Appendicitis Akut Laporan Kasus Internsip
Appendicitis Akut Laporan Kasus Internsip
APPENDICITIS AKUT
Disusun oleh :
dr. DESLIA CHAERANI
Pembimbing :
dr. Febiansyah Kartadinata Rachim, Sp.B
Pendamping :
dr. Normasari
dr. Elvi Agustina
1
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. 1
Daftar Isi........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................3
BAB V KESIMPULAN.......................................................................35
Daftar Pustaka....................................................................................36
3
BAB I
PENDAHULUAN
Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah
sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah
kesehatan. Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya.
Appendicitis merupakan peradangan dari appendiks vermiformis, yang lebih
dikenal dengan sebutan infeksi usus buntu dan ini merupakan penyakit yang
sering dijumpai. Meskipun sebagian besar pasien dengan appendicitis akut dapat
dengan mudah didiagnosis tetapi tanda dan gejalanya cukup bervariasi, sehingga
diagnosis secara klinis dapat menjadi sulit ditegakkan, untuk itu dokter harus
mempunyai pengetahuan yang baik untuk mengenal appendicitis. Pada
appendicitis tidak mungkin dapat ditemukan satu gejala klinis yang tidak dapat
ditentukan oleh satu tes khusus untuk mendiagnosanya secara tepat. Pada
beberapa kasus appendicitis dapat sembuh tanpa pengobatan, tapi banyak juga
yang memerlukan laparotomi. Appendicitis akut dapat menyebabkan kematian
karena peritonitis dan syok.
Appendicitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang
progresif dan menetap pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan
diagnosa dan keterlambatan penatalaksanaannya akan menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas.
Pada masyarakat dengan kebiasaan diet tinggi serat, appendicitis jarang
terjadi, dikarenakan serat akan menurunkan viskositas feses, mempersingkat
waktu transit feses dan menghambat pembentukan fekalit. Fekalit dapat
menyebabkan obstruksi pada lumen appendiks. Kejadian appendicitis dapat
berkurang karena kebiasaan diet tinggi serat dan kebiasaan menggunakan toilet
jongkok bila dibandingkan dengan toilet duduk.1
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDICITIS AKUT
2.1 ANATOMI 2,3
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di
caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen, tepatnya di
ileocaecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks
berada pada titik McBurney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS
kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Appendix vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)
yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a.apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan
lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki
limfonodi kecil.
Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari
bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks.
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan
submukosa terdapat lympho nodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding
dalam sama dan berhubungan dengan caecum (inner circular layer). Dinding
5
luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli
pada pertemuan caecum dan appendiks. Taenia anterior digunakan sebagai
pegangan untuk mencari appendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Pada saat antenatal
dan postnatal, pertumbuhan dari caecum yang berlebih akan menjadi
appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal.
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut , lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insiden appendicitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoappendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang
kolonasendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis appendicitis
ditentukan oleh letak appendiks.
6
bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan appendiks berasal dari a.
appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan
mengalami gangren.2
Secara histologis, appendiks mempunyai basis struktur yang sama
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular submukosa
oleh mukosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot
yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas
vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoapendiks. Jika appendiks terletak di retroperitoneal, maka appendiks
tidak terbungkus oleh tunika serosa.4
Histologis : 4
- Tunika Mukosa : memiliki kriptus tetapi tidak memiliki villus.
- Tunika Submukosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika Muskularis : stratum circulare sebelah dalam dan stratum
longitudinale (gabungan tiga taenia coli) sebelah
luar.
- Tunika Serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari
peritoneum viscerale.
7
2.2 FISIOLOGI 2,3
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap
saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun,
tidak ada jaringan lymphoid lagi di appendiks dan terjadi penghancuran
lumen appendiks komplit.
2.3 DEFINISI 2
Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis.
Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.
2.4 ETIOLOGI
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan Roentgen,
diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau
trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus appendicitis akut, sekitar 65%
merupakan appendicitis gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus
appendicitis gangrenous dengan ruptur.
8
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya appendisits akut.3
2.5 PATOFISIOLOGI
Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 ml dapat meningkatkan tekanan intralumen sekitar 60
cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangren atau terjadi perforasi.2
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut
fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien
karena ditentukan banyak faktor. 2,3
9
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.2
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendicitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendicitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate appendicularis. Peradangan appendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi appendicitis yang
dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.
Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.
10
lumen dan bakteri menyerang mukosa dan submukosa sehingga
terjadi inflamasi transmural, edema, vascular stasis, dan nekrosis
dari muscular. Perforasi mungkin dapat terjadi.
11
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di
perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.3
12
Appendicitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak appendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada
nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan
peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.2
Bila letak appendiks retrosekal di luar rongga perut, karena
letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah
perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot
psoas mayor yang menegang dari dorsal.3
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.3
Pada beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis
sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala
appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan
anak akan menjadi lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi,
sering appendicitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 %
appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.3
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,
tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.3
13
Pada kehamilan, keluhan utama appendicitis adalah nyeri perut,
mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut,
sekum dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.3
b. Tanda Klinis
Appendiks umumnya terletak di sekitar McBurney, namun perlu
diingat bahwa letak anatomis appendiks sebenarnya dapat pada semua
titik, 360o mengelilingi pangkal caecum. Appendisitis letak retrocaecal
dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina iliaca
posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri
rektal.2
Secara teori, peradangan akut appendiks dapat dicurigai dengan
adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (rectal toucher). Namun
pemeriksaan ini tidak spesifik untuk appendicitis jika tanda-tanda
appendicitis lain telah positif.
14
Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di
kuadran kanan bawah saat pemeriksa menekan di abdomen kuadran
kiri bawah lalu melepaskannya. Disebut juga nyeri lepas kontralateral.
Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai
kanan pasien digerakkan ke arah anteroposterior. Nyeri pada manuver
ini menunjukkan appendiks mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver.
Obturator Test
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak
kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian
pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan
articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif bila pasien merasakan nyeri di hipogastrium saat eksorotasi.
Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi apendiks,
abses lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
15
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm2, biasanya
didapatkan pada keadaan akut. Appendicitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left, diagnosis appendicitis akut
harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari
18.000/mm2 pada appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah
putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi appendiks dengan atau tanpa abses. Pada appendicitis infiltrat,
LED akan ditemukan meningkat.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP > 8 mcg/mL,
hitung leukosit > 11.000, dan persentase neutrofil > 75% memiliki
sensitivitas 86% dan spesifitas 90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
infeksi dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit
atau eritrosit dari iritasi urethra atau vesica urinaria seperti yang
diakibatkan oleh inflamasi appendiks. Namun pada appendicitis akut
dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.2,3
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis
appendicitis akut, namun bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis.
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
appendicitis. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran
kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya
16
peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks lebih dari
normalnya (diameter 6 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal,
divertikulum Meckel’s, endometriosis dan pelvic inflammatory disease
(PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.
Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada
USG, namun jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya,
CT scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk
melakukan percutaneous drainage secara tepat.
17
2.8 ALVARADO SCORE 3
Appendicitis point pain 2
Leukositosis (> 10.000/ul) 2
Vomitus 1
Anorexia 1
Rebound tenderness phenomenon 1
Abdominal migrate pain 1
Degree of celcius (> 37.5 oC) 1
Observation of hemogram (> 72%) 1+
Total point 10
Dinyatakan appendicitis akut apabila nilai > 7 poin.
Penanganan berdasarkan Alvarado Score :
1–4 Dipertimbangkan appendisitis akut, diperlukan observasi.
5–6 Possible appendicitis, tidak perlu operasi. Terapi antibiotik.
7 – 10 Appendisitis akut, perlu operasi dini.
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual dan muntah serta diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut dirasa lebih ringan dan tidak tegas. Hiperperistaltik sering
ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol.
2. Diverticulitis
Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut sebelah kiri, namun tidak
menutup kemungkinan untuk terjadi di perut sebelah kanan. Gejala klinis
sangat mirip dengan appendicitis akut.
18
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
4. Peradangan Pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat dengan appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-oovoritis atau
adneksitis. Didapatkan riwayat kontak seksual pada diagnosis penyakit ini.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian
bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan pada wanita. Pada
colok vaginal (vaginal toucher) terasa nyeri bila uterus diayunkan.
5. Kehamilan Ektopik
Riwayat menstruasi terhambat dengan keluhan tidak menentu. Jika terjadi
ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri
yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan
penonjolan di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan
darah.
6. Demam Dengue
Demam Dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini
didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia, dan
hematokrit yang meningkat.
19
8. Endometriasis Eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri ditempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan keluar.
20
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan
teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikhawatirkan akan terjadi abses appendiks dan peritonitis umum.
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada appendicitis
sederhana tanpa perforasi.
Pada periappendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa appendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada
anak kecil, wanita hamil,dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periappendikular infiltrat
maka luka operasi ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif
pada periappendikular infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring.
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah
keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
appendectomy. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
21
dan appendectomy dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau
abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya
terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendectomy. Batas dari
massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari
ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan
didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai
secara ekstraperitoneal, bila appendiks mudah diambil, lebih baik diambil
karena appendiks ini akan menjadi sumber infeksi. Bila appendiks sukar
dilepas, maka appendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan
ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang
berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain
dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari.
Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi.
Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita diperiksa colok dubur.
22
2. Pemeriksaan Fisik :
a. Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu
tubuh (diukur di rektal dan aksiler).
b. Tanda-tanda appendisitis sudah tidak terdapat.
c. Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada
tetapi lebih kecil dibanding semula.
3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal.
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak
ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periappendikular
yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.
2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.2
23
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 4
Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance muscular yang menyeluruh.
Perut distended.
Bising usus berkurang.
2.12 PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat dan tatalaksana pembedahan, dapat
menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Keterlambatan
diagnosis akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas terutama bila telah
terjadi komplikasi. Serangan berulang juga dapat terjadi bila appendiks
tidak diangkat.2
BAB III
24
LAPORAN KASUS
3.1 ANAMNESIS
Pemeriksaan dilakukan secara autoanamnesis di Instalasi Rawat Darurat
RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan pada tanggal 3 April 2016,
pukul 18.30 WITA.
a. Identitas
Nama : Nn. D
Umur : 24 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Belum menikah
Alamat : Banjar Wijaya B47 No.15, Kota Tangerang
Tanggal lahir : 25/07/1991
Suku : Sunda
Agama : Islam
No.RM : 64.38.08
b. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 jam SMRS.
25
Sampai di rumah, pasien masih merasakan nyeri perut hilang timbul.
Dua hari kemudian (01/04/2016), timbul demam. Suhu berkisar
37.9◦C sampai 38.2◦C. Demam reda saat pasien mengkonsumsi
Paracetamol tablet 500mg. Nyeri perut masih dirasakan seperti hari
sebelumnya. Merasa mual, tanpa muntah.
Dua hari kemudian (03/04/2016) pukul 15.00 WITA pasien merasakan
nyeri perut di daerah ulu hati, pusar, terutama di perut kanan bawah.
Demam dengan suhu 38.2˚C kemudian terasa mual disertai muntah
sebanyak 7 kali. Sekitar pukul 18.30 WITA, pasien dibawa ke IGD RSUD
dr.Kanujoso Djatiwibowo. Nyeri perut semakin hebat terutama di perut
kanan bawah.
Buang air kecil, buang besar, buang angin tidak ada keluhan. Makan
dan minum seperti biasa. Riwayat menstruasi tidak ada keluhan, saat ini
pasien tidak sedang datang bulan.
f. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan makan pedas dan rendah serat. Minum ± 2
liter air mineral setiap hari.
26
- Tekanan Darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 110 x/menit
- Suhu : 38.5˚ C
Status Generalis
Pemeriksaan Hasil
Kepala Normocephali, rambut hitam,
Mata Konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, sclera ikterik -/-
Telinga Normotia, liang telinga lapang +/+, membran timpani
intak +/+
Hidung Deformitas -, sekret -, mukosa hiperemis -
Mulut & tenggorokan Bibir tidak kering, oral hygiene cukup, tonsil tenang
T1/T1, hiperemis -
Leher KGB tidak teraba membesar
Toraks Normochest
Jantung S1S2 reguler, murmur -, gallop -
Paru Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen Bentuk simetris, bising usus + normal,
shifting dullnes (-), undulasi (-), nyeri tekan (+), Hepar
tidak teraba membesar, Lien tidak teraba membesar
Ekstremitas Akral hangat +, CRT <2”, oedem -
Pemeriksaan Hasil
Inspeksi Bentuk simetris, tampak lemas lembut,
massa (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
27
Perkusi Tidak dilakukan karena pasien mengeluh kesakitan
Palpasi Nyeri tekan (+) terutama regio kanan bawah
(Mc Burney sign +). Nyeri lepas regio kanan
bawah (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+),
defans muscular (-)
Psoas sign Positif
Obturator sign Positif
Rectal toucher Tidak dilakukan
HITUNG JENIS
Eosinofil 1.4 1.0-3.0 %
Basofil 0.1 0.0-2.0 %
Segmen 83.8 50.0-70.0 %
Limfosit 8.9 18.0-42.0 %
Monosit 5.8 2.0-11.0 %
KIMIA DARAH
GDS 91 76 - 180 mg/dl
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
URINE
1. MAKROSKOPIS
- Warna Kuning Kuning
- Kejernihan Jernih Jernih
2. KIMIAWI
- Berat Jenis 1.010 1.005-1.030
- Leukosit Negative Negative
- Nitrit Negative Negative
28
- pH 6.0 5-8
- Protein Negative Negative
- Glukosa Negative Negative
- Keton + Negative
- Urobilinogen +- Negative
- Bilirubin Negative Negative
- Darah Negative Negative
- VTC Negative Negative
3. SEDIMEN
- Leukosit 0-1 1-5 /LPB
- Eritrosit 0-1 0-1 /LPB
- Silinder Negative Negative
- Epitel 10-15 0-4 /LPB
- Kristal Negative Negative
- Lain-lain Negative 0.00-4.00
HCG Urine Negative
3.6 PENATALAKSANAAN
Instalasi rawat darurat RSUD dr.Kanujoso Djatiwibowo
- IVFD Ringer Laktat 20 tetes / menit
- Ondancentron 8 mg i.v
- Ranitidine 50 mg i.v
- Ceftriaxone 1 gram i.v
- Konsul dokter spesialis bedah Appendectomy cito pukul 22.30
WITA
Laporan Pembedahan
29
Dilakukan pembedahan oleh dr.Febiansyah, Sp.B pada tanggal 3 April
2016 pukul 22.30 WITA di ruang OK IRD RSUD dr.Kanujoso
Djatiwibowo Balikpapan.
Tindakan Operasi :
1. Pasien terlentang dengan anastesi spinal.
2. Dilakukan tindakan asepsis dan antiseptik pada lapang operasi.
3. Dilakukan insisi Mc Burney lapis demi lapis secara tajam.
4. Dilakukan eksplorasi tampak daerah operasi : ditemukan
appendix letak antecaecal, panjang 8 cm, diameter 1.5 cm,
hiperemis, dengan fekalit di 1/3 medial.
5. Dilakukan appendectomy.
6. Dilakukan perawatan luka operasi.
7. Luka operasi ditutup lapis demi lapis.
8. Operasi selesai.
9. Diagnosis pasca pembedahan : Appendicitis Akut.
3.6 PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Ad malam
Ad sanationam : Ad bonam
30
3.7 FOLLOW UP HARIAN
TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT PENATALAKSANAAN
04-04-2016 S : Nyeri di luka operasi, mual, - IVFD RL 20 tetes/menit
nyeri ulu hati, muntah (-) - Ceftriaxone 1 x 2 gram i.v
O : KU: sakit sedang, compos - Ketorolak 2 x 30 mg i.v
mentis - Omeprazole 2 x 40 mg i.v
TD 110/80 mmHg, N 84 x/menit, - Diet lunak
RR 20 x/menit, S 36.8◦ C
Abdomen : BU (+), supel, timpani,
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendicitis akut, post opertion day
0 (POD 0)
05-04-2016 S : Mual, nyeri di luka operasi, - IVFD RL 20 tetes/menit
sudah bisa berjalan ke toilet - Ceftriaxone 1 x 2 gram i.v
O : KU: sakit sedang, compos - Ketorolak 2 x 30 mg i.v
mentis - Omeprazole 2 x 40 mg i.v
TD 120/70 mmHg, N 80 x/menit, - Ganti verbant
RR 20 x/menit, S 36◦ C
Abdomen : BU (+), supel, timpani,
luka operasi baik
31
A : Post appendectomy e.c
appendicitis akut, post opertion day
1 (POD 1)
06-04-2016 S : Nyeri di luka operasi berkurang, - IVFD RL 20 tetes/menit
mual terkadang, berjalan (+) - Ceftriaxone 1 x 2 gram i.v
O : KU: sakit sedang, compos - Ketorolak 2 x 30 mg i.v
mentis - Omeprazole 2 x 40 mg i.v
TD 110/70 mmHg, N 81 x/menit, - Rencana KRS besok
RR 20 x/menit, S 36.2◦ C
Abdomen : BU (+), supel, timpani,
luka operasi baik
A : Post appendectomy e.c
appendicitis akut, post opertion day
2 (POD 2)
07-04-2016 S : Nyeri di luka operasi berkurang, - Boleh KRS
mual terkadang, berjalan (+) - Ciprofloxasin 2 x 500 mg
O : KU: sakit sedang, compos p.o
mentis - Paracetamol 3 x 1 gram
TD 120/70 mmHg, N 82 x/menit, p.o
RR 20 x/menit, S 36.1◦ C - Omeprazole 2 x 20 mg
Abdomen : BU (+), supel, timpani, p.o
luka operasi baik - Kontrol poli bedah umum
A : Post appendectomy e.c
appendisitis akut, post opertion day
3 (POD 3)
32
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
33
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.
Keluhan mual dan muntah pasien disebabkan oleh inflamasi dan tekanan
yang berlebihan pada appendiks yang distensi sehingga pusat muntah akan
diaktifkan dari saluran pencernaan melalui aferen nervus vagus.
Nyeri tekan daerah McBurney terjadi karena translokasi bakteri yang
menyebabkan nyeri somatis.
Illiopsoas sign menunjukkan peradangan dari appendiks yang letaknya
dekat dengan otot psoas. Obturator test juga positif karena gerakan rotasi dari
pinggang juga menghasilkan nyeri pada pasien dengan appendiks yang juga
terletak berdekatan dengan otot obturator eksternus.
Leukositosis yang didapatkan dari pemeriksaan darah lengkap
menunjukkan respon tubuh terhadap infeksi.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan pembedahan dini
sesuai Alvarado score dengan total skor 9, yaitu perlu dilakukan operasi dini bila
skor 7-10.
Skor yang
Penilaian Skor Ajuan
Didapat
Gejala -Nyeri beralih 1 1
-Anoreksia 0 1
-Mual / muntah 1 1
Tanda -Nyeri perut kanan bawah 2 2
(Mc Burney point)
-Nyeri lepas 1 1
-Kenaikkan temperature 1 1
(> 37.5 oC)
Laboratoriu -Leukositosis (> 10.000/ul) 2 2
m -Neutrofil bergeser ke kiri 1 1
(> 72%)
Total Skor 9 10
34
Pemberian obat Ceftriaxone yaitu, antibiotik spektrum luas golongan
sefalosporin generasi 3 pada pasien ini untuk mencegah infeksi berat dan
diantaranya memiliki aktivitas melawan bakteri aerob dan anaerob.
BAB V
KESIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
p. 865-75.
p. 1383 – 93.
4. Staf Pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 1995. p. 109 – 12.
Bandung: FK UNPAD-RSHS.
36