalen yang
lebih stabil.

 Rasio antara konsentrasi antigen dan konsentrasi antibodi yang


sesuai dengan ukuran komplek Ag-Ab yang terbentuk.

 Bentuk fisik antigen. Jika antigen berbentuk partikel akan terjadi


aglutinasi antigen oleh antibodi, dan jika antigen berbentuk larutan
yang terjadi adalah presipitasi antigen sesudah terbentuk sejumlah
besar komplek antigen-antibodi yang tidakl larut.

Uji Aglutinasi

(a). Aglutinasi dan Hemaglutinasi. Reaksi antibodi dengan antigen


berbentuk partikel menimbulkan penggumpalan atau aglutinasi. Antibodi
penyebab aglutinasi disebut aglutinin, sedangkan jka antigen merupakan
eritrosit, penggumpalan yang terjadi disebut hemaglutinasi. Semua

jenis antibodi secara teoritis dapat menggumpalkan partikel antigen, tetapi


IgM merupakan antibodi aglutinin yang baik karena mempunyai valensi yang
tinggi.
155

1. Uji aglutinasi kualitatif. Uji aglutinasi kualitatif digunakan untuk


mengetahui adanya antigen atau antibodi. Dengan mencampurkan antibodi
dengan partikel antigen akan terjadi aglutinasi partikel antigen.

Sebagai contoh, sel darah merah penderita yang dicampur dengan antibodi
terhadap antigen kelompok darah, dapat menentukan tipe darah. Jika serum
penderita yang dicampur dengan sel darah merah yang sudah diketahui
tipenya dapat ditentukan jenis antibodi yang ada di dalam serum penderita.

2. Uji aglutinasi kuantitatif. Uji kuantitatif aglutinasi dilakukan untuk


mengukur jumlah antibodi yang dapat menyebabkan aglutinasi antigen. Untuk
uji ini, berbagai pengenceran sampel dibuat untuk menguji antibodi, kemudian
jumlah tertentu eritrosit atau bakteri atau partikel antigen ditambahkan.
Pengenceran maksimum yang dapat menyebabkan aglutinasi dapat dilihat
ditentukan sebagai titer.

Uji aglutinasi digunakan untuk:

 Menentukan tipe darah atau antibodi pada antigen grup darah.


 Untuk mengetahui adanya infeksi bakteri (misalnya meningkatnya titer
antibodi suatu bakteri tertentu).

(b). Hemaglutinasi pasif. Uji aglutinasi hanya dapat dilakukan pada antigen
berbentuk partikel. Untuk antigen terlarut, uji aglutinasi untuk antibodi
dilakukan dengan menggunakan hemaglutinasi pasif dengan memakai sel
darah merah yang sudah dilapisi (coating) dengan antigen terlarut ( misalnya
antigen virus, polisakarida atau hapten).

(c). Uji Coomb (Uji Antiglobulin). Uji Coomb dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung.

1. Uji Coomb langsung. Tidak selalu antibodi yang melekat pada eritrosit
menimbulkan aglutinasi. Antibodi yang tidak menimbulkan aglutinasi pada sel
darah merah ini disebut antibodi tidak lengkap (incomplete antibodies). Untuk
mendeteksi adanya non-agglutinating antibodies ini dapat ditambahkan
antibodi kedua secara langsung pada antibodi yang melapisi eritrosit. Anti-
156

imunoglobulin ini sekarang dapat bereaksi dengan eritrosit dan menimbulkan


aglutinasi.

Gambar 70. Uji Coomb langsung (Gene Mayer,2009)

3. Uji Coomb tidak langsung. Dengan uji Coomb tak langsung dapat
diketahui adanya antibodi terhadap sel eritrosit dan untuk
mendeteksi adanya non-aggglutinating antibodies pada sampel. Uji
ini dilakukan dengan melakukan inkubasi atas sel darah merah dan
serum, membuang keluar antibodi yang tidak melekat lalu
menambahkan reagen anti-imunoglobulin kedua untuk bereaksi
dengan sel.

Gambar 71. Uji Coomb tidak langsung


(http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/ab-ag-rx.htm)

Penggunaan uji antiglobuln adalah untuk mendeteksi antibodi faktor anti-


rhesus (Rh), yang biasanya tidak menyebabkan aglutinasi sel darah merah.
Sel darah merah bayi dengan Rh+ yang dilahirkan oleh ibu Rh, yang
157

mempunyai antibodi anti-Rh, mungkin terlapisi antibodi ini. Untuk


mendeteksinya dilakukan uji Coomb langsung. Untuk mengetahui apakah
seorang ibu mempunyai antibodi anti-Rh di dalam serumnya digunakan uji
Coomb tidak langsung.

(d).Hemaglutinasi Inhibisi. Untuk mengukur antigen terlarut dapat


digunakan uji hemaglutinasi inhibisi, yang mengukur kemampuan antigen
terlarut menghambat proses aglutinasi sel darah merah yang sudah dilapisi
antigen oleh antibodi. Pada uji ini sejumlah tertentu antibodi terhadap antigen
yang ditanyakan dicampur dengan sejumlah tertentu sel darah merah yang
sudah dilapisi antigen. Jika sampel mengandung antigen, antigen terlarut
akan bersaing dengan antigen yang melapisi sel darah merah untuk
melekatkan diri pada antibodi, karena itu menghambat aglutinasi sel darah
merah.

Gambar 72. Uji hemaglutinasi inhibisi


(http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/ab-ag-rx.htm)

(e). Uji  Presipitin . Pada uji presipitin ini, dilakukan pencampuran larutan
antigen multivalen dan antibodi pada proporsi yang berbeda, sehingga
menyebabkan terjadinya pengendapan komplek antigen-antibodi dengan
berat molekul yang lebih tinggi,

1. Imunodifusi Radial (Mancini). Antibodi dituangkan pada gel agar.


Berbagai pengenceran antigen ditempatkan pada lubang-lubang yang dibuat
pada agar. Antigen yang berdifusi ke dalam agar bereaksi dengan antibodi
dan membentuk cincin presipitasi.
158

2. Imunoelektroforesis. Uji ini digunakan untuk melakukan analisis kualitatif


campuran antigen misalnya komponen serum penderita. Protein yang sudah
dipisahkan dengan elektroforesis dapat dideteksi dengan menambahkan
antibodi sehingga terbentuk presipitat yang tampak pada gel. Uji ini dapat
digunakan untuk menilai kemurnian suatu protein serum.

3. Countercurrent electrophoresis. Uji ini hanya dapat dilakukan jika


antigen dan antibodi mempunyai komponen listrik yang berlawanan.

(f). Radioimmunoassay (RIA). Esai yang berdasar pada pengukuran


radioaktifitas pada komplek imun. Label radioaktif (isotop) dapat diberikan
pada antigen atau pada antibodi, dan deteksi dilakukan dengan
menggunakan ligan radioaktif.

Gambar 73. Radiommunoassay (RIA) (http://chemistry. Montana.edu )

(g). Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Dasar esai ELISA


adalah pengukuran reaksi enzimatik terhadap komplek imun. Enzim dapat
terikat pada antigen atau antibodi. Pada esai ini digunakan suatu ligan yang
berkonjugasi pada suatu enzim yang dapat mengubah warna substrat.
159

Tipe-tipe metoda ELISA: direct ELISA, indirect ELISA, Sandwich ELISA dan
Competitive ELISA.

ELISA Langsung (Direct ELISA). Antigen diimobilisasi dan antibodi


primer yang berkonjugasi dengan enzim digunakan untuk mendeteksi
atau mengukur konsentrasi antigen.

Gambar 74. ELISA Langsung


(http://www.abnova.com/support/resources/ELISA.asp)

ELISA Tak langsung (Indirect ELISA). Antibodi primer tidak dilabel


tetapi deteksi dilakukan dengan antibodi sekunder yang berkonjugasi
dengan enzim yang mengenali antibodi primer.

Gambar 75. ELISA Tak langsung


(http://www.abnova.com/support/resources/ELISA.asp)

ELISA Sandwich (Sandwich ELISA). Antigen yang akan diukur


terdapat di antara lapisan antibodi penangkap (capture antibodies) dan
lapisan antibodi yang terdeteksi (detection antibodies). Kedua jenis
antibodi yang dipilih tidak boleh mengalami reaksi silang atau bersaing
menempel pada tempat pelekatan.
160

Gambar 76. ELISA Sandwich


(http://www.abnova.com/support/resources/ELISA.asp)

1. ELISA Kompetitif (Competitive ELISA). Antigen yang dicari pada


sample dan antigen murni yang mengalami imobilisasi bersaing
melekat pada antibodi penangkap (capture antibody). Jika terjadi
penurunan sinyal jika dibandingkan dengan sumur uji yang berisi
hanya antigen murni, hal ini menunjukkan adanya antigen pada
sampel.

Gambar 77. ELISA Kompetitif


(http://www.abnova.com/support/resources/ELISA.asp)

Untuk memisahkan komplek imun dari komponen lainnya, dapat dilakukan


dengan cara presipitasi, penambahan antibodi anti-imunoglobulin atau
imobilisasi antibodi.

 Presipitasi amonium sulfat. Amonium sulfat (konsentrasi akhir 33-


50%) dapat mengendapkan imunoglobulin dan tidak antigen bebas.
Cara ini disebut Teknik Farr.
161

 Penambahan antibodi anti-imunoglobulin. Penambahan antibodi


kedua langsung pada antibodi pertama dapat mengendapkan komplek
imun sehingga memisahkan komplek imun dari antigen bebas.

 Imobilisasi antibodi. Antibodi dapat diimobilisasi ke permukaan


butiran plastik atau dilekatkan pada permukaan pelat plastik sehingga
mudah dipisahkan dari komponen lain dengan mencuci butiran atau
pelat platik. Metoda ini disebut Solid phase RIA atau ELISA sering
digunakan untuk melakukan uji kuantitatif protein serum, hormon, dan
metabolit obat.

Gambar 78. Imobilisasi Antibodi


(http://tneraj.blogspot.com/2008/-/precipitation-tests.html)

(h). Pemeriksaan antigen Sel

1. Imunofluoresensi . Teknik dimana suatu antibodi berlabel dengan molekul


berfluoresen (fluoresein atau rhodamin) digunakan untuk mendeteksi adanya
antigen di dalam atau pada sel atau jaringan dengan terjadinya fluoresensi
yang dikeluarkan oleh ikatan antibodi.
162

2. Imunfluoresensi langsung . Pada metoda langsung sel diinkubasi dengan


antibodi yang langsung dikonjugasi dengan fluorochrome. Metoda ini cepat
dan mudah menggunakan beberapa jenis antibodi untuk dilabel dengan
fluoochrome yang berbeda. Namun cara ini mahal dan kurang sensitif
dibanding cara tidak langsung..

3. Imunofluoresensi tak langsung (indirect) . Pada metoda tak langsung,


sel diinkubasikan dengan antibodi primer yang tak berkonjugasi, misalnya
antibodi monoklon mencit anti human, sesudah itu sel diberi pewarnaan
dengan antibodi sekunder, yang dikonjugasi dengan fluorochrome, misalnya
FITC-goat anti mouse antibody. . Imunofluoresensi tak langsung lebih sensitif
daripada yang langsung karena adanya amplifikasi sinyal.

Gambar 79. Metoda imunofluoresensi langsung dan tidak langsung.


(Sumber: Flow cytometri chapter 5: flowbook.denovosoftware.com/flow-book)

4. Flow cytometry. Metoda ini digunakan untuk identifikasi dan menghitung


jumlah sel yang menghasilkan antigen tertentu. Sel dalam suspensi diberi
label dengan tanda fluoresensi secara imunofluorsesensi langsung atau tidak
langsung. Kemudian sel-sel dianalisa pada flow cytometer.

5. Uji Fiksasi Komplemen. Komplek antigen-antibodi dapat diukur dengan


mengetahui kemampuan komplek antigen-antibodi mengikat komplemen,
163

sedangkan antigen bebas atau antibodi tidak mampu mengikatnya. Uji ini
hanya bekerja pada antibodi pengikat komplemen, terutama IgG dan IgM.

Gambar 80. Uji fiksasi komplemen


(http://biosiva.50webs.org/compft.htm)

Uji fiksasi komplemen dapat mendeteksi kadar antibodi kurang dari satu
mikrogram per ml. Uji fiksasi komplemen digunakan untuk mendeteksi virus
pada kultur jaringan yang sudah diinokulasi dengan sediaan darah atau
cairan jaringan pada orang yang diduga terinfeksi virus.
Selain itu contoh penggunaan uji fiksasi komplemen adalah reaksi
Wassermann untuk mendiagnosis penyakit sifilis yang disebabkan oleh
Treponema pallidum.

Uji fiksasi komplemen mendeteksi antibodi . Bahan pemeriksaan (sampel),


antigen dan komplemen mula-mula dicampur dan diinkubasi dalam waktu
tertentu Sesudah itu ditambahkan sistem indikator dan eritrosis domba yang
sudah dilapisi (coated) dengan antibodi. Pada

uji yang positif, antibodi yang terdapat di dalam sampel berikatan dengan
antigen dan membentuk komplek Ag-Ab. Sesudah itu selama masa inkubasi
komplemen akan terikat sehingga tidak dapat menyebabkan lisis sel darah
merah. Jadi uji fiksasi komplemen yang positif dapat ditunjukkan dengan tidak
terjadinya lisis sel darah merah.
164

Gambar 81. Uji fiksasi komplemen positif


(http://biosiva.50webs.org/compft.htm)

Pada uji negatif, tidak ada antibodi yang membentuk komplek Ag-Ab,
sehingga tidak terjadi fiksasi komplemen. Dengan demikian komplemen akan
menimbulkan lisis pada sistem indikator.

Gambar 82. Uji fiksasi komplemen negatif


(http://biosiva.50webs.org/compft.htm)

4.7. KARAKTER UMUM RESPON ANTIBODI

Salah satu karakter sistem imun spesifik adalah membedakan antara self dan
non-self (sel sendiri dan bukan sel sendiri) dan hanya bereaksi terhadap
bukan sel sendiri. Karakter yang kedua dari respon imun spesifik adalah
adanya sifat memori (dapat mengingat). Sistem imun dapat “mengingat”
bahwa ia dapat mengenal kembali antigen yang pernah dijumpainya dan akan
165

bereaksi jika mengalami paparan yang kedua kalinya. Pada umumnya


respon memori ini hanya terjadi untuk antigen yang sama. Sedangkan
karakter ketiga sistem imun spesifik adalah adanya spesifisitas yang tinggi
pada reaksi atau respon imun yang terjadi. Respon hanya terjadi pada
paparan dengan antigen tertentu atau yang antigen yang berkerabat dekat
dengan antigen tertentu tersebut. Sifat ini berlaku untuk semua respon imun
yang spesifik.

Perjalanan Imunogen

Sesudah pemaparan primer antigen melalui suntikan, perjalanan imunogen


yang terjadi berupa perubahan antigen dalam sirkulasi dengan fase-fase
keseimbangan, fase katabolik dan fase eliminasi imun.

 Fase keseimbangan. Pada fase yang pertama yang berlangsung


cepat ini, proses difusi berlangsung seimbang antara antigen vaskuler
dengan antigen yang terdapat ekstravaskuler. Fase ini tidak terjadi
pada antigen yang berbentuk partikel, karena tidak terjadi difusi.
 Fase katabolik. Pada fase ini terjadi proses metabolisme antigen oleh
sel-sel hospes dan enzim. Sebagian besar antigen diambil oleh
makrofag dan sel-sel fagositik lainnya.

 Fase eliminasi imun. Pada fase ini antibodi yang baru terbentuk
bereaksi dengan antigen pembentuk komplek antigen-antibodi yang
sudah difagosit dan mengalami

degradasi. Antibodi yang ada di dalam serum hanya dijumpai sesudah


fase eliminasi imun berlangsung. .
166

Gambar 83. Fase antigen di sirkulasi sesudah paparan primer


(http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/ab1-1.jpg)

Jika di dalam serum terdapat antibodi yang beredar, paparan (suntikan) yang
kedua kalinya menyebabkan fase eliminasi imun berlangsung cepat. Jika di
dalam serum tidak terdapat antibodi, paparan kedua menyebabkan
percepatan semua fase, kecuali fase eliminasi imun.

Kinetik respon antibodi terhadap antigen T-dependen

Gerakan perjalanan (kinetik) respon antibodi terhadap antigen T-dependen


terjadi dalam bentuk respon primer atau respon sekunder / memori.

(a). Respon antibodi primer. Kinetik respon antibodi primer berlangsung


melalui fase-fase induktif (fase laten atau lag fase), fase log (fase
eksponensial), fase landai (plateau) dan fase penurunan.
167

 Fase induktif (Lag phase). Pada fase ini antigen dikenali sebagai
benda asing dan terjadi proliferasi dan diferensiasi sel-sel sebagai
respon terhadap antigen. Fase ini berlangsung antara 5-7 hari,
tergantung pada jenis antigen.
 Fase eksponensial (Log phase). Pada fase ini konsentrasi antibodi
meningkat secara eksponensial, karena sel B yang terangsang antigen
melakukan diferensiasi menjadi sel-sel plasma yang membentuk
antibodi.

 Fase landai (plateau). Pada fase ini sintesis antibodi seimbang


dengan antibodi yang rusak sehingga tidak terjadi peningkatan
konsentrasi antibodi.

 Fase penurunan. Pada fase ini jumlah antibodi yang mengalami


kerusakan lebih banyak dari pada yang terbentuk, sehingga jumlah
antibodi menurun yang dapat mencapai kadar terendah.

Gambar 84. Kinetik respon antibodi terhadap antigen T-dependent


(http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/ab1-2)

(b). Respon antibodi sekunder memori . Pada respon sekunder memori


atau anamnestik juga terdapat terdapat fase Lag, Log. fase landai dan fase
menurun.

Fase lag. Pada respon sekunder, fase lag umumnya lebih pendek dari pada
fase lag pada respon primer.
168

Fase Log. Pada respon sekunder berlangsung lebih cepat dengan kadar
antibodi yang lebih tinggi dibanding respon primer.

Fase menurun. Pada fase menurun respon sekunder lebih lambat dari pada
respon primer, dan antibodi dapat tetap dijumpai selama berbulan-bulan,
bertahun-tahun atau seumur hidup.

Gambar 85. Respon sekunder memori


(http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/ab1-3.jpg )

(c).Karakteristik respon primer dan sekunder. Terbentuknya antibodi


sebagai respon terhadap antigen bersifat spesifik terhadap antigen tertentu,
meskipun dapat terjadi reaksi silang terhadap antigen lain yang strukturnya
mirip dengan antigen tertentu tersebut. Pada umumnya respon sekunder
hanya terjadi oleh antigen yang sama dengan antigen tertentu pada respon
primer.

Pada respon primer dan sekunder terjadi perubahan kualitatif antibodi,


berupa:

(1). Variasi kelas imunoglobulin. Pada respon primer, antibodi yang


terbentuk sebagian besar IgM, sedang pada respon sekunder sebagian besar
adalah IgG, IgA atau IgE. Pada respon sekunder IgG selalu dijumpai dalam
kadar tinggi.
169

Gambar 86. Variasi titer imunoglobulin pada respon imun primer dan
sekunder (http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/ab1-4a.jpg)

(2). Respon Ab terhadap antigen T-independent. Respon antibodi terhadap


antigen T-independen menunjukkan pembentukan hampir seluruhnya adalah
antibodi IgM dan tidak ada respon sekunder.

Gambar 87. Respon antibodi terhadap antigen T-independen (Gene


Mayer,2011)
170

4.8. SEL BERPERAN PADA RESPON IMUN DAN

PENGENALAN ANTIGEN

Sistem imun dibentuk untuk melindungi hospes dari patogen dan substansi
asing lainnya. Dasar pertimbangan sistem imun adalah perbedaan sendiri
atau tidak sendiri (self atau non-self). Patogen dapat berada di dalam tubuh
hospes intraseluler atau ekstraseluler. Untuk melindungi hospes terhadap
patogen, terjadi melalui respon oleh antibodi atau oleh cell-mediated
response.

Pertahanan terhadap patogen ekstraseluler

Antibodi merupakan pertahanan primer terhadap patogen ekstraseluler dan


berperan melalui tiga jalan utama, yaitu netralisasi, opsonisasi dan aktifasi
komplemen.

 Netralisasi. Netralisasi terjadi dengan mengikat patogen atau


substansi asing sehingga menghambat terjadinya ikatan patogen
dengan target atau sasarannya. Misalnya, antibodi terhadap toksin
bakterial mencegah ikatan toksin dengan sel hospes sehingga toksin
menjadi tidak efektif. Demikian juga halnya antibodi terhadap virus
akan mencegah virus melekat pada sel target sehingga mencegah
terjadinya infeksi atau pembentukan koloni virus pada sel hospes.
 Opsonisasi. Antibodi yang melekat pada patogen atau substansi asing
akan menyebabkan opsonisasi sehingga memudahkan destruksi
patogen dan proses fagositosis oleh sel fagositik.

 Aktifasi komplemen. Aktifasi komplemen oleh antibodi menimbulkan


lisis bakteri dan virus tertentu.

Pertahanan terhadap patogen intraseluler


171

Karena antibodi tidak terdapat di dalam sel hospes, antibodi tidak efektif
terhadap patogen yang terdapat intraseluler. Terhadap patogen intraseluler,
sistem imun menggunakan respon

cell-mediated sebagai pertahanan primer. Misalnya patogen yang terdapat di


cytosol diatasi dengan CTL (cytotoxic T lymphocyte), sedangkan pertahanan
primer terhadap patogen yang berada di dalam vesikel diatasi dengan Th1
(helper T lymphocyte).

CTL (cytotoxic T lymphocytes). Sel ini mengenali antigen dari patogen yang
ditampilkan pada permukaan sel yang terinfeksi dan kemudian membunuh sel
tersebut sehingga mencegah penyebaran infeksi ke sel yang berdekatan.
CTL bekerja dengan merangsang apoptosis pada sel terinfeksi.

Th1 (Helper T cells). Sel Th adalah sel T CTL yaitu limfosit T yang
mengekspresi antigen tertentu yang khas pada permukaannya yang disebut
CD4. Subpopulasi sel Th, yaitu sel Th1, merupakan pertahanan primer
terhadap patogen intraseluler yang hidup di dalam vesikel. Sel Th1 mengenali
antigen dari patogen, melepaskan sitokin yang mengaktifkan sel terinfeksi.
sehingga sel terinfeksi dapat membunuh patogen.

Sebagai contoh, Sel Th1 yang mengenali antigen M.tuberculosis pada


permukaan makrofag yang terinfeksi, mengeluarkan sitokin yang
mengaktifkan makrofag, yang menyebabkan lisosom dapat mengadakan fusi
dengan endosom sehingga bakteri M.tuberculosis dapat dibunuh.
Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi makrofag dapat menghambat
fusi lisosom dengan endosom sehingga bakteri ini dapat bertahan hidup.

Sel-sel sistem imun

Semua sistem imun berasal dari sel punca hemopoietik (hemopoietic stem
cell) di sumsum tulang, yang memberikan dua garis keturunan utama, yaitu
keturunan sel mieloid (myeloid progenitor cell) dan sel keturunan limfoid
(lymphoid progenitor cell). Dari keturunan sel mieloid akan terbentuk sel-sel
mieloid, yaitu monosit, makrofag, sel dendrit, megakariosit dan sel granulosit
172

(eosinofil, neutrofil, basofil). Dari keturunan sel limfoid akan terbentuk sel T
(limfosit T), sel B (limfosit B) dan sel NK (natural killer cell). Sel-sel ini
merupakan komponen seluler sistem imun non-spesifik (innate) dan sistem
imun spesifik (adaptif).

Sel-sel sistem imun non-spesifik (innate). Termasuk dalam sel-sel sistem


imun non-spesifik adalah sel-sel fagositik (monosit/makrofag dan PMN), sel
NK, basofil, sel mast, eosinofil dan trombosit. Reseptor sel-sel ini merupakan
reseptor pengenal pola (PRRs- pattern recognition receptors) yang mengenali
pola molekuler yang luas yang ada pada patogen (PAMPs-pathogen
associated molecular patterns).

Gambar 88. Pewarnaan Giemsa darah tepi A. Basofil B. Limfosit C. Monosit


D. Neutrofil E. Eosinofil F. Trombosit
(http://www.gwc.maricopa.edu/class/bio202)

Sel penghubung sistem imun spesifik dan non-spesifik. APC (antigen


presenting cells) adalah kumpulan heterogen dari leukosit yang berperan
penting pada innate immunity (sistem imun non spesifik) dan juga bertindak
sebagai penghubung dengan sistem imun adaptif yang spesifik, dengan cara
mengaktifkan sel Th (helper T cells). Termasuk juga didalamnya adalah sel
dendrit dan makrofag.
173

Sel-sel sistem imun adaptif. Sel-sel yang berperan pada sIstem imun
adaptif adalah limfosit B dan limfosit T. Sesudah mengalami paparan dengan
antigen, sel B akan melakukan

diferensiasi menjadi sel-sel plasma yang fungsi utamanya adalah membuat


antibodi. Begitu juga halnya sel T akan berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik
(Tc) atau sel Th (T helper) yang mempunyai dua tipe yaitu sel Th1 dan sel
Th2.

Respon terhadap antigen. Sel B dan Sel T mengenali substansi yang


berbeda, misalnya antigen dalam berbagai bentuk. Sel B menggunakan
imunoglobulin yang melekat di permukaan sebagai reseptor dan sifat spesifik
reseptor tersebut sama dengan imunoglobulin yang mampu disekresi
sesudah terjadi aktifasi.

Sel B dapat mengenali antigen di bawah ini yang terdapat dalam bentuk
larutan:

 Protein
 Asam nukleat

 Polisakarida

 Beberapa jenis lipid

 Hapten

Sebaliknya protein dapat menghambat pengenalan antigen oleh sel T,


sehingga protein harus dipecah lebih dahulu dan dikenali bersama produk
MHC yang ditampilkan di permukaan sel nukleat, tidak dalam bentuk larutan.
Sel T dikelompokkan sesuai fungsinya, yaitu sel T helper (hanya mengenali
peptida yang bergabung dengan molekul MHC kelas II), dan sel T sitotoksik
(cytotoxic T cell) yang hanya mengenali peptida yang bergabung dengan
molekul MHC kelas I.

Presentasi dan pemrosesan antigen. Pemrosesan dan presentasi antigen


terjadi di dalam sel berupa fragmentasi atau proteolisis protein, gabungan
fragmen dengan molekul MHC, dan ekspresi molekul peptida-MHC pada
174

permukaan sel, dimana mereka dapat dikenali oleh reseptor sel T pada suatu
sel T. Terjadinya hubungan antara fragmen protein dengan molekul MHC
kelas I berbeda dengan pada MHC kelas II. Pada molekul MHC kelas I
degradasi produk berasal dari protein intraseluler (endogen) di dalam cytosol,
sedang pada molekul MHC kelas II fragmen berasal dari protein ekstraseluler
(eksogen) yang terdapat pada kompartemen intraseluler.

Antigen Presenting Cell (APC)

Terdapat tiga tipe APC yang utama, yaitu sel dendrit, makrofag dan sel B. Sel
dendrit merupakan APC yang paling efektif, terdapat di kulit dan jaringan
lainnya, mencerna antigen dengan pinositosis, dan membawa antigen ke
nodus limfe dan limpa. Di dalam nodus limfe dan limpa sel dendrit banyak
didapatkan di daerah sel T. Makrofag adalah APC yang mencerna antigen
dengan cara fagositosis atau pinositosis. Makrofag dapat dengan sangat baik
mengaktifkan sel T memori.

Sel B adalah tipe APC yang dapat mengikat antigen melalui permukaan
imunoglobulin dan mencerna antigen dengan cara pinositosis. Sel B sangat
efektif dalam menampilkan antigen ke sel T memori, terutama jika konsentrasi
antigen rendah, karena permukaan imunoglobulin pada sel B mampu
mengikat antigen dengan afinitas yang tinggi.
175

Gambar 89. Tahapan fagositosis oleh APC terhadap paparan antigen


1. fagositosis Ag 2. Fusi lisosom-fagosom 3. Ag dipecah enzim 4. Pecahan
kecil Ag 5. Pecahan Ag di permukaan APC 6. Sisa Ag dibuang keluar APC
(www.dreamstime.com/royalty-free-stock-image-apc-immune-response )

Sitokin dan pengaturan imunitas

Sitokin adalah kelompok protein non-antibodi yang merupakan produk sel


imun atau sel lainnya dan bertindak sebagai mediator antar sel serta
mengatur proses imun dan mempengaruhi sel non imun lainnya. Sitokin dapat
digunakan di klinik sebagai pemicu respon biologik untuk mengobati berbagai
gangguan. Berbagai jenis sitokin yang dikenal sesuai fungsi atau sel
pembentuknya, antara lain adalah:

 Monokin: sitokin yang diproduksi oleh sel fagositik mononuklir sitokin


 Limfokin: sitokin yang diproduksi oleh limfosit aktif, terutama sel Th
 Interleukin: sitokin yang bertindak sebagai mediator antar leukosit
 Kemokin: sitokn berukuran kecil yang berperan pada migrasi leukosit.

(a). Peran sitokin sebagai mediator imunitas alami. Peran sitokin sebagai
mediator imunitas alami (innate immune response) antara lain dilakukan oleh
176

TNF-α, IL-1, IL-10, IL-12, interferon tipe I (IFN-α dan IFN-β), IFN-γ dan
kemokin.

TNF-α. Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dibentuk dengan mengaktifkan


makrofag sebagai respon terhadap mikroba, terutama LPS
(lipopolysaccharide) dari bakteri Gram-negatif. TNF-alfa merupakan mediator
penting pada radang akut, karena menyebabkan neutrofil dan makrofag
bergerak menuju ke tempat infeksi dengan merangsang sel endotel untuk
memproduksi molekul adesi dan memproduksi kemokin yang merupakan
sitokin kemotaktik. TNF-α juga merangsang hipotalamus menimbulkan
demam dan memicu pembentukan protein fase akut.

.IL-1. Interleukin 1 juga merupakan sitokin keradangan yang diproduksi oleh


makrofag aktif. Efek IL-1 mirip TNF-α dan turut membantu mengaktifkan sel T.

IL-10. Interleukin 10 merupakan sitokin penghambat (inhibitory cytokine) yang


diproduksi oleh makrofag aktif dan

sel Th2. IL-10 menghambat produksi IFN-gamma oleh sel Th1, yang
mengubah respon imun kearah tipe Th2. Selain itu IL-10 menghambat
produksi sitokin dengan mengaktifkan makrofag dan ekspresi MHC kelas II
dan molekul co-stimulator pada makrofag, dan menyebabkan terjadinya
penurunan kemampuan respon imun.

IL-12. Interleukin 12 diproduksi oleh makrofag aktif dan sel dendrit. Ia


merangsang produksi IFN-gamma dan TNF-alpha serta berperan pada
diferensiasi sel Th menjadi sel Th1. Selain itu ia juga meningkatkan fungsi
sitolitik Tc dan sel NK.

Interferon tipe I. Interferon tipe I (IFN-α dan IFN-β) diproduksi oleh berbagai
macam sel dan fungsinya adalah menghambat replikasi virus di dalam sel.
Interferon tipe I juga meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I pada sel
sehingga menjadi lebih mudah dibunuh oleh CTL.
Interferon tipe I juga dapat mengaktifkan sel NK.

IFN-γ. Interferon gamma merupakan sitokin penting yang terutama dihasilkan


oleh sel Th1, meskipun juga diproduksi dalam jumlah lebih sedikit oleh sel Tc
dan sel NK. IFN-γ juga mempunyai berbagai fungsi baik pada innate immune
system maupun sistem imun adaptif
177

Kemokin. Kemokin (chemokine) adalah kemokin kemotaktik yang diproduksi


oleh berbagai jenis sel leukosit dan tipe-tipe sel lainnya, dan berfungsi
membawa leukosit ke tempat terjadinya infeksi dan berperan dalam
pergerakan limfosit.

(b). Peran sitokin sebagai mediator imunitas adaptif. Sitokin yang


berperan penting pada sistem imun adaptif adalah IL-2, IL-4, IL-5, TGF-β , IL-
10 dan IFN-gamma.

IL-2. Interleukin 2 diproduksi oleh sel Th dan dalam jumlah sedikit oleh sel Tc.
IL-2 merupakan faktor utama pertumbuhan sel T, dan juga membantu
pertumbuhan sel B dan dapat mengaktifkan sel NK dan sel monosit.

Aktifasi sel T menyebabkan produksi IL-2 dan ekspresi IL-2R.


Jika IL-2 berikatan dengan IL-R akan terjadi pembelahan sel.

IL-4. Interleukin 4 yang dihasilkan oleh makrofag dan sel Th2 akan
merangsang pembentukan sel Th2 dari sel Th asal (naive) dan membantu
pertumbuhan sel Th2 yang mengalami diferensiasi, sehingga akan terjadi
respon antibodi. IL-4 juga akan merangsang perubahan kelas Ig menjadi
isotip IgE.

IL-5. Interleukin 5 diproduksi oleh sel Th2 dan fungsinya adalah membantu
pertumbuhan dan diferensiasi sel B dan eosinofil. Ia juga mengaktifkan
eosinofil yang sudah matang (matur).

TGF-β. TGF-β (transforming growth factor beta) yang diproduksi oleh sel T
dan berbagai tipe sel lainnya merupakan sitokin inhibitor yang menghambat
proliferasi sel T dan aktifasi makrofag. Ia juga mempengaruhi sel PMN dan sel
endotel untuk menghentikan efek proinflamatori dari sitokin.

(c). Sitokin sebagai stimulator hematopoesis. Beberapa jenis sitokin


merangsang diferensiasi sel-sel hematopoetik, yaitu :
178

 GM-CSF: membantu diferensiasi progenitor sumsum tulang;


 M-CSF: membantu pertumbuhan dan diferensiasi progenitor menjadi
monosit dan makrofag;

 G-CSF: membantu produksi PMN.

IL-17. Interleukin 17 adalah sitokin proinflamasi yang panjangnya sekitar 150


asam amino. IL-17 diprosuksi oleh sel Th17 dan diduga ada hubungannya
dengan penyakit autoimun, misalnya multiple sclerosis, artritis rematoid dan
penyakit radang usus.

4.9. PENGATURAN SISTEM IMUN (IMMUNOREGULATION)

Pentingnya suatu respon imun ditentukan oleh keseimbangan antara antigen-


aktifasi limfosit dan pengaruh-pengaruh yang mencegah atau menghambat
respons. Mekanisme pengaturan dapat terjadi pada proses pengenalan
(recognition), aktifasi (activation) atau fase-fase efektor dalam respon imun.
Contoh-contoh pengaturan respon imun antara lain adalah:

 Pengenalan antigen pada keadaan tidak ada co-stimulation (anergi)


 Pengenalan antigen pada ikatan antara CTL-4 dengan B7 yang
menyebabkan aktifasi sel T yang tidak dapat diatur

 Sitokin dengan aktifitas sel imun yang terhambat atau terangsang

 Interaksi idiotip/anti-idiotipe yang mendahului proses perangsangan


atau penghambatan respon imun

 Dosis dan jalur paparan antigen dapat mempengaruhi diferensiasi


respon Th yang dapat melindungi atau mentoleransi.

Selain itu respon imun dapat diatur dengan jalan lain, misalnya pengaturan
oleh antibodi, oleh sitokin, oleh T-reg, dan pengaruh faktor genetik.
Antibodi yang terlarut dapat bersaing dengan reseptor antigen pada sel B dan
menghambat atau mencegah aktifasi sel B. Selain itu komplek Ag-Ab dapat
179

melekat pada reseptor Fc pada sel B, mengirim sinyal hambatan pada sel B.
Dalam hal ini pengaturan terjadi pada tingkat pengenalan (recognition).

Antibodi juga dapat mengatur aktifasi dengan menyediakan sumber antigen


untuk APC. Dalam hal ini antibodi mengikat antigen membentuk komplek
imun yang kemudian berikatan dan mengaktifkan sistem komplemen agar
dapat mengadakan ikatan dengan reseptor komplemen pada APC.

Sitokin mengatur respon imun (positif atau negatif) pada berbagai tahap.yang
memerlukan adanya sitokin lain pada lingkungan mikro dan ekspresi reseptor
pada sel efektor.

T-reg (regulatory T cell) adalah kelompok sel yang mengatur respon imun
dengan cara menghambat respon Th1 dan Th2

4.10. IMUNISASI

Imunisasi adalah upaya mengadakan proteksi spesifik terhadap patogen


dengan merangsang sistem imun untuk menghasilkan antibodi humoral
terhadap patogen atau toksin yang dihasilkan patogen atau sel T yang
menghasilkan cell-mediated immunity.

Imunisasi pasif

Imunitas dapat terjadi dapatan (acquired) tanpa sistem imun dan tidak terjadi
paparan antigen. Hal ini dapat terjadi melalui transfer serum atau gama-
globulin dari seorang donor imun ke individu non imun. Plihan lainnya adalah
dengan mentransfer imunitas dengan menggunakan sel imun dari individu
yang sudah dimunisasi. Imunitas pasif dapat juga diperoleh secara alami atau
secara buatan (artifisial).Imunitas pasif yang didapat secara alami terjadi dari
ibu ke janin melalui plasenta berupa transfer IgG atau transfer IgA melalui
kolostrum.
180

Imunitas pasif yang diperoleh secara dapatan misalnya melalui suntikan


globulin-gama atau globulin-imun dari individu lain atau dari hewan yang
imun. Transfer imun secara pasif dilakukan pada infeksi yang akut (misalnya
difteri, tetanus, measles, rabies dan sebagainya), pada keadaan keracunan
(insekta, reptil, botulisme) dan sebagai tindakan pencegahan
(hypogammaglobulinemia). Sebaiknya digunakan gama-globulin berasal dari
manusia, meskipun dalam keadaan tertentu antibodi dari spesies lainnya
(misalnya akibat keracunan, difteri, tetanus, gas gangren, botulisme) juga
dapat digunakan. Gama-globulin yang heterolog hanya efektif dalam waktu
pendek dan sering menimbulkan komplikasi patologik (serum sickness) dan
anafilaksis. Imunoglobulin homolog juga berisiko dalam menularkan hepatitis
dan HIV. Transfer pasif cell-mediated immunity dapat terjadi pada penyakit-
penyakit tertentu, misalnya kanker dan imunodefisiensi.

Imunisasi aktif

Pada imunisasi aktif imunitas dihasilkan sesudah tubuh terpapar antigen.


Imunisasi aktif dapat diperoleh secara alami atau secara buatan. Imunitas
aktif yang didapat secara alami terjadi sesudah adanya paparan dengan
patogen yang menyebabkan infeksi subklinis atau infeksi klinis yang
menghasilkan respon imun protektif terhadap patogen yang menginfeksi.
Imunitas aktif yang didapat secara buatan (artifisial) diperoleh dengan
memberikan patogen hidup atau mati, atau kompenennya.

Vaksin yang digunakan pada imunisasi aktif bisa berupa organisme hidup
yang dilemahkan, seluruh organisme yang mati, komponen mikroba atau
toksin yang disekresi (yang sudah didetoksifikasi).

Vaksin hidup. Vaksin hidup yang pertama kali digunakan berasal dari
cowpox virus untuk melakukan vaksinasi terhadap cacar (smallpox). Vaksin
hidup digunakan untuk mencegah infeksi virus misalnya polio, measles,
mumps, rubella, chicken pox, hepatitis A, dan yellow fever. Satu-satunya
vaksin hidup bakterial adalah vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin) untuk
mencegah tuberkulosis. Penggunaan vaksin hidup dapat berisiko tinggi jika
digunakan pada individu dengan immunocompromised sistem imun. Selain itu
181

vaksin hidup yang sudah dilemahkan akibat mutasi dapat berubah kembali
menjadi patogenik. Karena itu pada pencegahan polio, penggunaan vaksin
hidup (Sabin) mulai diganti dengan vaksin inaktif (Salk).

Vaksin mati (killed vaccine). Vaksin mati berasal dari virus diperoleh dari
virus yang sudah dimatikan dengan pemanasan, bahan kimia atau radiasi
ultraviolet misalnya ditujukan terhadap polio, influenza, rabies dan influenza,.
Sebagian besar vaksin bakteri adalah killed vaccine, misalnya untuk
mencegah tifoid, kolera, pes dan pertusis.

Adjuvants

Adjuvan adalah bahan biologik atau kimiawi yang dapat meningkatkan


antigen yang lemah mejadi lebih imunogenik. Untuk penggunaan bagi
manusia, adjuvan yang boleh digunakan adalah garam aluminium (alum),
misalnya pada vaksin DTP (difteri-tetanus-pertusis). Adjuvan yang digunakan
dapat terdiri dari campuran minyak dan deterjen dengan bakteri tertentu
(Freund’s complete adjuvant) atau tanpa bakteri (Freund’s incomplete
adjuvant). Bakteri yang paling sering digunakan dalam adjuvan adalah
Mycobacterium (BCG) dan Nocardia.

Masa perlindungan imunitas sesudah vaksinasi dapat berlangsung seumur


hidup (misalnya measles, mumps, rubella,

small pox, tuberkulosis dan yellow fever) atau berlangsung hanya beberapa
bulan (misalnya pada kolera). Imunisasi primer dapat diberikan pada umur 2-
3 bulan (difteri, pertusis, tetanus, polio), atau 13-15 tahun (mumps, measles,
rubella).

Imunisasi profilaktik dan terapeutik

Sebagian besar vaksin diberikan untuk pencegahan (profilaktik) yang


diberikan sebelum terjadi paparan patogen. Beberapa jenis vaksin diberikan
untuk pengobatan (imunisasi terapeutik) yang diberikan sesudah paparan,
misalnya pada rabies. Efektivitas imunisasi tergantung pada kecepatan
replkasi patogen, masa inkubasi dan mekanisme patogenik. Jika masa
182

inkubasi pendek, sejumlah kecil molekul patogenik dapat berakibat fatal


(misalnya tetanus dan difteri), sehingga imunisasi harus diberikan baik
imunisasi pasif maupun imunisasi aktif sesudah paparan. Imunisasi
pencegahan pasif juga umum terjadi pada kelainan sistem imun, misalnya
hipogamaglobulinemia.

Efek samping imunisasi

Imunisasi aktif dapat menyebabkan demam, malaise, dan rasa tidak nyaman.
Beberapa jenis vaksin juga dapat menyebabkan nyeri sendi atau artritis
(rubella), konvulsi yang bisa fatal (pada pertusis), atau gangguan neurologk
(pada influenza). Alergi terhadap telur dapat terjadi pada penggunaan vaksin
viral yang dibuat di dalam telur (misalnya measles, mumps, influenza, dan
yellow fever). Pemberian booster menyebabkan terjadinya keradangan yang
lebih nyata dibandingkan dengan imunisasi primer. Akibat sampingan yang
berat dapat terjadi pada penggunaan vaksin DTP akibat komponen pertusis
pada vaksin.

4.11. AUTOIMUNITAS

Autoimunitas (autoimmunity) adalah terganggunya mekanisme pengaturan


toleransi dan induksi respon imun terhadap komponen tubuhnya sendiri.
Autoimunitas tidak selalu

berbahaya (misalnya antibodi anti-idiotip), tetapi pada sejumlah penyakit


autoimun, ada produk-produk sistem imun yang menyebabkan kerusakan
pada tubuhnya sendiri. Kerusakan akibat penyakit autoimun dapat
disebabkan oleh antibodi dan efektor sel T.

Klasifikasi penyakit autoimun

Berdasar pada organ dan jaringan yang terganggu, penyakit automun


dikelompokkan dalam organ yang spesifik dimana respon imun terjadi akibat
paparan antigen yang terkait dengan organ target yang terganggu atau
kelompok non-organ spesifik dimana antibodi bereaksi langsung terhadap
antigen yang tidak terkait dengan organ target.
183

Predisposisi genetik autoimunitas

Penelitian pada hewan coba dan pengamatan pada manusia menunjukkan


bahwa terdapat predisposisi genetik autoimun. Selain itu juga terdapat
hubungan antara tipe HLA tertentu (B8, B27, DR2, DR3, DR4, DR5, dan
sebagainya) dengan penyakit autoimun.

4.12. REAKSI HIPERSENSITIF

Hipersensitivitas (hypersensitivity) adalah reaksi berlebihan yang tidak


diinginkan yang ditimbulkan oleh sistem imun yang normal. Reaksi
hipersensitif membutuhkan keadaan presensitisasi (imun) dari hospes.
Berdasar pada mekanisme terjadinya dan waktu terjadinya, reaksi
hipersensitif dibagi menjadi empat tipe, yaitu tipe I, tipe II, tipe III dan tipe IV.

Hipersensitif tipe I

Hipersensitif tipe I atau disebut juga sebagai hipersensitif segera (immediate)


atau hipersensitif anafilaktik (anaphylactic), reaksinya dapat terjadi di kulit
(urtikaria dan eksim), mata (konjungtivitis), nasofaring (rinitis, rinorea),
jaringan bronkopulmoner (asma)

dan gastrointestinal (gastroenteritis). Reaksi dapat menimbulkan gejala klinis


yang ringan sampai berat dan mematikan. Reaksi umumnya terjadi 15-30
menit sesudah terpapar antigen, meskipun kadang-kadang terjadi 10-12 jam
sesudah paparan antigen. Hipersensitif tipe I dipengaruhi oleh IgE, dengan
komponen seluler primer adalah sel mast dan basofil. Reaksi dipengaruhi
atau diperkuat oleh trombosit (platelets), neutrofil dan eosinofil. Biopsi pada
tempat reaksi terutama menunjukkan adanya sel mast dan eosinofil.

Sel mast dapat dipicu dengan berbagai rangsangan, antara lain aktifitas fisik,
stres emosional, bahan-bahan kimia (misalnya kalsium ionofor, dan kodein),
anaphylotoxin (misalnya C4a, C3a,C5a, dsb.) dalam hal ini tidak terjadi
184

interaksi IgE-alergen sehingga bukan reaksi hipersensitivitas, meskipun


gejala yang terjadi adalah sama.

Hipersensitif tipe II

Hipersensitif tipe II disebut juga hipersensitif sitotoksik (cytotoxic


hypersensitivity) dapat menyebabkan kelainan pada berbagai organ dan
jaringan. Antigen biasanya endogen, meskipun bahan kimia eksogen (hapten)
yang melekat pada membran sel dapat juga menyebabkan hipersensitif tipe
II. Contoh-contohnya adalah anemia hemolitik akibat obat, granulositopeni
dan trombositopeni. Waktu reaksi sekitar beberapa menit sampai beberapa
jam lamanya. Hipersensitif tipe II dipengaruhi secara primer oleh antibodi
kelas IgM atau IgG dan komplemen, juga fagosit dan sel K dapat berperan.
Lesi yang terjadi mengandung antibodi, komplemen dan neutrofil.

Uji diagnostik dapat dilakukan dengan mendeteksi adanya antibodi sirkulasi


terhadap jaringan yang bersangkutan dan adanya antibodi dan komplemen di
lesi (pemeriksaan biopsi dengan imunofluoresen).

Hipersensitif tipe III

Tipe ini disebut juga hipersensitif komplek imun. Reaksi dapat bersifat umum
(misalnya serum sickness) atau hanya terjadi

pada masing-masing organ, misalnya pada ginjal (misalnya lupus nefritis),


paru (misalnya aspergilosis), pembuluh darah (misalnya poliarteritis), sendi
(misalnya artritis rematoid) dan kulit (misalnya reaksi Arthus, lupus
eritematosus sistemik). Reaksi yang terjadi mungkin merupakan mekanisme
patogenik penyakit yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme.

Reaksi terjadi 3-10 jam sesudah paparan antigen (misalnya pada reaksi
Arthus), dan penyebabnya adalah larutan komplek imun, terutama dari kelas
IgG meskipun IgM dapat juga berperan. Antigen dapat eksogen (bakteri,
virus atau parasit) atau endogen (autoimun spesifik non-organ, misalnya
lupus eritematosus sistemik). Antigen yang terlarut tidak melekat pada organ
yang bersangkutan. Komponen primer adalah larutan komplek imun dan
komplemen (C3a, 4a dan 5a), sedangkan kerusakan yang terjadi disebabkan
oleh trombosit (platelet) dan neutrofil. Lesi terutama mengandung neutrofil
185

dan endapan komplek imun dan komplemen. Infiltrasi makrofag pada stadium
akhir mungkin berperan dalam proses penyembuhan.

Diagnosis ditetapkan melalui pemeriksaan hasil biopsi dengan mikroskop


imunofluoresen, menemukan endapan imunoglobulin dan komplemen yang
bersifat granuler. Untuk pengobatan dapat diberikan obat anti radang.

Hipersensitif tipe IV

Hipersensitif tipe IV disebut juga hipersensitif tipe lambat (cell mediated


hypersensitivity atau delayed hypersensitivity). Contohnya adalah reaksi
tuberkulin (Mantoux) yang reaksinya mencapai puncak 48 jam sesudah
suntikan dengan antigen (PPD atau old tuberculin). Lesi khas bentuknya
berupa indurasi atau eritema.

Hipersensitif tipe IV berperan pada patogenesis banyak penyakit autoimun


dan penyakit infeksi (misalnya tuberkulosis, lepra, blastomikosis,
histoplasmosis, toksoplasmosis, leismaniasis, dan sebagainya) dan
granuloma akibat infeksi dan antigen asing.

Bentuk lain hipersensitif tipe IV adalah dermatitis kontak (dengan poison ivy,
bahan kimia, logam berat) dimana lesi

berbentuk papul. Hipersensitif tipe IV dibagi menjadi tiga kelompok berdasar


waktu timbulnya, gambaran klinik dan gambaran histologik.

Mekanisme kerusakan pada hipersensiif tipe lambat melibatkan limfosit T dan


monosit dan/atau makrofag. Sel T sitotoksik (Tc) menyebabkan kerusakan
langsung, sedangkan sel T helper (TH1) mengeluarkan sitokin yang
mengaktifkan sel Tc dan monosit serta makrofag. Lesi hipersensitif tipe
lambat terutama mengandung monosit dan sedikit sel T.

Limfokin yang banyak berperan pada reaksi hipersensitif lambat antara lain
adalah faktor kemotaktik monosit, interleukin-2, interferon-gamma, TNF
alpha/beta.
186

Uji diagnosis in vivo berupa reaksi kutan lambat (misalnya tes Mantoux) dan
patch test (untuk dermatitis kontak), sedangkan uji in vitro adalah respon
mitogenik, lympho-cytotoxicity dan produksi IL-2.

Untuk pengobatan digunakan kortikosteroid dan imunosupresif lainnya.

Table 15. Diferensiasi tipe hipersensitif (Gene Mayer,2000)

type-I type-II type-III type-IV


Karakter
(anafilaktik) (sitotoksik) (komplek imun) (tipe lambat)

Antibodi IgE IgG, IgM IgG, IgM Tidak ada

Jaringan dan
Antigen Eksogen Sel permukaan Terlarut
organ

Waktu respon 15-30 menit Menit-jam 3-8 jam 48-72 jam

Lisis dan Eritema, edema Eritema dan


Bentuk weal & flare
nekrosis dan nekrosis indurasi

Basofil dan Antibodi dan Komplemen dan Monosit dan


Histology
eosinofil komplemen neutrofil limfosit

Transfer dengan Antibody Antibodi Antibodi Sel-T

Erythroblastosis Tes tuberkulin ,


Asma alergi, hay SLE, farmer's
Contoh fetalis, nefritis poison ivy,
fever lung disease
Goodpasture's granuloma

4.13. IMUNOLOGI TUMOR

Proliferasi sel normal dikendalikan dengan baik, kecuali jika sel mengalami
paparan dengan bahan kimia karsinogen, mengalami radiasi atau terinfeksi
dengan virus tertentu sehingga terjadi mutasi. Akibatnya sel normal
mengalami transformasi menjadi sel yang pertumbuhannya tidak terkendali,
sehingga terjadi tumor atau neoplasma.
187

Tumor dapat bersifat jinak (benigna) yang tidak mampu tumbuh terus
menerus sehingga hospes tetap hidup. Tumor dapat juga menjadi ganas, jika
tumor mampu tumbuh terus dan menyebar (metastase) sehingga mungkin
dapat menyebabkan kematian hospes. Pertumbuhan yang tak terkendali ini
dapat disebabkan pengaruh gen perangsang kanker (cancer-inducing gene)
atau menurunnya pengaruh tumor supresor gen (yang dalam keadaan normal
menghambat pertumbuhan tumor).

Antigen tumor

Agar sistem imun dapat bereaksi dengan tumor, tumor harus mempunyai
antigen yang bisa dikenali sebagai benda asing. Terdapat dua tipe antigen
tumor, yaitu :

 TSTA (tumor-specific transplantation antigen) yang tidak mengekpresi


sel normal, tetapi hanya sel tumor. TSTA bertanggung jawab pada
penolakan yang terjadi terhadap tumor. Meskipun tumor terjadi karena
rangsangan bahan kimia, ultraviolet dan virus yang mengekspresi neo-
antigen, tetapi sebagian besar tumor ini adalah lemah sifat
imunogeniknya atau tidak bersifat imunogenik, sehingga TSTA sukar
diidentifikasi.
 TATA (tumor associated transplantation antigen) yang diekspresi oleh
sel tumor maupun sel normal. Sel tumor mungkin diekspresi lebih peka
dibanding sel normal, tetapi dapat terjadi bahwa mereka hanya dapat
diekspresi selama masa pertumbuhan sel, dan menghilang pada masa
dewasa.

 Tumor-associated developmental antigens atau onco-fetal


antigens. Termasuk disini adalah AFP (alpha-fetoprotein) dan CEA
(carcino-embryonic antigen) yang terdapat di dalam serum. AFP
ditemukan pada penderita dengan karsinoma hepatoseluler,
sedangkan CEA ditemukan pada kanker kolon. AFP hanya didapatkan
dalam bentuk cairan sekresi, sedangkan CEA dapat ditemukan pada
membrane sel dan sebagai cairan sekresi.. Karena antigen dalam
188

bentuk cairan sekresi hanya berperan kecil dalam imunitas terhadap


tumor, peran neo-antigen pada imuno-surveilans tidak jelas.

Konsentrasi normal AFP pada manusia berkisar antara 0-20 ng/ml,akan


meningkat titernya pada penderita hepatoma dan karsinoma testis non-
seminal sampai sekitar 5 kali. Selain itu AFP juga akan meningkat kadarnya
pada keadaan non-maligna, misalnya pada sirosis, hepatitis dan kerusakan
hati lainnya.Titer CEA pada orang normal adalah sekitar 2.5 ng/ml yang akan
meningkat sekitar 4-5 kali titer normal pada keganasan, terutama pada kanker
kolo-rektal. Pada keadaan non-maligna, misalnya sirosis kronis, emfisema
paru, dan pada perokok berat, titer CEA juga bisa meningkat.

Virus penyebab tumor

Berbagai jenis virus yang menyebabkan tumor antara lain adalah:

1. Virus DNA
 Virus Papova (papilloma, polyoma). Virus papilloma
menyebabkan kanker cerviks.

 Virus hepatitis: virus hepatitis B menyebabkan kanker


hepatoseluler.

 Adenovirus.

2. Virus RNA. Retrovirus. Virus human T-lymphotropic (HTLV-I dan

HTLV-II) menyebabkan leukemia sel-T.

Imunitas terhadap tumor

Percobaan-percobaan pada hewan menunjukkan bahwa mencit yang


diimunisasi dengan sel tumor yang diradiasi akan resisten terhadap reinfeksi
dengan sel tumor hidup yang sama. Antibodi akan terbentuk untuk melawan
beberapa jenis kanker, sedangkan cell-mediated immunity berperan untuk
189

menolak tumor (tumor rejection). Imunitas dapat ditransfer dari satu hewan
dengan tumor yang mengalami regresi (penyembuhan) ke resipien singeneik
yang naive oleh limfosit T. Sel Th (T helper) mengenali antigen yang berasal
dari tumor, untuk kemudian memrosesnya dan meneruskannya bersama
dengan MHC kelas II pada APC (antigen presenting cells). Jika sel Th
menjadi aktif, akan memproduksi sitokin dan membantu sel B memproduksi
antibodi. Sitokin, misalnya IFN-gamma dapat juga mengaktifkan makrofag
menjadi pembunuh tumor (tumoricidal). Selanjutnya sel-sel Th juga
membantu CTL (cytotoxic Tcells) yang bersifat tumor-specific dengan
merangsang proses proliferasi dan diferensiasi. CTL mengenali antigen tumor
pada MHC kelas I dan turut berperan pada lisis sel tumor. Pada tumor yang
menunjukkan penurunan antigen MHC, sel NK (natural killer) memegang
peran penting untuk menolak dan menyingkirkan tumor

4.14. IMUNODEFISIENSI

Imunodefisiensi adalah kegagalan sistem imun untuk melindungi terhadap


penyakit dan keganasan. Penderita dengan imunodefisiensi akan menjadi
lebih peka terhadap berbagai macam infeksi yang jenisnya tergantung pada
kejadian dari imunodefisiensi.

Imunodefisiensi primer

Imunodefisiensi primer disebabkan oleh faktor genetik atau adanya gangguan


pada sistem imun yang terlihat pada waktu kelahiran atau baru tampak di
kemudian hari.

Imunodefisiensi sekunder

Imunodefisiensi sekunder atau imunodefisiensi dapatan (acquired


immunodeficiency) adalah hilangnya fungsi imun akibat terjadinya paparan
190

dengan agen penyakit, faktor lingkungan, imunosupresi, atau karena usia


lanjut.

Imunodefisiensi spesifik sistem imun

Terdapat berbagai jenis imunodefisiensi akibat terjadinya gangguan pada


diferensiasi sel punca (stem cell), yang melibatkan sel-T, sel-B, dan/atau
immunoglobulin dari kelas dan subkelas yang berbeda.

Imunodefisinsi keturunan limfoid

Jika sel leluhur limfoid (progenitor) mengalami kerusakan, maka hal ini akan
menyebabkan kelainan pada keturunan sel T dan sel B, yang dapat
menyebabkan terjadinya SCID (severe combined immunodeficiency).
Akibatnya janin akan menderita infeksi berulang-ulang, terutama oleh
mikroorganisme oportunistik (infeksi bakteri, virus, jamur dan protozoa).

Kelainan pada awal hematopoiesis yang melibatkan sel punca menyebabkan


disgenesis retikuler yang menyebabkan kelainan imun yang menyeluruh dan
berpengaruh pada kepekaan terhadap infeksi, yang bisa fatal akibatnya.
Dalam hal ini kelainan ini dapat diatasi dengan transplantasi sumsum tulang.

Imunodefisiensi kelainan sel T

Kelainan pada sel T dapat mempengaruhi imunitas humoral maupun cell-


mediated immunity sehingga penderita menjadi peka terhadap infeksi virus,
protozoa dan jamur. Infeksi virus, misalnya cytomegalovirus dan virus
measles yang dilemahkan sebagai vaksin dapat menyebabkan kematian
penderita. Contoh dari imunodefisiensi sel-T adalah sindrom DiGeorge
dengan gejala hipoparatiroidisme dan penyakit jantung kongenital, akibat
hilangnya kromosom 22.

Imunodefisiensi kelainan limfosit B


191

Pada keadaan ini jumlah sel B rendah atau normal tetapi titer imunoglobulin
rendah, sedangkan jumlah dan fungsi sel T normal. Contoh penyakit akibat
kelainan limfosit B adalah:

 Agamaglobulinemia. Penyakit ini juga disebut sebagai X-linked


infantile hypogammaglobulinemia (Bruton’s hypoglobulinemia). Pada
penyakit ini jumlah sel B dan semua imunoglobulin rendah kadarnya
sehingga terjadi hipogamaglobulinemia yang berat. Akibatnya
penderita dapat mengalami infeksi baterial yang berulang-ulang.
 Transient hypogammaglobulinemia. Sintesis IgG pada bayi yang
dalam keadaan normal terjadi pada umur 3 bulan, pada keadaan ini
mengalami kelambatan dan baru mulai pada umur 2-3 tahun.

 Hipogamaglobulinemia variabel. Hipogamaglobulinemia terjadi pada


individu pada dekade kedua atau ketiga hidupnya, karena sel B gagal
melakukan diferensiasi menjadi sel plasma. Akibatnya penderita
menjadi peka terhadap infeksi bakteri piogenik dan infeksi protozoa
usus.

 Defisiensi IgA. Defisiensi IgA merupakan imunodefisiensi yang paling


sering terjadi akibat gangguan pada peralihan kelas (class switching).
Sekitar 20% individu dengan defisiensi IgA juga mempunyai titer IgG
yang rendah. Penderita dengan defisiensi IgA sangat peka terhadap
infeksi gastrointestinal, mata dan nasofaring. Selain itu banyak
penderita dengan defisiensi IgA juga menderita penyakit autoimun dan
keganasan limfoid.

 Defisiensi IgG selektif. Defisiensi dapat terjadi pada berbagai


subkeles IgG. Penderita peka terhadap infeksi piogenik.

 X-linked Hyper-IgM immunodeficiency. Individu dengan


imunodefisiensi tipe ini mempunyai kadar IgA dan IgG yang rendah
disertai dengan titer IgM yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena IgM
tidak dapat
192

diubah menjadi kelas Ig lainnya karena terjadi gangguan pada sel


CD4. Penderita sangat peka terhadap infeksi piogenik.

Imunodefisiensi sistem imun non-spesifik

(a). Imunodefisiensi primer

Imunodefisiensi primer pada sistem imun non-spesifik terjadi akibat kerusakan


pada sel fagositik dan sel NK atau pada sistem komplemen.

 Gangguan sistem fagositik. Gangguan sel fagositik, jumlah maupun


fungsinya, menyebabkan terjadinya peningkatan kepekaan terhadap
berbagai macam infeksi.
 Agranulositosis Kongenital. Penderita mengalami penurunan jumlah
neutrofil karena adanya gangguan diferensiasi sel leluhur mieloid
(myeloid progenitor) menjadi neutrofil.

 Neutropenia siklik. Keadaan ini ditandai dengan rendahnya jumlah


neutrofil sirkuler setiap tiga minggu sekali. Hal ini terjadi buruknya
pengaturan produksi neutrofil.

 Penyakit granulomatosa kronik. CGD (chronic granulomatous


disease) mempunyai karakter berupa limfadenopati dan
hepatosplenomegali. Kemampuan membunuh intraseluler leukosit
menurun dan rendahnya respiratory burst. Pada sebagian besar
penderita, defisiensi terjadi akibat gangguan pada oksidase NADPH
atau protein kofaktor lainnya yang berperan dalam respiratory burst.
Pengobatan dengan interferon-gamma berhasil baik terhadap keadaan
ini.

 Defisiensi Adesi Leukosit. Pada penyakit ini sel T dan sel makrofag
tidak mempunyai reseptor komplemen CR3 sehingga tidak dapat
merespon opsonin C3b. Selain itu terjadi gangguan diapedesis dan
193

gangguan neutrofil sehingga respon terhadap sinyal kemotaktik


menjadi

tidak efektif. Pengobatan terhadap penyakit ini dilakukan dengan


transplantasi sumsum tulang dan terapi genetik.

 Sindrom Chediak-Higashi. Sindrom ini berupa menurunnya


kemampuan membunuh intraseluler dan menjadi lambatnya gerakan
kemotaktik karena tidak terjadinya fusi fagosom dan lisosom dan
defisiensi proteinase. Juga terjadi kelainan sel NK dan trombosit
(platelet) dan gangguan neurologik.
 Gangguan sistem komplemen. Kelainan komplemen dapat
menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Terdapat
defisiensi genetik dari berbagai komponen sistem komplemen,
terutama adalah defisiensi C3 yang terjadi rendahnya sintesis C3 atau
defisiensi faktor I atau faktor H.

(b). Imunodefisiensi sekunder

Imunodefisiensi sekunder atau imunodefisiensi dapatan terjadi karena infeksi,


usia lanjut dan berbagai sebab lainnya.

 Imunodefisiensi karena infeksi. Infeksi bakteri, virus, protozoa,


cacing dan jamur dapat menyebabkan defisiensi sel B, sel T, PMN dan
makrofag. Yang paling sering terjadi pada imunodefisiensi sekunder ini
adalah AIDS yang penyebabnya adalah HIV-1 (human
immunodeficiency virus). Selain itu imunodefisiensi sekunder juga
dapat terjadi pada keganasan.
 Imunodefisiensi dan usia lanjut. Pada usia lanjut terjadi penurunan
progresif dari kortek timus, hiposeluler dan reduksi ukuran timus,
penurunan fungsi sel supresor dan peningkatan auto-reaktivitas, dan
penurunan fungsi sel CD4. sebaliknya fungsi sel B dapat meningkat.
194

 Imunodefisiensi dan keganasan serta infeksi lainnya. Defisiensi sel


B terjadi pada mieloma multipel, leukemia limfositik kronis dan limfoma.
Penyakit Hodgkin dan tumor padat yang lanjut ada hubungannya
dengan gangguan fungsi sel-T. Sebagian besar agen

kemoterapeutik yang digunakan untuk mengobati keganasan juga


bersifat imunosupresif.

Berbagai keadaan yang menunjukkan imunodefisiensi sekunder adalah


sickle cell anemia, diabetes melitus, malnutrisi kalori protein, luka bakar,
sirosis alkoholik, artritis rematoid, gangguan fungsi ginjal, dan lain
sebagainya.
195

BAB 5
BAKTERI-BAKTERI PATOGEN

1. STAPHYLOCOCCUS
2. STREPTOCOCCUS
3. NEISSERIA
4. MYCOBACTERIUM
5. CORYNEBACTERIUM
6. BACILLUS
7. CLOSTRIDIUM
8. ENTEROBACTERIACEAE
9. BACTEROIDES
10. VIBRIO
11. CAMPYLOBACTER
12. HELICOBACTER PYLORI
13. PSEUDOMONAS AERUGINOSA
14. HAEMOPHILUS INFLUENZAE
15. MENINGITIS
16. BORDETELLA PERTUSSIS
17. FRANCISELLA TULARENSIS
18. BRUCELLA
19. BORRELIA
20. TREPONEMATA
21. LEPTOSPIRA
196

22. LEGIONELLA
23. ACTINOMYCETES

5.1. STAPHYLOCOCCUS AUREUS

Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk kokus berukuran garis


tengah sekitar 1 μm yang pada pewarnaan bersifat Gram-positif; jika dilihat
dibawah mikroskop berbentuk seperti kelompok anggur. Staphylococci tidak
aktif bergerak (nonmotil), tidak membentuk spora, dan bersifat katalase
positif. Bakteri ini tahan panas sampai setinggi 50 0C, kadar garam yang tinggi,
dan tahan kekeringan. Koloni staphylococci berukuran besar dengan garis
tengah 6-8mm, dan berwarna bening. Banyak strain koloni bakteri ini
membentuk pigmen yang berwarna kuning gading atau jingga. S.aureus
tersebar luas di alam dan ada yang hidup sebagai flora normal pada manusia
yang terdapat di aksila, daerah inguinal dan perineal, dan lubang hidung
(nares) bagian anterior. Sekitar 25-30% manusia membawa S.aureus di
dalam rongga hidung dan kulitnya.

Gambar 90. Staphyllococcus aureus pewarnaan Gram


(http://web.mst.edu/~microbio/)
197

Klasifikasi Staphylococcus aureus

Domain Bacteria
Kingdom Eubacteria
Phylum Firmicutes
Class Bacilli
Ordo Bacillales
Famili Staphylococcaceae
Genus Staphylocococcus
Species Staphylococcus aureus
Koloni Staphylococcus aureus. Pada Tryptic Soy Agar koloni S.aureus
berwarna kuning karena adanya pigmen staphyloxanthin yang bersifat
sebagai faktor virulensi.

Gambar 91. Koloni S.aureus berwarna kuning pada Tryptic Soy Agar
(http://www.bacteriainphotos.com/-/staphylococcusaureus/microscopy.html)
198

Staphylococcus aureus bersifat katalase positif, dan mengadakan fermentasi


terhadap mannitol. Pada Mannitol Salt Agar (MSA) fermentasi mannitol oleh
S.aureus menghasilkan produk sampingan bersifat asam yang menurunkan
pH medium yang menyebabkan indikator pH , merah fenol, berubah warna
menjadi kuning.

Gambar 92. S.aureus, ditanam pada MSA menunjukan fermentasi pada


manitol, medium berubah warna menjadi kuning (Sumber: Cathcart dan
Shields,Univ.Maryland: http://lib.jiangnan.edu.cn/ASM)

Untuk membedakan dari spesies Staphylococcus lainnya, misalnya S.


epidermidis, bahan pemeriksaan dibiakkan pada medium Mannitol Salt Agar,
dimana S.aureus dapat memfermentasi mannitol, sedangkan S.epidermidis
tidak menyebabkan fermentasi mannitol.
199

Gambar 93. Staphylococcus dibiakkan pada Mannitol Salt Agar. S.aureus


(kiri) memfermentasi manitol, sedangkan S.epidermidis (kanan) tidak.
(http://www.uwyo.edu)

Staphylococcus aureus yang dibiakkan di medium Columbia agar dengan 5%


darah domba defibrinasi pada suhu 37 0C pada penyinaran menujukkan
terjadinya zona hemolisis-beta yang lebar di sekeliling koloni.

Gambar 94. Koloni S.aureus pada medium Columbia agar dengan 5% darah
domba defibrinasi menunjukkan hemolisis-beta di sekitar koloni
(http://www.bacteriainphotos.com/-/staphylococcus aureus microscopy.html)
200

Staphylococcus aureus mempunyai faktor koagulase darah yang mampu


menggumpalkan fibrinogen di dalam plasma untuk melindungi diri terhadap
fagositosis dan respon imun hospes. Koagulase merupakan salah satu faktor
virulensi S.aureus. Selain itu spesies ini juga menghasilkan eksotoksin
sitolitik, leukosidin dan exfoliatin yang mampu merusak sel hospes.

Gambar 95. Tes koagulase menunjukkan terjadinya bekuan pada medium


oleh S.aureus, yang tidak terjadi pada S.epidermidis (http://www.uwyo.edu)

Sifat fenotipik Staphylococcus aureus

 Gram-positif, kokus membentuk


kelompok
 Anaerob fakultatif, tidak aktif bergerak
(nonmotil), tidak membentuk spora

 Fermentasi glukose, terutama


menghasilkan asam laktat

 Memfermentasi mannitol (berbeda dari


S.epidemidis)

Infeksi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus dapat menimbulkan berbagai infeksi tetapi dapat juga


bersifat komensal. S.aureus dapat bertahan hidup pada lingkungan yang
kering selama berbulan-bulan, tergantung strain bakteri.
201

Patogenesis infeksi. Staphylococcus aureus menyebabkan penyakit pada


manusia melalui invasi jaringan dan atau karena pengaruh toksin yang
dihasilkannya. Infeksi dimulai dari tempat koloni patogen pada tubuh, lalu
ditularkan melalui tangan ke tempat bakteri dapat memasuki tubuh, misalnya
di luka yang ada di kulit, tempat insisi pembedahan, tempat masuk kateter
vaskuler, atau tempat lain yang lemah pertahanannya misalnya lokasi eksim
atau luka lecet kecil lainnya.

Pada infeksi kulit Staphylococcus aureus akan terbentuk abses. Dari ini
organisme akan menyebar secara hematogen. Dengan adanya enzim
proteolitik S.aureus dapat menimbulkan pneumonia, infeksi tulang dan sendi,
maupun endokarditis. Pada hospes yang mengalami gangguan sistem imun
(immunocompromised), misalnya penderita kanker yang mengalami
neutropeni, terapi intravena yang dilakukan dapat menyebabkan komplikasi
berat misalnya sepsis yang fatal akibat bakteremi S.aureus. Pada penderita
dengan fibrosis kistik, adanya S.aureus yang menetap, dapat menyebabkan
terjadinya resistensi terhadap antibiotika.

Gambar 96. Infeksi sekunder dengan Staphylococcus berupa selulitis


pada tempat suntikan vaksinasi cacar air
(http://hardinmd.lib.uiowa.edu/cdc/staph/cellulitis2.html)

Penularan S.aureus. S.aureus dapat menginfeksi jaringan jika hambatan


pertahanan kulit dan mukosa dapat diatasi, sehingga menyebabkan berbagai
jenis infeksi, misalnya furunkel dan karbunkel. Dari luka yang terinfeksi infeksi
S.aureus dapat
202

menyebar bersama nanah melalui kontak kulit-ke-kulit, karena hyaluronidase


yang diproduksinya dapat merusak jaringan. Selain itu penularan dapat terjadi
secara tidak langsung dengan menyentuh benda-benda yang digunakan oleh
penderita, misalnya handuk, pakaian, selimut, dan alat-alat olehraga yang
dipakai bersama.

Dermatitis atopik. Prevalensi S.aureus sangat tinggi pada penderita


dermatitis atopik, terutama di daerah ketiak, rambut dan kulit kepala. Bisul
besar yang lecet terjadi di daerah tersebut dapat menjadi kambuhnya infeksi
bakteri ini. Keadaan ini dapat mengawali terjadinya staphylococcal scalded
skin syndrome (SSSS) yang dapat berkembang menjadi penyakit Ritter yang
lebih berat, yang terutama terjadi pada bayi.

Infeksi S.aureus yang mencapai jaringan di bagian dalam dapat


menyebabkan penyakit yang berat, antara lain artritis septik dan endokarditis
serta pneumonia. Strain S.aureus yang memasuki fag, misalnya Φ-PVL
(menghasilkan Panton-Valentine-leukocidin) yang dapat meningkatkan
virulensi bakteri.

Penyakit akibat toksin S.aureus. S.aureus menghasilkan toksin yang dapat


menyebabkan penyakit atau sindrom penyakit sesuai dengan patogenesis
infeksi staphylococcus. Akibat berbahaya dari toksin S.aureus adalah
terjadinya toxic shock syndrome (TSS), yang sering terjadi pada perempuan
yang menggunakan tampon pada waktu mengalami menstruasi.

Tergantung pada strainnya, S.aureus dapat mensekresi beberapa jenis


exotoxin yang dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu superantigen,
exfoliative toxin dan toksin lainnya. Berbagai toksin ini menyebabkan
penyakit-penyakit yang tertentu.

 Superantigen. Golongan Staphylococcus aureus yang berperan


merangsang terjadinya toxic shock syndrome (TSS) ini termasuk
eksotoksin TSST-1, enterotoxin tipe B dan enterotoksin tipe C yang
menyebabkan terjadinya TSS pada perempuan pemakai tampon.
Gejala klinis berupa demam, ruam eritematus, hipotensi, syok, gagal
berbagai organ, dan deskuamasi kulit. Tidak adanya antibodi terhadap
TSST-1 berperan pada patogenesis TSS.
203

Beberapa strain S.aureus menghasilkan enterotoxin yang tahan panas


dan menyebabkan gastroenteritis S.aureus dengan gejala muntah dan
diare 1-6 jam sesudah tertelan toksin. Gastroennteritis ini sembuh
dengan sendirinya (self-limiting) sesudah 8-24 jam. Nyeri perut sering
juga dialami penderita dan kadang-kadang terjadi syok. Enterotoksin B
dapat menyebabkan gangguan kesehatan jika terhirup. Jika toksin
yang terhirup dosisnya rendah, penderita akan mengalami batuk,
demam, gangguan pernapasan, muntah, mual dan sakit kepala.

 Exfoliative toxin. Toksin EF ini menyebabkan scalded-skin syndrome


(SSSS), yang umumnya terjadi pada bayi dan anak kecil, dan dapat
menimbulkan epidemi di bangsal perawatan rumah sakit. Pada SSSS
terjadi pengelupasan kulit.
 Toksin lainnya. Toksin yang bekerja pada membran sel antara lain
adalah alpha toxin, beta toxin, delta toxin dan beberapa bicomponent
toxin (misalnya Panton-Valentine Leukocidin- PVL yang ada kaitannya
dengan pneumonia nekrotik pada anak)

Infeksi nosokomial S.aureus. Sebagian besar Staphylococcus yang tidak


patogenik, kadang-kadang bisa menimbulkan infeksi nosokomial pada luka
pasca pembedahan. Infeksi nosokomial di rumah sakit atau di unit perawatan
kesehatan yang dapat menyebabkan kematian antara lain:

 Sepsis karena bakteri masuk ke dalam darah (bakteremia)


 Pneumonia pada pengguna alat bantu pernapasan (ventilator) atau
penderita yang mempunyai penyakit paru tersamar (underlying lung
disease).

 Impetigo, furunkel,selulitis, folikulitis, karbunkel,abses dan infeksi kulit


lainnya.

 Endokarditis yang menyebabkan gagal jantung atau stroke.

 Osteomielitis akibat bakteremia atau infeksi langsung intravena atau


melalui luka tusuk.
204

 Toxic shock syndrome (TSS)

 Meningitis

S.aureus adalah penyebab utama bakteremia nosokomial di Amerika Utara,


Amerika Latin dan Eropa. Menurut laporan CDC (Centers for Disease Control
and Prevention) S.aureus merupakan penyebab penting infeksi nosokomial
pneumonia, infeksi nosokomial luka pasca bedah dan infeksi nosokomial
aliran darah.

Bakteremi S.aureus

Bakteremia atau infeksi melalui darah oleh S.aureus merupakan penyebab


utama tingginya morbiditas dan mortalitas akibat infeksi oleh organisme
patogen. Infeksi melalui darah yang disebabkan oleh strain MRSA (methicillin-
resistant S.aureus) meningkat cepat di USA dan di Eropa. Hal ini terjadi
karena jumlah penderita dengan gangguan sistem imun
(immunocompromised) meningkat jumlahnya, misalnya penderita dengan
infeksi HIV. Selain itu bakteremia juga meningkat frekwensinya pada
penderita yang mendapatkan imunosupresi karena pengobatan kanker atau
penderita yang mengalami transplantasi.

Resistensi Staphylococcus aureus terhadap antibiotika

Staphylococcus ada yang resisten antibiotika, antara lain MRSA (methicillin-


resistant S.aureus) dan VRSA (vancomycin-resistant S.aureus). Sebagian
besar strain S.aureus telah resisten terhadap penisilin, karena produksi enzim
beta-laktamase dapat merusak struktur beta-laktam penisilin. Untuk
menggantikan penisilin, S.aureus diobati dengan nafcillin atau oxacillin.

MRSA ( Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) adalah jenis S.aureus


yang sudah kebal terhadap antibiotika methicillin dan obat satu kelas lainnya,
misalnya penisilin, amoksilin,dan oksasilin. MRSA merupakan salah satu
contoh “superbug”, yaitu strain bakteri yang sudah resisten terhadap
antibiotika yang biasa digunakan untuk mengobatinya. MRSA ditemukan
205

pertama kali pada penderita yang dirawat di rumah sakit dan fasilitas
kesehatan lainnya (HA-MRSA atau health-care-associated

MRSA), terutama pada orang lanjut usia, orang yang sakit berat, dan mereka
yang mengalami luka terbuka (misalnya pada luka lecet akibat berbaring yang
lama-bedsore), atau penderita yang menggunakan kateter. Sesudah itu
MRSA ditemukan pada komunita penderita di luar rumah sakit (community-
associated MRSA, disingkat CA-MRSA) dalam hubungannya dengan
penggunaan antibiotika, menggunakan bersama alat tercemar, penderita
penyakit kulit aktif atau luka, higiene yang buruk dan hidup di lingkungan yang
padat penduduk.

Penularan MRSA. MRSA umumnya ditularkan melalui kontak langsung fisik


dengan penderita terinfeksi, tidak melalui udara. Kontak tidak langsung
karena menyentuh benda-benda (misalnya handuk, selimut, atau alat
olahraga) yang tercemar oleh kulit penderita yang terinfeksi Staphylococcus
atau MRSA juga dapat menularkan bakteri ini. Kolonisasi MRSA juga bisa
terjadi di dalam hidung atau kulit orang tanpa menyebabkan penyakit. Infeksi
MRSA umumnya ringan dan infeksi di permukaan kulit dapat diobati dengan
pemberian antibiotk atau perawatan kulit dengan baik. Meskipun demikian
MRSA yang menginfeksi darah dan tulang lebih sulit diobati karena
terbatasnya jenis antibiotika yang masih bisa digunakan.
206

Gambar 97. Staphylococcus aureus dikultur pada agar plate untuk


uji kepekaan obat pada lingkungan anaerobik (CDC/PHIL:
http://hardinmd.lib.uiowa.edu/cdc/staph/culture/htm)

Beberapa isolat S.aureus selain resisten terhadap penisilin, ada yang resisten
terhadap methicillin (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus- MRSA),
sehingga harus digunakan antibiotika vancomycin. Namun sekarang sudah
dilaporkan terjadinya resistensi S.aureus terhadap vamcomycin MRSA juga
dilaporkan meningkat frekwensinya di Amerika Latin, Inggris, Canada,
Australia, Asia, dan di semua bagian Eropa.

Gambar 98. Scanning electron micrograph S.aureus


(http://depts.washington.edu)

Gejala Klinis Stafilokokosis

Pada infeksi S.aureus berbagai gambaran klinis yang terjadi sesuai dengan
jaringan dan organ yang mengalami kelainan:

Infeksi kulit dan jaringan lunak. Kelainan pada kulit yang terjadi dapat
berupa impetigo, penyakit Ritter, folikulitis, furunkel atau karbunkel. Pada
impetigo, pada awalnya terjadi eritema kecil yang kemudian menjadi bulla
yang berisi cairan keruh. Jika bulla pecah akan terbentuk krusta yang
berwarna seperti madu (honey-colored crust).
207

Penyakit Ritter atau scalded skin syndrome adalah kumpulan gejala klinis
yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif mula-mula terjadi eritema selulitis,
diikuti melepuhnya kulit di tempat infeksi dan pada keadaan yang berat terjadi
eksfoliasi di

seluruh bagian tubuh. disertai demam dan diikuti terjadinya impetigo. Selain
itu dapat terjadi folikulitis, yaitu pembentukan pustula lunak dan infeksi folikel
rambut. Dari tempat infeksi di kulit dan jaringan subkutan yang mempunyai
folikel rambut terbentuk lubang-lubang kecil dari abses yang mengeluarkan
cairan purulen (furunkel). Furunkel-furunkel dapat saling berhubungan
menjadi karbunkel yang mempunyai beberapa lubang pustular.

Gambar 99. Impetigo pada infeksi oleh Staphylococcus aureus


(http://emedicine.medscape.com/)

Infeksi tulang dan sendi. Infeksi tulang atau osteomielitis dapat terjadi pada
anak dengan gejala awal berupa demam mendadak diikuti terjadinya
pelunakan tulang. Tulang mudah dibengkokkan dan penderita mengeluh
terjadinya nyeri hebat yang berdenyut. Infeksi S.aureus pada sendi atau
artritis menyebabkan sendi terasa panas. Pada daerah sendi terlihat eritema
dan terjadi pelunakan sendi. Penderita juga mengalami demam. Kelainan
yang terjadi pada tulang dan sendi jarang ditemukan pada bayi.
208

Endokarditis. Jika terjadi endokarditis pada katup jantung, mula-mula


penderita mengalami demam dan malaise dan dapat diikuti oleh terjadinya
emboli perifer. Endokarditis dapat terjadi pada katup jantung yang sehat.

Toxic shock syndrome. Superantigen yang dikeluarkan oleh


Staphylococcus aureus dapat menyebabkan penderita mengalami eritema
makular yang difus, demam dan hipotensi. TSS dapat menyebabkan
gangguan tiga atau lebih sistem organ yang berlangsung progresif.

Pneumonia. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan pneumonia,


terutama pada bayi, anak kecil, dan penderita debil. Pada awal infeksi terjadi
demam yang tidak berlangsung lama, kemudian dengan cepat diikuti oleh
gangguan pernapasan yang berat. Penderita juga dapat mengalami
gangguan gastrointestinal.

Gambar 100. Pneumonia oleh infeksi nosokomial Staphylococcus.


(http://www.nwhealth.edu/resource/radca/staph2.htm)
209

Tromboflebitis. Tromboflebitis terjadi pada tempat kateter intravenus


dimasukkan ke dalam jaringan. Keadaan ini banyak terjadi di rumah sakit
tempat penderita menjalani rawat inap.

Abses dan infeksi organ dalam. Pada otot dan organ-organ dalam dapat
terjadi infeksi dan pembentukan abses, antara lain pada kelenjar parotis, hati,
limpa, ginjal, mata dan sstem saraf pusat. Penderita umumnya mengalami
demam tetapi tidak menderita nyeri.

Diagnosis infeksi Staphylococcus

Pada infeksi ringan pada kulit, diagnosis umumnya ditetapkan berdasarkan


gambaran pada daerah kulit yang terinfeksi tanpa membutuhkan pemeriksaan
laboratorium. Pada infeksi Staphylococcus yang berat, misalnya bakteremia,
pneumonia dan endokarditis, diperlukan pemeriksaan darah atau
pemeriksaan cairan jaringan yang terinfeksi (misalnya dari biopsi kulit, atau
nanah), dengan membiakkannya di laboratorium mikrobiologi. Sesudah
bakteri tumbuh dilakukan uji kepekaan terhadap antibiotika untuk menentukan
antibiotika yang masih efektif untuk mengobati infeksi.

Pengobatan stafilokokosis

Infeksi ringan pada kulit diobati dengan salep antibiotika. Kadang-kadang


dapat diberikan antibiotika oral..Jika terjadi abses, nanah dikeluarkan melalui
pembedahan. Jika infeksi berat terjadi dan membahayakan jiwa penderita,
antibiotika dapat diberikan intravenus. Untuk memilih antibiotika yang sesuai,
dilakukan kultur bakteri dan dilakukan uji kepekaan antibiotikaa. MRSA
adalah strain Staphylococcus aureus yang sudah resisten terhadap berbagai
jenis antibiotika.
210

Prognosis stafilokokosis. Prognosis infeksi Staphylococcus adalah baik jika


pengobatan antibiotika dapat diberikan dengan cepat dan jika perlu dilakukan
tindakan pembedahan untuk mengeluarkan nanah. Selain itu pada infeksi
MRSA beratnya infeksi dan keadaan kesehatan penderita mempengaruhi
prognosis penderita. Pneumonia MRSA dan sepsis merupakan penyebab
tingginya angka kematian. Di USA, sekitar 19.000

orang meninggal setiap tahunnya akibat MRSA, lebih tinggi dari pada angka
yang disebabkan oleh HIV..

Komplikasi stafilokokosis. Salah satu komplikasi infeksi Staphylococcus


yang berat adalah terjadinya Scalded Skin Syndrome. Penyakit Ritter atau
scalded skin syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang disebabkan oleh
toksin eksfoliatif yang memecahkan ikatan lapisan-lapisan kulit, sehingga
terjadi kerusakan kulit dan lepasnya lapisan atas kulit. Mula-mula terjadi
eritema selulitis, diikuti melepuhnya kulit di tempat infeksi dan pada keadaan
yang berat terjadi eksfoliasi di seluruh bagian tubuh. disertai demam dan
diikuti terjadinya impetigo. Selain itu dapat terjadi folikulitis, yaitu
pembentukan pustula lunak dan infeksi folikel rambut. Dari tempat infeksi di
kulit dan jaringan subkutan yang mempunyai folikel rambut terbentuk lubang-
lubang kecil dari abses yang mengeluarkan cairan purulen (furunkel).
Furunkel-furunkel dapat saling berhubungan menjadi karbunkel yang
mempunyai beberapa lubang pustular. Jika hal ini terjadi luas di berbagai
bagian tubuh, penderita akan mengalami kerusakan kulit yang mirip akibat
luka bakar yang luas, sehingga penderita akan meninggal dunia. Keadaan ini
terutama terjadi pada anak-anak, meskipun dapat juga dialami oleh setiap
orang. Untuk mengobati scalded skin syndrome, harus diberikan antibiotika
intravenus dan mencegah kulit agar tidak mengalami dehidrasi akibat luasnya
kulit yang terkelupas.

Keracunan makanan S.aureus

Bakteri Staphylococcus aureus biasa ditemukan pada kulit dan hidung dari
25% orang sehat maupun hewan. Bakteri ini menghasilkan tujuh jenis toksin
211

yang dapat menimbulkan keracunan makanan. Enterotoxin yang tahan panas


menyebabkan gastroenteritis S.aureus dengan gejala muntah dan diare 1-6
jam sesudah tertelan toksin. Gastroennteritis ini sembuh dengan sendirinya
(self-limiting) sesudah 8-24 jam. Nyeri perut sering juga dialami penderita
dan kadang-kadang terjadi syok. Makanan dapat tercemar bakteri ini melalui
kontak dengan

pekerja makanan yang terpapar bakteri ini atau melalui susu dan keju yang
tercemar. Staphylococcus yang dapat hidup dan berkembang biak pada
makanan bergaram, menghasilkan racun yang dapat menyebabkan penyakit.
Racun Staphylococcus tahan terhadap pemanasan sehingga tidak rusak
pada proses pemasakan. Makanan yang berisiko tinggi tercemar
Staphylococcus aureus pembentuk toksin adalah makanan buatan tangan
yang tidak memerlukan pemanasan, misalnya sosis, pudding, sandwich dan
kue-kue.

Gejala klinis keracunan makanan staphylococus. Toksin Staphylococcus


bereaksi cepat, menyebabkan penyakit dalam waktu 30 menit. Gejala klinis
terjadi 1-6 jam sesudah makan makanan yang tercemar, berupa muntah,
mual, kejang perut, dan diare. Gastroenteritis umumnya ringan gejalanya dan
penderita dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu satu sampai tiga
hari.

Staphylococcus aureus pembentuk toksin dapat ditemukan pada tinja atau


muntahan penderita, sedangkan racun Staphylococcus bisa dideteksi di
dalam makanan. Diagnosis keracunan makanan oleh Staphylococcus
ditetapkan berdasar gejala klinis yang dialami penderita. Pemeriksaan tinja
untuk menemukan bakteri dan penemuan toksin hanya dilakukan jika terjadi
wabah gastroenteritis yang diderita oleh beberapa orang penderita.

Pengobatan keracunan makanan. Penderita yang menunjukkan gejala


gastroenteritis yang jelas, mendapatkan istirahat, diberikan cairan yang
cukup, dan obat-obatan untuk meredakan gangguan lambung. Penderita
dengan penyakit yang berat, biasanya diderita oleh anak dan orang berusia
lanjut, diberi terapi intravenus dan harus menjalani rawat inap. Antibiotika
212

tidak diberikan untuk mengobati penderita karena tidak mempengaruhi


toksinnya.

Penderita keracunan makanan tidak menularkan penyakitnya pada orang lain

Mortalitas dan morbiditas. Angka mortalitas dan morbiditas infeksi


Staphylococcus aureus berbeda-beda, sesuai dengan

kelainan organ dan jaringan yang terjadi. Selain itu angka kematian yang
terjadi tergantung pada cepatnya diagnosis ditegakkan.

Pada infeksi tulang akibat Staphylococcus aureus, jumlah penderita laki-laki


lebih banyak dari pada penderita perempuan karena orang laki-laki umumnya
aktifitas fisiknya lebih tinggi sehingga lebih sering mengalami luka traumatik.

Risiko terinfeksi Staphylococcus aureus. Penderita yang juga menderita


penyakit-penyakit kronis, misalnya diabetes, kanker, penyakit vaskuler dan
penyakit paru menahun umumnya lebih peka terhadap infeksi
Staphylococcus aureus. Selain itu penderita yang sedang menjalani operasi
atau mendapatkan kateter intravenus, atau penderita dengan gangguan
sistem imun, merupakan populasi yang berisiko tinggi terinfeksi
Staphylococcus aureus.

Pencegahan stafilokokosis

Belum ada vaksin untuk mencegah infeksi Staphylococcus aureus. Karena


bakteri ini tersebar sangat luas dan dapat menyebabkan bermacam-macam
penyakit, pencegahan infeksi Staphylococcus harus ditujukan terhadap
faktor-faktor risiko yang dapat meningkatkan infeksi bakteri ini. . Tindakan
pencegahan ini dilakukan baik terhadap dokter, perawat, petugas perawatan,
maupun pengunjung rumah sakit. Selain itu kebersihan lingkungan,
kebersihan alat-alat bantu (misalnya kateter) dan perlengkapan perawatan
lainnya harus selalu dijaga agar tidak menjadi sumber penularan bakteri
Staphylococcus aureus baik di lingkungan rumah sakit maupun di luar rumah
sakit.
213

Untuk mencegah penyebaran infeksi Staphylococcus dan MRSA, tindakan-


tindakan yang harus dilakukan adalah :

1. Semua infeksi pada luka yang terus menerus menghasilkan nanah


harus ditutup dengan perban yang bersih dan kering.
2. Semua luka infeksi pada kulit harus dijaga kebersihannya. Tangan
harus selalu dicuci dengan baik, hindari kontak kulit dengan individu
yang mungkin terinfeksi. Perawatan kulit

harus dilakukan secara higienis pada waktu membersihkan kulit yang


lecet, luka, atau terpotong. Semua orang yang hidup berdekatan erat
dengan penderita (close contact), harus sering mencuci tangannya
dengan sabun dan air hangat, terutama orang yang merawat luka
penderita yang tersentuh luka terinfeksi atau bahan yang infektif.

3. Hindari menggunakan bersama perlengkapan pribadi (misalnya


handuk, kain pembasuh, pisau cukur, pakaian atau pakaian kerja)
karena mungkin telah tersentuh luka terinfeksi atau bahan infektif.
Bersihkan pakaian atau kain yang tercemar dengan air panas dan
sabun panas. Pengeringan pakaian sebaiknya dilakukan dengan udara
panas (hot dryer) dan tidak hanya dikeringkan dengan suhu udara
biasa.
4. Penanganan dan pembuatan makanan dapat mengurangi keracunan
makanan (food poisoning), dilakukan dengan cara:

 Mencuci tangan dan bawah kuku sebaik-baiknya menggunakan


sabun dan air sebelum menangani dan menyiapkan pembuatan
makanan.

 Jangan membuat makanan jika sedang sakit mata atau sakit


hidung.atau terdapat infeksi kulit tangan.

 Jangan membuat atau menyiapkan makanan jika menderita luka


atau mengalami infeksi kulit di daerah tangan atau pergelangan
tangan.
214

 Usahakan dapur dan tempat penyiapan makanan selalu bersih


dan dijaga sanitasinya.

 Makanan yang disimpan lebih dari dua jam, makanan panas


sebaiknya disimpan dalam keadaan panas (140 0C) dan
makanan dingin disimpan pada suhu dingin (di bawah 40 0C ).

 Simpan makanan masak pada wadah yang dangkal dan


masukkan segera. ke dalam refrigerator.

 Perempuan yang sedang menstruasi dengan sering mengganti


tampon sedikitnya setiap 4-8 jam. dapat mengurangi terjadinya
toxic shock syndrome akibat toksin Staphylococcus.

5.2. STREPTOCOCCUS

Streptococcus adalah bakteri kelompok asam laktat yang merupakan flora


bakteri yang banyak hidup di rongga mulut dan faring manusia dan beberapa
jenis hewan. Sel bakteri Streptococcus termasuk gram-positif , katalase
negatif, hidup dalam suasana anaerob fakultatif dan berbentuk sferis atau
ovoid, tersusun berpasangan, atau merupakan rantai pendek atau panjang.
Streptokoki patogen yang menyebabkan penyakit, antara lain adalah
Streptococcus pyogenes, yang dapat menyebabkan faringitis, tonsilitis,
impetigo, scarlet fever, erysipelas, demam rematik dan glomerulonefritis,
S.pneumoniae, penyebab pneumonia, S.agalactiae, penyebab mastitis, dan
A.mutans yang dapat menyebabkan plak gigi, yang menjadi tempat hidup
berbagai organisme penyebab karies gigi.. Terdapat sekitar 50 spesies
Streptococcus; banyak anggota streptokoki yang sekarang dikeluarkan dari
Streptococcus dan dimasukkan ke dalam genus Enterococcus dan
Lactococcus.

Klasifikasi saintifik Streptococcus

Kingdom Bacteria
Phylum Firmicutes
215

Class Bacilli
Order Lactobacillales
Family Streptococcaceae
Genus Streptococcus
Species Streptococcus agalactiae

Klasifikasi dan patogenesis Streptococcus


Klasifikasi Streptococcus dilakukan berdasar sifat hemolitik bakteri, Spesies
dengan hemolitik-alfa menyebabkan oksidasi zat besi di dalam molekul
hemoglobin di dalam sel eritrosit, sehingga menimbulkan warna hijau pada
medium agar darah..
Spesies hemolitik-beta streptokoki menyebabkan pecahnya seluruh sel
eritrosit, sehingga pada agar darah tampak daerah luas sel darah yang
berwarna terang di sekeliling koloni bakteri. Spesies dengan hemolitik-gama
tidak menyebabkan hemolisis.
Streptokoki hemolitik-beta terdiri dari 20 serotipe berdasar Lancefield
serotyping yang menunjukkan sifat karbohidrat yang ada pada dinding sel
bakteri. Nama-nama serotipe adalah Lancefield grup A sampai V (tidak
termasuk I dan J).

Gambar 101. Klasifikasi Streptococcus


(Sumber: http....)
216

Gambar 102. Pewarnaan gram Streptococcus mutans ( Sumber:CDC)

Banyak spesies Streptococcus bersifat tidak patogen dan merupakan


komensal pada manusia di daerah mulut, kulit, usus, dan saluran pernapasan
bagian atas.

Streptococcus patogen dapat menyebabkan faringitis (strep throat),


meningitis, infeksi mata, pneumonia bakterial, endokarditis, erisipelas dan
necrotizing fasciitis (infeksi bakteri ‘pemakan-daging’).

Kelompok streptokoki yang terpenting dalam bidang kedokteran adalah


streptokoki hemolitik-alfa, Streptococcus pneumoniae dan grup
Streptococcus viridans, serta streptokoki hemolitik-beta, : Lancefield grup A
(dikenal sebagai Strep Grup-A) dan Lancefield grup B (atau Strep Grup-B).

Streptococcus Hemolitk-Alfa

Streptococcus pneumoniae, kadang-kadang disebut Pneumococcus,


adalah penyebab utama pneumonia bakterial dan kadang-kadang juga
menyebabkan otitis media, sinusitis, meningitis dan peritonitis. Gejala
klinik disebabkan oleh keradangan yang diakibatkan oleh
Pneumococcus.
217

Gambar103. Pewarnaan Gram Streptococcus pneumoniae (Sumber: CDC)

Streptococcus viridans merupakan kelompok komensal bakteri streptokoki


yang bersifat hemolitik-alfa, yang menimbulkan hemolisis partial dan warna
hijau (viridans) pada medium Agar darah, atau tidak menimbulkan hemolisis
(non hemolitik). Streptokoki ini tidak membentuk antigen Laceefield.
218

Gambar 104. Hemolitik-alfa Streptococcus viridans pada medium


Agar Darah (www.lifesci.dis.rudgers.edu)

Streptococcus Hemolitik-Beta

Streptococcus Group A. Streptococcus pyogenes , yang dikenal sebagai


Grup-A Streptococcus (GAS), adalah penyebab infeksi yang invasif maupun
yang tidak invasif. Hemolisis terjadi secara sempurna pada sel darah dan
menimbulkan kerusakan hemoglobin agar di sekeliling koloni. Infeksi yang
non invasif lebih sering terjadi dan kurang berbahaya, misalnya faringitis
streptokokal (strep throat) dan impetigo. Demam scarlet juga tidak invasif,
tetapi jarang dilaporkan.

Gambar 105. Streptococcus pyogenes, pewarnaan gram ( Sumber: CDC).


219

GAS dapat menyebabkan komplikasi lain, misalnya demam rematik dan


glomerulonefritis akut.

Demam rematik yang menyerang sendi, ginjal dan katup jantung tidak
disebabkan oleh bakterinya, melainkan oleh terjadinya penyakit autoimun
yang ditimbulkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh sistem imun penderita.
GAS merupakan patogen nomor satu dunia, karena menyebabkan 500.000
kematian setiap tahunnya

Gambar 106. Hemolitik-beta Streptococcus pyogenes pada medium Agar


Darah (lifesci.dis.rudgers.edu)
220

StreptococcusGrup B. Streptococcus agalactiae atau Grup B Streptococcus


(GBS) adalah penyebab pneumonia dan meningitis pada bayi dan orang
lanjut usia, dan kadang-kadang bakteremia sistemik. Mereka juga membentuk
koloni di usus dan saluran reproduksi perempuan, sehingga meningkatkan
terjadinya pecahnya mebran selama kehamilan, dan terjadinya penularan
organisme ke janin. Karena itu dianjurkan oleh CDC, The American College of
Obstetricians and Gynecologist, serta American Academy of Pediatrics untuk
melakukan pemeriksaan GBS pada perempuan hamil antara minggu ke 35
dan ke 37 kehamilannya. Perempuan yang menunjukkan GBS positif
sebaiknya diberi pengobatan pencegahan dengan antibiotika pada waktu
melahirkan, untuk mencegah terjadinya penularan ke bayi.

Streptococcus Grup C. Termasuk pada grup ini adalah Streptococcus equi


dan S.zooepidemicus yang menjadi penyakit pada kuda dan mamalia.

Gambar 107. Scanning electronmicrograph, Streptococcus Grup C hemolitik-


beta, pewarnaan Gram-positif (CDC, PHIL ID#10586)
221

Streptococcus Grup D . Kelompok streptokoki grup D diklasifikasi ulang,


dimasukkan dalam genus Enterococcus, misalnya Streptococcus faecalis
menjadi Enterococcus faecalis.

Streptococcus Grup F, G dan H. Grup Streptokoki ini jarang menyebabkan


penyakit pada manusia.

Koloni Streptococci

Streptokoki membentuk koloni kecil berwarna kelabu pada agar darah domba,
yang bisa menunjukkan hemolisis alfa, hemolisis beta atau tidak
menunjukkan hemolisis (non hemolitik).

Berbeda dengan stafilokoki, streptokoki bersifat tumbuh lebih baik dalam


keadaan anaerob dan bersifat katalase negatif. Enterokoki bersifat katalase
negatif atau positif lemah. Streptokoki menunjukkan banyak persamaan sifat
dengan enterokoki sehingga sifat fenotipik kedua genus tersebut agak sulit
dibedakan.

Sebagian besar strain Streptococcus penyabab penyakit dapat menyebabkan


hemolisis pada medium Agar Darah. Reaksi hemolitik digolongkan menjadi α,
β, dan γ berdasar bentuk zona hemolisis di sekitar koloni bakteri yang tumbuh
pada medium kultur.

Gambaran hemolisis pada Agar Darah. Terdapat tiga gambaran hemolisis


pada koloni Streptococcus pada medium agar darah, yaitu hemolisis alfa,
beta dan gamma.
1. Hemolisis alfa: koloni dikelilingi eritrosit berwarna hijau atau hijau
kecoklatan, yang terjadi akibat pengaruh peroksid yang dihasilkan
bakteri.
2. Hemolisis-beta. Koloni dikelilingi zona berwarna putih atau jernih,
tidak ditemukan eritrosit. Reaksi lebih jelas jika bakteri dibiakkan pada
keadaan konsentrasi rendah oksigen. Hemolisis beta disebabkan oleh
hemolisin.
3. Hemolisis-gama. Tidak ada zona hemolisis. Hemolisis negatif.
222

Gambar 108. Hemolisis tipe alfa dan tipe beta pada medium kultur
agar darah ( Sumber: CDC) .

Diagnosis Streptococci pada medium agar darah. Dari ukuran koloni,


kuatnya hemolisis dan lebarnya zona hemolisis, dapat ditentukan diagnosis
Streptococcus sebagai berikut:

 Koloni berukuran kecil, menunjukkan hemolitik alfa yang kuat (terutama


yang berasal dari sediaan paru atau orofaring, atau berasal dari
sediaan darah atau cairan serebrospinal. Streptokoki lain, berasal dari
kontaminan oral. S.pneumonia atau S.viridans menunjukkan
gambaran koloni seperti “donat” karena adanya autolisis.
 Koloni medium berwarna kelabu dengan hemolisis-alfa kuat atau
lemah adalah koloni Enterococcus.

 Koloni medium berwarna kelabu yang non-hemolitik yang berasal dari


kultur pernapasan atau berjumlah sedikit yang berasal dari kultur urine
lebih mengarah ke streptokoki non-hemolitik.

 Koloni kecil berwarna kelabu dengan hemolitik-beta yang hemolisisnya


berukuran kecil atau medium, termasuk Streptococcus pyogenes grup
A.

 Koloni medium berwarna kelabu dengan zona hemolisis beta yang


lemah dan berukuran sangat kecil, berasal dari urogenital perempuan
atau dari kultur darah bayi baru lahir, dan kadang-kadang dari kultur
luka, adalah S.galactiae grup B atau Listeria monocytogenes.
223

 Koloni kecil atau medium berwarna kelabu dengan zona lebar


hemolisis- beta yang kuat, berasal dari kultur tenggorok, adalah
streptokoki hemolitik-beta, bukan grup A dan bukan grup B..

Diferensiasi koloni S.pneumoniae, Streptococcus viridans, dan Enterococcus


ditentukan berdasar keadaan berikut:

1. Ketiga kelompok bakteri tersebut mempunyai koloni berwarna


kelabu dengan hemolitik-alfa.
2. Uji PYR : enterokoki, positif, S.pneumoniae dan streptokoki
viridans, negatif.

3. Koloni S.pneumoniae larut di garam empedu (40% sodium


desoxycholate) sedangkan streptokoki viridans tidak larut.

Sifat-sifat koloni spesies Streptococcus

(1). Streptococcus grup D

 Koloni hemolitik-alfa dengan PYR negatif.


 Patogen penting pada kultur urine

 Dapat tumbuh pada medium yang mengandung 40% bile esculin dan
menghidrolisis esculin ( streptokoki lainnya tidak bisa).

(2). Streptococcus viridans

 Virulensinya rendah
 Terdapat pada 50% penderita endokarditis bakterial subakut (terutama
pada penderita imunokompromised, misalnya pada waktu manipulasi
gigi.

(3). Streptococcus pyogenes


224

 Merupakan streptokoki pada manusia yang paling patogen


 Membentuk koloni kelabu berukuran kecil sampai medium

 Membentuk zona hemolisis-beta kecil

 Banyak ditemukan pada kultur tenggorok, menyebabkan faringitis, dan


tonsilitis pada anak berumur 5-15 tahun.

 Karier asimtomatik pada saluran napas atas dan kulit dapat menyebar
dan menimbulkan demam rematik dan glomerulonefritis akut.

 S.pyogenes grup A yang berasal dari luka, cairan tubuh, atau kultur
darah bersifat sangat virulen dan cepat menimbulkan kematian.

(4). Streptococcus agalactiae grup B

 Membentuk koloni kelabu berukuran medium, dengan tepi yang tipis


 Terdapat hemolisis-beta lemah, zona berukuran kecil,

 Ditemukan di urogenital perempuan, kultur urine, kultur darah bayi.

 Sepertiga perempuan adalah karier S.galactiae grup B, tetapi bisa


menyebabkan infeksi berat pada janin, misalnya pneumonia,
meningitis, dan septikemi pada bayi.

(5). Streptokoki hemolitikus-beta non-grupA, non-grup B

 Koloni kelabu berukuran kecil sampai medium


 Hemolisis-beta kuat berukuran lebar

 Ditemukan pada kultur orofaring,

 Virulensi rendah.

Pneumococcus
225

Streptococcus pneumonia termasuk bakteri Gram-positif, organisme anaerob


fakultatif, merupakan kokus berbentuk lanset (pisau bedah). Biasanya bakteri
ini tampak dalam bentuk sepasang kokus (diplococci), tetapi dapat juga
tampak satu-satu, atau dalam bentuk rantai pendek. Bakteri ini mempunyai
ukuran garis tengah sekitar 1 µm,. Pada pewarnaan bersifat Gram-positif,
tidak bergerak (non-motile), berkapsul dan tidak membentuk spora. Pada
bakteri yang dibiakkan di laboratorium, pneumococci secara mikroskopis
sukar dibedakan dari streptococci karena tidak tampak adanya kapsul.

Gambar 109. Streptococcus pneumonia, pewarnaan Gram


( http://web.uconn.edu/mcbstaff)

Pneumococcus atau Streptococcus pneumoniae adalah penghuni normal


saluran pernapasan bagian atas manusia. Berdasar reaksi dengan antisera
yang tipe-spesifik, telah dapat dikenal sembilan puluh serotipe Pneumococci.
Antibodi dan komplemen

melakukan interaksi dengan opsonin pneumococci dan mengaktifkan


fagositosis serta mengenali organisme. Antibodi terhadap polisakarida kapsul
226

pneumococci dapat mengadakan reaksi silang dengan tipe lain pneumococci


atau dengan bakteri lain.

Gambar 110. Pewarnaan fluoresen antibodi material kapsul Streptococcus


pneumoniae (Sumber: CDC).

Beberapa pneumococci mempunyai kapsul yang permukaannya terdiri dari


polisakarida yang komplek. Polisakarida kapsul menjadi dasar primer tingkat
patogenitas organisme dan bersifat antigenik dan menjadi dasar klasifikasi
serotipe pneumococci. Organisme yang berkapsul bersifat patogenik untuk
manusia dan hewan coba, sedangkan yang tidak berkapsul tidak patogen.

.
227

Gambar 111. Strain avirulen Streptococcus pneumoniae dibiakkan


pada medium agar Columbia dengan 5% darah domba defibrinasi, dan
5% CO2.Koloni berukuran kecil dengan zona hemolisis-alfa yang lebar.
(www.microbiologyinpictures.com)
Bakteri ini dapat menyebabkan pneumonia, biasanya tipe lobar, sinusitis
paranasal dan otitis media, atau meningitis yang umumnya merupakan infeksi
sekunder dari infeksi-infeksi tersebut. Selain itu Pneumococcus juga dapat
menyebabkan osteomielitis, artritis septik, endokarditis, peritonitis, selulitis
dan abses otak. Bakteri ini pada waktu ini merupakan penyebab utama
penyakit bakterial invasif pada anak-anak dan orang lanjut usia.

Biakan pada medium agar darah, Pneumococcus bersifat hemolitik-alfa.


Seperti halnya dengan steptokoki lainnya, mereka tidak mempunyai katalase
dan memfermentasi glukose menjadi asam laktat. Berbeda dengan
streptokoki lainnya, mereka tidak menampilkan protein M, mereka
menghidrolisis inulin dengan komposisi dinding selnya yang khas oleh adanya
peptidoglikan dan teichoic acid.

Klasifikasi Saintifik S.pneumoniae

Kingdom Bacteria

Phylum Firmicutes

Class Bacilli

Order Lactobacillales

Family Streptococcaceae
228

Genus Streptococcus

Species S. pneumoniae

Biakan bakteri. Streptococcus pneumoniae adalah bakteri yang


membutuhkan perlakuan khusus, tumbuh optimal pada lingkungan dengan
karbon dioksida 5%. Bakteri hidup dalam suasana anaerob fakultatif dapat
ditingkatkan pertumbuhannya dengan meningkatkan konsentrasi CO 2 menjadi
sebesar 15%. Sekitar 20% isolat klinik segar membutuhkan kondisi anaerob.

Pertumbuhan bakteri ini membutuhkan sumber katalase, misalnya darah,


untuk menetralkan sejumlah besar peroksida hidrogen yang dihasilkan oleh
bakteri ini. Pada medium yang mengandung darah, pada suhu 37 0C, bakteri
mempunyai doubling time sebesar 20-30 menit. Pada biakan agar,
pneumococci membentuk koloni yang mengkilat, dengan ukuran diameter
sekitar 1 mm. Terdapat dua serotipe koloni bakteri, yaitu serotipe 3 dan 37
yang bersifat mukoid.

Terdapat dua varian koloni Pneumococci , yaitu koloni yang transparan dan
koloni yang tidak transparan (opaque). Koloni tipe transparan menyesuaikan
diri dengan lingkungan nasofaring, sedang varian opaque dapat hidup di
dalam darah.

Gambar 112. Strain virulen Streptococcus pneumoniae dibiakkan pada


medium agar Columbia dengan 5% darah domba defibrinasi, dan 5%
CO2 (www.microbiologyinpictures.com)
229

Seperti halnya streptococci, koloni pneumococci pada medium agar darah


menunjukkan adanya zona hemolisis alfa, yang membedakan S.pneumoniae
dari Streptococcus grup A (hemolitik beta), tetapi tidak dapat dibedakan dari
streptococci viridans (hemolitik alfa) komensal yang hidup di saluran
pernapasan bagian atas. Karena kedua jenis bakteri bersifat α-hemolisis,
perbedaannya dapat ditentukan dengan membiakkannya pada chocolate
blood agar.

Gambar 113. Hemolisis alfa Streptococcus pneumoniae


(http://www.microbiologyinpictures.com/streptococcus
pneumoniae.htm)

Koloni pneumococci sesudah inkubasi 18-24 jam pada suhu 37 0C


menunjukkan gambaran elevasi dengan plateau dan pada inkubasi lebih lama
akan tampak adanya autolisis pada bagian tengah dari koloni.
230

Gambar 114. Koloni Streptococcus pneumonia, konveks, mengkilat,


dibiakkan anaerob pada medium kultur Columbia agar dengan 5%
darah domba defibrinasi, pada suhu 37 0C, inkubasi 48 jam.
(www.microbiologyinpictures.com/-/streptococcus pneumoniae photos)

Untuk melakukan diferensiasi pneumococcus dari Streptococcus viridans


dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan fermentasi inulin, pemeriksaan kelarutan
empedu, dan uji kepekaan antibiotika (optochin).

Identifikasi pneumococcus. Untuk melakukan identifikasi dan membedakan


pneumococci dari streptokoki lainnya sedikitnya harus dilakukan:

 uji kelarutan empedu


 uji kepekaan optochin

 pewarnaan Gram-positif

 aktifitas hemolitik

Pneumococci menyebabkan hemolisis alfa pada medium agar yang


mengandung eritrosit kuda, manusia, rabbit dan

domba. Dalam keadaan anaerobik akan terjadi perubahan menjadi hemolisis


beta yang disebabkan oleh hemolisis yang labil-oksigen. Pada uji kepekaan
optochin, pneumococci akan membentuk zona hambatan dengan lebar 16
231

mm di sekeliling lempeng optochin (5 mg), dan mengalami lisis oleh garam


empedu (misalnya deoxycholate). Pada suhu 37 0C dengan meneteskan
beberapa tetes deoxycholate 10% pada kultur, dalam waktu beberapa menit
seluruh kultur bakteri akan mengalami lisis. Kemampuan deoxycholate
melarutkan dinding sel, tergantung pada adanya enzim autolitik (LytA).
Sebenarnya semua isolat klinik pneumococci mengandung autolisin dan
dapat mengalami lisis oleh deoxycholate.

Gambar 115. Strain mukoid Streptococcus pneumoniae pada medium agar


darah menunjukkan adanya hemolisis alfa (zona hijau di sekeliling koloni). Di
sekeliling cakram kertas optochin terlihat adanya zona hambatan.
(http://textbookofbacteriology.net/S.pneumoniae.html)

Morfologi pneumococcus

Kapsul bakteri. Reaksi pembengkakan (quellung reaction) merupakan dasar


menentukan serotipe bakteri dengan melihat terjadinya pembengkakan
kapsul sesudah terjadi pelekatan

dengan antibodi homolog. Tes dilakukan dengan mencampur sedikit koloni


dengan jumlah yang sama antiserum yang spesifik lalu diperiksa dibawah
232

mikroskop pada pembesaran 1000x untuk melihat adanya pembengkakan


kapsul.

Gambar 116. Reaksi Quellung S.pneumoniae untuk menentukan tipe kapsul


yang spesifik bakteri (http://textbookofbacteriology.net/S.pneumoniae.html)

Meskipun spesifisitasnya tinggi tetapi bisa terjadi reaksi silang antara kapsul
tipe 2 dan 5, 3 dan 8, 7 dan 18, 13 dan 30, dan dengan E.coli, Klebsiella,
H.influenzae tipe b , dan streptococci viridans tertentu.

Kapsul polisakarida membungkus seluruh bagian dari sel bakteri


Pneumococcus. Selama terjadi invasi bakteri, kapsul merupakan determinan
virulensi bakteri. Terdapat sekitar 90 tipe kapsul pneumococci yang menjadi
dasar serotipe antigenik organisme. Vaksin anti-pneumococcus ditentukan
oleh susunan dari berbagai antigen polisakarida kapsul dari strain yang tinggi
prevalensinya

Dinding Sel. Dinding sel S.pneumoniae terdiri dari enam lapis yang terdiri
dari peptidoglycan dengan teichoic acid yang melekat pada N-acetylmuramic
acid. Pada membran sel melekat lipoteichoic acid yang identik dengan
teichoic acid, dan keduanya mengandung phosphorylcholine. Substansi ini
merupakan elemen penting pada biologi S.pneumoniae karena

choline yang spesifik ini akan melekat pada choline-binding reseptor yang
selalu terdapat pada sel manusia.
233

Gambar 117. Scanning electron micrograph pada sepasang diplococci


Streptococcus pneumoniae (Sumber: CDC).

Pili. Struktur seperti rambut yang keluar dari permukaan sel ini banyak
dijumpai pada banyak strain S.pneumoniae. Selain berperan untuk
membentuk koloni pada saluran pernapasan bagian atas, pili juga
meningkatkan pembentukan TNF oleh sistem imun pada waktu terjadi infeksi
yang invasif.

Patogenesis. Banyak serotipe S.pneumoniae dapat menyebabkan penyakit


yang berat. Sekitar 10 serotipe bakteri ini yang menjadi penyebab 62%
penyakit invasif di seluruh dunia, tujuh serotipe diantaranya dapat diisolasi
dari darah atau cairan serebro spinal anak berumur dibawah 6 tahun.

Pneumococci dapat menyebabkan penyakit pada manusia, kera, rabbit, kuda,


tikus dan guinea pig. Koloni bakteri ini dapat ditemukan pada nasofaring 40%
populasi manusia. Pneumonia dan otitis media paling sering dijumpai,
sedangkan meningitis lebih bervariasi prevalensinya. Untuk uji virulensi
pneumococci sering dipakai rabbit dan tikus sebagai hewan coba.
234

Gambar 118. Pewarnaan Gram pada dahak penderita pneumonia lobar


menunjukkan adanya Pneumococcus (CDC).

Pneumococci melekat erat pada epitel nasofaring melalui berbagai


mekanisme respon imun. Penyebaran dapat terjadi ke paru dan telinga
tengah dipengaruhi oleh neuraminidase, sedangkan keradangan yang terjadi
disebabkan oleh komponen dinding sel pneumococcus dan pnerumolisin
menyebabkan terjadinya sitotoksisitas pada sel bersilia dari cochlea.

Pada pemaparan pneumococci dengan aerosol yang mencapai saluran


napas bawah, sel epitel saluran napas atas tidak ikut terpapar kecuali jika
terdapat kerusakan pada epitelnya. Pneumococci akan bergabung dengan sel
alveoli yang membentuk surfaktan yang mengandung choline.

Untuk dapat merangsang terjadinya respon imun keradangan pada jaringan


sehat, diperlukan sekitar 100.000 bakteri per ml.

Infeksi pneumococcus
Infeksi neumococci merupakan penyebab pneumonia tipe lobar dan dapat
bertindak sebagai patogen sekunder dari bronchopneumonia yang infeksi
primernya adalah virus, misalnya pada measles dan influenza.
235

Gambar 119. Infeksi Streptococcus pneumoniae pada penderita


dengan virus H1N1 (http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml)

Pada sinusitis paranasal dan otitis media akut, pneumococci dapat menjadi
penyebab tunggal atau bersama dengan organisme pyogenik lainnya.
Pneumococci sering menyebar dari satu fokus infeksi, misalnya meningitis
pneumoccal terjadi karena komplikasi dari otitis media dan pneumonia lobar.
Meskipun demikian dapat terjadi meningitis pneumococci sebagai infeksi
primer.
Infeksi pneumococci banyak ditemukan pada orang-orang yang mengalami
splenektomi dan operasi pengangkatan organ atau sesudah mengalami
pengobatan dengan radiasi.

Invasi bakteri. Bakteri yang dapat mengatasi respon fagositik hospes akan
berkembang dan menyebar. Komponen dinding sel akan secara langsung
mengaktifkan komplemen, proses koagulasi dan sitokin serta merangsang
interleukin-1, interleukin-6 dan TNF (tumor necrosis factor) dari makrofag dan
sel lainnya. Pneumococci yang mengalami autolisis atau yang merespon
agen mikrobial atau defensin dari hospes akan melepaskan pneumolisin dan
hidrogen peroksida yang dapat membunuh sel hospes dan merangsang
produksi nitric oxide yang berperan pada terjadinya syok sepsis.
236

Jika terjadi bakteremia, risiko terjadinya meningitis akan meningkat.


Pneumococci akan melekat pada kapiler-kapiler serebral. Jika
Pneumococcus berada di dalam cairan serebrospinal, komponen-komponen
dinding sel bakteri akan memicu terjadinya respon radang.

Epidemiologi

Streptococcus pneumoniae adalah anggota flora normal yang membentuk


koloni di nasofaring sekitar 40% orang sehat dan anak-anak tanpa
menimbulkan efek samping. Anak-anak bisa membawa patogen ini pada
nasofaringnya tanpa gejala sampai sekitar 4-6 minggu lamanya. Sekitar 60-
80% infeksi global S.pneumoniae disebabkan oleh serotipe 6, 14, 18, 19 dan
23. Infeksi pneumococci merupakan penyebab kematian terbanyak dari
penyakit-penyakit bakteri yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Infeksi
pneumococci terutama diderita anak berumur 6 bulan sampai 4 tahun dan
orang lanjut usia berumur diatas 60 tahun. Anak-anak berumur dibawah 5
tahun umumnya telah pernah menderita otitis media pneumococci.

Dengan ditemukannya vaksin terhadap bakteri ini, infeksi S.pneumoniae


mengalami penurunan. Akan tetapi terjadinya resistensi bakteri ini terhadap
antibiotika antara lain terhadap penisilin, cephalosporine, cefotaxime,
macrolide dan trimethoprim-sulfa serta terjadinya resisten terhadap banyak
antibiotika (multidrug resistance).

Vaksinasi neumococcus

Vaksin dibuat berdasar serotipe subgrup yang tinggi prevalensinya. Terdapat


23 jenis vaksin yang sudah diformulasi, meliputi 85-90% serotipe yang
meyebabkan penyakit invasif dengan efikasi sekitar 60% yang diberikan
sekali seumur hidup. Imunisasi diberikan pada populasi yang berisiko tinggi
terinfeksi pneumococci, termasuk orang berusia diatas 65 tahun. Di USA,
suatu vaksin konjugat pneumococci heptavalen (PCV7) suatu konjugat
polisakarida kapsul, dianjurkan diberikan pada
237

semua anak berumur 2-23 bulan dan anak berisiko berumur 24-59 bulan.
Empat dosis vaksin diberikan pada umur 2, 4, 6 dan 12-14 bulan. Hasilnya
memuaskan terhadap infeksi pneumococci yang invasif, terutama septikemi
dan meningitis.

Peumococcus (Streptococcus pneumoniae) adalah penghuni normal saluran


pernapasan bagian atas, dan dapat diisolasi dari nasofaring 5-70% orang
dewasa sehat. . Bakteri ini bisa menyebabkan pneumonia, sinusitis
paranasal, otitis dan meningitis.

Reaksi biokimia. Enzim katalase memecah hidrogen peroksida (H2O2)


menjadi H2) dan O2 dan menunjukan adanya gelembung pada cairan.
Semua Streptococcus adalah katalase negatif. Dengan uji biokimiawi dapat
dilakukan diferensiasi pneumococci dari Streptococcus viridans dimana
sebagian besar strain pneumococci menyebabkan fermentasi inulin.

Uji kelarutan empedu (bile solubility test). Pneumococci larut di empedu


(sodium deoxylate), sedangkan Streptococcus viridans dan streptococci
hemolitik-alfa lainnya tidak larut. Sodium deoxycholate (2% dalam akuades
steril) akan menyebabkan lisis dinding sel pneumococci.

Gambar 120. Uji kelarutan empedu. Strain 1 (bukan S.pneumoniae): tabung


yang diberi garam empedu tetap keruh . Strain 2 (S.pneumoniae) tabung
diberi garam empedu menjadi jernih (http://www.cdc.gov/meningitis/lab-
manual)
238

Uji kepekaan optochin. Pneumococci sangat sensitif terhadap optochin,


suatu alkaloid dari kelompok kuinin, sedangkan Streptococcus viridans telah
resisten. Pada permukaan medium yang sudah dituangi organisme
ditempatkan lempeng kertas filter yang sudah diresapi dengan 1 pada 4000
larutan air optochin.

Gambar 121. Uji kepekaan optochin pada Streptococcus pneumoniae.


Strain resisten optochin (kiri) tidak menunjukkan zona hambatan, jadi
bukan pneumococcus. Kanan, strain sensitif optochin (S.pneumoniae).
(http://www.cdc.gov/meningitis/lab-manual)

Dengan menggunakan lempeng kertas filter yang diresapi dengan larutan 1


per 4000 optochin, yang diinkubasi 18 jam pada suhu 37 0C, tampak adanya
hambatan pada pneumococci, sedangkan pada Streptococcus viridans tidak
ada hambatan. Zona hambatan dengan diameter 15-30 mm menunjukkan
bakteri masih sensitif terhadap optochin.
239

Karakter serologi. Sedikitnya terdapat 83 serotipe pneumococci yang


spesifik yang sudah diidentifikasi. Spesifisitas ditentukan oleh polisakarida
kapsul yang spesifik. Penentuan tipe dilakukan pada slide dengan
mencampur satu mata oser (loopful) pada broth culture atau larutan saline
dari kultur blood agar plate dengan satu mata oser antiserum diagnostik; satu
kaca penutup (cover slip) diletakkan diatas campuran lalu diperiksa di bawah
mikroskop menggunakan objektif oil-immersion di bawah penyinaran yang
redup.

Gambar 122. Reaksi Quellung, pembesaran kapsul di sekeliling sel


pneumococci (http://thunderhouse4-yuri.blogspot.com)

Jika terdapat antiserum yang spesifik kapsul akan tampak membesar (reaksi
Quellung) sedangkan jika tidak terdapat antibodi yang spesifik, kapsul dan
bagian tepinya hampir tidak terlihat.
240

5.3. NEISSERIA

Sebagian besar anggota genus ini hidup komensal ekstraseluler di saluran


napas bagian atas. Dua spesies yang bersifat patogenik dan hidup
intraseluler adalah Neisseria meningitidis (meningococcus) dan Neisseria
gonorrhoeae (gonococcus). Isolasi Neisseria biasanya dilakukan dengan
medium agar Thayer-Martin (yang mengandung antibiotika vancomycin,
colistin, nystatin dan TMP-SMX untuk menghambat kontaminasi bakteri dan
jamur) dan nutrien untuk pertumbuhan Neisseria.
Gonococci hanya tumbuh baik pada medium pertumbuhan yang lengkap dan
tidak dapat tumbuh pada medium agar darah biasa. Medium yang digunakan
untuk menumbuhkan bakteri ini antara lain adalah Agar Modified Thayer-
Martin (MTM) atau Agar Martin-Lewis (ML).

Gambar 123. Neisseria gonorrhoeae pada Agar MTM diinkubasi 48 jam


pada suhu 35C dalam CO2 (https://catalog.hardydiagnostics.com)

Biakan medium Neisseria selalu diinkubasi dalam lingkungan CO2 untuk


meningkatkan pertumbuhan. Koloni N.gonorrhoeae mempunyai garis tengah
berukuran 1-4 mm sesudah diinkubasi
241

48 jam untuk menumbuhkan tipe-tipe koloni T1, T2, T3 dan T4. Koloni
Neisseriae halus dan tidak berpigmen. Beberapa strain bakteri menghasilkan
koloni kecil yang tidak khas.

Kapsul polisakarida. Kapsul ini membungkus disekeliling membran terluar


bakteri dan melindunginya dari mekanisme imun efektor yang terlarut di
dalam serum. Kapsul yang berperan sebagai faktor virulensi ini tidak terdapat
pada N.gonorrhea.

Mikroskopi. Neisseria gonorrhoeae yang disebut juga gonococcus adalah


bakteri diplokokus yang Gram-negatif, yang menyadi penyebab gonore,
infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual .
Garis tengah bakteri ini sekitar 1 µm, agak memanjang dan tersusun
berpasangan, motil, tidak berkapsul dan tidak membentuk spora. Meskipun
demikian, jika strain dari spesies patogen baru diisolasi, dapat terlihat adanya
kapsul. Organisme ini dapat ditemukan intraseluler maupun ekstraseluler
pada leukosit PMN (polymorphonuclear). Jika dilakukan subkultur di
laboratorium, bakteri tampak lebih sferis dan cenderung berkelompok.
Beberapa strain gonococcus membentuk fimbriae yang halus.

Gambar 124. Elektronmikrograf N.gonorrhoeae dengan fimbriae (K.Todar,


www.textbookofmicrobiology.net )
242

N.gonorrhoeae memiliki pili tipe IV untuk melekat kuat pada permukaan.


Bakteri ini mempunyai protein permukaan tempat melekat pada reseptor sel
imun, tetapi dapat mencegah terjadinya respon imun, dan tidak terbentuknya
memori imun sehingga reinfeksi dengan diplokokus ini dapat terjadi.
N.gonorrhoeae dapat menghindari sistem imun dengan membentuk variasi
anitigenik , sehingga sel imun sukar mendeteksi diplokokus ini.

Gambar 125. Pewarnaan antibodi fluoresen Neisseria gonorrhoea


(http://en.wikipedia.org/wiki/Neissera)

Neisseria meningitidis
Neisseria meningitidis, sering disebut sebagai meningococcus, adalah bakteri
penyebab meningitis, dan penyakit meningokokal lainnya misalnya sepsis
meningokokus (meningococcaemia). Bakteri ini merupakan penyebab penting
tingginya morbiditas dan mortalitas meningitis pada anak-anak di negara-
negara industri dan dapat menimbulkan epidemi di Afrika dan Asia. Neisseria
meningitidis adalah diplococcus yang pada pewarnaan termasuk Gram-
negatif, dan biakan bakteri menunjukkan tes positif terhadap enzim
cytochrome c oxidase.
243

Gambar 126. Pewarnaan Gram Neisseria meningitidis dalam cairan


serebrospinal bersama leukosit PMN (http://www.cdc.gov/meningitis/lab-
manual/html )

N. meningitidis hidup di saluran napas atas dan nasofaring, sering


merupakan bagian flora normal mukosa pada 5-15% orang dewasa. Selain itu
organisme ini dapat ditemukan pada mukosa rongga mulut, rektum, saluran
urogenital dan plak gigi. Meningococci hanya menginfeksi manusia untuk
mendapatkan zat besi (transferrin dan lactoferrin).
Meningococci diklasifikasi berdasar struktur antigenik kapsul polisakarida.
Terdapat enam kelompok N.meningitidis yang dapat menimbulkan epidemi,
yaitu grup A,B,C,W135, X dan Y.
Meningococcus ditularkan melalui ludah dan sekresi respirasi lainnya, melalui
batuk, bersin, berciuman, dan menjilat mainan.
Infeksi bakteri ini menyebabkan kelelahan umum, demam, sakit kepala dan
kaku kuduk yang dapat cepat berubah menjadi koma dan kematian. Gejala
meningitis yang ditimbulkannya sukar dibedakan dari meningitis oleh
Hemophilus influenzae
244

dan Streptococcus pneumoniae. Sekitar 10% penderita terinfeksi


meningococcus meninggal dunia, dan angka kematian dapat meningkat pada
penderita dengan gangguan imunitas, misalnya karena sindrom nefrotik atau
splenektomi.

Virulensi.meningococcus Lipooligosaccharide (LOS) adalah komponen


membran terluar N.meningitidis yang bertindak sebagai endotoksin yang
menjadi penyebab terjadinya syok septik dan perdarahan akibat kerusakan
sel darah merah. Faktor virulensi lain adalah kapsul polisakarida yang
menghambat fagositosis respon imun dan fimbriae yang menyebabkan
pelekatan bakteri pada sel epitel nasofaring.

Biakan bakteri. Spesies patogenik untuk pembiakannya memerlukan


lingkungan dengan atmosfir mengandung 10% CO2. Untuk isolasi primer
dibutuhkan medium kultur agar darah atau agar darah yang sudah
dipanaskan, dengan inkubasi 370C selama 48 jam sebelum kultur dinyatakan
negatif. Untuk medium selektif digunakan medium MNYC (modified New York
City medium) yang merupakan medium kaya yang mengandung antibiotika
untuk menghambat pertumbuhan organisme kontaminan.

Koloni berbentuk konvex, berukuran garis tengah 1-2 mm, transparan, tidak
berpigmen dan non-hemolitik.

Organisme ini tumbuh dengan baik pada lempeng agar darah ( blood agar
plate -BAP) dan lempeng agar coklat (chocolate agar plate-CAP) pada suhu
35-370C dengan lingkungan 5% CO2. Koloni N. meningitidis berwarna
kelabu dan pada BAP tidak membentuk pigmen, berbentuk bulat, halus,
lembab, mengkilat dan konveks, dengan tepi yang jelas batasnya. Pada CAP
koloni N.meningitidis berukuran besar, tak berwarna atau kelabu. Untuk
melakukan identifikasi dan karakterisasi bakteri, jika dilakukan dengan BAP
inkubasi selama 18-24 jam, atau jika pada CAP dilakukan pada suhu 35-37 0C
dengan 5% CO2 (pada candle-jar).
245

Gambar 127. Koloni N.meningitidis pada BAP


(http://www.cdc.gov/meningitis/lab-manual)

Gambar 128 Koloni N.meningitidis pada CAP


(http://www.cdc.gov/meningitis/lab-manual)
Reaksi biokimiawi. Semua spesies Neisseria memberikan reaksi oksidase
positif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 1% larutan reagen
oksidase yang baru dibuat pada lempeng kultur. Neisseriae segera berubah
warna menjadi ungu tua. Metoda lain adalah dengan mencelupkan kertas
saring pada sediaan reagen oksidase lalu mengoleskan pada kertas
246

saring tersebut satu tetes kultur dari koloni. Jika hasil tes positif, sisa kultur
dapat di subkultur untuk penelitian selanjutnya.
Untuk melakukan diferensiasi spesies Neisseria dilakukan pemeriksaan
reaksi fermentasi. Suatu suspensi padat dari kultur bakteri yang diinkubasi
satu malam dibuat pada garam penyangga (buffer) dan aliquot suspensi
kemudian ditambahkan pada 10% stock solution dari gula uji. Tabung yang
sudah diinokulasi di inkubasi pada 37 0C pada penangas air (water bath) dan
reaksi dibaca sesudah 3 jam.

Penggunaan karbohidrat oleh N.meningitidis. Uji karbohidrat dilakukan


untuk memastikan identifikasi strain misalnya N.meningitidis. Pada uji ini
digunakan 4 jenis karbohidrat, yaitu glukose(dextrose), maltose, laktose dan
sukrose yang ditambahkan pada CTA (cystine trypticase agar), dengan
menggunakan indikator merah fenol pada medium.

Tabel 16. Penggunaan karbohidrat (pembentukan asam) oleh Neisseriae dan


Moraxella spp. (CDC)

Organisme Glukose Maltose Laktose Sukrose

N.meningitidis + + - -

N.lactamica + + + -

N.gonorrhoea +/- - - -
e
N.sicca + + - +

M.catarrhalis - - - -

Reaksi fermentasi Neisseriae Semua spesies Neisseria yang menyebabkan


penyakit pada manusia bereaksi katalase positif dan oksidase positif.
Identifikasi spesies Neisseria dilakukan dengan uji reaksi gula yang
menghasilkan asam. Sebagai contoh, N.gonorrhoeae pada reaksi gula yang
menghasilkan asam
247

hanyalah glukose, sedangkan N.meningitidis asam dihasilkan oleh reaksi


glukose dan maltose.

Reaksi gula pada CTA (cystine trypticase agar) untuk N.meningitidis dengan
menggunaan glukose atau dekstrose dan maltose menunjukkan
pembentukan asam (warna berubah menjadi kuning) dan tidak ada
pemakaian laktose atau sukrose.
Terjadi dan terlihatnya kekeruhan serta warna kuning pada bagian atas
medium menunjukkan adanya petumbuhan bakteri dan pembentukan asam
berarti hasil uji positif. Hasil negatif baru boleh dinyatakan negatif sesudah
inkubasi selama 72 jam.
Perubahan warna menjadi kuning tidak disertai kekeruhan biasanya bukan
reaksi positif.

Gambar 129. Reaksi gula CTA pada N.meningitidis dengan adanya


penggunaan glukose/dekstrose dan maltose ditunjukkan dengan adanya
pembentukan asam (warna berubah menjadi kuning). Tidak ada penggunaan
laktose dan sukrose.(Sumber : CDC)

Karakter serologi . Untuk menentukan grup serologi N.meningitidis dilakukan


reaksi aglutinasi menggunakan antisera yang dibuat terhadap antigen sel
permukaan. Terdapat tiga serogrup yang penting yaitu grup A,B dan C. Grup
A adalah strain yang sering menyebabkan meningitis meningococcus
248

karena mempunyai patogenitas yang lebih tinggi dibanding serogrup lainnya.


Grup lainnya umum ditemukan pada nasofaring orang sehat.
N.gonorrhoeae secara serologis heterogen meskipun pada isolasi
menunjukkan hanya ada satu serogrup.

Kelompok komensal Neisseria. Kelompok komensal pada manusia ini


semuanya bersifat oksidase positif dan morfologinya identik dengan
meningococci dan gonococci. Semuanya tumbuh baik pada nutrien agar dan
menghasilkan koloni dalam waktu 18 jam pada suhu 37 0C, untuk
membedakannya dari spesies patogen lainnya. Koloninya lebih tebal dan
lebih opaque dibanding gonococci dan meningococci. Beberapa anggota
neisseriae yang komensal membentuk koloni yang berpigmen.

Infeksi Neisseria

Hanya ada dua anggota genus yang patogenik untuk manusia yaitu
N.meningitidis dan N.gonorrhoeae yang keduanya merupakan parasit obligat
yang sukar bertahan hidup di luar hospesnya. Pada infeksi lokal diagnosis
ditetapkan dengan pewarnaan Gram dan kultur dari bahan infektif.
N.meningitidis dapat menyebabkan:
 Meningitis piogenik akut
 Konjungtivitis
 Endokarditis
 Septikemia

Meningitis

Meningitis adalah keadaan kedaruratan medik yang memerlukan penanganan


segera. Jika meningitis meningokokus atau septikemi terjadi penderita harus
diobati dengan memberikan antibiotika intravenous dan penderita harus
dirawat di rumah sakit. Dengan demikian pemeriksaan laboratorium tidak
diperlukan untuk memastikan adanya Neisseria meningitidis
249

karena pemberian antibiotika telah menurunkan dengan cepat jumlah bakteri


di dalam tubuh.
Septikemi oleh N.meningitidis belum menunjukkan gejala klinis meningitis
melainkan selalu menyebabkan terjadinya ruam purpura, sehingga diagnosis
septikemi jarang ditegakkan. Septikemi yang terjadi dalam waktu beberapa
jam sesudah diagnosis dipastikan, dapat menyebabkan angka kematian
penderita mencapai 50%.

Meningitis meningokokus. Meningitis oleh Neisseria meningitidis


menunjukkan gejala dan keluhan sebagai berikut:

 Sakit kepala yang berat


 Demam

 Mual

 Muntah

 Fotofobi

 Kaku kuduk

Letargi atau selalu mengantuk sering dilaporkan, sedangkan stupor dan koma
jarang terjadi. Terjadinya koma menunjukkan buruknya prognosis.Penderita
juga mengeluh terjadinya ruam kulit yang menunjukkan bahwa penyakit
berlangsung progresif. Pada orang lanjut usia sering menunjukkan perubahan
mental dan terjadinya demam yang lama. Jika terjadi septikemi
meningokokus yang berat, penderita dapat mengalami kolaps sirkulasi dan
ruam perdarahan. Pada penderita anak, meningitis meningokokus
menunjukkan gambaran klinis sebagai berikut:

 Infeksi subakut berlangsung progresif selama beberapa hari


 Mudah marah (irritability)

 Muntah

 Kejang-kejang yang terjadi pada hari-hari pertama


250

 Sindrom Waterhouse-Friderichsen berupa perdarahan petekia yang


luas pada kulit dan membran mukosa, demam, syok septik dan DIC
(disseminated intravascular coagulation

 Pada bayi terjadinya gejala bisa tidak jelas, misalnya tanpa kaku
kuduk.

Diagnosis infeksi N.meningitidis

Standard emas untuk diagnosis adalah isolasi Neisseria meningitidis dari


cairan tubuh yang biasanya steril. Suatu sampel klinis misalnya berupa cairan
serebro spinal dikirimkan segera ke laboratorium untuk identifikasi organisme.
Diagnosis ditetapkan dengan membiakkan organisme pada chocolate agar
plate yang kemudian diikuti dengan uji katalase dan uji oksidase ( yang positif
pada semua Neisseria) dan uji karbohidrat maltose, sukrose dan glukose.

Gambar 130. Koloni Neisseria meningitidis dari sediaan cairan serebrospinal


pada chocolate agar plate (http://www.idimages.org/images/organismdetail)

Pemeriksaan laboratorium atas cairan serebrospinal memastikan terjadinya


meningitis, jika terdapat gambaran sebagai berikut:

 Tekanan terbuka lebih dari 180 mm air


 Pleositosis leukosit polimorfonuklir, dengan hitung sel leukosit antara
10 dan 10.000 sel/µL, sebagian besar neutrofil

 Kadar glukosa menurun, kurang dari 45 mg/dL Dalam uji karbohidrat


ini N.meningitidis memfermentasi glukose dan maltose.
251

 Kadar protein meningkat, lebih dari 45 mg/dL

 Untuk menentukan subgrup organisme dilakukan pemeriksaan


serologi.

Gambar 131. Diferensiasi dengan reaksi gula. Neisseria meningitides


menunjukkan fermentasi pada glukose dan maltose
(http://www.microbeworld.org/component/jlibrary)

Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan, yaitu:

 Kultur cairan serebrospinal dan darah untuk menemukan


N.meningitidis
 PCR (polymerase chain reaction) untuk memastikan diagnosis.

 Computed tomography (CT) scanning dengan indikasi penderita tidak


sadar, adanya papil edema, kelainan neurologi, atau adanya kejang-
kejang

 MRI (magnetic resonance imaging). Penggunaan kontras menunjukkan


lebih jelas adanya lesi otak, edema serebral, dan iskemia serebral.

 EEG (electro encephalography). menunjukkan pola terjadinya kejang.


Pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan mikroskopis atas cairan
252

serebrospinal menunjukkan adanya bakteri diplococci yang bersifat


Gram negatif.

Gambar 132. Pewarnaan Gram pada cairan serebrospinal diperiksa di bawah


mikroskop menunjukkan diplococci N.meningitidis
(www.lib.jiangnan.edu.cn/ASM)

Uji klinis untuk mendiagnosis penyakit meningokokus dilakukan antara 2-48


jam sesudah infeksi dengan membiakkan bakteri dari darah atau cairan
serebro spinal. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat
dilakukan untuk menentukan identitas organisme meskipun antibiotika sudah
diberikan untuk mengatasi infeksi. Karena angka kematian dapat mencapai
15% dalam waktu 12 jam infeksi, pemeriksaan klinis laboratorium harus
segera diberikan tanpa menunggu hasil terapi antibiotika.

Pengobatan infeksi N.meningitidis

Penderita yang menderita infeksi N.meningitidis harus segera dirujuk ke


rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan dengan antibiotika. Karena
penyakit meningokokus dapat menyebar dengan cepat, pemberian antibiotika
secara intramuskuler sering diberikan secepat mungkin, bahkan sebelum
penderita dirawat di rumah sakit.

Cephalosporin generasi ketiga (misalnya cefotaxime atau ceftriaxone) harus


sudah diberikan untuk penderita yang diduga atau yang hasil kulturnya
menunjukkan adanya infeksi
253

meningokokus tanpa menunggu uji kepekaan antibiotika diketahui hasilnya.

Pengobatan empiris juga diberikan jika pemeriksaan cairan serebrospinal


tidak bisa dilakukan dalam waktu 30 menit sesudah penderita masuk
rumahsakit. Pemilihan antibiotika dilakukan berdasar uji laboratorium, tetapi
diagnosis dapat ditentukan berdasar pemeriksaan klinis.

Vaksinasi meningokokus

Terdapat tiga jenis vaksin untuk mencegah penyakit meningokokus untuk


orang berumur diatas 2 tahun. Ketiga vaksin tersebut efektif terhadap
serogrup A,C,Y dan W-135.

MCV4 (meningococcal conjugate vaccine) yang diproduksi tahun 2005 dan


2010 digunakan untuk orang berumur 2-55 tahun, sedangkan MPSV4
(meningococcal polysacharide vaccine) hanya digunakan untuk orang
berumur diatas 55 tahun. Kecuali jika MCV4 tidak tersedia atau jika
pemberian MCV4 merupakan kontraindikasi, MPSV4 boleh diberikan pada
usia 2-55 tahun. Pada tahun 2013 FDA menyetujui penggunaan vaksin
Menveo yang merupakan vaksin meningokokus kuadrivalen yang dapat
melindungi terhadap infeksi N.meningitidis serogrup A, C, Y, dan W-135
untuk orang berumur antara 2 dan 55 tahun.

Pada tahun 2012 FDA menyetujui diberikannya vaksin Menhibrix (vaksin


kombinasi terhadap penyakit meningokokus C dan Y dengan Haemophilus
influenzae tipe b) yang bisa diberikan untuk bayi berumur 6 minggu sampai
18 bulan).

Penatalaksanaan meningitis

Untuk mencegah tingginya morbiditas dan mortalitas neurologik, terapi yang


cepat dengan antibiotika harus dilakukan segera, jika dugaan adanya
meningitis bakterial ditetapkan, yaitu sesudah dilakukan pungsi lumbal.

Terapi empirik diberikan sampai penyebab meningitis dipastikan, yaitu:


254

 Dexamethasone

 Cephalosporin generasi ketiga (ceftrixone atau cefotaxime)

 Vancomycin

 Acyclovir, tergantung pada hasil penilaian cairan serebrospinal

 Doxycycline, diberikan pada musim caplak (tick) di daerah endemis.

Pencegahan. Pencegahan dilakukan secara immunoprophylaxis atau


chemoprophylaxis. Pemberian rifampin, quinolon, dan ceftrixone merupakan
antimikroba yang diberikan untuk memberantas meningokoki dari nasofaring.

Vaksinasi terhadap meningokokus A, C,W, dan Y. Belum ada vaksin untuk


mencegah meningitis meningokokus yang disebabkan oleh serogrup B.

Neisseria gonorrhoeae

Neisseria gonorrhoeae, yang juga dikenal sebagai gonococcus, adalah


diplococcus gram-negatif penyebab penyakit gonore.

Gonococcus dapat menyebabkan infeksi lokal, biasanya di traktus genitalis,


tetapi infeksinya dapat juga menyebar ke berbagai organ. N.gonorrhoeae
dapat hidup bebas di luar hospes, dan dapat menyebabkan berbagai infeksi
dan bakteremia yaitu gonore, uretritis, prostatitis dan epididimitis, orchitis,
cervisitis, endometritis, meningitis, faringitis, artritis, endokarditis (jarang
terjadi), konjungtivitis dan vulvovaginitis.
Gejala infeksi N.gonorrhoeae berbeda-beda tergantung pada tempat
terjadinya infeksi. Sekitar 10% dari laki-laki yang terinfeksi dan 80%
perempuan yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala atau keluhan
(asimtomatis). Infeksi pada genital dapat menyebabkan terbentuknya cairan
purulen mirip nanah yang berbau busuk dan menunjukkan terjadinya
keradangan, kemerahan, pembengkakan dan disuria. Pada bayi sering terjadi
konjungtivitis (ophthalmic neonatorum) yang didapat karena bayi terpapar
N.gonorrhoeae yang terdapat di jalan lahir. Infeksi ini
255

dapat menyebabkan kerusakan kerusakan kornea atau perforasi sehingga


bayi menjadi buta.
Infeksi kuman ini juga dapat menimbulkan sindrom dermatitis-arthritis
gonokok dengan gejala artralgia, tenosinovitis dan dermatitis yang tidak gatal
dan tidak nyeri. Penyakit radang pelvis gonore jika tidak diobati dapat
menyebabkan infertilitas karena terjadinya jaringan parut pada tuba fallopii.
Strain N.gonorrhoeae dapat membentuk beta-laktamase dan dilaporkan
terjadinya pandemi infeksi gonococci di Timur Jauh yang menjalar ke
berbagai negeri, antara lain Inggris.

Gonore
Gonore adalah infeksi N.gonorrhoeae yang ditularkan melalui kontak seksual
atau terjadi perinatal dan terutama menginfeksi membran mukosa dari uretra
dan cervix. Jarang terjadi infeksi pada rektum, orofaring, dan konjungtiva.
Infeksi genital pada perempuan yang menjalar ke atas dapat menyebabkan
endometritis dan salpingitis (yang secara bersama disebut PID- pelvic
inflamatory disease), yang merupakan komplikasi utama penyebab infertilitas
pada perempuan.

Gambar 133. Konjungtivitis gonore


(http://hardinmd.lib.uiowa.edu/cdc/gonorrhea/html)
256

Isolasi gonokokus
Karena gonokokus yang bercampur dengan flora normal sangat mudah mati,
isolasi dilakukan melalui pengambilan bahan kultur yang benar, dan tidak
terpapar lingkungan, serta membutuhkan medium kultur yang sesuai
(misalnya Martin –Lewis agar) dan dilakukan identifikasi yang tepat.

Gambar 134. Pewarnaan Gram N.gonorrhoeae yang tampak sebagai


diplokoki (http://textbookofbacteriology.net/pathogenesis)

Koleksi bahan pemeriksaan. Pada orang laki-laki untuk membiakkan


gonokokus, bahan pemeriksaan yang terbaik adalah eksudat uretra atau
kerokan uretra. Kultur dari bahan dari tenggorok atau rektum hanya dilakukan
jika ada indikasi seksual di daerah tersebut.
Pada perempuan usap cervix lebih baik dari pada bahan pemeriksaan berasal
dari uretra atau vagina. Yang terbaik adalah bahan pemeriksaan dari cervix
bersama bahan pemeriksaan rektal. Bahan pemeriksaan harus segera
dibawa ke laboratorium (kurang dari 4 jam) dengan menggunakan medium
transport.
257

Resistensi gonococcus terhadap antibiotika

Antibiotika pada umumnya dapat digunakan untuk mengobati infeksi dengan


Neisseria patogen. Dilaporkan telah terjadi peningkatan prevalensi strain-
strain bakteri gonokok dan meningokok terhadap antibiotika (misalnya
keluarga penicillin) sehingga harus diganti dengan ceftriaxone (generasi
ketiga cephalosporin). Akan tetapi kemudian juga terjadi resistensi gonokok
terhadap ceftriaxone, sehingga hal ini menyulitkan pengobatan terhadap
gonore. Karena itu gonokok dimasukkan dalam kelompok “superbug”.

Pengobatan dan pencegahan

Jika N.gonorrhoeae telah resisten terhadap penisilin, dapat digunakan


cephalosporin (ceftriaxone) untuk penggantinya. Partner seksual penderita
juga harus diobati Penderita sebaiknya diperiksa terhadap adanya infeksi lain
yang ditularkan secara seksual, terutama infeksi Chlamydia yang sering
terjadi bersama gonore. Karena itu pengobatan antibakterial terhadap gonore
sebaiknya juga dapat mengobati infeksi chlamydia.

Pencegahan gonore dilakukan dengan menggunakan kondom, baik pada


hubungan seksual normal, oral atau anal dan menghindari hubungan seksual
dengan banyak partner. .

5.4. MYCOBACTERIUM

Mycobacteria banyak dijumpai secara luas, terutama di di tempat sumber air


termasuk air pipa yang mengandung klorin dan bahan makanan
Mycobacterium adalah genus dari Actinobacteria dari keluarga
Mycobacteriaceae. Dalam genus ini terdapat beberapa spesies yang hidup
258

sebagai parasit obligat, termasuk dua spesies yang patogen untuk manusia
dan mamalia, yaitu Mycobacterium tuberculosis penyebab tuberkulosis dan
Mycobacterium leprae penyebab lepra atau Morbus Hansen.

Sifat pewarnaan. Mycobacteria merupakan organisme tahan asam (acid-


fast). Pewarnaan tahan asam yang dapat digunakan untuk mengetahui
adanya bakteri ini di dalam jaringan antara lain adalah pewarnaan Ziehl
Neelsen, pewarnaan Kinyoun dan pewarnaan Fite.

Klasifikasi medik Mycobacteria

Untuk keperluan diagnosis dan pengobatan, Mycobacteria diklasifikasi


menjadi beberapa kelompok, antara lain:

 M.tuberculosis complex, menyebabkan tuberkulosis: M.tuberculosis,


M.bovis, M.africanum, M.canetti, dan M.microti. Mycobacterium
tuberculosis adalah penyebab tuberkulosis pada manusia. Manusia
merupakan satu-satunya sumber penularan bakteri ini. Mycobacterium
bovis merupakan penyebab tuberkulosis pada sapi dan kadang-
kadang manusia juga terinfeksi. Baik sapi maupun manusia dapat
menjadi sumber infeksi. Infeksi pada manusia terjadi karena minum
susu sapi yang tidak dipasteurisasi sehingga menimbulkan tuberkulosis
ekstrapulmoner.
 M.avium complex: (MAC): adalah kumpulan spesies mycobacteria
yang dapat menyebabkan infeksi pada berbagai jaringan tetapi tidak
menyerang paru, dan dapat menjadi penyebab kematian pada
penderita AIDS. Dalam kelompok ini antara lain termasuk: M.avium,
M.avium paratuberculosis, M.avium silvaticum, M.avium hominissuis,
M.colombiense dan M. Indicus pranii.
 Ungrouped mycobacterium. Termasuk dalam kelompok ini adalah
M.leprae dan M.lepromatosis yang menjadi penyebab penyakit lepra
atau penyakit Hansen.
259

 Mycobacteria nontuberkulosa (NTM): semua mycobacteria lainnya


yang dapat menyebabkan penyakit paru yang menyerupai
tuberkulosis, limfadenitis, penyakit kulit atau penyakit menular lainnya.

Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang lurus atau agak


melengkung dengan ujung membulat, tidak bergerak, tidak membentuk
kapsul dan tidak membentuk spora.. Ukuran bakteri ini adalah 2-4 μm
panjang dan 0.2-0.5 μm lebar.

Gambar 135. Mycobacterium tuberculosis, pewarnaan Ziehl-Neelsen


(Sumber: CDC)

M.tuberculosis bersifat aerob obligat, karena itu pada penderita tuberkulosis


paru bakteri ini selalu ditemukan di daerah lobus atas paru yang banyak
udaranya. Bakteri ini merupakan parasit fakultatif intraseluler di dalam
makrofag dengan masa generasi lambat (slow generation time), yaitu 15-20
jam..
260

Gambar 136. Scanning electron micrograph M.tuberculosis


(http://phil.cdc.gov/phil)

Morfologi kultur. Mycobacteria bersifat aerob obligat. Terdapat dua medium


untuk membiakkan M.tuberculosis yaitu medium agar Middlebrook dan
medium Lowestein-Jensen yang merupakan medium berbasis telur. Kedua
medium ini mengandung bahan penghambat kontaminan yang menganggu
pertumbuhan Mycobacterium Bakteri yang patogen ini tumbuh sangat
lambat meskipun dibiakkan pada medium kultur yang diperkaya, misalnya
pada medium Lowenstein-Jensen. Koloni Mycobacterium tuberculosis baru
terbentuk 4-6 minggu sesudah inkubasi pada 37 0C, dengan sifat koloni yang
kering, keras tidak mudah meleleh, dengan permukaan koloni yang tidak
teratur dan berwarna gelap. Koloni M.bovis lebih halus, lunak, dan berwarna
putih.
261

Gambar 137. Koloni Mycobacterium tuberculosis pada medium Lowenstein-


Jensen (Sumber: CDC)

Tuberkulosis

Penyebab tuberkulosis pada manusia adalah M.tuberculosis, M.bovis,


M.africanum, M.microti dan M.canetti.

Patogenesis tuberkulosis. Mycobacteria dapat membentuk koloni di dalam


tubuh hospes tanpa menunjukkan gejala kelainan. Berjuta-juta orang di
seluruh dunia mengalami infeksi asimtomatik dengan Mycobacterium
tuberculosis. Infeksi mycobacterium dikenal sukar diobati. Hal ini disebabkan
karena dinding selnya yang tidak termasuk pada kelompok Gram negatif
maupun positif, yang secara alami resisten terhadap sejumlah antibiotika
yang dapat mengganggu biosintesis dinding sel, misalnya penisilin. Karena
sifat khas dinding selnya, bakteri ini mampu bertahan dalam waktu lama
terhadap paparan asam, alkali, detergen, oksidasi, komplemen dan berbagai
antibiotika. Banyak mycobacteria yang sensitif terhadap clarithromycin dan
rifamycin, meskipun beberapa strain telah mulai resisten terhadap antibiotika.
Seperti halnya bakteri patogenik lainnya, protein permukaan dan protein
ekstrasitoplasmik yang disekresi M.tuberculosis berperan penting pada
virulensi organisme ini.
262

Bakteri tuberkulosis sesudah masuk ke dalam tubuh hospes dapat mulai


melakukan multiplikasi jika sistem imun hospes tidak mampu menghambat
pertumbuhan bakteri. Pada orang lain, bakteri tuberkulosis tidak segera
menjadi aktif, menunggu keadaan dimana daya tahan tubuh penderita
menurun. Anak-anak kecil dan bayi sering mengalami sistem imun yang
lemah. Begitu juga penderita dengan infeksi HIV, pencandu obat bius,
penderita diabetes, silikosis, kanker leher dan kepala, leukemia, penderita
penyakit Hodgkin, penyakit ginjal berat, berat badan rendah, penderita yang
mendapatkan pengobatan dengan kortikosteroid, penderita transplantasi,
artritis rematoid, dan penyakit Crohn.

Faktor-faktor penularan tuberkulosis. Berbagai faktor yang mempengaruhi


terjadinya penularan tuberkulosis adalah:

 Daya tular penderita TBC


 Lingkungan dimana terjadi paparan

 Lamanya pemaparan

 Virulensi basil TBC

LTBI (Latent Tuberculosis Infection) terjadi jika basil tuberkulosis terdapat di


dalam tubuh tetapi dapat dikendalikan oleh sistem imun sehingga tidak dapat
menjadi aktif. Dalam waktu 2-8 minggu sistem imun memproduksi sel imun
(makrofag) yang kemudian mengelilingi basil tuberkulosis dan menjadi
dinding pelindung yang mengendalikan basil tuberkulosis..Sekitar 10% orang
dengan sistem imun normal yang menderita LTBI dapat berkembang menjadi
TBC yang menular.

Tabel 17. Diferensiasi LTBI dan Penyakit TBC (K.Todar, 2008)

Penyakit Tuberkulosis Paru


LTBI

Bukan kasus TBC Kasus TBC

TST atau pemeriksaan darah (+) TST atau pemeriksaan darah (+)

Foto paru, normal Foto paru biasanya tidak normal


263

Pemeriksaan dahak(-) Kultur (-) Pemeriksaan dahak dan kultur bisa(+)

Simtom (-) Simtom (+):batuk,demam,berat menurun


Menular jika tak diobati
Tidak menular

LTBI ini dapat dideteksi dengan melakukan Mantoux tuberculin skin Test
(TST) atau melakukan pemeriksaan darah, misalnya IGRA (interfero-gamma
release assays). Penderita dengan LTBI tidak menularkan tuberkulosis pada
orang lain.

Tempat terjadinya tuberkulosis. Basil tuberkulosis dapat mencapai semua


bagian dari tubuh, tetapi tempat yang paling sering ditemukan M.tuberculosis
adalah paru, nodus limfa, laring, pleura, ginjal, spina, tulang dan otak.

Tabel 18. Lokasi dan frekwensi tuberkulosis pada manusia

Lokasi Frekwensi
Paru Sebagian besar kasus
TBC Paru
TBC adalah TBC paru
Tempat di luar paru, Sering terjadi pada:
TBC Ekstrapulmoner yaitu:  Penderita HIV atau
laring, nodus limfa, orang dengan
pleura, otak, ginjal, imunosupresi
tulang dan sendi  Anak kecil

Basil tuberkulosis Jarang


TBC Milier disebarkan ke seluruh
bagian tubuh melalu
aliran darah.

Penyakit Tuberkulosis progresif. Pada orang dengan HIV penyakit


tuberkulosis dapat berlangsung progresif melalui jalan berikut:
• Orang dengan LTBI terinfeksi HIV dan kemudian mengalami penyakit
TBC jika sistem imun tubuhnya menurun
• Orang dengan HIV terinfeksi M.tuberculosis yang kemudian segera
yang dengan cepat penyakit tuberkulosisnya berkembang.
264

Reaksi biokimiawi Mycobactrium. Untuk keperluan diferensiasi dan


identifikasi mikobakteria yang patogen digunakan kriteria sederhana, yaitu
dengan memperhatkan kecepatan pertumbuhan koloni, suhu optimum untuk
kultivasi

in vitro. Selain itu dapat digunakan pemeriksaan biokimiawi, yaitu tes niacin,
tes reduksi nitrat, tes katalase, tes urease, tes pyrazinamidase, tes acid
phophatase, tes hydrolysis of polyoxyethylene mono-oleate, dan tes
arylsulfatase. Tes fenotipik lainnya adalah tes reduksi tellurite, preferensi
oksigen, utilisasi sumber karbon, iron uptake, dan tes galaktosidase.

 Niacin test. Pemeriksaan ini menunjukkan terbentuknya cyanogen


chloride melalui reaksi chloramine T dan potassium thiocyanate
dengan citric acid.
 Nitrate reduction test. Tes ini bertujuan untuk mendeteksi adanya
nitrate reductase pada medium yang mengandung sodium nitrate.
 Catalase test. Pada M.tuberculosis dan M.bovis proses enzimatik
akan berhenti pada suhu 68 0C sedang pada mycobacteria lainnya
proses enzimatik terus berjalan pada suhu diatasnya.
 Urease test. Enzim ini dapat menghidrolisis urea, membentuk dua
molekul amonium yang digunakan oleh mycobacteria dalam proses
biosintesis.
 Pyrazinamidase test. Enzim pyrazinamidase mampu menghidrolisis
pyrazinamide menjadi pyrazinoic acid. Tes ini digunakan untuk
identifkasi M.tuberculosis dan M.canetti yang pyrazinamidase positif
dari spesies lain M.tuberculosis complex yang pyrazinamidase negatif.
 Acid phosphatase. Spesies M.tuberculosis menunjukkan tes negatif
(tidak mengandung acid phophatase) sehingga tidak bisa memecah
phenolphthalein monophosphate menjadi phenolphthalein.

Karakter serologik. Tidak ada uji yang valid untuk melakukan diferensiasi
kultur mikobakterium di laboratorium. Tuberkulin yang diperoleh dari dinding
sel bakteri digunakan untuk menentukan apakah seseorang di masa lalu
265

pernah menderita tuberkulosis, atau pernah diimunisasi dengan BCG.


Sekarang yang digunakan adalah derivat protein murni tuberkulin (PPD-
purified protein derivative). PPD disuntikkan ke dalam

kulit lengan (forearm) dan indurasi akan terbentuk di tempat suntikan jika
penderita pernah terinfeksi, atau sedang terinfeksi. Kadang-kadang tes
tuberkulin negatif hasilnya jika penderita sedang menderita penyakit
akut,misalnya tuberkulosis milier, atau sedang mengalami stadium awal
infeksi.

Inokulasi hewan coba. Untuk mengetahui apakah isolat dari penderita


adalah tipe human atau tipe bovis, dilakukan uji coba dengan melakukan
inokulasi subkutan pada rabbit dengan menggunakan kultur untuk
diferensiasi. Strain bovine akan membunuh hewan dalam waktu beberapa
minggu, dan pada pemeriksaan postmortem menunjukkan adanya sebaran
milier. Pada strain human, hanya terjadi lesi kecil pada tempat inokulasi.
Berbeda denga rabbit, uji coba pada guinea-pig yang disuntik intramuskuler
pada bagian dalam paha dengan menggunakan bahan patogen yang
mengandung basil mikobakterium human strain atau bovine type akan
menunjukkan penyakit yang progresif. Pada populasi penduduk yang sudah
terkendali dan hanya ada kasus-kasus ringan, pengujian dengan guinea-pig
lebih peka dibanding dengan kultivasi in vitro.

Infeksi basil tuberkel. Infeksi primer per inhalasi dengan M.tuberculosis


umumnya menimbulkan lesi paru yang disebut fokus Ghon, suatu lesi
subpleura, disertai kelainan pada nodus limfa hilus.
Pada infeksi M.bovis melalui susu sapi mentah, bakteri akan melekat pada
jaringan limfoid faring,dan nodus limfa servikal. Tempat masuk bakteri bisa
melalui jaringan limfoid ileum terminal diikuti penyebaran limfatik ke kelenjar
limfa mesenterik.
Tuberkulosis orang dewasa atau pasca primer tuberkulosis adalah infeksi
tuberkulosis yang menunjukkan gejala klinik, yang terjadi akibat infeksi
eksogen pada orang dewasa muda berumur di bawah 40 tahun atau akibat
reaktifasi dari lesi yang sudah sembuh, dan terjadi pada orang berusia lanjut.
266

Pencegahan tuberkulosis dengan menggunakan imunisasi BCG dapat


melindungi sekitar 80% infeksi alami, serta dapat mencegah terjadinya bentuk
infeksi tuberkulosis yang berat, misalnya meningitis dan tuberkulosis milier.
Tuberkulosis tetap merupakan masalah kesehatan yang penting terutama
pada populasi yang padat penduduknya. Juga pada kelompok-kelompok
pekerja misalnya petugas laboratorium yang menyiapkan sediaan sputum
untuk pewarnaan basil tuberkel, karena ternyata basil tuberkel ada yang
masih hidup pada waktu dilakukan fiksasi pemanasan. Selain itu telah banyak
dilaporkan dari seluruh dunia terjadinya resistensi M.tuberculosis terhadap
obat anti TBC.

Resistensi obat tuberkulosis. Mycobacterium tuberculosis resisten paling


sedikit terhadap satu obat anti tuberkulosis, yaitu Isoniazid (INH), Rifampin
(RIF), Pyrazinamide (PZA) atau Ethambutol (EMB). Arti resisten obat adalah
bahwa obat anti tuberkulosis tidak lagi dapat membunuh bakteri
M.tuberculosis.
Berdasar pada penyebab terjadinya resistensi, resisten obat dapat terjadi
secara primer atau sekunder.
 Resisten primer: terjadi akibat penularan organisme resisten-obat dari
penderita TBC ke orang lain.
 Resisten sekunder: resisten yang terjadi karena pengobatan TBC
tidak dilakukan sesuai dengan pedoman pengobatan atau penderita
tidak mengikuti aturan pengobatan.

Berdasar pada macam dan jumlah obat yang M.tuberculosis telah kebal
terhadapnya, resisten obat dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok,
yaitu:
 Monoresistant : resisten terhadap salah satu obat anti TBC.
 Polyresistant : resisten terhadap sedikitnya 2 obat anti TBC, tetapi
bukan
terhadap INH dan rifampin.
267

 Multidrug resistant (MDR TB): resisten sedikitnya terhadap INH dan


rifampin (2 obat anti TBC lini pertama).
 Extensively drug resistant (XDR TB): resisten terhadap INH dan
rifampin plus resisten terhadap fluoroquinolone dan sedikitnya 1 dari 3
obat suntik lini kedua (misalnya amikacin, kanamycin, atau
capreomycin).

Lepra

Penyakit Lepra atau penyakit Hansen disebabkan oleh bakteri Mycobacterium


leprae yang dapat ditularkan dari penderita ke orang lain. Penyakit lepra
terutama dilaporkan dari negara-negara India, Brazil, Myanmar, Mosambique,
Nepal dan Madagaskar. Penularan terjadi melalui titik ludah melalui batuk
atau melalui cairan hidung yang dibersinkan.

M.leprae, penyebab lepra, gambaran morfologinya mirip basil tuberkulosis,


tetapi kurang tahan terhadap asam dan hanya tahan dengan 5% H2SO4
untuk penghilangan warna (dekolorisasi) pada metoda Ziehl-Neelsen. Seperti
mycobacteria lainnya, basil lepra mempunyai dinding lilin (waxy) yang tebal,
sehingga pewarnaan dilakukan dengan carbol fuchsin bukan dengan
pewarnaan Gram.

Gambar 138. Fotomikrograf Mycobacterium leprae dari lesi kulit.


(Sumber: CDC)
268

Basil lepra adalah basil aerobik yang hidup intraseluler, pleomorfik, tidak
tahan terhadap alkohol. Identifikasi hanya dengan pemeriksaan mikroskopis,
karena basil lepra belum dapat dibiakkan pada medium kultur.
Biakan hewan coba hanya dapat dilakukan pada hewan armadillo.

Patogenesis lepra. M.leprae hidup dan berkembang intraseluler di dalam sel


histiosit kulit dan sel saraf dalam dua bentuk utama lepra, yaitu bentuk
tuberkuloid dan bentuk lepromatus.

Bentuk tuberkuloid. Pada bentuk ini M.leprae berkembang biak pada tempat
masuknya, biasanya di kulit, lalu menginvasi dan membentuk koloni di sel
Schwann. Mikroba merangsang limfosit T-helper, sel epiteloid, dan giant cell
mengadakan infiltrasi ke kulit yang menimbulkan terbentuknya bercak-bercak
dengan tepi merah pada kulit penderita. Bercak bercak ini kering, pucat,
pusatnya tidak berambut, dan disertai hilangnya rasa nyeri. Terbentuknya
makula dan hilangnya rasa nyeri merupakan kunci diagnosis lepra bentuk
tuberkuloid.

Gambar 139. Hipopigmentasi makula pada bentuk tuberkuloid lepra


(http://images.md.laneproxy.stanford.edu/)
269

Bentuk lepromatus. Basil lepra mengadakan proliferasi di dalam makrofag


yang ada di tempat masuk. Basil lepra juga berkembang di dalam epitel
jaringan di wajah dan cuping telinga.(ear lobes). Sel-T supresor yang
terbentuk banyak jumlahnya, tetapi sel epiteloid dan giant cells sedikit atau
tidak terbentuk. Karena gangguan cell mediated immunity , sejumlah besar
M.leprae berada di dalam makrofag dan penderita membentuk papul-papul
pada tempat masuk yang tampak sebagai lipatan-lipatan kulit. Kerusakan
saraf kutan menyebabkan terbentuknya gambaran khas muka singa (“classic
lion face” ). Jika terjadi penetrasi mikroba yang luas, dapat menyebabkan
kerusakan yang berat, misalnya hilangnya tulang, jari-jari tangan dan jari kaki.

SHAPE \* MERGEFORMAT

Gambar 140. Nodul kulit lengan pada lepra lepromatus


(http://images.md.laneproxy.stanford.edu)

Diagnosis lepra. Untuk keperluan diagnosis lepra, dibuat hapusan tipis dari
irisan kulit atau dari usapan hidung penderita, atau dari lesi granuloma yang
penuh basil lepra yang dapat ditemukan intraseluler maupun di luar sel. Pada
pemeriksaan mikroskopi optik tampak M.leprae membentuk kumpulan masa
basil yang bulat, dengan diameter panjang 1-8 μm dan 0.2-0.5 μm.
270

Kriteria diagnostik lepra. Dasar diagnosis lepra adalah gambaran klinik


penyakit ini, yaitu ditemukan:

1. Satu atau lebih bercak hipopigmentasi disertai hilangnya rasa


raba
2. Satu atau lebih saraf periferi yang menebal

3. Basil tahan asam pada hapusan atau biopsi kulit.

Infeksi dengan basil lepra berlangsung sangat lambat sampai beberapa tahun
lamanya, karena infektifitasnya sangat rendah.
Vaksinasi terhadap lepra dapat dilakukan dengan BCG, tetapi dengan
menggunakan vaksin yang dibuat dari M.leprae yang berasal dari armadillo
yang terinfeksi menunjukkan hasil yang lebh efektif.
Pengobatan lepra dengan dapsone telah lama dilakukan, tetapi dilaporkan
telah mulai terjadi resistensi basil lepra terhadap obat ini. Karena itu
pengobatan tunggal dengan dapsone merupakan kontraindikasi.
Sesuai dengan rekomendasi World Health Organization, untuk mengobati
lepra diberikan MDT (multidrug treatment) yang terdiri dari dapsone,
rifampicin dan clofazimine. Dengan pengobatan MDT ini sebagian besar basil
lepra akan mati dalam waktu pendek tanpa diikuti hilangnya dengan segera
gejala klinis lepra.
Dengan pengobatan MDT di seluruh dunia, jika pada tahun 1985 lepra
menjadi masalah besar kesehatan di 122 negara, pada tahun 2002 hanya
tinggal 14 negara. Dengan demikian selama masa duapuluh tahun dapat
disembuhkan sekitar 12 juta penderita lepra.

5.5. CORYNEBACTERIUM
271

Hanya satu spesies dari genus Corynebacterium yang patogen untuk


manusia, yaitu Corynebacterium diphtheriae, sedangkan spesies lainnya
merupakan flora normal yang terdapat di saluran pernapasan dan membrana
mukosa.

Corynebacterium diphtheriae
Bakteri yang termasuk Actinobacteria ini mempunyai hubungan filogenetik
dengan mycobacteria dan actinomycetes. Corynebacteria bentuknya tidak
teratur, ukurannya bervariasi, sering menunjukkan adanya pembesaran di
salah satu ujungnya, “club shaped”. Sel-sel sering membentuk kelompok kecil
dan membentuk sudut runcing satu dengan lainnya sehingga berbentuk
seperti huruf Cina.

Gambar 141. Fotomikrograf C.diphtheriae dengan pewarnaan Albert


(http://www.cdc.gov/diphtheria)

Bakteri gram-positif berbentuk batang yang aerobik ini sering mengalami


kehilangan warna (dekolorisasi), tidak bergerak, tidak membentuk kapsul dan
tidak membentuk spora. Dengan pewarnaan Albert dapat terlihat granul
volutin.
272

Gambar 142. Fotomikrograf C.diphtheriae yang Gram-positif, pewarnaan


dengan methylene blue (http://www.cdc.gov/diphtheria)

Gambaran koloni. Pada biakan pada Loeffler’s serum medium, sesudah


inkubasi selama 12-18 jam pada suhu 37 0C koloni berukuran kecil (1-2 mm),
sirkuler, berwarna abu-abu, dengan tepi yang rata. Dengan inkubasi yang
lebih lama, koloni mempunyai ukuran lebih besar dengan tepi koloni tidak
beraturan. Granul volutin banyak ditemukan pada usapan dari medium
Loeffler.Pada medium agar Tinsdale, medium selektif untuk spesies
Corynebacterium, flora normal saluran napas atas, dihambat
pertumbuhannya oleh potassium tellurite, sedangkan corynebacteria tumbuh
baik sebagai koloni yang berwarna hitam kecoklatan. Koloni C.diptheriae
berukuran kecil, membentuk “halo” berwarna coklat di sekeliling koloni,
sedangkan pada koloni C.xerosis (suatu difteroid) tidak membentuk halo.
273

Gambar 143. Koloni C.diphtheriae (kiri) dan C.xerosis (kanan)


pada medium Tinsdale agar
(http://www.medschool.lsuhsc.edu/microbiology/DMIP/dmex17.htm)
Terdapat tiga tipe koloni,C.diptheriae yaitu tipe gravis, intermediate dan mitis
pada media yang sama. Granul volutin tidak ditemukan pada usapan (films)
dari media tellurite.

Gambar 144. Biakan C.dphtheriae pada McLeod’s agar plate, biotipe


gravis (http://www.cdc.gov/diphtheria)
274

Gambar 145. Koloni C.diphtheriae pada medium agar darah


(W.A.Clark. CDC.PHIL ID#824)

Reaksi biokimiawi. Reaksi biokimia koloni tiga tipe C.diphtheriae berbeda


dengan spesies komensal hanya strain gravis yang memfermentasi tepung.
Dengan uji hemolisis identitas tiga biotipe C. diphtheriae dapat dibedakan.
Strain mitis dapat menyebabkan lisis sel sapi dan rabbit, strain intermedius
tidak aktif terhadap kedua jenis darah, sedangkan strain gravis hanya
menyebabkan lisis sel rabbit.

Tabel 19. Aktifitas biokimiawi beberapa tipe corynebacteria (CDC)

Glukose Sukrose Tepung

C.diphtheriae
var. gravis ± ±
-
var. intermedius ± -
-
var. mitis ± -
-
C.hofmannii - -
-
C.xerosis ± ± -
275

Karakter Serologik. Tiga biotip C.diphtheriae secara serologik dapat dapat


dibedakan dan masing-masing biotip dapat dikelompokkan menjadi beberapa
tipe serologik dengan uji aglutinasi. Virulensi C.diphtheriae dipengaruhi oleh
adanya eksotoksin yang terutama dihasilkan oleh bakteri yang berasal dari
usapan tenggorok. Strain yang tidak toksik (avirulen) jarang yang berasal dari
strain gravis (1%) dan lebih banyak berasal dari strain intermedius (7%) dan
mitis (15%).
Eksotoksin difteri hanya dihasilkan oleh basil yang mempunyai beta-phage
dan produksinya dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi zat besi dalam
medium kultur. Toksoid yang digunakan melakukan imunisasi aktif dapat
dibuat dari toksin dalam formalin yang diinkubasi 37 0C untuk menghilangkan
kekuatan racunnya.

Difteri

Penyakit difteri yang menyerang saluran napas atas ditandai oleh adanya
sakt tenggorok, demam ringan,dan pseudomembran yang terdapat di tonsil,
faring, dan atau rongga hidung. Toksin difteri yang dibentuk oleh
C.diphtheriae dapat menyebabkan miokarditis, polineuritis, dan efek toksik
sistemik lainnya. Pada kulit dapat terjadi difteri yang ringan dan terbatas.

Gambar 146. Anak penderita difteri dengan pembesaran leher (“bull neck”)
(http://www.cdc.gov/diphtheria)
276

Difteri adalah penyakit infeksi yang dapat menular melalui kontak fisik atau
melalui sekresi aerosol pernapasan penderita. Angka kematian difteri berkisar
antara 5-10%, dengan angka kematian terbesar pada anak di bawah umur 5
tahun dan orang dewasa di atas umur 40 tahun, yang dapat mencapai 20%.
Wabah difteri masih terjadi, meskipun jarang, misalnya di USSR pada tahun
1991 dengan 2000 penderita, dan di negara-negara Commonwealth wabah
pada tahun 1998 dengan 200.000 penderita, menyebabkan kematian 5000
orang. Sejak dilakukannya vaksinasi yang luas dengan vaksin DPT, jumlah
penderita difteri banyak berkurang dan dapat diberantas di berbagai negara
maju.

Gambar 147. Difteri kulit pada kaki


(http://www.cdc.gov/diphtheria/about)

Infeksi basil difteri pada luka kadang-kadang terjadi, tetapi C.diphtheriae


biasanya ditemukan pada tonsil. Penyebaran bakteri yang terjadi melalui
sistem limfatik, tidak melalui darah, dapat menyerang hidung, laring dan
telinga. Gejala klinik umumnya baru terlihat jika eksotoksin telah menyerang
otot jantung dan ginjal. Kelainan saraf akibat toksin difteri tampak berupa
terjadinya paralisis pasca difteri pada palatum.
277

Pengobatan dan pencegahan

Pengobatan harus segera diberikan sesudah ada dugaan difteri, tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Karena tanpa pengobatan sekitar
50% penderita akan meninggal dunia. Penderita difteri meskipun
mendapatkan pengobatan, 10% diantaranya masih akan meninggal dunia.

Penderita difteri harus diisolasi sampai 48 jam sesudah diberikan pengobatan


dengan antibiotika.

Pengobatan difteri meliputi :

 Antitoksin difteri untuk menetralisir toksin bakteri, diberikan intravenus.


 Antibiotika (eritromisin oral) untuk membunuh bakteri.

Untuk mencegah difteri telah digunakan Triple vaccine (difteri-tetanus-


pertusis) yang menimbulkan penolakan akibat terjadinya kerusakan otak oleh
komponen vaksin pertusis. Selanjutnya dianjurkan untuk menggunakan
double-toxoid untuk difteri dan tetanus saja, dan tidak menyertakan vaksin
pertusis.

5.6. BACILLUS

Spesies-spesies dari Bacillus menunjukkan sifat-sifat umum:


 Pewarnaan adalah Gram-postif
 Hidup di lingkungan aerobik
 Membentuk spora
Spesies yang dapat menjadi penyebab penyakit pada manusia: adalah
Bacillus anthracis dan Bacillus cereus, sedangkan Bacillus thuringiensis
berperan dalam pengendalian biologik (biological control) serangga.
278

Gambar 148. Bacillus anthracis di dalam jaringan limpa, pewarnaan toluidin


biru. Tampak kapsul disekeliling rantai pendek basil (Sumber: FAO)

Klasifikasi saintifik Bacillus

Kingdom: Bacteria
Phylum: Firmicutes
Class: Bacilli
Order: Bacillales
Family: Bacillaceae
Genus: Bacillus
B. anthracis, B.cereus,
Species:
B.thuringiensis
279

Bacillus anthrax

Mikroskopi. Bacillus anthracis berukuran besar (4-8 μm x 1-1.5μm), tersusun


dalam bentuk rantai atau satu-satu, merupakan batang dengan ujung yang
konkaf; gram-positif, katalase positif, dan tidak aktif bergerak (nonmotil).
Organisme dalam sediaan klinis dan yang dibiakkan di medium tidak
menyebabkan hemollisis, dan membentuk kapsul. Spora yang ovoid
terbentuk di bagian terminal atau subterminal, tidak menyebabkan sel
membengkak.
Spora dapat terlihat pada pewarnaan Gram, Malachit green atau pada
pemeriksaan mikroskopi fase kontras.

Gambar149. Bacillus anthracis pewarnaan Gram.


(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/anthrax.html#picturesdiagrams)

Spora tidak terdapat pada material klinik, kecuali jika suasana aerobik atau
terpapar CO2 konsentrasi rendah, misalnya berada di atmosfir. Konsentrasi
CO2 yang tinggi menghambat sporulasi.
280

Gambar 150. Direct Fluorescent Antibody Assay B.anthracis


(http://health.hawaii.gov/statelab/wp-content/blogs.dir)

Koloni Bacillus anthracis. Biakan pada agar darah, koloni B.anthracis dapat
tumbuh cepat, dan dijumpai hemolisis ringan. Pada inkubasi semalam pada
350C terbentuk koloni berukuran 2-5 mm yang sirkuler, dengan konsistensi
seperti perekat (sticky), mirip putih telur. Koloni tidak berpigmen,
permukaannya kering, datar atau agak cembung, dengan tepi koloni tidak
teratur dan terdapat tonjolan seperti koma (medusa head). Pada suhu 25-
280C spora terbentuk secara optimum.

Gambar 151. Koloni B.anthracis pada agar darah


(http://health.hawaii.gov/statelab/ba/)
281

Karakter Serologik. Kapsul polipeptide dari D-glutamic acid, karena


mempunyai berat molekul yang tinggi merupakan antigen kuat.

Inokulasi hewan coba . Pada inokulasi guinea-pig, hewan akan mati dalam
waktu 48 jam akibat terjadinya septikemi

Penyakit Antraks
Gambaran klinik anthrax pada orang dewasa dapat dikelompokkan menjadi
anthrax inhalasi, anthrax kulit, dan anthrax gastrontestinal.

(1). Anthrax inhalasi. Paparan dengan spora anthrax terutama terjadi pada
orang yang bekerja di pabrik wool, rumah potong hewan, dan penyamak kulit.
Gejala awal infeksi anthrax melalui pernapasan (inhalasi), dimulai pada nodus
limfe di daerah dada. Sesudah itu gejala klinis mirip dengan gambaran awal
penyakit virus pernapasan, berupa demam ringan, sakit otot, dan malaise,
yang dapat berkembang cepat menjadi gagal pernapasdan dan syok, yang
sering diikuti terjadinya meningitis. Pada pemeriksaan radiografik terjadi
pelebaran mediastinum. Bentuk anthrax inhalasi bersifat paling mematikan
jika terhirup 8000-50.000 spora B.anthracis. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari,
tetapi bisa mencapai 80 hari, tergantung pada faktor hospes, dosis paparan,
dan obat pencegahan yang diberikan.
Angka kematian anthrax inhalasi sangat tinggi. Tanpa pengobatan 85-90%
penderita anthrax inhalasi akan meninggal dunia. Dengan pengobatan yang
intensif disertai pemberian antibiotika, angka kematian penderita adalah
sekitar 50%.

(2). Anthrax kulit. Jika spora anthrax masuk ke dalam kulit yang luka atau
lecet anthrax kulit dapat terjadi, terutama pada orang yang menangani hewan
sakit, atau hewan yang terpapar anthrax misalnya hewan penghasil wool,
atau rambut. Anthrax kulit terutama terjadi di bagian kepala,
282

leher, lengan atas dan tangan, yaitu di kulit dan jaringan di sekitar tempat
terjadinya infeksi.

Pada anthrax kulit terjadi lesi kulit yang berasal dari papul, melalui tahap
vesikuler, menjadi eschar yang berwarna hitam. Masa inkubasi berlangsung
antara 1-12 hari. Lesi kulit umumnya tidak sakit, penderita mengalami
demam, malaise, sakit kepala, dan limfadenopati regional. Angka kematian
anthrax kulit sekitar 20% jika tidak diobati dengan antibiotika, dan kurang dari
1% jika diberikan pengobatan dengan antibiotika.

Gambar 152. Antraks kulit (http://classroom.sdmesa.edu/eschmid/Lecture16-


Microbio.htm)

(3). Anthrax gastrointestinal. Gejala klinis anthrax gastrointestinal yang


khas adalah nyeri perut diikuti dengan demam dan tanda-tanda septikemi.
Bentuk anthrax ini terjadi sesudah makan daging mentah atau kurang matang
yang tercemar anthrax. Sesudah masa inkubasi antara 1-7 hari, terjadi bentuk
orofaring dan bentuk abdominal anthrax. Pada anthrax orofaring terjadi lesi di
bawah lidah, disfagi, demam dan limfadenopati regional. Keradangan pada
usus bagian bawah menyebabkan terjadinya mual, hilangnya nafsu makan,
dan demam, diikuti nyeri perut, hematemesis,
283

dan diare berdarah. Angka kematian berkisar antara 25-60%. Tidak ada
pengaruh pemberian dini antibiotika terhadap angka kematian penderita.

Bacillus cereus

Organisme ini banyak ditemukan di tanah, berbentuk batang, pada


pewarnaan bersifat Gram-positif, dan merupakan bakteri hemolitik-beta.
Sebagian strain menyebabkan penyakit pada manusia yang ditularkan melalui
makanan (Fried rice syndrome) yang membiarkan nasi goreng selama
beberapa jam di suhu kamar. Strain lainnya merupakan probiotik yang
bermanfaat bagi kehidupan hewan. B.cereus adalah bakteri anaerob fakultatif
yang dapat membentuk endospora yang protektif. Faktor virulensi bakteri ini
adalah cereolysin dan fosfolipase C.

Gambar 153. Bacillus cereus, pewarnaan Gram


(http://bioweb.uwlax.edu)

Bacillus thuringiensis. Berbeda dari B.cereus dan B.anthracis,


B.thuringiensis patogen terhadap serangga karena dapat memproduksi kristal
paraspora intraseluler. Bakteri dan kristal protein merupakan insektisida yang
dijual komersial untuk mengendalikan serangga secara biologis.
284

Gambar 154. Bacillus thuringiensis (bar=2 mikron)


(http://www.magma.ca/~scimat/B_thurin.htm)

Simbiosis B.cereus. Di dalam usus, B.cereus hidup bersaing dengan


Salmonella dan Campylobacter, sehingga menghambat pertumbuhan kedua
genus mikroorganisme tersebut. Karena itu B.cereus ditambahkan pada
makanan yang diberikan pada ayam, rabbit dan babi sebagai aditif probiotik
untuk mengurangi Salmonella yang ada di usus dan cecum, sehingga hewan
ternak dapat tumbuh dengan baik yang aman untuk dikonsumsi.

Tabel 20. Diferensiasi sifat B.anthracis, B.cereus dan B.thuringiensis


(Textbook of Bacteriology)

Karakter bakteri B.anthracis B.cereus &


B.thuringiensis

Kebutuhan thiamin untuk (+) (-)


pertumbuhan

Hemolisis pada agar darah (-) (+)


domba

Kapsul glutamyl-polypeptide (+) (-)

Lisis oleh fag gama (+) (-)

Motilitas (-) (+)

Tumbuh pada agar kloralhidrat (-) (+)


285

String-of-pearls test (+) (-)

Gambar 155. Lisis B.anthracis oleh lytic phage gamma. Plak (daerah
berwarna terang) tidak terjadi pada B.cereus atau B.thuringiensis. (Sumber:
CDC).

Patogenesis Foodborne Illness. B.cereus ada yang dapat menyebabkan


penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne illness) yang dapat
menimbulkan mual, muntah dan diare yang berat. Penyebabnya adalah
endospora bakterial yang masih ada karena makanan tidak dimasak dengan
baik, atau dipanaskan kurang dari 100 0C. Spora akan berkembang menjadi
benih bakteri (germination) untuk kemudian bakteri tumbuh dan berkembang
pada suhu antara 10-500C Bakteri yang sedang tumbuh dapat membentuk
enterotoksin yang sangat resisten terhadap panas dan pH antara 2 dan 11
dan jika tertelan dapat menimbulkan sindrom diare dan muntah.

Isolasi B.cereus pada foodborne illness dapat berhasil jika jumlah organisme
berjumlah lebih dari 105 per gram. Isolasi umumnya tidak dilakukan karena
penyakit ini tidak berbahaya dan dapat sembuh dengan sendirinya.
286

Lactobacillus

Bakteri yang disebut juga sebagai basil Doderlein, adalah bakteri berbentuk
batang (rod-shaped), yang pada pewarnaan bersifat Gram-positif, hidup pada
keadaan anaerob fakultatif atau

mikroaerofilik. Lactobacilli merupakan bagian terbesar dari kelompok bakteri


asam laktat yang dapat mengubah laktose dan gula lainnya menjadi asam
laktat. Pada manusia bakteri ini ditemukan pada vagina sebagai bagian dari
mikrobiota atau mikroflora vagina dan saluran gastrointestinal, dimana
mereka merupakan bagian kecil dari flora usus. Umumnya bakteri ini tidak
ganas, kecuali yang hidup di dalam mulut karena menyebabkan karies gigi.
Produksi asam laktat bakteri ini menyebabkan lingkungan tempat hidupnya
bersifat asam, sehingga dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis
bakteri yang berbahaya.

Gambar 156. Fotomokrograf sediaan vagina dengan pewarnaan Gram,


menunjukkan Lactobacillus berbentuk basil atau batang Gram-positif
(CDC, http//phil.cdc.gov/phil).

Klasifikasi saintifik. Terdapat beberapa spesies Lactobacillus yang


penting, misalnya L. acetotolerans dan L.acidifarinae.

Phylum: Firmicutes

Bacilli
Class:
Lactobacillales
Order:
287

Lactobacillaceae
Family:
Lactobacillus
Genus: Beijerinck 1901

Spesies Lactobacillus casei, L. brevis,


L. acetotolerans, L. acidifarinae

Produksi makanan. Beberapa Lactobacillus digunakan dalam memproduksi


yogurt, keju, bir, cuka, dan berbagai makanan fermentasi lainnya.

Probiotik dan bioterapi. Beberapa strain spesies Lactobacillus dan bakteri


asam laktat lainnya mempunyai kemampuan terapi, misalnya sebagai anti
radang dan anti kanker.
Lactobacilli juga digunakan untuk memelihara keseimbangan fisiologik,
misalnya pada ekosistem vagina, karena berperan dalam:
 Melindungi epitel vagina dan memisahkannya dari epitel patogen.
 Mengatur pH vagina pada 4.5 sehingga bakteri Gram-positif dan
bakteri Gram-negatif patogen tidak dapat tumbuh.
 Membentuk hidrogen peroksida yang dapat membunuh bakteri Gram-
positif dan Gram-negatif patogen.

5.7. CLOSTRIDIUM

Clostridium adalah genus basil pembentuk spora yang bersifat Gram-positf


anaerobik.

Berdasar patogenesisnya terdapat empat tipe penyakit oleh Clostridium,


yaitu:
 Kelompok histotoksik. Kelompok ini menyebabkan infeksi jaringan,
misalnya Clostridium perfringens tipe I (yang didapat secara eksogen) dan
288

C.septicum (yang didapat secara endogen). Patogenesis yang terjadi


adalah berbentuk selulitis, mionekrosis, gas gangren dan fasiitis.
 Kelompok enterotoksigenik. Kelompok ini menyebabkan penyakit
gastrointestinal yang ditularkan melalui makanan, dan terjadi 8-24 jam
sesudah termakan daging tercemar enteroroksin C.perfringens
 Kelompok enteritis nekrotik. Penyebabnya adalah C.perfringens tipe C dan
C.difficile (didapat secara
endogen atau didapat secara eksogen ditularkan dari orang-ke-orang di
rumah sakit).
 Kelompok terkait dengan kolitis pseudomembran dan kelompok diare yang
berhubungan dengan antibiotika

Gambar 157. Clostridium difficile dari enterokolitis saluran pencernaan


(Centers for Disease Control and Prevention)

Botulisme
Penyakit ini didapat secara eksogen yang disebabkan oleh neurotoksin
Clostridium .botulinum.
Botulisme dapat terjadi melalui berbagai jalan yaitu melalui makanan atau
spora madu (pada bayi) atau melalui luka. Penularan melalui makanan
menyebabkan intoksikasi yang terjadi sesudah inkubasi 1-2 hari, sedangkan
289

penularan melalui luka dapat menyebabkan gejala klinik mirip infeksi melalui
makanan, tetapi dengan masa inkubasi yang lebih lama sekitar 5-6 hari.

Clostridium perfringens

Organisme ini dapat menyebabkan infeksi yang bersifat histotoksik atau


enterotoksigenik.

Morfologi dan fisiologi. Basil berukuran besar, berbentuk batang, pada


pewarnaan bersifat Gram-positif. In vitro, spora jarang terlihat, sedang pada
sediaan klinik spora berbentuk ovoid, terletak subterminal. Organisme ini non-
motil, tetapi pada biakan agar darah pertumbuhannya berlangsung cepat
sehingga mirip organisme yang motil. Pada media yang mengandung darah
organisme bersifat aerotoleran. Pertumbuhan terjadi pada suhu 20-50 0C
(suhu optimum 450C) dengan pH antara 5.5- 8.0.

Faktor patogenitas. Toksin-toksin bersifat sebagai enzim sitolitik dan


eksotoksin yang bipartit.
 Terdapat empat toksin letal yang menyebabkan kematian (yaitu toksin
alfa, beta, epsilon dan iota) dan satu jenis enterotoksin.
 Terdapat enam toksin ringan (minor toxin), yaitu delta, theta, kappa,
lambda, mu, nu dan neuramidase
 C.perfingens terbagi menjadi 5 tipe (tipe A sampai E) berdasar pada
kemampuan menghasilkan toksin letal utama (major lethal toxin)
 C.perfringens type A (satu-satunya toksin letal) menyebabkan infeksi
histotoksik dan enterotoksigenik pada manusia. C.perfringens tipe C
dapat menyebabkan enteritis nekrotik.

Pemeriksaan Laboratorium. Beberapa jenis pemeriksaan laboratorium yang


dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis berdasar pada:

 Pewarnaan Gram terhadap hapusan langsung pada luka


menunjukkan kapsul
290

 Pertumbuhan bakteri yang dapat dipercepat dengan menggunakan


chopped meat media pada suhu 450C, lalu dilakukan isolasi
menggunakan agar darah sesudah 6 jam.

 Adanya hemolisis dengan menggunakan agar darah yang


menunjukkan terjadinya double zone hemolysis dan terbentuknya
gas pada fermentasi glukosa

 Identifikasi tipe toksin dengan uji toksisitas in vivo.

 Terbentuknya beta-hemolytic theta toxin dan alpha-hemolytic alpha


toxin
 Terjadinya koagulasi susu karena fermentasi akibat terbentuknya
asam dan gas dari laktose.

 Terjadinya presipitasi serum atau egg yolk media oleh toksin


phospholipase C (suatu lesitinase).

Diagnosis dan Pengobatan. Diagnosis dan pengobatan harus dilakukan


secepat mungkin untuk menyelamatkan jiwa penderita, dengan cara :

 Membuang jaringan nekrotik (debridemen)


 Memberikan Penisilin G dosis tinggi

 Memberikan antitoksin dan oksigen hiperbarik.

Clostridium tetani

Clostridium tetani adalah organisme Gram-positif yang berbentuk batang


panjang langsing, yang pada biakan tua bisa berubah sifat menjadi Gram-
negatif. Bakteri ini membentuk spora bulat yang terletak terminal, sehingga
mirip penabuh genderang (drumstick). Spora tahan direbus dalam air
mendidih selama 20 menit
291

Basil tetanus ini dapat bergerak (motil) karena mempunyai flagel peritrich,dan
dapat tumbuh pada medium agar darah dan cooked meat medium Pada
koloni yang terisolasi dapat terlihat adanya beta-hemolisis

Struktur antigenik. Terdapat tiga jenis antigen Clostridium tetani, yaitu


antigen flagel (H), antigen somatic (O) dan antigen spora

Gambar 158. Clostridium tetani, pewarnaan Gram


(Sumber: http://textbook of bacteriologynet/the microbialworld/Tetanus)

Tetanus

Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang didapat secara


eksogen yang menghasilkan neurotoksin
Bentuk-bentuk tetanus yang dapat terjadi adalah:
 Tetanus menyeluruh (generalized tetanus), paling sering terjadi
 Tetanus sefalik yang terjadi jika infeksi primer terjadi di daerah kepala,
biasanya di telinga
 Tetanus lokal
 Tetanus neonatal (akibat kontaminasi pada potongan tali pusat).

Infeksi lokal dengan C.tetani terjadi jika suasana lingkungan oleh bakteri lain
dibuat menjadi sesuai untuk pertumbuhan C.tetani. Gejala sistemik terjadi
karena tetanospasmin (suatu neurotoksin) yang diproduksi intraseluler.
Neurotoksin ini merupakan salah satu dari bahan yang paling beracun. Jika
292

toksin ini melekat pada gangliosid di membran sinaptik, akan terjadi


hambatan terbentuknya inhibitory transmitter. Akibatnya

akan terjadi spasme otot-otot (paralisis spastik), trismus (lockjaw), risus


sardonicus, dan opisthotonos. Selain itu penderita dapat mengalami aritmia
jantung dan fluktuasi tekanan darah.

Diagnosis, pengobatan dan pencegahan tetanus. Dasar untuk


menentukan diagnosis tetanus adalah gejala-gejala klinis yang dialami
penderita. Penanganan jika terjadi tetanus antara lain adalah melakukan
tindakan untuk mencegah masuknya toksin ke dalam darah, misalnya dengan
membuang jaringan nekrotik di tempat luka. Selain itu diberikan obat obatan
untuk mengendalikan kejang-kejang dan spasme yang terjadi.

Gambar 159. Tetanus neonatorum pada bayi (www.cdc.gov/tetanus)

Untuk memberantas bakteri vegetatif yang dapat membentuk neurotoksin


dapat diberikan metronidazole. Selain itu dapat diberikan imunoglobulin
human tetanus untuk memberikan imunitas pasif (passive immunity) pada
penderita. Antitoksin juga dapat diberikan untuk melepaskan ikatan
tetanospasmin.

Sebagai pencegahan terhadap tetanus, dapat dilakukan vaksinasi sebagai


imunisasi aktif.

Clostridium botulinum
293

Bakteri ini menyebabkan botulisme, penyakit neuroparalitik yang berat dan


mematikan.

Morfologi dan Fisiologi. C.botulinum merupakan kelompok yang heterogen,


basil yang anaerobik. Bakteri dapat bergerak (motil) karena mempunyai flagel
peritrich. Bakteri ini membentuk spora yang tahan panas, berbentuk ovoid,
terletak subterminal.Bakteri dapat bersifat proteolitik dan non-proteolitik.

Struktur Antigenik. Spesies C.botulinum terbagi menjadi empat kelompok


(kelompok I sd IV) berdasar pada tipe toksin yang dibentuknya dan aktifitas
proteolitiknya. Terdapat tujuh tipe toksin botulinum yang berbeda sifat
antigenitasnya (tipe A-G). Antigen somatiknya ada yang tahan panas ada
yang tidak tahan panas. Karena itu antigen spora bersifat lebih spesifik
dibanding antigen somatik.

Penentu Patogenisitas. Intoksikasi yang terjadi melalui makanan yang


bersifat mematikan disebabkan oleh toksin tipe A,B,E atau F. Makin pendek
masa inkubasinya, makin buruk prognosisnya.

Pada waktu terjadi lisis sel, dilepaskan toksin botulinum (botulin) yang
merupakan neurotoxin A-B yang bersifat sistemik. Toksin ini termasuk salah
satu neurotoksin yang sangat berbahaya (1 mg toksin murni dapat
membunuh 200.000 ekor tikus). Toksin A-B yang tertelan menyebabkan
hambatan pada pelepasan asetilkolin presinaps, menghambat rangsangan
otot dan menyebabkan terjadinya paralisis flaksid.

Gejala klinik. Gejala awal intoksikasi berupa: mual, muntah, kelelahan, lemah
badan, pusing dan konstipasi. Sesudah itu penderita akan mengalami
penglihatan ganda (double vision), gangguan menelan dan sulit berbicara.
Akibat terjadinya paralisis pernapasan, penderita dapat meninggal dunia.

Diagnosis Botulisme. Karena pertumbuhan bakteri lambat dan jumlah


organisme hanya sedikit, pemeriksaan mikroskopis atau biakan kuman
umumnya tidak dapat membantu menegakkan diagnosis. Karena itu lebih
baik jika dilakukan deteksi jenis toksin botulinum dan dilakukan uji
294

toksisitasnya menggunakan antitoxin neutralization test pada mencit atau


diperiksa dengan ELISA.

Pengobatan dan Pencegahan Botulisme. Karena penyakit ini dapat


menimbulkan akibat yang dapat membahayakan jiwa, pengobatan harus
dilakukan secepat mungkin segera sesudah diagnosis ditegakkan berdasar
gejala klinik yang terjadi. Jika diperlukan dapat diberikan bantuan
pernapasan.

Penderita dapat diberi antitoksin trivalen (A,B,E) untuk mengikat toksin bebas
yang beredar di dalam darah. Selain itu sebaiknya juga dilakukan kumbah
lambung (gastric lavage).

Untuk memberantas organisme dari saluran gastrointestinal diberikan


pengobatan dengan metronidazole atau penisilin Untuk mencegah terjadinya
botulisme, sebaiknya makanan kaleng.selalu dimasak dengan baik

5.8. ENTEROBACTERIACEAE

Keluarga besar bakteri ini meliputi keluarga-keluarga bakteri patogen,


terutama Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Proteus mirabilis dan
Salmonella.

Banyak keluarga Enterobacteriaceae merupakan flora normal usus pada


manusia dan hewan, dan yang lainnya ditemukan di air, tanah dan benda-
benda busuk atau hidup parasitik pada berbagai jenis hewan dan tumbuhan.
Karena hidup di dalam usus, disebut bakteri ini dikenal sebagai basil enterik
yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Sekitar 5-10% penderita yang
dirawat di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial.

Karakter Enterobacteriaceae. Enterobacteriaceae memiliki berbagai


karakter yang menunjukkan sifat-sifat famili ini .
 Bakteri berbentuk batang dengan ukuran 1-5 mikron.
 Sifat pewarnaan adalah Gram-negatif,
 Sifat hidup aerobik atau anaerob fakultatif
295

 Memfermentasi gula menghasilkan asam laktat dan berbagai produk


lainnya
 Mengubah nitrat menjadi nitrit (kecuali beberapa genus, misalnya
Photorhabdus)
 Oksidase negatif: umumnya tidak mempunyai cytochrome C oxidase,
 Mempunyai flagel peritrich untuk bergerak, kecuali Shigella dan
Klebsiella yang non motil
 Tidak membentuk spora.
 Dinding sel bersifat komplek
 Mempunyai pili atau fimbriae.

Beberapa enterobacteriaceae menghasilkan endotoksin yang terdapat di sel


sitoplasma dan dilepaskan jika sel mati dan dinding sel rusak. Sebagian
keluarga Enterobacteriaceae menyebabkan infeksi sistemik yang menyebar
melalui darah jika endotoksin dilepaskan oleh sel bakteri yang mati. Keadaan
ini menyebabkan syok endotoksik yang dapat menyebabkan kematian
dengan cepat.

Klasifikasi Saintifik

Domain Bacteri
Phylum Proteobacteria
Class Gammaproteobacteria
Order Enterobacteriales
Family Enterobacteriaceae

Identifikasi. Untuk mengidentifikasi berbagai genus Enterobacteriaceae,


dapat dilakukan berbagai uji laboratorium. Sediaan klinik misalnya nanah,
jaringan, cairan tubuh, usap rektum, atau tinja sebaiknya segera dibiakkan
atau ditempatkan pada medium khusus untuk mencegah terjadinya
pertumbuhan yang berlebihan (overgrowth).
Sebagai medium untuk isolasi, harus mengandung beberapa substansi,
misalnya indikator (misalnya merah fenol), inhibitor dan lain sebagainya.
296

Untuk membedakan spesies-spesies bakteri dapat digunakan dengan melihat


pola produksi asam dan produk akhir yang terbentuk dari karbohidrat dari
berbagai jenis substrat.

Pada biakan (kultur) Enterobacteriaceae yang harus diperhatikan adalah:


 Morfologi koloni, halus (pada medium non-selektif), lembab dan
berwarna abu-abu (kecuali Serratia marcescens yang berwarna
merah). Medium yang selektif dan khusus digunakan untuk
membedakan genus dan spesies bakteri. Beberapa strain bersifat
hemolitik beta pada agar darah.
 Kultur pada Agar Phenylalanine bertujuan untuk mendeteksi produksi
deaminase yang mengubah phenylalanine menjadi phenylpyruvic acid.
 Methyl red atau Voges-Proskauer (VP) test dalam digesti glukose. Uji
methyl-red menghasilkan produk akhir berupa asam, sedangkan uji VP
menghasilkan acetylmethylic arbinol.
 Uji katalase pada Nutrient Agar untuk menunjukkan adanya produksi
enzim katalase yang memecah hidrogen peroksida dan melepaskan
gas oksigen.
 Uji oksidase pada Nutrient Agar untuk memproduksi enzim oksidase
yang bereaksi dengan aromatic amine dan menghasilkan warna ungu.
 Nutrient gelatin test dilakukan untuk mendeteksi aktifitas enzim
gelatinase.

Resistensi antibiotika. Beberapa strain Enterobacteriaceae yang resisten


terhadap antibiotika termasuk carbapenem yang dinyatakan sebagai
antibiotika garis pertahanan terakhir terhadap organisme yang telah resisten.
Misalnya beberapa strain Klebsiella pneumonia resisten terhadap
carbapenem.

Bakteri–bakteri Enterobacteriaceae:

 Yersinia , misalnya Y.pestis


 Xenorrhabdus
297

 Serratia (S.marcescene)
 Shigella
 Salmonella
 Proteus (P.vulgaris)
 Photorhabdus (P.luminescens)
 Klebsiella (K.pneumonia)
 Escherichia (E.coli)
 Enterobacter

Struktur antigenik. Terdapat tiga struktur antigen Enterobacteriaceae yang


dapat merangsang terbentuknya antibodi oleh hospes, yaitu antigen kapsul
(antigen K), antigen flagel (antigen H) dan antigen somatik (antigen O).

Antigen K. Antigen kapsul ini berupa polisakarida kapsul, terutama banyak


didapatkan pada Klebsiella.

Antigen H. Antigen flagel berupa protein flagel dari genus dan spesies motil,
yang penting untuk penetuan tipe (typing). Antigen H tidak didapatkan pada
genus-genus non motil (Shigella dan Klebsiella).

Antigen O. Antigen somatik adalah polisakarida yang O-specific dari rantai


samping lipopolisakarida.(LPS) Antigen O digunakan untuk typing.

Enterobacteria patogen

Terdapat lebih dari 30 genus dan 120 spesies bakteri terdapat dalam
keluarga ini, hanya sekitar 10 genus dan 25 spesies yang dapat
menyebabkan penyakit. Sebagian besar Enterobacteria bersifat oportunistik
atau penyebab infeksi sekunder pada luka, saluran kemih dan saluran
pernapasan dan sistem sirkulasi.

Bakteri-bakteri enterik penyebab penyakit yang penting adalah:


 Citrobacter ( C.freundii, C.diversus)
 Enterobacter ( E.aerogenes, E.agglomerans, E.cloacae)
298

 Escherichia coli
E.coli yang bersifat oportunistik adalah
ETEC: enterotoksigenic E.coli
EIEC : enteroinvasive E.coli
EPEC: enteropathogenic E.coli
EHEC: enterohemorrhagic E.coli
EaggEC: enteroaggregative E.coli
UPEC: uropathogenic E.coli
 Klebsiella spp. ( K.pneumoniae, K.oxytoca)
 Morganella morganii
 Proteus spp. (P.mirabilis, P.vulgaris )
 Providencia spp ( P.alcalifaciens, P.rettgeri, P.stuartii )
 Salmonella spp. (S.enterica, S.typhi,S.paratyphi, S.enteritidis,
S.cholerasuis, S.typhimurium).
 Serratia spp. (S.marcesans, S.liquifaciens)
 Shigella spp. ( S.dysenteriae, S.flexneri, S.boydii, S.sonnei)
 Yersinia spp. (Y.enterocolitica, Y.pestis, Y.pseudotuberculosis).

Sepsis Gram-negatif. Sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif


umumnya dapat menyebabkan kematian (life-threatening), biasanya bersifat
nosokomial, terutama yang disebabkan oleh E.coli.
Perjalanan penyakit yang berlangsung dalam tiga fase, yaitu fase awal yang
reversibel, fase kedua yang reversibel dan fase ketiga yang ireversibel.
 Fase awal. Pada fase yang sifatnya tetap (reversible) ini terjadi
penurunan tahanan arterial (arterial resistance), peningkatan keluaran
kardiak (cardiac output) dari kinin (protein) plasma, endotoksin atau
komplek antigen-antibodi.
 Fase Kedua. Pada fase kedua yang reversibel ini terjadi peningkatan
tahanan arterial dan penurunan cardiac output.
 Fase ketiga. Pada fase ini terjadi kolaps vaskuler disertai gagal organ
yang bersifat tetap (ireversibel). Endotoksin merangsang

299

terjadinya DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) yang


menyebabkan terjadinya perdarahan dan kematian.

Infeksi Saluran Kemih. Infeksi ini tinggi insidennya pada individu muda dan
perempuan usia pertengahan, dan pada laki-laki meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia. Penyebab utamanya adalah E.coli.
Pneumonia. Pneumonia bersifat nosokomial yang menyebar melalui petugas
media dan peralatan kesehatan. Penyebabnya terutama adalah Klebsiella
pneumonia yang sering diderita oleh laki-laki usia pertengahan pecandu
alkohol.
Sepsis abdominal. Penyebabnya adalah flora saluran gastrointestinal dan
infeksinya biasanya disebabkan oleh banyak mikroba (polymicrobi).

Meningitis. Infeksi umumnya bersifat nosokomial yang penyebabnya


terutama adalah E.coli. Diagnosis ditetapkan melalui pemeriksaan
mikroskopis dan biakan cairan serebrospinal.
Peritonitis bakterial spontan. Umumnya terjadi pada penderita dengan
infeksi hati yang biasanya disebabkan oleh E.coli dan kokus Gram-positif dan
bakteri anaerob (S.pneumonia).
Endokarditis. Radang permukaan endokardial vaskuler ini sebagian besar
disebabkan oleh kokus Gram-positif dan sebagian kecil oleh bakteri aerob
Gram-negatif. Penyakit yang sukar diobati ini ditetapkan diagnosisnya dengan
kultur darah.

Patogenesis dan imunitas bakteri


Berbagai faktor menentukan virulensi bakteri., yaitu:
Endotoksin merupakan faktor penting virulensi yang menyebabkan
akibat yang bermacam-macam pada hospes.
Kapsul. Peran kapsul adalah untuk menghindari antifagositik terhadap
bakteri.

Variasi fase antigenik. Fase antigenik yang bermacam-macam merupakan


kemampuan bakteri untuk mengekspresi
300

atau tidak mengekspresi kapsul atau flagel sehingga dapat menghindari


imunitas hospes.
Faktor-faktor nutrisi, misalnya zat besi yang dihasilkan oleh siderophore
merupakan komponen iron-chelating ekstraseluler ( misalnya enterobactin,
aerobactin). Zat besi merupakan komponen yang dibutuhkan oleh hospes
maupun patogen, sehingga harus diperebutkan untuk mendapatkannya. Pada
hospes zat besi banyak dibutuhkan untuk membentuk protein heme
(misalnya hemoglobin, mioglobin) dan pada protein iron-chelating (misalnya
transferrin, lactoferrin).

Pertahanan terhadap serum killing. Zat pembunuh bakteri di dalam serum


dapat berupa komponen non spesifik dan komplemen yang beredar di dalam
darah yang dapat diatasi oleh Enterobacteriaceae dan berbagai patogen yang
ditularkan melalui darah.
Resistensi antimikrobial. Enterobacteriaceae patogenik memiliki sifat-sifat
virulensi yang berbeda-beda ciri khasnya sesuai dengan genus atau
spesiesnya, misalnya adhesin dan exotoxin (enterotoksin yang bekerja di
dalam usus halus).
Enterobacteriaceae Oportunistik. Beberapa jenis bakteri famili
Enterobacteriaceae bersifat oportunistik.

 Citrobacter

Bakteri ini terdapat di lingkungan dan di dalam tinja manusia dan hewan.
Sifat-sifat Citrobacter antara lain adalah:

 Dapat menginfeksi setiap tempat di dalam tubuh, terutama di saluran


kemih, abses otak dan meningitis pada janin yang disebabkan oleh
Citrobacter diversus.
 C.freundi dapat bersifat enterotoksigenik

 Struktur antigenik: antigen O,H dan K.

b. Enterobacter

Bakteri ini terutama terdapat di tanah dan air lingkungan, dan kadang-kadang
ditemukan di dalam usus manusia. Sifat-sifat bakteri ini antara lain adalah:

 Mirip dengan Klebsiella dan harus dibedakan dari bakteri ini.


301

 Kultur bakteri menunjukkan karakter yang motil, dan terdapat empat


spesies yang dapat dibedakan secara biokimiawi.
 Struktur antigenik: antigen O,H,dan K.

 Enterobacter cloacae sering menjebabkan infeksi pada saluran kemih,


sedangkan beberapa strain E.cloacae bersifat enterotoksigenik dan
resisten antibiotika.

c. Serratia

Genus ini banyak ditemukan di air dan tanah, dan mempunyai sifat-sifat
antara lain:

 Penyebab utama infeksi nosokomial, tiga diantaranya merupakan


patogenik utama pada manusia.
 Karakter kultur: menghasilkan DNAse, memproduksi pigmen merah (di
alam, jarang ditemukan pada strain yang diisolasi dari infeksi), tumbuh
cepat pada suhu 250C.

 Struktur antigenik: antigen O,H dan K.

 Serratia marcescens dapat menyebabkan pneumonia nosokomial,


septikemi, infeksi saluran kemih dan infeksi luka, endokarditis pada
pengguna narkoba.

 Dapat diobati dengan aminoglikosida, kloramfenikol, atau trimethoprim


sulfamethoxazole. Telah resisten pada sebagian besar antibiotika yang
lazim digunakan.

d. Morganella atau Providencia

Organisme ini terdapat di udara dan sering membentuk koloni pada luka
bakar. Umumnya sudah resisten terhadap antibiotikaa (in vivo). Sifat-sifat
organisme ini antara lain:

 Struktur antigenik: antigen O,H dan K.


 Morganella morganii, penyebab infeksi seperti Proteus.

 Providencia, penyebab infeksi nosokomial saluran kemih, saluran


pernapasan, darah dan luka.
302

e. Edwardsiella

Kadang-kadang menyebabkan infeksi pada luka, sepsis, meningitis dan


gastroenteritis pada manusia. Membentuk hidrogen sulfida tetapi tidak
memfermentasi laktosa.

5.9. BACTEROIDES

Bacteroides adalah bakteri anaerob yang merupakan komponen utama flora


bakteri pada membran mukosa, karena itu menjadi penyebab umum dari
infeksi endogen. Infeksi Bacteroides dapat terjadi di semua bagian tubuh,
termasuk di susunan saraf pusat (SSP), kepala, leher, dada, abdomen, pelvis,
kulit dan jaringan lunak. Bakteri ini membutuhkan banyak bahan untuk
hidupnya, sehingga sukar diisolasi dan seringkali tidak dapat ditemukan.
Isolasi bakteri ini membutuhkan metoda koleksi tertentu, transportasi yang
baik, dan sediaan untuk biakan yang khusus. Pengobatannya mengalami tiga
faktor yang hambatan, yaitu pertumbuhan yang lambat, meningkatnya
resistensi terhadap antibiotikaa dan adanya sinergisme dengan banyak
mikrorganisme lain dalam menyebabkan infeksi.

Infeksi Bacteroides lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang


dimana pengobatan sering tidak sempurna atau terlambat diberikan. Infeksi
dapat terjadi pada semua umur, tetapi frekwensi infeksi di saluran pernapasan
atas dan infeksi di daerah kepala dan leher lebih sering terjadi pada anak-
anak. Karena sulitnya mengisolasi bakteri ini dan bakteri anaerobik lainnya,
perannya dalam menyebabkan penyakit sukar dipastikan.

Bacteroides fragilis

Bacteroides fragilis adalah bakteri Gram-negatif berbentuk batang yang sifat


hidupnya anaerob obligat. Bakteri ini merupakan bagian dari flora normal
usus besar (kolon) manusia yang umumnya hidup komensal, tetapi dapat
menyebabkan infeksi jika masuk ke aliran darah atau berada di dalam
303

jaringan sekitarnya sesudah dilakukan pembedahan, akibat penyakit atau


akibat trauma.

Kelompok B.fragilis adalah Bacteroidaceae yang paling sering ditemukan


pada infeksi anaerob, terutama yang berasal dari flora gastrointestinal.
B.fragilis sudah resisten terhadap penisilin

karena dapat membentuk beta-laktamase dan adanya faktor lainnya. Bakteri


ini sering ditemukan pada darah, cairan pleura, cairan peritoneum, abses
subkutan, luka bakar dan abses otak. Meskipun demikian bakteri ini
merupakan bakteri yang paling jarang ditemukan dalam tinja.

Gambar 160. Morfologi mikroskopik Bacteroides fragilis menunjukkan adanya


pleomorfisme pada kultur kaldu dan di bahan klinik (www.uphs.upenn.edu)

Patogenesis. Kelainan yang terjadi pada jaringan dan organ oleh B.fragilis
antara lain disebabkan kemampuan organisme ini memproduksi polisakarida
kapsul yang melindunginya dari fagositosis dan merangsang pembentukan
abses.

Pengobatan. Umumnya B.fragilis masih peka terhadap metronidazole,


carbapenem, tigecycline, kombinasi beta-lactam/beta-lactamase inhibitor
(misalnya unasyn) dan cephamycin (misalnya cefoxitin).
304

Bakteri ini telah resisten terhadap penisilin dan clindamycin, karena dapat
memproduksi beta-lactamase.

5.10. VIBRIO

Vibrio adalah bakteri Gram-negatif berbentuk batang melengkung (seperti


koma), hidup anaerob fakultatif di air asin, tidak membentuk spora, dan uji
positif pada oksidase. Semua anggota bakteri ini aktif bergerak (motil) dengan
flagel di ujung sel (polar flagella) dan mempunyai selubung (sheath).
Flagel pada Vibrio cholerae adalah monotrichus (satu flagel pada kutub),
sedangkan pada V.parahaemolyticus mempunyai satu flagel peritrich di
bagian kutub dan juga terdapat flagel-flagel kecil yang terdapat di semua
bagian (peritrich).

Klasifikasi saintifik (Wikipedia)

Kingdom: Bacteria
Phylum: Proteobacteria
Class: Gammaproteobacteria
Order: Vibrionales
Family: Vibrionaceae
Vibrio
Genus:
Pacini 1854
Type species
Vibrio cholerae
305

Gambar 161. Vibrio cholerae, pewarnaan Gram


(http://www.publications.nigms.nih.gov)

Strain patogenik. Beberapa spesies Vibrio bersifat patogen, yang sering


menyebabkan gastroenteritis (foodborne infection), tetapi juga dapat
menginfeksi luka terbuka sehingga menimbulkan septikemi. Beberapa
spesies Vibrio bersifat zoonotik, hidup pada berbagai hewan laut, misalnya
udang dan kepiting dapat membawa bakteri ini yang dapat menyebabkan
infeksi fatal pada manusia jika terpapar. Termasuk dalam Vibrio patogenik
adalah:

 Vibrio cholerae. Bakteri ini biasanya ditularkan melalui air,


menyebabkan infeksi yang ditularkan melalui makanan (foodborne
infection) karena makan seafood yang tidak matang.
 V.parahaemolyticus. Bakteri ini menunjukkan fenomena Kanagawa,
dimana strain yang diisolasi dari manusia bersifat hemolitik pada
lempeng agar darah, sedangkan yang berasal dari sumber non human
tidak bersifat hemolitik (non hemolitik).

 V.vulnificus. .Strain ini merupakan yang paling berat, ditularkan


melalui makanan terutama karena makan kerang mentah KLB
umumnya terjadi di musim kemarau, kadang-kadang terjadi wabah
kecil yang mematikan.

Pengobatan. Pengobatan disesuaikan dengan gejala klinik dan adanya


penyakit tersamar yang diderita penderita.

(a). Gastroenteritis vibrio. Penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya


ini disebabkan oleh Vibrio parahaemolyticus sehingga tidak memerlukan
pengobatan khusus. Penderita yang tidak dapat diberikan penggantian cairan
oral dapat diberikan pemberian cairan intravenus. Meskipun sebagian besar
spesies Vibrio sensitif terhadap doksisiklin atau kuinolon, pengobatan dengan
306

antibiotika tidak memperpendek waktu ekskresi patogen. Antibiotika misalnya


doksisiklin atau kuinolon tetap diberikan jika penderita mengalami demam
tinggi atau adanya penyakit tersamar (underlying disease).

(b). Infeksi Vibrio non-kolera

Infeksi Vibrio pada luka atau septikemi biasanya lebih parah keadaannya
sehingga memerlukan pengobatan khusus:

 Antibiotika (doksisiklin atau kuinolon) harus segera diberikan


 Pengobatan intensif dengan penggantian cairan secara agresif,
pemberian vasopresor untuk mengatasi hipotensi dan syok untuk
mencegah terjadinya sepsis

 Tindakan fasiotomi segera, kurang dari 24 jam sesudah terjadi gejala


klinik pada penderita dengan necrotizing fasciitis.

 Debridemen segera pada luka terinfeksi untuk mencegah amputasi.

 Pengamatan yang intensif pada penderita dengan necrotizing fasciitis


atau sindrom kompartemen

 Pembedahan rekonstruksi pada fase perbaikan, misalnya dengan


cangkok kulit jika ada indikasi.

Kolera

Kolera adalah infeksi akut diare yang penularannya terjadi secara oral-fekal,
karena termakan makanan atau air tercemar bakteri Vibrio cholerae.
V.cholerae adalah basil berbentuk koma, berukuran panjang 1-3 mikron
dengan garis tengah 0.5-0.8 mikron, bersifat Gram-negatif, aerob atau
anaerob fakultatif. Struktur antigeniknya terdiri dari antigen flagel (antigen H)
dan antigen somatik (antigen O).
307

Enterotoksin yang dihasilkan oleh V.cholerae menyebabkan terjadinya


peningkatan sekresi cairan dan elektrolit ke dalam lumen usus kecil.

Kolera dapat bersifat endemik, tetapi dapat berkembang menjadi epidemi dan
pandemi. Penyakit ini dilaporkan dari 58 negara dengan jumlah penderita
yang semakin meningkat. Setiap tahunnya diduga ada sekitar 3-5 juta
penderita kolera dengan angka kematian sebanyak 100.000-120.000.orang.
Pendeknya masa inkubasi (2 jam sampai lima hari) menyebabkan
meningkatnya potensi terjadinya wabah kolera.

Gambar 162. Vibrio cholerae pada medium thiosulphate citrate bile salts
(TCBS) (http://www.cdc.gov./cholerae/diagnosis.html)
FAKTA KUNCI KOLERA (WHO,2012)

 Kolera adalah penyakit diare akut yang jika tidak diobati


dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa
jam.
 Setiap tahunnya terdapat sekitar 3-5 juta penderita
dengan 100.000-120.000 kematian.
 Dengan penggantian cairan secara oral (oral rehidration
salts), 80% penderita berhasil diobati.
 Pengendalian yang efektif tergantung pada pencegahan,
persiapan dan cepatnya tindakan.
 Penyediaan air yang aman dan sanitasi yang baik sangat
penting untuk menurunkan akibat kolera dan penyakit
yang ditularkan melalui air.
 Vaksin kolera oral dapat membantu mengendalikan
308

Sepanjang abad ke 19, kolera menyebar dari sumbernya di delta sungai


Gangga di India ke seluruh dunia. Enam pandemi yang terjadi berturut-turut
telah membunuh jutaan manusia

dari semua benua. Pandemi ketujuh yang awalnya terjadi di Asia Selatan
tahun 1961, menyebar ke Afrika tahun 1971 dan ke Amerika tahun 1991.
Pada tahun 1992 V.cholerae O139 (disebut sebagai serogrup Bengal)
menyebar ke India dan Bangladesh, kemudian ke negara-negara Asia
Tenggara, dan merupakan pandemi ke delapan.

Gejala klinik kolera


Kolera adalah penyakit yang sangat virulen yang menginfeksi anak-anak
maupun orang dewasa dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu
beberapa jam. Sesudah melewati masa inkubasi 24-48 jam (4 jam sampai 5
hari), diare cair tanpa rasa sakit cepat terjadi dan makin berat, diikuti muntah.
Kadang-kadang terjadi kejang perut. Demam biasanya tidak terjadi. Sesudah
beberapa kali diare, akan terjadi diare ”air cucian beras”. Gejala-gejala klinis
yang terjadi tergantung pada beratnya kehilangan cairan.
Hipotensi dapat terjadi satu jam sesudah timbulnya gejala awal sedangkan
syok hipovolemik dapat terjadi kurang dari satu jam pada infeksi yang berat
diikuti kematian penderita dalam waktu dua sampai tiga jam .kemudian.
Gagal ginjal akut dapat terjadi dua jam sampai beberapa hari sesudah awal
gejala terjadi, terutama pada penderita berusia lanjut.
Sekitar 75% orang yang terinfeksi V.cholerae tidak menunjukkan gejala klinis
(asimtomatik) meskipun bakteri ini sudah ada di dalam tinjanya selama 7-14
hari sesudah infeksi. Dari orang-orang yang menunjukkan gejala, 18%
menunjukkan diare ringan, diare sedang (5%) dan kolera berat 2% dengan
gejala muntah yang tiba-tiba dan distensi abdomen diikuti dengan diare cair
309

yang berat dengan dehidrasi yang dapat menyebabkan kematian jika tidak
diobati.
Cholera gravis adalah kolera dengan diare cair yang berat disertai muntah
dan dehidrasi.
Cholera sicca. Bentuk kolera berat dengan gejala ileus dan distensi perut,
dengan toksemia sehingga penderita dapat

meninggal sebelum terjadi diare dan muntah. Mortalitas penderita dengan


cholera sicca adalah tinggi.
Penderita dengan imunitas yang rendah, misalnya anak kurang gizi atau
penderita HIV berisiko tinggi meninggal dunia jika terinfeksi.

Diare kolera. Diare cair yang berat merupakan ciri khas kolera. Menurut
WHO (World Health Organization), kejadian kolera harus diduga jika terdapat
keadaan-keadaan berikut, yaitu:

 Di suatu daerah dimana penyakit ini sebelumnya tidak ditemukan,


seorang panderita berumur 5 tahun atau lebih yang mengalami
dehidrasi berat atau meninggal akibat diare cair yang akut
 Di suatu daerah yang pernah terjadi epidemi kolera, seorang penderita
berumur 5 tahun atau lebih mengalami diare cair akut, dengan atau
tanpa muntah.
Volume tinja penderita kolera berat dalam waktu 24 jam dapat mencapai 250
mL/kg berat badan. Tinja kolera mempunyai karakter khas berupa calran
yang warna dan konsistensinya seperti air beras (rice water).

Muntah. Pada awal penyakit muntah sering terjadi akibat menurunnya


motilitas dari lambung dan usus, sedangkan pada waktu penyakit sedang
berlangsung, muntah disebabkan oleh terjadinya asidemia.
Dehidrasi. Jika tidak diobati, diare dan muntah bisa menyebabkan terjadinya
dehidrasi isotonik yang dapat menimbulkan nekrosis akut tubuler dan gagal
ginjal. Pada kolera yang berat dapat menyebabkan kolaps vaskuler, syok, dan
310

kematian penderita. Dehidrasi dapat terjadi dengan cepat, beberapa jam


sesudah timbulnya gejala awal.

Pemeriksaan fisik. Gejala klinik kolera sejajar dengan terjadinya perubahan


volume kehilangan cairan tubuh.

 Kehilangan cairan 3-5% dari berat badan normal menyebabkan


penderita merasa sangat haus
 Kehilangan cairan 5-8% dari berat badan normal menyebabkan:
hipotensi postural, takikardi, kelemahan badan, lelah, mulut kering,
membrana mukosa kering.
 Kehilangan cairan lebih dari 10% dari berat badan normal
menyebabkan: oliguri, mata cekung, fontanel bayi cekung, lemah
badan, nadi tak teraba, kulit keriput, somnolen, koma.

Diagnosis Banding
Berdasar pada terjadinya diare cair,diagnosis banding kolera adalah:
 Escherichia coli enterotoxigenic
 Infeksi virus (rotavirus, Norwalk)
 Infeksi spesies Vibrio lainnya
 Keracunan makanan (food poisoning) misalnya oleh toksin Clostridium
perfringens, Staphylococcus aureus, atau Bacillus cereus.
 Sigelosis, salmonelosis atau kampilobakteriosis, Pada hapusan tinja
penderita sigelosis, salmonelosis atau kampilobakteriosis, dijumpai
leukosit polimorfonuklir (PMN), sedangkan pada tinja penderita kolera
tidak didapatkan PMN.
 Infeksi Cyclospora atau Cryptosporidium parvum.

Strain Vibrio cholerae. Terdapat dua serogrup V.cholerae yang dapat


menimbulkan wabah, yaitu -01 dan 0139. V.cholerae 01 adalah penyebab
utama wabah kolera, sedangkan V.cholerae yang pertama kali dijumpai di
311

Bangladesh dijumpai secara terbatas di Asia Tenggara.Serogrup lainnya


selain non-01 dan -0139 hanya menimbulkan diare ringan dan tidak
berkembang menjadi epidemi.

Gambar 163. Vibrio cholerae Non-O1, Scanning microscopy


(Sumber: Czech university,Prague : http://parasites.czu.cz/food)

Pada waktu ini biotipe El Tor dari V.cholerae O1 merupakan patogen kolera
yang paling utama. Biotipe V.cholerae berdasar pada struktur antigen O
dibagi menjadi serotipe-serotipe :
 Serotipe Inaba: antigen O, A dan C
 Serotipe Ogawa: antigen O , A dan B
 Serotipe Hikojima: antigen O, A,B dan C.

Pada waktu ini varian-varian baru V.cholerae ditemukan di beberapa daerah


di Asia dan Afrika yang menyebabkan kolera yang lebih berat dengan angka
kematian yang lebih tinggi.

Faktor risiko kolera.


Penyebaran kolera terkait dengan tatalaksana lingkungan yang tidak baik.
Lingkungan berisiko tinggi untuk terjadiya kolera adalah daerah kumuh peri-
urban, dimana infrastruktur dasar tidak tersedia, misalnya di tempat
penampungan pengungsi, dimana kebutuhan air bersih tidak tercukupi
dengan sanitasi lingkungan yang buruk.
312

Demikian juga akibat bencana, sistem penyediaan air bersih dan sanitasi
mengalami kerusakan, tempat penampungan

pengungsi yang terbatas daya tampungnya, meningkatkan risiko penularan


kolera dari penderita ke populasi lainnya. Epidemi kolera tidak pernah berasal
dari jasad orang yang sudah mati.

Faktor Lingkungan. V.cholerae adalah organisme air asin atau payau, dan
habitat primernya adalah ekosistem lautan (marine ecoststem) dimana ia
hidup berhubungan dengan plankton. Terdapat dua sumber kolera, yaitu
manusia dan air. Infeksi primer yang terjadi pada manusia didapat secara
tidak disengaja. Sumber utama V.cholerae adalah manusia dengan
lingkungan yang sesuai bagi kehidupan bakteri, yaitu air payau yang akibat
pemanasan global makin banyak dijumpai. Risiko infeksi primer terjadi karena
adanya perubahan musim yang meningkatkan jumlah organisme, misalnya
karena adanya perubahan suhu air dan berkembangnya algae.
Penularan sekunder terjadi secara fekal-oral melalui kontak orang-ke-orang
atau melalui pencemaran air dan makanan. Penularan sekunder umumnya
terjadi di lingkungan keluarga, tetapi dapat juga terjadi di klinik dan rumah
sakit dimana penderita dirawat.
Infeksi sangat sering terjadi di lingkungan dimana air minum tidak layak
diminum sebelum dimasak dan higiene perorangan dan lingkungan sangat
buruk.

Faktor hospes. Malnutrisi meningkatkan kepekaan terhadap kolera. Selain


itu kepekaan juga meningkat jika terjadi hidroklorhidria atau aklorhidria
(misalnya karena infeksi Helicobacter pylori, pembedahan lambung,
vagotomi, penggunaan H2 blocker untuk ulkus lambung). Selain itu insidens
kolera dua kali lebih tinggi pada orang dengan golongan darah O, dengan
sebab yang belum diketahui.
Penularan kolera di daerah endemis umumnya tidak tinggi karena orang
dewasa mempunyai antibodi terhadap basil kolera. Pada orang dewasa
313

penderita asimtomatik lebih banyak dari pada anak dan infeksi sekunder pada
orang dewasa umumnya jarang terjadi atau ringan gejalanya.
Di daerah nonendemik, infeksi tidak dipengaruhi umur, meskipun pada orang
dewasa gejala klinik lebih jarang dijumpai
dari pada anak. Kecuali pada anak-anak yang mendapat air susu ibu, jarang
mengalami gejala klinis berat karena telah mendapat kekebalan terhadap
infeksi dari ibunya.
Infeksi dengan biotipe klasik V.cholerae menimbulkan proteksi oleh antibodi
terhadap infeksi ulang biotipe tersebut. Akan tetapi infeksi dengan kolera El
-Tor tidak menyebabkan proteksi terhadap infeksi sekunder. Infeksi dengan
V.cholerae O1 tidak menimbulkan kekebalan terhadap V.cholerae O139. di
daerah non endemis.
Penularan kolera dapat disebabkan oleh carrier yang selalu mengeluarkan
bahan infektif kolera.

Diagnosis kolera

Di daerah endemis kolera, untuk memastikan terjadinya kolera, pemeriksaan


biokimiawi dan karaterisasi isolat biasanya tidak diperlukan. Di daerah dimana
Vibrio cholerae jarang ditemukan, pemeriksaan biokimiawi dan karakterisasi
isolat sebaiknya dilakukan. Selain itu untuk identifikasi organisme, perlu
dilakukan pemeriksaan mikroskopis atas tinja, termasuk pemeriksaan dark-
field, bersama-sama pewarnaan Gram, kultur dan identifikasi serotipe dan
biotipe. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) untuk identifikasi
V.cholerae mulai dikembangkan karena pemeriksaan ini sensitifitas dan
spesifisitasnya tinggi.

Diagnosis laboratorium. Dengan pemeriksaan mikroskopi latar belakang


gelap (Dark-field microscopy) atas tinja penderita kolera, akan terlihat
organisme Vibrio yang berbentuk koma, dengan motilitas khas (shooting
stars). Kultur dapat dilakukan langsung terhadap tinja atau dari usap rektum
(yang dibawa pada medium transport Cary-Blair)

Pemeriksaan tinja. Selain untuk identifikasi, pemeriksaan laboratorium


dimanfaatkan untuk mempelajari epidemiologi kolera.
314

Gambar 164. Gambaran mikroskopi electron V.cholerae


(http://www.hcs.harvard.edu)

Meskipun V.cholerae organisme Gram-negatif yang motil, tetapi sifat


motilitasnya tidak dapat dilihat pada pewarnaan Gram, tetapi lebih mudah
dilihat dengan pemeriksaan langsung tinja dengan metoda dark-field.

Kultur tinja. Untuk pertumbuhannya V.cholerae tidak membutuhkan nutrisi


yang sukar didapat, tetapi memerlukan system buffer yang adekwat jika
terdapat karbohidrat yang membutuhkan fermentasi. Banyak medium selektif
yang digunakan untuk membedakan patogen enterik tidak dapat
meningkatkan pertumbuhan V.cholerae.

Medium rutin diferensiasi. Seperti halnya patogen intestinal lainnya, koloni


V.cholerae bersifat laktose-negatif. Selain itu koloni V.cholerae bersifat
sukrose-positif, sehingga berbeda dengan Enterobacteriaceae lainnya yang
sukrose-negatif. Karena itu di daerah dimana kolera tidak.endemik, jika kultur
tinja penderita diare pada medium diferensial menunjukkan bakteri berbentuk
batang gram-negatif menunjukkan sifat motil, oksidase-positif, dan pada triple
sugar iron agar (TSI) menunjukkan reaksi asam.
315

Medium alkali diperkaya (alkaline enrichment media). Karena Vibrio


tumbuh pada pH tinggi atau pada garam empedu (yang menghambat
pertumbuhan Enterobacteriaceae lainnya), maka air pepton (pH 8.5-9) atau
medium selektif yang mengandung garam empedu (misalnya thiosulfate-
citrate-bile-sucrose-agar) sebaiknya digunakan untuk mengisolasi dan
mendiagnosis Vibrio cholerae

Uji hematologik. Pada penderita kolera karena ada perubahan volume


intravaskuler dan konsentrasi elektrolit serta adanya dehidrasi dan
hemokonsentrasi menunjukkan gambaran hematologik sebagai berikut:
 Hematokrit , serum-specific gravity dan protein serum meningkat
 Leukositosis. pada awal penyakit

Panel metabolik kolera. Pada kolera, gambaran metabolisme pada


penderita menunjukkan:
 Natrium serum : 130-135 mmol/L,karena adanya kehilangan natrium
melalui tinja
 Kalium serum: normal
 Hiperglikemia bisa terjadi akibat pelepasan secara sistemik epinefrin,
glukagon, dan kortisol akibat terjadinya hipovolemia
 Nitrogen urea darah dan kadar kreatinin meningkat akibat dehidrasi
 Kadar bikarbonat menurun (kurang dari 15 mmol/L) akibat terjadinya
kadar laktat, protein dan fosfat serum.
 pH arterial biasanya rendah (sekitar 7.2)
 Kalsium dan magnesium biasanya tinggi akibat hemokonsentrasi.

Tatalaksana kolera

Tatalaksana kolera dilaksanakan dengan melakukan rehidrasi dan pemberian


antibiotika.
316

(1). Rehidrasi
Tindakan yang pertama kali dilakukan adalah rehidrasi yang terdiri dari 2
fase, yaitu rehidrasi dan pemeliharaan (maintenance).
Tujuan akhir fase rehidrasi adalah berusaha agar status hidrasi kembali
dalam keadaan normal. Fase ini harus dilaksanakan dalam waktu kurang dari
4 jam. Pada penderita dengan dehidrasi berat, infusi intravenus diatur pada
50-100 mL/kg/jam. Sebaiknya digunakan larutan Ringer laktat dan bukan
larutan NaCl isotonik karena larutan garam (saline) tidak dapat memperbaiki
asidosis metabolik.
Pada fase pemeliharaan adalah menjaga agar status hidrasi yang normal
tetap terpelihara dengan mengganti kehilangan cairan yang sedang berjalan.
Dalam hal ini sebaiknya menggunakan ORS (oral rehydration solution)
dengan kecepatan 500-1000 mL/jam.

Sekitar 80% penderita bisa diobati dengan berhasil menggunakan garam


rehidrasi oral (WHO/UNICEF ORS standard sachet). Penderita dengan
dehidrasi berat memerlukan pemberian cairan intravenous.

Larutan Ringer laktat (RL) intravenus sebaiknya diberikan segera pada


penderita yang selalu muntah atau diare (lebih dari 10 ml/kg/jam) sampai
tekanan darah menjadi normal. Jika keadaan penderita menjadi baik, infus
dapat diperlambat menjadi 100 ml/kg berat badan dalam waktu 4 jam pertama
pengobatan. Anak yang menderita syok diberi larutan RL sebanyak 30 ml/kg
BB/jam pada jam pertama pengobatan, dan 20 ml/kg/jam pada 2 jam
berikutnya. Pemberian cairan rehidrasi oral harus diberikan secepat mungkin,
meskipun jika masih ada muntah harus diberikan pelan-pelan dengan teratur.
Larutan WHO solution (3,5 g NaCl, 2.5 g NaHCO3, 1.5 g KCl dan 20 g
glukose per liter) dapat diberikan untuk rehidrasi semua derajat dehidrasi.
317

(2). Pengobatan Kolera

Beberapa penderita memerlukan antibiotika untuk memperpendek lamanya


diare, mengurangi jumlah cairan rehidrasi yang diperlukan, dan
memperpendek lamanya ekskresi V.cholerae. Pemberian antibiotika secara
masal tidak dianjurkan, karena tidak dapat mencegah penularan dan bisa
meningkatkan resistensi terhadap antibiotika.

Pengobatan antibiotika (tetrasiklin 4x500 mg/hari selama 3 hari, atau


doksisiklin 1x300 mg/hari atau 2x100 selama 3 hari, dapat memperpendek
masa diare, dan mengurangi jumlah cairan yang hilang. Jika terjadi resistensi
terhadap tetrasiklin dapat diganti dengan ciprofloxacin 1x1000 mg satu kali
pemberian atau 2x500 mg/hari selama 3 hari. Pada anak yang menderita
diare dapat diberikan tetrasiklin, eritromisin atau trimethoprim dan
sulfamethoxazole.

Ibu hamil dapat diberikan eritromisin 4x500 mg per oral selama 3 hari atau
furazolidone 4x100 mg per oral selama 3 hari.

Dengan penanganan yang tepat, angka kematian dapat diturunkan sampai


dibawah 1%.

Vaksin oral Kolera

Terdapat dua tipe vaksin oral kolera yang aman dan efektif, yaitu vaksin
Dukoral dan vaksin Shanchol. Kedua vaksin ini termasuk whole-cell killed
vaccine sehingga aman digunakan. Dukoral yang memberikan proteksi pada
85-90% terhadap V.cholerae 01 bagi semua kelompok umur selama 4-6
bulan sesudah imunisasi. Sedangkan vaksin Shanchol memberi proteksi lebih
lama terhadap V.cholerae 01 dan 0139 pada anak berumur di bawah 5 tahun.
Kedua vaksin diberikan dalam dua dosis dengan jarak antar waktu pemberian
7 hari dan 6 minggu. .

Prognosis kolera

Sebelum digunakannya regimen efektif untuk menggantikan kehilangan


cairan dan elektrolit, angka kematian kolera dapat
318

lebih dari 50%. Kematian lebih tinggi pada penderita perempuan hamil dan
anak-anak. Dengan penanganan kolera melalui penggantian cairan dan
elektrolit yang baik, angka kematian kolera dapat ditekan sampai sekitar 1%.

Tabel 21 . Pemberian Larutan Rehidrasi Oral 4 jam pertama

>15 th
Umur <4 bl 4-11 bl 12-23 bl 2-4 th 5-14 th

>30 kg
Berat <5kg 5-7.9 kg 8-10.9kg 11-15.9kg 16-29.9kg

2200-4000
ORS (mL) 200-400 400-600 600-800 800-1200 1200-2200

Tabel 22. Penggantian cairan pada Dehidrasi (WHO,2004)

 100 mL/kg diberikan selama 3 jam


Ringer laktat (anak berumur<1tahun: selama 6
intravenus jam)
atau normal
Dehidrasi berat saline. ORS  pemberian awal cepat (30 mL/kg
(oralrehidration dalam waktu 30 menit,lalu
salts diberikan turunkan pelan-pelan.
24 jam
pertama)  Total pemberian pada 24 jam
pertama: 200 L/kg.
 Bayi<4 bl(<5 kg):200-400 mL
ORS diberikan
pada 4 jam  Bayi 4-11 bl(5-7.9 kg):400-600mL
pertama
Dehidrasi sedang  Anak 1-2th(8-10.9 kg):600-800ml

 Anak 2-4th(11-15.9kg):800-1200mL

 Anak 5-14th(16-29.9kg):1200-2200mL

 Penderita umur>14 th (>30 kg):


2200-4000 mL.
ORS  Anak<2th: 50-100 mL, sampai 500
319

mL/hari
Dehidrasi ringan (diberikan
(tak ada dehidrasi) setiap kali  Anak 2-9 th: 100-200mL,sampai
sesudah 1000 mL/hari
buang air)
 Umur>9 th:sesuai kebutuhan,
sampai 2000 mL/hari

Infeksi vibrio lainnya

Di kawasan pantai yang panas, misalnya di teluk Meksiko, dapat hidup secara
alami bakteri-bakteri Vibrio vulnificus dan Vibrio parahaemolyticus, yang
pada musim panas dapat ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi, ketika air
laut menjadi lebih hangat.. Penyakit yang disebabkan oleh Vibrio terjadi
karena orang makan makanan laut (seafood) yang tercemar bakteri ini.

V.parahaemolyticus menyebabkan diare yang tidak berdarah. Pada orang


yang menderita penyakit hati, kanker atau gangguan sistem imun, V.vulnificus
yang menginfeksi aliran darah dapat menyebabkan kematian penderita yang
dapat terjadi dalam waktu dua hari. Selain melalui kerang mentah yang
dimakan, V.vulnificus dapat masuk ke dalam tubuh penderita melalui luka
yang terpapar air laut hangat.

Gambar 165. Scanning mikrograf Vibrio vulnificus (CDC, Carr and Gathany:
http://loyno.edu/lucec/natural-history-writings)
320

Tabel 23. Gambaran klinis penyakit oleh Vibrio vulnificus dan


V.parahaemolyticus

Sumber infeksi Kerang mentah atau kurang matang

Masa inkubasi V.vulnificus (1-7 hari); V.parahaemolyticus (2-48 jam)

Gejala Klinis Orang sehat: diare, muntah, nyeri perut. Individu


dengan risiko tinggi: menggigil mendadak, demam,
syok, lesi kulit

Lama sakit 2-8 hari

Pencegahan Hindari makan kerang mentah atau kurang matang.

(Sumber:
Foodsafety,2013,www.foodsafety.gov/poisoning/causes/-/vibrioinfection)

Infeksi pada individu berisiko. Infeksi V.vulnificus dapat menyebabkan


penyakit berat dan mematikan pada individu berisiko, yaitu penderita dengan:

 Penyakit hati (hepatitis, sirosis, alkoholisme, kanker)


 Hemochromatosis

 Diabetes

 Kanker (limfoma, leukemia, penyakit Hodgkin)

 Kelainan lambung.

Vibrio parahaemolyticus
321

Bakteri ini berbentuk batang, halophilic, fakultatif anerobik, yang hidup di air
payau daerah pantai yang menyebabkan penyakit gastrointestinal pada
manusia.

Gambar 166. Elektronmikrograf Vibrio parahemolyticus


(http://pathmicro.med.sc.edu/fox/enterobact.htm)

Orang-orang yang sering berenang atau bekerja di daerah terpapar, dapat


mengalami infeksi pada mata, telinga atau pada luka-luka terbuka. Berbagai
hewan laut yang sering mengandung bakteri ini adalah cumi-cumi, tuna,
kepiting, udang, dan kerang (oyster dan clams). Penyakit akibat
V.parahaemolyticus , sesudah melalui masa inkubasi kurang dari 24 jam akan
terjadi diare cair yang berat yang mendadak disertai dengan mual, muntah,
nyeri perut, dan kadang-kadang demam. Dalam waktu 72 jam gejala akan
menghilang, meskipun kadang-kadang pada individu dengan imunitas yang
rendah (immunocompromised) gejala dapat bertahan sampai 10 hari
lamanya. Pada penyakit yang ringan pengobatan tidak spesifik, tetapi pada
penyakit yang berat diperlukan penggantian cairan dan elektrolit.
Biakan pada TCBS agar (thiosulfate-citrate-bile salts-sucrose agar)
menumbuhkan koloni V.haemolyticus yang berukuran besar sesudah
dibiakkan pada suhu 370C, selama 48 jam pada atmosfir aerobik.
322

Gambar 167. Koloni V.parahaemolyticus pada medium agar TCBS (koloni


hijau) dan Vibrio cholerae (koloni kuning).
(Sumber: http://www.usm.edu/gcrl/microbiology/vibrio.ecology.php )

Infeksi V.parahaemolyticus
Sesudah termakan kerang mentah atau tidak matang yang mengandung
bakteri ini, dalam waktu 24 jam penderita akan mengalami diare cair yang
sering disertai kejang perut, mual, muntah, demam dan menggigil. Penyakit
akan sembuh dengan sendirinya sesudah 3 hari. Penderita dengan sistem
imun yang lemah akan mengalami penyakit berat yang berlangsung lebih
lama. Infeksi dengan V.parahaemolyticus dapat terjadi pada kulit dengan
luka terbuka yang terpapar bakteri pada air laut yang hangat.

Diagnosis. Organisme ini dapat diisolasi dari kultur tinja, luka atau darah.
Untuk mengisolasi bakteri dari tinja, digunakan medium agar TCBS. Biakan
tinja dilakukan jika penderita mengalami diare cair sesudah makan kerang
atau seafood mentah atau tidak matang atau jika diduga mengalami infeksi
melalui luka sesudah terpapar air laut.
323

Pengobatan infeksi. Sebagian besar infeksi V.parahaemolyticus tidak


memerlukan pengobatan. Penderita sebaiknya minum cukup cairan untuk
mengganti cairan yang hilang melalui diare. Pada penyakit yang berat atau
berlangsung lama, dapat diberikan antibiotika, misalnya tetrasiklin atau
ciprofloxacine, sesuai dengan hasil uji kepekaan organisme terhadap
antibiotika.

Pencegahan. Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan organisme ini


dilakukan dengan :
 Memasak makanan laut, terutama kerang tiram (oyster)
 Mencegah agar luka terbuka tidak terpapar air laut hangat

Vibrio vulnificus
Bakteri Gram-negatif ini berbentuk batang lurus atau seperti koma, termasuk
dalam kelompok vibrio ”halophilic” (yang untuk hidupnya memerlukan garam).
Organisme ini hidup di air laut hangat dengan kadar garam yang rendah (0.5
sampai 2.0% NaCl), misalnya yang terletak dekat garis pantai dimana air
sungai yang tawar bertemu dengan air laut yang asin serta kolam air payau
dan kolam di daerah sepanjang pantai.

Gambar 168. Medium TCBS untuk membiakkan vibrio termasuk V.vulnificus


(URL: quizlet.com/vibrionaceae-flash-cards)
324

V.vulnificus memproduksi lipopolisakarida (LPS) pada membran terluarnya.


Virulensi organisme ini selain tergantung pada ada atau tidak adanya kapsul
yang membungkus bakteri, juga pada adanya fimbriae dan toksin RTX .
Bakteri ini dapat diisolasi dari air laut dan endapan, serta dari plankton, udang
dan kerang. Karena itu infeksi dengan V.vulnificus terjadi karena
mengkonsumsi makanan laut yag tercemar organisme tersebut, atau luka
terbuka yang terpapar air laut yang tercemar. Infeksi paling sering terjadi
pada individu dengan sistem imun yang lemah, terutama pada penderita
penyakit hati menahun, penyakit gastrointestinal ringan sampai berat, karena
menyebabkan septikemia yang meningkatkan kematian penderita yang peka
terhadap vibrio. Karena itu V.vulnificus merupakan penyebab utama
kematian akibat makanan laut.

Infeksi V.vulnificus. Pada individu normal, infeksi V.vulnificus biasanya


menyebabkan muntah, diare dan nyeri perut. Sedangkan pada penderita
dengan sistem imun yang lemah (terutama yang menderita penyakit hati
kronis), bakteri dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan septikemi
primer dengan gejala khas demam, menggigil, lesi kulit yang melepuh, syok
septik, dan kematian penderita.

Gambar 169. Infeksi kulit dengan bakteri V.vulnificus


(http://www.texasflyfishers.org/images)
325

Diagnosis. Infeksi dengan V.vulnificus dapat ditentukan diagnosisnya


berdasar pada:

 Gejala klinis sesudah makan kerang


 Penderita laki-laki lebih sering dari pada perempuan

 Pemeriksaan tinja atau darah dengan PNCC broth (pepton, NaCl,


cellobiose, colistin methanesulfate).

Pengobatan. Infeksi V.vulnificus dapat diobati jika diagnosis dapat ditetapkan


pada stadium dini dengan menggunakan tetrasiklin atau fluorokuinolon
misalnya cephalosporin. Jika terjadi infeksi pada tempat luka, dilakukan
debridemen, fasiotomi, dan kadang-kadang diperlukan amputasi pada
anggota gerak yang terinfeksi.

Pencegahan. Pencegahan terutama ditujukan pada individu dengan sistem


imun yang lemah, misalnya penderita penyakit hati, yaitu dengan cara:

 Tidak makan kerang (oysters dan shellfish) mentah


 Memasak kerang (shellfish) dengan air mendidih, sampai kulitnya
terbuka

 Menghindari kontaminasi silang makanan matang dengan bahan


makanan laut yang masih mentah

 Menghindari paparan pada luka terbuka oleh air asin hangat atau
kerang mentah berasal dari air asin.

 Menggunakan sarung tangan pada waktu memasak kerang.

5.11. CAMPYLOBACTER

Infeksi Campylobacter termasuk infeksi bakterial yang paling banyak terjadi


pada manusia. Infeksi ini menyebabkan diare, kaku otot, nyeri perut, dan
demam, dua sampai lima hari sesudah terinfeksi organisme ini. Di daerah
326

industri infeksi enterik Campylobacter menyebabkan keradangan, kadang-


kadang diare berdarah, disertai mual dan muntah yang berlangsung sekitar
satu minggu lamanya. Sebagian penderita tidak menunjukkan
gejala, tetapi pada penderita dengan sistem imun yang lemah (compromised)
dapat terjadi penyebaran melalui darah yang dapat membahayakan jiwa
penderita.

Epidemiologi kampilobakteriosis
Kampilobakteriosis adalah penyakit zoonosis yang ditularkan pada manusia
dari hewan atau melalui produk hewani. Sekitar 2 juta penderita enteritis
Campylobacter dilaporkan setiap tahunnya, atau sekitar 5-7% dari kejadian
gastroenteritis. Banyak hewan yang bertindak sebagai sumber infeksi
Campylobacter yang mengalami infeksi intestinal asimtomatik, yang dapat
mencapai 100% pada peternakan unggas, termasuk ayam, kalkun dan
unggas air. Hewan peliharaan misalnya kucing dan anjing juga dapat menjadi
sumber penularan. Sapi dan domba merupakan sumber infeksi utama
C.fetus.

Bakteri Campylobacter merupakan penyebab utama penyakit diare yang


ditularkan melalui makanan pada manusia, dan menjadi bakteri yang paling
umum penyebab gastroenteritis di seluruh dunia. Di negara-negara
berkembang dan negara-negara maju, Campylobacter menjadi penyebab
diare yang lebih sering dari pada diare akibat Salmonella. C.jejuni sangat
umum terdapat di seluruh dunia, misalnya di Selandia Baru pada tahun 2006
dilaporkan kampilobakteriosis sebesar 400 per 100.000 populasi.

Di Negara-negara berkembang kampilobakteriosis pada anak berumur


dibawah dua tahun sering terjadi yang kadang-kadang menyebabkan
kematian.

Karakter Campylobacter

Campylobacter adalah bakteri berbentuk batang, seperti spiral, berbentuk


huruf S atau seperti koma. Bakteri ini motil dan tidak membentuk spora Dari
17 spesies dan 6 subspesies genus Campylobacter, yang paling sering
327

menyebabkan penyakit pada manusia dan sering dijumpai adalah


Campylobacter jejuni (subspecies jejuni) dan C.coli. Sebagian besar spesies
menyukai
atmosfir mikro-aerobik (yang mengandung 3-10% oksigen), sedangkan
beberapa spesies diantaranya menyukai lingkungan anaerobik (yang
mengandung sedikit oksigen atau tidak mengandung oksigen). Bakteri ini
mudah mati, tidak tahan kekeringan dan dapat mati oleh paparan oksigen.
Pembekuan daging segar dapat menurunkan jumlah bakteri. Organisme
bersifat motil karena memiliki flagel yang unipolar atau bipolar, bersifat
oksidase positif dan katalase positif, mikroaerofilik, membutuhkan sedikit
oksigen (5-100C) dan kadar tinggi karbon dioksida (3-10%).

Gambar 170. Scanning electron microscopy C.jejuni dengan flagel bipolar


(Lowry, University Ulster: http://www.gettingimages.com)

Pertumbuhan Campylobacter jejuni berjalan lambat, membutuhkan waktu 3-4


hari untuk mengisolasi primer dari sediaan tinja dan lebih lama lagi jika
sampel berasal dari darah. Campylobacter jejuni tumbuh paling baik pada
suhu 37-420C yang pada unggas tidak menyebabkan sakit Pada biakan
muda, organisme berbentuk seperti vibrio, tetapi sesudah mengalami inkubasi
48 jam, organisme berbentuk kokoid.
328

Gambar 171. Campylobacter jejuni, koloni hari kedua, mikroaerofil, 420C


(CDC, 2012, http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages)

Sebagian besar infeksi C.jejuni didapat sesudah termakan atau mengolah


daging unggas mentah atau tidak matang. Selain itu, sumber infeksi dapat
berasal dari paparan dengan tinja anjing atau kucing yang sakit. Gejala klinis
infeksi C.jejuni menyebabkan kejang otot, diare, nyeri perut dan demam yang
terjadi 2-5 hari sesudah terjadinya paparan dengan organisme ini. Organisme
ini merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan diare. Hanya
diperlukan sedikit organisme (kurang dari 500) untuk dapat menyebabkan
penyakit.

Penularan
Campylobacter dapat ditularkan secara fekal-oral, melalui kontak seksual
dari orang-ke-orang, menelan susu mentah dan daging unggas yang tidak
matang, dan melalui air yang tercemar. Penularan juga dapat terjadi melalui
paparan dengan hewan yang sakit, terutama anak anjing. Penularan
Campylobacter dari hewan ke manusia biasanya terjadi melalui hewan yang
terinfeksi dan produk makanan yang dihasilkannya. Sebagian besar infeksi
pada manusia terjadi karena makan makanan
329

yang kurang matang memasaknya atau melalui bahan makanan yang


tercemar, terutama dari ayam. Sebagian besar hewan yang menjadi sumber
infeksi adalah carrier yang mengandung Campylobacter sepanjang hidupnya.

Spesies Campylobacter peka terhadap asam lambung, karena itu pemberian


antasida bisa menyebabkan turunnya jumlah inokulum untuk menimbulkan
infeksi bakteri, sehingga penderita lebih mudah terinfeksi.
Infeksi Campylobacter dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi
paling sering diderita oleh kelompok umur kurang dari 1 tahun dan umur 15-
29 tahun. Meskipun demikian kultur tinja positif paling banyak didapatkan
pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar.

C.jejuni pada penderita dengan AIDS dapat menimbulkan bakteremia yang


berbahaya Sebagian besar bakteremia disebabkan oleh infeksi C.fetus, dan
C. upsaliensis. Pada penderita dengan sistem imun yang lemah
C.hyointestinalis juga bisa menyebabkan bakteremia.
Campylobacter dapat menjadi penyebab penting diare pelancong (traveler’s
diarrhea), terutama di Thailand dan Asia Tenggara.

Patogenesis
Sesudah masa inkubasi yang berlangsung sekitar 1 minggu , C.jejuni yang
menimbulkan kerusakan jaringan di jejunum, ileum dan kolon serta rektum.
Diproduksinya enterotoksin dan antigen PEB menyebabkan terjadinya diare
cair dan enteritis eksudatif yang difus dan berdarah serta edematus. Selain
itu dapat terbentuk abses pada kripta di kelenjar epitel dan ulserasi pada
epitel mukosa. Selain itu dapat terjadi koagulasi intravaskuler dan
mikroangiopati di glomerulus dan mukosa gastrointestinal.

Pada penderita dengan HIV, diare terjadi berulang-ulang dan berlangsung


lama, dan penderita bisa mengalami bakteremia dan resistensi antibiotika.
Infeksi C.jejuni dapat terjadi berulang-
330

ulang pada anak dan orang dewasa yang mengalami defisiensi


imunoglobulin. Infeksi akut dengan organisme ini hanya memberikan
kekebalan yang pendek waktunya.
Infeksi Campylobacter biasanya sembuh dengan sendirinya dan jarang
menyebabkan kematian penderita, kecuali pada orang lanjut usia dan
imunitas yang lemah (immunocompromised).
Organisme Campylobacter lebih sering dapat diisolasi dari orang laki-laki dari
pada perempuan. Laki-laki homoseksual lebih berisiko tinggi terinfeksi
dengan spesies atipik Campylobacter, misalnya Helicobacter cinaedi dan
H.fennelliae.

Gejala klinis

Infeksi Campylobacter mula-mula dapat terjadi asimtomatik yang kemudian


diikuti gejala kolitis berat disertai megakolon toksik yang dapat
membahayakan jiwa penderita. Gambaran klinik kampilobakteriosis pada
umumnya berlangsung sebagai berikut:

 Semua spesies Campylobacter yang menyebabkan gangguan enterik


menunjukkan gejala klinik yang identik.
 Gejala dan beratnya gastroenteritis dapat berbeda-beda.

o Masa inkubasi: 1-7 hari, tergantung jumlah bahan infektif yang


termakan

o Gejala awal sampai 24 jam pertama berupa demam, sakit


kepala, dan mialgia, diikuti nyeri dan kejang perut, demam
setinggi 400C dan diare cair sering berdarah, sampai 10 kali per
hari, demam bisa bertahan selama satu minggu

 Infeksi C.jejuni berupa muntah, diare berdarah atau keduanya,


berlangsung lebih lama dan harus rawat tinggal di rumah sakit. Nyeri
perut setempat di kuadran kanan bawah dapat mirip apendisitis akut.
Tenesmus terjadi pada sekitar 25% penderita.
331

 Infeksi C.fetus jarang menyebabkan diare, tetapi bakteremia paling


sering terjadi. C.fetus merupakan organisme oportunistik pada hospes
debil, meskipun dapat juga menginfeksi orang sehat. Penderita
biasanya berusia lanjut dan mempunyai selulitis, dan infeksi
endovascular. Penyakit sistemik dapat terjadi dengan predileksi di
daerah vaskuler. Meningitis dan abses dapat juga terjadi. Infeksi
C.fetus dapat menyebabkan diare yang intermiten atau nyeri perut
yang tidak spesifik.

Pemeriksaan fisik

Penderita dengan infeksi Campylobacter dapat tampak sakit, dengan nyeri


perut terutama di kuadran bawah kanan atau kiri. Nyeri perut pada infeksi
Campylobacter lebih sering terjadi dibandingkan dengan nyeri perut pada
infeksi Salmonella dan Shigella.

Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis infeksi Campylobacter ditentukan jika ditemukan organisme dalam


tinja penderita yang diperiksa atau dapat diisolasi dari tinja pendeita.
Campylobacter adalah organisme bersifat oksidase positif, misalnya C.jejuni
menghidrolisis hippurat.

Isolasi Campylobacter dari tinja. Karena multiplikasi bakteri ini lebih lambat
dari pada bateri enterik lainnya, maka dilakukan prosedur khusus untuk
mengisolasi Campylobacter dari tinja, antara lain dengan cara:

 Membiakkannya pada suhu 420C pada media yang mengandung


antibiotika. Menggunakan media campuran dilakukan untuk
membiakkan secara optimum C.jejuni, misalnya Mueller-Hinton
broth dan agar dengan lingkungan 85% N 2, 10% CO2 dan 5% 02.
 Menggunakan filtrasi micropore untuk menyaring bakteri berukuran
besar yang mencemari kultur.
332

Tatalaksana medis kampilobakteriosis

Penderita dengan infeksi Campylobacter memerlukan penatalaksanaan yang


sebaik-baiknya sebagai berikut:

(1). Penggantian cairan dan elektrolit (rehidrasi) adalah terapi utama pada
infeksi Campylobacter dengan menggunakan larutan oral glukose-elektrolit
atau memberikan cairan intravenous. Pada anak dengan disenteri oleh infeksi
C.jejuni menunjukkan adanya perbaikan jika diberikan terapi dini
menggunakan eritromisin.

(2). Antibiotika dapat diberikan pada penderita dengan demam tinggi, diare
berdarah, diare lebih dari 8 kali per hari, gejala klinis memburuk, gejala klinis
berlangsung lebih dari 1 minggu, kehamilan dan adanya penyakit yang
menyebabkan sistem imun lemah misalnya HIV.

(3). Hindari obat antimotilitas karena dapat memperpanjang lamanya gejala


dan dapat meningkatkan angka kematian.

(4). Jika terjadi kekambuhan bakteremia C.jejuni pada penderita dengan


hipogamaglobulinemia perlu diberikan plasma segar beku dan antibiotika.

(5). Penderita dengan disenteri berat sebaiknya dilakukan rawat inap di


rumah sakit.

(6). Penderita dengan infeksi endovaskuler C.fetus harus diberikan antibiotika


sedikitnya 4 minggu (gentamisin sebagai obat pilihan, ampisilin atau
cephalosporin sebagai obat alternatif).

(7). Infeksi C.fetus pada sistem saraf pusat diobati 2-3 minggu dengan
cephalosporin, ampisilin atau kloramfenikol.

(8). Jika terjadi megakolon toksik atau aneurisma sebaiknya dilakukan


tindakan pembedahan.

Komplikasi kampilobakteriosis
333

Sebagian besar penderita kampilobakteriosis sembuh sempurna dalam waktu


2-5 hari, meskipun bisa baru sembuh sesudah 10 hari. Komplikasi yang dapat
terjadi berupa bakteremia, hepatitis,

pankreatitis dan abortus. Komplikasi pasca infeksi yang jarang terjadi adalah
artritis dan sindrom Guillain-Barre.

Pencegahan

Untuk mencegah infeksi Campylobacter dilakukan berbagai upaya , yaitu:

 Mengendalikan semua tahap rantai makanan, mulai dari produk


agrikultur, pemrosesan, produksi dan penyediaan makanan baik
komersial maupun domestik.

 Penggunaan tinja dan bahan yang menggunakan tanah bertinja harus


didisinfeksi lebih dahulu.

 Mencegah pencemaran Campylobacter dari lingkungan terhadap


unggas yang dipelihara.
 Menjaga kebersihan daging dan produk daging dengan pemotongan
hewan dan penjualan daging hewan secara higienis .
 Tindakan mematikan bakteri dengan pemanasan, pemasakan,
pasteurisasi, dan radiasi terhadap makanan atau susu yang tercemar
Campylobacter

 Mencuci buah-buahan dan sayuran atau mengupasnya sebelum


dimakan mentah dan mencuci tangan dengan sabun sesudah
menyentuh hewan peliharaan atau sesudah ke toilet.

Fakta Kunci Campylobacter (WHO, 2011)

 Campylobacter adalah bakteri penyebab infesi pencernaan.


 Infeksi Campylobacter umumnya ringan, tetapi dapat
menyebabkan kematian pada bayi, orang lanjut usia dan
individu dengan sistem imun yang lemah.
 Bakteri hidup di dalam saluran usus hewan berdarah panas
misalnya ungggas dan sapi dan sering ditemukan pada
makanan berasal dari hewan-hewan tersebut.
 Spesies Campylobacter dapat dimatikan dengan pemanasan
dan memasaknya.
 Infeksi Campylobacter dapat dicegah dengan menjaga prinsip
dasar higiene makanan pada waktu menyiapkan makanan.
334

5.12. HELICOBACTER PYLORI

Helicobacter pylori adalah organisme dapat ditemukan di mana-mana.


Sekitar 50% manusia terinfeksi organisme ini, dan dapat ditemukan pada
90% penderita dengan ulkus peptikum. Hanya 15% orang yang terinfeksi
H.pylori menunjukan gejala penyakit. Angka kematian akibat infeksi
organisme ini sangat rendah (antara 2-4 % dari orang yang terinfeksi) akibat
komplikasi, misalnya perforasi ulkus pemptikum. Prevalensi infeksi H.pylori
rendah pada orang berkulit putih dibandingkan orang kulit berwarna, dengan
insiden pada perempuan lebih tinggi dari pada orang laki-laki.

Klasifikasi saintifik

Domain: Bacteria
Phylum: Proteobacteria
Class: Epsilonproteobacteria
Order: Campylobacterales
Family: Helicobacteraceae
Genus: Helicobacter
Species: H. pylori
335

Helicobacter pylori adalah bakteri Gram negatif, hidup mikroaerofilik (hanya


membutuhkan sedikit oksigen), dan ditemukan di dalam lambung. Bakteri
berbentuk batang melengkung ini mempunyai ukuran panjang sekitar 3
mikron dan garis tengah 0.5 mikron.
H.pylori mempunyai 4-6 flagel lophotrichus dan dapat bergerak cepat

Gambar 172. Elecron micrograph H.pylori (www.bio.davidson.edu)

Patofisiologi
H.pylori mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan asam di lambung
dengan menggunakan kemotaksis untuk menghindari pH yang rendah dan
menetralisasi asam yang ada di lingkungannya.menggunakan sejumlah besar
urease yang memecah urea lambung menjadi karbon dioksida dan amonia.
Amonia yang bersifat basa akan menatrilisasi asam lambung.
Bakteri H.pylori menyebabkan gangguan pada lambung dan duodenum
melalui mekanisme :
 Membentuk enzim misalnya protease yang memecah urea lambung
menjadi amonia yang merusak sel epitel.
 Kolonisasi lambung oleh H.pylori menyebabkan gastritis kronis yang
merupakan keradangan pada tempat infeksi di lambung.
 Terbentuknya ulkus pada lambung dan duodenum akibat terbentuknya
enzim pepsin dan gastrin yang merusak membrana mukosa lambung
dan duodenum.
336

Koloni bakteri menyebabkan terjadinya keradangan yang menimbulkan atrofi


dan merangsang terbentuknya ulkus dan meningkatnya risiko terjadinya
kanker.

Gambar 173. Fotografi mikroskopik H.pylori (lihat panah) dengan pewarnaan


perak (silver stain).(http://www.pds.med.umich.edu/users/greenson)

Gejala Klinis
Infeksi H.pylori terjadi secara oral-ke-oral atau melalui kontak fekal-ke-oral.
Sekitar 86% orang yang terinfeksi H.pylori tidak menunjukkan gejala
(asimtomatik) atau adanya komplikasi. Pada infeksi akut penderita
menunjukan sejala gastritis akut disertai nyeri perut, mual atau diare. Jika
penyakit berkembang menjadi kronis, menyebabkan terjadinya atrofi dan
perubahan metaplastik pada lambung Gejala yang terjadi bisa berupa
dispepsi non-ulkus, yaitu nyeri lambung, mual, kembung, halitosis dan
kadang-kadang muntah atau terbentuk tinja hitam.

Tahapan infeksi H.pylori dapat berlangsung sebagai berikut:

1. Gastritis kronis
2. Gastritis atrofik

3. Metaplasia intestinal yang bisa menjadi displasia

4. Adenokarsinoma lambung.obacter pylori


337

Diagnosis laboratorium

Untuk membantu menegakkan diagnosis H.pylori dapat dilakukan


pemeriksaan-pemeriksaan berikut ini:

 Pemeriksaan antigen H.pylori pada tinja. Sangat spesifik (98%) dan


sensitif (94%). Positif pada awal infeksi dan untuk memantau eradikasi
pasca terapi.
 Uji pernapasan urea carbon-13. Hanya positif pada infeksi H.pylori
karena menyebabkan terbentuknya urease di lambung.

 Pemeriksaan serologi. Spesifik dan sensitif (lebih dari 90%), untuk


mendeteksi infeksi awal H.pylori, tetapi tidak baik untuk memantau
hasil terapi penderita.

 Antibiogram. Antibiogram bertujuan untuk menguji resistensi obat


garis pertama (metronidazole dan clarithromycin) terhadap infeksi
H.pylori.

Pengobatan infeksi H.pylori

Pengobatan hanya diberikan pada penderita yang menunjukkan hasil positif


pada pemeriksaan laboratorium. Obat-obat garis pertama yang biasa
digunakan adalah metronidazole dan clarithromycin..Obat-obat lain yang
dapat diberikan pada infeksi H.pylori adalah : obat anti diare, lansoprazole
atau omeprazole dan ranitidine atau famotidine. Jika terjadi resistensi
terhadap metronidazole dan clarithromycin, dapat diberikan pengobatan
menggunakan triple therapy yang dapat mengobati 90% H.pylori yang sudah
resisten
TRIPLE THERAPY H.PYLORI
Tindakan pembedahan hanya diberikan jika terjadi komplikasi berat, misalnya
(rekomendasi US FDA)
kanker.
(1). Clarithromycin, amoxicillin dan omeprazole
selama 10 hari

(2). Clarithromycin, amoxicillin dan lansoprazole


selama 10-14 hari

(3). Bismuth subsalicylate, metronidazole dan


tetrasiklin (BMT) selama 7-14 hari.
338

5.13. PSEUDOMONAS AERUGINOSA

Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram-negatif, berbentuk kokobasil


dengan motilitas unipolar. Bakteri dari keluarga Pseudomonadaceae ini dapat
ditemukan hidup bebas di tanah, air, flora kulit, dan lingkungan buatan
manusia di seluruh dunia. Bakteri ini sifat hidupnya aerobik atau anaerobik
fakultatif yang dapat menyebabkan penyakit oportunistik pada hewan,
0
manusia maupun tumbuhan. P.aeruginosa dapat tumbuh pada suhu 42 C,
dan dapat hidup pada minyak diesel. Karena itu bakteri ini disebut sebagai
mikroorganisme pengguna hidrokarbon (hydrocarbon-using microorganism-
HUM bug) yang menyebabkan terjadinya karat (microbial corrosion).
P.aeruginosa membentuk berbagai jenis pigmen, yaitu pyocyanin (biru-hijau),
pyoverdine (kuning-hijau dan berfluoresensi) dan pyorubin (merah-coklat).
Kemampuan adaptasi bakteri ini pada lingkungan anaerobik, misalnya terjadi
pada penderita dengan fibrosis kistik.

Klasifikasi saintifik

Kingdom Bacteria
Phylum Proteobacteria
Class Gamma Proteobacteria
Order Pseudomonadales
Family Pseudomonadadaceae
Genus Pseudomonas
Species P.aeruginosa

Biologi dan morfologi


339

Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram-negatif berbentuk batang


berukuran 0.5-0.8 mikron kali 1.5- 3.0 mikron. Hampir semua strain adalah
motil dengan satu flagel kutub (single polar flagellum). Metabolisme adalah
respiratori dan tidak pernah
fermentatif, tetapi ia dapat tumbuh pada lingkungan tanpa oksigen jika
terdapat NO3 sebagai penerima elektron pernapasan (respiratory electron
acceptor).

Gambar 174. Scanning electron micrograph P.aeruginosa (Sumber: CDC)

Di alam bakteri ini didapatkan di dalam biofilm, melekat pada suatu


permukaan atau substrat, atau dalam bentuk plankton, sebagai organisme
uniseluler yang aktif berenang dengan menggunakan flagelnya.
P.aeruginosa hanya membutuhkan sedikit nutrisi yang dapat hidup di dalam
akuades. Di laboratorium medium untuk pertumbuhannya hanya terdiri dari
asetat sebagai sumber karbon dan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen.
Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 37 0C, tetapi dapat tumbuh pada
suhu setinggi 420C. P.aeruginosa tahan terhadap konsentrasi yang tinggi dari
garam dan zat warna, antiseptik lemah dan berbagai jenis antibiotika.

Koloni P.aeruginosa
Terdapat tiga tipe koloni bakteri ini. Isolat alami yang berasal dari tanah atau
air membentuk koloni yang kecil, dan kasar. Bahan klinik menumbuhkan satu
atau dua koloni halus. Yang pertama berbentuk seperti telur (fried-egg) yang
besar, halus,
340

dengan tepi datar dengan elevasi. Tipe lainnya, yang berasal dari sekresi
saluran napas dan saluran kemih, berbentuk mukoid (berlendir). Koloni yang
halus dan mukoid diduga berperan dalam membentuk koloni dan berperan
dalam virulensi.

Gambar 175. Koloni Pseudomonas aeruginosa pada medium agar


(http://textbookofbacteriology.net/pseudomonas.html)

Strain-strain P.aeruginosa membentuk dua tipe larutan pigmen, yaitu pigmen


proverdin yang fluoresen dan pigmen pyocyanin yang berwarna biru.
Pyocyanin dibentuk dalam jumlah banyak pada media mengandung sedikit
zat besi dan berfungsi pada metabolisme besi bakteri ini. Pyocyanin
merupakan ciri khas dari nanah biru (‘blue pus’), yang dibentuk oleh infeksi
supuratif P.aeruginosa.
.
Patogenesis Pseudomonas
Akibat infeksi P.aeruginosa dapat terjadi keradangan dan sepsis. Jika terjadi
pembentukan koloni pada organ penting misalnya paru, saluran kemih dan
ginjal, akibatnya bisa membahayakan jiwa penderita. Karena bakteri ini
mudah tumbuh di berbagai permukaan benda, maka ia dapat ditemukan di
alat kedokteran, misalnya kateter, sehingga terjadi infeksi silang di rumah
sakit dan klinik kesehatan. Sepersepuluh dari infeksi yang
341

didapat di rumah sakit disebabkan oleh Pseudomonas. Bakteri yang


merupakan patogen nosokomial yang oportunistik ini menginfeksi saluran
paru, saluran kemih, menginfeksi luka bakar dan luka terbuka serta dapat
menyebabkan infeksi melalui darah.

Toksin. P.aeruginosa menggunakan faktor virulensi exotoxin A dapat


menyebabkan hambatan sintesis protein dan menyebabkan nekrosis. Bakteri
ini juga menggunakan exoenzym (ExoU) untuk merusak membran plasma sel
eukariotik sehingga menyebabkan terjadinya lisis.

Gambar 176. Pewarnaan Gram bakteri Pseudomonas aeruginosa


(Sumber: CDC)

Biofilm P.aeruginosa. Biofilm bakteri ini melindungi bakteri dari


pengaruh lingkungan dan dapat menyebabkan infeksi oportunistik dan
nosokomial, terutama pada penderita dengan sistem imun lemah
(immunocompromised dan orang lanjut usia. Infeksi ini sukar diobati
dengan antibiotika yang biasa digunakan
342

Diagnosis laboratorium
P.aeruginosa menunjukkan pewarnaan Gram-negatif dan membentuk koloni
yang berbau seperti anggur pada medium bakteriologi. Pada medium agar
Mac Conkey terbentuk koloni yang jernih dan menunjukkan reaksi oxidase
positif. Pada medium agar cetrimide yang dibiakkan pada suhu 42 0C bakteri
ini menghasilkan pigmen pyocyanin yang berwarna biru-hijau.

Gambar 177. Pembentukan pigmen pyocyanin berwarna biru oleh


P.aeruginosa (www.uwyo.edu)

Pengobatan

Umumnya P.aeruginosa telah resisten terhadap berbagai antibiotika.


Pengobatan menggunakan fag (phage therapy) merupakan pengobatan yang
asih efektif, yang bisa dikombinasi dengan antibiotika, tidak ada
kontraindikasi, dan sangat sedikit menimbulkan efek samping.

Antibiotika yang masih dapat digunakan untuk mengobati P.aerugnosa antara


lain adalah:

 Aminoglikosida (gentamsin, amikasin,dan tobramisin, tetapi bukan


kanamisin).
 Kuinolon (ciprofloxacin, levofloxacin, tetapi bukan moxifloxacin)

 Cephalosporin, kecuali cefuroxime dan cefotaxime.


343

 Antipseudomonal penicillin : carboxypenicilline dan ureidopenicillin.


 Carbapenem, kecuali ertapenem

 Polymyxin (polymyxin B dan colistin)

 Monobactam.

Antibiotika tersebut harus diberikan melalui suntikan, kecuali fluoroquinolon,


tobramycin aerosol dan aztreonam aerosol. Untuk infeksi superfisial dan
terbatas (misalnya infeksi pada kuku dan telinga) dapat digunakan gentamisin
atau kolistin topikal.

Pencegahan

Pencegahan dengan probiotik dapat mencegah pembentukan koloni dan


memperlambat terjadinya infeksi pseudomonas di ICU (intensive care unit).

5.14. HAEMOPHILUS INFLUENZAE

Haemophylus influenzae adalah bakteri kokobasil Gram-negatif yang


pleomorfik, yang dapat menyebabkan infeksi yang berat, kecacatan seumur
hidup atau kematian penderita. Bakteri ini terutama menyerang bayi dan
anak berumur di bawah lima tahun (balita) dan orang lanjut usia berumur
diatas 65 tahun. Penularan terjadi melalui paparan langsung dengan titik
cairan pernapasan dari nasofaring penderita atau carrier . Janin dapat
terinfeksi karena tertelan/aspirasi cairan amnion atau terpapar dengan cairan
saluran genital atau jalan lahir.
344

Gambar 178 Fotomikrograf H.influenzae dengan pewarnaan Gram


(Sumber: CDC. PHIL Photo ID# 1947 Public Health Image Library)

H.influenzae ada yang berkapsul (terbagi atas tipe-tipe) atau tidak berkapsul
(tidak terbagi atas tipe). Terdapat enam tipe H.influenzae (tipe a-f) yang
berbeda polisakarida kapsulnya. Yang sering menyebabkan penyakit pada
manusia adalah H.influenza tipe b atau Hib.

Gambar 179. Electron micrograph H.influenzae tipe B


(http://www.nhs.uk/conditions/Hib)
345

Berbagai infeksi dapat ditimbulkan oleh bakteri H.influenza, termasuk Hib,


antara lain infeksi telinga yang ringan sampai infeksi yang berat, yaitu infeksi
pada aliran darah. Infeksi yang paling sering terjadi adalah pneumonia yang
terjadi di paru. Jika bakteri menyerang bagian tubuh yang biasanya bebas
hama atau steril, misalnya cairan spinal dan darah, keadaan ini disebut ”
penyakit invasif ”yang selalu merupakan penyakit yang berat yang dapat
menyebabkan kematian penderita.

Jenis penyakit invasif Haemophilus influenzae yang paling sering terjadi


adalah:

 Pneumonia

 Bakteremia

 Meningitis

 Epiglotitis

 Arthritis infektif

 Selulitis pada kulit

Sebelum ditemukannya vaksin Hib, meningitis merupakan jenis penyakit


invasif oleh Haemophilus influenzae yang paling sering dilaporkan. Bakteri ini
juga merupakan penyebab infeksi telinga yang umum terjadi pada anak, dan
bronkitis pada orang dewasa.

Gejala klinis

Banyak strain bakteri H.influenzae termasuk Hib hidup di dalam hidung atau
tenggorok tanpa menimbulkan penyakit Bakteri H.influenzae termasuk Hib,
ditularkan dari orang – ke –orang secara langsung atau melalui cairan
pernapasan bersama batuk dan bersin. Gejala klinis infeksi H.influenza yang
terjadi tergantung pada bagian tubuh yang terserang. Penyakit berat yang
paling sering terjadi akibat infeksi bakteri ini adalah pneumonia, bakteremia
dan meningitis. Selain itu Hib dapat menimbulkan epiglotitis, artritis septik,
selulitis, otitis media, perikarditis purulen, endokarditis dan poliomielitis..

Pneumonia. Infeksi yang terjadi di paru menyebabkan keradangan, dan


menimbulkan gejala-gejala klinis berupa:
346

 Demam. Pada orang lanjut usia bisa terjadi penurunan suhu tubuh di
bawah normal.
 Batuk

 Napas pendek

 Menggigil

 Banyak berkeringat

 Sakit dada jika menghisap udara

 Sakit kepala

 Nyeri otot

 Merasa sangat lelah.

Faktor risiko terinfeksi H.influenza

Infeksi berat akibat bakteri ini terutama terjadi pada bayi, anak balita dan
orang lanjut usia di atas 65 tahun. Selain itu orang-orang dengan keadaan
kesehatan tertentu berisiko lebih tinggi terinfeksi H.influenza, antara lain:

 Sickle cell disease


 Asplenia (tidak mempunyai limpa)

 Infeksi HIV

 Sindrom defisiensi antibodi dan komplemen

 Neoplasma maligna.

Komplikasi

Banyak strain bakteri H.influenzae termasuk Hib hidup di dalam hidung atau
tenggorok orang tanpa menimbulkan penyakit. Infeksi yang berat hanya
terjadi jika bakteri ini memasuki bagian-bagian tubuh yang dalam keadaan
normal bebas mikroba, misalnya darah dan cairan spinal. Keadaan ini disebut
347

”penyakit invasif”. Tergantung jenis infeksi invasif yang terjadi, komplikasi


dapat berbeda. Misalnya jika terjadi meningitis, penderita dapat mengalami
kerusakan otak atau hilangnya pendengaran. Berbagai infeksi oleh bakteri
H.influenzae dapat menyebabkan kematian penderita

Jika bakteri ini menyebabkan infeksi non-invasif, misalnya bronkitis atau


infeksi telinga, komplikasi jarang terjadi dan

umumnya tidak berat akibatnya. Komplikasi dapat dicegah dengan


memberikan antibiotik yang tepat.

Gambar 180. Bagian dasar otak terinfeksi H.influenzae


(www.cdc.gov/hi-disease/about/photo.html)

Diagnosis dan Pengobatan

Diagnosis infeksi invasif H.influenzae, termasuk Hib, biasanya ditentukan


berdasar pada satu atau lebih pemeriksaan laboratorium atas bahan berupa
cairan tubuh yang terinfeksi, misalnya darah dan cairan spinal.

Penyakit akibat infeksi H.influenzae, termasuk Hib, diobati dengan antibiotika


selama 10 hari. Sebagian besar penderita dengan infeksi invasif harus
348

dirawat di rumah sakit. Dengan pemberian antibiotika, 3-6% anak yang


menderita meningitis Hib meninggal dunia. Penderita yang mengalami infeksi
non-invasif dengan bakteri H.influenzae (misalnya infeksi telinga atau
bronkitis), dapat diberi antibiotika untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Pencegahan

Untuk mencegah infeksi H.influenzae tipe b (Hib) dapat dilakukan vaksinasi,


tetapi tidak dapat digunakan untuk mencegah tipe lainnya. Dengan vaksin Hib
dapat dicegah Hib meningitis, Hib epiglotitis, dan infeksi lain yang disebabkan
oleh bakteri Hib. Di USA, vaksin Hib dianjurkan untuk diberikan pada anak
dan bayi mulai umur 2 bulan sampai umur 5 tahun. Anak yang terinfeksi
H.influenzae, termasuk Hib, tidak membentuk antibodi yang protektif,
sehingga jika mengalami infeksi Hib untuk kedua kalinya, harus tetap
diberikan vaksinasi dengan vaksin Hib dengan segera. Untuk H.influenzae
tipe lainnya belum ada vaksin untuk mencegahnya. Pada individu yang hidup
berdekatan dalam waktu lama dengan penderita yang terinfeksi H.influenzae
dapat diberikan antibiotika untuk mencegah penularan penyakit.

5.15. MENINGITIS

Meningitis adalah penyakit yang disebabkan oleh keradangan (selaput otak


dan sumsum tulang belakang), yang dapat disebabkan oleh infeksi
(bakteri,virus, jamur, parasit), kanker, obat-obatan, dan kerusakan fisikal.

Terdapat lima jenis meningitis, yaitu meningitis bakterial, meningitis viral,


meningitis jamur, meningitis viral dan meningitis bukan karena infeksi.

Meningitis bakterial
349

Meningitis ini disebabkan oleh bakteria, misalnya Neisseria meningitidis dan


Streptococcus pneumoniae. Penularan terjadi melalui sekresi pernapasan
dan tenggorok, misalnya pada waktu berciuman. Meningitis bakterial dapat
menyebabkan kematian penderita, sehingga memerlukan pengobatan
segera.

Pada beberapa jenis meningitis bakteria, sudah dapat dicegah dengan


melakukan vaksinasi.

Meningitis viral
Virus penyebab meningitis antara lain adalah enterovirus dan virus herpes
simplex, yang berbahaya, tetapi jarang menimbulkan kematian pada individu
dengan sistem imun normal. Enterovirus sering ditularkan dari orang-ke-orang
melalui kontaminasi tinja (misalnya pada waktu mengganti popok, atau pada
waktu berada di toilet). Beberapa meningitis viral dapat dicegah dengan
vaksinasi.

Meningitis jamur
Penyebab meningitis ini misalnya adalah jamur Cryptococcus dan
Histoplasma, yang didapat karena menghirup spora jamur yang ada di udara.
Risiko mengalami meningitis jamur akan meningkat pada penderita dengan
diabetes, kanker, atau HIV.
350

Gambar 181. Meningitis jamur akibat kontaminasi suntikan steroid intraspinal


(ML.Cohen http:www.indianapublicmedia.org/news/-/fungal-meningitis)

Meningitis parasitik
Cacing Angiostrongylus cantonensis dapat menyebabkan meningitis yang
terjadi karena termakan atau terpapar parasit melalui makanan, air atau
tanah.

Meningitis bukan karena infeksi


Meningitis ini tidak menyebar atau menular dari orang-ke-orang, tetapi
disebabkan oleh kanker, lupus, obat-obatan, trauma kepala, dan akibat
pembedahan otak.

5.16. BORDETELLA PERTUSSIS

Bordetella pertussis adalah bakteri genus Bordetella yang berbentuk


kokobasil yang hidup aerobik, non motil, yang hanya hidup pada manusia.
351

Gambar 182. Bakteri B.pertussis, kokobasil Gram-negatif pada pemeriksaan


mikroskop cahaya (http://www.bact.wisc.edu/Bact330/lecturebpertussis)

B.pertussis tumbuh lambat pada medium tertentu, misalnya medium Charcoal


Blood Agar dan medium Chocolate agar yang tidak mengandung darah. yang
diinkubasi pada suhu 350C selama 2-7 hari. Terdapat empat fase koloni, yaitu
fase pertama dan kedua (bentuk-S) yang virulen, dan fase ketiga dan
keempat (bentuk-R) yang tidak virulen. Koloni pertama dan kedua berukuran
kecil (1-2 mm), konveks dengan tepi yang rata. Koloni ketiga dan keempat
berukuran lebih besar (3-4 mm) datar permukaannya dan mengkilap.

Gambar 183. Koloni B.pertussis pada Charcoal blood agar, inkubasi CO2,
pada suhu 350 C, selama 72 jam
352

Gambar 184. Kultur B.pertussis pada medium chocolate-agar


(http://www.intranet.tdmu.edu)

Produk biologik dan antigenik B.pertussis. B.pertussis menghasilkan


berbagai macam produk yang bersifat antigenik dan biologik aktif, yaitu:

 Toksin pertusis (PTx): menghambat sistem imun.


 FHA (filamentous hemagglutinin)

 Agglutinogen

 Adenylate cyclase (CyaA)

 Pertactin

 Tracheal cytotoxin: menghambat pergerakan silia.


353

Pertusis

Penyakit pertusis atau batuk rejan (whooping cough) yang merupakan infeksi
sistem pernapasan disebabkan oleh B.pertussis ditularkan melalui batuk atau
bersin. Penyakit yang dilaporkan dari seluruh dunia ini, menurut WHO pada
tahun 2000 diderita oleh sekitar 39 juta orang dengan jumlah kematian sekitar
297.000 orang. Sebagian besar penderita adalah anak-anak berumur
dibawah satu tahun (jika belum pernah divaksinasi) dan berumur sekitar 11-
18 tahun, jika sudah divaksinasi.

Patogenesis pertusis

Pertusis adalah penyakit yang terjadi akibat toksin. Bakteri B.pertussis yang
melekat pada silia sel epitel pernapasan, menghasilkan toksin yang
melumpuhkan silia, menyebabkan keradangan saluran pernapasan. Bakteri
memasuki jaringan dan berada di dalam makrofag alveoli.

Gejala Klinik Pertusis

Masa inkubasi sekitar 7-14 hari, tetapi bisa sampai 6 minggu sesudah terjadi
infeksi. Gejala klinik awal berlangsung 1-2 minggu mirip common cold
misalnya hidung berair, bersin, batuk ringan, dan demam ringan. Pada bayi
dapat terjadi apnea, saat terhentinya proses bernapas. Pada stadium kataral
penderita lebih menular, biasanya 2 minggu sesudah batuk mulai terjadi.
Batuk paroksismal yang berlangsung selama 2 minggu diikuti inspiratori yang
berbunyi (”whoop”) atau muntah setiap kali batuk. Tahapan pertusis meliputi:

 Tahap 1. Tahap kataral: berlangsung 1-2 minggu, sangat menular.


Gejala klinik pada tahap ini:hidung berair, demam ringan, batuk ringan.
 Tahap 2. Tahap paroksismal (batuk keras): berlangsung 1-10 minggu.
Gejala klinik: batuk rejan yang berlangsung cepat, diikuti bunyi napas
”whoop”, muntah dan merasa sangat lelah sesudah batuk.
354

 Tahap 3. Tahap konvalesen: berlangsung 2-3 minggu. Penyembuhan


berlangsung bertahap tetapi lama, dengan batuk yang berkurang
frekwensinya.

Komplikasi Pertusis

Komplikasi dapat terjadi pada anak dan bayi, maupun pada orang dewasa.
Pada bayi dan anak-anak, pertusis dapat berlangsung berat dan diikuti
komplikasi yang membahayakan jiwa, terutama pada anak yang tidak
mendapatkan vaksinasi penuh. Pada bayi berumur kurang dari satu tahun,
sekitar 50% harus dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain adalah:

 Apnea (napas menjadi lambat atau terhenti)


 Pneumonia (infeksi paru)

 Konvulsi

 Ensefalopati (radang otak)

Sekitar 1.6% anak dan bayi penderita pertusis akan meninggal dunia.

Pada orang dewasa, komplikasi umumnya lebih ringan dan tidak berbahaya.
Sekitar 5% orang dewasa penderita pertusis yang perlu dirawat di rumah
sakit, terutama akibat pneumonia. Selain itu penderita dapat mengalami
penurunan berat badan, kencing yang tak terkendali, dan patah tulang rusuk
akibat batuk yang keras.

Diagnosis pertusis

Pertusis dapat ditentukan diagnosisnya dengan memperhatikan :

 Riwayat penyakit dan gejala klinik (tanda dan gejala)


 Pemerksaan fisik
 Pemeriksaan laboratorium atas sekresi hidung dan tenggorok dan
pemeriksaan darah. Untuk membantu menegakkan diagnosis pasti
pertusis, dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu untuk melakukan
355

isolasi B.pertusis dari bahan klinik dan mengadakan pemeriksaan PCR


(polymerase chain reaction).

Pengobatan

Pertusis diobati dengan antibiotika, yang diberikan sedini mungkin, sebelum


batuk rejan mulai terjadi. Jika pengobatan baru diberikan 3 minggu sesudah
penyakit berlangsung, gejala batuk masih bisa berulang karena sudah terjadi
kerusakan pada jaringan atau organ penderita. Pertusis yang berat harus
dirawat di rumah sakit.

Antibiotik yang digunakan untuk memberantas B.pertussis pada penderita


berumur lebih dari 1 bulan adalah azithromycin, clarithromycin dan
erythromycin.

Untuk bayi berumur kurang dari 1 tahun yang terpapar, diberikan untuk
pencegahan dan pengobatan obat azithromycin karena rendah efek
sampingnya.

Untuk penderita berumur lebih dari 2 bulan, selain makrolid dapat diberikan
trimethoprim –sulfamethoxazole.

Vaksinasi pertusis

Cara terbaik untuk mencegah pertusis baik pada bayi, anak maupun orang
dewasa adalah melakukan vaksinasi. Meskipun demikian belum ada vaksin
yang efektif 100 persen. Untuk bayi dan anak sebaiknya diberikan vaksin
DTaP yang merupakan vaksin kombinasi untuk mencegah difteri, tetanus dan
pertusis yang dapat memberi perlindungan selama 5 tahun. Vaksin DTaP
mempunyai tingkat efektifitas sebesar 80-90%. Pada anak-anak yang telah
mendapat seluruh 5 dosis vaksin DTaP sesuai jadwal, akan mendapatkan
proteksi maksimum dengan efektifitas

dapat mencapai 90%. Dosis vaksin diberikan pada bulan ke-2, ke-4, dan ke-
6, pada antara bulan ke-15 dan ke-18, dan antara umur 4 dan umur 6. Dosis
booster DTaP diberikan pada masa remaja pada umur 11 atau umur 12.
356

Orang dewasa yang belum mendapat vaksin DTaP dapat diberikan satu dosis
vaksin.

Vaksin DTaP penting untuk diberikan pada perempuan hamil, yang diberikan
pertama kali pada kehamilan antara minggu ke-27 dan ke-36. Vaksinasi ini
memberi perlindungan terhadap pertusis pada bayi sebelum mendapat vaksin
DTaP dosis pertama pada umur 2 bulan. DTaP selain melindungi ibu hamil,
juga mencegah ibu agar tidak menularkan pertusis pada janin yang
dikandungnya. Vaksin DTaP (juga toxoid diptheri-Td dan toxoid tetanus-TT)
aman diberikan dan tidak menyebabkan efek samping terhadap perempuan
hamil, maupun terhadap janin yang dikandungnya. Respon imun terhadap
vaksin mencapai puncaknya dua minggu sesudah vaksinasi dilakukan,
karena itu vaksin DTaP baru diberikan sesudah minggu ke-20 kehamilan.
Selain pada perempuan hamil, orang dewasa hanya dianjurkan untuk
mendapatkan satu dosis vaksin DTaP untuk seumur hidupnya. Vaksin DTaP
juga aman diberikan pada ibu yang menyusui bayinya.

5.17. FRANCISELLA TULARENSIS

Francisella tularensis adalah bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasil, yang


tersebar luas di seluruh dunia, yang dapat menyebabkan penyakit tularemia
pada mamalia kecil, misalnya kelinci dan rodensia. Bakteri ini ditularkan pada
manusia dengan gigitan caplak (ticks), lalat kijang (deerflies) atau terinfeksi
melalui daging mentah yang tercemar bakteri ini. Mikroba ini dapat hidup
dalam waktu lama di lingkungan yang lembab dan dingin.

Klasifikasi saintifik
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gammaproteobacteria
357

Order : Thiotrichales
Family : Francisellaceae
Genus : Francisella
Species : Francisella tularensis, F.hispaniensis, dsb.

Bakteri ini merupakan kokobasil berukuran kecil (0.2x0.2mikron) atau


berbentuk batang yang tidak motil, dan hidup parasitik intraseluler di dalam
makrofag. Francisella adalah genus bakteri dari keluarga Francisellaceae
yang bersifat Gram-negatif yang hidup aerob yang menyebabkan penyakit
tularemia.

Gambar 185. Gambaran mikroskopis F.tularensis. Sumber: National Institute


of Allergy and Infectious Disease (NIAID)
358

Gambar 186. F.tularensis dengan pewarnaan DEA (CDC, Oregon State


Public Health Laboratory. http://www.nature.com)

Dengan pewarnaan direct fluorescent antibody (DFA) bakteri pada dahak dan
jaringan lebih mudah dilihat di bawah mikroskop fluoresen.
Bakteri ini sukar dibiakkan pada medium standard. Koloni F.tularensis yang
dibiakkan pada medium Cysteine Heart Agar berbentuk halus, berwarna putih
kehijauan, atau abu-abu kebiruan, berbentuk bulat berukuran 2-4 mm, agak
berlendir. Suhu terbaik untuk pertumbuhannya adalah 35-37 0C.

Gambar 187. Koloni Francisella tularensis pada Cysteine Heart Agar


(CDC, PHIL No. 1911)
Sebagian besar tularemia dapat diobati dengan antibiotik, misalnya
streptomisin dan gentamisin.

Penularan tularemia

F.tularensis ditularkan pada manusia dari hewan terinfeksi melalui gigitan


caplak (ticks), lalat kijang (deerflies) atau terinfeksi melalui daging mentah
yang tercemar bakteri ini. Tularemia mungkin dapat juga ditularkan melalui
udara. Penyakit ini tidak menular melalui kontak antara manusia-ke-manusia.

Bakteri yang sangat menular ini dapat menginfeksi manusia melalui kulit,
membrana mukosa, dan saluran gastrointestinal. Melalui proses fagositosis,
F.tularensis memasuki makrofag dan berkembang biak di dalam sel, Sesudah
359

sel makrofag mengalami apoptosis, bakteri pathogen ini lalu menyebar ke sel-
sel organ lain, terutama nodus limfe, paru, hati, dan ginjal. Penularan
tularemia secara inhalasi dapat menyebabkan bronkopneumonia.

Subspesies F.tularensis (biovar). Terdapat empat subspecies atau biovar


F.tularensis yaitu:

1. Biovar tularensis atau tipe A: paling virulen yang dapat menginfeksi


paru dan mematikan.
2. Biovar palearctica atau tipe B: kurang virulen, jarang menyebabkan
kematian penderita.

3. Subspesies novicida: non virulen, kecuali pada individu yang


immunocompromised.

4. Biovar mediasiatica: berasal dari Asia Tengah, jarang ditemukan.

Gejala Klinik

F.tularensis yang sangat menular ini dapat menyebabkan penyakit yang


mematikan hanya dengan dosis 10 CFU (colony-forming unit), dengan gejala
antara lain demam, ulkus, sesak, dan gejala lain tergantung pada bagian
tubuh yang terinfeksi organisme ini.

Tipe tularemia. Tularemia dapat dikelompokkan dalam tipe-tipe :

 Tipe ulceroglandular: Bentuk tularemia ini paling sering terjadi, yang


biasanya disebabkan melalui gigitan serangga atau melalui kulit. Pada
tempat gigitan/infeksi akan terbentuk ulkus, disertai pembengkakan
kelenjar setempat. Penderita menunjukkan gejala klinik berupa
demam, menggigil, sakit kepala, dan rasa lelah.
 Tipe paru (pulmonary). Bentuk ini terjadi melalui udara pernapasan
(inhalasi) yang dapat membahayakan jiwa penderita. Gejala klinik yang
360

terjadi antara lain berupa sakit dada, batuk kering atau batuk berdarah,
dan gangguan pernapasan

 Tipe glandular. Pada tipe ini tidak terjadi ulkus, dengan gejala demam
dan pembesaran kelenjar.

 Tipe tifoidal. Biasanya disebabkan karena menghirup bakteri atau


melalui gigitan serangga dan melalui air atau makanan yang tercemar.
Gejala klinik berupa demam, menurunnya berat badan, kelelahan, dan
biasanya pneumonia.

 Tipe septik. Tipe infeksi yang berat dan bisa fatal ini terjadi akibat
infeksi sistemik. Gejala yang terjadi antara lain demam, menggigil, sakit
kepala, penderita bisa mengalami gangguan kesadaran dan koma.
Tanpa pengobatan penderita akan mengalami syok septik, gagal organ
dan sindrom gangguan pernapasan.

Selain itu infeksi F.tularensis dapat terjadi melalui orofaring karena makan
makanan yang tercemar bakteri atau melalui konjungtiva mata.

Gambar 188. Tularemia tipe kulit dengan papul yang membentuk ulkus
(www.cfsph.iastate.edu)

Diagnosis tularaemia
361

Selain berdasar gejala klinik yang terjadi diagnosis tularemia ditetapkan


melalui pemeriksaan bahan klinik di laboratorium, misalnya darah dan dahak .
Hasil test awal (presumtif) dapat ditentukan dalam waktu 2 jam, tetapi untuk
memastikannya membutuhkan waktu sekitar 24-48 jam tergantung metoda
yang digunakan.

Pemeriksaan laboratorium

Francisella dapat bertahan hidup selama beberapa minggu di lingkungan,


tetapi sukar dibiakkan dan dipelihara di laboratorium. Pertumbuhannya
berlangsung lambat, yang untuk hidupnya memerlukan media yang
mengandung cystine dan cysteine. Bakteri ini tumbuh dengan baik pada
medium chocolate agar dan medium Thayer-Martin. Sesudah masa inkubasi
24 jam

pada media padat tertentu, akan tumbuh koloni kecil (1-2 mm), berwarna
putih-abu-abu sampai abu-abu kebiruan. Koloninya halus dengan tepi rata
dan sesudah 48 jam pertumbuhan terjadi permukaan koloni yang berwarna
terang.
362

Gambar 189. F.tularensis pada chocolate agar sesudah inkubasi 72 jam


(CDC Public Health Image Library No.1912)

Pengobatan. Antibiotika per oral dapat diberikan untuk mengobati tularemia,


yaitu golongan tetrasiklin misalnya doksisiklin, atau golongan fluorokuinolon
misalnya siprofloksasin. Sedangkan antibiotika yang dapat diberikan melalui
suntikan antara lain adalah streptomisin dan gentamisin. Pengobatan dengan
antibiotika harus diberikan sedini mungkin sesudah dilakukan uji kepekaan
untuk menentukan antibiotika dengan tepat.

Pencegahan

Tularemia dapat dicegah dengan menghindari gigitan serangga


menggunakan repelen, misalnya yang mengandung DEET, pada kulit, atau
menyemprotkan permethrin pada pakaian. Selain itu

hendaklah selalu mencuci tangan menggunakan sabun dan air hangat


setiapkali menangani daging hewan, dan selalu memasak makanan dengan
baik. Kesehatan hewan peliharaan terutama rodensia dan kelinci harus selalu
dijaga..

5.18. BRUCELLA

Brucella ditemukan pada berbagai hewan bertulang belakang, misalnya babi,


sapi, domba, dan anjing. Bruselosis dilaporkan diderita oleh sekitar 500.000
orang setiap tahunnya, dari seluruh dunia, terutama di negara-negara miskin
yang buruk program pemberantasan penyakit-penyakit hewan dan penyakit
zoonosisnya. Daerah penyebaran bruselosis adalah Asia, Afrika, Eropa
Selatan, Turki, negara-negara Timur Tengah, Amerika Tengah dan Amerika
Selatan.
363

Brucella adalah bakteri Gram-negatif, kokobasil, berukuran 0.5-0.7 kali 0.6-


1.5 mikron, non motil, tidak berkapsul, yang hidup intraseluler fakultatif. Koloni
bakteri ini tumbuh lambat meskipun dibiakkan pada medium yang diperkaya,
membentuk koloni kecil yang bening dengan permukaan yang halus.
Spesies-spesies Brucella secara genetik sangat mirip satu dengan lainnya,
hanya berbeda jenis hospesnya.

Klasifikasi saintifik
Kingdom: Bacteria
Phylum: Proteobacteria
Class: Alpha Proteobacteria
Order: Rhizobiales
Family: Brucellaceae
Genus: Brucella
Species: B. melitensis

Gambar 190. Brucella abortus


(http://www.vet.uga.edu/vpp/nsep/brazil2002/brucella)

Bruselosis pada manusia

Penyakit ini biasanya tidak ditularkan dari manusia ke manusia. Bruselosis


ditularkan melalui makanan, misalnya susu dan kiju yang tercemar, sentuhan
langsung dengan hewan terinfeksi atau menghirup udara tercemar patogen.
Penularan dari manusia-ke-manusia dapat juga terjadi melalui hubungan
seksual, atau dari ibu ke anak melalui air susu ibu.. Bruselosis juga
364

merupakan penyakit akibat kerja pada orang-orang yang bekerja dengan


hewan atau di lingkungan hewan (misalnya di pemotongan hewan).

Batas minimum infeksi Brucella adalah sekitar 10-100 organisme Hewan dan
manusia penderita bruselosis mengidap secara tetap bakteri ini pada
jaringan-jaringan sistem fagosit mononuklir, antara lain limpa, hati, nodus
limfe dan sumsum tulang, serta saluran reproduksi jantan.

Dua sampai empat minggu sesudah terpapar Brucella, penderita baru


menunjukkan gejala klinik, berupa demam tinggi akut yang bergelombang
(pada sebagian besar penderita), sakit kepala, artralgia, keringat malam,
kelelahan
dan anoreksia. Komplikasi yang bisa terjadi berupa artritis,
epididimoorkitis,spondilitis, neurobruselolsis, abses hati, dan endokarditis.
Jika terjadi komplikasi berat, penderita dapat meninggal dunia.

Infeksi dapatan bruselosis sering terjadi di laboratorium, melalui paparan


dengan kultur yang positif yang belum tampak dengan jelas. Individu yang
rendah daya tahan tubuhnya (misalnya penderita asma menahun, penderita
kanker, penderita transplantasi organ atau penderita AIDS) akan mengalami
bruselosis yang lebih berat.
Penularan bruselosis canis dari anjing dapat terjadi pada manusia, jika
manusia terpapar darah, air mani anjing atau cairan plasenta anjing yang
melahirkan anaknya.

Diagnosis laboratorium
Untuk menegakkan diagnosis pasti bruselosis, dilakukan isolasi bakteri
Brucella dari darah menggunakan medium Castaneda. Sesudah masa
inkubasi selama 7 hari sampai 6 minggu, akan tumbuh koloni bakteri ini. Pada
pewarnaan Gram, tampak kumpulan padat dari kokobasil yang Gram-negatif.
365

Gambar 191. Koloni Brucella melitensis kokobasil Gram negatif


(http://www.vetnext.com/search.php)

Untuk membedakannya dari Salmonella, dilakukan uji urease yang positif


pada Brucella dan negatif pada Samonella. Brucella juga dapat diisolasi
melalui biopsi dari sumsum tulang.
Diagnosis molekuler berdasar rekayasa genetika memberikan hasil diagnosis
yang lebih tepat.

Gambar 192. Brucella pewarnaan Gram


(https://doh.sd.gov/lab/resources/bt/Brucella/gram.aspx )

Pengobatan dan pencegahan bruselosis


366

Bruselosis dapat diobati dengan kombinasi rifampisin dan doksisiklin dengan


hasil sangat memuaskan. Kombinasi ini diberikan dua kali sehari. Bruselosis
dapat juga diobati dengan Tetrasiklin, Tetrasiklin dan Streptomisin atau
Kloramfenikol

Untuk mencegah penularan bruselosis, makanan dan susu atau makanan


dan minuman berasal dari susu sebaiknya dimasak lebih dahulu. Selain itu
hendaknya dicegah terjadinya sentuhan atau kontak langsung dengan hewan
yang sedang melahirkan atau dengan hewan yang sedang dipotong di rumah
potong hewan, dengan selalu menggunakan sarung tangan..
Brucella suis dari babi, Brucella canis berasal dari anjing dan Brucella
melitensis dari sapi dan domba, merupakan patogen yang bersifat zoonosis
yang dapat menimbulkan penyakit bruselosis pada manusia

5.19. BORRELIA

Borrelia adalah anggota filum Spirochaetes yang mempunyai bentuk spiral


dengan tubuh seperti gelombang (wavelike) dengan flagel yang terletak di
antara membran dan membran dalam organisme.

Gambar 193. B.burgdorferi pada iluminasi lapangan gelap


(AMS: http://textbookofbacteriology.net/Lyme.html)
367

Organisme ini adalah penyebab boreliosis (Lyme disease), suatu penyakit


zoonosis, yang ditularkan oleh caplak (ticks) atau oleh kutu (lice).

Klasifikasi Saintifik

Phylum: Spirochaetes
Class: Spirochaetes Cavalier-Smith 2002
Order: Spirochaetales Buchanan 1917
Family: Spirochaetaceae Swellengrebel 1907
Genus: Borrelia Swellengrebel 1907
Species
Misalnya: Borrelia burgdorferi

Gambar 194. Borrelia burgdorferi


(www.bayarealyme.org.)

Siklus Hidup B.burgdorferi

Spesies ini menginfeksi berbagai hewan vertebrata, termasuk mamalia kecil,


kadal dan burung. Caplak genus Ixodes menularkan melalui gigitannya
B.burgdorferi dari hospes satu ke hospes lainnya yang menjadi hospes
alaminya, dan pada manusia. Lyme disease tersebar luas di seluruh dunia,
antara lain di benua Amerika, Asia dan Eropa.

Sebagian besar caplak dalam bentuk larva mengisap darah rodensia yang
terinfeksi Borrelia, dan dalam bentuk nimfa akan menularkan organisme ini ke
berbagai jenis hewan, termasuk rodensia dan kadang-kadang manusia, yang
368

menjadi sumber infeksi yang baru. Sesudah caplak menjadi dewasa, hewan
ini mengisap darah berbagai jenis mamalia termasuk manusia.

Patogenesis
Mula-mula Lyme disease dikenal sebaga juvenile rheumatoid arthritis, yang
terjadi sesudah gigitan caplak Ixodes yang terinfeksi Borrelia burgdorferi.

Borrelia yang hidup di dalam usus caplak dan berkembang biak, akan
mengadakan migrasi ke kelenjar ludah

dan menjadi infektif (24 jam sesudah terinfeksi). Pada beberapa orang yang
terinfeksi Borrelia, terjadi ruam kulit berbentuk mata sapi (erythema migrans)
yang khas bentuknya.

Gambar 195. Caplak Ixodes dewasa dan larva


(Sumber: Dept..Entomology, Wisconsin University-Madison)

Jika tidak diobati, akan terjadi gejala klinik dan komplikasi berupa arthritis
dan neuropati kranial (facial palsy) serta meningitis.
369

Gambar 196. Ruam mata sapi (bull-eye rash) pada kulit yang terbentuk
sesudah gigitan caplak terinfeksi B.burgdorferi)
(WebMD:http://microbewiki.keyon.edu/index.php)

Gejala klinik

Antara 3-30 hari sesudah gigitan caplak, terjadi gejala klinik pada tempat
gigitan caplak berupa:
 Erythema migrans (EM) atau ruam kulit berbentuk mata sapi (”bull-eye
rash”).
 Demam, menggigil, sakit kepala, sakit otot dan sendi dan
pembengkakan nodus limfe.

Beberapa hari sampai beberapa minggu sesudah gigitan caplak (tahap


sebaran awal) dapat terjadi:

 Lesi EM dibagian tubuh lainnya


 Facial palsy atau Bell’s palsy (kekuatan otot wajah menghilang)

 Sakit kepala berat, kaku kuduk akibat terjadinya meningitis

 Pembengkakan dan nyeri sendi besar, misalnya terjadi di lutut

 Palpitasi dan pusing.


370

Jika infeksi tidak diobati, akan terjadi tahap sebaran akhir (beberapa bulan
sampai beberapa tahun sesudah gigitan caplak) dapat terjadi :

 Artritis berulang terutama pada sendi besar.

 Gangguan neurologik kronis pada tangan atau kaki.

Diagnosis Lyme Disease


Diagnosis ditetapkan berdasarkan pada gejala klinik, temuan fisik dan riwayat
terjadinya gigitan ticks dan pemeriksaan laboratorium.

Pengobatan dan pencegahan


Antibiotika yang diberikan pada stadium awal selama beberapa minggu,
biasanya dapat menyembuhkan boreliosis dengan cepat dan sempurna.
Antibiotika yang diberikan secara oral antara lain adalah doksisiklin,
amoksisilin satu cefuroksim

aksetil. Penderita boreliosis neurologik atau boreliosis kardiak diberikan


pengobatan secara intravenus dengan ceftriakson atau penisilin.
Mencegah gigitan caplak dengan repelen, melepaskan gigitan caplak dengan
segera, menggunakan pestisida untuk membunuh caplak, dan membersihkan
habitat caplak dapat mencegah terjadinya infeksi boreliasis.

5.20. TREPONEMATA

Treponema adalah bakteri spirochaeta yang mempunyai membran


sitoplasmik dan membran luar. Pemeriksaan dengan mikroskop sinar hanya
bisa dilakukan menggunakan penyinaran latar belakang gelap. Subspesies-
subspesies Treponema pallidum menyebabkan penyakit-penyakit treponema,
yaitu sifilis, bejel, pinta dan patek (yaws).
371

Treponema pallidum pallidum adalah spirochaeta yang motil yang


penularannya terjadi kontak seksual atau melalui plasenta selama kehamilan
tahap akhir (sifilis kongenital). Bentuk helikal organisme ini memungkinkannya
bergerak pada medium cair, misalnya lendir. Treponema dapat mencapai
darah dan sistem limfatik penderita malalui jaringan dan membrana mukosa.
Subspesies-subspesies Treponema penyebab patek, pinta dan bejel tidak
dapat dibedakan dari T.p.pallidum penyebab sifilis, baik secara morfologik
maupun secara serologik. Meskipun demikian penularan mereka secara alami
tidak melalui hubungan seksual dan berbeda-beda perjalanan penyakitnya.

Morfologi dan Biologi

Treponema mempunyai sel berbentuk helik melingkar, dengan panjang 6-15


mikron dan lebar 0.1-0.2 mikron, mempunyai membran luar yang mengelilingi
flagel periplasmik, suatu komplek membran peptidoglikan-sitoplasmik, dan
silinder protoplasmik. Treponema memperbanyak diri dengan belah diri
transversal (binary transverse fission). Organisme ini belum bisa dibiakkan
secara in vitro. Treponema sukar diwarnai dengan pewarna anilin, sedangkan
organisme yang terdapat di dalam jaringan dapat diwarnai dengan pewarnaan
perak (silver). Treponema hidup sukar dilihat dengan mikroskop sinar biasa,
tetapi lebih mudah dilihat dengan menggunakan mikroskop latar belakang
gelap (dark-field microsope). Treponema pallidum subspesies pallidum
bergerak dengan cara berputar cepat dengan sumbu longitudinal.
372

Gambar 197. Treponema pallidum (http://plaza.ufl.edu/sykid/index2.html)

Klasifikasi saintifik

Domain : Bacteria
Phylum : Spirochaetes
Ordo : Spirochaetales
Family : Spirochaetaceae
Genus : Treponema
Spesies : Treponema pallidum

Klasifikasi patogenik dan tipe antigenik


Klasifikasi treponema patogenik didasarkan pada manifestasi klinik penyakit
yang ditimbulkannya.
1. Treponema pallidum subspesies pallidum menyebabkan sifilis
venereal;
2. Treponema pallidum subspesies pertenue menyebabkan yaws
(patek);
3. Treponema pallidum subspesies endemicum menyebabkan sifilis
endemik;
4. Treponema carateum menyebabkan pinta;
Treponema non patogenik dapat menjadi bagian dari flora normal di usus,
rongga mulut atau saluran genital. Beberapa treponema oral dapat
menyebabkan gingivitis dan penyakit periodontial.
SIFILIS

Patogenesis
Treponema merupakan patogen yang sangat invasif yang dapat menyebar
segera sesudah terjadi infeksi. Respon imun hospes dapat dihindari oleh
organisme ini karena adanya struktur khas yang terdapat pada membran luar
treponema yang sangat sedikit mengandung protein permukaan. Meskipun
373

treponema tidak mengandung endotoksin (lipopolisakarida), Treponema


banyak mempunyai lipoprotein yang merangsang terjadinya proses
keradangan.

Epidemiologi Sifilis

Manusia merupakan satu-satunya sumber infeksi treponema. Penyakit sifilis


venereal tersebar luas di seluruh dunia dan endemik di Timur Tengah,
sedangkan pinta endemik di Amrika Selatan dan Amerika Tengah.
Treponema patogen banyak yang menunjukkan reaksi antigenik silang, dan
infeksi suatu subspesies yang tidak diobati dapat memberi pengaruh
sebagian proteksi terhadap penyakit treponema subspesies lainnya.

Diagnosis
Gejala klinis yang khas merupakan dasar utama diagnosis penyakit
treponema, dengan dibantu ditemukannya treponema pada eksudat lesi dan
pemeriksaan serologi. T.pallidum subspesies pallidum tidak bisa dibiakkan in
vitro. Adanya treponema yang bergerak dapat dilihat dengan memeriksa
eksudat lesi dengan mikroskop lapangan gelap (dark-field microscope).

Gambar 198. Treponema pallidum, pemeriksaan imunohistokimia


(wwwnc.cdc.gov)

Uji serologi Sifilis. Pemeriksaan serologi merupakan penentu diagnosis


sifilis, terutama pada penderita asimtomatik. Uji serologi dapat dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu uji non-treponema dan uji treponema.
1. Uji non-treponema: mengukur antibodi secara langsung terhadap
antigen lipid, terutama kardiolipin yang merupakan derivat dari jaringan
hospes. Contoh: uji VDRL (Venereal Disease Research Laboratory)
374

dan uji RPR (Rapid Plasma Reagin). Pada uji ini hasilnya biasanya
sesuai dengan beratnya infeksi, dengan titer tertinggi terjadi pada sifilis
sekunder, dan menghilang pada infeksi laten atau subklinik.
2. Uji treponema: mendeteksi antibodi secara langsung terhadap protein
dari T.pallidum subspesies pallidum. Contoh: FTA-ABS (Fluorescent
T.pallidum Antibody-Absorption) dan MHA-Tp (Microhemagglutination

untuk T.pallidum). Uji treponema umumnya reaktif seumur hidup.


Pada umumnya uji treponema lebih sensitif dan lebih spesifik dibanding
dengan uji non treponema. Untuk pemilahan atau skrining penderita
sebaiknya digunakan uji nontreponema lebih dahulu, lalu dipastikan dengan
uji treponema terhadap serum yang positif. Uji nontreponema pada keadaan
tertentu menunjukkan hasil positif semu (false-positive), misalnya pada
penderita lepra, tuberkulosis, malaria, infectious mononucleosis, kelainan
kolagen, lupus eritematosus sistemik, artritis rematoid, kehamilan, dan
kecanduan obat.

Sifilis kongenital sukar didiagnosis pada janin terinfeksi yang tidak


menunjukkan gejala, karena IgG maternal yang menembus plasenta dan
memasuki sirkulasi janin menunjukkan reaksi positif dengan uji non
treponema maupun uji treponema. Biasanya dalam waktu 3 bulan antibodi
maternal akan menghilang dari darah bayi yang tak terinfeksi. Karena
adanya antibodi maternal pada bayi, uji kuantitatif VDRL atau RPR harus
diperiksa setiap bulan pada 6 bulan pertama. Jika titer meningkat atau tetap
ada dan tidak menurun, bayi diduga menderita sifilis kongenital dan harus
diobati.
375

Gambar 199. Ulkus tak nyeri (chancre) gejala klinik khas pada sifilis awal
(http://reference.medscape.com/features/slideshow/)

Pengobatan Sifilis
Obat pilihan untuk mengobati sifilis adalah penisilin. Belum terjadi resistensi
sifilis terhadap penisilin.
 Penderita sifilis tanpa kelainan sistem saraf pusat (SSP) diobati
dengan benzathine penicillin G.
 Penderita sifilis dengan kelainan SSP (neurosyphilis) diobati dengan
penisilin intravenus selama 10-14 hari.
 Penderita sifilis awal yang alergi penisilin dan tidak hamil, diobati
dengan tetrasiklin.
 Penderita sifilis, alergi penisilin, hamil dan neurosifilis harus dilakukan
desensitasi penisilin, karena tidak adanya obat pengganti lainnya.

Pengobatan diberikan sampai uji non treponema stabil rendah titernya atau
tidak terdeteksi lagi. Uji non treponema pada penderita sifilis primer dan
sekunder harus menunjukkan tidak reaktif lagi, masing-masing 6-12 bulan
(sifilis primer) dan 12-18 bulan (sifilis sekunder) sesudah pengobatan.
376

Reaksi Jarisch-Herxheimer. Reaksi sistemik ini terjadi sesudah pengobatan


sifilis sekunder akibat treponema mati dengan cepat. Sekitar 2-12 jam
sesudah pengobatan antibiotika, penderita mengalami sakit kepala, malaise,
demam ringan, menggigil, sakit otot dan lesi sifilis menjadi intensif. Reaksi
akan menurun sesudah 12 jam. Reaksi ringan tidak memerlukan tindakan
pencegahan, dan terjadinya reaksi menunjukkan bahwa pengobatan sifilis
berhasil diberikan.

Pengendalian dan penceahan


Baik treponema venereal maupun non venereal dikendalikan melalui
surveilans aktif dan pengobatan pencegahan terhadap semua individu yang
terpapar sebelum menunjukkan gejala klinik. Semua stadium infeksi dapat
diobati dengan penisilin, termasuk infeksi kongenital. Selain itu dilakukan
pendidikan pada masyarakat agar segera berobat jika menunjukkan gejala

sifilis primer agar tidak menularkan penyakitnya pada orang lain.

FRAMBUSIA

T.pallidum subspesies pertenue yang menyebabkan frambusia atau patek


(yaws) yang banyak ditemukan di daerah tropis di Afrika, Amerika Selatan,
India, Indonesia dan pulau-pulau di Pasifik. Penyakit yang sangat menular
yang diderita oleh sekitar 50 juta orang ini ditularkan melalui hubungan non-
seksual dari orang-ke-orang. Sebagian besar penderitanya adalah anak-anak
dan orang dewasa muda.berumur di bawah 20 tahun.
Lesi primer atau induk penyakit terbentuk 2-4 minggu pada kulit di tempat
masuknya organisme berupa papul eritem atau kelompok papul yang tidak
terasa sakit. Lesi membesar dan membentuk ulkus dengan cairan serosa
dengan bontik-bintik darah yang berisi banyak organisme. Dalam waktu satu
sampai beberapa bulan, lesi menyembuh meninggalkan parut atrofi yang
cekung.
Treponema yang menyebar dalam waktu 1-12 bulan membentuk lesi
sekunder yang mirip lesi primer. Lesi kemudian terbentuk di wajah dan bagian
377

tubuh yang lembab lalu menyebar ke badan dan lengan. Infeksi pada telapak
kaki dan tapak tangan mirip sifilis pada stadium lanjut yang destruktif, disebut
frambusia tertier. Pada frambusia tertier infeksi treponema terjadi di tulang
dan periosteum, terutama pada tulang panjang di kaki dan lengan yang mirip
stadium tertier sifilis. Gumma yang sangat destruktif bisa terjadi di dalam
tulang dan jaringan lunak.
Diagnosis tergantung pada lokasi kerusakan, manifestasi klinik, adanya
treponema di dalam eksudat dan pemeriksaan serologi yang positif. Seperti
halnya sifilis, frambusia dapat diobati dengan penisilin.

Gambar 200. Frambusia, lesi primer


(Sumber: Rinaldi A. www.plosntds.org.)

PINTA
Penyakit yang disebabkan oleh T.carateum ini endemik di daerah tropis
Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dengan jumlah penderita sekitar
500.000 orang. Penularan terjadi melalui kontak nonseksual dari orang-ke-
orang. Sebagian besar penderitanya adalah anak-anak dan dewasa muda.
Lesi primer terbentuk 2-6 bulan sesudah masuknya organisme di kulit, berupa
papul eritema atau kelompok papul. Lesi dan kadang-kadang lesi satelit
membesar selama beberapa bulan dan menimbulkan bercak dengan
permukaan bersisik. Lesi sekunder terbentuk 2-18 bulan berupa ulserasi dan
bercak yang hiperkromik. Daerah terinfeksi terutama adalah tangan, kaki dan
kulit kepala. Stadium lanjut berupa bercak-bercak hiperkromik dan akromik,
akantosis yang tak teratur dan atrofi epidermis. Lesi menyembuh dengan
378

hiperpigmentasi dan kemudian menjadi depigmentasi dan hiperkeratotik


karena terjadi jaringan parut.
Diagnosis pinta ditetapkan berdasar pada lokasi kelainan, manifestasi klinik
dan adanya organisme di dalam eksudat, serta reaksi serologi yang positif.

Dengan pengobatan pinta menggunakan penisilin, lesi penderita baru


sembuh sempurna sesudah 1 tahun (pada sifilis dan frambusia penyembuhan
berlangsung lebih cepat). Sesudah berlangsung gejala primer atau awal
sekunder, pigmentasi akan kembali normal, sedang pada stadium akhir,
pigmentasi dapat bersifat permanen.

Gambar 201. Bercak psoriatik pada awal penyakit pinta


(http://emedicine.medscape.com/article/225576-clinical#a0217)

SIFILIS ENDEMIK
Penyebab sifilis endemik adalah T.pallidum subspesies endemicum, yang
tersebar di daerah gurun di Timur Tengah dan Afrika Selatan dan Tengah.
Penularan dari orang-ke-orang terjadi melalui kontak nonseksual. Penderita
379

terutama adalah anak-anak berumur di atas 2 tahun dengan higiene yang


buruk, dengan gejala mirip sifilis dan frambusia. Tempat masuk organisme
adalah membran mukosa mata dan mulut. Lesi primer berupa papul kecil
hanya dapat tampak pada satu persen penderita. Sesudah 2-3 bulan akan
terbentuk lesi.

sekunder atau bercak terjadi di membran mukosa, kulit, otot dan tulang. Papul
akan mengeras menjadi kondiloma dan lalu menyembuh. Gejala klinik laten,
tidak timbul dalam waktu 5-15 tahun. Sifilis endemik lanjut akan terbentuk di
kulit dan sistem skelet. Lesi di kulit bisa terjadi superfisial, nodular atau dapat
sangat destruktif berupa gumma yang dalam. Lesi tulang yang destruktif
sering terjadi di tibia. Diagnosis ditentukan berdasar pada lokasi kelainan,
manifestasi klinik, adanya treponema di eksudat dan pemeriksaan serologi
yang positif. Pengobatan sifilis endemik juga menggunakan penisilin.

5.21. LEPTOSPIRA

Leptospirosis, infeksi Leptospira, adalah penyakit zoonosis yang juga dapat


diderita oleh anjing, kucing, sapi, babi dan tikus.

Pada manusia Leptospira interrogans menyebabkan penyakit Weil yang


banyak diderita oleh penduduk daerah perkotaan yang kumuh di negara
berkembang yang hidup di daerah tropis meupun subtropis. Setiap tahunnya
dilaporkan sekitar 10 juta penduduk dunia menderita leptospirosis. Angka
kematian akibat leptospirosis berkisar sekitar 5-25%, dengan angka kematian
yang tinggi di negara-negara yang sistem kesehatannya buruk.

Morfologi dan biologi


380

Leptospira adalah organisme golongan Spirochaeta yang kecil ukurannya,


dengan bentuk seperti spiral dengan salah satu ujungnya berbentuk seperti
kait. Leptospira mudah dikenal jika diperiksa di bawah mikroskop lapangan
gelap (dark field microscope). Leptospira bersifat Gram-negatif berbentuk
spiral yang mempunyai flagel interna. Berdasar pada antigen pada sel
permukaannya, Leptospira interrogans mempunyai banyak serovarian.

Gambar 202. Kuman Leptospira interrogans


(http://www.einstein.sc.mahidol.ac.th)

Leptospirosis

Patogenesis dan penularan. Infeksi pada manusia terjadi karena organisme


ini memasuki tubuh melalui luka kulit atau selaput lendir tubuh, lalu
menyebabkan bakteremia dan memasuki organ-organ. Spirochaeta
berkembang biak di dalam organ terutama di sistem saraf pusat, ginjal dan
hati. Meskipun organisme yang ada di darah dan organ-organ dapat
diberantas oleh repon imun, tetapi yang ada di dalam tubuli ginjal dapat
bertahan dan berkembang biak, sehingga bakteri infektif masih dikeluarkan
melalui urine.
Banyak hewan dengan leptospirosis tidak menunjukkan gejala penyakit, tetapi
angka kematian dapat mencapai 10%. Petani, petugas kebersihan, dan
pemulung merupakan kelompok dengan risiko tinggi tertular leptospirosis.
Selain itu dokter hewan, perawat hewan dan pekerja rumah potong hewan
juga mempunyai risiko tinggi tertular leptospirosis.
381

Gejala klinis leptospirosis. Sebagian besar penderita leptospirosis


menunjukkan gejala klinis yang ringan mirip flu, misalnya sakit kepala dan
nyeri otot. Jika terjadi penyebaran Leptospira ke berbagai organ, misalnya
hati dan ginjal, penderita dapat mengalami kegagalan fungsi organ-organ
penting tersebut dan mengalami perdarahan-perdarahan di dalam organ
tubuh. Faktor-faktor yang berpengaruh pada terjadinya leptospirosis berat,
antara lan adalah anak-anak yang berumur di bawah lima tahun (balita),
penderita lanjut usia, di atas 65 tahun, dan pada penderita yang mengalami
penyakit berat lainnya, misalnya pneumonia.
Penderita dapat mengalami hepatitis, kaku kuduk, sakit kepala yang mirip
meningitis, dan gangguan fungsi ginjal.

Pengobatan leptospirosis. Selain dengan memberikan antibiotika,


pengobatan suportif juga harus diberikan. Antibiotika harus diberikan secepat
mungkin, segera sesudah ada dugaan leptospirosis, tanpa menunggu uji
kepekaan antibiotika. Obat-obatan yang dapat diberikan adalah doksisiklin,
sefalosporin, amoksisilin atau eritromisin. Pada umumnya Leptospira sudah
kebal terhadap kloramfenikol, rifampisin, metronidazol dan vankomisin. Setiap
penderita yang diduga menderita leptospirosis harus segera diobati dengan
antibiotika yang sesuai.
Penderita dengan leptospirosis berat yang disertai komplikasi harus dirawat di
rumah sakit, dengan mendapatkan pengobatan berupa:
 Penisilin G intravenus 5-8 juta unit/hari selama 5 hari.
 Eritromisin 4x250 mg/hari selama 5 hari diberikan jika penderita alergi
penisilin.
 Sefalosporin 3 gram diberikan pada leptospirosis akut.
382

Penderita dengan leptospirosis berat yang disertai kegagalan fungsi berbagai


organ, selain diberi antibiotika juga diberi pengobatan suportif. Penderita
harus selalu mendapatkan pengawasan karena penyakit dapat menimbulkan
kolaps kardiovaskuler dan syok.

Jika penderita mengalami gagal ginjal harus dilakukan dialisis.


Penderita yang mengalami gangguan fungsi jantung dan gangguan
pernapasan, harus ditangani dengan segera.
Jika terjadi komplikasi yang berat penderita harus diobati dengan tukar
plasma (plasma exchange), serta diberikan kortikosteroid dan imunoglobulin
intravenus.

Pencegahan. Leptospirosis dapat dicegah dengan menghindari paparan air


kencing penderita(manusia maupun hewan: anjing kucing dan tikus). Obat-
obatan pencegah leptospirosis, misalnya tetrasiklin dan penisilin, pada hewan
peliharaan (anjing dan kucing) dan vaksinasi sebaiknya diberikan secara
teratur.
5. 22. LEGIONELLA

Bakteri Legionella berbentuk batang (rods) bersifat Gram-negatif hidup di


dalam air yang suhunya lebih tinggi dari suhu ambien. Bakteri ini bisa diisolasi
dari permukaan air, lumpur, atau danau atau perairan yang hangat yang
tercemar dimana hidup banyak protozoa yang menjadi tempat hidupnya. Di
dalam tubuh protozoa yang menjadi hospesnya, Legionella berkembang biak
menjadi infektif yang kemudian memasuki lingkungan dan terhirup oleh
manusia melalui titik air di udara. Di lingkungan rumah, bakteri ini dapat
ditemukan di dalam bak mandi hangat, tangki air panas, air mancur, mesin
pelembab udara, mesin pembuat es, dan menara pendingin. Legionella
tumbuh dengan baik pada suhu 20 C sampai 42 oC , tetapi tidak ditemukan
0

pada AC mobil atau AC jendela.

Legionella pneumophila. Bakteri aerob yang berbentuk kokobasil dan


bersifat Gram-negatif ini patogenik bagi manusia, merupakan penyebab
383

utama dari penyakit legionaire. Selain dapat ditemukan di lingkungan, bakteri


ini dapat diisolasi dari jaringan paru, cairan pernapasan, dan darah penderita
penyakit legionaire.

Gambar 203. Elektron mikrograf L.pneumophila


(http://www.bio.davidson.edu)

Bakteri yang patogenik untuk manusia ini sumber pencemarnya tidak berasal
dari tanah atau hewan. Sifat bakteri ini adalah hidup intraseluller di dalam sel
eukariotik. Sebagian besar spesies Legionella menginfeksi parasit protozoa
Amuba yang hidup bebas (free-living), misalnya Hartmanella spp. dan
Acanthamoeba castellanii. Penyakit Legionnaire pada manusia disebabkan
oleh Legionella pneumophila.

Gambar 204. Legionella pneumophila, fotomikrograf fluoresen


(http://www.people.eku.edu)
384

Penyakit legionaire
Penyakit legionaire adalah penyakit akut yang dapat menyebabkan kematian
penderita (fatal), Nama bakteri diambil sejak 1976 ketika terjadi KLB (kejadian
luar biasa) pada waktu diselenggarakan Konvensi Veteran di Philadelphia.
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada 5-30% penderita. Sebagian
besar penderita dapat diobati dengan berhasil menggunakan antibiotika.

Penularan penyakit. Bakteri Legionella tidak ditularkan dari orang-ke-orang


misalnya di tempat kerja. Cara penularan dapat melalui air minum, menghirup
titik air yang berasal dari shower (pancuran air mandi), air untuk menggosok
gigi atau waktu mencuci tangan. Basil Legionella masuk ke dalam saluran
pernapasan, lalu mencapai alveoli paru. Dengan demikian, ada empat cara
masuk bakteri Legionella bersama air ke dalam tubuh penderitam yaitu
melalui alat pencernaan, menghirup udara, melalui aspirasi pernapasan dan
melalui kulit.

Orang-orang berisiko tinggi terinfeksi penyakit legionnaire antara lain adalah:

 Orang berusia lanjut (diatas 50 tahun)


 Perokok

 Penderita penyakit paru kronis (amfisema, COPD)

 Penderita dengan gangguan sistem imun: penderita kanker, diabetes,


gagal ginjal.

 Penderita dalam pengobatan imunosupresif (kemoterapi, transplantasi


organ)

Gejala klinis penyakit Legionnaire


385

Gejala penyakit ini mirip pneumonia bakterial dengan gejala klinis demam
tinggi, sakit otot, malaise, sakit kepala dan gangguan pernapasan. Masa
inkubasi berlangsung sekitar 7 hari (antara 2-19 hari). Masa inkubasi antara
2-14 hari. Gejala klinis penyakit legionaire sukar dibedakan dari pneumonia
pnemokokus.

Infeksi Legionella ditetapkan berdasarkan keadaan berikut ini:


 Pewarnaan Gram pada sediaan saluran pernapasan menunjukkan
banyak leukosit polimorfonuklir dengan ada atau tidak adanya
organisme.
 Pemeriksaan darah menunjukkan adanya hiponatremia
 Pneumonia dengan banyak manifestasi ekstrapulmonal (misalnya
diare dan gejala-gejala neurologik)
 Resisten terhadap beta-laktam, aminoglikosid atau keduanya.

Komplikasi
Penyakit legionnaire dapat menyebabkan komplikasi berupa gagal paru dan
bisa menyebabkan kematian penderita (5-30%).

Diagnosis penyakit legionaire

Untuk menentukan diagnosis penyakit legionnaire, selain berdasar gejala


klinis penyakit, pemeriksaan sinar-X paru dan pemeriksaan laboratorium
dapat membantu menegakkan diagnosis.
386

Gambar 205. Pemeriksaan radiografi penderita dengan infeksi P.legionella


menunjukkan adanya konsolidasi padat pada kedua lobus kanan atas
(http://wwwnc.cdc.gov)

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk membantu


menegakkan diagnosis legionnaire antara lain adalah:

 Biakan atau kultur sampel biologik;


 Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi yang ada di dalam
darah, atau mendeteksi antigen Legionella yang ada di dalam urine,
 Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA Legionella.

Gambar 206. Koloni Legionella dibiakkan pada cakram agar dengan


penyinaran sinar ultraviolet (www.bio.davidson.edu)
387

Pengobatan penyakit Legionaire


Berbagai antibiotika dapat digunakan untuk mengobati penyakit ini.
 Quinolon, ketolid, atau makrolid. Fluorokuinolon tertentu (misalnya
levofloksasin, moksifloksasin) efektif untuk mengobati penderita
legionaire dewasa yang berat
 Azitromisin obat pilihan untuk anak yang menderita atau diduga
menderita penyakit Legionella. Obat ini diberikan intravenus pada awal
penyakit dan sesudah ada perbaikan, segera diganti dengan
pemberian obat per oral. Lama pengobatan 5-10 hari.

 Penderita legionaire berat atau yang tidak berhasil diobati dengan obat
tunggal, dianjurkan diberi tambahan dengan rifampin.
 Obat pengganti, antara lain doksisiklin atau trimetoprim dan
sulfametoksasol. Pengobatan selain azitromisin diberikan selama 2-3
minggu., dan pada penyakit yang berat diberikan lebih lama.

 Pencegahan penyakit legionnaire

Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan Legionella dilakukan upaya


sebagai berikut:

 Penatalaksanaan sistem penyediaan air yang berhubungan dengan


tempat hidup Legionella, misalnya sistem air minum, tabung pemanas
air, air mancur dekoratif, menara pendingin air. Pemanasan dilakukan
dengan menggunakan air panas. Cara ini sukar dilakukan karena sulit
untuk mempertahankan secara terus menerus suhu air yang disalurkan
agar tetap berada di atas 60oC.
 Penggunaan bahan kimia untuk membunuh bakteri, misalnya klorin,
tidak dianjurkan karena tempat hidup Legionella berupa air hangat
mengurangi efektifitas klorin dan selain bau dan rasanya tidak
menyenangkan, juga bahan kimia toksik untuk air minum.
388

 Ionisasi air dianjurkan karena lebih efektif dan aman bagi kesehatan.

 Orang-orang yang berisiko terinfeksi penyakit legionnaire sebaiknya


dijauhkan dari sumber-sumber infeksi bakteri ini.

5. 23. ACTINOMYCETES

Actinobacteria adalah kelompok bakteri Gram-positif yang mempunyai DNA


dengan kadar guanine (G) dan cytosine (C) yang tinggi, meskipun ada
Actinobacteria yang hidup air tawar mempunyai G+C dengan kadar rendah.
Actinomycetes yang aerobik adalah mikroorganisme yang hidup di tanah
yang terdapat di seluruh dunia, yang dapat menjadi pathogen pada hewan
dan manusia. Beberapa actinomycetes menjadi sumber bahan industri obat
antimikrobial.
Pada penderita dengan sistem imun yang lemah, misalnya penerima
transplantasi dan penderita HIV, actinomycetes aerobik bisa menyebabkan
penyakit yang berat dan mematikan.

Actinomycetes
Kelompok bakteri ini mempunyai morfologi mirip jamur (fungi) karena
mempunyai sel yang panjang dan bercabang-cabang menjadi filamen atau
hifa dengan garis tengah antara 0.5 dan 0.8 mikron. Pada proses pembuatan
kompos, bakteri ini bersifat termofilik (telah beradaptasi terhadap suhu tinggi),
sedangkan virus, bakteri patogenik, misalnya bakteri coliform, akan mati.
389

Gambar 207. Actinomyces, pewarnaan Gram


(CDC,http://loudoun.nvcc.edu/vetonline/vet132)

Actinomycetes umumnya bersifat aerobik, karena itu kompos harus dalam


keadaan aerasi yang baik. Pada substrat segar umumnya actinomycetes
tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri lain dan
jamur. Selama proses

pembuatan kompos, actinomycetes menyebabkan degradasi pada bahan


alami, misalnya khitin dan selulosa. Habitat alami actinomycetes aerobik
adalah silo, gudang gandum, sistem AC dan kandang tertutup. Beberapa
actinomycetes termofilik dan termotoleran menjadi penyebab gejala alergi
pada saluran pernapasan (extrinsic allergic alveolitis). Actinomycetes dapat
menyebabkan penyakit yang gejala kliniknya mirip infeksi jamur
sistemik,tetapi kekerabatannya dekat pada mycobacterium.
Terdapat tiga genus Actinomycetes yang penting, yaitu Actinomyces,
Nocardia dan Streptomyces.

Sifat-sifat actinomycetes
Genus Actinomyces, Nocardia dan Streptomyces mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut:
 Actinomyces. Semua spesies genus ini tumbuh baik pada suasana
anaerobik, bersifat Gram-positif, pada pewarnaan tidak tahan asam
dan selalu membentuk granul.
390

 Nocardia. Genus ini hidup aerobik, pada pewarnaan bersifat tahan


asam (acid-fast) dan dapat membentuk granul.
 Streptomyces. Genus Streptomyces hidup aerobik, pada pewarnaan
bersifat tidak tahan asam dan dapat membentuk granul;

Aktinomikosis

Aktinomikosis adalah penyakit granulomatosa yang supuratif kronis dan


biasanya menyerang daerah servico-facial, thorax atau abdominal. Penyebab
utama aktinomikosis adalah organisme Actinomyces israelii yang dapat
menginfeksi manusia dan hewan, misalnya sapi.

Actinomyces adalah bakteri sejati karena tidak mempunyai mitokondria dan


membran inti, melakukan reproduksi dengan pembelahan sel dan peka
terhadap penisilin, tetapi resisten terhadap obat anti jamur. Bakteri ini
merupakan organisme

endogen yang dapat diisolasi dari mulut orang sehat. Pada anak umur 2
tahun hampir selalu ditemukan koloni Actinomyces di dalam rongga mulutnya.
Bakteri ini juga sering dapat dikultur dari saluran pencernaan, bronki, dan
saluran genital perempuan. Aktinomikosis dapat terjadi pada semua
kelompok umur, dengan insidens tertinggi pada usia sekitar 50 tahun, dan
jarang dijumpai pada umur di bawah 10 tahun atau di atas 60 tahun.

Patogenesis. Aktinomikosis terjadi karena terdapat kerusakan pada mukosa


pelindung. Pada aktinomikosis daerah oral dan cervicofacial (leher dan
wajah), seringkali penyebabnya adalah trauma yang terjadi pada waktu
perawatan gigi, mencabut gigi, abses gigi, operasi mulut, radioterapi kepala
dan leher, atau pembedahan onkologi. Sedangkan infeksi pulmonal terjadi
pada waktu pemasangan respirator, dan infeksi abdominal terjadi pada waktu
operasi gastrointestinal, divertikulitis, apendisitis, atau adanya benda asing,
misalnya duri ikan. Jika terjadi infeksi supuratif, seringkali abses tidak hanya
terjadi di rahang, tetapi juga dapat ditemukan di daerah dada dan perut.
Infeksi juga dapat terjadi di daerah pelvis, sistem saraf pusat dan otot dan
tulang. Penyakit juga dapat menyebar ke tempat lainnya. Kadang-kadang
391

tempat terjadinya infeksi tidak diketahui meskipun penderita sudah


menunjukkan gejala klinis.

Gejala klinis. Pada fase keradangan akut, penderita dengan penyakit oral-
cervicofacial atau yang mengalami infeksi di jaringan lunak, kadang-kadang
mengalami reaksi selulitik dengan rasa nyeri.

Gejala klinik pada fase kronik lebih sering dijumpai, berupa terbentuknya lesi
fibrotik yang padat, berlangsung lambat, yang menyebar pelan-pelan. Lesi
berupa pembengkakan keras yang dapat tunggal atau multiple. Jika sudah
matang, lesi akan melunak dan membentuk nanah di pusat lesi.

Jika terjadi penyebaran dari tempat lesi melalui darah, kadang-kadang dapat
menimbulkan aktinomikosis yang berat, meskipun hal ini jarang terjadi.
Pembentukan jaringan ikat yang luas yang menjadi salah satu ciri khas pada
aktinomikosis ini hanya sedikit terjadi pada lesi di paru dan susunan saraf
pusat.

Diagnosis aktinomikosis. Karena organisme ini dalam keadaan normal


dapat ditemukan di berbagai tempat, maka diagnosis tidak dapat ditentukan
hanya berdasar ditemukannya Actinomyces tanpa adanya granul sulfur dan
sindrom klinis aktinomikosis.

Diagnosis aktinomikosis dapat ditentukan jika dapat ditemukan granul sulfur


dari nanah atau dari bahan sayatan pembedahan. Jika nanah di daerah lesi
dipusingkan dengan sentrifuge, dapat ditemukan granul sulfur berwarna
kuning. Pemeriksaan histologi ditemukan granul sulfur dikelilingi sel PMN, dan
organisme tampak seperti batang gram-positif, yang seringkali bercabang.
Untuk membedakannya dari Nocardia yang juga bersifat Gram-positif,
dilakukan pewarnaan tahan asam modifikasi Fite, yang mewarnai Nocardia,
tetapi tidak pada Actnomyces.
392

Gambar 208. Actinomyces israelii, pewarnaan Gram


(http://www.medschool.lsuhsc.edu/microbiology)

Pada biakan organisme yang harus dikerjakan dalam suasana anaerob,


digunakan medium selektif (NaCl, 5% darah kuda, ditambah MTZ 10 mg/L
dan nalidixic acid 30 mg/L). Koloni yang terbentuk seperti gigi molar (“molar
tooth”) dengan gambaran

seperti sinar matahari (“sun-ray”) jika basil digerus diantara dua gelas objek
dan granul sulfur terlepas.
393

Gambar 209. Koloni Actinomyces pada chocolate agar


(https://www.utoledo.edu/med/depts/path/micro)

Pengobatan. Antibiotika yang bisa diberikan antara lain Penisilin, Eritromisin,


Tetrasiklin dan Klindamisin. Jika terdapat lesi supuratif, nanah dikeluarkan
melalui pembedahan disertai pemberian penisilin dalam dosis tinggi.

Nokardiosis

Nokardiosis (nocardiosis) dapat terjadi dalam bentuk penyakit paru, abses


otak, infeksi subkutan atau berupa lesi pada dinding dada yang mengalir ke
permukaan badan mirip aktinomikosis. Abses otak biasanya merupakan lesi
sekunder. Spesies Nocardia yang sering menyebabkan penyakit pada
manusia adalah N.asteroides (penyebab nokardiosis paru) dan N.brasiliensis
(penyebab nokardiosis subkutan). Organisme yang hidup di tanah ini juga
dapat ditemukan di dalam dahak orang sehat
394

Gambar 210. Selulitis pada nokardiosis kulit dan subkutan oleh N.brasiliensis
dengan abses mengandung granul
(www.primehealthchannel.com/nocardiosis.html)

Nocardia adalah bakteri berbentuk batang Gram-positif dan pada pewarnaan


bersifat tahan asam tidak sempurna (partial), jarang membentuk granul, dan
bersifat aerobik.

Gambar 211. Nocardia asteroides pada jaringan, pewarnaan tahan asam


(lib.jiangnan.edu.cn/asm)

Uji serologi tidak dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis


nokardiosis..Nocardia dapat tumbuh baik pada berbagai media bakteriologi
dan media tuberkulosis.
395

Pengobatan. Obat pilihan adalah Trimethoprim-sulfamethoxazole.

Gambar 212. Biakan bakteri Nocardia asteroides pada medium agar darah
(Sumber: lib.jiangnan.edu.cn/ASM)

Streptomikosis

Penyebab streptomikosis (streptomycosis) adalah spesies Streptomyces yang


infeksinya umumnya terjadi subkutan, tetapi dapat menembus ke jaringan
yang lebih dalam sampai ke tulang. Penyakitnya disebut misetoma
(mycetoma) atau tumor jamur
396

Gambar 213. Spesies Streptomyces, bakteri bentuk batang bercabang,


pewarnaan Gram-positif (A.C.Smith, University of Maryland,
http://lib.jiangnan.edu,cn/ASM/1)

Streptomycetes hidup aerobik dan dapat tumbuh pada media bakteri dan
jamur (Sabouraud), dan membentuk miselium seperti kapur dengan banyak
cabang. Berbeda dengan bakteri patogen lainnya yang dapat tumbuh dalam
waktu semalam, Streptomyces memerlukan waktu tumbuh pada lempeng
biakan sekitar 48-72 jam. Sejumlah spesies bakteri ini menghasilkan granul
dengan ukuran, tekstur dan warna yang berbeda-beda. Identifikasi spesies
ditentukan berdasar pada morfologi dan sifat granul, bentuk dan pertumbuhan
koloni serta uji biokimia.

Gambar 214. Streptomyces


(URL: mml.sjtu.edu.cn/laotuo )
397

Pemeriksaan serologi tidak dapat digunakan untuk membantu menentukan


diagnosis streptomikosis. Bahan klinik untuk pemeriksaan di laboratorium
adalah nanah atau biopsi kulit penderita.

Pengobatan. Obat pilihan untuk streptomikosis adalah sulfamethoxazole-


trimethoprim atau amphotericin B. Jika tidak diketahui diagnosisnya dalam
waktu lama atau penyakit tidak diobati, penderita dapat mengalami kerusakan
jaringan atau tulang yang sudah lanjut sehingga memerlukan tindakan
pembedahan, misalnya amputasi.
398

BAB 6
399

VIROLOGI KEDOKTERAN

6.1. PENDAHULUAN

6.2. KLASIFIKASI, STRUKTUR DAN REPLIIKASI VIRUS

6.3. INFEKSI VIRUS

6.4. VIRUS PATOGEN PADA MANUSIA

6.5. RABIES

6.6. HEPATITIS VIRAL

6.7. PENYAKIT VIRAL PADA ANAK

6.8. PENYAKIT VIRAL PERNAPASAN

6.9. GASTROENTERITIS VIRAL

6.10 SINDROM NEUROLOGIK AKUT VIRAL

6.11. HTLV dan HIV

6.12. HUMAN PAPILLOMA VIRUS

6.1. PENDAHULUAN
400

Virus merupakan penyebab infeksi yang banyak dilaporkan dari seluruh


dunia. Sebagian besar penyakit yang ditimbulkannya rngan sifatnya, tetapi
beberapa diantaranya dapat menyebabkan penyakit yang berat pada orang-
orang yang peka, misalnya penderita malnutrisi, orang dengan gangguan
sistem imun, bayi dan anak kecil, serta orang berusia lanjut. Berbagai
penyakit virus baru dilaporkan, misalnya HIV, SARS dan flu babi (H1N1,
influenza A yang menyebabkan pandemi).

Sifat virus

Virus umumnya berukuran sangat kecil, kurang dari 300 nm


(nanometer). Satu nm= 1 milimikron= satu per satu juta mm= satu per seribu
mikron. Berbeda dari mikroorganisme uniseluler lainnya (protozoa, bakteri,
mycoplasma, rickettsia dan chlamydia) yang merupakan makhluk hidup, virus
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

 Virus bukan sel, tetapi merupakan struktur sangat sederhana yang


strukturnya terdiri dari genom asam nukleat, yang dilindungi oleh kulit
dari protein. Metabolismenya sangat lambat (inert) dan hanya dapat
hidup di dalam sel hospes (obligat intraseluler).
 Virus hanya dapat memperbanyak diri (replikasi) jika dibiakkan pada
kultur sel, dan tidak dapat dibiakkan pada medium buatan.

 Genom hanya terdiri dari satu tipe asam nukleat, yaitu RNA saja atau
DNA saja. Sebagian besar DNA virus adalah double stranded dan
sebagian besar RNA virus mempunyai genom single stranded (ss).
Suatu genom ssRNA adalah positive sense (dapat digunakan sebagai
mRNA untuk membentuk protein) atau negative sense yang dapat
dikopi menjadi mRNA.

 Tidak mempunyai organel

 Ukurannya sangat kecil, antara 20-200 nm, sehingga tidak bisa dilihat
dengan mikroskop sinar biasa.
401

Tabel 24. Perbedaan virus dengan mikroorganisme lainnya

BAKTERI MIKOPLASMA RIKETSIA KLAMIDIA VIRUS

BMB (+) (+) (-) (-) (-)

BBD (+) (+) (+) (+) (-)

DNA (+) (+) (+) (+) (+)/(-)

RNA (+) (+) (+) (+) (-)/(+)

RIBOSOM (+) (+) (+) (+) (-)

ANTIBIOTIK sensitif sensitif sensitif sensitif resisten

INTERFERON sensitif

BMB: Biakan medium buatan; BBD: Berkembang biak belah diri; DNA:
Deoxyribonucleic acid; RNA: Ribonucleic acid

Terminologi

Istilah-istilah penting pada struktur virus, antara lain adalah:

 Virion. Partikel utuh virus.


 Capsid. Kulit protein yang membungkus dan melindungi genom.

 Capsomer (kapsomer) Subunit protein yang identik yang membentuk


kapsid, berbentuk seperti kubus atau seperti spiral

 Icosahedron. Bentuk kapsid ikosahedral, seperti tabung (tubular)

 Nucleocapsid. Gabungan genom atau asam nukleat virus dan


selubung protein yang membungkusnya.
402

 Envelope. Selubung virus berupa membran lipid yang merupakan


derivat atau berasal dari membran plasma sel hospes, yang
mengellingi seluruh bagian beberapa jenis virus.

 Peplomers. Protein yang terdapat di dalam selubung pembungkus


virion, yang umumnya adalah glikosilat sehingga disebut sebagai
glikoprotein (glycoprotein).

6.2. KLASIFIKASI, STRUKTUR DAN REPLIKASI VIRUS

 Pada garis besarnya, organisme patogen, yaitu bakteri, mycoplasma,


rickettsia, chlamydia dan virus dapat dibedakan berdasar pada
pertumbuhannya pada medium buatan, cara memperbanyak diri, DNA atau
RNA yang dimilikinya, adanya ribosom dan adanya muramic acid.

Tabel 25. Diferensiasi mikroorganisme (Hunt. Basic Virology, 2010)

Pertumbuhan Multiplikasi Mempunyai Mempunyai Mempunyai Sensitif


di medium dengan DNA dan Ribosom muramic antibiotik/
buatan Belah diri RNA acid interferon
Bakteri Ya Ya Ya Ya Ya Antibiotik

Mycoplasma Ya Ya Ya Ya Tidak Antibiorik

Rickettsia Tidak Ya Ya Ya Ya Antibiotik

Chlamydia Tidak Ya Ya Ya Tidak Antibiotik

Virus Tidak Tidak DNA saja Tidak Tidak Interferon


atau RNA
saja
403

Struktur virus. Virus adalah organisme parasitik yang hidup obligat


intraseluler yang mempunyai genom DNA atau RNA, yang dikelilingi oleh
selubung protein (capsid) sebagai pelindung. Untuk hidupnya virus sangat
tergantung pada pasokan sel hospes berupa pelengkap metabolisme maupun
biosintesis sel eukariotik maupun prokariotik. Partikel lengkap virus disebut
virion, yang menyediakan genom DNA dan RNA ke dalam sel hospes
sehingga genom dapat diekspresikan (transkripsi dan translasi) oleh sel
hospes. Genom virus, sering bersama protein dasarnya, dikemas di dalam
kapsid protein simetris. Protein asam nukleat, disebut nukleoprotein,
bersama-sama genom membentuk nukleokapsid (nucleocapsid). Pada virus
berselubung (enveloped virus) dikelilingi oleh dua lapis lipid berasal dari
modifikasi membran sel hospes dan diperkuat oleh lapisan terluar selubung
virus yang merupakan glikoprotein.
Virus DNA yang hanya memiliki deoxyribonucleic acid, meliputi famili-famili
Parvoviridae, Papovaviridae, Adenoviridae, Herpetoviridae, Iridoviridae,
Poxviridae dan Hepadnaviridae.
Virus RNA hanya mempunyai ribonucleic acid, banyak diantaranya yang
patogenik terhadap manusia dan hewan.Termasuk golongan virus RNA
adalah famili-famili Picornaviridae, Reoviridae, Togaviridae, Arenaviridae,
Coronaviridae,Retroviridae, Bunyaviridae, Orthomyxoviridae, Paramyxoviridae
dan Rhabdoviridae.

Bentuk struktural virus adalah simetri kubus atau helikal. Bentuk kubus
merupakan bentuk padat teratur atau ikosahedral, sedangkan bentuk helikal
adalah seperti batang.
404

Gambar 215. Struktur kapsid ikosahedral


(Sumber: http://pathmicro.med.sc.edu/mhunt)

Gambar 216. Struktur kapsid helikal virus tobacco mosaic


(Sumber: http://pathmicro.med.sc.edu)

Terdapat lima struktur dasar alami virus, yaitu:

1. Ikosahedral bugil (naked icosahedral), misalnya poliovirus,


adenovirus, virus hepatitis A.
2. Helikal bugil (naked helical), misalnya tobacco mosaic virus. Tidak
ada yang patogen untuk manusia.

3. Ikosahedral berselubung (enveloped icosahedral), misalnya herpes


virus, yellow fever virus, rubella virus.
405

4. Helikal berselubung (enveloped helical), misalnya rabies virus,


influenza virus, parainfluenza virus, mumps virus, measles virus.

5. Virus kompleks (complex virus), misalnya poxvirus.

Selain virus dikenal juga adanya agen yang tidak dapat dikelompokkan
sebagai virus (unconventional agents), yaitu viroid dan prion.

Viroid

Viroid hanya mempunyai RNA sirkuler, berutas tunggal (single stranded),


berukuran kecil, kurang dari 400 nukleotid. Viroid dapat menjadi penyakit
tanaman dan belum ada laporan viroid menyebabkan penyakit pada manusia.
Salah satu agen penyakit

pada manusia yang penyebabnya mirip viroid adalah virus hepatitis delta
(hepatitis delta virus- HDV) yang merupakan agen yang bersifat antara virus
klsik dan viroid. HDV mempunyai genom RNA yang berukuran sangat kecil
(1700 nukleotid) lebih besar dari viroid tetapi lebih kecil dari virus.

Prion

Prion hanya mempunyai partikel protein, berukuran kecil, dan belum diketahui
apakah mempunyai asam nukleat. Prion dapat menyebabkan penyakit pada
manusia, misalnya penyakit Kuru, Penyakit Creutzfeldt-Jakob dan sindrom
Gerstmann-Straussler.

Pengelompokan virus
Berdasar karakter primer (asal genom dan struktur virionnya) virus
dikelompokkan berdasar asam nukleatnya dan struktur virionnya, sebagai
berikut:
Berdasar asam nukleatnya, virus dikelompokkan menjadi:
 Virus RNA atau virus DNA
 Single-stranded (berutas tunggal) atau double-stranded (berutas
ganda).
 Bersegmen atau tidak bersegmen
 Linear atau sirkuler
 Apakah genom single stranded RNA dapat berfungsi sebagai mRNA?
 Apakah genom diploid (misalnya seperti retrovirus)

Menurut struktur virionnya virus dikelompokkan berdasari:


 Simetri kapsid (ikosahedral, helikal, atau komplek)
406

 Berselubung atau tidak


 Jumlah kapsomer

VIRUS VIRUS DNA

Virus-virus DNA dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok I yang


berutas ganda (double-stranded DNA)

dan kelompok 2 yang berutas tunggal (single-stranded DNA). Famili atau


keluarga virus yang termasuk virus DNA adalah: Parvoviridae, Papovaviridae,
Adenoviridae, Herpetoviridae, Iridoviridae, Poxviridae dan Hepadnaviridae.

Tabel 26. Virus-virus DNA yang penting (Sumber: Margaret Hunt, 2010)

Simetri Selu- Ukuran Tipe asam


FAMILI kapsid bung (nm) nuleat Grup dan contoh
PARVOVIRIDAE  I
- 20 ss (single
stranded)
Grup II; Adeno-associated
virus,human parvovirus B19
HEPADNAVIRIDAE I + 43 ds,sirkuler Grup VII; Hepatitis B virus
PAPOVAVIRIDAE I ds, Grup I; Papillomavirus,
- 40-60
sirkuler penyebab warts, kanker servix
POLYOMAVIRIDAE I - SV40,bbrp penyebab PML
- 40-60

ADENOVIRIDAE  I
- 80 ds Grup I, Adenovirus
HERPESVIRIDAE I + 190 ds (double Grup I; herpes simplex tipe1
stranded) dan 2, varicella zoster virus,
Epstein Barr, cytomegalovirus
POXVIRIDAE C + 200x350 ds Grup I; Virus vaccinia, smallpox,
cowpox

I = Icosahedral symmetry ; C = Complex symmetry

VIRUS VIRUS RNA

Virus-virus RNA terdiri dari 3 kelompok, yaitu Kelompok III, IV dan V.


Kelompok III mempunyai genom RNA double-stranded, yang selalu
bersegmen, misalnya rotavirus. Kelompok IV mengandung genom RNA
single-stranded yang positife-sense. Contoh virus kelompok IV adalah
Picornavirus (hepatitis A virus, enterovirus, rhinovirus, poliovirus), foot-and-
407

mouth virus, SARS virus, hepatitis C virus, yellow fever virus, dan rubella
virus. Kelompok V mengandung genom RNA single stranded negative-

sense, antara lain adalah virus Ebola, virus Marburg, virus influenza, virus
measles, virus mumps dan virus rabies.

Tabel 27. Virus RNA-positive sense (Sumber: Margaret Hunt, 2010)

Tipe
Famili Simetri Selu- Ukuran asam Grup (kelompok) dan contoh
bung nukleat

I - ss Grup IV; Enterovirus, rhinovirus,


PICORNAVIRIDAE 30 nm coxsackie virus, poliovirus,
hepatitis A virus

CALICIVIRIDAE  I - 35 nm ss Grup IV; Norwalk virus


TOGAVIRIDAE I + 60-70 ss Grup IV; Alphavirus: virus WEE,
nm EEE, VEE, Chikungunya ,
Sindbis, Semliki Forest ,
Rubrivirus
FLAVIVIRIDAE  I + 40-55 ss Grup IV; Virus yellow fever,
nm dengue, Japanese encephalitis,
St. Louis encephalitis, dsb.

75-160
CORONAVIRIDAE  H + nm
ss Grup IV; Coronavirus
Ikosa
HEPEVIRIDAE I _ hedral ss Grup IV; Hepatitis E virus.

I = simetri ikosahedral; H = simetri helikal HELICAL; ss = single stranded


408

Tabel 28. Virus RNA double stranded (Sumber: M.Hunt, 2010)

Tipe asam
 Famili Simetri Selubung Ukuran Keterangan dan contoh
nukleat

Grup III; Yang menimbulkan


penyakit pada manusia:
REOVIRIDAE  I  - 75 nm ds Rotavirus, Orbivirus(Colorado
tick virus),

Tabel 29 . Virus RNA negative sense


(http://www.uic.edu/classes/bios/bios104/mike/bacteria01.htm)

Tipe asam
 Famili Simetri Selu bung Ukuran Grup dan contoh
nukleat
RHABDOVIRIDAE 
60 x Grup V; Rabies virus, vesicular
 H + ss(-)
  180nm stomatitis virus,

Grup V;Virus Newcastle disease,


PARAMYXO 150-
VIRIDAE H + ss(-) parainfluenza, mumps, measles,
300nm
respiratory syncytial virus

ORTHOMYXO  80- Grup V; Influenza virus tipe A ,B


VIRIDAE H  + ss
120nm dan C

Grup V; Virus California


encephalitis, LaCrosse,
BUNYAVIRIDAE H + 95nm ss Crimean-Congo hemorrhagic
fever, dan Rift Valley fever ;
Hantavirus

 Grup V; Virus lymphocytic


50-
ARENAVIRIDAE  C  + ss choriomeningitis, Lassa, Junin
300nm
dan Machupo
409

80nm
Grup V; Marburg virus, Ebola
FILOVIRIDAE  H  + x 800-  ss
virus.
900nm
I = simetri ikosahedral, H = simetri helikal C=simetri komplek ss= single stranded

Reverse transcribing viruses

Dalam kelompok ini terdapat Kelompok VI dan Kelompok VII. Virus Kelompok
VI mengandung RNA virus berselubung, berutas tunggal (single-stranded)
yang memperbanyak diri melalui DNA sebagai perantara. Contoh virus Grup
VI adalah retrovirus, yang berukuran 100 nm, salah satu diantaranya adalah
HIV.

Grup VII mengandung genom DNA berutas-dua (double-stranded) yang


memperbanyak diri dengan menggunakan reverse transcriptase. Contoh:
virus hepatitis B.

6.3. INFEKSI VIRUS

Virus dapat menimbulkan infeksi pada semua jenis makhluk hidup dari bakteri
pada manusia, sampai tanaman dan serangga Faktor utama yang
mengendalikan terjadinya infeksi virus pada suatu sel adalah adanya
reseptor pada permukaan sel tempat virus melekat agar kemudian dapat
masuk ke dalam sel hospes

Virus dapat memasuki tubuh hospes dengan cara inhalasi, ingesti, hubungan
seksual atau secara inokulasi melalui kulit atau membran mukosa. Virus juga
dapat memasuki tubuh hospes dengan cara transmisi vertikal (vertical
transmission), yang dari ibu ke janin yang dikandungnya, melalui plasenta
410

(transplacental). Sesudah virus berhasil masuk ke dalam tubuh hospes,


infeksi dapat terjadi lokal di tempat masuk virus, atau kemudian infeksi virus
menyebar (disseminated). Penyebaran virus terjadi sesudah virus
memperbanyak diri di tempat masuknya, lalu memasuki darah (menyebabkan
viremia) atau sistem limfatik, dan kemudian menyebar ke semua bagian
tubuh. Keadaan ini misalnya terjadi pada penyakit measles. Pada penyakit
virus lainnya misalnya rabies dan herpes simplex, sesudah memperbanyak
diri di tempat masuknya, virus akan memasuki ujung saraf lalu melalui axon
menginfeksi sistem saraf pusat (central nervous system).

Masa inkubasi

Masa inkubasi adalah tenggang waktu dari saat terjadinya paparan


organisme sampai timbulnya untuk pertama kali gejala klinis penyakit. Pada
infeksi lokal virus, masa inkubasi adalah pendek (kurang dari 7 hari),
sedangkan pada infeksi yang menyebar (disseminated infection) masa
inkubasinya lebih lama.

Respon imun

Gejala klinik penyakit virus dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang
berasal dari virus maupun faktor yang berasal dari hospes Sel imun hospes
melepaskan interferon dan sitokin lainnya yang merangsang terjadinya gejala
demam dan malaise. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat lisis yang
dipengaruhi oleh virus terhadap sel hospes yang terinfeksi, atau karena
terjadinya proses keradangan atau inflamasi dan perusakan terhadap sel
terinfeksi oleh respon imun hospes.

Karena virus memperbanyak diri di dalam sel hospes (intraseluler), maka


penyembuhan pada infeksi virus baru terjadi kegiatan limfosit T sitotoksik
yang mengenali sel-sel yang terinfeksi virus, untuk kemudian
melenyapkannya. Titer antibodi yang spesifik terhadap virus yang meningkat
selama terjadinya infeksi kurang berperan pada proses peyembuhan infeksi,
411

tetapi berperan penting untuk mencegah terjadinya reinfeksi dengan virus


yang sama terhadap hospes. Respon imun yang efektif dapat memusnahkan
sebagian besar virus dari tubuh hospes sehingga sebagian besar infeksi virus
umumnya berlangsung tidak lama.

Terdapat beberapa jenis virus yang mampu menghindari respon imun hospes
dan menyebabkan terjadinya infeksi yang menetap atau persisten terhadap
hospes, salah satu diantaranya adalah HIV. Infeksi yang persisten ini
umumnya bersifat asimtomatik dan hanya menunjukkan gejala klinis jika
penderita mengalami kelemahan sistem imun (immuno-compromised)..

Virus dan Kanker

Sekitar 15% kanker pada manusia disebabkan oleh virus. Virus tertentu yang
tetap berada di dalam sel hospes menyebabkan transformasi dan
merangsang sel yang terinfeksi virus untuk mengadakan proliferasi. Infeksi
virus merupakan tahapan awal jalur terjadinya keganasan,

Kanker yang terjadi akibat rangsangan virus antara lain adalah karsinoma
cervix yang disebabkan oleh Human papillomavirus, kanker hati disebabkan
oleh virus hepatitis B dan C, Sarkoma Kaposi yang disebabkan oleh Human
herpesvirus 8 dan limfoma Burkit yang disebabkan oleh virus Epstein Bar.

Disinfeksi dan inaktifasi virus

Virus dapat dihambat aktifitasnya dengan cara memanaskannya (56 0C


selama 30 menit atau 100 0C selama beberapa detik), mengeringkannya
(terutama terhadap virus berselubung), atau dilakukan iradiasi dengan sinar
ultra-violet. Selain itu disinfektan juga dapat menyebabkan inaktifasi virus,
misalnya larutan organik (kloroform, eter, alkohol) menyebabkan inaktifasi
virus berselubung sedang virus tidak berselubung umumnya resisten
terhadap larutan organik. Virus juga dapat terhambat aktifitasnya oleh bahan
penyebab okidasi dan reduksi (formaldehid, klorin, iodin dan hidrogin
peroksida). Sebagian besar virus resisten terhadap fenol.
412

Replikasi virus

Virus merupakan DNA yang terbungkus protein, bukan merupakan


makhluk hidup tetapi dapat berkembang, dan melakukan replikasi.
Replikasi virus hanya dapat berlangsung di dalam sel organisme hidup.
Pada dasarnya virus bersifat parasitik penuh yang seluruh hidupnya
sangat tergantung pada makhluk hidup lainnya. Sel hospes harus
menyediakan energi dan perlengkapan untuk melakukan sintesis dari bahan
(prekursor) yang rendah berat molekulnya untuk mengadakan sintesis protein
virus dan asam nukleat. Asam nukleat membawa sifat genetik yang khas
untuk petanda semua pada makromolekul virus yang spesifik pada pola
pengaturan yang sangat canggih. Sesudah asam nukleat virus memasuki sel
hospes, metabolisme seluler diarahkan untuk melakukan sintesis partikel
virus yang baru, tanpa mengganggu proses metabolisme sel hospes.

Selama proses replikasi, terjadi transfer informasi genetik virus melalui


beberapa jalan dari satu generasi ke generasi lainnya. Tujuan utamanya
adalah mRNA yang spesifik harus disalin dari asam nukleat virus agar
informasi genetik dapat diduplikasi dan diekspresikan. . sesudah proses ini
diselesaikan, virus menggunakan komponen sel untuk menterjemahkan
(translate) mRNA. Beberapa kelas virus menggunakan jalan lain untuk
melakukan sintesis mRNA tergantung pada struktur asam nukleat virus.
Sebagai contoh, misalnya rhabdovirus, myxovirus, menggunakan polemerase
RNA untuk melakukan sintesis mRNA. Tipe virus RNA ini disebut virus
negative-strand, karena genom RNA single-strand ditambahkan pada RNA
messenger, yang umumnya berpola positive-strand. mRNA virus tidak selalu
merupakan salinan atau kopi yang tepat dari cetakan (template) genom,
karena beberapa mRNA diproses untuk menghilangkan sekuen tertentu.
Replikasi virus berlangsung dalam dua tahapan atau fase yaitu fase lytic dan
fase lysogenic.

 Fase lytic. Pada fase litik ini, informasi genetik disuntikan ke dalam sel.
Perlengkapan sel digunakan dimanfaatkan untuk membentuk lebih
413

banyak virus. Akibatnya sel akan pecah dengan terjadinya lisis dan
virus akan terlepas.
 Fase lysogenic. Dengan masuknya informasi genetik ke dalam sel,
DNA akan bergabung kedalam kromosom. Replikasi akan
berlangsung pada sejumlah virus yang menyebabkan sel mengalami
fase litik sesudah beberapa waktu lamanya (periode laten).

Material genetik virus berupa DNA atau RNA RNA kurang stabil,
sehingga organisme tipe RNA mempunyai kecepatan mutasi yang
lebih tinggi dibanding organisme tipe DNA. Sebagai contoh, virus HIV
adalah termasuk virus RNA.

Gambar 217 . Replikasi virus, jalur litik dan jalur lisogenik:


(http://www.uic.edu/classes/bios/bios104/mike/bacteria01.htm)

Tahapan sebelum replikasi

Pada garis besarnya tahapan sebelum terjadinya replikasi berlangsung


melalui beberapa tahapan, yaitu:

 Adsorption, proses adsorpsi. Permukaan virion mempunyai struktur


yang bereaksi dengan molekul reseptor di permukaan sel hospes
Reaksi ini bersifat pasif, tidak memerlukan energi, dan bersifat sangat
414

spesifik. Karena itu hanya hospes tertentu yang dapat diinfeksi oleh
suatu virus. Jika terjadi kerusakan di tempat pelekatan pada virion atau
terjadi hambatan oleh antibodi yang spesifik (neutralisasi) dapat
membuat virion menjadi tidak infektif.

 Uptake, proses pengambilan. Pada proses ini virion masuk ke dalam


sel hospes yang terjadi melalui fusi selubung virus dengan membran
plasma sel atau melalui proses endositosis (endocytosis).
 Uncoating, proses pengelupasan. Sesudah virion masuk ke dalam
sel, selubung protein dari virion akan terkelupas dan genom virus akan
terlepas masuk ke dalam sitoplasma.

Fase awal.replikasi Sesudah genom terpapar, terjadi transkripsi


(turunan/salinan) mRNA virus dan translation (salinan/ terjemahan) dari
protein awal yang non-struktural, Fungsi-fungsi transkripsi dan translasi
menyebabkan terjadinya replikasi genom virus, yaitu penggandaan berulang
genom virus yang terjadi melalui sintesis polimerase virus (salah satu protein
”awal”).

Fase akhir. Transkrpsi dan translasi mRNA virus dan sintesis protein
struktural (”late”) yang diperlukan untuk membuat virion baru.

 Pengumpulan virion baru. Pengumpulan kapsid virus yang baru,


terjadi di dalam inti (misalnya pada herpesvirus) atau di dalam
sitoplasma (misalnya pada poliovirus) sel, atau kadang-kadang di
bawah permukaan sel (misalnya pembentukan tunas atau ”budding”
pada virus influenza). Kumpulan protein dan genom memasuki masing-
masing kapsid baru.
 Pelepasan virion progeni. Pelepasan virion yang infektif merupakan
fase akhir dari replikasi virus Hal ini terjadi dengan cara pembentukan
415

“budding” dari membran plasma atau dari lisis sel yang terinfeksi.
Untuk meninggalkan sel, partikel virus dapat melalui jalur sekretori,
yaitu partikel virus yang berada di dalam golgi –derivat vesikel-
dilepaskan ke luar sel pada waktu vesikel (transport vesicle)
mengadakan fusi dengan membran sel.

Pemeriksaan Laboratorium

Untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi virus, dilakukan pemeriksaan


laboratorium, yaitu pemeriksaan serologi yang menunjukkan adanya respon
antibodi pada serum penderita (antibody assay), pemeriksaan langsung
terhadap sampel bahan klinik biakan virus dan pemeriksaan asam nukleat
virus.

1. Pemeriksaan serologi (Antibody assay). Pada infeksi akut virus yang


sedang terjadi, di dalam sampel serum tunggal dapat ditemukan IgM spesifik,
atau jika dilakukan pemeriksaan sepasang serum dapat ditunjukkan adanya
sero-konversi atau kenaikan titer IgG yang spesifik. Pada umumnya, adanya
IgG (positif) dan tidak adanya IgM merupakan indikasi telah pernah terjadi
infeksi virus atau adanya imunitas terhadap virus. Pada waktu ini
pemeriksaan antibodi yang dilakukan umumnya menggunakan uji ELISA
(enzyme-linked immuno-assay).

2. Pemeriksaan virus langsung. Secara langsung adanya virus dapat


dibuktikan melalui pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron atau
ditunjukkan dengan adanya sel terinfeksi virus pada sediaan klinik yang
dilabel (diberi petanda) dengan antibodi.

(a). Pemeriksaan Mikroskop Elektron. Karena ukuran virus sangat


kecil dan tidak dilihat dengan mikroskop sinar biasa, harus digunakan
mikroskop elektron untuk melihatnya. Tetapi pemeriksaan dengan
mikroskop elektron tidak dapat dilakukan secara rutin karena jumlah
virus di dalam sediaan klinik biasanya sangat sedikit dan sering
416

tercemar dengan berbagai kontaminan yang ada di dalam sediaan


klinik.

(b). Pemeriksaan menggunakan antibodi dengan petanda


(label).Teknik ini biasanya digunakan untuk memeriksa dengan cepat
adanya virus penyebab infeksi pernapasan, misalnya yang disebabkan
oleh virus influenza, adenovirus atau RSV. Sel yang terinfeksi virus
akan membentuk dan menampilkan protein virus (sebagai antigen).

Adanya

antigen ini dapat dideteksi dengan menggunakan antibodi monoklon


atau poliklon yang dilabel (diberi petanda) dengan bahan fluoresen
(pemantul warna hijau). Antibodi yang berikatan dengan sel yang
mengandung antigen, jika diperiksa dengan mikroskop fluoresen akan
menunjukkan fluoresensi bercahaya yang berwarna hijau.

3. Biakan (kultur). Virus hanya dapat melakukan replikasi atau berkembang


biak di dalam sel hidup. Karena itu kultur in vitro virus dilakukan pada medium
sel hidup. Biakan virus pada hewan coba digunakan sebagai isolasi primer
virus tertentu, untuk mempelajari patogenesis virus. Penggunaan hewan
coba, atau embrio anak di masa lalu, saat ini lebih banyak menggunakan sel
satu lapis (monolayer’s cell). Virus yang berkembang biak pada kultur sel
akan menimbulkan efek sitopatik yang khas untuk masing-masing virus.

Virus yang tumbuh pada kultur sel monoklon yang diberi antibodi monoklon
yang sudah diberi label dengan fluoroceine dapat dengan mudah diperiksa
dengan mikroskop fluoresen. Untuk membiakkan virus dapat digunakan
embrio ayam atau kultur jaringan.

(a). Embrio ayam. Pertumbuhan virus di dalam embrio telur ayam


dapat menyebabkan kematian embrio (misalnya virus encephalitis
virus), menimbulkan bercak (plaque) pada membran chorioalantoik
(virus herpes, virus cacar, vaccinia), membentuk hemaglutinin di dalam
cairan embrionik dan jaringan (misalnya virus influenza) atau
tumbuhnya virus infektif (misalnya virus polio tipe 2).
417

(b). Kultur jaringan. Kemampuan membiakkan sel in vitro memberi


kesempatan untuk membiakkan virus pada berbagai macam sel in
vitro. Terdapat 3 dasar tipe kultur sel, yaitu :

1. Kultur primer dibuat dengan melepaskan sel-sel dari jaringan hospes


menggunakan tripsin. Sel primer ini hanya dapat bertahan hidup pada
beberapa pasase (subkultur) menjadi kultur sekunder.

2. Kultur sekunder adalah strain sel diploid yang dapat tetap hidup
sampai 50 sukultur, dengan pola kromosom yang tetap normal.
3. Continuous cell lines adalah kultur yang mampu bertahan hidup lebih
lama yang berasal dari strain sel normal atau dari jaringan neoplasma
manusia, misalnya amnion, ginjal, karsinoma servikal , karsinoma
laring, sumsum tulang penderita kanker paru, dan sebagainya.

Tipe kultur sel yang digunakan untuk membiakkan virus tergantung pada
kepekaan sel terhadap virus tersebut.

Perubahan kultur sel akibat multiplikasi virus.

Pada laboratorium klinis, multiplikasi virus dapat diikuti dengan


memperhatikan terjadinya hal-hal berikut ini:

1. Efek sitopatik (cytopathic effect) atau nekrosis sel pada kultur jaringan
(pada virus-virus polio, herpes, measles, adenovirus, cytomegalovirus,
dan lainnya).
2. Hambatan atau inhibisi metabolisme seluler atau kegagalan sel yang
terinfeksi virus untuk membentuk asam (misalnya pada enterovirus).
3. Terbentuknya hemaglutinin (misalnya virus mumps, influenza) atau
antigen penentu komplemen (complement-fixing antigen) misalnya
pada poliomyelitis,varicella dan measles.
4. Adsorpsi eritrosit pada sel terinfeksi (hemadsorption), misalnya pada
virus influenza dan parainfluenza. Reaksi ini menjadi positif sebelum
418

perubahan sitopatik dapat terlihat, dan pada keadaan tertentu adanya


hemadsorption hanya menunjukkan adanya virus.
5. Interferensi atau persaingan oleh virus nonsitopatogenik (misalnya
virus rubella) dengan virus indikator (misalnya echovirus) yang
mengadakan replikasi dan menyebabkan efek sitopatik.
6. Tranformasi morfologi oleh virus onkogenik (misalnya virus SV-40,
Rous sarcoma virus).

 4. Teknik Molekuler. Teknik amplifikasi asam nukleat, misalnya polymerase


chain reaction (PCR dapat digunakan untuk mendeteksi genom virus yang
ada di dalam material klinik, yaitu sekuen DNA virus, atau bakteri. Untuk
mendeteksi RNA harus dilakukan konversi RNA ke cDNA (reverse
transcription) sebelum dilakukan PCR. Dengan teknik PCR virus dalam
jumlah sedikit yang ada di dalam sediaan klinik dapat dideteksi, begitu juga
jumlah virus yang ada di dalam sampel penderita.

6.4. VIRUS PATOGEN PADA MANUSIA

1. ARBOVIRUS

Kelompok virus ini siklus hidupnya melibatkan vertebrata sebagai hospesnya


dan artropoda sebagai vektor penularnya. Arbovirus dapat menginfeksi
manusia, mamalia, unggas dan reptil. Arthropod borne virus (arbovirus) dalam
siklus hidupnya membutuhkan artropoda (serangga) sebagai vektor
penularnya, terutama nyamuk dan caplak (tick). Terdapat beberapa kelompok
virus penting yang termasuk arbovirus, antara lain togavirus, flavivirus,
bunyavirus, rhabdovirus, arenavirus, dan reovirus.

2, PAPOVAVIRIDAE

Anggota kelompok ini adalah Papovavirus, virus dengan DNA double-


stranded circular, simetri kubikal (cubic symmetry), dengan 72 kapsomer.
419

yang berukuran kecil (45-55 nm), resisten terhadap eter. Contoh papovavirus
pada manusia adalah virus papiloma penyebab warts, virus JC penyebab
leukoensefalopati multifokal progresif di otak atau virus BK yang ditemukan
pada urine resipien transplantasi ginjal yang mengalami imunosupresi Virus
ini pertumbuhannya lambat dan memperbanyak diri di dalam inti sel.
Papovavirus menyebabkan infeksi laten dan kronis pada hospes alaminya
dan semuanya dapat merangsang terjadinya tumor pada beberapa spesies
hewan.

Gambar 218. TEM Papillomavirus


(C.Humphrey,CDC.http://casmifa.aapstate.edu)

3.ADENOVIRIDAE

Genom Adenovirus mengandung double-stranded (ds) DNA dengan simetri


kubikal yang mempunyai 252 kapsomer dan pepton yang mempunyai tonjolan
terminal (knob). Kapsid Adenovirus yang hanya satu lapis, tidak berselubung,
simetri ikosahedral, isometrik dan berbentuk bulat dengan garis tengah
berukuran 70-90 nm.
420

Gambar 219. Cryo-Electron microscopy Adenovirus


(http://www.stanford.edu/group/virus)

Sedikitnya ada 37 tipe virus yang menginfeksi manusia, terutama di dalam


membran mukosa, dan dapat menetap di dalam jaringan limfoid. Adenovirus
menyebabkan berbagai penyakit pada manusia pada saluran pernapasan,
faringitis, dan konjungtivitis serta ada yang bersifat enteropatogenik yang
menyebabkan gastroenteritis pada anak berumur di bawah 4 tahun. Serotipe
tertentu Adenovirus bersifat zoonotik dan bisa merangsang terbentuknya
tumor pada bayi hamster.
421

Gambar 220. Mikrograf elektron Adenovirus


(Sumber: W.Gary: http://faculty.utpa.edu/Imateron/4404/viro-21)

4. HERPETOVIRIDAE

Kelompok virus dalam famili ini mengandung double-stranded, berukuran


sedang, dengan nukleokapsid bergaris tengah 100 nm, dengan cubic
symmetry dan 162 kapsomer yang dikelilingi selubung lipid bergaris tengah
150-200 nm. Infeksi dapat berlangsung lama sampai seumur hidup hospes
Termasuk dalam Herpetoviridae adalah virus-virus herpes simplex tipe 1 dan
2, varicella-zoster (penyebab chickenpox dan shingles), cytomegalovirus dan
virus Epstein-Barr (penyebab infectious mononucleosis dan neoplasma pada
manusia).

Gambar 221. Virion Herpes simplex virus (kiri)


(http://www. vetmed.uc.davis.edu/viruses) dan kanan gambaran mikroskopi
herpes virus (http://www.nasa.gov/mission-pages/station/research)

5. PARVOVIRIDAE
Salah satu anggota famili ini adalah Parvovirus B19 yang menyebabkan
eritema infantosum atau dikenal sebagai “fifth disease”. Selain itu juga
menyebabkan anemia aplastik .Pada penderita anemia hemolitik, parvovirus
dapat mengalami anemia aplastik berat. Infeksi parvovirus juga dapat
menyebabkan hydrops fetalis dan kematian janin.
422

Gambar 222. Mikrograf elektron virion parvovirus H-1


(CDC:http://phil.cdc.gov/phil-images)

6.POXVIRIDAE

Termasuk dalam poxvirus adalah virus-virus variola, dan molluscum


contagiosum. Poxvirus adalah virus berukuran besar, berbentuk batu bata
atau ovoid (230x400 nm), mengandung double-stranded DNA dengan
selubung mengandung lipid. Semua virus ini mempunyai antigen
nukleoprotein dan mengandung beberapa jenis enzim di dalam virion
termasuk DNA-dependent RNA polymerase. Poxvirus memperbanyak diri di
dalam sel sitoplasma dan menyebabkan lesi kulit. Beberapa diantaranya
patogen bagi manusia, yaitu menyebabkan smallpox vaccinia dan molluscum
contagiosum. Poxvirus hewan dapat menular dari hewan ke manusia (cow-
pox dan monkey-pox).
423

Gambar 223. Mikrograf elektron chicken pox virus. Garis putih (bar)
berukuran 100 nm
(F.Fenner,Australian National University,http://www.nasa.gov/mission)

7. ORTHOMYXOVIRIDAE

Virus-virus dalam famili ini (Orthomyxovirus) disebut virus influenza,


berukuran sedang (80-120 nm), merupakan virus berselubung yang
mengandung genom satu segmen single-stranded RNA yang terbentuk dari
8 segmen dan menunjukkan sebagai simetri helikal, dengan partikel bulat
atau berbentuk filamen. Sebagian besar orthomyxovirus mempunyai tonjolan
permukaan sebagai bagian dari dinding luar (hemaglutinin dan
neuriminidase). Selama proses replikasi nukleokapsid terbentuk di dalam inti
sel sedangkan hemaglutinin dan neuraminidase terbentuk di dalam
sitoplasma. Pematangan virus terjadi dengan membentuk tunas (budding)
pada membran sel. Orthomyxovirus adalah penyebab influenza pada
manusia maupun hewan dan dapat diobati dengan dactinomycin.
424

Gambar 224. Pewarnaan negatif TEM (transmission electron micrograph)


virus flu babi (CDC: http://hermes.mbl.edu/news/press_releases/2009).

8. PARAMYXOVIRIDAE

Paramyxovirus bentuknya mirip Orthomyxovirus tetapi lebih besar (150-300


nm), dengan ukuran nukleokapsid interna 18 nm, mempunyai genom RNA
single-stranded, tak bersegmen, yang berat molekulnya 4 kali lebih besar dari
pada Orthomyxovirus. Nukleokapsid maupun hemaglutinin dibentuk di dalam
sitoplasma.

Gambar 225. Mikrograf elektron RSV (respiratory syncytial virus) dengan lima
virion yang bertunas dari sel terinfeksi (http://pediatrics.med.unc.edu)
425

Paramyxovirus yang menyebabkan infeksi pada manusia misalnya mumps


dan measles, virus parainfluenza dan virus respiratory syncytial, umumnya
sudah resisten terhadap dactinomycin.

9. PICORNAVIRIDAE

Picornavirus kecil ukurannya (20-30 nm), tahan eter, mengandung ss-RNA,


cubic symmetry. Yang dapat menginfeksi manusia adalah rhinovirus
(penyebab common colds) dan enterovirus (yaitu virus polio, coxsackievirus,
dan echovirus). Rhinovirus tidak tahan asam (acid-labile) mempunyai
kepadatan yang tinggi, sedangkan enterovirus, tahan asam dan rendah
kepadatannya. Picornavirus menyebabkan infeksi pada sapi (foot-and-mouth
disease) dan ensefalomiokarditis pada rodensia.

Gambar 226. TEM (transmission electronmicrograph) virus polio


(http//www.historyofvaccines.org/-/poliovirus)
426

Gambar 227. TEM berwarna Coxsackie virus (www.microbeworld.org)

Gambar 228. Rhinovirus manusia


(Jean-Yves Sgro: http://www.virology.wisc.edu/virusworld)

10.REOVIRIDAE.

Termasuk Reovirus adalah Rotavirus, penyebab gastroenteritis infantil, yang


bentuknya khas seperti roda. Reovirus berukuran sedang (60-80 nm), tahan
terhadap eter, mengandung satu ds-RNA bersegmen dan mempunyai simetri
kubikal. Orbivirus yang meliputi subgrup yang antara lain termasuk virus
427

Colorado tick fever pada manusia dan penyakit “blue tongue” pada sapi dan
domba.

Gambar 229. Rotavirus double-capsid (kiri) dan kanan single-capsid


(L.Stannard www.pathmicro.med.ac.edu)
428

11.CORONAVIRIDAE

Coronavirus termasuk virus berselubung (enveloped virus) berukuran


80-130 nm, mengandung genom ss-RNA dengan nukleokapsid yang
mungkin helikal, dengan garis tengah 7-9 nm. Meskipun bentuknya
mirip orthomyxovirus, virion coronavirus mempunyai tojolan-tonjolan
pada permukaan virus sehingga menunjukkan gambaran seperti corona
sinar matahari. Nukleokapsid terbentuk didalam sitoplasma dan
pematangan terjadi dengan membentuk tunas (budding) ke dalam
vesikel sitoplasma. Coronavirus dapat diisolasi dari saluran pernapasan
atas penderita “common colds”, juga dari hewan misalnya virus
bronkitis yang menular pada unggas dan hewan-hewan lainnya.
Coronavirus adalah penyebab dari Middle East Repiratory Syndrome
(MERS).

Gambar 230. Coronavirus pada pemeriksaan mikroskop elektron


menunjukan adanya corona atau halo di sekeliling virion
(http://www.cdc.gov/coronavirus/images/nCoV-1)
429

12.RHABDOVIRIDAE

Virus-virus pada famili ini antara lain adalah virus rabies, virus Marburg dan
virus Ebola. Rhabdovirus mempunyai virion yang bentuknya mirip peluru, rata
pada satu sisi dan bulat pada sisi lainnya, dengan ukuran 70x175 nm.
Selubung virus ini mempunyai duri-duri berukuran 10 nm,. Genom virus
adalah ss-RNA Partikel virus terbentuk dengan cara membentuk tunas
(budding) dari membran sel.

Gambar 231. Lyssavirus, penyebab rabies


(http://www.stanford.edu/group/virus/rhabdo)

13.FILOVIRIDAE

Termasuk filovirus yang negative strand RNA adalah virus Marburg dan virus
Ebola. Virus Ebola dan Marburg yang ditemukan di Afrika ini dapat
menyebabkan demam berdarah yang tinggi angka kematiannya. Sumber
penular alami virus-virus zoonosis ini belum jelas, tetapi infeksi pada manusia
dapat berasal dari kera di laboratorium atau terjadi paparan dengan organ
dan darah manusia atau kera yang terinfeksi virus. .
430

Gambar 232. TEM (transmisiison electronmicrograph) virus Marburg


(Sumber: CDC, Erskine Palmer,
http://pathmicro.med.sc.edu/mhunt/marburg2.jpg)

Virus Ebola dapat menginfeksi manusia dan primata. Koagulasi penyebaran


intravaskuler (DIC: disseminated intravascular coagulation) menyebabkan
iskemia jaringan dan hilangnya faktor pembeku merupakan gambaran khas
infeksi filovirus.

Gambar 233. TEM (transmission electron micrograph) virus Ebola


(http://pathmicro.med.sc.edu/mhunt/ebola.jpg)
431

Morfologi. Virus Marburg mempunyai bermacam-macam bentuk (pleomorfik).


Virus berbentuk batang (panjang 750 mikron, diameter 80 nm) dengan pusat
inti (core) yang mengandung genom virus bergaris tengah 50 nm. Virus Ebola
juga bersifat pleomorfik, dengan panjang 900-1400 nm dan garis tengah 80
nm.

Gejala Klinik. Sesudah masa inkubasi selama 4-7 hari, penderita dengan
infeksi virus Marburg menunjukkan gejala demam, sakit kepala, mialgia,
muntah dan diare. Sesudah itu, pada fase dua penyakit, terjadi eksantema
dan perdarahan gastrointestinal, perdarahan dari hidung, fotofobi dan gejala-
gejals ensefalitis, meningitis, diikuti kerusakan ginjal dan hati serta koma.
Perdarahan yang berat dapat menyebabkan kematian penderita.

Diagnosis. Untuk menegakkan diagnosis infeksi virus Marburg dilakukan


pemeriksaan serologi dan isolasi virus dari kultur sel jaringan.

Pengobatan dan pencegahan. Belum ada pengobatan untuk memberantas


virusnya. Penularan infeksi dicegah dengan menghindari paparan dengan
bahan infektif penderita manusia maupun hewan, terutama kera yang menjadi
hewan coba. .

14.TOGAVIRIDAE

Dalam keluarga Togaviridae ini, terdapat Togavirus, meliputi Alphavirus


(Arbovirus grup A), Flavivirus (Arbovirus grup B), dan Rubivirus. Togavirus
mempunyai selubung mengandung lipid, sensitif terhadap eter,dengan genom
single-stranded (ss-) RNA Virion berukuran 40-70 nm, dan partikel virus
mengalami pematangan dengan membentuk tunas (budding) dari membran
sel plasma hospes

Termasuk Alphavirus adalah virus Chikungunya yang virionnya berbentuk


sferia atau poligonal dengan garis tengah 40-45 nm. Virus Chikungunya
adalah penyebab demam chikungunya atau break-bone fever ya ng tersebar
luas di Asia dan Afrika.
432

Pematangan virion pada Flavivirus terbentuk dalam sistem retikulum


endolasma. Termasuk Flavivirus adalah Japanese B encephalitis virus (JEV)
yang endemis di Cina, Jepang, Taiwán, Korea, Filipina, Thailand dan
Indonesia. Selain JEV, virus Dengue, penyebab demam dengue dan demam
berdarah dengue, yang tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, termasuk
golongan Flavivirus. Virion virus Dengue berukuran 40 nm.

Gambar 234. Mikrograf electron virus dengue


(http://www.flickr.com/photos/ajc)

Anggota lain dari Alphavirus adalah EEEV (Eastern equine encephalitis virus)
yang dapat menginfeksi bayi dan anak.

Rubivirus. Virus berselubung dengan genom ss-RNA ini dengan positive


sense, mempunyai virion dengan ukuran 50-70 nm, mempunyai selubung
membran lipid derivat dari membran sel hospes bentuknya pleomorfik atau
sferis.kapsid ikosahedral dengan garis tengah 40 nm terdapat di dalam
selubung lipid virion. Contoh Rubivirus adalah virus rubella yang
menyebabkan penyakit rubella (campak Jerman), penyakit virus akut tetapi
ringan yang endemis di berbagai negara.
433

Gambar 235. Bagan struktur virus Rubella


(pathmicro.med.sc.edu/mhunt/rub1.jpg)

Gambar 236. Transmission electron micrograph Rubivirus,penyebab


rubella (http://www.sciencephoto.com/media)

15.BUNYAVIRIDAE

Bunyavirus berbentuk sferis dengan partikel berukuran 90-100 nm yang


memperbanyak diri di dalam sitoplasma dan mendapatkan selubungnya
melalui proses pembentukan tunas (budding) membrane sel. Genom tiga
segmen , ss-RNA
434

Termasuk famili Bunyaviridae adalah California encephalitis virus, Rift valley


fever virus dan Crimea Congo hemorhhagic fever virus. virus-virus tersebut
ditularkan oleh serangga terutama nyamuk. Hantavirus adalah anggota
Bunyaviridae yang dapat menyebabkan demam berdarah dengan nefropati
dan pulmonary syndrome. Virus ini ditularkan oleh rodensia.

Gambar 237. Bunyaviridae (http://www.stanford.edu/group/virus)

16. ARENAVIRIDAE

Virus RNA berselubung membran lipid ini mempunyai genom yang single-
stranded negative-sense, dengan partikel berukuran garis tengah rata-rata
110-130 nm. Virionnya berbentuk bulat, lonjong atau pleomorfik, dengan
nukleokapsid simetris, helikal dan mempunyai filamen.
435

Gambar 238. Arenaviridae (http://www.cdc.gov/vhf/virus-


families/arenaviridae.html)

Semua virus anggota Arenavirus yang patogen untuk menusia adalah virus
zoonosis yang ditularkan dari hewan. Misalnya, virus Lassa fever yang
menyebabkan demam berdarah disertai gangguan fungsi hati dan ginjal pada
manusia ditularkan dari rodensia.

Gambar 239. Mikrograf elektron transmisi berwarna partikel virus Lassa


(Sumber: openl.nlm.nih.gov ).
436

17. RETROVIRIDAE

Pada keluarga retroviridae, termasuk Retrovirus adalah Cisternavirus A,


Oncovirus B, Oncovirus C, Oncovirus D, Lentivirus E dan HIV. Retrovirus
adalah virus berselubung yang genomnya mempunyai duplikat turunan dari
ss-RNA yang mempunyai berat molekul tinggi dengan polaritas yang sama
sebagai viral messenger RNA. Virion mengandung berbagai enzim termasuk
reverse transcriptase (RNA-DNA) Termasuk dalam retroviridae adalah virus-
virus leukemia dan sarcoma pada hewan, foamy virus dari primata, dan
virus”lambat” (misalnya virus visna dan virus maedi domba).

Gambar 240. Mikrograf elektronpartikel retrovirus berasal dari tunas sebuah


sel (www.cnprc.ucdavis.edu).
437

6.5. RABIES

Masa inkubasi virus rabies sekitar 1-2 bulan yang (antara beberapa hari
sampai beberapa tahun). Pada rabies masa inkubasi dapat pendek atau
panjang tergantung pada tempat masuknya organisme dan jauhnya dari
susunan saraf pusat, jumlah virus yang masuk, umur dan status imun
penderita.

Rabies ditularkan melalui gigitan hewan sakit rabies dan tidak dapat
menembus kulit yang sehat. Virus tidak dapat menular dari manusia ke
manusia karena hospes alami virus rabies adalah mamalia sebagai sumber
infeksi, misalnya anjing (merupakan sumber dan vektor penular utama),
jackal, coyote, raccoon,dan kelelawar (terutama di New World, benua
Amerika). Rabies adalah enzootik (endemik pada hewan) di seluruh dunia,
kecuali Antarctica.

Gambar 241. Virus rabies


(http://fcps.edu/islandcreekes/ecology/rabies-virus.htm)
438

Masa inkubasi

Masa inkubasi berkisar antara 9 dan 90 hari, tergantung tempat gigitan dan
beratnya infeksi. Makin jauh tempat gigitan dari otak, makin panjang masa
inkubasi.

Gejala klinik rabies

Terdapat tiga fase klinik rabies, yaitu :

1. Fase prodromal (2-10 hari), dengan gejala ringan yang tidak khas,
berupa malaise, menggigil, demam, sakit kepala, fotofobi, anoreksia,
mual, muntah, diare, sakit tenggorok, batuk dan nyeri otot dan tulang.
Di tempat gigitan penderita dapat merasa gatal, panas, tebal dan
parestesi.
2. Fase neurologik akut: terjadi disfungsi sistem saraf, berupa gelisah,
mudah tersinggung, disfagi, hipersalivasi, paralisis dan delirium.
Priapisme dan meningkatnya libido dapat terjadi. Penderita bisa
mengalami hiperaktif (”furious rabies”). Pada rabies paralitik terjadi
paralysis flaksid (lemah) yang biasanya terjadi di tempat gigitan.
Parestesi dan kelemahan akan berkembang menjadi paralisis,
paraplegia atau kuadriplegia. Hidrofobi merupakan tanda penting
pada rabies, yang berlangsung satu sampai lima menit yang dipicu
terjadinya karena minum atau adanya rangsangan sentuhan, suara,
visual dan bau.

3. Koma sebelum meninggal. Pada furious rabies, 2-7 hari sesudah


fase neurologik penderita mengalami koma atau meninggal tiba-tiba
akibat gagal pernapasan atau gagal jantung. Pada rabies paralitik,
perjalanan rabies lebih lambat, penderita dapat bertahan hidup
selama 30 hari tanpa perawatan intensif, kemudian diikuti koma
selama 3-7 hari, baru penderita meninggal dunia.

Diagnosis rabies.

Anjing yang diduga rabies harus dikarantina selama 14 hari sebelum


dinyatakan bebas rabies. Hewan-hewan mati yang
439

diduga akibat rabies, harus diperiksa di laboratorium untuk memeriksa


adanya Negri bodies di dalam sel saraf atau otaknya. Jika tidak ditemukan
Negri bodies di dalam sarafnya, suspensi otak (hippocampus) atau kelenjar
ludah submaksiler dinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling
animal), misalnya tikus, kelinci atau hamster. Rabies dinyatakan positif jika
hewan coba menunjukkan gejala rabies, misalnya konvulsi, atau ditemukan
Negri bodies di otaknya.

Tatalaksana rabies

Karena kematian akibat rabies sekitar 100%, maka pencegahan merupakan


tindakan yang paling baik dilakukan untuk menanggulangi rabies. Hewan
yang mati dan diduga menderita rabies harus diperiksa di laboratorium.
Pencegahan pasca paparan dilakukan dengan melakukan vaksinasi pasca
paparan, yaitu:

 Mencuci luka gigitan dengan sabun dan air


 Memberikan imunisasi pasif dengan globulin hiperimun

 Imunisasi aktif dengan vaksin HDCV (Human Diploid Cell


Rabies Vaccine) sebanyak 5 dosis pada hari ke-1, 3, 7, 14 dan
hari ke-28.dan 23 dosis suntikan DEV (Duck Embryo Vaccine).

Pencegahan rabies. Vaksinasi HDCV dan DEV dapat digunakan untuk


pencegahan rabies pada individu berisiko tinggi tertular rabies, misalnya
dokter hewan. Untuk mengendalikan virus di lingkungan, dilakukan surveilans
sistemik terhadap adanya rabies pada spesies-spesies yang ada di
lingkungan. Hewan-hewan yang diduga menderita rabies harus dikarantina.
Anjing dan kucing peliharaan harus divaksinasi secara teratur,sedangkan
hewan-hewan liar yang dapat menjadi sumber rabies harus dimusnahkan.
440

6.6. HEPATITIS VIRAL

Hepatitis akut viral dapat disebabkan oleh infeksi berbagai jenis virus, antara
lain adalah Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, Herpes Simplex virus, Yellow
Fever virus dan virus Rubella. Meskipun demikian istilah “virus hepatitis”
biasanya digunakan untuk menunjukkan keradangan pada hati yang
disebabkan oleh infeksi virus hepatitis yang jaringan primer tropismenya
adalah hati.. Terdapat lima virus hepatitis yang penting, yaitu tipe virus
hepatitis A,B,C,D dan E, yang dapat menyebar menjadi epidemi. Pada fase
akut gejala klinik hepatitis hampir sama, sehingga diagnosis hanya dapat
dibedakan melalui pemeriksaan laboratorium. Tipe B dan tipe C dapat
berkembang menjadi penyakit kronis pada ratusan juta orang dan keduanya
merupakan penyebab utama terjadinya sirosis hati dan kanker hati.

Gambar 242. Bagan struktur virus hepatitis A, suatu Picornavirus


(http://pathmicro.med.sc.edu/virol/hep-a6.gif)

Penularan virus hepatitis

Hepatitis A dan E menular melalui makanan atau air tercemar, sedangkan


hepatitis B, C dan D menular melalui paparan parenteral yang tercemar
cairan tubuh yang terinfeksi virus, misalnya melalui darah atau produk darah
yang tercemar atau melalui penggunaan peralatan yang tercemar selain itu
hepatitis B dapat ditularkan dari ibu ke bayi pada saat persalinan atau dari
anggota keluarga ke anak, dan juga melalui kontak seksual.
441

Infeksi hepatitis dapat terjadi tanpa gejala (asimtomatis) atau dengan gejala
ringan, atau menyebabkan gejala klinik yang umum terjadi misalnya mata dan
kulit menguning (jaundice), kencing berwarna gelap, anoreksia, nyeri pada
kuadran atas kanan, rasa lelah yang sangat, mual, muntah dan nyeri perut.
Enzim-enzim hati, AST dan ALT meningkat.

Virus hepatitis A (VHA)

Picornavirus dari famili Picornaviridae, genus Hepatovirus, yang mempunyai


genom +ssRNA (positive sense, single stranded RNA) ini, berukuran garis
tengah sekitar 27 nm, tidak berselubung,dengan partikel berbentuk sferis.

VHA mempunyai virion yang stabil pada pH 3.0, tahan terhadap eter, tahan
desinfektan, tahan terhadap sinar ultraviolet, tahan panas pada suhu 60 0C
selama 20 jam dan dapat disimpan pada suhu minus 20 0C selama 20 tahun.
VHA tidak tahan terhadap larutan formalin, glutaraldehid dan hipoklorit.

Figure 1B

Gambar 243. Mikrograf elektron VHA (Sumber CDC-Betty Partin).

Virus ini terdapat dalam tinja penderita terinfeksi dan dapat menular melalui
makanan dan minuman yang tercemar. Selain itu hubungan seksual juga
dapat menularkan VHA. Infeksi
442

pada umumnya ringan gejala kliniknya, dan sebagian besar akan sembuh
sempurna dan memperoleh kekebalan terhadap infeksi VHA berikutnya.
Meskipun demikian, infeksi VHA dapat berkembang menjadi penyakit yang
berat dan membahyakan jiwa penderita. Di bagian dunia yang penduduknya
buruk sanitasinya, banyak penduduk menderita hepatitis A. Pada waktu ini
vaksin untuk mencegah infeksi VHA sudah tersedia.

Virus Hepatitis B (VHB).

VHB termasuk Hepadnaviridae dari double-stranded (ds) DNA mempunyai


tiga bentuk morfologi VHB, yaitu bentuk sferis, bentuk filament (panjang
sampai 200 nm) dan partikel Dane (diameter sekitar 40 nm). Virus ini
ditularkan melalui paparan dengan darah terinfeksi, air mani (semen) dan
cairan tubuh lainnya. Selain itu VHB juga dapat ditularkan dari ibu ke bayi
pada waktu persalinan atau dari keluarga ke bayi pada awal masa anak kecil.
Penularan juga bisa terjadi melalui darah atau produk darah yang tercemar
VHB pada waktu transfusi, melalui suntikan obat atau pada pengguna
narkoba. Kecelakaan tertusuk jarum suntik pada perawat dan dokter yang
merawat penderita VHB juga bisa terjadi. Karena itu diperlukan vaksinasi
untuk mencegah penularan VHB.

Gambar 244. Virus Hepatitis B (Sumber: CDC)


443

Virus Hepatitis C (VHC)

Virus ini tergolong dalam Flavivirus yang positive-strand RNA ikosahedral,


dengan partikel berukuran 30-60 nm, mempunyai virion tak berselubung.
VHC sebagian besar juga ditularkan melalui darah yang tercemar (melalui
transfusi, suntikan, pada pengguna narkoba suntik). Selain VHC juga dapat
ditularkan melalui hubungan seksual. Belum ada vaksin untuk mencegah
VHC.

Gambar 245. Mikrograf elektron virus hepatitis C.

Virus Hepatitis D (VHD).

D pada nama virus ini adalah singkatan dari “delta” yang diberikan karena
”virus” ini tidak bersifat sebagai virus normal lainnya. Partikel VHD mirip
virus, dengan ukuran 35-37 nm, dengan antigen delta yang dibungkus
lapisan seperti HBs (hepatitis B surface) Ag. Virion berbentuk pleomorfis atau
sferis, dengan nukleokapsid yang bulat, polihedral simetri. Genom
merupakan molekul tunggal, ss-RNA negative-sense.

Penularan VHD terjadi secara parenteral atau selalui jalur seksual.. Infeksi
VHD hanya dapat terjadi pada orang yang telah terinfeksi VHB. Infeksi
bersama VHB dan VHD dapat
444

menyebabkan penyakit hepatitis akut atau kronis, sirosis hati atau hepatitis
yang berat yang bisa membahayakan jiwa penderita.Pemberian vaksin
terhadap VHB dapat memberikan perlindungan terhadap VHD.

Gambar 246. Virus hepatitis D (CDC Website:


http://www.stanford.edu/group/virus/delta/2005)

Virus Hepatitis E (VHE)

Penularan VHE sebagian besar terjadi melalui makanan atau minuman yang
tercemar. Epidemi hepatitis oleh VHE sering terjadi di negara-negara
berkembang dan meningkat penderitanya di negara-negara maju. Vaksin
terhadap VHE sedang dikembangkan tetapi belum luas digunakan.

Gejala Klinis Hepatitis

Sebagian besar orang yang terinfeksi virus hepatitis tidak menunjukkan gejala
(asimtomatis) atau menunjukkan gejala klinis ringan mirip flu, misalnya
malaise, lelah, anoreksia, mialgia, demam, urine berwarna gelap, tinja seperti
tanah liat, ruam kulit, nyeri perut, pruritus, dan jaundis. Sebelum terlihat
jaundis penderita dapat mengalami mual, muntah, sakit kepala, fotofobi, batuk
dan koriza.
445

Diagnosis Hepatitis

Riwayat klinik yang dialami penderita (adanya paparan dengan penderita


hepatitis, atau paparan melalui tranfusi dan penggunaan jarum suntik yang
terinfeksi) yang dibantu dengan pemeriksaan laboratorium atas darah
penderita (enzim hati, dan tipe antigen-antibodi) dan pemeriksaan protein
virus atau bahan genetik menetapkan diagnosis hepatitis viral.

Hati penderita membesar dan melunak dan splenomegali dapat terjadi, dan
biopsi hati dan adanya proteinuria dan bilirubinuria akan membantu
memastikan diagnosis. Kadar enzim hati, alkaline phosphatase dan gamma
globulin meningkat.

Pengobatan Hepatitis

Pada hepatitis akut, penderita diberi pengobatan suportif dengan istirahat


ditempat tidur, diet yang adekwat dan pemberian cairan, dan jika perlu
diberikan obat anti muntah. Pada fase perbaikan, gejala klinik sudah tidak
tampak, tetapi masih ada pembesaran hati dan fungsinya masih belum
normal. Tergantung pada jenis hepatitis dan kondisi penderita, diperlukan
waktu 1 sampai 4 bulan untuk penyembuhan penderita. Perlindungan jangka
pendek terhadap VHA dapat diberikan dengan imunoglobulin (IgG) yang
diberikan dalam waktu 2 minggu sesudah paparan. Pada hepatitis kronis
dengan infeksi VHB dan VHC dapat diberikan interferon, sedangkan adefovir
dipivoxil dan lamivudine dapat digunakan untuk mengobati infeksi VHB. Pada
infeksi VHC diberikan ribavirin bersama interferon.

Prognosis

Tergantung pada jenis hepatitis dan luasnya kerusakan hati yang terjadi
prognonis hepatitis ditetapkan. Prognosis penyakit buruk jika terjadi sirosis
hati, kanker hati, dan hepatitis akut yang berat (fulminant hepatitis).
446

Pencegahan hepatitis

Jika terjadi paparan dengan VHA, pemberian IgG dapat berguna untuk
pencegahan. Penderita kecanduan narkoba dan pengguna alat suntik
tercemar bersama sebaiknya diberikan pengobatan dan rehabilitasi.
Vaksinasi VHA dan VHB sangat dianjurkan untuk diberikan pada setiap
orang. Belum ada vaksin untuk mencegah VHC,VHD atau VHE.

6.7. PENYAKIT VIRAL PADA ANAK

Sindrom klinik pada anak sering terjadi akibat infeksi virus. Di dalam darah,
virus dapat beredar dengan bebas jika anak mendapatkan vaksinasi atau
belum tersedianya vaksin untuk virus tersebut. Infeksi virus yang terjadi pada
masa anak-anak biasanya diikuti oleh terjadinya imunitas yang berlangsung
lama.

(a). RUBELLA

Infeksi virus rubella umumnya terjadi pada masa anak-anak, meskipun


sekitar 5% perempuan di masa subur peka terhadap infeksi virus ini. Virus
yang hidup di saluran pernapasan menyebar melalui titik cairan (droplet)
pernapasan.

Virus rubella merupakan satu-satunya anggota genus Rubivirus dari famili


Togaviridae. dengan genom (+)ssRNA (positive senseRNA). Partikel virus
(virion) berbentuk sferis dengan garis tengah antara 50-70 nm yang
terbungkus oleh selubung membran lipid (viral envelope), yang merupakan
derivat dari membran sel hospes Di dalam selubung lipid terdapat kapsid
ikosahedral yang bergaris tengah 40 nm,
447

Gambar 247. Transmission electron micrograph (TEM) menunjukkan adanya


virion virus Rubella (CDC: http://php.med.unsw.edu.au)

Gambaran klinis Rubella


Masa inkubasi berlangsung antara 14-18 hari, diikuti demam ringan dengan
ruam kulit makulopapuler. Ciri sangat khas penyakit ini adalah terjadinya
pembesaran (limfadenopati) kelenjar limfe aurikuler posterior.
Perempuan dewasa dapat mengalami artritis atau atralgia selama menderita
infeksi virus ini. Imunitas yang terjadi sesudah infeksi akan berlangsung
lama. Perempuan hamil yang terinfeksi virus rubella pada trimester pertama
kehamilannya dapat menularkan infeksinya pada janin yang dikandungnya.
Virus yang berkembang biak di dalam sel-sel janin dapat merusak organ yang
sedang tumbuh dengan cepat.
Berdasar pada waktu terjadinya penularan rubella pada janin (umur janin),
kelainan yang terjadi dapat bermacam-macam bentuknya

 Infeksi janin berumur kurang dari 12 minggu. Lebih dari 80%


penderita akan meninggal, terjadi abortus spontan atau bayi lahir cacat
berat, misalnya pada
448

mata (katarak), kelainan pada jantung, kelainan otak (mikrosefali,


mental retardation) dan kerusakan telinga yang menyebabkan tuli.

 Infeksi janin berumur 12-16 minggu. Penderita menderita tuli,


sehingga mengalami gangguan belajar.
 Infeksi pada janin berumur lebih dari 16 minggu. Tidak terjadi
kelainan pada janin.

Diagnosis laboratorium rubella


Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai dengan tujuan pemeriksaan.
Pada rubella akut dilakukan pemeriksaan IgM rubella. Pada rubella
kongenital dilakukan pemriksaan IgM rubella, PCR rubella (berasal dari
sampel urine). Untuk menentukan adanya imunitas terhadap rubella,
dilakukan pemeriksaan IgG rubella.

Vaksinasi rubella
Vaksinasi dengan menggunakan attenuated vaccine rubella dimulai pada
tahun 1960. Penggunaan vaksin MMR (measles mumps rubella) dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat rubella. MMR biasanya
diberikan pada anak berumur sekitar 15 bulan sampai 2 tahun.

(b). MORBILI

Campak atau rubeola, nama lain dari morbilli atau measles merupakan
penyakit infeksi yang paling menular. Penyakit ini secara global adalah
penyebab utama kematian anak berumur dibawah lima tahun. Penyakit ini
ditularkan melalui udara dan cairan pernapasan yang dibatukkan atau
dibersinkan.

Virus penyebabnya (Morbillivirus) termasuk keluarga Paramyxoviridae,


merupakan virus berselubung, single stranded (ssRNA), negative sense.
Hanya ada satu serotipe virus ini. Manusia adalah hospes alami virus ini dan
tidak ada hewan yang menjadi reservoir morbillivirus.
449

Gambar 248. Electron micrograph morbillivirus


(http://www.gettyimages/morbillivirus)

Gambaran klinis morbili

Masa inkubasi yang berlangsung antara 7-14 hari diikuti demam,


konjungtvitis, batuk, dan coryza yang berlangsung selama 3-5 hari. Sesudah
itu terjadi erupsi ruam makulopapuler di daerah wajah yang menyebar ke
bagian tubuh lainnya. Pada dua hari di awal ruam kulit, penderita mengalami
sakit berat. Virus menyebabkan kerusakan luas pada epitel saluran respirasi
dan pencernaan dan menyebabkan penurunan imunitas sementara. Hal ini
menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi sekunder bakterial dan
mengalami komplikasi viral berupa otitis media, pneumonia dan penyakit
diare. Virus juga menyebar ke otak selama fase akut infeksi, memyebabkan
terjadinya komplikasi neurologik, berupa ensefalitis akut, subakut atau
ensefalitis pasca morbilli. Virus morbilli tidak bersifat teratogenik, tetapi
kematian intrauterin janin dapat terjadi pada perempuan hamil yang terinfeksi
morbilli.

Diagnosis laboratorium

Pada infeksi akut morbili dilakukan pemeriksaan IgM measles, kultur bahan
klinis atau PCR sampel urin atau sekresi pernapasan.
450

Untuk memantau terjadinya imunitas terhadap morbili dilakukan pemeriksaan


IgG measles.

Pencegahan campak

Pada vaksinasi campak diberikan vaksin berupa virus hidup yang dilemahkan,
yang diberikan pada semua bayi. Vaksin diberikan dalam dua dosis pada bayi
yang berumur 9 dan 18 bulan. Vaksin tidak boleh diberikan lebih awal karena
antibodi dari ibu masih dapat menghambat replikasi vaksin sehingga respon
imun tidak terbentuk.

Individu yang tidak mempunyai imunitas yang terpapar penderita campak,


sangat mudah terinfeksi virus ini. Karena itu vaksin campak harus diberikan
pada semua individu yang tidak mempunyai imunitas yang pernah
berhubungan dengan penderita campak.

Vaksinasi tidak boleh diberikan (kontraindikasi) pada:

 Bayi berukur kurang dari 1 tahun


 Perempuan hamil

 Penderita dengan gangguan imunitas (immuno-compromised) berat.

Pada individu dengan kontraindikasi pemberian vaksin campak, dapat


diberikan imunoglobulin manusia normal.

(c). MUMPS (Parotitis Epidemic)

Penyebab mumps spesies tipe mumpsvirus dari genus rubulavirus yang


termasuk genus Parainfluenza dari famili Paramyxovirus. Virus yang
berselubung ini adalah virus ss RNA yang negative sense atau (-)ss RNA .
Virion mumpsvirus mempunyai ukuran garis tengah antara 150-300 nm,
dengan RNA yang mempunyai berat molekul 7x10 6 Dalton. Virus mumps
dapat dibiakkan pada sel ginjal kera dan sel embrio manusia. Virus mumps
hanya mempunyai satu tipe antigenik.

Insidens tertinggi penyakit ini terutama diderita anak berumur 5-9 tahun,
meskipun gejala klinis simtomatis terutama
451

ditunjukkan oleh penderita berumur antara 10 dan 14 tahun serta penderita


berumur di atas 60 tahun.

Gambar 249. Pewarnaan negatif TEM mumps virus


(http://www.ppdictionary.com/viruses/mumps.htm)

Patogenesis mumps
Penularan mumps terjadi melalui titik cairan (droplet ) pernapasan. Replikasi
virus mula-mula terjadi di dalam epitel mukosa saluran napas dan di mata.
Dari sini virus menyebar ke jaringan limfoid lokal. Sesudah itu terjadi viremia
primer dan virus menyebar ke organ-organ lainnya, terutama ke kelenjar
parotis dan juga ke pankreas, testis, ovarium, dan sistem saraf pusat. Viremia
sekunder yang terjadi menyebarkan virus lebih lanjut. Virus diekskresi juga di
urin dan air susu ibu. Meskipun demikian penularan utama terjadi melalui
droplet sistem respirasi. Pada patogenesis mumps, interferon merangsang
452

terbentuknya IgG, IgM dan IgA, sebagai bagian dari respon cell-mediated.
Anak-anak dengan defisiensi imun tidak mengalami risiko lebih besar jika
terinfeksi virus mumps.

Gejala Klinik mumps


Gambaran klasik mumps berupa parotitis, terjadi pada 95% dari penderita
yang menunjukkan gejala (simtomatik). Masa inkubasi yang berlangsung
selama 16-18 hari berupa infeksi subklinis sekitar 30%. Pada stadium
prodromal, penderita mengalami malaise, sakit kepala, demam, dan nyeri otot
(mialgia). Pembengkakan kelenjar parotis terjadi pada satu kelenjar (75%)
diikuti pembesaran kelenjar parotis lainnya 1-5 hari berikutnya. Kadang-
kadang kelenjar lainnya juga membengkak yang menyebabkan obstruksi
limfatik sehingga terjadi pembengkakan sublingual dan pembengkakan laring
yang menimbulkan gangguan lainnya. Pembengkakan kelenjar parotis
berlangsung sekitar 7-8 hari.
Mumps adalah penyebab umum dari meningitis aseptik yang berlangsung
mulai 1-2 minggu sebelum terjadi parotitis, sampai 3 minggu sesudahnya.
Gejala klinis menghilang 3-10 hari kemudian, dan penyembuhan terjadi
secara sempurna. Satu dari 6000 penderita mumps menunjukkan gejala
ensefalitis, misalnya konvulsi, gerakan-gerakan yang abnormal, adanya
gangguan persepsi sensoris, dan terjadinya tanda-tanda neurologik fokal.

Komplikasi mumps
Komplikasi umumnya terjadi sesudah masa puber, berupa orchitis, oophoritis,
dan meningoensefalitis yang lebih banyak terjadi pada penderita laki-laki
dibanding perempuan. Komplikasi berupa gangguan pendengaran jarang
terjadi, sekitar satu dari 15.000 penderita mumps mengalami hilangnya
pendengaran secara permanen (tuli).

Sekitar 25% penderita mumps mengalami komplikasi berupa orchitis, yang


20-40% diantaranya adalah bilateral. Testis
453

penderita membengkak, terasa lunak disertai nyeri akut. Mual dan muntah
dapat juga terjadi.

Komplikasi lanjut pada penderita laki-laki berupa infertilitas sekunder akibat


terjadinya atrofi testis bilateral. Radang ovarium (oophoritis) pada penderita
perempuan lebih jarang terjadi dan tidak menyebabkan infertilitas.

Komplikasi juga bisa terjadi pada kelenjar-kelenjar lain, misalnya pankreas,


prostat, kelenjar air mata, dan kelenjar ludah. Selain itu bisa terjadi artritis,
miokarditis, disfungsi renal, nefritis, trombositopeni, dan abortus yang bukan
akibat abnormalitas kongenital.

Diagnosis laboratorium
Untuk menentukan diagnosis parotitis epidemika dilakukan pemeriksaan
serologi (memeriksa IgM dan IgG), mengisolasi virus dengan melakukan
kultur bahan klinis (saliva dan urine) atau melakukan pemeriksaan molekuler
(PCR) atas cairan serebrospinal. Pemeriksaan PCR dilakukan untuk
menentukan dengan cepat adanya meningitis.

Pencegahan
Vaksinasi untuk mencegah mumps dilakukan dengan menggunakan vaksin
virus hidup yang dilemahkan dan diberikan dalam bentuk vaksin MMR
(terhadap measles, mumps, dan rubella).

(d). ERYTHEMA INFECTIOSUM

Penyebab penyakit ini adalah Erythrovirus yang merupakan Parvovirus B-19


dari famili Parvoviridae subgroup B. Keluarga virus ini mempunyai virion
dengan garis tengah berukuran 18-25 nm. Virus yang tidak berselubung (non-
enveloped) ini mempunyai genom virus single-stranded DNA (ssDNA )
dengan kapsid ikosahedral simetri kubikal yang mempunyai 32 kapsomer.
454

Gambar 250. Parvovirus B-19, pengamatan immunoelectron microscopy


(http://www..nc.cdc.gov/eid/article)

Patogenesis erythema infectiosum


Erythema infectiosum menyebabkan terjadinya hambatan pada produksi
eritrosit yang terjadi di dalam sumsum tulang. Parvovirus B19 dapat
menembus plasenta sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada
janin. Infeksi dari ibu hamil ke janin terjadi selama trimester kedua dan awal
trimester ketiga masa kehamilan.
Infeksi penyakit ini sebagian besar terjadi pada masa anak-anak. Pada 50-
80% orang dewasa, pemeriksaan darah menunjukkan IgG positif karena
terjadinya paparan di masa lalu.
Virus memperbanyak diri di dalam precursor sel darah merah janin yang
sedang tumbuh, sehingga menimbulkan anemia berat dan gagal jantung
(hydrops foetalis) yang berakibat terjadinya kematian intrauterine. Untuk
menyelamatkan bayi harus dilakukan transfusi intrauterine.
455

Gambaran klinik
Infeksi akut menunjukkan penyakit bifasik dengan demam yang diikuti ruam
kulit makulopapuler dan artritis/artralgia. Ruam kulit terutama terjadi di pipi
pada anak kecil. Penderita yang sembuh dari penyakitnya akan mendapatkan
kekebalan (imunitas).

Komplikasi erythema infectiosum

Komplikasi pada infeksi virus ini terjadi karena tropisme sel virus. Parvovirus
B19 yang memperbanyak diri di dalam prekursor sel darah merah dan
mengganggu sintesis sel darah merah selama terjadi infeksi akut. Jika
replikasi virus di dalam sel darah merah terus berlangsung, hal ini dapat
mengakibatkan anemia berat (hemoglobin dapat sangat rendah, kurang dari
3g/dl) yang dapat membahayakan jiwa penderita. Pada orang normal, infeksi
B19 tidak menyebabkan gangguan kesehatan. Pada individu dengan umur
sel darah merah yang pendek (misalnya pada penderita dengan kelainan
kongenital sel darah merah) dapat terjadi krisis aplastik. Penderita dengan
defisiensi sel B, keganasan hematologik dan penderita dengan AIDS, tidak
mampu menghambat infeksi B19 sehingga berkembang menjadi infeksi
kronis.

Diagnosis infeksi B19


Infeksi akut ditentukan dengan memeriksa dan mendeteksi adanya IgM
Parvovirus, sedangkan imunitas terhadap infeksi virus ini ditentukan dengan
memeriksa IgG.
Pada infeksi kronis (penderita immuno-compromised) adanya virus dipastikan
melalui pemeriksaan PCR pada darah. Pada penderita dengan infeksi kronis,
tidak ditemukan antibodi.
456

Pengobatan
Infeksi virus B19 yang menunjukkan gejala klinis diobati dengan immunoglobulin
manusia (yang mengandung antibodi anti-B19) dalam dosis besar secara intravenus.
Infeksi parvovirus pada penderita AIDS harus juga diberikan terapi ARV
(antiretrovirus).

(e). ROSEOLA INFANTUM

Penyebab Roseola Infantum adalah Humam Herpes Virus (HHV), dengan


sebagian besar infeksi terjadi pada umur satu tahun. Pada karier dan orang
sehat , virus ditemukan di dalam air liur dan cairan tubuh, sehingga penularan
diantara anggota keluarga dan dari ibu ke anak mudah terjadi. Hampir semua
orang dewasa pernah terpapar virus ini (positif dengan antibodi IgG anti-
HHV6).Penyebab penyakit ini adalah herpes virus 6 manusia yang termasuk
keluarga Herpesvirus, virus ds DNA berselubung yang berukuran besar.
Terdapat dua varian Human Herpes Virus (HHV)-6, yaitu HHV-6A dan HHV-
6B.

Gambar 251. Human herpes


virus (http://www.emergingworlds.com/ch_viruses_detail).
457

Gambaran klinik
Infeksi primer dengan virus ini pada bayi umumnya tidak menunjukkan gejala
(asimtomatik). Meskipun demikian sekitar 20% bayi yang terinfeksi
herpesvirus 6 menunjukkan gejala demam tinggi diikuti erupsi umum ruam
makulopapuler sesudah demam menghilang. Sesudah terjadi infeksi primer
virus menetap seumur hidup dalam bentuk infeksi laten.

(f). ENTEROVIRUS

Enterovirus memperbanyak diri di dalam usus dan tersembunyi di dalam tinja


penderita, sehingga penularan virus terjadi melalui jalur fecal-oral. Infeksi
terjadi musiman selama bulan-bulan musim panas (summer). Epidemi pada
keluarga dan masyarakat sering terjadi, akibat mudahnya terjadi penularan.
Enterovirus termasuk famili Picornaviridae, keluarga virus ssRNA positive-
sense berukuran kecil yang tidak berselubung (un-enveloped). Dalam famili
ini terdapat lebih dari virus yang berbeda sifat antigeniknya. Terdapat 4
kelompok Enterovirus, yaitu poliovirus 1-3, Coxsakie A, Coxsakie B dan
Echovirus.

Gambar 252. elektron mikrograf transmisi Enterovirus. Bar=50 nm.


(http://openl.nlm.nih.gov)
458

Enterovirus ditularkan melalui jalur faecal-oral dan menyebabkan sindrom


klinik, terutama pada anak-anak. Infeksi tanpa gejala (asimtomatik) sering
terjadi, tetapi infeksi dapat menimbulkan gejala klinik sesuai dengan kondisi
klinik penderita. Sindrom klinik infeksi enterovirus meliputi: demam, diikuti
ruam kulit, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), konjungtivitis, meningitis
aseptik, miositis epidemik, penyakit mulut dan kuku dan paralisis akut flaccid
(virus polio). Infeksi ulangan dengan enterovirus lain dapat terjadi karena
masing-masing virus antigenitiknya berbeda. Selain itu tidak ada vaksin untuk
virus polio.

Sindrom Klinik Enterovirus


1. Meningitis aseptic. Gejala infeksi ini menunjukkan sindrom gejala
neurologik viral.
2. Penyakit tangan, kaki dan mulut. Sakit demam akut dengan ruam kulit
yang melepuh pada tangan, kaki dan sekitar mulut. Epidemi sering terjadi
pada pusat-pusat perawatan.
3. Demam dengan ruam kulit. Berbagai tipe enterovirus dapat
menyebabkan sakit demam disertai ruam makulopapuler mirip rubella, dan
sering terjadi pada anak-anak.
4. Miokarditis. Enterovirus adalah penyebab utama miokarditis viral yang
gejalanya sering didahului infeksi saluran pernapasan atas dengan
demam.
5. Miositis epidemic. Disebut juga sebagai Bornholm disease, infeksi
enterovirus ini menyebabkan gangguan pada otot-otot abdominal atau
interkostal. Penyakit menunjukkan gejala demam dan nyeri dada atau
perut yang berlangsung sekitar satu minggu. Infeksi di dalam keluarga
sering terjadi. Nyeri yang berat pada kelompok otot ini dapat mirip
gejalanya dengan infark jantung.
6. Sepsis neonatal. Infeksi enteroviral yang menyebar, berupa meningo-
ensefalitis, miokarditis, hepatitis, dan pneumonia dapat terjadi pada bayi
yang terpapar dengan
459

7. tipe enterovirus yang berasal dari ibunya yang tidak mempunyai


kekebalan terhadap tipe tersebut. Dengan demikian bayi tidak mempunyai
kekebalan pasif (antibodi maternal) sehingga menderita penyakit yang
berat.
8. Konjungtivitis.
9. Paralisis akut flaksid. Menunjukkan sindrom gejala-gejala sistem saraf
pusat atau poliomyelitis.
Diagnosis laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi virus penyebab infeksi
dan pemeriksaan serologi untuk menunjukkan adanya infeksi akut.
 Deteksi virus. Adanya virus dapat ditemukan di dalam tinja, usap
tenggorok untuk pembiakan atau pemeriksaan PCR
 Pemeriksaan serologi Esai antibodi dilakukan untuk menentukan
infeksi enteroviral tertentu. Tidak ada esai untuk IgM Sampel darah
akut dan konvalesen diperiksa untuk memastikan terjadinya infeksi
akut. Meningkatnya titer antibodi IgG pada fase akut dan konvalesen
menunjukkan terjadinya infeksi virus.

(g). HERPESVIRUS

Famili virusherpes sangat besar anggotanya dan dapat menginfeksi banyak


spesies vertebrata.

Herpesvirus manusia
Terdapat 8 virusherpes yang dapat menginfeksi manusia, yaitu:
 Herpes simplex virus 1 dan 2 (HSV1 dan HSV2)
 Varicella-Zoster virus
 Cytomegalovirus
460

 Epstein-Barr virus
 Human herpesvirus 6, 7 dan 8.

Semua virusherpes mempunyai morfologi yang identik. Genom virus adalah


double stranded (ds) DNA yang besar, dengan virion yang terdiri dari
nukleokapsid ikosahedral yang dikelilingi selubung (envelope) lipid dua lapis.
Antara kapsid dan selubung terdapat lapisan amorf protein yang disebut
tegument. Herpesvirus mempunyai sifat khas yaitu sesudah terjadi infeksi
primer virus akan tetap berada sebagai infeksi laten di dalam sel hospes dan
sering dapat menjadi reaktif kembali pada setiap stadium.

Gambar 253. Herpesvirus pada sel rongga hidung dengan pewarnaan


hematoxylin-eosin (http://lib.jiangnan.edu.cn/asm)
461

Tabel 30. Gejala Klinik spesies virus keluarga Herpesviridae

Tipe virus Famili Penularan Penyakit


 infeksi HSV-1 primer
Herpes simplex Herpesviridae  kontak (gingivostomatitis,ker
virus (HSV) tipe 1 langsung ato-konjungtivitis)

 infeksi laten HSV-1


(herpes labialis)
HSV tipe2 Herpesviridae  kontak  infeksi primer HSV-2
seksual  infeksi laten HSV-2
 transmisi
vertikal  meningitis aseptik
 Kontak
langsung  Chickenpox
Varicella-zoster
Herpesviridae
virus (VZV)
 Kontak  Herpes zoster
droplet
Cytomegalovirus Herpesviridae  cairan tubuh  mononucleosis
 transmisi infeksiosa
vertikal
 penyakit inklusi
Cytomegalik
HPV tipe 8 Herpesviridae  cairan tubuh  Sarkoma Kaposi
 Penyakit Castleman
multisentrik

 Limfoma efusi primer


 Mononucleosis
infeksiosa
 Limfoma Burkitt
Epstein-Barr virus Herpesviridae  Air liur  Limfoma Hodgkin

 Karsinoma
nasofaring

1.Herpes Simplex virus 1 dan 2


Herpes simplex 1 dan 2 (HSV1 dan HSV2) menyebabkan vesikel pada kulit
yang nyeri pada tempat terjadinya inokulasi.
HSV 1 biasanya menyebabkan lesi di daerah oro-facial;
HSV 2 menyebabkan lesi di daerah genital.

Epidemiologi HSV Infeksi HSV1 terjadi di semua daerah di seluruh dunia,


yang diderita oleh hampir semua orang dewasa yang mempunyai antibodi
yang spesifik terhadap HSV1 di dalam serumnya. Banyak infeksi HSV1
bersifat subklinik. Sebagian besar individu mendapatkan infeksi HSV1 pada
tahun-tahun pertama hidupnya.

HSV2 terjadi pada masa remaja dan orang dewasa, terutama menular melalui
hubungan seksual. Prevalensi HSV2 pada
462

orang dewasa lebih rendah dari prevalensinya dengan HSV1. Hanya sekitar
40% orang dewasa menunjukkan adanya antibodi terhadap HSV2. HSV2
yang berasal dari daerah kulit dan membran mukosa yang terinfeksi menular
dari lesi melalui kontak langsung, misalnya melalui ciuman (HSV1) atau
melalui hubungan seksual (HSV2).

Baik HSV1 maupun HSV2 sering mengalami reaktifasi meskipun lesi yang
terjadi tidak menunjukkan adanya perubahan maupun kelainan klinis.

Gambaran klinik. Terdapat dua pola gambaran kilinik infeksi HSV, yaitu
infeksi primer dan infeksi sekunder

 Infeksi Primer. Sebagian besar infeksi primer bersifat asimtomatik.


Pada sebagian kecil infeksi, jika terjadi gejala klinik, gambaran yang
khas berupa ruam kulit yang melepuh terasa nyeri yang terbentuk 1-3
hari sesudah terjadinya paparan. Biasanya vesikel berada di tempat
terjadinya inokulasi. Jika terjadi penyebaran ke bagian kulit lainnya hal
ini bisa terjadi melalui auto-inokulasi. Semua gejala pada infeksi primer
terlihat di tempat terjadinya inokulasi.
 Gingivo-stomatitis. Bentuk klinik gingivo-stomatitis merupakan bentuk
umum infeksi primer yang inokulasinya melalui ciuman. Beratnya
gejala sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Vesikel
yang nyeri terjadi di dalam mulut pada mukosa pipi dan gusi, pada bibir
dan kulit sekitar mulut. Vesikel di dalam mulut akan berubah menjadi
ulkus yang tertutup dengan kerak berwarna kelabu. Lesi juga bisa
terjadi di tempat lain, misalnya di daerah kepala dan leher. Erupsi
primer sering kali disertai demam dan limfadenopati leher. Penyakit
akan sembuh dengan sendirinya dan lesi akan sembuh dalam waktu
14 hari.

 Eczema Herpeticum: infeksi kulit berat (super infection) yang


eksimatus disertai dengan HSV.

 Herpetic Whitlow: inokulasi HSV ke dalam jari yang sering terjadi


pada dokter, perawat atau dokter gigi.
463

 Konjungtivitis, Keratitis. Lesi herpes terjadi pada kornea disebut


dendritic ulcer karena bentuk ulkusnya bercabang-cabang. Penderita
sering mengalami nyeri dan fotofobi. Konjungtvitis dan edema pada
kelopak mata umumnya terjadi pada infeksi primer. Lesi biasanya akan
sembuh dalam waktu 3 minggu.

 Herpes Genital. Herpes genital sebagian besar disebabkan oleh HSV2


dan hanya 20-30% disebabkan oleh HSV1. Penularan terjadi melalui
hubungan seksual, dan vesikel terjadi di daerah genital dan atau
daerah peri-anal. Pada perempuan, infeksi dapat mencapai daerah
cervix. Erupsi primer berlangsung sekitar 14-21 hari dan dapat
berkaitan dengan adanya meningitis aseptik.

Infeksi Laten. Sesudah terjadi infeksi primer virus memasuki ujung saraf
sensoris di tempat inokulasi, menuju axon dan menyebabkan terjadinya
infeksi laten pada ganglion yang melayani daerah kulit tersebut. Di daerah
genital infeksi laten pada ganglia sacral, sedangkan di daerah oro-facial,
ganglion trigeminal. Genom virus akan menetap seumur hidup (life long)
dalam bentuk episomal (plasmid ) di dalam inti neuron.

Reaktifasi virus. Secara periodik virus yang berada dalam keadaan laten
dapat menjadi reaktif, dimana virus melakukan replikasi di dalam neuron dan
partikel virus yang baru terbentuk akan bergerak turun ke axon untuk
kemudian menginfeksi ulang kulit atau membran mukosa yang berada di
daerah layanan saraf tersebut.

Reaktifasi dapat dipicu oleh sejumlah rangsangan, antara lain sinar matahari,
stres, penyakit-penyakit demam, menstruasi atau keadaan imunosupresi.
Reaktifasi sering terjadi, tetapi seringkali tidak disertai gejala klinis.

Manifestasi klinis reaktifasi virus dapat berupa: cold sores (sesudah gingivo-
stomatitis), herpes genital, aseptik meningitis (HSV2), dan keratitis.

Komplikasi HSV. Infeksi HSV dapat menyebabkan komplikasi berat baik


pada orang dewasa maupun pada anak.
464

1. Acute necrotizing encephalitis. Gejala klinik meliputi demam


mendadak, sakit kepala dan perubahan kepribadian. Angka kematian
tinggi dengan gangguan saraf yang bervariasi. Ensefalitis dapat terjadi
pada infeksi primer atau sesudah terjadi reaktifasi virus laten.
2. Infeksi neonatal. Kejadian ini sangat jarang, tetapi membahayakan.
Bayi mempunyai sell mediated immunity yang buruk sehingga dapat
menyebabkan penyebaran infeksi. Paparan infeksi HSV terjadi pada
saat persalinan, dari ibu penderita herpes genital, atau post-natal dari
perawat bayi yang mempunyai lesi herpes. Terdapat tiga bentuk
penyakit, yaitu infeksi kulit, ensefalitis atau infeksi umum (menyebar
pada berbagai organ: hepatosplenomegali, trombositopeni,
pneumonia, ensefalitis).

3. Infeksi HSV menyebar pada orang dewasa. Keadaan ini terjadi


pada penderita dengan sakit berat hepatitis, pneumonitis, gagal multi-
organ atau ensefalitis.

Diagnosis laboratorium. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan


pemeriksaan laboratorium, yaitu

 Pemeriksaan langsung. Menggunakan mikroskop elektron untuk


memeriksa partikel virus yang ada di dalam cairan versikel.
 Imunofluoresensi Memeriksa antigen pada cairan vesikel.

 Kultur sel. Lesi kulit diinokulasikan pada sel monolayer untuk melihat
cytopathic effect.

 Serologi. Memeriksa adanya IgG dan IgM dalam darah

 Pemeriksaan PCR mendeteksi genom virus dari material klinik .


Pemeriksaan PCR pada cairan serebrospinal merupakan pilihan untuk
mendiagnosis ensefalitis HSV.
465

Pengobatan HSV. Obat pilihan adalah acyclovir yang menghambat replikasi


virus HSV dan VZV (Varicella zoster virus) , tetapi tidak efektif terhadap virus
laten. Toksisitasnya

sangat rendah dan dapat digunakan secara oral, topical dan intravenus.

2. Varicella Zoster virus (VZV)

Terdapat dua bentuk klinik yang ditimbulkan oleh VZV, yaitu Varicella
(chickenpox) dan Zoster (shingles).

(a). Varicella (chickenpox)

Penularan terjadi melalui droplet pernapasan atau melalui paparan langsung


dengan lesi kulit. Infeksi ini umumnya terjadi pada anak dalam bentuk
penyakit demam ringan yang terjadi bersamaan dengan ruam vesikular umum
(generalized vesicular rash). Masa inkubasi panjang, sekitar 21 hari.

Sesudah masa prodromal tertentu, vesikel-vesikel akan berkembang dalam


waktu yang bersamaan menjadi makula papula, vesikel dan pustula yang
meninggalkan kerak (scab). Pada anak-anak penyakit berlangsung ringan
dan jarang menyebabkan komplikasi. Jika infeksi baru terjadi pada masa
dewasa, penyakit berlangsung lebih berat dan bisa terjadi komplikasi
misalnya sering berupa pneumonia. Infeksi primer akan menimbulkan
kekebalan (imunitas) yang berlangsung lama.

Komplikasi.Varicella Komplikasi yang bisa terjadi akibat varicella, antara


lain adalah:

 Ensefalomielitis pasca infeksi: komplikasi ini akan sembuh dengan


sendirinya, dan baik prognosisnya.
 Pneumonia. Komplikasi ini sering terjadi pada orang dewasa yang
menderita varicella.
466

 Perdarahan (haemorrhagic varicella). Infeksi yang berat ini terjadi


pada penderita dengan gangguan imunitas (immunocompromised) dan
menyebabkan angka kematian yang tinggi.

Sindrom varicella kongenital. Janin yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi
varicella pada 20 minggu pertama kehamilan dapat menyebabkan sindrom
infeksi kongenital berupa:

hipoplasi tangan atau kakinya (limb hypoplasia), atrofi otot, retardasi mental
dan parut jaringan kulit (skin scarring). Selain itu sebagian kecil (0.4-2.0%),
janin yang terinfeksi dapat menderita reaktifasi VZV berupa shingles pada
saat bayi berukur 18 bulan.

Varicella perinatal. Jika ibu menderita varicella pada masa perinatal,


sehingga bayi terinfeksi postnatal (pasca kelahiran). Jika ibu menderita ruam
kulit lebih dari 5 hari sebelum melahirkan, bayi akan menderita infeksi ringan,
karena bayi sudah mendapatkan proteksi oleh antibodi anti-varicella dari
ibunya secara transplasenta. Tetapi jika ibu menderita ruam kulit kurang dari
5 hari sebelum persalinan, bayi akan menderita infeksi berat karena tidak
cukup antibodi yang didapat dari ibunya melalui plasenta. Dalam hal ini bayi
ini, juga semua bayi yang berumur kurang dari 6 bulan yang terinfeksi
varicella postnatal, harus diberi suntikan hiperimun globulin VZ sebagai
proteksi pasif.

(b). Zoster (Shingles)

Herpes zoster atau shingles menyebabkan infeksi pada orang dewasa dan
menular secara sporadik, tidak tergantung musim. Varicella-zoster virus
terutama menyerang segmen unilateral ganglion atau saraf kranial. Gejala
klinis terjadi karena reaktifasi virus bentuk laten yang sebelumnya sudah ada.
Gejala yang terjadi berupa demam dan malaise, diikuti nyeri hebat pada
daerah sebaran saraf di daerah iga disertai terjadinya kelompok-kelompok
vesikel di daerah sebaran saraf yang sama.
467

6.8. PENYAKIT VIRAL PERNAPASAN

Infeksi pernapasan oleh virus sangat sering terjadi baik pada orang dewasa
maupun anak-anak. Sebagian besar sifatnya ringan dan umumnya berupa
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Pada bayi dan anak kecil ISPA dapat
menyebar ke bawah yang menyebabkan penyakit yang lebih berat, yang
kadang-kadang membahayakan jiwa penderita.

Secara anatomi saluran pernapasan terbagi menjadi dua bagian, yaitu


saluran pernapasan bagian atas (terdiri dari hidung, sinus, faring, tonsil dan
tabung Eustachii di telinga bagian tengah) dan saluran pernapasan bagian
bawah (terdiri dari laring, trakea, bronki, bronkioli, dan paru).

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS

Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) menyebabkan bentuk-bentuk klinis


ISPA berupa colds, faringitis, tonsilitis, sinusitis dan otitis media.

 Colds. Gambaran utama berupa cairan hidung yang seperti air atau
mukoid dan kadang-kadang purulen (coryza). Sering didahului oleh
sakit tenggorok, dan kadang-kadang disertai demam. Dapat juga diikuti
infeksi oportunistik bakteri. Virus penyebab colds antara lain adalah
Rhinovirus dan Coronavirus.
 Faringitis (sakit tenggorok, ”sore throat”). Eritema menyebar tidak
hanya terbatas pada tonsil; dapat juga disertai demam. Penyebabnya
adalah Adenovirus

 Tonsilitis. Infeksi terbatas pada tonsil berupa pembengkakan tonsil


yang berwarna merah disertai adanya eksudat di permukaan tonsil.
Penyebabnya adalah Adenovirus .

 Sinusitis dan Otitis media. Keradangan terjadi pada membran


mukosa yang membatasi sinus dan telinga tengah. Jika terjadi
sumbatan pada rongga-ronga ini, hal ini dapat menyebabkan terjadinya
468

infeksi sekunder bakterial. Infeksi primer pada hidung dan faring


disebabkan oleh berbagai macam virus.

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH

Infeksi saluran pernapasan bawah dapat berupa laryngo-tracheo bronchitis


(croup bronkitis akut, bronkiolitis akut, pneumonia dan bronkopneumonia.

(a). Laryngo-tracheo bronchitis (croup) Radang akut pada laring dan


trakea ini sering didahului oleh gejala-gejala coryza diikuti demam, serak,
batuk dan stridor ( obstruksi jalan udara bagian atas).Pada anak kecil
keadaan ini bisa membahayakan jiwa. Virus penyebabnya: para-influenza
virus, RSV herpes simplex.

(b). Bronkitis Akut. Keradangan bronki disertai demam, batuk, bising paru
(wheezing and noisy chest) Virus penyebabnya: RSV , Para-influenza virus,
Adenovirus

(c). Bronkiolitis Akut. Pada keadaan ini terjadi keradangan dan


penyempitan bronkioli terminal. Penyakit biasanya dimulai dengan demam
dan gejala coryza diikuti gangguan pernapasan dan wheezing. Pada bayi
dan anak kecil bronkiolitis akut dapat membahayakan jiwa. Virus
penyebabnya: RSV (Respiratory Syncitial Virus), Para-influenza virus.

(d). Pneumonia dan Bronkopneumonia. Pada keadaan ini terjadi infeksi


pada jaringan paru sendiri. Gejala klinis meliputi demam, gangguan
pernapasan dan sianosis yang dapat berakibat membahayakan jiwa
penderita. Penyebabnya : RSV, Adenovirus, Influenza virus.

VIRUS PENYEBAB INFEKSI SALURAN PERNAPASAN


469

Infeksi saluran pernapasan dapat disebabkan oleh virus influenza, Para-


influenza 1, 2, 3 dan 4, RSV (Respiratory syncytial virus), Human
metapneumovirus, Adenovirus, Cytomegalovirus,Rhinovirus dan Coronavirus.

(a). Virus parainfluenza

Virus parainfluenza termasuk Paramyxovirus, terdapat empat jenis virus yang


menginfeksi manusia yang secara antigenik berbeda, yaitu virus
Parainfluenza 1, 2, 3 dan 4. Virus ini menyebabkan infeksi pernapasan pada
semua kelompok umur. Infeksi pertama terjadi pada anak usia dini yang
biasanya asimtomatik. Imunitas yang terjadi pasca infeksi sangat kecil
sehingga reinfeksi sering terjadi yang sifatnya subklinik. Virus dapat tetap ada
selama tiga minggu pasca infeksi dan juga pada penderita asimtomatik,
sehingga menjadi sumber penularan yang penting. Penularan terjadi melalui
cairan pernapasan (droplet dan cairan laim (fomites) karena virus tidak tahan
lama di lingkungan.

Sindrom klinik meliputi croup (acute laryngo- tracheo bronchitis), bronkiolitis,


pneumonia dan gejala ”common cold” jika terjadi reinfeksi.

Struktur virus. Virus Parainfluenza berselubung, berukuran besar, dengan


garis tengah 150-300 nm, berbentuk sferis atau pleomorfik. Virus ini
mempunyai ss-RNA tidak bersegmen, Nukleokapsid mempunyai pusat (core)
berbentuk filamen atau herringbone-like dengan RNA helikal yang
berhubungan erat dengan nucleoprotein (NP), Phosphoprotein (PP) dan
protein besar ( L).
470

Gambar 254. Mikrograf elektron Paramyxovirus


(http://www.stanford.edu/group/virus/1999)

(b). Respiratory Syncytial Virus (RSV)

RSV termasuk pneumovirus (subgenus dari paramyxoviridae), virus


berselubung dengan ssRNA, tidak mempunyai glikoprotein

HN tetapi mengandung fusion protein. Pada kultur sel virus membentuk


syncitia yang besar.

RSV tersebar luas di seluruh dunia, merupakan penyebab utama


bronkiolitis pada bayi muda. Tidak terjadi proteksi terhadap RSV dari
antibodi maternal, sehingga jika bayi berumur kurang dari 6 bulan
terinfeksi RSV dapat membahayakan jiwanya. RSV sangat menular dan
hampir semua anak pernah terinfeksi virus waktu berumur kurang dari 1
tahun. Reinfeksi dapat terjadi setiap waktu, yang ringan sifatnya dan
seringkali subklinik.

Penularan terjadi melalui cairan pernapasan (droplet fomites juga dari


virus yang masih ada tiga minggu pasca infeksi.

Sindrom klinik berupa bronkiolitis dan bronko-pneumonia (pada bayi


berumur kurang dari 6 bulan), laryngo tracheo bronchitis (pada bayi dan
471

anak kecil muda), bronkitis akut (pada orang dewasa) dan sindrom
common cold (pada anak dan dewasa yang mengalami reinfeksi).

Vaksinasi belum berhasil dilakukan, karena “killed vaciine”


menyebabkan anak lebih peka terhadap paparan dengan RSV

(c). Metapneumovirus

Human metapneumovirus adalah pneumovirus, subgenus paramyxoviridae,


ssRNA yang berselubung. Virus tidak mempunyai glikoprotein HN tetapi
mempunyai fusion protein. Metapneumovirus menyebabkan epidemi
musiman, terutama pada awal musim semi (spring), yang menular dengan
perantaraan cairan pernapasan (droplet fomites Sindrom klinik mirip dengan
RSV berupa bronkiolitis, bronkopneumonia, laringo trakeo bronkitis, bronkitis
akut dan sindrom common cold.

(d). Adenovirus

infeksi Adenovirus terjadi sepanjang tahun. Virus sangat resisten terhadap


kondisi lingkungan, dan menjadi penyebab terpenting penularan nosokomial
di unit perawatan intensif anak-anak. Penularan terjadi melalui cairan
pernapasan (droplet fomites dan melalui mulut/pencernaan.

Adenovirus termasuk adenoviridae, merupakan virus ds DNA ikosahedral


yang tidak berselubung, berukuran sekitar 80 nm. Terdapat 41 jenis
adenovirus yang menginfeksi manusia, yang terbagi menjadi 6 subgenera A
hingga F.
472

Gambar 255. Infeksi ganda adenovirus (tanda ) dan partikel rotavirus


(tanda>) pada tinja penderita. Pewarnaan uranyl acetat.
(http://wwwnc.cdc.gov/eid)

Gambaran klinik. Adenovirus menginfeksi membran mukosa dari mata,


saluran pernapasan, saluran gastrointestinal, dan kadang-kadang saluran
kemih. Nodus limfe sering membesar dan lunak. Sebagian besar infeksi tetap
berada di permukaan tubuh. Sebagian besar infeksi asimtomatik, sedangkan
jika terjadi gambaran klinik biasanya berlangsung akut dan sembuh dengan
sendirinya.

Sindrom klinik Adenovirus yang terjadi dapat berupa:

1. Infeksi asimtomatik. Meskipun demikian adenovirus dapat diisolasi


dari saluran pernapasan dan tinja orang sehat atau dari tonsil
penderita dengan infeksi asimtomatik.

2. Faringitis akut dengan demam. Adenovirus sering merupakan


penyebab sakit tenggorok akut.
3. Demam faringokonjungtivikal. Terdapat konjungtivitis akut bersama
sakit tenggorok dan demam.

4. Konjungtivitis folikular akut. Konjungtivitis non purulen, dengan mata


merah, sangat menular.

5. Kerato-konjungtivitis epidemik. Infeksi adenovirus yang merusak


kornea terjadi akibat trauma ringan pada mata misalnya oleh usapan
handuk berulang-ulang.

6. Pneumonia (dan pneumonitis pada anak). Pada bayi muda yang


menderita measles akan terjadi pneumonia destruktif yang berat.

7. Epidemi penyakit respirasi akut. Biasanya terjadi di asrama tentara


yang dapat dicegah dengan vaksin hidup subtipe 4 dan 7.
473

8. Gastroenteritis. Subtipe 40 dan 41 menyebabkan gastroenteritis akut


pada anak yang dapat menyebabkan dehidrasi dan kematian.

9. Adenitis mesenterik. Pada anak akan mengalami nyeri perut karena


terjadi pembesaran nodus limfa mesenterik.

10. immunocompromised host. Pada transplantasi, AIDS atau penderita


dengan menurunnya imunitas lainnya, adenovirus dapat menyebabkan
sistitis hemoragik.

Tabel 31. Klasifikasi adenovirus dan sindrom kliniknya

Subgrup Virus Organ target penyakit


A 12, 18, 31 Gastrointestinal
Faring, paru, konjungtiva,
B 3, 7, 11, 21
saluran kemih
C 1, 2, 5, 6 Faring
D 8, 9, 19 Mata(keratokonjungtivitis)
Saluran pernapasan atas dan
E 4
mata
F 40, 41 Gastrointestinal

(e). Rhinovirus

Rhinovirus adalah Picornavirus, virus berukuran kecil, tidak berselubung,


merupakan virus ssRNA. Terdapat sekitar 100 serotipe antigenik yang
berbeda. Infeksi rhinovirus menyebabkan infeksi di sepanjang tahun, dan
ditularkan melalui cairan pernapasan (droplet dan fomites Orang yang
terinfeksi virus dapat menularkan penyakitnya sejak dua hari pertama dari
coryza

Sindrom klinik. Virus ini merupakan virus yang paling sering menyebabkan
sindrom common cold pada anak maupun orang dewasa dan menyebabkan
infeksi saluran pernapasan bagian bawah pada bayi muda. Masa inkubasi
yang pendek (1-3 hari), diikuti dengan sakit kepala, sakit tenggorok, hidung
474

buntu. Sesudah itu terbentuk banyak cairan hidung seperti air yang secara
bertahap mengental lalu menjadi mukopurulen dan menurun jumlahnya.
Dalam waktu 1 minggu infeksi mereda.

Komplikasi. Suhu dingin dapat menghambat kerja silia mukosa sehingga


memudahkan terjadinya infeksi sekunder terutama oleh bakteri, misalnya
pneumococcus dan haemophilus yang menyebabkan sinusitis dan bronkitis
atau pneumonia.

Pengobatan. Untuk mengurangi keluhan penderita diberi obat-obatan


simtomatik. Tidak ada yang spesifik untuk mengobati virus penyebabnya. Jika
terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan pengobatan dengan
antibiotika.

Pencegahan. Karena banyaknya virus penyebab”cold”, tidak dapat dilakukan


vaksinasi untuk mencegah infeksi virus. Vaksinasi terhadap bakteri dan
pemberian vitamin C belum dapat dibuktikan kegunaannya.

(f). SARS (Severe acute respiratory syndrome)

SARS adalah infeksi akut viral pada saluran pernapasan bagian bawah
dengan angka kematian yang tinggi. Penyakit viral pada manusia yang baru
dikenal sejak Nopember 2002 ini disebabkan oleh coronavirus. Penyakit
zoonosis ditularkan dari musang,

sedangkan sumber infeksi coronavirus di alam mungkin kelelawar.

Gambaran klinik.SARS Masa inkubasi sekitar 2-10 hari. Gejala klinik awal
dimulai dengan demam, mialgia, malaise, gejala pernapasan ringan dan
diare. Sesudah itu diikuti fase gangguan pernapasan bagian bawah berupa
batuk kering non produktif, dyspnoea dan hipoksemia, sehingga penderita
bisa memerlukan perawatan di ICU. Angka kematian penderita tergantung
pada umur/ Pada penderita berumur kurang dari 24 tahun angka kematian
kurang dari 1%, sedangkan penderita berumur di atas 65 tahun, angka
kematian bisa mencapai di atas 50%.

Penularan dan pencegahan. Virus SARS dapat ditularkan melalui cairan


pernapasan (droplet atau fomites ) dan mungkin juga melalui makanan.
475

Karena itu pencegahan SARS dapat dilakukan dengan sering mencuci


tangan, menghindari kontak dengan penderita, dan melindungi mata,
pembersihan lingkungan, dan mencegah penularan melalui udara
(menggunakan masker N95, dan ruangan yang bertekanan negatif). .

(g). Influenza

Influenza atau lebih dikenal sebagai “ flu” adalah infeksi saluran napas
yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini tidak boleh diabaikan
(seperti “common cold”) karena menurut WHO infeksi influenza setiap
tahunnya menyebabkan 250-000-500.000 orang meninggal dunia, hanya
di negara-negara industri saja. Selain itu virus influenza dapat
mengadakan mutasi sehingga menyebabkan terjadinya pandemi
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh dunia.
Pada tahun 1918 pandemi “Flu Spanyol” menyebabkan kematian 50 juta
orang di seluruh dunia.

Virus Influenza. Genus virus influenza A,B dan C, termasuk dalam keluarga
virus Orthomyxovirus yang .adalah virus ssRNA dengan genom bersegmen
yang berselubung (enveloped), dengan dua glikoprotein permukaan, yaitu H
(haemagglutinin) yang berperan pada pelekatan virus dan glikoprotein N
(neuraminidase) yang berfungi dalam proses keluarnya virus dari sel
terinfeksi.

Berdasar pada kelompok H dan N, terdapat 16 subtipe H dan 9 subtipe N


yang ada di alam dengan sumber utamanya adalah burung air liar. Hanya
subtipe H1,2 dan 3 serta N1 dan N2 yang ditemukan beredar secara luas
pada manusia.

Baik Haemagglutinin dan Neuraminidase merupakan antigen yang penting


dalam menentukan imunitas spesifik dari subtipe dan karena itu digunakan
pada formulasi dari vaksin.
476

Epidemiologi Di daerah dengan 4 musim, epidemi influenza terjadi pada


musim dingin, sedangkan di daerah tropis influenza dapat dijumpai sepanjang
tahun. Setiap beberapa dekade terjadi pandemi yang disebabkan oleh strain
baru influenza. Karena itu seorang penderita dapat mengalami serangan
berulang influenza karena struktur antigenik virus berbeda. Perubahan
antigenik virus terjadi melalui dua mekanisme evolusi, yang disebut drift dan
shift.

Drift (perubahan antigenik minor). Mekanisme evolusi virus ini terjadi baik
pada influenza A maupun influenza B. Glikoprotein selubung (HA dan NA)
vrus influenza berubah sifat antigeniknya secara bertahap, sehingga
mempengaruhi sifat epidemi tahunan influenza A dan B pada manusia.

Shift (perubahan antigenik major). Mekanisme evolusi virus influenza


hanya terjadi pada influenza A. Antigenic swift terjadi jika virus progeni
mendapatkan gen HA atau NA baru, biasanya dari virus influenza hewan,
yang sangat berbeda sifat antigeniknya dari virus induknya. Karena imunitas
kelompok global (global herd immunity) terhadap virus baru biasanya sangat
rendah, akibatnya akan terjadi pandemi flu yang baru. Fenomena ini hanya
terjadi pada influenza A.

Gambaran klinik Influenza. Virus influenza ditularkan melalui droplet


pernapasan. Masa inkubasi berlangsung 2-3 hari, dengan infeksi primer pada
saluran pernapasan tetapi sering disertai gejala sistemik.

Flu harus dibedakan dari ”common cold” karena akibat infeksi virus influenza
sangat berbeda dari common cold, baik secara klinis maupun epidemiologis.

Tabel 32. Perbedaan antara flu dan common cold

Gambaran Penyakit Influenza Common cold

Spektrum Klinik Sering sistemik Umumnya lokal

Kecepatan Penyakit Mendadak Bertahap

Demam Biasanya tinggi Biasanya ringan

Gejala dan Keluhan Menggigil, sakit otot, Bersin, sakit tenggorok,


malaise, sakit tenggorok hidung buntu.
477

Rasa lelah (fatigue) Berat Ringan

Perjalanan Penyakit Merasa tidak enak Cepat sembuh


badan 1-2 minggu;
keluhan dada sering
terjadi;malaise berat

Komplikasi Sering terjadi, terutama Jarang terjadi


pneumonia yang berat.

Waktu Kejadian Musiman Sepanjang tahun

Faktor risiko. Penyakit influenza yang berat dapat terjadi pada penderita
yang juga sedang hamil, menderita penyakit paru kronis, penyakit jantung
atau ginjal, penderita diabetes mellitus, umur penderita di atas 65 tahun atau
anak berumur di bawah 5 tahun.

Sindrom Reye yang jarang terjadi, merupakankomplikasi berat yang terjadi


pada anak penderita influenza dan penyakit viral lainnya. Komplikasi yang
fatal ini disebabkan terjadinya ensefalitis disertai penyakit hati pada anak
yang mendapatkan pengobatan dengan aspirin. Karena itu pada anak yang
menderita influenza jangan diberi aspirin.

Diagnosis influenza. Untuk menentukan diagnosis influenza dilakukan


pemeriksaan terhadap bahan pemeriksaan berupa

aspirat nasofaring (pada anak) dan usap tenggorok (pada orang dewasa). .

Deteksi virus influenza dilakukan dengan pemeriksaan langsung antigen


dengan imunofluoresensi, kultur virus atau PCR (polymerase chain reaction).

Pengendalian influenza. Untuk mengendalikan influenza dilakukan tiga


dasar pengendalian, yaitu surveilans, vaksinasi dan pemberian antiviral.
Surveilanse dilakukan untuk menentukan strain virus influenza sehingga
dapat ditentukan jenis vaksin yang tepat untuk tahun berikutnya. Pada 30
478

tahun terakhir yang beredar pada populasi manusia adalah virus Influenza A
(H1N1 dan H3N2) dan satu influenza strain B. Karena vaksinasi dilakukan
menggunakan vaksin trivalen menggunakan antigen selubung (HA dan NA)
dari tiga strain virus Influenza yang beredar. vaksin diberikan pada semua
orang yang berisiko tinggi tertular influenza satu tahun satu kali. Vaksin tidak
boleh diberikan pada individu yang alergi telur karena kultur virus dilakukan
menggunakan medium telur.

Diagnosis Laboratorium Infeksi viral pernapasan

1. ELISA atau Imunofluoresensi . Deteksi virus yang ada pada


bahan pemeriksaan (misalnya sputum atau sekret pernapasan)
dengan ELISA atau imunofluoresensi. Pada pemeriksaan ini
untuk identifikasi digunakan antibodi monoklon yang spesifik.
Dengan imunofluoresensi, sel yang terinfeksi virus akan
bersinar berwarna hijau terang. Antibodi monoklon yang
digunakan spesifik untuk satu jenis virus, misalnya RSV,
adenovirus, virus influenza dan virus parainfluenza. Dengan
pemeriksaan ini diagnosis jenis virus penyebab infeksi dapat
ditentukan dengan cepat.
2. Kultur sel. .Deteksi sel terinfeksi virus dengan kultur sel
memerlukan waktu sekitar 3 minggu untuk menentukan virus
yang terdapat pada bahan pemeriksaan, yang tidak selalu
sesuai dengan gejala klinik yang dijumpai.

3. Modifikasi kultur sel dengan melakukan kombinasi dengan


deteksi antigen menggunakan imunofluoresensi (shell vial
culture) dapat mendeteksi adanya virus dalam waktu 72 jam.
479

Cara kombinasi ini banyak dilakukan pada berbagai


laboratorium virologi.
4. PCR Deteksi sel terinfeksi dilakukan dengan multiplex PCR
untuk mendeteksi genom virus. Dengan menggunakan PCR
multiplex, berbagai tipe virus dapat ditentukan dalam waktu
yang bersamaan. Cara ini sangat sensitif dan identifikasi virus
dapat ditentukan dalam waktu kurang dari 24 jam, dan
merupakan standard emas untuk identifikasi virus pernapasan.

6.9. GASTROENTERITIS VIRAL

Setiap tahunnya 1.87 juta anak balita dari seluruh dunia meninggal akibat
penyakit penyebab diare yang disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit.
Sebagian besar penderita diare yang dirawat di rumah sakit pada waktu ini
disebabkan oleh virus.

Tabel 33. Virologi virus peyebab diare

  Rotavirus Norovirus Adenovirus Astrovirus

Famili Reoviridae Caliciviridae Adenoviridae Astroviridae

Tipe genom dsRNA ssRNA dsDNA ssRNA

Susunan Bersegmen Linear Linear Linear


genom

Bersampul tidak tidak tidak tidak

Morfologi Sferis dg Kecil dg Icosahedral Kecil dg


struktur struktur struktur
permukaan permukaan permukaan
seperti roda seperti seperti
bintang bintang

Gambaran Klinik
480

Infeksi terjadi melalui jalur fekal-oral. Gastroenteritis viral mempunyai masa


inkubasi yang pendek (sekitar 24 jam), diikuti muntah mendadak dan diare
cair yang berat. Keadaan ini akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 2-
3 hari. Dehidrasi yang terjadi dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada bayi muda yang menderita gastroenteritis viral.

Patogenesis

Virus yang menginfeksi enterosit usus halus bagian atas, menyebabkan


keradangan dan gangguan fungsi villi. Selain itu beberapa jenis virus,
misalnya rotavirus, menghasilkan enterotoksin yang meningkatkan keluarnya
cairan dan elektrolit dari eritrosit. Dengan terbentuknya respon imun
setempat, virus dapat disingkirkan dan gejala klinik mulai menghilang dan
reinfeksi dengan virus yang sifat antigennya sama dapat dicegah. Empat
jenis virus yang paling sering menyebabkan diare adalah : rotavirus,
calicivirus (norovirus dan sapovirus), adenovirus dan astrovirus.

(a). Rotavirus

Rotavirus merupakan virus penyebab diare akut (sekitar 35%) di negara-


negara berkembang. Imunitas ditentukan oleh 2 protein permukaan, yaitu G
(VP7) dan P (VP4). Penyakit pada manusia disebabkan oleh rotavirus yang
khusus hanya menginfeksi manusia. Rotavirus hewan dapat menginfeksi
manusia tetapi dapat menyebabkan penyakit. Imunitas yang didapat pada
infeksi yang pertama sifatnya tidak lengkap, sehingga orang masih dapat
mengalami infeksi lagi oleh rotavirus dari subtipe G atau P yang berbeda.
481

Gambar 256. Partikel rotavirus dalam tinja penderita gastroenteritis. Mikrograf


elektron dengan pewarnaan 2% potassium phosphotungstate
(http://lib.jiangnan.edu.cn/ASM)

Infeksi kedua umumnya gejalanya lebih ringan dari pada infeksi pertama. Di
negara berkembang, sebagian besar anak terinfeksi rotavirus untuk pertama
kalinya pada umur kurang dari satu tahun, biasanya pada 3 bulan pertama.
Bayi mendapatkan proteksi antibodi maternal pada masa janin, tetapi untuk
waktu yang tidak lama.

Vaksin rotavirus. Terdapat 2 vaksin hidup yang digunakan yaitu rotarix dan
rotateq. Rotarix adalah vaksin monovalen berasal dari rotavirus manusia yang
sudah dilemahkan virulensinya. Vaksin ini memberikan reaksi imunitas silang
pada banyak serotip rotavirus. Vaksinasi pada bayi diberikan sebanyak 2
dosis vaksin pada minggu ke-10 dan ke-14. Rotateq adalah rotavirus vaksin
pentavalen manusia dan sapi. Rotavirus sapi direkayasa sehingga
mengandung gen yang mengkode 4 subtipe protein G dan subtipe protein P
yang berasal dari rotavirus manusia.
482

(b). Norovirus

Dalam famili calicivirus, norovirus dikenal sebagai penyebab gastroenteritis


yang menyebabkan 10% diare akut pada anak di bawah umur 5 tahun di
negara maju. Norovirus juga merupakan penyebab umum dari epidemi
gastroenteritis non bakterial yang ditularkan melalui makanan pada semua
usia..

Gambar 257. Norovirus, gambaran imunomikroskopi elektron


(CDC, http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/revb/gastro/norovirus-factsheet.htm)

Gambaran klinik infeksi mirip dengan virus penyebab gastroenteritis lainnya.


Tinja dan muntahan penderita sangat menular. Penularan terjadi melalui jalur
fekal-oral, atau melalui droplet yang ada di udara. Imunitas sesudah infeksi
berlangsung pendek waktunya sehingga reinfeksi sering terjadi. Tidak ada
vaksin untuk mencegah infeksi virus ini.

(c). Adenovirus enterik

Infeksi adenovirus dapat terjadi pada saluran pernapasan, gastrointestinal,


mata dan saluran kemih. Terdapat dua serotip adenovirus yang
menyebabkan gastrenteritis, yaitu adenovirus
483

tipe 40 dan 41 (grup F adenovirus),yang menyebabkan sekitar 6.5% diare


akut pada anak balita d negara maju. Tidak ada vaksin untuk mencegah
adenovirus.

Gambar 258. Ultrastruktur Adenovirus


(http://em.path.unimelb.edu.au/service/research.html)

(d). Astrovirus

Astrovirus merupakan penyebab pada 3.5% penderita gastroenteritis. Tidak


ada vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah infeksi virus ini.

Gambar 259. Struktur Astrovirus (http://www.ube.edu )


484

Diagnosis Laboratorium gastroenteritis viral

Untuk bayi penderita gastroenteritis akut tdak perlu dilakukan


identifikasi virus penyebabnya, kecuali jika untuk keperluan
epidemiologi. Untuk mengetahui adanya virus penyebab gastroenteritis
dalam tinja secara cepat, dapat dilakukan pemeriksaan deteksi antigen.

Tata Laksana penderita

Pada prinsipnya dilakukan tindakan suportif dengan melakukan


rehidrasi. Sebagian besar penderita akan sembuh dengan sendirinya.
Pengendalian infeksi yang baik diperlukan untuk mencegah penyebaran
virus terutama di rumah sakit. Banyak virus yang sudah kebal terhadap
tindakan inaktifasi, sehingga tetap hidup di permukaan lingkungan.

Pencegahan

Bayi yang mendapatkan ASI berisiko rendah menderita gastroenteritis


viral, karena mendapatkan IgA dari ibunya, dan terhindar dari makanan
yang terkontamnasi. Dianjurkan oleh WHO agar ASI diberikan eksklusif
selama 6 bulan pertama umur bayi. Penyediaan air bersih dan perbaikan
higiene-sanitasi menurunkan sirkulasi virus gastroenteritis. Vaksin rotavirus
dapat diberikan.

6.10 SINDROM NEUROLOGIK AKUT VIRAL

Akibat berbahaya dari infeksi virus adalah terjadinya infeksi di otak. Secara
klinis, penyakit viral neurologik dikelompokkan menjadi sindrom akut dan
sindrom kronis. Kelainan patologi terjadi karena multiplikasi virus di dalam sel
otak atau karena terjadinya respon imun yang tidak normal pada hospes
yang terjadi sesudah penderita mengalami ensefalomielitis.

Virus yang menginfeksi otak dapat mencapai sistem saraf pusat melalui darah
atau menyebar sepanjang saraf periferi.
485

Infeksi otak sering bersifat asimtomatik. Virus yang menginfeksi otak secara
langsung dapat diisolasi virusnya dari jaringan otak atau dari cairan
serebrospinal, yang tidak dapat dilakukan jika infeksi berasal dari sindrom
pasca infeksi.

Sindrom neurologik akut

Terdapat empat sindrom neurologik akut, yaitu:

1. Meningitis aseptik
2. Paralisis akut lemah (flaccid)

3. Ensefalitis

4. Pasca infeksi ensefalomielitis.

1. Meningitis aseptik. Sindrom ini paling sering terjadi pada meninges,


dapat sembuh dengan sendirinya dengan prognosis yang baik. Gambaran
klinik yang terjadi antara lain demam, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobi dan
muntah. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF) menunjukkan adanya
pleositosis, baik polimorf dan limfosit, biasanya dengan limfositosis, glukose
normal, dan tidak ada pertumbuhan bakteri pada kultur (aseptik).

Virus penyebab meningitis aseptik adalah enterovirus mumps virus dan lebih
jarang HSV-2 dan varicella-zoster virus. Jika jaringan otak ikut terinfeksi,
menimbulkan meningo-ensefalitis.

2. Ensefalitis. Replikasi virus terjadi pada jaringan otak sehingga merusak


jaringan kelabu (grey matter). Gejala klinik utama adalah: demam, mengantuk
(drowsiness), bingung, depresi kesadaran, konvulsi dan tanda neurologik
fokal. Morbiditas dan mortalitas sangat tinggi.

Virus penyebabnya adalah virus herpes simplex, rabies dan beberapa jenis
arbovirus.misalnya West Nile virus, Rift Valley fever virus dan Sinbis virus.
486

4. Paralisis akut lemah (flaccid). Sindrom terjadi akibat infeksi langsung


neuron motor (grey matter) pada spinal cord oleh virus. Penderita
menunjukkan terjadinya demam

dengan paralisis flaccid sekelompok otot. Sering disertai tanda-tanda


meningitis misalnya sakit kepala dan kaku kuduk. Penyebab yang
paling sering adalah Poliovirus 1,2 dan 3 serta enterovirus (non polio).

4. Ensefalitis pasca infeksi. Penyakit white matter ini merupakan komplikasi


yang jarang terjadi pada fase konvalesen, sesudah terjadi infeksi viral,
misalnya measles, mumps, rubella, dan infeksi primer virus varicella-zoster.
Selain itu keadaan ini dapat terjadi sesudah vaksinasi dengan virus vaccinia,
dan vaksin rabies (neurotissue). Lesi demielinisasi dapat meluas ke white
matter di otak dan spinal cord. Diduga keadaan ini merupakan fenomena
autoimun

Pada Sindrom Gillain Barre berupa polineuritis yang terjadi beberapa hari
sampai beberapa minggu sesudah terjadi fase akut infeksi viral atau bakterial.
Penderita mengalami ascending paralysis dengan paraestesi akibat terjadinya
demielinisasi saraf perifer, yang merupakan fenomena imunologik. Penderita
akan sembuh dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan
terjadinya re-mielinisasi saraf.

Enterovirus

Enterovirus merupakan keluarga besar, lebih dari 100 tipe, dari virus
berukuran kecil, berselubung (enveloped), ss RNA yang dapat masuk ke
dalam tubuh hospes melalui saluran gastrointestinal. Virus terdapat di dalam
tinja dan penularan terjadi melalui jalur fekal-oral.

Infeksi enterovirus pada manusia sangat sering terjadi, berulang-ulang,


dengan berbagai jenis enterovirus, sepanjang hidup manusia. Berbagai gejala
klinik infeksi enterovirus dapat terjadi pada manusia, antara lain demam
dengan pembentukan ruam kulit, infeksi pernapasan, konjungtivitis, miositis,
487

miokarditis, perikarditis, hepatitis A, dan meningoensefalitis. Enterovirus


merupakan penyebab utama paralisis akut flaccid

dan meningitis. Kelompok enterovirus pada manusia meliputi poliovirus,


coxsackievirus, echovirus, dan enterovirus.

(1). Poliovirus

Poliovirus 1,2 dan 3 adalah enterovirus penyebab poliomielitis. Dengan


dilakukannya secara luas vaksinasi oleh WHO, poliovirus pada waktu
dilaporkan secara terbatas dari Afrika dan anak-benua India.

Gambar 260. Poliovirus (http://www.health.qld.gov.au)

Patogenesis polio. Virus memasuki tubuh melalui pencernaan. Di jaringan


limfoid usus virus memperbanyak diri, yang pada beberapa orang diikuti
dengan viremia dan penyebaran secara hematogen ke sistem saraf pusat
(SSP). Infeksi litik neuron motorik di bagian tanduk anterior spinal cord
menyebabkan kelemahan neuron motorik bagian bawah dari otot-otot (flaccid
paralysis).
488

Sesudah masa inkubasi yang lamanya 7-14 hari, infeksi akan menunjukkan
gambaran klinik berupa:

1. Infeksi asimtomatik (karena replikasi virus hanya terjadi di usus).


2. Demam ringan lalu menghilang (terjadi viremia tetapi virus belum
menginfeksi SSP)

3. Demam ringan diikuti meningitis aseptik yang kemudian menghilang

4. Demam diikuti meningitis dan paralisis flaccid akut

Catatan: Sebagian infeksi asimtomatik. Kurang dari 1% infeksi menyebabkan


paralisis.

Vaksinasi polio. Terdapat dua jenis vaksin virus polio yang luas digunakan,
yaitu vaksin Sabin (vaksin hidup yang dilemahkan) dan vaksin Salk ( inaktifasi
virus dengan formalin). Kedua vaksin tersebut mengandung 3 strain virus
penyebab polio paralitik, yaitu virus polio1, 2 dan 3.

Tabel 34. Karakter vaksin polio

  Vaksin mati (Salk) Vaksin hidup (Sabin)

Cara penggunaan Suntikan Tetesan oral

Respon imun Baik, IgG di darah Baik, IgA di usus

Lama imunitas Sedang Panjang

Biaya Mahal Murah

Stabilitas vaksin Stabil Tidak stabil

Bahaya Tidak ada Sangat jarang terjadi


perubahan menjadi virulen
489

Pemberian vaksin hidup polio dilakukan sebanyak 6 dosis pada semua anak,
yaitu pada waktu baru lahir, umur 6, 10 dan 14 minggu, 18 bulan dan umur 5
tahun.

(2). Virus mumps

Virus mumps adalah virus dengan genom ssRNA yang berselubung,


termasuk famili Paramyxoviridae, pada manusia penyebabnya adalah
Rubulavirus. Bentuk dan ukuran virus

bermacam-macam, sferis, atau seperti filamen berukuran diameter antara


150-200 nm, dan panjang antara 1000-10.000 nm.

Infeksi virus terjadi melalui droplet pernapasan dan menimbulkan demam


ringan pada anak. Tanda khas penyakit gondong (mumps) adalah
pembesaran satu atau kedua kelenjar ludah (parotid) yang terasa sakit.
Sekitar 5% infeksi akan menyebabkan komplikasi berupa meningitis aseptik.
Pada infeksi yang terjadi sesudah masa pubertas, 20% lpenderita laki-laki
mengalami orkitis.

Gambar 261. Mumpsvirus, transmission electron micrograph


(http://php.med.unsw.edu.au/embryology)
490

(3) Virus hepatitis ditularkan enterik

(a). Hepatitis A

Hepatitis A mempunyai maa inkubasi sekitar 28 hari (antara 3-5 minggu),


diikuti fase preikterik sekitar 5 hari. Fase ikterik berlangsung sekitar 3
bulan. Masa konvalesen dapat memanjang dengan rasa lelah dan tidak
toleran terhadap alkohol sampai 18 bulan lamanya. Pada hepatitis A
tidak terjadi bentuk kronis.

Gambar 262. Virus hepatitis A , foto mikroskop elektron


(Sumber: L.Stannard,UCT)

Hepatitis A tersebar luas di dunia dan endemis di berbagai negeri. Insidens


penyakit tinggi di negara berkembang dan di daerah perkotaan (rural), dimana
80-90% penduduk pernah terinfeksi VHA sebelum umur 5 tahun.

Hepatitis A lebih ringan daripada hepatitis B, dengan infeksi asimtomatik yang


lebih sering, terutama pada anak. Perempuan hamil, orang lanjut usia,
adanya penyakit hati sebelumnya, atau adanya penyakit kronis lainnya,
meningkatkan risiko tertular hepatitis A atau dapat mengalami hepatitis A
yang lebih berat. Komplikasi, berupa hepatitis fulminan jarang terjadi (sekitar
0.3-1.8% kasus).
491

Patogenesis. Virus memasuki tubuh melalui usus, memperbanyak diri di


saluran usus, lalu menyebar ke hati, dimana virus memperbanyak diri di
dalam hepatosit. Virus dikeluarkan di dalam tinja selama 2 minggu sebelum
timbulnya gejala.

Penularan HVA. HVA ditularkan dari kasus-ke-kasus melalui jalur fekal-oral.


Virus dalam jumlah besar sudah dikeluarkan di dalam tinja sebelum terjadinya
gejala. Pada orang dengan oro-anal seksual, VHA ditularkan secara seksual
melalui jalur fekal-oral. Penularan juga terjadi melalui makanan atau minuman
yang tercemar limbah (kotoran manusia), melalui pembuat makanan yang
terinfeksi atau melalui kerang yang diternakkan di air tercemar limbah.

Diagnosis. Karena virus tidak dapat dibiakkan in vitro dari bahan


pemeriksaan klinik, diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan serologi atas
IgM VHA yang spesufik.

Pencegahan. Imunisasi aktif dapat diberikan pada pelancong yang


berkunjung ke negara dunia ketiga, terutama pada semua orang dewasa
yang tidak imun. Jika paparan dapat diketahui secara dini, pencegahan pasca
paparan dapat diberikan, asal tidak ada faktor risiko adanya penyakit yang
berat. Jika ada faktor risiko atau pencegahan terlambat diberikan, pemberian
imunisasi pasif (dengan imunoglobulin normal) dapat diberikan bersama
vaksinasi. Orang-orang dekat penderita hepatitis A dapat diberikan imunisasi
pasif dengan imunoglobulin normal (antibodi yang dibuat dari serum
manusia). Imunisasi pasif hanya memberikan proteksi sekitar 3 bulan.

(b). Hepatitis E

Virus Hepatits E dari genus Hepevirus famili Hepeviridae, mempunyai


struktur partikel sferis yang tidak berselubung, dengan garis tengah antara
27-34 nm. Genom virus adalah +ssRNA (positive sense, single stranded
RNA dengan virion virus RNA yang tidak berselubung, mempunyai garis
492

tengah 32-34 nm, berukuran 7.6 kb, sangat labil dan sensitif. Virus ini belum
bisa dikultur.

Gambar 263. Virus Hepatitis E, mikrograf elektron (CDC/PHIL#5605)

Gambaran klinik. Hepatitis E adalah penyakit akut yang sembuh dengan


sendirinya (self limiting hepatitis). Masa inkubasi sekitar 45 hari (antara 2-9
minggu). Penderita umumnya dewasa muda, berumur antara 15 sampai 40
tahun. Sekitar 10% hepatitis E berkembang menjadi berat (fulminan) terutama
terjadi pada perempuan hamil.

Mortalitas tinggi (20-40%). Pada penderita trasplantasi organ dan orang yang
terinfeksi HIV, dapat terjadi hepatitis kronis yang dapat menjadi sirosis.

Patogenesis. Hepatitis E akut, seperti halnya hepatitis A, virus


memperbanyak diri di dalam usus, sebelum menyebar ke hati dan berada di
dalam tinja sebelum timbulnya gejala. Untuk dapat menginfeksi, diperlukan
sejumlah besar inokulum VHE

Epidemiologi Prevalensi infeksi VHE rendah di negara-negara dunia


pertama. Epidemi besar yang terjadi di India, Meksiko dan Afrika Utaraterjadi
akibat kontaminasi pasokan air minum dengan tinja dalam jumlah besar. Babi
domestik mungkin juga bisa menjadi sumber infeksi.
493

Diagnosis. Karena VHE tidak bisa dikultur in vitro, diagnosis ditegakkan


dengan :

 Menemukan partikel virus yang ada di dalam tinja menggunakan


mikroskop elektron.
 Menentukan IgM di dalam serum penderita

 Melakukan PCR untuk menemukan sekuen spesifik VHE yang ada di


dalam serum atau tinja.

(4). Virus hepatitis ditularkan parenteral

(a). Hepatitis B

Virus Hepatitis B (VHB) yang termasuk genus Orthohepadnavirus dari


famili Hepadnaviridae, terdiri dari subtipe-subtipe A sampai H. Struktur
virus berupa partikel sferis dengan garis tengah 42 nm ini, berselubung
(enveloped), disebut juga sebagai partikel Dane.

Gambar 264. VHB foto mikroskopis elektron (Sumber: L.Stannard,UCT)


494

Genom VHB adalah DNA sirkuler, ds (double stranded) tidak lengkap,


berukuran 3.2 kilobases. Antigen permukaan yang banyak diproduksi,
membentuk silinder dan sferis berdiameter 22 nm.

Gambaran Klinik VHB Masa inkubasi sekitar 75 hari (antara 30-180 hari)
diikuti gejala awal yang tidak jelas. Infeksi asimtomatik VHB lebih sering
dibanding infeksi VHA tetapi VHB menyebabkan penyakit yang lebih berat.
Pada penderita sangat muda dimana respon imun terhadap virus lebih
kurang, keradangan juga lebih ringan, penderita asimtonatik lebih sering
dijumpai. Sekitar 90% bayi yang terinfeksi secara vertikal, berkembang
menjadi kronis; pada orang dewasa sekitar 5% penderita dewasa
berkembang menjadi kronis.

Patogenesis. VHB ditularkan secara parenteral. Virus memperbanyak diri di


dalam hati dan partikel virus dijumpai dalam jumlah besar di dalam darah,
sehingga viremia berlangsung panjang dan darah penderita menjadi sangat
infektif. Respon imun hospes terhadap virus menyebabkan kerusakan
hepatoseluler.

Penularan hepatitis B. VHB ditularkan secara parenteral melalui: :

 Hubungan seksual: penularan pada orang dewasa.


 Penularan horisontal yang erat pada anak (berumur 3-9 tahun) dengan
anggota keluarganya, di panti asuhan dan rumah sakit jiwa.

 Penularan vertikal: dari ibu ke bayinya, transplasental, pada waktu


persalinan.

 Penularan melalui darah: transfusi darah, jarum suntik bersama, alat


cukur, tato dan akupungtur.

 Dialisis ginjal, donor organ (transplantasi).

Komplikasi infeksi VHB


495

 Infeksi persisten: sesudah infeksi akut, sebagian virus tidak dapat


dihilangkan .
 Virus berada di dalam hepatosit dan kerusakan hati terjadi akibat
respon imun hospes terhadap sel hati yang terinfeksi.

 Infeksi kronis : (a). Hepatitis kronis persisten, sedikit terjadi kerusakan


hati. (b). Hepatitis kronis aktif, dengan

kerusakan luas jaringan hati dan berkembang cepat menjadi sirosis


atau gagal hati.

 Penderita dengan infeksi persisten berisiko menjadi karsinoma


hepatoseluler.
 Hepatitis fulminan.

 Manifestasi ekstra hepatik: serum sickness glomerulonephritis dan


poliarteritis nodosa, karena terjadi penumpukan komplek imun.

 Koinfeksi dengan VHB dan HIV menyebabkan kerusakan hati yang


berat berlangsung lebih cepat.

Pencegahan. Pencegahan infeksi virus hepatitis dilakukan dengan


imunisasi aktif dan pencegahan pasif menggunakan antibodi.

Imunisasi aktif hepatitis viral. Terdapat empat tipe vaksin yang dapat
digunakan, yaitu:

 Derivat serum: dibuat dari sAg yang dimurnikan dari serum karier
VHB
 sAg rekombinan: dibuat dengan rekayasa genetika pada
Saccharomyces cerevisiae (dikenal sebagai Brewer’s yeast )
 Vaksin generasi ketiga: berbagai surface (s) Ag dibuat dengan
rekayasa genetika
 Kombinasi vaksin. Vaksin VHB dengan vaksin virus hepatitis lain atau
organisme lain.
496

Dengan tiga dosis vaksin yang diberikan pada bayi pada minggu ke-6, 10 dan
14, dapat menghasilkan antibodi yang protektif pada 95% penerima vaksin.

Vaksin juga dapat diberikan pada orang berisiko tinggi tertular VHB misalnya
pekerja kesehatan, bayi dengan ibu yang karier VHB dan pasangan karier
VHB kronis serta sebagai pencegahan pasca paparan.

Antibodi pasif. Pada individu non-imun yang terpapar satu kali darah
terinfeksi VHB harus diberikan vaksin maupun globulin imun hepatitis B.

xxxPengobatan hepatitis B kronis. Terdapat dua kelas obat yang


digunakan untuk mengatasi infeksi kronis VHB, yaitu interferon dan
nucleoside reverse transcriptase inhibitors.

1. Interferon: Interferon alfa meningkatkan respon imun terhadap VHB


dan memperbaiki pengendalian imun terhadap virus. Interferon
merupakan obat pilihan untuk VHB kronis, tetapi harganya mahal dan
mempunyai efek samping.
2. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor. Obat ini menghambat
replikasi virus tetapi tidak menghilangkan infeksi VHB Obat ini harus
diberikan seumur hidup untuk mengendalikan infeksi kronis. Contoh:
Lamivudine, Tenofovir, Entecavir, Adefovir, Telbivudine, Clevudin, dan
Emtracitabine.

Antigen virus hepatitis. Terdapat tiga bentuk antigen pada virus hepatitis,
yaitu sAg, eAg dan sAg.

 Surface antigen (sAg). Antigen permukaan ini merupakan protein


selubung dari partikel dane.
 Antigen e (eAg). Merupakan protein yang disekresi oleh virus yang
mengadakan replikasi di hati, dan jumlahnya di dalam darah hanya
sedikit.

 Core antigen (cAg). Merupakan core protein yang hanya ditemukan di


dalam sel hati dan tidak ditemukan di dalam darah.
497

Respon antibodi pada hepatitis viral. Pada infeksi dengan virus hepatitis
akan terbentuk antibodi-antibodi, yaitu:

1. Surface antibody (sAb, anti HBs) Dapat ditemukan pada fase


penyembuhan, dan tetap positif seumur hidup; sAb menunjukkan
adanya imunitas dan tidak ditemukan pada karier kronis.
2. Antibodi e (eAb, anti HBe). Antibodi e ditemukan pada waktu
replikasi virus menurun. Pada karier eAb menunjukkan daya infektif
virus yang rendah.

3. Core IgM Meningkat pada awal infeksi, menunjukkan bahwa infeksi


virus sedang terjadi.

4. Core IgG. Meningkat pada awal infeksi, tetap positif seumur hidup,
pada karier kronis maupun baru sembuh dari infeksi, menunjukkan
adanya paparan terhadap VHB.

(b). Hepatitis C

Hepatitis C merupakan hepatitis parenteral yang paling banyak ditemukan,


yang tidak termasuk VHA maupun VHB.

VHC (Virus hepatitis C) termasuk genus Hepacivirus dari famili Flaviviridae,


merupakan virus berselubung (enveloped) dengan garis tengah 55-65 nm,
mempunyai genom +ssRNA (positive sense, single stranded RNA yang
tingkat mutasinya tinggi. VHC tidak dapat tumbuh pada kultur sel, dan hanya
menginfeksi manusia dan chimpanzee.

Epidemiologi. Sekitar 170 juta orang di seluruh dunia tertular VHC terutama
di Afrika, Mediteranian Timur dan Asia Tenggara.

Penularan seperti VHB terjadi melalui intravenus/parenteral, transfusi darah


dan produk darah, dan trasplantasi organ. Penularan secara vertikal dan
hubungan seksual jarang terjadi. Kepekaan infeksi meningkat pada penderita
yang mengalami koinfeksi dengan HIV.
498

Gambaran klinik. Masa inkubasi 15-150 hari, diikuti gejala umum berupa
lelah dan jaundis, meskipun 60-70% tidak menunjukkan gejala (asimtomatik).
Hepatitis C merupakan 15-20% hepatitis akut di negara maju, dan 80% infeksi
akan berkembang menjadi kronis.

Gambar 265. Virus Hepatitis C (http://www.eidemic.org/thefacts/hepatitisc)

Komplikasi infeksi VHC kronis. Sekitar 70% infeksi VHC akan berkembang
menjadi kronis.

 Sirosis. Sekitar 10-20% infeksi kronis akan menjadi sirosis. Adanya


penyakit hati kronis lainnya meningkatkan beratnya infeksi VHC pada
hati.
 Karsinoma hepatoseluler. Sekitar 1-5% penderita dengan infeksi
VHC akan mengalami karsinoma. VHC merupakan penyebab dari
25% karsinoma hati.

 Kelainan komplek imun. Sering terjadi pada karier VHC

 Koinfeksi . Adanya koinfeksi dengan HIV meningkatkan agresifitas


penyakit hati. Cryoglobulinaemia, diabetes mellitus dan limfoma sel-B
dapat menimbulkan manifestasi ekstrahepatik penderita infeksi VHC

Diagnosis. Diagnosis infeksi VHC ditentukan dengan pemeriksaan serologi


dan PCR Pemeriksaan serologi dengan menemukan IgG spesifik VHC
menunjukkan adanya paparan bukan beratnya infeksi, karena serologi baru
499

positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Pemeriksaan PCR yang menunjukkan


genom

virus di dalam serum 4-6 minggu sesudah infeksi (pada fase akut)
menunjukkan adanya infeksi virus yang sedang terjadi.

Pengobatan infeksi kronis VHC Kombinasi interferon (pegylated interferon)


dengan ribavirin dapat mengatasi 40% dari penyakit. Tidak ada vaksin untuk
mencegah infeksi VHC.

(c). Hepatitis D

Virus hepatitis D atau disebut agen delta untuk berkembang biak


memerlukan bantuan VHB Karena itu infeksi VHD hanya dapat terjadi
jika penderita sudah terinfeksi VHB.

Gambar 266. Struktur virus hepatitis D ( CDC: http://www.healthyoncare)

Virus hepatitis delta (VHD termasuk genus Deltavirus dengan struktur


berukuran garis tengah 36 nm, berkapsul dengan sAg yang merupakan
derivat dari VHB Genom virus adalah (-)ssRNA dengan panjang 1700
nukleotida, yang merupakan genom virus terkecil dari virus-virus yang
menginfeksi manusia. Genom terkode hanya satu protein yang disebut
antigen delta.
500

Gambaran Klinik. Terdapat dua bentuk infeksi VHD yaitu sebagai ko-infeksi
dimana VHD dan VHB bersama-sama menginfeksi seorang penderita dan
sebagai superinfeksi, dimana infeksi VHD terjadi pada penderita yang sudah
terinfeksi VHB. VHD akan memperberat penyakit hati pada karier VHB, dan
infeksi ini mempunyai masa inkubasi sekitar 35 hari. Terjadinya

koinfeksi maupun superinfeksi menyebabkan hepatitis berat (fulminan)


sepuluh kali lebih sering, dan sirosis hati terjadi pada 70-80% penderita
hepatitis.

Pengobatan dan pencegahan, Tidak ada obat untuk mengobati infeksi VHD
tetapi dapat dicegah dengan melakukan pencegahan terhadap infeksi VHB
(dengan melakukan vaksinasi terhadap VHB).

6.11. HTLV dan HIV

HTLV dan HIV termasuk retrovirus yang merupakan virus berselubung yang
mengandung genom RNA yang partikelnya mengandung reverse
transcriptase (RNA dependent DNA polymerase). Enzim ini mengubah
genom RNA ke dalam DNA, yang kemudian melakukan integrasi ke dalam
DNA kromosom hospes Retrovirus menginfeksi berbagai spesies hewan
dan menyebabkan tumor, penyakit autoimun sindrom imunodefisiensi dan
anemia aplastik dan hemolitik.

(a). HTLV

Genus virus ini terbagi menjadi 5 subgenus yang dua diantara subgenus ini
menyebabkan penyakit pada manusia. Subgenus tersebut adalah
Deltaretrovirus (HTLV 1 dan 2) dan lentivirus (HIV 1 dan 2). HTLV 1 adalah
penyebab leukemia atau limfoma, sedangkan HIV 1 dan 2 adalah penyebab
AIDS. Retrovirus lain (HTLV 2, HTLV3 dan HTLV4) belum banyak diketahui
akibatnya pada manusia.

HTLV 1. Deltaretrovirus ini tersebar luas di dunia, tetapi terdapat fokus-


fokus hiperendemis di Jepang Barat Daya, Karibia dan Afrika Barat. Di
daerah insidens tinggi, 30% orang dewasa bisa terinfeksi. Sero
501

prevalensi meningkat sesuai dengan usia, dengan penderita perempuan


dua kali penderita laki-laki. Penularan terjadi melalui hubungan seksual,
transfusi darah dan melalui ASI.

Gambaran Klinik. Sebagian besar infeksi asimtomatik, tetapi bisa terjadi


komplikasi HTLV 1, antara lain:

 Limfoma/ leukemia sel-T,

 Myelopati atau tropical spastic paraparesis

 Dermatitis infektif kronis berupa eksim pada aksila, kulit kepala, telinga,
kulit paranasal dan leher.

 Uveitis

Diagnosis. Ditentukan dengan menemukan antibodi IgG spesifik HTLV1,


Elisa dan Western blot. Selain itu ditemukan DNA proviral di leukosit dengan
PCR

(b). HIV

Pada tahun 1981 sndrom AIDS yang ditemukan pada sekelompok


homoseksual laki-laki dan ditularkan melalui tranfusi darah dilaporkan
dari New York dan Los Angeles. Pada tahun 1983 dapat diisolasi dari
sel-T penderita limfadenopati (persistent generalised lymphadenopathy).
Retrovirus yang menjadi penyebabnya, sekarang disebut HIV1. Pada
tahun 1986 dari seorang penderita AIDS di Afrika Barat ditemukan virus
yang sekerabat, yaitu HIV2.

Pada tahun 2010 diduga terdapat 34 juta orang terinfeksi virus HIV di
seluruh dunia, 22 juta diantaranya di Afrika sub-Sahara, HIV1 merupakan
penyebab utama pandemi AIDS.

Penularan HIV. Infeksi ditularkan melalui beberapa cara, yaitu melalui


hubungan seksual, penularan vertikal, dan melalui darah.
1. Hubungan seksual. Penularan melalui hubungan seksual merupakan
cara penularan yang paling umum terjadi di seluruh dunia, Risiko
502

tertular HIV akan meningkat jika pasangan juga menderita penyakit lain
yang ditularkan melalui hubungan seksual dan pada infeksi HIV primer.
2. Penularan vertikal. Penularan dari ibu pada janinnya merupakan cara
penularan utama kedua, yang terjadi secara in utero selama
kehamilan, infeksi pasca kelahiran (postnatal) atau melalui ASI.
3. Paparan dengan darah. Penularan terjadi melalui jarum suntik
bersama oleh pengguna narkoba intravenus,
4. kecelakaan tertular melalui jarum suntik penderita atau terinfeksi
melalui paparan mukokutan.

Gambar 267.Scanning electron micrograph HIV-1


(CDC: http://philcdc.gov/phil/11279)

Perjalanan infeksi HIV. HIV merupakan infeksi yang persisten pada hospes
dan hanya menyebabkan kematian bertahun-tahun kemudian. Perjalanan
infeksi HIV berlangsung melalui tahapan-tahapan infeksi primer, fase
asimtomatik, fase prodromal dan berakhir sebagai sindrom AIDS.

Infeksi primer.Sebagian besar penderita menunjukkan demam 2-4 minggu


sesudah infeksi. Selain itu juga terdapat sakit tenggorok, keringat malam,
limfadenopati, dan diare. Gejala klinis akan hilang dengan sendirinya.
503

Fase asimtomatik. Sesudah infeksi primer penderita memasuki tahap laten


klinik. Pada fase ini penderita tidak merasa sakit, tetapi dapat menularkan
virus yang sedang memperbanyak diri. Darah penderita mengandung antibodi
HIV (Uji HIV positif). Fase asimtomatik berlangsung beberapa tahun lamanya.

Fase prodromal. Dengan turunnya titer CD4, terjadi berbagai kelainan,


misalnya berat badan menurun, demam, limfadenopati yang persisten,
kandidiasis mulut dan diare. Gejala-gejala ini menunjukkan perjalanan
menunju AIDS.

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

Sindrom AIDS menunjukkan gambaran sebagai berikut:

1. Penyakit konstitusional: demam, diare, berat badan menurun, ruam


kulit.
2. Kelainan neuro-kognitif: dementia, mielopati, neuropati perifer.

3. Imunodefisiensi: kepekaan terhadap infeksi oportunistik meningkat.

4. Keganasan: sarkoma Kaposi, leukoplakia oral berambut, limfoma.

Infeksi HIV pada bayi. Sumber infeksi biasanya adalah ibu bayi. Sekitar
sepertiga bayi yang lahir dengan HIV mempunyai ibu yang positif HIV. Waktu
yang paling berisiko terjadi penularan adalah pada waktu persalinan.
Penularan juga terjadi in utero, dan penularan postnatal melalui ASI. Karena
respon imun belum sempurna, setengah dari bayi yang terinfeksi tidak
menunjukkan fase klinik laten, tetapi menunjukkan penyakit yang progresif
dan bayi meninggal pada usia kurang dari satu tahun. Bayi lainnya
menunjukkan periode laten dan dapat bertahan hidup 5-10 tahun lamanya.
Anak dengan infeksi HIV menunjukkan gejala: pertumbuhan terganggu,
limfadenopati, diare, infeksi oportunistik pneumonia interstitial, parotitis, dsb.
Infeksi oportunistik yang paling sering menyebabkan kematian anak dengan
504

infeksi HIV pada tahun pertama adalah tuberkulosis,pneumocystis jiroveci


dan cytomegalovirus.

Karena itu HAART ( highly active antiretroviral therapy ) sebaiknya diberikan


segera sesudah diagnosis HIV pada anak ditetapkan.

Diagnosis HIV. Untuk menetapkan diagnosis HIV harus ditemukan antibodi


spesifik HIV. IgG terbentuk 4-6 minggu

pasca infeksi dan tetap positif seumur hidup. Untuk memastikan diagnosis,
ada dua keadaan yang memerlukan pemeriksaan lanjutan, yaitu:

(a). Infeksi awal : yaitu waktu sesudah paparan sebelum antibodi dapat
dideteksi (disebut waktu”jendela” atau “window”period).
(b). Bayi dengan ibu HIV positif: Semua bayi mendapatkan antibodi HIV
spesifik secara pasif , tetapi hanya 10-40% yang terinfeksi. Antibodi ini akan
menghilang dalam waktu 12-18 bulan.

Deteksi HIV langsung. Pada dua keadaan ini, deteksi virus HIV harus
dilakukan secara langsung, yaitu dengan menentukan terdapatnya:

1. Antigen virus di dalam serum. Antigen ini ada di darah 3-5 minggu
pasca paparan dan dapat dideteksi 6 hari sebelum antibodi. Sekali
antibodi terbentuk, antigen p24 biasanya sudah menghilang. Antigen
p24 merupakan petanda (marker) berguna pada infeksi awal. .Donor
darah dan donor organ harus diperiksa secara teratur antigen p24 dan
antibodi HIV sebagai screening test primer untuk HIV.
2. Deteksi genom virus (DNA proviral atau RNA viral) dengan PCR
Pemeriksaan ini merupakan indikator sangat sensitif terjadinya infeksi
dan menjadi pemeriksaan pilihan untuk memastikan terjadinya infeksi
HIV pada bayi dari ibu yang positif HIV. PCR positif sekitar 2 minggu
sesudah infeksi dan tetap positif selama terjadi infeksi.

3. Kultur virus. Virus dikultur dari sel mononuklir darah perifer, tidak
secara rutin dilakukan, karena sulit tekniknya.
505

Sebagai petanda perjalanan penyakit dan untuk memonitor respon antiviral


terhadap HIV dilakukan penghitungan CD4, penghitungan total limfosit dan
pengukuran tingkat RNA virus di dalam plasma.

Pengobatan HIV. Belum ada obat untuk memberantas HIV. Pemberian obat-
obatan ditujukan untuk menghambat replikasi virus dan memperpanjang
hidup penderita. Obat diberikan

sedikitnya kombinasi dari tiga obat anti-retroviral (HAART) untuk mencegah


terjadinya resistensi. HAART harus diberikan seumur hidup dan dipantau
terjadinya efek toksik dan respon pada terapi.

Obat anti retro-viral,

Terdapat tiga kelas obat anti-retroviral yang digunakan, yaitu:

 Nucleoside dan nucleotidereverse transcriptase inhibitor


 Non nucleoside reverse transcriptase inhibitor

 Protease inhibitor

Pencegahan HIV. . Untuk mencegah infeksi HIV sesudah terjadi paparan,


diberikan obat anti-retroviral jangka pendek terhadap :

(a). Bayi dari ibu positif HIV: kombinasi obat anti-retroviral pada ibu dan bayi
peri-partum.

(b). Tusukan jarum suntik: diberikan AZT 2 jam sesudah paparan atau
kombinasi 2 atau 3 obat yang berbeda, diberikan selama 28 hari.

(c). Perkosaan: korban diberi obat anti-retroviral selama 28 hari.

6.12. HUMAN PAPILLOMA VIRUS (HPV)


506

HPV menyebabkan lesi kulit khas yang disebut kutil (warts). Papillomavirus
termasuk famili Papovaviridae. Garis tengah virion antara 45-55 nm, dengan
struktur virus yang kecil, ds DNA sirkuler dan tidak berselubung.
Papillomavirus termasuk virus zoonosis yang menginfeksi manusia dan
hewan, misalnya anjing, sapi dan kelinci. HPV mungkin ada kaitannya dengan
proses keganasan, misalnya karsinoma servik, kondiloma akuminta dan
papiloma laring.

Gambar 268. Foto mikroskop elektron HPV


(Sumber: L.Stannard. http://www.virology.uct.ac.za/teachhpv.html)

Kelainan klinik HPV Sebagian besar infeksi HPV berlangsung tenang.


Hanya sebagian kecil orang menunjukkan gejala berupa lesi yang
jelas.berupa warts.
507

Warts. Kutil dapat terjadi di kulit, di mukosa, di laring atau pita suara.

Cutaneous warts Kutil kulit disebabkan oleh HPV tipe 1,2,3,4,5 dan 8
adalah lesi proliferatif jinak yang tidak sakit yang terjadi di kulit yang
sering mengalami lecet, misalnya tangan, kaki, lulut dan siku.Kutil
sangat sering terjadi, terutama pada anak berumur di atas lima tahun,
ada selama berbulan-bulan.

Mucosal warts Kutil mukosa sering disebabkan oleh HPV 6 dan HPV 11.
Lesi paling sering dijumpai di mukosa genital atau di daerah orofaring yang
menyebabkan papiloma laring. Kutil mukosa dapat terjadi selama berbulan-
bulan atau bertahun-

tahun, yang meskipun jinak tetapi menyebabkan gangguan karena terjadinya


kerusakan bentuk daerah genital.

Epidermodysplasia verruciformis. Pada penderita dengan imunodefisiensi


dimana penderita menjadi sangat rentan terhadap infeksi HPV terjadi infeksi
kulit kronis yang ekstensif dengan berbagai tipe HPV. Sebagian dari lesi kulit
dapat mengalami transformasi keganasan.

Laryngeal papillomatosis. Keadaan yang sering terlihat pada bayi dan anak
kecil ini, disebabkan oleh HPV 6 atau 11. Kutil terbentuk di laring, terutama di
pita suara. Infeksi terjadi pada waktu bayi melewati jalan lahir. Anak yang
terinfeksi suaranya parau dan terjadi hambatan jalan udara. Pengobatan
dilakukan dengan pembedahan untuk menghilangkan kutil.

Epidemiologi infeksi genital HPV Infeksi mukosal-tropik HPV umumnya


ditularkan secara seksual. Insidens infeksi paling tinggi pada saat aktifitas
seksual meningkat dan menurun pada umur sekitar 30 tahun dan sesudah itu
meningkat kembali. Pencegahan sulit dilakukan karena sebagian besar
508

infeksi bersifat asimtomatik. Kondom tidak dapat mencegah penularan karena


virus dapat menginfeksi setiap bagian dari mukosa. Sekitar 80% perempuan
pernah terinfeksi HPV dalam hidupnya. Sebagian besar infeksi menghilang
dengan terbentuknya respon imun yang spesifik, dan sebagian tetap
persisten karena adanya infeksi HIV yang menurunkan imunitas hospes
Infeksi HPV yang tidak menyembuh meningkatkan risiko keganasan pada
saluran genital. Laryngeal papillomatosis. Keadaan yang sering terlihat pada
bayi dan anak kecil ini, disebabkan oleh HPV 6 atau 11. Kutil terbentuk di
laring, terutama di pita suara. Infeksi terjadi pada waktu bayi melewati jalan
lahir. Anak yang terinfeksi suaranya parau dan terjadi hambatan jalan udara.
Pengobatan dilakukan dengan pembedahan untuk menghilangkan kutil.
Epidemiologi infeksi genital HPV Infeksi mukosal-tropik HPV umumnya
ditularkan secara seksual. Insidens infeksi paling tinggi pada saat aktifitas
seksual meningkat dan menurun

pada umur sekitar 30 tahun dan sesudah itu meningkat kembali. Pencegahan
sulit dilakukan karena sebagian besar infeksi bersifat asimtomatik. Kondom
tidak dapat mencegah penularan karena virus dapat menginfeksi setiap
bagian dari mukosa. Sekitar 80% perempuan pernah terinfeksi HPV dalam
hidupnya. Sebagian besar infeksi menghilang dengan terbentuknya respon
imun yang spesifik, dan sebagian tetap persisten karena adanya infeksi HIV
yang menurunkan imunitas hospes Infeksi HPV yang tidak menyembuh
meningkatkan risiko keganasan pada saluran genital.

HPV dan karsinogenesis. Beberapa tipe HPV mukosa tropik dapat


menyebabkan kanker pada saluran genital orang sehat, antara lain pada
penis, vulva, anus, vagina dan servik. Kanker servik merupakan kanker
nomor dua pada perempuan di seluruh dunia dan penyebab pertama
kematian pada perempuan di negara berkembang.

Terdapat sekitar 15 tipe HPV menyebabkan kanker, terutama HPV 16 dan


HPV 18.
509

Pemeriksaan lesi pre-maligna . Pembentukan kanker memerlukan waktu


panjang dan diawali dengan terjadinya lesi pre-maligna. Sel servik yang
terinfeksi HPV berbeda morfologinya dari sel tak terinfeksi. Adanya invasi
pada epitel membran dasar menunjukkan pembentukan kanker yang invasif.
Lesi pre-maligna dapat dideteksi dengan pemeriksaan visual, kolposkopi,
sitologi atau histologi atas material biopsi.

Pemeriksaan sitologi. ”Pap smear” luas penggunaannya untuk melakukan


pemeriksaan kanker servik. Usapan sel servik yang dioleskan pada kaca
benda (glass slide) difiksasi dan diwarnai lalu diperiksa di bawah mikroskop.
Pemeriksaan menunjukkan sel yang normal, LSIL (low grade squamous intra-
epithelial lesion), HSIL (high grade squamous intra-epithelial lesion) atau
ASCUS (atypical cells of unknown significance).

Tes DNA HPV Cara terbaik untuk mengetahui penderita yang berisiko kanker
servik adalah mendeteksi DNA HPV risiko tinggi pada sel servik. Tetapi cara ini
tidak dapat membedakan

apakah penderita menderita HPV yang transien atau persisten.


Pemeriksaan DNA HPV berguna bersama pemeriksaan sitologi pada:

 Perempuan tua (jika positif, mungkin menderita infeksi persisten


dengan HPV tipe risiko tinggi).
 Untuk memastikan hasil pemeriksaan pap smear ASCUS
 Menetapkan perempuan yang memerlukan pemeriksaan lanjutan.
510
511

BAB 7
MIKOLOGI KEDOKTERAN

7.1.PENDAHULUAN

7.2, GAMBARAN UMUM JAMUR

7.3. REPRODUKSI JAMUR

7.4. KLASIFIKASI JAMUR

7.5. KARAKTER PENYAKIT JAMUR

7.6.JAMUR-JAMUR PENYEBAB PENYAKIT

7.7. PENYAKIT JAMUR

7.8. PENATALAKSANAAN MIKOSIS


512

7.1. PENDAHULUAN

Dunia makhluk hidup terbagi menjadi lima kerajaan (kingdom), yaitu Plantae,
Animalia, Fungi, Protista dan Monera. Pada pengelompokan ini fungi atau
jamur tidak sekerabat dengan bakteri (Monera).

Terdapat sekitar 100.000-200.000 spesies fungi, 300 spesies diantaranya


dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Fungi patogen untuk manusia
terdiri dari empat filum, yaitu: Ascomycota, Basidiomycota, Zygomycota dan
Fungi Imperfecti ( Fungi Mitosporik).

Mold adalah tipe jamur yang tumbuh sebagai filament multiseluler yang
disebut hifa (hyphae). Tabung ini mempunyai banyak percabangan, inti yang
secara genetik identik, sehingga membentuk kumpulan dari satu organisme
atau koloni Sedangkan ragi (yeast ) merupakan tipe jamur yang tumbuh
513

sebagai satu sel. Jika tak terdapat flagel, sel tersebut disebut ragi dan dapat
membentuk tunas (budding).

Yeast adalah kelompok jamur yang bagian superfisialnya homogen. Ragi


tumbuh sebagai bentuk sel tunggal yang memperbanyak diri dengan cara
pembelahan sel (fission), pembentukan tunas (budding) atau kombinasi
kedua cara tersebut. Dalam keadaan yang sesuai, ragi memperbanyak diri
secara seksual, dengan membentuk ascospore atau basidiospora. Termasuk
jamur mirip ragi adalah basidiomycetes misalnya Cryptococcus neoformans
atau ascomycetes misalnya Candida albicans

Jamur mirip ragi (yest-like fungi) atau ragi imperfekti (imperfect yeast) hanya
mengadakan reproduksi secara aseksual. Identifikasi jamur ini ditetapkan
berdasar kombinasi morfologi (menentukan genera) dan kriteria biokimiawi
(menentukan spesies).

Tabel 35. Diferensiasi dan identifikasi jamur (mold ) dan ragi (yeast )

Mold Yeast
Jamur yang mengandung banyak inti
Definisi yang identik, dan tumbuh dalam Jamur yang hanya
bentuk hifa dari filament mengandung satu sel.

Berambut berwarna oranye, hijau,


Gambaran hitam,coklat, merah muda atau ungu. Putih dan seperti benang.

Produksi makanan: Penicillium dalam


Penggunaan produksi keju, Neurospora dalam Produksi etanol, suplemen
pembuatan oncom. vitamin, studi siklus sel.

Sekresi enzim hidrolisis yang


Produksi memecah biopolymer misalnya Konversi karbohidrat men
energi tepung, selulosa dan lignin menjadi jadi alkohol dan karbon di
substansi sederhana yang bisa oksida melalui fermentasi
diserap. anaerobik. Membuat
karbon dari gula hexose.
514

Menyebabkan infeksi pada


Gangguan Menyebabkan alergi dan gangguan orang dengan sistem imun
kesehatan pernapasan. “compromised”

Ada dimana-mana: buah,


Habitat Tempat yang lembab dan gelap. di lambung mamalia, kulit,
dan lainnya

Sekitar 1500 spesies (1%


Spesies Ribuan spesies termasuk penicillium. dari semua jamur).

Sebagian besar reproduksi


Reproduksi Melalui spora, seksual atau aseksual. aseksual melalui mitosis,
terutama membentuk
tunas (“budding”).

(http://www.diffen.com/difference/Mold_vs_Yeast )

Beberapa jenis jamur bersifat dimorfik yang memunyai dua fase, yaitu fase
ragi dan fase filamen. Filamen-filamen yang membentuk struktur jamur
multiseluler disebut hifa (hypha). Beberapa jenis hifa mempunyai sekat
dinding antar sel yang disebut septum. Jaringan hifa yang luas disebut
miselium (mycelium).

Gambar 269. Miselium yang terdapat pada daun


(http://www.clarku.edu/faculty/dhibbett)
515

Miselium menghasilkan enzim digestif, menyerap nutrien, dan melakukan


perkawinan. Beberapa jenis jamur membentuk rhizomorph yang bentuknya
mirip akar yang memungkinkan jamur tumbuh cepat di atas pohon atau di
dasar hutan. Jamur yang lain membentuk massa yang disebut sclerotia untuk
melindungi dirinya dari lingkungan yang sulit, misalnya dari kekeringan atau
dari pembekuan.

Untuk melakukan reproduksi miselium membentuk sporangium yang


kemudian membentuk spora. Sporangium dapat bersifat seksual atau
aseksual. spora yang terbentuk secara seksual disebut meiospora untuk
melakukan meiosis sedangkan spora yang terbentuk aseksual disebut
mitospora atau

konidia. Bentuk sporangium yang bermacam-macam digunakan untuk


melakukan identifikasi dan klasifikasi jamur. Pada reproduksi aseksual hifa
khusus yang disebut sporangiophore yang membentuk sporangium
didalamnya, melalui mitosis membentuk spora yang kemudian disebarkan.

Gambar 270. Sporangium, sporangiophore dan spora pada reproduksi


aseksual (.http://faculty.baruch.cuny.edu)
516

Gambar 271. Reproduksi aseksual pada Rhizopus nigricans


( http://faculty.baruch.cuny.edu)

Pada reproduksi seksual, hifa-hifa yang melakukan kontak seksual ujung-


ujungnya membengkak dan sitoplasma keduanya

bercampur. Inti-inti kedua induk memasuki daerah yang membesar tersebut


lalu terbentuk zigospora yang berdinding tebal, kasar dan berwarna coklat.
Inti-inti kemudian mengadakan fusi menjadi sel diploid, dan sesudah terjadi
meiosis akan terbentuk spora haploid yang kemudian disebarkan.

Gambar 272. Reproduksi seksual pada Rhizopus nigricans


(http://faculty.baruch.cuny.edu)

7.2. GAMBARAN UMUM JAMUR


517

Jamur umumnya menunjukkan gambaran umum dari karakter, bentuk,


dinding sel, spora, kemampuan reproduksi dan sifat resistensi terhadap
antibiotika.

Karakter jamur

Karakter jamur pada umumnya dapat bersiap eukariotik atau


heterotrofik.

 Eukariotik (eukaryotic). Organisme ini mempunyai sel membran


yang membungkus organel sel, termasuk inti, mitokondria, aparat
golgi, reticulum endoplasmic, lisosom, dan lainnya. Selain itu jamur
menunjukkan adanya mitosis . Hal ini berbeda dengan bakteri yang
termasuk sel prokariotik yang tidak menunjukkan struktur mitosis.

 Heterotrofik (heterotrophic). Jamur tidak mempunyai klorofil dan


bukan organisme autotrofik (fotosintetik).

Karakter ini berbeda dari tumbuhan dan algae . Organisme dapat


bersifat absorptif heterotrofik, bersifat saprofitik (hidup dari bahan
organik mati) atau parasitik (hidup dari jaringan hidup).

Bentuk jamur. Jamur dapat tersusun dari satu sel (uniseluler) atau dapat
berbentuk dari banyak sel (multiseluler) sampai berbentuk filamen
(filamentous)
Dinding sel Jamur mempunyai dinding sel yang kaku (rigid), sehingga
jamur tidak dapat bergerak aktif (non motil), berbeda dengan dinding sel
hewan.
Spora. Jamur dapat membentuk spora
Reproduksi. Jamur mampu melakukan reproduksi seksual maupun
reproduksi aseksual.
Resistensi Jamur resisten terhadap antibiotika
Morfologi jamur patogen
518

Jamur patogen dapat berbentuk sebagai ragi (yeast) atau sebagai hifa
(hyphae) yang merupakan satuan filamen jamur. Kumpulan hifa (hypha)
disebut miselium (mycelium).

Gambar 273. HIfa, satuan filament jamur.


(http://www.tutorvista.com/content/biology)

Berbagai struktur jamur lainnya adalah:

Columella (jamak: columellae). Kolumela adalah struktur steril mirip kubah


yang terletak di ujung sporangiophore atau di dalam sporangium.

Conidiophore. Konidiofor adalah hifa khusus tempat pembentukan spora.

Conidium (jamak:conidia). Konidium adalah organ reproduksi aseksual untuk


memperbanyak diri jamur, yang tidak turut serta pada pemecahan sitoplasma.

Metula (jamak: metulae). Metula adalah sel steril yang terletak di bawah
phialide pada beberapa spesies Aspergillus dan Penicillium.

Sterigma (jamak:sterigmata). Sterigma adalah suatu struktur kecil dimana


terbentuk basidiospora.
519

Gambar 274. Konidia , reproduksi aseksual


(http://www.tutorvista.com/content/biology)

Sporangiophore. Sporangiofor adalah hifa khusus yang membawa sebuah


sporangium.
Sporangiospore. Sporangiospora adalah suatu spora aseksual yang
terbentuk di dalam sebuah sporangium.

Sporangium (jamak: sporangia). Struktur mirip kantung yang memproduksi


spora aseksual endogen melalui pemisahan (cleavage) sitoplasmik.
Spora. Sarana reproduksi yang terbentuk dengan cara meiosis atau mitosis
melalui pemisahan sitoplasma.
Vesikel (vesicle). Sel yang membengkak.
520

Gambar 275. Sporangium , reproduksi aseksual


(http://www.tutorvista.com/content/biology)

(a). Ragi (yeast)

Ragi adalah bentuk uniseluler yang melakukan reproduksi dengan cara


pembentukan tunas (budding) sederhana untuk membentuk blastokonidia
(blastoconidia)., Miselium mempunyai struktur filament multiseluler, yang
terdiri dari sel berbentuk tabung yang berdinding sel. Koloni yang terbentuk
biasanya lembab atau berlendir (mukoid). Termasuk dalam jamur ini adalah
Basidiomycetes (misalnya Crytococcus neoformans) atau Ascomycetes
(misalnya Candida albicans )

Gambar 276. Candida albicans, jamur dimorfik stadium ragi dan hifa
(http://pathmicro.med.sc.edu/mycology/mycology-1.htm)

Candida albicans adalah jamur mirip ragi (yeast like fungus) yang terdapat di
kulit manusia, saluran napas atas, saluran pencernaan dan saluran genital
perempuan. Jamur ini mempunyai siklus hidup dimorfik dengan stadium ragi
dan stadium hifa. Ragi membentuk hifa dan pseudohifa. Pseudohifa akan
memperpanjang sel ragi dengan membentuk tunas ke ujung sel atau ke arah
lateral.

(b). Hifa
521

Miselium membentuk percabangan yang merupakan ciri untuk identifikasi


morfologi. Miselium yang tidak mempunyai sekat (septum) disebut non-septa
(coenocytic).
Bentuk filamen atau kapang (mold) merupakan pertumbuhan vegetatif dari
filamen yang mempunyai struktur seperti jamur (mushroom) yang terdiri dari
sejumlah filamen yang saling terikat erat, dan melakukan reproduksi dengan
membentuk spora

atau konidia. Kapang membentuk berbagai jenis konidia yang tumbuh pada
filament jamur atau hifa khusus atau konidiofor. Banyak kapang yang dapat
diidentifikasi dengan melihat morfologi spora dan susunannya pada hifa.
Kumpulan dari hifa disebut miselium (mycelium). Terdapat dua jenis hifa,
yaitu hifa yang tidak bersekat (non-septate atau coenocytic) dan hifa yang
bersekat (septate). Septa membagi hifa menjadi ruangan-ruangan tetapi tidak
sampai ke dalam sel.

Jamur tak bersekat merupakan ciri khas Zygomycetes yang primitif karena
jika bagian tepi hifa mengalami kerusakan, seluruh bagian tepi sel akan mati.
Jamur bersekat merupakan ciri khas Basidiomycetes dan Ascomycetes
(termasuk disini adalah Hyphomycetes atau fungi konidial (conidial fungi).
Jika tepi sekat hifa rusak, pori antara ruangan yang berdekatan dapat
disumbat sehingga dapat dicegah kematian pada seluruh bagian tepi hifa.
Beberapa jenis fungi yang mempunyai bentuk ragi maupun bentuk miselium
disebut fungi dimorfik.

Fungi dimorfik. Fungi dimorfik mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk ragi
(yeast) dan bentuk miselium (mycelium).
522

 Yeast (ragi). Bentuk ragi merupakan bentuk parasitik atau patogenik,


yang sering dijumpai di jaringan, di dalam eksudat atau terbentuk jika
fungi dibiakkan pada suhu 370C.
 Mycelium . Bentuk miselium bersifat saprofitik, yang ditemukan di
alam atau jika fungi dibiakkan pada suhu 25 0C. Konversi atau
perubahan bentuk menjadi bentuk ragi menunjukkan terjadinya
perubahan patogenitas jamur. Fungi dimorfik dapat diidentifikasi
dengan melihat morfologinya atau dengan melihat karakter
biokimiawinya termasuk pembentukan spora. Spora aseksual dapat
berukuran besar (makrokonidia, klamidospora) atau berukuran kecil
(mikrokonidia, blastospora, arthrokonidia).

7.3. REPRODUKSI JAMUR

Terdapat dua tipe dasar reproduksi pada jamur, yaitu tipe seksual dan tipe
aseksual.

(a). Reproduksi seksual. Tipe reproduksi ini terjadi melalui fusi dua inti dan
kemudian mengalami meiosis. Metoda reproduksi seksual meliputi
plasmogamy (terjadi fusi sitoplasma dua sel), karyogamy (terjadi fusi dua inti),
rekombinasi genetik dan meiosis. Hasilnya berupa spora haploid yang
merupakan spora seksual, misalnya zygospore, ascospore dan basidiospore.
Jika spora seksual hanya diproduksi oleh fusi satu inti dari satu tipe
perkawinan (mating) dengan satu inti dari tipe perkawinan lainnya (strain +
dan strain - ), jamur disebut sebagai heterotali (heterothalli). Sebaliknya,
jamur homotalik menghasilkan spora seksual diikuti terjadinya fusi dua inti
dari strain yang sama.
523

(b). Reproduksi aseksual. Pada reproduksi aseksual konidia terbentuk


dengan cara pembentukan tunas (budding) dari hifa konidiogenus atau
melalui diferensiasi hifa. Spora aseksual biasanya terbentuk melalui
pemisahan /pemecahan sporangium. Bentuk aseksual reproduksi merupakan
metoda utama untuk memelihara kehidupan dan penyebaran jamur.

7.4. KLASIFIKASI JAMUR

Dasar klasifikasi jamur adalah pada cara reproduksi spora atau reproduksi
seksual dan adanya tiga subdivisi utama, yaitu Basidiomycotina, Zygomycota
dan Ascomycotina. Selain itu terdapat kelas Hyphomycetes yang patogen
untuk manusia .

(1). Basidiomycotina. Basidiomycetes merupakan kelompok jamur yang


bersifat saprofitik dan parasitik, tersebar luas di daratan bumi. Hifanya yang
merupakan dikariotik mempunyai
sekat (septa) dengan pori-pori septa yang disebut dolipore yang berperan
dalam migrasi sitoplasma tetapi tidak berperan dalam migrasi inti.
Reproduksi seksual dilakukan dengan membentuk empat basidiospora
eksogen pada basidium. Beberapa spesies membentuk konidia tetapi
sebagian besar adalah steril. Terdapat empat kelas Basidiomycetes, yaitu
Hymenomycetes, Gasteromycetes, Urediniomycetes, dan Ustaliginomycetes.
Beberapa genus dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia,
misalnya keracunan jamur dan basidiomikosis.
524

Gambar 277. Jamur beracun, Amanita muscaria ( Fly agaric)


(http://www.hawaii.botany.edu/faculty/wong/-/.htm)

(2). Zygomycota. Zygomycetes merupakan kelompok fungi saprofit yang


merupakan sel nonmotil yang tersebar luas di daratan di seluruh dunia ini
dapat berkembang dengan cepat, mempunyai hifa yang coenocytic dan
umumnya tidak mempunyai sekat (aseptate). Di dalam sporangium pada
sporangiofora terdapat spora aseksual, klamidokonidia, konidia dan
sporangiospora. Reproduksi seksual menghasilkan spora dengan dinding
tebal yang disebut zygospora.

Beberapa ordo dan genus dapat menyebabkan penyakit pada manusia,


antara lain zygomikosis subkutan dan sistemik.

(3). Ascamycotina. Ascomycetes merupakan jamur yang bersifat saprofitik


dan parasitik atau pembentuk lichen (kumpulan jamur dan lumut), sebagian
besar hidup di daratan dan bersifat kosmopolit. Hifa bersepta dengan pori
septum yang sederhana yang tidak dapat menghambat migrasi inti dan
sitoplasmik. Reproduksi seksual oleh konidia, dengan membentuk delapan
ascospora endogen di dalam ascus.
525

Beberapa genus Ascomycetes bersifat patogen pada manusia, antara lain


menjadi penyebab mycetoma dan piedra hitam.

Gambar 278. Jamur Ascomycetes


(http://pollen.utulsa.edu/Spores/ascomycetes.html)

Hyphomycetes. Kelas kapang (mold ) miselial ini melakukan reproduksi


seksual dengan konidia pada hifa bersepta yang mempunyai pori septa
sederhana.

Identifikasi hyphomycetes dilakukan berdasar morfologi mikroskopik konidia,


karakter kultur dalam hal tekstur permukaan, topografi, pigmentasi dan
pertumbuhannya pada suhu 370C.

7.5. KARAKTER PENYAKIT JAMUR

Terdapat empat tipe penyakit jamur, yaitu hipersensitivitas (reaksi alergi


terhadap spora dan kapang), mikotoksikosis (keracunan makanan yang
tercemar toksin jamur dari substrat beras dan padi-padian), mycetismus:
526

akibat termakan toksin (keracunan jamur) dan infeksi yang merupakan invasi
jamur pada jaringan yang menyebabkan terjadinya respon hospes.

Patogenesis penyakit jamur. Kemampuan jamur dalam menyebabkan


penyakit merupakan fenomena kebetulan, kecuali pada dermatophyte, yang
tidak memerlukan pertumbuhan atau penyebaran spesies jamur.
Pada tubuh manusia, pertumbuhan jamur dihambat secara fisiologik oleh
temperatur dan potensial redox. Sebagian besar jamur adalah mesofilik dan
tidak dapat berkembang pada suhu 37 0C. Jamur juga banyak yang hidup
secara saprofitik yang fungsi jalur enzimatiknya lehih efisien pada potensial
redox pada substrat benda mati dari pada di lingkungan metabolisme
jaringan hidup. Selain itu tubuh hospes sistem pertahanan seluler yang efisien
untuk melawan proliferasi jamur. Karena itu dasar patogenesis penyakit jamur
adalah kemampuan jamur untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
jaringan hospes dan melawan kemampuan sel hospes untuk menyebabkan
lisis pada jamur. Secara umum, mikosis pada manusia lebih ditentukan oleh
status imunitas hospes dan paparan lingkungan, dan bukan oleh organisme
yang menginfeksi. Sejumlah kecil jamur mampu menyebabkan infeksi pada
orang sehat karena mempunyai kemampuan enzimatik khusus, menunjukkan
sifat dimorfisme termal dan mampu menghambat sistem pertahanan imun
hospes. Selain itu terdapat jamur oportunistik (yang virulensinya

rendah) yang dapat menyebabkan infeksi pada individu yang mengalami


gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Infeksi jamur oportunistik yang
meningkat prevalensinya antara lain adalah kandidiasis, kriptokokosis,
aspergilosis, dan zigomikosis.

Pemeriksaan Mikroskopi dan Pewarnaan. Pemeriksaan mikroskopi dapat


dipermudah dengan melakukan pewarnaan sediaan jamur. Berbagai jenis
pewarnaan jamur dapat dilakukan, antara lain Lactophenol Cotton
Blue, .Potassium Hydroxide (KOH) dengan Chlorazol Black, KOH-DMSO
Preparation, India Ink Mounts, Cellotape Flag Preparations, Slide Culture
527

Preparations, Southgate's Mucicarmine stain, Periodic acid-Schiff (PAS) dan


PAS Digest stain serta Grocott's Methenamine Silver (GMS) stain

 Calcofluor white dengan 10% KOH. Untuk pemeriksaan kerokan


kulit, rambut, kuku dan bahan elemen jamur lainnya, digunakan
calcofluor white, bahan pemutih pada industri kertas. Pemeriksaan
dilakukan dengan mikroskop fluoresen dilengkapi filter ultraviolet.
 Pewarnaan tinta India. Pemeriksaan langsung terhadap cairan
serebrospinal (CSF-cerebrospinal fluid) untuk mendeteksi
Cryptococcus neoformans. Pewarnaan ini dilakukan dengan menetesi
sediaan dengan setetes tinta India, mencampurnya dengan baik
dengan sengkelit (loop) steril, lalu ditutup dengan kaca penutup
(coverslip).

 Pembuatan slide kultur Riddel Untuk mempelajari morfologi jamur


dengan teliti,misalnya susunan konidiofor dan proses produksi spora
(conidial ontogeny) dengan menggunakan satu lempeng agar nutrien
potato dextrose; kadang-kadang diperlukan media untuk merangsang
sporulasi misalnya cornmeal agar.

 Periodic acid-Schiff (PAS) dan PAS Digest stain. Pewarnaan untuk


menunjukkan adanya glikogen dan neutral mucins dan elemen jamur di
dalam sediaan

jaringan Cara pewarnaan: elemen jaringan dioksidasi dengan periodic


acid untuk membentuk aldehid. Aldehid akan bereaksi dengan reagen
Schiff menghasilkan komponen berwarna magenta (merah tua). Pada PAS
Digest, glikogen dicerna dengan amilase air ludah yang ada di air ludah.
Hasil pemeriksaan, bahan yang PAS positif berwarna magenta, inti
berwarna biru, dan bahan PAS digest , tidak berwarna.
528

 Grocott's Methenamine Silver (GMS) stain. Pewarnaan GMS


merupakan pewarnaan penting untuk mendeteksi adanya elemen
jamur di dalam sediaan jaringan jika penyebab infeksi diduga adalah
jamur. Mekanisme pada pewarnaan ini adalah chromic acid bereaksi
dengan jamur yang memiliki aldehid yang mengurangi jumlah
campuran hexamin-silver untuk memproduksi endapan hitam
(disebut argentaffin reaction). Jamur berwarna hitam.
 Southgate's Mucicarmine stain. Pewarnaan modifikasi metoda
Mayer ini bertujuan untuk mendeteksi material kapsul Cryptococcus
neoformans. Mucicarmin mewarnai acidic mucin menjadi merah muda.

 Cellotape Flag Preparations. Teknik ini memberikan hasil yang


sangat baik untuk secara cepat melekatkan (mounting) jamur yang
mengadakan sporulasi karena struktur reproduksi tidak rusak.

Media Kultur jamur. Berbagai media kultur untuk jamur antara lain adalah:
Sabouraud's Dextrose Agar (untuk ragi dan mold ), Dixon's Agar
(Malassezia furfur), Czapek Dox Agar (untuk Aspergillus dan
Penicillium), Cornmeal Glucose Sucrose Yeast Extract Agar untuk
Zygomycetes, Sabouraud's Dextrose Agar untuk Dermatophytes. Selain
itu dilakukan Hair Perforation Test pada dermatophytes, dan Rice Grain
Medium untuk Microsporum.

Gambar 279. Kultur jamur Sporothrix schenckii pada lempeng Sabouraud’s


dextrose agar. (Sumber : Lucille K.Georg, CDC)
529

7.6. JAMUR-JAMUR PENYEBAB PENYAKIT

7.6.1. DERMATOPHYTES

Morfologi mikroskopik dari mikrokonidia dan atau makrokonidia merupakan


dasar identifikasi dermatofit, yang bisa dilakukan dengan menggunakan
sediaan mikroskopis (slide) yang baik dan pada beberapa strain dapat
dipermudah dengan merangsang sporulasi. Karakter kultur, misalnya tekstur
permukaan, topografi dan pigmentasi bervariasi sehingga hanya dapat
membantu identifikasi. Gambaran klinik, misalnya lokasi lesi, bentuk lesi,
lokasi geografis, riwayat perjalanan, kontak dengan hewan dan ras, penting
untuk identifikasi spesies tidak membentuk spora (non-sporulating) yang
jarang ditemukan, misalnya M.audouini, T.concentricum dan T.schoenleinii.

Terdapat tiga genus dermatofit, yaitu Epidermophyton, Microsporum dan


Trichophyton. Jamur-jamur genera dermatofit tersebut mempunyai
karakteristik sebagai berikut:

 Epidermophyton:: membentuk makrokonidia yang berdinding tipis,


koloni berwarna coklat kehijauan sampai berwarna khaki. Tidak
mempunyai mikrokonidia.
 Microsporum: makrokonidia berdinding kasar; mikrokonidia juga
terbentuk.
 Trichophyton: mikrokonidia selalu terbentuk; makrokonidia yang
berdnding halus, kadang-kadang terbentuk.
Tabel 36. Diferensiasi karakter Dermatofit berdasar tempat infeksi,
makrokonidia dan mikrokonidia.

Karakter Trichophyton Microsporum Epidermophyton

Tempat Kulit, rambut, Kulit, rambut Kulit. kuku


infeksi kuku
Makrokonidia Jarang,dinding Banyak, dinding Banyak,dinding
530

tipis,halus,bentuk tebal,kasar, halus, seperti


seperti pensil bentuk spindle tongkat (club
(gelondong) shaped)
Mikrokonidia Banyak Jarang Tidak ada
Contoh T.rubrum, E.floccosum
T.schoenleini M.canis,M.fulvum,
M.nanum,M.andoui
ni
(www.mycology.adelaide.edu.au)

(a). Microsporum

Semua spesies Microsporum termasuk genus Arthroderma. Morfologi


makrokonidia penting untuk melakukan identifkasi spesies Microsporum.
Strain M.canis sering tidak membentuk makrokonidia atau mikrokonidia pada
biakan dengan media isolasi primer. Karena itu harus dilakukan subkultur
pada beras yang dipoles (polished rice grains) untuk merangsang sporulasi.
Strain M.canis yang tidak mengadakan sporulasi sukar dibedakan dari
M.audouinii.

Microsporum adalah jamur berfilamen bersifat keratofil yang termasuk


kelompok dermatofit. Terdapat spesies Microsporum spp. yang hidup di tanah
(spesies geofilik), hidup pada hewan (zoofilik) dan yang hidup pada manusia
(antropofilik).
Sebagian besar Microsporum tersebar luas di seluruh dunia, tetapi ada juga
Microsporum yang hanya ditemukan hidup pada suatu daerah tertentu saja.

Patogenesis dan gejala klinis


Microsporum merupakan salah satu genus penyebab dermatofitosis, infeksi
jamur pada rambut, kulit atau kuku. Seperti halnya dermatofit lainnya,
Microsporum mampu memecah keratin sehingga dapat hidup pada kulit
dalam keadaan tidak invasif. Seperti keratinase, enzim proteinase dan
elastase jamur merupakan faktor virulensi. Sebagian besar spesies
531

Microsporum menginfeksi rambut dan kulit, kecuali M.persicolor yang tidak


menginfeksi rambut. Kuku sangat jarang terinfeksi jamur ini.
Patogenesis dermatofitosis tergantung pada sumber alami spesies. Spesies
geofilik didapat melalui paparan dengan tanah, sedangkan spesies zoofilik
ditularkan oleh hewan yang terinfeksi. Pada spesies antropofilik, penularan
dari manusia –ke-manusia dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung
melalui cairan yang dikeluarkan tubuh (fomites ) Juga dapat ditemukan karier
yang asimtomatik.

Morfologi Microsporum
Gambaran makroskopis. Microsporum yang tumbuh pada Sabouraud’s
0
dextrose agar pada suhu 25 C membentuk koloni yang berbulu atau
bertepung dengan garis tengah 1-9 cm sesudah masa inkubasi 7 hari. Warna
koloni tergantung pada spesiesnya, bisa berwarna putih, kelabu atau kuning
dan cklat muda. Warna koloni dari bagian bawah tampak berwarna kuning
sampai coklat kemerahan. Perbedaan morfologi makroskopik dan warna
koloni digunakan untuk diferensiasi interspesies. Selain itu dengan uji
perforasi rambut in vitro (uji kemampuan tumbuh

pada butiran beras) pada suhu 370C dapat dilakukan diferensiasi spesies
Microsporum.

Gambaran mikroskopis Spesies Microsporum mempunyai hifa yang


bersepta, mikroaleuriokonidia dan makroaleuriokonidia. Konidiofor bentuknya
mirip hifa. Mikroaleuriokonidia uniseluler, soliter, berbentuk oval, halus, tidak
berwarna dan berdinding tipis. Makroaleuriokonidia tidak berwarna, kasar,
dinding tipis sampai tebal, berbentuk fusiform seperti kumparan dan
multiseluler (2-15 sel).
Inokulasi pada medium tertentu misalnya Sabouraud’s dextrose agar yang
diberi tambahan 3-5% sodium klorida dapat merangsang pembentukan
makrokonidia. Bentuk makrokonidia dan kepadatan mikrokonidia dapat
digunakan untuk melakukan diferensiasi spesies-spesies Microsporum.
532

1. Microsporum canis
Spesies jamur ini menunjukkan karakter sebagai berikut:
 Bersifat zoofilik. Hospes reservoir yang umum terinfeksi adalah kucing
dan anjing.
 Makrokonidia berbentuk kumparan (spindle) yang terdiri dari 5-15 sel,
tak rata, berdinding tebal dan sering terdapat tonjolan diujungnya
(terminal knob).
 Koloni rata, berwarna putih sampai kuning krim. Permukaan seperti
kapas tebal, bagian belakang (reverse) membentuk pigmen berwarna
keemasan; ada strain yang tidak membentuk pigmen.
 Invasi rambut ektotriks pada uji perforasi rambut pada butiran beras
terpoles positif; pertumbuhan dan sporulasi berlebihan.

Hospes reservoir M.canis adalah kucing dan anjing. Pada manusia jamur ini
menyebabkan tinea capitis dan tinea corporis. Pada orang dengan
immunocompromised kadang-kadang terjadi lesi mirip-misetoma.
M.canis tumbuh cepat pada medium Sabouraud dextrose agar yang
diinkubasi pada 25 0 C selama 7 hari, dengan garis tengah
koloni antara 3-9 cm. Tekstur koloni seperti kapas atau wool dan permukaan
datar atau berlekuk radial. Koloni berwarna putih sampai kekuningan dari atas
sedangkan dari bawah tampak berwarna kuning keemasan sampai kuning
kecoklatan. M.canis yang tumbuh di butiran beras, membentuk pigmen
berwarna kuning. Berbeda dari M.audouinii, jamur M.canis menunjukkan uji
perforasi rambut (perforating hair test) dan tumbuh pada beras yang sudah
dipoles.
Beberapa strain tidak membentuk pigmen.
533

Gambar 280. Kultur Microsporum canis pada Sabouraud dextrose agar


(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Fungal_Descriptions)

Gambaran mikroskopis. Microspoum canis membentuk hifa yang bersepta,


makrokonidia dan mikrokonidia. Makrokonidia berbentuk seperti gelondong
(spindle), dengan ujung berdungkul. Makrokonidia terdiri dari 5-15 sel,
panjang, kasar dan mempunyai dinding luar sel yang tebal dan dinding septa
yang tipis. Mikrokonidia uniseluler, berbentuk piriform kadang-kadang dapat
ditemukan. Pada media isolasi primer makrokonidia dan mikrokonidia
biasanya belum terbentuk.

Gambar 281. Microsporum canis dengan makrokonidium fusiform berdinding


tebal dengan 11 sel internal (http://www.scielo.br)

2. Microsporum gypseum

Jamur M.gypseum bersifat geofilik, hidup di tanah. Bentuk seksual jamur ini
(teleomorph) adalah Arthroderma gypseum dan A.incurvatum. Pada
534

Sabouraud’s dextrose agar, koloni M.gypseum biasanya pipih, menyebar,


granuler, dengan permukaan koloni berwarna kuning tua sampai merah
kecoklatan seperti kulit yang disamak. Banyak kultur membentuk kubah putih
miselium. Pada dasar koloni terbentuk pigmen coklat kekuningan, dengan
bintik coklat tua di tengahnya, sedangkan beberapa strain membentuk warna
coklat kemerahan. Sifat invasi rambut ektotriks berspora besar mirip M.fulvi.

Gambar 282. Koloni Microsporum gypseum dilihat dari permukaan dan


dasarnya (http://labmed.ucsf.edu/education/residency/fung morph )

Biakan juga membentuk banyak makrokonidia simetris yang mempunyai 4-6


sel, berbentuk elips, berdinding tipis, berdungkul-dungkul (verrucose). Ujung
makrokonidia umumnya agak membulat, sedangkan ujung bagian proksimal
(tempat melekatnya hifa) adalah rata.

.
Gambar 283. Makrokonidia Microsporum gypseum
(http://www.vetmed.wisc.edu)
535

Gejala Klinik. Jamur geofilik yang luas sebarannya ini dapat menyebabkan
dermatofitosis pada hewan dan manusia, terutama anak-anak dan pekerja di
daerah pedesaan selama musim panas yang lembab. Lesi yang terjadi pada
kulit dan kulit kepala berupa radang tunggal. Rambut yang terserang
menunjukkan infeksi di bagian luar rambut (ectothrix), yang dengan alat sinar
ultraviolet lampu Wood tidak menunjukkan fluoresensi

3. Microsporum nanum

M.nanum adalah jamur geofilik dan zoofilik yang sering menyebabkan lesi
keradangan kronik pada babi dan kadang-kadang menimbulkan tinea pada
manusia tersebar luas di

seluruh dunia. .Infeksi pada manusia biasanya terjadi karena kontak


langsung dengan babi atau cairan tubuh babi. Pada uji butiran beras rambut
yang terserang jamur ini menunjukkan infeksi ektotriks atau endotriks yang
jarang terjadi dan tidak menunjukkan fluoresensi jika disinari dengan sinar
ultraviolet dari lampu Wood.

Koloni jamur ini datar, berwarna krim dengan tekstur permukaan seperti
bedak Di bagian baliknya (reverse) berwarna coklat tua kemerahan. Koloni
muda membentuk pigmen merah kecoklatan yang berubah menjadi coklat
tua kemerahan sesuai dengan umur koloni.
536

Gambar 284. Kultur Microsporum nanum


(http://www.mycology.adelaide.edu.au)

Kultur jamur membentuk sejumlah makrokonidia berukuran kecil, berbentuk


ovoid atau piriform, terdiri dari 1-3 sel, yang berdinding tipis kasar. Banyak
makrokonidia terjadi pada konidiofor yang tidak terwarnai dengan baik.

Gambar 285. Makrokonidia M.nanum


(http://www.mycology.adelaide.edu.au)

(b). Trichophyton

Berdasar pemeriksaan mikroskopi langsung Trichophyton dapat dibagi


menjadi dua kelompok, yaitu:
537

 Kelompok yang membentuk mikrokonidia; makrokonidia ada atau tidak


ada (T.equinum,T.erinacei, T.tonsurans, T.terrestre).
 Kelompok yang tidak membentuk konidia. Pada kelompok ini mungkin
ada klamidospora atau struktur hifa lainnya (T.verrucosum,
T.violaceum, T.concentricum,T.schoenleinii dan T.soudanense).

Genus Trichophyton mempunyai sejumlah spesies penting penyebab


penyakit dermatofitosis pada manusia dan hewan (tinea dan ringworm).

Karakter Trichophyton antara lain adalah:

 Makrokonidia dan mikrokonidia berdinding halus.


 Banyak spesies tidak mempunyai makrokonidia.

Makrokonidia: terbentuk lateral langsung pada hifa atau pada pedicel


pendek; dinding tipis/tebal, halus, fusiform, ukuran 4-8 x 8-50 mm.
Makrokonidia yang bertangkai membedakannya dari Microsporum.

 Mikrokonidia: sferis, piriform atau bentuk tak teratur, ukuran dari 2-3x2-
4 mm. Adanya mikrokonidia membedakannya dari Epidermophyton.
 Kultur biakan jamur penting untuk melakukan identifikasi jamur.
 Spesies T.rubrum, T.mentagrophytes dan T.verrucosum pada medium
tertentu kadang-kadang membentuk konidia.

 Sulit membedakan T.rubrum, T.interdigitale, T.metagrophytes dan


T.tonsurans. Menurut G.Kaminski ada 6 media untuk membantu
diferensiasi spesies atau strain Trichophyton yaitu Litman Oxgall agar,
Lactritmel agar, Sabouraud’s agar dengan 5% aCl, 1% Pepton agar,
Trichophyton agar No.1 dan Hydrolysis urea

1. Trichophyton rubrum
538

Pada spesies ini terdapat dua tipe, yaitu tipe berambut dan tipe granular.
T.rubrum tipe berambut (downy type). Tipe ini bersifat antropofilik. Sebagian
besar kultur jarang menunjukkan adanya mikrokonidia yang berbentuk
piriform. Biasanya tidak terbentuk makrokonidia. Koloni pipih atau agak
meninggi, berwarna putih kekuningan, sedangkan dibaliknya koloni berwarna
kuning-coklat atau coklat kemerahan. Pada isolasi primer, kultur ada yang
tidak menunjukkan pigmentasi dibaliknya dan tidak membentuk mikrokonidia..

T.rubrum tipe granuler. Tipe ini bersifat antropofilik, merupakan strain induk
dari downy type. Banyak kultur jamur ini membentuk mikrokonidia yang
piriform dan sejumlah makrokonidia yang silindris dan langsing, dengan
dinding tipis yang halus dan multisepta. Koloni yang terbentuk pipih atau agak
meninggi, berwarna putih kekuningan (krim), dan di bagian balik koloni
(reverse) berwarna merah muda. Dapat

terbentuk strain antara (intermediate) dua tipe yang kultur dan karakter
morfologinya saling menutupi (overlapping).

2. Trichophyton mentagrophytes
Terdapat dua varian T.mentagrophyte yaitu varian interdigitale dan varian
mentagrophyte.
T.mentagrophytes var.interdigitale. Jamur ini bersifat antropofilik, mempunyai
banyak mikrokonidia, berbentuk piriform atau subsferis, kadang-kadang
terdapat hifa spiral dengan klamidokonidia sferis yang lebih banyak jumlahnya
pada kultur yang lebih tua. Kadang-kadang pada beberapa kultur terdapat
makrokonidia yang berdinding halus, langsing dan multisepta.
Koloni jamur biasanya rata, berwarna putih sampai kuning tua (krim), dengan
permukaan koloni yang seperti tepung, sedangkan di baliknya, koloni
membentuk pigmen berwarna coklat merah muda, yang menjadi coklat merah
tua dengan bertambah tuanya koloni.
Identifikasi jamur ditentukan oleh karakter koloni, morfologi mikroskopis dan
perforasi in vitro pada rambut manusia.
539

T.mentagrophytes var.mentagrophytes. Jamur yang bersifat zoofilik pada


tikus, kucing, marmot, kanguru dan domba ini mempunyai larakter sebagai
berikut:
 Mikrokonidia terdiri dari banyak sel-tunggal, berbentuk sferis atau
subsferis, sering membentuk kelompok padat. Klamidokonidia
berbentuk sferis, hifa berbentuk spiral dan makrokonidia multisel yang
halus, dan berdinding tipis dapat ditemukan.
 Koloni biasanya pipih, berwarna putih atau kuning, dengan permukaan
seperti bubuk atau bergranul. Beberapa kultur bagian tengahnya
meninggi, dan menunjukkan daerah dengan sel-sel pleomorfik.
Pigmentasi dibalik koloni (reserve) biasanya berwarna coklat
kekuningan sampai coklat kemerahan.

 Identifikasi jamur ditentukan berdasar karakter kultur, morfologi


mikroskopis dan adanya kontak dengan hewan.

3.Trichophyton tonsurans
Jamur yang bersifat antropofilik ini mempunyai gambaran morfologi sebagai
berikut:
 Hife lebar, tak teratur, banyak bercabang, dan banyak septa.
 Mikrokonidia mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi, langsing
sampai piriform lebar, terjadi di sudut hifa, tidak dapat diwarnai dengan
lactophenol cotton blue. Pada kultur tua banyak ditemukan
mikrokonidia berukuran besar.
 Makroknidia sangat jarang dijumpai, halus dan langsing, dengan
dinding tipis yang tak teratur.
 Klamidokonidia berukuran besar banyak ditemukan pada kultur tua.
 Koloni bervariasi tekstur dan warnanya dengan permukaan koloni
bertepung (powdery colony), rata yang meninggi di bagian tengah,
sering ditemukan cekungan yang tersusun radial. Warna koloni
540

bertingkat dari kuning pucat sampai coklat tua. Warna koloni dibaliknya
(reverse) dari coklat kekuningan sampai coklat kemerahan atau coklat
tua.
 Identifikasi jamur ditentukan melalui morfologi mikroskopi, karakter
kultur, invasi endotriks rambut dan kebutuhan partial thiamin.

4. Trichophyton violaceum
Spesies jamur ini bersifat antropofilik dan memiliki karakter sebagai berikut:
 Hifa lebar, berkelok-kelok, banyak bercabang. Konidia biasanya tidak
terlihat, meskipun kadang-kadang mikrokonidia berbentuk piriform
yang dapat dilihat

pada medium yang diperkaya. Pada kultur tua, biasanya terbentuk


sejumlah klamidokonidia.
 Koloni tumbuh sangat lambat, seperti lilin, berlipat-lipat dan berwarna
ungu tua. Kultur sering menjadi pleomorfik, membentuk bercak putih.
Kadang-kadang terbentuk strain yang tidak menghasilkan pigmen.
 T.violaceum membutuhkan thiamin sebagai bagian dari nutrisi yang
dibutuhkannya, yang membedakannya dari T.rubrum dan spesies lain
yang koloninya membentuk pigmen berwarna ungu.

5. Trichophyton verrucosum
Spesies ini bersifat zoofilik pada sapi, yang menunjukkan karakter sebagai
berikut.
 Semua strain membentuk rantai klamidokonidia yang khas seperti
mutiara, jika dibiakkan pada brain heart infusion broth yang
mengandung para-amino benzoic acid (PABA) dan agar pada 370C.
541

 Koloni tumbuh lambat, berbentuk cawan, berwarna putih sampai


kuning, dengan permukaan seperti karpet. Reverse pigment berwarna
kuning atau tidak terbentuk pigmen.
 Identifikasi jamur ditentukan berdasar karakter kultur dan kebutuhan
thiamin dan inositol, terjadinya invasi ektotriks rambut, lesi klinik dan
riwayat penyakit.

Pengobatan Trichophyton. Berbagai obat anti jamur dapat digunakan


terhadap Trichophyton antara lain adalah Griseofulvin, Itraconazole,
Terbinafine, Amphotericin B, Fluconazole dan Voriconazole

(c). Epidermophyton

Genus jamur ini tidak mempunyai mikrokonidia. Makrokonidia berdinding


halus, dengan koloni berwarna coklat kehijauan sampai coklat muda (khaki).
Hanya ada satu genus Epidermophyton yang patogen pada manusia, yaitu
Epidermophyton floccosum

yang merupakan dermatofit antropofilik yang luas sebarannya di seluruh


dunia dan sering menyebabkan tinea pedis, tinea cruris. tinea corporis dan
onikomikosis.

1. Epidermophyton floccosum
Spesies ini bersifat antropofilik, hanya menginfeksi manusia. Selain itu jamur
ini mempunyai karakter sebagai berikut:
 Pertumbuhan lambat, koloni berwarna coklat kehijauan atau coklat
muda, meninggi dan melipat di bagian tengah
 Di bagian bawah (reverse), jamur berwarna coklat kekuningan
 Makrokonidia berdinding halus, tipis, berbentuk tongkat (club shaped),
sering berkelompok, dan tumbuh langsung dari hifa.
 Makrokonidia pada koloni tua cepat melakukan transformasi menjadi
gelembung besar (“balloon”) klamidokonidia dan pada kultur tua
bersifat pleomorfik.
 Tidak membentuk mikrokonidia.
542

Gambar 286. Makrokonidia E.floccosum


(http://www.mycology.adelaide.edu.au/-/Dermatophytes/Epidermophyton/

Kultur Epidermophyton. Pada medium Sabouraud’s dextrose agar,


Epidermophyton tumbuh lambat, berwarna coklat kehijauan atau warna khaki,
dengan koloni yang sering meninggi dan berlekuk di bagian tengah.
 Koloni bagian bawah (reverse) berwarna coklat kuning tua.
 Kultur tua membentuk kelompok miselium putih bersifat pleomorfik;
dan banyak terbentuk klamidokonidia.
543

Gambar 287. Kultur E.floccosum


(http://www.mycology.adelaide.edu.au)

Pengobatan anti jamur. Obat-obatan antijamur yang bisa digunakan


terhadap E.floccosum adalah: griseofulvin, itraconazole, terbinafine,
amphotericin B, fluconazole, dan voriconazole.

7.6.2. RAGI DAN JAMUR DIMORFIK

Yeast atau ragi, adalah jamur yang tumbuh sebagai organisme yang
mempunyai satu sel, yang memperbanyak diri dengan cara membentuk tunas
(budding) disebut budding yeast , atau melalui pembelahan sel (binary
fission) disebut fission yeast. Morfologinya

berbeda dengan sebagian besar jamur yang tumbuh sebagai hifa yang
menyerupai benang. Meskipun demikian ada jamur dimorfik (dimorphic fungi)
misalnya Candida albicans yang mempunyai dua fase, yaitu fase ragi dan
fase hifa.

Ragi hidup hidup di lingkungan yang lembab yang menyediakan banyak


sumber nutrien misalnya gula dan asam amino. Karena itu jamur ragi sering
ditemukan pada permukaan daun dan buah, akar tumbuhan dan berbagai
jenis makanan. Yeast tidak dapat memecah polimer, misalnya tepung dan
selulose yang banyak digunakan oleh jamur hifa.

Saccharomyces cerevisiae adalah jamur ragi pembentuk tunas yang


digunakan untuk membuat roti dengan memproduksi karbon dioksida
sehingga roti bisa mengembang. Pada pemeriksaan mikroskopis tampak sel
dengan berbagai tahapan tunas, yang mula-mula kecil, lalu cepat membesar
yang kemudian memisahkan diri dari sel induk dengan membentuk septum
atau dinding sel.
544

Gambar 288. Ragi bertunas (http://idv.sinica.edu.tw/ckao/AbouttheLab.html)

Cryptococcus adalah yeast pembentuk tunas lain yang menunjukkan


perkembangan pembentukan tunas. Dengan mikroskopi fase kontras dan
pewarnaan negatif dengan tinta India, tampak kapsul polisakarida sebagai
”halo” karena tidak dapat dimasuki oleh partikel tinta India.

Gambar 289. Cryptococcus neoformans jamur ragi dengan tunas dan


kapsul yang tampak sebagai ”halo”.
(J.Lodge,http://www.stanford.edu/group/C.neoformans/images)

Candida albicans adalah jamur dimorfik yang tumbuh pada suhu 37 0C.
Habitat normalnya adalah membrana mukosa manusia dan hewan berdarah
panas, dimana jamur tumbuh sebagai ragi (yeast ) dan menyebabkan sedikit
kelainan atau tanpa kerusakan apapun. Pada 50% manusia, jamur ini dapat
ditemukan pada mukosa mulut, usus, vagina, dan kadang-kadang dapat
diisolasi dari permukaan kulit.
545

Gambar 290 . Bentuk ragi C.albicans (http://archieve.bio.ed.ac.uk)

Pada keadaan tertentu jika terdapat faktor predisposisi, C.albicans yang


mula-mula hidup komensal dan tidak berbahaya dapat berubah menjadi
patogenik, menginvasi mukosa dan menimbulkan kerusakan. Sel ragi
kemudian dengan cepat membentuk hifa yang menembus membrana
mukosa, menyebabkan iritasi dan kerusakan pada jaringan.

Gambar 291. Bentuk hifa C.albicans


(http://archive.bio.ed.ac.uk/jdeacon/microbes/yeast.htm)
546

Jamur Dimorfik Patogen

Jamur dimorfik yang patogen dapat menyesuaikan bentuk morfologinya


sesuai dengan reaksi hospes dalam mempertahankan dirinya terhadap
infeksi jamur. Jamur dimorfik terbatas sebaran geografiknya dan tempat
infeksi primernya biasanya paru sesudah terjadi inhalasi dengan konidia.
Termasuk jamur dimorfik antara lain adalah Blastomyces dermatitidis,
Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum dan Paracoccidioides
brasiliensis. Untuk identifikasi jamur ini dilakukan pengamatan morfologi
mikroskopik, perubahan atau konversi dari bentuk mold ke bentuk ragi
(yeast) atau spherule dan patogenitas terhadap hewan coba. Pada waktu ini
uji eksoantigen (exoantigen test) merupakan penentu identifikasi jamur,
terutama untuk Blastomyces dermatitidis, Coccidiodes immitis dan
Histoplasma capsulatum.

Organisme RG-3

Organisme RG-3 adalah organisme sangat berbahaya (severe biohazard)


yang harus diperlakukan sangat hati-hati pada waktu membiakkannya di
laboratorium dan dilakukan di dalam laminar flow (ruang penanganan patogen
khusus).

7.6.3. HYALINE HYPHOMYCETES

Jamur ini adalah kelompok jamur yang tidak membentuk pigmen berwarna
gelap, sehingga koloni yang terbentuk tidak berwarna atau berwarna terang.
Termasuk dalam kelompok ini adalah jamur penyebab hyalohyphomycosis
misalnya Fusarium, Geotrichum, Madurella, Penicilium Scedosporium, dan
Aspergillus dermatophytosis dan jamur dimorfik, misalnya Histoplasma
capsulatum.

Identifikasi Hyphomycetes. Identifikasi hyphomycetes terutama ditentukan


berdasarkan pada morfologi mikroskopik, yaitu:
547

(a). Morfologi konidia. Konidia Hyphomycetes mempunyai karakter sebagai


berikut:

 Struktur septa
 Bentuk :sferis, subsferis,piriform, ellips, dsb.
 Ukuran: kurang dari 10 mm, dsb. warna dan tekstur dinding sel
 Pembentukan Septa : ameroconidium (satu sel), didymoconidium (dua
sel),dsb.
 Warna: tidak berpigmen, berpigmen gelap.
 Tekstur dinding: halus, kasar, dsb.
 Tipe konidia: mikro dan makro.

(b). Susunan konidia yang terdapat pada sel konidiogen:

 Soliter: tunggal, di dalam bola, acropleurogen (konidia terbentuk di


ujung, atau sepanjang tepi sel konidiofor), dsb.
 Catenulate (acropetal atau basipetal)

 Botryose (sinkron atau asinkron).

(c). Pertumbuhan sel konidiogen apakah berlangsung determinan,


Proliferous atau Retrogresif

(d). Tipe sel konidiogen: apakah seperti hifa, phialide (konidia terbentuk
melebar di dasar sel konidiogen), annelide, porogenus, dsb.

(e). Bentuk dan karakter lain, misalnya:

 Asal dinding konidium : holoblastik atau enteroblastik.


 Struktur hifa : spiral, nodular, dsb.

 Terdapat sporodochia, synnemata, chlamydoconidia,dan sebagainya.


Sporodichium adalah masa hifa berbentuk bantal yang membawa
konidiofor. Synnema adalah kumpulan konidiofor yang saling melekat
membentuk konidia di daerah ujungnya.
548

(f). Karakter kultur juga berguna untuk melakukan identifikasi, misalnya:

 Tekstur permukaan: granuler, seperti tepung, kapas, dsb.)


 Topografi permukaan (misalnya datar, menonjol, berbentuk kubah atau
berlekuk)

 Pigmentasi permukaan (putih,kuning, coklat, hijau, kelabu, hitam,dsb).

 Pigmentasi baliknya (reverse): putih,kuning, coklat, hijau, kelabu,


hitam,dsb

 Suhu untuk pertumbuhan (37, 40, dan 45 0C).

 Cepatnya pertumbuhan (misalnya koloni tumbuh kurang dari 5 mm


dalam waktu 14 hari, dsb.)

 Kultur sebaiknya dilakukan pada potato dextrose agar dan cornmeal


agar yang dengan paparan pada siang hari memberikan pengamatan
warna kultur yang maksimal.

Dematiaceous Hyphomycetes

Jamur ini adalah Hyphomycetes yang mempunyai konidia dan dalam


pertumbuhannya membentuk koloni berwarna coklat tua, hitam kehijauan,
atau hitam yang merupakan penyebab phaeohyphomycosis.

Coelomycetes

Jamur ini konidianya terbentuk di dalam rongga yang dibatasi oleh jaringan
jamur atau hospes Pembentukan konidia di dalam rongga ini
membedakannya dari hyphomycetes yang konidianya “telanjang”. Pycnidium
yang berisi konidia harus dibedakan dari ascocarp yang berisi spora haploid.

Zygomycetes

Zygomycetes adalah jamur yang pertumbuhannya cepat dengan hifa yang


sebagian besar tidak bersepta. Spora aseksual, termasuk chlamydoconidia,
549

konidia dan sporangispora yang terdapat di dalam sporangia terjadi pada


sporangiophore yang sederhana atau bercabang. Reproduksi seksual yang
terjadi adalah isogamous yang memproduksi spora seksual berdinding tebal
yang disebut zygospora.

Identifikasi. Sebagian besar yang dapat diisolasi adalah heterothallic (yang


untuk bereproduksi harus melalui hubungan seksual lebih dahulu), yang tidak
ditemukan zygospora. Karena itu identifikasi didasarkan pada morfologi
sporangium yaitu jumlah sporangiospora, bentuk, warna, ada tidaknya
columella dan apophyse, susunan sporangiophore dan ada tidaknya rhizoid.
Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ( 25, 37 atau 45 0C) juga dapat
menentukan identifikasi.

Untuk identifikasi pada biopsi jaringan, sebaiknya menggunakan 95% alkohol


untuk mencegah pembentukan gelembung udara.

Basidiomycetes

Koloni jamur ini pada 2% malt extract agar tumbuh menyebar, seperti wool,
berwarna putih sampai coklat kelabu, segera membentuk fruiting bodies
berbentuk ginjal yang dapat dilihat. Hifa tak berwarna, lebar, dengan basidia
mengandung 4 basidiospora pada sterigmata yang tegak. Basidiospora tak
berwarna, berdinding halus, berukuran 6-7 x 2-3 μm.

7. 7. PENYAKIT-PENYAKIT JAMUR

Infeksi jamur dapat dikelompokkan dalam infeksi jamur di kulit dan infeksi
jamur sistemik. Infeksi kulit oleh jamur dapat berbentuk mikosis superfisial,
mikosis kutan, dan mikosis subkutan.
Infeksi sistemik jamur dapat dikelompokkan menjadi mikosis sistemik
dimorfik dan mikosis sistemik oportunistik.

7.7.1. PENYAKIT JAMUR KULIT


550

A. Mikosis superfisial

Infeksi kulit terjadi pada permukaan kulit dan rambut dan tidak ada jaringan
hidup yang terinfeksi sehingga tidak terjadi perubahan patologis. Tidak ada
respon seluler dari hospes sehingga penderita umumnya tidak menaruh
perhatian pada penyakit yang dideritanya. Termasuk mikosis superfisial
adalah pityriasis versicolor, tinea nigra,

1. Pityriasis versicolor
Penyebab mikosis yang juga disebut Tinea versicolor ini adalah Malassezia
furfur, suatu jamur lipofilik yang merupakan flora normal kulit manusia.
Penyakit jamur superfisial yang berlangsung kronis ini menunjukkan
gambaran kulit yang khas berupa lesi kulit yang berbatas jelas berwarna
putih, merah muda, kecoklatan, yang tertutup sisik tipis seperti bulu. Lesi
terdapat di badan, bahu, dan tangan, jarang dijumpai di leher dan wajah.
Pada pengamatan dengan lampu ultaviolet Wood, lesi menunjukkan warna
fluoresen yang hijau pucat. Pityriasis versicolor tersebar luas di seluruh dunia,
terutama di daerah tropis. Dewasa muda lebih sering terinfeksi, meskipun
semua umur dapat menderita mikosis ini.
Pada penderita tinea versicolor dengan faktor-faktor predisposisi (misalnya
genetik dan endokrin) dapat menyebabkan terjadinya seborrhoeic dermatitis
dengan gejala

berupa eritema, pembentukan sisik di daerah yang kaya kelenjar (sebaceous


glands) di kulit kepala, wajah, alis, telinga dan badan bagian atas.
Pengobatan dengan imidazole terutama dengan ketoconazole dalam jangka
panjang untuk mencegah kekambuhan.
551

Gambar 292. Biakan Malassezia furfur pada medium agar Dixon yang
mengandung gliserol monooleat (http://www.mycology.adelaide.edu.au)

Gambar 293. Pemeriksaan mikroskopis Malassezia furfur pada sediaan KOH


dengan tinta Parker (http://lib.jiangnan.edu.cn/asm)

2. Tinea nigra
Infeksi jamur superfisial dengan kelainan kulit berupa makula coklat sampai
hitam yang biasanya terdapat di daerah palmar tangan dan kadang-kadang di
daerah plantar dan permukaan kulit lainnya. Sebaran infeksi ini di seluruh
552

dunia terutama di Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, Asia Tenggara dan
Australia. Penyebabnya adalah Hortaea (Phaeoannellomyces) werneckii
jamur saprofit yang ada di tanah, humus, kompos dan kayu di daerah tropis
dan subtropis yang lembab.

Gejala klinis. Lesi kulit berupa makula berwarna coklat sampai hitam yang
biasanya terjadi di daerah palmar dan kadang-kadang plantar dan permukaan
kulit yang lain. Lesi bukan reaksi radang dan tidak membentuk sisik.
Penularan antar anggota keluarga dapat terjadi.

Gambar 294. Tinea nigra di telapak tangan dengan makula hiperpigmentasi


(http://www.scielo.br/scielo/php )

Diagnosis tinea nigra ditentukan berdasar pemeriksaan di bawah mikroskop


atas kerokan kulit yang diperiksa dengan KOH 10% dan tinta Parker. Sediaan
klinik juga diinokulasikan pada media isolasi primer, misalnya Sabouraud’s
dextrose agar.

Identifikasi jamur ditentukan berdasar pemeriksaan klinik, mikroskopik dan


gambaran kultur. Pemeriksaan serologi tidak diperlukan untuk menetapkan
diagnosis.
553

Gambar 295. Pemeriksaan kerokan kulit pada Tinea nigra dengan KOH 10%
menunjukkan pigmen coklat sampai hitam kehijauan
(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Superficial/Tineanigra)

Pengobatan. Tinea nigra diobati dengan salep Whitfield (komponen benzoic


acid) atau imidazole 2 kali sehari selama 3-4 minggu.

3. Piedra putih

Piedra putih adalah infeksi jamur superficial pada kelompok rambut yang
disebabkan oleh Trichophyton beigelii. Rambut yang terinfeksi membentuk
nodul berwarna putih kelabu di sepanjang kelompok rambut, dan umumnya
tidak terdapt kelainan patologik lainnya. Piedra putih terdapat di seluruh
dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis.

Gambaran klinis. Infeksi biasanya terdapat di daerah ketiak atau kulit


kepala dan kadang-kadang terlihat di rambut wajah dan kadang-kadang di
rambut pubis. Piedra putih umumnya diderita orang dewasa muda, dengan
gambaran khas berupa

nodul berwarna putih atau coklat muda, berukuran panjang 1.0-1.5 mm,
bentuknya tidak beraturan, lunak, melekat kuat pada rambut.

Diagnosis laboratorium. Bahan pemeriksaan berupa rambut dengan nodul


lunak melekat pada kelompok rambut. Pemeriksaan mikroskopis atas rambut
554

menggunakan 10% KOH dan tinta Parker. Perhatikan juga nodul lunak
berwarna putih atau coklat muda, tidak beraturan, berukuran panjang 1.0-1.5
mm yang melekat kuat pada rambut. Fragmen rambut ditanam pada media
isolasi primer, misalnya Sabouraud’s dextrose agar, akan menumbuhkan
koloni Trichophyton beigelii yang berwarna putih atau kekuningan, halus,
berkerut-kerut, seperti beludru, koloni yang suram (dull) dengan rumbai-
rumbai miselium.

Identifikasi spesies jamur ditentukan berdasarkan gejala klinis, mikroskopis


dan gambaran kultur. Tidak diperlukan pemeriksaan serologi.

Pengobatan. Untuk mengobati piedra putih dilakukan pemotongan rambut


yang merupakan tindakan paling mudah untuk mengatasi penyakit ini.
Pengobatan topikal dengan imidazole dilakukan untuk mencegah reinfeksi.

4. Piedra hitam

Piedra hitam merupakan infeksi jamur superfisial pada rambut oleh Piedra
hortae jamur ascomycetes yang membentuk nodul hitam keras pada rambut
kepala, tetapi dapat juga terlihat di kumis, janggut dan rambut pubis.
Penderita piedra hitam terutama adalah dewasa muda dan dapat terjadi di
lingkungan keluarga karena penggunaan bersama sisir dan sikat rambut.
Penyakit ini banyak dilaporkan dari Amerika Tengah, Amerika Selatan dan
dari Asia Tenggara.

Diagnosis laboratorium. Untuk bahan pemeriksaan adalah rambut dengan


nodul keras berwarna hitam yang melekat pada rambut. Pemeriksaan
mikroskopis atas rambut dengan menggunakan 10% KOH dan tinta Parker.
Pada pemeriksaan terlihat nodul berpigmen pada sebagian atau seluruh
bagian
rambut. Fragmen rambut ditanam pada media isolasi primer, misalnya
Sabouraud’s dextrose agar, menumbuhkan koloni Piedra hortae yang
terbentuk dalam waktu 2-3 minggu berwarna gelap, hitam kecoklatan. Untuk
identifikasi jamur diperlukan gejala klinis, gambaran mikroskopis dan karakter
kultur. Tidak diperlukan pemeriksaan serologi untuk identifikasi jamur.
555

Pengobatan. Selain dengan memotong rambut, diberikan pengobatan


dengan terbinafine dengan dosis 250 mg per hari selama 6 minggu.
B. Mikosis kutan

Cutaneous mycoses merupakan infeksi jamur superfisial pada kulit, rambut


dan kuku. Meskipun tidak ada jaringan hidup yang terserang, tetapi beberapa
macam perubahan patologik dapat terjadi pada hospes karena adanya agen
infeksi dan produk metabolismenya.
Penyakit jamur yang sering terjadi adalah dermatofitosis, ringworm,
kandidiasis kulit, kuku dan membrana mukosa, sedangkan dermatomikosis
jarang terjadi.
Tabel 37 . Mikosis kutan organisme penyebab dan insidensnya
Penyakit Organisme penyebabnya Insidensi
Dermatofitosis, Dermatofit (Microsporum,
Ringworm Trichophyton,
Sering
Epidermophyton)
Kandidiasis kulit, kuku Candida albicans dan
dan membrana spesies Candida lannya
Sering
mukosa
Dermatomikosis Kapang non-dermatofit:
Hendersonula,Scytalidium
Jarang
, Scopulariopsis

(1). Dermatofitosis

Infeksi yang terjadi pada kulit kepala dan kuku ini disebabkan oleh kelompok
jamur yang disebut dermatophyte yang
memanfaatkan keratin sebagai sumber nutrisi karena jamur ini mempunyai
enzim keratinase.

Patogenesis. Dermatophyte merupakan jamur yang hidup dan


penyebarannya tergantung pada hospes (hewan atau manusia) yang
diinfeksinya Dermatofitosis dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu karena
jamur menghasilkan produk metabolisme yang merangsang terjadinya alergi
556

dan respon keradangan eksimatus oleh hospes. Tipe dan beratnya respons
hospes tergantung pada spesies dan strain dermatophyt penyebab infeksi.

Epidemiologi dermatofitosis. Dermatophyte secara epidemiologik dibagi


menjadi tiga kelompok yaitu kelompok geofilik, zoofilik, dan antropofilik.
Geophilic dermatophyte. Jamur ini hidup normal di tanah menyebabkan
dekomposisi sampah keratin. Beberapa spesies dapat menyebabkan infeksi
pada manusia atau hewan yang terpapar tanah (misalnya Microsporum
gypseum)

Gambar 296. Microsporum gypseum (www.vetmed.wisc.edu)

Zoophilic dermatophyte. Dermatofit zoofilik merupakan parasit primer pada


hewan. Infeksi pada manusia terjadi sesudah mengalami kontak dengan
hospes hewan (misalnya pada Microsporum canis).

Anthropophilic dermatophyte. Dermatofit ini merupakan parasit primer pada


manusia dan jarang menyebabkan infeksi pada hewan. Dermatofit
antropofilik yang hanya dapat hidup dan berkembang biak serta menyebar di
dalam tubuh manusia adalah Microsporum audouinii, Trichophyton rubrum,
T.schoenleinii, T.tonsurans dan T.violaceum.
557

Gambar 297. Trichophyton rubrum (CDC- http://loudoun.nvcc.edu/vetonline ).

Penyakit-penyakit dermatofitosis
Berdasar pada tempat terjadinya infeksi, dermatofitosis meliputi Tinea pedia,
Tinea cruris, Tinea corporis dan Tinea capitis.

a. Tinea pedis
Infeksi oleh dermatofit antropofilik ini biasanya disebabkan oleh sisik kulit
yang terlepas yang mengandung elemen hifa (arthroconidia) jamur. Sisik kulit
yang lepas ini dapat tetap infektif berbulan-bulan sampai bertahun-tahun di
lingkungan.
Substrat seperti karpet dan tikar merupakan vektor pembawa sisik kulit yang
baik yang menularkan dermatofit seperti Trichophyton rubrum, T.interdigitale
dan Epidermophyton

floccosum,yang biasanya melalui kaki. Di tempat ini infeksi sering bersifat


kronis yang subklinis selama bertahun-tahun dan dapat menular ke tempat
lain misalnya kulit atau daerah lipat paha.
Ruangan sela jari merupakan sumber utama penularan jamur ke tubuh
manusia. Karena pengobatan infeksi jamur di tempat lain harus juga disertai
pengobatan jamur di sela-sela jari kaki.

b. Tinea cruris
558

Dermatofitosis yang terjadi di daerah proksimal dari pertengahan paha dan


pantat ini lebih sering terjadi pada orang laki-laki dan biasanya penularannya
berasal dari kaki. Penyebabnya adalah T.rubrum, T.interdigitale dan
E.floccosum.

c. Tinea unguium
Infeksi pada kuku (dermatophyte onychomycosis) ini terutama disebabkan
oleh T.rubrum dan T.interdigitale. Onikomikosis di Australia, Inggris dan USA
dengan insiden sekitar 3% populasi, dapat meningkat sampai 5% pada orang
berusia lanjut. Pada kelompok pekerja tambang, olahragawan, dan kelompok
yang sering menggunakan perlengkapan bersama, insidens bisa meningkat
sampai 20%.

Onikomikosis dermatofit dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu onikomikosis


superfisial dan onikomikosis subungual. Pada onikomikosis superfisial invasi
jamur terbatas pada lekukan dan bercak yang terdapat di permukaan kuku.
Pada dermatofitosis subungual infeksi dimulai dari kuku bagian lateral, distal
dan proksimal lalu menjalar ke bagian bawah lempeng kuku. Jamur yang
menyebar dari bagian distal kuku menimbulkan hiperkeratosis, diikuti
onikolisis dan penebalan lempeng kuku.

d. Tinea corporis
Tinea corporis merupakan dermatofitosis pada kulit badan yang disebabkan
oleh T.rubrum antropofilik yang menyebar dari bagian tubuh yang lain atau
disebabkan oleh spesies geofilik
dan zoofilik, misalnya M.gypseum dan M.canis sesudah terjadi paparan
dengan tanah atau hewan yang tercemar jamur.

e. Tinea capitis
Pada dermatofitosis kulit kepala terjadi tiga tipe jenis invasi rambut, yaitu
invasi ektotriks, endotriks dan invasi tipe favus.
1. Invasi ektotriks (ectothrix). Pada invasi ektotriks, artrokonidia terbentuk
pada bagian luar dari tangkai rambut (hair shaft). Kutikel rambut
mengalami kerusakan dan rambut yang terinfeksi menunjukkan
559

fluoresensi terang berwarna kuning kehijauan di bawah sinar ultraviolet


Wood. Penyebabnya adalah M.canis, M.gypseum, T.equineum dan
T.verrucosum.
2. Invasi endotriks (endothrix). Pada invasi tipe endotriks artrokonidia
terbentuk di dalam tangkai rambut. Kutikula rambut tetap baik dan rambut
yang terinfeksi tidak menunjukkan fluoresensi di bawah sinar ultraviolet
Wood. Semua jamur penyebab endotriks adalah jamur antropofilik,
misalnya T.tonsurans dan T.violaceum.
3. Tipe favus. Tipe ini membentuk krusta seperti favus (bentuk sarang lebah)
atau scutula yang dapat menyebabkan lepasnya rambut.

Diagnosis laboratorium dermatofitosis. Kerokan kulit, kerokan kuku dan


rambut digunakan sebagai bahan pemeriksaan mikroskopi maupun kultur.
Hasil pemeriksaan mikroskopi yang menunjukkan adanya hifa dan atau
artrokonidia cukup untuk menentukan diagnosis dermatofitosis tetapi belum
dapat menentukan spesies jamur penyebabnya. Dengan melakukan kultur
atas bahan pemeriksaan, identifikasi jamur dapat ditetapkan lebih tepat.

Untuk pemeriksaan mikroskopi bahan klinis diperiksa menggunakan 10%


KOH dan tinta Parker atau dilekatkan dengan calcofluor white mount.
Sediaan klinis diinokulasi pada media isolasi primer, seperti Sabouraud’s
dextrose agar yang mengandung cycloheximide (actidione) dan diinkubasi
pada suhu 26-280C selama 4 minggu.

Identifikasi jamur ditentukan berdasar gambaran klinik, mikroskopik dan


karakter kultur jamur.

Pengobatan dermatofitosis. Pengobatan dermatofitosis sering tergantung


pada gambaran klinis. Misalnya lesi tunggal kulit tanpa komplikasi hanya
diobati dengan obat antijamur topikal. Untuk infeksi kuku dan kulit kepala,
infeksi dermatofit kronis atau yang luas, tinea dengan radang akut dan tipe
kering infeksi T.rubrum pada telapak kaki dan punggung kaki sebaiknya juga
diberikan pengobatan sistemik. Berbagai obat anti jamur dapat digunakan
560

terhadap Trichophyton antara lain adalah Griseofulvin, Itraconazole,


Terbinafine, Amphotericin B, Fluconazole dan Voriconazole

(2). Kandidiasis kulit

Infeksi primer atau sekunder infeksi mikotik yang disebabkan oleh genus
Candida ini dapat mempunyai manifestasi yang akut, subakut atau kronik.
Pada orang sehat, infeksi Candida hanya terjadi jika terjadi kerusakan epitel
yang berperan pada pertahanan tubuh pada semua umur, terutama terjadi
pada bayi dan usia lanjut. Biasanya infeksi tetap terjadi superfisial yang
mudah diobati.

Spesies Candida yang paling sering menyebabkan penyakit pada manusia


adalah Candida albicans yang merupakan organisme komensal pada saluran
gastrointestinal manusia.
Kandidiasis akut pada mulut jarang terjadi pada orang dewasa yang sehat,
dan dapat terjadi pada 5% bayi yang baru lahir dan 10% pada orang lanjut
usia.

Gejala Klinis. Gejala klinik yang tampak berupa terbentuknya plak mirip
gumpalan susu pada mukosa rongga mulut dan kadang-kadang pada lidah,
gusi, palatum atau faring. Keluhan dapat tidak terjadi atau kadang-kadang
berupa mulut yang terasa kering atau terbakar, hilangnya rasa kecap, dan
sakit menelan.
Kandidiasis paling sering terjadi di aksila, lipat paha, lekukan antar payudara,
lipatan intergluteal, sela-sela jari dan umbilikus.
Daerah-daerah tersebut merupakan daerah predisposisi karena lembab,
hangat, daerah kulit yang sering mengalami gesekan dan lecet. Lesi
merupakan ruam kulit eritematus yang lembab dengan lesi satelit di sekitar
kulit yang sehat.

Kandidiasis popok (diaper candidiasis) sering terjadi pada bayi dengan


kondisi tidak higienis pada kulit yang sering lembab, lecet dan menyebabkan
iritasi karena penggantian yang tidak teratur dengan popok yang tidak bersih.
561

Kandidiasis vulvovaginal yang umum terjadi pada perempuan yang sering


dihubungkan dengan penggunaan antibiotika spektrum lebar dan kontrasepsi
oral, kehamilan trimester ketiga, aktifitas seksual, rendahnya pH vagina dan
diabetes melitus. Infeksi dapat melebar ke daerah perineum, vulva dan
seluruh daerah inguinal.
Seperti halnya pada kandidiasis oral, kandidiasis vaginal kronis yang sukar
sembuh ada hubungannya dengan terjadinya infeksi HIV atau AIDS. Gejala
klinis yang dapat terjadi antara lain adalah pruritus vagina yang berat, rasa
terbakar, eritema dan dyspareunia yang disertai dengan keputihan.

C. Mikosis subkutan

Mikosis subkutan bersifat kronis, merupakan infeksi yang terbatas pada kulit
dan jaringan subkutan, sesudah terjadi trauma implantasi (disertai
pencemaran) agen penyebab infeksi. Jamur penyebabnya adalah semua
jamur saprofit yang hidup di tanah yang mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan jaringan dan menimbulkan penyakit yang bermacam-macam
jenisnya.

7.7.2. PENYAKIT JAMUR JARINGAN

Penyakit-penyakit jamur jaringan jarang terjadi, yaitu sporotrikosis,


kromoblastomikosis, misetoma mikotik, lobomikosis, feohifomikosis,
zigomikosis subkutan, mukormikosis dan rinosporidiosis.

Tabel 38. Penyakit jamur jaringan dan penyebabnya


(Mycology Online. University Adelaide)

Penyakit Organisme penyebabnya

Sporotrichosis Sporothrix schenckii

Chromoblastomycosis Fonsecaea, Phialophora,


Cladosporium, dll.

Mycotic mycetoma P.verrucosa, Madurella


Pseudallescheria,
562

Acremonium, Exophiala, dll.

Lobomycosis   Loboa loboi

Phaeohyphomycosis Exophiala, Wangiella, Bipolaris,


Exserohilum, Curvularia

Subcutaneous zygomycosis Basidiobolus ranarum


(Entomophthoromycosis) Conidiobolus coronatus

Mucormycosis Rhizopus,Mucor,Absidia,
Rhizomucor,Saksenaea dll..

Rhinosporidiosis Rhinosporidium seeberi

(a). Sporotrikosis

Sporotrichosis merupakan infeksi kronik jamur pada jaringan kutan dan


subkutan serta jaringan limfatik di dekatnya, menyebabkan lesi noduler yang
dapat membentuk nanah dan mengalami ulserasi . Infeksi terjadi melalui
trauma yang tercemar jamur yang masuk ke dalam kulit, kadang-kadang
terjadi melalui inhalasi udara yang terhirup ke dalam paru. Penyebaran
sekunder terjadi ke sendi, tulang dan otot sering terjadi, dan kadang-kadang
juga terjadi di sistem saraf pusat, paru, dan saluran urogenital.

Penyebabnya adalah Sporothrix schenckii yang biasanya ditemukan di tanah


dan sampah busuk. Jamur ini banyak tersebar di seluruh dunia terutama di
daerah tropis dan subtropis.
563

Gambar 298. Morfologi mikroskopik Sporothrix schenckii pada medium Agar


Sabouraud Dextrose pada suhu 250C (http://www.mycology.adelaide.edu.au)

Manifestasi Klinik Sporotrikosis. Tergantung pada organ atau jaringan


yang terserang jamur ini terdapat berbagai bentuk sporotrikosis.

1. Fixed cutaneous sporotrichosis. Lesi primer terjadi pada tempat paparan


jamur, terutama di anggota badan, tangan dan jari. Lesi sering dimulai
terjadinya nodul tanpa nyeri, diikuti terjadinya ulserasi dengan keluarnya
cairan purulen. Lesi tetap berada di tempat masuknya organisme dan
tidak menyebar ke sepanjang aliran limfangitik. Isolasi dari lesi biasanya
tumbuh baik pada suhu 350C, tidak pada suhu 370C.
2. Lymphocutaneous sporotrichosis. Pada sporotrikosis limfokutan, selain
terjadi lesi primer di tempat masuk jamur, juga terjadi lesi sekunder di
sepanjang saluran limfangitik. Lesi sekunder juga dimulai dengan nodul
tidak nyeri diikuti ulserasi. Tidak terjadi gejala sistemik. Isolat lesi tumbuh
baik pada suhu 350C dan 370C.

3. Pulmonary sporotrichosis. Sporotrikosis paru yang jarang terjadi ini


disebabkan oleh inhalasi konidia, meskipun penyebaran melalui darah
bisa juga terjadi. Gejala klinis tidak khas, berupa batuk berdahak, demam,
564

berat badan menurun dan terdapat lesi di lobus bagian atas. Hemoptisis
dapat terjadi yang jika berat dapat menyebabkan kematian.

4. Osteoarticular sporotrichosis. Pada sporotrikosis osteoartikuler, sebagian


besar penderita juga mengalami lesi kutan disertai kaku dan nyeri pada
sendi besar, biasanya sendi lutut, siku, mata kaki dan pergelangan.
Osteomielitis jarang terjadi tanpa artritis.
5. Bentuk lain sporotrichosis. Endopthalmitis, korioretinitis dan meningitis
merupakan bentuk-bentuk sporotrikosis yang jarang terjadi.

Gambar 299. Sporotrikosis limfokutan dengan nodul sepanjang


pembuluh limfatik
(http://www.cdc.gov/niosh/topics/skin)

Diagnosis laboratorium sporotrikosis. Terhadap biopsi jaringan


sporotrikosis dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan berbagai cara,
yaitu:

1. Pemeriksaan mikroskopi langsung. Jaringan diperiksa menggunakan


pewarnaan Gram, PAS (Periodic Acid-Schiff), atau pewarnaan GMS
(Grocott’s methenamine
565

silver). Dengan PAS dan GMS pada lesi kutan akan tampak Sporithrix
schencki bentuk sel ragi dengan tunasnya yang berukuran 2-5 μm.

2. Biakan medium. Spesimen klinik diinokulasi pada media isolasi primer,


misalnya Sabouraud’s dextrose agar atau Brain heart infusion agar yang
diberi tambahan dengan 5% darah domba. Pada suhu 250C koloni tumbuh
perlahan, lembab dengan permukaan yang berkerut dan berlipat-lipat.
Pigmentasi yang terjadi dapat berwarna putih, kuning atau hitam.

Gambar 300. Koloni Sporothrix schenckii pada medium agar SABHI


(Sumber:CDC/W.Kaplan)

Pengobatan Sporotrikosis. Lesi kulit sporotrikosis diobati dengan iodida


potassium jenuh ( 3 kali 4-6 ml selama 2-4 bulan). Pemberian itraconazole
400 mg/hari dan terbinafine 2x250 mg per hari juga efektif, tetapi harus
diberikan dalam waktu lebih lama. Pengobatan diteruskan selama sedikitnya
satu bulan sesudah secara klinis penyakit dinyatakan sembuh.

Pemanasan lokal dapat dilakukan untuk menyembuhkan lesi kutan. Untuk


mengobati sporotrikosis ekstrakutan dilakukan kombinasi pemberian
Amphotericin B atau itraconazole dengan tindakan pembedahan.
566

(2). Kromoblastomikosis

Jamur penyebab chromoblastomycosis tersebar luas di seluruh dunia,


terutama di daerah tropis yang penduduknya sering bertelanjang kaki. Infeksi
jamur ini selain menyebabkan kromoblastomikosis juga dapat menyebabkan
faeohifomikosis dan misetoma yang terjadi di jaringan kutan dan subkutan,
melalui trauma yang tercemar elemen jamur dan masuk ke dalam kulit. Lesi
yang bersifat lokal, berlangsung lambat dan bersifat kronis. Proliferasi
jaringan yang biasanya terjadi di sekitar daerah inokulasi membentuk krusta,
verukosa, dan lesi mirip kutil.(wart).

Penyebabnya adalah Hyphomycetes yang banyak ditemukan di tanah atau


sampah tanaman busuk, terutama Phialophora verrucosa, Fonsecaea
pedrosoi, dan Cladophialophora carrionii. P.verrucosa dapat menyebabkan
kromoblastomikosis dan misetoma.

Gejala Klinik. Lesi kromoblastomikosis terutama dijumpai di bagian tubuh


terbuka yang dimulai sebagai papul kecil bersisik atau nodul tidak nyeri tetapi
mungkin terasa gatal. Lesi satelit dapat timbul di sekitarnya diikuti
terbentuknya ruam kulit yang melebar yang membentuk bercak kulit yang tak
beraturan yang sering seperti sisik. Pada infeksi yang berlangsung lama, lesi
dapat menjadi tumor yang bentuknya seperti kubis. Gambaran lainnya dapat
berupa hiperplasi epitel, fibrosis dan pembentukan mikroabses di dalam
epidermis. Kromoblastomikosis harus dibedakan dari penyakit jamur kutan
lainnya dan berbagai penyakit, misalnya leishmaniasis, tuberkulosis, lepra,
dan sifilis.

Diagnosis Laboratorium kromoblastomikosis Pemeriksaan laboratorium


dilakukan dengan bahan pemeriksaan berupa kerokan kulit atau biopsi kulit,
yang diperiksa dengan mikroskop secara langsung atau dengan melakukan
biakan pada medium.

Pemeriksaan mikroskopis langsung. Pemeriksaan ini dilakukan terhadap


kerokan kulit yang diperiksa menggunakan 10% KOH dan tinta Parker.
Jaringan diperiksa dengan pewarnaan H&E, PAS digest, dan GMS.
567

Adanya badan sklerotik berbentuk bulat berpigmen coklat yang membelah


diri pada jaringan penderita yang mempunyai gambaran klinik
kromoblastomikosis menunjang diagnosis. Dengan pemeriksaan langsung
mikroskopis atau histopatologi tidak menunjukkan identifikasi spesifik agen
penyebabnya, tetapi dapat membedakan kromoblastomikosis dari
phaeohyphomycosis dengan melihat adanya miselium jamur.

Gambar 301. Kerokan kulit penderita kromoblastomikosis diperiksa dengan


10% KOH dan tinta Parker menunjukkan adanya badan sklerotik bulat yang
berpigmen coklat sedang membelah diri
(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Fungal_Descriptions)

Biakan Medium. Sediaan klinik diinokulasikan pada media isolasi primer,


misalnya Sabouraud’s dextrose agar. Biakan jamur penyebab
kromoblastomikosis menunjukkan gambaran khas berwarna hitam kehijauan
dengan permukaan yang “suede-like”
568

Gambar 302. Koloni jamur Phialophora penyebab kromoblastomikosis


(http://www.mycology.adelaide.edu.au )

Pada Sabouraud’s dextrose agar, koloni jamur P.verrucosa tumbuh lambat,


mula-mula berbentuk kubah, lalu menjadi pipih, kemudian berubah warna dari
hijau menjadi hitam. Phialide (sel konidiogen yang memproduksi konidia)
berbentuk botol atau elips yang bercorong, dengan lengkungan berpigmen
gelap Konidia berbentuk elips, berdinding halus, tidak berwarna (hyaline),
berukuran 3.0-5.0 x 1.5-3.0 μm.

Identifikasi jamur ditetapkan berdasarkan ciri khas biakan jamur dan


morfologi mikroskopik terutama morfologi konidial, susunan konidia pada sel
konidiogenus dan morfologi sel konidiogenus.

Gambar 303. Konidiaphor Phialophora verrucosa


(http://www.microbiologybook.org/mycology/phialophora)
569

Pengobatan kromoblastomikosis. Pengobatan penyakit ini sukar dilakukan.


Pembedahan berupa eksisi jaringan sehat di tepi lesi perlu dilakukan untuk
mencegah pemaparan lokal. Pengobatan dengan itraconazole 400 mg/hari
dan terbinafine 500 mg/hari selama 6-12 bulan berhasil baik mengobati
kromoblastomikosis. Pengobatan lama yang pernah diberikan secara luas
adalah flucytosine dengan atau tanpa thiabendazole.

(c). Mycetoma (misetoma)

Misetoma adalah infeksi jamur pada manusia dan hewan yang disebabkan
oleh jamur dan actinomycetes dengan gejala klinis berupa sinus yang
membengkak, berair dan mengeluarkan granul. Penyakit terjadi akibat trauma
yang terpapar jamur dan menyebabkan kelainan pada jaringan kutan dan
subkutan, fasia dan tulang kaki atau tangan. Cairan sinus yang bersifat
serosanguineus mengandung granul yang berbeda bentuk, warna dan
kekerasannya tergantung spesies penyebab misetoma.

Sebaran misetoma di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis


dengan penduduk yang sering bertelanjang kaki. Penyebab misetoma
aktinomikotik antara lain adalah Nocardia, Actinomadura dan Streptomyces,
sedangkan misetoma eumikotik disebabkan oleh Madurella, Acromonium,
Aspergillus ,, Fusarium, dan lain sebagainya.

Manifestasi Klinik. Misetoma adalah infeksi supuratif kronis pada jaringan


subkutan dan tulang yang berdekatan, terutama di daerah ujung kaki. Tempat
lainnya adalah kaki bagian bawah, tangan, kepala, leher, dada, bahu dan
lengan.

Penyakit diawali dengan terjadinya nodul kecil, keras yang tidak terasa sakit,
yang kemudian melunak permukaannya dan membentuk ulkus yang
mengeluarkan cairan bernanah yang mengandung granul . Infeksi engan
perlahan menyebar ke jaringan disekitarnya, termasuk tulang yang sering
menimbulkan deformitas. Sinus selalu mengeluarkan cairan serosanguineus
yang mengandung granul yang ukuran, warna dan kekerasannya tergantung
pada spesies jamur penyebabnya. Adanya granul merupakan tanda khas
misetoma.
570

Gambar 304. Misetoma dengan sinus-sinus yang mengeluarkan cairan,


kerusakan tulang, distorsi kaki dan hiperplasi saluran sinus
(J.Rippon, http://www.mycology.adelaide.edu.au)

Diagnosis laboratorium. Bahan klinik adalah biopsi jaringan atau irisan


sinus, cairan serosanguineus yang mengandung granul dengan berbagai
ukuran, warna dan kekerasan tergantung spesies penyebabnya. Diagnosis
ditetapkan melalui pemeriksaan mikroskopik langsung dan melalui biakan
medium.

1. Pemeriksaan mikroskopik langsung. Pemeriksaan mikroskopis pada


cairan serosanguineus yang mengandung granul menggunakan 10% KOH
dan tinta Parker dan pada sediaan jaringan dilakukan pewarnaan dengan
H7E, PAS, dan GMS.

Gambar 305. Granul hitam pada nodul subkutan misetoma disebabkan oleh
Madurella mycetomatis (http://www.pathmicro.med.sc.edu)
571

Dengan pemeriksaan mikroskopis dan histopatologi belum dapat ditunjukkan


identifikasi khas jamur penyebabnya.

2. Biakan medium. Sediaan klinis harus diinokulasikan pada media isolasi


primer, misalnya Sabouraud’s dextrose agar. Koloni tumbuh lambat, pada
awalnya berbentuk pipih seperti kulit, berwarna putih, kuning lalu coklat
keputihan. Makin tua biakan, warna koloni menjadi coklat, terlipat-lipat,
bertumpuk-tumpuk dan membentuk miselium. Pigemen berwarna coklat yang
difus pada kultur primer merupakan ciri khas jamur ini.

Gambar 306. Kultur Madurella mycetomatis pada medium agar menunjukkan


pigmen coklat yang difus. (http://www.mycology.adelaide.edu.au)

Identifikasi. Untuk menentukan jamur penyebabnya, diagnosis ditentukan


berdasar pada gejala klinis yang khas, pemeriksaan mikroskopis jaringan
(misetoma dengan butiran hitam) dan gambaran koloni pada medium biakan
yang menunjukkan pigmen hitam yang difus.

Pengobatan. Misetoma dapat diobati dengan obat anti jamur imidazole yang
merupakan obat pilihan, yaitu ketoconazole. Selain itu dapat digunakan
itraconazole yang juga memberikan hasil memuaskan. Tindakan
pembedahan dapat dilakukan bersama-sama pemberian pengobatan medik.
Kombinasi tindakan medik dan tindakan pembedahan merupakan
penatalaksanaan yang dapat menjadi pilihan.
572

(d). Lobomycosis (lobomikosis)

Lobomikosis adalah infeksi subepidermal yang kronis dan lokal dengan gejala
klinis terdapatnya keloid, verukoid, dengan lesi noduler atau kadang-kadang
terdapat plak berkerak dan tumor. Pada lesi terdapat massa sferoidal, dan
organisme berbentuk ragi sebagai Loboa loboi. Tidak ada penyebaran
sistemik.

Manifestasi Klinik. Infeksi terjadi akibat trauma yang terpapar jamur


misalnya disebabkan oleh sengat artropoda, gigitan ular, sengat sting-ray,
atau luka yang terjadi waktu memotong pohon. Lesi awal berupa nodul kecil
yang keras mirip kelod dan dapat menyebar pelan-pelan di dalam dermis
yang bisa berkembang sampai beberapa tahun. Lesi yang sudah lanjut
menjadi verukoid dan mengalami ulserasi. Penyakit dapat menyebar ke
daerah kulit lainnya akibat trauma baru atau secara autoinokulasi. Lesi
biasanya ditemukan di lengan, kaki, wajah atau telinga. Penderita umumnya
laki-laki, terutama petani dan pekerja pada habitat basah. Penyebab
lobomikosis adalah Loboa loboi.

Gambar 307. Lobomikosis dengan lesi verukoid yang luas pada kaki
(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Subcutaneous/Lobomycosis )

Diagnosis laboratorium dilakukan dengan kerokan jaringan atau biopsi yang


diperiksa langsung dengan mikroskop.
573

Jaringan diperiksa menggunakan 10% KOH dan tinta Parker atau diperiksa
dengan pewarnaan Gram, PAS atau GMS.

Adanya rantai sel dengan pigmen gelap, organisme seperti ragi yang sferoid
bentuknya seperti Loboa loboi merupakan ciri lobomikosis.

Identifikasi jamur ditentukan berdasar gejala klinik, lokasi geografik dan


morfologi mikroskopik.

Gambar 308. Pewarnaan GMS lobomikosis menunjukkan adanya sejumlah


sel mirip ragi berpigmen gelap yang tersusun seperti rantai
dengan ukuran 9-12 μm. (http://www.mycology.adelaide.edu.au)

Pengobatan lobomikosis. Tindakan pembedahan melalui eksisi daerah


terinfeksi paling baik hasilnya, dan harus dilakukan hati-hati agar tidak terjadi
kontamikasi terhadap luka operasi. Pemberian obat anti jamur tidak efektif.
Meskipun penyakit berjalan lambat bersifat kronis dan tidak membahayakan
jiwa, tetapi prognosis penyakit ini termasuk buruk.

(e). Phaeohyphomycosis

Feohiphomikosis adalah infeksi jamur pada manusia dan hewan rendah yang
disebabkan oleh jamur berpigmen coklat (dematiceaous) yang jaringannya
adalah miselium. Bentuk klinik penyakitnya berbeda dengan misetoma mikotik
yang penyebabnya adalah jamur pigmen coklat yang jaringannya berbentuk
butiran (grain) atau kromoblastomikosis yang
574

penyebabnya jamur yang jaringannya berupa badan sklerotik.( sclerotic


body).

Jamur penyebabnya adalah hyphomycetes yang dematiaceous, terutama


adalah Phialophora, Exophiala, Wangiela, dan lebih dari 30 genus penyebab
phaeohyphomikosis lainnya. Istilah “dematiaceous” menunjukkan ciri khas
koloni jamur berupa warna gelap yang terjadi jika kelompok jamur ini
dibiakkan pada medium agar. Koloni berwarna kelabu, coklat, atau hitam
dengan warna hitam pada bagian dasar koloni jika dilihat dari bawah lempeng
agar. Hal ini berbeda dengan jamur yang mempunyai konidia berwarna hitam
tetapi dengan miselium yang pucat, misalnya seperti yang tampak pada
A.niger.

Manifestasi Klinik. Bentuk klinik mikosis ini dapat berupa infeksi superfisial
lokal pada stratum corneum (misalnya pada tinea nigra) dan kista subkutan
(kista feomikotik) atau sampai terjadi invasi ke otak.

1. Subcutaneous phaeohyphomycosis. Infeksi subkutan terjadi di seluruh


dunia, biasanya terjadi sesudah trauma terpapar elemen jamur yang berasal
dari tanah, duri atau pecahan kayu. Exophiala jeanselmei dan Wangiella
dermatitidisare adalah penyebab utamanya yang menyebabkan lesi kistik
yang banya diderita orang dewasa. Kadang-kadang terjadi lesi yang tertutup
verrikosa, terutama diderita oleh individu dengan imunosupresi

Gambar 309. Feohyphomikosis subkutan oleh Alternaria sp.


(http://www.medicaljournals.se/acta)
575

2. Paranasal sinus phaeohyphomycosis. Sinusitis ini disebabkan oleh


Bipolaris, Exserohilum, Curvularia dan Alternaria. Laporan tentang penyakit
ini meningkat terutama pada penderita dengan riwayat rinitis alergika atau
yang mengalami imunosupresi

3. Cerebral phaeohyphomycosis. Infeksi jamur ini jarang terjadi, umumnya


hanya pada penderita dengan imunosupresi yang menghirup konidia jamur.
Jamur ini bersifat neurotropik dan penyebaran di luar sistem saraf pusat
jarang terjadi.

Diagnosis laboratorium. Bahan pemeriksaan berupa kerokan kulit dan atau


biopsi kulit, cucian (washing) dahak atau bronkial, cairan serebrospinal, cairan
pleura, darah, biopsi jaringan dari organ-organ viseral serta jaringan di ujung
kateter.

Pemeriksaan mikroskopi Pemeriksaan mikroskop sinar dilakukan


terhadap:
(a). Kerokan kulit, cairan dan aspirat bronkial menggunakan 10% KOH dan
tinta Parker.
(b). Eksudat dan cairan tubuh dipusingkan lebih dahulu dan endapan yang
terjadi diperiksa dengan 10% KOH dan tinta Parker.
(c). Sediaan jaringan diwarnai dengan H&E, PAS digest, dan GMS.
Adanya pigmen coklat, hifa bersepta yang bercabang pada pemeriksaan
mikroskopis, gejala-gejala klinis mengarahkan diagnosis penyakit, tetapi
belum memastikan identitas organisme penyebabnya. Biopsi jaringan yang
diduga terinfeksi jamur sebaiknya juga dilakukan.
Pemeriksaan mikroskopi yang menunjukkan adanya jaringan dengan pigmen
coklat dan badan sklerotik yang bulat mengarah ke diagnosis
kromoblastomikosis, sedangkan adanya morfologi jaringan berupa miselium
menunjukkan pheohyphomikosis.

Medium biakan. Kultur dilakukan dengan melakukan inokulasi sediaan klinik


pada media isolasi primer, misalnya Sabouraud’s dextrose agar.
576

Gambar 310. Biakan Phialophora repens


(W.McDonald,2001: http://labmed.ucsf.edu)

Kultur yang positif harus disertai pemeriksaan mikroskopis, karena


hyphomycetes merupakan kontaminan yang umum ada di lingkungan,
sehingga sering mencemari dahak atau kulit yang sediaan klinisnya
dibiakkan. Riwayat sakit penderita membantu hasil kultur jaringan dan
pemeriksaan mikroskopis. Identifikasi biakan jamur merupakan sarana yang
paling baik untuk mengenali jamur ini berdasarkan morfologi konidia,
susunan konidia pada sel konidiogen dan morfologi sel konidiogen.
Sebaiknya dilakukan pula pembuatan biakan pada slide (slide culture).

(f). Zygomycosis

Infeksi yang disebabkan oleh Zygomycetes, jamur darat yang tumbuh cepat,
sebagian besar bersifat saprofit, tersebar kosmopolit. Meskipun ada sekitar
665 spesies, tetapi jarang yang patogen pada manusia.

Ordo dan genus yang patogen untuk manusia adalah:

1. Mucorales, penyebab zigomikosis subkutan dan sistemik (Mucormycosis):


Rhizopus, Mycocladus, Rhizomucor, Mucor, Cunninghamella, Saksenaea,
Apaphysomyces, Cokeromyces dan Mortierella.
2. Entomophthorales, yang jarang ditemukan, adalah penyebab zigomikosis
subkutan (Entomophthoromycosis) yaitu Conidiobolus dan Basidiobolus.
577

Mukormikosis, infeksi jamur oleh ordo Mucorales dan Entomophtorales,


menyebabkan terjadinya zygomikosis subkutan dan sistemik. Karena infeksi
utama pada manusia disebabkan oleh jamur Mucorales, maka zygomikosis
lebih sering disebut sebagai Mucormikosis.

Patogen penyebab mukormikosis banyak ditemukan di lingkungan pada


buah, roti, tanah, dan sampah organik yang membusuk. Organisme ini
umumnya bersifat saprofitik yang jarang menimbulkan penyakit pada
penderita dengan sistem imun normal (immunocompromised ), tetapi
banyak yang dapat menyebabkan infeksi jamur invasif, terutama pada
penerima (resipien) transplantasi sel punca (stem cell) dan penderita
yang menderita keganasan hematologik..

Pada penderita debil, infeksi jamur berlangsung akut dan berat. Kelainan
terutama terjadi di daerah rhino-facial-cranial, paru, saluran gastrointestinal,
dan kulit dan kadang-kadang pada sistem organ yang lain..

Faktor risiko. Penyakit ini sering terjadi pada penderita diabetes asidosis
yang tak terkendali, kekurangan makan (malnutrisi) pada anak, luka bakar
berat dan kerusakan kulit lainnya, ketagihan obat melalui suntikan, dan
penyakit lain, misalnya leukemia/neutropenia, limfoma, penderita yang
mendapatkan terapi imunosupresif, pengguna sitotoksin dan kortikosteroid,
misalnya penderita kanker dan transplantasi. Tempat predileksi jamur pada
pembuluh darah sistem arteri menyebabkan terjadinya emboli dan nekrosis
jaringan sekitarnya. Berhasilnya terapi sangat tergantung pada cepatnya
diagnosis dan tatalaksana penyakit
Bahan pemeriksaan klinis dapat berupa kerokan kulit dari lesi subkutan,

sputum, biopsi dari lesi paru, cairan hidung, bahan kerokan dan aspirasi dari

sinus (pada penderita dengan lesi rinoserebral dan biopsi jaringan.

1.Zigomikosis rinoserebral (rhinocerebral zygomycosis). Faktor


predisposisi terjadinya penyakit ini adalah diabetes mellitus yang tak
terkendali atau asidosis, hiperglikemia
578

terangsang steroid, penderita leukemia dan limfoma,


transplantasi ginjal, terapi kortikosteroid dan azathioprine.
Infeksi biasanya dimulai di sinus paranasal sesudah menghirup
sporangiospora, yang juga melibatkan orbita, palatum, wajah,
hidung atau otak.

2. Zigomikosis paru (pulmonary zygomycosis). Predisposisi


penyakit ini adalah keganasan darah, limfoma dan leukemia,
neutropenia berat, terapi sitotoksin dan kortikosteroid,
desferrioxamine, diabetes dan transplantasi organ. Infeksi yang
terjadi melalui inhalasi sporangiospora ke dalam bronkioli dan
alveoli menyebabkan terjadinya nekrosis paru disertai
pembentukan kista..

3.Zigomikosis gastrointestinal (gastrointestinal


zygomycosis). Penyakit ini jarang terjadi, biasanya berkaitan
dengan malnutrisi berat, terutama pada anak dan penyakit
gastrointestinal yang merusak mukosa. Infeksi primer terjadi
sesudah termakan elemen jamur dan biasanya terbentuk
sebagai ulkus nekrotik.

4. Zigomikosis kutan (cutaneous zygomycosis). Zigomikosis


ini terjadi melalui trauma local tercemar elemen jamur pada kulit,
terutama terjadi pada penderita luka bakar yang luas,
hiperglikemia yang terangsang diabetes dan steroid. Lesi dapat
berbentuk plak, pustule, ulserasi, abses yang dalam dan bercak
nekrosis.

5. Zigomikosis menyebar (disseminated zygomycosis).


Penyebaran terjadi pada penderita debil dengan keganasan
hematologik, luka bakar, diabetes dan uremia.

6. Zigomikosis saraf pusat. Terjadi melalui suntikan intravena


pada pengguna narkoba; paparan jamur dapat menimbulkan
abses otak.

7. Infeksi oleh jamur entomophthoraceus. Ada dua spesies


penyebabnya, yaitu Basidiobolus dan Conidiobolus. Infeksi
kronis, berlangsung perlahan tetapi progresif dan biasanya
terbatas pada jaringan subkutan orang sehat. Berbeda dari
infeksi oleh jamur mucoraceous, infeksi jamur ini tidak
menyebabkan invasi vaskuler atau infark.
579

Gambar 311. Zigomikosis disebabkan oleh B.ranarum


(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Opportunistic/Zygomycosis)

Zigomikosis oleh B.ranarum merupakan radang kronis atau penyakit


granulomatosa terbatas pada jaringan subkutan anggota badan, dada,
punggung atau pantat, yang infeksi primernya terjadi pada anak laki-laki.
Mula-mula lesi berupa nodul subkutan yang kemudian membengkak tanpa
nyeri, dapat bergerak bebas dan berada di atas otot, melekat pada kulit yang
mengalami hiperpigmentasi tetapi tidak mengalami ulserasi.

Zigomikosis yang disebabkan oleh Conidiobolus sp. merupakan radang kronis


atau penyakit granulomatosa yang lokasinya terbatas pada submukosa
hidung dengan ciri khas berupa polip atau teraba sebagai masa subkutan.
infeksi dimulai unilateral pada mukosa hudung, dengan gejala obstruksi
hidung, dan sinus terasa nyeri. Modul subkutan terbentuk di daerah nasal
dan perinasal dan pembengkakan di daerah wajah dapat terjadi. Infeksi
sistemik dan paru dapat juga terjadi. Sebagian besar penderita adalah orang
dewasa laki-laki.

Diagnosis laboratorium. Bahan pemeriksaan berupa kerokan kulit dari lesi


kutan, dahak dan biopsi lesi paru, cairan hidung, kerokan kulit dan aspirat
sinus penderita dengan lesirinoserebral, biopsi jaringan penderita dengan
kelainan gastrointestinal atau jaringan lainnya. Jamur zygomyceta
mempunyai hifa coenositik yang mudah rusak, karena itu harus diproses hati-
hati jika akan
580

dibiakkan pada medium kultur. Pemeriksaan mikroskopis secara langsung


atau histopatologi lebih mudah menemukan jamur ini.

Pemeriksaan mikroskopis langsung. Untuk bahan pemeriksaan, kerokan,


dahak dan eksudat diperiksa dengan 10% KOH dan tinta Parker, sedangkan
sediaan jaringan diwarnai dengan H&E dan GMS. Hifa berdinding tipis,
dengan septa yang lebar dan jarang, sering menunjukkan pembengkakan dan
percabangan yang tidak teratur.

Gambar 312. Morfologi jaringan pada zigomikosis oleh Mucorales


menunjukkan hifa berdinding tipis, dengan sedikit septa, terdapat
pembengkakan dan percabangan yang tidak teratur
(http://www.mycology.adelaide.edu.au)

Medium Kultur. Sediaan klinis diinokulasikan pada Sabouraud’s dextrose


agar menunjukkan koloni yang tumbuh cepat, berwarna putih, abu-abu atau
coklat.

Identifikasi Zygomycetes. Ciri-ciri khas untuk menentukan identitas


Zygomycetes adalah:

 Pertumbuhan berlangsung cepat,


 Hifa primitif coenocytic, sebagian besar tidak bersepta,

 Spora aseksual berupa konidia,


581

 Chlamydoconidia dan sporangiospora yang terdapat di dalam


sporangium dihasilkan oleh sporangiophora yang sederhana atau
bercabang.

 Reproduksi seksual adalah isogamus yang menghasilkan spora


seksual berdinding tebal yang disebut zygospora.

Pengobatan zygomikosis/mucormycosis. Pengobatan mukormikosis harus


dilakukan dengan segera dengan memberikan obat anti jamur secara oral
maupun parenteral. Infeksi kulit oleh jamur ini bisa memerlukan tindakan
pembedahan untuk membuang jaringan terinfeksi. Obat anti jamur yang
diberikan adalah formula lipid dari amphotericin B atau obat anti jamur
posoconazole. Selain itu terapi oksigen hiperbarik dapat membantu
penyembuhan penyakit ini. Tindakan yang terlambat diberikan dapat
mengakibatkan kematian penderita.

Pengendalian penyakit-penyakit tersembunyi yang menurunkan sistem imun


tubuh (underlying immunocompromising condition) harus juga dilakukan
secepat mungkin, misalnya terhadap hiperglikemi dan ketoasidosis. Koreksi
terhadap neutropenia dilakukan dengan memberikan G-CSF (granulocyte
colony-stimulating factor) atau GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor). Jika memungkinkan, pemberian obat imunosupresan
dihentikan, termasuk kemoterapi, steroid, atau deferoxamine.

Pencegahan. Karena jamur banyak didapatkan di lingkungan, misalnya tanah


dan sampah busuk, pencegahan terhadap paparan jamur sukar dilakukan.
Belum ditemukan vaksin untuk mencegah infeksi.

Untuk mengurangi risiko akibat paparan jamur, sebaiknya dilakukan :

 Menggunakan pakaian pelindung, sarung tangan, celana panjang jika


menangani kayu busuk.
 Luka tertusuk atau terisis yang terpapar tanah dan kayu busuk segera
dibersihkan dan diberi disinfektan dan benda asing yang ada di bawah
kulit harus dikeluarkan.
582

7.7.3. INFEKSI JAMUR SISTEMIK

Termasuk infeksi jamur sistemik adalah mikosis sistemik dimorfik (dimorphic


systemic mycoses) dan mikosis sistemik oportunistik (opportunistic systemic
mycoses). Termasuk mikosis sistemik dimorfik adalah histoplasmosis,
coccidiodomycosis, blastomycosis, paracoccidiodomycosis, sporotrichosis
dan penicilliosis. Sedangkan candidiasis, cryptococcosis, aspergillosis,
pseudallescheriasis, zygomycosis, hyalohyphomycosis, phaeohyphomycosis
dan penilliosis termasuk golongan mikosis sistemik oportunistik.

1. MIKOSIS SISTEMIK DIMORFIK

Mikosis Sistemik Dimorfik (Dimorphic Systemic Mycoses) yang terjadi pada


tubuh penderita disebabkan oleh jamur pathogen dimorfik yang dapat
mengatasi pertahanan tubuh seluler maupun fisiologik orang normal dengan
cara mengubah bentuk morfologinya.
Mikosis yang sebaran geografiknya terbatas, tempat masuk primernya adalah
paru, yang terjadi karena menghirup konidia.

Tabel 39. Penyakit jamur dimorfik, insiden dan penyebabnya


(Thursky &Playford,2008)

Penyakit Organisme penyebabnya Insidens

Histoplasmosis Histoplasma capsulatum, Jarang


H.dubosi

Coccidiodomycosis Coccidioides immitis Jarang

Blastomycosis Blastomuces dermatitidis Jarang

Paracoccidiodomycosis Paracoccidioides brasiliensis Jarang

Sporotrichosis Sporothrix schenkii Jarang

Penicilliosis marneffei Penicillium marneffei Jarang


583

(a). Histoplasmosis

Infeksi jamur ini merupakan infeksi intraseluler pada system retikuloendotel


yang terjadi melalui pernapasan (inhalasi).dengan menghirup konidia
Histoplasma capsulatum.
Sekitar 95% histoplasmosis bersifat subklinik dan jinak, sedangkan 5%
lainnya merupakan penyakit yang bersifat kronis progresif pada paru atau
kulit, atau bersifat sistemik atau merupakan penyakit sistemik yang berat dan
fatal. Semua stadium penyakit ini mirip dengan tuberkulosis.
Sebaran penyakit ini terutama di wilayah USA dan secara sporadic dilaporkan
dari daerah endemis di Australia, Afrika, beberapa daerah di Asia Timur, India
dan Malaysia.

Penyebabnya adalah Histoplasma capsulatum yang berasal dari tanah


terutama yang tercemar ekskreta ayam, burung dan kelelawar.
Terdapat dua varitas H.capsulatum yang sudah diketahui, yaitu
var.capsulatum yang merupakan penyebab umum histoplasmosis, dan
var.duboisii yang tipe Afrika. Kedua varian ini mempunyai bentuk kapang
saprofit yang identik, tetapi berbeda morfolognya pada jaringan yang
terinfeksi.

Diagnosis laboratorium. Bahan pemeriksaan berupa kerokan kulit, dahak


dan kumbah bronkial (bronchial washing), cairan serebrospinal, cairan pleura
dan darah, sumsum tulang, urine dan biopsi jaringan organ viseral.

Pemeriksaan mikroskopi
Untuk pemeriksaan mikroskopi dilakukan:
 Kerokan kulit diperiksa menggunakan 10% KOH dan tinta Parker
 Eksudat dan cairan tubuh dipusingkan dan endapan diperiksa dengan
10% KOH dan tinta Parker.
584

 Sediaan jaringan diwarnai dengan Gram, PAS atau GMS.

Gambar 313. Morfologi H.capsulatum pada proses budding


(Sumber: L.Ajello- CDC, www. http://inst.bact.wisc.edu)

Medium Kultur. Sediaan klinik harus diinokulasikan pada medium isolasi


primer, misalnya Sabouraud’s dextrose agar dan Brain heart infusion agar
yang diberi tambahan 5% darah domba. Kultur yang positif menentukan
diagnosis histoplasmosis. Pada Sabouraud’s dextrose agar pada suhu 25 0C
koloni tumbuh lambat, putih atau coklat kelabu, mirip kapas dengan coklat-
kuning pucat di baliknya.

Gambar 314. Kultur Histoplasma capsulatum pada Sabouraud dextrose agar


(Sumber: CDC. Aapredbook.aapublications.org)
585

Pemeriksaan serologi Diagnosis histoplasmosis dapat ditentukan dengan


bantuan pemeriksaan serologi Immunodiffusion atau Complement fixation
test, terutama pada penderita imunokompeten. Deteksi antibodi pada
penderita imunosupresi sukar dilakukan(20-50% negatif).

Gambaran Klinis. Histoplasmosis biasanya menunjukkan gambaran klinis


sebagai pneumonia atipik yang pada stadium akut menunjukkan terjadinya
demam dan gejala-gejala pernapasan.

Pada keadaan yang lebih lanjut, histoplasmosis dapat berkembang menjadi:

 Histoplasmosis menyebar secara progresif: Penderita menunjukkan


gejala-gejala demam, sesak, batuk, berat badan menurun, kelemahan
badan dan hepatosplenomegali. Penderita biasanya meninggal dalam
waktu 6 minggu.
 Histoplasmosis paru kronis progresif. Keadaan ini biasanya terlihat
pada penderita lanjut usia yang mengalami penyakit paru kronis
obstruktif (chronic obstructive pulmonary disease-COPD).

 Penyebaran histoplasmosis pada individu dengan sistem imun yang


tak terganggu (immunocompromised ) bisa terjadi jika infeksi yang
lama menjadi aktif kembali (reaktifasi) misalnya karena menderita HIV.

Pengobatan. Histoplasmosis dapat diobati dengan itraconazole; pada


penyakit yang berat atau gagal diobati dengan itraconazole dapat diberikan
amphotericin B.

(b). Coccidioidomycosis

Koksidioidomikosis adalah infeksi pernapasan yang disebabkan oleh


Coccidioides immitis sesudah menghirup konidia jamur ini. Jamur ini dengan
cepat menghilang tetapi menyebabkan terjadinya imunitas spesifik yang kuat
terhadap infeksi sekunder Pada sebagian penderita infeksi berkembang
menjadi penyakit paru kronis atau menjadi penyakit sistemik yang dapat
menyebabkan kelainan pada meninges, tulang, sendi dan
586

jaringan kutan dan subkutan. Coccidioides immitis adalah jamur yang hidup di
tanah, endemik di beberapa daerah kering yang curah hujannya rendah di
USA, Mexico, dan Amerika Selatan.

Manifestasi Klinis. Sekitar 60% penderita hanya menunjukkan keluhan


ringan yang tidak memerlukan pengobatan. Dari 40% yang menunjukkan
gejala, sebagian besar mengalami demam akut yang mulai terjadi 10-16 hari
sesudah terjadi paparan . Sebagian besar penderita akan sembuh sempurna.
Selain demam, gejala umum lainnya adalah nyeri dada pleuritik, batuk,
malaise, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam hari, dan kehilangan nafsu
makan. Banyak penderita menunjukkan adanya eritematus difus atau ruam
makulopapular pada badan dan anggota badannya. Sekitar 10% penderita
yang menunjukkan gejala akan meninggalkan nodul paru atau kista yang
masih bertahan beberapa bulan atau tahun kemudian.

Pada 5% penderita lainnya terjadi penyebaran metapulmonal ke meninges,


tulang, sendi dan jaringan kutan dan subkutan, yang terjadi pada minggu-
minggu pertama sampai beberapa bulan sesudah terjadi infeksi primer

Diagnosis laboratorium. Bahan pemeriksaan klinik berupa kerokan kulit,


dahak dan cairan bronkial, cairan serebrospinal dan darah, sumsum tulang,
urne dan biopsi jaringan dari berbagai organ viseral.

Gambar 315. Fotomikrograf menunjukkan arthrokonidia dan arthrospora


Coccidioides immitis yang berdinding tebal
(http://www.cdc.gov/fungal/coccidioidomycosis)
587

Pemeriksaan mikroskopi langsung. Bahan pemeriksaan dapat diperiksa di


bawah mikroskop secara langsung, yaitu kerokan kulit diperiksa
menggunakan 10% KOH dan tinta Parker, sedangkan eksudat dan cairan
tubuh dipusingkan dan sedimen diperiksa menggunakan 10% KOH dan tinta
Parker. Bahan sediaan jaringan diwarnai dengan PAS, GMS dan pewarnaan
Gram.

Gambar 316. Endospora di dalam sporangium (khas pada Coccidioides


immitis dan spherule muda dengan bagian tengah yang terang dengan
sitoplasma perifer dan dinding yang tebal
(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/-/Coccidioidomycosis)

Pemeriksaan histopatologi merupakan cara terpenting untuk mendiagnosis


patogen. Pada pemeriksaan mikroskopis, adanya spherule (10-80µm) berisi
endospora (2-5 µm) merupakan cirri khas Coccidioides immitis

Medium kultur. Bahan pemeriksaan klinik harus diinokulasi pada media


isolasi primer, misalnya Sabouraud’s dextrose agar dan Brain heart infusion
agar yang diberi tambahan 5% darah domba.
588

Gambar 317. Biakan Coccidioides immitis menunjukkan adanya koloni


berwarna putih abu-abu dengan warna coklat di baliknya.
(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/-/Coccidioidomycosis).

Pemeriksaan serologi Pada penderita dengan imunokompeten,


pemeriksaan imunodifusi dan atau uji fiksasi komplemen membantu
menegakkan diagnosis koksidioidomikosis. Deteksi antibodi pada penderita
dengan imunosupresif sukar dilakukan karena sekitar 20-50% menunjukkan
hasil negatif.

Pengobatan koksidioidomikosis Infeksi paru lokal koksidioidomikosis yang


tidak berisiko mengalami komplikasi biasanya dapat sembuh dengan
sendirinya. Jika terjadi penyebaran infeksi yang ekstensif dengan risiko tinggi
mengalami komplikasi karena adanya imunosupresi atau adanya faktor-
faktor lainnya perlu mendapatkan pengobatan dengan anti jamur,
pembersihan pembedahan atau keduanya. Penderita dengan gagal
pernapasan akibat infeksi Coccidioides immitis atau infeksi koksidioides yang
progresif diobati dengan amphotericin B.
589

Pada koksidioidomikosis kronis pengobatan dapat juga diberikan dengan


fluconazole, itraconazole, atau ketokonazole. Lama pengobatan mulai
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Sebagian penderita infeksi kronis
memerlukan terapi supresif kronis untuk mencegah terjadinya kekambuhan.

(c). Paracoccidioidomycosis
Parakoksidioidomikosis adalah penyakit granulomatosa kronik yang
menyebabkan infeksi paru primer, seringkali tidak jelas, yang kemudian
menyebar dan membentuk granulomata ulseratif di mukosa rongga mulut,
hidung dan kadang-kadang gastrointestinal. Perjalanan penyakit mirip
blastomikosis dan koksidioidomikosis. Penyebabnya, yaitu Paracoccidioides
brasiliensis mempunyai daerah sebaran yang terbatas di Amerika Tengah
dan Selatan.

Manifestasi Klinik. Gambaran klinik penyakit ini bervariasi dari infeksi


subklinik yang hanya bisa dideteksi dengan uji kulit yang positif sampai ke
infeksi kronis unifokal (hanya satu organ yang terserang) atau infeksi kronis
multifokal dimana lebih dari satu organ terkena. Selain itu bisa terjadi infeksi
juvenile subakut .

Parakoksidioidomikosis Paru Pada permulaan terjadinya, pulmonary


paracoccidioidomycosis berlangsung lambat dan penderita umumnya
menunjukkan gejala-gejala kronis seperti batuk, demam, keringat malam dan
berat badan menurun, yang harus dibedakan dari histoplasmosis dan
tuberkulosis.

Parakoksidioidomikosis mukokutan.Infeksi pada mukosa (mucocutaneous


paracoccidioidomycosis) sering terjadi di mulut dan hidung. Lesi juga dapat
terjadi di mukosa faring. Lesi berupa ulserasi yang nyeri paling sering terjadi
di mukosa gusi, lidah, bibir atau palatum dan dapat berlangsung beberapa
minggu atau bulan. Perforasi palatum atau septum hidung dapat juga terjadi.
Lesi kutan sering terjadi di wajah di sekitar mulut dan hidung. Pada infeksi
yang berat lesi dapat menyebar luas.

Parakoksidioidomikosis limfonoduler. Limfadenitis pada lymphonodular


paracoccidioidomycosis sering terjadi pada penderita muda, terutama pada
cincin servikal dan submandibula
590

yang dapat berkembang membentuk abses dengan sinus untuk mengalirkan


cairan abses.

Parakoksidioidomikosis yang menyebar. Penyebaran hematogen P.


brasiliensis (disseminated paracoccidioidomycosis).dapat menyebabkan
penyebaran penyakit yang menimbulkan lesi usus besar maupun usus kecil,
lesi hepatik, kerusakan kelenjar adrenal, osteomielitis, artritis, endoftalmitis
dan meningoensefalitis atau lesi fokal serebral.

Diagnosis Laboratorium. Sebagai bahan pemeriksaan adalah kerokan kulit,


dahak dan kumbah bronkial, cairan serebrospinal, cairan pleura dan darah,
sumsum tulang, dan jaringan biopsi dari berbagai organ viseral.

Pemeriksaan mikroskopi Untuk pemeriksaan mikroskopi dilakukan:


(a). Kerokan kulit diperiksa menggunakan 10% KOH dan tinta Parker.
(b). Eksudat dan cairan tubuh dipusingkan dan endapan yang terjadi diperiksa
menggunakan 10% KOH dan tinta Parker
(c). Sediaan jaringan diwarnai dengan PAS, GMS atau pewarnaan Gram.

Pemerksaan histopatologi sangat penting untuk menentukan identifikasi


jamur patogen penyebab infeksi.

Pemeriksaan mikroskopi menunjukkan sel ragi, berukuran 20-60 nm, dengan


banyak tunas dengan gambaran kemudi mobil (“steering wheels”).

Gambar 318. Pembentukan tunas Paracoccidioides brasiliensis dengan


pewarnaan methenamine silver
(Bahan: Centers for Disease Control and Prevention)
591

Medium Kultur. Sediaan klinik diinokulasi pada medium isolasi primer,


misalnya Sabouraud’s dextrose agar dan Brain heart infusion agar yang
disuplemen dengan 5% darah domba. Hasil kultur yang positif sangat
membantu diagnosis jamur penyebabnya.

Pengobatan dan pencegahan. Parakoksidioidomikosis pada dasarnya


diobati seperti penyakit jamur sistemik lainnya. Rawat inap di rumah sakit dan
pemberian pengobatan suportif harus dilakukan pada penderita dengan
infeksi yang berat. Jika terdapat anemia dan defisiensi nutrisi harus diobati.
Obat anti jamur yang efektif terhadap parakoksidioidomikosis yang dapat
diberikan, adalah:
 Triazole (itraconazole, voriconazole dan posaconazole) merupakan
obat pilihan.
 Imidazole:ketoconazole.
 Sulfonamide: sulfadiazin, trimethoprim-sulfamethoxazole.
 Amphotericin B. Diberikan pada infeksi berat yang tidak berhasil diobati
dengan anti jamur lainnya.

Pembedahan. Kadang-kadang diperlukan tindakan pembedahan jika terjadi


gangguan pada organ yang mempengaruhi hidup penderita, misalnya
tindakan bedah syaraf jika terjadi hidrosefalus atau tekanan jaringan
granuloma pada saluran spinal.(spinal cord). Pembedahan rekonstruksi
dilakukan untuk menghilangkan sisa kerusakan fibrotik.

(d). Blastomycosis

Blastomikosis (blastomycosis) adalah penyakit granulomatosa dan supuratif


kronis dengan stadium primer paru yang seringkali diikuti dengan penyebaran
ke bagian tubuh yang lain, terutama ke kulit dan tulang. Penyakit ini
dilaporkan dari daerah terbatas di Amerika Utara, dan pernah juga dilaporkan
dari Afrika, Asia dan Eropa. Habitat alami Blastomyces dermatitidis belum
jelas, tetapi jamur ini dapat diisolasi dari tanah di daerah endemis.
592

Manifestasi Klinis. Terdapat tiga manifestasi klinis blastomikosis yang sering


terjadi yaitu blastomikosis paru, blastomikosis kulit, dan blastomikosis tulang
dan sendi.

a. Blastomikosis paru (pulmonary blastomycosis)


Sebagian besar penderita blastomikosis paru tidak menunjukkan gejala
(asimtomatis) dan baru diketahui sesudah infeksi menyebar ke organ lainnya.
Masa inkubasi sekitar 3-15 minggu, dengan gejala awal yang tidak jelas, dan
penderita menunjukkan gejala-gejala kronis berupa batuk, demam,malaise
dan berat badan menurun. Lesi kemudian lesi memburuk dan membentuk
supurasi dan nekrosis serta terjadi pembentukan kista. Kadang-kadang
penderita menunjukkan gejala awal infeksi yang akut dengan demam tinggi,
menggigil, batuk produktif, mialgia, artralgia dan nyeri dada pleuritik.
Seringkali penderita sembuh sesudah 2-12 minggu, tetapi sebagian kembali
beberapa bulan kemudian dengan lesi di tempat lain. Penderita dengan gejala
awal akut yang tidak sembuh akan berkembang menjadi infeksi dada yang
kronis atau menyebar ke jaringan lainnya. Pemeriksaan sinar-X dada tidak
khas gambarannya.

b. Blastomikosis kutan (cutaneous blastomycosis)


Sekitar 70% penyebaran hematogen menyebabkan lesi kulit. Lesi tidak
menyebabkan rasa sakit, dan berbentuk lesi verukosa dengan tepi tidak rata
atau berbentuk ulkus. Daerah lain yang sering terserang adalah wajah,
anggota bagian atas, leher, dan kulit kepala.

c. Blastomikosis tulang dan sendi (osteoarticular blastomycosis). Sekitar


30% penderita mengalami blastomikosis pada tulang belakang, pelvis, tulang
kranial, tulang iga dan tulang panjang lainnya. Sering penderita tidak
menunjukkan gejala sampai infeksi menyebar ke sendi gerak, atau ke
jaringan sekitarnya yang menyebabkan abses subkutan. Sekitar 10%
penderita mengalami artitis. Pemeriksaan radiologi tidak spesifik.
593

Bentuk klinis lain adalah blastomikosis urogenital yang meliputi infeksi pada
prostat, epididimis, atau testis. Penyebaran melalui darah dapat ke otak yang
menyebabkan meningitis, abses otak atau spinal. Organ lain dapat juga
mengalami infeksi berupa choroiditis dan endophthalmitis.
Pada penderita AIDS blastomikosis berlangsung berat dengan penyebaran
yang luas akibat terjadinya reaktifasi endogen infeksi yang terjadi
sebelumnya.

Gambar 319. Blastomikosis kulit


(http://www.onlinedermclinic.com/archive/blastomycosis

Diagnosis Laboratorium. Sebagai bahan pemeriksaan laboratorium adalah


kerokan kulit, dahak dan kumbah bronkial, cairan serebrospinal, cairan pleura
dan darah, sumsum tulang, dan jaringan biopsi dari berbagai organ viseral.

Pemeriksaan mikroskopi Untuk pemeriksaan mikroskopi dilakukan:

(a). Kerokan kulit diperiksa menggunakan 10% KOH dan tinta Parker.

(b). Eksudat dan cairan tubuh dipusingkan dan endapan yang terjadi diperiksa
menggunakan 10% KOH dan tinta Parker.

(c). Sediaan jaringan diwarnai dengan PAS, GMS atau pewarnaan Gram.
594

Pemeriksaan histopatologi sangat penting untuk menentukan jamur patogen


penyebab infeksi.

Pemeriksaan sediaan jaringan dilakukan untuk melihat dengan jelas sel-mirip


ragi (yeast -like cells) yang khas, yang sering sulit dilihat dengan pewarnaan
Hematoxylin-Eosin (H&E), lakukan pewarnaan dengan metoda Grocott’s
methenamine silver.

Gambar 320. Sediaan jaringan blastomikosis menunjukkan sel mirip ragi


berdinding tebal dengan tunas yang unipolar.
(http://tulane.edu/som/departments/pathology)

Biakan medium. Bahan pemeriksaan klinik diinokulasikan pada medium


isolasi primer, misalnya Sabouraud’s dextrose agar dan Brain heart infusion
agar yang di suplemen dengan 5% darah domba. Biakan pada medium
penting untuk membantu menegakkan diagnosis.

Pembiakan Blastomyces dermatitidis harus dilakukan dengan sangat hati-hati


untuk mencegah penularan yang berbahaya terhadap petugas laboratorium
dengan mengerjakannya di dalam ruang kerja yang aman (laminar flow).
595

Untuk identifikasi Blastomyces dermatitidis cara terbaik adalah melakukan uji


exoantigen.

Pengobatan blastomikosis. Infeksi ringan dan sedang blastomikosis diobati


dengan itraconazole, yang merupakan obat pilihan untuk blastomikosis paru.
Obat ini diberikan dengan dosis 200 mg/hari selama 6 bulan. Infeksi yang
berat misalnya pada penderita immunocompromised diobati segera dengan
amphotericin B. Sesudah tahap pengobatan amphotericin B selesai
sebaiknya diberikan pengobatan supresif kronis dengan itraconazole.

Tidak ada vaksin yang bisa digunakan untuk mencegah blastomikosis. Untuk
menghndari paparan dengan jamur, orang-orang dengan sistem imun yang
lemah sebaiknya menghindari daerah dengan banyak berpohon yang menjadi
tempat hidup jamur.

Tabel 40. Diferensiasi Morfologi jaringan jamur patogen dimorfik.

Mikosis Morfologi Jamur


Sel ragi berukuran besar dengan tunas unipolar (8-
Blastomycosis
10 um )
Coccidioidomycosis Sphelrula (10-80um) dengan endospora (2-5um).
Sel ragi berukuran kecil dengan dasar sempit (1-
Histoplasmosis  
5um; 5-2um pada var. duboisii)

Sel ragi dengan dasar sempit, banyak tunas (20-


Paracoccidioidomycosis
60um).

Sel ragi bertunas dengan dasar sempit


Sporotrichosis 
(2-5um).
(David Ellis, The University of Adelaide 2013)

PERHATIAN !

Pada waktu membiakkan Blastomyces dermatitidis, Coccidioides


immitis, dan Histoplasma capsulatum harus dilakukan dengan
hati-hati karena paparan organisme sangat membahayakan
2. MIKOSIS SISTEMIKkesehatan
OPORTUNISTIK
petugas laboratorium.
596

Infeksi oleh jamur yang sebenarnya sangat rendah virulensinya yang bersifat
kosmopolit (tersebar luas di seluruh dunia), yang hanya menyerang penderita
yang mengalami gangguan pada sistem imunitas tubuhnya.
Meningkatnya insidens infeksi dengan jamur oportunis terjadi karena
banyaknya jamur yang menjadi penyebabnya, adanya peningkatan AIDS,
penyakit kanker yang lebih agresif, meningkatnya penggunaan kemoterapi
pasca transplantasi, antibiotika, sitotokain, obat-obatan imunosupresif,
kortikosteroid dan tindakan-tindakan yang menurunkan daya tahan tubuh.

Tabel 41 . Penyebab dan insidens Mikosis Sistemik oportunis

Insidens
Penyakit Organisme penyebabnya
Sering
Candidiasis  Candida albicans  .
Jarang/ Sering
Cryptococcosis Cryptococcus neoformans 
Jarang
Aspergillosis Aspergillus fumigatus dll
Jarang
Pseudallescheriasis Pseudallescheria boydii
Rhizopus, Mucor, Rhizomucor,
Zygomycosis Jarang
Absidia dll..
 (Mucormycosis)
Penicillium, Paecilomyces, 
Fusarium, Scopulariopsis
Hyalohyphomycosis   Jarang
Beauveria, dll.

Cladosporium, Exophiala,
Wangiella,Bipolaris,
Phaeohyphomycosis Jarang
Exserohilum, Curvularia.

Jarang
Penicillosis marneffei Penicillium marneffei

(Australian Guidelines for use of antifungal agents in treatment of invasive


fungal infection (July 2003).

Mikosis pada penderita netropenia


597

Pada penderita dengan netropenia, semua jamur yang dapat tumbuh pada
suhu 370 C dan dapat masuk ke dalam aliran darah dapat menyebar ke
seluruh organ atau jaringan tubuh. Kandidiasis merupakan infeksi jamur yang
penyebaran terjadi melalui darah meningkat prevalensinya.

Mikosis pada penderita AIDS


Munculnya AIDS sangat meningkatkan infeksi jamur Candida dan
Cryptococcus pada manusia. Kandidiasis mukosa terjadi hampir pada semua
penderita AIDS dengan infeksi C.albicans. Penderita terinfeksi Cryptococcus
neoformans var.neoformans dengan AIDS tidak dapat diobati lagi, sehingga
memerlukan pengobatan seumur hidup untuk menghambat infeksi AIDS.

Diagnosis Mikosis Sistemik


Untuk menetapkan diagnosis mikosis sistemik pada penderita immuno-
compromised diperlukan berbagai keahlian kedokteran untuk bekerja sama.

Mikosis sistemik oportusistik

(a). Kandidiasis

Infeksi primer atau sekunder kandidiasis menunjukkan manifestasi klinik yang


akut, subakut atau kronik. Kelainan dapat terjadi di mulut, tenggorok, kulit,
kulit kepala, vagina, jari, bronki, paru, atau di daerah gastrointestinal, atau
bersifat sistemik seperti septikemia, endokarditis dan meningitis. Pada
individu yang sehat, infeksi Candida biasanya terjadi pada tempat yang
mengalami kerusakan fungsi pelindung epitel pada semua kelompok umur,
terutama pada bayi dan orang lanjut usia. Umumnya infeksi terjadi superfisial
dan mudah diobati.
Candida albicans terdapat secara alami sebagai komensal pada membran
mukosa dan pada saluran pencernaan manusia

dan hewan. Lingkungan yang menjadi sumber infeksi biasanya adalah air,
tanah, udarta dan tanaman yang tercemar dengan ekskreta manusia atau
hewan.
598

Kandidiasis sistemik umumnya terjadi pada orang dengan defisiensi imun cell
mediated, penderita dalam pengobatan kanker agresif atau mendapatkan
pengobatan imunosupresi atau yang mendapatkan terapi transplantasi.

Spesies Candida yang sering menjadi penyebab infeksi sistemik adalah


Candida albicans dan kadang-kadang disebabkan Candida tropicalis,
C.krusei, C.parapsilosis, C.guilliermondii, C.pseudotropicalis, C.glabrata.
Pada medium Sabouraud’s dextrose agar, koloni Candida albicans berwarna
putih atau kuning krim, halus, berbentuk seperti ragi. Pada pemeriksaan
mikroskopi tampak bentuk sel tunas pada sel mirip-ragi yang sferis atau
subsferis atau blastokonidia yang berukuran 2.0-7.0 x 3.0-8.5 μm.

Gambar 321 . Kultur Candida albicans pada Sabouraud’s dextrose agar


(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Fungal_Descriptions/-/Candida/Candid
a_albicans.html)

Faktor Predisposisi kandidiasis


Kandidiasis mudah terjadi pada keadaan sebagai berikut:
 Adanya kerusakan pelindung epitel (barrier), misalnya akibat luka
bakar, luka/abrasi, maserasi/hidrasi, oklusi,
pemakaian kateter, benda asing (denture, dan lainnya). pH lambung
meningkat, paparan bahan sitotoksik, Radiasi dan penggunaan
antibotik dalam jangkapanjang
599

 Kelainan konstitusional (diabetes, hipoadrenalisme, hipotiroidisme,


hipoparatiroidisme,polyendocrinopathy, kehamilan, oral contraceptives,
malnutrisi,malabsorpsi, defisiensi Fe, Zn, Biotin, hipovitaminosis A.
 Kelainan neutrofil dan makrofag (Neutropenia, Acrodermatitis
enteropathica, Leukopenia, Myeloperoxidase deficiency,
Agranulocytosis, Chronic granulomatous disease)
 Gangguan system imun (Primer dan Dapatan): Thymic alymphoplasia,
Severe combined immunodeficiency, Thymic hypoplasia, Chronic
mucocutaneous candidiasis, Hyper-IgE syndrome, AIDS (Acquired
immunodeficiency syndrome).
 Keganasan dan gangguan darah (Leukemia, Lymphoma, Thymoma,
Advanced cancer).
 Obat-obatan (Antibiotics, Corticosteroids, Colchicine, Phenylbutazone,
Cytotoxic agents, Antimetabolites, Irradiation, Immunosuppressive
agents).

Tabel 42. Penggunaan obat anti jamur terhadap Candida (Thursky and
Playford,2008)

Obat anti kandidiasis Penggunaan Dosis yang dianjurkan

Amphotericin B IV 0.6–1.0 mg/kg per hari


deoxycholate
Liposomal amphotericin IV 3–5 mg/kg per hari

Amphotericin B lipid IV 3–5 mg/kg per hari


complex
Fluconazole Oral 400 mg (6–12 mg/kg) per hari

Voriconazole Oral 6 mg/kg setiap 12 jam selama 24


jam, lalu 4 mg/kg setiap 12 jam

Caspofungin IV 70 mg per hari selama 24 jam, lalu


50 mg per hari

(b). Kriptokokosis
600

Kriptokokosis adalah penyakit jamur yang kronis, subakut atau akut, pada
paru, sistemik atau meningitis, yang disebabkan oleh Cryptococcus
neoformans yang terjadi karena menghirup basidiospora dan atau sel ragi
kering jamur tersebut. Infeksi paru primer tidak menimbulkan gejala dan
biasanya subklinis. Jika terjadi penyebaran, jamur biasanya menyukai system
saraf pusat, dan dapat juga menyerang kulit, tulang dan organ visceral
lainnya. C.albidus, dan C.laurentii kadang-kadang juga dapat menyebabkan
penyakit pada manusia.

Manifestasi Klinis kriptokokosis. Pada manusia C.neoformans terutama


menyerang hospes imunocompromised dan merupakan jamur penyebab
meningitis yang terbanyak. Sekitar 7-10% penderita AIDS terserang jamur ini.
Meningitis dengan demam dan sakit kepala merupakan gejala klinik paling
sering dijumpai.
Pada kriptokokosis yang disebabkan oleh Cryptococcus var.gattii sebarannya
terbatas di Australia, Papua Nugini, sebagian Afrika, daerah Mediterania,
India, Asia Tenggara, Mexico,Brazil, Paraguay dan California Selatan, dan
biasanya menyerang hospes non-immunocompromised Tanda khas infeksi
berupa massa lesi yang besar di paru dan atau di otak (cryptococcoma).

1. Kriptokokosis Paru. Adanya koloni Cryptococcus pada saluran


pernapasan dengan dahak positif, dapat tidak menimbulkan gejala klinis.
Penderita dengan penyakit paru kronis, misalnya bronkitis dan bronkiektasi,
meskipun koloni jamur positif (dahak mengandung Cryptococcus) dapat tidak
menunjukkan gejala klinis (asimtomatik) selama bertahun-tahun.
Kriptokokosis subklinik akibat paparan lingkungan pada orang normal dapat
sembuh dengan sendirinya. Jika terjadi gejala umumnya ringan berupa batuk,
demam ringan, dan nyeri pleuritik. Dengan pemeriksaan sinar-X paru adanya
infeksi dapat ditemukan secara tidak disengaja.
Kriptokokosis paru invasif dapat terjadi jika infeksi primer tidak segera
sembuh, berkembang menjadi pneumonia kronis, dan penderita mengalami
demam disertai batuk. Jika terjadi
601

granuloma kronik, penderita tidak menunjukkan gejala klinis. Adanya


kriptokokosis paru kronis dapat meningkatkan risiko terjadinya penyebaran ke
sistem saraf pusat.

2. Kriptokokosis Sistem Saraf Pusat. Penyebaran ke otak dan meninges


merupakan manifestasi klinik kriptokokosis, berupa meningitis,
meningoensefalitis, atau kriptokokoma. Meningitis merupakan bentuk klinis
yang paling sering terjadi, berlangsung perlahan-lahan selama beberapa
bulan berupa sakit kepala diikuti pusing, mudah tersinggung, pelupa, mual,
muntah, kaku kuduk, ataksia dan pada stadium akhir infeksi dapat terjadi
gangguan penglihatan dan koma Pada penyebaran yang luas, dalam waktu
beberapa minggu penderita dapat meninggal.dunia. Jika terjadi invasi jamur
ke korteks serebri, batang otak dan serebelum, infeksi segera menjadi berat
yang sering menyebabkan koma dan kematian penderita dalam waktu
pendek. Pengobatan lambat memberikan hasil dan tampak tanda-tanda
edema serebri atau hidrosefalitis, terutama papiledema.

3. Kriptokokosis Kutan. Kriptokokosis kutan primer berupa lesi dengan


ulserasi atau kadang-kadang berupa selulitis, terutama pada penderita
dengan imunosupresi Lesi dapat sembuh spontan atau sesudah diobati
dengan obat anti jamur sistemik. Meskipun demikian, semua penderita
dengan lesi kulit harus dipantau dengan baik terhadap terjadinya penyebaran
ke sistem saraf pusat. Infeksi kutan sekunder yang terjadi pada sekitar 15%
penderita kriptokokosis yang mengalami penyebaran, menunjukkan buruknya
prognosis. Lesi biasanya dimulai dengan terjadinya papul kecil yang
mengalami ulserasi, abses, nodul eritematosa, atau selulitis.
Pada penderita dengan AIDS, kulit merupakan tempat kedua terjadinya
penyebaran kriptokokosis;. Lesi sering terjadi di kepala dan leher dalam
bentuk papul, nodul, plak, ulkus, abses, lesi herpetiform, lesi mirip molluscum
contagiosum dan sarkoma Kaposi. Ulkus dapat juga terjadi di daerah anal.

3. Kriptokokosis tulang. Kriptokokosis tulang terjadi pada sekitar 10%


penyebaran kriptokokosis yang dapat terjadi di
602

tulang kranial, veterbra dan dapat disertai artritis terutama pada sendi
lutut. Lesi tulang yang mengalami lisis tidak disertai reaksi periosteal,
tetapi bisa terjadi nyeri pada pergerakan.

5. Kriptokokosis mata. Kelainan yang terjadi di mata berupa papiledema


dan atrofi optik akibat terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.

6. Kriptokokosis lainnya. Pada penyebaran kriptokokosis, C.neoformans


sering dapat diisolasi dari urine penderita. Selain itu juga terlihat tanda-tanda
pielonefritis atau prostatitis. Bentuk kriptokokosis lainnya adalah lesi kortek
adrenal, endokarditis, hepatitis, sinusitis, dan lesi esofagus lokal.

Cryptococcus neoformans

C. neoformans adalah jamur mirip ragi yang berkapsul, yang ditemukan pada
sistem respirasi dan sistem saraf pada manusia dan hewan. C.neoformans
mempunyai dua varian, yang bisa dibedakan dengan teknik biokimia dan
tenik molekuler, yaitu C.neoformans var.neoformans dan C. neoformans var.
Gattii.. Varian neoformans (serotype A dan D) merupakan pathogen
oportunistik yang luas sebarannya di dunia, terutama pada penderita AIDS.
Jamur ini dapat diisolasi dari berbagai sumber alami terutama dari guano
burung merpati, dan juga didapatkan pada tinja burung kenari, dan kakaktua.
Jamur juga dapat diisolasi dari sayuran, buah dan sari buah, kayu, produk
susu dan tanah.

Diagnosis Laboratorium. Bahan pemeriksaan yang berupa cairan


serebrospinal, dahak, darah, nanah, urine dan jaringan hasil biopsi dapat
diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopi langsung atau dengan melakukan
biakan jamur..

Pemeriksaan mikroskopi langsung

(a). Eksudat dan cairan tubuh dibuat sediaan basah tipis di bawah kaca
penutup menggunakan tinta India untuk menunjukkan sel ragi berkapsul.
Dahak dan nanah sesudah dicerna dengan 10% KOH sebelum diwarnai
dengan tinta India. Kerokan kulit diperiksa menggunakan 10% KOH dan tinta
Parker.
603

(b). Eksudat dan cairan badan dipusingkan dan sedimen diperiksa


menggunakan 10% KOH dan tinta Parker

(c). Sediaan jaringan diwarnai dengan PAS,GMS dan pewarnaan H&E. Untuk
menunjukkan kapsul polisakarida dapat dilakukan pewarnaan dengan
mucicarmine. Perhatikan bentuk sel ragi bertunas (budding ) yang bulat atau
ovoid dikelilingi oleh kapsul gelatin.

Gambar 322. Cryptococcus neoformans pada cairan bronkoalveoli,


dengan pewarnaan Wright.
(http://labmed.ucsf.edu/education//fung_morph)

Pemeriksaan histopatologi menetapkan diagnosis sel ragi patogen yang


mempunyai ciri-ciri sebagai berikut::

 Sel sferis, ukuran garis tengah antara 5-20 μm


 Kapsul tebal polisakarida, tetapi ada strain yang tidak berkapsul

 Bentuk sel dengan satu tunas atau lebih

Adanya sel ragi berkapsul di cairan serebrospinal, jaringan biopsi, darah atau
urine menunjukkan terjadinya kriptokokosis, meskipun tidak terlihat adanya
gejala klinik. Setiap orang yang menunjukkan adanya Cryptococcus pada
604

pemeriksaan mikroskopi, harus dilakukan biakan (kultur) dan deteksi antigen


untuk memastikan terjadinya penyebaran penyakit ini.

Gambar 323. Cryptococcus berkapsul di dalam sitoplasma, pewarnaan HE


dan mucicarmin ( http://wwwnc.cdc.gov/eid/article)

Biakan Jamur.Sediaan diisolasikan pada media primer, misalnya


Sabouraud’s dextrose agar, perhatikan koloni yang halus, seperti gelatin,
tembus sinar, lalu menjadi sangat liat (mukoid) dan berwarna kuning krim.
Kultur yang positif pada cairan serebrospinal menunjukkan adanya
penyebaran kriptokokosis, tetapi kultur positif pada sekresi saluran
pernapasan harus didukung pemeriksaan lainnya.
605

Gambar 324. Koloni C.neoformans pada Bird seed agar plate menunjukkan
warna cklat yang khas (
http://www.mycology.adelaide.edu.au/-/-/Crryptococcosis)

Pemeriksaan serologi

Ditemukannya antigen kapsul polisakarida kriptokokus pada cairan spinal


menunjukkan terjadinya meningitis kriptokokosis. Pada penderita AIDS
hampir 100% serum penderita menunjukkan positif antigen Cryptococcus.
Sedangkan penderita kriptokokosis non-AIDS hanya 60% menunjukkan positif
antigen Cryptococcus.

Pengobatan dan pencegahan kriptokokosis. Untuk mengobati


kriptokokosis dapat diberikan amphotericin B secara intravenus yang
dikombinasi dengan flucytosin per oral atau intravenus. Untuk mencegah
infeksi melalui udara pernapasan yang tercemar jamur, hindari paparan udara
oleh tinja unggas dengan selalu membersihkan kandang unggas terutama
merpati.

(d). Mucormycosis

Mukormikosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur ordo Mucorales dan
Entomophthorales. Mula-mula istilah zigomikosis digunakan terhadap infeksi
jamur invasif oleh kelas Zygomycetes dari ordo Mucorales dan
Entomophthorales. Karena infeksi jamur invasif pada manusia pada saat ini
terutama disebabkan oleh jamur Mucorales, maka sekarang digunakan istilah
Mucormikosis (Mucormycosis)..
Jamur penyebab mukormikosis banyak ditemukan di lingkungan pada buah,
roti dan umumnya menjadi bagian dari sampah organik yang membusuk.
Spesies Rhizopus adalah penyebab mukormikosis paling sering, sedangkan
spesies dari genera lainnya adalah Mucor, Cunninghamella, Apophysomyces.
Absidia, Saksenaea dan Rhizomucor. Dari Entomophthorales yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia adalah Basidiobolus ranarum dan
Conidiobolus coronatus, terutama menyebabkan infeksi pada mukosa hidung
dan jaringan subkutan. Organisme-organisme ini ada di mana-mana dan
biasanya bersifat saprofitik yang jarang menyebabkan penyakit pada orang
606

dengan sistem imun yang normal. Tetapi jamur Mucorales ini merupakan
penyebab tersering nomor tiga dari infeksi jamur invasif pada penderita
dengan gangguan sistem imun (immunocompromised)
terutama pada penerima atau resipien transplantasi dan penderita dengan
keganasan hematologik.
Sebagian besar infeksi mukormikosis dapat mengancam jiwa penderita,
terutama yang mempunyai faktor risiko, misalnya penderita dengan diabetes
ketoasidosis dan neutropenia. Infeksi berat pada sinus fasial yang menjalar
ke otak sering terjadi. Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah,
zygomikosis dapat berlangsung akut dan berat. Penyakit terutama meliputi
daerah rhino-facial-cranial, paru, saluran gastrointestinal, kulit, dan kadang-
kadang pada sistem organ lainnya. Mikosis ini sering dikaitkan dengan
diabetes asidosis, anak dengam malnutrisi, penderita dengan luka baker
berat, dan penyakit lain seperti leukemia, limfoma, terapi imunosupresif, atau
penggunaan sitotoksin dan kortikosteroid.
Jamur Mucorales sering ditemukan di pembuluh darah sistem arteri sehingga
menyebabkan terjadinya emboli dan menimbulkan nekrosis pada jaringan di
sekitarnya.
Zygomikosis subkutan biasanya disebabkan oleh paparan traumatik dan lesi
berupa bercak, pustule, ulserasi, abses dalam dan bercak nekrotik. Pada
hospes imunokompeten, lesi biasanya terdapat lokal di sekitar tempat
inokulasi dan umumnya dapat diatasi dengan amphotericin B. Jamur
mempunyai predileksi untuk menginvasi pembuluh darah arteri,
menyebabkan embolisasi dan nekrosis di jaringan sekitarnya.

Pemeriksaan laboratorium. Bahan pemeriksaan klinis berupa kerokan kulit


dari lesi subkutan, sputum, biopsi dari lesi paru, cairan hidung, bahan kerokan
dan aspirasi dari sinus (pada penderita dengan lesi rinoserebral dan biopsi
jaringan.

Jamur patogen lainnya


Absidia corymbifera
607

Jamur pathogen untuk manusia ini banyak terdapat di tanah dan sampah
tanaman dan menyebabkan zygomikosis paru, rhinocerebral, sistem saraf
pusat dan kutan serta penyebaran ke organ-organ lainnya.

Jamur ini mempunyai sporangium kecil yang berbentuk piriform, columella


berbentuk konikal dan apophysis yang jelas. Jamur tumbuh cepat pada 40 0C.

Apophysomyces elegans
Patogen yang jarang menyebabkan penyakit pada manusia biasanya
menyebabkan lesi invasif sesudah terjadi paparan traumatik pada kulit. Jamur
yang hidup di tanah ini tersebar di daerah tropis dan subtropis mempunyai
morfologi sporangium berbentuk “cocktail glass” dengan penebalan subapikal
dari sporangiophore. Jamur tumbuh cepat pada suhu 42 0C.

Basidiobolus ranarum
Jamur ini menyebabkan keradangan kronis atau lesi subkutan
granulomatosus terbatas pada badan, dada, punggung atau pantat; infeksi
primer pada anak terutama laki-laki. Jamur yang tersebar di daerah tropis
dan ditemukan di sampah busuk tanaman dan usus amfibi.
Zygospora yang terbentuk banyak jumlahnya; konidia tersebar dari
sporophora dengan kuat.

Conidiobolus coronatus
Spesies ini adalah penyebab penyakit keradangan atau granulomata kronis
yang terbatas di daerah submukosa hidung dengan terjadinya polip atau
masa submukosa. Sebaran jamur ini di seluruh dunia, terutama di daerah
hutan hujan tropis di Afrika. Konidia mempunyai tonjolan-tonjolan mirip
rambut (villae) dan papillae yang jelas tersebar dengan kuat .

Cunninghamella bertholletiae
Jarang menyebabkan zigomikosis pada manusia dan terjadi sesudah trauma
pada individu dengan imunosupresi Jamur yang banyak terdapat di tanah di
daerah subtropis ini membentuk sporangiola satu sel pada pembesaran di
daerah terminal atau vesikel di bagian lateral, tumbuh cepat pada suhu 40 0C.
608

Mucor
Jamur ini jarang menyebabkan zigomikosis pada manusia, yaitu oleh
M.indicus, M.ramosissimus, dan M.circinelloides. Sporangium berukuran
besar, sferis, dan non apophysate, dengan columellae yang jelas dan
collarete yang nyata sesudah penyebaran sporangiospora. Tidak terdapat
stolon dan rhizoid.

Rhizomucor pusillus
Patogen yang jarang menyebabkan zigomikosis paru, kulit atau menyebar ini
tersebar luas di seluruh dunia di tempat penimbunan sampah, dan tumbuh
dengan cepat pada suhu 450C. Jamur membentuk stolon dan rhizoid yang
kecil, dengan sporangiophore yang bercabang dengan septum di bawah
sporangium, sporangium yang berwarna gelap tanpa apophyse dan dinding
sporangiospora yang halus.

Rhizopus oryzae
Jamur ini merupakan penyebab umum dari zigomikosis dan rhinoserebral.
Jamur tersebar luas di seluruh dunia, hidup di tanah dan sampah tanaman
dan bahan makanan busuk dan kotoran hewan dan burung. Tumbuh cepat
pada suhu 400C. Sporangiophore dengan tinggi sering lebih dari 1 mm,
membentuk rhizoid dengan sporangium berukuran garis tengah 100-200 µm
dengan columella dan apophyse yang nyata.

Saksenaea vasiformis
Patogen yang jarang menginfeksi manusia ini biasanya terjadi melalui lesi
invasif akibat trauma pada kulit. Jamur yang hidup di tanah di seluruh dunia
ini mempunyai sporangia berbentuk botol dengan leher panjang; columella
dan apophysa yang ada tumbuh tunggal atau berpasangan dari cabang
dichotomy, dengan rhizoid yang berpigmen gelap.
609

Prognosis mukormikosis. Penyakit mukormikosis rinoserebral dapat


menyebabkan kelainan berat pada penderita yang memerlukan pembedahan
wajah yang luas. Mukormikosis
harus didiagnosis dengan cepat dan memerlukan kerjasama untuk mengobati
dengan cepat dan melakukan tindakan pembedahan yang tepat.
Mortalitas mukormikosis berkisar antara 50-85% terutama akibat kelainan
rinoserebral, paru dan gastrointestinal. Pada penderita dengan penyebaran
infeksi (disseminated disease) angka kematian dapat mencapai 100%,
sedangkan pada infeksi kutan mortalitas hanya sekitar 15%.

Pemeriksaan laboratorium mukormukosis. Pemeriksaan laboratorium


(pewarnaan jamur, kultur jaringan ) tidak spesifik untuk menentukan diagnosis
mukormikosis. Kultur darah dan pemeriksaan serologi tidak dapat membantu
menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan atas bahan klinis pada rinoserebral mukomikosis dengan KOH
menunjukkan gambaran bentuk hifa yang tidak beraturan dengan
percabangannya.
Pada mukormikosis paru, pemeriksaan dan kultur dahak tidak bermanfaat,
tetapi biopsi jaringan paru dapat membantu diagnosis.
Pada infeksi gastrointestinal, diagnosis ditegakkan sesudah dilakukan
pembedahan atau otopsi. Pewarnaan jamur dan kultur bahan biopsi
diperlukan untuk menetapkan diagnosis pasti.
Pada mukormikosis kutan diagnosis ditetapkan sesudah dilakukan
pewarnaan jamur dan kultur dari biopsi kulit.
Mukormikosis yang sudah menyebar tidak dapat ditentukan dari kultur darah
penderita. Pewarnaan jamur dan kultur jaringan yang terinfeksi, cairan
serebrospinal serta biopsi otak dapat membantu menegakkan diagnosis,
sedangkan analisa terhadap cairan serebrospinal tidak spesifik hasilnya.

Pengobatan mukormikosis. Pengobatan anti jamur secara oral maupun


parenteral terhadap mukormikosis harus dilakukan dengan segera dan jika
perlu disertai tindakan pembedahan untuk membuang jaringan terinfeksi.
Tindakan yang terlambat dilakukan dapat berakibat fatal bagi penderita. Obat
anti jamur formula lipid dari amphotericin B atau obat anti jamur
610

posoconazole dapat diberikan. Terapi oksigen hiperbarik dapat diberikan


untuk membantu penyembuhan penyakit ini. Luka tertusuk atau terisis yang
terpapar tanah dan kayu busuk segera dibersihkan dan diberi disinfektan dan
benda asing yang ada di bawah kulit harus dikeluarkan. Mengatasi penyakit-
penyakit yang menurunkan sistem imun tubuh harus juga dilakukan secepat
mungkin, misalnya terhadap hiperglikemi dan ketoasidosis serta koreksi
terhadap neutropenia.

Pemberian obat imunosupresan misalnya kemoterapi, steroid, atau


deferoxamine sebaiknya juga dihentikan.

(e). Aspergilosis

Aspergilosis yang disebabkan oleh jamur genus Aspergillus merupakan


spektrum penyakit jamur pada manusia dan hewan yang meliputi :
 Mikotoksikosis akibat termakan makanan yang tercemar
 Alergi terhadap konidia jamur atau terjadi pertumbuhan organisme di
dalam orifisium atau lubang tubuh
 Pembentukan koloni pada bagian tubuh tanpa menimbulkan
penyebaran pada kista dan jaringan yang lemah
 Radang granuloma dan nekrosis pada jaringan paru dan organ lainnya
 Penyebaran sistemik dapat bersifat fatal.

Jamur Aspergillus bersifat patogenik fakultatif, banyak ditemukan di tempat


lembab dan basah, misalnya di ruang bawah tanah, di lubang galian tanah,
pada makanan, maupun di luka terbuka yang terpapar jamur dari lingkungan.
Spesies yang banyak dijumpai adalah Aspergillus fumigatus, A.flavus,
A.niger, A.nidulans dan A.terreus.

Aspergillus fumigatus adalah penyebab umum infeksi pada manusia, baik


aspergilosis bentuk invasif maupun yang non invasif. Jamur ini tersebar
kosmopolit, hidup di tanah dan sampah tumbuhan maupun substrat lainnya.
Morfologi jamur menunjukkan bentuk kepala konidia yang kolumnar. Kultur
611

jamur yang berwarna biru-kehijauan, tumbuh cepat pada suhu 45 0C.

Manifestasi Klinis Aspergilosis

1. Aspergilosis Paru (Pulmonary Aspergillosis)


Termasuk aspergilosis paru adalah alergi, aspergiloma dan aspergilosis yang
invasif. Manifestasi klinik pada asperglosis paru dapat merupakan penyakit
yang ringan yang tidak berbahaya karena jamur bersifat saprofitik, sampai
terjadinya penyebaran yang akut dan invasif.

Aspergilosis alergi. Aspergilosis ini berlangsung mulai dari asma ekstrinsik ke


alergi alveolitis ektrinsik dan alergi aspergilosis bronchopulmonair
(pneumonitis hipersensitif) sesudah menghirup konidisi Aspergillus Gambaran
klinis yang terjadi berupa asma, infiltrat pulmonair yang intermiten atau
permanen, eosinofilia periferi, dan uji kulit positif terhadap ektrak antigenik
Aspergillus, uji presipitin imunodifusion terhadap antibodi Aspergillus positif,
IgE total meningkat, dan IgE spesifik terhadap Aspergillus meningkat. Gejala
klinik dapat bersifat ringan tanpa kerusakan sampai terjadinya gejala klinis
yang berat berupa bronkiektasi dan fibrosis.

Aspergilosis non invasif atau aspergiloma (bola jamur) disebabkan oleh


kolonisasi saprofit sebelum terjadi kista, biasanya menjadi infeksi sekunder
pada tuberkulosis atau sarkoidosis. Gejala klinis yang terjadi berupa
hemoptisis dengan dahak yang berbercak darah, uji presipitin imunodifusion
yang positif terhadap antibodi Aspergillus dan meningkatnya IgE yang
spesifik terhadap Aspergillus. Banyak penderita asimtomatik yang baru
ditemukan pada pemeriksaan rutin ronsenogram pada dada.

Aspergilosis paru invasif akut. Penyakit ini lebih sering ditemukan sebagai
predisposisi pada neutropenia yang lama, terutama pada penderita leukemia,
atau pada penderita
612

penerima transplantasi sumsum tulang, terapi kortikosteroid, penerima


kemoterapi sitotoksik, atau penderita dengan AIDS atau penyakit granuloma
kronis. Gambaran klinik mirip pneumonia bakterial, berupa demam, batuk,
nyeri pleura, dan bronkopneumia. Gambaran yang lebih khas jika terjadi
granulositopenia dan riwayat mendapatkan terapi antibiotikaa spectrum lebar
karena demam yang tidak diketahui penyebabnya. Gambaran radiologi tidak
khas, dan uji presipitin antibodi serum biasanya negatif. Gejala klinik penting
sebagai dasar untuk mengenali terjadinya aspergilosis pada penderita
dengan imunosupresi

2. Chronic narcotizing aspergillosis

Aspergilosis ini merupakan bentuk kronis yang berlangsung lambat tetapi


progresif, yang pada penderita dengan imunosupresif ringan berlangsung
“semi invasive”, terutama pada penderita yang pernah menderita penyakit
paru. Faktor predisposisi lainnya adalah diabetes melitus, sarkoidosis, dan
terapi dengan dosis rendah gluokokortikoid. Gejala klinis yang biasa terlihat
adalah demam, batuk berdahak, dengan pemeriksaan presipitin antibodi
serum yang positif.

4. Aspergilosis yang menyebar

Pada aspergilosis yang menyebar (Disseminated aspergillosis) ini terjadi


penyebaran hematogen ke organ-organ viseral lainnya, terutama pada
penderita dengan imunosupresi yang berat atau dengan ketergantungan obat
intravenous. Pembentukan abses bisa terjadi di otak (aspergilosis serebral),
di ginjal (aspergilosis renal), jantung (endokarditis, miokarditis), tulang
(osteomielitis) dan saluran gastrointestinal. Lesi mata (keratitis mikotik,
endoptalmitis dan apergiloma orbital) dapat terjadi, baik akibat penyebaran
maupun karena terjadinya trauma local atau akibat pembedahan.

5. Aspergilosis sinus paranasal

Terdapat dua tipe aspergilosis sinus paranasal, yaitu bentuk “aspergiloma


non-invasif, dan bentuk invasif
613

yang yang primer terjadi penderita imunosupresi dan bentuk. Bentuk terakhir
ini menunjukkan gambaran klinik mirip gejala pada zigomikosis rinoserebral
dengan gejala demam, rhinitis, dan tanda invasi ke dalam orbita.

6. Aspergilosis Kutan (Cutaneous aspergillosis)

Aspergilosis kutan jarang terjadi yang biasanya terjadi akibat penyebaran dari
infeksi paru primer pada penderita dengan imunosupresi Infeksi primer
aspergilosis bisa terjadi akibat trauma atau kolonisasi. Gambaran lesi yang
tampak berupa papul eritematus atau macula dengan nekrosis sentral yang
progresif.

Diagnosis laboratorium aspergilosis. Bahan pemeriksaan klinik berupa


dahak, cucian bronchial dan cairan aspirasi trakea penderita penyakit paru
dan biopsi jaringan dari penderita yang mengalami penyebaran penyakitnya.

Pemeriksaan mikroskopi langsung. (a).Dahak hasil aspirasi dibuat sediaan


basah dengan 10% KOH dan tinta Parker dan atau pewarnaan Gram. (b).
sediaan jaringan diwarnai dengan H&E, GMS dan PAS digest. Dengan
pewarnaan dapat ditunjukkan adanya hifa dengan cabang dikotom yang
bersepta.

Gambar 325. Biopsi jaringan pada pewarnaan GMS menunjukkan adanya


elemen hifa (http://www.mycology.adelaide.edu.au)

Ciri khas Aspergillus berupa konidiofor yang merupakan pembesaran di


ujung hifa. berakhir di vesikel yang tertutup.
614

Vesikel, phialide, metula (jika ada) dan konidia membentuk kepala konidia.
Konidia yang satu sel, berdinding halus atau kasar, tidak berwarna (hyaline)
atau berpigmen, membentuk rantai panjang yang divergen (memancar) atau
mengelompok pada kolom yang kompak (kolumnar).

Gambar 326. Morfologi A.fumigatus pewarnaan Lactophenol Aniline Blue


(http://deptd.washington.edu)

Biakan jamur. Bahan pemeriksaan diinokulasikan pada media isolasi primer,


misalnya Sabouraud’s dextrose agar. Koloni tumbuh cepat berwarna putih,
kuning, coklat, hijau atau hitam., berbentuk seperti kubah yang berada di
tengah konidiofor.

Karena jamur ini merupakan kontaminan udara lingkungan, kultur positif pada
sediaan yang tidak steril, misalnya dahak, belum bisa dijadikan bukti sebagai
penyebab infeksi. Meskipun demikian ditemukannya Aspergillus terutama
A.flavus dan A.fumigatus pada dahak penderita dengan infeksi predisposisi
harus diikuti terapi anti jamur. Penderita dengan aspergilosis paru yang
invasif, meskipun kultur dahaknya negatif, harus dilakukan biopsi paru untuk
memastikan diagnosis.
615

Gambar 327. Koloni A.fumigatus tumbuh pada lempeng agar


(http://www.cosmosbiomedical.com/education/mycology/mycoLogy2.shtml)

Pemeriksaan serologi . Pemeriksaan antibodi spesies Aspergillus dengan


uji imunodifusi membantu diagnosis alergi, aspergiloma dan aspergilosis
invasif, yang ditegakkan bersama-sama gambaran klinis dan data-data
diagnosis lainnya. Ekstrak antigen campuran dan antisera Aspergillus
tersedia di pasaran, tetapi uji deteksi antigen terhadap aspergilosis invasif
pada waktu ini masih dalam penelitian.

Pengobatan Aspergilosis. Untuk memberantas jamur yang ada di dalam


organ dapat diberikan Amphotericin B melalui infus secara perlahan-lahan.
Untuk pengobatan lesi lokal dapat diberikan preparat iodide, sedangkan
itrakonazol dapat diberikan per oral untuk mempercepat penyembuhan. Jika
memungkinkan untuk mempercepat pengeluaran jamur dari abses dapat
dilakukan pengeluaran isi abses (drainage).

Pencegahan aspergilosis. Untuk mencegah terjadinya paparan dengan


jamur ini, kebersihan lingkungan terutama kebersihan kandang unggas, harus
tetap terjaga, dan paparan dengan sekreta unggas harus dihindari. Penularan
dari penderita aspergilosis paru harus dicegah dengan menghindari batuk-
batuk kronis yang bisa menyebabkan alergi aspergilosis.
616

(e). Hyalohyphomycosis

Hialohifomikosis adalah infeksi jamur hyphomycetes yang tidak berpigmen


yang jaringannya adalah miselium. Termasuk dalam kelompok jamur ini
adalah Penicillium, Fusarium Acremonium, Paecilomyces, Beauveria, dan
Scopulariopsis.

Penicillium. Koloni hifa jamur ini tumbuh dengan cepat, pipih, berwarna putih,
seperti beledu (velvety). Pada koloni yang matur tampak pigmen berwarna
merah. Bentuk lumut (mold form) yang tumbuh pada suhu 25-30 0C sama
dengan Penicillium lainnya, mempunyai hifa yang bersepta dan konidia yang
halus di atas phialide yang keluar dari metula. Konidiofor mempunyai 4-5
metula, yang masing-masing metula mempunyai 4-6 phialide.

Bentuk ragi (yeast form) yang tumbuh pada suhu 35-37 0C berbentuk bulat
atau oval mempunyai garis tengah 3-7 μm; ragi diproduksi dengan cara
membelah diri.
Penicillium marneffei bersifat dimorfisme termal yang berbentuk ragi jika
dibiakkan pada suhu 370C dan berbentuk lumut jika dibiakkan pada suhu di
bawah 300C.

Gambar 328. Penicillium spp. (http://www.commtechlab.msu.edu)


617

Acremonium. Penyebab misetoma, arthritis, osteomielitis peritonitis,


endokarditis dan pneumonia. Tersebar di seluruh dunia, hidup tanah dan
sampah tumbuhan.
Jarum soliter, tidak berpigmen (hyaline), konidia satu sel, globose atau
silindris, phialides berbentuk jarum.

Fusarium. Pathogen oportunistik ini jarang menimbulkan infeksi kutan dan


subkutan, keratitis mikotik, endoptalmitis, osteomielitis dan artitis, sesudah
terjadi paparan traumatik. Jamur yang tersebar luas di seluruh dunia dan
hidup di tanah ini makrokonidianya berbentuk bulan sabit dengan banyak
septa dan mikrokonidia bersel satu atau dua sel yang lebih kecil ukurannya
dari phialida yang terdapat pada konidiphor.

Manifestasi Klinik.Gejala klinis hialohifomikosis berkisar dari koloni saprofit


yang asimtomatis (tidak menimbulkan gejala) sampai penyakit akut yang
invasif.

Faktor predisposisi infeksi antara lan neutropeni yang berlangsung lama,


terutama pada penderita leukemia dan resipien transplantasi sumsum tulang,
terapi kortikosteroid, kemoterapi sitotoksik dan penderita AIDS. Penderita
biasanya menunjukkan gambaran granulositopenia dan pengguna antibiotika
spektrum lebar untuk mengobati demam yang tidak jelas sebabnya.

Diagnosis Laboratorium

Bahan pemeriksaan berupa kerokan kulit dan kuku, urine, dahak dan cucian
bronkial, cairan serebrospinal, cairan pleura dan darah. Selain itu juga biopsi
jaringan dari berbagai organ viseral dan ujung kateter.

1.Pemeriksaan mikroskopi Pemeriksaan mikroskopi dilakukan terhadap


kerokan kulit dan kuku, dahak dan bahan aspirasi serta serta eksudat dan
cairan tubuh.

(a). Kerokan kulit dan kuku, dahak, bahan aspirasi diperiksa


menggunakan 10% KOH dan tinta Parker.

(b). Eksudat dan cairan tubuh dipusingkan lebih dahulu dan endapan yang
terjadi diperiksa dengan pewarnaan PAS
618

digest, GMA atau pewarnaan Gram. Elemen hifa sukar diperiksa dengan
pewarnaan H&E.

2.Biakan (Kultur). Bahan pemeriksaan harus diinokulasikan pada media


isolasi primer, misalnya Sabouraud’s dextrose agar.

Identifikasi jamur Identifikasi jamur ditentukan berdasarkan karakter-


karakter kultur dan morfologi mikroskopik konidia, susunan konidia pada sel
konigiogen dan morfologi sel konidiogen.

Gambar 329. Warna koloni Chrysosporium (kiri) dan Fusarium (kanan)


(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Opportunistic/Hyalohyphomycosis)

Penyakit penisilosis
Penyebab penyakit ini antara lain adalah Penicillium marneffei yang endemik
di Asia Tenggara, terutama di Thailand Utara, Vietnam, Hongkong dan Cina
Selatan yang banyak menimbulkan infeksi pada orang dengan
immunocompromised dan jarang terjadi pada penderita yang
imunokompeten. Koloni hifa tumbuh dengan cepat, pipih, berwarna putih,
seperti beledu (velvety). Pada koloni yang matur tampak pigmen berwarna
merah.
Bentuk lumut (mold form) yang tumbuh pada suhu 25-30 0C sama dengan
Penicillium lainnya, mempunyai hifa yang bersepta dan konidia yang halus di
atas phialide yang keluar dari metula. Konidiofor mempunyai 4-5 metula, yang
masing-masing metula mempunyai 4-6 phialide.
619

Bentuk ragi (yeast form) yang tumbuh pada suhu 35-37 0C berbentuk bulat
atau oval mempunyai garis tengah 3-7 μm; ragi diproduksi dengan cara
membelah diri.
P.marneffei bersifat dimorfisme termal yang berbentuk ragi jika dibiakkan
pada suhu 370C dan berbentuk lumut jika dibiakkan pada suhu di bawah
300C.
Faktor predisposisi penicilliosis antara lain adalah AIDS, kelainan
limfoproliferatif, bronkiektasi, tuberkulosis, penyakit autoimun dan pengobatan
kortikosteroid.

Manifestasi Klinik. Pada orang dengan imunitas normal, P.marneffei dapat


menyebabkan infeksi fokal atau dapat menyebar ke organ-organ lain. Pada
infeksi fokal, gambaran klinik dan histologi sangat mirip tuberkulosis, misalnya
berupa limfadenopati supuratif. Pada penderita HIV infeksi biasanya
terdiagnosis pada waktu infeksi telah menyebar ke kulit, sistem
retikuloendotel, paru dan usus. Penyebaran jamur melalui darah (fungemia)
menyebabkan infeksi ke sistem organ lain termasuk ginjal, tulang, sendi dan
perikardium. Umumnya penderita menunjukkan gejala klinis yang tidak
spesifik berupa demam, anemia dan menurunnya berat badan.
Lesi kulit umumnya berbentuk papul dengan lekukan di daerah sentral mirip
bentuk lesi pada molluscum contagiosum yang biasanya terdapat di daerah
wajah, badan dan ektremitas. Banyak abses subkutan mengalami ulserasi,
sehingga gejala klinik infeksi P.marneffei yang menyebar mirip dengan
penyebaran kriptokokosis atau histoplasmosis pada penderita AIDS

Penicilliosis pada manusia terjadi akibat pencemaran melalui trauma,


penularan enterik sesudah makan tikus bambu yang diburu dan karena
menghirup spora yang di tanah atau di tanaman yang menjadi hospesnya.
620

Diagnosis laboratorium. Bahan pemeriksaan jaringan terinfeksi berupa lesi


kulit, sumsum tulang, darah dan nodus limfe. Penicillium marneffei adalah
satu-satunya genus Penicillium yang bersifat dimorfik dan dapat dideteksi
dengan pemeriksaan mikroskopi dan dibiakkan pada medium kultur.

Gambar 330. Bentuk lumut Penicillium marneffei pada slide culture


(http://labmed.ucsf.edu/education/residency/fung_morph

Pemeriksaan mikroskopi Pewarnaan Giemsa pada biopsi kulit atau aspirat


sumsum tulang merupakan pemeriksaan yang cepat dan sensitif untuk
menetapkan diagnostik sel mirip-ragi yang khas dengan septa sentral, baik
yang ada di dalam histiosit atau tersebar di jaringan. Sel mirip-ragi pada
organisme ini berbentuk sferis atau elips dengan garis tengah 2-6 µm, dan
memperbanyak diri dengan membelah diri (fission) dan bukan dengan
pembentukan tunas atau budding Karakter morfologi pada pewarnaan ini
membedakan P.marneffei dari Histoplasma capsulatum
621

Gambar 331. Pewarnaan Giemsa pada sel P.marneffei menunjukkan sel


mirip ragi yang bersepta. (http://labmed.ucsf.edu/education/residency)

Pada sediaan jaringan, sel mirip-ragi berukuran kecil, berbentuk lonjong atau
elips, dengan garis tengah 3 µm terbungkus di dalam histiosit atau tersebar di
semua bagian jaringan. Kadang-kadang sel berbentuk sosis, berukuran besar
dengan panjang sampai 8 µm, yang bisa mempunyai septa tersendiri. Pada
sediaan jaringan, untuk melihat dengan jelas sel mirip-ragi digunakan
pewarnaan GMS, bukan dengan pewarnaan H&E.

Biakan atau kultur. Sediaan klinik diinokulasikan pada media isolasi primer,
misalnya Sabouraud’s dextrose agar. Biakan jamur saprofit Penicillium sp.
umumnya berwarna hijau dengan koloni berwarna kuning kemerahan. Pada
koloni P.marneffei terdapat pembentukan pigmen berwarna merah yang
menyebar (difus).

Diagnosis penisiliosis

Dasar diagnosis adalah riwayat penyakit, morfologi jaringan dan identifikasi


kultur jaringan.
622

Gambar 332. Biakan jamur menunjukkan koloni P.marneffei berwarna kuning


kemerahan dengan pigmen merah difus
(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses)

Pengobatan dan pencegahan penisiliosis. Tanpa pengobatan, angka


kematian penisilosis adalah 100%. Pengobatan yang harus segera diberikan
adalah amphoyrticin B intravenus sebanyak 0.6 mg/kg selama 2 minggu,
diikuti itraconazole oral 400 mg per hari selama 10 minggu. Untuk
menghindari terjadinya kekambuhan, sesudah pengobatan lengkap untuk
penisilinosis sebaiknya dilakukan pencegahan sekunder dengan itraconazole
200 mg per hari.

Geotrichum candidum
Patogen oportunistik ini jarang menimbulkan infeksi paru dan bronchial,
infeksi oral atau vaginal, infeksi kutan dan gastrointestinal. Jamur ini tersebar
luas di seluruh dunia, membentuk rantai hialin, artrokonidia satu sel yang
berbentuk silindris, yang terbagi menjadi beberapa fragmen oleh hifa.

(F). Pneumocystis pneumonia

Pneumocystis pneumonia (PCP) adalah bentuk pneumonia yang disebabkan


jamur bentuk ragi, Pneumocystis jirovecii (dulu
623

disebut Pneumocystis carinii, yang diklasifikasi sebagai protozoa). Jamur ini


umumya ditemukan di dalam paru orang sehat, yang sebagai infeksi
oportunistik dapat menyebabkan infeksi paru pada orang yang lemah sistem
imunnya, misalnya pada orang dengan HIV/AIDS, penderita kanker, atau
pada pengguna obat-obatan imunosupresif yang menurunkan fungsi sistem
imun, orang lanjut usia, bayi prematur dan anak kurang gizi, atau bayi dengan
sindrom hiper IgM PCP dapat juga terjadi pada penderita dengan
transplantasi organ padat, atau transplantasi sumsum tulang atau sesudah
dilakukan pembedahan.

Pnaumocystis jirovecii ditemukan di seluruh dunia, tersebar di semua benua


kecuali Antartika, ditemukan pada hewan dan manusia. Anak-anak sehat
berumur 3-4 tahun paling sering terpapar jamur ini.

Gambaran klinis Pneumocystis pneumonia. Sebagian besar infeksi


P.jirovecii tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Gejala klinis pneumonia
pneumokistik antara lain sesak napas, batuk non produktif (karena lendir
sangat lekat), keringat malam dan demam. Pemeriksaan radiografi dada
menunjukkan adanya infiltrat bilateral.

Lesi di luar paru dapat dialami sebagian kecil penderita, terjadi di nodus limfe,
limpa, hati dan sumsum tulang. Jika tidak diobati, PCP dapat menyebabkan
kerusakan paru yang berat yang dapat menyebabkan kematian penderita.
Komplikasi PCP yang sering terjadi adalah pneumothorax dengan gejala sakit
dada yang akut disertai gangguan pernapasan.

Diagnosis Pneumocystis pneumonia. Diagosis ditetapkan berdasar


pemeriksaan sinar-X dada, yang menunjukkan infiltrat paru yang luas, dan
dibuktikan adanya jamur di dalam dahak, dan cucian bronkoalveolar.
Pewarnaan toluidin biru, pewarnaan perak, PAS, atau dengan esei
imunofluoresen dapat menunjukkan adanya kista yang khas.

Pemeriksaan PCR dengan analisis molekuler sampel DNA memastikan


identifikasi jamur.
624

Gambar 333. Kista P.jirovecii di dalam kista paru, pewarnaan perak


metenamin dan hematoksilin eosin (HE).
(http://www.cdc.gov/dpdx/pneumocystis/index.html )

Pengobatan dan pencegahan. Pengobatan yang umum diberikan adalah


trimethoprim/sulfamethoxazole. Jika penderita alergi terhadap obat ini dapat
diberikan pentamidine, trimetrexate, dapsone atovaquone, primakuin, dan
klindamisin. Pengobatan diberikan selama 21 hari. Pada penderita
immunocompromised pencegahan dengan co-trimoxazole, atovaquone atau
inhalasi pentamidine secara teratur dapat membantu mencegah PCP. Untuk
mencegah terjadinya proses keradangan obat-obatan antipneumokistik
diberikan bersama-sama steroid.untuk mencegah terjadinya keradangan dan
kekambuhan PCP.

( g). Phaeohyphomycosis

Feohifomikosis adalah infeksi pada manusia dan hewan rendah yang


disebabkan oleh jamur berpigmen coklat yang morfologinya berupa miselium,
yang berbeda dari misetoma mikotik yang morfologinya berupa butiran (grain)
atau dari kromoblastomikosis yang morfologinya badan sklerotik (sclerotic
625

body). Penyebab feohifomikosis ada sekitar 39 genus jamur, yang penting


antara lain adalah Exophiala, Phialophora, Wangiella, Bipolaris dan
Cladosporium.

Manifestasi Klinis. Bentuk klinik mikosis ini berkisar dari infeksi superfisial
pada stratum korneum (tinea nigra) dan kista subkutan (kista feomikotik)
sampai terjadinya invasi ke otak.

1. Feohifomikosis subkutan
infeksi subkutan ini terjadi luas di seluruh dunia, biasanya terjadi sesudah
trauma disertai pencemaran elemen jamur berasal dari tanah, duri atau kayu
tajam. Penyebab tersering adalah Exophilia jeanselmei dan Wangiella
dermatitidis dan lesi kistik sering terjadi pada orang dewasa. Pada orang
dengan imunosupresi dapat terjadi lesi dengan permukaan kasar (verukosa).

2. Feohifomikosis sinus paranasal


Sinusitis paranasal jamur ini disebabkan oleh Bipolaris, Exserohilum,
Curvularia dan Alternaria terutama pada penderita dengan riwayat rinitis
alergi atau imunosupresi

Gambar 334. Fotomikrograf Exerohilum rostratum penyebab


phaeohyphomycosis paranasal
(http://www.cdc.gov/fungal/diseases/other/exserohilum.html)
626

3. Feohifomikosis serebral. Infeksi yang jarang terjadi ini sebagian


besar terjadi pada penderita dengan imunosupresi yang terhirup konidia
Cladophialophora bantiana. Jamur yang bersifat neurotropik pada sstem
saraf pusat ini jarang menyebar ke sistem lainnya.

Diagnosis
(a). Diagnosis laboratorium
Bahan pemeriksaan berupa kerokan atau biopsi kulit, dahak dan cucian
bronkial, cairan serebrospinal, cairan pleura dan darah, biopsi jaringan dari
berbagai organ viseral dan ujung kateter.

(b). Pemeriksaan mikroskopi


Secara langsung pemeriksaan mikroskopi dilakukan pada :
(a).Kerokan kulit, dahak, cucian dan aspirat bronkial, eksudat dan cairan
tubuh diperiksa menggunakan 10% KOH dan tinta Parker
(b). Sediaan jaringan diwarnai dengan H&E, PAS digest dan GMS.

Gambar 335 Phialophora verrucosa pada hapusan kultur menunjukkan ciri


khas berupa phialide berbentuk botol dan collarete berbentuk gelas dan
konidia berbentuk bola di ujung phialides (http://microfungi.truman.edu)
627

(c). Biakan atau kultur

Sediaan klinik diinokulasikan pada media isolasi primer, misalnya


Sabouraud’s dextrose agar. Koloni jamur yang berbentuk mirip rambut,
tumbuh lambat, Koloni jamur dengan pigmen yang berwarna coklat, hitam
kehijauan atau hitam menunjukkan ciri khas hyphomycete berpigmen
(dematiaceous)..

Gambar 336. Kultur Exophiala spinifera menunjukkan koloni mukoid


berwarna hitam dengan dasar hitam kehijauan
(http://www.mycology.adelaide.edu.au )

Untuk memastikan identifikasi jamur, selain gambaran khas koloni kultur juga
diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopi yang menunjukkan morfologi
konidia jamur, susunan konidia pada sel konidiogen dan morfologi sel
konidiogen. Pemeriksaan mikroskopi atas sediaan atau slide jaringan jamur
yang dikultur sebaiknya juga diperiksa.

Pengobatan. Pengobatan feohiphomikosis umumnya melibatkan tindakan


pembedahan dengan atau tidak disertai pengobatan anti jamur.
628

(h). Scedosporium

Scedosporium adalah jamur filamen yang dapat menyebabkan penyakit


pada manusia. Spektrum penyakit yang ditimbulkan jamur-jamur ini mirip
dengan penyakit yang disebabkan oleh Aspergillus Sebagian besar infeksi
adalah misetoma, sisanya infeksi pada mata, telinga, sistem saraf pusat,
organ internal dan terutama paru. Infeksi terjadi melalui inhalasi konidia atau
melalui trauma penyebab luka yang membawa elemen jamur. Penyebabnya
adalah dan Scedosporium prolificans.

Manifestasi klinik

Infeksi oleh jamur Pseudallescheria boydii dan Scedosporium aurantiacum


menyebabkan pembentukan koloni yang tidak invasif pada telinga luar dan
pembentukan koloni paru pada penderita yang kesulitan mengeluarkan cairan
bronki atau sinus paranasal dan pembentukan “bola jamur” pada kista yang
akan terbentuk (seperti pada Aspergillus Pada orang normal infeksi yang
invasif biasanya disebabkan oleh paparan traumatik, yang pada misetoma,
jamur terdapat pada jaringan dalam bentuk mikrokoloni atau granul yang
sudah resisten. Keadaan ini diikuti masuknya jamur melalui luka di sendi
terutama pada lutut, yang menimbulkan artritis atau osteomielitis
Manifestasi klinik lainnya berupa keratitis mikotik dan infeksi kutan dan
subkutan yang mirip non-misetoma.

Infeksi yang invasif juga terjadi pada penderita yang menerima pengobatan
kortikosteroid dan terapi imunosupresi pada transplantasi organ, leukemia,
limfoma, lupus eritematosus sistemik atau penyakit Crohn. Infeksi berupa
sinusitis invasif, pneumonia, artritis dengan osteomielitis granuloma kutan
dan subkutan, meningitis, abses otak, endoftalmitis, dan penyebaran
penyakit sistemik.

Infeksi Scedosporium dapat diobati dengan itraconazole, vericonazole,


amphotericin B atau posaconazole.

Infeksi Scedosporium prolificans. Manifestasi infeksi jamur ini tidak berbeda


dengan infeksi Pseudallescheria boydii. Penularan
629

dan infeksi terjadi pada penderita dengan imunsupresi terutama yang


mengalami neutropenia yang berlangsung lama dan sedang menjalani
pengobatan pasca transplantasi. Pembentukan koloni pada telinga luar, sinus
paranasal dan paru, dan pembentukan “bola jamur”, onychomycosis dan
keratitis mikotik dapat terjadi. Sekitar 80% masalah kesehatan yang timbul
berupa infeksi invasif lokal, berupa artritis septik dan osteomielitis sesudah
terjadi luka yang menginfeksi sendi. Karena itu diperlukan identifikasi melalui
biakan, karena jamur ini sering sudah resisten terhadap pengobatan anti
jamur dan pengobatan dapat memerlukan tindakan pembedahan.

Pemeriksaan laboratorium. Sebagai bahan pemeriksaan adalah dahak,


cucian bronki dan aspirat trakea dari penderita dengan penyakit paru, dan
biopsi jaringan pada penderita dengan infeksi subkutan dan penyakit yang
mengalami penyebaran.

Pada pemeriksaan mikroskopi langsung dilakukan tindakan sebagai berikut:


(a). Dahak, cucian dan aspirat bronki dibuat sediaan basah dengan 10% KOH
dan tinta Parker yang diwarnai dengan pewarnaan Gram.
(b). Pada sediaan jaringan dilakukan pewarnaan dengan H&E, GMS dan PAS
digest. Hifa jamur-jamur ini tidak bisa dibedakan dari hifa Aspergillus
sehingga bisa menyebabkan kesalahan mendiagnosis jika digunakan
pewarnaan H&E. perhatikan adanya hifa yang bercabang dan bersepta.

Biakan jamur. Pada kultur bahan pemeriksaan, koloni jamur tumbuh cepat,
menyebar, pipih, berwarna kelabu-kehijauan sampai hitam. Konidia timbul
dalam kelompok kecil pada dasar yang membengkak, annelid yang berbentuk
botol yang terjadi dalam bentuk kumpulan atau sendiri-sendiri sepanjang hifa
vegetatif. Konidia mempunyai satu sel, tidak berwarna atau berwarna coklat
muda, berbentuk ovoid atau piriform, dengan ukuran rata-rata 3.4-5.3 µm dan
mempunyai dinding tipis yang halus.
630

S.prolificans mempunyai dasar koloni yang membesar, annelid berbentuk


botol, pertumbuhan koloni yang lambat pada media nutrien agar, dan tidak
bisa dibiakkan pada media yang mengandung cycloheximide (actidione).

Gambar 337. Annelid (konidiofor) dan konidia S.prolificans.


(www.mycology.adelaide.edu.au )

Koloni jamur Scedosporium apiospermum yang patogen pada manusia ini


tumbuh cepat dengan suhu optimum pada 30-37 0 C, berwarna putih kelabu,
dengan dasar koloni berwarna hitam kelabu. Banyak ditemukan sel tunggal,
berwarna coklat muda, dengan konidia berbentuk ovoid berukuran 4-9 x 6-10
µm, bulat di bagian atas dengan dasar mengecil (truncate). Konidia timbul
satu-satu atau membentuk kelompok kecil pada konidiofor yang memanjang,
bercabang atau tidak bercabang. Konidia juga dapat timbul juga pada bagian
lateral dari hifa.
631

Gambar 338. Koloni permukaan Scedosporium apiospermum


dan dasar koloni (http://labmed.ucsf.edu/education)

Gambar 339. Konidiofor dan konidia pada S.apiospermum


(http://labmed.ucsf.edu/education)

Diagnosis. Gambaran kultur dan pemeriksaan mikroskopi yang menunjukkan


morfologi konidia, susunan konidia pada sel konidiogen dan morfologi sel
konidiogen jamur penting dalam menentukan identifikasi jamur. Pemeriksaan
serologi (immunodiffusion test) dengan menggunakan ekstrak antigen dapat
membantu menegakkan diagnosis pseudallescheriasis.
632

7.10 PENATALAKSANAAN MIKOSIS

(a). TATALAKSANA DERMATOFITOSIS

Mikosis kutan merupakan infeksi superfisial jamur pada kulit, rambut atau
kuku. Pada dasarnya tidak ada jaringan hidup terinfeksi, tetapi perubahan-
perubahan patologis dapat terjadi pada hospes karena adanya agen infeksi
dan atau produk metabolisme.
Penyebab mikosis kutan adalah jamur dermatofit yang termasuk genera
Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton yang menyebabkan
terjadinya ringworm atau tinea pada kulit kepala, kulit dan kuku.
Patogenesis dermatofitosis terjadi dengan karakter khas, yaitu:
 Tidak ada jaringan hidup yang terserang jamur ini
 Hidup dan penyebaran infeksi jamur ini sangat tergantung pada hewan
atau manusia yang menjadi hospesnya. Karena itu jamur yang
parasitik pada manusia umumnya disebabkan oleh spesies jamur
antropofilik.

Meskipun jaringan hidup tidak terserang jamur ini, tetapi adanya jamur dan
produk metaboliknya dapat menyebabkan alergi dan keradangan
eksematus.pada hospes Bentuk dan beratnya respon hospes tergantung
pada spesies dan strain dermatofit penyebab infeksi.
Terdapat tiga golongan dermatofit, yaitu yang zoofilik, antropofilik dan geofilik.

Spesies dermatofit geofilik yang hidup di tanah, jamur ini mengadakan


dekomposisi sampah keratin. Beberapa spesies bisa menyebabkan infeksi
pada hewan dan manusia karena terpapar tanah yang mengandung jamur ini.
Pada spesies zoofilik terutama menginfeksi hewan, dan infeksi pada manusia
terjadi karena adanya kontak manusia dengan hewan yang terinfeksi.
633

Infeksi oleh jamur antropofilik disebabkan oleh sisik kulit yang lepas dan
mengandung elemen hifa (artrokonidia) jamur. Sisik kulit yang mengalami
deskuamasi ini dapat tetap infektif selama berbulan-bulan atau bertahun-
tahun sesudah lepasnya sisik.

Substrat seperti karpet dan tikar merupakan vektor pembawa sisik kulit yang
sangat baik. Karena itu penularan dermatofit misalnya Trichophyton rubrum,
T.mentagrophytes var. Interdigitale dan Epidermophyton floccosum biasanya
terjadi melalui kaki. Di tempat ini infeksi sering bersifat kronis dan bisa bersifat
subklinik selama bertahun-tahun. Dari sini jamur menyebar ke tempat lain.
Karena itu jika mengobati infeksi di tempat lain harus disertai pengobatan
jamur di sela-sela jari kaki.yang merupakan sumber infeksi.
Pengobatan dermatofitosis tergantung pada gejala klinik yang terjadi. Lesi
kutan yang tanpa komplikasi cukup diberikan pengobatan topikal dengan
antijamur, kecuali lesi di kulit kepala dan infeksi kuku yang sebaiknya diberi
juga terapi sistemik antijamur. Infeksi dermatofit yang kronis atau yang
menyebar luas, atau radang tinea yang akut dan infeksi T.rubrum tipe kering
pada telapak kaki dan bagian dorsum kaki umumnya juga memerlukan
pengobatan sistemik.

Tindakan yang biasa dilakukan terhadap infeksi kutan adalah menggunakan


obat topikal jika memungkinkan. Untuk mengatasi infeksi kuku dan rambut,
dermatofitosis yang luas dan infeksi kronis yang infeksi yang tidak responsif,
sebaiknya digunakan obat anti jamur oral.
Obat topikal yang dapat digunakan antara lain adalah Nystatin, Imidazol
(clotrimazole). Miconazole, Econazole, Ketoconazole, Terbinafine dan
Tolnaftat.
Obat jamur oral misalnya adalah griseofulvin, Ketoconazole,Fluconazole,
Itraconazole dan Terbinafine.
Dermatophytosis penyebab tinea atau ringworm pada kulit kepala, kulit dan
kuku disebabkan oleh kelompok jamur (dermatofit) yang mampu
menggunakan keratin sebagai sumber nutrien karena jamur ini mempunyai
enzim keratinase.
634

Tabel 43. Pengobatan oral infeksi jamur kutan

Infeksi Obat pilihan Alternatif

Terbinafine 250 mg/hari


Tinea unguium Itraconazole
6 minggu (kuku jari tangan)
[Onychomycosis] Fluconazole
12 minggu (kuku jari kaki)
Griseofulvin
Griseofulvin 500mg/hari
(tidak kurang dari 10 mg Terbinafine
Tinea capitis
/kg/hari) sampai sembuh (6-8 Itraconazole
minggu). Fluconazole
Griseofulvin 500 mg/hari
sampai sembuh (4-6 minggu)
Terbinafine
Tinea corporis sering dikombinasi dengan
Itraconazole
imidazole topical.
Fluconazole

Griseofulvin 500 mg/hari


Terbinafine.
Tinea cruris sampai sembuh until (4-6
Itraconazole
minggu).
Fluconazole
Griseofulvin 500mg/hari
Terbinafine
Tinea pedis sampai sembuh (4-6
Itraconazole
minggu).
Fluconazole
Kronis dan / atau tinea
luas yang tidak Terbinafine 250 mg/hari Itraconazole
responsif selama 4-6 minggu. Griseofulvin

(http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Cutaneous/Dermatophytosis

(b). TATALAKSANA MIKOSIS SUPERFISIAL


Penyakit jamur superfisial kronis yang menyerang kulit adalah pityriasis
(tinea) versicolor, seborrhoeic dermatitis, dan dandruff (ketombe).
Penyebabnya adalah Malassezia furfur, ragi lipofilik yang merupakan flora
normal kulit.

1. Pityriasis versicolor
Pityriasis versicolor atau tinea versicolor adalah penyakit jamur superfisial
yang kronis pada kulit dengan tanda khas, berupa lesi berbatas jelas, warna
635

putih, merah muda, kecoklatan tergantung pigmentasi normal penderita,


paparan sinar matahari, dan
beratnya penyakit. Tempat lesi: badan, bahu, lengan. Jarang di leher dan
wajah.
Pada penyinaran dengan sinar ultraviolet (Wood) menunjukkan fluoresensi
hijau pucat
Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung pada
kerokan kulit yang diproses dengan 10% KOH dan tinta Parker untuk melihat
sel ragi yang sferis dan elemen pseudohifa pendek dari jamur. Tidak perlu
dilakukan kultur.

Pengobatan. Pengobatan topikal dengan imidazole atau terbinafibe solution


atau gel, ketoconazole sampo atau zinc pyrithione sampo, atau selenium
sulfide lotion.
Pada lesi berat atau yang resisten terhadap terapi topikal atau sering terjadi
kekambuhan, dapat diberikan pengobatan oral dengan ketoconazole atau
itraconazole.

2. Seborrhoic dermatitis

Adanya M.furfur pada penderita dengan faktor-faktor predisposisi dapat


menyebabkan terjadinya seborrhoeic dermatitis dengan gejala paling ringan
berupa ketombe.
Faktor-faktor predisposisi antara lain berupa faktor genetik, emosi, faktor
neurologik dan endokrin.
Gejala klinik berupa eritema, pembentukan sisik di daerah yang kaya kelenjar
(sebaceous glands) di kulit kepala, wajah, alis, telinga dan badan bagian atas.
Pengobatan dengan imidazole terutama dengan ketoconazole dalam jangka
panjang untuk mencegah kekambuhan.

3. Pityriasis folliculitis

Gambaran klinis pityriasis folliculitis berupa papul folikuler dan pustula yang
terdapat di punggung, dada dan lengan atas dan kadang-kadang di wajah.
Lesi terasa gatal terutama jika terpapar sinar matahari.
636

Pada kerokan atau biopsi jaringan menunjukkan adanya banyak ragi di


sekitar mulut folikel yang terinfeksi.
Sebagian besar penderita dapat diobati dengan imidazole topikal, sedangkan
penderita dengan lesi luas diberikan pengobatan oral dengan ketoconazole
atau itraconazole.
Untuk mencegah kekambuhan, diberikan pengobatan pencegahan satu atau
dua kali seminggu.

Lobomikosis
Tindakan pembedahan melalui eksisi daerah terinfeksi paling baik hasilnya,
dan harus dilakukan hati-hati agar tidak terjadi kontamikasi terhadap luka
operasi. Pemberian obat anti jamur tidak efektif. Meskipun penyakit berjalan
lambat bersifat kronis dan tidak membahayakan jiwa, tetapi prognosis
penyakit ini termasuk buruk.

(c). TATA LAKSANA INFEKSI JAMUR SISTEMIK

Infeksi jamur sistemik dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas


penderita dengan keganasan hematologik dan keadaan yang disebabkan
oleh terjadinya imunosupresi Keadaan ini terjadi misalnya pada infeksi yang
disebabkan oleh jamur Aspergillus dan Candida. Berbagai penelitian
dilakukan untuk mengobati penyakit infeksi jamur yang sulit dikendalikan,
serta mencegah penularannya. Untuk pencegahan misalnya, obat golongan
azole, yaitu fluconazole dan itraconazole secara luas telah diteliti, baik
penggunaannya secara oral maupun parenteral. Begitu juga dengan
penggunaan caspofungin dan amphotericin B liposom serta voriconazole.
Selain itu penelitian-penelitian untuk meningkatkan kemampuan melakukan
diagnosis awal penyakit jamur yang invasif dilakukan dengan intensif.

Histoplasmosis
Histoplasmosis merupakan penyakit pneumonia atipik yang terjadi akibat
paparan dengan kotoran burung dan kelelawar ini dapat menyebar secara
progresif dan mematikan, terutama
637

pada penderita dengan gangguan sistem imun, misalnya karena menderita


AIDS.

Histoplasmosis dapat diobati dengan itraconazole; pada penyakit yang berat


atau gagal diobati dengan itraconazole dapat diberikan amphotericin B.

Infeksi sistemik dapat dikelompokkan atas Mikosis Sistemik Dimorfik


(Dimorphic Systemic Mycoses) dan Mikosis Sistemik Oportunistik
(Opportunistic Systemic Mycoses).

d. TATA LAKSANA MIKOSIS SISTEMIK DIMORFIK

Mikosis Sistemik Dimorfik pada tubuh penderita disebabkan oleh jamur


dimorfik yang dapat mengatasi pertahanan tubuh orang normal dengan
mengubah morfologinya. Mikosis dimorfik sebaran geografiknya terbatas, dan
tempat masuk primernya adalah paru karena penderita menghirup konidia.
Jamur oportunistik yang rendah virulensinya ini tersebar luas di seluruh
dunia, dan hanya menyerang penderita yang terganggu sistem kekebalan
normal pada tubuhnya.
Infeksi jamur oportunis meningkat insidennya karena banyak jamur yang
menjadi penyebabnya, meningkatnya penderita AIDS, penyakit kanker,
penggunaan kemoterapi, antibiotika, sitotokain, obat-obatan imunosupresif,
dan kortikosteroid serta tindakan-tindakan yang menurunkan daya tahan
tubuh.

1. Coccidioidomycosis
Koksidioidomikosis disebabkan oleh jamur yang hidup di tanah di Amerika
Tengah, Amerika Selatan, Meksiko dan beberapa daerah di USA. Sekitar
40% infeksi primer menunjukkan gejala saluran pernapasan, disertai demam
dan nyeri pleuritik. Kurang dari 1% penderita imunokompeten mengalami
penyebaran infeksi yang tinggi angka kematiannya. Infeksi dapat menyebar
ke sendi lutut dan matakaki menyebabkan artralgia disertai pembengkakan.
638

Penatalaksanaan koksidioidomikosis ditujukan untuk mengobati infeksinya


dan mengatasi faktor-faktor predisposisi.yang memperberat penyakit.

Penderita dengan infeksi yang terbatas dan tidak berisiko mengalami


komplikasi biasanya akan sembuh dengan sendirinya. Penderita dengan
penyebaran infeksi yang luas atau berisiko mengalami komplikasi, misalnya
karena mengalami imunosupresi, harus diberikan pengobatan anti jamur,
pembedahan pembersihan (debridement) atau keduanya.
Pada gagal pernapasan akibat infeksi Coccidioidesimmitis atau penderita
yang mengalami infeksi koksidioidal yang progresif sebaiknya diberi
pengobatan dengan amphotericin B intravenus. Pada infeksi yang ringan atau
yang kronis dapat diberikan fluconazole, itraconazole atau ketoconazole oral,
yang diberikan selama sedikitnya 6 bulan. Kadang-kadang diperlukan
tindakan pembedahan untuk mengalirkan isi kista. Untuk menekan terjadinya
kekambuhan (relaps) dapat diberikan terapi supresif kronis. .

2. Tatalaksana pneumocystosis

Pada orang dengan sistem imun normal pneumokistosis biasanya


asimtomatik, tetapi pada penderita immunocompromised terutama yang
terinfeksi HIV, dapat terjadi demam tinggi yang mendadak, takipnea, napas
pendek dan batuk yang nonproduktif. Jika tidak diobati, kondisi penderita
cepat mengalami kemunduran dan penderita dapat meninggal dunia.

e. TATALAKSANA MIKOSIS OPORTUNISTIK

1. Aspergilosis

Jamur Aspergillus bersifat patogenik fakultatif, banyak ditemukan di tempat


lembab dan basah, misalnya di ruang bawah tanah, di lubang galian tanah,
pada makanan, maupun di luka terbuka yang terpapar jamur dari lingkungan.
639

Aspergilosis yang disebabkan oleh jamur genus Aspergillus merupakan


spektrum penyakit jamur pada manusia dan hewan yang meliputi :
 Mikotoksikosis akibat termakan makanan yang tercemar
 Alergi terhadap konidia jamur atau terjadi pertumbuhan organisme di
dalam orifisium atau lubang tubuh
 Pembentukan koloni pada bagian tubuh tanpa menimbulkan
penyebaran pada kista dan jaringan yang lemah
 Radang granuloma dan nekrosis pada jaringan paru dan organ lainnya
 Penyebaran sistemik dapat bersifat fatal.

Untuk mengobati lesi lokal dapat diberikan preparat iodide sedangkan


itrakonazol dapat diberikan per oral untuk mempercepat penyembuhan.Untuk
memberantas jamur yang ada di dalam organ dapat diberikan Amphotericin
B melalui infus secara perlahan-lahan.

Jika memungkinkan untuk mempercepat pengeluaran jamur dari abses dapat


dilakukan pengeluaran isi abses (drainage) melalui pembedahan.

Untuk mencegah terjadinya paparan dengan jamur ini, kebersihan lingkungan


terutama kebersihan kandang unggas, harus tetap terjaga, dan paparan
dengan sekreta unggas harus dihindari. Penularan dari penderita aspergilosis
paru harus dicegah dengan menghindari batuk-batuk kronis yang bisa
menyebabkan alergi aspergilosis.

2. Mukormikosis

Mukormikosis, infeksi jamur oleh ordo Mucorales dan Entomophtorales, yang


menyebabkan terjadinya zygomikosis subkutan dan sistemik. Karena infeksi
utama pada manusia disebabkan oleh jamur Mucorales, maka zygomikosis
lebih sering disebut sebagai Mucormikosis. Entomophtorales yang jarang
ditemukan, penyebabnya adalah Basidiobolus ranarum dan Conidiobolus
coronatus.
640

Patogen penyebab mukormikosis banyak ditemukan di lingkungan pada


buah, roti, tanah, dan sampah organik yang membusuk. Organisme ini
umumnya bersifat saprofitik yang jarang menimbulkan penyakit pada
penderita dengan sistem imun normal (immunocompromised) tetapi
banyak yang dapat menyebabkan infeksi jamur invasif, terutama pada
penerima (resipien) transplantasi sel punca (stem cell) dan penderita
yang menderita keganasan hematologik..

Pengobatan anti jamur secara oral maupun parenteral terhadap mukormikosis


harus dilakukan dengan segera dan jika perlu disertai tindakan pembedahan
untuk membuang jaringan terinfeksi. Tindakan yang terlambat dilakukan
dapat berakibat fatal bagi penderita. Obat anti jamur formula lipid dari
amphotericin B atau obat anti jamur posoconazole dapat diberikan. Terapi
oksigen hiperbarik dapat diberikan untuk membantu penyembuhan penyakit
ini. Luka tertusuk atau terisis yang terpapar tanah dan kayu busuk segera
dibersihkan dan diberi disinfektan dan benda asing yang ada di bawah kulit
harus dikeluarkan. Mengatasi penyakit-penyakit yang menurunkan sistem
imun tubuh harus juga dilakukan secepat mungkin, misalnya terhadap
diabetik ketoasidosis, gagal ginjal kronis dan koreksi terhadap neutropenia.

Pemberian obat imunosupresan misalnya kemoterapi, steroid, atau


deferoxamine sebaiknya juga dihentikan.

3. Misetoma

Termasuk dalam misetoma adalah maduromikosis dan aktinomisetoma, yang


merupakan infeksi destruktif progresif yang berlangsung lambat, terjadi lokal
pada jaringan subkutan akibat trauma. Maduromikosis adalah misetoma yang
mula-mula menunjukkan terjadinya papul, nodul atau abses dan berkembang
selama berbulan-bulan atau bertahun tahun membentuk banyak abses dan
saluran sinus yang mencapai jaringan bagian dalam.
641

Ketoconazole merupakan obat pilihan untuk mengobati misetoma. In vitro,


voriconazole dapat menghambat pertumbuhan berbagai jamur penyebab
misetoma (eumycetoma).

Untuk penatalaksanaan misetoma, kombinasi tindakan medik dan tindakan


pembedahan merupakan pilihan.

4. Blastomikosis

Blastomikosis biasanya terjadi pada orang-orang yang bekerja di luar rumah


di daerah tertentu di Amerika dan Canada. Penyakit ini sering menyerang
paru, tetapi juga dapat menyebar ke kulit, tulang dan saluran urogenital.
Gejala klinis yang timbul berupa batuk, demam, sesak dan sakit dada dan
dapat menjadi lebih berat dengan gejala batuk berdarah, dahak yang purulen,
demam dengan menggigil, menurunnya berat badan dan kelemahan badan
yang berat. Pada bentuk yang menyebar, terjadi lesi kulit yang berlipat-lipat.

Infeksi ringan dan sedang blastomikosis paru diobati dengan itraconazole,


yang merupakan obat pilihan, dengan dosis 200 mg/hari yang diberikan
selama 6 bulan, dan infeksi yang berat diobati dengan amphotericin B.

Pada penderita immunocompromised pengobatan harus dilakukan aktif


sedini mungkin dengan amphotericin B sebagai penyelamat jiwa. Sesudah
pengobatan dengan amphotericin B, pengobatan supresif kronis sebaiknya
diberikan dengan itraconazole.

Tidak ada vaksin yang bisa digunakan untuk mencegah blastomikosis. Untuk
menghndari paparan dengan jamur, orang-orang dengan sistem imun yang
lemah sebaiknya

5. Paracoccidioidomycosis

Blastomikosis Amerika Selatan ini hanya ditemukan di Amerika Selatan dan


Tengah, atsau Meksiko, dan biasanya menyerang saluran napas atas dan
menimbulkan ulserasi yang menimbulkan kerusakan pada epiglotis, pita
suara dan uvula. Penderita mengalami rasa nyeri hebat jika makan atau
minum. Kadang-kadang terjadi lesi kulit di daerah wajah.
642

Seperti penyakit jamur sistemik lainnya penderita dengan infeksi berat lainnya
penderita sebaikya dirawat inap di rumah sakit untuk mendapatkan
pengobatan suportif, termasuk pengobatan anemia dan defisiensi nutrisi.
Obat anti jamur yang dapat diberikan, yaitu: triazole yang merupakan obat
pilihan. Obat anti jamur lainnya yang bisa diberikan antara lain adalah
imidazole, sulfonamide dan amphotericin B.
Jika terjadi gangguan pada organ yang membahayakan hidup penderita,
tindakan bedah dapat dilakukan.

6. Sporotrikosis

Sporotrikosis terjadi pada jaringan kutan, jaringan subkutan dan jaringan


limfatik di dekatnya. Infeksi terjadi melalui trauma kulit, atau melalui udara
pernapasan. Penyebaran infeksi dapat terjadi ke sendi, tulang, otot dan
kadang-kadang di sistem saraf pusat, paru, serta saluran urogenital.

Penyebabnya adalah Sporothrix schenckii yang biasanya ditemukan di tanah


dan sampah busuk. Lesi kutan sporotrikosis diobati dengan iodida potassium
jenuh ( 3 kali 4-6 ml selama 2-4 bulan). Pemberian itraconazole 400 mg/hari
dan terbinafine 2x250 mg per hari juga efektif, tetapi harus diberikan dalam
waktu lebih lama. Pengobatan diteruskan selama sedikitnya satu bulan
sesudah secara klinis penyakit dinyatakan sembuh.Pemanasan lokal dapat
dilakukan untuk menyembuhkan lesi kutan.

Untuk mengobati sporotrikosis ekstrakutan dilakukan kombinasi pemberian


Amphotericin B atau itraconazole dengan tindakan pembedahan.

7. Kromoblastomikosis

Kromoblastomikosis merupakan infeksi kulit di daerah tropis yang biasanya


diderita pekerja-pekerja pertanian. Infeksi dimulai dengan terjadinya papul
atau ulkus terutama pada ekstremitas bagian bawah, yang makin membesar
selama berbulan-
643

bulan atau bertahun tahun menjadi nodul yang berbentuk papiloma atau
verikosa. Pengobatan kromoblastomikosis sukar dilakukan. Pembedahan
berupa eksisi jaringan sehat di tepi lesi perlu dilakukan untuk mencegah
pemaparan lokal. Pengobatan dengan itraconazole 400 mg/hari dan
terbinafine 500 mg/hari selama 6-12 bulan berhasil baik mengobati
kromoblastomikosis. Pengobatan lama yang pernah diberikan secara luas
adalah flucytosine dengan atau tanpa thiabendazole.

8. Cryptococcosis

Kriptokokosis adalah penyakit jamur yang kronis, subakut atau akut, pada
paru, sistemik atau meningitis, yang disebabkan oleh Cryptococcus
neoformans yang terjadi karena menghirup basidiospora dan atau sel ragi
kering jamur tersebut. Infeksi paru primer tidak menimbulkan gejala dan
biasanya subklinis. Jika terjadi penyebaran, jamur biasanya menyukai system
saraf pusat, dan dapat juga menyerang kulit, tulang dan organ visceral
lainnya. C.albidus, dan C.laurentii kadang-kadang juga dapat menyebabkan
penyakit pada manusia.

Pada manusia C.neoformans terutama menyerang hospes


imunocompromised dan merupakan jamur penyebab meningitis yang
terbanyak. Sekitar 7-10% penderita AIDS terserang jamur ini. Meningitis
dengan demam dan sakit kepala merupakan gejala klinik paling sering
dijumpai.

Kriptokokosis dapat diobati dengan amphotericin B secara intravenus yang


sebaiknya dikombinasi dengan flucytosin per oral atau intravenus. Infeksi
jamur Cryptococcus melalui udara pernapasan yang tercemar jamur dapat
dicegah infeksi menghindari paparan udara oleh tinja unggas. Karena itu
kandang unggas terutama merpati harus selalu dibersihkan dengan teratur.

9. Kandidiasis

Infeksi primer dan sekunder kandidiasis yang disebabkan oleh jamur Candida
dapat berlangsung akut, subakut atau kronis. Kandidiasis dapat terjadi di
mulut, tenggorok, kulit, kulit kepala,
644

vagina, jari, kuku, bronki, paru, dan saluran gastrointestinal. Kandidiasis juga
bisa terjadi sistemik, menyebabkan septikemi, endokarditis dan meningitis.
Pada individu sehat, infeksi Candida umumnya terjadi jika ada kerusakan
epitel yang menjadi garis pertahanan tubuh dan dapat terjadi pada semua
umur, terutama pada bayi dan orang lanjut usia. Biasanya infeksi tetap terjadi
superfisial yang mudah diobati. Kandidiasis sistemik biasanya terjadi pada
penderita defisiensi imun ”cell-mediated”, penderita kanker yang
mendapatkan terapi agresif, penderita dengan imunosupresi atau
mendapatkan terapi transplantasi.
Spesies Candida yang paling sering menyebabkan penyakit pada manusia
adalah Candida albicans, yang merupakan organisme komensal pada saluran
gastrointestinal manusia.
Kandidiasis akut pada mulut jarang terjadi pada orang dewasa yang sehat,
dan dapat terjadi pada 5% bayi yang baru lahir dan 10% pada orang lanjut
usia. Kandidiasis sering berhubungan dengan gangguan sistem imun pada
diabetes melitus, leukemia, limfoma, keganasan, neutropeni dan infeksi HIV.

Faktor predisposisi lainnya adalah penggunaan antibiotika spektrum lebar,


kortikosteroid, dan radiasi. Gejala klinik yang tampak berupa terbentuknya
plak mirip gumpalan susu pada mukosa rongga mulut dan kadang-kadang
pada lidah, gusi, palatum atau faring. Keluhan dapat tidak terjadi atau
kadang-kadang berupa mulut yang terasa kering atau terbakar, hilangnya
rasa kecap, dan sakit menelan.

Kandidiasis paling sering terjadi di aksila, lipat paha, lekukan antar payudara,
lipatan intergluteal, sela-sela jari dan umbilikus. Daerah-daerah tersebut
merupakan daerah predisposisi karena lembab, hangat, daerah kulit yang
sering mengalami gesekan dan lecet. Lesi merupakan ruam kulit eritematus
yang lembab dengan lesi satelit di sekitar kulit yang sehat.
Kandidiasis popok (diaper candidiasis) sering terjadi pada bayi dengan
kondisi tidak higienis pada kulit yang sering lembab, lecet dan menyebabkan
iritasi karena penggantian yang tidak teratur dengan popok yang tidak bersih.
645

Paronychia kuku jari dapat terjadi pada keadaan yang selalu basah, terutama
karena larutan gula atau terpapar dengan tepung, yang merendam lipatan
kuku dan kutikula. Lesi menunjukkan adanya pembengkakan eritematus
yang nyeri pada daerah kuku yang terinfeksi. Pada infeksi kronis, kutikula
akan lepas dari lempeng kuku dan dapat terjadi kerusakan jaringan kuku yang
terjadi pada kandidiasis kronik mukokutan atau jika terdapat faktor yang
mengganggu fungsi hormonal atau status imun hospes, misalnya diabetes
melitus, hipoparatiroidisme, penyakit Addison, disfungsi tiroid, malnutrisi,
malabsorpsi dan keganasan, serta penggunaan steroid, antibiotika dan
antimitotik. .

Kandidiasis vulvovaginal yang umum terjadi pada perempuan yang sering


dihubungkan dengan penggunaan antibiotika spektrum lebar dan kontrasepsi
oral, kehamilan trimester ketiga, aktifitas seksual, rendahnya pH vagina dan
diabetes melitus. Infeksi dapat melebar ke daerah perineum, vulva dan
seluruh daerah inguinal. Seperti halnya pada kandidiasis oral, kandidiasis
vaginal kronis yang sukar sembuh ada hubungannya dengan terjadinya
infeksi HIV atau AIDS. Gejala klinis yang dapat terjadi antara lain adalah
pruritus vagina yang berat, rasa terbakar, eritema dan dyspareunia yang
disertai dengan keputihan.

Pada penderita pria dengan balanitis yang tidak menderita diabetes melitus,
pasangannya harus diteliti adanya vulvovaginitis. Gejala klinis dapat berupa
eritema, pruritus dan vesikopustula pada glan penis atau preputium. Infeksi
lebih sering dijumpai pada orang yang tidak berkhitan terutama yang
higieninya buruk.

Langkah tatalaksana kandidiasis. Langkah pertama pengelolaan


kandidiasis adalah memperbaiki kondisi kesehatan hospes yang dapat
menyebabkan pembentukan koloni jamur pada kulit atau mukosa, sehingga
pertahanan epitel normal dapat berperan lagi. Untuk kandidiasis kutan,
dilakukan pengendalian kelembaban yang berlebihan, panas dan gesekan
yang menimbulkan lecet, disertai pengobatan dengan imidazole
646

topikal yang biasanya memberikan perbaikan terhadap infeksi. Kadang-


kadang perlu diberikan kombinasi dengan steroid topikal, misalnya
hidrokortison.
Kandiasis oral pada bayi dapat diobati dengan suspensi nystatin (100.000
unit/ml) yang diteteskan ke dalam mulut bayi dengan interval 4-6 jam atau
diberikan setiap kali makan.

Pada anak yang lebih besar atau orang dewasa dapat diberikan Amphotericin
B obat isap oral dan miconazole gel ( dengan interval 6 jam).
Nystatin tetes atau obat isap dapat juga diberikan tetapi rasanya pahit dan tak
disukai penderita. Untuk kandidiasis vaginal sering digunakan azole supositori
dan krim dengan hasil baik, tetapi banyak penderita lebih menyukai
pengobatan dosis tunggal fluconazole 150 mg yang memberikan angka
kesembuhan sampai 95%. Untuk perempuan dengan kandidiasis vaginal
yang sering kambuh, dapat diberikan terapi pencegahan agar tidak timbul
gejala klinis.

Untuk mengobati kandidiasis orofaring pada penderita AIDS, obat pilihan


adalah Fluconazole oral 100-400 mg/hari selama 1-2 minggu.
Pada dasarnya individu sehat tidak akan terinfeksi kandidfiasis. Karena itu
kunci strategi adalah mencegah kekambuhan dengan memperbaiki kondisi
yang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dengan Candida, terutama yang
mengganggu sistem imun hospes. Jika hal ini tidak memungkinkan, misalnya
pada penderita AIDS, kekambuhan dapat dicegah dengan pengobatan
pencegahan.

10. Penisilosis marneffei

Pada manusia penisilosis adalah hyalohyphomycoses yang terjadi melalui


trauma, penularan enterik dan karena menghirup spora jamur..
Pada orang dengan imunitas normal, P.marneffei dapat menyebabkan infeksi
fokal dengan gambaran klinik dan histologi mirip tuberkulosis, atau dapat
menyebar ke organ-organ lain.
647

Penyebaran jamur melalui darah (fungemia) menyebabkan infeksi ke sistem


organ lain termasuk ginjal, tulang, sendi dan perikardium.

Berbagai faktor predisposisi penicilliosis antara lain adalah AIDS,


tuberkulosis, bronkiektasi, penyakit autoimun dan pengobatan kortikosteroid.
Umumnya penderita menunjukkan gejala klinis yang tidak spesifik berupa
demam, anemia dan menurunnya berat badan.
Lesi kulit umumnya berbentuk papul mirip bentuk lesi pada molluscum
contagiosum, sedangkan abses subkutan yang mengalami ulserasi mirip
dengan penyebaran kriptokokosis atau histoplasmosis pada penderita AIDS.

Jika tidak diberikan pengobatan, angka kematian penderita penisilosis adalah


sebesar 100%. Untuk mengobati penisilinosis segera diberikan amphoyrticin
B intravenus sebanyak 0.6 mg/kg selama 2 minggu, kemudian diikuti
itraconazole oral 400 mg per hari selama 10 minggu. Pencegahan sekunder
dapat diberikan itraconazole 200 mg per hari untuk mengurangi terjadinya
kekambuhan.

11. Phaeohyphomycosis

Feohiphomikosis adalah infeksi jamur pada manusia dan hewan rendah yang
disebabkan oleh jamur berpigmen coklat (dematiceaous) yang jaringannya
adalah miselium. Bentuk klinik penyakitnya berbeda dengan misetoma mikotik
yang penyebabnya adalah jamur pigmen coklat yang jaringannya berbentuk
butiran (grain) atau kromoblastomikosis yang penyebabnya jamur yang
jaringannya berupa badan sklerotik.( sclerotic body ) Bentuk klinik mikosis ini
dapat berupa infeksi superfisial lokal pada stratum corneum (misalnya pada
tinea nigra) dan kista subkutan (kista feomikotik) atau sampai terjadi invasi ke
otak. Diagnosis Feohiphomikosis ditentukan sesudah dilakukan eksisi atau
biopsi dan menunjukkan hifa berpigmen secara histologis.

Penatalaksanaan feohiphomikosis umumnya melibatkan tindakan


pembedahan dengan atau tidak disertai pengobatan anti jamur.
648

Tabel 44. Pengobatan Phaeohyphomycosis (Thursky & Playford, 2008)

Jamur patogen Perjalanan klinik Terapi anti jamur


Zygomycetes Terapi lini pertama Amphoterisin formula lipid (Abelcet
5 mg/kg/day atau Ambisome 5-
15/kg per hari
Jika terapi amphoterisin Posaconazole 200 mg peroral qid
gagal bersama makan

Scadosporium S.opiospermum Linipertama: voriconazole 6mg/kg


IV bd hari 1 lalu 4 mg/kg IV bd
lini kedua: posaconazole 400 mg
oral bd atau itraconazole 200 mg
oral bd

S.proliferans Voraconazole 6 mg/kg IV bd hari 1


lalu 4 mg/kg IV bd atau Itracona-
zole 200 mg oral atau IV bd +
terbinafine 250 mg oral/hari

Fusorium Terapi inisial Amphotericin B 1-1.5


mg/kg/hari(I.V) atau AmphotericinB
lipid complex 5 mg/kg/hari atau
Voriconazole

Infeksi berlanjut, sedang Voriconazole 6 mg/kg bd IV atau


mendapatkan terapi dasar Posoconazole 400 mg oral b.d.
amphotericin.

Sakit berat Liposom


Amphotericin+ Voriconazole

Dermatophyte Infeksi invasif, infeksi Terbinafine 250 mg/hari ATAU


Kronis atau sebaran luas itraconazole 200 mg/hari
tinea non responsif
649
650

DAFTAR PUSTAKA

A. DiSalvo 2010. Actinomycetes  20-10-2010 microbiology and immunology


online university of south carolina school of medicine
http://pathmicro.med.sc.edu/mycology/mycology-2.htm

Abdul Ghaffar and Tariq Haqqi,2010. Immunization.


http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/immunization-ver2.htm

Ampel Neil and John N. Galgiani , 2000. Practice Guidelines for the Treatment
of Coccidioidomycosis Clin Infect Dis. (2000) 30 (4): 658-661.

Arizona University. 2009. SAARS: Gram-positive cocci.The Southern Arizona


Antimicrobial Resistance Survey. Arizona Health Sciences Center

ASHP,2001. Therapeutic Position Statement on the Identification and


Treatment of Helicobacter pylori-Associated Peptic Ulcer Disease in Adults ,
Am J Health Syst Pharm. 2001;58(4)

Atlas R.W., 1995. Principle of Microbiology, Microbiology Glossary


http://www.rpi.edu/dept/chem-eng/Biotech-.
Environ/GrowPresent/glossary.htm

CDC. 2012. Streptococcus pneumoniae


http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/pneumo.html

CDC. 2012.Meningitis. Identification and Characterization of Neisseria


http://www.cdc.gov/meningitis/lab-manual/chpt07-id-characterization-
nm.html

CDC. 2001. Clinical forms of anthrax http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-


vac/anthrax/downloads/clinical-anthrax.pdf"

CDC. 2013. Centers for Disease Control and Prevention August 29, 2013
Cutaneous Anthrax http://www.cdc.gov/anthrax/types/cutaneous.html.

CDC,2005. Outbreak of Cutaneous Bacillus cereus infections.


(http://www.cdc.gov/mmwr/preview)
651

CDC. 2012. Haemophilus influenzae Disease National Center for


Immunization and Respiratory Diseases Division of Bacterial Diseases
(http://www.cdc.gov/ncird/DBD.html)

CDC 2013. Meningitis. http://www.cdc.gov/ncird/dbd.html

CDC, 2012. Update on Nationwide Meningitis Outbreak


http://www.cdc.gov/media/releases/2012/p10_05_meningitis_outbreak.ht
ml

CDC. 2012. Vibrio parahaemolyticus National Center for Emerging and


Zoonotic Infectious
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/vibriop/Diseases

CDC.2012. Haemophilus and related bacteria http://www.cdc.gov/hi-disease

CDC. 2013. Diphtheria .Centers for Disease Control and Prevention


http://www.cdc.gov/diphtheria/about/diagnosis-treatment.html

CDC. 2003. Centers for Disease Control and Prevention.Frequently Asked


Questions (FAQ) About Tularemia
http://www.bt.cdc.gov/agent/tularemia/facts.asp

CDC. 2003. Tularemia. Centers for Disease Control and Prevention  Facts
About Tularemia.(http://www.bt.cdc.gov/-/tularemia/pdf/tularemiafacts)

CDC,2011. Leptospirosis and pets.


http://www.cdc.gov/leptospirosis/pets/prevention

CDC. 1998. Neonatal tetanus, MMWR Weekly, Nov 6, 1998, 47(43); 928-930
http://www.cdc.gov/wwmr/preview/mmwr.html

CDC. 2013. Pertussis (Whooping Cough) Surveillance & Reporting Centers


for Disease Control and Prevention http://www.cdc.gov/pertussis/index

CDC,2012. Mucormycosis(Zygomycosis) Centers for Disease Control


and Prevention (http://www.cdc.gov/fungal/mucormycosis/)

CDC. 2013. Vibrio vulnificus. last updated: September 23, 2013


http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/vibriov

CDC. 2013. Campylobacter: Centers for Disease Control and Prevention


http://www.cdc.gov/

CDC.2003..Tularemia. Frequently Asked Questions (FAQ) About Tularemia


Centers for Disease Control and Prevention
http://www.bt.cdc.gov/agent/tularemia/facts.asp
652

CDC. 2006. NOROVIRUS. Centers for Disease Control and Prevention.


Division of Viral Diseases. Technical Fact Sheet.

CDC. 2013. Pneumocystis[Pneumocystis jirovecii] Centers for Disease


Control and Prevention   http://www.cdc.gov/dpdx/pneumocystis/index.html

Columbia Encyclopedia, 2013. Rickettsia. |


http://www.encyclopedia.com/topic/rickettsia.aspx

David Ellis, 2014. Notes on the Identification of Zygomycetes.in Mycology


Online, University of Adelaide, Australia. www.mycology.adelaide.edu.au

David Ellis, 2014. Practical Identification of Common


Dermatophytes.Mycology On line, The University of Adelaide.http//
www.mycology.adelaide.edu.au

David Ellis,2013. Microsporum gypseum Mycology Online The University of


Adelaide http://www.mycology.adelaide.edu.au

David Ellis,2013.Tinea nigra, Mycology Online, The University of Adelaide


http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Superficial/Tinea_nigra/

Davidson MW. 2009. Bacteria Cell StructureMay,Florida State University


http://micro.magnet.fsu.edu/cells/bacteriacell.html

Erin Dizon, 2008, Things to Remember about Hepatitis Delta Virus, Humans
and Viruses,Stanford University updated: 13 March 2008
web.stanford.edu/group/virus/delta/2008

Demirci Cem S, 2013. Pediatric Diphtheria  Russell W Steele, M Updated: Mar 25,
2013http://emedicine.medscape.com/article/963334-treatment

Duane R, 2013.Overview Paracoccidioidomycosis  Medscape Reference


Updated: Jun 4, 2013http://emedicine.medscape.com/article/224628

Duerdeen B.I., TMS Reid, JM Jewsbury and DC.Turk .1987, A new short
Textbook of Microbial and Parasitic Infection.1987. ELBS Edition Butler &
Tanner Ltd, Forme and London.

Falkenstein D. , 2013 . An Introduction to Hepatitis A


http://www.foodpoisonjournal.com/food-poisoning-resources

Federation of American Scientists,2014. Tularemia, Tularemia Fact Sheet 


https://www.fas.org/programs/bio/factsheets/tularemia.html

Fischbach FT.1984. Clinical implications of human immunoglobulin classes. In


"A Manual of Laboratory Diagnostic Tests," 2nd Ed., J.B. Lippincott Co.,
Philadelphia, PA, 1984.
653

Gelderblom H.R. 1996. Structure and Classification of Viruses Medical


Microbiology. 4th edition http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK8174

Glossary of Virology. 2004. MicrobiologyBytes Infection & Immunity October


21, 2004 http://www.microbiologybytes.com/iandi/ipics/VirGloss.html

Hawksworth DL, PM Kirk, BC Sutton, DN Pegler. 1995. Ainsworth & Bisby's


Dictionary of the fungi. International Mycologyical Institute

Hawaii Gov. 2014. Microscopic Characteristics: B.anthraxis


http://health.hawaii.gov/statelab/ba

Hawksworth DL, PM Kirk, BC Sutton, DN Pegler. 1995. Tree of Life,


Ainsworth & Bisby's Dictionary of the fungi. International Mycologyical
Institute.

Hunt. M., 2010. Basic Virology. Repliction of viruses. Microbiology and


Immunology On-line University of South Carolina
http://pathmicro.med.sc.edu/mhunt/intro-vir.htm

Hunt R. 2011. Virus hepatitis a,b,c,delta agent (picorna virus) the Virology
section of Microbiology and Immunology On-line University of South Carolina
http://pathmicro.med.sc.edu/virol/hepatitis-virus.htm

Infection Research,2009 - Typhus Rickettsia: Old enemies newly defined.


www.infection-research..de/perspective/rickettsia-old-enemies)

Justin D.R.2011. Treponema. Structure and Biology. 4th edition Chapter


36 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7716/

Joel K. Greenson. 1997. Microscopic photograph of H. pylori.


http://www.pds.med.umich.edu/users/greenson/hp-silver.gif.

Kapikian AZ, et al. 1972. Visualization by immune electron microscopy of a


27-nm particle associated with acute infectious nonbacterial gastroenteritis. J
Virol. 1972 Nov;10(5):1075-81

Liza G.,2012. Doubt and Denialism: Vaccine Myths Persist in the Face of
Science QUEST Northern California
http://science.kqed.org/quest/stations/northern-california

Luigi S.2014. Helicobacter Pylori Infection  Medscape Reference


http://emedicine.medscape.com/article/176938-overview

MacMahon & Pugh 2010. Epidemiology: Principles and Methods -


http://practice.sph.umich.edu/micphp/epicentral/epidemiology
654

McNeil MM1, Brown JM..1994. The medically important aerobic


actinomycetes: epidemiology and microbiology. Clin Microbiol Rev. 1994
Jul;7(3):357-417

Mahmud H Javid, 2012.Campylobacter Infections  Medscape Reference Sep


27, 2012 http://emedicine.medscape.com/article/213720-overview

MicrobeWiki,2011. Francisella tularensis Description and significance


http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Francisella_tularensis

Microbiology glossary
http://www.rpi.edu/dept/chemeng/BiotechEnviron/GrowPresent/glossary.htm

Mayer G.. 2000. Rickettsia. Microbiology and Immunology On-line University


of South Carolina, Rickettsia. http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/ricketsia.htm

Mayer,G. 2000. Antigens.Microbiology and Immunology On-line University of


South Carolina,http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/antigens2000.htm

Mayer G.2000. Immunoglobulins - Structure and Function. Microbiology and


Immunology On-line University of South Carolina,
http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/IgStruct2000.htm

Mayer G.2000. Antibodies  Isotypes, Allotypes and Idiotypes  Microbiology


and Immunology On-line University of South Carolina,
http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/IgTypes2000.htm

Mayer G,2000. Antigen-antibody reaction. Microbiology and Immunology On-


line University of South Carolina, Immunology. 
http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/ab-ag-rx.htm

Mayer G and Nyland J.2000. Cells involved in immune responses  and


antigen recognition. Microbiology and Immunology On-line University of South
Carolina, http://pathmicro.med.sc.edu/bowers/immune-cells.htm

Mayer G.2000. Cytokines and Immunoregulation. Microbiology and


Immunology On-line University of South Carolina,
http://pathmicro.med.sc.edu/bowers/imm-reg-ver2.htm

Miller Eric,2003. Francisella tularensis.


http://web.mst.edu/~microbio/BIO221_2003/F_tularensis.htm

Mahmud H J, 2012. Campylobacter Infections , Medscape Reference


http://emedicine.medscape.com/article/213720-overview

Narayan N. and Horvath J. 2009. Parainfluenza, Respiratory syncytial and


adeno viruses, http://pathmicro.med.sc.edu/virol/para-rsv-aden.htm
655

National Center for Immunization and Respiratory Diseases, 2012.


Haemophilus influenzae Disease Division of Bacterial Diseases

Paul Thagard, 1997 H. pylori. Ulcers and Bacteria II:Instruments,


Experiments, and Social Interactions.
www.cogsci.uwaterloo.ca.Articles/Pages/Ulcers.two.html.

Petra C.F. Oyston, Sjöstedt A. and Richard W..2004. Tularaemia: bioterrorism


defence renews interest in Francisella tularensis. Titball Nature Reviews
Microbiology 2, 967-978 (December 2004
http://www.nature.com/nrmicro/journal/v2/n12/full/nrmicro1045.html

Pink Book Course. 2012. Pneumococcal Disease.Epidemiology and


Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.The Pink Book: Course Textbook
- 12th Edition Second Printing (May 2012)

Polson S. 2008. Virus Glossary, University of Delaware


http://www.expeditions.udel.edu/extreme08/microbes/viruses-glossary.php

Potter M, 2005.Strategies for managing systemic fungal infection and the


place of itraconazole. J Antimicrob Chemother. 2005 Sep;56 Suppl 1:i49-
i54.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16120634

Rollins D.M.and Joseph S.W.2000. Clostridium Pathogenic Microbiology


University University of Maryland
http://www.life.umd.edu/classroom/bsci424/index.htm

Rollins.D.M. 2000. Enterobacteriaceae Summary.Pathogenic Microbiology


University of Maryland . http://life.umd.edu/classroom/bsci424.

Russell C. J.1996. Epidemiology Leptospira Medical Microbiology


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK8451/ Chapter 35

Ray, T.L 1992. Cutaneous and disseminated skin manifestations of


candidiasis, Chapter 4, in Cutaneous Fungal Infections edited by Boni Elewsli,
Igaku-Shoin New York and Tokyo, 1992

Stanford University. 2005.Leprosy.


http://www.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2005/Leprosy/clinical.htm

Stanford University, 2005. Hepatitis D virus.


http://www.stanford.edu/group/virus/delta/2005

Thaker VV and Steele R.W.2011, Cholera  Updated: Jul 19, 2011 Medscape
Reference

Todar.K. 2012. Streptococcus pneumoniae, Review of Online Textbook of


Bacteriology. .
656

Todar K.2012. Pseudomonas aeruginosa Todar's On line Textbook of


Bacteriology. http://textbookofbacteriology.net/pseudomonas.html

Todar K.2008.The Microbial World Lectures in Microbiology University of


Wisconsin-Madison http://www.textbookofbacteriology.net/ken_todar.html

Todar K. 2012 Structure and Function of Bacterial Cells Review, Online


Textbook of Bacteriology,University of Wisconsin, Madison.
http://textbookofbacteriology.net/structure_10.html

Turco J., 2005. Rickettsia prowazekii-Infected Cultured Human Fibroblasts


ASM Microbe Library. http://forms.asm.org/microbe/index.asp?bid=37579

Thursky,K. A. , Playford E.G., 2008. Recommendations for the treatment of


established fungal infections e.o. Internal Medicine Journal38(2008) 496–520
http://www.mycology.adelaide.edu.au

Texas Department of State Health Services,2013. Cholera Infectious Disease


Control Unit

UCT, 2012. Virology, Lecture notes: Laboratory diagnosis


http://www.virology.uct.ac.za/teachdiag.html.

University of Adelaide. 2001,Dermatophyte Mycology Online Glossary of


Mycological Terms. www.mycology.adelaide.edu.au/virtual/glossary

University of South Carolina, 2011. Overview of the immune system


Microbiology and Immunology On-line
http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/innate.htm last

University of Cape Town,2012. Lecture notes: Introduction to Virology


http://www.virology.uct.ac.za/teachintro.html

UPMC Center for Health Security,2011. Francisella tularensis (Tularemia)


http://www.upmchealthsecurity.org

URL:https://www.princeton.edu/~achaney/tmve/-/docs/Enterobacteriacea.html

URL: http://www.doctorfungus.org/Thefungi/microsporum_spp.php
Microsporum GroupTaxonomic classification

URL:.http://en.wikipedia.org/wiki/Actinobacteria Actinobacteria

URL: http://www.staff.uni-giessen.de/~gh1484/actino.html. Actinomycetes

URL:
http://www.foodsafety.gov/poisoning/-/bacteriaviruses/vibrio_infections/
Vibrio Infections October 4, 2013
657

URL:http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Opportunistic/Zygomycos
is/ Zygomycosis

URL:http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Opportunistic/
Hyalohyphomycosis/ Hyalohyphomycosis

URL: http://labmed.ucsf.edu/education/residency/fung_morph/fungal_site/
dimorphpage.html Penicilliosis marneffei Description:

URL: http://www.doctorfungus.org/thelabor/sec12.pdf:Yeast Identification

URL:http://www.diffen.com/difference/Mold_vs_Yeast Comparison chart

URL: http://www.mycology.adelaide.edu.au.Management of cutaneous fungal


infections

URL: https://www.augustaendoscopy.com/digestive-health/helicobacter-pylori/
Gastroenterology Consultants of Augusta GA 2011 Helicobacter pylori

URL: http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/tuberculosis.htm
Mycobacterium tuberculosis

URL http://en.wikipedia.org/wiki/Pneumocystis_pneumonia Pneumocystis


pneumonia: was last modified on 21 December 2013 at 13:55.

URL: http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/antigens2000.htm Antigen last


changed on May 04, 2011

URL: http://intranet.tdmu.edu.ua/data/kafedra/internal/micbio Morphology and


structure of viruses.

URL: http://textbookofbacteriology.net/Lyme.html Borrelia burgdorferi,Todar’s


online textbook of bacteriology 2011

URL: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Borrelia_burgdorferi_NEU2011

URL: http://www.buzzle.com/articles/rickettsia-symptoms.html. Rickettsia


Symptoms, 2010

URL: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Francisella_tularensis
Francisella_tularensislast modified on 29 April 2011,

URL.http://www.dreamstime.com/PHOTOS-IMAGES/ royalty-free-stock-
images-structure-adenovirus-vector-diagram-morphology. Adenovirus
Morphology,2014

Virginia Maryland Regional College of Vet.Medicine,2014. Scanning electron


microscope image of C.jejuni
https://www.vetmed.vt.edu/research/.../morph.asp
658

West Nile Virus Glossary of Terms.2014. West Nile Virus article. 2014.
http://www.emedicinehealth.com/west_nile_virus/glossary_em.htm

WHO:2013. What is hepatitis? http://www.who.int/features/qa/76/en/Online


Q&A Updated June 2013

WHO.2011. Campylobacter, WHO Media centre Fact sheet N°25 October


2011

WHO Media centre,2011. Fact sheet N°255Campylobacter October 2011

Wikipedia. Pseudomonas aeruginosa October 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudomonas_aeruginosa

Wikipedia Francisella tularensis last modified on 18 July 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Francisella_tularensis

Wikipedia,2013 Swine_brucellosis. last modified on 6 October 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/

Wikipedia, the free encyclopedia,2013, Brucella


http://en.wikipedia.org/wiki/Brucellaast modified on 29 August 2013

Wikipedia. Enterobacteriaceae http://www.princeton.edu/

Wikipedia. Enterobacteriaceae last modified on 8 July 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/

Wikipedia. Rubella virus last modified on 11 November 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Rubella_virus

Wikipedia, Streptococcus last modified on 3 November 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/ Streptococcus

Wikipedia, Mycosis http://en.wikipedia.org/wiki/Mycosis. last modified on 18


July 2014 .

Wikipedia. Mycobacterium leprae last modified on 7 November 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Mycobacterium_leprae

Wikipedia. Medical Definition of Ecology last modified on 10 September 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Microbial_ecology

Wikipedia. Neisseria and Related last modified on 1 August 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Neisseria

Wikipedia, Helicobacter pylori Last modified on 28 September


2013http://en.wikipedia.org/wiki/Helicobacter_pylori
659

Wikipedia, Pseudomonas aeruginosa last modified on 1 October 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudomonas_aeruginosa

Wikipedia, Francisella last modified on 7 March


2013http://en.wikipedia.org/wiki/Francisella

Wikipedia. Francisella tularensis last modified on 18 July 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Francisella_tularensis

Wikipedia, Brucella last modified on 29 August 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Brucella

Wikipedia. Swine_brucellosis last modified on 6 October 2013


http://en.wikipedia.org/wiki

Wikipedia. Brucella melitensis last modified on 3 March 2014


http://en.wikipedia.org/wiki/Brucella_melitensis

Wikipedia, Leptospira last modified on 5 July 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Leptospira

Wikipedia. Leptospirosis last modified on 29 July 2014


http://en.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis

Wikipedia. Pneumocystis pneumonia last modified on 21 December 2013


http://en.wikipedia.org/wiki/Pneumocystis_pneumonia

Wikipedia.Lactobacillus last modified on 7 November


2013http://en.wikipedia.org/wiki/Lactobacillus
660
661
662

INDEKS

aflatoxin, 74
+ssRNA, 448, 453, 503 AFP, 193
abses, 206, 209, 213, 214, 215, Agamaglobulinemia, 148, 149,
216, 233, 308, 311, 312, 337, 150, 197
339, 373, 399, 401, 402, 583, Agar Martin-Lewis, 246
584, 595, 598, 607, 612, 618, Agar Modified Thayer-Martin, 246
621, 645, 646, 653 agar nutrien potato dextrose, 532
abses., 206, 312, 595 Agar Phenylalanine, 304
Absidia corymbifera, 612 agen delta, 505
absorptif heterotrofik, 523 aggressin, 56
Acid phosphatase., 270
acid-fast, 264, 398 aglutinin, 156
acquired immunodeficiency, 195 AIDS., 265, 506, 651
Acremonium, 622 ”air cucian beras”., 317
actidione, 636 Air ludah, 99
Actinomycetes, 4, 62, 86, 396, 397, aklorhidria, 321
398 Aktifasi komplemen, 128, 173
ACTINOMYCETES, 396 Aktifasi poliklonal sel B, 134
adaptasi, 87 Aktinomikosis, 398
adaptif, 5, 103, 104, 105, 136, 175, Aktivasi komplemen, 124
176, 180 Alexander Fleming, 3
adaptive immune system, 103 algae, 321
ADCC, 121 Alotip, 152, 153
ADENOVIRIDAE, 427 alpha toxin, 209
Adenovirus, 194, 414, 428, 429, alpha-fetoprotein, 193
475, 477, 478, 486, 489 alpha-hemolytic alpha toxin, 297
Adenovirus enterik, 489 Alphavirus, 438
adhesin, 308 ALT, 448
adjuvan, 133, 185 Amerika Selatan, 371
Adjuvan, 185 Amerika Tengah, 371
Adsorption, 421 Amphotericin B, 621, 645
Aerob, 52 anaerob fakultatif, 40, 220, 231,
aerotaxis, 47 233, 291, 302, 312, 315
Afinitas, 154, 155 Anaerob obligat, 52
663

anafilaksis, 123, 125, 128, 184 ARENAVIRIDAE, 441


anaphylotoxin, 127, 188 armadillo, 274, 276
Anaphylotoxin, 125, 128 arthroconidia, 561
anemia aplastik, 430 arthrospora, 74
anion superoksid, 118 ascocarp, 553
anjing, 371, 388 Ascomycetes, 530
Anthrax gastrointestinal, 288 ASCUS, 516
Anthrax inhalasi, 287 Asia,, 371
Anthrax kulit., 287 Aspergillus, 36, 72, 73, 524, 602,
Anthropophilic dermatophyte., 560 616
anti HBe, 503 Aspergillus fumigatus, 616
antibiotic-induced diarrhea, 83 aspergiloma, 616, 617
Antibodi, 130, 136, 140, 150, 151, Aspergilosis, 616
152, 155, 156, 157, 160, 162, Aspergilosis alergi., 617
163, 164, 168, 173, 182, 183, Aspergilosis Kutan, 618
191 Aspergilosis Paru, 616
Antibodi e, 503 Aspergilosis paru invasif akut, 617
antibodi anti-imunoglobulin, 163 Aspergilosis sinus paranasal, 618
antibody assay, 422 AST, 448
Antibody assay, 423 Astrovirus, 489
antibody combining site, 154 atypical cells of unknown
antibody-dependent cellular significance, 516
cytotoxicity), 121 autoimmunity, 186
Antigen, 106, 132, 133, 134, 136, autoimun, 102, 107, 149, 181, 186,
155, 160, 161, 162, 163, 188, 187, 189, 190, 197, 226, 652
191 autotrofik, 523
Antigen virus hepatitis, 502 autotroph, 40, 53
antigen binding site, 141 Aviditas, 154, 155
antigen flagel (H),, 298 Bacille Calmette-Guerin, 185
antigen H, 305, 315, 345 BACILLUS, 201, 284
antigen K, 305 Bacillus anthracis, 284, 285, 286
antigen O, 305, 309, 310, 315, 320 Bacillus cereus, 284, 288, 289,
antigen poliklon, 136 319
antigen presenting cell, 132 Bacillus cereus,, 284, 289
Antigen Presenting Cell, 177 Bacillus thuringiensis, 284, 289
antigen presenting cells, 176, 194 BACTERIOPHAGE, 38, 69
antigen somatic (O), 298 Bacteroides, 57, 81, 85, 94, 310,
antigen spora, 298, 300 312
Antigen T-dependen, 133, 134 Bacteroides fragilis, 311
Antigen T-independen, 133 Bakteremia, 210, 354
Antigen tumor, 192 bakteri aerob, 40, 307
antigen-presenting cells, 112 bakteri anaerob, 14, 40, 57, 58,
anti-isotypic antibodies, 151 289, 307, 310
Antisera anti-alotip, 153 Bakteri Derajat Rendah, 60
antitoksin trivalen, 301 Bakteri Derajat Tinggi, 60, 61
antitoxin neutralization test, 301 bakteri gram positif, 42
APC, 132, 176, 177, 178, 183 bakteri gram-negatif, 42, 56
apoptosis., 123 Bakteriofag, 70
apparent, 5 Bakteriolisis, 70
ARBOVIRUS, 426 bakteriosidal, 26, 113
664

bakteriostatik, 26 BRUCELLA, 371


barier anatomi, 108 Brucella melitensis, 375
Basidiomycetes, 529, 553 Bruton’s hypoglobulinemia, 197
basil Doderlein, 291 budding, 36, 72, 422, 431, 436,
Basil., 61 438, 518, 520, 526, 528
BCG, 185, 271, 272, 276 budding yeast, 548
Bell’s palsy, 379 bull neck, 282
bentuk dimer, 146 bull-eye rash, 378
bentuk infeksi VHD, 505 Bunyavirus, 440
bentuk klinis ISPA, 473 C H, 139
bentuk lepromatus, 274 C.perfringens tipe C, 294, 296
Bentuk lepromatus, 275 C.perfringens type A, 296
bentuk sporotrikosis., 567 cAg, 502
bentuk tuberkuloid, 274, 275 Campylobacter, 22, 54, 100, 290,
beta toxin, 209 334, 335, 337, 338, 339
beta-hemolytic theta toxin, 297 Campylobacter jejuni, 335, 336
beta-laktamase, 56, 210, 261, 311 CA-MRSA, 211
beta-phage, 281 cancer-inducing gene, 192
bicomponent toxin, 209 Candida albicans, 36, 37, 73, 95,
Bifidobacteria,, 81 526, 548, 559, 602, 603, 650
bile solubility test, 243 candle-jar, 250
binary transverse fission, 380 cangkok sumsum tulang, 153
biofilm, 45, 348 capsid, 66, 67, 410
biologi molekuler, 44 Capsid., 408
biological control, 284 Capsomer, 408
blastoconidia, 526 capture antibodies, 162
Blastomikosis kutan, 598 capture antibody, 163
Blastomikosis paru, 597 carbapenem, 304, 312
Blastomikosis tulang dan sendi, carcino-embryonic antigen, 193
598 carrier, 92, 93, 96, 322, 337
Blastomyces dermatitidis, 550, 597, Carrier, 93
600 Catalase test., 270
Blastomycosis, 597 cathepsin G, 113
blood agar plate, 244, 250 CD14, 114, 122
blue pus’, 349 CDR, 140
booster, 186, 364 CEA, 193
Bordetella pertussis, 360 cell envelope, 46
BORDETELLA PERTUSSIS, 360 cell mediated hypersensitivity, 190
Bornholm disease, 465 cell mediated immunity, 275
BORRELIA, 375 cell surface marker, 114
Borrelia burgdorferi, 377 cell-mediated immunity, 123, 183,
botulin, 300 184, 196
botulisme, 184, 300, 301 cell-mediated response, 173
Botulisme, 295, 301 cell-mediated responses, 103
Brain heart infusion agar, 569, 589, Cellotape Flag Preparations., 533
593, 596, 600 Cerebral phaeohyphomycosis., 579
Brain heart infusion agar yang, 593 cereolysin, 289
brain heart infusion broth, 545 CGD, 198
break-bone fever, 438 chain of infection), 6
Brucella, 371 chemokine), 103, 180
665

Chemo-organotroph, 52 Convalescent, 93
chemoprophylaxis., 260 COPD, 590
chemotaxis, 43, 47 Core IgG., 503
chickenpox, 471 Core IgM, 503
CHLAMYDIAE, 38, 63 coronavirus, 435, 480
chlamydospora, 74 Coronavirus, 415, 435, 474, 475
chocolate agar plate, 250, 255, 256 Corynebacterium diphtheriae, 84,
chocolate blood agar., 235 277
Cholera gravis, 317 coryza, 456, 474
Cholera sicca, 317 Countercurrent electrophoresis,
choline-binding reseptor, 238 160
chopped meat media, 297 cowpox virus, 184
chromosome, 43 COXIELLA, 38, 63
chronic granulomatous disease, cross reactivity), 155
198 croup, 475
Chronic narcotizing aspergillosis, cryptococcoma, 606
618 Cryptococcus, 549
chronic obstructive pulmonary Cryptococcus neoformans, 73, 519,
disease, 590 532, 533, 549, 602, 605, 607,
CL, 139 649
class switching, 197 Cryptococcus neoformans
classic lion face 275 var.neoformans, 602
Clostridium, 8, 21, 55, 83, 84, 85, CTL, 174, 180, 182, 194
95, 97, 294, 295, 298 Cunninghamella bertholletiae, 613
Clostridium .botulinum, 295 Cutaneous mycoses, 559
Clostridium botulinum, 299 Cutaneous warts, 514
Clostridium perfringens, 296 Cysteine Heart Agar, 366, 367
Clostridium tetani, 295, 297 cystine trypticase agar, 252
club shaped),, 546 cytochrome, 57, 302
Coccidioides immitis, 587, 590 Cytochrome B, 117
Coccidioidomycosis, 590 cytochrome c oxidase, 248
Coccus, 61 cytokine, 103
“cocktail glass”, 613 cytolasmic membrane, 44
Coelomycetes, 553 cytopathic effect, 425
coenocytic, 526, 530 cytosol, 174, 177
colony-forming unit, 368 cytotoxic hypersensitivity, 188
Columella, 524 cytotoxic T cell, 106, 177
common pili, 48 cytotoxic T lymphocytes, 174
community-associated MRSA, 211 cytotoxic Tcells, 194
Competitive ELISA, 161, 163 dactinomycin., 431, 433
complementarity determining dapsone, 276, 277
region, 140 dark field microscope, 389
compromised immunity., 107 dark-field microscope, 383
conformational determinant, 135 Dark-field microscopy, 322
conidial ontogeny, 532 dark-field microsope, 381
Conidiobolus coronatus, 613 deaminase, 304
Conidiophore., 524 debridement, 644
Conidium, 524 Defensin, 108
constant region, 142, 143, 147, 151 Definisi Infeksi, 5
Continuous cell lines, 425 Defisiensi Adesi Leukosit, 198
666

Defisiensi genetik, 128, 130 dismutasi, 118


Degradasi, 132 Disseminated Aspergillosis, 618
dekolorisasi, 273, 278 disseminated infection, 418
delayed hypersensitivity, 190 disseminated intravascular
delta toxin, 209 coagulation, 255, 437
Deltaretrovirus, 506 Disseminated Intravascular
demam rematik, 78, 220, 225, 230 Coagulation, 306
dematiaceous, 573, 578, 580, 632 disseminated
Dematiaceous Fungi, 573 paracoccidioidomycosis, 595
dematiceaous, 578 disseminated zygomycosis, 583
density-gradient centrifugation, 67 DNA, 3, 11, 19, 28, 30, 39, 43, 44,
dermatitis atopik,, 207 48, 49, 50, 51, 59, 63, 66, 69, 70,
dermatofit antropofilik, 547, 561 71, 88, 194, 395, 396, 407, 408,
Dermatofitosis, 559 409, 410, 412
dermatophyte onychomycosis, 562 DNA sequencing,, 3
DERMATOPHYTES, 534 DNA-dependent RNA
detection antibodies, 162 polymerase., 430
Deteksi HIV langsung., 511 doksisiklin, 374
determinan antigenik, 130, 134, dokter hewan, 389
135, 137, 140, 150, 151, 152, dolipore, 529
154, 155 domain, 139, 140, 141, 144, 147
Determinan antigenik, 134, 135 Domain., 139
DEV, 446 double vision, 300
Diagnosis aktinomikosis., 399 double zone hemolysis, 297
diagnosis H.pylori, 345 double-stranded, 416
Diagnosis Hepatitis, 451 double-stranded circular,, 427
Diagnosis HIV., 510 double-stranded DNA, 413
Diagnosis laboratorium double-toxoid, 283
dermatofitosis, 563 doubling time, 234
Diagnosis Laboratorium downy type, 542
kromoblastomikosis, 570 Drift (perubahan antigenik minor).,
DIAGNOSIS PENYAKIT INFEKSI, 482
1, 16 droplet, 9, 32, 99, 453
Diagnosis penyakit legionaire, 394 drumstick), 297
diapedesis, 114, 198 DTaP, 364
diaper candidiasis), 564 DTP, 185, 186
DIC, 255, 306, 437 Duck Embryo Vaccine, 446
Difteri, 281, 282 Dukoral, 326
Digesti papain, 140 eAb, 503
digesti pepsin, 141 eAg, 502
digesti proteolitik, 140 EaggEC, 306
dimorphic fungi), 548 Eastern equine encephalitis virus,
dimorphic systemic mycoses, 587 439
Dinding sel, 41, 51, 72 Eczema Herpeticum, 469
Dinding sel S.pneumoniae, 238 edema angioneuritik heriditer., 128
diplococci, 231, 238, 257 Edward Jenner, 2
Direct ELISA, 161 EEEV, 439
direct fluorescent antibody, 366 Efek samping imunisasi, 186
Disinfeksi dan inaktifasi virus, 419 effective dose, 98
dismutase superoksid, 118 egg yolk media, 297
667

EHEC, 306 Eosinofil., 112


EIEC, 305 EPEC, 305
Ekologi, 87 Epidemi, 90
eksogen, 7, 25, 80, 96, 177, 272, Epidemiologi, 89, 90, 241, 503
294, 295 Epidemiologi Sifilis, 382
eksotoksin, 55, 56, 136, 205, 208, epidemiologic triangle, 90
281, 283 Epidermodysplasia verruciformis,
eksotoksin pirogenik, 136 514
eksotoksin sitolitik, 205 Epidermophyton, 545
eksotoksin TSST-1, 208 Epidermophyton floccosum, 545
eksotoksin yang bipartit, 296 Epitop, 130
electro encephalography, 257 erisipelas, 222
elementary body, 64 Erisipelas., 25
ELISA, 161, 162, 163, 164, 301 Eropa, 371
Embrio ayam., 424 ERYTHEMA INFECTIOSUM, 460
Endemi, 90 erythema migrans, 378
endocytosi, 421 Erythema migrans, 379
endogen, 7, 96, 177, 188, 294, eschar, 287
310, 398, 525 ETEC, 305
Endokarditis, 209, 213, 254, 307 eukariotik, 39, 43, 75, 392, 410
endotelium, 114 Eukariotik, 523
Endotoxin., 56 exfoliatin, 205
ensefalitis pasca morbilli., 456 exfoliating toxin, 136
enteritis nekrotik, 294, 296 exfoliative toxin, 208
Enterobacteriaceae, 18, 85, 302, exoantigen test, 550
303, 304, 305, 308, 323 exogen, 96
ENTEROBACTERIACEAE, 201, Exotoxin., 55
302 Extensively drug resistant, 273
Enterobacteriaceae Oportunistik, facial palsy, 378
308 Facial palsy, 379
Enterococcus, 77, 85, 220, 227, Fag, 70, 71
229 fagolisozom, 117
enterotoksigenik, 49, 294, 296, fagosom, 117, 118, 178, 199
308, 309 faktor abiotik, 88
enterotoksin, 136, 208, 291, 296, faktor anti-rhesus, 159
308, 337 faktor H, 126, 199
enterotoksin tipe C, 208 faktor humoral, 109
Enterotoxin, 55, 216 faktor kemotaktik, 127, 128, 190
enterotoxin tipe B, 208 Faktor yang mempengaruhi
enterovirus, 99, 358, 414, 425, 433, epidemiologi, 89
465, 493 false-positive, 383
Enterovirus, 358, 415, 463, 464, Fase akhir., 422
465, 492, 493 Fase awal.replikasi, 422
ENTEROVIRUS, 463 fase klinik rabies, 444
Enzim ekstraseluler, 56 Fase lysogenic., 420
enzim proteolitik, 113, 206 Fase lytic, 420
enzim sitolitik, 296 Fase pertumbuhan bakteri, 60
enzootik, 444 favus, 563
Enzyme Linked Immunosorbent fecal-oral route, 99
Assay, 161 Feohifomikosis serebral, 631
668

Feohifomikosis sinus paranasal, Fungi dimorfik., 527


631 fungi imperfecti., 74
Feohifomikosis subkutan, 630 Fungi patogen, 518
Fermentasi anaerobik., 53 fungsi efektor imunoglobulin, 138
fermentasi inulin., 242 Fungsi Imunoglobulin, 137
“fifth disease”., 430 Fungsi membran plasma, 43
filovirus, 436 furious rabies, 445
fimbriae, 48, 49, 51, 59, 247, 250, furunkel, 207, 209, 213
302, 331 Fusarium, 622
Fimbriae, 48 Gambaran klinik Influenza., 482
Fisiologi bakteri, 51 Gambaran Klinik VHB, 500
Fisiologi jamur, 73 Gambaran klinik.SARS, 480
fission yeast, 548 Gambaran klinis morbili, 456
Fixed cutaneous sporotrichosis, Gambaran klinis Rubella, 454
567 Garis pertahanan tubuh, 102, 103
Flagel., 46 GAS, 224, 226
Flavivirus, 438 Gastroenteritis bakterial, 25
flavoprotein, 57 gastroenteritis infantil, 434
flora normal, 7, 21, 23, 24, 25, 36, GASTROENTERITIS VIRAL, 486
75, 84, 91, 92, 94, 95, 96, 202, G-CSF, 586
241, 249, 262, 277, 279, 302, Gejala Klinik mumps, 458
311, 382 Gejala Klinik Pertusis, 362
FLORA NORMAL, 38, 75, 93 Gejala Klinis Hepatitis, 451
Flow cytometry, 165 Gejala klinis leptospirosis., 390
fluoroceine, 424 generalized tetanus, 295
fluorochrome, 164 generalized vesicular rash, 471
fokus Ghon, 271 Genom, 49, 407, 410
fomites, 98, 99 genom RNA single-strand, 420
food poisoning, 136, 219, 319 genome, 66
foodborne illness, 291 genotypic variation, 58
foodborne infection, 313, 314 Geotrichum candidum, 628
foot-and-mouth disease, 433 germination, 291
foreigness, 131 germs theory, 3
fosfolipase, 108, 289 giant cells, 275
fotofobi, 438, 445, 451, 469, 491 gingivo-stomatitis, 468
Fragmen Fab, 140 global herd immunity, 482
Fragmen Fc., 141 globular region, 139
Fragmen imunoglobulin, 140 glomerulonefritis akut., 225, 230
Fragmen Imunoglobulin, 140, 142 glycocalyx, 45
FRAMBUSIA, 385 GM-CSF, 586
framework region, 139, 140 GMS, 533
Francisella tularensis, 365, 367 gonococcus, 246, 247, 260
FRANCISELLA TULARENSIS, 365 Gonore, 261
Freund’s complete adjuvant, 185 granul, 112, 113, 114, 117, 118,
Freund’s incomplete adjuvant, 185 120, 278, 398, 399, 400, 402,
Fried rice syndrome, 288 404, 573, 574
fruiting bodies, 553 granul azurofilik, 113
FTA-ABS, 383 Granul inklusi., 50
fulminant hepatitis, 452 granulocyte colony-stimulating
fungemia), 625, 652 factor, 586
669

granulocyte-macrophage colony- Hepatitis A, 496


stimulating factor, 586 Hepatitis B, 499
Grocott's Methenamine Silver, 533 hepatitis B surface, 450
grup F adenovirus, 489 Hepatitis C, 503, 504
Grup-A Streptococcus, 224 Hepatitis D, 505
Guarnieri body, 68 Hepatitis E, 497
guinea-pig, 271, 287 HEPATITIS VIRAL, 446
gumma, 388 Hepatovirus,, 448
Gumma, 386 Herpes Genital, 469
H.influenza tipe b, 353 Herpes Simplex virus, 467
HAART, 510 Herpes zoster, 472
haemagglutinin, 481 HERPESVIRUS, 466
HAEMOPHILUS INFLUENZAE, Herpesvirus manusia., 466
352 Herpetic Whitlow, 469
Haemophylus influenzae, 4, 54, HERPETOVIRIDAE, 429
352 heterothalli, 528
haemorrhagic varicella, 472 Heterotrofik, 523
“halo”, 279 heterotroph, 40, 54
halophilic”, 331 Hib, 353, 354, 355, 356, 357
HA-MRSA, 210 Hidrofobi, 445
Hans Christian Gram, 3 hidroklorhidria, 321
Hantavirus, 440 Hifa, 526
hapten, 133, 134, 157, 188 hifa coenositik, 585
Hapten, 130, 177 high grade squamous intra-
hapten-carrier conjugate, 134 epithelial lesion, 516
haptenic determinant, 134 highly active antiretroviral therapy,
HBs, 450 510
HDCV, 446 hilangnya rasa nyeri., 274
health-care-associated MRSA, 210 Hinge Region, 139
heavy chain, 138, 139, 144, 150 hipersensitif komplek imun, 189
Helicobacter pylori, 321, 342 Hipersensitif tipe I, 188
helper T cells, 176 Hipersensitif tipe II, 188
Helper T cells)., 174 Hipersensitif tipe III, 189
hemadsorption, 425 Hipersensitif tipe IV, 190
Hemaglutinasi Inhibisi, 159 Hipogamaglobulinemia variabel,
Hemaglutinasi pasif, 157 197
hemaglutinasi., 156 hippocampus, 445
hemaglutinin, 424, 425, 431, 432 Histoplasma capsulatum, 35, 550,
heme, 308 551, 587, 588
Hemolisis alfa, 228, 235 Histoplasmosis, 588, 642
Hemolisis-beta., 228 histotoksik, 294, 296
Hemolisis-gama, 228 HIV, 506, 507
hemolitik-alfa, 221, 223, 229, 230, HIV., 184, 210, 215, 340, 358, 650
233, 243 HLA, 187
hemolitik-beta, 78, 221, 227, 229, honey-colored crust, 212
288 horizontal transmission, 10
hemolitik-gama, 221 hospes, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 15,
Hemoptisis, 568 18, 48, 52, 55, 56, 57, 59, 63, 64,
Hepacivirus, 503 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 75, 80,
Hepadnaviridae, 28, 410, 413, 449 91, 92, 94, 95, 96, 98, 105, 123,
670

125, 131, 132, 136, 137, 168, IgM, 142, 144, 145, 148, 151, 156,
173, 174, 188, 192, 204, 206, 165, 171, 172, 189, 191
241, 260, 267, 305, 307, 308, IgM meningkat, 148
377, 382, 383, 407, 409, 410, IgM menurun, 149
531, 559, 649, 651, 652 Ikatan Disulfida, 138
HPV, 31, 32, 513 ikatan S-S, 144
HSIL, 516 IL-10, 179, 180
HTLV, 194, 406, 506 IL-12., 180
HTLV 1, 507 IL-2., 180, 190
HUM bug, 347 IL-4., 181
Humam Herpes Virus, 462 IL-6, 116
Human Diploid Cell Rabies immune complex diseases, 69
Vaccine, 446 immunoassay., 18
Human Herpes Virus, 462 immunocompromised, 36, 185,
HUMAN PAPILLOMA VIRUS, 513 206, 210, 329, 338, 368, 644
Human papillomavirus, 31, 419 immunoprophylaxis, 260
huruf Cina, 277 IMMUNOREGULATION, 102, 182
HVR, 140 Imobilisasi antibodi., 163
HYALINE HYPHOMYCETES, 551 Impetigo, 25, 209, 213
Hyalohyphomycosis, 621 Impetigo., 25
hyaluronidase, 207 Implikasi klinik imunoglobulin, 147
Hyaluronidase, 56 Imunfluoresensi langsung, 164
hydrocarbon-using microorganism, Imunglobulin (Ig), 137
347 Imunisasi, 183, 184, 186, 242
hydrops fetalis, 430 Imunisasi aktif hepatitis viral, 501
hydrops foetalis, 461 Imunisasi aktif, 184
hypersensitivity, 188 Imunisasi pasif, 183
hypervariable region, 140 Imunisasi primer, 185
hyphomycetes, 531, 578 Imunisasi profilaktik, 186
Hyphomycetes, 527, 529, 530, 551, imunisasi terapeutik, 186
552, 570 Imunitas terhadap tumor, 194
ICAM-1, 114 imunitas tumor, 102
ichen, 530 IMUNODEFISIENSI, 102, 195
Icosahedron, 409 Imunodefisiensi kelainan limfosit B,
Identifikasi Hyphomycetes., 551 197
Identifikasi pneumococcus, 236 Imunodefisiensi kelainan sel T, 196
Identifikasi Zygomycetes., 586 Imunodefisiensi primer, 195, 198
Idiotip, 151, 152 Imunodefisiensi sekunder, 195, 199
IFN-gamma,, 120 Imunodefisinsi keturunan limfoid,
IFN-γ., 180 196
IgA menurun, 149 Imunodifusi Radial (Mancini)., 160
IgA meningkat, 149 Imunoelektroforesis., 160
IgA,, 142 Imunofluoresensi, 164
IgD, 142, 146, 147, 149, 150 Imunofluoresensi tak langsung, 164
IgD meningkat, 149 Imunogen, 131, 132
IgE meningkat, 150 IMUNOGLOBULIN, 101, 137
IgE menurun, 150 imunoglobulin 11S., 146
IgG meningkat, 147 Imunoglobulin A, 146, 149
IgG menurun, 148 Imunoglobulin D, 146, 149
IgG,, 142, 171, 191 Imunoglobulin E, 147, 150
671

imunoglobulin human tetanus, 299 Interferon tipe I., 180


Imunoglobulin M, 144, 148 Interferon., 110
Imunologi, 102 Interleukin, 110, 179, 180, 181
IMUNOLOGI TUMOR, 102, 192 Interleukin-1, 110
imunosupresi, 130, 196, 210, 269, Intra-chain disulfide bonds, 139
470, 590, 644, 650 intragastrik., 133
inapparent, 5 intraseluler fakultatif,, 24
inclusion bodies, 24, 68 intraseluler obligat, 24
incomplete antibodies, 157 Invasi rambut., 562
Incubational, 93 iodide, 621, 645
indigenous microbiota, 75 Ion hidrogen, 54
Indirect ELISA, 162 iron chelating protein, 114
infective dose, 98 iron-chelating, 308
Infectivity,, 98 Isolasi Campylobacter dari tinja,
Infeksi, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 13, 14, 339
21, 24, 25, 26, 29, 32, 34, 36, 68, Isotip, 150
91, 96, 147, 149, 196, 206, 207, ISPA, 464, 473
240, 333, 582, 640, 649, 650, itrakonazol, 621
651, 654 Jalur aktifasi komplemen, 124
Infeksi HIV pada bayi, 510 Jalur Alternatif, 127
Infeksi Laten., 469 Jalur Klasik, 124, 126, 130
infeksi bakterial, 12, 13, 22, 24, 26, Jalur Lektin., 126
131 Jalur Litik, 127
INFEKSI JAMUR, 554 jalur membrane attack, 124
INFEKSI JAMUR KULIT, 554 Jalur penularan, 98
INFEKSI JAMUR SISTEMIK, 587 JAMUR, 38, 72
infeksi nosokomial, 80, 209, 214, Jamur Dimorfik Patogen, 550
302, 309, 310 jamur entomophthoraceus, 584
infeksi primer, 5, 6, 32, 103, 241, Japanese B encephalitis virus, 438
295, 321, 469, 643 jaundice, 448
infeksi sekunder, 5, 6, 29, 80, 233, jenis kultur, 17
305, 322 jenis pewarnaan jamur, 532
Infeksi Vibrio non-kolera, 314 Joseph Lister, 2
infeksi viral,, 12 juvenile rheumatoid arthritis,, 377
INFEKSI VIRUS, 417 kaku kuduk, 390
infertilitas, 261, 459 Kandidiasis, 603
inflamasi, 109, 111, 128, 418 Kandidiasis kulit, 563
Influenza, 481 Kandidiasis vulvovaginal, 564
inhibisi metabolisme seluler, 425 kanker hati, 419, 447, 452
inhibitory cytokine, 179 Kapsul, 45, 51, 237, 290, 307
innate, 5, 103, 104, 105, 106, 108, Kapsul polisakarida, 238, 247
109, 111, 120, 136, 175, 176, KAR, 121
179, 180 Karakter jamur, 522
innate immune system, 103, 180 karakter sistem imun spesifik, 167
interaksi non-covalent., 138 Karakter Trichophyton, 542
Interaksi organisme, 88 Karakteristik respon primer dan
Inter-chain disulfide bonds, 138 sekunder, 171
Interferensi, 425 Karbon dioksida, 53
Interferon alfa, 502 karbunkel., 207, 212
Interferon gamma, 180 karier, 75, 92, 96, 134, 230, 503
672

Karier inkubatif, 93 kompetisi., 88


Karier konvalesen, 93 Komplemen, 111, 123, 124, 128,
Karier kronik, 93 191
Karsinoma hepatoseluler., 504 Komplikasi erythema infectiosum,
karyogamy, 528 461
katalase, 56, 118, 202, 203, 234, Komplikasi HSV, 470
242, 255, 270, 285, 304, 335 komplikasi HTLV 1,, 507
katalase negatif, 220, 227, 242 Komplikasi infeksi VHB, 500
Kedokteran forensik, 153 Komplikasi infeksi VHC kronis, 504
kelas immunoglobulin, 142 Komplikasi kampilobakteriosis, 340
kelenjar limfe aurikuler posterior, Komplikasi Pertusis, 362
454 Komplikasi.Varicella, 471
keloid,, 576 Komponen Imunogen, 133
kelompok Enterovirus, 463 Konjugasi, 59
kematian intrauterin, 456 kontak langsung, 10
Kemokin, 179, 180 Kontak tidak langsung, 9, 10, 211
Keracunan makanan S.aureus, 216 Kriptokokosis, 605
keradangan, 5, 107, 109, 111, 112, krisis aplastik, 462
115, 116, 123, 127, 129, 130, Kriteria diagnostik lepra, 276
133, 186, 240, 261, 334, 355, kromoblastomikosis, 572
382 Kromoblastomikosis, 569
killed vaccine, 185 Kromosom, 43, 50, 51
killer activating receptor), 121 kucing, 388
killer cell, 121 Kultur Epidermophyton, 546
killer inhibiting receptor, 121 Kultur mikroba, 16
Kinetik respon antibodi terhadap Kultur primer, 424
antigen T-dependen, 169 Kultur sekunder, 425
kinin, 125, 128, 306 Lactobacilli,, 82
Kinin., 128 lactoferrin, 114, 249, 308
KIR, 121 lag phase,, 60
kista feomikotik, 630 LAK, 110, 112, 120, 121, 122
Klasifikasi Infeksi, 5 Laktoferrin dan transferrin, 109
KLASIFIKASI JAMUR, 529 lampu ultaviolet Wood, 554
KLASIFIKASI MAKHLUK HIDUP, lampu Wood, 540
1, 4 Lancefield grup B, 223
Klasifikasi treponema patogenik, Lancefield grup A, 221, 223
381 Lancefield serotyping, 221
Klasifikasi virus, 66 large granular lymphocytes, 120
Kloramfenikol, 374 Latent Tuberculosis Infection, 268
koagulase, 56, 204, 205 LEGIONELLA, 391
ko-infeksi, 505 Legionella pneumophila, 392
Kolera, 315 lentivirus, 506
kolitis pseudomembran, 83, 95, Lepra, 273
294 Leptospira, 388, 389
Koloni Streptococci, 227 LEPTOSPIRA, 388
Kolonisasi, 91 Leptospira interrogans, 388
koma, 41, 61, 62, 249, 255, 286, leptospirosis, 389, 390
312, 315, 319, 322, 331, 335, Leptospirosis, 389
369, 438, 445 lesi pre-maligna, 516
Komensal., 92 leukosidin, 205
673

LGL, 120 Manifestasi Klinis Aspergilosis, 616


libido, 445 Mannitol Salt Agar, 203, 204
lice, 100, 376 mannose-binding lectin, 126
ligan radioaktif, 160 Mantoux, 190, 269
light chain, 138, 139, 144, 150 Martin –Lewis agar, 262
limb hypoplasia, 472 Masa inkubasi, 417
Limfokin, 179, 190 MBL, 126, 130
Limfoma, 32, 467, 507 measles mumps rubella, 455
limfoma Burkit, 419 Media Kultur jamur, 533
linear determinant, 135 medium agar Middlebrook, 266
lingkungan biotik, 88 medium agar Thayer-Martin, 246
Lipooligosaccharide, 249 medium agar Tinsdale, 279
lipopolysaccharide, 179 medium Castaneda., 373
lipoteichoic acid, 238 medium Columbia agar, 204
Lisosim, 108 medium Lowestein-Jensen, 266
Lisozim, 110, 111 medium MNYC, 250
Loboa loboi., 576 medium transport, 263, 322
Lobomikosis, 576 Medium uji motilitas., 48
Lobomycosis, 576 medusa head, 286
logarithmic phase, 60 meiospora, 521
Lokasi isotip, 150 membrane attack complex)., 127
Louis Pasteur, 2 Membrane Attack Pathway., 127
low grade squamous intra-epithelial memisahkan komplek imun, 163
lesion, 516 memori imunologik, 105, 106
LPS, 51, 179, 305, 331 Meningitis, 25, 209, 254, 354, 359,
LSIL, 516 649
LTBI, 268, 269 MENINGITIS, 357
Lyme disease, 376, 377 Meningitis bakterial, 357
Lymphocutaneous sporotrichosis., Meningitis jamur, 358
567 Meningitis parasitik, 359
lymphoid progenitor cell, 175 Meningitis viral, 358
lymphokine, 103, 112, 120 Meningitis bakterial., 25
lymphonodular meningococcaemia, 248
paracoccidioidomycosis, 595 meningococcus, 246, 248, 249,
lysogeny, 71 253
Lyssavirus, 436 mental retardation, 454
lytic fag., 71 MERS, 435
lytic pathway, 127 mesofilik, 531
M.avium complex, 265 Mesophile, 54
M.tuberculosis complex, 264, 270 Mesosomes, 44
MAC, 127, 128, 265 Metapneumovirus, 477
macrophag, 102 methicillin-resistant S.aureus, 210
magnetic resonance imaging, 257 Metula, 524
magnetotaxis, 47 MHA-Tp, 383
major histocompatibility complex, MHC, 135, 177, 179
135 Micro-aerophile, 52
Makrofag, 112, 114, 177 microbial corrosion, 347
makula, 274, 275, 555 Microsporum, 535
Malassezia furfur,, 554 Microsporum canis, 537
Manfaat idiotip, 152 Microsporum gypseum, 538
674

Microsporum nanum, 540 mycetismus:, 531


Middle East Repiratory Syndrome, mycetoma, 403
435 Mycetoma, 573
MIKOLOGI KEDOKTERAN, 517 Mycobacteria nontuberkulosa, 265
Mikosis kutan, 34, 559 Mycobacterium, 22, 23, 24, 174,
Mikosis sistemik, 35, 587 185, 264, 267
MIKOSIS SISTEMIK Mycobacterium tuberculosis, 265
OPORTUNISTIK, 601 Mycobacterium leprae, 264, 273
Mikosis subkutan, 34, 565 Mycobacterium tuberculosis, 264,
Mikosis superfisial, 554 266
Mikosis superfisial., 33 Mycoplasma, 62, 409
mikotoksikosis, 531 mycotoxin, 74
Mikrobiologi kedokteran, 2 myeloid progenitor cell, 175
mikrosefali,, 454 myeloperoxidase, 113, 117, 118
Miositis epidemic, 465 N-acetylglucosamine, 41
misetoma, 572 N-acetylmuramic acid, 41, 238
Misetoma, 573 naked virus, 67
mitospora, 521 natural acquired immunity),, 123
modified New York City medium, natural killer, 112, 120, 175, 194
250 Natural Killer, 104
mold, 57, 72, 74, 519, 527 necrotizing fasciitis, 223, 315
Monokin, 178 negative-sense,, 414
monolayer’s cell, 424 Negri bodies, 445
monomer, 143, 144, 145, 146, 147 Negri body, 68
Monoresistant, 273 NEISSERIA, 201, 246
MORBILI, 455 Neisseria gonorrhoeae, 49, 53, 54,
Morbillivirus, 455 246, 247, 260
morbillivirus., 455 Neisseria meningitidis, 79, 85, 246,
Morfologi jamur patogen, 523 248, 249, 254, 256, 358
Morfologi Microsporum, 536 Netralisasi., 173
Morfologi pneumococcus, 237 netropenia, 602
mRNA, 407, 413, 422 neuraminidase, 240, 431, 481
MRSA, 210, 211, 215, 218 Neutrofil, 111, 176
MSA, 203 neutrophil, 102, 111, 112, 113, 115,
mucicarmine., 608 116, 117, 118, 119, 120, 122,
mucocutaneous 124, 125, 126, 130, 131
paracoccidioidomycosis, 595 N-formyl-methionine, 114
Mucor, 613 Niacin test, 270
Mucormycosis, 581, 611 Nitrate reduction test., 270
Mucosal warts, 514 nitric oxide, 241
Mukormikosis, 581 Nitric oxide dependent killing, 119
multidrug resistance, 242 nitrik oksid, 119
Multidrug resistant, 273 NK, 106, 110, 112, 120, 121, 122,
multidrug treatment, 277 175, 180, 194, 198, 199
multispecificity, 155 NO., 119
MUMPS, 457 NO3, 347
mutan, 58, 63, 87 Nocardia, 185, 398, 400, 402
mutasi, 58, 87, 88, 185, 192, 420 Nokardiosis, 401
Mutasi., 58 non-aggglutinating antibodies, 158
mycelium, 72, 520, 523, 527 non-agglutinating antibodies, 157
675

Norovirus, 488 paralysis flaksid, 445


Nucleocapsid., 409 PARAMYXOVIRIDAE, 432
Nucleoside reverse transcriptase Paranasal sinus
inhibitor., 502 phaeohyphomycosis, 579
Nukleoid, 49 Parasit, 91
nukleokapsid, 28, 67, 68, 410 parasitisme, 88
Obat anti retro-viral,, 512 Parotitis Epidemic, 457
Occult infection, 6 partikel Dane, 449, 499
oksidase positif., 251 PARVOVIRIDAE, 430
Oksigen., 52 Parvovirus B-19, 460, 461
old tuberculin, 190 PAS, 533
Oligosakarida, 139 PAS Digest stain., 533
onco-fetal antigens., 193 passive immunity, 299
onychomycosis, 635 patch test, 190
oophoritis, 459 pathogen associated molecular
ophthalmic neonatorum, 261 pattern, 116
opisthotonos., 298 pathogen associated molecular
oportunistik, 14, 21, 33, 36, 75, 76, patterns, 136, 175
95, 196, 305, 308, 338, 346, 510, pathognomic signs, 12
554, 628 patogen nosokomial, 77
opportunistic systemic mycoses, patogen oportunistik, 23, 35, 80
587 Patogenesis dermatofitosis, 536
opsonin, 108, 128, 144, 231 Patogenesis erythema infectiosum,
Opsonin, 125, 129 461
Opsonisasi., 173 Patogenesis mumps, 458
oral rehydration solution, 325 Patogenesis polio., 494
orchitis,, 260, 459 Patogenesis Pseudomonas, 349
Organisme carboxyphilic, 53 Patogenik., 92
organisme chromotroph, 53 Patogenitas, 92, 98
Organisme RG-3, 550 Pattern Recognition Receptor, 116
ORTHOMYXOVIRIDAE, 431 pattern recognition receptors), 175
osteomielitis, 213, 233, 595 pattern recoqnition receptor, 136
Osteomielitis, 209, 568 PCR, 18, 19, 257, 322, 395
oxygen dependent intracellular PCR kuantitatif, 19
killing, 117 pelvic inflamatory disease, 261
oxygen-independent intracellular Pemeriksaan antigen Sel, 164
killing, 117, 119 pemeriksaan laboratorium
PABA, 545 sporotrikosis, 568
PAMP, 116 Pemeriksaan mikroskopi, 17
PAMPs, 175 Pemeriksaan serologi, 18, 345, 395
PAMPS, 136 PENATALAKSANAAN
Pandemi, 90, 316 DERMATOFITOSIS, 638
Panel metabolik kolera., 324 PENATALAKSANAAN MIKOSIS,
Panton-Valentine-leukocidin, 207 638
Pap smear”, 516 PENATALAKSANAAN MIKOSIS
papiledema, 606, 607 SUPERFISIAL, 640
PAPOVAVIRIDAE, 427 Penatalaksanaan sporotrikosis,
Paracoccidioides brasiliensis, 594 648
Paracoccidioidomycosis, 594 Pencegahan hepatitis, 452
paralisis flaksid, 300 Pencegahan HIV., 512
676

PENCEGAHAN INFEKSI, 1, 21 perforating hair test, 538


Pencegahan stafilokokosis, 218 Periodic acid-Schiff, 533
pengaturan respon imun, 152, 182 Peritonitis bakterial spontan, 307
Pengobatan Hepatitis, 452 peritrich, 41, 46, 62, 298, 300, 302,
Pengobatan hepatitis B kronis., 502 313
Pengobatan infeksi H.pylori, 345 perjalanan imunogen, 168
Pengobatan koksidioidomikosis, Perjalanan infeksi HIV, 509
594 persistent generalised
Pengobatan leptospirosis, 390 lymphadenopathy, 508
Pengobatan mukormikosis, 615 Pertahanan humoral, 109
PENGOBATAN PENYAKIT, 1, 20 Pertahanan seluler, 111
Pengobatan penyakit Legionaire, Pertahanan terhadap patogen
395 ekstraseluler, 173
Pengobatan Sifilis, 384 Pertahanan terhadap patogen
Pengobatan stafilokokosis, 215 intraseluler, 174
Pengobatan zygomikosis, 586 Pertusis, 361
Pengobatan. Sporotrikosis, 569 Perubahan genetik, 88
Penicilium, 72 petani, 389
Penicilliosis marneffei, 624 petugas kebersihan,, 389
Penicillium, 621 pewarnaan Albert, 278
Penicillium marneffei, 622 pewarnaan Fite., 264
pentamer, 144, 145 pewarnaan Kinyoun, 264
pentose monophosphate shunt, pewarnaan Ziehl Neelsen, 264
117 Phaeohyphomycosis, 578, 630
Penularan hepatitis B, 500 phage therapy, 26, 351
Penularan HIV., 508 phagosome, 117
Penularan HVA., 497 phase of decline, 60
PENULARAN PATOGEN, 86, 98 Phialide, 572
Penularan Penyakit, 9 Photochemotherapy, 36
penularan rubella pada janin, 454 photopheresis, 37
Penularan tularemia, 367 phototaxis, 47
Penularan virus hepatitis, 447 Phototroph, 52
Penurunan daya tahan, 96 PICORNAVIRIDAE, 433
PENYAKIT BAKTERIAL, 1, 22 Piedra hitam, 558
penyakit Hansen, 265, 273 Piedra hortae, 558
PENYAKIT JAMUR, 1, 33 Piedra putih, 557
Penyakit Jamur jaringan, 565 Pigmen, 57
Penyakit legionaire, 393 pili tipe IV, 248
PENYAKIT MIKOTIK, 531 Pili., 48, 239
penyakit Reiter, 207 pilus F, 48
Penyakit Ritter, 212, 215 pilus sex, 48
PENYAKIT VIRAL PADA ANAK, PINTA, 386
453 Pityriasis versicolor, 554
PENYAKIT VIRAL PERNAPASAN, Pityriasis folliculitis, 641
473 Pityriasis versicolor, 640
penyakit zoonosis, 97, 334, 376, plaque, 57, 71, 424
388 plasma membrane, 43
Peplomers., 409 plasmid, 43, 44, 48, 59
peptidoglycan, 41, 42, 43, 238 Plasmid, 44, 51
perdarahan, 390 plasmogamy, 528
677

pleomorphic, 61 PRRs-, 175


PMN, 111, 113, 114, 118, 123, pseudallescheriasis., 637
144, 146, 175, 181, 199, 247, pseudohyphae, 72
249, 319, 400 pseudomembran, 281
PNCC broth, 333 Pseudomonas aeruginosa, 346
pnerumolisin, 240 Psychrophile., 54
Pneumococcus, 41, 223, 231, Pulmonary sporotrichosis, 567
233, 239 Pycnidium, 553
Pneumococcus,, 223 pyocyanin, 347, 349, 350, 351
Pneumocystis jirovecii, 628 Pyocyanin, 57, 349
Pneumocystis pneumonia, 628 pyorubin, 347
Pneumonia bakterial, 25 pyoverdine, 347
pneumothorax, 629 Pyrazinamidase test., 270
POLA PENULARAN PENYAKIT, 1, quellung reaction, 237
13 RABIES, 443
polar flagella, 46, 313 Radioimmunoassay, 160
polimerik., 134 rantai berat, 138, 139, 140, 141,
polimorfonuklir, 111, 113, 256, 319, 142, 143, 144, 150, 151, 152,
394 153, 154
. Poliovirus, 493 Rantai infeksi, 7
Polisakarida kapsul, 232 rantai J., 144
polished rice grains, 535 rantai ringan, 138, 139, 140, 142,
Polymerase chain reaction, 18 143, 144, 150, 151, 152, 153,
polymicrobi, 307 154
Polyresistant, 273 Rapid Plasma Reagin, 383
portal of entry, 6, 7 REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI,
Portal of exit, 8 101, 154
positife-sense, 414 Reaksi biokimiawi Mycobactrium.,
powdery colony, 544 269
POXVIRIDAE, 430 Reaksi fermentasi Neisseriae, 252
PPD, 190, 271 Reaksi gula pada CTA, 252
predisposisi genetik autoimun, 187 Reaksi Jarisch-Herxheimer, 385
Presipitasi amonium sulfat, 163 reaksi Wassermann, 166
Priapisme, 445 Reaktifasi virus, 469
prion, 9, 412 recombinant DNA, 3
Prion, 412 region C, 139
probiotik, 21, 82, 288, 290, 352 Region Hipervariabel, 140
produk akhir, 53, 57, 303, 304 Region V, 139
Produk biologik dan antigenik regulatory T cell, 183
B.pertussis., 361 rekayasa genetika, 4, 44, 374
proenzim, 123 Reovirus, 434
profag., 71 replikasi virus, 66, 67, 110, 180
progenitor, 175, 181, 196, 198 Replikasi virus, 419
prokariotik, 39, 43, 410 Reproduksi bakteri, 50, 58
protease-serine, 126 Reproduksi Genetik, 58
Protein S, 128, 129 Reproduksi jamur, 74
Protoplas, 44 REPRODUKSI JAMUR, 528
protoplasma, 43 reseptor Fc, 115, 121, 144, 145,
proverdin, 349 147, 182
PRR, 116, 136 Reseptor Fc., 115
678

Reseptor komplemen, 116 RNA dependent DNA polymerase,


Resisten primer, 272 506
Resisten sekunder, 272 RNA messenger, 420
Resistensi, 95, 272 ROSEOLA INFANTUM, 462
Resistensi antibiotika, 304 Rotavirus, 29, 30, 415, 434, 435,
Resistensi gonococcus, 263 486, 487
Resistensi Staphylococcus aureus, RPR, 383
210 RSV, 423, 432, 475, 476
Respirasi aerobik., 53 RUBELLA, 453
Respirasi anaerobik, 53 Rubivirus, 438, 439
respiratory burst, 115, 116, 117, rubulavirus, 457
127, 129, 198 rumah potong hewan, 390
respiratory electron acceptor, 347 Sabin, 185, 494
Respiratory Syncytial Virus, 476 Sabouraud’s agar, 74
Respon Ab terhadap antigen T- Saccharomyces cerevisiae, 548
independent, 172 sAg, 502
Respon antibodi sekunder memori, Saksenaea vasiformis, 614
170 Salk, 185, 494
respon cell-mediated, 174, 458 Sandwich ELISA, 161, 162
respon imun, 34, 102, 103, 107, sapi, 371
112, 130, 131, 132, 133, 152, saprofitik, 57, 73, 91, 523, 527
172, 179, 182, 183, 184, 186, Saprophyt, 91
187, 204, 240, 248, 418 Sarkoma Kaposi, 32, 419
respon imun spesifik, 167 SARS, 480
Respon terhadap antigen., 176 scalded skin syndrome, 136, 207,
reticulate bodies, 64 212, 215
Retrovirus, 194, 442 Scavenger receptor., 116
Reverse transcribing viruses, 416 Scedosporium, 633
reverse transcriptase, 506 Scedosporium apiospermum, 636
reverse transcriptase (RNA-DNA), Scedosporium prolificans, 635
442 Scedosporium prolificans., 634
reverse transcription, 426 SCID, 196
RHABDOVIRIDAE, 435 sclerotia, 521
Rhabdovirus, 435 sclerotic body, 578, 630
rhino-facial-cranial, 582 sebaceous glands, 555
rhinovirus, 414, 415, 433 Seborrhoic dermatitis, 641
Rhinovirus, 479 secretory piece, 146
rhizomorph, 521 Sejarah, 2
Rhizomucor pusillus, 614 Sel K, 121
Rhizopus oryzae, 614 Sel mast, 188
RIA, 160, 161 Sel polimorfonuklir, 111
Ribosom, 44, 51, 409 Sel punca, 106
ribosom,, 43 Sel sistem imun, 105
rice water, 318 self limiting hepatitis, 498
Rickettsia, 24, 63, 409 Sel-sel sistem imun, 174, 175, 176
rifampisin, 374 Selulitis., 25
risus sardonicus, 298 Sepsis abdominal, 307
RNA, 11, 28, 29, 30, 43, 44, 51, 63, Sepsis Gram-negatif, 306
66, 194, 407, 408, 409, 410, 412, sequence determinant, 135
413, 415, 433
679

serangga, 10, 26, 98, 99, 100, 289, single-stranded, 416


368, 427 single-stranded DNA, 413
serosanguineus, 573 singlet oksigen, 118
serum sickness, 184, 189 sintesis polimerase virus, 422
severe biohazard, 550 sintropisme, 88
severe combined sirosis hati, 447, 450, 452
immunodeficiency, 196 Sistem Imun, 103, 104, 136
Shift (perubahan antigenik major)., sistem imun non spesifik, 104, 105,
482 108, 111, 120, 136, 176
shingles, 429, 471, 472 sistem imun non-spesifik, 103, 175,
siderophore, 308 198
Sifat fenotipk Staphylococcus sistem imun spesifik, 104, 136,
aureus, 205 175, 176
sifat IgA, 146 sistem imun yang spesifik, 103,
sifat IgD, 146 122
sifat IgE, 147 Sistem koagulasi, 109
sifat IgG, 143 Sistem komplemen, 109, 129
sifat IgM, 145 Sitokin, 178, 180, 182, 183, 194
sifat koloni spesies Streptococcus, sitokin keradangan, 179
229 Sitokin sebagai stimulator
sifat memori, 167 hematopoesis, 181
Sifat virus, 407 Sitoplasma, 43
Sifat-sifat actinomycetes, 398 skin scarring, 472
SIFILIS, 382 slide culture, 581, 626
SIFILIS ENDEMIK, 387 slide kultur Riddel, 532
sifilis kongenital, 380, 384 slow generation time, 266
Sifilis kongenital, 384 smallpox, 184, 414
signal molecules, 103 Solid phase RIA, 164
simbion, 92 Southgate's Mucicarmine stain, 533
simbiosis, 88 Spesifitas, 154
Simbiosis., 92 Spirilum, 61
simple binary fission, 58 Spirochaeta, 61, 388
Sindrom AIDS, 510 spora seksual, 528
Sindrom Chediak-Higashi, 199 Spora., 50, 525
sindrom common cold, 477, 480 sporangiophore, 521
sindrom common cold., 477 Sporangiophore., 525
sindrom dermatitis-arthritis Sporangiospore, 525
gonokok, 261 sporangium, 521, 524, 525, 528,
sindrom DiGeorge, 196 614
Sindrom Gillain Barre, 492 Sporangium, 525
Sindrom klinik Adenovirus, 478 Sporothrix schenckii, 534, 565,
Sindrom Klinik Enterovirus, 464 566, 567, 569, 648
Sindrom neurologik akut, 491 Sporotrikosis, 566
SINDROM NEUROLOGIK AKUT ss-RNA negative-sense., 450
VIRAL, 491 Staphylococcus aureus, 25, 75, 76,
Sindrom varicella kongenital, 472 85, 91, 94, 201, 202, 203, 204,
Sindrom Waterhouse-Friderichsen, 206, 208, 210, 211, 213, 214,
255 215, 216, 217, 218, 319
single stranded, 133, 407, 412, staphyloxanthin, 202
413, 414, 415, 416, 455 stationary phase, 60
680

steering wheels”)., 596 syok hipovolemik, 317


stem cell, 106, 175, 196, 582 T piece, 146
Sterigma, 524 T.carateum, 386
Strain bovine, 271 T.mentagrophytes
strain gravis, 280, 281 var.mentagrophytes, 543
strain intermedius, 280, 281 T.rubrum tipe granuler., 542
Strain mitis, 280 Tahapan jalur alternatif, 127
strep throat, 222, 224 Tahapan sebelum replikasi, 421
Streptococcus, 15, 22, 23, 25, 27, TATA, 193
41, 45, 49, 53, 76, 77, 78, 85, 99, TATA LAKSANA INFEKSI JAMUR
220, 221, 222, 223, 224, 225, SISTEMIK, 642
226, 227, 229, 231, 232, 233, TATA LAKSANA MIKOSIS
234, 235, 237, 238, 240, 241, SISTEMIK DIMORFIK, 643
242, 243, 244 Tatalaksana blastomikosis, 647
Streptococcus Grup C, 227 Tatalaksana coccidioidomycosis,
Streptococcus Grup D, 227 643
Streptococcus patogen, 222 Tatalaksana kolera, 324
Streptococcus pneumoniae, 78, Tatalaksana kromoblastomikosis,
223 648
Streptococcus pyogenes, 220, 224 Tatalaksana lobomikosis, 642
Streptococcus viridans, 223 Tatalaksana medis
streptokinase, 56 kampilobakteriosis, 339
streptokoki hemolitik-alfa,, 223 TATALAKSANA MIKOSIS
streptokoki hemolitik-beta, 223 OPORTUNISTIK, 644
Streptokoki patogen, 220 Tatalaksana misetoma, 646
Streptomikosis, 403 Tatalaksana mukormikosis, 645
Streptomisin, 374 Tatalaksana
Streptomyces, 404 paracoccidioidomycosis, 647
stroke, 209 Tatalaksana phaeohyphomycosis,
Struktur bakteri, 41, 42 653
struktur dasar alami virus, 411 Tatalaksana pneumocystosis, 644
Struktur Dasar Imunoglobulin, 138 Tatalaksana rabies, 446
Struktur virus., 410 Tatalaksanaan Aspergilosis, 644
subclinical, 5, 91 TCBS, 330
Subcutaneous tegument., 466
phaeohyphomycosis, 579 teichoic acid, 233, 238
Subspesies F.tularensis, 367 Teknik Farr., 163
subtropis, 388 teleomorph, 539
suckling animal, 445 temperate fag, 71
suede-like”, 571 tetanospasmin, 298, 299
sukrose-positif,, 323 Tetanus, 295, 298
Sumber energi., 52 Tetanus lokal, 295
super infection, 469 Tetanus neonatal, 295
superantigen, 136, 208 Tetanus sefalik, 295
Superantigen, 136, 208, 213 Tetrasiklin, 374
“superbug”,, 210,263 TGF-β., 181
superinfeksi, 95, 505 Th1, 174, 176, 179, 180, 183
Surface antibody, 503 Thermophile, 54
surface marker)., 120 thiabendazole., 572
syok endotoksik, 303
681

thiosulfate-citrate-bile salts- Trichophyton tonsurans, 544


sucrose, 330 Trichophyton verrucosum, 545
thiosulfate-citrate-bile-sucrose- Trichophyton violaceum, 544
agar, 324 triple sugar iron agar, 323
ticks, 100, 365, 367, 376, 379 triple therapy, 345
Timur Tengah, 371 Triple vaccine, 283
Tinea capitis, 562 trismus, 298
Tinea corporis, 562 Tromboflebitis, 214
Tinea cruris, 561 tropis, 388
Tinea nigra, 555 TSTA, 192
Tinea pedis, 561 Tuberkulosis, 267, 272
Tinea versicolor, 554 Tuberkulosis progresif, 269
tipe antigen tumor, 192 tuli., 454
Tipe imunglobulin, 143 Tumor necrosis factor alpha, 179
tipe kultur sel,, 424 Tumor-associated developmental
Tipe tularemia, 368 antigens, 193
tipe virus hepatitis, 447 tumoricidal, 194
TNF-alpha, 111, 116, 119 Uji  Presipitin, 159
TNF-α., 179 Uji aglutinasi kualitatif., 156
TOGAVIRIDAE, 438 Uji aglutinasi kuantitatif, 156
Togavirus, 438 uji antiglobuln, 159
toksemia, 317 Uji biokimia, 17
toksin phospholipase C, 297 Uji Coomb langsung, 157, 158
Toll-like receptor., 116 Uji Coomb tidak langsung, 158
toxic shock syndrome, 136, 208, uji exoantigen., 600
219 Uji fermentasi karbohidrat, 18
Toxic shock syndrome, 209, 213 Uji Fiksasi Komplemen., 165
Tranformasi morfologi, 426 uji hemolisis, 280
Transduksi., 59 Uji karbohidrat, 252
transfer antibodi maternal, 138 uji kelarutan empedu, 236
transferrin, 249, 308 Uji kepekaan antibiotika, 20
Transformasi, 59, 69 Uji paternitas, 153
transforming growth factor beta, uji perforasi rambut in vitro, 536
181 Uji serologi Sifilis., 383
Transient uji urease, 374
hypogammaglobulinemia, 197 uji virulensi pneumococci, 239
Transmissibility, 98 ultraviolet Wood, 562
transplacental, 417 Uncoating,, 422
transport vesicle), 422 un-enveloped, 463
traveler’s diarrhea, 337 Ungrouped mycobacterium, 265
T-reg, 182, 183 UPEC, 306
Treponema, 98, 166, 380, 381, Uptake, 421
382, 383, 386 Urease test., 270
Treponema pallidum, 380 Uveitis, 507
Trichophyton, 541 V.parahaemolyticus, 313, 314, 327,
Trichophyton beigelii, 558 328, 329, 330, 331
Trichophyton mentagrophytes, 543 V.vulnificus, 314, 327, 328, 331,
Trichophyton mentagrophytes 332, 333
var.interdigitale, 543 V.vulnificus., 314
Trichophyton rubrum, 542 Vaginosis bakterial, 24
682

Vaksin hidup, 184, 494 Virus Hepatitis E, 451


vaksin MMR, 455 Virus hepatitis A, 448
Vaksin oral Kolera, 326 Virus hepatitis C, 503
vaksin Shanchol, 326 Virus hepatitis ditularkan enterik,
vaksinasi campak, 457 496
Vaksinasi neumococcus, 242 Virus hepatitis ditularkan
Vaksinasi pertusis, 364 parenteral, 499
Vaksinasi polio., 494 Virus Influenza., 481
Valensi antibodi, 137 virus Lassa fever, 442
vancomycin-resistant S.aureus, virus Marburg, 414, 435, 436
210 Virus Marburg, 437
varian koloni Pneumococci, 234 Virus mumps, 495
variasi anitigenik, 248 virus negative-strand,, 420
Varicella, 471 Virus parainfluenza, 475
Varicella perinatal., 472 Virus penyebab tumor, 193
Varicella Zoster virus, 471 Virus rubella, 453
Varicella-zoster virus, 32, 467, 472 virus”lambat”, 443
Vasodilator, 114 vitronectin, 128, 129
VDRL, 383, 384 VL, 139, 140, 142
vektor patogen, 100 VRSA, 210
verrucose, 539 VZV, 467, 471
vertical transmission, 11, 417 warts, 31, 414, 427, 513
verukoid, 576 wavelike, 376
Vesikel, 525 Western blot, 507
VH, 139, 140, 142 whole-cell killed vaccine, 326
VHA, 448, 449, 452, 496, 503 whooping cough, 361
VHB, 449, 450, 452, 453, 503 window”period, 511
VHC, 450, 452, 453, 503 X-linked Hyper-IgM
VHD, 450, 453 immunodeficiency, 197
VHE, 451, 453 X-linked infantile
Vibrio, 10, 41, 47, 55, 61, 312, hypogammaglobulinemia, 197
313, 316, 319, 320, 328, 329 yeast, 72, 73, 74, 523, 526, 527,
Vibrio vulnificus, 327, 331 550
Vibrio cholerae, 313, 314 yeast -like cells, 599
virion, 66, 67, 68, 409, 410, 422, zat besi, 103, 110, 221, 249, 281,
430, 432 308, 349
Virion., 408 Zigomikosis gastrointestinal, 583
Viroid, 412 Zigomikosis kutan, 583
VIROLOGI KEDOKTERAN, 406 Zigomikosis paru, 582
Virulensi.meningococcus, 249 Zigomikosis rinoserebral, 582
virulent fag, 71 Zigomikosis saraf pusat., 584
VIRUS, 38, 65, 408 zigospora, 522
virus Chikungunya, 438 zona hemolisis, 204, 228, 230, 233,
Virus dan Kanker, 418 234
virus Ebola, 414, 435, 436 zoonosis, 97, 375, 436
virus Epstein Bar, 419 zoonotik, 314, 428
Virus Hepatitis, 30, 31, 450 Zoster, 472
Virus Hepatitis B, 449 Zygomycetes, 530, 553
Virus Hepatitis C, 450 Zygomycosis, 581
Virus Hepatitis D, 450
683

Anda mungkin juga menyukai